DESAIN KURIKULUM PGMI PTAI 2007 O l e h: Prof. Dr. H. Mukhtar, MPd. Rektor IAIN Sulthan Thaha Saifudin Jambi DEPARTEMEN AGAMA RI STAIN, IAIN DAN UIN INDONESIA TAHUN 2007 DAFTAR ISI Hal Halaman Judul ................................................................... 1 Daftar Isi ............................................................................. 2 A. Dasar Pemikiran PGMI .................................................. 3 B. Dasar Hukum PGMI ....................................................... 15 C. Selayang Pandang Kurikulum Nasional dan PGMI ....... 17 D. PGMI dalam Sistem Pendidikan Nasional ..................... 30 E. Kompetensi Dosen PGMI .............................................. 41 F. Kompetensi Sarjana PGMI ............................................. 46 G. Standar Sarjana PGMI PTAI ......................................... 48 H. Kurikulum PGMI ............................................................. 51 I. Penutup ........................................................................... 67 DAFTAR BACAAN ............................................................. 69 2 A. DASAR PEMIKIRAN PGMI Perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan (centre of excellence) diharapkan mampu menggali dan menumbuhkembangkan, sekaligus menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada peserta didik (mahasiswa). Hal ini merupakan sebuah tanggung jawab ilmiah dan akademik. Upaya ini harus diorientasikan atas kepentingan peserta didik dan masyarakat pengguna jasa pendidikan (stakeholder). Dalam konteks era global, pendidikan mau tidak mau akan memasuki globalisasi pendidikan, dengan globalisasi ini, menuntut perguruan tinggi untuk lebih terbuka dan transparan serta melakukan daya banding dan daya saing (benchmark) di tengah lingkungannya, baik dalam skala lokal maupun global. Antisipasi ke arah ini, telah dituangkan dalam PP. No. 19 tahun 2005, secara tegas tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang ditetapkan, pada dasarnya memacu praktisi pendidikan, pengelola pendidikan, para dosen, guru dan masyarakat untuk lebih serius membenahi pendidikan. Persoalannya, di tengah tuntutan pada era globalisasi pendidikan, justru kita tengah menghadapi kesulitan dalam mendesain kurikulum pendidikan, pemenuhan sumber belajar, SDM dan kompetensi Dosen, mutu output/outcome pendidikan, pembiayaan pendidikan, lemahnya sistem rekrutmen, bahkan SDM pimpinan. Kenyataan ini semua, turut mempersulit lembaga PTAI se-Indonesia untuk melakukan inovasi kurikulum, pembaharuan dan pengembangan menjadi perguruan tinggi yang berkeunggulan berbasis stakeholder. Upaya untuk mewujudkan perguruan tinggi yang demikian, sebenarnya menuntut keterlibatan semua pihak, termasuk sarana dan fasilitas lembaga yang ada. Bagaimanapun baiknya mutu raw input (mutu mahasiswa yang masuk), dosen yang profesional dan berprestasi, sarana dan fasilitas yang menunjang pengajaran yang baik, akan tetapi tidak didukung oleh masyarakat, maka tidak akan banyak memberikan andil dalam mewujudkan perguruan tinggi yang berkeunggulan. Rendahnya mutu lulusan, lemahnya kebijakan di bidang pendidikan, kurang memadainya sarana dan prasarana pembelajaran, sampai kepada rendahnya jenjang pendidikan guru dipandang ikut memperlemah kompetensi dan profesionalitas pelayanan pendidikan. Kelemahan ini menunjukkan kegagalan pendidikan dalam melahirkan sarjana di perguruan tinggi, dan hal ini berarti 3 kegagalan perguruan tinggi dalam menyiapkan kebutuhan pasar bagi output pendidikan. Padahal seharusnya mesti ada sinergisitas antara perguruan tinggi dengan ” pasar” dalam menyerap tenaga kerja. Belum lagi perguruan tinggi dihadapkan pada perkembangan masyarakat yang semakin cerdas, baik karena hasil dari produk pendidikan maupun karena era keterbukaan dengan akses teknologi yang semakin mudah. Karena itulah dalam menyiasati keberadaan guru khususnya guru MI/SD perlu dilakukan pengembangan melalui program PGMI. Dalam kaitan dengan guru, Syafruddin Nurdin (2002), menyatakan bahwa profesi (jabatan) guru telah cukup lama ada di negara kita tercinta ini, meskipun hakikat, fungsi, latar tugas, dan kedudukan sosiologisnya telah banyak mengalami perubahan. Bahkan ada yang secara lugas mengatakan bahwa sosok guru telah berubah dari tokoh yang digugu dan ditiru, dipercaya dan dijadikan panutan, diteladani, agaknya menurun dari tradisi latar padepokan menjadi oknum wagu kan luru, kurang pantas dan kurus, di tengah-tengah pelbagai bidang pekerjaan dalam masyarakat yang semakin terspesialisasikan. Jika di lihat dari sisi profesi, maka menurut Lester R. Bittel (1985), guru profesional adalah guru yang pekerjaannya memerlukan pelatihan dan pengalaman khusus yang lebih tinggi, tanggung jawab yang sah secara hukum seperti lisensi untuk melakukan pekerjaan dan menentukan prestasi etika standar. Seorang guru profesional akan memiliki standar tersendiri terhadap kemajuan profesinya. Karenanya, pekerjaan guru mengharuskan dan meyakinkan bahwa mereka lebih layak memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan status/prestise yang terhormat. Pada hakekatnya, Guru profesional menempatkan nilai yang kurang terhadap gaji dibandingkan dengan kepuasan hasil pekerjaannya. Namun demikian, gaji atau upah merupakan ukuran bagi level profesionalitas yang ia miliki. Menurut George Strauss (1972), Guru sebagai profesional sejati selalu bekerja keras, mereka mendorong diri sendiri, dan tidak bisa beristirahat sejenak manakala pekerjaannya belum tuntas. Pekerjaan dalam bidangnya merupakan suatu proses melakukan perubahan sebagai pengetahuan baru yang ditemukan. Karenanya, pada seorang guru profesional tidak pernah ada istilah berhenti belajar. Inovasi dan pengembangan pengetahuan sebagai pengaruh positif dari motivasi belajar guru seperti ini dapat meningkatkan kualitas transfer pengetahuan (transfer of knowledge) bagi peserta didik. Selama ini, kelihatannya secara umum profesi guru 4 dalam sejarah perkembangannya, sedikit banyaknya telah mengalami pergeseran nilai, serta makna di tengah masyarakat. Pada awalnya, profesi guru dianggap sebagai pekerjaan yang terhormat dan mulia, karena dengan profesi ini, peserta didik dapat memperoleh sejumlah pengetahuan, di samping memperoleh didikan moral (akhlak) serta dapat menumbuhkan gairah serta motivasi untuk bekerja (berbuat). Saat ini, nilai-nilai penghormatan masyarakat di samping peserta didik terhadap gurunya semakin luntur. Pergeseran ini disebabkan adanya apresiasi serta pandangan yang berubah dari masyarakat. Di antara pergeseran nilai yang terjadi selama ini secara filosofis, guru dipandang lemah dalam menanamkan serta mengembangkan nilai-nilai moralitas (akhlak) kepada peserta didik, di samping rendahnya pengakuan terhadap profesi guru yang antara lain diindikasikan oleh rendahnya penghargaan (reward), sehingga tidak jarang lembaga pendidikan diharapkan mampu mencetak generasi yang qur’ ani, justru yang muncul adalah generasi yang keras, biadab, dan cenderung bertindak secara tidak manusiawi, sedangkan pergeseran makna diindikasikan oleh adanya pilihan bahwa profesi guru cenderung dinilai kurang terhormat dan bergengsi secara ekonomis, karena penghidupan serta profesi guru kurang memberikan masa depan yang lebih prospek dan memadai. Sebagai konsekuensinya, kepribadian peserta didik menjadi rapuh, kurang terbina dengan baik, di mana-mana orang tua dan masyarakat selalu dirisaukan oleh munculnya gejala kenakalan remaja pada masa usia sekolah. Dalam konteks ini, maka dampak globalisasi pada adanya kecenderungan rusaknya nilai-nilai moral (akhlak) anak bangsa, diperlukan adanya perlindungan atau proteksi (protection) terhadap dampak globalisasi di bidang moral, flight SDM, hilangnya akar budaya masyarakat setempat (lokal) meskipun pengaruh globalisasi sangat gencar dan cenderung lebih modern. Dengan kata lain, diperlukan adanya kemandirian SDM bagi pembangunan manusia seutuhnya. Untuk tujuan ke arah ini, maka tidak ada pilihan lain kecuali mereposisikan kembali peran guru dalam pembangunan sumber daya manusia. Artinya, di satu sisi daerah harus menganggap penting bahwa pembangunan sumber daya manusia yang tangguh dan bermoral hanya dapat dibangun melalui tersedianya guru yang berkualitas dan memadai di daerah, dan di sisi lain guru yang ada dan diangkat oleh daerah harus pula memahami bahwa sumbangan pemikiran, keilmuan dan moral yang diberikan akan bermanfaat bagi pembangunan daerah. 5 Karena itu, guru harus mampu menempatkan diri sebagai sosok yang patut dicontoh dan ditiru utamanya bagi para peserta didik dan masyarakatnya. Keberadaan guru hari ini patut diakui ternyata masih dihadapkan pada realitas yang tidak berimbang. Di satu sisi, guru memiliki tugas serta beban yang sangat berat dalam kerangka mencetak anak shaleh, sementara di sisi lain, guru belum mendapat reward yang sepadan dengan tugasnya, bahkan profesi yang disandangnya cenderung dinilai sebagai profesi kelas dua, hal ini terbukti dari masih kurangnya apresiasi terhadap profesi tersebut secara memadai. Bahkan yang tidak kalah menariknya, tingginya tingkat kebutuhan terhadap guru di daerah ternyata kurang diimbangi dengan peluang kerja (penerimaan tenaga guru). Pada sisi lain ternyata guru kita hari ini juga ternyata belum diimbangi dengan sejumlah kompetensi dan profesionalitas, sehingga harapan untuk mewujudkan anak shaleh sebagai output pendidikan rasanya jauh dari harapan belum lagi jika harapan ini dihadapkan pada gencarnya arus destruktif yang dihadapi oleh peserta didik tersebut. Bahkan ironisnya guru kita sampai hari ini juga kurang kompetitif bila dihadapkan dengan profesi lainnya dalam pasaran kerja dan rekayasa sosial dan pekerjaan. Pada sisi tertentu kultur guru kita juga memiliki sikap yang kurang adaptif (tidak mampu beradaptasi secara lebih luas sehingga mampu memberikan warna dalam kehidupan). Percepatan pembangunan dalam tataran nasional. lokal atau daerah hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memadai baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Medium yang paling tepat dalam mencetak SDM adalah tersedianya guru secara memadai. Karena itulah dalam kerangka pembangunan tersebut, posisi guru sangat penting utamanya dalam menghadapi kemungkinan tumbuhnya arus globalisasi yang sedemikian cepat, transparan, dan cenderung bersifat destruktif. Pengaruh serta ketergantungan kita dengan dunia yang mengglobal tidak dapat dielakkan, karena memang kita berada dalam bingkai masyarakat global. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah kemampuan untuk berkompetisi dalam berbagai bidang termasuk di bidang pendidikan, bahkan diperlukan penguatan budaya lokal dengan membangun struktur guru yang mengakar di tengah masyarakat, sehingga budaya global dapat dibendung. Pada posisi ini peran guru menjadi sangat strategis manakala dihadapkan pada pola kehidupan yang bersifat antropocentris yang mengklaim dunia menjadi 6 serba aku, serba bebas dengan gaya dan cara sendiri, serta sikap masa bodoh dengan orang lain. Nana (1989) menyatakan, kehadiran guru dalam proses pembelajaran atau pengajaran masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pengajaran ini belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder ataupun oleh komputer yang paling modern sekalipun, masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan lain-lain yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran tidak dapat dicapai melalui alat-alat dan teknologi yang canggih. Karena itu, guru merupakan posisi kunci dalam membekali peserta didik dengan sejumlah kompetensi. Menurut Stiggin (1994), Profesionalitas guru yang ditandai dengan efektivitas kinerja seorang guru yang berprestasi dalam mengajar, akan mengantarkan peserta didik pada upaya pembekalan kompetensi dasar yang harus dimiliki pada masing-masing tingkatan. Karena itu, dengan hadirnya Program PGMI menjanjikan harapan yang besar bagi peningkatan peran pendidikan khususnya bagi guru madrasah Ibtidaiyah. Melalui program PGMI ini, maka desain dan format pendidikan dibangun melalui rekonstruksi kurikulum yang meliputi bangunan filosofi kurikulum, desain kurikulum, uji kelayakan, dan pembentukan silabus PGMI yang mengarah pada kompetensi tamatan, kompetensi rumpun (hasil belajar, kompetensi PTAI) dan kompetensi mata pelajaran. Hadirnya Program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) secara institusional ini, paling tidak telah memberikan ruang gerak, arah, kebijakan serta strategi dalam kerangka menyiapkan kompetensi keguruan kepada calon guru agar menjadi ahli dan profesional secara akademik, serta memiliki sejumlah pengetahuan keguruan yang menjadi modal dasar untuk menjadi tenaga pendidik yang layak, kompeten, serta terikat dengan sejumlah kode etik keguruan pada tingkatan madrasah Ibtidaiyah. Program PGMI ini menjanjikan sejumlah harapan kepada calon guru MI dengan bekal legalitas sarjana sebagai tenaga pengajar pada MI dengan sertifikasi untuk mengajar di MI. Program PGMI yang diselenggarakan akan memberikan sejumlah kematangan bagi seorang sarjana agar memiliki karakteristik dan profil sebagai tenaga pendidik sesuai dengan kapabilitas keilmuan yang dimiliki pada jenjang pendidikan yang dilalui. 7 Penyelenggaraan program PGMI, menjanjikan harapan yang besar bagi output pendidikan ke depan. Entry point kurikulum PGMI ini bertumpu pada dua hal, yaitu legal dan performance kompetences. Legal kompetence diarahkan peserta didik (calon guru MI) kepada kepantasan dan kelayakan seorang sarjana yang siap untuk mengajar, mendidik dan melatih serta membimbing siswa, dengan kata lain siap menjadi guru MI yang ditandai dengan adanya sertifikasi ijazah yang dimiliki. Dengan sertifikasi ini, diharapkan menjadi bukti kualifikasi keilmuan dan kompetensi, sehingga benar-benar dapat memperlihatkan sosok guru yang diperlukan sesuai bidangnya. Sedangkan performance kompetetence diarahkan pada layaknya seorang sarjana menjadi guru MI, didasarkan atas kepemilikan seperangkat kecakapan, kemampuan serta profesionalitas. Seorang yang profesional, ia ahli dalam ilmu dan terampil dalam berbuat (basthatan fil ’ ilmi wal jism). Dengan seperangkat performance itulah dia berhak menyandang profesi guru MI. Atas dasar pemikiran ini, maka PGMI dirasakan sangat penting dan strategis. Dikatakan penting, karena melalui PGMI dapat dijadikan awal dan kesempatan bagi penyiapan guru yang profesional dan ahli pada tingkatan MI serta dapat melahirkan lulusan MI dengan SDM yang baik pada tingkatan lokal dan nasional. Penyiapan SDM lulusan PGMI yang baik ini, diharapkan pada akhirnya akan memberikan konribusi positif bagi percepatan pembangunan nasional. Karena itulah, melalui program PGMI ini, paling tidak sasaran PGMI seharusnya diarahkan pada pencapaian sasaran, yaitu: 1) Memberi sejumlah kompetensi keguruan pada guru MI; Kompetensi yang dimaksud adalah a) kompetensi pedagogik, b) kompetensi kepribadian, c) kompetensi sosial, dan d) kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, yakni sebagai guru MI/SDI melalui program PGMI, 2) Mewujudkan kinerja (performance) pembelajaran guru secara optimal melalui PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan); kinerja demikian diharapkan memberikan penyegaran terhadap proses pembelajaran (instructional) dengan lebih menekankan pada pembelajaran berbasis siswa sebagai sasaran (subyek) belajar melalui interaksi pembelajaran, 3) Penguasaan atas materi (content) kurikulum SD/MI dengan baik; yang ditandai dengan kemampuan untuk menguasai kurikulum berupa komponen institut, fakultas dan jurusan. 8 4) Memberikan kesempatan kepada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di daerah secara nasional untuk bersama-sama dan berkompetisi melakukan percepatan pendidikan dan perbaikan mutu pendidikan guru pada tingkatan SD/MI di sekolah/madrasah secara nasional, antara lain melalui: Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Agama (LPTKA), PGMI, akreditasi, dan sertifikasi, 5) Menyiapkan calon guru SD/MI yang profesional, yang ditandai dengan kemampuan teoritis-ilmiah, dan kemampuan aplikatif dengan program magang, microteaching, PKLT, Kukerta, dan program lain. 6) memenuhi kekurangan guru MI/SD secara nasional; kekurangan ini terjadi sebagai akibat pertambahan angka usia sekolah (usia SD/MI), maupun karena faktor-faktor lain seperti pertambahan jumlah penduduk, penyebaran masyarakat dan pendidikan, pensiun, meninggal, dan sebagainya, sehingga membutuhkan guru tidak saja secara kualitas tetapi juga kuantitas yang memadai dan berimbang untuk memenuhi diseminasi pendidikan bagi kebutuhan guru MI/SDI. 7) Memperkuat kebijakan pemerintah di bidang peningkatan SDM guru melalui program penghapusan D2/D3 menjadi S1 bagi semua guru pada berbagai tingkatan dan jenis pendidikan; hal ini dilakukan sebagai komitmen untuk memperkuat pelayanan dan mutu pendidikan bagi setiap peserta didik, sehingga tidak ditemukan lagi guru yang mengajar hanya bebekal pendidikan D2 dan D3 secara nasional. 9 B. DASAR HUKUM PGMI Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan tenaga pendidik yang profesional dan berkualitas, khususnya pada tingkatan Madrasah Ibtidaiyah (MI), maka dalam penyelenggarannya, Program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) haruslah didukung oleh dasar hukum mengenai izin penyelenggaraan atau operasional pendirian PGMI di perguruan tinggi. Dalam penyelenggaran tersebut, yang menjadi landasan atau dasar hukum Program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2. Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi Republik Indonesia 4. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), 5. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2007 tentang perubahan keenam atas Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 10 tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, 6. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 394 tahun 2003 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam, 7. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 156 tahun 2004 tentang Pedoman Pengawasan, Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana dan Pascasarjana pada Perguruan Tinggi Agama Islam, 8. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 353 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Agama Islam, 9. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 387 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam, 10. SK Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor Dj.I/257/2007, tanggal 10 Juli 2007 tentang Izin Penyelenggaraan Program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) jenjang Strata Satu pada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). 10 Dari dasar hukum ini, maka mendesak untuk didirikan dan diselenggarakan Program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) bagi 62 perguruan tinggi Agama Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan karena terdapatnya sebahagian besar guru pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) di daerah di Indonesia yang belum mengenyam pendidikan Strata Satu (S1). C. SELAYANG PANDANG KURIKULUM NASIONAL DAN PGMI Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa, karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Mulyasa (2003), masyarakat Indonesia dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah pendidikan yang berat, terutama berkaitan dengan kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Begitu juga dengan sejumlah persoalan lain yang dihadapi pendidikan menimbulkan pertanyaan bagi berbagai pihak, baik dikalangan mayarakat umum maupun dikalangan ahli pendidikan dan guru ” apa yang salah dengan pendidikan nasional sehingga belum berhasil mengembangkan manusia Indonesia seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” . Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Ketentuan ini berkaitan dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan kesejahteraan umum, dan dapat diperolehnya pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Enam puluh dua tahun telah berlalu, sejak pemerintah memiliki kesempatan untuk mengatur pendidikan nasional bagi seluruh tanah air Indonesia, tetapi manusia Indonesia yang diharapkan lahir dan mampu mendorong tegak serta jayanya Negara Kesatuan Republik Indonesia belum berhasil diwujudkan, bahkan yang terjadi justru sebaliknya adalah munculnya berbagai ekses dan gejala disintegrasi bangsa dengan reformasi yang kebablasan. Ketertinggalan kita sebagai bangsa Indonesia dalam menyiapkan mutu lulusan pendidikan pada berbagai tingkatan, selain disebabkan oleh belum adanya pembenahan total sistem pendidikan dan persekolahan kita selama ini, juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari adanya pengaruh warisan mental sistem 11 pendidikan yang telah dilaksanakan pada masa kolonial penjajahan di negeri ini. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa kita tidak dapat bangkit untuk membenahi sistem pendidikan persekolahan kita hari ini. Bagi kita, ada sejumlah agenda pendidikan yang perlu dibenahi dalam usaha untuk memberikan pendidikan bagi mahasiswa khususnya melalui program PGMI ini, antara lain, yaitu: 1. Lamanya Waktu Pendidikan, meliputi kuota semester yang memiliki durasi yang cukup banyak pada setiap semester, waktu tempuh pendidikan pada setiap jenjang yang relatif lama, kurikulum yang banyak, pelayanan pendidikan yang bertele-tele dan memakan waktu yang panjang, manajemen yang tidak customer focused, birokrasi yang tumpang tindih, dan sistem pembiayaan yang kurang memadai bagi peningkatan kualitas pelayanan pendidikan kepada peserta didik (mahasiswa). 2. Mendesain pendidikan program PGMI agar mampu memberikan karakteristik ideal yang menjanjikan, dengan upaya membekali mahasiswa program PGMI dengan sejumlah kompetensi melalui tawaran kurikulum dan kemampuan berkompetisi, selain membekali content teoretis juga profesional empiris sesuai dengan kebutuhan. Secara nasional, jika dilihat pendidikan di tanah air telah memberikan bukti nyata akan peran sertanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbarengan dengan itu, tuntutan reformasi telah merambah ke berbagai tatanan kehidupan termasuk di dalamnya pendidikan. Selain dari itu, pendidikan telah melahirkan sejumlah besar lulusan, meskipun tidak sebanding dengan inovasi yang dilakukan dalam lembaga pendidikan itu sendiri. Akibatnya, pendidikan kita dihadapkan pada krisis SDM khususnya guru, baik dilihat dari jenjang pendidikan yang dimiliki, maupun bila dilihat dari sisi kompetensinya. Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk bagaimana penghapusan status penyelenggaraan pendidikan melalui jalur D2 dan D3 yang diganti menjadi program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiah (PGMI). Lahirnya PGMI juga berarti pelunya didesain format penyelenggaraan PGMI, sebagai penguatan pendidikan yang diperuntukkan bagi Pendidikan calon guru madrasah Ibtidaiyah, termasuk dalam hal ini desain kurikulumnya dalam konteks kurikuum nasional. Kebijakan pendidikan yang dibarengi dengan perubahan kurikulum telah menjadi landasan epistemologi keilmuan yang dikembangkan oleh PTAI se-Indonesia akan sedikit berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan selama, hal ini disebabkan karena 12 kurikulum PGMI seharusnya mengintegrasikan kurikulum nasional dan kurikulum PGMI itu sendiri dengan tawaran sejumlah keunggulan yang dikembangkan. Nizar (2002) mengatakan, secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah kurkulum ini kemudian berkembang, hingga pada akhirnya kurikulum dapat dipahami sebagai landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Sedangkan Webster Dictionare (1955), mendefinisikn sebagai: ” a course, especially a specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a degree” Pada definisi ini terkandung makna bahwa kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran di madrasah/sekolah atau akademi/college yang harus ditempuh oleh siswa atau mahasiswa untuk mencapai suatu degree (tingkat) atau ijazah, bahkan ada yang mendefinisikan bukan hanya terbatas pada mata pelajaran saja, tetapi meliputi aktivitas dalam rangka mempengaruhi belajar peserta didik di lembaga pendidikan, bahkan yang tidak kalah pentingnya kurikulum didesain untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Sejarah perkembangan psikologi khususnya psikologi belajar, Langgulung (2003), mangatakan, bahwa proses pemindahan (transmission) itu tidak mudah, memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar proses belajar itu bisa berlaku. Syarat tersebut adalah perangsang (stimulus), adanya gerak balas (response), dan gerak balas harus diberi peneguhan (reinforcement), ketiganya dapat dibangun melalui kurikulum yang ditawarkan kepada peserta didik. Makna lain kurikulum, dikemukakan Djamarah (1995), merupakan perangkat pembelajaran yang dapat menjadi indikator dalam proses dan menilai pembelajaran. Belajar terkait dengan mengajar. Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Keberhasilan pembelajaran yang ditawarkan oleh kurikulum sebenarnya sangat tergantung dari media, strategi serta metode pembelajaran. Meskipun demikian, desain kurikulum menjadi keharusan dalam perguruan tinggi, dalam menentukan arah dan tingkat capaian peserta didik dalam belajar. Tanpa kurikulum yang baik, maka dapat dipastikan akan menyebabkan peserta didik (mahasiswa) akan menjadi alumni yang tidak berkualitas. Itulah sebabnya, desain kurikulum haruslah berangkat dari Visi, misi perguruan tinggi, pengembangan fakultas/jurusan/prodi, aspek potensi peserta 13 didik, aspek pengembangan sikap mental, aspek pengembangan potensi dasar peserta didik, aspek tagihan belajar, aspek kebutuhan dan lapangan kerja. Apabila kita melihat realitas mengindikasikan kondisi lemahnya kurikulum pendidikan pengembangan kita aspek-aspek hari ini, maka utamanya yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan stakeholder. Dari sisi atau aspek kepemimpinan, perlu dipahami dan dikritisi komponenkomponen yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, dalam arti perlunya menggali secara terus-menerus pertanyaan-pertanyaan mendasar serta berusaha mencari alternatif jawabannya mengenai hal-hal yang terkandung dalam masing-masing komponen diungkapkan oleh Muhaimin (2003), sebagai berikut: 1. Komponen dasar; yang meliputi dasar-dasar filosofis, sosiologis, kultural, psikologis, orientasi, tujuan pendidikan, prinsip-prinip kurikulum yang dianut dan fungsi kurikulum. 2. Komponen pendidik; yang meliputi kode etik pendidik/dosen, kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, seperti pendidikan prajabnas, pre house training, in service training, on house training, penataran, dan sebagainya 3. Komponen materi; meliputi jenis, ruanglingkup materi, urutan sistematika atau sekuensinya dan sumber acuannya 4. Komponen penjenjangan; meliputi graded atau non-graded system, tahun penjenjangan, terminasi, sistem SKS atau paket, dan penjurusan 5. komponen sistem penyampaian (delivery system); meliputi strategi dan pendekatannya, metode pengajarannya, pengaturan kelas, dan pemanfaatan media pendidikan 6. sistem evaluasi; meliputi konsep dasar tentang kriteria keberhasilan, sistem penilaian, macam evaluasinya, masalah tes atau bentuknya, inspeksi/supervisi/pengawasan. 7. Komponen peserta didik (input); meliputi persyaratan masukan (rekrutmen), kualitas peserta didik yang diharapkan, kuantitas peserta didik, latar belakang peserta didik: pendidikan, sosial, budaya, agama, pengalaman hidup, potensi, minat, bakat, dan inteligensinya. 8. Komponen proses pelaksanaan; meliputi pola belajar mengajarnya: presentasi, independent study, interaksi (Kemp, 1977); expository approach, inquiry aproach (Gerlach & Elly, 1971), intensitas dan frekuensinya, interaksi pendidik14 peserta didik, dan /atau antar peserta didik di dalam dan di luar kegiatan tatap muka, pengelolaan kelas dan penciptaan suasana di dalam kelas. 9. Komponen keluaran output (tindak lanjut); meliputi kualitas output atau keluaran yang berhasil, organisasi alumni sebagai media pendidikan lanjut antara pendidik dan peserta didik, bimbingan lanjut melalui buletin, reuni, dan sebagainya. 10. Komponen organisasi kurikulum; meliputi sentralisasi atau desentralisasi, pola organisasi kurikulum, real curriculum, hidden curriculum, open-ended curriculum, kegiatan intra/ekstra kurikuler. 11. Komponen bimbingan dan penyuluhan; meliputi strategi pedekatan (tradisional, developmental, atau neo-tradisional), pengorganisasian, dan proses layanan. 12. Administasi pendidikan, meliputi manajemen kelembagaan, ketenagaan, hubungan antara orang tua dan masyarakat 13. Komponen sarana dan prasarana; meliputi buku teks, perpustakaan, laboratorium/studio, perlengkapan kelas, media pendidikan atau pengajaran dan gedung pendidikan 14. Komponen usaha pengembangan; meliputi adanya evaluasi dan inovai kurikulum,penelitian, perencanaan pengembangan jangka pendek, menengah, dan panjang, seminar, diskusi, simposium, lokakarya, penerbitan, kerjasama dan hubungan luar. 15. Komponen biaya pendidikan; meliputi sumber biaya dan alokasinya, perencanaan dan pembiayaan pendidikan, sistem pertanggungjawaban keuangan dan pengawasan. 16. Komponen lingkungan;meliputi suasana kelas, peguruan tinggi, di sekitar perguruan tinggi, suasana di daerah stempat (lokal), regional, nasional dan global. Hingga saat ini, pendidikan nasional telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum, sebagai bukti kuat adanya keinginan pemerintah untuk membenahi kualitas dan sistem pendidikan nasional. Inovasi kurikulum memang menjadi core pendidikan, karena dengan kurikulum yang memadai akan melahirkan lulusan pendidikan yang baik dan berkualitas. Hanya kita berharap jangan lagi tiap ganti menteri ganti kebijakan kurikulum. Setiap penggantian kurikulum, lagi-lagi yang dibebankan adalah orang tua dan masyarakat. Dalam sejarah pendidikan di tanah air, telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum, dan yang terakhir adalah, Kurikulum Berbasis Kompetensi 15 (KBK) tahun 2004 yang memberikan penekanan pada proses pendidikan, kemudian diperkuat lagi dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan penekanan pada hasil pendidikan (output/outcome). