KATA PENGANTAR Menghormati martabat manusia merupakan prinsip dasar dari Konvensikonvensi Jenewa. Orang-orang yang tidak turut serta secara aktif dalam pertikaian, termasuk yang tidak lagi turut serta karena cedera, sakit, tertawan ataupun sebab lainnya harus diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi terhadap kejahatan perang. Bantuan dan perawatan harus diberikan kepada para korban tanpa diskriminsi apapun. Protokol-protokol tambahan memperluas perlindungan tersebut untuk korban pertikaian bersenjatan dan pihak militer dan sipil. Selanjutnya, penyerangan yang diarahkan ke rakyat sipil maupun sasaran sipil dilarang, dan setiap pihak yang terlibat dalam pertikaian serta pasukan tempurnya diwajibkan untuk menjalankan peperangan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum humaniter yang telah disepakati. Ide penulisan buku diatas timbul karena wujud kepedulian yang besar terhadap masalah hak asasi manusia. Disamping itu untuk mempermudah para mahasiswa untuk memberikan kesempatan serta minat mahasiswa untuk mempelajari lebih dalam lagi. Buku ini tersusun tentu saja tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu perlu kami sampaikan terimakasih atas bantuannya hingga diterbitkannya buku ini. Diakui pula oleh kami bahwa buku ini masih terdapat kekurangannya, maka dari itu kami membutuhkan saran-saran yang membangun terhadap kesempurnaan buku ini nantinya. Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan masalah hukum, khususnya hukum humaniter internasional. Akhir kata sekali lagi kami sampaikan terimakasih. Semarang, Desember 2011-12-21 Penyusun i Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter atau hukum humaniter internasional.2 Hukum Humaniter (HH), sering kali juga disebut sebagai hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang, atau hukum konflik bersenjata, adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan Hukum Internasional Kebiasaan yang mengikutinya. HH menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat peperangan, yaitu terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi, biasanya berarti orang sipil. HH adalah wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan dalam hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan kebiasaan, yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Persidangan Mahkamah Perang Nuremberg. Dalam pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini juga menetapkan sejumlah hak permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi negara-negara yang berperang bila mereka berurusan dengan pasukan yang tidak reguler atau dengan pihak non-penandatangan. Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1: 1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/ The Hague Laws); 2 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humanter, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1994, hlm 1. 1 1 2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/ The Geneva Laws) Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut2: 1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; 2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu: a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws. b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini umumnya disebut The Geneva Laws. Berdasarkan uraian diatas, maka HH terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum DenHaag dan Hukum Jenewa3. Semula istilah yang digunakan adalah hukum perang. Tetapi karena istilah perang tidak disukai, yang terutama disebabkan oleh trauma Perang Dunia II yang menelan banyak korban, maka dilakukan upaya-upaya untuk menghidarkan dan bahkan meniadakan perang. Upaya-upaya tersebut melalui 4: 1. Pembentukan LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Karena para anggota organisasi ini sepakat untuk menjamin perdamaian dan keamanan, maka p ara anggota menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang, bila mereka terlibat dalam suatu permusuhan. 2. Usaha lain ialah terbentuknya Kellogg-Briand Pact atau disebut juga Paris Pact tahun 1928. Secara resmi Pact ini disebut Treaty for The Renunciation of War. Perjanjian ini ditandatangani oleh Jerman, Amerika Serikat, Belgia, Inggris, Perancis, Italia, Jepang, Polandia dan Ceska. Di dalam preambul dinyatatakan 2 3 4 Haryomataram, Hukum Humaniter, CV Radjawali, Jakarta, 1994, hlm 2-3. Lihat The Federal Ministry of Defence of The Federal of Republic of Germany VR II 3, Humanitarian Law in Armed Conflict, 1992, hlm 3. Haryomataram, Hukum Humaniter, op.cit, hlm 6. 