1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia. Diatas tanah
manusia mencari nafkah. Diatas tanah pula manusia membangun rumah sebagai
tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran
dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang
dapat dimanfaatkan manusia.1 Secara hakiki, makna dan posisi strategis tanah
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi
juga aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan aspek
hukum. Tanah bagi masyarakat memiliki makna multidimensional. Dari sisi
ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan
kesejahteraan. Secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam
pengambilan keputusan masyarakat dan sebagai budaya yang dapat menentukan
tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.2Aspek tersebut merupakan isu sentral
yang terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam pengambilan proses
kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan pemerintah.3
Pemikiran tentang penguasaan tanah oleh negara berangkat dari
pemahaman atas ketentuan alinea keempat pembukaan UUD 1945 yaitu :
1
Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45.
2
Husein Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), Lembaga Penerbitan
Universitas Khairun, Ternate, hal. 6.
3
Adrian Sutedi, loc.cit.
1
2
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah memiliki tanggungjawab sekaligus tugas utama untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Katakata tumpah darah memiliki makna tanah air. Tanah air Indonesia meliputi bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kesemuanya itu ditujukan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Negara melalui pemerintah mengupayakan agar
kekayaan alam yang ada di Indonesia meliputi yang terkandung di dalamnya
adalah dipergunakan utamanya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Penjabaran
lebih lanjut lanjut dari kalimat ini dituangkan dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
Hak menguasai negara yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 termuat
dalam ayat (2) dan ayat (3). Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan : “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Hak menguasai
negara merupakan suatu konsep yang mendasarkan pada pemahaman bahwa
negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat
sehingga bagi
pemilik kekuasaan, upaya untuk mempengaruhi pihak lain menjadi sentral yang
3
dalam hal ini dipegang oleh negara. Tanah sebagai faktor produksi yang utama
harus berada di bawah kekuasaan negara. Tanah dikuasai oleh negara artinya
tidak harus dimiliki negara. Negara memiliki hak untuk menguasai tanah melalui
fungsi negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Negara
berwenang
menentukan
pengaturan
dan
penyelenggaraan
peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. Selain itu negara juga berwenang
menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari) bumi, air
dan ruang angkasa dan menentukan serta mengatur hubungan-hubungan hukum
antar orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan merupakan pelimpahan
tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah
bersama yang dipunyainya. 4
Dalam Pasal 2 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043) (selanjutnya disingkat UUPA) disebutkan bahwa bumi,
air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. Menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA, negara diberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
4
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,
Yogyakarta, hal. 83.
4
c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Beberapa ahli seperti W.G Vegting dan Gaius berpendapat bahwa
negara tidak perlu mempunyai hak milik atas tanah atau hubungan negara dengan
tanah adalah bukan hubungan pemilikan sebab hubungan milik adalah kepunyaan
perseorangan yang merupakan bagian dari hukum alam.5 Ulpianus beranggapan
bahwa benda-benda yang dipergunakan untuk umum yang disebut dengan res
publicae adalah milik negara dan pemilikan oleh negara tersebut semu karena
negara tidak dapat melarang orang lain untuk mempergunakannya. Vegtig
memberi alasan mengapa negara dapat bertindak sebagai pemilik tanah yang
dipergunakan bagi kepentingan umum, yaitu : Pertama, adanya hubungan hukum
yang khusus antara negara dan tanah-tanah yang masuk kategori res pulicae in
publico usu yang merupakan penyimpangan dari res publicae in patrimonio
(benda-benda yang menjadi kekayaan masyarakat umum). Kedua, kekuasaan
hukum yang dijalankan negara terhadap tanah yang dipergunakan oleh umum,
mempunyai isi yang sama dengan kekuasaan hukum yang dilakukan negara
terhadap tanah-tanah lain yang digunakan secara tidak terbatas. Isi kekuasaan ini
memiliki karakter yang sama dengan kekuasaan milik perseorangan dalam hukum
perdata. Ketiga, tanah yang dipergunakan untuk kepentingan dinas umum seperti
bangunan perkantoran pemerintah, termasuk res publicae in publico usu sehingga
5
Ronald Z. Titahelu, 1993, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan
Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya, hal. 191.
5
menjadi milik negara. Sifat kepemilikan dari negara adalah tidak mutlak tetapi
disebut sebagai pemilikan semu atau quasi proprium. 6
Pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan segala
pengaturan yang terkait di Indonesia telah mengalami perkembangan sejak
unifikasi7 UUPA. Pencabutan hak atas tanah telah mendapatkan penegasan dalam
Pasal 18 UUPA yang menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara
yang diatur dalam undang-undang.”
Ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut merupakan jaminan bagi rakyat
mengenai hak-haknya atas tanah yang tanahnya dicabut, tetapi diikat dengan
syarat-syarat yakni pemberian ganti kerugian yang layak. Termasuk hapusnya hak
milik itu karena pencabutan hak. Ketentuan Pasal 18 UUPA menggariskan bahwa
untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hakhak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak.
Pencabutan hak atas tanah merupakan jalan yang terakhir untuk memperoleh
tanah dan atau benda-benda lainnya yang diperlukan untuk kepentingan umum.
Dalam melakukan pencabutan hak-hak atas tanah tersebut, kepentingan pemilik
tanah tetap tidak boleh diabaikan. Selain wewenang yang ada pada pemerintah
6
Ronald Z. Titahelu, Op.cit, hal. 91-110.
UUPA telah mengakhiri dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang dengan tegas
telah mencabut Agrarische Wet (S. 18750-55), kemudian Domein Verklaring yang tersebut dalam
pasal 1 Agrarische Besluit, Domein Verklaring untuk Sumatera, Keresidenan Manado dan
Keresidenan Borneo, Koninklijk Besluit dan buku kedua dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
7
6
untuk melakukan pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUPA,
harus diberikan jaminan-jaminan bagi pemilik tanah.8
Pada era pemerintahan orde baru terdapat tiga masalah pokok dalam
rangka pelaksanaan UUPA. Tiga pokok permasalahan tersebut adalah pembuatan
peraturan
pelaksanaan,
penyesuaian
kembali
beberapa
materi
peraturan
perundang-undangan tertentu di bidang agraria dan pelaksanaan proses
pembebasan tanah. Pada masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin
memperbesar kapasitas tuntutan atas tanah dan volume pengambilan tanah dari
masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena kriteria kepentingan umum sebagai
alasan pencabutan hak belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
proporsional. Pada tahun 1973 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan HakHak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada diatasnya, yang berisi pedoman
jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Secara material
Inpres tersebut dapat dipakai tetapi secara formal, seharusnya materi yang begitu
penting tidak hanya diatur dalam sebuah Inpres yang biasanya bersifat teknis dan
einmalig. Materi Inpres itu seharusnya diatur dengan undang-undang karena
menyangkut hak rakyat banyak. Pemberian bentuk
Inpres atas kriteria
kepentingan umum lebih merupakan tindakan pragmatis pemerintah dalam
melancarkan program-programnya.9
Menurut Moh. Mahfud MD ada kecendrungan untuk keperluan pragmatis
pada era orde baru ini dibuat beberapa peraturan perundangan agraria secara
8
Adrian Sutedi, Op. cit, hal. 89.
Winahyu Erwiningsih, Op. cit, hal 175.
9
7
parsial dengan watak yang konservatif.10 Kecendrungan ini terlihat misalnya
dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dan Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-Pedoman Pencabutan Hak-Hak
Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Kedua peraturan perundangundangan ini jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk dituangkan
dalam bentuk undang-undang. Tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah
untuk melahirkannya hanya dalam bentuk Peraturan Menteri dan Instruksi
Presiden. Kedua bentuk peraturan perundang-undangan tersebut jelas sangat tidak
partisipatif karena secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah
dan dengan sendirinya tidak aspiratif karena tidak membuka saluran secara wajar
bagi masuknya aspirasi masyarakat. 11
Pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah tidak hanya
dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan berbagai proyek pemerintah,
namun juga diperuntukkan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum
oleh pihak swasta tetapi pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk dan cara yang
berbeda. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau
proyek fasilitas umum seperti kantor pemerintah, jalan raya, pelabuhan laut,
pelabuhan udara dan sebagainya. Adapun tujuan pembebasan dilakukan oleh
10
Produk hukum yang konservatif lebih didominasi oleh lembaga-lembaga negara
terutama pihak eksekutif (sentralistis) dan lebih mencerminkan kehendak atau memberikan
justtifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah. Hukum konservatif biasanya
memuat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah
untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagai peraturan pelaksana (interpretatif).
11
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, PT Pustaka LP3ES Indonesia,
Jakarta, hal. 354.
8
pihak swasta dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum yang
bersifat komersial misalnya : pembangunan perumahan/real estate, pusat pusat
perbelanjaan/shopping centre, pembangunan jalan bebas hambatan, dan lainlain.12
Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5280), patut disimak pula mengenai jenis kepentingan
umum. Adapun ketentuan tersebut menyatakan sebagai berikut :
Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) digunakan untuk pembangunan :
a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api,
dan fasilitas operasi kereta api;
c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. Infrastruktur, minyak, gas dan panas bumi;
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik;
g. Jaringan telekominikasi dan informatika pemerintah;
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. Fasilitas keselamatan umum;
k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. Cagar alam dan cagar budaya;
n. Kantor pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah,
serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan
status sewa;
p. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. Pasar umum dan lapangan parkir umum.
12
Adrian Sutedi, Op.cit, hal.46.
9
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum : “Pengadaan
tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian
yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.” Terdapat pendapat keliru, bahwa
dengan liberalisasi sistem perdagangan maka untuk mengundang investor asing
perlu dirombak peraturan-peraturan hukum tanah nasional yang tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku di negara lain, tanpa memperhatikan sistem yang
berlaku dan konsep yang mendasarinya. Perombakan yang demikian dapat
diistilahkan “change for the sake of change” atau mengubah “asal-asalan”.
Hendaknya dipahami bahwa perbedaan yang ada tidak dimaksudkan untuk
menghambat tetapi bahwa pengembangan prinsip-prinsip hukum tanah dalam
rangka menjawab kebutuhan tersedianya perangkat hukum tertentu harus
didasarkan pada kerangka konsep yang ada.13
Dalam praktiknya dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama
pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan
tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan kepentingan komersial
dan bukan komersial atau bukan sosial.14 Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah.
Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan
yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri,
13
Maria S.W Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W Sumardjono I),
hal. 22.
14
Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi,
Kompensasi Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Bernhard
Limbong I), hal. 129.
10
baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta.
Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar dan
bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.15
Secara normatif, pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah menyangkut
dua sisi dimensi harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan
masyarakat dan kepentingan pemerintah.16 Tanah merupakan hal penting dalam
kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah.
Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu
adanya landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan
kepastian hukum, dalam pelaksanaan dan penyelesaian pertanahan, khususnya
pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum. 17
Pembebasan lahan merupakan sebuah permasalahan global dan kompleks,
karena itu sistem administrasi tanah harus mampu mengelola pembebasan lahan
untuk pembangunan yang penting, pengembangan sektor swasta dan perubahan
penggunaan lahan dalam merespon tuntutan sosial dan ekonomi. Ditinjau dari
persepektif sempit, pembebasan tanah membentuk persimpangan proses yang
efektif yang mengelola pasar tanah, mencatat hak penggunaan tanah dan
mengimplementasikan perencanaan penggunaan lahan. Pembebasan tanah
15
Ibid, hal. 131.
Ibid.
17
Fauzi Noer, 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Fauzi Noer I), hal. 7.
16
11
merupakan isu lintas sektor yang kompleks-suatu masalah yang didekati di setiap
negara, tentu saja dalam setiap yurisdiksi lokal, sesuai dengan proses yang diambil
dari berbagai fungsi administrasi pertanahan, dan sering dari persepektif sejarah.
Negara – negara berkembang kurang mengekspresikan dengan jelas teori yang
mendukung kekuasaan negara untuk memperoleh tanah. Titik awal di negara
berkembang ini, terletak pada bingkai kerangka konstitusional yang jelas dan
komprehensif dan hukum yang membentuk dasar untuk mengambil tanah.
Idealnya dalam pengambilan tanah harus menggabungkan standar hak asasi
manusia untuk pemukiman kembali, tingkat kompensasi yang memadai dan yang
mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat.18
Pembebasan tanah tidak hanya dilakukan untuk sektor publik tetapi juga
sektor swasta. Asal manajemen perubahan spasial dan pelaksanaan struktur fisik
memastikan penggunaan tanah tersebut untuk tujuan yang tepat. Sektor publik
biasanya hanya memiliki sumber daya yang memadai untuk melaksanakan seluruh
kegiatan yang diperlukan sedangkan sektor swasta mungkin perlu inisiatif
tambahan dan daya dukung resiko.
Investasi sektor swasta membutuhkan kapasitas dan prosedur untuk
mencapai hasil yang diinginkan, termasuk margin
keuntungan yang harus
ditetapkan melalui undang-undang. Sebuah strategi kunci bagi sektor publik
adalah menyediakan infrastruktur lokal dan pelayanan publik yang relevan,
khususnya fasilitas kesehatan dan pendidikan. Selain itu, mendorong individu dan
perusahaan swasta untuk menempatkan dirinya di daerah yang sesuai dengan
18
Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 249.
12
rencana penggunaan lahan yang mencerminkan kebutuhan dari masyarakat yang
lebih luas dan berkembang. 19
Contoh
kasus pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang
diselenggarakan oleh badan usaha swasta : perkara pencabutan hak atas tanah
untuk pembangunan proyek Pulomas. Didorong oleh orientasi dasar dalam
kebijakan pertanahan mengenai penyediaan lahan untuk perumahan, diambil
kebijakan penyediaan lahan untuk proyek Perumahan Pulomas. Kebijakan ini
merangsang pemerintah menguasai sebanyak mungkin untuk kepentingan
pembangunan perumahan ke daerah lain. Untuk kelancaran pembangunan
perumahan di Pulomas, Pemerintah DKI Jakarta menempuh kebijakan yaitu
dengan membentuk yayasan Perumahan Pulomas dengan Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya No IX/3/14/64 tanggal 24 Agustus
1964. Yayasan perumahan Pulomas juga ditugaskan untuk menyediakan tanah di
Pulomas. Yayasan perumahan Pulomas adalah suatu badan hukum biasa yang
tunduk pada hukum perdata umum sebagai swasta oleh karena itu kepentingannya
tidak dapat disamakan begitu saja dengan kepentingan negara, atau kepentingan
umum, karena bagaimanapun juga modal dasar yayasan adalah harta kekayaan
yang sudah dipindahkan/dipisahkan. Jadi sekalipun modal itu berasal dari Pemda
DKI Jakarta, namun ia sudah terpisah dan berdiri sendiri sehingga modal itu tidak
dapat dikatakan atau dipandang berstatus modal negara. Dengan demikian
yayasan perumahan Pulomas berdiri sendiri, sebagai badan hukum, tidaklah dapat
19
Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 250.
13
diberikan begitu saja wewenang penguasaan kepada yayasan Perumahan Pulomas.
20
.
Semakin terbukanya negara Indonesia bagi pelaku bisnis asing yang
menambah maraknya percaturan permaanfataan tanah, hendaknya tidak semakin
mempertajam polarisasi antara kelompok yang kuat dengan kelompok yang lemah
dalam penguasaan tanah. Dalam berbagai kegiatan ekonomi tampil tiga pelaku di
dalamnya, yakni negara/pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Masingmasing mempunyai posisi tawar-menawar yang berbeda karena perbedaan di
dalam akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan tanah yang
terbatas.21
Tanah dan pembangunan merupakan dua entitas yang tidak dapat
dipisahkan. Secara sederhana dikatakan bahwa tidak ada pembangunan tanpa
tanah. Pembangunan selalu membutuhkan tapak untuk perwujudan proyekproyek, baik yang dijalankan oleh instansi dan perusahaan milik pemerintah
sendiri, maupun perusahaan milik swasta. Hubungan pembangunan dan tanah
bukan hanya melingkupi aspek ekonomi namun juga politik. Sebagai alas hidup
manusia, tanah dengan sendiri menempatkan posisi yang vital, atas pertimbangan
karakternya yang unik sebagai benda yang tak tergantikan, tidak dapat
dipindahkan dan tidak dapat direproduksi.22
20
Adrian Sutedi, Op. cit, hal. 317.
Maria S.W Sumardjono I, Op.cit, hal. 23.
22
Winahyu Erwiningsih, Op. cit, hal. 270.
21
14
Faktor-faktor yang menyebabkan hambatan bagi penyelenggaraan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta
antara lain:
1. Faktor Politik
Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara
pemerintah dengan rakyat bermuara pada makin meningkatnya sengketa
pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah dan swasta. Sejarah
membuktikan bahwa pemerintah mempunyai orientasi politik tersendiri yang
terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat. Siapa menguasai sumbersumber agraria, dia menguasai ekonomi. Siapa menguasai ekonomi, pada
gilirannya dia menguasai percaturan politik. Jabaran praktisnya secara sederhana
adalah bahwa sikap politik adalah sikap keberpihakan. Berpihak kepada
kepentingan rakyat atau kepentingan-kepentingan lain. Masalah pengadaan tanah
di Indonesia merupakan persoalan yang cukup pelik. Hal ini karena masalah
pengadaan tanah lebih dilihat sebagai kesepakatan politik daripada kebenaran
ilmiah, yang menyangkut lintas departemen. Pembaharuan masalah pengadaan
tanah adalah masalah ideologi pembangunan. Disadari atau tidak, gagasan
bertarung itu mencerminkan keberpihakannya masing-masing kepentingan pihakpihak yang berkuasa. Sebagai salah satu arena pertarungan, tentu ada yang
menang ada yang kalah atau terjadi suatu kedudukan seri yang akhirnya
melahirkan sikap kompromi.
15
2. Faktor Sosial Budaya
Suatu ketika tanah menjadi bagian dari benda warisan atau harta
perusahaan bahkan tanah di banyak tempat menjadi benda yang keramat. Menurut
hukum adat manusia dengan tanahnya mempunyai hubungan yang kosmis-magisreligius selain hubungan hukum. Hubungan ini bukan saja antara individu dan
tanah, tetapi dapat juga antar sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan
hukum adat (rechtsgemeentschap) dalam hubungannya dengan hak ulayat.23
Hak milik perseorangan dalam tradisi sosial diakui dalam perundangundangan dan memperoleh tempat dalam fungsinya yang bersifat sosial.
Walaupun UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa pemilikan secara
perseorangan adalah sah, namun jelas memberi ruang luas kepada warga negara
untuk secara perseorangan menghaki
barang-barang yang diperlukan untuk
mempertahankan martabat kemanusiaannya, mengembangkan pribadi dan
bakatnya dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sumber hak milik itu
adalah hak ulayat yang menurut hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia,
artinya hak bersama atau hak masyarakat. Pemahaman ini hak milik perseorangan
dilekati fungsi sosial, yang artinya tanah milik perseorangan bukan saja
dipergunakan tanpa merugikan orang lain, justru harus diletakkan dalam rangka
pemanfaatan untuk kesejahteraan umum.24Ada kecendrungan terdesaknya hak-hak
masyarakat adat atau masyarakat lokal terhadap sumber daya alam yang menjadi
ruang hidupnya (lebensraum), baik karena diambil alih secara formal oleh pihak
lain (dengan atau tanpa kerugian yang memadai) atau karena tidak diakuinya
23
Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal.252.
Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal. 249.
24
16
(secara langsung atau tidak langsung), hak-hak masyarakat adat/masyarakat lokal
atas sumber daya alam termasuk tanah oleh negara.25
Pendekatan ini menempatkan institusi dan mekanisme sosial budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai instrumen alternatif
penyelesaian sengketa tanah. Penggunaan norma-norma hukum adat sebagai
pelengkap tanah yang tertulis harus tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan
UUPA. Dalam pandangan rakyat, tanah bukan saja sekedar permukaan bumi,
tetapi juga merupakan bagian yang menyeluruh dari kehidupannya. Sengketa
perdata adat mengenai tanah seringkali tidak mudah diselesaikan apalagi jika
tidak dipahami benar tradisi pada masyarakat setempat.
3. Faktor Hukum
Dilihat pergeseran paradigma baru dari era Orde Baru, tanah memiliki
pergeseran nilai, yaitu dari tanah yang dikelola bersama (sosial) berubah menjadi
skema pasar dalam era reformasi ini. Pendekatan sebelumnya yang kapitalistik
harus diubah dengan pendekatan yang lebih populistik. Reformasi agraria (Land
Reform) adalah contoh nyata paradigma populistik yang berorientasi pada
kepentingan rakyat banyak. Contoh lain adalah penolakan sejumlah pihak
terhadap pasal yang bernuansa kapitalistik dalam RUU Pengadaan Tanah yang
kini menjadi Undang-Undang adalah bukti telah terjadi perubahan paradigma.
Misalnya yang termuat dalam draft RUU Pengadaan Tanah dalam Pasal 4
disebutkan bahwa : Pengadaan lahan untuk kepentingan pembangunan. Pengadaan
lahan untuk kepentingan pembangunan meliputi : pengadaan tanah untuk
25
Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal. 255.
17
kepentingan umum dan pengadaaan tanah untuk kepentingan swasta. Dalam draft
RUU tersebut menunjukkan definisi kepentingan pembangunan yang mengerucut
pada dua hal, yaitu : kepentingan umum dan
kepentingan usaha swasta.
Kepentingan umum mewakili public purposes sementara kepentingan usaha
swasta mewakili private purposes. Pertanyaan dasar adalah apakah private
purposes diberikan kedudukan urgensi yang sama sebagaimana terjadi pada public
purposes.
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum disebutkan:
“Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b sampai dengan huruf r wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat
bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau
Badan Usaha Swasta”. Membaca undang-undang merupakan proses berpikir yang
cenderung reaktif karena mendasarkan penilaian lebih pada apa yang tersurat atau
bersifat harafiah semata, sedangkan memahami undang-undang merupakan proses
berpikir reflektif yang menunjukkan upaya untuk tidak sekadar berhenti pada halhal yang bersifat harafiah semata, namun berusaha menemukan makna yang
tersirat yang justru tidak tampak dari bunyi pasal tersebut.26
Tidak mudah untuk membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar
bunyi kata-kata saja, tetapi harus mencari arti, makna atau tujuannya. Membaca
undang-undang tidak cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi harus
dibaca penjelasan dan konsiderannya. Jika hukum dikatakan sebagai suatu sistem,
26
Maria S.W Sumardjono, 2009, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W
Sumardjono II), hal. 190.
18
maka untuk memahami suatu pasal dalam undang-undang sering harus dibaca
pasal-pasal lain dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lain.27
Undang-undang sebagaimana kaidah pada umumnya, berfungsi untuk
melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan atau ditegakkan.
Undang-Undang harus diketahui oleh umum, tersebar luas dan harus
jelas.
Kejelasan undang-undang sangatlah penting. Setiap undang-undang selalu
dilengkapi dengan penjelasan yang dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara.
Sekalipun nama dan maksudnya sebagai penjelasan, namun seringkali terjadi
penjelasan tersebut tidak juga memberi kejelasan, karena hanya dinyatakan cukup
jelas, padahal teks undang-undang tidak jelas dan memerlukan penjelasan. 28
Ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak, tidak
dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa kongkret, oleh karena
itu ketentuan undang-undang harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan
disesuaikan dengan peristiwanya untuk diterapkan pada peristiwanya itu.
Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa kongkretnya,
kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.29 Peraturan
perundang-undangan yang tidak jelas, tidak lengkap, bersifat statis dan tidak dapat
mengikuti perkembangan masyarakat, dan hal itu menimbulkan ruang kosong
maka harus diisi dengan menemukan hukumnya yang dilakukan dengan cara
menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya.
27
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Jakarta,
hal. 50.
28
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya, Jakarta, hal. 12.
29
Ibid.
19
Upaya untuk memahami Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum tidak terdapat penjelasan yang memadai, lengkap dan tuntas mengenai
maksud pasal ini. Ketiadaan penjelasan yang detail menyebabkan maksud-maksud
tersembunyi di balik pasal dibenarkan. Ketiadaan penjelasan yang tuntas
menguatkan dugaan mengenai besarnya kepentingan modal di balik undangundang ini. Sehingga pengaturan mengenai pernormaan sebagai penyebab
hambatan
penyelenggaraan
pengadaan
tanah
bagi
pembangunan
untuk
kepentingan umum. Dapat dianalisa bahwa Pasal 12 ayat (1) tersebut tidak secara
eksplisit memberikan dasar hak bagi swasta untuk menyelenggarakan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum. Disini terjadi kekosongan hukum, oleh karena itu
penulis tertarik untuk membuat sebuah karya tulis yang berjudul : “Pengaturan
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum oleh Badan Usaha
Swasta”.
Dalam penelitian ini, peneliti telah membandingkan dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang pertanahan. Adapun
penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain:
a. Penelitian dari I Dewa Gede Putra Joni Dharmawan K. SH, Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2007, dengan
judul: “Pelaksanaan Pengadaan Tanah Asal Hak Milik Adat Untuk
Kepentingan Umum Di Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung
Propinsi Bali (Studi Kasus Pembuatan Jalan By Pass Tohpati-Kusamba)”.
Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah :
20
1.
Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah hak milik adat (Pura)
untuk kepentingan umum di Kecamatan Dawan, Kabupaten
Klungkung, Propinsi Bali?
2.
Apakah faktor pendukung dan faktor penghambat pengadaan
tanah hak milik adat (Pura) untuk kepentingan umum guna
pembuatan jalan By Pass Tohpati-Kusamba di Kabupaten
Klungkung?
3.
Bagaimanakah
penyelesaian
pemberian
ganti
rugi
dalam
pengadaan tanah hak milik adat (Pura) untuk kepentingan umum?
b.
Penelitian dari Tri Andari Dahlan. SH, Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2007, dengan judul:
“Pelaksanaan Pengadaan Tanah Guna Proyek Pembangunan Waduk
Jatibarang di Kota Semarang.” Rumusan masalah yang terdapat dalam
penelitian ini :
1.
Bagaimana
pelaksanaan
pengadaan
tanah
guna
proyek
pembangunan Waduk Jatibarang di Kota Semarang?
2.
Apakah dampak dari pelaksanaan pengadaan tanah bagi pemilik
tanah yang terkena proyek pembangunan Waduk Jatibarang di
Kota Semarang?
3.
Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan
pengadaan tanah guna proyek pembangunan Waduk Jatibarang di
Kota Semarang tersebut dan bagaimana cara mengatasinya?
21
c. Penelitian dari Sonny Djoko Marlijanto SH, Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2010, dengan judul:
“Konsinyasi Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum (Studi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol
Semarang-Solo di Kabupaten Semarang). Rumusan masalah yang terdapat
dalam penelitian ini:
1.
Bagaimana mekanisme konsinyasi ganti rugi atas tanah yang
digunakan untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang – Solo
di Kabupaten Semarang?
2.
Hambatan-hambatan apa yang timbul dalam mekanisme ganti rugi
atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol
Semarang –Solo di Kabupaten Semarang?
3.
Bagaimana proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dalam rangka Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang – Solo di
Kabupaten Semarang serta pengaruhnya terhadap pemilik hak atas
tanah yang terkena proyek tersebut?
Dari uraian penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, sehingga tingkat
originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diuraikan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Mengapa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mengatur
22
secara eksplisit dasar hak bagi swasta untuk menyelenggarakan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum?
2. Bagaimanakah pengaturan hak bagi swasta dalam menyelenggarakan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya Hukum Agraria, yaitu mengenai pengaturan penyelenggaraan tanah
untuk kepentingan umum khususnya terkait dengan badan usaha swasta.
1.3.2
Tujuan khusus
Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik
diharapkan mampu:
1.
Untuk mengetahui dan menganalisa latar belakang serta tujuan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mencantumkan secara
eksplisit dasar kewenangan bagi swasta untuk menyelenggarakan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
2.
Untuk mengetahui secara komprehensif mengenai pengaturan dasar hak
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulis
berharap
penelitian
ini
dapat
memberi
manfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis
pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
23
1.4.1
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum Agraria,
terutama mengenai permasalahan aspek pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.
1.4.2
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat praktis yaitu
memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
1.
Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang
hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria, serta dapat dipakai
sebagai acuan dalam menentukan peranan badan usaha swasta dalam
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
2.
Bagi instansi pertanahan, dapat dipakai sebagai bahan evaluasi dan lebih
memperjelas yang menjadi dasar-dasar ketentuan tentang pengaturan
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum.
3.
Bagi peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk
menambah pengetahuan serta wawasan di bidang hukum agraria
khususnya
mengenai
penyelenggaraan
pembangunan untuk kepentingan umum
pengadaan
tanah
bagi
24
1.5 Landasan Teoritis
1. Konsep Negara Kesejahteraan
Industri dan bisnis memerlukan tingkat rasionalitas yang tinggi.
Konsekuensinya hukum harus didasarkan atas prinsip rasional. Aturan hukum
menetapkan batas-batas tindakan individu dalam hidup bermasyarakat. Hukum
dalam hal ini ditujukan untuk memobilisasi dan mengalokasikan sumber-sumber
daya alam yang diperlukan dalam ekonomi pasar.30
Negara kesejahteraan lahir akibat adanya the great depression pada tahun
1929 yang melanda negara-negara Barat yang menganut laissez faire. Pada tahun
1930an muncul seorang ekonom Inggris, John Maynard Keynes yang
menganjurkan bahwa pemerintah dapat mencampuri kegiatan ekonomi apabila
diperlukan dengan tujuan menyejahterahkan rakyat. Hukum dalam perkembangan
ekonomi saat itu, digunakan sebagai suatu instrument intervensi pemerintah dalam
mencapai tujuannya. Hal itu merupakan jawaban terhadap kebutuhan regulasi
ekonomi dan aktivitas sosial karena adanya ketimpangan dalam hidup
bermasyarakat. Hukum secara langsung mengatur tingkah laku dalam hidup
bermasyarakat dan bukan memberi kebebasan kepada individu. Seiring dengan
perubahan bentuk kehidupan bernegara tersebut, tujuan hukum bukan lagi
memobilisasi dan mengalokasikan sumber-sumber daya alam, melainkan
diserahkan kepada pemerintah untuk apa itu hukum dalam kerangka negara
kesejahteraan.31
30
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Peter Mahmud Marzuki I), hal. 135.
31
Ibid.
25
Di Inggris, welfare state dipahami sebagai alternatif terhadap The Poor
Law yang kerap menimbulkan stigma karena hanya ditujukan untuk memberi
bantuan bagi orang-orang miskin.32 Berbeda dengan sistem dalam The Poor Law,
kesejahteraan negara difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial
yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak
kewarganegaraan (right of citizenship) disatu pihak, dan di pihak lain kewajiban
negara (state obligation). Kesejahteraan negara ditujukan untuk menyediakan
pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk, orangtua, dan anak-anak, pria
dan wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin. Welfare state berupaya
untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan
yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga
negara secara adil dan berkelanjutan. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya
dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi
dan
upaya-upaya
pemerintah
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
warga
negaranya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang
mencakup jaminan sosial, baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial
maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith, ide dasar negara kesejahteraan
bermula dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan
gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab untuk menjamin the greatest
happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham
menggunakan istilah utility (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan
32
Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 75.
26
atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan,
Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra
adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya sesuatu yang menimbulkan sakit adalah
buruk. Menurutnya aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk
meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai
reformasi hukum, peranan konstitusi, dan penelitian sosial bagi pengembangan
kebijakan sosial.33
Pencetus teori welfare state yaitu R. Kranenburg, menyatakan bahwa
negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat
dirasakan
seluruh
masyarakat
secara
merata
dan
seimbang,
bukan
menyejahterahkan golongan tertentu, namun seluruh rakyat. Sangat ceroboh jika
pembangunan ekonomi dinafikan dan pertumbuhan ekonomi hanya dipandang
dan dikonsentrasikan pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah
indikator yang sesungguhnya.
Unsur dan karakteristik negara kesejahteraan menurut pendapat De Haan
sebagai berikut :
1.
2.
3.
33
Undang-undang dasar memberikan perlindungan sosial secara
khusus yang menjadi sumber hukum dari semua peraturan
perundang-undangan dalam urusan sosial.
Menciptakan kewajiban bagi pemerintah untuk berusaha
mengadakan segala kebutuhan rakyat dalam berbagai hal yang
benar-benar nyata sesuai dengan yang dicita-citakan dalam undangundang dasar.
Undang-undang harus membangkitkan jaminan pengadaan sosial
yang baru yang lebih mendorong pemberdayaan hak-hak rakyat.
Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 76, dikutip dari Judith Bessant et.al. 2006, Talking
Policy : How Social Policy in Made, Allen and Unwin, Crows Nest.
27
4.
Dalam berbagai hal yang tidak bertentangan Undang-Undang
Dasar terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan parlemen. 34
Merujuk pada rumusan tujuan negara yang tercantum dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 khususnya pada redaksi “memajukan
kesejahteraan umum” terdapat pendapat bahwa Indonesia menganut paham negara
kesejahteraan, seperti Azhary dan Hamid S. Atamimi. Azhary mengatakan bahwa
negara yang ingin dibentuk oleh bangsa Indonesia ialah negara kesejahteraan.35
Pada bagian lain, dikatakan oleh Azhary kalau di Barat negara kesejahteraan baru
dikenal sekitar tahun 1960, maka bangsa Indonesia sudah merumuskannya pada
tahun 1945 oleh Soepomo Bapak Konstitusi di Indonesia.36 Pada saat perumusan
UUD 1945, dikatakan oleh Yamin bahwa negara yang akan dibentuk itu hanya
semata-mata untuk seluruh rakyat untuk kepentingan seluruh bangsa yang akan
berdiri kuat dalam negara yang menjadi kepunyaannya. Kesejahteraan rakyat
yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia merdeka ialah pada ringkasnya
keadilan masyarakat atau keadilan sosial.37 Menurut Hamid S.Attamimi bahwa
negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai
negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat. Rechtsstaat Indonesia itu
ialah Rechtsstaat yang memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
34
Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal. 15, dikutip dari De Haan P. et.al. 1986, Bestuurecht
In De Sociale Rechtsstaat, Deel I Ontwikling Organisatie, Instrumentarium, Kluwer-Deventer, hal.
17.
35
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, hal. 116.
36
Ibid, hal. 145.
37
Ibid, hal. 69.
28
Rechsstaat itu ialah Rechtsstaat yang materiil, yang sosial, yang oleh Bung Hatta
disebut Negara Pengurus, suatu terjemahan Verzorgingsstaat.38
Salah satu karakteristik teori negara kesejahteraan adalah kewajiban
pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum atau bestuurzorg. Menurut
E. Uttrecht adanya bestuurzorg ini menjadi suatu tanda yang menyatakan adanya
suatu welfare state.39 Bagir Manan menyebutkan bahwa dimensi sosial ekonomi
dari negara berdasar atas hukum adalah berupa kewajiban negara atau pemerintah
untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan sosial (kesejahteraan umum)
dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asas keadilan sosial bagi
seluruh rakyat. Dimensi ini secara spesifik melahirkan paham negara
kesejahteraan.40
Jika
adanya
kewajiban
pemerintah
untuk
memajukan
kesejahteraan umum itu merupakan ciri negara kesejahteraan maka negara
Indonesia tergolong sebagai negara kesejahteraan, karena tugas pemerintah
tidaklah semata-mata hanya di bidang pemerintahan saja, melainkan harus juga
melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara, yang
dijalankan melalui pembangunan nasional.41
2. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum
Dalam asas penyelenggaraan kepentingan umum, mengkehendaki agar
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan
38
A. Hamid S. Atamimi, 1996, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan Persepektifnya
Menurut Pancasila dan UUD 1945, Makalah pada Seminar Dies Natalis Universitas 17 Agustus
Jakarta ke 42, diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus, Jakarta, Tanggal 9 Juli, hal. 6.
39
E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas, Surabaya,
hal. 11.
40
Bagir Manan,1999, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, Makalah pada
Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 6 April, hal. 2.
41
Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 2-3.
29
umum, yakni kepentingan dan mencakup aspek kehidupan orang banyak. Asas ini
merupakan konsekuensi dianutnya konsep negara hukum modern (welfare state),
yang menempatkan pemerintah selaku pihak yang bertanggungjawab untuk
meweujudkan bestuurzorg (kesejahteraan umum) warganegaranya. Pada dasarnya
pemerintah dalam menjalankan berbagai kegiatan harus berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku (asas legalitas), tetapi karena ada
kelemahan dan kekurangan asas legalitas, pemerintah dapat bertindak atas dasar
kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
Penyelenggaraan
kepentingan umum dapat berwujud hal-hal sebagai berikut : 42
1.
Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai negara.
Contoh : tugas pertahanan dan keamanan.
2.
Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama
dari warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga
negaranya sendiri. Contoh : persediaan sandang pangan,
perumahan, kesejahteraan dan lain-lain.
3.
Memelihara kepentingan bersama yang tidak seluruhnya dapat
dilakukan oleh para warga negaranya sendiri, dalam bentuk
bantuan negara.
Contoh : pendidikan dan pengajaran, kesehatan dan lain-lain.
4.
Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan yang
tidak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri,
dalam bentuk bantuan negara. Adakalanya negara memelihara
seluruh kepentingan perseorangan tersebut.
Contoh : pemeliharaan fakir miskin, anak yatim, anak cacat dan
lain-lain.
5.
Memelihara ketertiban, keamanan dan kemakmuran setempat.
Contoh : peraturan lalu lintas, pembangunan, perumahan dan lainlain.
Dengan demikian tujuan/tugas pemerintah meliputi keseluruhan tindakan,
perbuatan dan keputusan dari alat-alat pemerintahan untuk mencapai tujuan
pemerintahan yaitu bukan saja tercapainya suatu ketertiban didalam masyarakat
42
Kuntjoro Purbopranoto, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, hal. 39-40.
