BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan populasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan populasi manusia di dunia berjalan seiring dengan peningkatan
kemajuan zaman. Semakin hari semakin banyak perubahan yang terjadi baik yang
bersifat positif maupun negatif. Setiap bangsa di dunia berlomba-lomba mengejar
ketertinggalan dengan menciptakan banyak kemajuan di berbagai bidang kehidupan.
Setiap hari akan selalu ada inovasi, invensi, rehabilitasi dan lain sebagainya untuk
menciptakan perubahan demi mencapai suatu standar: lebih praktis, canggih dan
bermanfaat.
Perubahan yang terasa akibat kemajuan zaman memang sangat membantu kita
dalam melakukan berbagai hal. Teknologi yang semakin canggih memudahkan setiap
kendala yang kita hadapi, termasuk memperpendek jarak; mempersingkat waktu;
menghemat tenaga dan biaya; dan lain sebagainya. Namun seringkali di balik
teknologi tersebut, ada banyak kemurnian alam dan kelestarian lingkungan yang
dikorbankan.
Manusia sebagai bagian dari makhluk hidup yang merupakan individu
masyarakat internasional memiliki hasrat kehidupan yang lebih maju, harmonis dan
ideal. Lambat laun, manusia mulai menyadari dampak perubahan kemajuan zaman
terhadap kelangsungan lingkungan hidup.
Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena
terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman
atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi
Universitas Sumatera Utara
(economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).2 Dampak
pencemaran lingkungan menyentuh kesehatan manusia secara langsung. Dampak ini
seringkali baru dapat dirasakan setelah berselang sekian lama sejak timbul dan
masuknya suatu zat-zat kimia yang terakumulasi hingga melewati batas maksimum
yang seharusnya.
Beberapa peristiwa pencemaran lingkungan di negara-negara maju, yang
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, antara lain pencemaran
merkuri di Teluk Minimata Jepang, pencemaran udara di London 1952, pencemaran
udara di Pennsylvania 1948, pencemaran di Love Canal, A.S., pencemaran Sungai
Wabigon di Kanada.3 Hal ini menunjukkan bahwa pencemaran lingkungan tersebut
dapat merusak kesehatan manusia dalam ruang lingkup sempit dan bahkan lebih luas
lagi dalam skala besar. Kondisi ini diperparah oleh budaya banyak orang yang tidak
mempedulikan kondisi lingkungannya.
Dewasa ini banyak orang yang tidak peduli dengan gangguan-gangguan
berupa kabut asap, bau busuk, kebisingan serta pemandangan yang tidak sedap dilihat.
Selain masalah estetika lingkungan yang terabaikan, pencemaran lingkungan juga
dapat menyebabkan kerugian ekonomi. Kerugian-kerugian ekonomi yang diderita
para korban pencemaran berupa biaya pemeliharaan rumah dan lingkungan, biaya
perobatan bahkan dapat menyebabkan hilangnya mata pencaharian beberapa kalangan
masyarakat tertentu.
1
Takdir Rahmadi., Hukum Lingkungan di Indonesia, cet.ke-1 (Jakarta : Rajawali Pers,2011)
hlm. 3 seperti yang dikutip dari Richard Stewart and James E Krier, Environmental Law and Policy,
(New York : The Bobbs Merril Co. Inc, Indianapolis,1978), hlm. 3-5
3
Ibid., hlm. 4., seperti yang dikutip dari Ditri dan Ditri, Mercury Contamination A Human
Tragedy (1977), John Willey & Sons, Toronto. Hlm.16; Hicky, 1971, Air Polution in Environtment,
Resources, Pollution and Society (1971) Ed.William Murdoch, SInauer Associates Inc., Stanford.
Hm.2; Hay, The Chemical Scthye Lesson of 2,4,5, T and Dioxin (1982), (New York : Plennum Press,
1982), hlm.229
Universitas Sumatera Utara
Akumulasi kegiatan-kegiatan manusia lambat laun mampu mengubah
ekosistem alami lingkungan. Seperti y ang nyata terasa akhir-akhir ini, yakni siklus
cuaca yang seringkali berubah-ubah, meningkatnya suhu panas bumi, terjadinya
musim kemarau yang luar biasa atau musim hujan yang tak teratur. Ini merupakan
tanda terganggunya sistem iklim dunia yang buruk.
Ketidakbijaksanaan kegiatan manusia seperti penggundulan, perambahan atau
pembakaran hutan, pembangunan yang tak memperhatikan aspek lingkungan selain
juga mampu mengubah sistem ekologis di suatu kawasan tertentu, namun juga dapat
berdampak buruk terhadap kawasan lain di sekitarnya.
Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalahmasalah lingkungan, yakni revolusi teknologi, pertumbuhan penduduk, motif
ekonomi, kebijakan politik, dan tata nilai yang menempatkan kepentingan manusia
sebagai pusat segala-galanya dalam alam semesta, yang dijelaskan sebagai berikut: 4
“Barry Comoner (1973) dalam bukunya “the Closing Circle” melihat
bahwa teknologi merupakan sumber terjadinya masalah-masalah lingkungan.
