BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia. Diatas tanah manusia mencari nafkah. Diatas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia.1 Secara hakiki, makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan aspek hukum. Tanah bagi masyarakat memiliki makna multidimensional. Dari sisi ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat dan sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.2Aspek tersebut merupakan isu sentral yang terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam pengambilan proses kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan pemerintah.3 Pemikiran tentang penguasaan tanah oleh negara berangkat dari pemahaman atas ketentuan alinea keempat pembukaan UUD 1945 yaitu : 1 Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45. 2 Husein Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), Lembaga Penerbitan Universitas Khairun, Ternate, hal. 6. 3 Adrian Sutedi, loc.cit. 1 2 Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah memiliki tanggungjawab sekaligus tugas utama untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Katakata tumpah darah memiliki makna tanah air. Tanah air Indonesia meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kesemuanya itu ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Negara melalui pemerintah mengupayakan agar kekayaan alam yang ada di Indonesia meliputi yang terkandung di dalamnya adalah dipergunakan utamanya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Penjabaran lebih lanjut lanjut dari kalimat ini dituangkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Hak menguasai negara yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 termuat dalam ayat (2) dan ayat (3). Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Hak menguasai negara merupakan suatu konsep yang mendasarkan pada pemahaman bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat sehingga bagi pemilik kekuasaan, upaya untuk mempengaruhi pihak lain menjadi sentral yang 3 dalam hal ini dipegang oleh negara. Tanah sebagai faktor produksi yang utama harus berada di bawah kekuasaan negara. Tanah dikuasai oleh negara artinya tidak harus dimiliki negara. Negara memiliki hak untuk menguasai tanah melalui fungsi negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Negara berwenang menentukan pengaturan dan penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. Selain itu negara juga berwenang menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa dan menentukan serta mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya. 4 Dalam Pasal 2 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) (selanjutnya disingkat UUPA) disebutkan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA, negara diberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 4 Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, hal. 83. 4 c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Beberapa ahli seperti W.G Vegting dan Gaius berpendapat bahwa negara tidak perlu mempunyai hak milik atas tanah atau hubungan negara dengan tanah adalah bukan hubungan pemilikan sebab hubungan milik adalah kepunyaan perseorangan yang merupakan bagian dari hukum alam.5 Ulpianus beranggapan bahwa benda-benda yang dipergunakan untuk umum yang disebut dengan res publicae adalah milik negara dan pemilikan oleh negara tersebut semu karena negara tidak dapat melarang orang lain untuk mempergunakannya. Vegtig memberi alasan mengapa negara dapat bertindak sebagai pemilik tanah yang dipergunakan bagi kepentingan umum, yaitu : Pertama, adanya hubungan hukum yang khusus antara negara dan tanah-tanah yang masuk kategori res pulicae in publico usu yang merupakan penyimpangan dari res publicae in patrimonio (benda-benda yang menjadi kekayaan masyarakat umum). Kedua, kekuasaan hukum yang dijalankan negara terhadap tanah yang dipergunakan oleh umum, mempunyai isi yang sama dengan kekuasaan hukum yang dilakukan negara terhadap tanah-tanah lain yang digunakan secara tidak terbatas. Isi kekuasaan ini memiliki karakter yang sama dengan kekuasaan milik perseorangan dalam hukum perdata. Ketiga, tanah yang dipergunakan untuk kepentingan dinas umum seperti bangunan perkantoran pemerintah, termasuk res publicae in publico usu sehingga 5 Ronald Z. Titahelu, 1993, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 191. 5 menjadi milik negara. Sifat kepemilikan dari negara adalah tidak mutlak tetapi disebut sebagai pemilikan semu atau quasi proprium. 6 Pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan segala pengaturan yang terkait di Indonesia telah mengalami perkembangan sejak unifikasi7 UUPA. Pencabutan hak atas tanah telah mendapatkan penegasan dalam Pasal 18 UUPA yang menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” Ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah yang tanahnya dicabut, tetapi diikat dengan syarat-syarat yakni pemberian ganti kerugian yang layak. Termasuk hapusnya hak milik itu karena pencabutan hak. Ketentuan Pasal 18 UUPA menggariskan bahwa untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hakhak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak. Pencabutan hak atas tanah merupakan jalan yang terakhir untuk memperoleh tanah dan atau benda-benda lainnya yang diperlukan untuk kepentingan umum. Dalam melakukan pencabutan hak-hak atas tanah tersebut, kepentingan pemilik tanah tetap tidak boleh diabaikan. Selain wewenang yang ada pada pemerintah 6 Ronald Z. Titahelu, Op.cit, hal. 91-110. UUPA telah mengakhiri dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang dengan tegas telah mencabut Agrarische Wet (S. 18750-55), kemudian Domein Verklaring yang tersebut dalam pasal 1 Agrarische Besluit, Domein Verklaring untuk Sumatera, Keresidenan Manado dan Keresidenan Borneo, Koninklijk Besluit dan buku kedua dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 7 6 untuk melakukan pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUPA, harus diberikan jaminan-jaminan bagi pemilik tanah.8 Pada era pemerintahan orde baru terdapat tiga masalah pokok dalam rangka pelaksanaan UUPA. Tiga pokok permasalahan tersebut adalah pembuatan peraturan pelaksanaan, penyesuaian kembali beberapa materi peraturan perundang-undangan tertentu di bidang agraria dan pelaksanaan proses pembebasan tanah. Pada masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas tanah dan volume pengambilan tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena kriteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan hak belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang proporsional. Pada tahun 1973 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan HakHak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada diatasnya, yang berisi pedoman jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Secara material Inpres tersebut dapat dipakai tetapi secara formal, seharusnya materi yang begitu penting tidak hanya diatur dalam sebuah Inpres yang biasanya bersifat teknis dan einmalig. Materi Inpres itu seharusnya diatur dengan undang-undang karena menyangkut hak rakyat banyak. Pemberian bentuk Inpres atas kriteria kepentingan umum lebih merupakan tindakan pragmatis pemerintah dalam melancarkan program-programnya.9 Menurut Moh. Mahfud MD ada kecendrungan untuk keperluan pragmatis pada era orde baru ini dibuat beberapa peraturan perundangan agraria secara 8 Adrian Sutedi, Op. cit, hal. 89. Winahyu Erwiningsih, Op. cit, hal 175. 9 7 parsial dengan watak yang konservatif.10 Kecendrungan ini terlihat misalnya dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-Pedoman Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Kedua peraturan perundangundangan ini jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk dituangkan dalam bentuk undang-undang. Tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah untuk melahirkannya hanya dalam bentuk Peraturan Menteri dan Instruksi Presiden. Kedua bentuk peraturan perundang-undangan tersebut jelas sangat tidak partisipatif karena secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dan dengan sendirinya tidak aspiratif karena tidak membuka saluran secara wajar bagi masuknya aspirasi masyarakat. 11 Pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah tidak hanya dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan berbagai proyek pemerintah, namun juga diperuntukkan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta tetapi pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk dan cara yang berbeda. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau proyek fasilitas umum seperti kantor pemerintah, jalan raya, pelabuhan laut, pelabuhan udara dan sebagainya. Adapun tujuan pembebasan dilakukan oleh 10 Produk hukum yang konservatif lebih didominasi oleh lembaga-lembaga negara terutama pihak eksekutif (sentralistis) dan lebih mencerminkan kehendak atau memberikan justtifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah. Hukum konservatif biasanya memuat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagai peraturan pelaksana (interpretatif). 11 Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 354. 8 pihak swasta dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum yang bersifat komersial misalnya : pembangunan perumahan/real estate, pusat pusat perbelanjaan/shopping centre, pembangunan jalan bebas hambatan, dan lainlain.12 Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280), patut disimak pula mengenai jenis kepentingan umum. Adapun ketentuan tersebut menyatakan sebagai berikut : Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan : a. Pertahanan dan keamanan nasional; b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. Infrastruktur, minyak, gas dan panas bumi; f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik; g. Jaringan telekominikasi dan informatika pemerintah; h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. Fasilitas keselamatan umum; k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. Cagar alam dan cagar budaya; n. Kantor pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; p. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; q. Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. Pasar umum dan lapangan parkir umum. 12 Adrian Sutedi, Op.cit, hal.46. 9 Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum : “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.” Terdapat pendapat keliru, bahwa dengan liberalisasi sistem perdagangan maka untuk mengundang investor asing perlu dirombak peraturan-peraturan hukum tanah nasional yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara lain, tanpa memperhatikan sistem yang berlaku dan konsep yang mendasarinya. Perombakan yang demikian dapat diistilahkan “change for the sake of change” atau mengubah “asal-asalan”. Hendaknya dipahami bahwa perbedaan yang ada tidak dimaksudkan untuk menghambat tetapi bahwa pengembangan prinsip-prinsip hukum tanah dalam rangka menjawab kebutuhan tersedianya perangkat hukum tertentu harus didasarkan pada kerangka konsep yang ada.13 Dalam praktiknya dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan kepentingan komersial dan bukan komersial atau bukan sosial.14 Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, 13 Maria S.W Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W Sumardjono I), hal. 22. 14 Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi, Kompensasi Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Bernhard Limbong I), hal. 129. 10 baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.15 Secara normatif, pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah menyangkut dua sisi dimensi harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah.16 Tanah merupakan hal penting dalam kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum, dalam pelaksanaan dan penyelesaian pertanahan, khususnya pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum. 17 Pembebasan lahan merupakan sebuah permasalahan global dan kompleks, karena itu sistem administrasi tanah harus mampu mengelola pembebasan lahan untuk pembangunan yang penting, pengembangan sektor swasta dan perubahan penggunaan lahan dalam merespon tuntutan sosial dan ekonomi. Ditinjau dari persepektif sempit, pembebasan tanah membentuk persimpangan proses yang efektif yang mengelola pasar tanah, mencatat hak penggunaan tanah dan mengimplementasikan perencanaan penggunaan lahan. Pembebasan tanah 15 Ibid, hal. 131. Ibid. 17 Fauzi Noer, 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Fauzi Noer I), hal. 7. 16 11 merupakan isu lintas sektor yang kompleks-suatu masalah yang didekati di setiap negara, tentu saja dalam setiap yurisdiksi lokal, sesuai dengan proses yang diambil dari berbagai fungsi administrasi pertanahan, dan sering dari persepektif sejarah. Negara – negara berkembang kurang mengekspresikan dengan jelas teori yang mendukung kekuasaan negara untuk memperoleh tanah. Titik awal di negara berkembang ini, terletak pada bingkai kerangka konstitusional yang jelas dan komprehensif dan hukum yang membentuk dasar untuk mengambil tanah. Idealnya dalam pengambilan tanah harus menggabungkan standar hak asasi manusia untuk pemukiman kembali, tingkat kompensasi yang memadai dan yang mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat.18 Pembebasan tanah tidak hanya dilakukan untuk sektor publik tetapi juga sektor swasta. Asal manajemen perubahan spasial dan pelaksanaan struktur fisik memastikan penggunaan tanah tersebut untuk tujuan yang tepat. Sektor publik biasanya hanya memiliki sumber daya yang memadai untuk melaksanakan seluruh kegiatan yang diperlukan sedangkan sektor swasta mungkin perlu inisiatif tambahan dan daya dukung resiko. Investasi sektor swasta membutuhkan kapasitas dan prosedur untuk mencapai hasil yang diinginkan, termasuk margin keuntungan yang harus ditetapkan melalui undang-undang. Sebuah strategi kunci bagi sektor publik adalah menyediakan infrastruktur lokal dan pelayanan publik yang relevan, khususnya fasilitas kesehatan dan pendidikan. Selain itu, mendorong individu dan perusahaan swasta untuk menempatkan dirinya di daerah yang sesuai dengan 18 Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 249. 12 rencana penggunaan lahan yang mencerminkan kebutuhan dari masyarakat yang lebih luas dan berkembang. 19 Contoh kasus pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diselenggarakan oleh badan usaha swasta : perkara pencabutan hak atas tanah untuk pembangunan proyek Pulomas. Didorong oleh orientasi dasar dalam kebijakan pertanahan mengenai penyediaan lahan untuk perumahan, diambil kebijakan penyediaan lahan untuk proyek Perumahan Pulomas. Kebijakan ini merangsang pemerintah menguasai sebanyak mungkin untuk kepentingan pembangunan perumahan ke daerah lain. Untuk kelancaran pembangunan perumahan di Pulomas, Pemerintah DKI Jakarta menempuh kebijakan yaitu dengan membentuk yayasan Perumahan Pulomas dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya No IX/3/14/64 tanggal 24 Agustus 1964. Yayasan perumahan Pulomas juga ditugaskan untuk menyediakan tanah di Pulomas. Yayasan perumahan Pulomas adalah suatu badan hukum biasa yang tunduk pada hukum perdata umum sebagai swasta oleh karena itu kepentingannya tidak dapat disamakan begitu saja dengan kepentingan negara, atau kepentingan umum, karena bagaimanapun juga modal dasar yayasan adalah harta kekayaan yang sudah dipindahkan/dipisahkan. Jadi sekalipun modal itu berasal dari Pemda DKI Jakarta, namun ia sudah terpisah dan berdiri sendiri sehingga modal itu tidak dapat dikatakan atau dipandang berstatus modal negara. Dengan demikian yayasan perumahan Pulomas berdiri sendiri, sebagai badan hukum, tidaklah dapat 19 Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 250. 13 diberikan begitu saja wewenang penguasaan kepada yayasan Perumahan Pulomas. 20 . Semakin terbukanya negara Indonesia bagi pelaku bisnis asing yang menambah maraknya percaturan permaanfataan tanah, hendaknya tidak semakin mempertajam polarisasi antara kelompok yang kuat dengan kelompok yang lemah dalam penguasaan tanah. Dalam berbagai kegiatan ekonomi tampil tiga pelaku di dalamnya, yakni negara/pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Masingmasing mempunyai posisi tawar-menawar yang berbeda karena perbedaan di dalam akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan tanah yang terbatas.21 Tanah dan pembangunan merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Secara sederhana dikatakan bahwa tidak ada pembangunan tanpa tanah. Pembangunan selalu membutuhkan tapak untuk perwujudan proyekproyek, baik yang dijalankan oleh instansi dan perusahaan milik pemerintah sendiri, maupun perusahaan milik swasta. Hubungan pembangunan dan tanah bukan hanya melingkupi aspek ekonomi namun juga politik. Sebagai alas hidup manusia, tanah dengan sendiri menempatkan posisi yang vital, atas pertimbangan karakternya yang unik sebagai benda yang tak tergantikan, tidak dapat dipindahkan dan tidak dapat direproduksi.22 20 Adrian Sutedi, Op. cit, hal. 317. Maria S.W Sumardjono I, Op.cit, hal. 23. 22 Winahyu Erwiningsih, Op. cit, hal. 270. 21 14 Faktor-faktor yang menyebabkan hambatan bagi penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta antara lain: 1. Faktor Politik Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara pemerintah dengan rakyat bermuara pada makin meningkatnya sengketa pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah dan swasta. Sejarah membuktikan bahwa pemerintah mempunyai orientasi politik tersendiri yang terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat. Siapa menguasai sumbersumber agraria, dia menguasai ekonomi. Siapa menguasai ekonomi, pada gilirannya dia menguasai percaturan politik. Jabaran praktisnya secara sederhana adalah bahwa sikap politik adalah sikap keberpihakan. Berpihak kepada kepentingan rakyat atau kepentingan-kepentingan lain. Masalah pengadaan tanah di Indonesia merupakan persoalan yang cukup pelik. Hal ini karena masalah pengadaan tanah lebih dilihat sebagai kesepakatan politik daripada kebenaran ilmiah, yang menyangkut lintas departemen. Pembaharuan masalah pengadaan tanah adalah masalah ideologi pembangunan. Disadari atau tidak, gagasan bertarung itu mencerminkan keberpihakannya masing-masing kepentingan pihakpihak yang berkuasa. Sebagai salah satu arena pertarungan, tentu ada yang menang ada yang kalah atau terjadi suatu kedudukan seri yang akhirnya melahirkan sikap kompromi. 15 2. Faktor Sosial Budaya Suatu ketika tanah menjadi bagian dari benda warisan atau harta perusahaan bahkan tanah di banyak tempat menjadi benda yang keramat. Menurut hukum adat manusia dengan tanahnya mempunyai hubungan yang kosmis-magisreligius selain hubungan hukum. Hubungan ini bukan saja antara individu dan tanah, tetapi dapat juga antar sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat (rechtsgemeentschap) dalam hubungannya dengan hak ulayat.23 Hak milik perseorangan dalam tradisi sosial diakui dalam perundangundangan dan memperoleh tempat dalam fungsinya yang bersifat sosial. Walaupun UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa pemilikan secara perseorangan adalah sah, namun jelas memberi ruang luas kepada warga negara untuk secara perseorangan menghaki barang-barang yang diperlukan untuk mempertahankan martabat kemanusiaannya, mengembangkan pribadi dan bakatnya dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sumber hak milik itu adalah hak ulayat yang menurut hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia, artinya hak bersama atau hak masyarakat. Pemahaman ini hak milik perseorangan dilekati fungsi sosial, yang artinya tanah milik perseorangan bukan saja dipergunakan tanpa merugikan orang lain, justru harus diletakkan dalam rangka pemanfaatan untuk kesejahteraan umum.24Ada kecendrungan terdesaknya hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal terhadap sumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya (lebensraum), baik karena diambil alih secara formal oleh pihak lain (dengan atau tanpa kerugian yang memadai) atau karena tidak diakuinya 23 Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal.252. Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal. 249. 24 16 (secara langsung atau tidak langsung), hak-hak masyarakat adat/masyarakat lokal atas sumber daya alam termasuk tanah oleh negara.25 Pendekatan ini menempatkan institusi dan mekanisme sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai instrumen alternatif penyelesaian sengketa tanah. Penggunaan norma-norma hukum adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis harus tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Dalam pandangan rakyat, tanah bukan saja sekedar permukaan bumi, tetapi juga merupakan bagian yang menyeluruh dari kehidupannya. Sengketa perdata adat mengenai tanah seringkali tidak mudah diselesaikan apalagi jika tidak dipahami benar tradisi pada masyarakat setempat. 3. Faktor Hukum Dilihat pergeseran paradigma baru dari era Orde Baru, tanah memiliki pergeseran nilai, yaitu dari tanah yang dikelola bersama (sosial) berubah menjadi skema pasar dalam era reformasi ini. Pendekatan sebelumnya yang kapitalistik harus diubah dengan pendekatan yang lebih populistik. Reformasi agraria (Land Reform) adalah contoh nyata paradigma populistik yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak. Contoh lain adalah penolakan sejumlah pihak terhadap pasal yang bernuansa kapitalistik dalam RUU Pengadaan Tanah yang kini menjadi Undang-Undang adalah bukti telah terjadi perubahan paradigma. Misalnya yang termuat dalam draft RUU Pengadaan Tanah dalam Pasal 4 disebutkan bahwa : Pengadaan lahan untuk kepentingan pembangunan. Pengadaan lahan untuk kepentingan pembangunan meliputi : pengadaan tanah untuk 25 Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal. 255. 17 kepentingan umum dan pengadaaan tanah untuk kepentingan swasta. Dalam draft RUU tersebut menunjukkan definisi kepentingan pembangunan yang mengerucut pada dua hal, yaitu : kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta. Kepentingan umum mewakili public purposes sementara kepentingan usaha swasta mewakili private purposes. Pertanyaan dasar adalah apakah private purposes diberikan kedudukan urgensi yang sama sebagaimana terjadi pada public purposes. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum disebutkan: “Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b sampai dengan huruf r wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta”. Membaca undang-undang merupakan proses berpikir yang cenderung reaktif karena mendasarkan penilaian lebih pada apa yang tersurat atau bersifat harafiah semata, sedangkan memahami undang-undang merupakan proses berpikir reflektif yang menunjukkan upaya untuk tidak sekadar berhenti pada halhal yang bersifat harafiah semata, namun berusaha menemukan makna yang tersirat yang justru tidak tampak dari bunyi pasal tersebut.26 Tidak mudah untuk membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar bunyi kata-kata saja, tetapi harus mencari arti, makna atau tujuannya. Membaca undang-undang tidak cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi harus dibaca penjelasan dan konsiderannya. Jika hukum dikatakan sebagai suatu sistem, 26 Maria S.W Sumardjono, 2009, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W Sumardjono II), hal. 190. 18 maka untuk memahami suatu pasal dalam undang-undang sering harus dibaca pasal-pasal lain dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lain.27 Undang-undang sebagaimana kaidah pada umumnya, berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan atau ditegakkan. Undang-Undang harus diketahui oleh umum, tersebar luas dan harus jelas. Kejelasan undang-undang sangatlah penting. Setiap undang-undang selalu dilengkapi dengan penjelasan yang dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara. Sekalipun nama dan maksudnya sebagai penjelasan, namun seringkali terjadi penjelasan tersebut tidak juga memberi kejelasan, karena hanya dinyatakan cukup jelas, padahal teks undang-undang tidak jelas dan memerlukan penjelasan. 28 Ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak, tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa kongkret, oleh karena itu ketentuan undang-undang harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan disesuaikan dengan peristiwanya untuk diterapkan pada peristiwanya itu. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa kongkretnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.29 Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas, tidak lengkap, bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, dan hal itu menimbulkan ruang kosong maka harus diisi dengan menemukan hukumnya yang dilakukan dengan cara menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya. 27 Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Jakarta, hal. 50. 28 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Jakarta, hal. 12. 29 Ibid. 19 Upaya untuk memahami Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tidak terdapat penjelasan yang memadai, lengkap dan tuntas mengenai maksud pasal ini. Ketiadaan penjelasan yang detail menyebabkan maksud-maksud tersembunyi di balik pasal dibenarkan. Ketiadaan penjelasan yang tuntas menguatkan dugaan mengenai besarnya kepentingan modal di balik undangundang ini. Sehingga pengaturan mengenai pernormaan sebagai penyebab hambatan penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dapat dianalisa bahwa Pasal 12 ayat (1) tersebut tidak secara eksplisit memberikan dasar hak bagi swasta untuk menyelenggarakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Disini terjadi kekosongan hukum, oleh karena itu penulis tertarik untuk membuat sebuah karya tulis yang berjudul : “Pengaturan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum oleh Badan Usaha Swasta”. Dalam penelitian ini, peneliti telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang pertanahan. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain: a. Penelitian dari I Dewa Gede Putra Joni Dharmawan K. SH, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2007, dengan judul: “Pelaksanaan Pengadaan Tanah Asal Hak Milik Adat Untuk Kepentingan Umum Di Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung Propinsi Bali (Studi Kasus Pembuatan Jalan By Pass Tohpati-Kusamba)”. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah : 20 1. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah hak milik adat (Pura) untuk kepentingan umum di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali? 2. Apakah faktor pendukung dan faktor penghambat pengadaan tanah hak milik adat (Pura) untuk kepentingan umum guna pembuatan jalan By Pass Tohpati-Kusamba di Kabupaten Klungkung? 3. Bagaimanakah penyelesaian pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah hak milik adat (Pura) untuk kepentingan umum? b. Penelitian dari Tri Andari Dahlan. SH, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2007, dengan judul: “Pelaksanaan Pengadaan Tanah Guna Proyek Pembangunan Waduk Jatibarang di Kota Semarang.” Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini : 1. Bagaimana pelaksanaan pengadaan tanah guna proyek pembangunan Waduk Jatibarang di Kota Semarang? 2. Apakah dampak dari pelaksanaan pengadaan tanah bagi pemilik tanah yang terkena proyek pembangunan Waduk Jatibarang di Kota Semarang? 3. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengadaan tanah guna proyek pembangunan Waduk Jatibarang di Kota Semarang tersebut dan bagaimana cara mengatasinya? 21 c. Penelitian dari Sonny Djoko Marlijanto SH, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2010, dengan judul: “Konsinyasi Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang-Solo di Kabupaten Semarang). Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini: 1. Bagaimana mekanisme konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang – Solo di Kabupaten Semarang? 2. Hambatan-hambatan apa yang timbul dalam mekanisme ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang –Solo di Kabupaten Semarang? 3. Bagaimana proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang – Solo di Kabupaten Semarang serta pengaruhnya terhadap pemilik hak atas tanah yang terkena proyek tersebut? Dari uraian penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, sehingga tingkat originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diuraikan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Mengapa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mengatur 22 secara eksplisit dasar hak bagi swasta untuk menyelenggarakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum? 2. Bagaimanakah pengaturan hak bagi swasta dalam menyelenggarakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum? 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Agraria, yaitu mengenai pengaturan penyelenggaraan tanah untuk kepentingan umum khususnya terkait dengan badan usaha swasta. 1.3.2 Tujuan khusus Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik diharapkan mampu: 1. Untuk mengetahui dan menganalisa latar belakang serta tujuan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mencantumkan secara eksplisit dasar kewenangan bagi swasta untuk menyelenggarakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 2. Untuk mengetahui secara komprehensif mengenai pengaturan dasar hak pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 1.4 Manfaat Penulisan Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. 23 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum Agraria, terutama mengenai permasalahan aspek pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat praktis yaitu memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. 1. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria, serta dapat dipakai sebagai acuan dalam menentukan peranan badan usaha swasta dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 2. Bagi instansi pertanahan, dapat dipakai sebagai bahan evaluasi dan lebih memperjelas yang menjadi dasar-dasar ketentuan tentang pengaturan penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. 3. Bagi peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang hukum agraria khususnya mengenai penyelenggaraan pembangunan untuk kepentingan umum pengadaan tanah bagi 24 1.5 Landasan Teoritis 1. Konsep Negara Kesejahteraan Industri dan bisnis memerlukan tingkat rasionalitas yang tinggi. Konsekuensinya hukum harus didasarkan atas prinsip rasional. Aturan hukum menetapkan batas-batas tindakan individu dalam hidup bermasyarakat. Hukum dalam hal ini ditujukan untuk memobilisasi dan mengalokasikan sumber-sumber daya alam yang diperlukan dalam ekonomi pasar.30 Negara kesejahteraan lahir akibat adanya the great depression pada tahun 1929 yang melanda negara-negara Barat yang menganut laissez faire. Pada tahun 1930an muncul seorang ekonom Inggris, John Maynard Keynes yang menganjurkan bahwa pemerintah dapat mencampuri kegiatan ekonomi apabila diperlukan dengan tujuan menyejahterahkan rakyat. Hukum dalam perkembangan ekonomi saat itu, digunakan sebagai suatu instrument intervensi pemerintah dalam mencapai tujuannya. Hal itu merupakan jawaban terhadap kebutuhan regulasi ekonomi dan aktivitas sosial karena adanya ketimpangan dalam hidup bermasyarakat. Hukum secara langsung mengatur tingkah laku dalam hidup bermasyarakat dan bukan memberi kebebasan kepada individu. Seiring dengan perubahan bentuk kehidupan bernegara tersebut, tujuan hukum bukan lagi memobilisasi dan mengalokasikan sumber-sumber daya alam, melainkan diserahkan kepada pemerintah untuk apa itu hukum dalam kerangka negara kesejahteraan.31 30 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), hal. 135. 31 Ibid. 25 Di Inggris, welfare state dipahami sebagai alternatif terhadap The Poor Law yang kerap menimbulkan stigma karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin.32 Berbeda dengan sistem dalam The Poor Law, kesejahteraan negara difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship) disatu pihak, dan di pihak lain kewajiban negara (state obligation). Kesejahteraan negara ditujukan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk, orangtua, dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin. Welfare state berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga negara secara adil dan berkelanjutan. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial, baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial maupun jaring pengaman sosial (social safety nets). Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith, ide dasar negara kesejahteraan bermula dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah utility (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan 32 Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 75. 26 atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi, dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial.33 Pencetus teori welfare state yaitu R. Kranenburg, menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan menyejahterahkan golongan tertentu, namun seluruh rakyat. Sangat ceroboh jika pembangunan ekonomi dinafikan dan pertumbuhan ekonomi hanya dipandang dan dikonsentrasikan pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah indikator yang sesungguhnya. Unsur dan karakteristik negara kesejahteraan menurut pendapat De Haan sebagai berikut : 1. 2. 3. 33 Undang-undang dasar memberikan perlindungan sosial secara khusus yang menjadi sumber hukum dari semua peraturan perundang-undangan dalam urusan sosial. Menciptakan kewajiban bagi pemerintah untuk berusaha mengadakan segala kebutuhan rakyat dalam berbagai hal yang benar-benar nyata sesuai dengan yang dicita-citakan dalam undangundang dasar. Undang-undang harus membangkitkan jaminan pengadaan sosial yang baru yang lebih mendorong pemberdayaan hak-hak rakyat. Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 76, dikutip dari Judith Bessant et.al. 2006, Talking Policy : How Social Policy in Made, Allen and Unwin, Crows Nest. 27 4. Dalam berbagai hal yang tidak bertentangan Undang-Undang Dasar terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan parlemen. 34 Merujuk pada rumusan tujuan negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 khususnya pada redaksi “memajukan kesejahteraan umum” terdapat pendapat bahwa Indonesia menganut paham negara kesejahteraan, seperti Azhary dan Hamid S. Atamimi. Azhary mengatakan bahwa negara yang ingin dibentuk oleh bangsa Indonesia ialah negara kesejahteraan.35 Pada bagian lain, dikatakan oleh Azhary kalau di Barat negara kesejahteraan baru dikenal sekitar tahun 1960, maka bangsa Indonesia sudah merumuskannya pada tahun 1945 oleh Soepomo Bapak Konstitusi di Indonesia.36 Pada saat perumusan UUD 1945, dikatakan oleh Yamin bahwa negara yang akan dibentuk itu hanya semata-mata untuk seluruh rakyat untuk kepentingan seluruh bangsa yang akan berdiri kuat dalam negara yang menjadi kepunyaannya. Kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia merdeka ialah pada ringkasnya keadilan masyarakat atau keadilan sosial.37 Menurut Hamid S.Attamimi bahwa negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat. Rechtsstaat Indonesia itu ialah Rechtsstaat yang memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 34 Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal. 15, dikutip dari De Haan P. et.al. 1986, Bestuurecht In De Sociale Rechtsstaat, Deel I Ontwikling Organisatie, Instrumentarium, Kluwer-Deventer, hal. 17. 35 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, hal. 116. 36 Ibid, hal. 145. 37 Ibid, hal. 69. 28 Rechsstaat itu ialah Rechtsstaat yang materiil, yang sosial, yang oleh Bung Hatta disebut Negara Pengurus, suatu terjemahan Verzorgingsstaat.38 Salah satu karakteristik teori negara kesejahteraan adalah kewajiban pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum atau bestuurzorg. Menurut E. Uttrecht adanya bestuurzorg ini menjadi suatu tanda yang menyatakan adanya suatu welfare state.39 Bagir Manan menyebutkan bahwa dimensi sosial ekonomi dari negara berdasar atas hukum adalah berupa kewajiban negara atau pemerintah untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan sosial (kesejahteraan umum) dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dimensi ini secara spesifik melahirkan paham negara kesejahteraan.40 Jika adanya kewajiban pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum itu merupakan ciri negara kesejahteraan maka negara Indonesia tergolong sebagai negara kesejahteraan, karena tugas pemerintah tidaklah semata-mata hanya di bidang pemerintahan saja, melainkan harus juga melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara, yang dijalankan melalui pembangunan nasional.41 2. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum Dalam asas penyelenggaraan kepentingan umum, mengkehendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan 38 A. Hamid S. Atamimi, 1996, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan Persepektifnya Menurut Pancasila dan UUD 1945, Makalah pada Seminar Dies Natalis Universitas 17 Agustus Jakarta ke 42, diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus, Jakarta, Tanggal 9 Juli, hal. 6. 39 E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 11. 40 Bagir Manan,1999, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, Makalah pada Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 6 April, hal. 2. 41 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 2-3. 29 umum, yakni kepentingan dan mencakup aspek kehidupan orang banyak. Asas ini merupakan konsekuensi dianutnya konsep negara hukum modern (welfare state), yang menempatkan pemerintah selaku pihak yang bertanggungjawab untuk meweujudkan bestuurzorg (kesejahteraan umum) warganegaranya. Pada dasarnya pemerintah dalam menjalankan berbagai kegiatan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (asas legalitas), tetapi karena ada kelemahan dan kekurangan asas legalitas, pemerintah dapat bertindak atas dasar kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Penyelenggaraan kepentingan umum dapat berwujud hal-hal sebagai berikut : 42 1. Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai negara. Contoh : tugas pertahanan dan keamanan. 2. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama dari warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negaranya sendiri. Contoh : persediaan sandang pangan, perumahan, kesejahteraan dan lain-lain. 3. Memelihara kepentingan bersama yang tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh para warga negaranya sendiri, dalam bentuk bantuan negara. Contoh : pendidikan dan pengajaran, kesehatan dan lain-lain. 4. Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan yang tidak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan negara. Adakalanya negara memelihara seluruh kepentingan perseorangan tersebut. Contoh : pemeliharaan fakir miskin, anak yatim, anak cacat dan lain-lain. 5. Memelihara ketertiban, keamanan dan kemakmuran setempat. Contoh : peraturan lalu lintas, pembangunan, perumahan dan lainlain. Dengan demikian tujuan/tugas pemerintah meliputi keseluruhan tindakan, perbuatan dan keputusan dari alat-alat pemerintahan untuk mencapai tujuan pemerintahan yaitu bukan saja tercapainya suatu ketertiban didalam masyarakat 42 Kuntjoro Purbopranoto, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, hal. 39-40. 30 akan tetapi juga tercapainya tujuan nasional atau kepentingan bersama/umum. Perumusan tujuan pemerintah dapat dilihat dalam alinea IV Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :“….Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia….” 3. Konsep Kepentingan Umum John Salindeho telah merumuskan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan Hankamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara.43 Menurut ketentuan hukum yang berlaku, berkenaan dengan pencabutan hak atas tanah maka untuk pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum harus dipenuhi adanya beberapa persyaratan. Pertama, pencabutan hak hanya dapat dilakukan bilamana kepentingan umum harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. Termasuk dalam pengertian umum ini adalah kepentingan bangsa, negara, kepentingan bersama dari rakyat serta kepentingan pembangunan. Kedua, pencabutan hak hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang. Untuk keperluan itu telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan berbagai peraturan pelaksanaannya guna mengatur acara pencabutan hak atas tanah . Ketiga, pencabutan hak atas 43 40. John Salindeho, 1988, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 31 tanah harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Pemilik tanah berhak atas pembayaran sejumlah ganti kerugian yang layak berdasar atas harga yang pantas. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 196 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (Lembaran Negara Nomor 288 Tahun 1961 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324 Tahun 1961) menjadi pembatas terhadap penguasa sesuai dengan prinsip negara hukum, jika ingin mencabut hak milik atas tanah/mengambil tanah warga masyarakat, haruslah melalui prosedur hukum. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-Pedoman Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya menyebutkan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum, yakni : (1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut : a. kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau b. kepentingan masyarakat luas dan/atau, c. kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau, d. kepentingan pembangunan. (2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi bidang-bidang : a. pertahanan, b. pekerjaan umum, c. perlengkapan umum d. jasa umum, e. keagamaan, f. ilmu pengetahuan dan seni budaya, g. kesehatan, h. olahraga, i. keselamatan umum terhadap bencana alam, j. kesejahteraan sosial, k. makam/kuburan, l. pariwisata dan rekreasi, m. usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum. 32 Kepentingan umum telah lama dijadikan suatu doktrin sebagaimana yang dikemukakan oleh Michael G. Kitay, yang di berbagai negara diekspresikan dengan 2 (dua) cara. Pertama, Pedoman umum (General Guide) Di sini negara hanya menyatakan bahwa pengadaan tanah dibutuhkan untuk kepentingan umum (public purpose). Istilah public purpose bisa saja berubah, misalnya public menjadi social, general, common atau collective. Sementara purpose diganti menjadi need, necessity, interest, function, utility atau use. Negara yang menggunakan pedoman umum ini biasanya tidak secara eksplisit mencantumkan dalam peraturan perundang-undangan tentang bidang kegiatan apakah yang disebut sebagai kepentingan umum. Kedua, Ketentuan-Ketentuan Daftar (List Provisions). Daftar ini secara eksplisit mengidentifikasikan kepentingan itu. Misalnya sekolah, jalan, bangunan pemerintah dan semacamnya. Kepentingan yang tidak tercantum dalam daftar tidak bisa dijadikan sebagai dasar pengadaan tanah. Kerap kali kedua pendekatan diatas dikombinasikan dalam rencana pengadaan tanah. Menurut Maria S.W Sumardjono, konsep kepentingan umum selain harus memenuhi peruntukannya juga harus dapat dirasakan kemanfaatannya. Agar unsur kemanfaatan ini dapat dipenuhi, artinya dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan/atau secara langsung untuk penentuan suatu kegiatan seyogyanya melalui penelitian terpadu.44 Oloan Sitorus juga menambahkan bahwa selain peruntukannya dan kemanfaatannya maka harus ada siapakah yang dapat 44 Maria S.W Sumardjono, “Telaah Konseptutual terhadap Beberapa Aspek Hak Milik, Sebuah Catatan untuk Makalah Chadijdjah Dalimunte, Konsep Akademis Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Makalah Dalam Seminar Nasional Hukum Agraria III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara-Badan Pertanahan Nasional, Medan 19-20 September, 1990, hal. 13. 33 melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum dan sifat dari pembangunan kepentingan umum tersebut, hal tersebut tetap memberikan kemungkinan dimanipulasikannya untuk kepentingan umum. 45 Prinsip-prinsip hukum dalam pencabutan hak atas tanah pada hakikatnya mengejar keadilan dalam penerapan undang-undang. Dalam praktiknya dalam pencabutan hak atas tanah banyak ditemui kasus yang saling bertentangan dalam menanggapi ada atau tidaknya asas keadilan. Tidak berlebihan jika di dalam pencabutan hak, pemerintah telah melakukan perbuatan yang menyangkut jauh ke dalam terhadap hak-hak asasi kemanusiaan, yaitu terhadap harta milik warga masyarakat yang seharusnya mendapat perlindungan. Disini timbul dua kepentingan yang saling bertentangan. Disatu pihak penguasa dengan wewenang hak istimewanya, berdasarkan kekuatan undang-undang yang mangatur demi kepentingan umum hendak memaksakan kehendaknya. Dilain pihak dihadapkan pada kepentingan individu masyarakat dengan gigih mempertahankan status hak miliknya. Di dalam negara hukum yang modern, pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan negara tertinggi selalu berwenang untuk melakukan tindakan yang menyangkut kepentingan pribdi warga masyarakat jika kepentingan umum mengkehendakinya. Dalam melakukan perbuatan pemerintahan tersebut, administrasi sejauh mungkin menghindarkan diri dari tindakan kesewenangwenagan, sebab dalam negara hukum yang demokratis dijunjung adanya asas legalitas dan asas perlindungan hukum 45 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Pertanahan Indonesia, Yogyakarta, hal. 7. 34 4. Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi berkaitan erat dengan kekayaan manusia, sikap sosial, kondisi politik dan latar belakang sejarah. Kondisi politik, psikologi, sosial dan budaya merupakan syarat yang sama pentingnya dengan kondisi ekonomi. Pembangunan bukan sekadar masalah memiliki sejumlah besar uang atau sematamata fenomena ekonomi. Pembangunan ekonomi mencakup semua aspek perilaku masyarakat, penegakan hukum dan ketertiban, kecermatan dalam hubungan bisnis, termasuk hubungan dengan instansi yang berkaitan dengan penerimaan negara.46 Adam Smith adalah ahli ekonomi klasik yang dianggap paling terkemuka. Karyanya yang sangat terkenal adalah sebuah buku yang berjudul An Iquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations yang diterbitkan tahun 1776, terutama menyangkut masalah pembangunan ekonomi. Adam Smith tidak memaparkan teori pertumbuhan secara sistematik namun teori yang berkaitan dengan itu kemudian disusun oleh para ahli ekonomi berikutnya seperti yang akan dijelaskan di bawah ini:47 4.1 Hukum alam Adam Smith meyakini berlakunya doktrin hukum alam dalam persoalan ekonomi. Ia menganggap setiap orang sebagai hakim yang paling tahu akan kepentingannya sendiri yang sebaiknya dibiarkan dengan bebas mengejar kepentingannya itu demi keuntungannya sendiri. Adam Smith pada dasarnya 46 M.L Jhingan, 2004, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 41. 47 Ibid, hal. 81. 35 menentang setiap campur tangan pemerintah dalam industri dan perniagaan. Kekuatan yang tidak terlihat yaitu pasar persaingan sempurna yang merupakan mekanisme menuju keseimbangan secara otomatis, cenderung untuk memaksimumkan kesejahteraan nasional.48 4.2 Pembagian kerja. Pembagian kerja adalah titik permulaan dari teori pertumbuhan ekonomi Adam Smith, yang meningkatkan daya produktivitas tenaga kerja. Penyebab dari kenaikan produktivitas ini bukan berasal dari tenaga kerja tetapi dari modal. Terdapat pameo yang terkenal yaitu pembagian kerja bertambah seiring dengan meningkatnya pasar. Oleh karena itu, perluasan perniagaan dan perdagangan internasional sangat bermanfaat. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan fasilitas transportasi akan terjadi pembagian kerja yang semakin luas dan peningkatan modal yang semakin besar.49 4.3 Proses pemupukan modal Adam Smith menganggap pemupukan modal sebagai salah satu syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi. Investasi dilakukan karena para pemilik modal mengharapkan untung dan harapan masa depan keuntungan bergantung pada iklim investasi pada hari ini dan pada kentungan nyata.50 4.4 Agen pertumbuhan Menurut Adam Smith, para petani, produsen dan pengusaha merupakan agen kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Perdagangan bebas dan perniagaan, yang mendorong mereka memperluas pasar, yang pada gilirannya memungkinkan 48 Ibid. Ibid, hal. 82. 50 Ibid. 49 36 pembangunan ekonomi. Fungsi ketiga agen tersebut saling berkaitan erat. Pembangunan pertanian mendorong peningkatan pekerjaan konstruksi dan perniagaan. Pada waktu terjadi kenaikan surplus pertanian sebagai akibat pembangunan ekonomi, maka permintaan akan jasa perniagaan dan barang pabrikan akan meningkat pula, ini semua akan membawa pada kemajuan perniagaan dan berdirinya industri manufaktur.51 4.5 Proses pertumbuhan Proses pertumbuhan ini bersifat menggumpal (kumulatif). Apabila timbul kemakmuran sebagai akibat kemajuan di bidang pertanian, industri manufaktur dan perniagaan, kemakmuran itu akan menarik ke pemupukan modal, kemajuan teknik, meningkatnya penduduk, perluasan pasar, pembagian kerja dan kenaikan keuntungan secara terus-menerus.52 Sistem ekonomi pasar berdasarkan persaingan sempurna yang dikembangkan Adam Smith oleh banyak pakar sering diakui sebagai organisasi masyarakat terbaik yang mungkin dikembangkan. Hal ini terbukti bahwa jumlah negara yang menganut sistem pasar ini makin lama makin bertambah dari tahun ke tahun. Negara yang menganut sistem ekonomi pasar terbukti menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 53 Teori pembangunan ekonomi yang dikemukakan oleh Adam Smith ini telah diterapkan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa ada sebagian pasar barang atau jasa yang sudah bermodel persaingan sempurna. Fakta yang 51 Ibid, hal. 84. Ibid. 53 Deliarnov, 2005, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 42. 52 37 terlihat adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang selalu diprakarsai bukan hanya oleh pemerintah, tetapi peran serta pihak swasta juga ikut memberikan andil besar. Masyarakat tidak hanya menggantungkan diri pada kebijakan pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian, tetapi mereka juga memunculkan inisiatif-inisiatif dalam kegiatan ekonominya. Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa pembangunan harus dibangun menggunakan anggaran pemerintah sehingga pada kondisi anggaran pemerintah yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan pembangunan yang memadai bagi perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam penyediaan pembangunan melalui model kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau Public-Private Partnership (PPP). Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif bagi dunia usaha untuk memberikan layanan untuk pembangunan tersebut. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Pemberian dukungan pemerintah pada saat ini dilakukan dalam bentuk penyediaan lahan dan pembangunan sebagian konstruksi. Terkait dengan pembiayaan, investasi sarana dan prasarana saat ini masih jauh dari kemampuan negara-negara berkembang lainnya. Pada saat ini banyak lembaga yang terkait dengan pengelolaan sarana dan prasarana 38 sehingga menyulitkan koordinasi, sementara kualitas sumber daya manusia masih rendah.54 Perkiraan kemampuan pembiayaan badan usaha milik pemerintah melalui BUMN (Rp 340,85 triliun), perkiraan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah melalui APBD (Rp 355,07 triliun), serta perkiraan investasi pihak swasta (Rp 344,67 triliun). Saat ini masih diperlukan sumber dana lain selain pemerintah untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Investasi swasta menjadi tumpuan harapan, kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP) akan digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan pada kegiatan pemberian layanan dengan karakteristik layak secara keuangan dan memberikan dampak ekonomi tinggi dan memerlukan dukungan dan jaminan pemerintah yang minimum.55 Contoh risiko pokok yang teridentifikasi dalam proyek kerjasama pemerintah dan swasta di Indonesia mengenai pengelolaan dan pengurangan risiko adalah pembebasan tanah.Tanah tidak selalu siap untuk digunakan di dalam pembangunan infrastruktur dan perolehannya sangat memerlukan waktu yang lama dan tambahan biaya. Pemerintah saat ini berupaya untuk mendapatkan pendanaan dan mekanisme yang memungkinkan bagi Pemerintah untuk dapat melakukan pembelian tanah sebelum proyek dimulai, yang mana badan usaha dapat membayarkan kembali di kemudian hari. Khusus untuk proyek jalan tol, Pemerintah dapat menawarkan jaminan untuk menutupi tambahan biaya sebagai akibat dari mundurnya pembebasan tanah atau naiknya biaya pembebasan tanah 54 Bapenas, 2011, Sustaining Partnership, Media Informasi Kerjasama Pemerintah dan Swasta, Mengapa Memilih KPS, Identifikasi dan Seleksi Proyek Kerjasama, Jakarta, hal.6. 55 Ibid, hal. 5. 39 tersebut diatas batas tertentu (land capping). Selain itu, Pemerintah dapat menawarkan penjaminan untuk menutupi biaya tambahan yang mungkin terjadi karena adanya keterlambatan dalam proses pembebasan tanah atau adanya kenaikan biaya pembebasan tanah bila pengambilalihan tanah ini adalah tanggung jawab badan usaha. Di sisi badan usaha swasta, proyek dengan kepastian hukum dan kelembagaan akan lebih menarik bagi investor karena dapat memberikan kepastian terhadap investasinya sesuai dengan regulasi yang berlaku di negara tersebut. Disisi pemerintah, perlu dilakukan harmonisasi peraturan terkait sehingga meminimalisir benturan peraturan perundang-undangan. Negara dengan tingkat kepastian hukum yang baik lebih menarik bagi investor karena akan memberikan rasa nyaman para investor untuk berinvestasi.56 1.6 Metode Penelitian Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salahsatunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris method, Latin methodus, Yunani methodos, meta berarti di atas, sedangkan thodos berarti suatu jalan,suatu cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu. 57Metode atau cara pengkajian dilakukan secara deskriptif analitik yaitu menguraikan kaidah-kaidah dalam aturan hukum yang berhubungan dengan aspek pengadaan 56 Ibid, hal.10. Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing Malang, hal. 26. 57 40 tanah bagi kepentingan umum dengan jalan deskripsi atau paparan sesuai pokok permasalahan sehingga tidak ada kontradiksi dalam kaidah-kaidah hukum yang ada. 1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif tersebut mencakup: penelitian asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.58 Sebagai penelitian hukum yang bersifat akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pertanahan. Penelitian ini beranjak pada kekosongan norma dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah pembangunan untuk kepentingan umum yang wajib diselenggarakan pemerintah dan dapat bekerjasama dengan badan usaha swasta. 1.6.2 Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum normatif, terdapat beberapa jenis pendekatan yang dipergunakan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah: pendekatan perundang – undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), approach), 58 pendekatan analisis (analytical pendekatan perbandingan (comperative approach), pendekatan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14. 41 sejarah (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah: a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.59 Pendekatan perundang-undangan dalam tesis ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yakni dilakukan untuk meneliti peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan peraturan perundang-undangan lainnya. b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.60 Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji konsep dari pengaturan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan mendasarkan pada konsep pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Selain itu dalam kajiannya dikaitkan dengan konsep negara kesejahteraan, asas penyelenggaraan kepentingan umum dan teori pembangunan ekonomi. 59 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), hal. 93. 60 Ibid, hal. 95. 42 c. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.61 Pendekatan sejarah dalam tesis ini dilakukan untuk mengkaji perkembangan pengaturan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengetahui filosofi pengaturan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta bagaimana pergeseran peraturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh Badan Usaha Swasta. d. Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach) Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas isu hukum (legal issues) dalam penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam. Penjelajahan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis (ajaran tentang hakikat), aksiologis (ajaran tentang nilai), epistemologis (ajaran tentang pengetahuan), teleologis (ajaran tentang tujuan) untuk memperjelas secara mendalam , sejauh dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan manusia. Berdasarkan ciri khas filsafat tersebut, dibantu beberapa pendekatan yang tepat, seyogyanya dapat dilakukan sebagai Fundamental Research, yaitu suatu penelitian untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap implikasi sosial dan efek penerapan suatu aturan perundangundangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat yang merupakan 61 Ibid, hal. 94. 43 penelitian terhadap sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi, serta implikasi sosial dan politik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.62 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakan (library research). Penelitian kepustakaan adalah menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas bahan hukum primer, contohnya makalah, buku-buku, laporan hukum dalam bentuk akademik, tesis, laporan dan karya tulis lain, majalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan hukum yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus, buku pegangan.63 Adapun bahan hukum primer yang dimaksud dalam penulisan tesis ini adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, yaitu : Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22) 62 Johnny Ibrahim, Op.cit, hal. 321. Ashsofa Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.103- 63 104. 44 - Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum - Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksana Pembangunan Untuk Kepentingan Umum - Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum Adapun bahan hukum sekunder yang dimaksud dalam penulisan tesis ini adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam penulisan tesis ini meliputi : buku – buku literature, jurnal, makalah dan bahan – bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Adapun bahan hukum tertier yang dimaksud dalam penulisan tesis ini yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier dalam penulisan tesis ini meliputi kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia. 1.6. 4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui teknik studi dokumen. Bahan hukum yang berhasil diinventarisir kemudian diidentifikasi serta diklasifikasikan dengan melakukan pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif, analisis, evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa 45 penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya kemudian dilanjutkan dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh. Bahan-bahan hukum yang diolah tersebut kemudian diinterpretasikan dengan metode interpretasi hukum. Dalam hal ini, interpretasi yang dipergunakan yakni interpretasi gramatikal, interpretasi sistematik dan interpretasi otentik yang selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan permasalahan yang ada. Hasil dari analisis ini kemudian ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Terakhir diberikan pendapat-pendapat atas interpretasi dari bahan-bahan hukum tersebut BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM 2.1 Konsep Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Secara etimologi tanah berarti permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.64 Menurut Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, definisi tanah (land) adalah sebagai berikut : the material of the earth, whatever may be the ingredients of which it is composed, whether soil, rock, or other substance, and includes free or occupied space for an indefinite distance upwards as well as downwards, subject to limitations upon the use of airspace imposed, and rights in the use of airspace granted, by law. 65 Simpson mendefinisikan pengertian tanah sebagaimana rumusan kalimat dibawah ini : in its original definitions in English law, land is not regarded as comprising merely the surface; it is deemed to include everything which is fixed to it, and also the air which lies above it right up into the sky, and whatever lies below it right down into the center of earth; it include land covered with water so even the sia-bes is land. 66 (definisi asli dari tanah dalam hukum Inggris adalah, bahwa tanah tidak dipandang hanya terdiri atas permukaan bumi, akan tetapi juga dianggap term1asuk segala sesuatu yang melekat padanya, dan juga udara yang terletak diatasnya sampai ke langit serta apa saja yang terletak di bawahnya sampai ke pusat bumi; termasuk pula tanah yang diliputi air dan karena itu bahkan dasar laut pun adalah tanah.) 64 W. J. S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 1195. 65 Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Co, Fifth Edition, 1979), hal. 789. 66 Herman Soesangobeng, “Tanah dan Hak Ulayat”, Makalah disampaikan dalam Seminar Pertanahan Balitbang Dep.Keh.HAM, Jakarta, 4 November 2003. 46 47 Peter Butt memberikan pemahaman yang luas terhadap tanah yaitu : “Land is not only face of the earth, but everything under it or over it.”67 Imam Sudiyat mendefinisikan tanah dari pengertian geologis-agronomis, sebagai pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas. Yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Di dalam tanah garapan itu dari atas ke bawah berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam.68 Pengertian tanah menurut UUPA dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 1 UUPA sebagai berikut : (1) (2) (3) (4) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Penjelasan Pasal 1 UUPA menyatakan : sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian bumi dan tanah sebagai yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1) UUPA. Tanah adalah permukaan bumi. 67 Peter Butt, 1980, Introduction to Land Law, The Law Book Company Limited, Sydney, hal. 7. 68 Imam Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta, hal. 1. 48 Perluasan pengertian bumi dan air dengan ruang angkasa adalah bersangkutan dengan kemajuan teknik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dalam waktu-waktu yang akan datang. Tanah memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan. Tanah memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat di bumi ini, dimana tanah memberikan sumber kehidupan. Hubungan hidup antara umat manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lainnya di satu pihak dan tanah di lain pihak yaitu tanah dimana mereka berdiam, tanah memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan, tanah dimana meresap daya hidup, termasuk juga hidupnya umat itu dan karenanya tergantung daripadanya, maka pikiran serba berpasangan (participerend denken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekking) umat manusia terhadap tanah.69 Sebutan tanah dalam bahasa dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah itu digunakan. Dalam hukum tanah kata sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.70 Dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA dinyatakan, bahwa : Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badanbadan hukum. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat (1) UUPA) sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan 69 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannnya, Djambatan,Jakarta, hal. 479. 70 Ibid, hal. 18. 49 bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan : Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi kewenangan untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan Peraturanperaturan hukum lain yang lebih tinggi. Maka yang dipunyai hak atas tanah tersebut adalah tanahnya dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, sedangkan wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan “sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya.” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adapun yang dimaksud dengan pengertian tanah adalah : 1. 2. 3. 4. 71 Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali; Keadaan bumi disuatu tempat; Permukaan bumi yang diberi batas Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya.)71 Ibid, hal. 19. 50 Secara normatif, ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Itu artinya, hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, penggunaannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya sehingga bermanfaat, baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri. Pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi dimensi kepentingan yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah. 72 72 Bernhard Limbong I,Op.cit, hal. 129. 51 Disatu sisi pihak pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa harus melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan pembangunan. Pihak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana untuk melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaaan pembangunan. Masyarakat dalam hal ini juga membutuhkan lahan atau tanah sebagai sumber kehidupan. 73 Apabila kedua pihak ini tidak memperhatikan dan mentaati ketentuan yang berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang mengakibatkan timbulnya sengketa atau masalah hukum sehingga pihak penguasa dengan terpaksa pun menggunakan cara tersendiri agar dapat mendapatkan tanah tersebut yang dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Pemilik hak atas tanah pun tidak menginginkan apa yang sudah menjadi hak mereka diberikan dengan sukarela. Mengantisipasi hal tersebut, telah diatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak. Selain itu ditegaskan juga bahwa suatu hak itu hapus karena pencabutan hak untuk kepentingan umum dan karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya. Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka proses pelaksanaan pengadaan tanah membutuhkan peran serta masyarakat atau rakyat untuk memberikan tanahnya untuk kepentingan pembangunan. Masyarakat sebagai pemegang hak 73 Maria S.W Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W Sumardjono II), hal. 32 52 atas tanah bebas melakukan suatu perikatan dengan pihak penyelenggara pengadaan tanah untuk pembangunan tanpa ada paksaan dari siapapun. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengadaan tanah sangat rentan terhadap munculnya permasalahan, terutama dalam penanganannya. Masalah pengadaan tanah tentu saja menyangkut hajat hidup orang banyak bila dilihat dari sisi kebutuhan Pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh agar keperluan akan tanah terpenuhi adalah dengan membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hakhak yang melekat diatasnya.74 Tanah juga merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Sedemikan penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya suatu landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum, dalam pelaksanaan penyelesaian pertanahan, khususnya pada persoalan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 75 Implementasi pengadaan tanah perlu memperhatikan beberapa prinsip (asas) sebagaimana tersirat dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait yang mengaturnya. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut : Pertama, penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apa pun harus ada landasan haknya. Kedua, semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa. Ketiga, cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/badan hukum harus 74 75 Soimin, 2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 75. Fauzi Noer I, loc.cit. 53 melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan dan keempat, dalam keadaan yang memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh gagal maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak, tanpa persetujuan subjek hak menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Memberikan batasan mengenai kepentingan umum bukanlah hal yang mudah mengingat penilaiannya sangat subjektif dan terlalu abstrak untuk dipahami.76 Selain itu istilah kepentingan umum merupakan suatu konsep yang sifatnya begitu umum dan belum ada penjelasan secara lebih spesifik dan terperinci untuk operasional sesuai dengan makna yang terkandung di dalam peristilahan tersebut.77 Dalam rangka pengambilan tanah-tanah masyarakat, penegasan tentang kepentingan umum yang akan menjadi dasar dan kriterianya perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan tanah-tanah dimaksud benarbenar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku. Jika tidak dirumuskan atau diberikan kriteria dengan tegas, dikhawatirkan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam. 78 Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas, namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada 76 Achmad Rusyaidi, 2012, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara Kepentingan Umum dan Perlindungan HAM, (Cited : 18 Oktober 2012), available from URL: http://prpmakasar.wordpress_com 77 A.A. Oka Marhaendra, 1996, Menguak Masalah Hukum Demokrasi dan Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 279. 78 Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 36. 54 batasannya.79 Kepentingan umum adalah adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat dengan memperhatikan segisegi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.80 Secara etimologis, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Pusat Bahasa, frasa kepentingan umum terdiri dari dua kata yakni kepentingan dan umum. Kata kepentingan yang berasal dari akar kata penting mengandung pengertian sangat perlu, sangat diutamakan sedangkan kata umum mengandung pengertian keseluruhan, untuk siapa saja, khalayak manusia, masyarakat luas dan lazim.81 Pengertian menurut ilmu bahasa ini tentu tidak dapat dijadikan pengertian yuridis dari frasa kepentingan umum tetapi dapat dijadikan refrensi untuk menemukan pengertian yang diinginkan sebab ilmu hukum (yuridische kunde) di dalam proses pembentukannya tidak dapat berdiri sendiri dan berjalan sendiri lepas dari ilmu sosial yang lainnya, tetapi saling mendukung, berjalan bersama dengan ilmu pengetahuan lain, termasuk ilmu bahasa (etimologi). Secara etimologis diuraikan pula pendapat para pakar tentang makna kepentingan umum. Roscou Pound mengemukakan tentang social interest (kepentingan masyarakat). Pendapat Pound tentang social interest ini berasal dari pemikiran Rudolf Van Jhering dan Jeremy Bentham. Pound mengartikan social interest adalah suatu kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat itu sendiri. Pound membagi tiga 79 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op.cit,hal. 6. John Salindeho, 1988, loc.cit 81 Tim Pusat Bahasa Indonesia, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, hal 80. 80 55 kategori interest antara lain: public interest (kepentingan umum), social interest (kepentingan masyarakat) dan private interest (kepentingan pribadi). 82 Julius Stone dalam The Proponic and Function of Law, secara meyakinkan telah membuktikan bahwa apa yang dimaksud dengan public interest melebur dalam social atau individual interest atau dalam usaha negara mencari keseimbangan di dalam interest ini. Kedua analisis ini mengasumsikan kepentingan umum dalam pandangan ilmu sosial hukum: Kepentingan umum adalah suatu keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, penguasa serta negara.83 Jan Gijssel sebagaimana dikutip Gunanegara berpendapat bahwa Kepentingan umum tidak mudah dirumuskan, karena kepentingan umum itu merupakan pengertian yang kabur (vage begrif) sehingga tidak mungkin diinstusionalisasikan ke dalam suatu norma hukum, yang apabila dipaksakan akibatnya akan menjadi norma kabur (vage normen).84 Pendapat menurut J.J.H Bruggink yang dikutip Gunanegara yang menyatakan bahwa kepentingan umum sebagai suatu pengertian yang kabur artinya suatu pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara tepat, sehingga lingkupnya tidak jelas. Arti kepentingan umum hanya dikenali dengan cara menemukan kriteria-kriteria dari kepentingan umum itu sendiri, dengan memberikan kriteria kepentingan umum yang tepat, 82 Roscou Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy of Law, Yale University Press, New Heaven, hal. 4. 