30
akan tetapi juga tercapainya tujuan nasional atau kepentingan bersama/umum.
Perumusan tujuan pemerintah dapat dilihat dalam alinea IV Undang-Undang
Dasar 1945 yaitu :“….Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia….”
3. Konsep Kepentingan Umum
John
Salindeho
telah
merumuskan
kepentingan
umum
sebagai
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan
memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan Hankamnas atas dasar
asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan ketahanan Nasional serta
Wawasan Nusantara.43 Menurut ketentuan hukum yang berlaku, berkenaan
dengan pencabutan hak atas tanah maka untuk pencabutan hak atas tanah untuk
kepentingan umum harus dipenuhi adanya beberapa persyaratan.
Pertama, pencabutan hak hanya dapat dilakukan bilamana kepentingan
umum harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. Termasuk dalam
pengertian umum ini adalah kepentingan bangsa, negara, kepentingan bersama
dari rakyat serta kepentingan pembangunan. Kedua, pencabutan hak hanya dapat
dilakukan oleh pihak yang berwenang. Untuk keperluan itu telah ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan berbagai peraturan pelaksanaannya
guna mengatur acara pencabutan hak atas tanah . Ketiga, pencabutan hak atas
43
40.
John Salindeho, 1988, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
31
tanah harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Pemilik tanah berhak atas
pembayaran sejumlah ganti kerugian yang layak berdasar atas harga yang pantas.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 196 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (Lembaran Negara Nomor 288
Tahun 1961 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324 Tahun 1961) menjadi
pembatas terhadap penguasa sesuai dengan prinsip negara hukum, jika ingin
mencabut hak milik atas tanah/mengambil tanah warga masyarakat, haruslah
melalui prosedur hukum. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 9
Tahun 1973 tentang Pedoman-Pedoman Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda Yang Ada Diatasnya menyebutkan apa yang dimaksud dengan
kepentingan umum, yakni :
(1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai
sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a. kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau
b. kepentingan masyarakat luas dan/atau,
c. kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau,
d. kepentingan pembangunan.
(2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
meliputi bidang-bidang :
a. pertahanan,
b. pekerjaan umum,
c. perlengkapan umum
d. jasa umum,
e. keagamaan,
f. ilmu pengetahuan dan seni budaya,
g. kesehatan,
h. olahraga,
i. keselamatan umum terhadap bencana alam,
j. kesejahteraan sosial,
k. makam/kuburan,
l. pariwisata dan rekreasi,
m. usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
32
Kepentingan umum telah lama dijadikan suatu doktrin sebagaimana yang
dikemukakan oleh Michael G. Kitay, yang di berbagai negara diekspresikan
dengan 2 (dua) cara. Pertama, Pedoman umum (General Guide) Di sini negara
hanya menyatakan bahwa pengadaan tanah dibutuhkan untuk kepentingan umum
(public purpose). Istilah public purpose bisa saja berubah, misalnya public
menjadi social, general, common atau collective. Sementara purpose diganti
menjadi need, necessity, interest, function, utility atau use. Negara yang
menggunakan pedoman umum ini biasanya tidak secara eksplisit mencantumkan
dalam peraturan perundang-undangan tentang bidang kegiatan apakah yang
disebut sebagai kepentingan umum. Kedua, Ketentuan-Ketentuan Daftar (List
Provisions). Daftar ini secara eksplisit mengidentifikasikan kepentingan itu.
Misalnya sekolah, jalan, bangunan pemerintah dan semacamnya. Kepentingan
yang tidak tercantum dalam daftar tidak bisa dijadikan sebagai dasar pengadaan
tanah. Kerap kali kedua pendekatan diatas dikombinasikan dalam rencana
pengadaan tanah.
Menurut Maria S.W Sumardjono, konsep kepentingan umum selain harus
memenuhi peruntukannya juga harus dapat dirasakan kemanfaatannya. Agar unsur
kemanfaatan ini dapat dipenuhi, artinya dapat dirasakan oleh masyarakat secara
keseluruhan dan/atau secara langsung untuk penentuan suatu kegiatan seyogyanya
melalui penelitian terpadu.44 Oloan Sitorus juga menambahkan bahwa selain
peruntukannya dan kemanfaatannya maka harus ada siapakah yang dapat
44
Maria S.W Sumardjono, “Telaah Konseptutual terhadap Beberapa Aspek Hak Milik,
Sebuah Catatan untuk Makalah Chadijdjah Dalimunte, Konsep Akademis Hak Milik Atas Tanah
Menurut UUPA, Makalah Dalam Seminar Nasional Hukum Agraria III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara-Badan Pertanahan Nasional, Medan 19-20 September, 1990, hal. 13.
33
melaksanakan
pembangunan
untuk
kepentingan
umum
dan
sifat
dari
pembangunan kepentingan umum tersebut, hal tersebut tetap memberikan
kemungkinan dimanipulasikannya untuk kepentingan umum. 45
Prinsip-prinsip hukum dalam pencabutan hak atas tanah pada hakikatnya
mengejar keadilan dalam penerapan undang-undang. Dalam praktiknya dalam
pencabutan hak atas tanah banyak ditemui kasus yang saling bertentangan dalam
menanggapi ada atau tidaknya asas keadilan. Tidak berlebihan jika di dalam
pencabutan hak, pemerintah telah melakukan perbuatan yang menyangkut jauh ke
dalam terhadap hak-hak asasi kemanusiaan, yaitu terhadap harta milik warga
masyarakat yang seharusnya mendapat perlindungan. Disini timbul dua
kepentingan yang saling bertentangan. Disatu pihak penguasa dengan wewenang
hak istimewanya, berdasarkan kekuatan undang-undang yang mangatur demi
kepentingan umum hendak memaksakan kehendaknya. Dilain pihak dihadapkan
pada kepentingan individu masyarakat dengan gigih mempertahankan status hak
miliknya.
Di dalam negara hukum yang modern, pemerintah selaku penyelenggara
pemerintahan negara tertinggi selalu berwenang untuk melakukan tindakan yang
menyangkut kepentingan pribdi warga masyarakat jika kepentingan umum
mengkehendakinya.
Dalam
melakukan
perbuatan
pemerintahan
tersebut,
administrasi sejauh mungkin menghindarkan diri dari tindakan kesewenangwenagan, sebab dalam negara hukum yang demokratis dijunjung adanya asas
legalitas dan asas perlindungan hukum
45
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Mitra Kebijakan Pertanahan Indonesia, Yogyakarta, hal. 7.
34
4. Teori Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi berkaitan erat dengan kekayaan manusia, sikap
sosial, kondisi politik dan latar belakang sejarah. Kondisi politik, psikologi, sosial
dan budaya merupakan syarat yang sama pentingnya dengan kondisi ekonomi.
Pembangunan bukan sekadar masalah memiliki sejumlah besar uang atau sematamata fenomena ekonomi. Pembangunan ekonomi mencakup semua aspek perilaku
masyarakat, penegakan hukum dan ketertiban, kecermatan dalam hubungan
bisnis, termasuk hubungan dengan instansi yang berkaitan dengan penerimaan
negara.46
Adam Smith adalah ahli ekonomi klasik yang dianggap paling terkemuka.
Karyanya yang sangat terkenal adalah sebuah buku yang berjudul An Iquiry into
the Nature and Cause of the Wealth of Nations yang diterbitkan tahun 1776,
terutama menyangkut masalah pembangunan ekonomi. Adam Smith tidak
memaparkan teori pertumbuhan secara sistematik namun teori yang berkaitan
dengan itu kemudian disusun oleh para ahli ekonomi berikutnya seperti yang akan
dijelaskan di bawah ini:47
4.1 Hukum alam
Adam Smith meyakini berlakunya doktrin hukum alam dalam persoalan
ekonomi. Ia menganggap setiap orang sebagai hakim yang paling tahu akan
kepentingannya sendiri yang sebaiknya dibiarkan dengan bebas mengejar
kepentingannya itu demi keuntungannya sendiri. Adam Smith pada dasarnya
46
M.L Jhingan, 2004, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 41.
47
Ibid, hal. 81.
35
menentang setiap campur tangan pemerintah dalam industri dan perniagaan.
Kekuatan yang tidak terlihat yaitu pasar persaingan sempurna yang merupakan
mekanisme
menuju
keseimbangan
secara
otomatis,
cenderung
untuk
memaksimumkan kesejahteraan nasional.48
4.2 Pembagian kerja.
Pembagian kerja adalah titik permulaan dari teori pertumbuhan ekonomi
Adam Smith, yang meningkatkan daya produktivitas tenaga kerja. Penyebab dari
kenaikan produktivitas ini bukan berasal dari tenaga kerja tetapi dari modal.
Terdapat pameo yang terkenal yaitu pembagian kerja bertambah seiring dengan
meningkatnya pasar. Oleh karena itu, perluasan perniagaan dan perdagangan
internasional sangat bermanfaat. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
fasilitas transportasi akan terjadi pembagian kerja yang semakin luas dan
peningkatan modal yang semakin besar.49
4.3
Proses pemupukan modal
Adam Smith menganggap pemupukan modal sebagai salah satu syarat
mutlak bagi pembangunan ekonomi. Investasi dilakukan karena para pemilik
modal mengharapkan untung dan harapan masa depan keuntungan bergantung
pada iklim investasi pada hari ini dan pada kentungan nyata.50
4.4 Agen pertumbuhan
Menurut Adam Smith, para petani, produsen dan pengusaha merupakan
agen kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Perdagangan bebas dan perniagaan,
yang mendorong mereka memperluas pasar, yang pada gilirannya memungkinkan
48
Ibid.
Ibid, hal. 82.
50
Ibid.
49
36
pembangunan ekonomi. Fungsi ketiga agen tersebut saling berkaitan erat.
Pembangunan pertanian mendorong peningkatan pekerjaan konstruksi dan
perniagaan. Pada waktu terjadi kenaikan surplus pertanian sebagai akibat
pembangunan ekonomi, maka permintaan akan jasa perniagaan dan barang
pabrikan akan meningkat pula, ini semua akan membawa pada kemajuan
perniagaan dan berdirinya industri manufaktur.51
4.5 Proses pertumbuhan
Proses pertumbuhan ini bersifat menggumpal (kumulatif). Apabila timbul
kemakmuran sebagai akibat kemajuan di bidang pertanian, industri manufaktur
dan perniagaan, kemakmuran itu akan menarik ke pemupukan modal, kemajuan
teknik, meningkatnya penduduk, perluasan pasar, pembagian kerja dan kenaikan
keuntungan secara terus-menerus.52
Sistem
ekonomi
pasar
berdasarkan
persaingan
sempurna
yang
dikembangkan Adam Smith oleh banyak pakar sering diakui sebagai organisasi
masyarakat terbaik yang mungkin dikembangkan. Hal ini terbukti bahwa jumlah
negara yang menganut sistem pasar ini makin lama makin bertambah dari tahun
ke tahun. Negara yang menganut sistem ekonomi pasar terbukti menikmati tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 53
Teori pembangunan ekonomi yang dikemukakan oleh Adam Smith ini
telah diterapkan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa ada sebagian
pasar barang atau jasa yang sudah bermodel persaingan sempurna. Fakta yang
51
Ibid, hal. 84.
Ibid.
53
Deliarnov, 2005, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal. 42.
52
37
terlihat adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang selalu
diprakarsai bukan hanya oleh pemerintah, tetapi peran serta pihak swasta juga ikut
memberikan andil besar. Masyarakat tidak hanya menggantungkan diri pada
kebijakan pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian, tetapi mereka juga
memunculkan inisiatif-inisiatif dalam kegiatan ekonominya.
Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa pembangunan harus dibangun
menggunakan anggaran pemerintah sehingga pada kondisi anggaran pemerintah
yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan
pembangunan yang memadai bagi perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini
telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam penyediaan pembangunan
melalui model kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau Public-Private
Partnership (PPP). Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan
regulasi yang memberi insentif bagi dunia usaha untuk memberikan layanan untuk
pembangunan tersebut. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun
tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan
lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Pemberian dukungan pemerintah
pada saat ini dilakukan dalam bentuk penyediaan lahan dan pembangunan
sebagian konstruksi. Terkait dengan pembiayaan, investasi sarana dan prasarana
saat ini masih jauh dari kemampuan negara-negara berkembang lainnya. Pada saat
ini banyak lembaga yang terkait dengan pengelolaan sarana dan prasarana
38
sehingga menyulitkan koordinasi, sementara kualitas sumber daya manusia masih
rendah.54
Perkiraan kemampuan pembiayaan badan usaha milik pemerintah melalui
BUMN (Rp 340,85 triliun), perkiraan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah
melalui APBD (Rp 355,07 triliun), serta perkiraan investasi pihak swasta (Rp
344,67 triliun). Saat ini masih diperlukan sumber dana lain selain pemerintah
untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Investasi swasta menjadi tumpuan
harapan, kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP)
akan digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan pada kegiatan pemberian
layanan dengan karakteristik layak secara keuangan dan memberikan dampak
ekonomi tinggi dan memerlukan dukungan dan jaminan pemerintah yang
minimum.55
Contoh risiko pokok yang teridentifikasi dalam proyek kerjasama
pemerintah dan swasta di Indonesia mengenai pengelolaan dan pengurangan
risiko adalah pembebasan tanah.Tanah tidak selalu siap untuk digunakan di dalam
pembangunan infrastruktur dan perolehannya sangat memerlukan waktu yang
lama dan tambahan biaya. Pemerintah saat ini berupaya untuk mendapatkan
pendanaan dan mekanisme yang memungkinkan bagi Pemerintah untuk dapat
melakukan pembelian tanah sebelum proyek dimulai, yang mana badan usaha
dapat membayarkan kembali di kemudian hari. Khusus untuk proyek jalan tol,
Pemerintah dapat menawarkan jaminan untuk menutupi tambahan biaya sebagai
akibat dari mundurnya pembebasan tanah atau naiknya biaya pembebasan tanah
54
Bapenas, 2011, Sustaining Partnership, Media Informasi Kerjasama Pemerintah dan
Swasta, Mengapa Memilih KPS, Identifikasi dan Seleksi Proyek Kerjasama, Jakarta, hal.6.
55
Ibid, hal. 5.
39
tersebut diatas batas tertentu (land capping). Selain itu, Pemerintah dapat
menawarkan penjaminan untuk menutupi biaya tambahan yang mungkin terjadi
karena adanya keterlambatan dalam proses pembebasan tanah atau adanya
kenaikan biaya pembebasan tanah bila pengambilalihan tanah ini adalah tanggung
jawab badan usaha.
Di sisi badan usaha swasta, proyek dengan kepastian hukum dan
kelembagaan akan lebih menarik bagi investor karena dapat memberikan
kepastian terhadap investasinya sesuai dengan regulasi yang berlaku di negara
tersebut. Disisi pemerintah, perlu dilakukan harmonisasi peraturan terkait
sehingga meminimalisir benturan peraturan perundang-undangan. Negara dengan
tingkat kepastian hukum yang baik lebih menarik bagi investor karena akan
memberikan rasa nyaman para investor untuk berinvestasi.56
1.6
Metode Penelitian
Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang
salahsatunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris method, Latin
methodus, Yunani methodos, meta berarti di atas, sedangkan thodos berarti suatu
jalan,suatu cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah,
mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi
penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu. 57Metode
atau cara pengkajian dilakukan secara deskriptif analitik yaitu menguraikan
kaidah-kaidah dalam aturan hukum yang berhubungan dengan aspek pengadaan
56
Ibid, hal.10.
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing
Malang, hal. 26.
57
40
tanah bagi kepentingan umum dengan jalan deskripsi atau paparan sesuai pokok
permasalahan sehingga tidak ada kontradiksi dalam kaidah-kaidah hukum yang
ada.
1.6.1
Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam
tesis ini merupakan penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif tersebut mencakup: penelitian asas-asas
hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.58
Sebagai penelitian hukum yang bersifat akademis berkaitan dengan upaya untuk
memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum
khususnya dalam bidang hukum pertanahan. Penelitian ini beranjak pada
kekosongan norma dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah pembangunan untuk kepentingan
umum yang wajib diselenggarakan pemerintah dan dapat bekerjasama dengan
badan usaha swasta.
1.6.2
Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum normatif, terdapat beberapa jenis pendekatan
yang dipergunakan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian
hukum
adalah: pendekatan perundang – undangan (statute approach),
pendekatan konsep (conceptual approach),
approach),
58
pendekatan analisis (analytical
pendekatan perbandingan (comperative approach),
pendekatan
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
41
sejarah (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini
adalah:
a.
Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani.59 Pendekatan perundang-undangan dalam
tesis ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan
regulasi yang terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
yakni dilakukan untuk meneliti peraturan perundang-undangan, khususnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
b.
Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.60
Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji konsep dari pengaturan
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan
mendasarkan pada konsep pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan
umum. Selain itu dalam kajiannya dikaitkan dengan konsep negara
kesejahteraan, asas
penyelenggaraan kepentingan umum
dan teori
pembangunan ekonomi.
59
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Peter Mahmud Marzuki II), hal. 93.
60
Ibid, hal. 95.
42
c.
Pendekatan Sejarah (Historical Approach) dilakukan dengan menelaah latar
belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu
yang dihadapi.61 Pendekatan sejarah dalam tesis ini dilakukan untuk
mengkaji perkembangan pengaturan penyelenggaraan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengetahui
filosofi pengaturan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, serta bagaimana pergeseran peraturan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum oleh Badan Usaha Swasta.
d.
Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach)
Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif,
penjelajahan filsafat akan mengupas isu hukum (legal issues) dalam
penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam.
Penjelajahan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis (ajaran tentang
hakikat), aksiologis (ajaran tentang nilai), epistemologis (ajaran tentang
pengetahuan), teleologis (ajaran tentang tujuan) untuk memperjelas secara
mendalam , sejauh dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan manusia.
Berdasarkan ciri khas filsafat tersebut, dibantu beberapa pendekatan yang
tepat, seyogyanya dapat dilakukan sebagai Fundamental Research, yaitu
suatu penelitian untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
terhadap implikasi sosial dan efek penerapan suatu aturan perundangundangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat yang merupakan
61
Ibid, hal. 94.
43
penelitian terhadap sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi, serta implikasi
sosial dan politik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.62
1.6.3
Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian
kepustakan (library research). Penelitian kepustakaan adalah menggunakan bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum
primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah,
contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan
traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas bahan
hukum primer, contohnya makalah, buku-buku, laporan hukum dalam bentuk
akademik, tesis, laporan dan karya tulis lain, majalah yang berhubungan dengan
penelitian ini. Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan hukum yang bersifat
menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus,
buku pegangan.63
Adapun bahan hukum primer yang dimaksud dalam penulisan tesis ini
adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, yaitu :
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
-
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)
-
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22)
62
Johnny Ibrahim, Op.cit, hal. 321.
Ashsofa Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.103-
63
104.
44
-
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
-
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksana Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
-
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum
Adapun bahan hukum sekunder yang dimaksud dalam penulisan tesis
ini adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer. Bahan hukum sekunder dalam penulisan tesis ini meliputi : buku – buku
literature, jurnal, makalah dan bahan – bahan hukum tertulis lainnya yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian.
Adapun bahan hukum tertier yang dimaksud dalam penulisan tesis ini
yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier dalam
penulisan tesis ini meliputi kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.
1.6. 4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui teknik studi dokumen.
Bahan hukum yang berhasil diinventarisir kemudian diidentifikasi serta
diklasifikasikan dengan melakukan pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai
dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.
1.6.5
Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif,
analisis, evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa
45
penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya kemudian dilanjutkan
dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh.
Bahan-bahan hukum yang diolah tersebut kemudian diinterpretasikan
dengan metode interpretasi hukum. Dalam hal ini, interpretasi yang dipergunakan
yakni interpretasi gramatikal, interpretasi sistematik dan interpretasi otentik yang
selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan
permasalahan yang ada. Hasil dari analisis ini kemudian ditarik kesimpulan secara
sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu
dengan bahan hukum yang lain. Terakhir diberikan pendapat-pendapat atas
interpretasi dari bahan-bahan hukum tersebut
BAB II
TINJAUAN UMUM PENGATURAN PENYELENGGARAAN
PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
2.1
Konsep Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum
Secara etimologi tanah berarti permukaan bumi atau lapisan bumi yang di
atas sekali.64 Menurut Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, definisi tanah (land)
adalah sebagai berikut :
the material of the earth, whatever may be the ingredients of which it is
composed, whether soil, rock, or other substance, and includes free or
occupied space for an indefinite distance upwards as well as downwards,
subject to limitations upon the use of airspace imposed, and rights in the
use of airspace granted, by law. 65
Simpson mendefinisikan pengertian tanah sebagaimana rumusan kalimat
dibawah ini :
in its original definitions in English law, land is not regarded as
comprising merely the surface; it is deemed to include everything which is
fixed to it, and also the air which lies above it right up into the sky, and
whatever lies below it right down into the center of earth; it include land
covered with water so even the sia-bes is land. 66
(definisi asli dari tanah dalam hukum Inggris adalah, bahwa tanah tidak
dipandang hanya terdiri atas permukaan bumi, akan tetapi juga dianggap
term1asuk segala sesuatu yang melekat padanya, dan juga udara yang
terletak diatasnya sampai ke langit serta apa saja yang terletak di
bawahnya sampai ke pusat bumi; termasuk pula tanah yang diliputi air dan
karena itu bahkan dasar laut pun adalah tanah.)
64
W. J. S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
hal. 1195.
65
Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West
Publishing Co, Fifth Edition, 1979), hal. 789.
66
Herman Soesangobeng, “Tanah dan Hak Ulayat”, Makalah disampaikan dalam Seminar
Pertanahan Balitbang Dep.Keh.HAM, Jakarta, 4 November 2003.
46
47
Peter Butt memberikan pemahaman yang luas terhadap tanah yaitu : “Land
is not only face of the earth, but everything under it or over it.”67 Imam Sudiyat
mendefinisikan tanah dari pengertian geologis-agronomis, sebagai pengertian
geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas.
Yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan,
tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan
untuk mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Di dalam tanah garapan
itu dari atas ke bawah berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak,
lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam.68
Pengertian tanah menurut UUPA dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 1
UUPA sebagai berikut :
(1)
(2)
(3)
(4)
Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula
tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
Penjelasan Pasal 1 UUPA menyatakan
: sudah dijelaskan dalam
Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan
perbedaan antara pengertian bumi dan tanah sebagai yang dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1) UUPA. Tanah adalah permukaan bumi.
67
Peter Butt, 1980, Introduction to Land Law, The Law Book Company Limited, Sydney,
hal. 7.
68
Imam Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai Masyarakat
Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta, hal. 1.
48
Perluasan pengertian bumi dan air dengan ruang angkasa adalah bersangkutan
dengan kemajuan teknik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dalam
waktu-waktu yang akan datang.
Tanah memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan. Tanah memiliki
hubungan yang sangat erat dengan masyarakat di bumi ini, dimana tanah
memberikan sumber kehidupan. Hubungan hidup antara umat manusia yang
teratur susunannya dan bertalian satu sama lainnya di satu pihak dan tanah di lain
pihak yaitu tanah dimana mereka berdiam, tanah memberi makan mereka, tanah
dimana mereka dimakamkan, tanah dimana meresap daya hidup, termasuk juga
hidupnya umat itu dan karenanya tergantung daripadanya, maka pikiran serba
berpasangan (participerend denken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai
pertalian hukum (rechtsbetrekking) umat manusia terhadap tanah.69
Sebutan tanah dalam bahasa dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka
dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah
itu digunakan. Dalam hukum tanah kata sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis
sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.70 Dalam
Pasal 4 ayat (1) UUPA dinyatakan, bahwa :
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal
2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badanbadan hukum.
Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat (1)
UUPA) sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan
69
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannnya, Djambatan,Jakarta, hal. 479.
70
Ibid, hal. 18.
49
bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh
UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan
dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika
penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk
keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian
tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh
karena itu dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan :
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
kewenangan untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian
pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekadar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan Peraturanperaturan hukum lain yang lebih tinggi.
Maka yang dipunyai hak atas tanah tersebut adalah tanahnya dalam arti
sebagian tertentu dari permukaan bumi, sedangkan wewenang menggunakan yang
bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan
“sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada
diatasnya.” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adapun yang dimaksud
dengan pengertian tanah adalah :
1.
2.
3.
4.
71
Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;
Keadaan bumi disuatu tempat;
Permukaan bumi yang diberi batas
Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas,
napal dan sebagainya.)71
Ibid, hal. 19.
50
Secara normatif, ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Itu artinya, hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
penggunaannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila
hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya sehingga bermanfaat,
baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan
negara.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu
manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah dipandang sebagai
langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, baik yang akan digunakan untuk
kepentingan umum maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk
pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak
atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang
hak atas tanah itu sendiri.
Pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi
dimensi kepentingan yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan
masyarakat dan kepentingan pemerintah. 72
72
Bernhard Limbong I,Op.cit, hal. 129.
51
Disatu sisi pihak pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa harus
melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau
demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan
pembangunan. Pihak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana untuk
melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki
lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaaan pembangunan. Masyarakat
dalam hal ini juga membutuhkan lahan atau tanah sebagai sumber kehidupan. 73
Apabila kedua pihak ini tidak memperhatikan dan mentaati ketentuan yang
berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang mengakibatkan timbulnya
sengketa atau masalah hukum sehingga pihak penguasa dengan terpaksa pun
menggunakan cara tersendiri agar dapat mendapatkan tanah tersebut yang dapat
dinilai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Pemilik hak atas tanah pun
tidak menginginkan
apa yang sudah menjadi hak mereka diberikan dengan
sukarela.
Mengantisipasi hal tersebut, telah diatur bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas
tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak. Selain itu
ditegaskan juga bahwa suatu hak itu hapus karena pencabutan hak untuk
kepentingan
umum
dan
karena
penyerahan
sukarela
oleh
pemiliknya.
Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka proses pelaksanaan pengadaan
tanah membutuhkan peran serta masyarakat atau rakyat untuk memberikan
tanahnya untuk kepentingan pembangunan. Masyarakat sebagai pemegang hak
73
Maria S.W Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,
Kompas, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W Sumardjono II), hal. 32
52
atas tanah bebas melakukan suatu perikatan dengan pihak penyelenggara
pengadaan tanah untuk pembangunan tanpa ada paksaan dari siapapun.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengadaan tanah sangat rentan terhadap
munculnya permasalahan, terutama dalam penanganannya. Masalah pengadaan
tanah tentu saja menyangkut hajat hidup orang banyak bila dilihat dari sisi
kebutuhan Pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan. Satu-satunya
jalan yang dapat ditempuh agar keperluan akan tanah terpenuhi adalah dengan
membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hakhak yang melekat diatasnya.74
Tanah juga merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia
mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Sedemikan penting
fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya suatu landasan
hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum,
dalam pelaksanaan penyelesaian
pertanahan, khususnya pada persoalan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 75
Implementasi pengadaan tanah perlu memperhatikan beberapa prinsip
(asas) sebagaimana tersirat dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan
terkait yang mengaturnya. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai
berikut : Pertama, penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk
keperluan apa pun harus ada landasan haknya. Kedua, semua hak atas tanah
secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa. Ketiga, cara
untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/badan hukum harus
74
75
Soimin, 2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 75.
Fauzi Noer I, loc.cit.
53
melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan dan keempat, dalam keadaan
yang memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh gagal maka presiden memiliki
kewenangan untuk melakukan pencabutan hak, tanpa persetujuan subjek hak
menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.
Memberikan batasan mengenai kepentingan umum bukanlah hal yang
mudah mengingat penilaiannya sangat subjektif dan terlalu abstrak untuk
dipahami.76 Selain itu istilah kepentingan umum merupakan suatu konsep yang
sifatnya begitu umum dan belum ada penjelasan secara lebih spesifik dan
terperinci untuk operasional sesuai dengan makna yang terkandung di dalam
peristilahan tersebut.77 Dalam rangka pengambilan tanah-tanah masyarakat,
penegasan tentang kepentingan umum yang akan menjadi dasar dan kriterianya
perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan tanah-tanah dimaksud benarbenar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku. Jika tidak dirumuskan atau
diberikan kriteria dengan tegas, dikhawatirkan dapat menimbulkan penafsiran
yang beragam. 78
Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja
dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan
yang luas, namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada
76
Achmad Rusyaidi, 2012, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara
Kepentingan Umum dan Perlindungan HAM, (Cited : 18 Oktober 2012), available from URL:
http://prpmakasar.wordpress_com
77
A.A. Oka Marhaendra, 1996, Menguak Masalah Hukum Demokrasi dan Pertanahan,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 279.
78
Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 36.
54
batasannya.79 Kepentingan umum adalah adalah termasuk kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat dengan memperhatikan segisegi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan
nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.80
Secara etimologis, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Bahasa
Indonesia yang disusun oleh Tim Pusat Bahasa, frasa kepentingan umum terdiri
dari dua kata yakni kepentingan dan umum. Kata kepentingan yang berasal dari
akar kata penting mengandung pengertian sangat perlu, sangat diutamakan
sedangkan kata umum
mengandung pengertian keseluruhan, untuk siapa saja,
khalayak manusia, masyarakat luas dan lazim.81
Pengertian menurut ilmu bahasa ini tentu tidak dapat dijadikan pengertian
yuridis dari frasa kepentingan umum tetapi dapat dijadikan refrensi untuk
menemukan pengertian yang diinginkan sebab ilmu hukum (yuridische kunde) di
dalam proses pembentukannya tidak dapat berdiri sendiri dan berjalan sendiri
lepas dari ilmu sosial yang lainnya, tetapi saling mendukung, berjalan bersama
dengan ilmu pengetahuan lain, termasuk ilmu bahasa (etimologi). Secara
etimologis diuraikan pula pendapat para pakar tentang makna kepentingan umum.
Roscou Pound mengemukakan tentang social interest (kepentingan masyarakat).
Pendapat Pound tentang social interest ini berasal dari pemikiran Rudolf Van
Jhering dan Jeremy Bentham. Pound mengartikan social interest adalah suatu
kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat itu sendiri. Pound membagi tiga
79
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op.cit,hal. 6.
John Salindeho, 1988, loc.cit
81
Tim Pusat Bahasa Indonesia, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,
Jakarta, hal 80.
80
55
kategori interest antara lain: public interest (kepentingan umum), social interest
(kepentingan masyarakat) dan private interest (kepentingan pribadi). 82
Julius Stone dalam The Proponic and Function of Law, secara meyakinkan
telah membuktikan bahwa apa yang dimaksud dengan public interest melebur
dalam social atau individual interest
atau dalam usaha negara mencari
keseimbangan di dalam interest ini. Kedua analisis ini mengasumsikan
kepentingan umum dalam pandangan ilmu sosial hukum: Kepentingan umum
adalah suatu keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, penguasa
serta negara.83 Jan Gijssel sebagaimana dikutip Gunanegara berpendapat bahwa
Kepentingan umum tidak mudah dirumuskan, karena kepentingan umum itu
merupakan pengertian yang kabur (vage begrif) sehingga tidak mungkin
diinstusionalisasikan ke dalam suatu norma hukum, yang apabila dipaksakan
akibatnya akan menjadi norma kabur (vage normen).84 Pendapat menurut J.J.H
Bruggink yang dikutip Gunanegara yang menyatakan bahwa kepentingan umum
sebagai suatu pengertian yang kabur artinya suatu pengertian yang isinya tidak
dapat ditetapkan secara tepat, sehingga lingkupnya tidak jelas. Arti kepentingan
umum hanya dikenali dengan cara menemukan kriteria-kriteria dari kepentingan
umum itu sendiri, dengan memberikan kriteria kepentingan umum yang tepat,
82
Roscou Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy of Law, Yale University
Press, New Heaven, hal. 4.
83
Julius Stone, 1961, The Province and Function of Law As Logic, Justice and Social
Control, A Study In Jurisprudence, New York, hal. 45.
84
Gunanegara, 2008, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan,
Tata Nusa, Jakarta, hal. 11.
56
maka kepentingan umum dalam pengadaan tanah tidak lagi berkembang atau
dikembangkan sesuai dengan kepentingan negara semata.85
Menurut John Salindeho, kepentingan umum adalah termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperhatikan segi
– segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan
nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.
86
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangan hukum
pertanahan di Indonesia dilakukan dengan cara dan menggunakan lembaga hukum
yang pertama, yaitu pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada
diatasnya. Dalam praktik ketentuan undang-undang ini tidak dapat berjalan. Untuk
mengatasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai pembebasan
hak atas tanah. Ketentuan ini dalam praktiknya banyak menimbulkan masalah
sehingga tidak dapat berjalan secara efektif. Berdasarkan kenyataan ini
pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan presiden mengenai pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah.
Pembahasan
mengenai
prinsip-prinsip
kepentingan
umum
dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan penting karena beberapa alasan. Pertama,
dalam sarana pembangunan, terutama pembangunan di bidang materiil, baik di
kota maupun di desa banyak memerlukan tanah. Misal : pembuatan gedung
sekolah inpres, pasar inpres, pelebaran jalan, semuanya memerlukan tanah sebagai
sarana utamanya. Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam
Pasal 9 ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan karena berhadapan
85
86
Ibid, hal. 12.
John Salindeho, loc.cit.
57
dengan pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di lain pihak sebagian
warga masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat
mata pencahariannya. Bilamana tanah tersebut diambil begitu saja dan diperlukan
untuk kepentingan pembangunan maka jelas akan mengorbankan hak asasi warga
masyarakat.
Kedua, sebagai titik tolak di dalam pembebasan tanah, pengadaan tanah
dan pencabutan hak atas tanah. Untuk mendapatkan tanah dalam rangka
penyelenggaraan atau untuk keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan
hati-hati dan dengan cara yang bijaksana. Pembebasan tanah merupakan langkah
pertama yang dapat dilakukan bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah
untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan yang dapat menunjang
pembangunan.
Ketiga, setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka menampung
aspirasi masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya harus
disesuaikan dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan
secara parsial memihak bagi kepentingan golongan tertentu saja, tetapi dilakukan
secara menyeluruh baik untuk kepentingan masyarakat pedesaan maupun
perkotaan. Dengan demikian bila ada proyek pembangunan dalam masyarakat di
daerah, maka sesuai dengan prinsip kepentingan umum, maka hak atas tanah
masyarakat bukan menjadi objek dari kepentingan umum. Penggunaan tanah
harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat haknya, hingga bermanfaat bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun yang bermanfaaat
pula bagi masyarakat dan Negara. Akan tetapi dalam hal ini ketentuan tersebut
58
tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan
perseorangan harus saling melengkapi, mengimbangi hingga akhirnya akan
tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat
seluruhnya.87
2.2
Pengaturan
Pengadaan
Tanah
Dalam
Pembangunan
Untuk
Kepentingan Umum
Menurut Soedharyo Soimin pembebasan tanah adalah melepaskan
hubungan hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas
tanah dengan cara pemberian ganti rugi.88 Dalam pelaksanan pengadaan tanah
harus tetap berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang sesuai dengan
prinsip bahwa negara Indonesia adalah suatu negara hukum. Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan suatu pendekatan yang
bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi hukum), prosperty
approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach (pendekatan
dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari segi
kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan untuk
memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan
87
88
hal.76.
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 49.
Soedharyo Soimin, 2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,
59
tetap terpelihara.89 Pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa rakyat
merupakan faktor dominan diberikan peranan sentral dalam menggerakkan
pembangunan dan perlu ditingkatkan kemampuannya untuk berproduksi dengan
baik melalui investigasi dibidang sumber daya manusia. Pembangunan oleh rakyat
berarti memberikan setiap manusia Indonesia memperoleh kesempatan yang adil
untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan
untuk rakyat berarti menjamin bahwa setiap kemajuan yang diperoleh sebagai
hasil pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak.
Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluangan pembangunan bisa
dilakukan melaui tiga mekanisme, yakni : pencabutan hak, pelepasan hak dan
melalui tukar-menukar dan/atau jual beli.90 Arti pengadaan tanah mempunyai tiga
unsur yaitu :
1.
2.
3.
Kegiatan untuk mendapatkan tanah, dalam rangka pemenuhan lahan
pembangunan untuk kepentingan umum.
Pemberian ganti rugi kepada mereka yang terkena kegiatan pengadaan
tanah.
Pelepasan hubungan hukum dari pemilik tanah kepada pihak lain.91
Memori penjelasan Pasal 18 UUPA hanya menyebutkan jaminan bagi
rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi
diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti rugi yang
layak. Jika ketentuan pasal 18 UUPA dipenggal maka dapat dinyatakan adanya :
a. Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat
89
Abdurahman, Op. cit, hal. 51.
Bernard Limbong, I, Op. cit, hal. 338.
91
Mudakir Iskandar Syah, 2010, Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Upaya
Hukum Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak, Jala Permata Aksara,
Jakarta, hal. 2.
90
60
b. Hak-hak atas tanah dapat dicabut
c. Ganti rugi
d. Layak
e. Cara yang diatur dengan undang-undang
Hal ini dapat dilihat dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda Yang Ada
Diatasnya. Ketentuan yang menyatakan bahwa yang dicabut haknya itu tidak
dapat menyatakan tidak bersedia haknya dicabut, dan kalau diberikan hak untuk
banding maka bandingnya ke Pengadilan Tinggi, hanya mengenai jumlah ganti
rugi yang ditawarkan pemerintah. Hakim Pengadilan Tinggi akan menetapkan
apakah tetap pada jumlah yang ditawarkan pemerintah ataupun menaikkan jumlah
uang ganti rugi tersebut.