Terjadinya revolusi di bidang ilmu pengetahuan alam misalnya fisika dan
kimia, yang terjadi selama puluhan tahun terakhir, telah mendorong
perubahan-perubahan besar di bidang teknologi. Selanjutnya hasil-hasil
teknologi itu diterapkan dalam sektor industri, pertanian, transportasi dan
komunikasi. Ehrlich dan Holdren menekankan bahwa pertumbuhan penduduk
dan peningkatan kekayaan memberikan sumbangan penting terhadap
penurunan kualitas lingkungan hidup. Hardin (1997) dalam karya tulisnya
“The Tragedy of the Commons” melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang
sering menggerakkan perilaku manusia atau keputusan-keputusan yang
4
Ibid., hlm. 6-10
Universitas Sumatera Utara
diambil oleh manusia secara perorangan maupun kelompok, terutama dalam
hubungannya dengan pemanfaatan common property. Common property
adalah sumber-sumber daya alam yang tidak dapat menjadi hak perorangan,
tetapi setiap orang dapat menggunakan atau memanfaatkannya untuk
kepentingan masing-masing. Common property itu meliputi sungai, padang
rumput, udara,. laut. Karena sumber daya itu dapat dan bebas untuk
dimanfaatkan oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhannya masingmasing, maka setiap orang berusaha berlomba-lomba memanfaatkan atau
mengeksploitasi sumber daya semaksimal mungkin guna memperoleh
keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Hingga pada akhirnya tiap orang
berpikir egoistis dan berpacu mengeksploitasi sumber daya alam yang
mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam. Namun
selain itu, sebagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah lingkungan
hidup disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan
manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Tata nilai ini
dikenal dengan istilah anthroprocentric atau homocentric. Berdasarkan
perspektif antroposentris, alam semesta atau lingkungan hidup perlu
dimanfaatkan dan dilindungi
semata-mata
hanya
untuk kepentingan
manusia”.5
Melihat kondisi tersebut, perlahan dunia internasional mulai mengupayakan
berbagai cara untuk mewujudkan pola hidup yang sebisa mungkin berdampingan
selaras dengan alam dan lingkungan hidup. Masyarakat internasional yang merupakan
gabungan masyarakat dari berbagai negara memerlukan adanya prasarana yang
akomodatif untuk mewujudkan keinginan tersebut. Prasarana yang dimaksud dalam
5
Ibid., hlm. 6-10
Universitas Sumatera Utara
bentuk aturan-aturan dan norma-norma kehidupan yang dapat mengatur hubungan
kehidupan antara suatu bangsa yang berdaulat dalam suatu negara dengan bangsa
yang berdaulat dalam suatu negara lainnya. Aturan dan norma kehidupan itu disebut
hukum internasional.
Hukum internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah “keseluruhan
kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
antara (1) negara dengan negara; atau (2) negara dengan subjek hukum lain bukan
negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain”.6 Dasar sosiologis yang
mendasari hukum internasional yaitu adanya sejumlah negara dan kebutuhan negara
itu untuk mengadakan hubungan satu sama lain7 , yakni kebutuhan bangsa-bangsa
untuk hidup berdampingan secara teratur menjadi suatu keharusan kenyataan sosial
yang tak dapat dielakkan.
Beranjak dari fakta bahwa dalam hubungan yang diadakan antar negara di
dunia, terbagi atas hubungan antara masyarakat suatu negara terhadap lingkungan
alamnya, hubungan masyarakat suatu negara terhadap masyarakat negara lain,
hubungan antara lingkungan alam suatu negara dengan lingkungan alam negara lain
serta hubungan antara lingkungan alam suatu negara dengan masyarakat negara lain;
dapat disimpulkan bahwa lingkungan itu berdampak luas dan besar,
Suatu masalah lingkungan domestik yang menimbulkan suatu dampak negatif
pada lingkungan negara lain atau lingkungan pada wilayah yang tidak berada di
bawah yurisdiksi suatu negara (wilayah internasional atau wilayah bebas)
menyebabkan
masalah
tersebut
berkembang
menjadi
masalah
lingkungan
internasional. Sifat dan hakikat masalah demikian mengakibatkan perlindungan dan
usaha-usaha perbaikan lingkungan membutuhkan suatu sistem hukum tersendiri yang
6
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes., Pengantar Hukum Internasional , Edisi
Kedua,cet.ke-1, (Bandung : P.T. Alumni : 2003), hlm. 3
7
Ibid., hlm.14
Universitas Sumatera Utara
lebih sesuai dengan sifat dan hakikat masalahnya, yang mampu menempatkan
lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang utuh, yang tersusun dalam berbagai
komponen lingkungan, baik yang berada di dalam wilayah suatu negara, atau tunduk
pada kekuasaan negara tertentu, maupun yang berada di luar yurisdiksinya itu. Untuk
mengaturnya, tak cukup hanya dengan membuat hukum sendiri di negara sendiri.