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan suatu perangkat rencana dan pengaturan yang antara lain berisi kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh mahasiswa, strategi pembelajaran dan penilaian secara umum, serta pemberdayaan sumber daya pendidikan secara optimal. Jika dilihat dari tawaran KBK tahun 2004, paling tidak didasari oleh beberapa hal, antara lain: 1. Output dan outcome/lulusan pendidikan belum mengarah pada kompetensial dan profesional, 2. KBK merupakan perubahan orientasi mutu pendidikan sejalan dengan semangat reformasi di bidang pendidikan nasional, 3. Menghadapi globalisasi SDM dan franchise pendidikan, 4. Tujuan pendidikan selama ini belum terjawab melalui proses pembelajaran (instruksional), 5. Beban content kurikulum terlalu banyak dan tidak menggiring peserta didik ke arah kompetensi lulusan, 6. Minimnya pengalaman lapangan (field experience), peserta didik lebih diperkuat pada aspek kognitif (makin tinggi pendidikan makin akademistis), 7. evaluasi hanya mengandalkan tes formatif dan sumatif yang hanya menyentuh aspek kognisi peserta didik (aspek afeksi dan psikomotor terabaikan). Dilihat dari tawaran KBK tahun 2004 ini, kelihatan bahwa ada beberapa ciri khas yang menjadi keunggulan KBK ini, antara lain terlihat pada: 1. Adanya penambahan jam belajar dalam kaitan bidang studi kompetensi, 2. Adanya pengurangan isi (content) kurikulum yang tidak mendukung kompetensi, 3. Menekankan pemberdayaan sumber belajar dan pendidikan, 4. Memfokuskan pada kemahiran berkomunikasi melalui bahasa lisan dan tulisan dan kemahiran bekomunikasi dengan angka (literasi dan numerasi), 5. Memuat standar kompetensi yang jelas, 6. Menekankan keseimbangan antara pengembangan sikap/perilaku/moral, kompetensi akademik, keterampilan hidup, seni dan karya, 7. Menyadari pentingnya teknologi informasi dan komunikasi, 16 8. Memberikan contoh-contoh kongkrit bagi tenaga pengajar terutama pada indikator hasil belajar, serta 9. Memberikan keluwesan yang memadai. KBK dianggap relevan untuk pengembangan pendidikan saat ini, karena KBK memiliki fungsi antara lain, 1) menentukan kompetensi dan hasil yang harus dicapai peserta didik yang meliputi kompetensi lulusan, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi rumpun pelajaran, dan kompetensi dasar mata pelajaran, 2) menetapkan/penyusunan silabus yang dikembangkan pada tingkat PT atau daerah. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, sikap/perilaku dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu hidup di masyarakat. Apabila digambarkan maka aspek bangunan tujuan KBK tersebut adalah sebagai berikut: Aspek Tujuan KBK Tujuan Pendidikan Nasional Kompetensi Tamatan Kompetensi Lintas Kurikulum Kompetensi Rumpun Hasil Belajar Komepetensi PTAI Kompetensi Mata Kuliah di PTAI 17 Adapun KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), sebagai bentuk kurikulum baru yang lebih menekankan pada hasil. Kurikulum ini lahir pada tahun 2006 sebagai bentuk adanya keinginan pemerintah untuk memberikan penguatan pada hasil pendidikan. Menurut mendiknas Bambang Sudibyo (2007), pada acara penandatanganan USB dan sejumlah agenda pendidikan di Kabupaten Tanjabtim Provinsi Jambi, bahwa dalam Kurikulum KTSP tidak dikenal lagi kurikulum nasional, tetapi yang ada adalah kurikulum pada tingkat satuan pendidikan. Pada kurikulum ini, sekolah (dalam hal ini guru) diberikan keleluasaan untuk mendesain kurikulum yang dibutuhkan dan sesuai dengan potensi daerah. Yang ditetapkan oleh pemerintah adalah standar hasil dan pembelajarannya. Dala konteks ini juga, ia mengatakan bahwa dengan KTSP tidak ada lagi kesan bahwa ganti menteri, ganti kebijakan. Dalam konteks Program PGMI, maka kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulum yang mengintegrasikan antara Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dari integrasi dua jenis kurikulum ini, maka akan terbuka peluang bagi perguruan tinggi untuk memberikan penekanan yang kuat pada pengembangan kompetensi peserta didik melalui kompetensi tamatan/ lulusan, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi, rumpun (hasil belajar dan kompetensi PTAI), dan kompetensi mata pelajaran yang dikembangkan pada Program PGMI. D. PGMI DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Menurut Arifin (2003), salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998, ialah diadakannya reformasi dalam bidang pendidikan. Forum rektor yang lahir 7 November 1998 di Bandung, juga mendeklarasikan perlunya reformasi budaya, melalui reformasi pendidikan. Tuntutan reformasi itu, dipenuhi oleh DPR-RI, bersama dengan pemerintah, dengan disahkan Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) tanggal 11 Juni 2003 yang lalu. Menurut Arifin (2003), reformasi membawa gagasan baru tentang perlunya paradigma baru, meskipun istilah itu, sudah tidak persis lagi dengan konsep aslinya. Istilah paradigma baru tersebut mula-mula dikenal dalam ilmu sosial, dengan tokoh utamanya Thomas Kuhn (1974). Kuhn menjelaskan bahwa 18 perkembangan ilmu sosial sangat berbeda dengan perkembangan ilmu alam. Jika ilmu alam berkembang secara evolusi dan akumulatif, maka ilmu sosial berkembang secara revolusi dan tidak secara akumulatif. Dalam menjelaskan perbedaan perkembangan itulah, Kuhn menggunakan konsep paradigma, yaitu bahwa dalam masa tertentu, ilmu sosial dikuasai oleh suatu paradigma, kemudian paradigma itu merosot, dan digantikan oleh paradigma baru yang tidak ada kaitannya dengan paradigma lama yang digantikannya. Itulah sebabnya perkembangan ilmu sosial, terjadi secara revolusi. Reformasi dalam pendidikan dan bahkan dalam semua bidang sosial dan politik, pada dasarnya adalah revolusi dan penjungkirbalikan, yaitu perubahan yang mendasar, terhadap pokok persoalan nasional dan bidang sosial dan politik. Tuntutan reformasi yang amat penting adalah demokratisasi, yang dapat ditanggapi melalui dua segi, yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otonomi daerah). Dalam konteks pendidikan, untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 1-2 dan pasal 44 ayat 13). Pendidikan Islam sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional di Indonesia. Rahim (2001) mengatakan, merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengelolanya, sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Dalam dua perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan pengabdian kaum muslimin dan sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Secara makro, pendidikan Islam di Indonesia bersentuhan dengan sistem pendidikan nasional dan faktor-faktor eksternal lain. Sedangkan secara mikro, pendidikan Islam dihadapkan pada tuntutan akan proses pendidikan yang efektif sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia, menurut Steenbrink (1999) dalam berbagai bentuk dan coraknya, merupakan upaya pendidikan untuk masyarakat secara terbuka. Sampai munculnya pesantren, lembaga pendidikan di Indonesia sebelumnya cenderung bersifat sangat eksklusif. 19 Pada masa pra-Islam, selain para rohaniawan Hindu, tidak semua orang dapat mengikuti pendidikan yang terlembagakan. Sedangkan pada masa penjajahan, sekolah-sekolah pada mulanya didirikan untuk kalangan bangsawan dan kaum penjajah. Baru setelah adanya desakan gerakan pencerahan dan perjuangan kalangan terdidik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah-sekolah rakyat yang lebih terbuka. Hal ini berbeda dengan pendirian madrasah dan sekolah-sekolah Islam yang sejak mula bersifat terbuka bagi masyarakat luas.. Uraian di atas, pada dasarnya menjelaskan bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia berasal dari proses interaksi misi Islam dengan tiga kondisi. Pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal-pra Islam telah melahirkan pesantren. Meskipun pandangan ini masih kontroversial, tetapi pelembagaan pesantren bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari proses akulturasi Islam dalam konteks budaya asli (indigenous). Kedua, interaksi misi pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan lembaga madrasah, dan ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan lembaga sekolah Islam. Dalam perjalanan yang panjang tersebut, pendidikan telah memberikan andil besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas SDM di tanah air, meskipun sejumlah agenda penting terus dilakukan untuk menyelaraskan kebutuhan pendidikan yang berkualitas dengan perkembangan zamannya. Untuk mewujudkan pendidikan ke arah sesuai yang diinginkan, diperlukan suatu keberanian dan langkah yang kongkrit dalam menyikapi sejumlah persoalan pendidikan kita selama ini, yang pada prinsipnya sangat membutuhkan pembenahan sistem dan pembelajaran. Pembenahan dari sistem dan pembelajaran ini tersebut makin dirasa perlu untuk ditingkatkan mengingat tantangan masa depan yang jauh lebih kompleks dari sekarang. Karena itu, pendidikan di madrasah (MI) hendaklah dilakukan secara terbuka dan dirumuskan secara jelas, agar pendidikan di MI tersebut memberikan ruang gerak yang elastis, terarah, holistik, dan tidak diskriminatif dalam memperlakukan setiap anak bangsa menuju proses pendidikan sekolah yang mandiri, profesional, dan kompetitif. Untuk itu, ada sejumlah tawaran yang dihadapkan kepada pendidikan di madrasah (MI) yang perlu disikapi terutama menyangkut sistem dan kinerja madrasah, antara lain: 20 1. Pendidikan haruslah mampu membebaskan peserta didik dari pengaruh sistem pendidikan kolonial yang selama ini mengungkung sistem pendidikan kita menuju kemandirian, sistem pendidikan yang kaku, dan sistem pendidikan yang diskriminatif. 2. Efisiensi waktu dan usia belajar di sekolah. 3. Mengarahkan pendidikan kepada prediksi masa depan yang lebih baik (menjanjikan). 