Disusul dengan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang
Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada
Diatasnya yaitu pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada
diatasnya, supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan
dilakukan dengan hati-hati serta cara-cara yang adil dan bijaksana, segala
sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut dinyatakan
bahwa untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat
dan kepentingan pembangunan, Presiden dalam keadaan memaksa, setelah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan
dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
61
Prosedurnya seperti tersebut dalam Pasal 2 dan 3 yaitu melalui Kepala
Inspeksi Agraria dengan mengajukan antara lain rencana permohonan dan alasanalasannya, keterangan nama yang berhak beserta luas dan macam hak atas tanah
dan rencana penampungan orang yang ada diatasnya. Disamping itu Kepala
Kanwil BPN akan meminta pertimbangan dari Kepala Daerah yang bersangkutan
tentang permohonan tersebut dan penampungan rakyat dan agar Panitia Penaksir
bersidang menetapkan ganti rugi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak
Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya dalam ketentuan Pasal 1
dinyatakan :
Pasal 1
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula
kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang
bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang
ada diatasnya.
Pasal 2
(1)
Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau
benda tersebut pada pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan
kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui
Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
(2)
Permintaan tersebut pada ayat 1 pasal ini oleh yang berkepentingan
disertai dengan :
a.
Rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk
kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu.
b.
Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin serta
letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut
haknya serta benda-benda yang bersangkutan.
c.
Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan
dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang
menggarap tanah atau menempati rumah yang
bersangkutan.
Pasal 3
(1)
Setelah menerima permintaan yang dimaksud dalam Pasal 2 maka
Kepala Inspeksi Agraria segera :
62
a.
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Meminta kepada para Kepala Daerah yang bersangkutan
untuk memberi pertimbangan mengenai permintaan
pencabutan hak tersebut, khususnya bahwa untuk
kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan
tentang
penampungan orang-orang sebagai yang
dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat 2 huruf c.
b.
Meminta kepada Panitia Penaksir tersebut pada Pasal 4
untuk melakukan penaksiran tentang ganti kerugian
mengenai tanah dan/atau benda-benda yang haknya akan
dicabut itu.
Di dalam waktu selama-lamanya tiga bulan sejak diterimanya
permintaan Kepala Inspeksi Agraria tersebut pada ayat 1 pasal ini
maka :
a.
Para Kepala Daerah itu harus sudah menyampaikan
pertimbangannya kepada Kepala Inspeksi Agraria
b.
Panitia Penaksir harus sudah menyampaikan taksiran ganti
kerugian yang dimaksud itu kepada Kepala Inspeksi
Agraria.
Setelah Kepala Inspeksi Agraria menerima pertimbangan para
Kepala Daerah dan taksiran ganti kerugian yang dimaksud dalam
ayat (2) pasal ini, maka ia segera menyampaikan permintaan untuk
melakukan pencabutan hak itu kepada Menteri Agraria, dengan
disertai pertimbangannya pula.
Jika di dalam waktu tersebut pada ayat 2 pasal ini pertimbangan
dan/atau taksiran ganti kerugian itu belum diterima oleh Kepala
Inspeksi Agraria, maka pertimbangan untuk melakukan pencabutan
hak tersebut diajukan kepada Menteri Agraria, dengan tidak
menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan/atau taksiran ganti
kerugian Panitia Penaksir.
Dalam hal tersebut pada ayat 4 pasal ini, maka Kepala Inspeksi
Agraria di dalam pertimbangannya mencantumkan pula
keteraangan tentang taksiran ganti kerugian itu.
Oleh Menteri Agraria permintaan tersebut diatas dengan disertai
pertimbangannya dan pertimbangan Menteri Kehakiman serta
pertimbangan Menteri yang bersangkutan, segera diajukan kepada
Presiden untuk mendapat keputusan.
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 maka Kepala
Kanwil BPN dapat saja langsung mengajukan permohonan tersebut kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional tanpa rekomendasi dari Kepala Daerah dan
Panitia Penaksir. Kepala Badan Pertanahan Nasional akan menetapkan suatu
keputusan
mendahului
keputusan
Presiden
tersebut.
Keputusan
tentang
63
pencabutan hak atas tanah harus dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia
dan isinya juga dimuat dalam surat kabar Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 menyatakan bahwa yang bersangkutan jika tidak dapat menerima
jumlah uang ganti rugi yang ditetapkan Panitia Penaksir maka yang bersangkutan
dapat mengajukan permohonan banding pada Pengadilan Tiggi dengan membayar
biaya perkara, yang juga sebagai Pengadilan Pertama dan terakhir selambatlambatnya 1 bulan sejak tanggal keputusan Presiden yang menyatakan hak atas
tanah dan benda-benda yang ada diatasnya dinyatakan dicabut.
Pasal 1 lampiran Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya,
disebutkan 4 kategori kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang
mempunyai sifat kepentingan umum. Adapun kutipan pasal 1 lampiran Inpres
Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda yang Ada Diatasnya tersebut sebagai berikut :
Pasal 1
(1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai
sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a. Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau
b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c. Kepentingan rakyat banyak/ bersama dan/atau
d. Kepentingan pembangunan
(2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
meliputi bidang-bidang :
a. Pertahanan
b. Pekerjaan Umum
c. Perlengkapan umum
d. Jasa umum
e. Keagamaan
f. Ilmu kesehatan dan seni budaya
g. Kesehatan
h. Olahraga
64
i. Kesehatan umum terhadap bencana alam
j. Kesejahteraan sosial
k. Makam/kuburan
l. Pariwisata dan rekreasi
m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum
(3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan
lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang
menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum.
Pihak yang berhak mengajukan objek tersebut bukan hanya instansi
pemerintah tetapi juga usaha-usaha swasta (Pasal 3) asal saja harus disetujui oleh
pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan rencana pembangunan.
Pada pasal 2 disebutkan proyek pembangunan tersebut harus sudah termasuk
dalam Rencana Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang
bersangkutan. (Rencana induk pengembangan tersebut harus bersifat terbuka
untuk umum). Berikut ini adalah kutipan pasal 2 dan pasal 3 Instruksi Presiden
Nomor 9 Tahun 1973.
Pasal 2
(1)
Suatu proyek pembangunan dinyatakan mempunyai bentuk
kegiatan sebagai dimaksud dalam Pasal 1 diatas, apabila
sebelumnya proyek tersebut sudah termasuk dalam Rencana
Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang
bersangkutan.
(2)
Jika suatu Proyek pembangunan daerah akan dinyatakan
mempunyai bentuk kegiatan sebagai dimaksud dalam pasal 1
diatas, maka sebelumnya proyek harus sudah termasuk dalam
Rencana Induk Pembangunan dari daerah bersangkutan dan yang
telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Daerah setempat.
(3)
Rencana Induk Pembangunan sebagai dimaksud dalam ayat (2)
pasal ini harus bersifat terbuka untuk umum.
Pasal 3
(1)
Yang berhak menjadi subyek atau pemohon untuk mengajukan
permintaan pencabutan hak atas tanah adalah instansi-instansi
Pemerintah/Badan-badan Pemerintah maupun usaha-usaha swasta,
segala sesuatunya dengan memperhatikan persyaratan untuk dapat
memperoleh sesuatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku.
65
(2)
Usaha-usaha swasta sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini,
rencana proyeknya harus disetujui oleh Pemerintah dan atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan Rencana Pembangunan yang
telah ada.
Selain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, diterbitkan pula peraturan
mengenai ketentuan-ketentuan tata cara pembebasan tanah melalui Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Ketentuan dalam pasal 1 ayat (1)
PMDN No. 15 Tahun 1975 menyatakan bahwa “Pembebasan tanah ialah
melepaskan hubungan hukum
yang semula terdapat diantara pemegang
hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.”
Panitia ditetapkan oleh Gubernur /Kepala Daerah untuk masing-masing
Kabupaten/Kotamadya dalam sesuatu wilayah Provinsi. Didalam mengadakan
penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah
harus musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau
benda/tanaman yang ada di dalamnya berdasarkan harga umum setempat (Pasal 6
Ayat 1). Jika terdapat perbedaan harga taksiran ganti rugi diantara para anggota
panitia, maka yang dipergunakan harga rata-rata dari taksiran masing-masing
anggota (Pasal 6 Ayat 3).
Pembebasan tersebut dapat untuk keperluan pemerintah ataupun swasta.
Disinilah perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang
bandingnya pada Pengadilalan Tinggi sebagaimana sudah dibicarakan. Di dalam
pembebasan hak atas tanah ini maka kemungkinan pemukiman kembali dari
penduduk yang terkena pembebasan tersebut tetap dapat ganti rugi tersebut berupa
uang, tanah dan atau fasilitas lainnya.
66
Ketentuan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta, dalam pasal 11
PMDN No. 15 Tahun 1975 disebutkan :
(1)
(2)
Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi
pelaksanaan Pembebasan Tanah dan pemberian ganti rugi.
Pembebasan tanah untuk keperluan Swasta pada asasnya harus
dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman pada asas
musyawarah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi
Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta menyatakan bahwa swasta dapat
mempergunakan PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu untuk membebaskan tanah
untuk keperluan usahanya dan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2
Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan
Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta disebutkan
sebagai
berikut :
Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan
proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk
dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat
dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II, dan IV Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.
Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi
Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta disebutkan bahwa “Penggunaan acara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini memerlukan izin tertulis dari
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. ”
67
Penggunaan oleh swasta untuk pembebasan ini dengan mempergunakan
peraturan yang diperuntukkan pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang
diselenggarakan oleh pemerintah telah menimbulkan dampak yang luas dan rakyat
dibingungkan bahwa proyek-proyek swasta seperti dianggap untuk kepentingan
umum. Dalam pembebasan tanah tersebut tidak terelakkan terjadinya sejumlah
tindakan-tindakan tidak terpuji karena panitia pembebasan tanah tersebut lebih
memihak kepada investor daripada membela kepentingan rakyat.
Banyak hal jika tidak terdapat kesepakatan mengenai harga ganti rugi
seperti yang terlaksana dengan PMDN Nomor 15 Tahun 1975, maka uang ganti
rugi tersebut dikonsignasi di Pengadilan Negeri setempat dan dianggaplah
pembebasan tanah tersebut sudah selesai. Dengan konsignasi uang ganti rugi
tersebut harga dapat ditekan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 dalam Pasal 2
menyatakan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
Pengadaan tanah untuk keperluan proyek-proyek pembangunan yang
dilakukan oleh instansi pemerintah dilaksanakan oleh Pimpinan
Proyek Instansi yang bersangkutan.
Pengadaan tanah yang dimaksud dalam ayat (1) luasnya tidak lebih
dari 5 (lima) ha.
Dalam melaksanakan pengadaan tanah dimaksud dalam ayat (1)
Pemimpin proyek memberitahukan kepada Camat mengenai letak dan
luas tanah yang diperlukan
Apabila dipandang perlu, Camat dapat meminta bantuan instansi/dinas
teknis yang bersangkutan dengan jenjang hierarki.
Pimpinan proyek mengadakan musyawarah dengan yang bersangkutan.
Oleh Dirjen Agraria dikeluarkan Edaran Nomor 590/4263/Agr tanggal 2 Agustus
1985 tentang petunjuk pelaksana Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2
Tahun 1985. Demikian pula oleh Direktorat Jenderal Anggaran Departemen
68
Keuangan diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985,
yaitu bahwa pengeluaran yang dapat dibebankan untuk jenis pengeluaran tanah
meliputi antara lain biaya administrasi pembuatan akta jual beli oleh Camat
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah atau sebagai Kepala Wilayah; pembelian
ganti rugi tanah termasuk bangunan dan tanaman diatasnya; penyelesaian
sertifikat tanah; biaya pengosongan; biaya pengeringan; biaya pemerataan,
pematangan tanah dan pengeluaran lain yang berhubungan dengan itu.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 ini diatur untuk
memberikan suatu kemudahan bagi perusahaan pembangunan perumahan yang
berbentuk badan hukum, baik untuk penyediaan tanah, pencadangan tanah dan
izin lokasi. Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987
menyatakan sebagai berikut :
1. Izin lokasi untuk keperluan perusahaan yang luasnya tidak lebih dari
15 ha bagi daerah tingkat II yang telah mempunyai rencana induk
kota/rencana kota, ditetapkan oleh bupati/walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II.2
2. Izin lokasi yang luasnya tidak lebih dari 200 ha ditetapkan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
3. Izin lokasi yang luasnya lebih dari 200 ha ditetapkan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari Menteri Dalam Negeri.
Peraturan ini sebagai pengganti dari PMDN Nomor 5 Tahun 1974 khusus
tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah dan PMDN Nomor 2 Tahun
1984 keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan sederhana/perumahan
murah yang diselenggarakan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah dari Bank
Tabungan Negara.
69
Keperluan pembebasan tanah untuk industri maka telah diatur dengan
Keppres Nomor 53 Tahun 1989, yang memberikan Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai kepada badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
ataupun perusahaan-perusahaan negara/daerah. Kepada perusahaan-perusahaan
tersebut diberikan izin prinsip dan izin tetap, dan telah memperoleh amdal
berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1986. Permohonan izin lokasi dan izin
pembebasan diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah melalui Kepala Kanwil BPN
dan izin pencadangan diatur oleh Kepala BPN.
Kepada perusahaan negara/daerah dapat diberikan Hak pengelolaan, izin
industri diberikan oleh Menteri Perindustrian. Perusahaan yang bersangkutan
harus memberi ganti rugi yang layak berdasarkan musyawarah ataupun
memberikan penggantian tanah di lokasi lain yang nilainya seimbang. Didalam 3
tahun setelah izin prinsip sudah harus dibebaskan 60%. Disebutkan bahwa
kawasan industri tersebut tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan tidak
pula diatas tanah yang berfungsi untuk melindungi sumber daya alam dan warisan
budaya.
Pasal 28 H UUD 1945 merupakan amanat adanya larangan bagi siapapun
melakukan tindakan pencabutan/pengurangan hak atas tanah, pengambilan tanah
hak milik secara sewenang-wenang, yang berdampak pada kehilangan tempat
tinggal, pekerjaan, harkat dan martabat, penghidupan yang layak atau kenikmatankenikmatan dari hak milik atas tanah yang dimiliknya. Pencabutan atau
pengurangan hak milik atas tanah hanya dapat dilakukan bila sesuai dengan
norma-norma hukum, kepatutan/kewajaran, kebutuhan yang mendesak untuk
70
kepentingan umum disertai dengan suatu ganti rugi yang layak atau pemindahan
ke lokasi lain yang layak dimana tempat tujuan pemindahan itu telah tersedia
sarana/fasilitas umum dan sarana atau fasilitas sosial. 92
Undang-undang tidak dapat menjelaskan suatu kondisi tertentu, beberapa
penyelenggara
pemerintahan
sering
mengambil
keuntungan
dari
istilah
kepentingan umum untuk mengambil tanah milik pribadi yang jelas-jelas
bertentangan dengan konstitusi dan kepastian hukum. Kepentingan umum
diberikan suatu pembatasan hak pribadi. Untuk menggambarkan kepentingan
umum dengan tepat, pembuat undang-undang harus mengemukakan beberapa hal
dasar. Pertama, perwujudan kepentingan umum sebagian besar merupakan sistem
publik sebagai government centered dibandingkan dengan suatu sistem pribadi
market led. Kedua, definisi kepentingan publik harus layak atau mempunyai
alasan. Ketika kepuasan kepentingan umum sering dimasukkan ke dalam
beberapa hal kepentingan pribadi, pembuat undang-undang perlu membatasi
kepentingan publik kepada suatu lingkup yang layak di dalam hak pribadi atas
tanah yang dimilikinya.
2.3
Pengaturan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum
Kepemilikan tanah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi
oleh hukum internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum internasional
perlindungan hukum terhadap hak milik ini diatur dalam DUHAM (Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia), yaitu :
92
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 54
71
1.)
Pasal 17.1 : “Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara
pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain.”
2)
Pasal 17.2 : “Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara
sewenang-wenang.”
3)
Pasal 30 : “Tidak ada satu ketentuan pun dalam deklarasi ini yang dapat
ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu negara, kelompok atau orang,
untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan nyang
bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan - kebebasan apapun
yang diatur dalam deklarasi ini.”
Di Indonesia, perlindungan kepemilikan tanah rakyat diatur dalam UUD
1945, TAP-MPR No. IX Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM. Dalam UUD 1945, termaktub dalam pasal-pasal berikut ini :
1).
Pasal 18 B tentang pengakuan hak ulayat masyarakat adat.
2).
Pasal 28G Ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.”
3).
Pasal 28H Ayat (4), yang berbunyi: “Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun.“
72
4).
Pasal 28 I Ayat (3) yang berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional
dihormati
selaras
dengan
perkembangan
zaman
dan
peradaban.”93
TAP-MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, perlindungan terhadap kepemilikan tanah
tercantum dalam beberapa butir Pasal 5 yakni butir b,d dan j. Butir b yakni :
“Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” Butir d yakni :
“Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya
bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam dan Butir j : “Mengakui
dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas
sumber daya agraria dan sumber daya alam”.
Perlindungan hukum kepemilikan tanah rakyat dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diatur dalam beberapa pasal,
yakni : Pasal 2 tentang pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM, Pasal
6 Ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan hak ulayat, Pasal 29 Ayat
(1) tentang perlindungan terhadap hak milik, Pasal 36 Ayat (1) dan (2) tentang
hak milik sebagai hak asasi dan jaminan tidak adanya perampasan secara
sewenang-wenang atas hak miliknya dan Pasal 37 Ayat (1) tentang syarat
mencabut hak milik adalah untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti
rugi dan harus berdasarkan UU; menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara
sewenang-wenang oleh siapapun.”
93
Bernad Limbong, I Op.cit, hal 322
73
Perbandingan Regulasi Pengadaan Tanah di Indonesia
Pokok
Perbanding
an
Pengadaan
Tanah
Keppres No. 55
Tahun 1993
Perpres No. 36
Tahun 2005
Perpres No. 65
Tahun 2006
UU No 2
Tahun 2012
Pengadaan tanah
adalah setiap
kegiatan untuk
mendapatkan tanah
dengan cara
memberikan ganti
kerugian kepada
yang berhak atas
tanah tersebut.
Pengadaan tanah
adalah setiap
kegiatan untuk
mendapatkan tanah
dengan cara
memberikan ganti
rugi kepada yang
melepaskan atau
menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman,
dan benda-benda
yang berkaitan
dengan tanah atau
pencabutan hak atas
tanah
Pengadaan tanah
bagi pelaksanaan
pembangunan
untuk kepentingan
umum oleh
Pemerintah atau
pemerintah daerah
dilaksanakan
dengan cara :
a.Pelepasan atau
penyerahan hak atas
tanah, atau
b. pencabutan hak
atas tanah
Pengadaan tanah
adalah setiap
kegiatan untuk
mendapatkan
tanah dengan cara
memberikan ganti
rugi kepada yang
melepaskan atau
menyerahkan
tanah, bangunan,
tanaman dan
benda-benda yang
berkaitan dengan
tanah.
Pengadaan
Tanah adalah
kegiatan
menyediakan
tanah dengan
cara memberi
ganti kerugian
yang layak dan
adil kepada
pihak yang
berhak
Pengadaan tanah
bagi pelaksanaan
pembangunan
untuk kepentingan
umum oleh
Pemerintah atau
Pemerintah
Daerah
dilaksanakan
dengan cara
pelepasan atau
penyerahan hak
atas tanah
Kepentingan umum
adalah kepentingan
sebagian besar
lapisan masyarakat.
Kepentingan
umum adalah
kepentingan
sebagian besar
lapisan
masyarakat.
Pengadaan
tanah bagi
pelaksanaan
pembangunan
untuk
kepentingan
umum oleh
Pemerintah atau
Pemerintah
Daerah
dilaksanakan
dengan cara
pelepasan atau
penyerahan hak
atas tanah
Kepentingan
umum adalah
kepentingan
bangsa, negara
dan masyarakat
yang harus
diwujudkan
oleh pemerintah
dan digunakan
sebesarbesarnya untuk
kemakmuran
rakyat.
-Mekanisme
Pengadaan
Tanah
Pengadaan tanah
bagi pelaksanaan
pembangunan
untuk kepentingan
umum oleh
pemerintah
dilaksanakan
dengan cara
pelepasan atau
penyerahan hak atas
tanah.
Kepentingan
Umum
Kepentingan umum
adalah kepentingan
seluruh lapisan
masyarakat.
74
-Cakupan
Kepentingan
Umum
a. jalan umum,
saluran
pembuangan air;
b. waduk,
bendungan dan
bangunan pengairan
lainnya termasuk
saluran irigasi.
c. rumah sakit
umum dan pusatpusat kesehatan
masyarakat
d. pelabuhan atau
bandar udara atau
terminal.
e. peribadatan.
f. pendidikan atau
sekolahan.
g. pasar umum atau
pasar INPRES
h. fasilitas
pemakaman umum
i. fasilitas
keselamatan umum
seperti tanggul
penanggulangan
bahaya banjir, lahar
dan lain-lain
j. pos dan
telekomunikasi
k. sarana olah raga
l. stasiun penyiaran
radio, televisi
beserta
pendukungnta.
m. kantor
Pemerintah
n. fasilitas
Angkatan
Bersenjata
Republik Indonesia
a. jalan umum,
jalan tol, rel kereta
api (diatas tanah, di
ruang atas tanah,
ataupun diruang
bawah tanah),
saluran air
minum/air bersih,
saluran
pembuangan air dan
sanitasi.
b. waduk,
bendungan, irigasi
dan bangunan
pengairan lainnya.
c. rumah sakit
umum dan pusat
kesehatan
masyarakat.
d. pelabuhan,
bandar udara,
stasiun kereta api
dan terminal.
e. peribadatan.
f. pendidikan atau
sekolah
g. pasar umum
h. fasilitas
pemakaman umum
i. fasilitas
keselamatan umum
j. pos dan
telekomunikasi
k. sarana olah raga
l.stasiun penyiaran
radio dan televisi
dan sarana
pendukungnya.
m. kantor
Pemerintah,
pemerintah daerah,
mperwakilan negara
asing, Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan
atau lembagalembaga
internasional di
bawah naungan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
n.fasilitas Tentara
a. jalan umum dan
jalan tol, rel
kereta api (di atas
tanah, di ruang
atas tanah,
ataupun di ruang
bawah tanah),
saluran air
minum/air bersih,
saluran
pembuangan air
dan sanitasi.
b. waduk,
bendungan,
bendungan irigasi
dan bangunan
pengairan lainnya;
c. pelabuhan,
bandar udara,
stasiun kereta api,
dan terminal.
d. fasilitas
keselamatan
umum, seperti
tanggul
penanggulangan
bahaya banjir,
lahar, dan lainlain
e. tempat
pembuangan
sampah
f. cagar alam dan
cagar budaya
g. pembangkit,
transmisi,
distribusi tenaga
listrik.
a. pertahanan
dan keamanan
nasional
b. jalan umum,
jalan tol,
terowongan,
jalur kereta api,
stasiun kereta
api dan fasilitas
operasi kereta
api
c. waduk,
bendungan,
bendung,
irigasi, saluran
air minum,
saluran
pembuangan air
dan sanitasi dan
bangunan
pengairan
lainnya
d. pelabuhan,
bandar udara
dan terminal
e. infrastuktur,
minyak gas dan
panas bumi
f. pembangkit,
transmisi,
gardu, jaringan
dan distribusi
tenaga listrik
g. jaringan
telekomunikasi
dan informatika
Pemerintah
h. tempat
pembuangan
dan pengolahan
sampah
i. rumah sakit
Pemerintah/Pe
merintah
Daerah
j. fasilitas
keselamatan
umum
k. tempat
pemakaman
umum
75
Nasional Indonesia
dan Kepolisian
Negara Republik
Indonesia sesuai
dengan tugas pokok
dan fungsinya.
o. lembaga
permasyarakatan
dan rumah tahanan
p. rumah susun
sederhana
q. tempat
pembuangan
sampah
r. cagar alam dan
cagar budaya.
s. pertamanan
t. panti sosial
u. pembangkit,
tansmisi, distribusi
tenaga listrik
2.4
Pemerintah/Pe
merintah
Daerah
l. fasilitas
sosial, fasilitas
umum dan
ruang terbuka
hijau publik
m. cagar alam
dan cagar
budaya
n. kantor
Pemerintah/Pe
merintah
Daerah/desa
o. Penataan
pemukiman
kumuhperkotaa
n dan/atau
konsolidasi
tanah, serta
perumahan
untuk
masyarakat
berpenghasilan
rendah dengan
status sewa
p. prasarana
pendidikan atau
sekolah
Pemerintah/Pe
merintah
Daerah
q. Prasarana
olahraga
Pemerintah/Pe
merintah
Daerah; dan
r. pasar umum
dan lapangan
parkir umum.
Pengaturan Peran Swasta Dalam Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Dalam Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Dalam rangka menjamin kelangsungan proses pembangunan ekonomi
jangka panjang dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan,
76
Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada sektor pertanian tanpa proses
industrialisasi. Walaupun industrialisasi itu penting, namun perlu untuk diakui
bahwa industrialisasi bukan merupakan tujuan akhir melainkan hanya salah satu
strategi yang ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna
mencapai kemakmuran rakyat Indonesia yang berkeadilan sosial. Industrialisasi
mendorong kebijakan pertanahan yang semakin adaptif terhadap mekanisme
pasar, namun belum diikuti dengan penguatan akses rakyat dan masyarakat
hukum lokal terhadap perolehan dan penggunaan tanah. Tujuan pembangunan
nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang
merata material dan spiritual
berdasarkan Pancasila serta bahwa hakikat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, maka
landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 pasca amandemen.
Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan salah satu peraturan
perundang-undangan yang menerapkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pada bagian
konsiderannya mengedepankan bahwa UUPA harus berdasarkan Pancasila yang
sila kelimanya adalah sila keadilan sosial. Ini berarti bahwa Undang-Undang
Pokok Agraria harus berasaskan keadilan sosial dalam Pancasila. Hal ini tidak
berarti bahwa sila – sila lain dalam Pancasila dapat dilepas kaitan dan
pengertiannya satu sama lain.
Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menerapkan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa menunjukkan hal itu. Dalam rumusan pasal tersebut dinyatakan bahwa
: seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
77
di dalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
asas yaitu (1) asas menguasai dari Negara, (2) asas penggunaan bumi, air dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, harus
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan (3) asas keadilan sosial dalam
Pancasila dalam arti bahwa di dalam upaya mewujudkan sebesar- besar
kemakmuran rakyat, sila-sila lain di dalam Pancasila tidak dapat dilepas dari sila
keadilan sosial. 94
Asas yang disebut pertama menyangkut status tanah di negara Indonesia
dan asas yang disebut kedua dan ketiga menyangkut penggunaan dan
pemanfaaatan tanah yang diukur dengan dua penentu yaitu : (1) untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat dan (2) dijalankan secara berkeadilan sosial dalam
Pancasila. Asas-asas tersebut diatas diharapkan dapat diterapkan dalam
penggunaan dan pemanfaatan tanah. Apapun bentuk kongkrit dari penggunaan
tanah, asas-asas tersebut menguasainya.
Pasal 14 ayat (1) UUPA memuat ketentuan tentang penggunaan tanah dan
peruntukannya dengan pernyataan :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) ,
Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2). Pemerintah dalam
rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai
persedian, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
a. Untuk keperluan negara;
94
Mustofa dan Suratman, 2013, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, Sinar
Grafika, Jakarta, hal 1-4.
78
b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya
serta dengan dasar Ketuhahan Yang Maha Esa;
c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial,
budaya, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. Untuk keperluan perkembangan produksi pertanian, peternakan
dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. Untuk keperluan perkembangan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
Didalam kerangka membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya, asas-asas tersebut diharapkan tertera di dalamnya.
Arah pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi dalam pembangunan
nasional adalah tercapainya struktur ekonomi yang seimbang yang di dalamnya
terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju dan didukung oleh
kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh serta merupakan pangkal tolak
bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuataannya sendiri.
Untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam
pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh
karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan
meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara
optimal seluruh sumber daya alam dan manusia yang tersedia. Setelah Indonesia
menandatangani perjanjian Marrakesh April 1994, pengaturan hak atas tanah bagi
investasi perlu ada perubahan. Hal ini disebabkan karena pembangunan ekonomi
itu telah mendorong berkembangnya nilai-nilai yang terkait dengan tanah.
UUPA dengan prinsip nasionalitasnya memberi kewenangan yang sangat
luas pada Negara melalui Hak Menguasasi Negara. Pasal 2 UUPA menyatakan
bahwa :
79
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
dan hal-hal lain sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan; kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swastantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah
Berdasarkan pada Hak Menguasai Negara ini, kemudian dibuat UndangUndang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan BendaBenda yang ada diatasnya. Undang-undang ini memberikan keabsahan bahwa
Negara adalah perwakilan dari kepentingan umum. Pasal 1
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda
yang ada diatasnya menyatakan :
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan, maka presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar
Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan
dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 206 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-
80
2004 pada era kebijakan pembangunan ekonomi salah satunya adalah
mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan
penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan
hak-hak rakyat setempat termasuk hak-hak ulayat dari masyarakat adat serta
berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Tanah merupakan salah
satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan baik dilakukan
oleh pemerintah, perusahaan swasta maupun masyarakat tidak lepas dari
kebutuhan akan tanah sebagai wadah kegiatannya. 95
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan
memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undangundang. Disamping mekanisme pencabutan hak atas tanah, UUPA sesungguhnya
juga menyebut istilah pelepasan hak atau penyerahan secara sukarela oleh
pemegang hak atas tanahnya.
Berkaitan dengan pelepasan hak atau penyerahan secara sukarela oleh
pemegang hak atas tanah tersebut secara kronologis, awalnya dibentuk melalui
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (bahkan sebelumnya hanya
diatur dalam PMDN Nomor 15 Tahun 1975 dan PMDN Nomor 2 Tahun 1976).
Pada tahapan berikutnya dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 dan selanjutnya melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan baru
tahun 2012 masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum dibuat dalam
95
Ibid, hal. 8-9
81
bentuk undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang disyahkan
pada tanggal 14 Januari 2012.
Berdasarkan konsideran Keppres No 55 Tahun 1993 tersebut, ada tiga
prinsip dasar yang melatarbelakanginya yaitu : pertama, pembangunan berbagai
fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup,
sehingga pengadaannya perlu dilakukan sebaik-baiknya. Kedua, pelaksanaan
pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran dalam
kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
tanah. Ketiga, pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara
yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan musyawarah
langsung dengan para pemegang hak atas tanah.
Untuk lebih meningkatkan legitimasi yuridis bagi pelaksanaan pengadaan
tanah untuk pengadaan bagi kepentingan umum diterbitkan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005. Penerbitan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dimaksudkan
untuk lebih memberikan dasar normatif bagi pengadaan tanah oleh pemerintah,
karena sebelumnya hanya didasarkan pada keppres.
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 terdapat perluasan esensi dan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum, yakni bidang-bidang kepentingan umum menjadi
semakin banyak sehingga lebih mengakomodasi banyak kepentingan. Penerbitan
perpres ini juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan para investor yang
membutuhkan banyak lahan (tanah) untuk kepentingan pembangunan proyekproyek investasi. Oleh karena itu, persoalan tersedianya lahan merupakan salah
82
satu faktor pertimbangan para investor sebelum menanamkan modalnya di
Indonesia. Dengan adanya kemudahan untuk memperoleh tanah bagi investor
sebagaimana ditentukan dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005, diharapkan iklim
investasi di Indonesia akan semakin kondusif. Hal ini dapat dipahami dan latar
belakang dibentuknya Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ini, yakni sebagai salah satu
rekomendasi dari infrastructure summit.
Dinilai terlalu memihak kepada kepentingan investor dan tidak memihak
kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang hak atas tanah, banyak desakan agar
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 direvisi. Pada tanggal 5 Juni 2006 diterbitkan
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Tujuan dari diterbitkannya Perpres Nomor 65 Tahun 2006
itu adalah untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas
tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.96
Pada saat pemerintah melancarkan kebijakan untuk penanaman modal baik
dengan penanaman modal asing (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967) maupun
dalam rangka penanaman modal dalam negeri (Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968), dan demikian pula telah terjadinya begitu banyak pembebasan pembebasan
tanah oleh swasta yang tidak terencana untuk keperluan pembangunan perumahan
maupun untuk industri dan lain-lain tujuan termasuk yang bersifat spekulatif maka
96
Ibid, hal 181-183.
83
untuk mentertibkannya telah ditertibkan oleh Menteri Dalam Negeri Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974.
Dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 1973 disinyalir
bahwa dikonstatir adanya pembelian/pemilikan/penguasaan atas tanah milik
rakyat yang dilakukan baik oleh sementara orang maupun oleh badan-badan
hukum yang jumlahnya melampui batas/kebutuhan usahanya, dan tidak terkendali
oleh pemerintah. Demikian pula karena belum adanya land use atas tanah-tanah
tersebut maka selama belum adanya ketentuan land use atau sekarang disebut UU
Tata Ruang, maka peranan dari swasta tersebut yang menetapkan sendiri land use
tersebut maka keuntungan dari para investor tersebut harus dibayar mahal oleh
masyarakat sekitarnya sebagai suatu social economic cost.
Disinyalir adanya penguasaan/pembelian tanah yang bersifat spekulatif
dan usahanya berpaling khusus untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
yang kemudian dijual kepada swasta nasional maupun asing/joint venture maupun
kepada pemerintah dengan menawarkan harga yang tinggi namun dengan
menekan harga ketika pembelian mereka dari masyarakat. Keadaan yang
demikian samasekali tidak mendukung catur tertib pertanahan, rakyat yang
tersisih dari tempat-tempat yang subur ke daerah-daerah terpencil dan kurang
subur. Rakyat yang menjadi sasaran pembelian tanah tersebut menjadi resah,
lebih-lebih lagi didukung
pekerjaan tersebut oleh oknum-oknum aparat
pedesaan/kecamatan, maupun oknum lain-lainnya.
Keadaan yang demikian telah menaikkan harga-harga untuk pembangunan
tersebut dan sangat ironis bahwa para investor kadangkala tidak ingin mengalami
84
kesusahan dalam pembebasan tanah tersebut dan menyerahkan saja kepada para
perantara tersebut. Dalam instruksi tersebut diatas, maka Menteri Dalam Negeri
menugaskan kepada Kepala-Kepala Daerah untuk mencegah masalah-masalah
tersebut dan lebih mengadakan pengawasan-pengawasan. Pembebasan tanah
untuk swasta terbanyak dari usaha-usaha real estate, industri dan termasuk industri
pariwisata. PMDN No. 5 Tahun 1974 Pasal 1 ayat (2) menyatakan :
1. Kebijakan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan
perusahaan-perusahaan baik yang diselenggarakan dengan maupun
tanpa fasilitas-fasilitas penanaman modal sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (LN 1967 No 1) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (LN 1968 No 33) yang
ditetapkan dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan pada
umumnya dan khususnya Pelita II dan mempunyai sasaran untuk
menciptakan suasana dan keadaan yang menguntungkan dan serasi
bagi kegiatan-kegiatan pembangunan, dengan tujuan agar pada satu
pihak kebutuhan penguasaha akan tanah dapat dicukupi dengan
memuaskan dan pada pihak lain sekaligus terselenggara tertib
pengusahaan dan penggunaan tanah berdasarkan peraturan-peraturan
perundangan yang berlaku, hingga tanah yang tersedia benar-benar
dimanfaatkan sesuai dengan fungsi sosialnya.
Pasal 5 ayat (6) menyebutkan bahwa perusahaan untuk pembangunan
perumahan berkewajiban antara lain untuk :
a.
b.
c.
Mengajukan kepada pemerintah dengan perantaraan Gubernur Kepala
Daerah yang bersangkutan rencana proyek yang akan dibangunnya,
termasuk biaya, areal tanah yang diperlukan , jenis rumah dan
bangunan serta prasarana lingkungan dan fasilitas sosial, jangka waktu
diselesaikannya pembangunan rencana penjualan rumah yang sudah
selesai dibangun.
Mematangkan tanah dan membangunan jenis-jenis rumah yang juga
meliputi rumah-rumah “murah”.
Membangun dan memelihara selama waktu yang ditentukan
prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas sosial yang diperlukan,
jalan lingkungan, saluran pembuangan air, persediaan air minum,
listrik, telepon, tempat peribadatan, tempat rekreasi/olahraga, pasar
pertokoan, sekolah dan lainnya.
85
d.
e.
Menyerahkan prasarana lingkungan dan fasilitas sosial yang telah
dibangun kepada pemerintah/pemerintah daerah.
Menyimpan sebagian modal kerjanya di dalam Bank yang ditunjuk
oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai jaminan
perusahaan tersebut akan benar-benar melaksanakan proyeknya.
Pasal 7 menetapkan bahwa lokasi perusahaan yang akan dibangun dan
letak tanah yang diperlukan ditetapkan oleh Gubernur/Kepala Daerah,
Bupati/Walikota Kepala Daerah dengan memperhatikan planologi daerah yang
bersangkutan.
Dalam ayat 3 ditetapkan bahwa :
a. Sejauh mungkin harus dihindarkan pengurangan areal tanah pertanian
yang subur.
b. Sedapat mungkin dimanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang
produktif.
c. Dihindarkan pemindahan penduduk dari tempat kediamannya
d. Diperhatikan
persyaratan
untuk
mencegah
terjadinya
pengotoran/pencemaran bagi daerah lingkungan yang bersangkutan.
Pasal 8 ditetapkan tentang luas tanah yang boleh dikuasai oleh perusahaan
tersebut oleh Menteri Dalam Negeri (tentunya sekarang Kepala BPN) atau
Gubernur Kepala Daerah. Pasal 20 disebutkan selama belum diperoleh izin dari
instansi yang berwenang maka tidak boleh melakukan pembelian, penyewaan,
pembebasan hak ataupun lain-lain bentuk perbuatan yang mengubah penguasaan
tanah yang bersangkutan, baik secara yuridis ataupun fisik, baik langsung ataupun
tidak langsung untuk kepentingan perusahaan atau calon investor.
