24 BAB 3 PENDEKATAN CONTEXTUAL HARMONY DALAM

advertisement
BAB 3
PENDEKATAN CONTEXTUAL HARMONY DALAM REVITALISASI
KAWASAN CAGAR BUDAYA
Peningkatan kualitas suatu kawasan perkotaan dapat dilakukan melalui
upaya revitalisasi kawasan. Sebelum dilakukan upaya tersebut perlu dinilai
apakah kawasan memiliki sesuatu yang perlu dilestarikan. Penilaiannya dengan
menggunakan Signifikansi Budaya. Apabila pada kawasan tersebut terdapat
Cagar Budaya yang perlu dilestarikan, maka upaya revitalisasi kawasan perlu
memakai pendekatan konservasi. Salah satu pendekatan konservasi yang dapat
mengakomodasi kebutuhan peningkatan kualitas kawasan serta mempertahankan
Cagar Budaya yang berada di dalamnya, dan dapat menjaga kontinuitas di
antaranya adalah pendekatan Contextual Harmony. 4 Hal tersebut di atas akan
dipaparkan melalui kajian teoritis di bawah ini.
3.1
Revitalisasi
Penurunan kualitas suatu kawasan di perkotaan biasanya terjadi akibat
penurunan kinerja kawasan, sehingga kawasan menjadi mati akibat jarang
didatangi oleh masyarakat, kemudian terjadi penurunan kualitas fisik kawasan.
Sebagian besar kawasan kota bersejarah atau kota tua mengalami hal ini yaitu
penurunan kualitas fisik dan ekonomi, dan di bawah tekanan pembangunan baru
yang tidak terkendali.
Penurunan kinerja kawasan kota dapat mencakup hal-hal sebagai berikut:
(W. Martokusumo, 2006)
1. Penurunan fisik terjadi karena faktor waktu/usia, cuaca, gempa bumi,
tsunami, polusi asap kendaraan bermotor ataupun akibat mekanisme
perawatan yang buruk.
2. Adanya faktor internal dan eksternal kawasan. Faktor internal lebih
disebabkan
4
bangunan
tidak
mampu
lagi
mendukung
secara
Istilah Contextual Harmony digunakan oleh Steven Tiesdell, et.al. pada Revitalizing Historic
Urban Quarters. Istilah ini digunakan oleh penulis dalam tesis ini untuk menjelaskan
penanganan pelestarian Kawasan Cagar Budaya dengan menjaga keselarasan antara bangunan
baru dengan bangunan lama.
24
teknis/fungsional kebutuhan yang ada, sedangkan faktor eksternal
kawasan mengakibatkan perlunya modifikasi ataupun penambahan fungsi
yang berkaitan dengan kinerja bangunan.
3. Pengaruh persepsi publik. Citra bangunan atau kawasan dipengaruhi oleh
nilai dan sikap masyarakat yang mengandung dimensi sosial, budaya,
ekonomi dan politik. Perubahan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat
dapat dipastikan akan mempengaruhi sikap publik terhadap pemanfaatan
dan pengelolaan bangunan atau ruang kota.
4. Aspek legal dan institusi/kelembagaan, yang berkaitan secara langsung
dengan dimensi fungsional dan fisik. Artinya penurunan secara fungsi,
fisik dan citra dapat juga disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang
kurang tepat atau penerapan pemintakatan kawasan yang tidak tepat.
5. Degradasi bangunan dan lingkungan umumnya diakibatkan karena adanya
perubahan pola distribusi dan konsumsi barang serta perubahan sistem
aksesibilitas dalam skala yang lebih luas.
6. Finansial/ekonomi kawasan pengalami penurunan karena daya tarik
ekonomi kawasan berkurang, tidak dapat bersaing dengan fungsi
komersial pada kawasan lain, tidak mampu mengakomodasi beragam
kegiatan, sehingga terjadi kemonotonan dan kejenuhan kegiatan ekonomi.
Revitalisasi merupakan cara untuk meningkatkan kualitas dan vitalitas
kawasan yang dapat mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari
suatu kawasan atau ruang kota. Revitalisasi dapat dilakukan dengan
meningkatkan kondisi fisik ruang publik kota, tetapi perlu diimbangi dengan
peningkatan aktivitas ekonomi yang merujuk pada aspek sosial budaya serta
lingkungan, agar hasilnya dapat bertahan dalam waktu yang panjang. Dengan
demikian revitalisasi harus mencakup tiga hal utama, yakni revitalisasi fisik,
ekonomi, dan sosial-budaya. Selain itu revitalisasi harus mampu mengenali dan
memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra
tempat).
25
Dalam melakukan kegiatan revitalisasi dilakukan beberapa tahapan yang
masing-masing membutuhkan waktu tertentu, hal ini dapat diuraikan sebagai
berikut: (Danisworo/Martokusumo, 2002)
1. Intervensi fisik
Intervensi fisik ini diawali dengan perbaikan atau peningkatan kualitas
dan kondisi fisik bangunan, tata hijau kawasan, sistem penghubung, dan
ruang terbuka hijau. Dalam proses revitalisasi erat kaitannya dengan
pembentukan citra kawasan, hal ini terkait dengan kondisi visual kawasan
sehingga dapat menarik kegiatan pengunjung oleh karena itu intervensi
fisik ini perlu dilakukan. Intervensi fisik sudah semestinya memperhatikan
konteks lingkungan karena isu mengenai lingkungan merupakan hal yang
sangat penting.
2. Rehabilitasi ekonomi
Revitalisasi dengan melakukan perbaikan fisik tempat atau kawasan yang
bersifat jangka pendek diharapkan dapat mengakomodasikan kegiatan
ekonomi informal dan formal, sehingga mampu memberikan nilai tambah
bagi kawasan kota. Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan
fungsi-fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas
ekonomi dan sosial (vitalitas baru).
3. Revitalisasi sosial dan dukungan kelembagaan
Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu
menciptakan lingkungan yang menarik, jadi bukan sekedar menciptakan
beautiful place. Maksudnya kegiatan tersebut harus berdampak positif
serta dapat meningkatkan dinamika dalam kehidupan sosial masyarakat.
Untuk menciptakan suatu lingkungan sosial perlu didukung oleh suatu
pengembangan institusi yang baik.
Terlepas
dari
skala
kegiatannya,
revitalisasi
mencoba
untuk
mengantisipasi kondisi negatif yang disebabkan karena proses penurunan kualitas
fisik ataupun penurunan kegiatan ekonomi melalui proses adaptasi konstruksi
fisik bangunan/ kawasan kota dengan kebutuhan fungsi sekarang. Proses
penyesuaian tersebut bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan peremajaan
26
mulai dari perbaikan fisik, konversi/ adaptive-reuse, atau bahkan secara radikal
dengan demolisi dan pembangunan kembali.