Perlu adanya korelasi dan sinergi hukum nasional suatu negara dengan negara lain
karena lingkungan ini mempunyai cakupan
juga pengaruh luas ke dunia
internasional. Tinjauan yuridis secara ilmiah di bidang lingkungan internasional telah
menjadi satu bagian pokok bahasan dalam hukum internasional yang dikenal dengan
istilah hukum lingkungan internasional.
Hukum lingkungan internasional adalah8: keseluruhan kaidah, asas-asas,
lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam
kenyataan. Hukum atau keseluruhan kaidah dan asas yang dimaksud adalah
keseluruhan kaidah dan asas yang terkandung di dalam perjanjian-perjanjian
internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yaitu masyarakatnegara-negara,
termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan
internasional.9
Hukum lingkungan internasional hingga sekarang mengalami 3 tahapan
perkembangan, seperti dijelaskan sebagai berikut: 10 Hukum lingkungan internasional
berkembang jauh sebelum kesadaran lingkungan internasional lahir, yaitu sejak
munculnya berbagai kasus lingkungan yang melibatkan negara-negara sebagai pihak
perkara, seperti dalam Kasus Trail Smelter (1938) dan Kasus Lake Lonux (1957),
8
Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional “Perspektif Bisnis Internasional”,
cet ke-1, (Bandung : Refika Aditama, 2003), hlm. 1
9
Ibid.
10
Ibid., hlm. 15
Universitas Sumatera Utara
sementara kesadaran lingkungan internasional baru berkembang pada tahun 1960-an,
sejak Rachel Carson menuliskan bukunya yang sangat menyita perhatian dunia, The
Silent Spring (1962).11 Sebelumnya orientasi hukum lingkungan internasional hanya
memperhatikan upaya-upaya perlindungan hak-hak negara dan kekuasaan negara,
belum kepada perlindungan lingkungan hidup.
Carson menggambarkan akibat buruk kerusakan lingkungan terhadap
kehidupan makhluk hidup, dan dengan demikian buku Carson menarik perhatian
masalah manusia terhadap masalah-masalah lingkungan yang sesungguhnya telah
muncul sejak tahun 1950-an, seperti kasus Minimata Jepang (1953) dan asap kabut
(smoke and fog = smog) di Los Angeles.12
Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa hukum lingkungan internasional
memiliki pemicu, saat dan karakteristik berbeda dengan gerakan lingkungan
internasional. Gerakan lingkungan internasional dipicu dan dipengaruhi oleh konsep,
persepsi dan pendekatan-pendekatan ekologis, yaitu upaya-upaya penyelamatan dan
perlindungan lingkungan, dan baru dimulai pada tahun 1950-an; sedangkan hukum
lingkungan internasional dipicu oleh upaya-upaya perlindungan hak-hak negara dari
akibat tindakan negara lain yanmg merugikan, sangat dipengaruhi konsep, persepsi
dan pendekatan-pendekatan hukum dalam kaitan dengan upaya perlindungan hak-hak
negara, serta telah dimulai sejak tahun 1930-an. Kedua konsep ini baru tampak
menjelang tahun 1970-an dan meunjukkan bentuk kombinasinya melalui Konferensi
Stockholm 1972 (The United Nations Conference on the Human Environtment, 5 to
16 June 1972) atau lebih tegas melalui Deklarasi Stockholm 1972 (Declaration of The
United Nations Conference on The Human Environtment 1972).13
11
Ibid., hlm 17, seperti yang dikutip dari Otto Soemarwoto, Analisis Dampak Lingkungan, (
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991) hlm. 2
12
Ibid.
13
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan hukum lingkungan internasional bahkan tercatat telah dimulai
sejak tahun 1900-an, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Perlindungan Burungburung Pertanian (Convention on Conservation of Birds Useful to Agriculture,1902)
di Eropa, yang mengatur perlindungan terhadap burung-burung dan binatang lainnya
yang berfungsi membantu pertanian, yang telah berlaku sebagai suatu kebiasaan
selama 30 tahun dalam kehidupan petani-petani Jerman, yang kemudian meminta
kekaisaran Austro-Hungaria melakukan perlindungan serupa.14
Perkembangan tahap kedua hukum lingkungan internasional ditandai dengan
munculnya komitmen moral negara-negara bersamaan dengan bangkitnya kesadaran
lingkungan internasional yang diilhami buku The Silent Spring oleh Rachel Carson
tahun 1962. Kesadaran ini diimbangi dengan munculnya berbagai gerakan penelitian
yang didasarkan pada konsep sains yang progresif, seperti The Limits to Growth yang
dilakukan Tim MIT (Massachusetts Institute of Technology) 1968 tentang hubungan
timbale balik antara manusia dengan sumber daya alam. Ada juga SCEP (The Study of
Critical Environtmental Problems-1969) yang meneliti masalah pencemaran dan
pengaruhnya terhadap keterlanjutan ekosistem. Sedangkan BMI (Battelle Memorial
Institute-1969) menekankan analisis tentang konsumsi energi yang boros dan juga
berpotensi mencemari udara. Studi ini menunjukkan bahwa aktivitas manusia
dibandingkan dengan proses alamiah geologi dan ekologi, mengakibatkan percepatan
proses perusakan elemen-elemen ekologi setara, bahkan lebih besar dari kecepatan
ilmiah.15
Hasil-hasil penelitian tersebut menggerakkan kesadaran internasional untuk
membentuk kebijakan lingkungan internasional yang mampu mengontrol perilaku
kurang bijaksana negara-negara, badan publik dan non publik menjadi lebih bijak dan
14
15
Ibid. hlm. 18
Ibid., hlm. 19-20
Universitas Sumatera Utara
terarah dalam upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan dan kelangsungan
hidup
manusia
di
bumi.