Pasal 20 ayat (2) disebutkan sementara menunggu diperolehnya izin usaha
atau persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat,
maka Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan :
a. Dapat mencadangkan tanah yang diperlukan untuk kepentingan
perusahaan/calon investor, seluas yang akan benar-benar diperlukan
untuk penyelenggarakan usaha yang direncanakan.
86
b. Menyampaikan pertimbangan kepada Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Pusat baik mengenai lokasi perusahaan maupun
kemungkinan penyediaan tanahnya.
Pasal 11 PMDN Nomor 5 Tahun 1974 disebutkan setelah diperoleh izin
dari Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat maka
perusahaan tersebut boleh melakukan pembelian, penyewaan atau pembebasan
hak dan penguasaan tanah yang diperlukannya, menurut cara-cara yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan agraria yang ada. Pasal 11 ayat (2)
menyebutkan dalam izin yang diberikan Gubernur tersebut ditetapkan jangka
waktu dalam masa pembelian atau pembebasan haknya harus diselesaikan. Pasal
11 ayat (3) menyatakan pembelian atau pembebasan hak serta penguasaan
tanahnya
dilakukan
atas
dasar
musyawarah
dengan
pihak-pihak
yang
mempunyainya di bawah pengawasan Bupati/Walikota Kepala Daerah yang
bersangkutan dan jika perlu memberikan bantuan jika ada kesulitan dengan
memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Pasal 11 ayat (4) menyatakan
bahwa selesai pembelian maka tanah yang bersangkutan harus segera diajukan
permohonan hak baru kepada pejabat yang berwenang. Pasal 11 ayat (5)
menyebutkan Bupati/Walikota Kepala Daerah dapat membatalkan setelah diberi
peringatan jika pembelian, penyewaan atau pembebasan tersebut tidak dilakukan
menurut cara yang semestinya dan/atau tidak diselesaikan dalam waktu yang
ditentukan.
Pasal 12 disebutkan Bupati/Walikota Kepala Daerah mengadakan
pengawasan agar perusahaan yang bersangkutan memenuhi kewajibannya dan
tanah yang telah dikuasai oleh perusahaan dipergunakan benar-benar dan
87
dimanfaatkan sesuai dengan izin dan melakukan kewajiban-kewajiban yang telah
ditentukan. Pasal 6 disebutkan juga bahwa dapat diberikan izin penyediaan dan
pemberian tanah untuk industrial estate yang bergerak di bidang penyediaan,
pengadaan, dan pematangan tanah bagi keperluan usaha industri, termasuk
industri pariwisata yang merupakan suatu lingkungan yang dilengkapi dengan
prasarana-prasarana umum yang diperlukan. Perusahaan-perusahaan yang
bergerak di bidang ini dapat berupa perusahaan pemerintah pusat/daerah dengan
bentuk Perum atau Persero atau Perusahaan Daerah.
-
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 268 Tahun 1982
Masalah tersebut terlihat lagi dengan Keputusan dari Menteri Dalam
Negeri Nomor 268 Tahun 1982, khusus untuk perusahaan-perusahaan real estate
yang belum membebaskan tanah ataupun belum mematangkan tanah ataupun
menyelesaikan seluruh proyek secara lengkap. Dalam keputusan tersebut
dinyatakan :
a. Dalam waktu paling lama 5 tahun harus sudah dibebaskan terhitung sejak
izin pembebasan tanah.
b. Dalam waktu 3 tahun sejak dibebaskan tanah sudah harus dimatangkan.
c. Menyelesaikan pembangunan tersebut 8 tahun sejak diperoleh izin
bangunan tetapi tidak melebihi 10 tahun.
-
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982
Menteri Dalam Negeri telah membuat Instruksi Nomor 2 Tahun 1982
tentang Penertiban Tanah di Daerah Perkotaan yang dikuasai oleh Badan
Hukum/Perorangan yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan. Instruksi tersebut yang
88
ditujukan kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota Kepala Daerah, agar tanahtanah yang sudah dibebaskan segera dimanfaatkan dan dipergunakan. Demikan
pula untuk mengadakan pengawasan yang intensif dan selambat-lambatnya
tanggal 24 September 1982 sudah harus dimanfaatkan/dipergunakan sesuai
dengan SK Pencadangan/Penunjukan Lokasi. Pelanggaran terhadap SK tersebut,
agar supaya dibatalkan SK tersebut dan tanahnya dikuasai langsung oleh Negara.
-
Surat Edaran Nomor 593.82/5053/Agr tanggal 22 Desember 1982.
Dalam surat edaran tersebut Menteri Dalam Negeri sebaliknya mensinyalir
adanya
kelambatan-kelambatan
maupun
hambatan-hambatan
izin
prinsip
pencadangan dan pembebasan tanah sehingga terjadi tunggakan-tunggakan yang
cukup besar. Tentunya ini sebagai keluhan dari para investor dalam memperoleh
izin tersebut dari pemerintah daerah yang bersangkutan.
-
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982
PMDN ini mengatur tentang penyempurnaan PMDN Nomor 5 Tahun
1974 tentang Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk keperluan perusahaan
terutama untuk perumahan sederhana (perumahan rumah dan fasilitas BTN).
Dalam hal ini ketentuan ini secara khusus untuk pembebasan tanah bagi
perusahaan-perusahaan pembangunan perumahan sederhana yang disetujui dan
dibiayai oleh BTN (catatan ketentuan ini bukan untuk pembebasan tanah untuk
Perum Perumnas). Permohonan diajukan kepada Gubernur KDH melalui
Bupati/Walikotamadya untuk memperoleh penetapan mengenai luas dan
lokasinya. Pembebasan tersebut termasuk kategori pembebasan tanah untuk
89
kepentingan pemerintah oleh swasta (berdasarkan PMDN Nomor 15 Tahun 1975
jo PMDN Nomor 2 Tahun 1976).
Sebagai contoh di DKI Jakarta, maka ditetapkan Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Nomor 1898 Tahun 1991tanggal 28 Desember 1991 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pembaharuan Surat Izin Penggunaan Tanah Untuk
Pembangunan Perumahan (real estate) di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
sebagai Kelanjutan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
no. Da 11/23/49/1972 tanggal 20 November 1972 tentang Ketetapan Persyaratan
Pemberian Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah Untuk Real Estate (Perumahan)
dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Keputusan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat
Persetujuan
prinsip
Pembebasan
lokasi/lahan
pembangunan fisik kota di DKI Jakarta. 97
97
A.P Parlindungan, 1993, Op.cit, hal. 61-67.
atas
bidang tanah
untuk
BAB III
PENGATURAN DASAR HAK SWASTA DALAM PENYELENGGARAAN
PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
3.1
Politik Hukum Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
Setiap masyarakat yang teratur, menentukan pola-pola hubungan yang
bersifat tetap antara para anggotanya adalah masyarakat yang mempunyai tujuan
yang jelas. Politik adalah bidang yang berhubungan dengan tujuan masyarakat
tersebut. Struktur politik menaruh perhatian pada pengorganisasian kegiatan
kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama tersebut. Politik juga aktivitas
memilih tujuan sosial tertentu, dalam hukum persoalan yang dihadapi juga adalah
persoalan tentang keharusan untuk menentukan pilihan mengenai tujuan maupun
cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapainya.98
Imam
Syaukani dan A. Ahsin Thohari menjelaskan bahwa secara
etimologi, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari
istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua suku
kata yaitu recht dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum.
Kata politiek dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van der Tas
mengandung arti beleid. Kata beleid dalam bahasa Indonesia berarti
98
H. Riduan Syahrani, 2010, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Banjarmasin, hal. 224.
90
91
kebijaksanaan. Jadi secara etimologi politik hukum berarti kebijaksanaan hukum
(legal policy). 99
Istilah politik hukum merupakan kombinasi dari politik dan hukum. Politik
merupakan bidang dalam masyarakat yang berhubungan dengan tujuan
masyarakat tersebut sekaligus aktivitas memilih suatu tujuan sosial tertentu.
Persoalan serupa dihadapi hukum yakni keharusan untuk menentukan suatu
pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai
tujuan tersebut. Dengan demikian, hukum tidak lagi otonom karena memiliki
keterkaitan dengan sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat. Hukum harus
senantiasa melakukan penyelesaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh
masyarakatnya. 100
Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.101
Didalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut
dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara
tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu di dalamnya
mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.102 Teuku Mohammad
Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
99
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal 19-25.
100
Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, Pustaka Margaertha, Jakarta,
(Selanjutnya disingkat Bernhard Limbong II), hal. 137.
101
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 160.
102
Padmo Wahjono, Menelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan,
dalam Majalah Forum Keadilan, No. 29, April 1991, hal. 65.
92
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah
perkembangan hukum yang dibangun. 103
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih
dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum
tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa
pertanyaan mendasar yaitu : 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem
yang ada; 2)cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai
dalam mencapai tujuan tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana
hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan
untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.104
Terdapat pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan
oleh para ahli di dalam berbagai literatur. Dari pengertian atau definisi itu, dengan
mengambil substansinya yang ternyata sama, Moh. Mahfud MD mengemukakan
bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun
dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik
hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara
seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.105
103
Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, dalam Majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973, hal. 3.
104
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, Bandung, hal.
352-353.
105
Moh. Mahfud MD, 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 1.
93
Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan
ada yang bersifat periodik. Politik hukum yang bersifat permanen misalnya :
pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan
antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum
peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya
alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan sebagainya. Disini
terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat dalam UUD sekaligus berlaku
sebagai politik hukum. Politik hukum yang bersifat periodik adalah politik hukum
yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap
periode tertentu baik yang akan memberlakukan maupun yang akan mencabut,
misalnya pada periode 1973-1978 ada politik hukum untuk melakukan kodifikasi
dan unifikasi dalam bidang hukum-hukum tertentu, pada periode 1983-1988 ada
politik hukum untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara dan pada periode
2004-2009 ada lebih dari 250 rencana pembuatan UU yang dicantumkan dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas).106
Ada perbedaan cakupan antara politik hukum dan studi politik hukum,
yang pertama lebih bersifat formal pada kebijakan resmi sedangkan yang kedua
mencakup kebijakan resmi dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Studi politik
hukum mencakup sekurang-kurangnya 3 hal yaitu : Pertama, kebijakan negara
(garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan
106
Prolegnas adalah daftar rencana UU yang akan dibentuk selama satu perode
pemerintahan untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi pada periode yang bersangkutan.
Prolegnas ditetapkan oleh Ketua DPR berdasar kesepakatan antara DPR dan Pemerintah.
Prolegnas mempunyai dua fungsi yakni sebagai potret tentang rencana materi hukum (dalam arti
undang-undang) yang akan dibuat dan sebagai prosedur atau mekanisme pembuatan UU itu
sendiri.
94
dalam rangka pencapaian tujuan negara. Kedua, latar belakang politik, ekonomi,
sosial, budaya (poleksosbud) atau lahirnya produk hukum. Ketiga, penegakan
hukum di dalam kenyataan lapangan.
Pembahasan bab ini berangkat dari cakupan studi politik hukum yang
kedua, yakni latar belakang politik dibalik lahirnya hukum dan pengaruhnya
terhadap produk hukum. Pada tataran implementasinya, politik hukum sekurangkurangnya mengakomodasi tiga aspek. Pertama, pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan
pembangunan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegakan supremasi hukum sesuai fungsi-fungsi hukum, penegakan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum; dan ketiga, proses pembangunan
hukum dan pelaksanaannya harus menunjukkan peranan, sifat, dan orientasi
hukum dibangun dan ditegakkan.107
Menilik konsep politik hukum dari para ahli hukum sebagaimana
dijabarkan diatas, disimpulkan bahwa substansi dari politik hukum itu adalah
kebijaksanaan hukum terkait pembangunan dan perombakan hukum dalam rangka
mewujudkan apa yang menjadi tujuan negara. Politik hukum itu merupakan
langkah dan kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara (pemerintah yang
berkuasa) dalam rangka menciptakan sistem hukum nasional guna mewujudkan
cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Pembicaraan mengenai politik hukum
Indonesia, dimulai pada saat
diberlakukannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Soediman
107
51.
Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Presisndo,Surabaya, hal.
95
Kartohadiprodjo mengatakan bahwa berlakunya hukum dalam suatu Negara
ditentukan oleh politik hukum Negara tersebut. Politik hukum suatu Negara dapat
dilihat dari undang-undang dasarnya, karena pada dasarnya undang-undang dasar
suatu Negara memuat sendi-sendi Negara serta kadang kala juga memuat dasardasar politik hukum yang hendak diikuti oleh Negara tersebut.108
Soediman Kartohadiprodjo mengatakan bahwa sekalipun dalam UndangUndang Dasar 1945 tidak terdapat petunjuk mengenai politik hukum yang dianut
oleh Negara Indonesia, ternyata ketentuan politik hukum dicantumkan melalui
sarana ketetapan MPRS. Hal tersebut dapat dilihat dalam Ketetapan MPRS
No.II/1960.109 Secara garis besar dalam Ketetapan MPRS tersebut, mengenai
hukum diantaranya ditetapkan hal-hal sebagai berikut :
1. Supaya asas pembinaan hukum nasional itu sesuai dengan haluan Negara;
2. Pembinaan hukum nasional agar berlandaskan pada hukum adat yang
sesuai dengan perkembangan kesadaran rakyat Indonesia dan tidak
menghambat terciptanya masyarakat adil dan makmur.110
Seiring dengan terjadinya pergolakan politik yang dikenal dengan sebutan
pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, maka dengan
sendirinya agenda politik hukum yang digariskan oleh Ketetapan MPRS tersebut
belum terlaksana sebagaimana mestinya. Pada tahun-tahun tersebut, pemerintah
108
Soediman Kartohadiprodjo, 1967, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, PT
Pembangunan, Jakarta, hal. 39-40.
109
Ibid, hal. 198.
110
Ibid.
96
Indonesia sibuk dengan agenda pemulihan keamanan, sementara terkait dengan
agenda pembangunan hukum menjadi terabaikan.111
Agenda politik hukum baru mulai dirancang kembali pada tahun 1973. Hal
tersebut dilakukan melalui sarana Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam ketetapan MPR tersebut dirumuskan
politik hukum yang diikuti oleh Negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1. Pembangunan di bidang hukum dalam Negara Hukum Indonesia adalah
berdasarkan atas landasan sumber tertib hukum.
2. Pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang
berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian
hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan
pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana
menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang
menyeluruh.
3. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para
penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan
serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dan ketertiban
serta kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945.112
Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, terlihat dengan jelas bahwa politik
hukum yang ditempuh oleh Negara Indonesia adalah mengadakan pembaharuan
hukum dan kodifikasi hukum. Politik hukum yang demikian, kembali digariskan
oleh MPR melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis Besar
Haluan Negara, yaitu sebagai berikut :
1. Pembangunan di bidang hukum dalam Negara hukum Indonesia
didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Pembangunan dan pembinaan bidang hukum diarahkan agar hukum
mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan
111
Otong Rosadi dan Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum : Suatu Optik Ilmu
Hukum, Thafa Media, Yogyakarta, hal. 66.
112
Ibid, hal. 67.
97
pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah diciptakan
ketertiban dan kepastian hukum dan memperlancar pelaksanaan
pembangunan.
3. Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat.
4. Mengusahakan terwujudnya Peradilan Tata Usaha Negara.
5. Dalam usaha pembangunan hukum nasional perlu ditingkatkan
langkah-langkah untuk penyusunan perundang-undangan yang
menyangkut hak dan kewajiban asasi warga Negara dalam rangka
mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.113
Melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara, MPR menggariskan arah politik hukum sebagai berikut :
1. Pembangunan dan pembinaan hukum dalam Negara hukum Indonesia
didasarkan atas Pancasila dan UUD 1945;
2. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat :
a. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang telah ada;
b. Menciptakan kondisi yang lebih mantap
3. Dalam rangka pembangunan dan pembinaan hukum tersebut, akan
dilanjutkan usaha-usaha untuk :
a. Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional
dalam rangka pembaharuan hukum, antara lain mengadakan
kodifikasi serta unifikasi hukum.
b. Memantapkan kedudukan dan peranan badan-badan penegak
hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing;
c. Memantapkan sikap dan perilaku para penegak hukum serta
kemampuannya.
4. Meningkatkan penyuluhan hukum.
5. Dalam usaha pembangunan nasional perlu dilanjutkan langkahlangkah untuk penyusunan perundang-undangan yang menyangkut hak
dan kewajiban asasi warga Negara dalam rangka mengamalkan
Pancasila dan UUD 1945.114
Arah politik hukum sebagaimana yang digariskan oleh Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, kembali
digariskan oleh MPR melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang
Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara. Selanjutnya melalui Ketetapan MPR Nomor
113
114
Ibid, hal. 68.
Ibid, hal. 70.
98
II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, MPR mengarahkan
politik hukum nasional sebagai berikut :
1. Terkait dengan Materi Hukum
a. Materi hukum meliputi aturan baik tertulis maupun tidak tertulis
yang berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bersifat mengikat bagi
semua penduduk.
b. Pembangunan materi hukum diarahkan terwujudnya sistem hukum
nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan
penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh yang
bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya penyusunan produk hukum yang sangat dibutuhkan
untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan
nasional.
c. Pembangunan materi hukum termasuk perencanaan hukum,
pembentukan hukum serta penelitian dan pengembangan hukum
d. Perencanaan hukum sebagai bagian penting dari proses
pembangunan materi hukum harus diselenggarakan secara terpadu
dan meliputi semua bidang pembangunan
e. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses secara
terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
2. Terkait Aparatur Hukum
a. Pembangunan aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparatur
hukum yang memiliki kemampuan untuk mengayomi masyarakat
dan mendukung pembangunan nasional.
b. Pembangunan aparatur hukum dilaksanakan melalui pembinaan
profesi hukum serta pemanfaatan semua organisasi dan lembaga
hukum.
c. Penerapan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas
dan lugas tetapi juga manusia berdasarkan asas keadilan dan
kebenaran dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian
hukum, meningkatkan tertib sosial dan disiplin nasional.
3. Terkait dengan Sarana dan Prasarana Hukum
a. Pembangunan sarana dan prasarana hukum diarahkan pada
terwujudnya dukungan perangkat yang mampu menjamin
kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Sarana dan prasarana hukum terus ditingkatkan baik jumlah
maupun kualitasnya agar dapat mendukung upaya pembangunan
hukum secara optimal. 115
115
Otong Rosadi dan Andi Desman, Op.cit, hal. 76.
99
Arah politik hukum yang tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, merupakan awal dari
pembangunan hukum nasional dengan menggunakan pendekatan yang sistemik
dan holistik. Arah politik hukum sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan
MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, kembali
diagendakan oleh MPR hasil pemilu tahun 1997 melalui Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Budi Harsono menjelaskan bahwa politik hukum agraria merupakan
kebijakan pemerintah di bidang agraria yang ditujukan untuk mengatur
penggunaan atau kepemilikan tanah, peruntukan dan penggunaan tanah untuk
lebih menjamin perlindungan hukum dan peningkatan kesejahteraan serta
mendorong kegiatan ekonomi melalui pemberlakuan undang-undang agraria dan
peraturan pelaksanaannya.116 Politik hukum agraria harus dilandasi dengan itikad
baik pemerintah dan para pembuat hukum (undang-undang) untuk mencapai
tujuan yang baik dalam mengeluarkan kebijakan, baik pada saat ini maupun masa
yang akan datang.
Mengacu pada pemahaman politik hukum sebagaimana yang telah
dijabarkan dapat disimpulkan bahwa politik hukum agraria menyangkut arah
kebijaksanaan hukum dalam bidang agraria. Kebijaksanaan hukum yang
dimaksud
bertujuan
untuk
memelihara,
mengawetkan,
memperuntukkan,
mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber
daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan dan
116
Boedi Harsono, Op. cit, hal. 17.
100
kesejahteraan rakyat.117 Dalam pelaksanaan, legal policy dapat dijabarkan dalam
bentuk sebuah peraturan perundang-undangan yang berisikan asas, dasar dan
norma dalam bidang agraria.
Merujuk pada Pasal
33 Ayat (3) UUD 1945, politik hukum agraria
memiliki hubungan erat dengan konsep hak menguasai negara. Hak menguasai
negara bersumber pada alinea keempat UUD 1945 menentukan :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, kedamaian abadi dan keadilan sosial
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Makna yang terkandung di dalamnya adalah negara diberi tugas dan
tanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Dari kata-kata tumpah darah memilki makna tanah air. Tanah air
Indonesia meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
semuanya itu ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sehingga negara
mengupayakan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
adalah digunakan utamanya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
117
Singgih Praptodihardjo, 1953, Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia, Yayasan
Pembangunan, Jakarta, hal. 26-37.
101
Negara sebagai konsep yang berkaitan dengan kekuasaan memiliki
sejumlah tujuan hakiki sebagai pengemban tujuan dari seluruh warganya. Oleh
karena itu, wajar kalau setiap hukum positif selalu menempatkan suatu tujuan
yang terdapat dalam hukum itu yang secara inklusif termasuk tujuan negara. 118
Penjabaran selanjutnya dituangkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945
serta dalam Pasal 1 Ayat (1), (2) dan (3) UUPA menentukan :
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa,
Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional;
(3) Hubungan antara Bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
yang termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
Berdasarkan pada ketentuan diatas, wilayah Indonesia adalah salah satu
kesatuan tanah air kepunyaan seluruh rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa
Indonesia, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa menjadi kekayaan nasional.
Kepunyaan itu melahirkan hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air
dan serta ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah
hubungan yang bersifat abadi. Artinya bahwa selama bangsa Indonesia masih ada,
selama itu pula hak bangsa itu tetap melekat dan dipunyai oleh bangsa
Indonesia.119
Hak Menguasai Negara menurut UUD 1945 mengandung hak dan
kewajiban negara sebagai pemegang kekuasaan yang mengemban tugas
menciptakan kesejahteraan rakyat. Hak menguasai negara
118
dipahami sebagai
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58.
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk
Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta, hal. 39.
119
102
kewenangan yang dimiliki oleh negara yang berisi wewenang mengatur,
merencanakan, mengelola/mengurus serta mengawasi pengelolaan, penggunaan
dan pemanfataan tanah dan sumber daya agraria lainnya; baik dalam hubungan
antara individu, masyarakat dan negara dengan tanah dan sumber daya agraria
lainnya maupun hubungan antara perseorangan, masyarakat dan negara satu
dengan lainnya yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya agraria lainnya.
120
Dalam Penjelasan Umum Nomor II/1/UUPA dijelaskan sebagai berikut:
Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam Pasal 1 ayat (1)
yang menyatakan bahwa : “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia” dan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi bahwa : “Seluruh bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa, Bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional.” Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam
wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh
bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia jadi
tidak semata mata menjadi hak dari pemiliknya saja. Demikian pula tanahtanah di daerah –daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi
hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan
pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air
dan ruang angkasa bangsa Indonesia merupakan semacam hubungan hak
ulayat yang diangkat pada tingkat paling atas yaitu pada tingkatan yang
mengenai seluruh wilayah negara. Adapun hubungan antara bangsa dan
bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat
abadi (Pasal 1 ayat (3)). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan
ruang angkasa Indonesia itu masih adapula, dalam keadaan yang
bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuatan yang akan memutuskan atau
meniadakan hubungan tersebut.
Dari penjelasan diatas, hak bangsa Indonesia atas bumi, air dan ruang
angkasa bukanlah hak milik tetapi semacam hubungan hubungan hak ulayat yang
120
Bernhard Limbong II, Op. cit, hal. 141.
103
diangkat pada tingkatan tertinggi, meliputi seluruh wilayah Indonesia. Hak bangsa
mengandung dua unsur yaitu :
1. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti
hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat
Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat
(1) UUPA). Pernyataan ini menunjukkan sifat komunalistik dari
konsepsi hukum Nasional
2. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan
memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama
tersebut.121
Unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan
kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang termasuk hukum
publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu
penyelenggaraannya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan
pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi dan diserahkan kepada negara.
Unsur publik ini tercermin dari adanya kewenangan negara untuk mengatur tanah
di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tugas kewenangan ini dilaksanakan oleh
negara berdasarkan hak menguasai negara yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA
yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh negara dalam
Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33
Ayat (3) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut oleh Pasal 2 UUPA. Kata
menguasai mempunyai dua arti yaitu menguasai secara fisik dan menguasai secara
yuridis. Menguasai secara fisik adalah, orang yang menguasai sebidang tanah
dapat berbuat sesuatu misalnya: mendirikan bangunan, menanam tanaman diatas
121
Ari Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah Di
Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, hal. 20.
104
tanahnya dan sebagainya. Menguasai secara yuridis adalah penguasaan atas tanah
yang dilandasi dengan hak dan dilindungi oleh hukum, umumnya juga memberi
wewenang kepada pemegang haknya untuk menguasai secara fisik tanahnya. 122
Hak menguasai tanah oleh negara termasuk penguasaan secara yuridis atas
tanah yang tidak diikuti dengan penguasaan secara fisik tanahnya. Hak menguasai
tanah oleh negara hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur halhal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA. Hak menguasai tanah oleh negara
berkesinambungan dengan konsep Negara kesejahteraan. Konsep Negara
kesejahteraan memikul tanggungjawab utama, mewujudkan keadilan sosial,
kesejahteraan
umum
dan
sebesar-besar
kemakmuran
rakyat.
Hubungan
penguasaan negara dengan tanah berkaitan dengan beberapa aspek berikut:
1. Berkaitan dengan kesatuan negara, maka negara berfungsi utuk
melindungi wilayah negara, melakukan penetapan atas tugas
kewenangan pemerintah baik pusat dan daerah, serta dengan
memperhatikan perkembangan pluralisme masyarakat hukum adat;
2. Berkaitan dengan pemenuhan kepentinganumum, negara bertugas
sebagai
perencana,
pengatur
dan
pembangun
(menciptakan
kepentingan umum tersebut);
3. Berkaitan dengan hak-hak perseorangan, maka negara bertugas
mengatur dan menetapkan hak-hak atas tanah yang bersifat publik
serta menjamin kelancaran hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan tanah serta hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
122
Muhammad Bakri, Op.cit, hal. 52.
105
tanah serta hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang
berkaitan dengan tanah;
4. Berkaitan dengan tanah sebagai fungsi kesejahteraan sosial, maka
negara bertugas untuk menjamin pemenuhan kesejahteraan tersebut
dengan cara mengatur dan mengawasi;
5. Berkaitan dengan fungsi kesejahteraan ekonomi, maka negara berhak
mengatur, melakukan usaha ekonomi dan melakukan pengawasan.
Politik agraria dapat dilaksanakan, dijelmakan dalam sebuah undangundang yang mengatur agraria yang memuat asas-asas, dasar-dasar dan soal-soal
agraria dalam garis besarnya, dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya.
Dengan demikian ada hubungan yang erat antara politik dan hukum.
123
Bila
merujuk pada karakteristik dari semua produk hukum yang diberlakukan di
Indonesia sejak era kolonial hingga era reformasi saat ini, arah politik hukum
agraria Indonesia meliputi : kebijakan eksploitatif dan diskriminatif pada masa
kolonial, kebijakan konstruktif dan responsif pada masa Orde Lama, kebijakan
otoriter dan kapitalistik pada era Orde Baru, dan kebijakan reformatif sektoral era
reformasi saat ini.
1. Kebijakan Eksploitatif dan Diskriminatif.
Karakteristik yang melekat pada politik agraria kolonial, antara lain
meliputi dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi.124 Eksploitasi
dilakukan dengan menggali/mengeruk sumber kekayaan alam negara jajahan
123
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenanda,
Jakarta, hal. 25.
124
Fauzi Noer, 1999, Petani dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Fauzi Noer
II), hal. 20.
106
untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil
produksinya untuk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak
penjajah dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri.
Karakteristik diskriminasi terjadi dalam perlakuan perbedaan ras dan etnis.
Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang superior, sedangkan
penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina.
Disamping itu, dalam hal kepemilikan tanah, negara sebagai pemegang kedaulatan
dianggap sebagai pemilik tanah satu-satunya, sedangkan para petani (rakyat
Indonesia) adalah
penggarap tanah negara. Sebagai penggarap, para petani
diwajibkan membayar sewa tanah sebagai bentuk perpajakan atas tanah.
Penetapan nilai pajak dilakukan untuk membuat nilai tanah dengan mengukur
tanah tiap penggarap dan produktivitasnya. Dalam kenyataannya pemungutan
pajak dilakukan berdasarkan penilaian fiktif.
Kebanyakan penggarap yang didaftar sebagai pembayar pajak pemilik
tanah dalam survey penetapan nilai pajak ini adalah penduduk desa kelas atas.
Dengan kata lain, para petani kelas bawah tidak diakui sebagai pemegang hak atas
tanah, karena itu dikeluarkan dari sasaran pajak langsung. Pemerintah kolonial
pun menetapkan bahwa sewa tanah harus dinilai berdasarkan keseluruhan desa
bukan berdasarkan penggarap-penggarap individual sepanjang pengukuran dan
penilaian tanah yang akurat tidak bisa dilakukan.125
Dalam suatu sistem ini, jumlah sewa tanah yang dipungut atas suatu desa
harus ditetapkan berdasarkan kontrak-kontrak dengan kepala desa lokal dan tetua-
125
Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 143.
107
tetua desa. Kekurangan standar universal maka ditetapkan secara lokal setiap
tahun melalui negosiasi dengan kepala-kepala lokal tersebut. Penilaian dan
pengumpulan sewa tanah dengan menggunakan metode semacam ini dijalankan
selama beberapa dekade. Sehingga penerimaan pemerintah dari pengumpulan
sewa tanah sangat tidak stabil, dan keadilan dalam perpajakan tidak pernah
terealisasi. Hal ini disebabkan oleh variasi lokal yang besar dalam penerapannya.
Disisi lain para petani juga harus dibebani oleh sistem tanam paksa maupun
berbagai jenis kerja bakti (heerendiensten) oleh Belanda.126
Pada tahun 1870, pemerintah kolonial mengeluarkan Agrarische Wet
(AW) dan Agrarische Besluit (AB) sebagai peraturan pelaksanaannnya. UndangUndang
ini
menjamin
kebebasan
ekonomi
bagi
perusahaan-perusahaan
perkebunan swasta dan secara perlahan menghapuskan sistem tanam paksa yang
berada di bawah monopoli negara.127 Aturan-aturan ini tidak pernah mengakui hak
milik individual para petani. Semua tanah tanpa bukti kepemilikan menjadi milik
negara (domein van den staat). Tanah-tanah petani pun dianggap sebagai tanah
tak bebas, sedangkan tanah tak bertuan atau terlantar digolongkan sebagai tanah
negara bebas. Dalam Agrarische Wet diatur bahwa pemerintah dilarang untuk
menjual tanah. Pemerintah hanya menyewakan tanah negara.
2. Kebijakan Konstruktif dan Responsif
Politik hukum agraria pada era Orde Lama diawali dengan adanya tuntutan
kepada Pemerintah setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 untuk
126
Gunawan Wiradi, 2000, Reforma Agraria :Perjalanan Yang Belum Berakhir, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal. 3.
127
Sudargo Gautama, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 80.
108
segera membuat produk hukum agraria nasional yang baru dan berwatak
responsif.128 Hal ini terkait kebijakan di bidang agraria warisan pemerintah
kolonial yang tidak mengakomodasi kepentingan kepentingan masyarakat
Indonesia dan bahkan merugikan rakyat Indonesia. Mena nggapi tuntutan tersebut,
pemerintah mengeluarkan beberapa undang-undang secara parsial yang berisi
pencabutan terhadap beberapa bagian dalam hukum agraria peninggalan kolonial
yang sangat menindas. Pemerintah juga membuat rancangan Undang-Undang
Agraria Nasional untuk menggantikan Agrarische Wet melalui beberapa panitia
perancang.
Dapat dikatakan bahwa politik agraria Orde Lama terfokus pada
pembangunan hukum agraria nasional sebagai penjabaran dari Pasal 33 UUD
1945 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini
sebenarnya mengemukakan dua hal pokok : pertama, negara ikut campur dalam
mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi. Kedua, pengaturan yang
dilakukan negara ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua hal
pokok ini saling terkait sehingga pada tataran penerapannya tidak boleh
mengabaikan satu sama lain.
Produk
politik
hukum
agraria
yang
paling
fenomenal
adalah
diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria 1960. UUPA dinilai sebagai
undang-undang yang sangat responsif karena merombak seluruh sistem yang
dianut di dalam Agrarische Wet dan semua peraturan pelaksanaannya. Masalah128
Karl J. Pelzer, 1991, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 144.
109
masalah mendasar dalam hukum agraria lama yang dihapus oleh UUPA meliputi
domein verklaring, feodalisme dan hak konversi dalam hukum tanah serta
dualisme hukum. Konsepsi terpenting dalam UUPA yang kemudian mendasari
berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial tanah
Fungsi sosial tanah dijabarkan dalam Pasal 6 UUPA. Prinsip fungsi sosial
ini tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pemerintahan
pada masa itu. Tujuannya adalah menghindari akumulasi dan monopoli
kepemilikan tanah oleh segelintir orang. Sebaliknya unsur masyarakat atau
kebersamaan dimasukkan dalam penggunaan tanah. Dalam hak individu pun ada
hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum
untuk menguasai tanah dalam jumlah besar. Pengaturan batas kepemilikan tanah
oleh perseorangan dilakukan agar kepemilikan itu hanya dihubungkan dengan
usaha mencari nafkah dan penghidupan layak atau hanya digunakan untuk
pemukiman, pertanian dan industri rumah.
Di dalam UUPA, terkandung tujuan landreform sebagai satu konsepsi
struktur agraria yang didalamnya terdapat usulan tentang perombakan penguasaan
dan penggunaan tanah. Landreform bertujuan untuk mencapai masyarakat adil
dan makmur, meningkatkan taraf hidup penggarap tanah khususnya dan rakyat
pada umumnya, dan memperluas kepemilikan tanah bagi seluruh rakyat
Indonesia, terutama kaum tani. Dengan landasan filosofi yang disebut konsepsi
tanah untuk rakyat, UUPA 1960 bertujuan bukan saja demi kepastian hukum atau
jika dirumuskan dengan istilah berbeda “unifikasi hukum”, tetapi tujuan yang
110
hakiki adalah mengubah susunan masyarakat, dari suatu struktur warisan stelsel
feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu masyarakat yang adil dan sejahtera.
Hal ini juga diperkuat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara di
dalam ketetapannya, yaitu Tap MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis
Besar Pola Pembangunan Nasional Berencana Tahun pertama, 1961-1969. Tap
MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan
filosofis pembangunan pada masa ini yaitu : anti penghisapan atas manusia oleh
manusia; kemandirian ekonomi dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme
dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya. Pada pasal 4 ayat
(3) Tap MPRS tersebut, disebutkan bahwa landreform sebagai bagian mutlak dari
revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip
bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan.
Demikian juga, dari sejumlah Peraturan Perundang-Undangan di bidang
Agraria periode 1960-1966, sebagian besar tentang landreform dan pengurusan
hak atas tanah.129 Tampak jelas bahwa era pemerintahan Orde Lama meletakkan
isu agraria sebagai bidang pokok yang harus segera diprioritaskan. Itu artinya
Orde Lama menempatkan land reform sebagai kebijakan revolusioner dalam
pembangunan semestanya untuk mencapai Sosialisme Indonesia dengan
mengeluarkan peraturan mengenai redistribusi tanah. Syarat pokok untuk
pembangunan tata perekonomian adalah pembebasan berjuta-juta kaum tani dan
rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan
129
Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, hal. 185.
111
kapitalisme dengan melaksanakan land reform menurut ketentuan hukum nasional
Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri
dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara.
3. Kebijakan Otoriter dan Kapitalistik
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi merupakan fokus dan prioritas
pada era Orde Baru. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing menjadi kebijakan perdana dalam rangka pembangunan ekonomi.
Perusahaan asing yang telah dinasionalisasi oleh Orde Lama, pada tahun 1967
mulai diprivatisasi. Bahkan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar
negeri dilakukan sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru.130
Implikasi dari kebijakan pro pembangunan ekonomi turut mempengaruhi
kebijakan di bidang agraria. Kebijakan agraria pun lebih berorientasi pada upaya
mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditujukan untuk pemenuhan kepentingan
dan kebutuhan pembangunan sektoral (pertanian dan industri). Pergeseran
orientasi kebijakan pun tidak dapat dihindari. Kebijakan yang lebiih populistik
sebelumnya bergeser menuju kebijakan yang pro kapitalis. Tujuannya tidak lain
dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi.
Dalam bingkai pendekatan ekonomi yang cenderung kapitalistik, tanah
dipandang sebagai komoditi strategis. Ketersediaan tanah yang memadai bagi
setiap sektor pembangunan ditujukan untuk mendorong invetasi seluas-luasnya
dan sebesar-besarnya dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Tanah dipandang sebagai barang dagangan, siapa yang memiliki uang
130
Ricardo Simarmata, 2002, Kapitalisme Perkebunan:Dinamika Konsep Pemilikan
Tanah Oleh Negara, INSIST Pres, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 64.
112
dapat membelinya tanpa harus dibatasi. Para pemilik modal dapat menanamkan
modalnya
dalam
bentuk
tanah
yang
pada
gilirannya
menimbulkan
terkonsentrasinya kepemilikan tanah pada segelintir orang.