4. Mempercepat dan memperjelas arah pencapaian visi, misi, pendidikan. 5. Mewujudkan kebermaknaan pendidikan kepada masa depan yang lebih pasti bagi peserta didik, orang tua, dan masyarakat secara lebih luas terutama yang berorientasi kepada lapangan kerja. 6. Memberikan jaminan atas praktek-praktek pendidikan yang tidak manusiawi. 7. Memperlakukan peserta didik secara adil tanpa melihat ras, daerah, kelebihan dan status sosial. 8. Memberikan komitmen yang kuat atas kesadaran bersama untuk kemajuan pendidikan. 9. Pendidikan sudah seharusnya menyediakan sarana informasi kepada masyarakat tentang pendidikan yang ada dan disediakan oleh madrasah. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan dan praktek pendidikan yang dinilai memberikan proporsi pelayanan, manajemen, birokrasi, pembiayaan dan sistem yang tidak efektif, yaitu: a. Pendidikan yang dilaksanakan di madrasah (MI) haruslah dapat dipahami sebagai investasi, b. Pendidikan haruslah menjamin hak setiap peserta didik untuk mengenyam pendidikan, c. Pendidikan haruslah dapat diorientasikan kepada sifting paradigm, d. Pendidikan kita harus bersih dari ajang bisnis, dan e. Pembenahan dualisme keilmuan dan birokrasi. a. Pendidikan Sebagai Investasi Di negara-negara maju seperti Amerika, melihat bahwa pendidikan merupakan suatu piranti penting dalam memajukan negara, layaknya sebagai perusahaan yang menawarkan investasi penting di dalamnya. Bahkan beberapa negara seperti Malaysia dan Singapura cenderung melihat bahwa pendidikan merupakan pemasok utama kemajuan negara. 21 Karena itu, di negara-negara tersebut memberikan perhatian yang sangat serius terhadap eksistensi pendidikan. Kondisi seperti ini, cukup beralasan, mengingat bahwa dengan pendidikan yang maju, maka hampir semua aspek kehidupan masyarakat dapat ikut terjamin kelestariannya, baik masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, sampai kepada masalah-masalah lainnya. Para pakar pendidikan seperti Harold G. Shane, menyatakan bahwa pendidikan harus didesain untuk merancang kebutuhan masa depan dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya, pendidikan memegang peranan strategis untuk memperkirakan sekaligus mengukur masa depan yang diinginkan dengan berbagai pertimbangan logis. Tidak kalah menariknya juga, Everett Reimer (2000), dalam bukunya An Essay on Alternatives in Education yang menyatakan bahwa pendidikan tidak boleh mempersiapkan orang untuk suatu hal lain atau pun menjadi hasil sampingan dari aktivitas lain. Pendidikan harus merupakan suatu aktivitas yang benar-benar dimaksudkan untuk membantu manusia agar dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan atas dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungannya. Dengan demikian, pendidikan sebagai suatu investasi, haruslah didesain (dirancang) sesuai dengan kebutuhan sipemakainya, untuk memberikan kesempatan agar dapat bertindak secara cerdas dan arif. Dengan demikian, pendidikan di sekolah hendaknya diorientasikan kepada pemenuhan kebutuhan sipemakai terlepas dari adanya politik aliran. Karena, politik aliran, pada prinsipnya dapat menghambat tercapainya hakekat pendidikan, yang menurut H.A.R. Tilaar (1999), bahwa hakekat pendidikan itu dapat didefinisikan dengan bermacam-macam, akan tetapi dari definisi tersebut, dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologis atau metafisik. Lebih lanjut H.A.R Tilaar mengungkapkan bahwa, hakikat pendidikan tersebut dapat didekati melalui dua pendekatan, yaitu 1) Pendekatan reduksionisme, 2) Pendekatan holistik integratif. Dari masing-masing pendekatan hakikat pendidikan tersebut, kelihatan bahwa investasi pendidikan merupakan mata rantai yang sangat panjang, menyangkut masalah pendewasaan pendidikan, tanggung jawab, religiusitas, mewujudkan visi suatu masyarakat yang diinginkan, sampai kepada kecenderungan untuk menerapkan hidup secara sosial. Melihat kenyataan ini, investasi pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk ditempuh bagi suatu negara, mengingat bahwa pendidikan 22 memiliki peran yang cukup besar, tidak saja bagi peserta didik tersebut, tetapi juga bagi pembangunan negara. Dengan demikian, investasi pendidikan, sudah semestinya memperoleh perhatian yang serius dan komprehensif dari semua pihak, agar dalam jangka waktu tertentu, mampu memberikan nilai balikan (rate of return). b. Jaminan Mengenyam Pendidikan Alam demokrasi tentunya sangat menghargai asas persamaan manusia; yaitu dengan adanya prinsip ekualitarium, artinya setiap manusia harus memiliki nilai intrinsik (all men have intrinsic worth) yang harus dihargai. Equal di sini bukan berarti identik; sebab setiap individu tentunya memiliki kapasitas dan bakat yang berbeda dan bervariasi. Namun, persamaan di sini harus diartikan bahwa setiap pribadi harus diberi kesempatan yang sama untuk berkembang dan memperoleh pendidikan. Pendidikan anak bangsa ini memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan pendidikan pada setiap jenjang dan tingkatan pendidikan. Untuk itu, pendidikan haruslah diarahkan kepada adanya jaminan pemenuhan atas hak dan kesempatan memeperoleh pendidikan tersebut. Keberpihakan kepada setiap anak bangsa dalam menjamin kesempatan dan pemenuhan hak untuk mengenyam pendidikan tersebut, haruslah dapat dimplementasikan dalam bentukan kebijakan dengan memperhatikan skala prioritas pendidikan. Banyak faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi hilangnya kesempatan bagi anak bangsa untuk mengenyam pendidikan, antara lain disebabkan oleh: 1. Adanya kecenderungan diferensiasi sekolah, seperti sekolah favourite, kelas favourite, kelas unggul, dan sejenisnya, 2. Diferensiasi kondisi geografis menyebabkan distribusi sekolah secara tidak merata. 3. Adanya kecenderungan bagi guru untuk mengajar di kota ketimbang di desa. 4. Rendahnya pendapatan masyarakat. 23 c. Pendidikan Berorientasi kepada Kualitas dan Pemberian Peluang bagi Peserta Didik Orientasi pelayanan dan mutu pendidikan sekolah, merupakan dua mata rantai yang belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Lemahnya orientasi ini, menyebabkan pendidikan sekolah belum memberikan hasil yang cukup memuaskan bagi peningkatan tarap dan bekal hidup bagi anak bangsa, bahkan melek huruf pun masih banyak yang luput dari jangkauan pendidikan sekolah. Luputnya, dari jangkauan pendidikan sekolah ini, boleh jadi disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak merata, persoalan sikap mental, atau justru disebabkan persaingan prestise pendidikan sekolah yang didominasi oleh kelas yang berada, sehingga memperpuruk kesempatan. Karena itu, pendidikan sekolah bagi anak bangsa ini, harus mampu membuka jaringan yang lebih luas, baik antar sekolah, maupun daerah untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada setiap anak bangsa agar dapat menikmati pendidikan, sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa. Jaringan atau kerjasama bagi pendidikan ini, sangat diperlukan untuk mengukur tingkat kualitas, distribusi peserta didik, kesempatan, peluang, perluasan dan pengembangan pelayanan pendidikan di madrasah. Persaingan yang ketat, juga menuntut madrasah kita untuk melakukan terobosan dalam menyikapi sejumlah persoalan seperti rekrutmen peserta didik, pemunculan prestasi, penciptaan image melalui media, seringnya melakukan kontrol mutu dengan standar tertentu, serta penciptaan jaringan bagi perluasan kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan madrasah. d. Pendidikan Kita Harus Bersih dari Ajang Bisnis Seperti halnya di luar pendidikan, selama beberapa waktu, telah disibukkan oleh aktivitas bisnis, begitu pula yang melanda pendidikan madrasah kita. Kondisi aktivitas ini mendesak dunia pendidikan sebagai lembaga pendidikan sekolah yang tidak menawarkan profit, telah memaksanya untuk mempraktekkan cara-cara bisnis dalam dunia pendidikan sekolah. Sudah jelas yang menjadi sasarannya tidak lain adalah peserta didik, dengan berbagai alasan, mulai dari praktek membeli diktat, resensi, transiliterasi (terjemahan), sampai kepada praktek menjual buku (buku daras) dengan imbalan discount. 24 Praktek seperti ini jelas membebani orang tua peserta didik, dengan tingkat pendapatan yang tidak sama, di samping akan mematikan tradisi keilmuan, dengan hanya mengandalkan hasil rujukan yang diperoleh dari sumber-sumber yang jelas. Lemahnya sistem kontrol pendidikan kita, menyebabkan merajalelanya kebijakankebijakan sesaat, yang menguntungkan segelintir orang. E. KOMPETENSI DOSEN PGMI Masa depan pembinaan agama melalui pendidikan sangat tergantung pada adanya kesadaran, perhatian, dan tanggung jawab guru selaku pendidik, di samping adanya kesungguhan dan kemampuan pemerintah dalam memposisikan guru sebagai bagian penting dalam menumbuhkan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk kongkrit dari kepedulian pemerintah mengenai peningkatan kualitas dan peran pendidikan adalah dengan lahirnya program PGMI bagi 62 PTAI se-Indonesia. Program PGMI sebagai embrio pengembangan kompetensi paedagogik guru agama di madrasah menjadi pilihan strategis dalam melahirkan guru yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan dan tantangan pendidikan agama, sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional selama ini. Sebagai program yang terarah, maka program PGMI haruslah melibatkan peran dan kompetensi dosen secara maksimal dalam situasi pembelajaran kepada para mahasiswa (calon guru MI). karena itulah, maka program PGMI sebagai strategi dan wadah melahirkan guru yang profesional sangatlah ditentukan oleh kompetensi dosennya. Karena itulah, salah satu unsur terpenting yang menjadi perhatian bagi pengembangan PGMI di 62 perguruan tinggi IAIN dan UIN seIndonesia adalah dosen. Dosen merupakan SDM pendidikan yang memegang peranan penting dalam proses transfer of knowledge, transfer of value ang transfer of experience kepada peserta didik. Karena itu dosen memegang peran kunci dalam melakukan transformasi pendidikan kepada mahasiswa program PGMI agar menjadi