Berkaitan dengan karakter sebuah tempat, citra kawasan/lingkungan dan
bangunan merupakan atribut estetik penting sebuah kota. Pemahaman mendasar
terhadap aspek lokalitas, khususnya menyangkut makna kawasan, merupakan
bagian penting dari konteks pembangunan perkotaan. Aspek lokal akan menjadi
pertimbangan khusus bagi kontinuitas pengembangan kawasan di dalam proses
perencanaan dan desain. Bahkan, bila diperlukan identitas visual dan kontinuitas
karakter kawasan yang diekspresikan oleh bangunan maupun artefak kota lainnya,
perlu dipertahankan melalui mekanisme pelestarian. Di sisi lain kegiatan
revitalisasi selain secara sensitif harus mengacu kepada konteks lingkungan juga
harus mampu mengakomodasi kebutuhan perubahan dan investasi masa kini.
Pada revitalisasi kawasan bersejarah, terdapat dua proses yang perlu
dilakukan, yakni rehabilitasi
bangunan/kawasan yang bertujuan untuk
memperbaiki bagian kawasan yang mengalami penurunan kualitas fisik, dan
preservasi yang bertujuan untuk menjaga karakter lingkungan tersebut. Menurut
Lynch dalam Tiesdell et al. (1996), sebuah lingkungan yang tidak boleh
mengalami perubahan akan mengundang kehancurannya sendiri. Oleh karena itu,
perubahan fisik masih diperbolehkan dalam konservasi kawasan kota bersejarah,
namun dalam tingkat yang masih relevan dan melalui kajian-kajian mendalam
terlebih dahulu. Dengan demikian intervensi fisik yang dilakukan dalam
revitalisasi dengan pendekatan konservasi ini dengan sendirinya harus melindungi
sejarah objek atau kawasan tersebut.
Tiesdell et al. (1996) berpendapat bahwa tindakan perencanaan dalam
proses
revitalisasi
dengan
pendekatan
konservasi
adalah
cara
untuk
mengakomodasi perubahan dengan sikap yang ‘sensitif’ dan ‘pantas’ dalam
mempreservasi karakter dari lokalitas setempat, sejalan dengan mengizinkan
perubahan ekonomi yang diperlukan. Revitalisasi kawasan menjadi upaya untuk
mengembalikan serta menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada, melalui
intervensi fisik dan non-fisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial-budaya, serta
pengembangan institusional).
27
Tidak dapat dihindari bahwa revitalisasi kawasan harus melibatkan
berbagai pihak : (1) Government, pihak pemerintah sebagai pemeran utama dalam
mengembangkan kawasan perkotaan, yakni dalam menyediakan dan mengelola
ruang terbuka publik,
(2) Developers, yakni pihak swasta sebagai investor, (3)
Retailers, yakni pihak pedagang yang akan berjualan di kawasan tersebut, dan (4)
Community, yakni pihak masyarakat untuk opini publik dan kepentingan
lingkungan setempat.
Panduan rancang kota yang akan dibuat menjadi perangkat pengarah dan
pengendalian dalam mewujudkan Kawasan Cagar Budaya yang akomodatif
terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru. Dengan dukungan mekanisme
pengendalian, maka rencana revitalisasi diharapkan mampu mengangkat dan
mengembangkan potensi-potensi strategis dari kawasan Arjuna, baik dalam
kegiatan/aktivitas sosial-ekonomi maupun dari karakter fisik kota.
3.2
Pengertian Konservasi dan Kaitannya Dengan Revitalisasi
Istilah-istilah pelestarian, konservasi, pemugaran, mengandung arti
sebagai suatu usaha untuk mempertahankan bentuk atau keadaan suatu artefak
bangunan atau lingkungan seperti aslinya, tanpa ada perubahan berarti. Namun
demikian istilah dipertahankan atau mempertahankan belum menunjuk secara
pasti apa sebenarnya yang dimaksud oleh upaya ini, seberapa luas dan seberapa
dalam.
Pelestarian
adalah
istilah
yang
digunakan
dalam
upaya
untuk
mempertahankan bentuk bangunan atau lingkungan dengan mengaitkan nilai-nilai
tertentu pada masa silam (telah berlalu). Kegiatan yang pada awalnya hanya
menekankan pada nilai-nilai artistik warisan budaya, kemudian berkembang pada
penggunaan ekonomis pada tahun 1970-an, dan akhirnya menjurus ke arah
manajemen lingkungan pada tahun 1980-an (Kain, 1981; 1983, Attoe, 1988 dan
Fitch, 1998).
Dengan ditentukannya suatu area menjadi Kawasan Cagar Budaya tidak
berarti bahwa masyarakat yang tinggal pada kawasan dilarang membangun atau
dilarang mengubah bangunannya. Hal ini lebih diartikan bahwa bagian dari kota ini
mempunyai kualitas lingkungan yang bernilai tinggi, dan pembangunan yang baru
28
serta perubahan bangunan lama perlu direncanakan dan dirancang dengan
mempertimbangkan nilai-nilai yang masih berharga tersebut. Bahkan kualitas nilainilai tersebut harus lebih ditingkatkan dengan merawatnya lebih baik dan
menjadikannya sebagai acuan pembangunan kota, sehingga penghuni kota akan
lebih nyaman dan bangga terhadap kotanya.
Rencana konservasi harus bertujuan memastikan hubungan yang sinergis
antara kawasan perkotaan bersejarah dan kota secara keseluruhan. Rencana
konservasi harus menentukan bangunan yang dipertahankan dan bangunan yang
tidak dipertahankan pada kawasan perkotaan bersejarah.
Fungsi dan aktivitas baru dapat disesuaikan dengan karakter dari kota/
kawasan perkotaan historis. Adaptasi kawasan tersebut dengan kehidupan masa kini
memerlukan kehati-hatian dalam instalasi atau peningkatan fasilitas layanan publik.
Apabila diperlukan membangun bangunan baru atau adaptasi bangunan eksisting,
lay out ruang eksisting harus dihargai, terutama dalam hal skala dan ukuran persil.
Pengenalan elemen kontemporer dalam harmonisasi dengan lingkungan tidak perlu
ditakuti karena beberapa corak dapat memberikan kontribusi untuk memperkaya
suatu kawasan.
Menghidupkan area bersejarah dengan aktivitas masa kini perlu disesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dengan turut menyertakan potensi
lingkungan dan masyarakat sekitar. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kita
lihat bahwa konservasi kawasan terkait erat dengan usaha revitalisasi suatu
Kawasan Cagar Budaya.