Arah kebijakan agraria yang berkaitan dengan hukum agraria ditegaskan
bahwa pembangunan hukum agraria ditujukan dalam rangka memantapkan dan
mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya: dilaksanakan
dengan mengembangkan dan membina kelengkapan perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang agrarian; dilaksanakan dengan menyelenggarakan
Catur Tertib Agraria yaitu tertib hukum agrarian, tertib administrasi agraria, tertib
penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Dalam
konteks tersebut, jelas bahwa pembangunan hukum pun lebih menitikberatkan
pada pengamanan pelaksanaan pembangunan. Artinya
tertibnya hukum agraria
ditujukan untuk mengakomodasi dan memudahkan eksploitasi sumber daya alam
dan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi. Jelas terlihat bahwa terjadi perubahan ideologi
pembangunan dari sosialisme kearah kapitalisme yang termanifestasi dalam
liberalisasi dan swastanisasi penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya
agraria lainya.131 Dalam perkembangannya sejak pertengahan dekade 1980an
hingga mencapai titik kulminasi pada awal dekade 1990an swastanisasi dan
liberalisasi semakin menjadi mainstream substansi kebijakan agrarian. Ekstrimnya
131
Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 150.
113
bahwa terjadi komoditisasi tanah pada periode itu yang berdampak negatif bagi
perlindungan kepemilikan tanah masyarakat.132
3.2
Politik Hukum Pengaturan Hak Swasta Dalam Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Kesejahteraan rakyat merupakan tanggungjawab negara, hal tersebut
tercermin dari isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Lebih jauh lagi ditegaskan dalam
Pasal 34 UUD 1945 menyatakan :
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
martabat kemanusiaan
(3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang
Ketentuan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 ini merupakan landasan
konstitusional bagi Negara untuk melakukan campur tangan dalam bidang
perekonomian. Campur tangan negara dalam bidang perekonomian ini
dikhususkan pada pengaturan pasar dalam konsep negara kesejahteraan. Campur
tangan negara terhadap kegiatan ekonomi merupakan satu asas yang dibutuhkan
dalam rangka pembinaan cita hukum dari asas hukum nasional. Asas-asas lainnya
adalah asas keseimbangan dan asas pengawasan publik. Mengingat tujuan dasar
kegiatan ekonomi adalah untuk mencapai keuntungan, sehingga sasaran tersebut
mendorong terjadi penyimpangan. Maka untuk menghindari penyimpangan
diperlukan campur tangan Negara.
132
Ifdhal Kasim, 1996, Tanah Sebagai Komoditas : Kajian Kritis Atas Kebijakan
Pertanahan Orde Baru, ELSAM, Jakarta, hal. 30.
114
Politik perundang-undangan adalah subsistem hukum, politik perundangundangan tidak dapat dipisahkan dari politik hukum. Mengetahui politik hukum
pada dasarnya mengetahui politik perundang-undangan, demikian pula sebaliknya
yaitu mengetahui politik perundang-undangan pada dasarnya mengetahui politik
hukum. Politik tentang tata cara pembentukan terkait sistem hukum dan
instrument hukum yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Politik penerapan hukum berkaitan dengan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan di bidang hukum. Politik penegakan hukum berkaitan dengan sendisendi sistem kenegaraan. 133
Corak dan
isi politik hukum perundang-undangan dapat dilihat dari
faktor-faktor berikut :
1.
Corak Politik Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan pada dasarnya akan mencerminkan
berbagai pemikiran dan kebijaksanaan politik yang berpengaruh, yang dapat
bersumber kepada ideologi tertentu. Seperti doktrin sosialisme akan berbeda
dengan doktrin kapitalisme di bidang ekonomi.
Politik hukum pada negara demokrasi akan berusaha memberikan
kesempatan yang luas pada keikutsertaan masyarakat menentukan corak dan isi
huku yang dikehendaki. Indonesia berdasarkan Pancasila dan yang berdasarkan
kekeluargaan akan mempunyai politik hukum tersendiri sesuai dengan rechtsidee
yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
133
H. Abdul Latif dan H.Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.164.
115
Ada tiga tataran kebijaksanaan politik perundang-undangan yang
terkandung dalam kerangka dan paradigma staatsidee atau rechtsidee yaitu :
a.
Pada tatanan politik, tujuan Hukum Indonesia adalah tegaknya
negara hukum yang demokratis.
b.
Pada tatanan sosial dan ekonomi, politik hukum bertujuan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c.
Pada tataran normatif, politik hukum bertujuan tegaknya keadilan
dan kebenaran dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Ketiga
tujuan tersebut berada dalam suatu tataran hukum nasional yang
bersumber dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2.
Tingkat Perkembangan Masyarakat
Politik hukum yang berdasarkan perkembangan masyarakat lebih bercorak
pragmatik. Sifat ini harus secara berhati-hati ditangani, karena menyentuh
berbagai dasar atau paradigma kenegaraan yang mungkin menggeser staatsidee
atau rechtsidee yang menjadi sumber citra bernegara. Seperti kebutuhan dan
kepentingan masyarakat industri berbeda dengan kepentingan masyarakat agraris.
3.
Pengaruh Global
Politik hukum memperhatikan pula pengaruh global. Dalam konteks
global, politik hukum tidak dapat semata-mata melindungi kepentingan nasional
tetapi juga melindungi kepentingan internasional atau juga harus melindungi
kepentingan lintas negara.
116
4.
Intervensi Asing dalam Pembentukan Undang-Undang
Peraturan perundang-undangan di negara manapun selalu dibuat manusia
dengan suatu pemikiran mendasar di dalam benaknya. Pemikiran mendasar ini
bisa dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keyakinan, ideologi atau agama,
pengetahuan dan juga bisa kepentingan. Kepentingan inipun bisa bermacammacam seperti kepentingan pribadi, kepentingan kelompok atau partai,
kepentingan rakyat atau kepentingan asing.
Dari semua faktor diatas, yang paling berbahaya adalah ketika kepentingan
asing mendominasi. Walaupun kepentingan rakyat luas bisa salah satu atau
bertentangan dengan keyakinan tertentu, akibatnya baru akan terasa pada jangka
panjang. Jika kepentingan asing dominan maka dapat ditebak bahwa dalam waktu
singkat peraturan perundang-undangan itu sudah akan menimbulkan masalah bagi
masyarakat.
Intervensi asing yang disebutkan dalam paparan pembahasan bab ini
dikategorikan dalam lima metode kelompok yaitu :
1. Intervensi pemerintah ke pemerintah yakni pemerintah asing secara
langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu
klausul atau agenda dalam peraturan perundang-undangannya.
2. Intervensi lembaga internasional seperti PBB, WTO, IMF yang
mengambil peran penekanan. Kelompok ini sedikit lebih elegan karena
seakan agenda yang ingin dipaksakan adalah kesepakatan-kesepakatan
internasional. Hal ini seolah rekomendasi lembaga internasional itu
sebagai sesuatu yang ideal karena memenuhi standar dan norma
117
internasional. Bila tidak diikuti bisa terkucilkan atau tidak lagi pnatas
menerima kerjasama dunia.
3. Intervensi
dunia
bisnis
baik
bisnis
yang
memiliki
jaringan
internasional maupun bisnis yang hanya bergerak di lingkup domestik.
Para pengusaha dan investor ini dapat menekan pemerintah agar
memuluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang.
Tidak jarang pengusaha asing menggunakan mitra lokal untuk lebih
lantang bersuara agar tidak terkesan ada kepentingan asing di balik itu.
Ancaman yang sering dimunculkan adalah memindahkan investasi ke
negara lain yang beriklim lebih baik.
4.
Intervensi lembaga swadaya masyarakat. LSM termasuk ormas-ormas
dapat menjadi kelompok penekan yang efektif pada pemerintah, badan
legislatif maupun badan yudikatif.
5. Intervensi kaum intelektual, para ilmuan, lembaga konsultan dapat
dipakai untuk menekan pemerintah agar meloloskan agenda dalam
perundang-undangannya. Para birokrat dan perancang Undang-Undang
juga terkadang diundang untuk studi banding dan bertemu dengan
pakar di luar negeri. Dalam pertemuannya itulah terjadi intervensi
secara halus. Dalam kenyataannya, pola kaum intelektual ini adalah
jenis intervensi asing yang paling rapi dan paling sulit dideteksi,
karena yang akan muncul adalah keyakinan dari anak banga sendiri.
118
Pola intelektual ini hanya digunakan untuk intervensi jangka
panjang.134
Berangkat dari pembahasan corak politik perundang-undangan maka akan
dikaitkan dengan pembahasan pengaturan hak swasta dalam penyelenggaraan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dimulai dari pembahasan lahirnya
Perpres No. 36 Tahun 2005. Lahirnya Perpres tersebut dilatarbelakangi dengan
ideologi pembangunan yang berjiwa kapitalis. Alasan tersebut berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi, hal tersebut didukung dengan pernyataan Presiden bahwa
Perpres ini diterbitkan untuk percepatan pembangunan infrastruktur agar program
pemerintah mencapai target peningkatan pertumbuhan ekonomi. Alasan kedua
karena lebih mengutamakan kepentingan pengusaha atau pemilik modal baik dari
dalam negeri maupun luar negeri sebagai upaya untuk mendukung tercapainya
pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya keberpihakan pemerintah sebagai penguasa
politik terhadap pengusaha atau pemilik modal karena realitas politik
menunjukkan bahwa terbentuknya pemerintahan ditujukan untuk kepentingan
pemodal dimana pemerintah digunakan sebagai alat menguasai ekonomi yang
berimplikasi termarginalkannya hak-hak rakyat. Dengan adanya campur tangan
asing melalui pemberian utang luar negeri seperti IMF, Bank Dunia kepada
pemerintah Indonesia. Lembaga donor membuat skenario supaya Indonesia tidak
mampu membayar utangnya sehingga lembaga donor dapat mengintervensi
kebijakan ekonomi Indonesia. Skenario yang dilakukan pemberi utang adalah
pembangunan infrastruktur dimana sebagai akibat Negara penerima bantuan
134
Ibid, hal. 166-168.
119
harus mengadakan pembebasan tanah untuk kepentingan Negara donor. Cara IMF
dan Bank Dunia ini merupakan program neo-liberal dengan memaksakan program
penyesuaian struktural.135 Perpres No. 36 Tahun 2005 melemahkan posisi
masyarakat seperri komunitas ada, karena hak mereka atas tanah terabaikan.
Seharusnya perpres ini muncul dalam satu paket dalam penataan ruang dan
UUPA. Dasarnya adalah reformasi bidang ini harus menyeluruh dan terintegrasi.
Pengamat sosial ekonom, Gunawan Wiradi menilai Perpres No. 36 Tahun 2005
ini bersifat parsial karena persoalan mendasar adalah kondisi yang sengaja dibuat
Negara tidak mampu membayar utang luar negeri sehingga Negara donor dapat
menyetirnya. Salah satu bentuk kendali Negara pemberi donor adalah prinsip
pengadaan infrastruktur yang menguntungkan mereka yang membuat Negara
terutang terikat dan harus mengadakan pembebasan tanah demi kepentingan
investor. 136
Politik perundang-undangan merupakan sebagian dari politik hukum,
sebagai dasar kebijakan politik hukum berlaku bagi politik perundang-undangan.
Politik perundang-undangan berkenaan dengan pembangunan materi hukum
meliputi : Pertama, pembentukan dan pembaharuan perundang-undangan. Kedua,
penginventarisasian dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku
dengan sistem hukum nasional. 137
Hukum akan berfungsi memberi kemudahan, mendorong perubahan atau
sekedar menjaga kestabilan tergantung sepenuhnya pada arah perkembangan
kehidupan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun
135
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 210
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 223.
137
H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Op.cit, hal. 170.
136
120
hankam. Jadi hukum dalam kaitan dengan pembangunan hukum nasional
memerlukan rumusan politik hukum yang integral dan komprehensif sebagai
penjabaran lebih lanjut dari hal-hal umum yang telah digariskan dalam sasaran
pembangunan. Politik hukum tersebut akan mencakup politik pembangunan
hukum, politik penentuan isi hukum dan politik penerapan dan penegakan hukum.
Politik hukum ini harus pula mencakup aspek-aspek sumber daya sistem
pengelolaan dan sebagainya. Perubahan-perubahan politik perekonomian terutama
yang menyangkut peranan dan kedudukan Negara dalam kegiatan perekonomian.
Terdapat tiga pemikiran politik perekonomian yang dijalankan. Pertama,
Politik perekonomian yang mengarah pada etatisme ekonomi (paham yang lebih
mementingkan Negara daripada rakyat). Negara menjadi pelaku pada hampir
semua sektor perekonomian pembatasan konstitusi seperti diatur dalam Pasal 33
UUD 1945 yaitu usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak lagi
diperhatikan. Negara mempengaruhi pula berbagai kegiatan perekonomian yang
dijalankan masyarakat melalui berbagai bentuk wewenang pengendalian yang
acapkali menjadi berlebih-lebihan.
Kedua, politik perekonomian yang mengarah pada sistem ekonomi pasar.
Sistem ini mengkehendaki masyarakat sebagai pemeran utama kegiatan
perekonomian. Peran negara harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat mendorong
dan memberikan fasilitas pada kegiatan perekonomian. Kecenderungan pada
ekonomi pasar inilah yang menimbulkan kritik terhadap, misalnya UUPA,
peraturan perizinan, peraturan di bidang investasi dan lain-lain. Peraturan-
121
peraturan ini dipandang kurang memberikan jalan yang diperlukan bagi
kenyamanan sistem perekonomian yang sedang dijalankan.
Ketiga, politik perekonomian yang hendak menciptakan keseimbangan
antara kecendrungan etatisme dan ekonomi pasar. Keseimbangan semacam ini
dipandang sebagai bentuk politik perekonomian yang secara konstitusional
dikehendaki UUD 1945. Politik perekonomian ini secara ideologis maupun
normative hendak mengedepankan factor keadilan sosial, kesejahteraan umum
dan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat
sebagai
sendi
utama sistem
perekoniman yang semestinya dijalankan.138
Setelah membahas uraian corak politik perundang-undangan tersebut,
maka akan dibahas penormaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan
melakukan interpretasi sejarah hukum. Interpretasi sejarah hukum adalah metode
interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah
hukum. Jika ingin mengetahui makna yang terkandung dalam suatu peraturan
perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maka
tidak hanya sekedar meneliti sejarah hingga terbentuknya undang-undang
melainkan juga diteliti lebih panjang proses yang mendahuluinya.
Pasal 1 lampiran Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya,
disebutkan 4 kategori kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang
mempunyai sifat kepentingan umum. Adapun kutipan pasal 1 tersebut sebagai
berikut :
138
H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Op.cit, hal. 192.
122
Pasal 1
(1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai
sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a.
Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau
b.
Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c.
Kepentingan rakyat banyak/ bersama dan/atau
d.
Kepentingan pembangunan
(2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi
bidang-bidang :
a.
Pertahanan
b.
Pekerjaan Umum
c.
Perlengkapan umum
d.
Jasa umum
e.
Keagamaan
f.
Ilmu kesehatan dan seni budaya
g.
Kesehatan
h.
Olahraga
i.
Kesehatan umum terhadap bencana alam
j.
Kesejahteraan social
k.
Makam/kuburan
l.
Pariwisata dan rekreasi
m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan
umum
(3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan
lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang
menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum.
Pihak yang berhak mengajukan objek tersebut bukan hanya instansi
pemerintah tetapi juga usaha-usaha swasta (Pasal 3) asal saja harus disetujui oleh
pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan rencana pembangunan.
Oleh karena itu pada Pasal 2 disebutkan proyek pembangunan tersebut termasuk
dalam Rencana Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang
bersangkutan. (Rencana induk pengembangan tersebut harus bersifat terbuka
untuk umum). Berikut ini adalah kutipan pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 9
Tahun 1973.
(1)
Suatu proyek pembangunan dinyatakan mempunyai bentuk
kegiatan sebagai dimaksud dalam Pasal 1 diatas, apabila
123
(2)
(3)
sebelumnya proyek tersebut sudah termasuk dalam Rencana
Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang
bersangkutan.
Jika suatu Proyek pembangunan daerah akan dinyatakan
mempunyai bentuk kegiatan sebagai dimaksud dalam pasal 1
diatas, maka sebelumnya proyek harus sudah termasuk dalam
Rencana Induk Pembangunan dari daerah bersangkutan dan yang
telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Daerah setempat.
Rencana Induk Pembangunan sebagai dimaksud dalam ayat (2)
pasal ini harus bersifat terbuka untuk umum.
Pasal 3 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 menyatakan sebagai
berikut :
(1)
(2)
Yang berhak menjadi subyek atau pemohon untuk mengajukan
permintaan pencabutan hak atas tanah adalah instansi-instansi
Pemerintah/Badan-badan Pemerintah maupun usaha-usaha swasta,
segala sesuatunya dengan memperhatikan persyaratan untuk dapat
memperoleh sesuatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku.
Usaha-usaha swasta sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini,
rencana proyeknya harus disetujui oleh Pemerintah dan atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan Rencana Pembangunan yang
telah ada.
Disamping Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 oleh Menteri Dalam
Negeri diterbitkan peraturan mengenai ketentuan-ketentuan tata cara pembebasan
tanah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Ketentuan dalam
Pasal 1 ayat (1) PMDN No 15 Tahun 1975 menyatakan bahwa pembebasan tanah
ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang
hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.
Panitia ditetapkan oleh Gubernur /Kepala Daerah untuk masing-masing
Kabupaten/Kotamadya dalam sesuatu wilayah Provinsi. Didalam mengadakan
penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah
124
harus musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau
benda/tanaman yang ada di dalamnya berdasarkan harga umum setempat (Pasal 6
Ayat 1). Jika terdapat perbedaan harga taksiran ganti rugi diantara para anggota
panitia, maka yang dipergunakan harga rata-rata dari taksiran masing-masing
anggota (Pasal 6 Ayat 3).
Pembebasan tersebut dapat untuk keperluan pemerintah ataupun swasta.
Disinilah perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang
bandingnya pada Pengadilalan Tinggi sebagaimana sudah dibicarakan. Di dalam
pembebasan hak atas tanah ini maka kemungkinan pemukiman kembali dari
penduduk yang terkena pembebasan tersebut tetap dapat ganti rugi tersebut berupa
uang, tanah dan atau fasilitas lainnya. Dalam pasal 11 PMDN No. 15 tahun 1975
disebutkan :
(1)
(2)
Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi
pelaksanaan Pembebasan Tanah dan pemberian ganti rugi.
Pembebasan tanah untuk keperluan Swasta pada asasnya harus
dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman pada asas
musyawarah.
Dicatat pula keputusan seminar segi-segi hukum pembinaan kota dan
daerah di Ambon yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat Maluku dan Fakultas Hukum
Universitas Pattimura, antara lain menyinggung tentang Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tersebut. Dikemukakan beberapa pendapat atau
pandangan sebagai berikut : Pertama, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15
tahun 1975 baik ditinjau dari segi formalnya (yang tidak memenuhi persyaratan
juridis) maupun ditinjau dari segi materiilnya (yaitu berupa perlindungan kepada
125
anggota masyarakat yang akan dicabut haknya) adalah batal menurut hukum.
Kedua, apabila Peraturan Menteri Dalam Negeri itu diuji kepada doktrin (bahwa
ada pembatasan wewenang dari badan negara untuk membuat undang-undang
dalam arti materiil) dengan anggapan bahwa pembebasan tanah adalah sama
dengan pencabutan hak maka Peraturan Menteri termaksud adalah batal karena :
-
Menteri Dalam Negeri tidak mempunyai wewenang membuat
peraturan yang mengikat umum, tanpa adanya pendelegasian
wewenang.
-
Mengenai pencabutan hak, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
telah menunjuk Presiden sebagai instansi yang berwenang memutus.
-
Peraturan Menteri Dalam Negeri mengatur suatu soal yang telah diatur
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan isi Peraturan Menteri
Dalam Negeri tersebut bertentangan dengan isi undang-undang
termaksud.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi
Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta menyatakan bahwa swasta dapat
mempergunakan PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu untuk membebaskan tanah
untuk keperluan usahanya. Pasal 1 PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu disebutkan
sebagai berikut :
Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan
proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk
dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat
dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II, dan IV Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.
126
Pasal 2 PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu disebutkan sebagai berikut
“Penggunaan acara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini
memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang
bersangkutan.” Penggunaan oleh swasta untuk pembebasan ini dengan
mempergunakan peraturan yang diperuntukkan pembebasan tanah untuk
kepentingan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah telah menimbulkan
dampak yang luas dan rakyat dibingungkan bahwa proyek-proyek swasta seperti
dianggap untuk kepentingan umum. Dalam pembebasan tanah tersebut tidak
terelakkan terjadinya sejumlah tindakan-tindakan tidak terpuji karena panitia
pembebasan tanah tersebut lebih memihak kepada investor daripada membela
kepentingan rakyat.
Dalam banyak hal jika tidak terdapat kesepakatan mengenai harga ganti
rugi seperti yang terlaksana dengan PMDN Nomor 15 Tahun 1975, maka uang
ganti rugi tersebut dikonsignasi di Pengadilan Negeri setempat dan dianggaplah
pembebasan tanah tersebut sudah selesai. Dengan konsignasi uang ganti rugi
tersebut harga dapat ditekan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 dalam Pasal 2
mengatur sebagai berikut :
1. Pengadaan tanah untuk keperluan proyek-proyek pembangunan yang
dilakukan oleh instansi pemerintah dilaksanakan oleh Pimpinan
Proyek Instansi yang bersangkutan.
2. Pengadaan tanah yang dimaksud dalam ayat (1) luasnya tidak lebih
dari 5 (lima) ha.
3. Dalam melaksanakan pengadaan tanah dimaksud dalam ayat (1)
Pemimpin proyek memberitahukan kepada Camat mengenai letak dan
luas tanah yang diperlukan
127
4. Apabila dipandang perlu, Camat dapat meminta bantuan instansi/dinas
teknis yang bersangkutan dengan jenjang hierarki.
Pimpinan proyek mengadakan musyawarah dengan yang bersangkutan.
Oleh Dirjen Agraria dikeluarkan Edaran Nomor 590/4263/Agr tanggal 2 Agustus
1985 tentang petunjuk pelaksana peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2
Tahun 1985. Demikian pula oleh Direktorat Jenderal Anggaran Departemen
Keuangan diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985,
yaitu bahwa pengeluaran yang dapat dibebankan untuk jenis pengeluaran tanah
meliputi antara lain biaya administrasi pembuatan akta jual beli oleh Camat
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah atau sebagai Kepala Wilayah; pembelian
ganti rugi tanah termasuk bangunan dan tanaman diatasnya; penyelesaian
sertifikat tanah; biaya pengosongan; biaya pengeringan; biaya pemerataan,
pematangan tanah dan pengeluaran lain yang berhubungan dengan itu.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 ini diatur untuk
memberikan suatu kemudahan bagi perusahaan pembangunan perumahan yang
berbentuk badan hukum, baik untuk penyediaan tanah, pencadangan tanah dan
izin lokasi.
Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987
dinyatakan sebagai berikut :
1
2
3
Izin lokasi untuk keperluan perusahaan yang luasnya tidak lebih dari
15 ha bagi daerah tingkat II yang telah mempunyai rencana induk
kota/rencana kota, ditetapkan oleh bupati/walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II.2
Izin lokasi yang luasnya tidak lebih dari 200 ha ditetapkan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Izin lokasi yang luasnya lebih dari 200 ha ditetapkan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari Menteri Dalam Negeri.
128
Peraturan ini sebagai pengganti dari PMDN Nomor 5 Tahun 1974 khusus
tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah dan PMDN Nomor 2 Tahun
1984 keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan sederhana/perumahan
murah yang diselenggarakan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah dari Bank
Tabungan Negara. Untuk keperluan pembebasan tanah untuk industri maka telah
diatur dengan Keppres Nomor 53 Tahun 1989, yang memberikan Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai kepada badan-badan hukum yang didirikan menurut
hukum
Indonesia ataupun perusahaan-perusahaan negara/daerah.
Kepada
perusahaan-perusahaan tersebut diberikan izin prinsip dan izin tetap, dan telah
memperoleh amdal berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1986. Permohonan izin
lokasi dan izin pembebasan diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah melalui
Kepala Kanwil BPN dan izin pencadangan diatur oleh Kepala BPN.
Kepada perusahaan negara/daerah dapat diberikan Hak pengelolaan, izin
industri diberikan oleh Menteri Perindustrian. Perusahaan yang bersangkutan
harus memberi ganti rugi yang layak berdasarkan musyawarah ataupun
memberikan penggantian tanah di lokasi lain yang nilainya seimbang. Didalam 3
tahun setelah izin prinsip sudah harus dibebaskan 60%.
Disebutkan bahwa
kawasan industri tersebut tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan tidak
pula diatas tanah yang berfungsi untuk melindungi sumber daya alam dan warisan
budaya.
Pencabutan hak seperti yang diatur dengan UU No. 20 Tahun 1961 akan
merupakan suatu bahan studi yang baik dalam konstelasi hukum di Indonesia dan
apa sebabnya tidak berjalan sebagaimana yang ingin dilaksanakan dan komentar
129
atas undang-undang tersebut akan berguna dalam pelaksanaannya di masa-masa
yang akan datang. Hal ini berkaitan dengan adanya PMDN No. 15 Tahun 1975
dengan panitianya.
Untuk kepentingan pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta
maka oleh pemerintah diterbitkan juga PMDN Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi
Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. Dalam konsiderannya diuraikan bahwa
pelaksanaan pembangunan sebagaimana telah digariskan dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No. IV/MPR/1973) tidak semata-mata menjadi beban pemerintah, melainkan
diharapkan pula adanya peranan aktif dari pihak swasta/rakyat. Selain itu bahwa
untuk merangsang pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan dipandang
perlu adanya bantuan fasilitas dari Pemerintah yang berbentuk jasa-jasa dalam
pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah, untuk pembangunan
proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam
bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas-fasilitas sosial. PMDN Nomor 2
Tahun 1976 dalam Pasal 1 disebutkan :
Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan
proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk
dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat
dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II dan Bab IV Peraturan
Menteri Dalam Negari No. 15 Tahun 1975.
Pasal 2
Penggunaan acara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini,
memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang
bersangkutan.
Pasal 3
130
(1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I memberikan izin termasuk dalam
pasal 1 Peraturan ini, atas permohonan dari pihak swasta yang
berkepentingan, dengan memperhatikan manfaat dan kegunaan proyek
yang termaksud bagi kepentingan umum/rakyat bannyak sesuai dengan
rencana proyek yang harus mereka ajukan.
(2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I wajib secepatnya menyampaikan
laporan kepada Menteri Dalam Negeri setiap kali dilaksanakan
pembebasan tanah rakyat menurut tata cara sebagaimana diatur dalam
Peraturan ini.
Pasal 4
Dalam surat izin pembebasan tanah oleh pihak swasta menurut acara yang
berlaku bagi pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah sebagai
dimaksud dalam pasal 3 diatas, harus dicantumkan alasan-alasan dan
pertimbangan-pertimbangan yang dipergunakan oleh Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I untuk pemberian izin tersebut.
Pengaturan mengenai pembebasan tanah untuk kepentingan swasta diatur
juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dalam Pasal
11 diuraikan :
(1) Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi
pelaksanaan pembebasan tanah dan pemberian ganti rugi
(2) Pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada asasnya harus
dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman kepada asas
musyawarah.
Indonesia adalah salah satu negara yang dinamis di dunia, dengan tingkat
kepadatan penduduk diperkirakan mencapai hampi 266 juta jiwa pada tahun 2009.
Kecendrungan semacam ini menuntut penambahan di bidang pengadaan sarana
dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur) seperti sarana transportasi,
sarana kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, pengadaan air bersih, jaringan
listrik, pelabuhan, baik udara maupun laut dan sebagainya.139
139
Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Model
BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Jakarta, hal. 1.
131
Selama Pelita VI dengan kurun waktu 1994-1999 lalu, dana yang
dibutuhkan untuk pengadaan infrastruktur mencapai lebih dari US S 50 billion
dan selama Pelita ke VII dibutuhkan dana sebesar US S 132 bilion. Dana sebesar
itu tentu terasa sangat berat bila harus dibebankan hanya pada APBN. Kebutuhan
dana untuk pembangunan infrastruktur sampai dengan tahun 2009 diperkirakan
menelan dana antara Rp 700 triliun – Rp 1.030 triliun. Sekitar Rp 200 triliun dapat
didanai dengan APBN, artinya pemerintah hanya mampu membiayai sekitar 20%
sedangkan sekitar Rp 600 triliun atau sekitar 80% nya diharapkan partisipasi
swasta lokal atau internasional. Di sektor ketenagalistrikan, sampai dengan tahun
2010 diperkirakan membutuhkan dana sampai dengan 30 miliar dolar AS. Dari
total tersebut hanya 40% yang mampu dipenuhi pemerintah, sisanya diserahkan
kepada swasta nasional atau swasta asing. Untuk rencana Jalan Tol Semarang
diperkirakan menghabiskan dana sekitar 427 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,6
trilun.140
Melihat keterbatasan pemerintah melalui APBN dalam penyediaan dana
untuk pembangunan infrastruktrur dituntut adanya model-model atau pola-pola
baru sebagai alternatif pembiayaan proyek pembangunan. Didaerah pembiayaan
pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan dana APBD juga dirasakan
semakin terbatas jumlahnya, untuk itu dibutuhkan pola-pola baru sebagai
alternatif pendanaan yang tidak jarang melibatkan pihak swasta (nasional-asing)
dalam proyek-proyek pemerintah. Partisipasi swasta dalam pengadaan proyek
140
Ibid, hal. 2.
132
infrastruktur tersebut tentunya merupakan fenomena yang cukup baru di
Indonesia.
Partispasi swasta dalam pembangunan infrastruktur dapat diarahkan pada
proyek yang membutuhkan dana besar, seperti halnya : jalan tol, migas,
bendungan, pembangkit listrik, perluasan bandara dan pembangunan mal. Namun
demikian, dapat pula digunakan dalam proyek infrastruktur yang tidak
membutuhkan dana besar, seperti renovasi pasar, terminal, pangkalan truk, rest
area, resort dan lain-lain. Dengan demikian yang penting proyek tersebut dapat
memberikan pendapatan ekonomi bagi kontraktor. 141
Krisis ekonomi yang menerpa negeri ini sejak awal 1998 sangat dirasakan
menurunnya kemampuan pemerintah untuk mendanai proyek pembangunan yang
telah dijadwalkan. Menurunnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan
anggaran untuk pengadaan sarana dan prasarana sangat dirasakan pengaruhnya
bagi
pemerintah
daerah
(Kabupaten/Kota)
dalam
merealisasi
proyek
pembangunan yang sangat dibutuhkan rakyat banyak.
Bagi pemerintah daerah mengandalkan dana APBD untuk pembiayaan
proyek pembangunan juga sangat terbatas. Krisis ekonomi telah mengakibatkan
keterbatasan kemampuan pemerintah Pusat atau Daerah dalam merealisasikan
proyek pembangunan infrastruktur. Perlu dicari alternative pembiayaan proyek
yang lain selain mengandalkan dana APBN atau APBD.
Bagi investor asing yang akan ikut dalam proyek infrastruktur di Indonesia
maka hambatan umum yang dilontarkan adalah :
141
Ibid, hal. 4.
133
a.
b.
c.
d.
e.
Clear legal and regulatory framework to guide sector participation
(PSP).
Predictability in the in the interpretation of the government of
Indonesia PSP policies into implementing procedures and practices.
Effective board based private sector competition.
Compatibility between project structuring the management of risk and
the expectation of financial institutions.
Current accurate and complete PSP-related information. 142
Untuk itu diusulkan agar pemerintah Indonesia mengembangkan konsep
hukum dan kerangka pengaturan yang : (a) Clear and consistent; (b).Accessible
for the public and private sectors (c). Predictable in their interpretation of
policies in to procedures and practices and to extent practical, (d) Competible
with good commercial practice and the requirements of international lending
institutions.
Keikutsertaan swasta dalam pengadaan infrastruktur harus pula didasarkan
pada beberapa prinsip, yaitu :
a. Tetap seiring dengan asas, tujuan, sasaran dan wawasan dalam
penyelenggaraan pembangunan nasional.
b. Saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan
c. Meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan dan atau pengelolaan
infrastruktur.
d. Semakin mendorong pertumbuhan ekonomi.
e. Meningkatkan kualitas pelayanan dan member manfaat yang lebih besar
pada masyarakat.
142
JD. Hal Sulivan, How the Private Sector can work in partnership with the Government
of Indonesia successfully implement infrastructure projects, Presented at the Legal Climate in
Indonesia for BOT Investment, 17 Juni 1996, Jakarta, hal. 2
134
f. Proses pengikutsertaan diselenggarakan melalui proses penawaran yang
terbuka serta transparan, sehingga ikut serta mendorong iklim investasi.
g. Tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan sepenuhnya
tunduk pada hukum Indonesia.143
Untuk
itu,
penanggungjawab
diharapkan
dapat
para
Menteri/Pimpinan
menyelenggarakan
pra
lembaga
kualifikasi
selaku
dengan
mengikutsertakan swasta untuk pengadaan infrastrukur harus mempertimbangkan
beberapa hal yaitu :
a. Pengalaman dalam pengerjaan proyek sejenis dengan refrensi yang
diperlukan;
b. Prestasi dan kinerja perusahaan dalam mengerjakan proyek tersebut huruf
a;
c. Kemampuan badan usaha swasta, baik yang menyangkut aspek keuangan,
tenaga ahli, peralatan, maupun kemampuan dalam pengerjaan proyek
dikaitkan dengan kondisi alam maupun kondisi sosial, budaya, ekonomi
dan lain-lain yang melingkupi proyek. 144
Dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2006, Presiden telah
menetapkan sembilan prioritas program kerja dalam rencana kerja pemerintah
(RKP) 2007, antara lain : percepatan pembangunan infrastruktur.
a. Khususnya pembangkit tenaga listrik, jalan tol, bandara, perkeretaapian,
pelabuhan dan telekomunikasi.
143
144
Budi Santoso, Op.cit, hal. 10
Budi Santoso, Op.cit, hal. 11.
135
b. Percepatan pembangunan infrastruktur merupakan prasyarat pertumbuhan
ekonomi tinggi dan berkelanjutan.
c. Namun kemampuan pemerintah membiayai pembangunan infrastruktur
sangat terbatas.
d. Pemerintah pusat dan daerah perlu meningkatkan partisipasi swasta
melalui kemitraan.145
Cara yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan peran swasta dalam
pengadaan infrastruktur adalah dengan melakukan reformasi regulasi di bidang
infrastruktur yaitu :
a. Keppres No. 7 Tahun 1998 yang pada pokoknya memberi kesempatan
pada swasta untuk berperan di sektor pembangunan infrastruktur; jalan,
telekomunikasi, ketenagalistrikan, perkeratapian dan migas. Namun
demikian
realitanya
swasta
belum
bisa
berperan
banyak
dan
pelaksanaannya baru sebatas penunjukkan langsung, sehingga berpeluang
menimbulkan KKN.146 Era reformasi tahun 1998 ikut serta mewarnai
perubahan regulasi di bidang infrastruktur, antara lain : UU No. 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Ketiga UU tersebut
mulai memisahkan peran dan fungsi regulator dan operator, juga
terjadinya perubahan wewenang penyelenggaraan infrastruktur yang tidak
lagi berada pada pemerintah dan dimonopoli oleh BUMN, sehingga
145
Budi Santoso, Op.cit, hal. 52.
Benny Soetrisno, Peran Serta Swasta Dalam Pembiayaan Infrastruktur Serta Kendala
Keseimbangan Antara Pusat dan Daerah, Makalah Seminar Dies Natalies Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro ke 50, Hotel Grasia, 21 September 2006.
146
136
penyediaan infrastruktur terbuka bagi semua badan usaha: BUMN,
BUMD, swasta, koperasi. Namun realitanya perbaikan infrastruktur belum
banyak sebagaimana diharapkan.
b. Untuk mengatasi hal-hal tersebut dibentuklah sebuah lembaga yang
bertugas melakukan koordinasi percepatan penyediaan infrastruktur yang
dituangkan dalam Keppres No. 81 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan
Percepatan Penyediaan Infrastruktur, yang disempurnakan dengan Keppres
No. 42 Tahun 2005. Namun demikian terjadi kerancuan karena dalam
pelaksanaannya masih banyak yang mendasarkan pada Keppres No. 7
Tahun 1998.
c. Untuk menyelaraskan hambatan tersebut diatas, maka dikeluarkan
Keppres No. 67 Tahun 2005 yang intinya mensyaratkan adanya tender
terbuka pada setiap penyelenggaraan infrastruktur serta adanya dukungan
risiko oleh pemerintah. 147
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2007 mengatur tentang Investasi
Pemerintah, Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak tanggal 10 Januari 2007.
Dalam Peraturan Pemerintah ini dibentuk sebuah badan yang mewakili
pemerintah dalam kaitannya dengan upaya percepatan pengadaan infrastruktur di
Indonesia. Badan ini disebut dengan Badan Investasi Pemerintah (BIP). BIP
didirikan untuk mengelola dana investasi, yang pada tahun 2006 sebesar 2 triliun
dari APBN dan ditambahkan dengan 2 triliun dari APBN tahun 2007. Dana yang
dikelola bukan dana yang akan dibelanjakan habis untuk mendukung
147
Budi Santoso, Op.cit, hal. 54.