berhasil. Untuk memberikan layanan pendidikan yang berkualitas pada guru MI melalui program PGMI, maka dosen yang menjadi tenaga pengajar adalah diupayakan secara bertahap melalui pengadaan dosen PGMI atau dari lulusan pendidikan khusus (cross program) Dosen PGMI se-Indonesia, kemudian dosen yang mengajar tersebut adalah memiliki jenjang pendidikan minimal strata dua 25 (S2), memiliki kepribadian menarik, memiliki jiwa keguruan, dan memiliki kompetensi keguruan. Yakni, kompetensi pedagogis, kompetensi personal, kompetesi sosial dan kompetensi profesional. Menurut Ahmad Tafsir (2003), jika dipersoalkan tentang siapakah sebenarnya yang bertanggung jawab dan paling berkepentingan terhadap keberhasilan pendidikan anak (peserta didik) dalam mengantisipasi perubahan masa depan, maka sudah tentu adalah secara khusus adalah sekolah, guru dan orang tua, akan tetapi secara umum adalah pemerintah. Patut diakui bahwa guru selama ini telah memberikan kontribusi besar dalam menanamkan nilai-nilai agama bagi perkembangan pribadi anak, akan tetapi besarnya tanggung jawab guru tersebut tidak sebanding dengan derasnya arus globalisasi. Keberhasilan pembangunan khususnya di bidang pendidikan agama baik berskala nasional maupun lokal akan ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengelola pendidikan agama. Di mana di dalamnya guru menempati posisi utama dan penting. Memang harus diakui dan tidak dapat disangkal, selama ini peran guru diperlakukan kurang taat asas dalam arti dinyatakan sebagai sosok yang teramat penting dalam tatanan pendidikan, Selama ini ada anggapan bahwa potensi SDM guru merupakan potensi yang sulit untuk diaktualisasikan dalam realitas empirik, karena bidang sentuhan bagi guru adalah mata pelajaran keagamaan, yang tendensinya lebih banyak mengarah pada nilai-nilai ukhrawi. Bahkan lebih parah lagi, ternyata guru yang ada tidak mampu memberikan sebuah upaya pencerahan. Potensi SDM guru sebenarnya sangat luas yang meliputi beberapa kecerdasan seperti kecerdasan intelektual, emosional, kinestetik, dan adversity. Di samping itu, potensi guru juga meliputi kemampuan profesional/kompetensi, serta adanya sejumlah pengetahuan teknologi yakni kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang tidak kalah pentingnya dan sekaligus menjadi ciri khas guru adalah dimilikinya akhlak yang luhur, sehingga diharapkan dengan akhlak yang luhur ini dapat melahirkan anak shaleh, masyarakat dan bangsa yang shaleh. Dalam kerangka tugas guru, peserta didik juga dibekali dengan penguatan agama alternatif baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Dalam konteks profesi sebagai guru di madrasah, Shaleh (2000) mengatakan, jabatan guru adalah pelaksanaan tugas profesionalisme dan jabatan tersebut melekat pada orangnya, sehingga di dalam masyarakat seorang guru dan 26 juga seorang guru lembaga agama dimanapun selalu diberi panggilan Pak guru, Pak Guru Agama atau Pak Ustadz. Secara sederhana pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus disapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat atau tidak memperoleh pekerjaan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pekerjaan profesional adalah pekerjaan yang dipersiapkan melalui proses pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang harus dipenuhinya, maka semakin tinggi pula derajat profesi yang diembannya. Tinggi rendahnya pengakuan profesionalisme sangat bergantung kepada keahlian dan tingkat pendidikan yang ditempuhnya. Permasalahan pokok dalam jabatan profesi adalah pelaksanaan dan konsekuensi jabatan tersebut terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Dalam hubungan itu sekurang-kurangnya terdapat tiga tugas dan tanggung jawab guru, termasuk guru MI yaitu: 1. Tugas dan tanggung jawab sebagai pengajar, 2. Tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik dan pembimbing 3. Tugas dan tanggung jawab sebagai administrator kelas. Ketiga tugas tersebut merupakan tugas pokok profesi guru. Guru sebagai pengajar lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknik mengajar, di samping menguasai ilmu atau bahan pengajaran yang akan diajarkannya. Sementara itu tugas dan tanggung jawab guru menurut Shaleh (2000) mengungkapkan bahwa, tugas dan tanggung jawab guru meliputi: 1) upaya pengembangan kurikulum, 2) tanggung jawab dalam pengembangan profesi, dan 3) tanggung jawab dalam membina hubungan dengan masyarakat. Strategi penyiapan guru PGMI ke depan dapat dilakukan melalui paling tidak dua paradigma, yaitu paradigma kelembagaan dan potensi SDM guru. Secara kelembagaan, lembaga pendidikan agama yang ada selama ini bersifat konvensional, dan pendidikan yang diselenggarakan bersifat holistik, serta lulusannya pun memiliki kompetensi yang sama untuk dipersiapkan menjadi guru pada setiap jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA, akibatnya 27 profesionalitas, kompetensi serta kemampuan daya nalar kognitif, afeksi serta psikomotorik dalam interaksi pembelajaran relatif sama. Kompetensi, profesionalitas, serta kemampuan daya nalar belum didekati secara spesifik melalui pendekatan didaktik metodik, pendekatan profesi keguruan, serta pendekatan integratif melalui seperangkat nilai melalui tawaran kurikulum yang khas. F. KOMPETENSI SARJANA PGMI 1. Mampu menciptakan suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan (PAKEM = Pembelajaran Aktif Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) 2. Mampu memahami sikap dan perilaku peserta didik secara komprehensif 3. Mampu menyampaikan materi dengan mudah difahami oleh peserta didik 4. Mampu berkomunikasi dengan baik dengan peserta didik, sesama guru, dengan staf, dengan atasan dan dengan orang tua maupun masyarakat. 5. Mampu menguasai materi kurikulum MI/SD dengan baik. 6. Memiliki keterampilan di MI dan SD (OR, Seni, KTP, ktp menulis, kreatif, cerdas, kesehatan anak dan pramuka) 7. Mampu memahami dan menguasai tentang: Pancasila, UUD 45, adat istiadat, kebangsaan, kemajemukan, pembangunan daerah dan nasional, Gender, Narkoba, Korupsi dan KKN) 8. Mampu mengajak anak melakukan praktek Ibadah yang baik dan benar 9. Mampu menciptakan kesempatan kepada anak belajar sambil bermain, di luar ruangan kelas atau di tempat sumber belajar lain 10. Mampu mengelola kelas (menciptakan Iklim belajar dan budaya belajar) 11. Mampu menerapkan sopan santun dalam perilaku dan pakain (akhlaq) 12. Mampu menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang variatif dan Mutakhir 13. Mampu mendesain dan mengembangkan sumber-sumber belajar 14. Mampu mengembangkan dan melakukan evaluasi yang variatif: Formatif, sumatif, komprehensif, alternatif, portfolio dll. 15. Mampu berbahasa Arab, Inggris dan Mandarin/Jepang untuk tingkat MI/SD. G. STANDAR SARJANA PGMI IAIN DAN UIN 28 Setiap lembaga penyelenggara pendidikan nasional hari ini mesti memiliki standar nasional pendidikn (SNP). Hal ini selain amanat PP No.19/2005, juga tagihan dari kompetisi SDM lokal, nasional dan Global. Terlebih dengan makin leluasanya franchise pendidikan yang telah dan akan terus merambah di seantero nusantara. Disadari atau tidak secara cepat atau lambat akan menggusur kearah marginalisasi pendidikan nasional. Setiap lembga pendidikan yang memiliki akuntabilitas, dia harus peka dan punya standar yang sekaligus sebagai jaminan bagi output dan outcome yang akan hasilkan. Dengan adanya standar pendidikan, lembaga dan sivitas akademika serta karyawan akan berpacu mengejar target bagi capaian standar yang telah ditetapkan. Standar lembaga pendidikan dapat pula diartikan dengan adanya jaminan lembaga terhadap kualitas pendidikan (quality assurance). Banyak kasus pendidikan di negara maju maupun di Indonesia membuktikan, bahwa pendidikan yang memiliki standar mutu justru dikejar dan diminati oleh masyarakat, walaupun masyarakat harus mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan pendidikan yang outputnya terstandar. Sebaliknya, malah banyak pendidikan yang murah dan tidak punya standar, maka tidak dilirik oleh masyarakat, dan pendidikan tersebut melaksanakan pendidikannya hanya sekedar gugur kewajiban. Terlepas pendidikan tersebut mahal atau murah, yang jelas masyarakat hari ini sangat memahami akan pentingnya pendidikan berkualitas. Persoalan keterjangkauan ekonomi masyarakat sangat relatif, karena cukup banyak peluang pembiayaan bagi masyarakat yang kurang mampu untuk dapat menikmati pendidikan pada semua tingkatan hari ini. Pemerintah dan swasta sudah sangat sungguh memberikan kepedulian bagi biaya pendidikan, utamanya melalui peluang bea siswa, belum lagi bantuan langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat pendidikan dan masyarakat umumnya. Berdasarkan tagihan masyarakat dan stakeholder yang kian ketat dan tinggi terhadap output pendidikan, maka sudah selayaknya lembaga pendidikan tinggi agama Islam pun berbenah menyiapkan standar output dan outcomenya. Standar mutu sarjana PTAI ini harus bersifat institutif, agar terukur secara komprehensif. Beberapa standar minimal yang harus dimiliki oleh sarjana PTAI adalah: 29 1. Minimal Hafidz dan hafizdah Juz Amma Tagihan sarjana PTAI dalam konteks ini adalah penguasaan dan pemahaman surat pendek Juz Amma (mulai dari surat (al-Naba s/d al-Nas), atau 37 surat pendek) yang dibuktikan dengan selembar sertifikat. 2. Menguasai dan hafal minimal 40 ayat dan 40 Hadits yang terkait dengan: Tauhid, Ibadah, Muamalah dan Akhlaq Ayat dan Hadits yang ditagih terkait dengan epistemologi kemengapaan dan bukan epistemologi kebagaimanaan, karena itu adalah tagihan fakultas dan jurusan. 3. Menguasai teknologi Komputer dan informatika Penguasaan media visual dan audio visual melalui program aplikasi minimal: Word, Powerpoint, Excel, Website/internet (e-Learning). yang dibuktikan dengan sertifikat dari Pusat atau lembaga Komputer. 4. Penguasaan Bahasa Asing: Arab dan Inggris Penguasaan bahasa Inggris dan Arab dibuktikan dengan perolehan skor (TOEFL untuk bahasa Inggris dan TOAFL untuk bahasa Arab minimal 400), yang dibuktikan dengan sertifikat dari Lembaga Bahasa yang terstandar. 