2 bahwa mereka menolak atau tidak mengajui perang sebagai alat politik nasional, dan mereka sepakat akan mengubah hubungan mereka hanya dengan damai. Sikap untuk menghindari perang berpengaruh dalam penggunaan istilah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (Laws of Armed Conflict)5. Istilah hukum sengketa bersenjata (Law of Armed Conflict) sebagai pengganti hukum perang (Law of War) banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jeneva 1949 dan kedua Protokol Tambahan. Dalam perkembangan selanjutnya yaitu pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang yang konsepsikonsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity priciple). Dengan adanya perkembangan baru ini maka istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan lagi, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter yang berlaku dalam sengketa bersenjata (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict) atau biasa disebut Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata dan Hukum Humaniter, namun istilah tersebut memiliki arti yang sama. Dalam kepustakaan hukum internasional istilah hukum humaniter merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini lahir tahun 1970-an, ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on The Reaffirmation and Development in Armed Conflict tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter dari para ahli dengan ruang lingkupnya. Rumusan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menurut Jean Pictet 5 Hans Peter Gasser, International Humanitarian Law, Henry Dunant Institute, 1993, hlm 3. 3 “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being 2. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri” 3. Geza Herzegh merumuskan hukum humaniter internasional sebagai berikut: “Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. It’s place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these it’s purpose and spirit being different” 4. Esbjorn Rosebland merumuskan hukum humaniter internasional dengan mengadakan pembedaan antara: The Law of Armed Conflict berhubungan dengan: a.Permulaan dan berakhirnya pertikaian b. Pendudukan wilayah lawan c.Hubungan pihak bertikai dengan negara netral Sedangkan law of Warfare ini antara lain mencakup: a. Metoda dan sarana berperang b. Status kombatan c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil 5. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundangan undangan merumuskan sebagai berikut: 4 “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabak seseorang” Melihat pengertian dan atau definisi yang disebutkan di atas maka ruang lingkupnya hukum humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah dan aliran sempit. Jean Picket misalnya, menganut pengertian hukum humaniter dalam arti luas, yaitu bahwa HH mencakup Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana menurutnya HH hanya menyangkut Hukum Jenewa. Sedangkan Starke, menyatakan bahwa HH terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag6. 1.2. Asas-asas Hukum Humaniter Dalam hukum humaniter dikenal ada tiga asas, yaitu: 1. Asas Kepentingan Militer (military necessity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujua dan keberhasilan perang. 2. Asas Perikemanusiaan (humanity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. 3. 6 Asas Ksatria (chivalry) Haryomataram, op.cit, hlm 15-25. 5 Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. i 1.3. Tujuan Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip perikemanusiaan. Mohammed bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah memanusiawikan perang. Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut: 1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). 2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini terpenting adalah asas perikemanusiaan 7 . 1.4. Asal Usul Awalnya ada beberapa aturan yang tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang konflik bersenjata. Kemudian perjanjian-perjanjian bilateral (kartel) yang kerincian aturannya berbeda-beda, perlahan-lahan mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang berperang kadangkala meratifikasinya setelah pertempuran berakhir. Ada juga peraturan yang dikeluarkan oleh negara bagi pasukan-pasukannya. Kemudian hukum yang dapat berlaku dalam konflik bersenjata adalah hukum yang terbatas baik dalam hal waktu maupun tempat dan hukum itu sah hanya dalam satu pertempuran atau konflik tertentu saja. Aturannya bervariasi tergantung pada masa, tempat, moral dan peradaban. 