3.3
Signifikansi Budaya Suatu Kawasan
Konsep
Signifikansi
Budaya
adalah
konsep
yang
membantu
memperkirakan nilai sebuah tempat, tempat yang dimaksud ‘signifikan’ adalah
objek / tempat yang mampu menjelaskan dan menerangkan kejadian masa lalu,
memperkaya masa kini, dan yang dianggap akan menjadi sesuatu yang berharga
bagi generasi masa depan. Perlu ditekankan di sini bahwa nilai-nilai yang
dimaksud tidak bersifat eksklusif atau berdiri sendiri, kemudian dapat dikatakan
bahwa nilai yang satu dapat turut mendukung nilai yang lainnya, sebagai contoh :
gaya arsitektural memiliki aspek historis dan estetika. (Burra Charter, 1982)
29
Konsep Signifikansi Budaya itu sendiri dibuat untuk mengkaji nilai suatu
tempat dilihat dari kepentingan budaya. Penentuan Signifikansi Budaya dilakukan,
karena dengan diketahuinya nilai-nilai ini, kita akan dapat memahami dan
memperkaya budaya kita dengan lebih baik, kemudian juga akan turut menambah
pengalaman dan pengetahuan kita di masa mendatang.
Dalam Burra Charter (1982), ada empat nilai utama yang dapat digunakan
untuk menilai adanya Signifikansi Budaya pada suatu kawasan. Ada pun empat
nilai tersebut adalah sebagai berikut :
1. Nilai Estetika (aesthetic value)
Nilai Estetika mencakup aspek persepsi indra manusia yang bersifat terukur.
Contoh : bentuk, skala, warna, tekstur, dan material, serta aroma dan bunyi
yang berhubungan dengan tempat tersebut dan fungsinya.
2. Nilai Kesejarahan (historic value)
Nilai kesejarahan mencakup sejarah dari estetika, ilmu pengetahuan, dan
masyarakat setempat. Suatu tempat dapat bernilai sejarah apabila berkaitan
dengan figur, peristiwa, fase, maupun aktivitas sejarah.
3. Nilai Keilmuan (scientific value)
Nilai keilmuan atau penelitian akan bergantung dari kepentingan data tersebut
terkait dengan kelangkaan, baik secara kualitas maupun representatif, dan
dalam sudut di mana data tersebut dapat mengkontribusikan informasi
substansial lebih lanjut.
4. Nilai Sosial (social value)
Nilai sosial muncul apabila suatu tempat telah menimbulkan rasa kepemilikan
bagi lingkungannya, baik secara spiritual, politikal, nasional, maupun budaya,
bagi masyarakat mayoritas atau minoritas.
Ada beberapa kriteria lainnya dari beberapa ahli dalam menentukan
Signifikansi Budaya. Tiesdell et al (1996) menuturkan tujuh nilai utama dalam
menentukan penilaian Signifikansi Budaya sebuah kawasan atau bangunan
bersejarah. Tujuh nilai utama tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Nilai estetika (Aesthetic value)
2. Nilai keragaman arsitektural (Value for architectural diversity)
30
3. Nilai keragaman lingkungan binaan
(Value for environmental
diversity)
4. Nilai keragaman fungsi (Value for functional diversity)
5. Nilai sumber daya (Resource value)
6. Nilai kontinuitas dari sejarah budaya/nilai sejarah (Value for continuity
of cultural memory/heritage value)
7. Nilai ekonomis dan komersial (Economic and commercial value)
Sedangkan Kerr (1985) berpendapat bahwa terdapat tiga kriteria utama
untuk menilai keunikan suatu tempat, yang dapat diurutkan sebagai berikut :
1. Kemampuan Demonstratif : Sebuah tempat atau bangunan diharapkan
dapat memperlihatkan keunikannya dan nilainya kepada masyarakat.
2. Hubungan Asosiatif : Memiliki hubungan yang saling mendukung antara
nilai-nilai yang dimilikinya dengan faktor lain di luar dirinya.
3. Kualitas Formal atau Estetik
Selain itu ada pula pendapat Attoe (1979) yang dinyatakan memiliki
kelonggaran dalam menentukan Signifikansi Budaya :
1. Kesejarahan atau keilmuan : Selain memiliki nilai kesejarahan, sebuah
tempat harus memberikan sumbangan ilmu kepada masyarakat.
2. Ekonomi
3. Sumbangan terhadap wajah kota (townscape) : Membantu pembentukan
wajah kota bersama dengan elemen kota lainnya.
Secara garis besar, semua klasifikasi Signifikansi Budaya yang dituturkan
oleh para ahli tersebut sudah tertuang dalam Burra Charter (1982), sehingga pada
selanjutnya Signifikansi Budaya kawasan Arjuna akan dikaji sesuai dengan empat
nilai utama Signifikansi Budaya menurut Burra Charter.
Tabel 3.1 Kesetaraan pendapat para ahli mengenai Signifikansi Budaya.
Attoe
BURRA CHARTER
Kerr
Tiesdell et al
(1979)
(1982)
(1985)
(1996)
Sumbangan
Kemampuan
Nilai estetika (aesthetic
Nilai Estetika
terhadap wajah kota (aesthetic value)
Demonstratif;
value);
(townscape)
Kualitas Formal atau Nilai keragaman
Estetik
arsitektural (Value for
31
Nilai Kesejarahan
(historic value)
Kesejarahan atau
keilmuan
Nilai Keilmuan
(scientific value)
Nilai Sosial (social
value)
Hubungan Asosiatif
Ekonomi
architectural diversity)
Nilai kontinuitas dari
sejarah budaya/nilai
sejarah
(Value for continuity of
cultural memory/
heritage value)
Nilai sumber daya
(Resource value)
Nilai keragaman
lingkungan binaan
(Value for environmental
diversity)
Nilai ekonomis dan
komersial (Economic
and commercial value)
Nilai keragaman fungsi
(Value for functional
diversity)
Sumber: Hasil Analisis, 2007
Dari penjelasan di atas dapat diambil langkah-langkah untuk menentukan
Signifikansi Budaya yang cukup lengkap sebagai alat menganalisis suatu kawasan,
sehingga kawasan atau elemen dari kawasan tersebut dapat dikategorikan sebagai
hasil budaya yang harus dilestarikan atau tidak. Signifikansi Budaya versi Burra
Charter (1982) dan Tiesdell (1996)hampir serupa tetapi dengan istilah yang berbeda,
begitu pula versi W.Attoe (1979) mempunyai penilaian yang serupa dengan
keduanya.
