Kahar, d - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 buah
pulau (Kahar, dkk., 1994). Indonesia setidaknya memiliki lima buah pulau besar
yaitu Pulau Jawa, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Sumatera. Masing-masing
pulau tersebut memiliki beberapa referensi ketinggian (datum vertikal) lokal
sendiri-sendiri yang tidak terkoneksi antara satu dan yang lainnya.
Idealnya, datum vertikal mengacu pada bidang geoid (Merry, 2003), yaitu
model fisis bumi yang merupakan bidang equipotensial gayaberat. Pada
prakteknya di Indonesia, referensi yang digunakan adalah muka laut rerata (MLR)
yang diukur pada satu atau beberapa stasiun pasang surut (pasut) dalam periode
waktu tertentu. Antar stasiun pasut tidak saling terkoneksi, sehingga tinggi MLR
terhadap geoid yang dijadikan sebagai datum vertikal dari masing-masing stasiun
pasut bersifat lokal yang bisa memiliki perbedaan hingga mencapai 2 m (Jiao,
dkk., dalam Zhang, dkk., 2008). Permasalahan pada sistem ini dapat
mempengaruhi berbagai kegiatan yang memerlukan data ketinggian di Indonesia.
Solusi untuk mengatasi masalah tersebut memerlukan upaya penyatuan (unifikasi)
sistem tinggi sehingga masing-masing datum vertikal berada pada bidang
referensi yang sama.
Masalah unifikasi sistem tinggi telah menjadi kajian penting oleh para
ilmuan geodesi di seluruh dunia. Berbagai penelitian mengenai unifikasi sistem
1
2
tinggi sudah banyak dilakukan, seperti unifikasi sistem tinggi Australia
(Featherstone. 2008), unifikasi sistem tinggi Yunani (Vergos dan Tziavos, 2012),
dan unifikasi sistem tinggi antara Shenzhen dan Hongkong (Zhang, dkk., 2008).
Di Indonesia sendiri penelitian mengenai unifikasi sistem tinggi sudah beberapa
kali dilakukan seperti oleh Kahar, dkk. (1994), Khafid (1996), dan Heliani, dkk.
(2011).
Unifikasi sistem tinggi dapat dilakukan dengan menentukan beda tinggi
antar datum vertikal (Rummel dalam Zhang, dkk., 2008). Berbagai metode telah
dikembangkan untuk menentukan beda tinggi antar datum vertikal. Data GPS dan
model geoid lokal dapat digunakan untuk mendapatkan tinggi ortometrik dari
masing-masing titik datum, dengan menghitung beda tinggi antar titik-titik
tersebut. Geodetic levelling, yaitu kombinasi antara pengukuran sipat datar dan
data gayaberat dapat juga dilakukan untuk menentukan beda tinggi antar datum
(Zhang, dkk., 2008). Namun, untuk wilayah yang sangat luas, metode tersebut
menjadi kurang efisien.
Kahar, dkk. (1994) mengungkapkan bahwa masalah unifikasi sistem tinggi
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) melalui penentuan topografi paras laut
(TPL), dan (2) melalui penentuan beda potensial antara titik-titik pengamatan
pasut. Penentuan TPL dilakukan karena TPL merupakan sumber utama yang
mendasari perbedaan datum vertikal (Vergos dan Tziavos, 2012). TPL merupakan
bias antara MLR dan geoid (Novotny, dkk., 2006). Unifikasi sistem tinggi adalah
bagaimana menentukan deviasi antar datum vertikal (offset datum vertikal) yang
3
tidak lain adalah TPL. Ketelitian di dalam penentuan nilai TPL sangat
berpengaruh terhadap hasil dari unifikasi sistem tinggi yang dilakukan.
Penentuan TPL sangat bergantung pada MLR dan model geoid yang
digunakan. Data pasut dan altimetri dapat digunakan untuk menentukan nilai
MLR. Model geoid dapat ditentukan menggunakan metode geometrik dan metode
gravimetrik. Penentuan geoid geometrik dilakukan dengan menggunakan data cosite GPS-levelling, yaitu selisih antara tinggi elipsoid dari pengukuran GPS
dengan tinggi ortometrik dari pengukuran sipat datar, sedangkan penentuan geoid
secara gravimetrik dapat dilakukan dengan menggunakan data gayaberat
(Kasenda, 1992). Selain itu dikenal juga model geoid hybrid, yaitu model geoid
yang diperoleh dengan cara menggabungkan nilai undulasi geoid geometrik
dengan nilai undulasi geoid gravimetrik (Kuroishi, dkk., 2002). Dengan
menggunakan model geoid hybrid ini, maka TPL dapat ditentukan dengan
menghitung nilai deviasi antara MLR dan geoid.