Hal
inilah
yang
kemudian
mendorong
PBB
menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup (United Nations Conference
on Human Environtment), tanggal 5-16 Juni 1972, di Stockholm, Swedia yang
dihadiri 113 negara, 21 organ resmi PBB, 16 organisasi antar pemerintah (IGOs) dan
258 organisasi non pemerintah (NIGOs) termasuk LSM.16 Konferensi tersebut
menghasilkan Deklarasi tentang Lingkungan Hidup (Stockholm Declaration) yang
terdiri dari mukadimah dan 26 asasnya; dan Rencana Aksi Lingkungan Hidup
Manusia (Action Plan), yang terdiri dari 109 rekomendasi.
Perkembangan tersebut berlanjut pada tahap ketiga yakni munculnya berbagai
ketentuan hukum internasional yang berorientasi kepada perlindungan lingkungan
global seperti Konvensi Wina 1985 dan Protokol Montreal 1987, Konvensi Perubahan
Iklim 1992, Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992, Konvensi Perlindungan Hutan
Tropis 1992, dan berbagai ketentuan dan kesepakatan lain yang besifat bilateral
maupun multilateral, regional maupun sub-regional.17 Termasuk diantaranya
Deklarasi Rio 1992 di Rio de Janeiro sebagai penegasan dari Deklarasi Stockholm
1972 yang memuat 27 prinsip dasar pembangunan berkelanjutan. Deklarasi ini dibuat
untuk menghadapi persoalan lingkungan global yang saat itu sedang marak menjadi
pembicaraan dunia, yakni global warming dan global climate change. Deklarasi Rio
1992 ini sangat penting bagi pengelolaan lingkungan karena secara tegas menerima
prinsip sustainable develeopment. Evaluasi hasil KTT Bumi (Earth Summit) tersebut
dilanjutkan oleh PBB dengan mengadakan kegiatan KTT Dunia untuk Pembangunan
Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development-WSSD) tahun 2002 di
16
Ibid., hlm. 22, seperti yang dikutip dari Daud Silalahi, Hukum Lingkungan (Bandung :
Alumni, 1992), hlm. 18
17
Ibid., hlm. 24
Universitas Sumatera Utara
Johannesburg, Afrika Selatan tentang tantangan dan komitmen dunia internasional
dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
Ketentuan tersebut dipandang telah berorientasi kepada perlindungan
lingkungan sebagai suatu keseluruhan yang utuh, sangat didominasi oleh pemikiranpemikiran perlindungan lingkungan dengan wawasan global, seperti konsep
perlindungan keseimbangan ekologi (protection on ecological balance of the
biosphere)18, keseimbangan kebijakan pembangunan ekonomi dengan perlindungan
lingkungan dalam rangka daya dukung lingkungan yang berkelanjutan (sustainable
development),19 perlindungan lingkungan untuk masa kini dan masa depan
(imperative goal for mankind),20 kebijakan pemerintah yang menyeluruh (large schale
policy), dan tindakan yang bersifat usaha bersama (common effort) untuk kepentingan
bersama (common interest).21
Beranjak dari berbagai peristiwa perkembangan tersebut, maka banyak
negara-negara di dunia mulai memikirkan betapa pentingnya kesadaran pelestarian
lingkungan. Masyarakat dunia mulai melihat bahwa upaya pembangunan ternyata
dapat menyebabkan dampak buruk terhadap lingkungan. Manusia mulai melihat krisis
kehancuran antara hubungan manusia dengan lingkungannya, terutama masyarakat
dari negara maju dan negara berkembang. Kondisi ini diperburuk oleh ledakan
penduduk yang sangat besar, integrasi yang tidak memadai antara teknologi yang
begitu canggih dan kuat dengan keperluan dan daya dukung lingkungan yang kurang
baik, kerusakan hutan dan pengurangan lahan, pembangunan pemukiman dan industri
yang tidak berencana, berkurangnya lahan terbuka dan bahaya kepunahan satwa dan
tumbuhan yang semaskin meningkat. Apabila hal ini masih berlangsung terus
18
Proclaim 3 Deklarasi Stockholm 1972
Proclaim 4,5, Ibid.
20
Proclaim 6, Ibid
21
Proclaim 7, Ibid
19
Universitas Sumatera Utara
menerus, bisa dipastikan bahwa kehidupan bumi di masa yang akan datang akan
terancam.