Untuk mengkaji Signifikansi Budaya pada kawasan Arjuna dilakukan
penilaian dengan merangkum ketiga versi penilaian di atas. Penilaian tersebut terdiri
dari Nilai Estetika, Nilai Kesejarahan, Nilai Keilmuan, dan Nilai Sosial dari
kawasan Arjuna.5
Kawasan yang mempunyai Signifikansi Budaya memerlukan upaya
konservasi agar Bangunan Cagar Budayanya dapat dilestarikan. Contextual
Harmony dipilih sebagai pendekatan dalam penanganan pelestarian kawasan agar
menghasilkan keselarasan visual dari ruang kotanya . Pada Sub bab berikutnya
akan dipaparkan mengenai pendekatan Contextual Harmony tersebut.
5
Penilaian Signifikansi Budaya pada kawasan Arjuna dapat dilihat pada Bab 4.
32
3.4
Contextual Harmony
Contextual Harmony merupakan salah satu pendekatan yang dipakai
dalam penanganan pelestarian kawasan dengan menjaga keselarasan antara
bangunan baru dengan bangunan lama, menjaga keselarasan ruang-ruang kota dan
elemen kota lainnya berikut fungsi yang terdapat pada kawasan tersebut.
Sebuah bangunan baru pada suatu Kawasan Cagar Budaya tidak perlu
menjiplak gaya bangunan di lingkungannya agar dapat disebut kontekstual dan
mendukung kesatuan lingkungan. Di dalam pembangunan gedung baru pada suatu
kawasan secara kontekstual perlu diterapkan prinsip-prinsip tertentu yang berasal
dari lingkungannya. Pengamatan Roger Trancik (1984) mengenai hal tersebut: di
dalam perancangan kontekstual yang benar perlu lebih banyak diperhatikan sejarah
kawasan, kebutuhan masyarakat, pemakaian bahan bangunan, serta realitas politik
dan ekonomi masyarakatnya. Dengan kata lain, suatu perancangan yang kontekstual
merupakan hasil dari suatu proses mengalihkan arti lingkungan ke dalam sebuah
objek baru.
Pada suatu Kawasan Cagar Budaya dapat dibangun bangunan baru dengan
menghasilkan keselarasan kontekstual melalui pendekatan contextual harmony.
Pendekatan contextual harmony terdiri dari 3 (tiga) pendekatan (Rogers dalam
Tiesdell et al., 1996), yaitu contextual uniformity, contextual juxtaposition, dan
contextual continuity, yang diuraikan sebagai berikut:
1. Contextual Uniformity, adalah perancangan bangunan baru yang didesain
sama persis dengan bangunan lamanya. Pendekatan ini akan menyebabkan
kemonotonan dalam perkembangan arsitektur dan tidak memberikan visual
kota yang baru. Lebih jauh Freeman (1976) berpendapat walaupun kawasan
historis memerlukan kontinuitas historis, membuat replika masa lalu adalah
menghilangkan kemungkingan penambahan nilai suatu proyek atau kawasan.
Pendekatan contextual uniformity dapat diterapkan pada kawasan yang terdiri
dari bangunan-bangunan Cagar Budaya yang tidak boleh berubah bentuk
fisiknya karena mempunyai langgam bangunan dan ruang kota yang seragam
dan mempunyai pola yang teratur. Apabila dilakukan penambahan bangunan
pada persil harus sama dengan bentuk fisik bangunan yang ada dan tetap
memenuhi ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan yang berlaku atau
33
mengacu pada Bangunan Cagar Budaya yang sudah ada. Dalam hal ini harus
dijaga keseragaman pola dan bentuknya. Alih fungsi pada kawasan dengan
pendekatan ini sifatnya lebih ketat dari pada pendekatan lainnya, yaitu fungsi
ditentukan seperti fungsi asal, apabila terjadi perubahan hanya untuk fungsi
tertentu dengan dominasi fungsi asal.
2. Contextual Continuity, merupakan pendekatan lain yang memasukkan unsur
baru ke dalam suatu kawasan bersejarah, dimana tetap mempertahankan
karakteristik yang ada tetapi dapat menggunakan material yang berbeda,
bahkan bila perlu dapat menggunakan teknologi modern. Pendekatan ini tidak
merubah karakter dan nilai-nilai kawasan tersebut secara keseluruhan dan
dapat mengadaptasikan bangunan atau kawasan preservasi tersebut dalam
menjawab kebutuhan masa kini, atau transformasi tradisi, sesuai dengan ide
rancang kota postmodern. Pandangan postmodern menekankan kepada
kontinuitas antara bingkai waktu, dan memberikan kesempatan bahkan
mendorong adanya toleransi besar terhadap perbedaan maupun nuansa lokal
yang spesifik. Rancang kota kontemporer memperhatikan kontinuitas historis
dari suatu kota dan tempat.
Contoh pendekatan contextual continuity dapat dilihat pada kawasan
Merchant City di Glasgow (Tiesdell et al.,1996) dengan merancang infill
development atau pada kawasan China Town di Singapura. Kesuksesan
kontekstual pada bangunan-bangunan barunya adalah mengakomodasi
kebutuhan masa kini dengan tetap
mengikuti kaidah tradisi lokal seperti
kemajuan dari skala dan detail mulai lantai dasar sampai skyline. Contoh lain
dapat ditemui pada Shad Thames yang mengalihfungsikan pabrik dan gudang
menjadi mixed use dengan masih mempertahankan karakter dan konteks
eksisting tetapi melakukan pula pengembangan secara diagonal terhadap skala,
massa bangunan dan ruang yang terbentuk diantaranya. (lihat Gambar 3.1)
34
Merchant City, Glasgow
Shad Times, London
Gambar 3.1 Contoh bangunan baru yang kontekstual dengan bangunan Cagar Budaya di
sekelilingnya. Sumber: www.wikipedia.com
Kontinuitas bukan hanya berlaku pada bentukan fisik tetapi dapat
berlaku pada fungsi bangunan. Dalam hal ini bangunan yang sudah ada
dipertahankan fungsi asalnya atau fungsinya kontekstual dan disesuaikan
dengan lingkungannya. Untuk pendekatan contextual continuity dapat
diterapkan pada kawasan yang terdiri dari bangunan Cagar Budaya yang
bercampur dengan bangunan baru di sekelilingnya. Elemen rancang kota
seperti massa bangunan, street furniture dan signage apabila dibuat yang baru
dengan pendekatan contextual continuity harus disesuaikan dengan pola, skala
dan bentuk yang ada tetapi masih dapat dilakukan inovasi dari segi proporsi,
teknologi bahan material dan fungsi.
3. Contextual Juxtaposition. Perancangan baru dalam kawasan bersejarah juga
dapat dilakukan dengan pendekatan Contextual Juxtaposition yang berbeda
sama sekali dengan sekitarnya atau pada pembahasan sebelumnya disebut
kontras. Pendekatan ini seringkali dipakai oleh arsitektur modern dengan
menampilkan gaya yang modern sehingga tidak akan mengganggu suasana
kawasan yang telah terbentuk (sesuai dengan ide-ide desain modern). Harmoni
dapat dicapai dengan bangunan yang sangat berbeda (juxtaposition), masingmasing mengekspresikan masanya. Juxtaposition dapat dilakukan dengan
meletakkan bangunan baru yang berkualitas di samping bangunan historis
yang sudah sempurna, secara radikal membuat keseimbangan konteks ruang
eksisting.