83 Julius Stone, 1961, The Province and Function of Law As Logic, Justice and Social Control, A Study In Jurisprudence, New York, hal. 45. 84 Gunanegara, 2008, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Tata Nusa, Jakarta, hal. 11. 56 maka kepentingan umum dalam pengadaan tanah tidak lagi berkembang atau dikembangkan sesuai dengan kepentingan negara semata.85 Menurut John Salindeho, kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperhatikan segi – segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara. 86 Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangan hukum pertanahan di Indonesia dilakukan dengan cara dan menggunakan lembaga hukum yang pertama, yaitu pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Dalam praktik ketentuan undang-undang ini tidak dapat berjalan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai pembebasan hak atas tanah. Ketentuan ini dalam praktiknya banyak menimbulkan masalah sehingga tidak dapat berjalan secara efektif. Berdasarkan kenyataan ini pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan presiden mengenai pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pembahasan mengenai prinsip-prinsip kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk pembangunan penting karena beberapa alasan. Pertama, dalam sarana pembangunan, terutama pembangunan di bidang materiil, baik di kota maupun di desa banyak memerlukan tanah. Misal : pembuatan gedung sekolah inpres, pasar inpres, pelebaran jalan, semuanya memerlukan tanah sebagai sarana utamanya. Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan karena berhadapan 85 86 Ibid, hal. 12. John Salindeho, loc.cit. 57 dengan pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di lain pihak sebagian warga masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya. Bilamana tanah tersebut diambil begitu saja dan diperlukan untuk kepentingan pembangunan maka jelas akan mengorbankan hak asasi warga masyarakat. Kedua, sebagai titik tolak di dalam pembebasan tanah, pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah. Untuk mendapatkan tanah dalam rangka penyelenggaraan atau untuk keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang bijaksana. Pembebasan tanah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan yang dapat menunjang pembangunan. Ketiga, setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka menampung aspirasi masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya harus disesuaikan dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan secara parsial memihak bagi kepentingan golongan tertentu saja, tetapi dilakukan secara menyeluruh baik untuk kepentingan masyarakat pedesaan maupun perkotaan. Dengan demikian bila ada proyek pembangunan dalam masyarakat di daerah, maka sesuai dengan prinsip kepentingan umum, maka hak atas tanah masyarakat bukan menjadi objek dari kepentingan umum. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun yang bermanfaaat pula bagi masyarakat dan Negara. Akan tetapi dalam hal ini ketentuan tersebut 58 tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling melengkapi, mengimbangi hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.87 2.2 Pengaturan Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Menurut Soedharyo Soimin pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi.88 Dalam pelaksanan pengadaan tanah harus tetap berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah suatu negara hukum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan suatu pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi hukum), prosperty approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach (pendekatan dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari segi kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan untuk memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan 87 88 hal.76. Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 49. Soedharyo Soimin, 2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 59 tetap terpelihara.89 Pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa rakyat merupakan faktor dominan diberikan peranan sentral dalam menggerakkan pembangunan dan perlu ditingkatkan kemampuannya untuk berproduksi dengan baik melalui investigasi dibidang sumber daya manusia. Pembangunan oleh rakyat berarti memberikan setiap manusia Indonesia memperoleh kesempatan yang adil untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan untuk rakyat berarti menjamin bahwa setiap kemajuan yang diperoleh sebagai hasil pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluangan pembangunan bisa dilakukan melaui tiga mekanisme, yakni : pencabutan hak, pelepasan hak dan melalui tukar-menukar dan/atau jual beli.90 Arti pengadaan tanah mempunyai tiga unsur yaitu : 1. 2. 3. Kegiatan untuk mendapatkan tanah, dalam rangka pemenuhan lahan pembangunan untuk kepentingan umum. Pemberian ganti rugi kepada mereka yang terkena kegiatan pengadaan tanah. Pelepasan hubungan hukum dari pemilik tanah kepada pihak lain.91 Memori penjelasan Pasal 18 UUPA hanya menyebutkan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti rugi yang layak. Jika ketentuan pasal 18 UUPA dipenggal maka dapat dinyatakan adanya : a. Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat 89 Abdurahman, Op. cit, hal. 51. Bernard Limbong, I, Op. cit, hal. 338. 91 Mudakir Iskandar Syah, 2010, Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Upaya Hukum Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak, Jala Permata Aksara, Jakarta, hal. 2. 90 60 b. Hak-hak atas tanah dapat dicabut c. Ganti rugi d. Layak e. Cara yang diatur dengan undang-undang Hal ini dapat dilihat dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda Yang Ada Diatasnya. Ketentuan yang menyatakan bahwa yang dicabut haknya itu tidak dapat menyatakan tidak bersedia haknya dicabut, dan kalau diberikan hak untuk banding maka bandingnya ke Pengadilan Tinggi, hanya mengenai jumlah ganti rugi yang ditawarkan pemerintah. Hakim Pengadilan Tinggi akan menetapkan apakah tetap pada jumlah yang ditawarkan pemerintah ataupun menaikkan jumlah uang ganti rugi tersebut. Disusul dengan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya yaitu pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta cara-cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut dinyatakan bahwa untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat dan kepentingan pembangunan, Presiden dalam keadaan memaksa, setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. 61 Prosedurnya seperti tersebut dalam Pasal 2 dan 3 yaitu melalui Kepala Inspeksi Agraria dengan mengajukan antara lain rencana permohonan dan alasanalasannya, keterangan nama yang berhak beserta luas dan macam hak atas tanah dan rencana penampungan orang yang ada diatasnya. Disamping itu Kepala Kanwil BPN akan meminta pertimbangan dari Kepala Daerah yang bersangkutan tentang permohonan tersebut dan penampungan rakyat dan agar Panitia Penaksir bersidang menetapkan ganti rugi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya dalam ketentuan Pasal 1 dinyatakan : Pasal 1 Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Pasal 2 (1) Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut pada pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. (2) Permintaan tersebut pada ayat 1 pasal ini oleh yang berkepentingan disertai dengan : a. Rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu. b. Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan. c. Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan. Pasal 3 (1) Setelah menerima permintaan yang dimaksud dalam Pasal 2 maka Kepala Inspeksi Agraria segera : 62 a. (2) (3) (4) (5) (6) Meminta kepada para Kepala Daerah yang bersangkutan untuk memberi pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak tersebut, khususnya bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan tentang penampungan orang-orang sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat 2 huruf c. b. Meminta kepada Panitia Penaksir tersebut pada Pasal 4 untuk melakukan penaksiran tentang ganti kerugian mengenai tanah dan/atau benda-benda yang haknya akan dicabut itu. Di dalam waktu selama-lamanya tiga bulan sejak diterimanya permintaan Kepala Inspeksi Agraria tersebut pada ayat 1 pasal ini maka : a. Para Kepala Daerah itu harus sudah menyampaikan pertimbangannya kepada Kepala Inspeksi Agraria b. Panitia Penaksir harus sudah menyampaikan taksiran ganti kerugian yang dimaksud itu kepada Kepala Inspeksi Agraria. Setelah Kepala Inspeksi Agraria menerima pertimbangan para Kepala Daerah dan taksiran ganti kerugian yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka ia segera menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu kepada Menteri Agraria, dengan disertai pertimbangannya pula. Jika di dalam waktu tersebut pada ayat 2 pasal ini pertimbangan dan/atau taksiran ganti kerugian itu belum diterima oleh Kepala Inspeksi Agraria, maka pertimbangan untuk melakukan pencabutan hak tersebut diajukan kepada Menteri Agraria, dengan tidak menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan/atau taksiran ganti kerugian Panitia Penaksir. Dalam hal tersebut pada ayat 4 pasal ini, maka Kepala Inspeksi Agraria di dalam pertimbangannya mencantumkan pula keteraangan tentang taksiran ganti kerugian itu. Oleh Menteri Agraria permintaan tersebut diatas dengan disertai pertimbangannya dan pertimbangan Menteri Kehakiman serta pertimbangan Menteri yang bersangkutan, segera diajukan kepada Presiden untuk mendapat keputusan. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 maka Kepala Kanwil BPN dapat saja langsung mengajukan permohonan tersebut kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional tanpa rekomendasi dari Kepala Daerah dan Panitia Penaksir. Kepala Badan Pertanahan Nasional akan menetapkan suatu keputusan mendahului keputusan Presiden tersebut. Keputusan tentang 63 pencabutan hak atas tanah harus dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dan isinya juga dimuat dalam surat kabar Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 menyatakan bahwa yang bersangkutan jika tidak dapat menerima jumlah uang ganti rugi yang ditetapkan Panitia Penaksir maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan banding pada Pengadilan Tiggi dengan membayar biaya perkara, yang juga sebagai Pengadilan Pertama dan terakhir selambatlambatnya 1 bulan sejak tanggal keputusan Presiden yang menyatakan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya dinyatakan dicabut. Pasal 1 lampiran Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya, disebutkan 4 kategori kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum. Adapun kutipan pasal 1 lampiran Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya tersebut sebagai berikut : Pasal 1 (1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut : a. Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau c. Kepentingan rakyat banyak/ bersama dan/atau d. Kepentingan pembangunan (2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi bidang-bidang : a. Pertahanan b. Pekerjaan Umum c. Perlengkapan umum d. Jasa umum e. Keagamaan f. Ilmu kesehatan dan seni budaya g. Kesehatan h. Olahraga 64 i. Kesehatan umum terhadap bencana alam j. Kesejahteraan sosial k. Makam/kuburan l. Pariwisata dan rekreasi m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum (3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum. Pihak yang berhak mengajukan objek tersebut bukan hanya instansi pemerintah tetapi juga usaha-usaha swasta (Pasal 3) asal saja harus disetujui oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan rencana pembangunan. Pada pasal 2 disebutkan proyek pembangunan tersebut harus sudah termasuk dalam Rencana Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan. (Rencana induk pengembangan tersebut harus bersifat terbuka untuk umum). Berikut ini adalah kutipan pasal 2 dan pasal 3 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973. Pasal 2 (1) Suatu proyek pembangunan dinyatakan mempunyai bentuk kegiatan sebagai dimaksud dalam Pasal 1 diatas, apabila sebelumnya proyek tersebut sudah termasuk dalam Rencana Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan. (2) Jika suatu Proyek pembangunan daerah akan dinyatakan mempunyai bentuk kegiatan sebagai dimaksud dalam pasal 1 diatas, maka sebelumnya proyek harus sudah termasuk dalam Rencana Induk Pembangunan dari daerah bersangkutan dan yang telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Daerah setempat. (3) Rencana Induk Pembangunan sebagai dimaksud dalam ayat (2) pasal ini harus bersifat terbuka untuk umum. Pasal 3 (1) Yang berhak menjadi subyek atau pemohon untuk mengajukan permintaan pencabutan hak atas tanah adalah instansi-instansi Pemerintah/Badan-badan Pemerintah maupun usaha-usaha swasta, segala sesuatunya dengan memperhatikan persyaratan untuk dapat memperoleh sesuatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku. 65 (2) Usaha-usaha swasta sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, rencana proyeknya harus disetujui oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah sesuai dengan Rencana Pembangunan yang telah ada. Selain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, diterbitkan pula peraturan mengenai ketentuan-ketentuan tata cara pembebasan tanah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) PMDN No. 15 Tahun 1975 menyatakan bahwa “Pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.” Panitia ditetapkan oleh Gubernur /Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya dalam sesuatu wilayah Provinsi. Didalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah harus musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di dalamnya berdasarkan harga umum setempat (Pasal 6 Ayat 1). Jika terdapat perbedaan harga taksiran ganti rugi diantara para anggota panitia, maka yang dipergunakan harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota (Pasal 6 Ayat 3). Pembebasan tersebut dapat untuk keperluan pemerintah ataupun swasta. Disinilah perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang bandingnya pada Pengadilalan Tinggi sebagaimana sudah dibicarakan. Di dalam pembebasan hak atas tanah ini maka kemungkinan pemukiman kembali dari penduduk yang terkena pembebasan tersebut tetap dapat ganti rugi tersebut berupa uang, tanah dan atau fasilitas lainnya. 66 Ketentuan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta, dalam pasal 11 PMDN No. 15 Tahun 1975 disebutkan : (1) (2) Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi pelaksanaan Pembebasan Tanah dan pemberian ganti rugi. Pembebasan tanah untuk keperluan Swasta pada asasnya harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman pada asas musyawarah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta menyatakan bahwa swasta dapat mempergunakan PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu untuk membebaskan tanah untuk keperluan usahanya dan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta disebutkan sebagai berikut : Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II, dan IV Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta disebutkan bahwa “Penggunaan acara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. ” 67 Penggunaan oleh swasta untuk pembebasan ini dengan mempergunakan peraturan yang diperuntukkan pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah telah menimbulkan dampak yang luas dan rakyat dibingungkan bahwa proyek-proyek swasta seperti dianggap untuk kepentingan umum. Dalam pembebasan tanah tersebut tidak terelakkan terjadinya sejumlah tindakan-tindakan tidak terpuji karena panitia pembebasan tanah tersebut lebih memihak kepada investor daripada membela kepentingan rakyat. Banyak hal jika tidak terdapat kesepakatan mengenai harga ganti rugi seperti yang terlaksana dengan PMDN Nomor 15 Tahun 1975, maka uang ganti rugi tersebut dikonsignasi di Pengadilan Negeri setempat dan dianggaplah pembebasan tanah tersebut sudah selesai. Dengan konsignasi uang ganti rugi tersebut harga dapat ditekan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 dalam Pasal 2 menyatakan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Pengadaan tanah untuk keperluan proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh instansi pemerintah dilaksanakan oleh Pimpinan Proyek Instansi yang bersangkutan. Pengadaan tanah yang dimaksud dalam ayat (1) luasnya tidak lebih dari 5 (lima) ha. Dalam melaksanakan pengadaan tanah dimaksud dalam ayat (1) Pemimpin proyek memberitahukan kepada Camat mengenai letak dan luas tanah yang diperlukan Apabila dipandang perlu, Camat dapat meminta bantuan instansi/dinas teknis yang bersangkutan dengan jenjang hierarki. Pimpinan proyek mengadakan musyawarah dengan yang bersangkutan. Oleh Dirjen Agraria dikeluarkan Edaran Nomor 590/4263/Agr tanggal 2 Agustus 1985 tentang petunjuk pelaksana Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985. Demikian pula oleh Direktorat Jenderal Anggaran Departemen 68 Keuangan diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985, yaitu bahwa pengeluaran yang dapat dibebankan untuk jenis pengeluaran tanah meliputi antara lain biaya administrasi pembuatan akta jual beli oleh Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah atau sebagai Kepala Wilayah; pembelian ganti rugi tanah termasuk bangunan dan tanaman diatasnya; penyelesaian sertifikat tanah; biaya pengosongan; biaya pengeringan; biaya pemerataan, pematangan tanah dan pengeluaran lain yang berhubungan dengan itu. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 ini diatur untuk memberikan suatu kemudahan bagi perusahaan pembangunan perumahan yang berbentuk badan hukum, baik untuk penyediaan tanah, pencadangan tanah dan izin lokasi. Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 menyatakan sebagai berikut : 1. Izin lokasi untuk keperluan perusahaan yang luasnya tidak lebih dari 15 ha bagi daerah tingkat II yang telah mempunyai rencana induk kota/rencana kota, ditetapkan oleh bupati/walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.2 2. Izin lokasi yang luasnya tidak lebih dari 200 ha ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I 3. Izin lokasi yang luasnya lebih dari 200 ha ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri. Peraturan ini sebagai pengganti dari PMDN Nomor 5 Tahun 1974 khusus tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah dan PMDN Nomor 2 Tahun 1984 keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan sederhana/perumahan murah yang diselenggarakan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah dari Bank Tabungan Negara. 69 Keperluan pembebasan tanah untuk industri maka telah diatur dengan Keppres Nomor 53 Tahun 1989, yang memberikan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai kepada badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia ataupun perusahaan-perusahaan negara/daerah. Kepada perusahaan-perusahaan tersebut diberikan izin prinsip dan izin tetap, dan telah memperoleh amdal berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1986. Permohonan izin lokasi dan izin pembebasan diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah melalui Kepala Kanwil BPN dan izin pencadangan diatur oleh Kepala BPN. Kepada perusahaan negara/daerah dapat diberikan Hak pengelolaan, izin industri diberikan oleh Menteri Perindustrian. Perusahaan yang bersangkutan harus memberi ganti rugi yang layak berdasarkan musyawarah ataupun memberikan penggantian tanah di lokasi lain yang nilainya seimbang. Didalam 3 tahun setelah izin prinsip sudah harus dibebaskan 60%. Disebutkan bahwa kawasan industri tersebut tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan tidak pula diatas tanah yang berfungsi untuk melindungi sumber daya alam dan warisan budaya. Pasal 28 H UUD 1945 merupakan amanat adanya larangan bagi siapapun melakukan tindakan pencabutan/pengurangan hak atas tanah, pengambilan tanah hak milik secara sewenang-wenang, yang berdampak pada kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, harkat dan martabat, penghidupan yang layak atau kenikmatankenikmatan dari hak milik atas tanah yang dimiliknya. Pencabutan atau pengurangan hak milik atas tanah hanya dapat dilakukan bila sesuai dengan norma-norma hukum, kepatutan/kewajaran, kebutuhan yang mendesak untuk 70 kepentingan umum disertai dengan suatu ganti rugi yang layak atau pemindahan ke lokasi lain yang layak dimana tempat tujuan pemindahan itu telah tersedia sarana/fasilitas umum dan sarana atau fasilitas sosial. 92 Undang-undang tidak dapat menjelaskan suatu kondisi tertentu, beberapa penyelenggara pemerintahan sering mengambil keuntungan dari istilah kepentingan umum untuk mengambil tanah milik pribadi yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi dan kepastian hukum. Kepentingan umum diberikan suatu pembatasan hak pribadi. Untuk menggambarkan kepentingan umum dengan tepat, pembuat undang-undang harus mengemukakan beberapa hal dasar. Pertama, perwujudan kepentingan umum sebagian besar merupakan sistem publik sebagai government centered dibandingkan dengan suatu sistem pribadi market led. Kedua, definisi kepentingan publik harus layak atau mempunyai alasan. Ketika kepuasan kepentingan umum sering dimasukkan ke dalam beberapa hal kepentingan pribadi, pembuat undang-undang perlu membatasi kepentingan publik kepada suatu lingkup yang layak di dalam hak pribadi atas tanah yang dimilikinya. 2.3 Pengaturan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Kepemilikan tanah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum internasional perlindungan hukum terhadap hak milik ini diatur dalam DUHAM (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia), yaitu : 92 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 54 71 1.) Pasal 17.1 : “Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain.” 2) Pasal 17.2 : “Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang.” 3) Pasal 30 : “Tidak ada satu ketentuan pun dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu negara, kelompok atau orang, untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan nyang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan - kebebasan apapun yang diatur dalam deklarasi ini.” Di Indonesia, perlindungan kepemilikan tanah rakyat diatur dalam UUD 1945, TAP-MPR No. IX Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam UUD 1945, termaktub dalam pasal-pasal berikut ini : 1). Pasal 18 B tentang pengakuan hak ulayat masyarakat adat. 2). Pasal 28G Ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” 3). Pasal 28H Ayat (4), yang berbunyi: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.“ 72 4). Pasal 28 I Ayat (3) yang berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”93 TAP-MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, perlindungan terhadap kepemilikan tanah tercantum dalam beberapa butir Pasal 5 yakni butir b,d dan j. Butir b yakni : “Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” Butir d yakni : “Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam dan Butir j : “Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam”. Perlindungan hukum kepemilikan tanah rakyat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diatur dalam beberapa pasal, yakni : Pasal 2 tentang pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM, Pasal 6 Ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan hak ulayat, Pasal 29 Ayat (1) tentang perlindungan terhadap hak milik, Pasal 36 Ayat (1) dan (2) tentang hak milik sebagai hak asasi dan jaminan tidak adanya perampasan secara sewenang-wenang atas hak miliknya dan Pasal 37 Ayat (1) tentang syarat mencabut hak milik adalah untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti rugi dan harus berdasarkan UU; menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.” 93 Bernad Limbong, I Op.cit, hal 322 73 Perbandingan Regulasi Pengadaan Tanah di Indonesia Pokok Perbanding an Pengadaan Tanah Keppres No. 55 Tahun 1993 Perpres No. 36 Tahun 2005 Perpres No. 65 Tahun 2006 UU No 2 Tahun 2012 Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau pencabutan hak atas tanah Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara : a.Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau b. pencabutan hak atas tanah Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. -Mekanisme Pengadaan Tanah Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Kepentingan Umum Kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. 74 -Cakupan Kepentingan Umum a. jalan umum, saluran pembuangan air; b. waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi. c. rumah sakit umum dan pusatpusat kesehatan masyarakat d. pelabuhan atau bandar udara atau terminal. e. peribadatan. f. pendidikan atau sekolahan. g. pasar umum atau pasar INPRES h. fasilitas pemakaman umum i. fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain j. pos dan telekomunikasi k. sarana olah raga l. stasiun penyiaran radio, televisi beserta pendukungnta. m. kantor Pemerintah n. fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api (diatas tanah, di ruang atas tanah, ataupun diruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi. b. waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya. c. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat. d. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal. e. peribadatan. f. pendidikan atau sekolah g. pasar umum h. fasilitas pemakaman umum i. fasilitas keselamatan umum j. pos dan telekomunikasi k. sarana olah raga l.stasiun penyiaran radio dan televisi dan sarana pendukungnya. m. kantor Pemerintah, pemerintah daerah, mperwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan atau lembagalembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. n.fasilitas Tentara a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi. b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal. d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lainlain e. tempat pembuangan sampah f. cagar alam dan cagar budaya g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik. a. pertahanan dan keamanan nasional b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya d. pelabuhan, bandar udara dan terminal e. infrastuktur, minyak gas dan panas bumi f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah i. rumah sakit Pemerintah/Pe merintah Daerah j. fasilitas keselamatan umum k. tempat pemakaman umum 75 Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. o. lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan p. rumah susun sederhana q. tempat pembuangan sampah r. cagar alam dan cagar budaya. s. pertamanan t. panti sosial u. pembangkit, tansmisi, distribusi tenaga listrik 2.4 Pemerintah/Pe merintah Daerah l. fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau publik m. cagar alam dan cagar budaya n. kantor Pemerintah/Pe merintah Daerah/desa o. Penataan pemukiman kumuhperkotaa n dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pe merintah Daerah q. Prasarana olahraga Pemerintah/Pe merintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum. Pengaturan Peran Swasta Dalam Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dalam rangka menjamin kelangsungan proses pembangunan ekonomi jangka panjang dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, 76 Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada sektor pertanian tanpa proses industrialisasi. Walaupun industrialisasi itu penting, namun perlu untuk diakui bahwa industrialisasi bukan merupakan tujuan akhir melainkan hanya salah satu strategi yang ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai kemakmuran rakyat Indonesia yang berkeadilan sosial. Industrialisasi mendorong kebijakan pertanahan yang semakin adaptif terhadap mekanisme pasar, namun belum diikuti dengan penguatan akses rakyat dan masyarakat hukum lokal terhadap perolehan dan penggunaan tanah. Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila serta bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, maka landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 pasca amandemen. Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang menerapkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pada bagian konsiderannya mengedepankan bahwa UUPA harus berdasarkan Pancasila yang sila kelimanya adalah sila keadilan sosial. Ini berarti bahwa Undang-Undang Pokok Agraria harus berasaskan keadilan sosial dalam Pancasila. Hal ini tidak berarti bahwa sila – sila lain dalam Pancasila dapat dilepas kaitan dan pengertiannya satu sama lain. Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menerapkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan hal itu. Dalam rumusan pasal tersebut dinyatakan bahwa : seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung 77 di dalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa asas yaitu (1) asas menguasai dari Negara, (2) asas penggunaan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, harus untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan (3) asas keadilan sosial dalam Pancasila dalam arti bahwa di dalam upaya mewujudkan sebesar- besar kemakmuran rakyat, sila-sila lain di dalam Pancasila tidak dapat dilepas dari sila keadilan sosial. 94 Asas yang disebut pertama menyangkut status tanah di negara Indonesia dan asas yang disebut kedua dan ketiga menyangkut penggunaan dan pemanfaaatan tanah yang diukur dengan dua penentu yaitu : (1) untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat dan (2) dijalankan secara berkeadilan sosial dalam Pancasila. Asas-asas tersebut diatas diharapkan dapat diterapkan dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah. Apapun bentuk kongkrit dari penggunaan tanah, asas-asas tersebut menguasainya. Pasal 14 ayat (1) UUPA memuat ketentuan tentang penggunaan tanah dan peruntukannya dengan pernyataan : Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) , Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2). Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persedian, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. a. Untuk keperluan negara; 94 Mustofa dan Suratman, 2013, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, Sinar Grafika, Jakarta, hal 1-4. 78 b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya serta dengan dasar Ketuhahan Yang Maha Esa; c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, budaya, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. Untuk keperluan perkembangan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. Untuk keperluan perkembangan industri, transmigrasi dan pertambangan. Didalam kerangka membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, asas-asas tersebut diharapkan tertera di dalamnya. Arah pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional adalah tercapainya struktur ekonomi yang seimbang yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju dan didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh serta merupakan pangkal tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuataannya sendiri. Untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam dan manusia yang tersedia. Setelah Indonesia menandatangani perjanjian Marrakesh April 1994, pengaturan hak atas tanah bagi investasi perlu ada perubahan. Hal ini disebabkan karena pembangunan ekonomi itu telah mendorong berkembangnya nilai-nilai yang terkait dengan tanah. UUPA dengan prinsip nasionalitasnya memberi kewenangan yang sangat luas pada Negara melalui Hak Menguasasi Negara. Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa : 79 (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal lain sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan; kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swastantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Berdasarkan pada Hak Menguasai Negara ini, kemudian dibuat UndangUndang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan BendaBenda yang ada diatasnya. Undang-undang ini memberikan keabsahan bahwa Negara adalah perwakilan dari kepentingan umum. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya menyatakan : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 206 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000- 80 2004 pada era kebijakan pembangunan ekonomi salah satunya adalah mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak-hak ulayat dari masyarakat adat serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Tanah merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan baik dilakukan oleh pemerintah, perusahaan swasta maupun masyarakat tidak lepas dari kebutuhan akan tanah sebagai wadah kegiatannya. 95 Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undangundang. Disamping mekanisme pencabutan hak atas tanah, UUPA sesungguhnya juga menyebut istilah pelepasan hak atau penyerahan secara sukarela oleh pemegang hak atas tanahnya. Berkaitan dengan pelepasan hak atau penyerahan secara sukarela oleh pemegang hak atas tanah tersebut secara kronologis, awalnya dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (bahkan sebelumnya hanya diatur dalam PMDN Nomor 15 Tahun 1975 dan PMDN Nomor 2 Tahun 1976). Pada tahapan berikutnya dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan selanjutnya melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan baru tahun 2012 masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum dibuat dalam 95 Ibid, hal. 8-9 81 bentuk undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang disyahkan pada tanggal 14 Januari 2012. Berdasarkan konsideran Keppres No 55 Tahun 1993 tersebut, ada tiga prinsip dasar yang melatarbelakanginya yaitu : pertama, pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup, sehingga pengadaannya perlu dilakukan sebaik-baiknya. Kedua, pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Ketiga, pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah. Untuk lebih meningkatkan legitimasi yuridis bagi pelaksanaan pengadaan tanah untuk pengadaan bagi kepentingan umum diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005. Penerbitan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dimaksudkan untuk lebih memberikan dasar normatif bagi pengadaan tanah oleh pemerintah, karena sebelumnya hanya didasarkan pada keppres. Perpres Nomor 36 Tahun 2005 terdapat perluasan esensi dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yakni bidang-bidang kepentingan umum menjadi semakin banyak sehingga lebih mengakomodasi banyak kepentingan. Penerbitan perpres ini juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan para investor yang membutuhkan banyak lahan (tanah) untuk kepentingan pembangunan proyekproyek investasi. Oleh karena itu, persoalan tersedianya lahan merupakan salah 82 satu faktor pertimbangan para investor sebelum menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan adanya kemudahan untuk memperoleh tanah bagi investor sebagaimana ditentukan dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005, diharapkan iklim investasi di Indonesia akan semakin kondusif. Hal ini dapat dipahami dan latar belakang dibentuknya Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ini, yakni sebagai salah satu rekomendasi dari infrastructure summit. Dinilai terlalu memihak kepada kepentingan investor dan tidak memihak kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang hak atas tanah, banyak desakan agar Perpres Nomor 36 Tahun 2005 direvisi. Pada tanggal 5 Juni 2006 diterbitkan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Tujuan dari diterbitkannya Perpres Nomor 65 Tahun 2006 itu adalah untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.96 Pada saat pemerintah melancarkan kebijakan untuk penanaman modal baik dengan penanaman modal asing (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967) maupun dalam rangka penanaman modal dalam negeri (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968), dan demikian pula telah terjadinya begitu banyak pembebasan pembebasan tanah oleh swasta yang tidak terencana untuk keperluan pembangunan perumahan maupun untuk industri dan lain-lain tujuan termasuk yang bersifat spekulatif maka 96 Ibid, hal 181-183. 