Kesadaran tersebut mendorong munculnya banyak pergerakan di bidang
lingkungan baik secara unilateral, bilateral, ataupun multilateral; baik berupa kegiatan
ataupun kebijakan yang berkaitan dengan upaya perlindungan dan pelestarian
lingkungan, termasuk Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara sedang
berkembang dalam perkembangannya saat ini mengalami setidaknya 4 faktor pokok
permasalahan, yakni:22
1. Perkembangan penduduk dan masyarakat yang laju pertumbuhannya
sangat
cepat,
tersebar
tidak
merata,
mayoritas
penduduk
bermatapencaharian dari sektor pertanian, tingkat pengangguran yang
cukup tinggi, pendapatan perkapita yang rendah, tingkat kesehatan dan
kesejahteraan yang rendah;
2. Perkembangan sumber daya alam dan lingkungan yang mengalami
tekanan besar. Permintaan akan sumber daya alam khususnya tanah dan air
sangat besar disebabkan kepadatan penduduk disertai tingkat pendapatan
yang rendah. Kebutuhan akan sumber daya alam meningkat, padahal
persediaan dan kemampuan alam sangat jauh berkurang. Kemiskinan dan
keterbalakangan penghayatan lingkungan hidup mendesak pengelolaan
sumber alam dan lingkungan secara tepat dan efektif sehingga kurang
mengindahkan faktor lingkungan hidup.
3. Perkembangan teknologi dan kebudayaan di negara berkembang yang
harus menyesuaikan perkembangan teknologi di negara-negara maju yang
menerapkan
teknologi
canggih
padat
modal
dan
hemat
tenaga
22
Disadur dari Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”, Edisi VIII,
(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press), hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
kerja.Penemuan dan teknologi baru negara maju medorong masyarakat
kita untuk ikut serta menyesuaikan diri dengan kemajuan yang mereka
raih.
4. Perkembangan ruang lingkup internasional terutama secara ekonomi di
bidang perdagangan, teknologi, investasi, bantuan luar negeri, transportasi,
komunikasi dan lain-lain sangat berpengaruh besar terhadap tindakan dan
kebijakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Menilik faktor-faktor yang diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa
pembangunan dan lingkungan adalah dua hal yang bertolak belakang. Di satu sisi,
setiap negara termasuk Indonesia menginginkan kemajuan pembangunan di setiap
sektor kehidupan negara dan masyarakatnya. Di sisi lain, setiap negara juga
menginginkan dan menyadari bahwa lingkungan dan kelangsungan lingkungan sangat
penting dan mutlak bagi kehidupan generasi manusia sekarang dan yang akan datang.
Hakikat pembangunan tak lain adalah menginginkan perubahan yang tentunya
mengubah lingkungan, sedangkan hakikat pelestarian lingkungan adalah menjaga
kondisi lingkungan untuk tetap alami dan natural. Keduanya sangat bertolak
belakang,; sama-sama penting dan sama-sama mutlak dibutuhkan.
Pengaturan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara nasional di
Indonesia baru dilakukan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini.
23
Dengan adanya
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm 1972, Indonesia sebagai
salah satu dari 113 negara peserta konferensi tersebut harus mempersiapkan “Laporan
Nasional”
tentang
keadaan
lingkungan
hidup
di
Indonesia.
Untuk
itu
diselenggarakanlah suatu seminar yakni Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
23
Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”, Edisi VIII, (Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press), hlm. 50
Universitas Sumatera Utara
Pembangunan Nasional di Universitas Padjajaran pada tanggal 15-18 Mei 1972.
Seminar ini membahas pengelolaan lingkungan hidup melalui pendekatan
multidisipliner dan interdisipliner, termasuk kajian dari perpektif ilmu hukum. Dalam
kaitannya dengan peranan hukum terhadap pengelolaan lingkungan hidup, diperoleh
kesimpulan bahwa perlu diadakannya pembenahan dan pengembangan hukum
lingkungan yang mengandung asas-asas hukum modern. Hasil seminar itulah yang
kemudian diangkat dan dituangkan menjadi masukan bagi program pembangunan
Hukum Nasional dalam Repelita II. 24
Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm, Pemerintah Republik
Indonesia sendiri telah mengambil langkah-langkah lebih lanjut di bidang pengelolaan
lingkungan hidup. Selain dengan mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 60 Tahun
1972 tanggal 17 Oktober 1972 Tentang Pembentukan Panitia Perumus dan Rencana
Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup yang bertugas
menyusun dan membuat inventarisasi dan rencana kerja bagi pemerintah di bidang
pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup, juga mengeluarkan Keputusan
Presiden RI No. 28 Tahun 1978 Tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata
Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi serta
Susunan Organisasi Stafnya. Namun Keputusan Presiden ini selanjutnya diubah
dengan Keputusan Presiden No. 35 Tahun 1978, yang berisikan penyempurnaan
terhadap ketentuan angka 2 Pasal 2 Keputusan Presiden No.28 Tahun 1978, khusus
menyangkut fungsi dan tugas Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup.25
24
25
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm, 48
Ibid., hlm 49
Universitas Sumatera Utara
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup melalui
Keputusan No.006/MNPLH/3/1978 Tentang Pembentukan Kelompok Kerja dalam
Bidang Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan
Lingkungan Hidup, membentuk kelompok kerja yang bertugas menyusun rancangan
peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang
pengelolaan lingkungan hidup. 26 Kelompok kerja ini kemudian menghasilkan suatu
Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan lingkungan Hidup. Rancangan
Undang-undang ini kemudian disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
menjadi
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang inilah yang menjadi sumber formal
pertama bagi lahirnya pengembangan hukum lingkungan nasional modern di
Indonesia.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UULH 1982) yang
merupakan undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup yang pertama
diundangkan di Indonesia sejak munculnya kesadaran global dan nasional akan arti
pentingnya pengelolaan lingkungan; dinyatakan tidak berlaku dan digantikan oleh
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UULH 1997). Selanjutnya UULH 1997 ini dinyatakan tidak
berlaku lagi dan digantikan oleh Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) ini memiliki perbedaan istilah jika dibandingkan
dengan undang-undang pendahulunya.