35
Gambar 3.2 Contoh penempatan bangunan baru diantara bangunan Cagar Budaya di
Covent Garden Market (London). Sumber: www.wikipedia.com
Pendekatan contextual juxtaposition pada suatu kawasan adalah
dengan bebas dilakukan inovasi pembangunan baru, tetapi masih menjaga
keharmonisan elemen-elemen rancang kotanya dengan kawasan lainnya. Pada
kawasan ini dapat dilakukan perombakan total terhadap bangunan lama yang
bukan bangunan Cagar Budaya. Apabila terdapat bangunan Cagar Budaya
pada kawasan ini, maka bangunan tersebut tetap dipertahankan. Sedangkan
bangunan baru di sekitar bangunan Cagar Budaya tersebut dapat dibangun
dengan bentuk yang berbeda. Diharapkan keberadaan bangunan Cagar Budaya
tersebut dapat ditonjolkan karena perbedaan tersebut.
Pada suatu Kawasan Cagar Budaya dapat dilakukan ketiga pendekatan
tersebut di atas, dengan sebelumnya mengklasifikasikan bagian-bagian kawasan
yang akan dilakukan pendekatan contextual uniformity, contextual continuity, dan
contextual juxtaposition. Kemudian kawasan dibagi menjadi beberapa cluster
dengan masing-masing pendekatan konservasi . Masing-masing pendekatan pada
tiap cluster dicari karakteristik visualnya seperti yang diuraikan pada tabel berikut
ini:
Tabel 3.2 Ciri-ciri / karakteristik visual dari berbagai pendekatan konservasi
CIRI-CIRI / KARAKTERISTIK VISUAL
contextual uniformity
1. Massa bangunan
seragam ukuran,
ketinggian, skala, pola,
bentuk langgam
contextual continuity
1. Langgam, pola, ketinggian dan
skala bangunan dapat
menyesuaikan dengan
bangunan Cagar Budaya/yang
36
contextual juxtaposition
1. Langgam/gaya arsitektur,
pola, ukuran, ketinggian,
skala, material, warna dan
konstruksi dapat sangat
dilestarikan pada cluster yang
sama tetapi dengan proporsi
yang berbeda dan
menggunakan material, warna
dan teknologi membangun
yang lebih modern atau sesuai
dengan kebutuhan masa kini.
2. Ruang luar/ RTH luasannya
sesuai peraturan yang berlaku
pada kawasan tetapi mendapat
penataan agar terjadi
kontinuitas antar ruang luar
dan dibuat ruang bersama
public realm tempat interaksi
masyarakat.
3. Signage dan Street Furniture
dapat diseragamkan tetapi
dapat pula ditentukan
berdasarkan tema pada cluster
tersebut.
Sumber: Hasil Analisis, 2007
arsitektur / gaya,
konstruksi, selubung
maupun material dan
warnanya dengan
bangunan eksisting/yang
dilestarikan
2. Ruang luar/ RTH yang
terbentuk diseragamkan
bentuk dan luasannya
3. Sirkulasi dan parkir
mempunyai pola yang
sama
4. Signage dan Street
Furniture seragam
berbeda dengan bangunan
eksisting yang dilestarikan.
2. Ruang luar/RTH,
bangunan Cagar Budaya
tetap menonjol diantara
bangunan baru yang
berbeda sama sekali.
3. Signage dan Street
Furniture dapat ditentukan
berdasarkan tema pada
cluster tersebut.
Pendekatan kontekstual merupakan sebuah pendekatan terpadu dengan
mengikutsertakan pertimbangan kualitas lingkungan fisik dan aspek nonfisik ke
dalam proses perancangan arsitektur dan kota, yaitu pertimbangan mengenai:
1. kegiatan: fungsi, program ruang dan lain-lain
2. lingkungan: gubahan massa, linkage dan sirkulasi, dan ruang publik
3. visual: tampak, elemen bangunan, langgam dan lain-lain.
Pertimbangan kualitas lingkungan fisik akan lebih mudah diterapkan dalam proses
perancangan arsitektur dan kota melalui pertimbangan visualnya.
Pendekatan kontekstual dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
1. Alteration, adaptasi bangunan lama untuk fungsi baru dengan perubahan
2. Addition, pengulangan bangunan asli; abstraksi bangunan asli; latar
belakang (background) bagi bangunan asli dengan pengaturan jarak dan
kaitan visual (massa bangunan)
3. Infill, penyisipan bangunan pada lahan kosong dalam lingkungan dengan
karakter visual yang kuat dan teratur.
37
Dalam pendekatan contextual harmony, beberapa pertimbangan untuk
menerapkan rancangan yang harmonis atau kontras dalam suatu lingkungan
(Hedman/ Jaszeswki, 1984) melalui:
1. Optional/pilihan. Pilihan yang relatif bebas, apakah sikap rancangan
harmonis atau kontras, dapat dilakukan bila bangunan agak terisolasi
secara visual, sehingga ruang publik tidak terpengaruh secara kuat oleh
massa bangunan. Misalnya pada bangunan yang berdiri sendiri secara
tunggal, dan dikelilingi ruang hijau dan vegetasi yang membatasi satu
bangunan dengan bangunan lainnya.
2. Selective Linkages/kaitan selektif. Pendekatan perancangan yang lebih
selektif diperlukan pada lingkungan dengan kualitas bangunan yang
berbeda-beda, bercampur antara bangunan bagus dengan bangunan yang
biasa saja. Pola-pola yang meningkatkan kualitas lingkungan sebaiknya
diperkuat/ditonjolkan dalam perancangan, sebaliknya yang kurang baik
harus ditinggalkan.
3. Moderate Conformance/penyesuaian sedang. Tanggapan rancangan yang
lebih luas dapat dilakukan ketika dalam suatu lingkungan terdapat
berbagai langgam. Ciri-ciri dari berbagai bangunan yang membentuk
kesatuan dan harmoni menjadi pokok/inti dari rancangan-rancangan yang
harmonis. Elemen-elemen baru dapat diperkenalkan, diiringi dengan
kaitan perancangan yang kuat.
4. Rigorous Conformance/penyesuaian yang teliti. Pada kawasan yang terdiri
dari bangunan-bangunan yang signifikan secara arsitektural, yang
memiliki banyak kemiripan dalam detail dan penampilan, ciri-ciri yang
ada harus dipertahankan. Perancangan bangunan yang baru harus sesuai
dengan karakter bangunan-bangunan yang telah ada.