5. Skill Praktek Ibadah Skiil dan praktek ibadah ditunjukkan dengan kecakapan menjadi Khatib Jumat, Penceramah, Imam, Bilal, mengurus Jenazah, mengucapkan dan menulis alQur’ an secara benar dan membacanya secara tartil yang dibuktikan dengan sertifikat 6. Mampu membaca serta memahami kitab kuning (turats), minimal secara pasif 7. Setiap sarjana PTAI harus selesai memiliki IPK minimal 3,25. Masih terdapat standar mutu yang lain, yang dapat ditagih sesuai dengan kompetensi Fakultas, jurusan, prodi atau kosentrasi msing-masing. Prinsipnya standar yang dikemukakan adalah standar Institusi dan harus berlaku secara konprehensif, bagi seluruh sarjana yang berasal dari jurusan dan fakultas apapun di sebuah lembaga PTAI. H. KURIKULUM PGMI Kurikulum PGMI yang disusun, merujuk kepada dimensi yang dikemukakan oleh bapak Kurikulum yakni, Ralp W. Tyler (1949), dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction. Tyler mengemukakan ada empat dimensi yang dapat dikembangkan dalam sebuah kurikulum, yaitu: Pertama, Tujuan Pendidikan dan 30 pembelajaran. Kedua, Materi Ajar/Mata Kuliah (Content). Ketiga, Pengalaman Belajar/Proses Pembelajaran (Experience). Keempat, Evaluasi. Berikut diuraikan keempat dimensi tersebut ke dalam deskripsi dan indikator kurikulum. 1. TUJUAN PGMI Tujuan PGMI adalah melahirkan sarjana calon guru kelas yang memiliki kemampuan berpikir akademis, ahli dalam ilmu pendidikan dan pengajaran serta terampil menerapkan kompetensi keguruan secara Islami dalam pengabdian Dari tujuan PGMI itu terdapat empat dimensi, yaitu: Pertama; dimensi kemampuan berpikir kademis. Kedua; dimensi keahlian dalam ilmu pendidikan dan pengajaran. Ketiga; dimensi keterampilan menerapkan kompetensi keguruan. Keempat; dimensi Islami dalam pengabdian. Masing-masing dimensi ini dijabarkan ke dalam indikator sebagai berikut: 1. Dimensi Kemampuan Berpikir Akademis Berpikir secara akademis, akan melahirkan sikap dan perilaku yang proporsionalitas. a. Selalu berpikiran positif (Positif Thinking) b. Selalu berpikir kea rah kemajuan (Contructive Thinking) c. Selalu berpikir dengan cerdas (Smart Thinking) d. Selalu berpikir yang kreatif (Creative Thinking) e. Selalu berpikir sesuatu yang produktif (Productive Thinking) f. Selalau Berpikir secara Seni dan keindahan (Art Thinking) g. Selalu Berpikir Seimbang (Harmonisasi Thinking) h. Selalu berpikir sesuai aturan (Normatif Thinking) i. Selalu berpikir tentang kualitas (Exellence Thinking) j. Selalu berpikir yang terbaik (Perfect Thinking) k. Selalu berpikir prestasi (chievement Thinking) l. Selalu berpikir secara agamis/Islami (Religious Thinking) 2. Dimensi Ahli dalam Ilmu Pendidikan dan Pengajaran a. Menguasai metodologi pembelajaran (andragogis, pedagogis, dan didaktik metodis) 31 b. Menguasai model-model, metode dan stratgegi, media pembelajaran yang mutakhir serta evaluasi yang komprehensif c. Menguasai tentang bagaimana mendidik personaliti, karakter dan akhlaq calon guru dengan baik 3. Dimensi Keterampilan Menerapkan Kompetensi Keguruan a. Mampu menerapkan/melaksanakan seluruh proses pembelajaran b. Mampu memberdayakan sumber-sumber belajar dengan baik c. Mampu menggali potensi pesertda didik secara optimal d. Mampu berkomunikasi dengan baik dengan seluruh komunitas pendidikan e. Mampu memberdyakan dan mengembangkan bakat, kreativitas, kecerdasan emosi, dan budaya akademis peserta didik secara optimal 4. Dimensi Islami dalam Pengabdian Performance Islami dalam pengabdian adalah performance seorang yang beragama secara inklusif, sesuai dengan jiwa Islam sebagai “ rahmatal lil ‘ alamin” , dan sebagai pengejawantahan Islam yang universal dan unggul. Beberapa indikator dari dimensi ini terdiri atas: a. Saling kasih terhadap sesama (menerima perbedaan) b. Komitmen dan konsisten dengan ajaran agama (ketaatan) c. Empati dan toleran beragama d. Solidaritas beragama e. Sadar beragama f. Menjaga kebersamaan dan persamaan g. Menjaga kinerja dari berbgai penyimpangan h. Sabar dan ikhlas dalam pengabdian i. Jujur dan bertanggungjawab dalam amanah j. Memelihara pakaian yang pantas k. Berbicara yang pantas l. Memiliki disiplin (etos kerja) yang tinggi m. Memiliki semangat juang yang tinggi (ellans) n. Belajar dan berjuang kea rah prestasi puncak o. Memelihara sikap dan perilku Islami (performance) 32 2. CONTENT (Materi pembelajaran PGMI) Struktur content kurikulum sangat menentukan bagi capaian kompetensi sarjana PGMI yang akan dilahirkan. Setiap sebaran mata kuliah, haruslah menjawab kompetensi yang ingin dicapai. Maka itu, kompetensi harus terukur dan terjangkau oleh mata kuliah yang akan disebarkan dalam proses pembelajaran setiap semester. Struktur kurikulum yang ideal harus makin menunjukkan kompetensi prodi/jurusan yang bersangkutan. Kurikulum model ini disimbolkan dengan kurikulum model pyramid sempurna. Terlebih ketika kita memadukan kurikulum 2004, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang lebih menekankan proses dan kurikulum 2006 yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang lebih menekankan hasil. Kalau digambarkan struktur kurikulum ini, adalah sebagai berikut: 25% Ins/Un 35 % Fakultas 40 % Jurusan/Prodi Komponen keahlian Institut hanya diporsikan sejumlah 25 % dari total 160 SKS, atau sekitar 40 SKS. Sedangkan komponen Fakultas mengambil porsi sejumlah 35 % dari total 160 SKS, atau sekitar 56 SKS. Komponen program 33 studi/jurusan mengambil porsi terbesar yakni 40 %, atau sejumlah 64 SKS. Total secara keseluruhan dari 160 SKS yang ditawarkan untuk program PGMI ini terdapat sejumlah 62 mata kuliah, dengan sebarannya sebarannya berikut:. No Mata Kuliah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Ulumul Quran Ulumul Hadits Ilmu Kalam Fiqh Ilmu Tasauf Civic Education Bahasa Indonesia 1 Filsafat Umum Tekn. Infor. Dan Komputer Pendidikan Gender Pendidikan Anti korupsi Pendidikan Anti narkoba Ibadah Praktis Tahfiz Juz Amma Metodologi Penelitian Leadership Toefl Toafl Kukerta Adm. & Sup. Pendidikan Psikologi Perkembangan Dasar2 & Ilmu Pendidikan Psikologi Pendidikan Media Pembelajaran Met & Strat. Pembelajaran Etika Prof & Kmpt. Keguruan Desain Instruksional Sosiologi Pendidikan Psikologi Belajar Filsafat Pendidikan SKS SMT 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4* 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 KODE 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 3 3 6 6 6*/7* 5 3 1 1 3 3 4 3 5 5 4 IN. 101 IN. 102 IN. 103 IN. 104 IN. 105 IN. 106 IN. 107 IN. 108 IN. 109 IN. 110 IN. 111 IN. 112 IN. 113 IN. 114 IN. 115 IN. 116 IN. 117 IN. 118 IN. 119 TAR.101 TAR.102 TAR.103 TAR.104 TAR.105 TAR.106 TAR.107 TAR.108 TAR.109 TAR.110 TAR.111 Ket: * Kukerta terpadu dapat dilakukan pada smt 6 atau 7, jika Mahasiswa telah menyelesaikan minimal 120 SKS. No. 31. 32. 33. 34. 35. 36. Mata Kuliah Filsafat Ilmu Statistik Pendidikan Sejarah Pendidikan Perbandingan Pendidikan Psikologi Agama Bahasa Arab 1 SKS SMT 2 2 2 2 2 2 4 2 2 6 6 1 KODE TAR.112 TAR.113 TAR.114 TAR.115 TAR.116 TAR.117 34 37. 38. 39. 40. 42. 43 44 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. Bahasa Arab 2 Bahasa Inggris 1 Bahasa Inggris 2 Microteaching (Labor) Prak. Peng. Lapangan Terpadu Bimbingan Skripsi Skripsi Pendidikan IPA 1 Pendidikan IPA 2 Pendidikan IPA 3 Pendidikan Olah Raga Pendidikan Kesenian Pendidikan Kewarganegaraan 1 Pendidikan Kewarganegaraan 2 Pendidikan MTK 1 Pendidikan MTK 2 Pendidikan MTK 3 Pengemb Bkt & Kreat. Anak Kecerdasan Emosional Guru Psikologi Anak Ktp. Menulis & Menggambar Adat Istiadat & Bud. Daerah Qiraatul Qur’ an dan Imla 2 2 2 3 3* 2 6 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 5 6*/7* 6 7/8 3 4 5 4 4 4 5 3 4 5 6 6 5 5 6 1 TAR.118 TAR.119 TAR.120 TAR.121 TAR.122 TAR.123 TAR.124 MI.101 MI.102 MI.103 MI.104 MI.105 MI.106 MI.107 MI.108 MI.109 MI.110 MI.111 MI.112 MI.113 MI.114 MI.115 MI.116 Keterangan * PPLT dapat dipadukan dg Kukerta pada smt 6 atau 7. No. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. - Mata Kuliah Pend. Kerajinan Tangan Pendidikan IPS 1 Pendidikan IPS 2 Pendidikan Kesehatan Anak Pendidikan Pramuka Pdd. Kepribadian & Etika Berpakaian Guru Bahasa Arab 3 Bahasa Inggris 3 Bahasa Mandarin 1 Bahasa Mandarin 2 Bahasa Indonesia 2 Pengemb. Kurikulum MI Bimbingan Konseling di MI Pengemb. Sumber bel. di MI Eva. Pembelajaran di MI Jumlah SKS SMT KODE 2 2 2 2 2 2 4 3 4 6 6 5 MI.117 MI.118 MI.119 MI.120 MI.121 MI.122 2 2 2 2 2 2 2 2 2 160 3 3 3 4 2 5 5 5 4 - MI.123 MI.124 MI.125 MI.126 MI.127 MI.128 MI.129 MI.130 MI.131 - 3. EXPERIENCE (Proses pembelajaran) 35 Proses pembelajaran sangat menentukan bagi tercapainya materi yang diajarkan. Mengingat peserta didik yang dihadapi adalah mereka yang relatif memasuki usia dewasa, maka selain menggunakan pendekatan andragogis juga menerapkan pendekatan pedagogis. Pendekatan andragogis lebih diarahkan bagi kematangan peserta didik dalam akademis, keilmuan dan keterampilan. Pendekatan pedagogis dimaksudkan agar calon guru memahami karakteristik peserta didik di MI adalah masih anak-anak. Sebagai calon sarjana PGMI, harus memahami bahwa mereka justru akan menjadi calon guru MI dan bukan menjadi guru bagi anak yang sudah remaja atau dewasa. Kedua pendekatan ini harus dikuasai oleh peserta didk dengan baik. 4. EVALUASI PEMBELAJARAN Evaluasi pembelajaran adalah usaha untuk mengukur ketercapaian standar yang ditetapkan bagi peserta didik PGMI. Evaluasi harus lebih mengandalkan evaluasi menyeluruh, yaitu: evaluasi formatif, evaluasi sumatif, evaluasi alternatif, evaluasi komprehensif dan portfolio. Selain evaluasi yang sudah populer yakni formatif dan sumatif, sebaiknya menggunakan evaluasi dalam bentuk lain yang dikenal dengan evaluasi alternatif dan komprehensif. Evaluasi ini digunakan lebih untuk melihat aspek lain, selain aspek kognitif. Sebagaimana diketahui, bahwa penilaian dengan menggunakan tes formatif dan sumatif, hanya dapat mengukur kemampuan peserta didik dari ranah kognitif atau pengetahuan. Sementara ranah afektif dan psikomotor, relatif belum tersentuh melalui tes-tes tersebut. Untuk itulah berkembang pandangan, dengan memberikan alternatif evaluasi dalam bentuk lain yaitu alternatif dan komprehensif. 