137
pembangunan infrastruktur di Indonesia, tetapi dana tersebut merupakan dana
investasi pemerintah bergulir.148
Dengan demikian dana yang dikelola BIP merupakan dana revolve
(berputar) sehingga tentu saja ada cost of money yang harus dipertimbangkan,
seperti hanya dana yang disimpan di perbankan yang memberikan hasil berupa
bunga. Dana tersebut akan digunakan untuk investasi di berbagai bidang
pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, telekomunikasi, energi, air bersih,
pengairan, pengelolaan limbah, minyak bumi dan sebagainya. Untuk prioritas
pertama sejumlah Rp 600 miliar akan digunakan untuk dana pembebasan tanah
proyek jalan tol Semarang-Solo. Pemerintah juga memberikan keleluasaan yang
cukup fleksibel bagi BIP sehingga memberikan ruang bagi BIP untuk melakukan
maneuver bisnis, yang penting dana tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2007 ini pada dasarnya mengatur investasi
pemerintah jangka panjang, khususnya investasi jangka panjang non permanen
dalam bentuk pembelian surat berharga dan investasi langsung dengan cara pola
kerjasama pemerintah dengan badan usaha (public private partnership) dalam
rangka penyediaan infrastruktur dan infrastruktur. Saat ini personil BIP masih
merupakan personil dari Direktorat Pengelolaan Dana Investasi (PDI) Ditjen
Perbendaharaan Departemen Keuangan.149
Pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban pemerintah untuk
melaksanakannya, namun hal ini bukan berarti bahwa pembangunan infrastruktur
merupakan wewenang mutlak pemerintah. Masyarakat harus dilibatkan dalam
148
149
Budi Santoso, Op.cit, hal. 62.
Budi Santoso, Op.cit, hal. 63.
138
berbagai tahapan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan sampai ke tahap
pelaksanaannya. Untuk itulah, salah satu tujuan sistem perencanaan pembangunan
nasional dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 adalah untuk mendukung
koordinasi
antar
pelaku
pembangunan
dan
mengoptimalkan
partisipasi
masyarakat. Untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan sarana dan
prasarana tahun 2010-2014 (berdasarkan kebutuhan minimum 5% dari PDB),
diperkirakan total investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 1.923,7 triliun. Sementara
itu kemampuan pembiayaan pemerintah termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK)
(Kementerian ESDM, Perhubungan, PU, KOMINFO, Perumahan Rakyat serta
Badan SAR Nasional) diperkirakan hanya dapat menyediakan pembiayaan
sebesar Rp 559,54 triliun.
Perkiraan kemampuan pembiayaan badan usaha milik pemerintah melalui
BUMN (Rp 340,85 triliun), perkiraan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah
melalui APBD (Rp 355,07 triliun), serta perkiraan investasi pihak swasta (Rp
344,67 triliun). Saat ini masih diperlukan sumber dana lain selain pemerintah
untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Dengan kata lain, investasi swasta
menjadi tumpuan harapan. Prioritas pembangunan bidang sarana dan prasarana
2010- 2014 adalah:
(a) Menjamin
ketersediaan
infrastruktur
dasar
untuk
mendukung
peningkatan kesejahteraan, yang difokuskan pada: meningkatkan
pelayanan sarana dan prasarana sesuai dengan Standar Pelayanan
Minimal (SPM);
139
(b) Menjamin kelancaran distribusi barang, jasa dan informasi untuk
meningkatkan daya saing produk nasional, yang difokuskan untuk: (i)
mendukung peningkatan daya saing sektor riil; dan (ii) meningkatkan
Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).
KPS akan memiliki peran penting dalam mewujudkan Visi 2025
mengingat sumber daya fiskal yang terbatas. Dengan pertumbuhan ekonomi yang
lebih cepat sebagai hasil dari MP3EI 2011-2025, penerimaan pajak akan
meningkat pula, dan anggaran fiskal Indonesia akan berkembang
Kerangka peraturan sebagai payung hukum implementasi KPS bidang
infrastruktur di Indonesia menggunakan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun
2005 yang kemudian direvisi melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010
dan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Kerjasama Pemerintah
Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Ini merupakan peraturan
pemilihan badan usaha pembangunan infrastruktur yang kompetitif, terbuka, dan
transparan. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP)
akan digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan pada kegiatan pemberian
layanan dengan karakteristik layak secara keuangan dan memberikan dampak
ekonomi tinggi dan memerlukan dukungan dan jaminan pemerintah yang
minimum. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) merupakan kerjasama
pemerintah dengan swasta dalam penyediaan infrastruktur yang meliputi: desain
dan konstruksi, peningkatan kapasitas/rehabilitasi, operasional dan pemeliharaan
dalam rangka memberikan pelayanan. Pengembangan KPS di Indonesia utamanya
140
didasari oleh keterbatasan sumber pendanaan yang bisa dialokasikan oleh
pemerintah.
Adapun Prinsip Dasar Kerjasama Pemerintah dan Swasta meliputi hal-hal
berikut ini :
Adanya pembagian risiko antara pemerintah dan swasta dengan memberi
pengelolaan jenis risiko kepada pihak yang dapat mengelolanya;
Pembagian risiko ini ditetapkan dengan kontrak di antarapihak dimana
pihak swasta diikat untuk menyediakan layanan dan pengelolaannya atau
kombinasi keduanya;
Pengembalian investasi dibayar melalui pendapatan proyek (revenue) yang
dibayar oleh pengguna (user charge);
Kewajiban penyediaan layanan kepada masyarakat tetap pada pemerintah,
untuk itu bila swasta tidak dapat memenuhipelayanan (sesuai kontrak),
pemerintah dapat mengambilalih.
Tujuan pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta meliputi hal-hal
berikut ini :
Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan melalui pengerahan
dana swasta;
Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui
persaingan sehat;
Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan
infrastruktur;
Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang
diterima atau dalam hal tertentu mempertimbangkan kemampuan
membayar pengguna.
Manfaat Kerjasama Pemerintah dan Swasta meliputi hak-hal berikut ini :
Tersedianya alternatif berbagai sumber pembiayaan;
Pelaksanaan penyediaan infrastruktur lebih cepat;
Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan risiko pemerintah;
Infrastruktur yang dapat disediakan semakin banyak;
Kinerja layanan masyarakat semakin baik;
Akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan;
Swasta menyumbangkan modal, teknologi, dan kemampuan manajerial.
141
Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa infrastruktur harus dibangun
menggunakan anggaran Pemerintah sehingga pada kondisi anggaran Pemerintah
yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan
infrastruktur yang memadai bagi perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini
telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam penyediaan infrastruktur melalui
model kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau Public-Private Partnership
(PPP). Dengan adanya KPS, maka Pemerintah dapat memfokuskan diri untuk
membangun infrastruktur yang tidak bersifat komersial namun sangat diperlukan
oleh masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur
perdesaan, jalan arteri,
drainase dan sebagainya.
Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang
memberi insentif bagi dunia usaha untuk memberikan layanan infrastruktur
tersebut. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif ) pajak, bea
masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai
kesepakatan dengan dunia usaha. Regulasi yang terkait dengan proyek KPS
khususnya dalam penyediaan infrastruktur telah berkembang sejak masa
pemerintahan Orde Baru. Dalam masa tersebut Pemerintah telah menerbitkan
beberapa regulasi sektoral yang didalamnya terdapat pengaturan berkaitan dengan
KPS, contohnya UU No. 15 Tahun1965 tentang Ketenagalistrikan, UU No. 13
Tahun 1987, PP No. 8 Tahun 1990 tentang Jalan Tol, dan PP No. 10 Tahun 1987
tentang Ketenagalistrikan. Pada masa Orde Baru hanya beberapa jenis
infrastruktur saja yang dikerjasamakan dengan Badan Usaha Swasta, misalkan
jalan tol dan ketenagalistrikan.
142
TABEL LANDASAN HUKUM
Peraturan
Perpres No. 56 Tahun 2011
Perpres No.12 Tahun 2011
Perpres No. 78 Tahun 2010
PMK No. 260 Tahun 2010
Permen PPN No. 03 Tahun 2009
Permen PPN No. 04 Tahun 2010
Permenko No. 01 Tahun 2006
Permenko No. 04 Tahun 2006
Perpres No. 36 Tahun 2006 jo
Perpres No. 65 Tahun 2006
Permenko No. 03 Tahun 2006
Ketentuan
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 13 tahun 2010 dan Peraturan
Presiden Nomor 56 tahun 2011
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite
Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 12 tahun 2011.
Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2010 tentang
Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerja Sama
Pemerintah Dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui
Penjaminan Infrastruktur
Petunjuk pelaksanaan proyekKPS yang merupakan acuan
dasar dari pelaksanaan proyek KPS ditanahair.
Tata Cara Penyusunan Daftar Rencana Proyek Kerjasama
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Organisasi dan Tata Kerja Komite Kebijakan Percepatan
Penyediaan Infrastruktur
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Nomor 04/M.Ekon/06/2006 tentang Tata Cara Evaluasi
Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur yang membutuhkan Dukungan
Pemerintah.
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Nomor 03/M.Ekon/06/2006 tentang Prosedur dan Kriteria
Penyusunan Daftar Prioritas Proyek Infrastruktur
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha.
Interaksi antara berbagai pihak diatur oleh tiga perangkat undang-undang
dan beberapa peraturan sebagai berikut dibawah ini: Peraturan KPS, peraturan
khusus sektoral, dan peraturan umum lainnya yang mengatur tentang berbagai
kegiatan usaha di Indonesia. Berdasarkan sistem hukum Indonesia, undangundang mengatur hal-hal yang bersifat umum. Pelaksanaan dari suatu ketentuan
hukum pada umumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Peraturan-peraturan ini pada umumnya mengatur tentang tahapan-tahapan dan
143
prosedur khusus untuk melaksanakan ketentuan perundang-undangan dan
peraturan pemerintah terkait. Peraturan Presiden diterbitkan sebagai dasar untuk
melaksanakan kebijakan- kebijakan dan program-program Presiden, yang mana
harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan
Presiden juga terkadang merupakan panduan atas pelaksanaan lebih lanjut dari
suatu peraturan maupun Peraturan Pemerintah yang sudah ada. Keberanekaan
sektor telah menjadikan adanya keberanekaan peraturan dan undang-undang yang
berbeda pula.
Sebagaimana dimaksud di bawah ini, hampir seluruh sektor infrastruktur
diatur oleh ketentuan-ketentuan yang sudah ada sejak 2004 dengan visi
modernisasi infrastruktur nasional. Namun demikian, tidak semua peraturan
perundang-undangan sektoral yang ada telah dilengkapi dengan Peraturan
Pemerintahnya, ataupun meskipun sudah diterbitkan Peraturan Pemerintahnya,
namun Peraturan Menterinya belum diselesaikan. Para investor harus mencermati
status keberlakuan atas peraturan pada sektor yang diminatinya, oleh karena
peraturan-peraturan tambahan sering kali baru diterbitkan kemudian dan untuk
peraturanperaturan yang adapun sering kali dilakukan beberapa perubahan.
Terdapat lima dasar pengaturan dalam kategori Kerjasama Pemerintah Sawasta
Topik
Ketentuan
Umum KPS
Peraturan
• Peraturan Presiden No. 67
Tahun
2005
tentang
Kerjasama
Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur
• Peraturan Presiden No. 13
Tahun 2010 atas Perubahan
Peraturan Presiden No. 67
Tahun
2005
tentang
Kerjasama
Pemerintah
Butir-Butir Penting
Peraturan ini mengatur KPS untuk proyekproyek infrastruktur tertentu. Dalam hal ini
termasuk mengenai, bandara, pelabuhan,
jalur kereta api, jalan, peny edia a n air
bersih /sistem pengairan, air minum, air
limbah, limbah padat, informasi dan
komunikasi teknologi, ketenagalistrikan, dan
minyak & gas.
Proyek-proyek ini dapat dilaksanakan baik
berdasarkan yang dimohonkan ataupun tidak
144
dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur
Prosedur Untuk
Penyediaan
Dukungan
Pemerintah
•Peraturan
Menteri
Keuangan No. 38 Tahun
2006
tentang
Petunjuk
Pelaksanaan Pengendalian
Dan Pengelolaan Risiko
Atas
Penyediaan
Infrastruktur
•
Peraturan
Menteri
Koordinator
Bidang
Ekonomi No. 4 Tahun 2006
tentang
Metodologi
Evaluasi Proyek Infratruktur
KPS yang Memerlukan
Dukungan Pemerintah
• Peratiuran Pemerintah No.
35 Tahun 2009 tentang
Penyertaan Modal Negara
Republik Indonesia Untuk
Pendirian
Perusahaan
Perseroan (Persero) Di
bidang
Penjaminan
Infrastruktur
dimohonkan namun pada umumnya
penyeleksian terhadap suatu Badan usaha
harus dilakukan melalui proses tender
terbuka.
Proyek
yang
“Solicited”
diidentifikasi
dan
disiapkan
oleh
Pemerintah, sedangkan untuk proyek yang
“Unsolicited” diidentifikasi dan diajukan
kepada Pemerintah oleh suatu Badan Usaha.
Lembaga Kontraktor Pemerintah dapat
diadakan baik di tingkat regional ataupun
nasional. Proyek KPS dapat dilaksanakan
berdasarkan perijinan Pemerintah ataupun
melalui Perjanjian Kerjasama
(PK).
Pemerintah dapat memberikan dukungan
perpajakan dan / atau non-pajak untuk
meningkatkan kelayakan suatu proyek
infrastruktur. Proyek ini harus terstruktur
untuk dapat mengalokasikan risiko yang
mampu dikelola secara maksimal oleh pihak
pelasana.
Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun
2006 menjabarkan kondisi-kondisi dan
proses untuk mengusahakan adanya
dukungan
pemerintah,
antara
lain
penjaminan-penjaminan.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan ini, pemerintah
dapat memberikan jaminan terhadap tiga
jenis risiko, yaitu: Risiko Politik, Risiko
Kinerja Proyek, dan Risiko Permintaan.
Risiko Kinerja Proyek termasuk risiko-risiko
yang terjadi akibat keterlambatan dalam
proses pembebasan lahan, peningkatan biaya
perolehan
tanah,
perubahan
dalam
spesifikasi kontrak kerja, penundaan atau
adanya penurunan kontrak penyesuaian atas
tarif, keterlambatan memperoleh ijin untuk
memulai kegiatan. Risiko Permintaan
mengacu terhadap pendapatan riil yang
berada di bawah pendapatan minimum yang
dijamin karena adanya permintaan yang
lebih rendah dari kontrak.
Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Ekonomi No. 4 Tahun 2006, mensyaratkan
bahwa suatu permintaan atas dukungan
kontingen setidaknya harus dimuat pada
bagian studi kelayakan. Hal ini lebih tegas
diatur dari pada pengaturan awal studi
kelayakan sebagaimana dimuat dalam
Peraturan Menteri Keuangan No.38 tahun
2006. Kedua peraturan tersebut menentukan
bahwa dokumen lain harus diajukan untuk
meminta dukungan, termasuk format
kerjasama, rencana anggaran, hasil dari
145
konsultasi publik dan lainnya.
Pemerintah
telah
mendirikan
PT.
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT. PII)
untuk mengelola jaminan-jaminan tersebut.
Dengan upaya ini maka diharapkan dapat
mengurangi
pengeluaran
biaya
pembangunan
proyek
infrastruktur
KPSdengan meningkatkan kualitas proyek
KPS dan kredibilitas, serta membantu
Pemerintah untuk mengelola risiko pajak
dengan lebih baik dengan adanya penjamian
ini. PT. PII akan membuat kerangka kerja
yang komprehensif dan konsisten untuk
dapat menilai suatu proyek dan membuat
keputusan sehubungan dengan pemberian
jaminan dari pemerintah untuk proyekproyek KPS
Setiap sektor infrastruktur diatur oleh undang-undang tersendiri dan
peraturan-peraturan pelaksananya. Tabel di bawah ini menunjukkan tentang
undang-undang pokok dan peraturan pemerintah dimasing-masing sektor. Selain
itu, terdapat beberapa peraturan menteri yang tidak tercantum disini yang
memberikan petunjuk tentang pelaksanaan undang-undang pokok dan peraturan
pemerintah tersebut.
SseSektor
Pelabuhan
(Pengo perasian
Terminal)
Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah
• Undang-undang No. 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran
• Peraturan Pemerintah No. 61
Tahun
2009
tentang
Kepelabuhan
• Peraturan Pemerintah No. 20
Tahun 2010 Angkutan Di
Perairan
Infrastruktur
Kereta Api
(Rel kereta api,
Stasiun dan
Fasilitas Kereta
Api lainnya)
Undang-undang No. 23 Tahun
2007 tentang Perkeretapian
• Peraturan Pemerintah No. 50
Tahun
2009
tentang
Pelaksanaan Perekeretapian
Butir-Butir Penting
Pengoperasian pelabuhan (terminal) terbuka
untuk Badan Usaha. PT. Pelindo
(Perusahaan operator pelabuhan milik
Negara) tidak lagi memonopoli sektor ini.
Pemerintah harus mendirikan suatu Otorita
Pelabuhan sebagai regulator berbagai
kegiatan di Pelabuhan. Otoritas Pelabuhan
dapat diadakan untuk satu atau lebih
pelabuhan, dan akan bertanggung jawab
untuk menerbitkan ijin konsesi, untuk
kemudian mengatur layanan yang dilakukan
oleh Badan Usaha.
Badan Usaha dapat berpartisipasi dalam
pembangunan
dan
pengoperasian
infrastruktur rel kereta api (rel kereta api,
stasiun dan fasilitas kereta api lainnya). PT.
Kereta
Api
Indonesia
tidak
lagi
memonopoli. Konsesi untuk melaksanakan
146
• Peraturan Pemerintah No. 72
Tahun 2007 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Kereta Api
pembangunan
dan
pengoperasian
infrastruktur kereta api akan diberikan oleh:
• Menteri: untuk infrastruktur lintas antar
propinsi;
• Gubernur: untuk infrastruktur lintas kota
yang masih dalam satu propinsi;
• Walikota/Bupati: untuk infrastruktur dalam
satu kotamadya/ kabupaten.
147
Bandar udara
• Undang-undang No. 1 Tahun
2009 tentang Transpotasi Udara
Ketenag a
listrikan
(Pembangkit
Listrik,
Transmisi
dan
Pendistribusian)
• Undang-undang No. 30
tentang Ketenagalistrikan
• Undang-undang No. 27
Tahun 2003 tentang Panas
Bumi
• Peraturan Pemerintah No.
59 Tahun 2007 tentang
Kegiatan Usaha Panas Bumi
• Peraturan Pemerintah No. 3
Tahun 20005 atas Perubahan
Peraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1989 tentang Ketentuan
Dan
Pemanfaatan
Ketenagalistrikan
Air Minum
(Pengolahan
Air, Transmisi
dan
Pendistribusian)
- Undang-undang No. 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya
Air
• Peraturan Pemerintah No. 16
Tahun 2005 Pengembangan
Sistem Penyediaan Air
Minum
PT. Angkasa Pura (Perusahaan operator
Bandara milik Negara) tidak lagi
memonopoli sektor ini. Pemerintah sedang
mempersiapkan Peraturan Pelaksanaan
untuk pengoperasian Bandara.
PT PLN, Perusahaan Listik Negara, tidak
lagi
memonopoli
infrastruktur
ketenagalistrikan (pembangkit tenaga listrik,
transmisi, dan pendistribusian). Namun,
PLN tetap melakukan fungsinya selaku offtaker dari pembangkit tenaga listrik yang
dihasilkan. Badan Usaha dapat berpartisipasi
dalam sektor ini melalui tender yang
kompetitif.
Mereka (Badan Usaha) akan berkompetisi
dalam pengajuan tarif. Pembangkit listrik,
transmisi, pendistribusian dan konsesi panas
bumi akan menjadi kegiatan yang berlisensi
dengan pemisahan off-taker atau perjanjian
layanan antara pengguna dan Badan Usaha.
Pemberi otoritas lisensi adalah sebagai
berikut:
• Menteri: untuk proyek pembangkit tenaga
listrik yang terhubung dengan jaringan
listrik nasional, atau untuk konsesi panas
bumi lintas propinsi;
• Gubernur: untuk infrastruktur lintas
kotamadya/kabupaten dalam satu propinsi;
• Walikota/Bupati: untuk infrastruktur
kelistrikan atau konsesi panas bumi di dalam
satu kotamadya/kabupaten.
Suatu Badan Usaha dapat memperoleh
konsesi untuk penyediaan air minum untuk
daerah yang tidak dilayani oleh Perusahaan
Daerah Air Minum. Penunjukkan Badan
Usaha untuk melakukan layanan ini harus
dilaksanakan melalui berdasarkan proses
tender. GCA akan menetapkan tarif dan
mengatur persyaratan- persyaratan bagi
Badan Usaha dalam PK. Pemerintah telah
membentuk
Badan
Pendukung
Pengembangan Sistim Penyediaan Air
Minum (BPP SPAM) untuk, antara lain,
membantu Pemerintah Daerah dalam
pengembangan sistimpenyediaan air minum
melalui skema KPS.PPP basis.
148
Jalan Tol
• Undang-undang No. 38 Tahun
2004 tentang Jalan
• Peraturan Pemerintah No. 15
Tahun 2005 Tentang Jalan Tol
Kegiatan usaha jalan tol tidak lagi di
monopoli oleh PT. Jasa Marga (perusahaan
jalan tol milik Negara). Pemerintah telah
mendirikan badan pengawas, yakni Badan
Pengatur Jalan Tol, untuk melaksanakan
tender dan menetapkan tarif jalan tol.
• Peraturan Pemerintah No. 44
Tahun 2009 atas Perubahan
Peraturan Pemerintah No. 15
Tahun 2005
• Undang-undang No. 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi koordinasi, sinkronisasi,
penyiapan perumusan kebijakan, pemantauan dan evaluasi serta pelaksanaan
hubungan kerja dalam perencanaan pembangunan nasional di bidang sarana dan
prasarana, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan perencanaan
Pembangunan Nasional perlu mengambil langkah-langkah percepatan penyediaan
infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dan swasta. Berdasarkan amanat
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 Pemerintah
mendorong partisipasi swasta, masyarakat dan pemerintah daerah dalam
pelayanan dan penyelenggaraan sarana dan prasarana. Kerjasama pemerintah dan
swasta agar dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh para pemangku
kepentingan, maka perlu ditetapkan Peraturan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, yang untuk selanjutnya disebut Panduan
Umum. Oleh sebab itu diterbitkan Peraturan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
149
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksana Kerjasama Pemerintah
Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Tujuan ditetapkan Panduan Umum ini adalah :
a.
Memberikan pedoman bagi Menteri dalam menyusun panduan pelaksana
Kerjasama Pemerintah pada sektor yang bersangkutan, dan
b.
Memberikan pedoman bagi Menteri/Kepala lembaga/Kepala Daerah
dalam pelaksanaan Proyek Kerjasama untuk mendorong partisipasi swasta
dalam penyediaan infrastruktur.
BAB IV
MODEL PENGATURAN DASAR HAK SWASTA DALAM
PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH
UNTUK KEPENTINGAN UMUM
4.1
Model Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Hukum pertanahan yang bersifat nasional baru lahir bersamaan dengan
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria yang sering disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria.
Kelahiran UUPA di satu sisi merupakan kulminasi dari pertentangan nilai-nilai
dan kepentingan-kepentingan dalam perkembangan hukum yang mengatur tentang
tanah dan dari sisi lain merupakan titik awal perjalanan dari pelaksanaan pilihan
nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang telah tertuang dalam substansi
ketentuannya ditengah-tengah rezim pemerintahan yang bergantian membangun
dan melaksanakan kebijakan pembangunan ekonominya.
Penetapan UUPA mengakhiri pertentangan kepentingan-kepentingan dan
nilai-nilai yang ada dalam dualisme hukum pertanahan yang berlaku pada saat itu.
Dualisme hukum merupakan implikasi dari terjadinya dualisme di bidang
ekonomi, yaitu antara ekonomi yang kapitalistis yang menuntut adanya dukungan
hukum modern yang universal dengan ekonomi prakapitalis yang tradisional yang
didukung oleh norma-norma hukum kebiasaan.150 Disatu pihak, hukum
150
Boeke, JH, 1983, Prakapitalisme Di Asia, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 10-12.
150
151
pertanahan yang bersumber pada kebijakan pemerintah kolonial menekankan pada
efisiensi dan individualisme serta keadilan distributif sebagai pilihan nilainya
dalam rangka meningkatkan pertumbuhan hasil perkebunan yang menilai ekspor
sebagai sumber pendapat Negara. Negara kolonial merupakan anak kandung dan
sekaligus sebagai kendaraan dari kapitalisme, yaitu suatu paham dalam kegiatan
ekonomi yang menekankan pada peranan pemilikan modal (alat produksi dan
uang) oleh orang perseorangan atau perusahaan yang diinvestasikan untuk
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya atas dasar nilai efisiensi dan
persaingan. 151
Gambaran dari adanya dua sistem ekonomi yang diikuti oleh berlakunya
dualisme hukum di bidang pertanahan adalah perbedaan akses untuk menguasai
dan menggunakan tanah dua kelompok masyarakat yang mematuhi dua hukum
yang berbeda.152 Perilaku ekonomi dari kelompok yang didukung oleh hukum
pertanahan yang bersumber pada kebijakan pemerintah kolonial cenderung agresif
dan dominatif serta rasional untuk melakukan perluasan tanah yang dapat dikuasai
dan diusahakan. Sebaliknya perilaku ekonomi kelompok yang didukung oleh
hukum yang bersumber dari kebiasaan cenderung pasif dan pasrah namun karena
besarnya jumlah kelompok ini sehingga sulit untuk sepenuhnya dikuasai oleh
kekuatan ekonomi kelompok pertama. Akibatnya keduanya berada dalam posisi
151
Rikardo Simarmata, Op.cit, hal. 30-33.
Frans Husken dan Benyamin White, 1989, Java: Social Differentiation, Food
Production and Agrarian Control dalam Gilian Hart dkk: Agrarian Transformation : Local Process
and State in Southeast Asia, University of California Press, Berkeley-Los Angelos-London, hal.
140-141. a
152
152
saling berhadapan yang cenderung sulit untuk diselaraskan sehingga yang agresif
dan dominatif lebih diuntungkan.153
Pemberlakuan UUPA mengakhiri pertentangan nilai-nilai dan kepentingan
dengan cara menjadikan nilai-nilai dan kepentingan tertentu
sebagai pilihan
substansinya. Pilihan kepentingan yang menjadi tujuan hukum pertanahan
nasional tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA yang mempertegas tujuan politik
hukum pertanahan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
yaitu
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kepentingan ini bermakna
terpenuhinya kebutuhan materiil atau kebutuhan dasar seperti pangan, sandang
papan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan dari seluruh warga masyarakat.
154
Kemakmuran yang dicita-citakan untuk diwujudkan bukanlah orang-perseorangan
atau kelompok dan etnis tertentu atau warga masyarakat di wilayah tertentu,
namun kemakmuran seluruh rakyat Indonesia di semua wilayah yang menjadi
bagian Indonesia.
Jika dicermati bagian-bagian dari UUPA yang terkait dengan pilihan
kepentingan sebagai tujuan yang hendak diwujudkan, maka terdapat dua tingkat
kepentingan yaitu kepentingan “antara” dan kepentingan “akhir”. Kepentingan
antara merupakan kondisi sosial ekonomi tertentu sebagai jembatan untuk
terciptanya
kepentingan
akhir.
Kondisi-kondisi
sosial
ekonomi
sebagai
kepentingan antara tersebut dalam UUPA dirumuskan dalam banyak istilah, yaitu
(1). Dalam bagian “berpendapat”, huruf d dirumuskan bahwa semua tanah
diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk “sebesar-besar
153
Boeke, JH, Op.cit, hal. 12.
Mubyarto, 1997, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia,
Aditya Media, Yogyakarta, hal. 19.
154
153
kemakmuran rakyat” baik secara perseorangan maupun gotong-royong atau
bersama; (2) Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) dirumuskan bahwa wewenang yang
bersumber pada Hak Menguasai Negara dipergunakan untuk mencapai sebesarbesar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan.
(3) Dalam penjelasan umumnya, angka I alinea terakhir dinyatakan bahwa salah
satu tujuan UUPA adalah meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agrarian
nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat terutama rakyat tani.
Sejumlah istilah yang tercantum dalam UUPA hanya menunjuk pada dua
kepentingan, yaitu kesejahteraan dan keadilan.155 Kesejahteraan mencakup
kemakmuran sebagai aspek materiil dan kebahagiaan sebagai aspek immaterial.
Kemakmuran akan dapat tercipta jika setiap pemilikan dan pemanfaatan tanah
dapat memberikan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan materiil atau kebutuhan
dasar seperti pangan, sandang, papan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan dari
seluruh warga masyarakat. Kebahagiaan menunjuk pada terbentuknya kondisi
aman dan tenteram. Aman merupakan suatu kondisi kehidupan yang terhindar dari
konflik sosial dari kekacauan politik yang bersumber dari penguasaan dan
pemilikan tanah, sedangkan tenteram merupakan kondisi kehidupan yang setiap
orang merasa terjamin hak-hak untuk mendapatkan pekerjaan, penghasilan yang
layak, mendapatkan hak kepemilikan atas sumber daya tanah.
Diktum-diktum dalam UUPA didahului dengan pernyataaan pencabutan
terhadap beberapa peraturan perundang-undangan zaman Hindia Belanda yang
155
Boedi Harsono, Op. cit, hal. 144.
154
seluruhnya terdiri atas empat jenis peraturan perundang-undangan. Diktum UUPA
dibagi atas lima kelompok : (1) Memuat berbagai hal yang biasanya menjadi
Batang Tubuh undang-undang pada umumnya. Kelompok ini terdiri atas bab-bab,
bagian-bagian dan pasal-pasal yang seluruhnya berjumlah 4 bab dan 58 pasal.
(2)Memuat ketentuan-ketentuan konversi yang seluruhnya terdiri atas sembilan
pasal. (3) Memuat ketentuan perubahan susunan pemerintahan desa berkenaan
dengan berlakunya UUPA. (4) Memuat peralihan hak-hak dan wewenangwewenang swapraja dan bekas swapraja atas bumi dan air dan (5) Memuat
penyebutan, pemberlakuan dan perintah pengundangannya dalam Lembaran
Negara.
Garis besar muatan lengkap diktum kelompok pertama yang terdiri atas
bab-bab, bagian dan pasal disajikan dalam muatan diktum kelompok pertama
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 :
Bab I
Bab II
Tentang Dasar-Dasar dan Ketentuan Pokok (15 Pasal)
Tentang Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa serta
Pendaftaran Tanah. Bab ini dibagi kedalam dua belas bagian,
yaitu :
i. Ketentuan-ketentuan umum (3 pasal)
ii. Pendaftaran tanah (1 pasal)
iii. Hak milik (8 pasal)
iv. Hak guna usaha (7 pasal)
v. Hak guna bangunan (6 pasal)
vi. Hak pakai (3 pasal)
vii. Hak sewa untuk bangunan (2 pasal)
viii. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (1 pasal)
ix. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (1pasal)
x. Hak guna ruang angkasa (1 pasal)
xi. Hak – hak tanah untuk keperluan suci dan sosial ( 1 pasal)
xii. Ketentuan-Ketentuan Lain (2 pasal)
Bab III Tentang Ketentuan Pidana (1 Pasal)
Bab IV Tentang Ketentuan-ketentuan Peralihan (6 Pasal)
155
Diktum UUPA didahului dengan pencabutan beberapa peraturan
perundang-undangan agraria yang berlaku sejak puluhan tahun yang sebelumnya.
Pencabutan itu karena peraturan perundang-undangan lama sangat eksploitatif dan
tidak adil. Adapun peraturan perundang-undangan yang dicabut dengan
berlakunya UUPA dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, yang dicabut
secara eksplisit yakni pencabutan secara tegas di dalam UUPA. Kedua yang
dicabut secara implisit, yakni pencabutannya tidak secara tegas dinyatakan dalam
UUPA, tetapi tercabut dengan sendirinya karena memuat materi yang
bertentangan dengan asas-asas yang dipakai dalam UUPA.
Ketentuan yang dicabut secara eksplisit diuraikan di bawah pernyataan
diktum “Memutuskan” dinyatakan pencabutan terhadap beberapa perundangundangan sebelum pernyataan “Menetapkan” dengan kata-kata “Dengan
mencabut : …” Peraturan perundang-undangan yang dicabut itu adalah :
1. Agrarische Wet (S. 1870-55), sebagai yang termuat dalam pasal 51
Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (S.1925-447) dan
ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu :
2. a. Domeinverkelaring tersebut dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit S.
1870-118.
b. Algemene Domeinverkelaring tersebut dalam Pasal 1 dalam S.
1875-119a.
c. Domeinverkelaring untuk Sumatera, tersebut dalam pasal dari
S.1874-94f.
d. Domeinverkelaring untuk Keresidenan Manado, tersebut dalam
Pasal I dari S. 1877-55.
e. Domeinverkelaring untuk Residentie Zuider en Qoster-afdeling
van Borneo tersebut dalam Pasal 1 dari S.1888-58.
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (S. 1872-117) dan
peraturan pelaksanaannya.
4. Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, keculi ketentuan-ketentuan mengenai
156
hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya udang-undang
ini.156
Meskipun tidak ada pencabutan tegas atas peraturan perundang-undangan
selain yang tersebut diatas, tetapi dengan berlakunya UUPA terdapat juga
konsekuensi bagi tercabutnya peraturan perundang-undangan lain, jika memuat
materi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh UUPA. Hal ini
berdasarkan pada ketentuan pasal 58 UUPA, yang
menyebutkan berlakunya
peraturan perundang-undangan lama masih dimungkinkan selama jiwanya tidak
bertentangan dengan UUPA. Pasal 58 tersebut berbunyi sebagai berikut :
Selama peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum
terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan hak-hak atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undangundang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari
ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang ini serta diberi tafsiran yang
sesuai dengan itu.
Disamping pencabutan secara tegas (eksplisit) terdapat juga pencabutan
yang sifatnya tidak langsung (implicit),
sebagai contoh adalah S.1975-179
menjadi tidak berlaku (dicabut) karena memuat ketentuan-ketentuan yang
bertentangan dengan jiwa UUPA. S.1875-179 berisi “Larangan Pengasingan
Tanah” dari penduduk asli Indonesia (golongan Bumi Putra) terhadap orang asing.
Ketentuan tersebut jelas harus dicabut karena alasan berikut: Pertama, S.1875-179
berdasarkan pada politik hukum 1848 yang membagi-bagi penduduk ke dalam
tiga golongan, yaitu golongan Pribumi (Indonesia asli), golongan Eropa dan
golongan Timur Asing yang dalam lapangan keperdataan tunduk pada hukum
yang berbeda-beda. Kedua, UUPA tidak menggolongkan penduduk berdasarkan
156
Moh. Mahfud MD, Op. cit, hal. 175-178.
157
ras melainkan atas hukum kewarganegaraan ke dalam warga negara Indonesia dan
orang asing. Menurut UUPA setiap WNI (tanpa dipersoalkna rasnya apakah
Eropa, Cina, Arab, India dan sebaginya asalkan sudah memilki status
kewarganegaraan) dapat menjadi pemegang hak milik atas tanah yang ada di
wilayah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
S.1875-179 dicabut karena didasarkan pada penggolongan penduduk yang
samasekali berbeda dengan UUPA. UUPA tidak berpegang pada golongangolongan penduduk menurut politik hukum kolonial 1848. Ukuran yang dipakai
untuk melindungi pihak ekonomi lemah tidak ditarik melalui perbedaan keturunan
antarsesama warga negara. 157
1. Pemerataan Sebagai Pilihan Periode 1960-1966
Bahwa kebijakan pembangunan ekonomi pada periode 1960 -1966 secara
normatif berorientasi pada pemerataan dapat ditarik dari fakta dalam Tap MPRS
No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional
Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, yaitu :
Pertama, Penetapan sosialisme ala Indonesia sebagai landasan ideologi
pembangunan ekonomi dalam kerangka mewujudkan masyarakat sosialis
Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Bagian “Menimbang” butir 2 Tap MPRS:
Pembangunan Nasional Semesta Berencana adalah pembangunan dalam
masa peralihan yang bersifat menyeluruh untuk menuju tercapainya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau Masyarakat
Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas
manusia oleh manusia.
157
Ibid, hal.180-181.
158
Bagian Menimbang tersebut menegaskan bahwa rencana pembangunan 8
(delapan) tahun yang dirancang dalam Tap MPRS tersebut merupakan rencana
dalam masa peralihan yaitu dari ekonomi yang kapitalistik ke pembangunan
ekonomi yang sosialis.158 Kapitalisme yang menjadi ideologi pembangunan
ekonomi baik pada masa kolonial maupun sampai dekade 1950an dinilai telah
mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.
Atas dasar itu, rencana pembangunan ekonomi 8 (delapan) tahun
didasarkan pada ideologi sosialisme Indonesia. Dengan landasan demikian,
kebijakan pembangunan ekonomi diorientasikan pada:
1. Tercapainya keadilan sosial yaitu suatu kondisi berkembangnya sikap dan
kemauan untuk mendistribusikan sumber daya ekonomi yang ada pada
sebanyak mungkin rakyat secara merata. Sumber daya ekonomi yang ada
tidak boleh dikuasai oleh sekelompok kecil warga masyarakat, namun
harus diberikan kepada warga masyarakat sehingga mereka memiliki dan
menjalankan kegiatan usahanya sendiri untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya.
2. Terciptanya kesejahteraan masyarakat yang ditandai oleh adanya rasa
aman atau selamat, tenteram dan makmur lahir batin.
3. Terciptanya aktivitas warga masyarakat atas dasar asas kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
158
Soekarno, 1959, Amanat pada Sidang Pleno I Dewan Perancang Nasional (Depernas),
28 Agustus 1959, dalam Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK, 2001, Bung Karno dan
Ekonomi Berdikari, penerbit Grasindo, Jakarta, hal. 88-90.