Penambahan istilah “Perlindungan” ini
26
Ibid., seperti yang dikutip dari Siti Sundari Rangkuti, “Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Nasional Indonesia (Surabaya : Airlangga
University Press, 1987), hlm.50
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan agar lebih memberikan makna pentingnya lingkungan hidup untuk
memperoleh perlindungan di samping pemanfaatan lingkungan hidup. 27 Salah satu
konsep yang relevan dalam pengelolaaan lingkungan hidup dalam UUPPLH 2009
yang tidak ditemukan dalam UULH 1997 maupun UULH 1982 tersebut adalah
konsep kajian lingkungan hidup strategis atau disingkat KLHS.
Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis
sistematis,
menyeluruh
dan
partisipatif
untuk
memastikan
bahwa
prinsip
pembangunan berkelanjutan itu telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan , rencana dan/atau program. Hal ini
dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 UUPPLH yang menyatakan bahwa KLHS
merupakan instrumen kebijakan, perencanaan dan program, yang didasari oleh
pertimbangan bahwa setiap instrumen kebijakan yang berorientasi pada sebuah
kegiatan28 misalnya perizinan dan AMDAL saja tidak cukup memadai untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan karena kegiatan-kegiatan yang bersifat
makro justru dapat menimbulkan dampak yang lebih luas lagi, sehingga sangat perlu
dilakukan perhatian yang fokus pada kegiatan makro sepertti pembangunan suatu
wilayah, kebijakan dan program pembangunan.
Sadar
akan
betapa
pentingnya
rasionalisasi
konsep
pembangunan
berkelanjutan tersebut, Indonesia sebagai salah satu negara kaya yang memiliki
banyak unsur dan jenis sumber daya alam yang berlimpah berupaya untuk aktif dalam
segala kegiatan perlindungan lingkungan yang sifatnya menguntungkan sekaligus
bermanfaat dalam pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan. Dari sekian
program perjanjian, organisasi ataupun kegiatan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan baik yang bersifat nasional atau internasional, Indonesia mengambil
27
28
Ibid., hlm 52
Ibid., hlm 57
Universitas Sumatera Utara
langkah turut serta dalam sebuah kolaborasi sub-nasional yang diberi nama Satuan
Tugas Hutan dan Iklim Gubernur (Governors Climate and Forest Task Force).
Kolaborasi ini terdiri dari 34 negara bagian dan provinsi dari negara Indonesia
(dari Indonesia sendiri diikuti oleh Provinsi Aceh, Papua, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua Barat, dan baru saja resmi menjadi
anggota yakni Kalimantan Utara), Brasil, Meksiko, Nigeria, Peru dan Spanyol serta
Amerika Serikat, yang di dalam deklarasinya yakni Deklarasi Rio Branco
menyebutkan komitmen para anggota Governors Climate and Forest Task Force
(GCF) yang bertujuan untuk membangun kemitraan dan dukungan terhadap
perlindungan lingkungan dengan mengurangi deforestasi hutan tropis, melindungi
sistem iklim global dan meningkatkan mata pencaharian pedesaan dengan
membangun
strategi
dan program
yurisdiksi
untuk
menuju
pembangunan
berkelanjutan.29
Tujuan yang termaktub dalam Deklarasi Rio Branco ini adalah mengurangi
deforestasi dan juga membangun kemitraan dengan sektor swasta untuk mendukung
pembangunan ekonomi berbasis hutan dan ramah hutan bagi produsen, rimbawan,
petani, peternak dan masyarakat adat, komunitas-komunitas lokal dan para pemangku
hutan lainnya. Berkaitan dengan maraknya pembakaran lahan hutan akhir-akhir ini di
sejumlah daerah di Indonesia yang menimbulkan bencana kabut asap yang sangat
berdampak buruk bagi masyarakat di samping sekian banyak masalah lingkungan
lainnya, penulis merasa tertarik untuk lebih mengetahui seperti apa strategi konsep
pembangunan berkelanjutan yang dianut oleh deklarasi Rio Branco tersebut,
bagaimana distribusi pelaksanaannya serta bagaimana status hukum deklarasi dan
kedudukan masing-masing anggota kolaborasi GCF tersebut. Karena alasan-alasan
29
Deklarasi Rio Branco, Brasil 11 Agustus 2014, Paragraf ke-2
Universitas Sumatera Utara
yang dikemukakan di atas penting untuk dilakukan penelitian dengan judul “Konsep
Sustainable Development Principle dalam Deklarasi Rio Branco (Kolaborasi Subnasional Governors Climate and Task Force) dan Status Hukum Negara Bagian dan
Provinsi Penandatangan Deklarasi”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah sejarah munculnya pengaturan hukum internasional tentang
“sustainable development principle”?