Pada penelitian ini unifikasi sistem tinggi dilakukan melalui penentuan
TPL. TPL ditentukan menggunakan kombinasi data pasut, satelit altimetri
Envisat, dan model geoid hybrid. Pengkombinasian data pasut dan altimetri
dilakukan agar kerapatan data yang digunakan menjadi lebih detil. Alasan
penggunaan data satelit altimetri Envisat karena memiliki prosentase ketersediaan
data paling banyak untuk wilayah pantai (Heliani, 2011) serta memiliki resolusi
spasial paling tinggi dengan jarak antar track 80 km (Seeber, 2003). Model geoid
hybrid digunakan karena merupakan model geoid yang paling dapat diandalkan
dalam resolusi dan akurasi spasial (Smith dan Milbert dalam Kuroishi, dkk.,
4
2002). Akhirnya, unifikasi sistem tinggi kemudian dikontrol dan dianalisis dengan
data 3D posisi stasiun pasut dari data pengukuran GPS dan TPL, sehingga
unifikasi sistem tinggi dapat dilakukan secara absolut.
I.1.1. Perumusan Masalah
Sistem tinggi yang diterapkan di Indonesia masih menggunakan datum
vertikal lokal yaitu nilai MLR. MLR tersebut diukur pada satu stasiun pasut yang
tidak terkoneksi dengan MLR stasiun pasut yang lainnya, yang memungkinkan
adanya perbedaan tinggi MLR di atas geoid mencapai 2 m. Solusi untuk
mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya unifikasi, diantaranya dapat
dilakukan melalui penentuan TPL. Penentuan TPL sangat dipengaruhi oleh
ketelitian MLR dan model geoid yang digunakan. Data pasut dan altimetri dapat
digunakan untuk menentukan nilai MLR, sedangkan model geoid yang paling
dapat diandalkan dalam hal resolusi dan akurasi spasial adalah model geoid
hybrid.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Berapa nilai MLR dari data pasut pada masing-masing stasiun pasut?
2. Berapa nilai MLR dari data satelit altimetri Envisat?
3. Bagaimana metode pembobotan yang paling baik dalam penentuan TPL
dari kombinasi data pasut, altimetri, dan model geoid hybrid?
4. Berapa nilai TPL di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa?
5
5. Berapa posisi relatif masing-masing Bench Mark (BM) pasut sebagai hasil
unifikasi sistem tinggi secara absolut?
I.1.2. Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini mencakup beberapa hal, sebagai
berikut:
1. Daerah penelitian mencakup sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa dengan
melakukan unifikasi sistem tinggi untuk titik datum Cilacap, Sadeng, dan
Prigi.
2. Model geoid hybrid yang digunakan adalah model geoid hybrid Pulau
Jawa hasil dari penelitian yang dilakukan Riza (2010).
3. Nilai MLR yang diperoleh dari data pasut dijadikan sebagai kontrol nilai
MLR dari data altimetri karena memiliki ketelitian yang lebih baik.
4. Metode interpolasi spasial yang digunakan adalah Inverse Distance
Weighted (IDW).
I.1.3. Keaslian Penelitian
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat
selengkapnya pada Tabel I.1 berikut ini. Perbedaannya meliputi judul dan lokasi
penelitian, bahan yang digunakan, dan metode penelitian yang dilakukan.
6
Tabel I.1. Perbandingan penelitian yang dilakukan dengan penelitian
sebelumnya
Peneliti dan
Tahun
Featherstone
(2000)
Judul dan Lokasi Penelitian
Bahan Utama
Metode Penelitian
Unifikasi Sistem Tinggi antara
Model geoid gravimetrik
Unifikasi dilakukan dengan
Mainland dan Tasmania
AUSGeoid9, data GPS, dan
menentukan nilai deviasi
Menggunakan GPS dan
data spirit-levelling Australian
datum vertikal antara titik-
AUSGeoid98
Height Datum (AHD)
titik AHD-Mainland dan
AHD-Tasmania dari
kombinasi data geoid
gravimetrik AUSGeoid9,
GPS, dan AHD
Merry (2003)
Proyek Geoid Afrika dan
EGM96, data anomaly gravity,
Unifikasi dilakukan dengan
Relevansinya untuk Unifikasi
Degital Elevation Model
pemodelan geoid gravimetrik
Kerangka Referensi Vertikal
(DEM), dan data GPS-levelling
terlebih dahulu, kemudian
Afrika
menghitung nilai deviasi
antar datum vertikal (TPL).