7 F rederic de Mullinen, Handbook on The Law of The War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm 2. 6 Ada dua orang yang memegang peranan penting dalam pembentukan hukum humaniter, yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasannya dalam kenangan dari Solferino, diterbitkan pada tahun 1862. Berdasarkan kekuatan pengalaman perang pribadinya, Jenderal Dufour mengggunakan tiap waktunya untuk selalu memberikan dukungan moral secara aktif, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864. Akan menjadi sebuah kesalahan bila mengklaim bahwa pendirian Palang Merah tahun 1863 ataupun pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 menandai lahirnya hukum humaniter seperti yang dikenal sekarang ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat aturan sendiri, demikian pula belum pernah ada perang yang tidak memiliki aturan jelas ataupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan serta dalam hal bagaimana perang itu dilaksanakan. Secara keseluruhan, praktek-praktek berperang orang-orang primitif menggambarkan aneka ragam jenis aturan perang internasional seperti yang diketahui. Aturan pembedaan tipe musuh, aturan penentuan keadaan, kewenangan dan formalitas untuk memulai dan mengakhiri perang, aturan pembatasan jumlah orang, waktu, tempat, serta tata cara pelaksanaan dan pedoman berperilaku, bahkan aturan pencabutan atau penghentian perang semua ada di dalamnya. Hukum-hukum perang pertama telah diproklamsikan oleh sebagian besar peradaban ribuan tahun sebelum masa sekarang. Banyak naskah kuno seperti Mahabharata, Kitab Suci dan Al’Quran memuat aturan yang mendukung penghormatan terhadap pihak lawan. Contoh, Viqayet, sebuah naskah yang ditulis pada akhir abad 13 di masa kejayaan Negara Arab menguasai Spanyol, memuat sebuah pedoman perang yang sesungguhnya. Konvensi tahun 1864 dalam bentuk perjanjian multilateral kemudian dikodifikasi dan memperkuat hukum dan kebiasaan kuno yang terpencar dan terpisah satu dengan lainnya untuk melindungi orang yang terluka dan mereka yang merawatnya. 7 Bab III PERJANJIAN-PERJANJIAN YANG MEMBENTUK HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 3.1. Kronologis Pengadopsian Diawali dengan Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum humaniter yang ada sekarang ini berkembang dalam berbagai tahap, seringkali disusun setelah sebuah kejadian dimana Konvensi tersebut sangat dibutuhkan, untuk memenuhi perkembangan kebutuhan akan bantuan kemanusiaan sebagai akibat dari berkembangnya persenjataan dan konflik jenis baru. 3.2. Asal Usul Konvensi Den Haag 1899 Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang 11 . Membicarakan Hukum Den Haag berarti membicarakan hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907. Konvensi Den Haag 1899 Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag (18 Mei-29 Juli 1899) 12. Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari Rusia yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya Tsar Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu Konferensi Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide fundamental untuk menghidupkan lagi Konferensi Internasional yang gagal itu adalah Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holly Alliance tanggal 26 September 1815 antara Austria, Prusia dan Rusia). Seperti diketahui bahwa Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prusia dan Inggris tanggal 20 September 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina September 1814-Juni 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina September 1814- Juni 1815 untuk 1 1 Arthur Nusbaum, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Bina Cipta, Bandung, 1970 disadur oleh Sam Suhaedi Atmawiria, hlm 158. 12 Dietrich Schindler, The Laws of Armed Conflicts, Henry Dunant Institute, Genewa, 1981, hlm 49. 11 mengevaluasi kembali keadaan di Eropa setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo tanggal 18 Juni 181513. Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama 2 bulan menghasilkan tiga konferensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah: 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional 2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di darat 3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang Laut Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 1. Melarang penggunaan peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia. 2. Peluncuran proyektil dan bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang. 3. Penggunaan proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang. Konvensi –Konvensi Den Haag 1907 Konvensi-konvensi ini adalah merupakan hasil Konferensi Perdamaian ke II sebagai kelanjutan dari Konferensi Perdamaian ke I tahun 1899 di Den Haag 14. Dalam hubungannya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Den Haag pada tahun 1907 itu maka F Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan Keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula Hindia Belanda. Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, maka Hak dan Kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia melalui Persetujuan Peralian yang merupakan Lampira Induk Perjanjian KMB di Den Haag. 1 3 Marwati Djonoed Poeponegoro, Tokoh dan Peristiwa dalam Sejarah Eropa 1815-1945, Erlangga, Jakarta, 1982, hlm 132-282. 14 Haryomataram, op.cit, 1994, hlm 18. 12 Ketika susunan negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oleh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap Konvensi Den Haag 1907 tersebut15. 3.3. Asal Usul Konvensi Jenewa 1949 Pada tahun 1874 sebuah Konferensi Diplomatik diselenggarakan di Brussels atas inisiatif Kaisar Alexander II Rusia, mengadopsi sebuah Deklarasi Internasional mengenai hukum-hukum dan kebiasaan perang. Naskahnya tidak diratifikasi bagaimanapun juga karena beberapa negara yang hadir merasa berat untuk terikat dalam sebuah perjanjian. Walaupun demikian, Rancangan Brussels menandai sebuah tahap penting dalam pengkodifikasian hukum perang. Pada tahun 1934, Konferensi Internasional Palang Merah ke-15 berlangsung di Tokyo dan menyetujui naskah Konvensi Internasional mengenai kondisi dan perlindungan bagi penduduk sipil yang memiliki kewarganegaraan musuh yang kebetulan berada didaerah kekuasaan dari atau yang diduduki oleh salah satu negara yang berperang, yang rancangannya disusun oleh ICRC. Tidak ada aksi yang diambil terhadap rancangan naskah tersebut, pemerintah menolak untuk mengundang diadakannya konferensi diplomatik untuk memutuskan pengadopsiannya. Sebagai hasilnya rancangan Tokyo tidak diaplikasikan selama Perang Dunia Kedua dengan konsekuensi yang kita semua mengetahuinya. Empat konvensi Jenewa yaitu: 1. Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit di medan pertempuran darat. 2. Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang terluka, sakit dan korban karam. 3. Perlakuan terhadap tawanan perang. 1 5 F.Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1992, hlm 183-184 13 4. Perlindungan terhadap penduduk sipil pada waktu perang (baru). 3.4. Asal usul Protokol 1977 Konvensi Jenewa 1949 menandai suatu kemajuan pesat pada perkembangan hukum humaniter. Setelah dekolonisasi, bgaimanapun juga ngara-negara baru mengalami kesulitan untuk terikat dalam seperangkat aturan tertentu dimana mereka sendiri belum merasa siap. Lebih jauh lagi, perjanjian yang mengatur perilaku pada waktu permusuhan tidak dikembangkan sejak perjanjian Den Haag tahun 1907. Karena perevisian Konvensi Jenewa mungkin menimbulkan ancaman bagi kemajuan-kemajuan yang dibuat tahun 1949, diputuskan untuk memperkuat perlindungan terhadap korban konflik bersenjata dengan mengadopsi naskah baru dalam bentuk Protokol Tambahan untuk Konvensi Jenewa. 14 Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum baru dapat dikatakan efektif bila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan bila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka di dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan. Mekanisme penegakan Hukum Humaniter Internasional (HHI) dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977 serta pada aturan-aturan lain yang mengatur mengenai mahkamah kejahatan perang baik yang bersifat ad hoc maupun permanen. 9.2 Mekanisme Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan 1977 Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa memberikan kewajiban bagi pihak peserta agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi. Menghormati berarti negara bersangkutan harus melaksanakan ketentuanketentuan yang ada di dalam Konvensi. Sedangkan menjamin penghormatan berarti negara harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi bila diperlukan (seperti Pasal 49 ayat (1)). Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-Undang nasional yang memberikan sanksi pidana efekti kepada setiap orang yang melakukan atau memerintah untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme dimana penegakan HHI yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, bila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan 60 dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan. Sejak awal ketika terjadi pelanggaran hukum humaniter atau ketika ada indikasi mengambil tindakan yang diperlukan. Contoh, bila seorang prajurit melakukan pelangaran HHI, maka Komandan atau atasannya harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran tersebut dan bila perlu menjatumping hkan hukuman kepada si pelaku. Dalam ketentuan pasal 87 dinyatakan bahwa adanya komandan untuk mencegah dan kalau perlu menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai pelanggaran terhadap konvensi dan protokol. Kemudia pasal ayat 3 bahkan ditekankan mengenai perlunya memberikan sanksi disiplin atau hukuman pidana kepada mereka yang melanggar Konvensi dan Protokol. Di lingkungan TNI bila ada seorang prajurit yang melakukan hukum humaniter maka komandan atau atasan yang berwenang untuk menghukum, berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud. Begitu seterusnya, sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, disamping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka tahapan berikutnya kasus yang bersangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen). Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol Tambahan 1977 antara lain mengenai mekanisme. Mekanisme yang dimaksud, yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta. Komisi pencari fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat dalam Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa62. 62 Arlina Permanasari, op.cit, hlm 184. 61 9.3. Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Perang Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat perang dunia II, yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat Jepang, sedangkan Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman. Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London. Sejak terbentuknya Mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Nuremberg yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity). Pada Mahkamah Nuremberg ada empat orang Hakim ditambah dengan empat hakim pengganti. Hakim-hakim tersebut berasal dari negara-negara yang menyusun Statuta Mahkamah yaitu: • Amerika Serikat : Francis Biddle, John Parker (pengganti) • Inggris : Lord Justice Geoffrey Lawrence, Justice Norman Birkitt (pengganti) • Perancis : Prof. Donnedieu de Vabres, Judge R Falco • Uni Sovyet : I.T. Niktchenko, Maj. Gen, A.F. Volchkof, Lt.Col (pengganti) Adapun mengenai penuntut atau prosecutor di Mahkamah Nuremberg ada empat chief prosecutor yang masing-masing berasal dari keempat negara tersebut di atas. Mahkamah penjahat perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari Mahkamah ini adalah International Military Tribunal for The Far East. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara. Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg. 62 Sama halnya dengan Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo juga mempunyai jurusdiksi terhadap tiga kejahatan, yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity). Di dalam Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggungjawab si pelaku, tetapi hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitanya sebagai pejabat resmi. Pada Mahkamah Tokyo ini ada seorang chief prosecutor yang berasal dari Amerika Serikat dan dibantu oleh sepuluh orang associate prosecutors. Setelah perang dunia II selesai, kemudian telah dibentuk dua Mahkamah ad hoc lainnya yaitu Mahkamah yang mengadili penjahat perang dieks- Yugoslavia serta di Rwanda. Perlu diketahui bahwa pembentukan Mahkamah-mahkamah semacam itu adalah bersifat ad hoc atau sementara, yang b erarti bahwa Mahkamah tersebut dibentuk untuk jangka waktu dan daerah tertentu saja. Mahkamah eks Yugoslavia dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 808 (22 Fabruari 1993) dan nomor 827 (25 Mei 1993). Perkembangan yang terakhir kemudian Statuta Mahkamah eks Yugoslavia yang dibentuk berdasarkan Resolusi DK-PBB No 827 tahun 1993 diamandemen oleh Resolusi DK PBB nomor 1166 tahun 1998. Pasal 1 sampai dengan pasal 5 dari Statuta Mahkamah eks yugoslavia mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi mahkamah yaitu: 1. pelanggaran serius terhadap hukum humaniter 2. pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 3. pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang 4. genocide 5. kejahatan terhadap kemanusiaan