2. Bagaimana status Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate and Forest Task
Force dan Deklarasi Rio Branco menurut hukum internasional?
3. Apa sajakah hak dan kewajiban negara bagian dan provinsi negara penandatangan
deklarasi dalam Deklarasi Rio Branco tersebut dan kaitannya dengan
implementasi “sustainable development principle”?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji pengaturan konsep “sustainable development principle” dalam
hukum internasional.
2. Untuk mengkaji status Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate and Forest
Task Force dan Deklarasi Rio menurut hukum internasional.
3. Untuk mengkaji hak dan kewajiban negara bagian dan provinsi negara
penandatangan deklarasi Rio Branco dan kaitannya dengan sustainable
development principle.
Universitas Sumatera Utara
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang diangkat dapat
memberikan pemahaman tentang “sustainable development principle” atau prinsip
pembangunan berkelanjutan yang telah dianut dalam deklarasi Rio Branco sebagai
hasil kolaborasi sub-nasional Governor’s Climate and Forest Task Force .
2. Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian bagi
pihak akademisi dalam menambah wawasan dan pengetahuan terutama di
bidang hukum internasional.
D. Keaslian Penelitian
Skripsi yang dengan judul “Konsep Sustainable Dvelopment Principle Dalam
Deklarasi Rio Branco (Kolaborasi Sub-nasional Governors Climate and Forest Task
Force) dan Status Hukum Negara Bagian dan Provinsi Penandatangan Deklarasi Rio
Branco” ini adalah merupakan karya ilmiah yang belum pernah diangkat sekali pun di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun skripsi ini
berdasarkan berbagai referensi dari buku-buku, media cetak dan elektronik, serta
sumber-sumber hukum internasional lainnya seperti traktat, deklarasi, kasus, ajaran
para ahli dan lain sebagainya dan juga melalui bantuan berbagai pihak.
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Kepustakaan
Kesadaran akan pengaruh yang merusak terhadap manusia dan kualitas hidup dari
polusi lingkungan telah meningkat secara tajam diikuti penurunan kualitas dari
lingkungan dunia baik darat, laut dan udara akibat dampak negatif kegiatan manusia. 30
Setiap negara, berdasarkan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional,
diakui memiliki kedaulatan penuh untuk memanfaatkan sumber daya alam mereka, sesuai
dengan kebijakan bidang lingkungan dan pembangunan masing-masing dan juga
berkewajiban menjaga agar kegiatan yang berlangsung di dalam wilayahnya atau berada
di bawah pengawasannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau
wilayah di luar batas wilayah nasional negara-negara.31 Hal yang sama juga jelas diakui
melalui putusan arbitrase berikut:
“No state has the right to use or permit the use of its territory in such manner as
to cause injury by fumes in or to the territory of another or the properties or persons
therein, when the case is of serious consequence and the injury is established by clear
and convincing evidence”.32
Pembangunan berkelanjutan merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.33
30
Jurnal Hukum Internasional : The Right To A Healthy Environtment : International Law
Perspective oleh Mas Achmad Santosa (Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia)
31
Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992
32
Richard K. Gardiner., “International Law” (Pearson Longman : University Of London,
2003) hlm.429. (Trail Smelter Arbitration (USA/Canada), United Nations, RIAA, Vol.3, 1905, at 1965,
and ILC Draft Articles on International Liabilty for Injurious Consequences arising out of Acts not
Prohibited by International Law, ILC Report (1996) Annex 1, Report of Working Group, text to note
10)
33
Muhammad Akib., Hukum Lingkungan ”Perspektif Global dan Nasional” Cet.ke-1, (Jakarta
: Rajawali Pers, 2014), hal : xix
Universitas Sumatera Utara
Prinsip dasar sustainable development (pembangunan berkelanjutan) adalah
pelaksanaan hak membangun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan
hidup untuk generasi masa kini dan dan masa depan34 Berdasarkan dokumen PBB
terutama dokumen World Summit 2005 ada 3 lingkup kebijakan pembangunan
berkelanjutan yakni: 1). Pembangunan ekonomi, 2). Pembangunan sosial, 3).
Perlindungan lingkungan.35 Ketiga hal tersebut merupakan dimensi yang saling terkait
dan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.
Upaya pemanfaatan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan Satuan Tugas Hutan
dan Iklim Gubernur atau Governors Climate and Forest Task Force yang tertulis dalam
Deklarasi Rio Branco di mana deklarasi36 merupakan sebuah model soft law yakni berupa
unsur-unsur hukum yang tidak memiliki daya mengikat secara pasti, namun mampu
menjadi celah dari kalangan entitas yang bukan negara untuk dapat berperan lebih jauh
dalam pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup.