1. Evaluasi Alternatif Evaluasi alternatif, lebih difokuskan pada pemberian berbagai aktivitas melalui tagihan belajar baik di kelas maupun di luar kelas. Tagihan belajar yang dievaluasi harus sesuai dengan topik materi yang di ajarkan. Hal ini, penting diperhatikan, karena kalau tagihan belajar yang dievaluasi tidak sesuai dengan materi, maka tidak akan memberikan kontribusi bagi peserta didik untuk pencapaian kompetensinya. Oleh karena itu, evaluasi alternatif juga adalah alat ukur bagi ketercapaian kompetensi seseorang. Beberapa jenis evaluasi alternatif yang dapat dilakukan oleh seorang guru di antaranya: 36 a. Resume buku b. Kliping koran/majalah c. Paper/makalah d. Tugas keterampilan e. Tugas hapalan (harus di setor dikelas) f. Tugas olah raga g. Pekerjaan rumah (PR/takehome) h. Tugas kesenian i. Kinerja j. Kompetensi k. Partisipasi l. Kehadiran m. dll. Evaluasi alternatif ini, oleh Hisyam Zaini, dkk., (2002) dirangkum ke dalam sepuluh hal, yang dikenal dengan “ 10 P” , yaitu: a. Paper (makalah) b. Presentation (presentasi) c. Participation (partisipasi) d. Project (proyek atau penelitian) e. Practice (praktek) f. Performance (performa atau kinerja) g. Pre-test (pre-tes) h. Proposal Writing (penulisan proposal) i. Portofolio (portopolio), dan j. Precence (kehadiran) Semua tugas yang dievaluasi ini, ada yang dapat dilakukan langsung oleh peserta didik di sekolah dan ada juga yang harus di bawa pulang, dan atau harus mengumpulkan dari berbagai sumber seperti: buku, koran, majalah, labor, perpustakaan, museum, kebun binatang dan sebagainya. Semua tugas yang diberikan, harus dibaca dan dinilai oleh guru dengan teliti dan sungguh-sungguh, agar tidak salah dalam melakukan evaluasi atas hasil pekerjaan peserta didik. Ada saja kemungkinan, bagi guru yang malas, setiap tugas yang dikumpulkan hanya dilihat covernya saja, lalu dicatat dan nilai diberikan asal-asalan. Bagi cover tugas yang bagus, nilainya dikasih bagus, dan sebaliknya bagi covernya yang jelek, maka jelek pula nilainya. Kebiasaan jelek seperti ini, 37 harus ditinggalkan oleh seorang guru. Karena dalam menilai, ada tanggung jawab dipundak kita yakni tanggung jawab profesional, pedagogis dan moral. Dalam menilai hasil belajar dengan alternatif ini, maka seorang guru harus membuat standar dari tugas yang diberikan. Standar ini, dibuat melalui sistem patokan, misalnya: Ø Memuaskan = 85 – 100 (A) Ø Sangat Baik = 80 – 84 (A-) Ø Baik = 75 -79 (B+) Ø Sedang = 70 – 74 (B) Ø Cukup = 65 – 69 (C+) Aspek yang dinilai, juga harus dibuat standarnya. Hal ini untuk menghindari penilaian subjektif dan bias terhadap peserta didik. Penilaian yang bias, selain merugikan peserta didik juga mengaburkan capaian kompetensi hasil belajar yang telah ditetapkan. Seorang guru, harus konsisten dalam menarik patokan dan standar nilai ini. Bagi guru yang malas, tentu saja penilaian semacam ini, sangat rawan, ke arah merugikan peserta didik. 2. Evaluasi Komprehesif Penilaian komporehensif adalah evaluasi yang lebih menekankan pada aspek kemampuan peserta didik secara keseluruhan. Penilaian ini didasarkan atas kinerja yang dicapai baik dikelas maupun di luar kelas. Penilaian komprehensif biasanya dilengkapi dengan lembar atau buku portfolio peserta didik. Penekanan utama penilian komprehensif diutamakan berbasis kelas, karena dalam konteks penilaian ini seorang guru langsung merekam setiap perkembangan belajar peserta didik, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Kemudian, sisi mana yang dipandang guru masih lemah, maka guru melakukan perbaikan dalam pembelajaran. Berikut disajikan format penilaian komprehensif yang dapat digunakan dan atau dikembangkan dalam pembelajaran. 38 LEMBAR PROGRESS RECORD KOMPETENSI PESERTA DIDIK (EVALUASI BERBASIS KLS) Nama/NIM Semester Mata Pelajaran Prodi/Jurusan NO : : : : TATAP MUKA PROGRESS RECORD ASPEK 1 Kognitif (Pengetahuan) 2 Sikap/Perilaku (Attitude/ Behavioral) 3 Keterampilan (Skill) -Pemahaman thd. Transfer of Knowledge and Experience -Pengayaan/Penguatan Materi yang diajarkan -Penguasaan Ilmu (materi) yang disampaikan -Interpretatif Materi yang disampaikan -Penampilan Pisik (Performance) -Disiplin -Etika Menyampaikan Pesan -Memiliki Semangat/Gairah Belajar -Etika dan Emosi selama di Kelas -Keingintahuan (Curiousity) -Kreativitas dan Keinovatifan peserta Didik -Etika dalam Menjawab dan Mengajukan Pertanyaan -Etika dalam berdiskusi -Self Confidence (Percaya Diri) -Kemampuan Verbal -Kemampuan Presentasi dan Penjelasan (contoh/kasus) -Kemampuan Mengembangkan Materi/ Sumber -Kemampuan Problem Solving & Sollution -Kemampuan Kreativitas -Kemampuan aktif dan Interaktif dalam Belajar Ket. Nilai: 1 1. A= > 85 2. A- = 80 -84 3. B+ = 75 -79 2 3 4 5 4. B = 70 -74 6 7 8 Jlh 9 5. B- = 65 - 69 10 11 KET 12 6. C+ = 60–64 3. Jenis Evaluasi Tes Berdasarkan Ranah Pembelajaran Bloom Melakukan evaluasi, harus dipilih jenis alat ukur yang tepat untuk digunakan sesuai dengan tingkat atau ranah pembelajaran yang kita lakukan. Pilihan ini, disesuaikan dengan tingkat pendidikan, ranah dan level pada tiap ranah belajar yaitu; kognitif, afektif dan psikomotor, sebagaimana yang dikreasikan Bloom. Ketiga ranah belajar ini, dikembangkan teknik tesnya oleh Patricia Cranton dalam bukunya ” planning instruction for adult learner” (1989), masing-masing sebagai berikut. 39 1. Teknik Tes untuk Ranah Kognitif Level Ranah Multiple Choice True/ False Matching Short Answer Eassy Test Oral Test Checklist Rating Scale Comments Anecdotal Knowledge Comprehension Aplication Analysis Syntesis Evaluation Ya Ya Ya Boleh Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Boleh Tidak Tidak Tidak Tidak Boleh Ya Ya Ya Tidak Tidak Boleh Ya Ya Ya Boleh Boleh Boleh Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Boleh Boleh Boleh Boleh Boleh Boleh Ya Ya Ya Ya Eassy Test Tidak Oral Test Tidak Checklist Ya Rating Scale Tidak Comments Anecdotal Ya 2. Teknik Tes untuk Ranah Afektif Level Ranah Receiving Responding Multiple Choice Ya True/ False Boleh Matching Mungkin Short Answer Ya Ya Tidak Tidak Boleh Boleh Boleh Ya Tidak Ya Valuing Boleh Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Organization Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Value Complex Tidak tidak Tidak tidak ya ya tidak ya Ya Comments Anecdotal Boleh 3. Teknik Tes untuk Ranah Psikomotor Level Ranah Multiple Choice Tidak True/ False Tidak Matching Eassy Test Tidak Oral Test Tidak Checklist Tidak Short Answer Tidak Boleh Rating Scale Boleh Set Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Boleh Boleh Boleh Guided Respon Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Boleh Boleh Boleh Ya Mechanism Complex Over Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Boleh Boleh Boleh Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Boleh Boleh Ya Ya Adaptation Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Boleh Tidak Ya Ya Origination Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Boleh Tidak Ya Ya Perception Respon Keterangan: Ya = Selalu cocok Boleh = Boleh dalam situasi tertentu Tidak = Tidak cocok sama sekali 40 I. PENUTUP Demikianlah desain kurikulum Pendidikan Guru MI (PGMI) ini dirancang, untuk mendukung optimalisasi penyenggaraan program PGMI dan produktivitas serta efektivitasnya di PTAI se-Indonesia. Pemikiran ini dirasakan masih terdapat kekurangan di sana-sini, namun setidaknya pokok-pokok gagasan ini diharapkan dapat membantu dalam pengembangan PGMI yang baru ditetaskan sebagai sebuah kebijakan nasional oleh pemerintah secara kolektif di 62 lembaga PTAI se-Indonesia, tahun 2007. Semoga PGMI dapat berdaya melahirkan guru-guru kelas MI/SD yang terstandar dan berkualitas ke arah yang lebih baik dalam konteks kini dan ke depan. Semoga Allah memberkahi usaha dan pengabdian ikhlas kita, amin. Jambi, 17 Agustus 2007 Prof. Dr. H. Mukhtar, M.Pd Rektor IAIN STS Jambi 41 DAFTAR BACAAN Abdul Rachman Shaleh. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000. Ahmad Tafsir. Metodologi Rosdakarya, 2003. Pengajaran Agama Islam. Bandung: Remaja Anwar Arifin. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UndangUndang Sisdiknas. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2003. E. Mulyasa. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. karakteristik dan ---------------. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: RosdaKarya, 1999. Hadi Supeno, Agenda Reformasi Pendidikan. Jakarta: Paramedia, 1999, Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003. Hisyam Zaini, dkk. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Centre for Teaching Staff Development (CTSD). IAIN Sunan Kalijaga. Jogyakarta. 2002. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Lester R. Bittel, What Every Supervisory Should Know: The Basics of Supervisory Management, 5th edition, New York: Greg Division McGraw Hill Book Company, 1985, Muhaimin., Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pustaka Pelajar. 2003. Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung, Sinar Baru, 1989. PP. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan. Reimer, Everett. Matinya Sekolah. Yogyakarta: Prasetia Widia Pratama, 2000. Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, dan Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1986. 42 Stiggin, Richard J. Student Centered Classroom Assessment. New York:McMillan College Publishing Company, Inc, 1994. Strauss, George dan Syles, Leonard R. Personnel: The Human Problems of Management, 3 th edition. Toronto: Prentice, 1972. Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Rineka Cipta, 1995. UU. No. 20 tahun 2003. tentang Sisdiknas. UU. No. 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen. Tyler, Ralp W. Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: The University of Chicago Press. 1949. 43