159
4. Adanya pengakuan terhadap hak milik orang perseorangan atas sumber
daya ekonomi, namun dalam penggunaan atau pemanfataannya dibatasi
oleh kepentingan bersama.
a. Perombakan struktur penguasaan sumber daya ekonomi dari pola
penguasaan yang terpusat di tangan sekelompok kecil orang kearah pola
yang menyebar. Struktur penguasaan sumber daya ekonomi dan kegiatan
usaha sampai dekade 1950an masih terpusat di tangan sebagian kecil
warga masyarakat baik investor asing maupun investor nasional termasuk
penguasa feodal. Di tingkat pengambil kebijakan pun masih investor
nasional termasuk penguasa feodal. Di tingkat pengambil kebijakanpun
masih terdapat perbedaan antara yang menginginkan tetap berpijak pada
ideologi kapitalisme dengan konsekuensi penguasaan ekonomi secara
terpusat oleh sekelompok kecil orang dengan yang menginginkan
langsung memasuki sosialisme dengan konsekuensi harus terjadi terjadi
perombakan struktur penguasaan ekonomi. Kebijakan pembangunan
ekonomi sebagaimana ditetapkan dalam Tap MPRS No. II/MPRS/1960
dapat ditempatkan sebagai upaya pengakhiran terhadap perbedaan
pandangan dengan menempatkan sosialisme sebagai idelogi dengan
konsekuensi harus dilakukan perombakan struktur penguasaan sumber
daya ekonomi dan kegiatan usaha terutama di sector kegiatan ekonomi
primer yaitu sektor pertanian.
160
Dorongan dilakukan perombakan struktur penguasaan sumber daya
ekonomi dan kegiatan usaha dapat dicermati dari fakta-fakta dalam TAP MPRS
No. II/MPRS/1960 tersebut, yaitu :
1. Pernyataan dalam bagian “Menimbang” butir 5 yang menegaskan
bahwa syarat pokok untuk melaksanakan pembangunan ekonomi
adalah pembebasan rakyat dari pengaruh kolonialisme, imperialisme,
feodalisme
dan
kapitalisme.
Kolonialisme
dan
imperialisme
merupakan pola pikir dan tindakan yang menekankan pada upaya
menguasai dan mengekploitasi sumber daya ekonomi yang dipunyai
suatu kelompok atau bangsa dengan menjajah secara politik untuk
kepentingan pihak penjajah.
Kedua, Ketentuan Pasal 4 ayat (3) Tap MPRS No. II/MPRS/1960 yang
menempatkan landreform sebagai basis pembangunan ekonomi dan bagian mutlak
dari revolusi. Landreform mengandung semangat penataan struktur penguasaan
sumber daya ekonomi dari penguasaan yang terpusat di tangan sekelompok kecil
orang ke penguasaan yang menyebar kepada sebanyak mungkin orang.
Penempatan landreform sebagai basis berarti perombakan struktur penguasaan
sumber daya ekonomi menjadi syarat pokok dan merupakan langkah awal yang
harus dilakukan dalam kerangka mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia.
Struktur penyelenggaraan usaha harus dirombak dari kegiatan usaha yang hanya
dijalankan sekelompok kecil orang menuju kegiatan usaha yang dijalankan
mayoritas rakyat secara gotong-royong. Sumber pembiayaan harus mengalami
perombakan dari yang bersumber pada modal asing kepada sumber pembiayaan
161
dari dalam negeri terutama yang sudah dipunyai oleh masyarakat sendiri sebagai
pelaku usaha. Perombakan itupun harus dilaksanakan dengan segera sesuai
dengan penempatan landreform sebagai bagian mutlak dari revolusi. Kesegeraan
perombakan struktur penguasaan sumberdaya ekonomi menjadi inti dari revolusi
sehingga rakyat yang mayoritas dapat segera menguasai, memiliki dan
menjalankan kegiatan usahanya sendiri.
Ketiga, Pemberian kesempatan kepada kekuatan nasional untuk menguasai
dan menjalankan kegiatan ekonomi yang mencerminkan adanya semangat
pemerataan. Ada 3 (tiga) kelompok kekuatan nasional yang diberi peranan utama
dalam kegiatan ekonomi, yaitu :
1. Warga masyarakat yang mayoritas yang harus ditempatkan sebagai
pemilik dan sekaligus sebagai pelaksana utama kegiatan usaha.
2. Penunjukkan dan penempatan koperasi sebagai salah satu pelaku usaha
utama.
3. Penunjukkan badan usaha milik Negara sebagai pelaku usaha utama
yang diantaranya dapat dicermati dari fakta-fakta :
-
Ketentuan Pasal 5 ayat (2) TAP MPRS No. II/MPRS/1960 yang
menekankan Negara untuk menguasai dan jika perlu memiliki kegiatan
usaha yang vital bagi perkembangan perekonomian nasional dan
kebutuhan hidup rakyat banyak. Ada 2 (dua) istilah yang menunjukkan
posisi dan peranan Negara yaitu menguasai dan memiliki.
Istilah
menguasai menunjuk pada fungsi public Negara untuk mengatur dan
mengarahkan kegiatan usaha agar berlangsung kearah pembentukan
162
masyarakat
sosialis
Indonesia,
sedangkan
istilah
memiliki
mengandung makna bahwa Negara melalui badan usaha yang
dibentuknya berfungsi sebagai pelaku kegiatan usaha di bidang-bidang
yang vital bagi pengembangan perekonomian nasional dan kebutuhan
hidup rakyat banyak.
-
Ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan (4) Tap MPRS No. II/MPRS/1960
yang menempatkan pemerintah melalui badan usaha yang dibentuknya
untuk melakukan kegiatan usaha di bidang impor barang kebutuhan
pokok rakyat, bahan penolong bagi industri vital dan ekspor bahan
baku tertentu serta kegiatan usaha di bidang angkutan yang vital.
2. Pertumbuhan Ekonomi sebagai Pilihan Periode 1967-2005.
Kepentingan yang hendak diwujudkan dalam periode ini, sebenarnya
secara formal tidak mengalami perubahan karena rezim ini penguasa yang baru
tidak pernah melakukan revisi atau perubahan terhadap UUPA sebagai induk dari
hukum pertanahan nasional. Konsekuensinya ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUPA
yang dipertegas dalam Penjelasan Umumnya Angka I huruf a dari alinea terakhir
yang memuat tujuan hukum agrarian nasional masih berlaku dan tidak mengalami
perubahan. Kemakmuran rakyat dalam arti terpenuhinya kebutuhan pokok
masyarakat masih tetap menjadi orientasi kepentingan yang harus diwujudkan
oleh hukum pertanahan.
Meskipun secara formal tidak mengalami perubahan, namun pergantian
rezim penguasa Orde Lama (periode 1960-1966) ke Penguasa Orde Baru diikuti
oleh terjadinya perubahan orientasi kepentingan atau bahkan pilihan nilai sosial
163
sebagai acuan dari kebijakan pembangunan ekonomi. Perubahan orientasi ini telah
berpengaruh
terhadap
pengembangan
strategi
dan
tahapan
pencapaian
kemakmuran rakyat. Jika orientasi kebijakan pembangunan ekonomi penguasa
Orde Lama lebih menekankan pada pemerataan penguasaan sumber daya ekonomi
dan pelaksanaan kegiatan usaha kepada sebanyak mungkin orang maka sebaliknya
orientasi
kebijakan pembangunan ekonomi
penguasa Orde
Baru lebih
menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi ditandai oleh peningkatan secara kuantitatif atau
jumlah produksi nasional dan kegiatan usaha yang menghasilkan produksi
tersebut. Pada tingkat substansi kebijakan, orientasi pada pertumbuhan ekonomi
dapat dilihat dari fakta-fakta sebagai berikut :
a. Adanya kecenderungan penetapan angka pencapaian produksi nasional
dan
kegiatan
usaha
sebagai
target
yang
harus
diupayakan
peningkatannya. Asumsi yang dicetuskan oleh aliran modernism ini
diyakini oleh perancang kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru
sebagai cara untuk memacu dan mempercepat pengentasan kehidupan
ekonomi bangsa dari keterbelakangan. Dalam hal ini, Riwanto
Tirtosudarmo
merangkum
pemikiran
“Tim
Berkeley”
sebagai
kelompok perancang kebijakan tersebut dalam kalimat : “Berbagai
kebijakan ekonomi yang diambil Pemerintah haruslah bermuara pada
pertumbuhan
ekonomi
(peningkatan
produksi)
karena
tanpa
peningkatan produksi yang cukup tinggi tidak mungkin dilakukan
pembangunan bidang-bidang lainnya”
164
b. Adanya kecendrungan untuk melibatkan pelaku-pelaku usaha yang
mempunyai kemampuan menjalankan kegiatan usaha. Rencana
peningkatan produksi dan ketersediaan dana investasi yang besar tidak
mungkin dapat diupayakan dan disediakan sendiri oleh Pemerintah,
namun
harus
melibatkan
pelaku-pelaku
usaha
swasta
yang
berkemampuan baik dari penyediaan modal maupun penguasaan
manajemen dan teknologi. Artinya pencapaian peningkatan produksi
hanya mungkin dapat diupayakan melalui pelibatan pelaku-pelaku
usaha swasta berskala besar yang memenuhi syarat berkemampuan di
bidang tersebut.
Sejak
Repelita
Pertama,
Pemerintah
sudah
merencanakan
untuk
melibatkan peranan pelaku usaha swasta besar meskipun dalam jumlah yang
relatif kecil, yaitu baru sekitar 25% dari keseluruhan dana investasi yang
direncanakan. Repelita Pertama merupakan tahapan membangunan kepercayaan
dunia usaha untuk berinvestasi sehingga Pemerintah harus mengambil peranan
yang lebih besar. Dalam Repelita-Repelita berikutnya, peranan usaha swasta
semakin meningkat dan dalam Repelita Kelima mereka sudah diproyeksikan
mempunyai peran dominan.
Perbandingan Rencana Peranan Pemerintah dan Swasta
REPELITA
I
II
III
IV
RENCANA
KEBUTUHAN
INVESTASI
Rp 1,420 Triliun
Rp 11,415 Triliun
Rp 42,835 Triliun
Rp 145, 224
Triliun
INVESTASI
PEMERINTAH
INVESTASI
SWASTA
75%
47%
51%
54%
25%
53%
49%
46%
165
V
VI
Rp 239,1 Triliun
45%
55%
Rp 660,1 Triliun
27%
73%
Sumber : Lampiran Keppres masing-masing Repelita
Proyeksi penurunan peranan Pemerintah di satu pihak dan peningkatan
peranan pelaku usaha swasta terutama berskala besar menunjukkan ideologi
kapitalisme telah mendasari pembangunan ekonomi. Artinya pembangunan
ekonomi harus semakin bertumpu pada peranan pelaku usaha swasta terutama
yang berkemampuan baik modal maupun teknologi.
Penitikberatan pada pertumbuhan ekonomi sebagai pilihan orientasi
kebijakan pembangunan ekonomi penguasan Orde Baru berimplikasi pada strategi
pencapaian kemakmuran seluruh rakyat sebagai tujuan dari hukum pertanahan
nasional. Perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah sebagai upaya
untuk melakukan pemerataan pemilikan tanah dinilai sebagai strategi yang tidak
akan mampu mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi. Bahkan strategi yang
demikian justru dinilai sebagai penghambat terhadap pertumbuhan ekonomi
karena tidak memacu setiap orang untuk bersaing dalam berprestasi. Pemberian
tanah kepada petani yang biasa dengan sistem pertanian yang subsistem tidak
akan dapat memberikan konstribusi yang berarti bagi peningkatan produksi yang
dikehendaki oleh kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Jika
pertumbuhan ekonomi tidak pernah tercapai sebagaimana diasumsikan oleh
pembentuk kebijakan, maka kemakmuran rakyat tidak akan pernah dapat dicapai.
Kemakmuran rakyat dapat dicapai bukan dengan cara membagi-bagikan
tanah secara langsung kepada setiap petani atau kepada sebanyak mungkin orang,
namun strategi pencapaiannya dapat diupayakan dengan memberikan kesempatan
166
kepada setiap orang untuk memperoleh dan mempunyai tanah dengan syarat
tertentu yaitu mampu mengembangkan kegiatan usaha melalui penguasaan dan
penggunaan tanah serta bersaing untuk berprestasi dalam peningkatan produksi.
Melalui strategi yang demikian, disatu sisi setiap orang sudah diberi kesempatan
yang sama untuk memperoleh dan mempunyai tanah, namun kesempatan untuk
sungguh-sungguh dapat menguasai dan mempunyai tanah akan terseleksi
berdasarkan kemampuan mereka memenuhi persyaratan dan prestasinya dalam
meningkatkann produksi dan penggunaan tanah yang diperolehnya.
Untuk mendukung strategi seperti diatas, kebijakan pembangunan
ekonomi telah meletakkan prinsip-prinsip tertentu yaitu efisien dan efektivitas
penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah sebagai basis utama dan sekaligus
sebagai acuan dalam pembentukan peraturan pelaksanaaan UUPA tanpa perlu
merubah atau merevisi asas-asas yang terdapat dalam UUPA itu sendiri. Hal ini
dapat dicermati dari ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
atau Tap MPR No. IV/MPR/1973 dalam Bab IV D huruf a butir 12 dinyatakan
bahwa : “salah satu aspek pembangunan ekonomi ialah penggunaan tanah dan
oleh karena itu demi peningkatan efisiensinya perlu diadakan perencanaan
penggunaan tanah. Begitu juga dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978 Bab IVD.
Bagian Umum butir 20 dan Bagian Ekonomi, Pertanian huruf f dinyatakan :
Agar pemanfaatan tanah sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta dalam rangka mewujudkan keadilan sosial,
maka disamping menjaga kelestariannya perlu dilaksanakan penataan
kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah
Pembangunan pertanian harus merupakan usaha yang terpadu dengan
pembangunan daerah dan pedesaan. Dalam hubungan ini diperlukan
langkah-langkah untuk mengendalikan secara efektif
penggunaan,
167
penguasaan dan pemilikan tanah sehingga benar-benar sesuai dengan asas
adil dan merata.
Kutipan dari Tap MPR tersebut memberikan gambaran tentang adanya
perubahan basis strategi dalam pembangunan hukum bidang pertanahan sebagai
implikasi dari perubahan orientasi kebijakan pembangunan ekonomi yaitu
efisiensi penggunaan tanah serta menata kembali dan mengendalikan secara
efektif penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Perubahan ini tidak lagi
menekankan pada perombakan struktur penguasaan tanah melalui landreform,
namun lebih menekankan pada penataan agar penggunaan tanah lebih efisien
yaitu memaksimalkan hasil yang diperoleh dengan lebih menekankan biaya
serendah mungkin dan agar penggunaan tanah lebih efektif yaitu berhasil guna
memberikan dukungan langsung terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi yaitu
peningkatan jumlah kegiatan usaha atau investasi hasil produksinya. Efisiensi dan
efektivitas penggunaan tanah diharapkan dapat meberikan dukungannya terhadap
pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berdampak lebih lanjut terhadap
kemakmuran rakyat. 159
Merujuk orientasi dan basis yang demikian, strategi yang dikembangkan
untuk mewujudkan kemakmuran rakyat bukan dengan mendistribusikan
penguasaan dan pemilikan sumber daya ekonomi seperti halnya tanah secara
merata kepada sebanyak mungkin warga masyarakat. Strateginya adalah
pemberian fasilitas untuk menguasai dan memiliki tanah kepada setiap orang yang
mampu secara efisien dan efektif menggunakannya
159
untuk pengembangan
Bonnie Setiawan, 2003, Globalisasi Pertanian : Ancaman Atas Kedaulatan Bangsa dan
Kesejahteraan Petani, The Institute for Global Justice, Jakarta, hal.42.
168
kegiatan usaha. Meskipun setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk
menguasai dan memilki tanah namun mereka yang efektif dan efisien yang akan
lebih banyak memanfaatkan atau diberi kesempatan tersebut.160
Politik hukum yang mengantarkan lahirnya UUPA berkisar pada dua
tataran dasar. Pertama, hendak mewujudkan sistem hukum agraria yang seragam
(unifikasi) di seluruh wilayah negara kesatuan RI. Ini merupakan konsekwensi
logis sebagai negara yang merdeka yang sedang mengarah pada pembaharuan
hukum dan sistem hukumnya. Kedua, dimaksudkan untuk mewujudkan suatu
bangunan masyarakat, khususnya petani, apakah petani penggarap, buruh tani dan
lain sebagainya kepada kondisi yang lebih bermartabat. Undang-undang ini
memberikan kemungkinan perolehan akses terhadap sumberdaya ekonomi. Dalam
konteks ini yang dimaksudkan adalah tanah, sehingga distorsi pada pemilikan dan
penguasaan tanah dapat dieliminir. Harapannya adalah tercipta suatu masyarakat
yang berkeadilan dan bermartabat.
Ada dua hal yang membuat UUPA mempunyai arti penting secara
mendasar, yaitu: statusnya dan isinya. UUPA dapat dikatakan mempunyai
kehidupan sendiri. Maksudnya, undang-undang tersebut mempunyai arti yang
lebih tinggi daripada apa yang dikatakannya, yaitu isi maupun status legal
formalnya, yaitu sebuah undang-undang yang disahkan oleh legislatif karena
mengatur hal-hal mendasar mengenai keagrarian. UUPA telah memperoleh status
simbolis sebagai bagian dari landasan fundamental bangsa ini. Artinya, undang-
160
Badan Pembangunan Hukum Nasional, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Bidang Pertanahan, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hal. 38.
169
undang tersebut ikut menegaskan dan memperkuat eksistensi Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana diproklamirkan dalam UUD 1945.
4.2
Model Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum dan Dalam Regulasi
Politik hukum agraria sebagaimana tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945
dan UUPA secara prinsip tidak perlu diubah, sebab pada dasarnya yang menjadi
masalah adalah implementasinya. Filosofi yang mendasarinya baik, tapi pilihan
kepentingan dan nilai sosial oleh pemerintah telah menggeser peran substantif
filosofi yang mendasari politik hukum tersebut. Dilihat dari proses pembuatannya
yang partisipatif dan isinya yang aspiratif, UUPA merupakan hukum yang
berkarakter responsif. Sementara itu dilihat dari nilai sosial yang mendasarinya,
UUPA sendiri merupakan hukum prismatik yang ideal karena mengkombinasikan
dua pilihan nilai sosial. 161
Perkembangan hukum agrarian dapat pula dilihat dari kacamata ekonomi
politik, yakni suatu pendekatan yang terkait dengan pengaruh pilihan kepentingan
dan pilihan nilai sosial yang dijadikan landasan kebijakan pemerintah. Pilihan
kepentingan yang dihadapi oleh penguasa adalah pilihan kepentingan kolektif
secara terkendali dan pilihan kepentingan sekelompok orang secara liberal.
Masalah utama yang selama ini muncul diakibatkan oleh sikap pemerintah
yang bergeser atau mengambil jalan sendiri atas nilai kepentingan dan nilai sosial
demi pembangunan, sehingga keluar dari prinsip kemakmuran rakyat. Dengan
161
H.Abdul Latif dan Hasbi Ali,Op.cit, 122.
170
demikian politik hukum agrarian di dalam UUPA sudah sesuai dengan dasar dan
tujuan Negara sebagaimana terkandung dalam UUD 1945. Namun pilihan
kepentingan pemerintah dalam implementasi telah membawa keluar pengelolaan
agraria dari nilai filosofi dan politik hukum yang mendasarinya. Pilihan nilai pada
kemakmuran sekelompok orang yang kuat secara ekonomis (pemodal) melalui
liberalisasi ekonomi telah menggeser watak populisme UUPA. Keharusan
membangun ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dan dalam pilihan nilai
kepentingan yang seperti itu, ketentuan undang-undang yang seharusnya ditaati
banyak yang dilanggar karena kebutuhan pragmatis.
Seperti persoalan pengaturan penyelenggaraan tanah untuk kepentingan
umum dengan keluarnya Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006
dan terakhir Undang-Undang No. 2 Tahun 2012. Pembahasan pada sub bab ini
dimulai dari Perpres No 36 Tahun 2005. Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
mendapat banyak tanggapan maupun menuai kontroversi. Sebagian kalangan
menolak, bahkan menganggap Perpres ini sebagai ancaman bagi hak milik yang
dijamin oleh konstitusi. Namun sebagian kalangan mendukung dengan
dikeluarkan Perpres ini, karena peraturan ini dianggap memperbaiki berbagai
peraturan
yang menyangkut pengadaan tanah untuk kepentingan umum
terdahulu. 162
Secara substansial Perpres No. 36 tahun 2005 ini memberi peluang kepada
negara untuk
162
memberikan jaminan kepada
H.Abdul Latif dan Hasbi Ali, Op.cit, hal. 124.
investor domestik maupun
171
internasional untuk menanamkan modalnya di Indonesia terutama dalam hal
pengadaan tanah. Para pelaku bisnis menunjukkan antusiasme dan menyambut
positif kebijakan ini. Juru bicara presiden pada saat itu, Andi Malarageng
mengatakan bahwa Perpres ini memang untuk mewujudkan keepakan yang
dicapai dalam Infrastructure Summit. Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh
Ketua Kamar Dagang Industri Indonesia yaitu MS Hidayat bahwa hal ini
merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti hasil dalam Pertemuan
Tingkat Tinggi Bidang Infrastruktur. 163
Beberapa hal yang patut diperhatikan adalah rekomendasi politik dari
Komisi II DPR RI yang dikeluarkan pada tanggal 7 Juni 2005. Adapun butir-butir
penting yang harus diperhatikan adalah :
a.
Segera melakukan revisi atas Perpres No. 36 Tahun 2005, khususnya
terhadap Pasal 3 jo Pasal 2 ayat (1), Pasal 1 angka 5 jo Pasal 5, Pasal 3
ayat (1), Pasal 4 ayat (3), Pasal, Pasal 10, Pasal 15 ayat (1) huruf a dan
ayat (2), Pasal 16 Ayat (2); dan perlu mempertimbangkan efektivitas
keberadaan panitia pengadaan
tanah serta pembahasan substansi yang
mengatur jaminan tidak adanya spekulasi harga tanah dan perlunya
keberadaan Tim Independen Tanah.
b.
Pada waktu yang bersamaan pemerintah perlu mengeluarkan PP dari UU
organik yang berhubungan dengan pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yaitu PP terhadap UU No. 51 Prp
Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dan PP
163
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 220
172
terhadap UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya.
c.
Pemerintah perlu segera melakukan koordinasi secara intensif dengan DPR
RI guna percepatan pembahasan RUU yang telah masuk Prolegnas yaitu
RUU tentang Pengambilaihan Lahan Untuk Kepentingan Umum.
Rekomendasi Komisi II DPR tersebut dikeluarkan setelah mengkaji isi
Perpres No. 36 Tahun 2005 dan melahirkan kesimpulan-kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Terdapat
kemungkinan
terjadinya
perlakuan
diskriminatif
dalam
pelaksanaan Perpres No. 36 Tahun 2005, terutama karena pengertian
kepentingan umum dimaksudkan hanya untuk kepentingan sebagian besar
masyarakat.
2.
Cara pengadaan tanah yang dilakukan melalui pencabutan hak atas tanah
memberikan terjadinya peluang kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan
Perpres No. 36 Tahun 2005, khususnya bila tidak merujuk pada UU No.
20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda
Yang Ada di Atasnya.
3.
Terdapat ketidakjelasan prinsip penghormatan dalam pengadaan tanah
apakah diberikan kepada subjek (pemegang hak atas tanah) atau objek
(hak atas tanah) yang bisa berakibat pengabaian terhadap hak asasi
pemegang hak atas tanah sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 H ayat (4)
UUD 1945.
173
4.
Terbuka ruang kolusi antara pemerintah dengan pembeli tanah (pemodal
besar) dalam proses jual beli tanah yang telah ditetapkan sebagai lokasi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
5.
Monopoli pemerintah atau pemerintah daerah dalam Pembentukan Panitia
Pengadaan Tanah dan Tim/Lembaga Penilai Tanah memperkecil harapan
pemegang hak atas tanah (rakyat) memperoleh keadilan.
6.
Unsur represif (pemaksaan) terlihat pada pembatasan waktu untuk
musyawarah.164
Melihat kelemahan yang ada dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 akhirnya
Presiden mengeluarkan Peraturan presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 mengenai Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pemerintah beranggapan
bahwa perubahan itu didasari keinginan pemerintah untuk meningkatkan prinsp
penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan. Perpres No. 65 Tahun2006 juga
menambah ketentuan baru, yaitu mengenai biaya panitia pengadaan tanah yang
akan diatur lebih lanjut. 165
Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup panjang Rancangan UndangUndang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam sidang
paripurna tanggal 16 Desember 2011. Sesuai dengan pasal 73 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan,
164
H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Op.cit, hal. 126.
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 226.
165
174
RUU tersebut menjadi sah sebagai undang-undang paling lama 30 hari sejak RUU
tersebut disahkan. Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan Indonesia
memiliki payung hukum yang kuat setingkat undang-undang untuk memperlancar
pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum
yang
memerlukan pengadaan tanah.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang diundangkan
pada tanggal 14 Januari 2012 masih memberikan pilihan kepada investor ataupun
instansi terkait. Dalam hal ini instansi bisa tetap menggunakan aturan lama atau
memakai aturan peerundang-undangan baru tersebut. Hal ini telah diatur dalam
pasal transisi. Pemilihan untuk meggunakan undang-undang itu ketika lahan
sudah terbebaskan meski dibawah 10% sangat bergantung pada instansi, atau
investor yang akan menggunakan. Bila investor ingin pembebasan lahan
menggunakan undang-undang baru maka proses ini harus mengikuti aturan
tersebut secara penuh, yakni memulai kembali proses pembebasan lahan dari awal
musyawarah penentuan harga dengan masyarakat. Terkesan mengulang-ulang,
tetapi undang-undang tersebut lebih memberikan kepastian waktu terhadap masa
pembebasan lahan kepada para pengguna yang ditargetkan selama dua (2) tahun.
Undang-Undang Pengadaan Tanah ini sebetulnya sudah dapat diberlakukan sejak
diundangkan
menjadi
Undang-Undang
Nomor
2
Tahun
2012,
namun
implementasi penuh baru dapat digunakan setelah terbitnya peraturan presiden
termasuk juga tentang masa transisi dan ganti rugi kepemilikan lahan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini dinilai tidak menguntungkan
masyarakat. Sebab aturan tersebut telah membuat masyarakat kehilangan lahan
175
penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari. Dalam perjalanan
baru beberapa bulan, undang-undang ini sudah pernah dilakukan pengujian.
Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
dimohonkan oleh sebuah koalisi yang menamakan dirinya Karam Tanah. Koalisi
ini beranggotan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Comitte
for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi,
Aliansi Petani Indonesia, Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air
(KruHA), Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia
for Global Justice dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI).
Kelompok ini memohon pengujian Pasal 2 huruf g, Pasal 9 Ayat (1), Pasal
10, Pasal 14, Pasal 21 Ayat (1), Pasal 23 Ayat (1), Pasal 40 dan Pasal 42 karena
menilai pasal-pasal tersebut tidak berpihak kepada masyarakat umum. Mereka
menuding aturan itu lebih berorientasi untuk melindungi kewenangan pemerintah
dalam membangun fasilitas umum dan lebih berorientasi kepada kepentingan
bisnis seperti membangun jalan tol dan pelabuhan.
Menurut saksi ahli yang didatangkan pemohon harus ada keseimbangan
antara hukum dan kepentingan masyarakt terkait tanah. Meski hukum harus
menjamin tersedianya bidang-bidang tanah
untuk berbagai keperluan terkait
penyelenggaraan negara, hukum juga harus memperhatikan hak rakyat. Hak
rakyat dijamin kepastiannya agar tidak menjadi korban kesewenangan pemerintah
dalam pembangunan. 166
166
Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 319.
176
Pembahasan berikut ini adalah kutipan dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia terhadap pengajuan permohonan uji materiil terhadap
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pokok permohonan para Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal
9 ayat (1), Pasal 10 huruf b dan huruf d, Pasal 14 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
23 ayat (1), Pasal 40, dan Pasal 42 UU 2/2012 terhadap UUD 1945 sebagaimana
disebutkan di atas, dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa UU 2/2012 tidak sinkron antara judul dengan isinya, karena
judul Undang-Undang a quo adalah Undang-Undang tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang secara norma hukum
bersifat sukarela, tetapi isinya justru pengadaan tanah menjadi suatu
kewajiban warga negara.
2. Bahwa Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 menimbulkan ketidakpastian
hukum, karena Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang bisa
dengan sepihak menyatakan pengadaan tanah sudah seimbang antara
kepentingan pembangunan dengan kepentingan masyarakat, padahal
kepastian hukum yang adil adalah hak konstitusional yang dilindungi
oleh UUD 1945;
3. Bahwa jalan tol yang tercantum dalam Pasal 10 huruf b UU 2/2012
tidak termasuk kegiatan untuk kepentingan umum, karena tidak setiap
orang dapat mempergunakannya tanpa asset dan akses yang lebih.
Begitu pula kata“pelabuhan”yang tercantum dalam Pasal 10 huruf d
Undang-Undang a quo.Tidak semua pelabuhan adalah untuk
kepentingan umum yang dipergunakan untuk penyebrangan rakyat.
4. Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU 2/2012 tidak melibatkan masyarakat atau
pihak yang berhak atas tanah dalam proses perencanaan, karena jelas
sekali dalam pasal a quo proses perencanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum pelibatannya hanya menunjuk instansi yang
memerlukan tanah;
5. Bahwa kata “konsultasi publik” dalam Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012
adalah sebuah proses musyawarah yang artinya tercapainya suatu
kesepakatan adalah atas kehendak antara para pihak. Akan tetapi
konsultasi publik tidak diatur untuk menuju kemufakatan karena
keberatan dari hasil musyawarah akan dilaporkan ke gubernur oleh
instansi yang memerlukan tanah bukan oleh pihak yang berhak dan
atau mayarakat yang yang terkena dampak;
6. Bahwa jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
setempat yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UU 2/2012 adalah tidak
177
rasional mengingat akses masyarakat terhadap Lembaga Pengadilan
Tata Usaha Negara di setiap provinsi belum semua tersedia;
7. Bahwa Pasal 40 UU 2/2012 tidak memasukkan unsur masyarakat
yang terkena dampak sebagai subjek yang berhak menerima ganti
kerugian.
8. Bahwa ganti kerugian objek pengadaan tanah diberikan kepada pihak
yang berhak, namun jika dihubungkan dengan Pasal 42 ayat (2) huruf
b angka 1 dan angka 2 UU 2/2012 terjadi kerancuan karena belum
ada kepastian hukum siapa pihak yang berhak atas tanah.
Pendapat Mahkamah
Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama
permohonan para Pemohon dan bukti-bukti para Pemohon, mendengar
keterangan lisan dan membaca keterangan tertulis Pemerintah, membaca dan
mendengarkan keterangan para saksi dan ahli dari para Pemohon dan Pemerintah,
serta membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah
berpendapat sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 yang menyatakan,
“Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat”,
tidak mendefinisikan dengan jelas
pengertian kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat
sehingga tidak jelas yang akan diseimbangkan. Menurut Mahkamah,
apabila norma Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
maka tidak ada lagi keseimbangan antara kepentingan pembangunan
dan kepentingan masyarakat. Artinya apabila sudah atas nama
kepentingan umum, kepentingan pembangunan yang menjadi acuan,
maka kepentingan masyarakat tidak lagi diperhatikan. Hal demikian
justru akan bertentangan dengan keadilan sebagai prinsip konstitusi.
Bahwa di dalam Undang-Undang, mungkin saja ada suatu ketentuan
yang tidak memberikan perincian mengenai istilah atau kata yang
digunakan, meskipun hal tersebut dapat menimbulkan ketidakjelasan,
ketidakpastian atas istilah atau kata yang dimaksud oleh UndangUndang, namun hal tersebut dapat diatasi dengan menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah untuk merincinya
dengan tetap dalam semangat perlindungan terhadap berbagai
kepentingan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah
dalil para Pemohon a quotidak beralasan menurut hukum;
2. Pasal 10 huruf b dan huruf d UU 2/2012 menyatakan,“Tanah untuk
Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
digunakan untuk pembangunan:
a ....
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta
api, dan fasilitas operasi kereta api;
178
c ....
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal”.
Menurut Mahkamah pembangunan jalan tol dilakukan demi
kelancaran pengangkutan orang, barang, dan jasa yang menjadi hajat
hidup orang banyak, sehingga meskipun seperti didalilkan oleh para
Pemohon tidak dapat diakses secara leluasa oleh rakyat miskin, akan
tetapi dengan adanya jalan tol tersebut, baik secara langsung maupun
tidak langsung akan dirasakan manfaatnya untuk memenuhi
kebutuhan seluruh masyarakat. Demikian pula pelabuhan, untuk
daerah-daerah tertentu, distribusi sembilan bahan pokok (sembako)
hanya mungkin lewat pelabuhan. Meskipun tidak semua orang
mempergunakannya, akan tetapi masyarakat merasakan manfaatnya.
Tidak semua fasilitas untuk kepentingan umum dapat dipenuhi oleh
negara oleh karena semakin meningkatnya kebutuhan atau permintaan
masyarakat. Oleh sebab itu, meskipun negara memberi kesempatan
pada swasta untuk dapat ikut serta memenuhi kepentingan umum
tersebut, namun negara tetap dapat menentukan kebijakan yang
bersangkut paut dengan kepentingan umum, misalnya dalam
menetapkan tarif jalan tol yang dikelola oleh swasta, sehingga swasta
tidak sepenuhnya dapat menentukan sendiri tarif jalan tol yang
merupakan investasi dari yang bersangkutan. Dengan tidak ada atau
kurangnya fasilitas jalan umum dan pelabuhan, termasuk di dalamnya
jalan tol dan pelabuhan peti kemas, yang belum dapat dipenuhi oleh
negara justru akan menyulitkan distribusi orang, barang, dan jasa
yang pada gilirannya akan mengganggu pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi masyarakat yang secara tidak langsung merugikan
kepentingan umum. Selain itu, dengan adanya jalan tol maka alat-alat
berat transportasi darat sebagian besar dialihkan ke jalan tol sehingga
beban jalan umum menjadi berkurang dan dengan demikian akan
meningkatkan keamanan pengguna jalan umum tersebut. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo
tidak beralasan menurut hukum;
3. Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU 2/2012 yang menyatakan,“Instansi yang
memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan
Umum menurut ketentuan peraturan perundangundangan”.Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah,
dengan ketentuan Pasal 18 UU 2/2012 yang menyatakan:
Ayat (1) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf b meliputi kegiatan
pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek
Pengadaan Tanah;
Ayat (2) Pendataan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan;
Ayat (3) Hasil pendataan awal lokasi rencana pembangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
179
data untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana
pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf
c”.
Pendataan awal meliputi kegiatan pengumpulan data pihak yang
berhak dan objek pengadaan tanah, yang akan digunakan sebagai data
untuk
pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan.
Selanjutnya konsultasi publik tersebut dilaksanakan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak
yang berhak [videPasal 19 ayat (1) UU 2/2012].
Konsultasi publik tersebut melibatkan selain pihak yang berhak,
juga dengan masyarakat yang terkena dampak, serta dilaksanakan di
tempat rencana pembangunan kepentingan umum atau di tempat yang
disepakati [videPasal 19 ayat (2) UU 2/2012]. Apabila sudah tercapai
kesepakatan dibuatkan berita acara kesepakatan [ videPasal 19 ayat (4)
UU 2/2012], dan bila tidak, hingga waktu 60 hari, maka dilaksanakan
konsultasi publik ulang [videPasal 20 ayat (2) UU 2/2012]. Seterusnya
apabila setelah dilakukan konsultasi publik ulang ternyata masih ada
pihak yang keberatan, maka yang memerlukan tanah melaporkan
keberatan dimaksud kepada gubernur setempat [vide Pasal 21 ayat (1)
UU 2/2012]. Bahkan 30 hari setelah penetapan lokasi pembangunan
masih terdapat keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan
lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) setempat [vide Pasal 23 ayat (1)]. Akhirnya, putusan
pengadilan (tata usaha negara) yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang menjadi patokan diteruskan atau tidak
diteruskannya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, Mahkamah tidak
menemukan adanya pengabaian terhadap hak-hak dan kepentingan
publik termasuk hak masyarakat atau orang yang memiliki tanah yang
akan digunakan untuk kepentingan umum. Dengan perkataan lain,
negara tidak dengan semena-mena mengambil alih atau mengizinkan
penggunaan tanah yang dimiliki oleh masyarakat maupun pihak yang
terdampak untuk digunakan bagi kepentingan umum, tetapi harus
melalui tahapan dan proses yang diatur oleh Undang-Undang.
Keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum
telah terpenuhi di dalam ketentuan Undang-Undang tersebut. Berbeda
dengan proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum
sebelumnya, ketentuan ini telah memberikan perlindungan hukum
yang memadai dengan membuka kesempatan kepada pihak-pihak,
baik kepada pemilik tanah maupun kepada pihak yang terkena
dampak yang merasa dirugikan untuk mengajukan keberatan bahkan
sampai ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, dalil para Pemohon a
quo tidak beralasan menurut hukum;
4.Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012 menyatakan, “Apabila dalam Konsultasi
Publik ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) masih
terdapat pihak
yang keberatan mengenai rencana lokasi
180
pembangunan, Instansi yang
memerlukan tanah melaporkan
keberatan dimaksud kepada gubernur setempat”
Menurut Mahkamah konsultasi publik ulang tetap dimaksudkan
untuk mencapai mufakat. Apabila tidak dicapai mufakat, artinya
masih ada pihak yang keberatan, maka instansi yang memerlukan
tanah melaporkan kepada gubernur. Bahkan gubernur pun setelah
mendapat laporan dari instansi yang memerlukan tanah, tidak serta
merta mengambil sikap untuk memutuskan, tetapi harus membentuk
tim untuk melakukan kajian atas
keberatan rencana lokasi
pembangunan [vide Pasal 21 ayat (2) UU 2/2012] yang terdiri atas
sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua
merangkap anggota; Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional sebagai sekretaris merangkap anggota; instansi yang
menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah
sebagai anggota; Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia sebagai anggota; bupati/walikota atau pejabat
yang ditunjuk sebagai anggota, dan akademisi sebagai anggota [vide
Pasal 21 ayat (3) UU 2/2012], dengan tugas meliputi: a)
menginventarisasi masalah yang menjadi keberatan; b) melakukan
pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan; dan c)
membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan [vide Pasal
21 ayat (4) UU 2/2012]. Surat gubernur tentang diterima atau tidak
diterimanya keberatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat
(6) Undang-Undang a quo, bukanlah akhir dari proses pembebasan
tanah yang tersedia, sebab berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1)
Undang-Undang a quo, pihak yang merasa keberatan terhadap
penetapan lokasi, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara setempat paling lama 30 hari sejak dikeluarkannya
lokasi penetapan, dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetaplah yang menjadi dasar
diteruskan
atau tidak diteruskannya pengadaan tanah untuk
kepentingan umum [vide Pasal 23 ayat (5) UU 2/2012]. Dengan
demikian ketetapan akhir ditentukan oleh putusan pengadilan, bukan
oleh keputusan pejabat tata usaha negara, yakni bukan oleh keputusan
gubernur. Berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah
dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
5. Pasal 23 ayat (1) UU 2/2012 menyatakan, “Dalam hal setelah
penetapan lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (6) dan Pasal 22 ayat (1) masih terdapat keberatan, Pihak yang
Berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi”. Terhadap dalil para
Pemohon a quo, menurut Mahkamah lebih singkatnya waktu untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN)
setempat terhadap keputusan tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, dibandingkan dengan tenggang waktu pengajuan
181
gugatan ke pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU
PTUN, karena keputusan pejabat tata usaha negara tersebut, dalam hal
ini keputusan gubernur, sudah diketahui lebih dahulu oleh pihak yang
berhak, sebab telah melalui proses konsultasi publik, konsultasi publik
ulang, dibicarakan oleh tim yang melakukan kajian atas keberatan
rencana lokasi pembangunan, sehingga sudah dapat mengantisipasinya
lebih dahulu. Adapun tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 55
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara lebih lama karena keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara kemungkinan belum diketahui sebelumnya
oleh yang berkepentingan. Lagipula pengaturan dalam UndangUndang a quo yang menentukan secara khusus tentang tenggang waktu
lebih singkat dari UU PTUN merupkan opened legal policy yang
menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang sejauh tetap
mempertimbangkan asas kepatutan dan keadilan. Tentang dalil para
Pemohon bahwa jangka waktu 30 hari untuk pengajuan gugatan ke
PTUN tidak rasional karena akses masyarakat terhadap Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara pada setiap provinsi belum tersedia, adalah
tidak benar, sebab setiap provinsi sudah memiliki PTUN meskipun
untuk Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara hingga kini baru terdapat
pada lima tempat yakni di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan
Makasar. Berdasarkan pertimbangan di atas Mahkamah menilai dalil
para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
6. Pasal 40 UU 2/2012 menyatakan,“Pemberian Ganti Kerugian atas
Objek Pengadaan Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang
Berhak”. Penjelasan pasal a quo menyatakan, yang berhak menerima
ganti kerugian antara lain:
a. pemegang hak atas tanah;
b. pemegang hak pengelolaan;
c. nadzir, untuk tanah wakaf;
d. pemilik tanah bekas milik adat;
e. masyarakat hukum adat;
f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik;
g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
h. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan
tanah.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, norma
yang tertera dalam Pasal 40 UU 2/2012 sudah tepat dan benar. Adalah
benar bahwa yang mendapat ganti kerugian adalah pihak yang berhak.
Mengenai Penjelasan Pasal 40 UU 2/2012 yang menyebutkan, yang
berhak mendapat ganti kerugian, antara lain:a. pemegang hak atas
tanah; b.pemegang hak pengelolaan; c. nadzir, untuk tanah wakaf; d.
pemilik tanah bekas milik adat; e. masyarakat hukum adat; f. pihak
yang menguasai tanah negara dengan itikad baik; g. pemegang dasar
182
penguasaan atas tanah; dan/atau h. pemilik bangunan, tanaman atau
benda lain yang berkaitan dengan tanah, yang menurut para Pemohon
tidak termasuk masyarakat yang terkena dampak, Mahkamah menilai
para Pemohon justru yang keliru, sebab dalam Penjelasan
menggunakan kata, “antara lain”, yang berarti selain yang tersebut
dalam huruf a sampai dengan huruf h masih ada pihak yang berhak
memperoleh ganti kerugian apabila memang mengalami kerugian
sehubungan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Di
samping itu, Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012 jelas menyebutkan bahwa
konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dan
masyarakat yang terkena dampak. Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU
2/2012 menyatakan, “Dalam Konsultasi Publik, Instansi yang
memerlukan tanah menjelaskan antara lain mengenai rencana
pembangunan dan cara penghitungan Ganti Kerugian yang akan
dilakukan oleh Penilai”.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012
menyatakan,“Yang dimaksud dengan "masyarakat yang terkena
dampak" misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan
lokasi Pengadaan Tanah”. Pelibatan masyarakat yang terkena dampak
dalam konsultasi publik yang agendanya antara lain adalah tentang
cara penghitungan ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012, menunjukkan bahwa
masyarakat yang terkena dampak pun termasuk yang berhak mendapat
ganti kerugian. Mengenai pemegang hak pengelolaan yang menurut
para Pemohon seharusnya tidak mendapat ganti kerugian, menurut
Mahkamah, ketentuan bahwa pemegang hak pengelolaan mendapat
ganti kerugian merupakan pertanda bahwa pembentuk UndangUndang tidak menghendaki adanya pihak yang menderita kerugian
sebagai akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak
mendapat ganti kerugian, meskipun pemegang hak pengelolaan
tersebut adalah instansi pemerintah. Berdasarkan pertimbangan
tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak
beralasan menurut hukum;
7. Pasal 42 ayat (2) UU 2/2012 menyatakan,“Penitipan Ganti Kerugian
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan terhadap:
a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui
keberadaannya; atau b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan
Ganti Kerugian: 1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan; 2.
masih dipersengketakan kepemilikannya; 3. diletakkan sita oleh
pejabat yang berwenang; atau 4. menjadi jaminan di bank”.
Menurut Mahkamah penitipan ganti kerugian pada pengadilan
negeri setempat dimaksudkan supaya uang ganti kerugian tersebut kelak
betul-betul diterima oleh yang berhak menerima. Jikalau sejak awal ada
sengketa kepemilikan atas tanah yang belum ada putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap, tentulah tidak dapat dilakukan
konsultasi publik sebab belum diketahui pihak yang berhak untuk diajak
183
dalam konsultasi publik. Akan tetapi, bisa terjadi bahwa ketika diadakan
konsultasi publik belum ada sengketa, tetapi setelah selesai konsultasi
publik dan proses selanjutnya, sebelum ganti kerugiannya diserahkan, atas
tanah yang untuk kepentingan umum dipersengketakan atau digugat
kepemilikannya. Dalam keadaan seperti tersebut adalah adil kalau ganti
kerugian tersebut dititipkan pada pengadilan negeri setempat, supaya
apabila sudah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap dan telah diputuskan pihak yang berhak maka kepada yang berhak
itulah ganti kerugian diberikan. Berdasarkan pertimbangan di atas,
menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut
hukum; 167
AMAR PUTUSAN
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 53 ayat (3) dan Pasal 59 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Peraturan yang diterbitkan adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
4.3 Model Pengaturan Yang Ideal
Penemuan hukum (rechtvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja
hukum yang sangat luas cakupannya. Penemuan hukum dapat dilakukan oleh
orang perorangan (individu), ilmuwan/peneliti hukum, para penegak hukum
(hakim, jaksa, polisi dan pengacara/advokat), direktur perusahaan swasta dan
BUMN/BUMD sekalipun. Dalam diskursus penemuan hukum, lebih banyak
167
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang,
tanggal 24 September 2013
data
diakses
pada
184
dibicarakan pada upaya penemuan hukum oleh hakim, pembentuk UndangUndang dan peneliti hukum. 168
Pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan hukum, meskipun
tidak menghadapi peristiwa kongkrit atau konflik seperti hakim, tetapi untuk
menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu, jadi sifatnya adalah
preskriptif. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena dituangkan
dalam bentuk undang-undang dan sekaligus merupakan sumber hukum. Peneliti
hukum melakukan penemuan hukum tapi sifatnya teoritis, sehingga hasil
penemuan hukumnya bukan merupakan hukum melainkan hanya sebagai sumber
hukum (doktrin).169
Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciriciri sebagai berikut :
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan
kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa
yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia
tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.
Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang
memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
Dibandingkan dengan aturan kebiasaan, maka perundang-undangan
memperlihatkan karakteristik suatu norma bagi kehidupan sosial yang lebih
168
Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta, hal. 56.
Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum
yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, hal. 65
169
185
matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Hal ini tidak terlepas
dari kaitannya dengan pertumbuhan Negara itu sendiri. Aturan kebiasaan bisa
dikatakan mengurusi hubungan antara orang dengan orang, sedangkan perundangundangan antara orang dengan Negara. Bentuk perundang-undangan itu tidak
akan muncul sebelum timbul pengertian Negara sebagai pengemban kekuasaan
yang bersifat sentral dan tertinggi.
Beberapa kelebihan dari perundang-undangan dibandingkan dengan
norma-norma lain adalah : (1) Tingkat prediktabilitasnya yang besar. Hal ini
berhubungan dengan sifat prospektif dari perundang-undangan, yaitu yang
pengaturannya ditujukan ke masa depan. Oleh karena itu pula ia harus dapat
memenuhi syarat agar orang-orang mengetahui apa atau tingkah laku apa yang
diharapkan dari mereka pada waktu yang akan datang dan bukan yang sudah
lewat. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan senantiasa dituntut untuk
memberitahu secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan
atau tidak dilakukan ole anggota masyarakat. Asas-asas hukum , seperti “Azas
tidak berlaku surut” memberikan jaminan bahwa kelebihan yang demikian itu
dapat dilaksanakan secara seksama. (2) Kecuali kepastian yang lebih mengarah
kepada bentuk formal diatas, perundang-undangan juga memberikan kepastian
mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka menjadi
pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan tersebut. Oleh karena
itu, orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu diterima atau tidak.
Disamping kelebihan-kelebihan tersebut diatas, beberapa kelemahankelemahan yang terkandung dalam perundang-undangan adalah :
186
1. Kekakuannya. Kelemahan ini sebetulnya segera tampil sehubungan
dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian.
Apabila kepastian ini hendak dipenuhi, maka ia harus membayarnya
dengan membuat rumusan yang jelas dan terperinci dan tegar dengan
risiko menjadi norma – norma yang kaku.
2. Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang
bersifat umum mengandung risiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan
demikian memperkosa perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang
tidak dapat disamaratakan begitu saja.
Dalam ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan atau
didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya, karena undang-undang bersifat
otentik dan berbentuk tertulis sehingga lebih menjamin kepastian hukum.
Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama, yang
diundangkan dalam Lembaran Negara dengan nomor urut dalam satu tahun dan
penjelasannya dimuat dalam tambahan Lembaran Negara dengan nomor urut
tanpa dibatasi tahunnya.
Dalam membaca undang-undang tidak cukup dengan membaca pasalpasalnya saja, tetapi juga harus dibaca pula penjelasan dan konsiderannya. Hukum
merupakan suatu sistem, untuk memahami suatu pasal atau undang-undang maka
perlu dibaca Pasal-pasal lain atau undang-undang yang lain. 170
Sunaryati Hartono mengatakan bahwa apabila menempatkan hukum
sebagai jembatan yang akan membawa kepada ide yang dicita-citakan, maka
170
Ibid, hal. 70.
187
terlebih dahulu harus mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan
oleh rakyat Indonesia Mengetahui bagaimana bentuk masyarakat yang dicitacitakan oleh rakyat Indonesia, dapat dicari sistem hukum yang dapat mewujudkan
cita-cita dimaksud dan politik hukum yang dapat menciptakan sistem hukum
nasional yang dikehendaki. Melihat bentuk masyarakat yang dicita-citakan oleh
rakyat Indonesia, menurut Sunaryati Hartono adalah suatu masyarakat yang adil
dan makmur secara merata yang dicapai dengan cara yang wajar dan
berperikemanusiaan, yang pada gilirannya tercapai keselarasan, keserasian dan
ketentraman di seluruh negeri. Terkait dengan sistem hukum nasional yang dapat
mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia yang dimaksud
adalah sistem hukum nasional yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang
akan diwujudkan melalui politik hukum nasional, merupakan sistem hukum yang
bersumber dan berakar pada berbagai sistem hukum yang digunakan oleh
masyarakat Indonesia. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa hakikat dari politik
hukum nasional adalah kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan harus dilihat
sebagai conditio sine qua non bagi pembangunan hukum nasional, bukan sebagai
condition qum qua non. Apabila menginginkan tatanan hukum nasional sebagai
suatu sistem, maka politik hukum nasional dalam rangka mewujudkan sistem
hukum nasional yang holistik dan komprehensif, tidak hanya meliputi
pembangunan materi hukum, namun juga pembangunan budaya hukum,
pembangunan lembaga dan aparatur hukum termasuk penyempurnaan proses,
prosedur dan mekanisme hukum serta modernisasi sarana dan prasarana hukum.
188
Seluruh komponen dan unsur-unsur sistem hukum nasional sebaiknya
dibangun secara simultan, sinkron dan terpadu. Dengan menggunakan pendekatan
sistemik tersebut akan terwujud sebuah sistem hukum nasional yang holistik dan
komprehensif yang berdasarkan filsafat Pancasila dan jiwa UUD 1945 serta
sekaligus akan terpenuhi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Indonesia
di masa yang akan datang. 171
Terkait dengan bentuk yang mengarahkan politik hukum nasional,
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta mengatakan bahwa politik hukum
nasional itu belum ada atau belum jelas benar, yang telah ada baru politik
pembinaan hukum nasional sebagai suatu sub sistem politik hukum nasional.
Menurut beliau sebaiknya tentang politik hukum nasional yang dimaksud,
disepakati bersama dan demi kepastian, diundangkan dalam bentuk undangundang tetntang ketentuan-ketentuan pokok tentang hukum dan perundangundangan.
Otong Rosadi berpendapat bentuk yang paling cocok untuk mengarahkan
arah politik hukum nasional adalah melalui Ketetapan MPR sebagaimana yang
pernah dipraktekkan sebelum amandemen UUD 1945. Dalam ketetapan MPR
tersebut, dicantumkan arah politik hukum nasional yang terdiri dari politik
pembentukan hukum dan politik penegakan hukum ini, harus dipandang sebagai
satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir
Manan. Idealnya, maka politik hukum nasional itu meliputi landasan, arah,
komponen dan strategi pencapaiannya.
171
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Op. cit, hal. 88-90.
189
Ekonomi Indonesia semakin liberal pada era reformasi di bawah sistem
neoliberalisme yang digerakkan oleh kapitalisme global. Pergeseran ideologi
ekonomi berimplikasi pada politik hukum yang mengakomodasi liberalisasi
investasi, industrialisasi, swastanisasi dan perdagangan. Sebagai subsistem politik
negara, semua undang-undang sektoral agraria mengabdi pada ekonomi politik
agraria yang ekstraktif-eksploitatif.
Pergeseran ideologi ekonomi politik diyakini banyak pihak sebagai faktor
utama komplikasi persoalan agraria di Indonesia. Seperti teori domino, politik
agaria sebagai subsistem politik negara berimplikasi pada politik hukum agaria
sebagai legal policy untuk mencapai tujuan negara. Pelaksanaan legal policy itu
dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat asas,
dasar dan norma dalam bidang agraria dalam garis besar. 172
Tujuan negara kesejahteraan (welfare state) yang diamanatkan Pancasila
(Sila V), Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan negara dan Pasal 33 UUD 1945
jauh dari realisasinya. Akar masalahnya ialah pergeseran ideologi ekonomi dari
sistem Ekonomi Pancasila (kerakyatan) ke sistem ekonomi pasar bebas yang
digerakkan oleh kapitalisme global di bawah rezim GATT/WTO yang kemudian
diikuti AFTA dan APEC. Sebagai subsistem pembangunan nasional, pergeseran
orientasi ekonomi politik (agraria) dari sektor pertanian ke industrialisasi dan
investasi telah melegitimasi dan mendorong eksploitasi secara sistemik dan masif
terhadap sumber daya alam (sektor ekstraktif). Kebijakan keagrariaan diarahkan
untuk mendukung kebijakan makroekonomi (pertumbuhan). Swastanisasi dan
172
Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 368.
190
liberalisasi semakin menjadi mainstream substansi kebijakan agraria. Ekstrimnya,
telah terjadi komoditisasi tanah dan sumber daya alam yang berdampak negatif
bagi perlindungan kepemilikan tanah dan akses masyarakat ke sumber daya
agraria.
Dalam rangka membangun hukum agraria nasional yang komprehensif,
selaras, serasi dan harmonis maka pengaturan ideal yang digunakan menggunakan
paradigma baru dan pendekatan holistik harus dikedepankan. Dalam rangka
menyusun atau membangun hukum agraria yang bersifat nasional dan holistik di
Indonesia, istilah pergeseran atau perubahan paradigma merupakan sesuatu yang
mutlak perlu
untuk dimiliki para pembentuk atau pembuat undang-undang.
Ketetapan MPR RI Nomor IX / MPR / 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, memuat secara implisit tentang pergeseran
paradigma ini.
Ketetapan MPR ini mengaksentuasi empat prinsip dasar, yakni pertanahan
dan sumber daya alam harus berkontribusi secara nyata untuk : 1) meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2)
tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan
pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah; 3) menjamin
keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia
dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang pada
sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah dan 4) menciptakan tatanan kehidupan
bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik agraria
di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan
191
sengketa dan konflik di kemudian hari. Paradigma baru terkait pembangunan
hukum agraria nasional menuju pengaturan yang ideal meliputi 4 (empat)
paradigma.173 Yaitu paradigma populistik, paradigma demokratis, paradigma
menghormati hak asasi manusia dan paradigma ekologis.
Pertama, paradigma populistik. Paradigma sebelumnya yang kapitalistik
harus diubah dengan paradigma yang lebih populistik. Dalam kaitannya dengan
pembentukan hukum agraria nasional, paradigma ini sangat dibutuhkan.
Paradigma yang mendasari semua hukum terkait dengan agraria haruslah
paradigma populistik, cara pandang yang mengedepankan rakyat terlebih dahulu,
bukan para investor atau kelompok orang tertentu. Dalam proses pembentukan
hukum agraria, paradigma kapitalistik harus disingkirkan. Paradigma yang lebih
berorientasi pada para pemodal ini dapat menyebabkan disorientasi pada proses
pembangunan bangsa yang pada dasarnya bertujuan untuk menyejahterahkan
rakyat banyak.
Kedua, paradigma demokratis. Tuntutan reformasi dalam satu dasawarsa
terakhir menunjukkan bagaimana pemerintahan yang agak otoriter di Era Orde
Baru telah bergeser ke paradigma yang lebih demokratis. Berbagai penolakan
rakyat terhadap kebijakan pemerintah di bidang agraria yang berujung pada
konflik di era reformasi ini merupakan bentuk dari berkembangnya paradigma
demokratis. Demokrasi mengharuskan adanya ruang bagi dialog atau komunikasi.
Dalam demokrasi yang paling dibutuhkan adalah dialog yang diskursif. Itu berarti
173
Istilah paradigma diungkapkan secara jelas dan detail oleh Thomas Kuhn. Dia
berpendapat bahwa paradigma merupakan suatu cara pandang terhadap suatu objek. Cara pandang
tersebut boleh jadi hanya bersifat penyempurnaan atau bahkan pergeseran atau penggantian suatu
pandangan secara menyeluruh.
192
sebuah keputusan lahir dari konfrontasi atau dialektika
pemikiran. Terkait
prosedur yang dilakukan dalam pembuatan undang-undang, pemerintah dan DPR
harus menempatkan nilai-nilai demokrasi diatas sikap egoisme diri dan partai.
Dalam kaitan dengan masalah agraria di lapangan, ruang dialog mesti semakin
luas sedangkan ruang kekuasaan yang represif harus dipersempit. Bukan
sebaliknya.
Ketiga, paradigma menghormati hak rakyat. Rakyat Indonesia tidak lagi
menerima cara-cara represif dalam menyelesaikan kasus-kasus agraria yang
terjadi selama ini. Masyarakat Indonesia semakin memahami hak-hak mereka di
bidang politik (kebebasan, keadilan), ekonomi (kesejahteraan) maupun budaya.
Masyarakat juga mengetahui kelemahan-kelemahan sistem dan administrasi
pertanahan Indonesia, kekuatan-kekuatan tersembunyi di belakang mafia tanah,
calo tanah, demonstrasi rekayasa, hingga aparat keamanan yang bersikap represif
dalam menengahi konflik di lapangan. Jika pemerintah tidak mengedepankan hakhak rakyat Indonesia, selama itu pula masalah keagrariaan akan semakin marak
dan kompleks.
Keempat, paradigma ekologis. Pembangunan pada abad ke-20 yang lalu
adalah pola pembangunan
konvensional yang bersifat linear, mengutamakan
kemajuan ekonomi semata-mata. Subjek pembangunan adalah manusia dan
orientasi pembangunan tertuju pada manusia. Pola ini mengabaikan pembangunan
lingkungan dan sosial budaya. Pola pembangunan ini mempunyai tiga kelemahan
pokok yaitu kegagalan pasar, kegagalan institusi dan kegagalan kebijaksanaan.
Selain itu, pembangunan konvensional hanya mengedepankan pembangunan
193
ekonomi yang berjangka pendek, sementara pembangunan sosial dan lingkungan
yang berjangka panjang diabaikan.
Paradigma Baru Hukum Agraria Nasional
Paradigma
Populistik
Demokratis
Menghormati HAM
Ekologis
Nilai-Nilai
Berorientasi pada kepentingan rakyat
Tidak kapitalistik
Melindungi hak-hak rakyat
Tidak otoriter
Tidak represif
Menghargai hak-hak rakyat
Mengedepankan dialog dan keterbukaan
Tidak adanya tekanan
Menghormati hak asasi manusia
Tidak represif
Adanya kepastian hukum
Menghargai kearifan lokal
Tidak menghilangkan lahan pertanian
rakyat
Hingga saat ini begitu banyak persoalan keagrariaan terjadi di Indonesia.
Sebagai salah satu solusi terkait kondisi yang memprihatinkan ini, ditawarkan
kombinasi
empat
pendekatan
sebagai
pendekatan
yang
holistik
dan
komprehensifnd. Keempat pendekatan itu dimaksud ialah pendekatan hukum,
politik, ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pertama, pendekatan hukum. Salah satu paradigma hukum adalah nilai,
oleh karena itu, hukum dapat juga dilihat sebagai sosok nilai. Sebagai perwujudan
nilai, hukum mengandung arti bahwa eksistensinya bertujuan untuk melindungi
dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Eksistensi
hukum sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat, dengan hukum
masyarakat dituntun untuk adil terhadap satu sama lain.
194
Dalam sistem konstitusi Negara Indonesia, cita negara hukum itu menjadi
suatu bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan
Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum
perubahan, ide negara hukum
itu tidak dirumuskan secara eksplisit, dalam
penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide rechtsstaat bukan
machtsstaat. Berkaitan dengan hukum pertanahan Indonesia, objek dari sistem
hukum pertanahan adalah tanah itu sendiri. Atributnya adalah aturan-aturan yang
berkaitan dengan penguasaan atas tanah tersebut atau hak-hak atas tanah.
Lingkungan sistemnya adalah wilayah tempat dimana tanah itu ada. Hubungan
internalnya adalah bagaimana hubungan yang terjalin antara tanah dengan orangorang yang menduduki tanah tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku di
wilayah tanah itu ada. Hukum pertanahan adalah bagian dari hukum positif yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Hukum pertanahan diatur dalam sistem
sehingga hak-hak penguasaan tanah juga diatur dalam sistem.
Kedua, pendekatan politik. Dalam menangani dan menyelesaikan konflik
hak atas tanah, pendekatan hukum cenderung dinilai bersifat mutlak. Artinya
hukum merupakan panglima tertinggi dimana pendekatan lainnya tunduk dibawah
pendekatan hukum. Dengan kata lain, hukum bernilai absolut karena hukum
merupakan perangkat nilai yang paling fair. Namun apakah memang demikian?
Dalam implementasinya selama ini, atas nama efektivitas pendekatan hukum
harus berjalan paralel dengan pendekatan nonhukum. Salah satu pendekatan
nonhukum adalah pendekatan politik.
195
Pendekatan hukum tidak bisa berdiri sendiri, melainkan terkoneksi dengan
beberapa pendekatan non hukum lainnya. Dengan demikian, pendekatanpendekatan yang bersifat holistik (menyeluruh) itu perlu diterapkan dalam tatanan
implementasi (dilakukan secara paralel). Alasannya problematika konflik
pertanahan di Indonesia sangat beragam dan tingkat kompleksitasnya sangat
tinggi.
Hukum dan politik di Indonesia terkait erat satu sama lain. Produk-produk
hukum hanya dihasilkan oleh lembaga politik, yakni DPR. DPR adalah para wakil
rakyat yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum lima tahunan.
Ditangan mereka, produk-produk hukum dapat dicetuskan. Ketika mereka
menyimpang dari tugasnya untuk
mengemban amanat rakyat maka rakyat
memiliki kewajiban menegur
Ketiga, Pendekatan Kesejahteraan (Ekonomi). Tujuan Negara Indonesia
adalah kesejahteraan (welfare state) sebagaimana tertuang dalam dasar negara
Pancasila dan Konstitusi (UUD 1945). Indikator kesejahteraan dapat diukur
melalui ketersediaan dan keterpenuhan kebutuhan-kebutuhan primer, pendidikan,
kesehatan dan rasa aman. Tanpa keadilan maka kesejahteraan yang didamba tidak
akan dicapai. Contoh sederhana terkait dengan keadilan adalah pemberian
kompensasi yang layak kepada rakyat yang tanahnya diambil untuk kepentingan
pembangunan. Pada prinsipnya, pengambilan tanah jangan sampai menjadi proses
pemiskinan rakyat. Demi rakyat , pemerintah harus berpikir keras (bersama pihak
swasta yang menjadi mitra kerjasama) bagaimana menyediakan kompensasi yang
menjamin rakyat pemilik tanah lebih baik daripada sebelumnya.
196
Keempat, Pendekatan Sosial Budaya. Pendekatan ini menempatkan
institusi dan mekanisme sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat sebagai instrumen alternatif penyelesaian sengketa tanah/ konflik
agraria. Di Indonesia, walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling
sering terjadi secara nasional, kejadian sengketa tanah meningkat menjadi 19% di
luar Pulau Jawa. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum formalsudah
sangat menipis. Masyarakat lebih percaya kepada penyelesaian dengan sistem
adat. Cara penyelesaian ini dapat dibenarkan karena hampir 70% tanah di
Indonesia masih dimiliki dengan sistem warisan/adat. Kepemilikan dengan
menggunakan sistem administrasi formal tidak lebih dari 30%. Masyarakat
menyatakan preferensi yang kuat pada penyelesaian sengketa secara informal,
dipilih berdasarkan mediasi dan konsiliasi.
Pendekatan hukum
Pendekatan Kesejahteraan
Pendekatan Politik
Pendekatan Sosial Budaya
Menjamin keadilan bagi rakyat
Semua orang sama di mata di depan
hukum
Penegak hukum yang profesional
Penerapan hukum yang adil dan
transparan
Pancasila dan UUD 1945 sebagai
acuan utama
Menyejahterakan warga
Rakyat mendapat keadilan
Tidak melanggar kesepakatan
Adanya kompensasi yang memadai
Membenahi administrasi pertanahan
Pemerintah adalah pembela rakyat
Menghargai kearifan local
Memakai sarana pengadilan rakyat
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian pembahasan diatas
adaah :
1.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mengatur secara eksplisit
dasar hak bagi swasta untuk menyelenggarakan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum karena merujuk pada konsep Hak Menguasai Negara
serta pemaknaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Pasal 2 UUPA.
Pemaknaan Pasal 33 ayat (3) UUD1945 tersebut secara garis besarnya
adalah: Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
Hak
Menguasai
Negara
merupakan
suatu
konsep
yang
mendasarkan pada pemahaman bahwa negara adalah suatu organisasi
kekuasaan dari seluruh rakyat, sehingga bagi pemilik kekuasaan upaya
mempengaruhi pihak lain menjadi sentral yang dalam hal ini dipegang
oleh negara. Makna dari pemahaman tersebut adalah negara memiliki
kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus
pengawas pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam
nasional.
197
198
2.
Pengaturan hak bagi swasta di dalam dasar pengaturan hak pengadaan
tanah untuk kepentingan umum adalah : diatur sebelumnya dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah
Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
Dengan ketentuan
pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan
proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk
dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat
dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II dan IV Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Penggunaan acara pembebasan
tanah tersebut memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I yang bersangkutan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15
Tahun
1975
tentang
Ketentuan-Ketentuan
Mengenai
Tata
Cara
Pembebasan Tanah pada Bab I menguraikan mengenai ketentuan umum
tentang pembebasan tanah, pada Bab II menguraikan mengenai
pembebasan tanah untuk keperluan pemerintah, dan pada Bab IV
menguraikan mengenai biaya-biaya untuk panitia pembebasan tanah.
5.2 Saran
1. Pemerintah
-
Pemerintah perlu menyusun kebijakan pertanahan bagi swasta yang bersifat
komprehensif sehingga dapat menarik minat swasta untuk melakukan
pembangunan infrastruktur. Diantara
kebijakan tersebut
antara
lain
199
melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Pengadaan tanah dengan
mencatumkan batasan kongkrit bagi swasta dalam penyelenggaraan
pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
-
Perlu diperluas dan dikaji lebih dalam studi dan penelitian tentang pengadaan
tanah untuk kepentingan umum, yang tidak hanya terfokus pada masalah
konflik tanah, mekanisme ganti rugi melainkan juga pada masalah hubungan
agraria pada umumnya. Studi ini akan menemukan nilai-nilai yang hidup,
cara pandang serta paradigma pengadaan tanah. Dengan demikian akan
tergambar bagaimana kaitan kepentingan, motif dan kebutuhan dari berbagai
pihak yang terlibat dalam hubungan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum
200
DAFTAR BACAAN
BUKU
Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan
Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bandung.
Alting, Husein, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang),
Lembaga Penerbitan Universitas Khairun, Ternate.
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta.
Badan Pembangunan Hukum Nasional, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Bidang Pertanahan, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta.
Bakri, Muhammad ,2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru
Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta
Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi
di Indonesia, Alumni, Bandung.
Boeke, JH, 1983, Prakapitalisme Di Asia, Sinar Harapan, Jakarta.
Burhan, Ashsofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Butt, Peter, 1980, Introduction to Land Law, The Law Book Company Limited,
Sydney.
Deliarnov, 2005, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,
Yogyakarta.
E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya.
Gautama, Sudargo, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta.
Gunanegara, 2008, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan, Tata Nusa, Jakarta.
Hamidi, Jazim ,2005, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta.
201
Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan
Undang-Undang
Pokok
Agraria,
Isi
dan
Pelaksanaannnya,
Djambatan,Jakarta.
Husken, Frans, dan Benyamin White, 1989, Java: Social Differentiation, Food
Production and Agrarian Control dalam Gilian Hart dkk: Agrarian
Transformation : Local Process and State in Southeast Asia, University of
California Press, Berkeley-Los Angelos-London.
Hutagalung, Ari Sukanti dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah
Di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta
Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Publishing Malang.
Iskandar Syah, Mudakir, 2010, Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum :
Upaya Hukum Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan
Hak, Jala Permata Aksara, Jakarta.
Jhingan, M.L, 2004, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn:
West Publishing Co, Fifth Edition, 1979).
Kartohadiprodjo, Soediman, 1967, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, PT
Pembangunan, Jakarta.
Kasim, Ifdhal, 1996, Tanah Sebagai Komoditas : Kajian Kritis Atas Kebijakan
Pertanahan Orde Baru, ELSAM, Jakarta.
Latif, H. Abdul dan H. Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Limbong, Bernhard, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi,
Kompensasi Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta.
, 2012, Hukum Agraria Nasional, Pustaka Margareta, Jakarta.
Mahfud MD, Moh., 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Marhaendra, A.A. Oka, 1996, Menguak Masalah Hukum Demokrasi dan
Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta.
202
, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum,
Citra Aditya, Jakarta.
Mubyarto, 1997, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi
Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta.
Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Presisndo,Surabaya.
Mustofa dan Suratman, 2013, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, Sinar
Grafika, Jakarta.
Noer, Fauzi, 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
, 1999, Petani dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Parlindungan, A.P, 1993, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Studi
Perbandingan, Mandar Maju, Bandung.
Pelzer, Karl J, 1991, Sengketa Agraria : Pengusaha Perkebunan Melawan Petani,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Pound, Roscou, 1922, An Introduction To The Philosophy of Law, Yale
University Press, New Heaven.
Praptodihardjo, Singgih, 1953, Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia, Yayasan
Pembangunan, Jakarta.
Purbopranoto, Kuntjoro, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, Bandung.
Rosadi, Otong, dan Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum : Suatu Optik Ilmu
Hukum, Thafa Media, Yogyakarta.
Salindeho, John, 1988, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika,
Jakarta.
203
Santoso, Budi, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan
Model BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Jakarta.
Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenanda,
Jakarta.
Setiawan, Bonnie, 2003, Globalisasi Pertanian : Ancaman Atas Kedaulatan
Bangsa dan Kesejahteraan Petani, The Institute for Global Justice, Jakarta.
Simarmata, Rikardo, 2002, Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah
oleh Negara, INSIST Press, Yogyakarta.
Sitorus, Oloan dan Dayat Limbong, 2004, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, Mitra Kebijakan Pertanahan Indonesia, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2010, Penelitan Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekarno, 1932, Swadeshi dan Massa Aksi dalam Imam Toto K. Rahardjo dan
Herdianto, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari : Kenangan 100 tahun
Bung Karno, Grasindo, Jakarta
Soimin, Soedharyo,2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika,
Jakarta.
Stone, Julius, 1961, The Province and Function of Law As Logic, Justice and
Social Control, A Study In Jurisprudence, New York.
Sudiyat, Iman, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai
Masyarakat Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta.
Sumardjono, Maria S.W, 2009, Tanah Dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial
dan Budaya, Kompas, Jakarta.
, 2009, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas,
Jakarta.
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta.
Sutiyoso, Bambang , 2012, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan
Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press
204
Syahrani, H. Riduan, 2010, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Banjarmasin.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Wahjono, Padmo, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Wiradi, Gunawan, 2000, Reforma Agraria :Perjalanan Yang Belum Berakhir,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
MAJALAH/JURNAL
A. Hamid S. Atamimi, 1996, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan
Persepektifnya Menurut Pancasila dan UUD 1945, Makalah pada Seminar
Dies Natalis Universitas 17 Agustus Jakarta ke 42, diselenggarakan oleh
Universitas 17 Agustus, Jakarta, Tanggal 9 Juli.
Bagir Manan,1999, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, Makalah pada
Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung,
6 April.
Benny Soetrisno, 2000, Peran Swasta Dalam Pembiayaan Infrastruktur Serta
Kendala Keseimbangan Antara Pusat dan Daerah, Makalah pada Seminar
Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ke 50, Semarang,
21 September 2000.
Bapenas, 2011, Sustaining Partnership, Media Informasi Kerjasama Pemerintah
dan Swasta, Mengapa Memilih KPS, Identifikasi dan Seleksi Proyek
Kerjasama, Jakarta.
Herman Soesangobeng, “Tanah dan Hak Ulayat”, Makalah disampaikan dalam
Seminar Pertanahan Balitbang Dep.Keh.HAM, Jakarta, 4 November 2003.
JD. Hal Sulivan, How the Private Sector can work in partnership with the
Government of Indonesia successfully implement infrastructure projects,
Presented at the Legal Climate in Indonesia for BOT Investment, 17 Juni
1996, Jakarta.
Maria S.W Sumardjono, “Telaah Konseptual terhadap Beberapa Aspek Hak
Milik, Sebuah Catatan untuk Makalah Chadijdjah Dalimunte, Konsep
Akademis Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Makalah Dalam
Seminar Nasional Hukum Agraria III Fakultas Hukum Universitas
205
Sumatera Utara-Badan Pertanahan Nasional, Medan 19-20 September,
1990.
Padmo Wahjono, Menelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan,
dalam Majalah Forum Keadilan, No. 29, April 1991.
Soekarno, 1932, Swadeshi dan Massa Aksi dalam Imam Toto K. Rahardjo dan
Herdianto, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari : Kenangam 100 tahun
Bung Karno, Grasindo, Jakarta.
Soekarno, 1959, Amanat pada Sidang Pleno I Dewan Perancang Nasional
(Depernas), 28 Agustus 1959, dalam Iman Toto K. Rahardjo dan
Herdianto WK, 2001, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari, penerbit
Grasindo, Jakarta.
Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional, dalam Majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember
1973.
KARYA ILMIAH
Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Ronald Z. Titahelu,
1993, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam
Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
KAMUS
Tim Pusat Bahasa Indonesia, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,
Jakarta.
W. J. S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)
206
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2324)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22)
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan HakHak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksana Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksana Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang KetentuanKetentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara
Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan
Tanah Oleh Pihak Swasta
Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun
2012 tentang Panduan Umum Pelaksana Kerjasama Pemerintah Dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur
INTERNET
Achmad Rusyaidi, 2012, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara
Kepentingan Umum dan Perlindungan HAM, (Cited : 18 Oktober 2012),
available from URL: http://prpmakasar.wordpress_com
Download