83 untuk mentertibkannya telah ditertibkan oleh Menteri Dalam Negeri Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974. Dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 1973 disinyalir bahwa dikonstatir adanya pembelian/pemilikan/penguasaan atas tanah milik rakyat yang dilakukan baik oleh sementara orang maupun oleh badan-badan hukum yang jumlahnya melampui batas/kebutuhan usahanya, dan tidak terkendali oleh pemerintah. Demikian pula karena belum adanya land use atas tanah-tanah tersebut maka selama belum adanya ketentuan land use atau sekarang disebut UU Tata Ruang, maka peranan dari swasta tersebut yang menetapkan sendiri land use tersebut maka keuntungan dari para investor tersebut harus dibayar mahal oleh masyarakat sekitarnya sebagai suatu social economic cost. Disinyalir adanya penguasaan/pembelian tanah yang bersifat spekulatif dan usahanya berpaling khusus untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya yang kemudian dijual kepada swasta nasional maupun asing/joint venture maupun kepada pemerintah dengan menawarkan harga yang tinggi namun dengan menekan harga ketika pembelian mereka dari masyarakat. Keadaan yang demikian samasekali tidak mendukung catur tertib pertanahan, rakyat yang tersisih dari tempat-tempat yang subur ke daerah-daerah terpencil dan kurang subur. Rakyat yang menjadi sasaran pembelian tanah tersebut menjadi resah, lebih-lebih lagi didukung pekerjaan tersebut oleh oknum-oknum aparat pedesaan/kecamatan, maupun oknum lain-lainnya. Keadaan yang demikian telah menaikkan harga-harga untuk pembangunan tersebut dan sangat ironis bahwa para investor kadangkala tidak ingin mengalami 84 kesusahan dalam pembebasan tanah tersebut dan menyerahkan saja kepada para perantara tersebut. Dalam instruksi tersebut diatas, maka Menteri Dalam Negeri menugaskan kepada Kepala-Kepala Daerah untuk mencegah masalah-masalah tersebut dan lebih mengadakan pengawasan-pengawasan. Pembebasan tanah untuk swasta terbanyak dari usaha-usaha real estate, industri dan termasuk industri pariwisata. PMDN No. 5 Tahun 1974 Pasal 1 ayat (2) menyatakan : 1. Kebijakan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan-perusahaan baik yang diselenggarakan dengan maupun tanpa fasilitas-fasilitas penanaman modal sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (LN 1967 No 1) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (LN 1968 No 33) yang ditetapkan dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan khususnya Pelita II dan mempunyai sasaran untuk menciptakan suasana dan keadaan yang menguntungkan dan serasi bagi kegiatan-kegiatan pembangunan, dengan tujuan agar pada satu pihak kebutuhan penguasaha akan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan dan pada pihak lain sekaligus terselenggara tertib pengusahaan dan penggunaan tanah berdasarkan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku, hingga tanah yang tersedia benar-benar dimanfaatkan sesuai dengan fungsi sosialnya. Pasal 5 ayat (6) menyebutkan bahwa perusahaan untuk pembangunan perumahan berkewajiban antara lain untuk : a. b. c. Mengajukan kepada pemerintah dengan perantaraan Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan rencana proyek yang akan dibangunnya, termasuk biaya, areal tanah yang diperlukan , jenis rumah dan bangunan serta prasarana lingkungan dan fasilitas sosial, jangka waktu diselesaikannya pembangunan rencana penjualan rumah yang sudah selesai dibangun. Mematangkan tanah dan membangunan jenis-jenis rumah yang juga meliputi rumah-rumah “murah”. Membangun dan memelihara selama waktu yang ditentukan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas sosial yang diperlukan, jalan lingkungan, saluran pembuangan air, persediaan air minum, listrik, telepon, tempat peribadatan, tempat rekreasi/olahraga, pasar pertokoan, sekolah dan lainnya. 85 d. e. Menyerahkan prasarana lingkungan dan fasilitas sosial yang telah dibangun kepada pemerintah/pemerintah daerah. Menyimpan sebagian modal kerjanya di dalam Bank yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai jaminan perusahaan tersebut akan benar-benar melaksanakan proyeknya. Pasal 7 menetapkan bahwa lokasi perusahaan yang akan dibangun dan letak tanah yang diperlukan ditetapkan oleh Gubernur/Kepala Daerah, Bupati/Walikota Kepala Daerah dengan memperhatikan planologi daerah yang bersangkutan. Dalam ayat 3 ditetapkan bahwa : a. Sejauh mungkin harus dihindarkan pengurangan areal tanah pertanian yang subur. b. Sedapat mungkin dimanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif. c. Dihindarkan pemindahan penduduk dari tempat kediamannya d. Diperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran bagi daerah lingkungan yang bersangkutan. Pasal 8 ditetapkan tentang luas tanah yang boleh dikuasai oleh perusahaan tersebut oleh Menteri Dalam Negeri (tentunya sekarang Kepala BPN) atau Gubernur Kepala Daerah. Pasal 20 disebutkan selama belum diperoleh izin dari instansi yang berwenang maka tidak boleh melakukan pembelian, penyewaan, pembebasan hak ataupun lain-lain bentuk perbuatan yang mengubah penguasaan tanah yang bersangkutan, baik secara yuridis ataupun fisik, baik langsung ataupun tidak langsung untuk kepentingan perusahaan atau calon investor. Pasal 20 ayat (2) disebutkan sementara menunggu diperolehnya izin usaha atau persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat, maka Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan : a. Dapat mencadangkan tanah yang diperlukan untuk kepentingan perusahaan/calon investor, seluas yang akan benar-benar diperlukan untuk penyelenggarakan usaha yang direncanakan. 86 b. Menyampaikan pertimbangan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat baik mengenai lokasi perusahaan maupun kemungkinan penyediaan tanahnya. Pasal 11 PMDN Nomor 5 Tahun 1974 disebutkan setelah diperoleh izin dari Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat maka perusahaan tersebut boleh melakukan pembelian, penyewaan atau pembebasan hak dan penguasaan tanah yang diperlukannya, menurut cara-cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan agraria yang ada. Pasal 11 ayat (2) menyebutkan dalam izin yang diberikan Gubernur tersebut ditetapkan jangka waktu dalam masa pembelian atau pembebasan haknya harus diselesaikan. Pasal 11 ayat (3) menyatakan pembelian atau pembebasan hak serta penguasaan tanahnya dilakukan atas dasar musyawarah dengan pihak-pihak yang mempunyainya di bawah pengawasan Bupati/Walikota Kepala Daerah yang bersangkutan dan jika perlu memberikan bantuan jika ada kesulitan dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Pasal 11 ayat (4) menyatakan bahwa selesai pembelian maka tanah yang bersangkutan harus segera diajukan permohonan hak baru kepada pejabat yang berwenang. Pasal 11 ayat (5) menyebutkan Bupati/Walikota Kepala Daerah dapat membatalkan setelah diberi peringatan jika pembelian, penyewaan atau pembebasan tersebut tidak dilakukan menurut cara yang semestinya dan/atau tidak diselesaikan dalam waktu yang ditentukan. Pasal 12 disebutkan Bupati/Walikota Kepala Daerah mengadakan pengawasan agar perusahaan yang bersangkutan memenuhi kewajibannya dan tanah yang telah dikuasai oleh perusahaan dipergunakan benar-benar dan 87 dimanfaatkan sesuai dengan izin dan melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan. Pasal 6 disebutkan juga bahwa dapat diberikan izin penyediaan dan pemberian tanah untuk industrial estate yang bergerak di bidang penyediaan, pengadaan, dan pematangan tanah bagi keperluan usaha industri, termasuk industri pariwisata yang merupakan suatu lingkungan yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana umum yang diperlukan. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang ini dapat berupa perusahaan pemerintah pusat/daerah dengan bentuk Perum atau Persero atau Perusahaan Daerah. - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 268 Tahun 1982 Masalah tersebut terlihat lagi dengan Keputusan dari Menteri Dalam Negeri Nomor 268 Tahun 1982, khusus untuk perusahaan-perusahaan real estate yang belum membebaskan tanah ataupun belum mematangkan tanah ataupun menyelesaikan seluruh proyek secara lengkap. Dalam keputusan tersebut dinyatakan : a. Dalam waktu paling lama 5 tahun harus sudah dibebaskan terhitung sejak izin pembebasan tanah. b. Dalam waktu 3 tahun sejak dibebaskan tanah sudah harus dimatangkan. c. Menyelesaikan pembangunan tersebut 8 tahun sejak diperoleh izin bangunan tetapi tidak melebihi 10 tahun. - Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 Menteri Dalam Negeri telah membuat Instruksi Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah di Daerah Perkotaan yang dikuasai oleh Badan Hukum/Perorangan yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan. Instruksi tersebut yang 88 ditujukan kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota Kepala Daerah, agar tanahtanah yang sudah dibebaskan segera dimanfaatkan dan dipergunakan. Demikan pula untuk mengadakan pengawasan yang intensif dan selambat-lambatnya tanggal 24 September 1982 sudah harus dimanfaatkan/dipergunakan sesuai dengan SK Pencadangan/Penunjukan Lokasi. Pelanggaran terhadap SK tersebut, agar supaya dibatalkan SK tersebut dan tanahnya dikuasai langsung oleh Negara. - Surat Edaran Nomor 593.82/5053/Agr tanggal 22 Desember 1982. Dalam surat edaran tersebut Menteri Dalam Negeri sebaliknya mensinyalir adanya kelambatan-kelambatan maupun hambatan-hambatan izin prinsip pencadangan dan pembebasan tanah sehingga terjadi tunggakan-tunggakan yang cukup besar. Tentunya ini sebagai keluhan dari para investor dalam memperoleh izin tersebut dari pemerintah daerah yang bersangkutan. - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 PMDN ini mengatur tentang penyempurnaan PMDN Nomor 5 Tahun 1974 tentang Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk keperluan perusahaan terutama untuk perumahan sederhana (perumahan rumah dan fasilitas BTN). Dalam hal ini ketentuan ini secara khusus untuk pembebasan tanah bagi perusahaan-perusahaan pembangunan perumahan sederhana yang disetujui dan dibiayai oleh BTN (catatan ketentuan ini bukan untuk pembebasan tanah untuk Perum Perumnas). Permohonan diajukan kepada Gubernur KDH melalui Bupati/Walikotamadya untuk memperoleh penetapan mengenai luas dan lokasinya. Pembebasan tersebut termasuk kategori pembebasan tanah untuk 89 kepentingan pemerintah oleh swasta (berdasarkan PMDN Nomor 15 Tahun 1975 jo PMDN Nomor 2 Tahun 1976). Sebagai contoh di DKI Jakarta, maka ditetapkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Nomor 1898 Tahun 1991tanggal 28 Desember 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembaharuan Surat Izin Penggunaan Tanah Untuk Pembangunan Perumahan (real estate) di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebagai Kelanjutan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta no. Da 11/23/49/1972 tanggal 20 November 1972 tentang Ketetapan Persyaratan Pemberian Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah Untuk Real Estate (Perumahan) dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat Persetujuan prinsip Pembebasan lokasi/lahan pembangunan fisik kota di DKI Jakarta. 97 97 A.P Parlindungan, 1993, Op.cit, hal. 61-67. atas bidang tanah untuk BAB III PENGATURAN DASAR HAK SWASTA DALAM PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM 3.1 Politik Hukum Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Setiap masyarakat yang teratur, menentukan pola-pola hubungan yang bersifat tetap antara para anggotanya adalah masyarakat yang mempunyai tujuan yang jelas. Politik adalah bidang yang berhubungan dengan tujuan masyarakat tersebut. Struktur politik menaruh perhatian pada pengorganisasian kegiatan kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama tersebut. Politik juga aktivitas memilih tujuan sosial tertentu, dalam hukum persoalan yang dihadapi juga adalah persoalan tentang keharusan untuk menentukan pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapainya.98 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari menjelaskan bahwa secara etimologi, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua suku kata yaitu recht dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum. Kata politiek dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van der Tas mengandung arti beleid. Kata beleid dalam bahasa Indonesia berarti 98 H. Riduan Syahrani, 2010, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Banjarmasin, hal. 224. 90 91 kebijaksanaan. Jadi secara etimologi politik hukum berarti kebijaksanaan hukum (legal policy). 99 Istilah politik hukum merupakan kombinasi dari politik dan hukum. Politik merupakan bidang dalam masyarakat yang berhubungan dengan tujuan masyarakat tersebut sekaligus aktivitas memilih suatu tujuan sosial tertentu. Persoalan serupa dihadapi hukum yakni keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, hukum tidak lagi otonom karena memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat. Hukum harus senantiasa melakukan penyelesaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. 100 Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.101 Didalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.102 Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak 99 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 19-25. 100 Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, Pustaka Margaertha, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Bernhard Limbong II), hal. 137. 101 Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 160. 102 Padmo Wahjono, Menelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan, dalam Majalah Forum Keadilan, No. 29, April 1991, hal. 65. 92 penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. 103 Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar yaitu : 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; 2)cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.104 Terdapat pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan oleh para ahli di dalam berbagai literatur. Dari pengertian atau definisi itu, dengan mengambil substansinya yang ternyata sama, Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.105 103 Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, dalam Majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973, hal. 3. 104 Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, Bandung, hal. 352-353. 105 Moh. Mahfud MD, 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 1. 93 Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodik. Politik hukum yang bersifat permanen misalnya : pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hukum. Politik hukum yang bersifat periodik adalah politik hukum yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode tertentu baik yang akan memberlakukan maupun yang akan mencabut, misalnya pada periode 1973-1978 ada politik hukum untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi dalam bidang hukum-hukum tertentu, pada periode 1983-1988 ada politik hukum untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara dan pada periode 2004-2009 ada lebih dari 250 rencana pembuatan UU yang dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).106 Ada perbedaan cakupan antara politik hukum dan studi politik hukum, yang pertama lebih bersifat formal pada kebijakan resmi sedangkan yang kedua mencakup kebijakan resmi dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Studi politik hukum mencakup sekurang-kurangnya 3 hal yaitu : Pertama, kebijakan negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan 106 Prolegnas adalah daftar rencana UU yang akan dibentuk selama satu perode pemerintahan untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi pada periode yang bersangkutan. Prolegnas ditetapkan oleh Ketua DPR berdasar kesepakatan antara DPR dan Pemerintah. Prolegnas mempunyai dua fungsi yakni sebagai potret tentang rencana materi hukum (dalam arti undang-undang) yang akan dibuat dan sebagai prosedur atau mekanisme pembuatan UU itu sendiri. 94 dalam rangka pencapaian tujuan negara. Kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya (poleksosbud) atau lahirnya produk hukum. Ketiga, penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan. Pembahasan bab ini berangkat dari cakupan studi politik hukum yang kedua, yakni latar belakang politik dibalik lahirnya hukum dan pengaruhnya terhadap produk hukum. Pada tataran implementasinya, politik hukum sekurangkurangnya mengakomodasi tiga aspek. Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan pembangunan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan supremasi hukum sesuai fungsi-fungsi hukum, penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum; dan ketiga, proses pembangunan hukum dan pelaksanaannya harus menunjukkan peranan, sifat, dan orientasi hukum dibangun dan ditegakkan.107 Menilik konsep politik hukum dari para ahli hukum sebagaimana dijabarkan diatas, disimpulkan bahwa substansi dari politik hukum itu adalah kebijaksanaan hukum terkait pembangunan dan perombakan hukum dalam rangka mewujudkan apa yang menjadi tujuan negara. Politik hukum itu merupakan langkah dan kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara (pemerintah yang berkuasa) dalam rangka menciptakan sistem hukum nasional guna mewujudkan cita-cita bangsa dan tujuan negara. Pembicaraan mengenai politik hukum Indonesia, dimulai pada saat diberlakukannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Soediman 107 51. Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Presisndo,Surabaya, hal. 95 Kartohadiprodjo mengatakan bahwa berlakunya hukum dalam suatu Negara ditentukan oleh politik hukum Negara tersebut. Politik hukum suatu Negara dapat dilihat dari undang-undang dasarnya, karena pada dasarnya undang-undang dasar suatu Negara memuat sendi-sendi Negara serta kadang kala juga memuat dasardasar politik hukum yang hendak diikuti oleh Negara tersebut.108 Soediman Kartohadiprodjo mengatakan bahwa sekalipun dalam UndangUndang Dasar 1945 tidak terdapat petunjuk mengenai politik hukum yang dianut oleh Negara Indonesia, ternyata ketentuan politik hukum dicantumkan melalui sarana ketetapan MPRS. Hal tersebut dapat dilihat dalam Ketetapan MPRS No.II/1960.109 Secara garis besar dalam Ketetapan MPRS tersebut, mengenai hukum diantaranya ditetapkan hal-hal sebagai berikut : 1. Supaya asas pembinaan hukum nasional itu sesuai dengan haluan Negara; 2. Pembinaan hukum nasional agar berlandaskan pada hukum adat yang sesuai dengan perkembangan kesadaran rakyat Indonesia dan tidak menghambat terciptanya masyarakat adil dan makmur.110 Seiring dengan terjadinya pergolakan politik yang dikenal dengan sebutan pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, maka dengan sendirinya agenda politik hukum yang digariskan oleh Ketetapan MPRS tersebut belum terlaksana sebagaimana mestinya. Pada tahun-tahun tersebut, pemerintah 108 Soediman Kartohadiprodjo, 1967, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, PT Pembangunan, Jakarta, hal. 39-40. 109 Ibid, hal. 198. 110 Ibid. 96 Indonesia sibuk dengan agenda pemulihan keamanan, sementara terkait dengan agenda pembangunan hukum menjadi terabaikan.111 Agenda politik hukum baru mulai dirancang kembali pada tahun 1973. Hal tersebut dilakukan melalui sarana Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam ketetapan MPR tersebut dirumuskan politik hukum yang diikuti oleh Negara Indonesia, yaitu sebagai berikut : 1. Pembangunan di bidang hukum dalam Negara Hukum Indonesia adalah berdasarkan atas landasan sumber tertib hukum. 2. Pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh. 3. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945.112 Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, terlihat dengan jelas bahwa politik hukum yang ditempuh oleh Negara Indonesia adalah mengadakan pembaharuan hukum dan kodifikasi hukum. Politik hukum yang demikian, kembali digariskan oleh MPR melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis Besar Haluan Negara, yaitu sebagai berikut : 1. Pembangunan di bidang hukum dalam Negara hukum Indonesia didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Pembangunan dan pembinaan bidang hukum diarahkan agar hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan 111 Otong Rosadi dan Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum : Suatu Optik Ilmu Hukum, Thafa Media, Yogyakarta, hal. 66. 112 Ibid, hal. 67. 97 pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah diciptakan ketertiban dan kepastian hukum dan memperlancar pelaksanaan pembangunan. 3. Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat. 4. Mengusahakan terwujudnya Peradilan Tata Usaha Negara. 5. Dalam usaha pembangunan hukum nasional perlu ditingkatkan langkah-langkah untuk penyusunan perundang-undangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi warga Negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.113 Melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, MPR menggariskan arah politik hukum sebagai berikut : 1. Pembangunan dan pembinaan hukum dalam Negara hukum Indonesia didasarkan atas Pancasila dan UUD 1945; 2. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat : a. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang telah ada; b. Menciptakan kondisi yang lebih mantap 3. Dalam rangka pembangunan dan pembinaan hukum tersebut, akan dilanjutkan usaha-usaha untuk : a. Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum, antara lain mengadakan kodifikasi serta unifikasi hukum. b. Memantapkan kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing; c. Memantapkan sikap dan perilaku para penegak hukum serta kemampuannya. 4. Meningkatkan penyuluhan hukum. 5. Dalam usaha pembangunan nasional perlu dilanjutkan langkahlangkah untuk penyusunan perundang-undangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi warga Negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.114 Arah politik hukum sebagaimana yang digariskan oleh Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, kembali digariskan oleh MPR melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Selanjutnya melalui Ketetapan MPR Nomor 113 114 Ibid, hal. 68. Ibid, hal. 70. 98 II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, MPR mengarahkan politik hukum nasional sebagai berikut : 1. Terkait dengan Materi Hukum a. Materi hukum meliputi aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bersifat mengikat bagi semua penduduk. b. Pembangunan materi hukum diarahkan terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya penyusunan produk hukum yang sangat dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. c. Pembangunan materi hukum termasuk perencanaan hukum, pembentukan hukum serta penelitian dan pengembangan hukum d. Perencanaan hukum sebagai bagian penting dari proses pembangunan materi hukum harus diselenggarakan secara terpadu dan meliputi semua bidang pembangunan e. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses secara terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 2. Terkait Aparatur Hukum a. Pembangunan aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparatur hukum yang memiliki kemampuan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung pembangunan nasional. b. Pembangunan aparatur hukum dilaksanakan melalui pembinaan profesi hukum serta pemanfaatan semua organisasi dan lembaga hukum. c. Penerapan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan lugas tetapi juga manusia berdasarkan asas keadilan dan kebenaran dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, meningkatkan tertib sosial dan disiplin nasional. 3. Terkait dengan Sarana dan Prasarana Hukum a. Pembangunan sarana dan prasarana hukum diarahkan pada terwujudnya dukungan perangkat yang mampu menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. b. Sarana dan prasarana hukum terus ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya agar dapat mendukung upaya pembangunan hukum secara optimal. 115 115 Otong Rosadi dan Andi Desman, Op.cit, hal. 76. 99 Arah politik hukum yang tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, merupakan awal dari pembangunan hukum nasional dengan menggunakan pendekatan yang sistemik dan holistik. Arah politik hukum sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, kembali diagendakan oleh MPR hasil pemilu tahun 1997 melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Budi Harsono menjelaskan bahwa politik hukum agraria merupakan kebijakan pemerintah di bidang agraria yang ditujukan untuk mengatur penggunaan atau kepemilikan tanah, peruntukan dan penggunaan tanah untuk lebih menjamin perlindungan hukum dan peningkatan kesejahteraan serta mendorong kegiatan ekonomi melalui pemberlakuan undang-undang agraria dan peraturan pelaksanaannya.116 Politik hukum agraria harus dilandasi dengan itikad baik pemerintah dan para pembuat hukum (undang-undang) untuk mencapai tujuan yang baik dalam mengeluarkan kebijakan, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Mengacu pada pemahaman politik hukum sebagaimana yang telah dijabarkan dapat disimpulkan bahwa politik hukum agraria menyangkut arah kebijaksanaan hukum dalam bidang agraria. Kebijaksanaan hukum yang dimaksud bertujuan untuk memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan dan 116 Boedi Harsono, Op. cit, hal. 17. 100 kesejahteraan rakyat.117 Dalam pelaksanaan, legal policy dapat dijabarkan dalam bentuk sebuah peraturan perundang-undangan yang berisikan asas, dasar dan norma dalam bidang agraria. Merujuk pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, politik hukum agraria memiliki hubungan erat dengan konsep hak menguasai negara. Hak menguasai negara bersumber pada alinea keempat UUD 1945 menentukan : Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, kedamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Makna yang terkandung di dalamnya adalah negara diberi tugas dan tanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dari kata-kata tumpah darah memilki makna tanah air. Tanah air Indonesia meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, semuanya itu ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sehingga negara mengupayakan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah digunakan utamanya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. 117 Singgih Praptodihardjo, 1953, Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia, Yayasan Pembangunan, Jakarta, hal. 26-37. 101 Negara sebagai konsep yang berkaitan dengan kekuasaan memiliki sejumlah tujuan hakiki sebagai pengemban tujuan dari seluruh warganya. Oleh karena itu, wajar kalau setiap hukum positif selalu menempatkan suatu tujuan yang terdapat dalam hukum itu yang secara inklusif termasuk tujuan negara. 118 Penjabaran selanjutnya dituangkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 serta dalam Pasal 1 Ayat (1), (2) dan (3) UUPA menentukan : (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa, Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional; (3) Hubungan antara Bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa yang termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Berdasarkan pada ketentuan diatas, wilayah Indonesia adalah salah satu kesatuan tanah air kepunyaan seluruh rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa Indonesia, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa menjadi kekayaan nasional. Kepunyaan itu melahirkan hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan serta ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah hubungan yang bersifat abadi. Artinya bahwa selama bangsa Indonesia masih ada, selama itu pula hak bangsa itu tetap melekat dan dipunyai oleh bangsa Indonesia.119 Hak Menguasai Negara menurut UUD 1945 mengandung hak dan kewajiban negara sebagai pemegang kekuasaan yang mengemban tugas menciptakan kesejahteraan rakyat. Hak menguasai negara 118 dipahami sebagai Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58. Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta, hal. 39. 119 102 kewenangan yang dimiliki oleh negara yang berisi wewenang mengatur, merencanakan, mengelola/mengurus serta mengawasi pengelolaan, penggunaan dan pemanfataan tanah dan sumber daya agraria lainnya; baik dalam hubungan antara individu, masyarakat dan negara dengan tanah dan sumber daya agraria lainnya maupun hubungan antara perseorangan, masyarakat dan negara satu dengan lainnya yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya agraria lainnya. 120 Dalam Penjelasan Umum Nomor II/1/UUPA dijelaskan sebagai berikut: Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia” dan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi bahwa : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa, Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.” Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia jadi tidak semata mata menjadi hak dari pemiliknya saja. Demikian pula tanahtanah di daerah –daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkat paling atas yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3)). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu masih adapula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuatan yang akan memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dari penjelasan diatas, hak bangsa Indonesia atas bumi, air dan ruang angkasa bukanlah hak milik tetapi semacam hubungan hubungan hak ulayat yang 120 Bernhard Limbong II, Op. cit, hal. 141. 103 diangkat pada tingkatan tertinggi, meliputi seluruh wilayah Indonesia. Hak bangsa mengandung dua unsur yaitu : 1. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Pernyataan ini menunjukkan sifat komunalistik dari konsepsi hukum Nasional 2. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama tersebut.121 Unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang termasuk hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu penyelenggaraannya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi dan diserahkan kepada negara. Unsur publik ini tercermin dari adanya kewenangan negara untuk mengatur tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tugas kewenangan ini dilaksanakan oleh negara berdasarkan hak menguasai negara yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut oleh Pasal 2 UUPA. Kata menguasai mempunyai dua arti yaitu menguasai secara fisik dan menguasai secara yuridis. Menguasai secara fisik adalah, orang yang menguasai sebidang tanah dapat berbuat sesuatu misalnya: mendirikan bangunan, menanam tanaman diatas 121 Ari Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, hal. 20. 104 tanahnya dan sebagainya. Menguasai secara yuridis adalah penguasaan atas tanah yang dilandasi dengan hak dan dilindungi oleh hukum, umumnya juga memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menguasai secara fisik tanahnya. 122 Hak menguasai tanah oleh negara termasuk penguasaan secara yuridis atas tanah yang tidak diikuti dengan penguasaan secara fisik tanahnya. Hak menguasai tanah oleh negara hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur halhal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA. Hak menguasai tanah oleh negara berkesinambungan dengan konsep Negara kesejahteraan. Konsep Negara kesejahteraan memikul tanggungjawab utama, mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hubungan penguasaan negara dengan tanah berkaitan dengan beberapa aspek berikut: 1. Berkaitan dengan kesatuan negara, maka negara berfungsi utuk melindungi wilayah negara, melakukan penetapan atas tugas kewenangan pemerintah baik pusat dan daerah, serta dengan memperhatikan perkembangan pluralisme masyarakat hukum adat; 2. Berkaitan dengan pemenuhan kepentinganumum, negara bertugas sebagai perencana, pengatur dan pembangun (menciptakan kepentingan umum tersebut); 3. Berkaitan dengan hak-hak perseorangan, maka negara bertugas mengatur dan menetapkan hak-hak atas tanah yang bersifat publik serta menjamin kelancaran hubungan-hubungan hukum antara orang dengan tanah serta hubungan-hubungan hukum antara orang dengan 122 Muhammad Bakri, Op.cit, hal. 52. 105 tanah serta hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang berkaitan dengan tanah; 4. Berkaitan dengan tanah sebagai fungsi kesejahteraan sosial, maka negara bertugas untuk menjamin pemenuhan kesejahteraan tersebut dengan cara mengatur dan mengawasi; 5. Berkaitan dengan fungsi kesejahteraan ekonomi, maka negara berhak mengatur, melakukan usaha ekonomi dan melakukan pengawasan. Politik agraria dapat dilaksanakan, dijelmakan dalam sebuah undangundang yang mengatur agraria yang memuat asas-asas, dasar-dasar dan soal-soal agraria dalam garis besarnya, dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian ada hubungan yang erat antara politik dan hukum. 123 Bila merujuk pada karakteristik dari semua produk hukum yang diberlakukan di Indonesia sejak era kolonial hingga era reformasi saat ini, arah politik hukum agraria Indonesia meliputi : kebijakan eksploitatif dan diskriminatif pada masa kolonial, kebijakan konstruktif dan responsif pada masa Orde Lama, kebijakan otoriter dan kapitalistik pada era Orde Baru, dan kebijakan reformatif sektoral era reformasi saat ini. 1. Kebijakan Eksploitatif dan Diskriminatif. Karakteristik yang melekat pada politik agraria kolonial, antara lain meliputi dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi.124 Eksploitasi dilakukan dengan menggali/mengeruk sumber kekayaan alam negara jajahan 123 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenanda, Jakarta, hal. 25. 124 Fauzi Noer, 1999, Petani dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Fauzi Noer II), hal. 20. 106 untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya untuk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri. Karakteristik diskriminasi terjadi dalam perlakuan perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. Disamping itu, dalam hal kepemilikan tanah, negara sebagai pemegang kedaulatan dianggap sebagai pemilik tanah satu-satunya, sedangkan para petani (rakyat Indonesia) adalah penggarap tanah negara. Sebagai penggarap, para petani diwajibkan membayar sewa tanah sebagai bentuk perpajakan atas tanah. Penetapan nilai pajak dilakukan untuk membuat nilai tanah dengan mengukur tanah tiap penggarap dan produktivitasnya. Dalam kenyataannya pemungutan pajak dilakukan berdasarkan penilaian fiktif. Kebanyakan penggarap yang didaftar sebagai pembayar pajak pemilik tanah dalam survey penetapan nilai pajak ini adalah penduduk desa kelas atas. Dengan kata lain, para petani kelas bawah tidak diakui sebagai pemegang hak atas tanah, karena itu dikeluarkan dari sasaran pajak langsung. Pemerintah kolonial pun menetapkan bahwa sewa tanah harus dinilai berdasarkan keseluruhan desa bukan berdasarkan penggarap-penggarap individual sepanjang pengukuran dan penilaian tanah yang akurat tidak bisa dilakukan.125 Dalam suatu sistem ini, jumlah sewa tanah yang dipungut atas suatu desa harus ditetapkan berdasarkan kontrak-kontrak dengan kepala desa lokal dan tetua- 125 Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 143. 107 tetua desa. Kekurangan standar universal maka ditetapkan secara lokal setiap tahun melalui negosiasi dengan kepala-kepala lokal tersebut. Penilaian dan pengumpulan sewa tanah dengan menggunakan metode semacam ini dijalankan selama beberapa dekade. Sehingga penerimaan pemerintah dari pengumpulan sewa tanah sangat tidak stabil, dan keadilan dalam perpajakan tidak pernah terealisasi. Hal ini disebabkan oleh variasi lokal yang besar dalam penerapannya. Disisi lain para petani juga harus dibebani oleh sistem tanam paksa maupun berbagai jenis kerja bakti (heerendiensten) oleh Belanda.126 Pada tahun 1870, pemerintah kolonial mengeluarkan Agrarische Wet (AW) dan Agrarische Besluit (AB) sebagai peraturan pelaksanaannnya. UndangUndang ini menjamin kebebasan ekonomi bagi perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan secara perlahan menghapuskan sistem tanam paksa yang berada di bawah monopoli negara.127 Aturan-aturan ini tidak pernah mengakui hak milik individual para petani. Semua tanah tanpa bukti kepemilikan menjadi milik negara (domein van den staat). Tanah-tanah petani pun dianggap sebagai tanah tak bebas, sedangkan tanah tak bertuan atau terlantar digolongkan sebagai tanah negara bebas. Dalam Agrarische Wet diatur bahwa pemerintah dilarang untuk menjual tanah. Pemerintah hanya menyewakan tanah negara. 2. Kebijakan Konstruktif dan Responsif Politik hukum agraria pada era Orde Lama diawali dengan adanya tuntutan kepada Pemerintah setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 untuk 126 Gunawan Wiradi, 2000, Reforma Agraria :Perjalanan Yang Belum Berakhir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 3. 127 Sudargo Gautama, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 80. 