5. Replication/pengulangan
bentuk.
Dari
berbagai
kasus
pelestarian,
pengulangan bentuk suatu bangunan secara utuh (replikasi) jarang
dilakukan. Kasus ini dapat terjadi, misalnya pada suatu deretan bangunan
yang bernilai sejarah, di mana satu bangunan telah hancur, sehingga perlu
dibangun ulang sama seperti bangunan semula.
38
Dalam perancangan secara kontekstual tidak dapat mengabaikan kontras,
karena kontras dibutuhkan untuk menciptakan sebuah lingkungan yang menarik
dan kreatif. Diamati dengan baik bahwa prinsip kontras hanya bersifat sebagai
bumbu yang perlu dipakai dengan hati-hati. Pada kawasan perkotaan, kontras
adalah salah satu alat perancangan yang diperlukan, dan akan meningkatkan
kualitas kawasan apabila dipakai dengan cara yang baik. Namun sebaliknya, tanpa
perhatian atau pengendalian yang sungguh-sungguh, akan terjadi pemusnahan
yang mengubah sebuah kawasan ke arah kekacauan. Secara nyata pada masa kini
di dalam pembangunan perkotaan, kontras terlalu sering dipakai dan sifatnya
sering disalahgunakan. Oleh karena itu sangat dibutuhkan pemahaman yang baik
mengenai kontras menjadi seimbang dengan konteksnya.
Perancangan
secara
kontekstual dipilih agar tidak menghilangkan karakter kawasan sehingga tetap
utuh dan potensial, tetapi masih memenuhi kebutuhan sekarang.
Pertimbangan lain yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan kawasan
secara harmonis adalah menurut Carmona et al (2003), yaitu kriteria visual
sebagai berikut:
1. Menghargai skyline bangunan dan muka jalan (street frontage) yang ada.
2. Keseimbangan massa bangunan secara tiga dimensi dengan mengatur KDB
(BCR) dan KLB (FAR).
3. Skala, skala berbeda dengan ukuran/dimensi, yang harus diperhatikan adalah
skala bangunan dan hubungan semua bagiannya terhadap skala manusia, dan
dimensinya dihubungkan dengan kondisi setempat. Fasade dan visual interest
pada level pedestrian sangat signifikan dengan skala manusia.
4. Proporsi antara solid dan void pada fasad bangunan.
5. Ritme atau irama yang didapat dari pengulangan ukuran dan perlakuan pada
fasade bangunan.
6. Material yang memperlihatkan warna dan tekstur bangunan. Suatu kawasan
apabila secara konsisten mempergunakan material lokal untuk bangunannya,
maka akan memberikan sence of unity and place yang kuat, dan apabila
dipergunakan oleh bangunan baru akan memberikan keterpaduan secara visual.
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka dipilih pendekatan
kontekstual yang harmoni dengan tetap mempertimbangkan unsur kontras agar
39
eksistensi bangunan dan Kawasan Cagar Budaya tetap terjaga tetapi masih dapat
mengakomodasi kebutuhan dan ekspresi masa kini.
Contextual harmony dengan ketiga pendekatan tersebut di atas merupakan
pendekatan yang dapat dipakai dalam penanganan pelestarian kawasan.
Diharapkan dengan pendekatan tersebut dapat menjaga keselarasan antara
bangunan baru dengan bangunan lama, menjaga keselarasan ruang-ruang kota dan
elemen kota lainnya berikut fungsi yang terdapat pada kawasan tersebut. Ketiga
pendekatan konservasi tersebut di atas dapat secara bersama-sama diterapkan
dalam suatu kawasan perkotaan bersejarah. Masing-masing bagian tidak berdiri
sendiri tetapi membentuk suatu keharmonisan dengan cara penyelarasan antar
bagian.
3.5
Studi Banding
Studi banding dilakukan pada kota Singapura yang mempunyai kawasan
konservasi/Cagar Budaya dan telah mendapat pengaturan pelestarian oleh pihak
Urban Redevelopment Authority (URA). Pemerintah Singapura menyediakan
berbagai format untuk memberikan arahan bagi pemilik privat suatu bangunan
konservasi/ Cagar Budaya untuk memperbaiki maupun pembangunan pada
Kawasan Cagar Budaya. Bagi pemilik bangunan atau pihak profesional diberikan
panduan teknis dan standar-standar untuk usaha pelestarian, publikasi tentang
konservasi dibuat untuk mengarahkan mereka agar mengerti lebih baik mengenai
prinsip-prinsip perancangan dan panduan konservasi.
Prinsip dasar dari aplikasi konservasi untuk semua kawasan dan bangunan
Cagar Budaya adalah 3R : Maximum Retention, Sensitive Restoration, Careful
Repair. Pada konteks Singapura, panduan konservasi diaplikasikan dalam
tingkatan yang berbeda untuk kelompok yang berbeda pada kawasan konservasi
sesuai dengan pertimbangan signifikansi historisnya. Terdapat 4 (empat)
kelompok utama kawasan konservasi di Singapura, yaitu:
1. Kawasan Historis (Historic Districts)
2. Hunian pada Kawasan Historis (Residential Historic Districts)
3. Pemukiman Sekunder (Secondary Settlements)
4. Bungalow
40
Adapun yang dibahas untuk mendapatkan gambaran usaha revitalisasi dan
konservasi Kawasan Cagar Budaya pada kasus studi banding adalah beberapa
tempat pada Kawasan Historis (Historic Districts) dan Kawasan Huniannya
(Residential Historic Districts),
karena pada tempat ini dapat ditemukan
keselarasan kontekstual beserta ketiga pendekatannya.
Gambar 3.3 Peta Kawasan Konservasi di Singapura
(Sumber: Conservation Guidelines, URA)
Hasil Pendekatan Contextual Harmony pada objek studi banding dapat
dilihat dari aspek sebagai berikut:
1. Lingkungan yang terdiri dari gubahan massa bangunan, sirkulasi dan
ruang publiknya.
2. Visualnya berupa tampak atau muka bangunan, elemen bangunan dan
langgam bangunannya.