Penjelasan dari pelanggaran atau kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada Pasal-pasal yang mengaturnya. Misalnya, tentang pelanggaran berat. Statuta ini 63 mengambil rumusan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949. Begitu juga misalnya apa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) diuraikan pada ketentuan Pasal 5 Statuta. Mahkamah eks Yugoslavia terdiri dari dua kamar (chambers) yaitu Trial Chambers dan Appeals Chambers; Jaksa Penuntut Umum (Prosecutor) dan Panitera (Registry). Hakim pada Trial Chamber berjumlah 3 orang sedangkan pada Appeals Chamber hakimnya berjumlah 5 orang. Mahkamah ad hoc lainnya yang telah dibentuk adalah mahkamah peradilan kejahatan perang di Rwanda. Nama lengkap dari Mahkamah ini adalah International Criminal tribunal for Rwanda (ICTR). Mahkamah ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 955 tanggal 8 November 1994. Tujuan dari dibentuknya Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang yang melakukan genocide di Rwanda dan mengadili warga negara Rwanda yang melakukan genocide dan serupa lainnya di wilayah negara tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara 1 Januari 1994 sampai dengan tanggal 31 Desember 1994. Kompetensi Mahkamah Rwanda ditujukan untuk kejahatan-kejahatan sebagai berikut: 1. Genocide 2. Crimes Againts Humanity 3. Pelanggaran terhadap pasal 3 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977 Baik Mahkamah eks Yugoslavia maupun Mahkamah Rwanda menetapkan individual criminal responsibility terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Statuta. Adapun untuk hukum acaranya maka ICTY menggunakan sistem common law, sedangkan ICTR menggunakan campuran antara sistem civil law dan common law. 9.4 Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan penting, yakni ketika disepakatinya. Statuta mahkamah pidana internasional 64 (International Criminal Court selanjutnya ICC). Berbeda dengan Mahkamah ad hoc yang telah dibentuk sebelumnya (misalnya Mahkamah Nuremberg, Tokyo, ICTY, dan ICTR), maka ICC ini merupakan suatu mahkamah yang bersifat permanen. Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai kejahatan serius sebagaimana ditetapkan dalam Statuta ICC, Mahkamah ini juga dibentuk sebagai pelengkap (complementarity) dari mahkamah pidana nasional. Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya adalah bahwa ICC baru menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta dikatakan bahwa ICC akan bekerja bila mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Dengan cara ini berarti bila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Bila mahkamah nasional tidak mau dan atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka barulah ICC akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan. Yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan yaitu kejahatan yang dikategorikan sebgai the most serious crimes of concern to the international, yaitu64: 1. Genocide 2. Crimes againts humanity 3. War crimes 4. Crime of aggression Tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai genocide dijelaskan pada pasal 6 Statuta ICC, yaitu tindakan yang ditujukan untuk memusnahkan seluruhnya atau sebagian dari suatu bangsa, etnis, kelompok rasial atau agama tertentu. Yang termasuk dalam kategori genocide menurut ketentuan Pasal ini adalah: 1. Killing members of the group 2. Causing serious bodily or mental harm to members of the group 6 4 Mc.Cormack Timothy LH, and gerry J Simpson, The Law of War Crimes national and International Approaches, Kluwer Law International, The hague, 1997, hlm 143. 65 3. Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about it’s physical destruction in whole or in part 4. Imposing measures intended to prevent births within the group 5. Forcibly transferring children of the group to another group Kejahatan-kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai crimes againts humanity dirumuskan secara lengkap dan rinci pada Pasal 7 Statuta ICC. Selanjutnya pasal 8 Statuta ICC menjelaskan apa yang dimaksud dengan war crimes, yaitu mencakup pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa dan pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan perang yang diberlakukan pada sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan non internasional. Daftar dari kejahatan-kejahatan yang dimaksud secara lengkap diuraikan pada ketentuan Pasal 8 Statuta ICC. Mengenai crime of aggression belum dirumuskan secara lengkap di dalam Statuta. Hanya