108 segera membuat produk hukum agraria nasional yang baru dan berwatak responsif.128 Hal ini terkait kebijakan di bidang agraria warisan pemerintah kolonial yang tidak mengakomodasi kepentingan kepentingan masyarakat Indonesia dan bahkan merugikan rakyat Indonesia. Mena nggapi tuntutan tersebut, pemerintah mengeluarkan beberapa undang-undang secara parsial yang berisi pencabutan terhadap beberapa bagian dalam hukum agraria peninggalan kolonial yang sangat menindas. Pemerintah juga membuat rancangan Undang-Undang Agraria Nasional untuk menggantikan Agrarische Wet melalui beberapa panitia perancang. Dapat dikatakan bahwa politik agraria Orde Lama terfokus pada pembangunan hukum agraria nasional sebagai penjabaran dari Pasal 33 UUD 1945 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini sebenarnya mengemukakan dua hal pokok : pertama, negara ikut campur dalam mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi. Kedua, pengaturan yang dilakukan negara ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua hal pokok ini saling terkait sehingga pada tataran penerapannya tidak boleh mengabaikan satu sama lain. Produk politik hukum agraria yang paling fenomenal adalah diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria 1960. UUPA dinilai sebagai undang-undang yang sangat responsif karena merombak seluruh sistem yang dianut di dalam Agrarische Wet dan semua peraturan pelaksanaannya. Masalah128 Karl J. Pelzer, 1991, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 144. 109 masalah mendasar dalam hukum agraria lama yang dihapus oleh UUPA meliputi domein verklaring, feodalisme dan hak konversi dalam hukum tanah serta dualisme hukum. Konsepsi terpenting dalam UUPA yang kemudian mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial tanah Fungsi sosial tanah dijabarkan dalam Pasal 6 UUPA. Prinsip fungsi sosial ini tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pemerintahan pada masa itu. Tujuannya adalah menghindari akumulasi dan monopoli kepemilikan tanah oleh segelintir orang. Sebaliknya unsur masyarakat atau kebersamaan dimasukkan dalam penggunaan tanah. Dalam hak individu pun ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum untuk menguasai tanah dalam jumlah besar. Pengaturan batas kepemilikan tanah oleh perseorangan dilakukan agar kepemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan layak atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan industri rumah. Di dalam UUPA, terkandung tujuan landreform sebagai satu konsepsi struktur agraria yang didalamnya terdapat usulan tentang perombakan penguasaan dan penggunaan tanah. Landreform bertujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, meningkatkan taraf hidup penggarap tanah khususnya dan rakyat pada umumnya, dan memperluas kepemilikan tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum tani. Dengan landasan filosofi yang disebut konsepsi tanah untuk rakyat, UUPA 1960 bertujuan bukan saja demi kepastian hukum atau jika dirumuskan dengan istilah berbeda “unifikasi hukum”, tetapi tujuan yang 110 hakiki adalah mengubah susunan masyarakat, dari suatu struktur warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu masyarakat yang adil dan sejahtera. Hal ini juga diperkuat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara di dalam ketetapannya, yaitu Tap MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Berencana Tahun pertama, 1961-1969. Tap MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu : anti penghisapan atas manusia oleh manusia; kemandirian ekonomi dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya. Pada pasal 4 ayat (3) Tap MPRS tersebut, disebutkan bahwa landreform sebagai bagian mutlak dari revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan. Demikian juga, dari sejumlah Peraturan Perundang-Undangan di bidang Agraria periode 1960-1966, sebagian besar tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah.129 Tampak jelas bahwa era pemerintahan Orde Lama meletakkan isu agraria sebagai bidang pokok yang harus segera diprioritaskan. Itu artinya Orde Lama menempatkan land reform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya untuk mencapai Sosialisme Indonesia dengan mengeluarkan peraturan mengenai redistribusi tanah. Syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan 129 Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 185. 111 kapitalisme dengan melaksanakan land reform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. 3. Kebijakan Otoriter dan Kapitalistik Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi merupakan fokus dan prioritas pada era Orde Baru. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi kebijakan perdana dalam rangka pembangunan ekonomi. Perusahaan asing yang telah dinasionalisasi oleh Orde Lama, pada tahun 1967 mulai diprivatisasi. Bahkan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri dilakukan sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru.130 Implikasi dari kebijakan pro pembangunan ekonomi turut mempengaruhi kebijakan di bidang agraria. Kebijakan agraria pun lebih berorientasi pada upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditujukan untuk pemenuhan kepentingan dan kebutuhan pembangunan sektoral (pertanian dan industri). Pergeseran orientasi kebijakan pun tidak dapat dihindari. Kebijakan yang lebiih populistik sebelumnya bergeser menuju kebijakan yang pro kapitalis. Tujuannya tidak lain dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Dalam bingkai pendekatan ekonomi yang cenderung kapitalistik, tanah dipandang sebagai komoditi strategis. Ketersediaan tanah yang memadai bagi setiap sektor pembangunan ditujukan untuk mendorong invetasi seluas-luasnya dan sebesar-besarnya dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tanah dipandang sebagai barang dagangan, siapa yang memiliki uang 130 Ricardo Simarmata, 2002, Kapitalisme Perkebunan:Dinamika Konsep Pemilikan Tanah Oleh Negara, INSIST Pres, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 64. 112 dapat membelinya tanpa harus dibatasi. Para pemilik modal dapat menanamkan modalnya dalam bentuk tanah yang pada gilirannya menimbulkan terkonsentrasinya kepemilikan tanah pada segelintir orang. Arah kebijakan agraria yang berkaitan dengan hukum agraria ditegaskan bahwa pembangunan hukum agraria ditujukan dalam rangka memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya: dilaksanakan dengan mengembangkan dan membina kelengkapan perangkat peraturan perundang-undangan di bidang agrarian; dilaksanakan dengan menyelenggarakan Catur Tertib Agraria yaitu tertib hukum agrarian, tertib administrasi agraria, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Dalam konteks tersebut, jelas bahwa pembangunan hukum pun lebih menitikberatkan pada pengamanan pelaksanaan pembangunan. Artinya tertibnya hukum agraria ditujukan untuk mengakomodasi dan memudahkan eksploitasi sumber daya alam dan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Jelas terlihat bahwa terjadi perubahan ideologi pembangunan dari sosialisme kearah kapitalisme yang termanifestasi dalam liberalisasi dan swastanisasi penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainya.131 Dalam perkembangannya sejak pertengahan dekade 1980an hingga mencapai titik kulminasi pada awal dekade 1990an swastanisasi dan liberalisasi semakin menjadi mainstream substansi kebijakan agrarian. Ekstrimnya 131 Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 150. 113 bahwa terjadi komoditisasi tanah pada periode itu yang berdampak negatif bagi perlindungan kepemilikan tanah masyarakat.132 3.2 Politik Hukum Pengaturan Hak Swasta Dalam Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Kesejahteraan rakyat merupakan tanggungjawab negara, hal tersebut tercermin dari isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Lebih jauh lagi ditegaskan dalam Pasal 34 UUD 1945 menyatakan : (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan (3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang Ketentuan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 ini merupakan landasan konstitusional bagi Negara untuk melakukan campur tangan dalam bidang perekonomian. Campur tangan negara dalam bidang perekonomian ini dikhususkan pada pengaturan pasar dalam konsep negara kesejahteraan. Campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi merupakan satu asas yang dibutuhkan dalam rangka pembinaan cita hukum dari asas hukum nasional. Asas-asas lainnya adalah asas keseimbangan dan asas pengawasan publik. Mengingat tujuan dasar kegiatan ekonomi adalah untuk mencapai keuntungan, sehingga sasaran tersebut mendorong terjadi penyimpangan. Maka untuk menghindari penyimpangan diperlukan campur tangan Negara. 132 Ifdhal Kasim, 1996, Tanah Sebagai Komoditas : Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru, ELSAM, Jakarta, hal. 30. 114 Politik perundang-undangan adalah subsistem hukum, politik perundangundangan tidak dapat dipisahkan dari politik hukum. Mengetahui politik hukum pada dasarnya mengetahui politik perundang-undangan, demikian pula sebaliknya yaitu mengetahui politik perundang-undangan pada dasarnya mengetahui politik hukum. Politik tentang tata cara pembentukan terkait sistem hukum dan instrument hukum yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Politik penerapan hukum berkaitan dengan fungsi penyelenggaraan pemerintahan di bidang hukum. Politik penegakan hukum berkaitan dengan sendisendi sistem kenegaraan. 133 Corak dan isi politik hukum perundang-undangan dapat dilihat dari faktor-faktor berikut : 1. Corak Politik Perundang-undangan Peraturan perundang-undangan pada dasarnya akan mencerminkan berbagai pemikiran dan kebijaksanaan politik yang berpengaruh, yang dapat bersumber kepada ideologi tertentu. Seperti doktrin sosialisme akan berbeda dengan doktrin kapitalisme di bidang ekonomi. Politik hukum pada negara demokrasi akan berusaha memberikan kesempatan yang luas pada keikutsertaan masyarakat menentukan corak dan isi huku yang dikehendaki. Indonesia berdasarkan Pancasila dan yang berdasarkan kekeluargaan akan mempunyai politik hukum tersendiri sesuai dengan rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. 133 H. Abdul Latif dan H.Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.164. 115 Ada tiga tataran kebijaksanaan politik perundang-undangan yang terkandung dalam kerangka dan paradigma staatsidee atau rechtsidee yaitu : a. Pada tatanan politik, tujuan Hukum Indonesia adalah tegaknya negara hukum yang demokratis. b. Pada tatanan sosial dan ekonomi, politik hukum bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. c. Pada tataran normatif, politik hukum bertujuan tegaknya keadilan dan kebenaran dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Ketiga tujuan tersebut berada dalam suatu tataran hukum nasional yang bersumber dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2. Tingkat Perkembangan Masyarakat Politik hukum yang berdasarkan perkembangan masyarakat lebih bercorak pragmatik. Sifat ini harus secara berhati-hati ditangani, karena menyentuh berbagai dasar atau paradigma kenegaraan yang mungkin menggeser staatsidee atau rechtsidee yang menjadi sumber citra bernegara. Seperti kebutuhan dan kepentingan masyarakat industri berbeda dengan kepentingan masyarakat agraris. 3. Pengaruh Global Politik hukum memperhatikan pula pengaruh global. Dalam konteks global, politik hukum tidak dapat semata-mata melindungi kepentingan nasional tetapi juga melindungi kepentingan internasional atau juga harus melindungi kepentingan lintas negara. 116 4. Intervensi Asing dalam Pembentukan Undang-Undang Peraturan perundang-undangan di negara manapun selalu dibuat manusia dengan suatu pemikiran mendasar di dalam benaknya. Pemikiran mendasar ini bisa dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keyakinan, ideologi atau agama, pengetahuan dan juga bisa kepentingan. Kepentingan inipun bisa bermacammacam seperti kepentingan pribadi, kepentingan kelompok atau partai, kepentingan rakyat atau kepentingan asing. Dari semua faktor diatas, yang paling berbahaya adalah ketika kepentingan asing mendominasi. Walaupun kepentingan rakyat luas bisa salah satu atau bertentangan dengan keyakinan tertentu, akibatnya baru akan terasa pada jangka panjang. Jika kepentingan asing dominan maka dapat ditebak bahwa dalam waktu singkat peraturan perundang-undangan itu sudah akan menimbulkan masalah bagi masyarakat. Intervensi asing yang disebutkan dalam paparan pembahasan bab ini dikategorikan dalam lima metode kelompok yaitu : 1. Intervensi pemerintah ke pemerintah yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam peraturan perundang-undangannya. 2. Intervensi lembaga internasional seperti PBB, WTO, IMF yang mengambil peran penekanan. Kelompok ini sedikit lebih elegan karena seakan agenda yang ingin dipaksakan adalah kesepakatan-kesepakatan internasional. Hal ini seolah rekomendasi lembaga internasional itu sebagai sesuatu yang ideal karena memenuhi standar dan norma 117 internasional. Bila tidak diikuti bisa terkucilkan atau tidak lagi pnatas menerima kerjasama dunia. 3. Intervensi dunia bisnis baik bisnis yang memiliki jaringan internasional maupun bisnis yang hanya bergerak di lingkup domestik. Para pengusaha dan investor ini dapat menekan pemerintah agar memuluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang. Tidak jarang pengusaha asing menggunakan mitra lokal untuk lebih lantang bersuara agar tidak terkesan ada kepentingan asing di balik itu. Ancaman yang sering dimunculkan adalah memindahkan investasi ke negara lain yang beriklim lebih baik. 4. Intervensi lembaga swadaya masyarakat. LSM termasuk ormas-ormas dapat menjadi kelompok penekan yang efektif pada pemerintah, badan legislatif maupun badan yudikatif. 5. Intervensi kaum intelektual, para ilmuan, lembaga konsultan dapat dipakai untuk menekan pemerintah agar meloloskan agenda dalam perundang-undangannya. Para birokrat dan perancang Undang-Undang juga terkadang diundang untuk studi banding dan bertemu dengan pakar di luar negeri. Dalam pertemuannya itulah terjadi intervensi secara halus. Dalam kenyataannya, pola kaum intelektual ini adalah jenis intervensi asing yang paling rapi dan paling sulit dideteksi, karena yang akan muncul adalah keyakinan dari anak banga sendiri. 118 Pola intelektual ini hanya digunakan untuk intervensi jangka panjang.134 Berangkat dari pembahasan corak politik perundang-undangan maka akan dikaitkan dengan pembahasan pengaturan hak swasta dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dimulai dari pembahasan lahirnya Perpres No. 36 Tahun 2005. Lahirnya Perpres tersebut dilatarbelakangi dengan ideologi pembangunan yang berjiwa kapitalis. Alasan tersebut berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, hal tersebut didukung dengan pernyataan Presiden bahwa Perpres ini diterbitkan untuk percepatan pembangunan infrastruktur agar program pemerintah mencapai target peningkatan pertumbuhan ekonomi. Alasan kedua karena lebih mengutamakan kepentingan pengusaha atau pemilik modal baik dari dalam negeri maupun luar negeri sebagai upaya untuk mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya keberpihakan pemerintah sebagai penguasa politik terhadap pengusaha atau pemilik modal karena realitas politik menunjukkan bahwa terbentuknya pemerintahan ditujukan untuk kepentingan pemodal dimana pemerintah digunakan sebagai alat menguasai ekonomi yang berimplikasi termarginalkannya hak-hak rakyat. Dengan adanya campur tangan asing melalui pemberian utang luar negeri seperti IMF, Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia. Lembaga donor membuat skenario supaya Indonesia tidak mampu membayar utangnya sehingga lembaga donor dapat mengintervensi kebijakan ekonomi Indonesia. Skenario yang dilakukan pemberi utang adalah pembangunan infrastruktur dimana sebagai akibat Negara penerima bantuan 134 Ibid, hal. 166-168. 119 harus mengadakan pembebasan tanah untuk kepentingan Negara donor. Cara IMF dan Bank Dunia ini merupakan program neo-liberal dengan memaksakan program penyesuaian struktural.135 Perpres No. 36 Tahun 2005 melemahkan posisi masyarakat seperri komunitas ada, karena hak mereka atas tanah terabaikan. Seharusnya perpres ini muncul dalam satu paket dalam penataan ruang dan UUPA. Dasarnya adalah reformasi bidang ini harus menyeluruh dan terintegrasi. Pengamat sosial ekonom, Gunawan Wiradi menilai Perpres No. 36 Tahun 2005 ini bersifat parsial karena persoalan mendasar adalah kondisi yang sengaja dibuat Negara tidak mampu membayar utang luar negeri sehingga Negara donor dapat menyetirnya. Salah satu bentuk kendali Negara pemberi donor adalah prinsip pengadaan infrastruktur yang menguntungkan mereka yang membuat Negara terutang terikat dan harus mengadakan pembebasan tanah demi kepentingan investor. 136 Politik perundang-undangan merupakan sebagian dari politik hukum, sebagai dasar kebijakan politik hukum berlaku bagi politik perundang-undangan. Politik perundang-undangan berkenaan dengan pembangunan materi hukum meliputi : Pertama, pembentukan dan pembaharuan perundang-undangan. Kedua, penginventarisasian dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku dengan sistem hukum nasional. 137 Hukum akan berfungsi memberi kemudahan, mendorong perubahan atau sekedar menjaga kestabilan tergantung sepenuhnya pada arah perkembangan kehidupan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun 135 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 210 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 223. 137 H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Op.cit, hal. 170. 136 120 hankam. Jadi hukum dalam kaitan dengan pembangunan hukum nasional memerlukan rumusan politik hukum yang integral dan komprehensif sebagai penjabaran lebih lanjut dari hal-hal umum yang telah digariskan dalam sasaran pembangunan. Politik hukum tersebut akan mencakup politik pembangunan hukum, politik penentuan isi hukum dan politik penerapan dan penegakan hukum. Politik hukum ini harus pula mencakup aspek-aspek sumber daya sistem pengelolaan dan sebagainya. Perubahan-perubahan politik perekonomian terutama yang menyangkut peranan dan kedudukan Negara dalam kegiatan perekonomian. Terdapat tiga pemikiran politik perekonomian yang dijalankan. Pertama, Politik perekonomian yang mengarah pada etatisme ekonomi (paham yang lebih mementingkan Negara daripada rakyat). Negara menjadi pelaku pada hampir semua sektor perekonomian pembatasan konstitusi seperti diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 yaitu usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak lagi diperhatikan. Negara mempengaruhi pula berbagai kegiatan perekonomian yang dijalankan masyarakat melalui berbagai bentuk wewenang pengendalian yang acapkali menjadi berlebih-lebihan. Kedua, politik perekonomian yang mengarah pada sistem ekonomi pasar. Sistem ini mengkehendaki masyarakat sebagai pemeran utama kegiatan perekonomian. Peran negara harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat mendorong dan memberikan fasilitas pada kegiatan perekonomian. Kecenderungan pada ekonomi pasar inilah yang menimbulkan kritik terhadap, misalnya UUPA, peraturan perizinan, peraturan di bidang investasi dan lain-lain. Peraturan- 121 peraturan ini dipandang kurang memberikan jalan yang diperlukan bagi kenyamanan sistem perekonomian yang sedang dijalankan. Ketiga, politik perekonomian yang hendak menciptakan keseimbangan antara kecendrungan etatisme dan ekonomi pasar. Keseimbangan semacam ini dipandang sebagai bentuk politik perekonomian yang secara konstitusional dikehendaki UUD 1945. Politik perekonomian ini secara ideologis maupun normative hendak mengedepankan factor keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai sendi utama sistem perekoniman yang semestinya dijalankan.138 Setelah membahas uraian corak politik perundang-undangan tersebut, maka akan dibahas penormaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan melakukan interpretasi sejarah hukum. Interpretasi sejarah hukum adalah metode interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum. Jika ingin mengetahui makna yang terkandung dalam suatu peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maka tidak hanya sekedar meneliti sejarah hingga terbentuknya undang-undang melainkan juga diteliti lebih panjang proses yang mendahuluinya. Pasal 1 lampiran Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya, disebutkan 4 kategori kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum. Adapun kutipan pasal 1 tersebut sebagai berikut : 138 H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Op.cit, hal. 192. 122 Pasal 1 (1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut : a. Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau c. Kepentingan rakyat banyak/ bersama dan/atau d. Kepentingan pembangunan (2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi bidang-bidang : a. Pertahanan b. Pekerjaan Umum c. Perlengkapan umum d. Jasa umum e. Keagamaan f. Ilmu kesehatan dan seni budaya g. Kesehatan h. Olahraga i. Kesehatan umum terhadap bencana alam j. Kesejahteraan social k. Makam/kuburan l. Pariwisata dan rekreasi m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum (3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum. Pihak yang berhak mengajukan objek tersebut bukan hanya instansi pemerintah tetapi juga usaha-usaha swasta (Pasal 3) asal saja harus disetujui oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan rencana pembangunan. Oleh karena itu pada Pasal 2 disebutkan proyek pembangunan tersebut termasuk dalam Rencana Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan. (Rencana induk pengembangan tersebut harus bersifat terbuka untuk umum). Berikut ini adalah kutipan pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973. (1) Suatu proyek pembangunan dinyatakan mempunyai bentuk kegiatan sebagai dimaksud dalam Pasal 1 diatas, apabila 123 (2) (3) sebelumnya proyek tersebut sudah termasuk dalam Rencana Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan. Jika suatu Proyek pembangunan daerah akan dinyatakan mempunyai bentuk kegiatan sebagai dimaksud dalam pasal 1 diatas, maka sebelumnya proyek harus sudah termasuk dalam Rencana Induk Pembangunan dari daerah bersangkutan dan yang telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Daerah setempat. Rencana Induk Pembangunan sebagai dimaksud dalam ayat (2) pasal ini harus bersifat terbuka untuk umum. Pasal 3 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 menyatakan sebagai berikut : (1) (2) Yang berhak menjadi subyek atau pemohon untuk mengajukan permintaan pencabutan hak atas tanah adalah instansi-instansi Pemerintah/Badan-badan Pemerintah maupun usaha-usaha swasta, segala sesuatunya dengan memperhatikan persyaratan untuk dapat memperoleh sesuatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku. Usaha-usaha swasta sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, rencana proyeknya harus disetujui oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah sesuai dengan Rencana Pembangunan yang telah ada. Disamping Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 oleh Menteri Dalam Negeri diterbitkan peraturan mengenai ketentuan-ketentuan tata cara pembebasan tanah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) PMDN No 15 Tahun 1975 menyatakan bahwa pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Panitia ditetapkan oleh Gubernur /Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya dalam sesuatu wilayah Provinsi. Didalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah 124 harus musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di dalamnya berdasarkan harga umum setempat (Pasal 6 Ayat 1). Jika terdapat perbedaan harga taksiran ganti rugi diantara para anggota panitia, maka yang dipergunakan harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota (Pasal 6 Ayat 3). Pembebasan tersebut dapat untuk keperluan pemerintah ataupun swasta. Disinilah perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang bandingnya pada Pengadilalan Tinggi sebagaimana sudah dibicarakan. Di dalam pembebasan hak atas tanah ini maka kemungkinan pemukiman kembali dari penduduk yang terkena pembebasan tersebut tetap dapat ganti rugi tersebut berupa uang, tanah dan atau fasilitas lainnya. Dalam pasal 11 PMDN No. 15 tahun 1975 disebutkan : (1) (2) Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi pelaksanaan Pembebasan Tanah dan pemberian ganti rugi. Pembebasan tanah untuk keperluan Swasta pada asasnya harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman pada asas musyawarah. Dicatat pula keputusan seminar segi-segi hukum pembinaan kota dan daerah di Ambon yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat Maluku dan Fakultas Hukum Universitas Pattimura, antara lain menyinggung tentang Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tersebut. Dikemukakan beberapa pendapat atau pandangan sebagai berikut : Pertama, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 baik ditinjau dari segi formalnya (yang tidak memenuhi persyaratan juridis) maupun ditinjau dari segi materiilnya (yaitu berupa perlindungan kepada 125 anggota masyarakat yang akan dicabut haknya) adalah batal menurut hukum. Kedua, apabila Peraturan Menteri Dalam Negeri itu diuji kepada doktrin (bahwa ada pembatasan wewenang dari badan negara untuk membuat undang-undang dalam arti materiil) dengan anggapan bahwa pembebasan tanah adalah sama dengan pencabutan hak maka Peraturan Menteri termaksud adalah batal karena : - Menteri Dalam Negeri tidak mempunyai wewenang membuat peraturan yang mengikat umum, tanpa adanya pendelegasian wewenang. - Mengenai pencabutan hak, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 telah menunjuk Presiden sebagai instansi yang berwenang memutus. - Peraturan Menteri Dalam Negeri mengatur suatu soal yang telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan isi Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut bertentangan dengan isi undang-undang termaksud. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta menyatakan bahwa swasta dapat mempergunakan PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu untuk membebaskan tanah untuk keperluan usahanya. Pasal 1 PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu disebutkan sebagai berikut : Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II, dan IV Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. 126 Pasal 2 PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu disebutkan sebagai berikut “Penggunaan acara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.” Penggunaan oleh swasta untuk pembebasan ini dengan mempergunakan peraturan yang diperuntukkan pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah telah menimbulkan dampak yang luas dan rakyat dibingungkan bahwa proyek-proyek swasta seperti dianggap untuk kepentingan umum. Dalam pembebasan tanah tersebut tidak terelakkan terjadinya sejumlah tindakan-tindakan tidak terpuji karena panitia pembebasan tanah tersebut lebih memihak kepada investor daripada membela kepentingan rakyat. Dalam banyak hal jika tidak terdapat kesepakatan mengenai harga ganti rugi seperti yang terlaksana dengan PMDN Nomor 15 Tahun 1975, maka uang ganti rugi tersebut dikonsignasi di Pengadilan Negeri setempat dan dianggaplah pembebasan tanah tersebut sudah selesai. Dengan konsignasi uang ganti rugi tersebut harga dapat ditekan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 dalam Pasal 2 mengatur sebagai berikut : 1. Pengadaan tanah untuk keperluan proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh instansi pemerintah dilaksanakan oleh Pimpinan Proyek Instansi yang bersangkutan. 2. Pengadaan tanah yang dimaksud dalam ayat (1) luasnya tidak lebih dari 5 (lima) ha. 3. Dalam melaksanakan pengadaan tanah dimaksud dalam ayat (1) Pemimpin proyek memberitahukan kepada Camat mengenai letak dan luas tanah yang diperlukan 127 4. Apabila dipandang perlu, Camat dapat meminta bantuan instansi/dinas teknis yang bersangkutan dengan jenjang hierarki. Pimpinan proyek mengadakan musyawarah dengan yang bersangkutan. Oleh Dirjen Agraria dikeluarkan Edaran Nomor 590/4263/Agr tanggal 2 Agustus 1985 tentang petunjuk pelaksana peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985. Demikian pula oleh Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985, yaitu bahwa pengeluaran yang dapat dibebankan untuk jenis pengeluaran tanah meliputi antara lain biaya administrasi pembuatan akta jual beli oleh Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah atau sebagai Kepala Wilayah; pembelian ganti rugi tanah termasuk bangunan dan tanaman diatasnya; penyelesaian sertifikat tanah; biaya pengosongan; biaya pengeringan; biaya pemerataan, pematangan tanah dan pengeluaran lain yang berhubungan dengan itu. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 ini diatur untuk memberikan suatu kemudahan bagi perusahaan pembangunan perumahan yang berbentuk badan hukum, baik untuk penyediaan tanah, pencadangan tanah dan izin lokasi. Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 dinyatakan sebagai berikut : 1 2 3 Izin lokasi untuk keperluan perusahaan yang luasnya tidak lebih dari 15 ha bagi daerah tingkat II yang telah mempunyai rencana induk kota/rencana kota, ditetapkan oleh bupati/walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.2 Izin lokasi yang luasnya tidak lebih dari 200 ha ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Izin lokasi yang luasnya lebih dari 200 ha ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri. 128 Peraturan ini sebagai pengganti dari PMDN Nomor 5 Tahun 1974 khusus tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah dan PMDN Nomor 2 Tahun 1984 keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan sederhana/perumahan murah yang diselenggarakan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah dari Bank Tabungan Negara. Untuk keperluan pembebasan tanah untuk industri maka telah diatur dengan Keppres Nomor 53 Tahun 1989, yang memberikan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai kepada badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia ataupun perusahaan-perusahaan negara/daerah. Kepada perusahaan-perusahaan tersebut diberikan izin prinsip dan izin tetap, dan telah memperoleh amdal berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1986. Permohonan izin lokasi dan izin pembebasan diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah melalui Kepala Kanwil BPN dan izin pencadangan diatur oleh Kepala BPN. Kepada perusahaan negara/daerah dapat diberikan Hak pengelolaan, izin industri diberikan oleh Menteri Perindustrian. Perusahaan yang bersangkutan harus memberi ganti rugi yang layak berdasarkan musyawarah ataupun memberikan penggantian tanah di lokasi lain yang nilainya seimbang. Didalam 3 tahun setelah izin prinsip sudah harus dibebaskan 60%. Disebutkan bahwa kawasan industri tersebut tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan tidak pula diatas tanah yang berfungsi untuk melindungi sumber daya alam dan warisan budaya. Pencabutan hak seperti yang diatur dengan UU No. 20 Tahun 1961 akan merupakan suatu bahan studi yang baik dalam konstelasi hukum di Indonesia dan apa sebabnya tidak berjalan sebagaimana yang ingin dilaksanakan dan komentar 129 atas undang-undang tersebut akan berguna dalam pelaksanaannya di masa-masa yang akan datang. Hal ini berkaitan dengan adanya PMDN No. 15 Tahun 1975 dengan panitianya. Untuk kepentingan pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta maka oleh pemerintah diterbitkan juga PMDN Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. Dalam konsiderannya diuraikan bahwa pelaksanaan pembangunan sebagaimana telah digariskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. IV/MPR/1973) tidak semata-mata menjadi beban pemerintah, melainkan diharapkan pula adanya peranan aktif dari pihak swasta/rakyat. Selain itu bahwa untuk merangsang pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan dipandang perlu adanya bantuan fasilitas dari Pemerintah yang berbentuk jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah, untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas-fasilitas sosial. PMDN Nomor 2 Tahun 1976 dalam Pasal 1 disebutkan : Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II dan Bab IV Peraturan Menteri Dalam Negari No. 15 Tahun 1975. Pasal 2 Penggunaan acara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini, memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Pasal 3 130 (1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I memberikan izin termasuk dalam pasal 1 Peraturan ini, atas permohonan dari pihak swasta yang berkepentingan, dengan memperhatikan manfaat dan kegunaan proyek yang termaksud bagi kepentingan umum/rakyat bannyak sesuai dengan rencana proyek yang harus mereka ajukan. (2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I wajib secepatnya menyampaikan laporan kepada Menteri Dalam Negeri setiap kali dilaksanakan pembebasan tanah rakyat menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan ini. Pasal 4 Dalam surat izin pembebasan tanah oleh pihak swasta menurut acara yang berlaku bagi pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 3 diatas, harus dicantumkan alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang dipergunakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk pemberian izin tersebut. Pengaturan mengenai pembebasan tanah untuk kepentingan swasta diatur juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dalam Pasal 11 diuraikan : (1) Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah dan pemberian ganti rugi (2) Pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada asasnya harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman kepada asas musyawarah. Indonesia adalah salah satu negara yang dinamis di dunia, dengan tingkat kepadatan penduduk diperkirakan mencapai hampi 266 juta jiwa pada tahun 2009. Kecendrungan semacam ini menuntut penambahan di bidang pengadaan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur) seperti sarana transportasi, sarana kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, pengadaan air bersih, jaringan listrik, pelabuhan, baik udara maupun laut dan sebagainya.139 139 Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Model BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Jakarta, hal. 1. 131 Selama Pelita VI dengan kurun waktu 1994-1999 lalu, dana yang dibutuhkan untuk pengadaan infrastruktur mencapai lebih dari US S 50 billion dan selama Pelita ke VII dibutuhkan dana sebesar US S 132 bilion. Dana sebesar itu tentu terasa sangat berat bila harus dibebankan hanya pada APBN. Kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur sampai dengan tahun 2009 diperkirakan menelan dana antara Rp 700 triliun – Rp 1.030 triliun. Sekitar Rp 200 triliun dapat didanai dengan APBN, artinya pemerintah hanya mampu membiayai sekitar 20% sedangkan sekitar Rp 600 triliun atau sekitar 80% nya diharapkan partisipasi swasta lokal atau internasional. Di sektor ketenagalistrikan, sampai dengan tahun 2010 diperkirakan membutuhkan dana sampai dengan 30 miliar dolar AS. Dari total tersebut hanya 40% yang mampu dipenuhi pemerintah, sisanya diserahkan kepada swasta nasional atau swasta asing. Untuk rencana Jalan Tol Semarang diperkirakan menghabiskan dana sekitar 427 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,6 trilun.140 Melihat keterbatasan pemerintah melalui APBN dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktrur dituntut adanya model-model atau pola-pola baru sebagai alternatif pembiayaan proyek pembangunan. Didaerah pembiayaan pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan dana APBD juga dirasakan semakin terbatas jumlahnya, untuk itu dibutuhkan pola-pola baru sebagai alternatif pendanaan yang tidak jarang melibatkan pihak swasta (nasional-asing) dalam proyek-proyek pemerintah. Partisipasi swasta dalam pengadaan proyek 140 Ibid, hal. 2. 132 infrastruktur tersebut tentunya merupakan fenomena yang cukup baru di Indonesia. Partispasi swasta dalam pembangunan infrastruktur dapat diarahkan pada proyek yang membutuhkan dana besar, seperti halnya : jalan tol, migas, bendungan, pembangkit listrik, perluasan bandara dan pembangunan mal. Namun demikian, dapat pula digunakan dalam proyek infrastruktur yang tidak membutuhkan dana besar, seperti renovasi pasar, terminal, pangkalan truk, rest area, resort dan lain-lain. Dengan demikian yang penting proyek tersebut dapat memberikan pendapatan ekonomi bagi kontraktor. 