3.5.1
Contextual Harmony pada Kawasan Historis
Kawasan historis terdiri dari: Boat Quay, Chinatown, Kampong Glam dan
Little India, pada kawasan ini seluruh bangunan dilestarikan, perubahan fungsi
41
menjadi komersial atau hunian diperbolehkan, bentuk konservasi yang ketat
berlaku pada kawasan ini. Penanganan pelestarian yang dilakukan pada Kawasan
Historis (Historic Districts) ini serupa dengan pendekatan Contextual Harmony,
hasil dari pendekatan tersebut dapat diuraikan pada masing-masing kawasan
sebagai berikut:
1. Pendekatan Contextual Uniformity pada kawasan Boat Quay dapat dilihat
pada hal-hal berikut ini:
a. gubahan massa, massa bangunan yang baru menyesuaikan dengan bentuk
dan posisi massa bangunan lama, orientasi bangunan seragam menghadap
ke arah sungai, ketinggian bangunan relatif seragam 3-4 level.
b. tampak,
muka
bangunan
yang
relatif
seragam
walaupun
pada
perkembangannya terdapat bangunan 3 level dan 4 level.
c. elemen bangunan, bagian dasar bangunan berbentuk arkad yang menerus
antar bangunan; ketinggian trase setiap level bangunan-bangunan
membentuk garis menerus; bentuk atap dan bukaan-bukaan sejenis.
d. langgam bangunan relatif seragam berupa arsitektur modern yang
mengalami perpaduan dengan arsitektur kolonial tropis‘Early Shophouse
Style’ dan ‘Art Deco Shophouse Style’. Bangunan pada kawasan historis
ini karakteristiknya terdiri dari dua dan tiga lantai rumah toko/ruko
(Shophouses).
e. seluruh bangunan historis tidak boleh berubah bentuknya, keaslian
bangunan harus dipertahankan, selubung bangunan, KDB & KLB harus
dipertahankan seperti semula, hanya unsur warna yang masih dibebaskan
bagi pemilik bangunan, penambahan bangunan baru sangat ketat dilakukan
dan harus serupa dengan bangunan historis eksisting.
f. ruang publik, di sepanjang pinggir sungai merupakan ruang publik
rekreatif yang menerus sebagai daya tarik lingkungan.
Deretan rumah toko (shophouses) Boat Quay dikonservasi secara hati-hati.
Penanganan pelestarian pada kawasan ini memperlihatkan keharmonisan yang
relatif seragam (Contextual Uniformity) dengan mengaktifkan lapisan dasar dari
42
deretan bangunan historis dan tepi sungai sebagai fungsi publik yang komersial
dan rekreatif.
Gambar 3.4 Boat Quay tahun 2007. Sumber: Boat Quay.htm
Gambar 3.5 Block Plan dan Bird Eye View Boat Quay. Sumber: Boat Quay.htm
Gambar 3.6 Deretan Bangunan RUKO di Boat Quay. Sumber: Boat Quay.htm
2. Pendekatan Contextual Continuity pada kawasan Chinatown dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Membentuk gubahan/bentuk massa bangunan yang menerus dengan
massa di sampingnya, linkage dan sirkulasi mengikuti sirkulasi eksisting
pada kawasan, dan ruang publik yang menerus pada level dasar bangunan.
43
b. Kontinuitas pada fasade bangunan berupa pengulangan bentuk arkade dan
bukaan pada tampak bangunan mengikuti pola, irama, tekstur, dan
material sekitarnya.
Pada kawasan Chinatown ini bangunan, monumen dan ruang kota
dilakukan pelestarian, selain itu terdapat penambahan bangunan baru yang
kontekstual dengan lingkungannya. Kawasan Historis Chinatown terletak di
sebelah selatan sungai Singapore, merupakan pemukiman asli komunitas Cina di
Singapura. Kawasan terdiri dari 4 (empat) distrik yang masing-masing
mempunyai karakter yang khusus, yaitu:
1. Kreta Ayer, dikenal dengan kegiatan jalanan dan festival.
2. Telok Ayer, terdiri dari deretan panjang rumah toko dan beberapa bangunan
religius sepanjang jalan Telok Ayer, dan hunian beserta clubhouses pada bukit
Ann Siang.
3. Bukit Pasoh, terdiri dari campuran hunian, aktivitas jasa dan komersial.
4. Tanjong Pagar, terdiri dari campuran hunian dan aktivitas komersial.
Pada kawasan ini terdapat 5 (lima) monumen nasional yaitu: Sri
Mariamman Temple dan Jamae Mosque di Kreta Ayer, Thian Hock Keng Temple,
Nagore Durgha Shrine dan Al-Abrar Mosque di Telok Ayer. Keberadaan
monumen pada kawasan dipertahankan dan dilindungi dengan ketat.
Gambar 3.7 Deretan bangunan yang dikonservasi pada kawasan China Town
Sumber: History of Chinatown.htm
44
Gambar 3.8 Elemen Bangunan pada deretan ruko China Town
Sumber: History of Chinatown.htm
Gambar 3.9 Bangunan baru Hotel 81 pada kawasan melalui pendekatan Contextual
Continuity, dengan upaya melanjutkan proporsi massa bangunan di sekitarnya,
pengulangan bentuk arkade dan bukaan pada tampak bangunan mengikuti pola, irama,
tekstur, dan material sekitarnya. Sumber: History of Chinatown.htm
Penanganan pelestarian kawasan ini dengan mempertahankan bangunan rumah
toko 2-3 tingkat yang berderet sepanjang jalan pada kawasan. Penambahan
bangunan pada kawasan disesuaikan pola dan skalanya dengan bangunan historis
tetapi dapat memakai material dan warna yang berbeda-beda.
Pembangunan
bangunan baru tersebut berupa Hotel 81 di lokasi junction New Bridge Road dan
Upper Cross Street pada kawasan Chinatown.
3. Pendekatan konservasi yang dilakukan pada kawasan Kampung Glam adalah
Contextual Continuity. Pendekatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Membentuk gubahan/bentuk massa bangunan pada cluster yang memiliki
karakter massa bangunan seragam, linkage dan sirkulasi mengikuti
sirkulasi eksisting pada kawasan, dan ruang publik yang menerus pada
level dasar bangunan. Bangunan baru pada kawasan tidak diperbolehkan
45
merubah bentuk massa bangunan dan ruang luar karena harus mengikuti
massa bangunan dan ruang luar eksisting.
b. Kontinuitas pada fasad bangunan berupa pengulangan bentuk arkad dan
bukaan pada tampak bangunan mengikuti pola, irama, tekstur, dan
material sekitarnya.
Di bawah ini terdapat beberapa gambar pada kawasan Kampung Glam
pada masa lalu dan kawasan pada masa sekarang Dapat dilihat hasil pendekatan
Contextual Continuity pada kawasan tersebut.
Gambar 3.10 North Bridge Road, 1960s. Sumber: www.ura.gov.sg
Gambar 3.11 Bussorah Mal l . Sumber: www.ura.gov.sg
Gambar 3.12 Late-style conservation shophouses at Kandahar Street
Sumber: www.ura.gov.sg
46
Gambar 3.13 Kampong Glam. Sumber: www.ura.gov.sg
3.5.2
Contextual Harmony pada Kawasan Hunian Bersejarah (Residential
Historic Districts)
Kawasan ini terdiri dari: Blair Plain, Cairnhill dan Emerald Hill. Pada
kawasan yang relatif kecil ini fungsi bangunan adalah hunian dan tidak
diperbolehkan merubah fungsi bangunan. Penambahan bangunan harus lebih
rendah dari atap utama dan dapat dibangun dengan fleksibilitas yang besar dalam
mengadaptasikan bangunan dengan hunian modern.