pada pasal 5 ayat (2) dikatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah terhadap kejahatan agresi ini akan dilaksanakan setelah diterimanya suatu ketentuan atau pasal yang menentukan apa yang dimaksud dengan kejahatan tersebut serta syarat-syarat apa yang diperlukan agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan agresi yang dimaksud. Agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya maka negara yang meratifikasi Statuta ICC menerima yurisdiksi Mahkamah. Ini berarti tindakan meratifikasi Statuta ICC oleh suatu negara belum berarti bahwa Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya di negara tersebut. Untuk itu masih diperlukan suatu tindakan dari negara yang bersangkutan yang menyatakan bahwa negara tersebut menerima yurisdiksi Mahkamah. Hal ini antara lain diatur dalam Pasal 12 Statuta ICC. Beberapa asas pokok hukum pidana diberlakukan menurut Statuta ini, misalnya tentang ne bis in idem, nullum crimen sine lege, bulla poena sine lege, dan non retroactive. 66 Seperti halnya dengan mahkamah yang lainnya, pada Statuta ICC ini juga ditegaskan tentang tanggungjawab pidana individual (individual criminal responsibility). Di samping itu pada Pasal 28 diatur mengenai tanggung jawab Komandan dan atasan terhadap tindakan yang dilakukan oleh anak buah atau bawahannya. 67 DAFTAR PUSTAKA Andrey Sudjatmoko, 1999. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional, dalam Hukum Humaniter Kumpulan Tulisan, Pusat Studi Hukum Humaniter, fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta. Arlina Permanasari,dkk, 1999. Pengantar Hukum Humaniter, Internationak Committe of The Red Cross, Jakarta. Arthur Nusbaum, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Bina Cipta, Bandung, 1970 disadur oleh Sam Suhaedi Atmawiria. Barda Nawawi Arief, 2004. Kebijakan Formulatif Kejahatan Perang Dalam Hukum Pidana, Makalah Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP, Semarang. Dadang Siswanto, 2006. Formulasi Kejahatan Perang ke Dalam Hukum Nasional, Pengembangan Bahan Ajar Hukum Internasional. Dietrich Schindler. 1981. The Laws of Armed Conflicts, Henry Dunant Institute, Genewa. F.Sugeng Istanto. 1992. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, Andi Offset, Yogyakarta. Frederic de Mullinen. 1987. Handbook on The Law of The War for Armed Forces, ICRC, Geneva. Frits Kalshoven. 1991. Constraints on the Waging of War, Second Ed, ICRC, Geneva. Hans-Peter, Gasser. 1993. International Humanitarian Law, An Introduction, Paul Haupt Publisher, Berne- Stuttgart-Vienna. Hans Peter Gasser. 1993. International Humanitarian Law, Henry Dunant Institute. Haryomataram. 1994. Sekelumit tentang Hukum Humanter, Sebelas Maret University Press, Surakarta. \ Haryomataram.1994. Hukum Humaniter, CV Radjawali, Jakarta. Haryomataram.1988. Bunga Rampai Hukum Humaniter, Bumi Nusantara Jaya. Horst Seibt,1994. Compendium of Case of International Humanitarian Law, ICRC Publication. 80 International Commitee of the Red Cross, 1983. Understanding Humanitarian Law Basic Rules of Geneva Conventions and their Additional conventions and their Protocols, ICRC, Geneva. Jamchid Momtaz, 1998. The Minimum Humanitarian Rules applicable in Periods of Internal Tension dalam International Review of The Red Cross, Special Edition, September. Jean Piclet, 1985. Development and Principles of Intternational Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher. J.G Starke. 1989. Introduction to International Law, Teenth Edition, Butterworth. Marion Harrof Tavel, 1993. Action Taken by The International Comitte of The red Cross dalam Situation of International Violance, ICRC, No 294, May-June. Marwati Djonoed Poeponegoro, 1982. Tokoh dan Peristiwa dalam Sejarah Eropa 18151945, Erlangga, Jakarta. Masjhur Effendi, 1995. Moch Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional, IKIP, Malang. Mc.Cormack Timothy LH, and gerry J Simpson, 1997. The Law of War Crimes national and International Approaches, Kluwer Law International, The Hague. Mochtar Kusumaatmadja, 1980. Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia Pictet, Jean, 1985. Development and Principles on International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publishers. Schindler Dietrich & Jiri Toman. 1981. The Laws of Armed Conflict: A Collection of Conventions, Resolutions and Other Document, Henry Dunant Institute, Geneva. The Federal Ministry of Defence of The Federal of Republic of Germany VR II 3, 1992, Humanitarian Law in Armed Conflict. 81