141 Krisis ekonomi yang menerpa negeri ini sejak awal 1998 sangat dirasakan menurunnya kemampuan pemerintah untuk mendanai proyek pembangunan yang telah dijadwalkan. Menurunnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan anggaran untuk pengadaan sarana dan prasarana sangat dirasakan pengaruhnya bagi pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) dalam merealisasi proyek pembangunan yang sangat dibutuhkan rakyat banyak. Bagi pemerintah daerah mengandalkan dana APBD untuk pembiayaan proyek pembangunan juga sangat terbatas. Krisis ekonomi telah mengakibatkan keterbatasan kemampuan pemerintah Pusat atau Daerah dalam merealisasikan proyek pembangunan infrastruktur. Perlu dicari alternative pembiayaan proyek yang lain selain mengandalkan dana APBN atau APBD. Bagi investor asing yang akan ikut dalam proyek infrastruktur di Indonesia maka hambatan umum yang dilontarkan adalah : 141 Ibid, hal. 4. 133 a. b. c. d. e. Clear legal and regulatory framework to guide sector participation (PSP). Predictability in the in the interpretation of the government of Indonesia PSP policies into implementing procedures and practices. Effective board based private sector competition. Compatibility between project structuring the management of risk and the expectation of financial institutions. Current accurate and complete PSP-related information. 142 Untuk itu diusulkan agar pemerintah Indonesia mengembangkan konsep hukum dan kerangka pengaturan yang : (a) Clear and consistent; (b).Accessible for the public and private sectors (c). Predictable in their interpretation of policies in to procedures and practices and to extent practical, (d) Competible with good commercial practice and the requirements of international lending institutions. Keikutsertaan swasta dalam pengadaan infrastruktur harus pula didasarkan pada beberapa prinsip, yaitu : a. Tetap seiring dengan asas, tujuan, sasaran dan wawasan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. b. Saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan c. Meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan dan atau pengelolaan infrastruktur. d. Semakin mendorong pertumbuhan ekonomi. e. Meningkatkan kualitas pelayanan dan member manfaat yang lebih besar pada masyarakat. 142 JD. Hal Sulivan, How the Private Sector can work in partnership with the Government of Indonesia successfully implement infrastructure projects, Presented at the Legal Climate in Indonesia for BOT Investment, 17 Juni 1996, Jakarta, hal. 2 134 f. Proses pengikutsertaan diselenggarakan melalui proses penawaran yang terbuka serta transparan, sehingga ikut serta mendorong iklim investasi. g. Tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan sepenuhnya tunduk pada hukum Indonesia.143 Untuk itu, penanggungjawab diharapkan dapat para Menteri/Pimpinan menyelenggarakan pra lembaga kualifikasi selaku dengan mengikutsertakan swasta untuk pengadaan infrastrukur harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu : a. Pengalaman dalam pengerjaan proyek sejenis dengan refrensi yang diperlukan; b. Prestasi dan kinerja perusahaan dalam mengerjakan proyek tersebut huruf a; c. Kemampuan badan usaha swasta, baik yang menyangkut aspek keuangan, tenaga ahli, peralatan, maupun kemampuan dalam pengerjaan proyek dikaitkan dengan kondisi alam maupun kondisi sosial, budaya, ekonomi dan lain-lain yang melingkupi proyek. 144 Dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2006, Presiden telah menetapkan sembilan prioritas program kerja dalam rencana kerja pemerintah (RKP) 2007, antara lain : percepatan pembangunan infrastruktur. a. Khususnya pembangkit tenaga listrik, jalan tol, bandara, perkeretaapian, pelabuhan dan telekomunikasi. 143 144 Budi Santoso, Op.cit, hal. 10 Budi Santoso, Op.cit, hal. 11. 135 b. Percepatan pembangunan infrastruktur merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. c. Namun kemampuan pemerintah membiayai pembangunan infrastruktur sangat terbatas. d. Pemerintah pusat dan daerah perlu meningkatkan partisipasi swasta melalui kemitraan.145 Cara yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan peran swasta dalam pengadaan infrastruktur adalah dengan melakukan reformasi regulasi di bidang infrastruktur yaitu : a. Keppres No. 7 Tahun 1998 yang pada pokoknya memberi kesempatan pada swasta untuk berperan di sektor pembangunan infrastruktur; jalan, telekomunikasi, ketenagalistrikan, perkeratapian dan migas. Namun demikian realitanya swasta belum bisa berperan banyak dan pelaksanaannya baru sebatas penunjukkan langsung, sehingga berpeluang menimbulkan KKN.146 Era reformasi tahun 1998 ikut serta mewarnai perubahan regulasi di bidang infrastruktur, antara lain : UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Ketiga UU tersebut mulai memisahkan peran dan fungsi regulator dan operator, juga terjadinya perubahan wewenang penyelenggaraan infrastruktur yang tidak lagi berada pada pemerintah dan dimonopoli oleh BUMN, sehingga 145 Budi Santoso, Op.cit, hal. 52. Benny Soetrisno, Peran Serta Swasta Dalam Pembiayaan Infrastruktur Serta Kendala Keseimbangan Antara Pusat dan Daerah, Makalah Seminar Dies Natalies Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ke 50, Hotel Grasia, 21 September 2006. 146 136 penyediaan infrastruktur terbuka bagi semua badan usaha: BUMN, BUMD, swasta, koperasi. Namun realitanya perbaikan infrastruktur belum banyak sebagaimana diharapkan. b. Untuk mengatasi hal-hal tersebut dibentuklah sebuah lembaga yang bertugas melakukan koordinasi percepatan penyediaan infrastruktur yang dituangkan dalam Keppres No. 81 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur, yang disempurnakan dengan Keppres No. 42 Tahun 2005. Namun demikian terjadi kerancuan karena dalam pelaksanaannya masih banyak yang mendasarkan pada Keppres No. 7 Tahun 1998. c. Untuk menyelaraskan hambatan tersebut diatas, maka dikeluarkan Keppres No. 67 Tahun 2005 yang intinya mensyaratkan adanya tender terbuka pada setiap penyelenggaraan infrastruktur serta adanya dukungan risiko oleh pemerintah. 147 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2007 mengatur tentang Investasi Pemerintah, Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak tanggal 10 Januari 2007. Dalam Peraturan Pemerintah ini dibentuk sebuah badan yang mewakili pemerintah dalam kaitannya dengan upaya percepatan pengadaan infrastruktur di Indonesia. Badan ini disebut dengan Badan Investasi Pemerintah (BIP). BIP didirikan untuk mengelola dana investasi, yang pada tahun 2006 sebesar 2 triliun dari APBN dan ditambahkan dengan 2 triliun dari APBN tahun 2007. Dana yang dikelola bukan dana yang akan dibelanjakan habis untuk mendukung 147 Budi Santoso, Op.cit, hal. 54. 137 pembangunan infrastruktur di Indonesia, tetapi dana tersebut merupakan dana investasi pemerintah bergulir.148 Dengan demikian dana yang dikelola BIP merupakan dana revolve (berputar) sehingga tentu saja ada cost of money yang harus dipertimbangkan, seperti hanya dana yang disimpan di perbankan yang memberikan hasil berupa bunga. Dana tersebut akan digunakan untuk investasi di berbagai bidang pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, telekomunikasi, energi, air bersih, pengairan, pengelolaan limbah, minyak bumi dan sebagainya. Untuk prioritas pertama sejumlah Rp 600 miliar akan digunakan untuk dana pembebasan tanah proyek jalan tol Semarang-Solo. Pemerintah juga memberikan keleluasaan yang cukup fleksibel bagi BIP sehingga memberikan ruang bagi BIP untuk melakukan maneuver bisnis, yang penting dana tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2007 ini pada dasarnya mengatur investasi pemerintah jangka panjang, khususnya investasi jangka panjang non permanen dalam bentuk pembelian surat berharga dan investasi langsung dengan cara pola kerjasama pemerintah dengan badan usaha (public private partnership) dalam rangka penyediaan infrastruktur dan infrastruktur. Saat ini personil BIP masih merupakan personil dari Direktorat Pengelolaan Dana Investasi (PDI) Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan.149 Pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban pemerintah untuk melaksanakannya, namun hal ini bukan berarti bahwa pembangunan infrastruktur merupakan wewenang mutlak pemerintah. Masyarakat harus dilibatkan dalam 148 149 Budi Santoso, Op.cit, hal. 62. Budi Santoso, Op.cit, hal. 63. 138 berbagai tahapan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan sampai ke tahap pelaksanaannya. Untuk itulah, salah satu tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 adalah untuk mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan dan mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan sarana dan prasarana tahun 2010-2014 (berdasarkan kebutuhan minimum 5% dari PDB), diperkirakan total investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 1.923,7 triliun. Sementara itu kemampuan pembiayaan pemerintah termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) (Kementerian ESDM, Perhubungan, PU, KOMINFO, Perumahan Rakyat serta Badan SAR Nasional) diperkirakan hanya dapat menyediakan pembiayaan sebesar Rp 559,54 triliun. Perkiraan kemampuan pembiayaan badan usaha milik pemerintah melalui BUMN (Rp 340,85 triliun), perkiraan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah melalui APBD (Rp 355,07 triliun), serta perkiraan investasi pihak swasta (Rp 344,67 triliun). Saat ini masih diperlukan sumber dana lain selain pemerintah untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Dengan kata lain, investasi swasta menjadi tumpuan harapan. Prioritas pembangunan bidang sarana dan prasarana 2010- 2014 adalah: (a) Menjamin ketersediaan infrastruktur dasar untuk mendukung peningkatan kesejahteraan, yang difokuskan pada: meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM); 139 (b) Menjamin kelancaran distribusi barang, jasa dan informasi untuk meningkatkan daya saing produk nasional, yang difokuskan untuk: (i) mendukung peningkatan daya saing sektor riil; dan (ii) meningkatkan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS). KPS akan memiliki peran penting dalam mewujudkan Visi 2025 mengingat sumber daya fiskal yang terbatas. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat sebagai hasil dari MP3EI 2011-2025, penerimaan pajak akan meningkat pula, dan anggaran fiskal Indonesia akan berkembang Kerangka peraturan sebagai payung hukum implementasi KPS bidang infrastruktur di Indonesia menggunakan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 yang kemudian direvisi melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Ini merupakan peraturan pemilihan badan usaha pembangunan infrastruktur yang kompetitif, terbuka, dan transparan. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP) akan digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan pada kegiatan pemberian layanan dengan karakteristik layak secara keuangan dan memberikan dampak ekonomi tinggi dan memerlukan dukungan dan jaminan pemerintah yang minimum. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) merupakan kerjasama pemerintah dengan swasta dalam penyediaan infrastruktur yang meliputi: desain dan konstruksi, peningkatan kapasitas/rehabilitasi, operasional dan pemeliharaan dalam rangka memberikan pelayanan. Pengembangan KPS di Indonesia utamanya 140 didasari oleh keterbatasan sumber pendanaan yang bisa dialokasikan oleh pemerintah. Adapun Prinsip Dasar Kerjasama Pemerintah dan Swasta meliputi hal-hal berikut ini : Adanya pembagian risiko antara pemerintah dan swasta dengan memberi pengelolaan jenis risiko kepada pihak yang dapat mengelolanya; Pembagian risiko ini ditetapkan dengan kontrak di antarapihak dimana pihak swasta diikat untuk menyediakan layanan dan pengelolaannya atau kombinasi keduanya; Pengembalian investasi dibayar melalui pendapatan proyek (revenue) yang dibayar oleh pengguna (user charge); Kewajiban penyediaan layanan kepada masyarakat tetap pada pemerintah, untuk itu bila swasta tidak dapat memenuhipelayanan (sesuai kontrak), pemerintah dapat mengambilalih. Tujuan pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta meliputi hal-hal berikut ini : Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta; Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat; Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur; Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima atau dalam hal tertentu mempertimbangkan kemampuan membayar pengguna. Manfaat Kerjasama Pemerintah dan Swasta meliputi hak-hal berikut ini : Tersedianya alternatif berbagai sumber pembiayaan; Pelaksanaan penyediaan infrastruktur lebih cepat; Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan risiko pemerintah; Infrastruktur yang dapat disediakan semakin banyak; Kinerja layanan masyarakat semakin baik; Akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan; Swasta menyumbangkan modal, teknologi, dan kemampuan manajerial. 141 Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa infrastruktur harus dibangun menggunakan anggaran Pemerintah sehingga pada kondisi anggaran Pemerintah yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan infrastruktur yang memadai bagi perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam penyediaan infrastruktur melalui model kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau Public-Private Partnership (PPP). Dengan adanya KPS, maka Pemerintah dapat memfokuskan diri untuk membangun infrastruktur yang tidak bersifat komersial namun sangat diperlukan oleh masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur perdesaan, jalan arteri, drainase dan sebagainya. Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif bagi dunia usaha untuk memberikan layanan infrastruktur tersebut. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif ) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Regulasi yang terkait dengan proyek KPS khususnya dalam penyediaan infrastruktur telah berkembang sejak masa pemerintahan Orde Baru. Dalam masa tersebut Pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi sektoral yang didalamnya terdapat pengaturan berkaitan dengan KPS, contohnya UU No. 15 Tahun1965 tentang Ketenagalistrikan, UU No. 13 Tahun 1987, PP No. 8 Tahun 1990 tentang Jalan Tol, dan PP No. 10 Tahun 1987 tentang Ketenagalistrikan. Pada masa Orde Baru hanya beberapa jenis infrastruktur saja yang dikerjasamakan dengan Badan Usaha Swasta, misalkan jalan tol dan ketenagalistrikan. 142 TABEL LANDASAN HUKUM Peraturan Perpres No. 56 Tahun 2011 Perpres No.12 Tahun 2011 Perpres No. 78 Tahun 2010 PMK No. 260 Tahun 2010 Permen PPN No. 03 Tahun 2009 Permen PPN No. 04 Tahun 2010 Permenko No. 01 Tahun 2006 Permenko No. 04 Tahun 2006 Perpres No. 36 Tahun 2006 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 Permenko No. 03 Tahun 2006 Ketentuan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 13 tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 56 tahun 2011 Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2011. Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui Penjaminan Infrastruktur Petunjuk pelaksanaan proyekKPS yang merupakan acuan dasar dari pelaksanaan proyek KPS ditanahair. Tata Cara Penyusunan Daftar Rencana Proyek Kerjasama dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Organisasi dan Tata Kerja Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 04/M.Ekon/06/2006 tentang Tata Cara Evaluasi Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur yang membutuhkan Dukungan Pemerintah. Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 03/M.Ekon/06/2006 tentang Prosedur dan Kriteria Penyusunan Daftar Prioritas Proyek Infrastruktur Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha. Interaksi antara berbagai pihak diatur oleh tiga perangkat undang-undang dan beberapa peraturan sebagai berikut dibawah ini: Peraturan KPS, peraturan khusus sektoral, dan peraturan umum lainnya yang mengatur tentang berbagai kegiatan usaha di Indonesia. Berdasarkan sistem hukum Indonesia, undangundang mengatur hal-hal yang bersifat umum. Pelaksanaan dari suatu ketentuan hukum pada umumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Peraturan-peraturan ini pada umumnya mengatur tentang tahapan-tahapan dan 143 prosedur khusus untuk melaksanakan ketentuan perundang-undangan dan peraturan pemerintah terkait. Peraturan Presiden diterbitkan sebagai dasar untuk melaksanakan kebijakan- kebijakan dan program-program Presiden, yang mana harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Presiden juga terkadang merupakan panduan atas pelaksanaan lebih lanjut dari suatu peraturan maupun Peraturan Pemerintah yang sudah ada. Keberanekaan sektor telah menjadikan adanya keberanekaan peraturan dan undang-undang yang berbeda pula. Sebagaimana dimaksud di bawah ini, hampir seluruh sektor infrastruktur diatur oleh ketentuan-ketentuan yang sudah ada sejak 2004 dengan visi modernisasi infrastruktur nasional. Namun demikian, tidak semua peraturan perundang-undangan sektoral yang ada telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintahnya, ataupun meskipun sudah diterbitkan Peraturan Pemerintahnya, namun Peraturan Menterinya belum diselesaikan. Para investor harus mencermati status keberlakuan atas peraturan pada sektor yang diminatinya, oleh karena peraturan-peraturan tambahan sering kali baru diterbitkan kemudian dan untuk peraturanperaturan yang adapun sering kali dilakukan beberapa perubahan. Terdapat lima dasar pengaturan dalam kategori Kerjasama Pemerintah Sawasta Topik Ketentuan Umum KPS Peraturan • Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur • Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 atas Perubahan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Butir-Butir Penting Peraturan ini mengatur KPS untuk proyekproyek infrastruktur tertentu. Dalam hal ini termasuk mengenai, bandara, pelabuhan, jalur kereta api, jalan, peny edia a n air bersih /sistem pengairan, air minum, air limbah, limbah padat, informasi dan komunikasi teknologi, ketenagalistrikan, dan minyak & gas. Proyek-proyek ini dapat dilaksanakan baik berdasarkan yang dimohonkan ataupun tidak 144 dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Prosedur Untuk Penyediaan Dukungan Pemerintah •Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian Dan Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur • Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi No. 4 Tahun 2006 tentang Metodologi Evaluasi Proyek Infratruktur KPS yang Memerlukan Dukungan Pemerintah • Peratiuran Pemerintah No. 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) Di bidang Penjaminan Infrastruktur dimohonkan namun pada umumnya penyeleksian terhadap suatu Badan usaha harus dilakukan melalui proses tender terbuka. Proyek yang “Solicited” diidentifikasi dan disiapkan oleh Pemerintah, sedangkan untuk proyek yang “Unsolicited” diidentifikasi dan diajukan kepada Pemerintah oleh suatu Badan Usaha. Lembaga Kontraktor Pemerintah dapat diadakan baik di tingkat regional ataupun nasional. Proyek KPS dapat dilaksanakan berdasarkan perijinan Pemerintah ataupun melalui Perjanjian Kerjasama (PK). Pemerintah dapat memberikan dukungan perpajakan dan / atau non-pajak untuk meningkatkan kelayakan suatu proyek infrastruktur. Proyek ini harus terstruktur untuk dapat mengalokasikan risiko yang mampu dikelola secara maksimal oleh pihak pelasana. Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006 menjabarkan kondisi-kondisi dan proses untuk mengusahakan adanya dukungan pemerintah, antara lain penjaminan-penjaminan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini, pemerintah dapat memberikan jaminan terhadap tiga jenis risiko, yaitu: Risiko Politik, Risiko Kinerja Proyek, dan Risiko Permintaan. Risiko Kinerja Proyek termasuk risiko-risiko yang terjadi akibat keterlambatan dalam proses pembebasan lahan, peningkatan biaya perolehan tanah, perubahan dalam spesifikasi kontrak kerja, penundaan atau adanya penurunan kontrak penyesuaian atas tarif, keterlambatan memperoleh ijin untuk memulai kegiatan. Risiko Permintaan mengacu terhadap pendapatan riil yang berada di bawah pendapatan minimum yang dijamin karena adanya permintaan yang lebih rendah dari kontrak. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi No. 4 Tahun 2006, mensyaratkan bahwa suatu permintaan atas dukungan kontingen setidaknya harus dimuat pada bagian studi kelayakan. Hal ini lebih tegas diatur dari pada pengaturan awal studi kelayakan sebagaimana dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan No.38 tahun 2006. Kedua peraturan tersebut menentukan bahwa dokumen lain harus diajukan untuk meminta dukungan, termasuk format kerjasama, rencana anggaran, hasil dari 145 konsultasi publik dan lainnya. Pemerintah telah mendirikan PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT. PII) untuk mengelola jaminan-jaminan tersebut. Dengan upaya ini maka diharapkan dapat mengurangi pengeluaran biaya pembangunan proyek infrastruktur KPSdengan meningkatkan kualitas proyek KPS dan kredibilitas, serta membantu Pemerintah untuk mengelola risiko pajak dengan lebih baik dengan adanya penjamian ini. PT. PII akan membuat kerangka kerja yang komprehensif dan konsisten untuk dapat menilai suatu proyek dan membuat keputusan sehubungan dengan pemberian jaminan dari pemerintah untuk proyekproyek KPS Setiap sektor infrastruktur diatur oleh undang-undang tersendiri dan peraturan-peraturan pelaksananya. Tabel di bawah ini menunjukkan tentang undang-undang pokok dan peraturan pemerintah dimasing-masing sektor. Selain itu, terdapat beberapa peraturan menteri yang tidak tercantum disini yang memberikan petunjuk tentang pelaksanaan undang-undang pokok dan peraturan pemerintah tersebut. SseSektor Pelabuhan (Pengo perasian Terminal) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah • Undang-undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran • Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan • Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 Angkutan Di Perairan Infrastruktur Kereta Api (Rel kereta api, Stasiun dan Fasilitas Kereta Api lainnya) Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretapian • Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Perekeretapian Butir-Butir Penting Pengoperasian pelabuhan (terminal) terbuka untuk Badan Usaha. PT. Pelindo (Perusahaan operator pelabuhan milik Negara) tidak lagi memonopoli sektor ini. Pemerintah harus mendirikan suatu Otorita Pelabuhan sebagai regulator berbagai kegiatan di Pelabuhan. Otoritas Pelabuhan dapat diadakan untuk satu atau lebih pelabuhan, dan akan bertanggung jawab untuk menerbitkan ijin konsesi, untuk kemudian mengatur layanan yang dilakukan oleh Badan Usaha. Badan Usaha dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan pengoperasian infrastruktur rel kereta api (rel kereta api, stasiun dan fasilitas kereta api lainnya). PT. Kereta Api Indonesia tidak lagi memonopoli. Konsesi untuk melaksanakan 146 • Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2007 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api pembangunan dan pengoperasian infrastruktur kereta api akan diberikan oleh: • Menteri: untuk infrastruktur lintas antar propinsi; • Gubernur: untuk infrastruktur lintas kota yang masih dalam satu propinsi; • Walikota/Bupati: untuk infrastruktur dalam satu kotamadya/ kabupaten. 147 Bandar udara • Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Transpotasi Udara Ketenag a listrikan (Pembangkit Listrik, Transmisi dan Pendistribusian) • Undang-undang No. 30 tentang Ketenagalistrikan • Undang-undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi • Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi • Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 20005 atas Perubahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 tentang Ketentuan Dan Pemanfaatan Ketenagalistrikan Air Minum (Pengolahan Air, Transmisi dan Pendistribusian) - Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air • Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum PT. Angkasa Pura (Perusahaan operator Bandara milik Negara) tidak lagi memonopoli sektor ini. Pemerintah sedang mempersiapkan Peraturan Pelaksanaan untuk pengoperasian Bandara. PT PLN, Perusahaan Listik Negara, tidak lagi memonopoli infrastruktur ketenagalistrikan (pembangkit tenaga listrik, transmisi, dan pendistribusian). Namun, PLN tetap melakukan fungsinya selaku offtaker dari pembangkit tenaga listrik yang dihasilkan. Badan Usaha dapat berpartisipasi dalam sektor ini melalui tender yang kompetitif. Mereka (Badan Usaha) akan berkompetisi dalam pengajuan tarif. Pembangkit listrik, transmisi, pendistribusian dan konsesi panas bumi akan menjadi kegiatan yang berlisensi dengan pemisahan off-taker atau perjanjian layanan antara pengguna dan Badan Usaha. Pemberi otoritas lisensi adalah sebagai berikut: • Menteri: untuk proyek pembangkit tenaga listrik yang terhubung dengan jaringan listrik nasional, atau untuk konsesi panas bumi lintas propinsi; • Gubernur: untuk infrastruktur lintas kotamadya/kabupaten dalam satu propinsi; • Walikota/Bupati: untuk infrastruktur kelistrikan atau konsesi panas bumi di dalam satu kotamadya/kabupaten. Suatu Badan Usaha dapat memperoleh konsesi untuk penyediaan air minum untuk daerah yang tidak dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum. Penunjukkan Badan Usaha untuk melakukan layanan ini harus dilaksanakan melalui berdasarkan proses tender. GCA akan menetapkan tarif dan mengatur persyaratan- persyaratan bagi Badan Usaha dalam PK. Pemerintah telah membentuk Badan Pendukung Pengembangan Sistim Penyediaan Air Minum (BPP SPAM) untuk, antara lain, membantu Pemerintah Daerah dalam pengembangan sistimpenyediaan air minum melalui skema KPS.PPP basis. 148 Jalan Tol • Undang-undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan • Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 Tentang Jalan Tol Kegiatan usaha jalan tol tidak lagi di monopoli oleh PT. Jasa Marga (perusahaan jalan tol milik Negara). Pemerintah telah mendirikan badan pengawas, yakni Badan Pengatur Jalan Tol, untuk melaksanakan tender dan menetapkan tarif jalan tol. • Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2009 atas Perubahan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 • Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi koordinasi, sinkronisasi, penyiapan perumusan kebijakan, pemantauan dan evaluasi serta pelaksanaan hubungan kerja dalam perencanaan pembangunan nasional di bidang sarana dan prasarana, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan perencanaan Pembangunan Nasional perlu mengambil langkah-langkah percepatan penyediaan infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dan swasta. Berdasarkan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 Pemerintah mendorong partisipasi swasta, masyarakat dan pemerintah daerah dalam pelayanan dan penyelenggaraan sarana dan prasarana. Kerjasama pemerintah dan swasta agar dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh para pemangku kepentingan, maka perlu ditetapkan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, yang untuk selanjutnya disebut Panduan Umum. Oleh sebab itu diterbitkan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 149 Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksana Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Tujuan ditetapkan Panduan Umum ini adalah : a. Memberikan pedoman bagi Menteri dalam menyusun panduan pelaksana Kerjasama Pemerintah pada sektor yang bersangkutan, dan b. Memberikan pedoman bagi Menteri/Kepala lembaga/Kepala Daerah dalam pelaksanaan Proyek Kerjasama untuk mendorong partisipasi swasta dalam penyediaan infrastruktur. BAB IV MODEL PENGATURAN DASAR HAK SWASTA DALAM PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM 4.1 Model Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Hukum pertanahan yang bersifat nasional baru lahir bersamaan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang sering disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria. Kelahiran UUPA di satu sisi merupakan kulminasi dari pertentangan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan dalam perkembangan hukum yang mengatur tentang tanah dan dari sisi lain merupakan titik awal perjalanan dari pelaksanaan pilihan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang telah tertuang dalam substansi ketentuannya ditengah-tengah rezim pemerintahan yang bergantian membangun dan melaksanakan kebijakan pembangunan ekonominya. Penetapan UUPA mengakhiri pertentangan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang ada dalam dualisme hukum pertanahan yang berlaku pada saat itu. Dualisme hukum merupakan implikasi dari terjadinya dualisme di bidang ekonomi, yaitu antara ekonomi yang kapitalistis yang menuntut adanya dukungan hukum modern yang universal dengan ekonomi prakapitalis yang tradisional yang didukung oleh norma-norma hukum kebiasaan.150 Disatu pihak, hukum 150 Boeke, JH, 1983, Prakapitalisme Di Asia, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 10-12. 150 151 pertanahan yang bersumber pada kebijakan pemerintah kolonial menekankan pada efisiensi dan individualisme serta keadilan distributif sebagai pilihan nilainya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan hasil perkebunan yang menilai ekspor sebagai sumber pendapat Negara. Negara kolonial merupakan anak kandung dan sekaligus sebagai kendaraan dari kapitalisme, yaitu suatu paham dalam kegiatan ekonomi yang menekankan pada peranan pemilikan modal (alat produksi dan uang) oleh orang perseorangan atau perusahaan yang diinvestasikan untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya atas dasar nilai efisiensi dan persaingan. 151 Gambaran dari adanya dua sistem ekonomi yang diikuti oleh berlakunya dualisme hukum di bidang pertanahan adalah perbedaan akses untuk menguasai dan menggunakan tanah dua kelompok masyarakat yang mematuhi dua hukum yang berbeda.152 Perilaku ekonomi dari kelompok yang didukung oleh hukum pertanahan yang bersumber pada kebijakan pemerintah kolonial cenderung agresif dan dominatif serta rasional untuk melakukan perluasan tanah yang dapat dikuasai dan diusahakan. Sebaliknya perilaku ekonomi kelompok yang didukung oleh hukum yang bersumber dari kebiasaan cenderung pasif dan pasrah namun karena besarnya jumlah kelompok ini sehingga sulit untuk sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan ekonomi kelompok pertama. Akibatnya keduanya berada dalam posisi 151 Rikardo Simarmata, Op.cit, hal. 30-33. Frans Husken dan Benyamin White, 1989, Java: Social Differentiation, Food Production and Agrarian Control dalam Gilian Hart dkk: Agrarian Transformation : Local Process and State in Southeast Asia, University of California Press, Berkeley-Los Angelos-London, hal. 140-141. a 152 152 saling berhadapan yang cenderung sulit untuk diselaraskan sehingga yang agresif dan dominatif lebih diuntungkan.153 Pemberlakuan UUPA mengakhiri pertentangan nilai-nilai dan kepentingan dengan cara menjadikan nilai-nilai dan kepentingan tertentu sebagai pilihan substansinya. Pilihan kepentingan yang menjadi tujuan hukum pertanahan nasional tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA yang mempertegas tujuan politik hukum pertanahan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kepentingan ini bermakna terpenuhinya kebutuhan materiil atau kebutuhan dasar seperti pangan, sandang papan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan dari seluruh warga masyarakat. 154 Kemakmuran yang dicita-citakan untuk diwujudkan bukanlah orang-perseorangan atau kelompok dan etnis tertentu atau warga masyarakat di wilayah tertentu, namun kemakmuran seluruh rakyat Indonesia di semua wilayah yang menjadi bagian Indonesia. Jika dicermati bagian-bagian dari UUPA yang terkait dengan pilihan kepentingan sebagai tujuan yang hendak diwujudkan, maka terdapat dua tingkat kepentingan yaitu kepentingan “antara” dan kepentingan “akhir”. Kepentingan antara merupakan kondisi sosial ekonomi tertentu sebagai jembatan untuk terciptanya kepentingan akhir. Kondisi-kondisi sosial ekonomi sebagai kepentingan antara tersebut dalam UUPA dirumuskan dalam banyak istilah, yaitu (1). Dalam bagian “berpendapat”, huruf d dirumuskan bahwa semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk “sebesar-besar 153 Boeke, JH, Op.cit, hal. 12. Mubyarto, 1997, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, hal. 19. 154 153 kemakmuran rakyat” baik secara perseorangan maupun gotong-royong atau bersama; (2) Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) dirumuskan bahwa wewenang yang bersumber pada Hak Menguasai Negara dipergunakan untuk mencapai sebesarbesar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan. (3) Dalam penjelasan umumnya, angka I alinea terakhir dinyatakan bahwa salah satu tujuan UUPA adalah meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agrarian nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat terutama rakyat tani. Sejumlah istilah yang tercantum dalam UUPA hanya menunjuk pada dua kepentingan, yaitu kesejahteraan dan keadilan.155 Kesejahteraan mencakup kemakmuran sebagai aspek materiil dan kebahagiaan sebagai aspek immaterial. Kemakmuran akan dapat tercipta jika setiap pemilikan dan pemanfaatan tanah dapat memberikan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan materiil atau kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan dari seluruh warga masyarakat. Kebahagiaan menunjuk pada terbentuknya kondisi aman dan tenteram. Aman merupakan suatu kondisi kehidupan yang terhindar dari konflik sosial dari kekacauan politik yang bersumber dari penguasaan dan pemilikan tanah, sedangkan tenteram merupakan kondisi kehidupan yang setiap orang merasa terjamin hak-hak untuk mendapatkan pekerjaan, penghasilan yang layak, mendapatkan hak kepemilikan atas sumber daya tanah. Diktum-diktum dalam UUPA didahului dengan pernyataaan pencabutan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan zaman Hindia Belanda yang 155 Boedi Harsono, Op. cit, hal. 144. 154 seluruhnya terdiri atas empat jenis peraturan perundang-undangan. Diktum UUPA dibagi atas lima kelompok : (1) Memuat berbagai hal yang biasanya menjadi Batang Tubuh undang-undang pada umumnya. Kelompok ini terdiri atas bab-bab, bagian-bagian dan pasal-pasal yang seluruhnya berjumlah 4 bab dan 58 pasal. (2)Memuat ketentuan-ketentuan konversi yang seluruhnya terdiri atas sembilan pasal. (3) Memuat ketentuan perubahan susunan pemerintahan desa berkenaan dengan berlakunya UUPA. (4) Memuat peralihan hak-hak dan wewenangwewenang swapraja dan bekas swapraja atas bumi dan air dan (5) Memuat penyebutan, pemberlakuan dan perintah pengundangannya dalam Lembaran Negara. Garis besar muatan lengkap diktum kelompok pertama yang terdiri atas bab-bab, bagian dan pasal disajikan dalam muatan diktum kelompok pertama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 : Bab I Bab II Tentang Dasar-Dasar dan Ketentuan Pokok (15 Pasal) Tentang Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa serta Pendaftaran Tanah. Bab ini dibagi kedalam dua belas bagian, yaitu : i. Ketentuan-ketentuan umum (3 pasal) ii. Pendaftaran tanah (1 pasal) iii. Hak milik (8 pasal) iv. Hak guna usaha (7 pasal) v. Hak guna bangunan (6 pasal) vi. Hak pakai (3 pasal) vii. Hak sewa untuk bangunan (2 pasal) viii. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (1 pasal) ix. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (1pasal) x. Hak guna ruang angkasa (1 pasal) xi. Hak – hak tanah untuk keperluan suci dan sosial ( 1 pasal) xii. Ketentuan-Ketentuan Lain (2 pasal) Bab III Tentang Ketentuan Pidana (1 Pasal) Bab IV Tentang Ketentuan-ketentuan Peralihan (6 Pasal) 155 Diktum UUPA didahului dengan pencabutan beberapa peraturan perundang-undangan agraria yang berlaku sejak puluhan tahun yang sebelumnya. Pencabutan itu karena peraturan perundang-undangan lama sangat eksploitatif dan tidak adil. Adapun peraturan perundang-undangan yang dicabut dengan berlakunya UUPA dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, yang dicabut secara eksplisit yakni pencabutan secara tegas di dalam UUPA. Kedua yang dicabut secara implisit, yakni pencabutannya tidak secara tegas dinyatakan dalam UUPA, tetapi tercabut dengan sendirinya karena memuat materi yang bertentangan dengan asas-asas yang dipakai dalam UUPA. Ketentuan yang dicabut secara eksplisit diuraikan di bawah pernyataan diktum “Memutuskan” dinyatakan pencabutan terhadap beberapa perundangundangan sebelum pernyataan “Menetapkan” dengan kata-kata “Dengan mencabut : …” Peraturan perundang-undangan yang dicabut itu adalah : 1. Agrarische Wet (S. 1870-55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (S.1925-447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu : 2. a. Domeinverkelaring tersebut dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit S. 1870-118. b. Algemene Domeinverkelaring tersebut dalam Pasal 1 dalam S. 1875-119a. c. Domeinverkelaring untuk Sumatera, tersebut dalam pasal dari S.1874-94f. d. Domeinverkelaring untuk Keresidenan Manado, tersebut dalam Pasal I dari S. 1877-55. e. Domeinverkelaring untuk Residentie Zuider en Qoster-afdeling van Borneo tersebut dalam Pasal 1 dari S.1888-58. 