Zhang, dkk
(2008)
Unifikasi Datum Tinggi antara
GPS-Gravity dan GPS-
Unifikasi dilakukan melalui
Shenzen dan Hongkong
levelling.
penentuan quasigeoid dari
Menggunakan Solusi Linearized
data GPS-gravity terlebih
Fixed-gravimetric Boundary
dahulu menggunakan
Value Problem
algoritma linearized fixedgravimetric boundary value
problem, kemudian
menghitung nilai deviasi
antar datum vertikal dari
kombinasi model quasigeoid
dan data GPS-levelling.
Khafid
Unifikasi Sistem Tinggi Lokal
Data satelit altimetri
Unifikasi dilakukan melalui
(1996)
Indonesia
Geosat/ERM,
penentuan TPL dari steric
TOPEX/POSEIDON, ERS-
levelling (oceani levelling)
1/35, data hidrografi, model
dari data hidrografi dan TPL
geoid global EGM98 dan
dari data altimetri dan model
OSU91A.
geoid global.
Penulis
Topografi Paras Laut
Data pasut, satelit altimetri
Unifikasi dilakukan melalui
(2014)
Menggunakan Kombinasi Data
Envisat, model geoid hybrid,
penentuan TPL
Pasut, Altimetri Envisat, dan
data GPS-levelling.
menggunakan kombinasi data
Model Geoid Hybrid untuk
pasut, altimetri Envisat, dan
Unifikasi Sistem Tinggi (Lokasi
model geoid hybrid.
Penelitin: 3 Stasiun Pasut di
Pulau Jawa, yaitu Cilacap,
Sadeng, dan Prigi)
7
Tabel I.1 menunjukkan beberapa hal yang menjadi perbedaan antara
penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian-penelitian terdahulu.
Perbedaan yang paling mendasar di dalam penelitian ini terletak pada metode
penelitian yang dilakukan. Telah dijelaskan di dalam subbab sebelumnya bahwa
unifikasi sistem tinggi pada dasarnya adalah bagaimana menentukan deviasi antar
datum vertikal yang tidak lain adalah TPL. Perbedaan dalam penentuan TPL dapat
dilihat minimum dari dua sisi. Perbedaan pertama, pada saat menentukan TPL
menggunakan data kelautan, yaitu data pasut dan data satelit altimetri Envisat.
Perbedaan kedua dapat dilihat dari model geoid yang digunakan. Pada penelitian
ini penulis menggunakan model geoid hybrid.
I.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1. Tujuan Penelitian
Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian, maka tujuan umum yang
ingin dicapai dari penelitian ini adalah melakukan unifikasi sistem tinggi melalui
penentuan
nilai TPL. Oleh karena itu penelitian ini memiliki tujuan khusus
sebagai berikut:
1. Menentukan nilai MLR pada masing-masing stasiun pasut.
2. Menentukan nilai MLR yang diperoleh dari data satelit altimetri Envisat.
3. Menentukan metode pembobotan yang paling baik dalam penentuan TPL
dari kombinasi data pasut, satelit altimetri Envisat, dan model geoid
hybrid.
4. Menentukan nilai TPL di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa.
8
5. Menentukan posisi relatif masing-masing BM pasut sebagai hasil unfikasi
sistem tinggi secara absolut.
I.2.2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Nilai TPL Pulau Jawa dapat memberikan gambaran tentang variasi
topografi laut selatan Pulau Jawa yang dapat digunakan untuk optimalisasi
jalur pelayaran, penentuan zona upwelling yang merupakan salah satu
tempat terbaik untuk menangkap ikan.
2. Unifikasi sistem tinggi dapat memberikan kepastian posisi titik datum
yang menjadi titik ikat dalam berbagai pekerjaan pengukuran, sehingga
jika ada pekerjaan yang mengikat pada lebih dari satu titik datum, masalah
ketidakkonsistenan posisi ketinggian dapat terselesaikan.
Download