Subjek hukum internasional yang selama ini diakui dan terlibat dalam pembentukan
perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup adalah:37
1. Negara
2. Organisasi Internasional
Sedangkan beberapa entitas yang bukan merupakan subjek hukum internasional yang
terlibat dalam perjanjian internasional baik langsung maupun tidak langsung di antaranya
melalui Kelompok Utama (Majoring Group) seperti tercantum dalam Agenda 21 yang
dikenal adanya 9 kelompok utama yakni:38
34
Prinsip 3 Deklarasi Rio 1992
http// pembangunanberkelanjutan.wikipedia.org// akses 14 Maret 2015
36
Andreas Pramudianto., Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional “Implementasi Hukum
Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia”, (Malang : Setara Press, 2014)
hlm.51-51
37
Ibid., hlm.37
38
Loc.cit
35
Universitas Sumatera Utara
1. Non Government Organization (NGO/Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM)/
Civil Society Organization (CSO))
2. Komunitas Bisnis dan Industri
3. Komunitas Adat
4. Komunitas Ilmuwan dan Teknokrat
5. Pemerintah Daerah
6. Petani
7. Komunitas Agama
8. Wanita
9. Anak dan Pemuda
Subjek hukum internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja, merupakan pemegang
segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Dengan keterlibatan para entitas
dalam suatu deklarasi, otomatis dianggap sebagai subjek hukum deklarasi yang
mempunyai status hukum terkait isi deklarasi. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan
status hukum adalah kedudukan hak dan kewajiban para anggota GCF dalam sistem
kolaborasi sub-nasionalnya dan deklarasi yang dihasilkannya.
F. Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum yuridis normatif karena
penelitiannya dilakukan berdasarkan atas norma-norma hukum internasional yang
berlaku.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah studi kepustakaan
(library research). Adapun sumber data diperoleh dari:
Universitas Sumatera Utara
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum mengikat yang termasuk dalam kategori
sumber hukum internasional sesuai dengan yang ditentukan Pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional. Dalam penelitian ini meliputi kebiasaan
internasional, prinsip-prinsip hukum internasional dan doktrin.
2. Bahan hukum sekunder, yang menjelaskan pemahaman mengenai bahan hukum
primer. Adapun yg dimaksud sebagsi bahan hukum sekunder adalah bahan hukum
yang tidak mengikat namun dapat membantu menganalisis, memahami,
menjelaskan bahan hukum primer. Dalam penelitian ini meliputi buku-buku, hasil
penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan makalah hasil seminar yang berkaitan
dengan bahasan judul.
3. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer
dan sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum
lainnya. Bahan hukum tersier yang digunakan mencakup:
a. Bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder. Contohnya: Oxford’s Dictionary, Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan kamus hukum.
b. Bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum;
diantaranya filsafat dan ilmu politik.
Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data hakikatnya
merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Memilih ketentuan-ketentuan yang berisi kaidah yang mengatur masalah
sustainable development principle.
b. Membuat sistematika dari ketentuan-ketentuan tersebut sehingga menghasilkan
klasifikasi tertentu (yang selaras dengan kajian sustainable development principles
yang dibenarkan)
c. Data yang berupa sumber-sumber hukum internasional ini dianalisis secara
induktif kualitatif.
G. Sistematika Penulisan
Guna mempermudah penguraiannya, sistematika penulisan dari penelitian ini
dbagi dalam beberapa bab. Bab pertama berisi pengantar yang didalamnya terurai
mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah , dilanjutkan dengan
tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penulisan, dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.
Uraian lebih lanjut tentang sustainable development principles dimuat dalam
Bab II, yang mencakup sejarah dan pengertiannya, pengaturan hukum dan
kedudukannya dalam hukum internasional, hubungan dan pertentangan antara aspek
lingkungan dan pembangunan serta kaitannya dengan sustainable development
principle, dan juga beberapa praktek sustainable development principle dan statusnya
dalam Deklarasi Rio Branco menurut perspektif hukum internasional.
Mengenai pengertian dan batasan kolaborasi antar negara dan deklarasi
menurut hukum internasional; dan status kolaborasi sub-nasional Governor’s Climate
and Forest Task Force dan Deklarasi Rio Branco menurut Hukum Internasional
dibahas pada Bab III.
Universitas Sumatera Utara
Bab IV membahas tentang konsep dan masalah pelaksanaan sustainable
development principle serta implikasi yuridis dan normatif dari deklarasi Rio Branco
tersebut terhadap negara anggota penandatangan deklarasi; status hukum yakni hak
dan kewajiban anggota penandatangan deklarasi Rio Branco.
Hasil kesimpulan yang diambil dari pembahasan Bab I sampai dengan Bab IV
dibahas dalam Bab V. Di bab terakhir ini juga diberikan saran-saran yang mungkin
dapat berguna bagi perkembangan pembahasan dan pelaksanaan sustainable
development principle dalam upaya penyelamatan lingkungan dan perlindungan hak
azasi manusia atas lingkungan sesuai dengan hukum internasional.
Universitas Sumatera Utara
Download