Pendekatan penanganan pelestarian kawasan dilakukan terhadap bangunan
Cagar Budaya yang merupakan 2-3 tingkat shophouses dan terrace houses.
Bangunan mempunyai
langgam arsitektur transisi dan Art Deco. Di sekitar
bangunan Cagar Budaya dibangun bangunan-bangunan tinggi baru dan modern
yang sangat kontras dengan bangunan eksisting tetapi tetap menonjolkan
keberadaan Cagar Budaya berupa streetscape.
Pada ketiga kawasan hunian ini pendekatan konservasi yang dilakukan
adalah Contextual Uniformity dan Juxtaposition. Pendekatan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Menetapkan gubahan/bentuk massa bangunan utama fungsi hunian tidak
boleh berubah tetapi untuk bangunan sekitarnya dimungkinkan bentuk yang
sangat berbeda dengan syarat peletakan bangunan mempunyai jarak yang
memberikan ruang antara bangunan konservasi dengan bangunan baru.
Sirkulasi mengikuti sirkulasi eksisting pada kawasan.
47
b. Tampak, langgam dan elemen bangunan konservasi sangat berlainan
cenderung kontras dengan bangunan baru, hal ini menjadikan bangunan
konservasi menjadi sesuatu yang unik di tengah-tengah bangunan baru.
3.5.3
Kesimpulan Studi Banding
Dari contoh Kawasan Cagar Budaya tersebut di atas dapat dipelajari
pendekatan Contextual Harmony yang berbeda-beda (Uniformity, Continuity dan
Juxtaposition) pada masing-masing kelompok yang sesuai dengan karakter
kawasan. Pendekatan perancangan telah ditetapkan oleh URA dengan jelas
diuraikan sesuai kelompoknya dari mulai penggunaan bangunan/fungsi, pilihan
pembangunan/perbaikan bangunan, bangunan sekitarnya, profil dan ketinggian
bangunan, development charge, dan panduan restorasi untuk tiap-tiap kelompok
kawasan.
Dari studi banding pelestarian Kawasan Cagar Budaya di Singapura di atas
ada 3 (tiga) kemungkinan pendekatan Contextual Harmony yaitu: Contextual
Uniformity, Contextual Continuity, dan Contextual Juxtaposition, yang dapat
diterapkan pada suatu Kawasan Cagar Budaya sesuai karakter dan konteks
masing-masing. Pada Contextual Uniformity Cagar Budaya yang mempunyai nilai
estetika, nilai kesejarahan, nilai keilmuan dan nilai sosial sangat tinggi, diterapkan
Contextual Uniformity, agar nilai-nilai tersebut tetap utuh dilestarikan. Pada
Contextual Continuity Cagar Budaya yang mempunyai nilai estetika, nilai
kesejarahan, nilai keilmuan dan nilai sosial cukup tinggi atau hanya salah satu
nilai yang menonjol, diterapkan Contextual Continuity agar nilai tersebut tetap
utuh
namun
diperkuat
dengan
penambahan
fungsi
baru
yang
masih
mempertahankan karakter dan konteks eksisting. Pada Contextual Juxtaposition
Cagar Budaya yang mempunyai nilai estetika, nilai kesejarahan, nilai keilmuan
dan nilai sosial cukup tinggi tetapi berada pada lingkungan yang beragam corak
pola, skala dan proporsinya, diterapkan Contextual Juxtaposition. Pembangunan
baru dapat dibuat kontras dengan objek Cagar Budaya agar objek terlihat
menonjol pada kawasannya.
48
Apabila ditinjau terhadap objek bangunannya maka dapat disimpulkan
bahwa pendekatan contextual akan beragam, bergantung pada kebutuhan, skala
objek dan kepentingannya. Hal tersebut dapat dirangkumkan sebagai berikut:
1. Gubahan massa
a. mempertahankan bentuk, posisi dan ketinggian yang sudah ada, untuk
bangunan baru dibuat replika dari bangunan yang sudah ada.
(pendekatan Contextual Uniformity)
b. penambahan massa bangunan menyerupai massa bangunan yang sudah
ada,
dengan
tetap
memperhatikan
batasan
ketinggian
yang
diperbolehkan pada kawasan tersebut. (pendekatan Contextual
Continuity)
c. mendirikan bangunan baru yang sangat berbeda dengan bangunan
yang dikonservasi tetapi memberikan setback atau ruang antara
bangunan baru dengan bangunan lama. (pendekatan Contextual
Juxtaposition)
2. visual:
a. tampak, langgam dan elemen bangunan pada Kawasan Cagar Budaya
dengan mempertahankan bentuk, proporsi, skala, ritme, irama dan
ketinggian yang sudah ada. (pendekatan Contextual Uniformity)
b. penambahan bangunan atau perubahan proporsi, ritme dan ketinggian
bangunan dengan tetap memperhatikan batasan ketinggian yang
diperbolehkan pada kawasan tersebut. (pendekatan Contextual
Continuity)
c. langgam maupun elemen bangunan baru yang sangat kontras dengan
bangunan
lama
tetapi
dengan
menonjolkan
bangunan
yang
dikonservasi pada kawasan. (pendekatan Contextual Juxtaposition)
Pada bab ini telah diuraikan kajian teori mengenai revitalisasi, konservasi,
Signifikansi Budaya kawasan dan bangunan, pendekatan Contextual Harmony,
dan terakhir dilakukan studi kasus. Dari hasil kajian tersebut diketahui bahwa
pendekatan Contextual Harmony dapat dilakukan dalam upaya revitalisasi
49
kawasan berikut konservasi Kawasan Cagar Budaya. Diketahui pula bahwa
pendekatan terdiri dari Contextual Uniformity, Contextual Continuity dan
Contextual Juxtaposition. Ketiga pendekatan ini dapat diterapkan pada bagian
kawasan sesuai karakter dan potensi masing-masing kawasan. Kriteria yang
dipakai untuk menentukan karakter dan potensi masing-masing kawasan agar
tercipta integrasi kawasan yang harmonis adalah skyline bangunan, keseimbangan
massa bangunan secara tiga dimensi, skala bangunan, fasade dan visual interest,
proporsi,
ritme atau irama, dan material. Studi kasus yang dilakukan pada
Kawasan Cagar Budaya di Singapura memberikan gambaran mengenai
pendekatan konservasi Kawasan Cagar Budaya tersebut di atas.
50
Download