3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (S. 1872-117) dan peraturan pelaksanaannya. 4. Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, keculi ketentuan-ketentuan mengenai 156 hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya udang-undang ini.156 Meskipun tidak ada pencabutan tegas atas peraturan perundang-undangan selain yang tersebut diatas, tetapi dengan berlakunya UUPA terdapat juga konsekuensi bagi tercabutnya peraturan perundang-undangan lain, jika memuat materi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh UUPA. Hal ini berdasarkan pada ketentuan pasal 58 UUPA, yang menyebutkan berlakunya peraturan perundang-undangan lama masih dimungkinkan selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUPA. Pasal 58 tersebut berbunyi sebagai berikut : Selama peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undangundang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu. Disamping pencabutan secara tegas (eksplisit) terdapat juga pencabutan yang sifatnya tidak langsung (implicit), sebagai contoh adalah S.1975-179 menjadi tidak berlaku (dicabut) karena memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan jiwa UUPA. S.1875-179 berisi “Larangan Pengasingan Tanah” dari penduduk asli Indonesia (golongan Bumi Putra) terhadap orang asing. Ketentuan tersebut jelas harus dicabut karena alasan berikut: Pertama, S.1875-179 berdasarkan pada politik hukum 1848 yang membagi-bagi penduduk ke dalam tiga golongan, yaitu golongan Pribumi (Indonesia asli), golongan Eropa dan golongan Timur Asing yang dalam lapangan keperdataan tunduk pada hukum yang berbeda-beda. Kedua, UUPA tidak menggolongkan penduduk berdasarkan 156 Moh. Mahfud MD, Op. cit, hal. 175-178. 157 ras melainkan atas hukum kewarganegaraan ke dalam warga negara Indonesia dan orang asing. Menurut UUPA setiap WNI (tanpa dipersoalkna rasnya apakah Eropa, Cina, Arab, India dan sebaginya asalkan sudah memilki status kewarganegaraan) dapat menjadi pemegang hak milik atas tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. S.1875-179 dicabut karena didasarkan pada penggolongan penduduk yang samasekali berbeda dengan UUPA. UUPA tidak berpegang pada golongangolongan penduduk menurut politik hukum kolonial 1848. Ukuran yang dipakai untuk melindungi pihak ekonomi lemah tidak ditarik melalui perbedaan keturunan antarsesama warga negara. 157 1. Pemerataan Sebagai Pilihan Periode 1960-1966 Bahwa kebijakan pembangunan ekonomi pada periode 1960 -1966 secara normatif berorientasi pada pemerataan dapat ditarik dari fakta dalam Tap MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, yaitu : Pertama, Penetapan sosialisme ala Indonesia sebagai landasan ideologi pembangunan ekonomi dalam kerangka mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Bagian “Menimbang” butir 2 Tap MPRS: Pembangunan Nasional Semesta Berencana adalah pembangunan dalam masa peralihan yang bersifat menyeluruh untuk menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau Masyarakat Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh manusia. 157 Ibid, hal.180-181. 158 Bagian Menimbang tersebut menegaskan bahwa rencana pembangunan 8 (delapan) tahun yang dirancang dalam Tap MPRS tersebut merupakan rencana dalam masa peralihan yaitu dari ekonomi yang kapitalistik ke pembangunan ekonomi yang sosialis.158 Kapitalisme yang menjadi ideologi pembangunan ekonomi baik pada masa kolonial maupun sampai dekade 1950an dinilai telah mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Atas dasar itu, rencana pembangunan ekonomi 8 (delapan) tahun didasarkan pada ideologi sosialisme Indonesia. Dengan landasan demikian, kebijakan pembangunan ekonomi diorientasikan pada: 1. Tercapainya keadilan sosial yaitu suatu kondisi berkembangnya sikap dan kemauan untuk mendistribusikan sumber daya ekonomi yang ada pada sebanyak mungkin rakyat secara merata. Sumber daya ekonomi yang ada tidak boleh dikuasai oleh sekelompok kecil warga masyarakat, namun harus diberikan kepada warga masyarakat sehingga mereka memiliki dan menjalankan kegiatan usahanya sendiri untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. 2. Terciptanya kesejahteraan masyarakat yang ditandai oleh adanya rasa aman atau selamat, tenteram dan makmur lahir batin. 3. Terciptanya aktivitas warga masyarakat atas dasar asas kekeluargaan dan kegotongroyongan. 158 Soekarno, 1959, Amanat pada Sidang Pleno I Dewan Perancang Nasional (Depernas), 28 Agustus 1959, dalam Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK, 2001, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari, penerbit Grasindo, Jakarta, hal. 88-90. 159 4. Adanya pengakuan terhadap hak milik orang perseorangan atas sumber daya ekonomi, namun dalam penggunaan atau pemanfataannya dibatasi oleh kepentingan bersama. a. Perombakan struktur penguasaan sumber daya ekonomi dari pola penguasaan yang terpusat di tangan sekelompok kecil orang kearah pola yang menyebar. Struktur penguasaan sumber daya ekonomi dan kegiatan usaha sampai dekade 1950an masih terpusat di tangan sebagian kecil warga masyarakat baik investor asing maupun investor nasional termasuk penguasa feodal. Di tingkat pengambil kebijakan pun masih investor nasional termasuk penguasa feodal. Di tingkat pengambil kebijakanpun masih terdapat perbedaan antara yang menginginkan tetap berpijak pada ideologi kapitalisme dengan konsekuensi penguasaan ekonomi secara terpusat oleh sekelompok kecil orang dengan yang menginginkan langsung memasuki sosialisme dengan konsekuensi harus terjadi terjadi perombakan struktur penguasaan ekonomi. Kebijakan pembangunan ekonomi sebagaimana ditetapkan dalam Tap MPRS No. II/MPRS/1960 dapat ditempatkan sebagai upaya pengakhiran terhadap perbedaan pandangan dengan menempatkan sosialisme sebagai idelogi dengan konsekuensi harus dilakukan perombakan struktur penguasaan sumber daya ekonomi dan kegiatan usaha terutama di sector kegiatan ekonomi primer yaitu sektor pertanian. 160 Dorongan dilakukan perombakan struktur penguasaan sumber daya ekonomi dan kegiatan usaha dapat dicermati dari fakta-fakta dalam TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tersebut, yaitu : 1. Pernyataan dalam bagian “Menimbang” butir 5 yang menegaskan bahwa syarat pokok untuk melaksanakan pembangunan ekonomi adalah pembebasan rakyat dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme. Kolonialisme dan imperialisme merupakan pola pikir dan tindakan yang menekankan pada upaya menguasai dan mengekploitasi sumber daya ekonomi yang dipunyai suatu kelompok atau bangsa dengan menjajah secara politik untuk kepentingan pihak penjajah. Kedua, Ketentuan Pasal 4 ayat (3) Tap MPRS No. II/MPRS/1960 yang menempatkan landreform sebagai basis pembangunan ekonomi dan bagian mutlak dari revolusi. Landreform mengandung semangat penataan struktur penguasaan sumber daya ekonomi dari penguasaan yang terpusat di tangan sekelompok kecil orang ke penguasaan yang menyebar kepada sebanyak mungkin orang. Penempatan landreform sebagai basis berarti perombakan struktur penguasaan sumber daya ekonomi menjadi syarat pokok dan merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam kerangka mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia. Struktur penyelenggaraan usaha harus dirombak dari kegiatan usaha yang hanya dijalankan sekelompok kecil orang menuju kegiatan usaha yang dijalankan mayoritas rakyat secara gotong-royong. Sumber pembiayaan harus mengalami perombakan dari yang bersumber pada modal asing kepada sumber pembiayaan 161 dari dalam negeri terutama yang sudah dipunyai oleh masyarakat sendiri sebagai pelaku usaha. Perombakan itupun harus dilaksanakan dengan segera sesuai dengan penempatan landreform sebagai bagian mutlak dari revolusi. Kesegeraan perombakan struktur penguasaan sumberdaya ekonomi menjadi inti dari revolusi sehingga rakyat yang mayoritas dapat segera menguasai, memiliki dan menjalankan kegiatan usahanya sendiri. Ketiga, Pemberian kesempatan kepada kekuatan nasional untuk menguasai dan menjalankan kegiatan ekonomi yang mencerminkan adanya semangat pemerataan. Ada 3 (tiga) kelompok kekuatan nasional yang diberi peranan utama dalam kegiatan ekonomi, yaitu : 1. Warga masyarakat yang mayoritas yang harus ditempatkan sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pelaksana utama kegiatan usaha. 2. Penunjukkan dan penempatan koperasi sebagai salah satu pelaku usaha utama. 3. Penunjukkan badan usaha milik Negara sebagai pelaku usaha utama yang diantaranya dapat dicermati dari fakta-fakta : - Ketentuan Pasal 5 ayat (2) TAP MPRS No. II/MPRS/1960 yang menekankan Negara untuk menguasai dan jika perlu memiliki kegiatan usaha yang vital bagi perkembangan perekonomian nasional dan kebutuhan hidup rakyat banyak. Ada 2 (dua) istilah yang menunjukkan posisi dan peranan Negara yaitu menguasai dan memiliki. Istilah menguasai menunjuk pada fungsi public Negara untuk mengatur dan mengarahkan kegiatan usaha agar berlangsung kearah pembentukan 162 masyarakat sosialis Indonesia, sedangkan istilah memiliki mengandung makna bahwa Negara melalui badan usaha yang dibentuknya berfungsi sebagai pelaku kegiatan usaha di bidang-bidang yang vital bagi pengembangan perekonomian nasional dan kebutuhan hidup rakyat banyak. - Ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan (4) Tap MPRS No. II/MPRS/1960 yang menempatkan pemerintah melalui badan usaha yang dibentuknya untuk melakukan kegiatan usaha di bidang impor barang kebutuhan pokok rakyat, bahan penolong bagi industri vital dan ekspor bahan baku tertentu serta kegiatan usaha di bidang angkutan yang vital. 2. Pertumbuhan Ekonomi sebagai Pilihan Periode 1967-2005. Kepentingan yang hendak diwujudkan dalam periode ini, sebenarnya secara formal tidak mengalami perubahan karena rezim ini penguasa yang baru tidak pernah melakukan revisi atau perubahan terhadap UUPA sebagai induk dari hukum pertanahan nasional. Konsekuensinya ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUPA yang dipertegas dalam Penjelasan Umumnya Angka I huruf a dari alinea terakhir yang memuat tujuan hukum agrarian nasional masih berlaku dan tidak mengalami perubahan. Kemakmuran rakyat dalam arti terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat masih tetap menjadi orientasi kepentingan yang harus diwujudkan oleh hukum pertanahan. Meskipun secara formal tidak mengalami perubahan, namun pergantian rezim penguasa Orde Lama (periode 1960-1966) ke Penguasa Orde Baru diikuti oleh terjadinya perubahan orientasi kepentingan atau bahkan pilihan nilai sosial 163 sebagai acuan dari kebijakan pembangunan ekonomi. Perubahan orientasi ini telah berpengaruh terhadap pengembangan strategi dan tahapan pencapaian kemakmuran rakyat. Jika orientasi kebijakan pembangunan ekonomi penguasa Orde Lama lebih menekankan pada pemerataan penguasaan sumber daya ekonomi dan pelaksanaan kegiatan usaha kepada sebanyak mungkin orang maka sebaliknya orientasi kebijakan pembangunan ekonomi penguasa Orde Baru lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ditandai oleh peningkatan secara kuantitatif atau jumlah produksi nasional dan kegiatan usaha yang menghasilkan produksi tersebut. Pada tingkat substansi kebijakan, orientasi pada pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari fakta-fakta sebagai berikut : a. Adanya kecenderungan penetapan angka pencapaian produksi nasional dan kegiatan usaha sebagai target yang harus diupayakan peningkatannya. Asumsi yang dicetuskan oleh aliran modernism ini diyakini oleh perancang kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru sebagai cara untuk memacu dan mempercepat pengentasan kehidupan ekonomi bangsa dari keterbelakangan. Dalam hal ini, Riwanto Tirtosudarmo merangkum pemikiran “Tim Berkeley” sebagai kelompok perancang kebijakan tersebut dalam kalimat : “Berbagai kebijakan ekonomi yang diambil Pemerintah haruslah bermuara pada pertumbuhan ekonomi (peningkatan produksi) karena tanpa peningkatan produksi yang cukup tinggi tidak mungkin dilakukan pembangunan bidang-bidang lainnya” 164 b. Adanya kecendrungan untuk melibatkan pelaku-pelaku usaha yang mempunyai kemampuan menjalankan kegiatan usaha. Rencana peningkatan produksi dan ketersediaan dana investasi yang besar tidak mungkin dapat diupayakan dan disediakan sendiri oleh Pemerintah, namun harus melibatkan pelaku-pelaku usaha swasta yang berkemampuan baik dari penyediaan modal maupun penguasaan manajemen dan teknologi. Artinya pencapaian peningkatan produksi hanya mungkin dapat diupayakan melalui pelibatan pelaku-pelaku usaha swasta berskala besar yang memenuhi syarat berkemampuan di bidang tersebut. Sejak Repelita Pertama, Pemerintah sudah merencanakan untuk melibatkan peranan pelaku usaha swasta besar meskipun dalam jumlah yang relatif kecil, yaitu baru sekitar 25% dari keseluruhan dana investasi yang direncanakan. Repelita Pertama merupakan tahapan membangunan kepercayaan dunia usaha untuk berinvestasi sehingga Pemerintah harus mengambil peranan yang lebih besar. Dalam Repelita-Repelita berikutnya, peranan usaha swasta semakin meningkat dan dalam Repelita Kelima mereka sudah diproyeksikan mempunyai peran dominan. Perbandingan Rencana Peranan Pemerintah dan Swasta REPELITA I II III IV RENCANA KEBUTUHAN INVESTASI Rp 1,420 Triliun Rp 11,415 Triliun Rp 42,835 Triliun Rp 145, 224 Triliun INVESTASI PEMERINTAH INVESTASI SWASTA 75% 47% 51% 54% 25% 53% 49% 46% 165 V VI Rp 239,1 Triliun 45% 55% Rp 660,1 Triliun 27% 73% Sumber : Lampiran Keppres masing-masing Repelita Proyeksi penurunan peranan Pemerintah di satu pihak dan peningkatan peranan pelaku usaha swasta terutama berskala besar menunjukkan ideologi kapitalisme telah mendasari pembangunan ekonomi. Artinya pembangunan ekonomi harus semakin bertumpu pada peranan pelaku usaha swasta terutama yang berkemampuan baik modal maupun teknologi. Penitikberatan pada pertumbuhan ekonomi sebagai pilihan orientasi kebijakan pembangunan ekonomi penguasan Orde Baru berimplikasi pada strategi pencapaian kemakmuran seluruh rakyat sebagai tujuan dari hukum pertanahan nasional. Perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah sebagai upaya untuk melakukan pemerataan pemilikan tanah dinilai sebagai strategi yang tidak akan mampu mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi. Bahkan strategi yang demikian justru dinilai sebagai penghambat terhadap pertumbuhan ekonomi karena tidak memacu setiap orang untuk bersaing dalam berprestasi. Pemberian tanah kepada petani yang biasa dengan sistem pertanian yang subsistem tidak akan dapat memberikan konstribusi yang berarti bagi peningkatan produksi yang dikehendaki oleh kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi tidak pernah tercapai sebagaimana diasumsikan oleh pembentuk kebijakan, maka kemakmuran rakyat tidak akan pernah dapat dicapai. Kemakmuran rakyat dapat dicapai bukan dengan cara membagi-bagikan tanah secara langsung kepada setiap petani atau kepada sebanyak mungkin orang, namun strategi pencapaiannya dapat diupayakan dengan memberikan kesempatan 166 kepada setiap orang untuk memperoleh dan mempunyai tanah dengan syarat tertentu yaitu mampu mengembangkan kegiatan usaha melalui penguasaan dan penggunaan tanah serta bersaing untuk berprestasi dalam peningkatan produksi. Melalui strategi yang demikian, disatu sisi setiap orang sudah diberi kesempatan yang sama untuk memperoleh dan mempunyai tanah, namun kesempatan untuk sungguh-sungguh dapat menguasai dan mempunyai tanah akan terseleksi berdasarkan kemampuan mereka memenuhi persyaratan dan prestasinya dalam meningkatkann produksi dan penggunaan tanah yang diperolehnya. Untuk mendukung strategi seperti diatas, kebijakan pembangunan ekonomi telah meletakkan prinsip-prinsip tertentu yaitu efisien dan efektivitas penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah sebagai basis utama dan sekaligus sebagai acuan dalam pembentukan peraturan pelaksanaaan UUPA tanpa perlu merubah atau merevisi asas-asas yang terdapat dalam UUPA itu sendiri. Hal ini dapat dicermati dari ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Tap MPR No. IV/MPR/1973 dalam Bab IV D huruf a butir 12 dinyatakan bahwa : “salah satu aspek pembangunan ekonomi ialah penggunaan tanah dan oleh karena itu demi peningkatan efisiensinya perlu diadakan perencanaan penggunaan tanah. Begitu juga dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978 Bab IVD. Bagian Umum butir 20 dan Bagian Ekonomi, Pertanian huruf f dinyatakan : Agar pemanfaatan tanah sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat serta dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, maka disamping menjaga kelestariannya perlu dilaksanakan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah Pembangunan pertanian harus merupakan usaha yang terpadu dengan pembangunan daerah dan pedesaan. Dalam hubungan ini diperlukan langkah-langkah untuk mengendalikan secara efektif penggunaan, 167 penguasaan dan pemilikan tanah sehingga benar-benar sesuai dengan asas adil dan merata. Kutipan dari Tap MPR tersebut memberikan gambaran tentang adanya perubahan basis strategi dalam pembangunan hukum bidang pertanahan sebagai implikasi dari perubahan orientasi kebijakan pembangunan ekonomi yaitu efisiensi penggunaan tanah serta menata kembali dan mengendalikan secara efektif penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Perubahan ini tidak lagi menekankan pada perombakan struktur penguasaan tanah melalui landreform, namun lebih menekankan pada penataan agar penggunaan tanah lebih efisien yaitu memaksimalkan hasil yang diperoleh dengan lebih menekankan biaya serendah mungkin dan agar penggunaan tanah lebih efektif yaitu berhasil guna memberikan dukungan langsung terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi yaitu peningkatan jumlah kegiatan usaha atau investasi hasil produksinya. Efisiensi dan efektivitas penggunaan tanah diharapkan dapat meberikan dukungannya terhadap pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berdampak lebih lanjut terhadap kemakmuran rakyat. 159 Merujuk orientasi dan basis yang demikian, strategi yang dikembangkan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat bukan dengan mendistribusikan penguasaan dan pemilikan sumber daya ekonomi seperti halnya tanah secara merata kepada sebanyak mungkin warga masyarakat. Strateginya adalah pemberian fasilitas untuk menguasai dan memiliki tanah kepada setiap orang yang mampu secara efisien dan efektif menggunakannya 159 untuk pengembangan Bonnie Setiawan, 2003, Globalisasi Pertanian : Ancaman Atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani, The Institute for Global Justice, Jakarta, hal.42. 168 kegiatan usaha. Meskipun setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk menguasai dan memilki tanah namun mereka yang efektif dan efisien yang akan lebih banyak memanfaatkan atau diberi kesempatan tersebut.160 Politik hukum yang mengantarkan lahirnya UUPA berkisar pada dua tataran dasar. Pertama, hendak mewujudkan sistem hukum agraria yang seragam (unifikasi) di seluruh wilayah negara kesatuan RI. Ini merupakan konsekwensi logis sebagai negara yang merdeka yang sedang mengarah pada pembaharuan hukum dan sistem hukumnya. Kedua, dimaksudkan untuk mewujudkan suatu bangunan masyarakat, khususnya petani, apakah petani penggarap, buruh tani dan lain sebagainya kepada kondisi yang lebih bermartabat. Undang-undang ini memberikan kemungkinan perolehan akses terhadap sumberdaya ekonomi. Dalam konteks ini yang dimaksudkan adalah tanah, sehingga distorsi pada pemilikan dan penguasaan tanah dapat dieliminir. Harapannya adalah tercipta suatu masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat. Ada dua hal yang membuat UUPA mempunyai arti penting secara mendasar, yaitu: statusnya dan isinya. UUPA dapat dikatakan mempunyai kehidupan sendiri. Maksudnya, undang-undang tersebut mempunyai arti yang lebih tinggi daripada apa yang dikatakannya, yaitu isi maupun status legal formalnya, yaitu sebuah undang-undang yang disahkan oleh legislatif karena mengatur hal-hal mendasar mengenai keagrarian. UUPA telah memperoleh status simbolis sebagai bagian dari landasan fundamental bangsa ini. Artinya, undang- 160 Badan Pembangunan Hukum Nasional, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Pertanahan, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hal. 38. 169 undang tersebut ikut menegaskan dan memperkuat eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diproklamirkan dalam UUD 1945. 4.2 Model Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Dalam Regulasi Politik hukum agraria sebagaimana tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA secara prinsip tidak perlu diubah, sebab pada dasarnya yang menjadi masalah adalah implementasinya. Filosofi yang mendasarinya baik, tapi pilihan kepentingan dan nilai sosial oleh pemerintah telah menggeser peran substantif filosofi yang mendasari politik hukum tersebut. Dilihat dari proses pembuatannya yang partisipatif dan isinya yang aspiratif, UUPA merupakan hukum yang berkarakter responsif. Sementara itu dilihat dari nilai sosial yang mendasarinya, UUPA sendiri merupakan hukum prismatik yang ideal karena mengkombinasikan dua pilihan nilai sosial. 161 Perkembangan hukum agrarian dapat pula dilihat dari kacamata ekonomi politik, yakni suatu pendekatan yang terkait dengan pengaruh pilihan kepentingan dan pilihan nilai sosial yang dijadikan landasan kebijakan pemerintah. Pilihan kepentingan yang dihadapi oleh penguasa adalah pilihan kepentingan kolektif secara terkendali dan pilihan kepentingan sekelompok orang secara liberal. Masalah utama yang selama ini muncul diakibatkan oleh sikap pemerintah yang bergeser atau mengambil jalan sendiri atas nilai kepentingan dan nilai sosial demi pembangunan, sehingga keluar dari prinsip kemakmuran rakyat. Dengan 161 H.Abdul Latif dan Hasbi Ali,Op.cit, 122. 170 demikian politik hukum agrarian di dalam UUPA sudah sesuai dengan dasar dan tujuan Negara sebagaimana terkandung dalam UUD 1945. Namun pilihan kepentingan pemerintah dalam implementasi telah membawa keluar pengelolaan agraria dari nilai filosofi dan politik hukum yang mendasarinya. Pilihan nilai pada kemakmuran sekelompok orang yang kuat secara ekonomis (pemodal) melalui liberalisasi ekonomi telah menggeser watak populisme UUPA. Keharusan membangun ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dan dalam pilihan nilai kepentingan yang seperti itu, ketentuan undang-undang yang seharusnya ditaati banyak yang dilanggar karena kebutuhan pragmatis. Seperti persoalan pengaturan penyelenggaraan tanah untuk kepentingan umum dengan keluarnya Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006 dan terakhir Undang-Undang No. 2 Tahun 2012. Pembahasan pada sub bab ini dimulai dari Perpres No 36 Tahun 2005. Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mendapat banyak tanggapan maupun menuai kontroversi. Sebagian kalangan menolak, bahkan menganggap Perpres ini sebagai ancaman bagi hak milik yang dijamin oleh konstitusi. Namun sebagian kalangan mendukung dengan dikeluarkan Perpres ini, karena peraturan ini dianggap memperbaiki berbagai peraturan yang menyangkut pengadaan tanah untuk kepentingan umum terdahulu. 162 Secara substansial Perpres No. 36 tahun 2005 ini memberi peluang kepada negara untuk 162 memberikan jaminan kepada H.Abdul Latif dan Hasbi Ali, Op.cit, hal. 124. investor domestik maupun 171 internasional untuk menanamkan modalnya di Indonesia terutama dalam hal pengadaan tanah. Para pelaku bisnis menunjukkan antusiasme dan menyambut positif kebijakan ini. Juru bicara presiden pada saat itu, Andi Malarageng mengatakan bahwa Perpres ini memang untuk mewujudkan keepakan yang dicapai dalam Infrastructure Summit. Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh Ketua Kamar Dagang Industri Indonesia yaitu MS Hidayat bahwa hal ini merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti hasil dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Bidang Infrastruktur. 163 Beberapa hal yang patut diperhatikan adalah rekomendasi politik dari Komisi II DPR RI yang dikeluarkan pada tanggal 7 Juni 2005. Adapun butir-butir penting yang harus diperhatikan adalah : a. Segera melakukan revisi atas Perpres No. 36 Tahun 2005, khususnya terhadap Pasal 3 jo Pasal 2 ayat (1), Pasal 1 angka 5 jo Pasal 5, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (3), Pasal, Pasal 10, Pasal 15 ayat (1) huruf a dan ayat (2), Pasal 16 Ayat (2); dan perlu mempertimbangkan efektivitas keberadaan panitia pengadaan tanah serta pembahasan substansi yang mengatur jaminan tidak adanya spekulasi harga tanah dan perlunya keberadaan Tim Independen Tanah. b. Pada waktu yang bersamaan pemerintah perlu mengeluarkan PP dari UU organik yang berhubungan dengan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yaitu PP terhadap UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dan PP 163 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 220 172 terhadap UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya. c. Pemerintah perlu segera melakukan koordinasi secara intensif dengan DPR RI guna percepatan pembahasan RUU yang telah masuk Prolegnas yaitu RUU tentang Pengambilaihan Lahan Untuk Kepentingan Umum. Rekomendasi Komisi II DPR tersebut dikeluarkan setelah mengkaji isi Perpres No. 36 Tahun 2005 dan melahirkan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat kemungkinan terjadinya perlakuan diskriminatif dalam pelaksanaan Perpres No. 36 Tahun 2005, terutama karena pengertian kepentingan umum dimaksudkan hanya untuk kepentingan sebagian besar masyarakat. 2. Cara pengadaan tanah yang dilakukan melalui pencabutan hak atas tanah memberikan terjadinya peluang kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan Perpres No. 36 Tahun 2005, khususnya bila tidak merujuk pada UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya. 3. Terdapat ketidakjelasan prinsip penghormatan dalam pengadaan tanah apakah diberikan kepada subjek (pemegang hak atas tanah) atau objek (hak atas tanah) yang bisa berakibat pengabaian terhadap hak asasi pemegang hak atas tanah sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. 173 4. Terbuka ruang kolusi antara pemerintah dengan pembeli tanah (pemodal besar) dalam proses jual beli tanah yang telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. 5. Monopoli pemerintah atau pemerintah daerah dalam Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah dan Tim/Lembaga Penilai Tanah memperkecil harapan pemegang hak atas tanah (rakyat) memperoleh keadilan. 6. Unsur represif (pemaksaan) terlihat pada pembatasan waktu untuk musyawarah.164 Melihat kelemahan yang ada dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 akhirnya Presiden mengeluarkan Peraturan presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 mengenai Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pemerintah beranggapan bahwa perubahan itu didasari keinginan pemerintah untuk meningkatkan prinsp penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan. Perpres No. 65 Tahun2006 juga menambah ketentuan baru, yaitu mengenai biaya panitia pengadaan tanah yang akan diatur lebih lanjut. 165 Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup panjang Rancangan UndangUndang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam sidang paripurna tanggal 16 Desember 2011. Sesuai dengan pasal 73 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan, 164 H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Op.cit, hal. 126. Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 226. 165 174 RUU tersebut menjadi sah sebagai undang-undang paling lama 30 hari sejak RUU tersebut disahkan. Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan Indonesia memiliki payung hukum yang kuat setingkat undang-undang untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum yang memerlukan pengadaan tanah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 2012 masih memberikan pilihan kepada investor ataupun instansi terkait. Dalam hal ini instansi bisa tetap menggunakan aturan lama atau memakai aturan peerundang-undangan baru tersebut. Hal ini telah diatur dalam pasal transisi. Pemilihan untuk meggunakan undang-undang itu ketika lahan sudah terbebaskan meski dibawah 10% sangat bergantung pada instansi, atau investor yang akan menggunakan. Bila investor ingin pembebasan lahan menggunakan undang-undang baru maka proses ini harus mengikuti aturan tersebut secara penuh, yakni memulai kembali proses pembebasan lahan dari awal musyawarah penentuan harga dengan masyarakat. Terkesan mengulang-ulang, tetapi undang-undang tersebut lebih memberikan kepastian waktu terhadap masa pembebasan lahan kepada para pengguna yang ditargetkan selama dua (2) tahun. Undang-Undang Pengadaan Tanah ini sebetulnya sudah dapat diberlakukan sejak diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, namun implementasi penuh baru dapat digunakan setelah terbitnya peraturan presiden termasuk juga tentang masa transisi dan ganti rugi kepemilikan lahan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini dinilai tidak menguntungkan masyarakat. Sebab aturan tersebut telah membuat masyarakat kehilangan lahan 175 penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari. Dalam perjalanan baru beberapa bulan, undang-undang ini sudah pernah dilakukan pengujian. Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dimohonkan oleh sebuah koalisi yang menamakan dirinya Karam Tanah. Koalisi ini beranggotan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Comitte for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi, Aliansi Petani Indonesia, Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA), Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia for Global Justice dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI). Kelompok ini memohon pengujian Pasal 2 huruf g, Pasal 9 Ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 Ayat (1), Pasal 23 Ayat (1), Pasal 40 dan Pasal 42 karena menilai pasal-pasal tersebut tidak berpihak kepada masyarakat umum. Mereka menuding aturan itu lebih berorientasi untuk melindungi kewenangan pemerintah dalam membangun fasilitas umum dan lebih berorientasi kepada kepentingan bisnis seperti membangun jalan tol dan pelabuhan. Menurut saksi ahli yang didatangkan pemohon harus ada keseimbangan antara hukum dan kepentingan masyarakt terkait tanah. Meski hukum harus menjamin tersedianya bidang-bidang tanah untuk berbagai keperluan terkait penyelenggaraan negara, hukum juga harus memperhatikan hak rakyat. Hak rakyat dijamin kepastiannya agar tidak menjadi korban kesewenangan pemerintah dalam pembangunan. 166 166 Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 319. 176 Pembahasan berikut ini adalah kutipan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terhadap pengajuan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pokok permohonan para Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 huruf b dan huruf d, Pasal 14 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 40, dan Pasal 42 UU 2/2012 terhadap UUD 1945 sebagaimana disebutkan di atas, dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa UU 2/2012 tidak sinkron antara judul dengan isinya, karena judul Undang-Undang a quo adalah Undang-Undang tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang secara norma hukum bersifat sukarela, tetapi isinya justru pengadaan tanah menjadi suatu kewajiban warga negara. 2. Bahwa Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 menimbulkan ketidakpastian hukum, karena Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang bisa dengan sepihak menyatakan pengadaan tanah sudah seimbang antara kepentingan pembangunan dengan kepentingan masyarakat, padahal kepastian hukum yang adil adalah hak konstitusional yang dilindungi oleh UUD 1945; 3. Bahwa jalan tol yang tercantum dalam Pasal 10 huruf b UU 2/2012 tidak termasuk kegiatan untuk kepentingan umum, karena tidak setiap orang dapat mempergunakannya tanpa asset dan akses yang lebih. Begitu pula kata“pelabuhan”yang tercantum dalam Pasal 10 huruf d Undang-Undang a quo.Tidak semua pelabuhan adalah untuk kepentingan umum yang dipergunakan untuk penyebrangan rakyat. 4. Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU 2/2012 tidak melibatkan masyarakat atau pihak yang berhak atas tanah dalam proses perencanaan, karena jelas sekali dalam pasal a quo proses perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum pelibatannya hanya menunjuk instansi yang memerlukan tanah; 5. Bahwa kata “konsultasi publik” dalam Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012 adalah sebuah proses musyawarah yang artinya tercapainya suatu kesepakatan adalah atas kehendak antara para pihak. Akan tetapi konsultasi publik tidak diatur untuk menuju kemufakatan karena keberatan dari hasil musyawarah akan dilaporkan ke gubernur oleh instansi yang memerlukan tanah bukan oleh pihak yang berhak dan atau mayarakat yang yang terkena dampak; 6. Bahwa jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setempat yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UU 2/2012 adalah tidak 177 rasional mengingat akses masyarakat terhadap Lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara di setiap provinsi belum semua tersedia; 7. Bahwa Pasal 40 UU 2/2012 tidak memasukkan unsur masyarakat yang terkena dampak sebagai subjek yang berhak menerima ganti kerugian. 8. Bahwa ganti kerugian objek pengadaan tanah diberikan kepada pihak yang berhak, namun jika dihubungkan dengan Pasal 42 ayat (2) huruf b angka 1 dan angka 2 UU 2/2012 terjadi kerancuan karena belum ada kepastian hukum siapa pihak yang berhak atas tanah. Pendapat Mahkamah Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon dan bukti-bukti para Pemohon, mendengar keterangan lisan dan membaca keterangan tertulis Pemerintah, membaca dan mendengarkan keterangan para saksi dan ahli dari para Pemohon dan Pemerintah, serta membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: 1. Bahwa Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 yang menyatakan, “Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat”, tidak mendefinisikan dengan jelas pengertian kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak jelas yang akan diseimbangkan. Menurut Mahkamah, apabila norma Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tidak ada lagi keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Artinya apabila sudah atas nama kepentingan umum, kepentingan pembangunan yang menjadi acuan, maka kepentingan masyarakat tidak lagi diperhatikan. Hal demikian justru akan bertentangan dengan keadilan sebagai prinsip konstitusi. Bahwa di dalam Undang-Undang, mungkin saja ada suatu ketentuan yang tidak memberikan perincian mengenai istilah atau kata yang digunakan, meskipun hal tersebut dapat menimbulkan ketidakjelasan, ketidakpastian atas istilah atau kata yang dimaksud oleh UndangUndang, namun hal tersebut dapat diatasi dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah untuk merincinya dengan tetap dalam semangat perlindungan terhadap berbagai kepentingan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quotidak beralasan menurut hukum; 2. Pasal 10 huruf b dan huruf d UU 2/2012 menyatakan,“Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan: a .... b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; 178 c .... d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal”. Menurut Mahkamah pembangunan jalan tol dilakukan demi kelancaran pengangkutan orang, barang, dan jasa yang menjadi hajat hidup orang banyak, sehingga meskipun seperti didalilkan oleh para Pemohon tidak dapat diakses secara leluasa oleh rakyat miskin, akan tetapi dengan adanya jalan tol tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung akan dirasakan manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat. Demikian pula pelabuhan, untuk daerah-daerah tertentu, distribusi sembilan bahan pokok (sembako) hanya mungkin lewat pelabuhan. Meskipun tidak semua orang mempergunakannya, akan tetapi masyarakat merasakan manfaatnya. Tidak semua fasilitas untuk kepentingan umum dapat dipenuhi oleh negara oleh karena semakin meningkatnya kebutuhan atau permintaan masyarakat. Oleh sebab itu, meskipun negara memberi kesempatan pada swasta untuk dapat ikut serta memenuhi kepentingan umum tersebut, namun negara tetap dapat menentukan kebijakan yang bersangkut paut dengan kepentingan umum, misalnya dalam menetapkan tarif jalan tol yang dikelola oleh swasta, sehingga swasta tidak sepenuhnya dapat menentukan sendiri tarif jalan tol yang merupakan investasi dari yang bersangkutan. Dengan tidak ada atau kurangnya fasilitas jalan umum dan pelabuhan, termasuk di dalamnya jalan tol dan pelabuhan peti kemas, yang belum dapat dipenuhi oleh negara justru akan menyulitkan distribusi orang, barang, dan jasa yang pada gilirannya akan mengganggu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi masyarakat yang secara tidak langsung merugikan kepentingan umum. Selain itu, dengan adanya jalan tol maka alat-alat berat transportasi darat sebagian besar dialihkan ke jalan tol sehingga beban jalan umum menjadi berkurang dan dengan demikian akan meningkatkan keamanan pengguna jalan umum tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum; 3. Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU 2/2012 yang menyatakan,“Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menurut ketentuan peraturan perundangundangan”.Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, dengan ketentuan Pasal 18 UU 2/2012 yang menyatakan: Ayat (1) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b meliputi kegiatan pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah; Ayat (2) Pendataan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan; Ayat (3) Hasil pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai 179 data untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c”. Pendataan awal meliputi kegiatan pengumpulan data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah, yang akan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan. Selanjutnya konsultasi publik tersebut dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak [videPasal 19 ayat (1) UU 2/2012]. Konsultasi publik tersebut melibatkan selain pihak yang berhak, juga dengan masyarakat yang terkena dampak, serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan umum atau di tempat yang disepakati [videPasal 19 ayat (2) UU 2/2012]. Apabila sudah tercapai kesepakatan dibuatkan berita acara kesepakatan [ videPasal 19 ayat (4) UU 2/2012], dan bila tidak, hingga waktu 60 hari, maka dilaksanakan konsultasi publik ulang [videPasal 20 ayat (2) UU 2/2012]. Seterusnya apabila setelah dilakukan konsultasi publik ulang ternyata masih ada pihak yang keberatan, maka yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat [vide Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012]. Bahkan 30 hari setelah penetapan lokasi pembangunan masih terdapat keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setempat [vide Pasal 23 ayat (1)]. Akhirnya, putusan pengadilan (tata usaha negara) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menjadi patokan diteruskan atau tidak diteruskannya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, Mahkamah tidak menemukan adanya pengabaian terhadap hak-hak dan kepentingan publik termasuk hak masyarakat atau orang yang memiliki tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum. Dengan perkataan lain, negara tidak dengan semena-mena mengambil alih atau mengizinkan penggunaan tanah yang dimiliki oleh masyarakat maupun pihak yang terdampak untuk digunakan bagi kepentingan umum, tetapi harus melalui tahapan dan proses yang diatur oleh Undang-Undang. Keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum telah terpenuhi di dalam ketentuan Undang-Undang tersebut. Berbeda dengan proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum sebelumnya, ketentuan ini telah memberikan perlindungan hukum yang memadai dengan membuka kesempatan kepada pihak-pihak, baik kepada pemilik tanah maupun kepada pihak yang terkena dampak yang merasa dirugikan untuk mengajukan keberatan bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum; 4.Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012 menyatakan, “Apabila dalam Konsultasi Publik ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) masih terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi 180 pembangunan, Instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat” Menurut Mahkamah konsultasi publik ulang tetap dimaksudkan untuk mencapai mufakat. Apabila tidak dicapai mufakat, artinya masih ada pihak yang keberatan, maka instansi yang memerlukan tanah melaporkan kepada gubernur. Bahkan gubernur pun setelah mendapat laporan dari instansi yang memerlukan tanah, tidak serta merta mengambil sikap untuk memutuskan, tetapi harus membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan [vide Pasal 21 ayat (2) UU 2/2012] yang terdiri atas sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota; Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai sekretaris merangkap anggota; instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota; Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai anggota; bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota, dan akademisi sebagai anggota [vide Pasal 21 ayat (3) UU 2/2012], dengan tugas meliputi: a) menginventarisasi masalah yang menjadi keberatan; b) melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan; dan c) membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan [vide Pasal 21 ayat (4) UU 2/2012]. Surat gubernur tentang diterima atau tidak diterimanya keberatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (6) Undang-Undang a quo, bukanlah akhir dari proses pembebasan tanah yang tersedia, sebab berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang a quo, pihak yang merasa keberatan terhadap penetapan lokasi, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lama 30 hari sejak dikeluarkannya lokasi penetapan, dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetaplah yang menjadi dasar diteruskan atau tidak diteruskannya pengadaan tanah untuk kepentingan umum [vide Pasal 23 ayat (5) UU 2/2012]. Dengan demikian ketetapan akhir ditentukan oleh putusan pengadilan, bukan oleh keputusan pejabat tata usaha negara, yakni bukan oleh keputusan gubernur. Berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum; 5. Pasal 23 ayat (1) UU 2/2012 menyatakan, “Dalam hal setelah penetapan lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) dan Pasal 22 ayat (1) masih terdapat keberatan, Pihak yang Berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi”. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah lebih singkatnya waktu untuk mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) setempat terhadap keputusan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dibandingkan dengan tenggang waktu pengajuan 181 gugatan ke pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU PTUN, karena keputusan pejabat tata usaha negara tersebut, dalam hal ini keputusan gubernur, sudah diketahui lebih dahulu oleh pihak yang berhak, sebab telah melalui proses konsultasi publik, konsultasi publik ulang, dibicarakan oleh tim yang melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan, sehingga sudah dapat mengantisipasinya lebih dahulu. Adapun tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara lebih lama karena keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kemungkinan belum diketahui sebelumnya oleh yang berkepentingan. Lagipula pengaturan dalam UndangUndang a quo yang menentukan secara khusus tentang tenggang waktu lebih singkat dari UU PTUN merupkan opened legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang sejauh tetap mempertimbangkan asas kepatutan dan keadilan. Tentang dalil para Pemohon bahwa jangka waktu 30 hari untuk pengajuan gugatan ke PTUN tidak rasional karena akses masyarakat terhadap Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada setiap provinsi belum tersedia, adalah tidak benar, sebab setiap provinsi sudah memiliki PTUN meskipun untuk Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara hingga kini baru terdapat pada lima tempat yakni di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makasar. Berdasarkan pertimbangan di atas Mahkamah menilai dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum; 6. Pasal 40 UU 2/2012 menyatakan,“Pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang Berhak”. Penjelasan pasal a quo menyatakan, yang berhak menerima ganti kerugian antara lain: a. pemegang hak atas tanah; b. pemegang hak pengelolaan; c. nadzir, untuk tanah wakaf; d. pemilik tanah bekas milik adat; e. masyarakat hukum adat; f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik; g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau h. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, norma yang tertera dalam Pasal 40 UU 2/2012 sudah tepat dan benar. Adalah benar bahwa yang mendapat ganti kerugian adalah pihak yang berhak. Mengenai Penjelasan Pasal 40 UU 2/2012 yang menyebutkan, yang berhak mendapat ganti kerugian, antara lain:a. pemegang hak atas tanah; b.pemegang hak pengelolaan; c. nadzir, untuk tanah wakaf; d. pemilik tanah bekas milik adat; e. masyarakat hukum adat; f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik; g. pemegang dasar 182 penguasaan atas tanah; dan/atau h. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah, yang menurut para Pemohon tidak termasuk masyarakat yang terkena dampak, Mahkamah menilai para Pemohon justru yang keliru, sebab dalam Penjelasan menggunakan kata, “antara lain”, yang berarti selain yang tersebut dalam huruf a sampai dengan huruf h masih ada pihak yang berhak memperoleh ganti kerugian apabila memang mengalami kerugian sehubungan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Di samping itu, Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012 jelas menyebutkan bahwa konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak. Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012 menyatakan, “Dalam Konsultasi Publik, Instansi yang memerlukan tanah menjelaskan antara lain mengenai rencana pembangunan dan cara penghitungan Ganti Kerugian yang akan dilakukan oleh Penilai”. Selanjutnya Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012 menyatakan,“Yang dimaksud dengan "masyarakat yang terkena dampak" misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan lokasi Pengadaan Tanah”. Pelibatan masyarakat yang terkena dampak dalam konsultasi publik yang agendanya antara lain adalah tentang cara penghitungan ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012, menunjukkan bahwa masyarakat yang terkena dampak pun termasuk yang berhak mendapat ganti kerugian. Mengenai pemegang hak pengelolaan yang menurut para Pemohon seharusnya tidak mendapat ganti kerugian, menurut Mahkamah, ketentuan bahwa pemegang hak pengelolaan mendapat ganti kerugian merupakan pertanda bahwa pembentuk UndangUndang tidak menghendaki adanya pihak yang menderita kerugian sebagai akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak mendapat ganti kerugian, meskipun pemegang hak pengelolaan tersebut adalah instansi pemerintah. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum; 7. Pasal 42 ayat (2) UU 2/2012 menyatakan,“Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan terhadap: a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian: 1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan; 2. masih dipersengketakan kepemilikannya; 3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau 4. menjadi jaminan di bank”. Menurut Mahkamah penitipan ganti kerugian pada pengadilan negeri setempat dimaksudkan supaya uang ganti kerugian tersebut kelak betul-betul diterima oleh yang berhak menerima. Jikalau sejak awal ada sengketa kepemilikan atas tanah yang belum ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, tentulah tidak dapat dilakukan konsultasi publik sebab belum diketahui pihak yang berhak untuk diajak 183 dalam konsultasi publik. Akan tetapi, bisa terjadi bahwa ketika diadakan konsultasi publik belum ada sengketa, tetapi setelah selesai konsultasi publik dan proses selanjutnya, sebelum ganti kerugiannya diserahkan, atas tanah yang untuk kepentingan umum dipersengketakan atau digugat kepemilikannya. Dalam keadaan seperti tersebut adalah adil kalau ganti kerugian tersebut dititipkan pada pengadilan negeri setempat, supaya apabila sudah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diputuskan pihak yang berhak maka kepada yang berhak itulah ganti kerugian diberikan. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum; 167 AMAR PUTUSAN Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 53 ayat (3) dan Pasal 59 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan yang diterbitkan adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 4.3 Model Pengaturan Yang Ideal Penemuan hukum (rechtvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat luas cakupannya. Penemuan hukum dapat dilakukan oleh orang perorangan (individu), ilmuwan/peneliti hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan pengacara/advokat), direktur perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun. Dalam diskursus penemuan hukum, lebih banyak 167 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang, tanggal 24 September 2013 data diakses pada 184 dibicarakan pada upaya penemuan hukum oleh hakim, pembentuk UndangUndang dan peneliti hukum. 168 Pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan hukum, meskipun tidak menghadapi peristiwa kongkrit atau konflik seperti hakim, tetapi untuk menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu, jadi sifatnya adalah preskriptif. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena dituangkan dalam bentuk undang-undang dan sekaligus merupakan sumber hukum. Peneliti hukum melakukan penemuan hukum tapi sifatnya teoritis, sehingga hasil penemuan hukumnya bukan merupakan hukum melainkan hanya sebagai sumber hukum (doktrin).169 Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciriciri sebagai berikut : 1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. 2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja. 3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. Dibandingkan dengan aturan kebiasaan, maka perundang-undangan memperlihatkan karakteristik suatu norma bagi kehidupan sosial yang lebih 168 Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta, hal. 56. Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, hal. 65 169 185 matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Hal ini tidak terlepas dari kaitannya dengan pertumbuhan Negara itu sendiri. Aturan kebiasaan bisa dikatakan mengurusi hubungan antara orang dengan orang, sedangkan perundangundangan antara orang dengan Negara. Bentuk perundang-undangan itu tidak akan muncul sebelum timbul pengertian Negara sebagai pengemban kekuasaan yang bersifat sentral dan tertinggi. Beberapa kelebihan dari perundang-undangan dibandingkan dengan norma-norma lain adalah : (1) Tingkat prediktabilitasnya yang besar. Hal ini berhubungan dengan sifat prospektif dari perundang-undangan, yaitu yang pengaturannya ditujukan ke masa depan. Oleh karena itu pula ia harus dapat memenuhi syarat agar orang-orang mengetahui apa atau tingkah laku apa yang diharapkan dari mereka pada waktu yang akan datang dan bukan yang sudah lewat. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan senantiasa dituntut untuk memberitahu secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan atau tidak dilakukan ole anggota masyarakat. Asas-asas hukum , seperti “Azas tidak berlaku surut” memberikan jaminan bahwa kelebihan yang demikian itu dapat dilaksanakan secara seksama. (2) Kecuali kepastian yang lebih mengarah kepada bentuk formal diatas, perundang-undangan juga memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan tersebut. Oleh karena itu, orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu diterima atau tidak. Disamping kelebihan-kelebihan tersebut diatas, beberapa kelemahankelemahan yang terkandung dalam perundang-undangan adalah : 186 1. Kekakuannya. Kelemahan ini sebetulnya segera tampil sehubungan dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian. Apabila kepastian ini hendak dipenuhi, maka ia harus membayarnya dengan membuat rumusan yang jelas dan terperinci dan tegar dengan risiko menjadi norma – norma yang kaku. 2. Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat umum mengandung risiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan demikian memperkosa perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan begitu saja. Dalam ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya, karena undang-undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis sehingga lebih menjamin kepastian hukum. Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama, yang diundangkan dalam Lembaran Negara dengan nomor urut dalam satu tahun dan penjelasannya dimuat dalam tambahan Lembaran Negara dengan nomor urut tanpa dibatasi tahunnya. Dalam membaca undang-undang tidak cukup dengan membaca pasalpasalnya saja, tetapi juga harus dibaca pula penjelasan dan konsiderannya. Hukum merupakan suatu sistem, untuk memahami suatu pasal atau undang-undang maka perlu dibaca Pasal-pasal lain atau undang-undang yang lain. 170 Sunaryati Hartono mengatakan bahwa apabila menempatkan hukum sebagai jembatan yang akan membawa kepada ide yang dicita-citakan, maka 170 Ibid, hal. 70. 187 terlebih dahulu harus mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia Mengetahui bagaimana bentuk masyarakat yang dicitacitakan oleh rakyat Indonesia, dapat dicari sistem hukum yang dapat mewujudkan cita-cita dimaksud dan politik hukum yang dapat menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki. Melihat bentuk masyarakat yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia, menurut Sunaryati Hartono adalah suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata yang dicapai dengan cara yang wajar dan berperikemanusiaan, yang pada gilirannya tercapai keselarasan, keserasian dan ketentraman di seluruh negeri. Terkait dengan sistem hukum nasional yang dapat mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia yang dimaksud adalah sistem hukum nasional yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang akan diwujudkan melalui politik hukum nasional, merupakan sistem hukum yang bersumber dan berakar pada berbagai sistem hukum yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa hakikat dari politik hukum nasional adalah kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan harus dilihat sebagai conditio sine qua non bagi pembangunan hukum nasional, bukan sebagai condition qum qua non. Apabila menginginkan tatanan hukum nasional sebagai suatu sistem, maka politik hukum nasional dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang holistik dan komprehensif, tidak hanya meliputi pembangunan materi hukum, namun juga pembangunan budaya hukum, pembangunan lembaga dan aparatur hukum termasuk penyempurnaan proses, prosedur dan mekanisme hukum serta modernisasi sarana dan prasarana hukum. 188 Seluruh komponen dan unsur-unsur sistem hukum nasional sebaiknya dibangun secara simultan, sinkron dan terpadu. Dengan menggunakan pendekatan sistemik tersebut akan terwujud sebuah sistem hukum nasional yang holistik dan komprehensif yang berdasarkan filsafat Pancasila dan jiwa UUD 1945 serta sekaligus akan terpenuhi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Indonesia di masa yang akan datang. 171 Terkait dengan bentuk yang mengarahkan politik hukum nasional, Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta mengatakan bahwa politik hukum nasional itu belum ada atau belum jelas benar, yang telah ada baru politik pembinaan hukum nasional sebagai suatu sub sistem politik hukum nasional. Menurut beliau sebaiknya tentang politik hukum nasional yang dimaksud, disepakati bersama dan demi kepastian, diundangkan dalam bentuk undangundang tetntang ketentuan-ketentuan pokok tentang hukum dan perundangundangan. Otong Rosadi berpendapat bentuk yang paling cocok untuk mengarahkan arah politik hukum nasional adalah melalui Ketetapan MPR sebagaimana yang pernah dipraktekkan sebelum amandemen UUD 1945. Dalam ketetapan MPR tersebut, dicantumkan arah politik hukum nasional yang terdiri dari politik pembentukan hukum dan politik penegakan hukum ini, harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan. Idealnya, maka politik hukum nasional itu meliputi landasan, arah, komponen dan strategi pencapaiannya. 171 Otong Rosadi dan Andi Desmon, Op. cit, hal. 88-90. 189 Ekonomi Indonesia semakin liberal pada era reformasi di bawah sistem neoliberalisme yang digerakkan oleh kapitalisme global. Pergeseran ideologi ekonomi berimplikasi pada politik hukum yang mengakomodasi liberalisasi investasi, industrialisasi, swastanisasi dan perdagangan. Sebagai subsistem politik negara, semua undang-undang sektoral agraria mengabdi pada ekonomi politik agraria yang ekstraktif-eksploitatif. Pergeseran ideologi ekonomi politik diyakini banyak pihak sebagai faktor utama komplikasi persoalan agraria di Indonesia. Seperti teori domino, politik agaria sebagai subsistem politik negara berimplikasi pada politik hukum agaria sebagai legal policy untuk mencapai tujuan negara. Pelaksanaan legal policy itu dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat asas, dasar dan norma dalam bidang agraria dalam garis besar. 172 Tujuan negara kesejahteraan (welfare state) yang diamanatkan Pancasila (Sila V), Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan negara dan Pasal 33 UUD 1945 jauh dari realisasinya. Akar masalahnya ialah pergeseran ideologi ekonomi dari sistem Ekonomi Pancasila (kerakyatan) ke sistem ekonomi pasar bebas yang digerakkan oleh kapitalisme global di bawah rezim GATT/WTO yang kemudian diikuti AFTA dan APEC. Sebagai subsistem pembangunan nasional, pergeseran orientasi ekonomi politik (agraria) dari sektor pertanian ke industrialisasi dan investasi telah melegitimasi dan mendorong eksploitasi secara sistemik dan masif terhadap sumber daya alam (sektor ekstraktif). Kebijakan keagrariaan diarahkan untuk mendukung kebijakan makroekonomi (pertumbuhan). Swastanisasi dan 172 Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 368. 190 liberalisasi semakin menjadi mainstream substansi kebijakan agraria. Ekstrimnya, telah terjadi komoditisasi tanah dan sumber daya alam yang berdampak negatif bagi perlindungan kepemilikan tanah dan akses masyarakat ke sumber daya agraria. Dalam rangka membangun hukum agraria nasional yang komprehensif, selaras, serasi dan harmonis maka pengaturan ideal yang digunakan menggunakan paradigma baru dan pendekatan holistik harus dikedepankan. Dalam rangka menyusun atau membangun hukum agraria yang bersifat nasional dan holistik di Indonesia, istilah pergeseran atau perubahan paradigma merupakan sesuatu yang mutlak perlu untuk dimiliki para pembentuk atau pembuat undang-undang. Ketetapan MPR RI Nomor IX / MPR / 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, memuat secara implisit tentang pergeseran paradigma ini. Ketetapan MPR ini mengaksentuasi empat prinsip dasar, yakni pertanahan dan sumber daya alam harus berkontribusi secara nyata untuk : 1) meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2) tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah; 3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah dan 4) menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik agraria di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan 191 sengketa dan konflik di kemudian hari. Paradigma baru terkait pembangunan hukum agraria nasional menuju pengaturan yang ideal meliputi 4 (empat) paradigma.173 Yaitu paradigma populistik, paradigma demokratis, paradigma menghormati hak asasi manusia dan paradigma ekologis. Pertama, paradigma populistik. Paradigma sebelumnya yang kapitalistik harus diubah dengan paradigma yang lebih populistik. Dalam kaitannya dengan pembentukan hukum agraria nasional, paradigma ini sangat dibutuhkan. Paradigma yang mendasari semua hukum terkait dengan agraria haruslah paradigma populistik, cara pandang yang mengedepankan rakyat terlebih dahulu, bukan para investor atau kelompok orang tertentu. Dalam proses pembentukan hukum agraria, paradigma kapitalistik harus disingkirkan. Paradigma yang lebih berorientasi pada para pemodal ini dapat menyebabkan disorientasi pada proses pembangunan bangsa yang pada dasarnya bertujuan untuk menyejahterahkan rakyat banyak. Kedua, paradigma demokratis. Tuntutan reformasi dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan bagaimana pemerintahan yang agak otoriter di Era Orde Baru telah bergeser ke paradigma yang lebih demokratis. Berbagai penolakan rakyat terhadap kebijakan pemerintah di bidang agraria yang berujung pada konflik di era reformasi ini merupakan bentuk dari berkembangnya paradigma demokratis. Demokrasi mengharuskan adanya ruang bagi dialog atau komunikasi. Dalam demokrasi yang paling dibutuhkan adalah dialog yang diskursif. Itu berarti 173 Istilah paradigma diungkapkan secara jelas dan detail oleh Thomas Kuhn. Dia berpendapat bahwa paradigma merupakan suatu cara pandang terhadap suatu objek. Cara pandang tersebut boleh jadi hanya bersifat penyempurnaan atau bahkan pergeseran atau penggantian suatu pandangan secara menyeluruh. 192 sebuah keputusan lahir dari konfrontasi atau dialektika pemikiran. Terkait prosedur yang dilakukan dalam pembuatan undang-undang, pemerintah dan DPR harus menempatkan nilai-nilai demokrasi diatas sikap egoisme diri dan partai. Dalam kaitan dengan masalah agraria di lapangan, ruang dialog mesti semakin luas sedangkan ruang kekuasaan yang represif harus dipersempit. Bukan sebaliknya. Ketiga, paradigma menghormati hak rakyat. Rakyat Indonesia tidak lagi menerima cara-cara represif dalam menyelesaikan kasus-kasus agraria yang terjadi selama ini. Masyarakat Indonesia semakin memahami hak-hak mereka di bidang politik (kebebasan, keadilan), ekonomi (kesejahteraan) maupun budaya. Masyarakat juga mengetahui kelemahan-kelemahan sistem dan administrasi pertanahan Indonesia, kekuatan-kekuatan tersembunyi di belakang mafia tanah, calo tanah, demonstrasi rekayasa, hingga aparat keamanan yang bersikap represif dalam menengahi konflik di lapangan. Jika pemerintah tidak mengedepankan hakhak rakyat Indonesia, selama itu pula masalah keagrariaan akan semakin marak dan kompleks. Keempat, paradigma ekologis. Pembangunan pada abad ke-20 yang lalu adalah pola pembangunan konvensional yang bersifat linear, mengutamakan kemajuan ekonomi semata-mata. Subjek pembangunan adalah manusia dan orientasi pembangunan tertuju pada manusia. Pola ini mengabaikan pembangunan lingkungan dan sosial budaya. Pola pembangunan ini mempunyai tiga kelemahan pokok yaitu kegagalan pasar, kegagalan institusi dan kegagalan kebijaksanaan. Selain itu, pembangunan konvensional hanya mengedepankan pembangunan 193 ekonomi yang berjangka pendek, sementara pembangunan sosial dan lingkungan yang berjangka panjang diabaikan. Paradigma Baru Hukum Agraria Nasional Paradigma Populistik Demokratis Menghormati HAM Ekologis Nilai-Nilai Berorientasi pada kepentingan rakyat Tidak kapitalistik Melindungi hak-hak rakyat Tidak otoriter Tidak represif Menghargai hak-hak rakyat Mengedepankan dialog dan keterbukaan Tidak adanya tekanan Menghormati hak asasi manusia Tidak represif Adanya kepastian hukum Menghargai kearifan lokal Tidak menghilangkan lahan pertanian rakyat Hingga saat ini begitu banyak persoalan keagrariaan terjadi di Indonesia. Sebagai salah satu solusi terkait kondisi yang memprihatinkan ini, ditawarkan kombinasi empat pendekatan sebagai pendekatan yang holistik dan komprehensifnd. Keempat pendekatan itu dimaksud ialah pendekatan hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertama, pendekatan hukum. Salah satu paradigma hukum adalah nilai, oleh karena itu, hukum dapat juga dilihat sebagai sosok nilai. Sebagai perwujudan nilai, hukum mengandung arti bahwa eksistensinya bertujuan untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Eksistensi hukum sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat, dengan hukum masyarakat dituntun untuk adil terhadap satu sama lain. 194 Dalam sistem konstitusi Negara Indonesia, cita negara hukum itu menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, dalam penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide rechtsstaat bukan machtsstaat. Berkaitan dengan hukum pertanahan Indonesia, objek dari sistem hukum pertanahan adalah tanah itu sendiri. Atributnya adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan penguasaan atas tanah tersebut atau hak-hak atas tanah. Lingkungan sistemnya adalah wilayah tempat dimana tanah itu ada. Hubungan internalnya adalah bagaimana hubungan yang terjalin antara tanah dengan orangorang yang menduduki tanah tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku di wilayah tanah itu ada. Hukum pertanahan adalah bagian dari hukum positif yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Hukum pertanahan diatur dalam sistem sehingga hak-hak penguasaan tanah juga diatur dalam sistem. Kedua, pendekatan politik. Dalam menangani dan menyelesaikan konflik hak atas tanah, pendekatan hukum cenderung dinilai bersifat mutlak. Artinya hukum merupakan panglima tertinggi dimana pendekatan lainnya tunduk dibawah pendekatan hukum. Dengan kata lain, hukum bernilai absolut karena hukum merupakan perangkat nilai yang paling fair. Namun apakah memang demikian? Dalam implementasinya selama ini, atas nama efektivitas pendekatan hukum harus berjalan paralel dengan pendekatan nonhukum. Salah satu pendekatan nonhukum adalah pendekatan politik. 195 Pendekatan hukum tidak bisa berdiri sendiri, melainkan terkoneksi dengan beberapa pendekatan non hukum lainnya. Dengan demikian, pendekatanpendekatan yang bersifat holistik (menyeluruh) itu perlu diterapkan dalam tatanan implementasi (dilakukan secara paralel). Alasannya problematika konflik pertanahan di Indonesia sangat beragam dan tingkat kompleksitasnya sangat tinggi. Hukum dan politik di Indonesia terkait erat satu sama lain. Produk-produk hukum hanya dihasilkan oleh lembaga politik, yakni DPR. DPR adalah para wakil rakyat yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum lima tahunan. Ditangan mereka, produk-produk hukum dapat dicetuskan. Ketika mereka menyimpang dari tugasnya untuk mengemban amanat rakyat maka rakyat memiliki kewajiban menegur Ketiga, Pendekatan Kesejahteraan (Ekonomi). Tujuan Negara Indonesia adalah kesejahteraan (welfare state) sebagaimana tertuang dalam dasar negara Pancasila dan Konstitusi (UUD 1945). Indikator kesejahteraan dapat diukur melalui ketersediaan dan keterpenuhan kebutuhan-kebutuhan primer, pendidikan, kesehatan dan rasa aman. Tanpa keadilan maka kesejahteraan yang didamba tidak akan dicapai. Contoh sederhana terkait dengan keadilan adalah pemberian kompensasi yang layak kepada rakyat yang tanahnya diambil untuk kepentingan pembangunan. Pada prinsipnya, pengambilan tanah jangan sampai menjadi proses pemiskinan rakyat. Demi rakyat , pemerintah harus berpikir keras (bersama pihak swasta yang menjadi mitra kerjasama) bagaimana menyediakan kompensasi yang menjamin rakyat pemilik tanah lebih baik daripada sebelumnya. 196 Keempat, Pendekatan Sosial Budaya. Pendekatan ini menempatkan institusi dan mekanisme sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai instrumen alternatif penyelesaian sengketa tanah/ konflik agraria. Di Indonesia, walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional, kejadian sengketa tanah meningkat menjadi 19% di luar Pulau Jawa. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum formalsudah sangat menipis. Masyarakat lebih percaya kepada penyelesaian dengan sistem adat. Cara penyelesaian ini dapat dibenarkan karena hampir 70% tanah di Indonesia masih dimiliki dengan sistem warisan/adat. Kepemilikan dengan menggunakan sistem administrasi formal tidak lebih dari 30%. Masyarakat menyatakan preferensi yang kuat pada penyelesaian sengketa secara informal, dipilih berdasarkan mediasi dan konsiliasi. Pendekatan hukum Pendekatan Kesejahteraan Pendekatan Politik Pendekatan Sosial Budaya Menjamin keadilan bagi rakyat Semua orang sama di mata di depan hukum Penegak hukum yang profesional Penerapan hukum yang adil dan transparan Pancasila dan UUD 1945 sebagai acuan utama Menyejahterakan warga Rakyat mendapat keadilan Tidak melanggar kesepakatan Adanya kompensasi yang memadai Membenahi administrasi pertanahan Pemerintah adalah pembela rakyat Menghargai kearifan local Memakai sarana pengadilan rakyat BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian pembahasan diatas adaah : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mengatur secara eksplisit dasar hak bagi swasta untuk menyelenggarakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena merujuk pada konsep Hak Menguasai Negara serta pemaknaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Pasal 2 UUPA. Pemaknaan Pasal 33 ayat (3) UUD1945 tersebut secara garis besarnya adalah: Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hak Menguasai Negara merupakan suatu konsep yang mendasarkan pada pemahaman bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat, sehingga bagi pemilik kekuasaan upaya mempengaruhi pihak lain menjadi sentral yang dalam hal ini dipegang oleh negara. Makna dari pemahaman tersebut adalah negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus pengawas pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional. 197 198 2. Pengaturan hak bagi swasta di dalam dasar pengaturan hak pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah : diatur sebelumnya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. Dengan ketentuan pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II dan IV Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Penggunaan acara pembebasan tanah tersebut memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah pada Bab I menguraikan mengenai ketentuan umum tentang pembebasan tanah, pada Bab II menguraikan mengenai pembebasan tanah untuk keperluan pemerintah, dan pada Bab IV menguraikan mengenai biaya-biaya untuk panitia pembebasan tanah. 5.2 Saran 1. Pemerintah - Pemerintah perlu menyusun kebijakan pertanahan bagi swasta yang bersifat komprehensif sehingga dapat menarik minat swasta untuk melakukan pembangunan infrastruktur. Diantara kebijakan tersebut antara lain 199 melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Pengadaan tanah dengan mencatumkan batasan kongkrit bagi swasta dalam penyelenggaraan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. - Perlu diperluas dan dikaji lebih dalam studi dan penelitian tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang tidak hanya terfokus pada masalah konflik tanah, mekanisme ganti rugi melainkan juga pada masalah hubungan agraria pada umumnya. Studi ini akan menemukan nilai-nilai yang hidup, cara pandang serta paradigma pengadaan tanah. Dengan demikian akan tergambar bagaimana kaitan kepentingan, motif dan kebutuhan dari berbagai pihak yang terlibat dalam hubungan pengadaan tanah untuk kepentingan umum 200 DAFTAR BACAAN BUKU Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bandung. Alting, Husein, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), Lembaga Penerbitan Universitas Khairun, Ternate. Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta. Badan Pembangunan Hukum Nasional, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Pertanahan, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta. Bakri, Muhammad ,2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung. Boeke, JH, 1983, Prakapitalisme Di Asia, Sinar Harapan, Jakarta. Burhan, Ashsofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Butt, Peter, 1980, Introduction to Land Law, The Law Book Company Limited, Sydney. Deliarnov, 2005, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta. E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. Gautama, Sudargo, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta. Gunanegara, 2008, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Tata Nusa, Jakarta. Hamidi, Jazim ,2005, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta. 201 Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannnya, Djambatan,Jakarta. Husken, Frans, dan Benyamin White, 1989, Java: Social Differentiation, Food Production and Agrarian Control dalam Gilian Hart dkk: Agrarian Transformation : Local Process and State in Southeast Asia, University of California Press, Berkeley-Los Angelos-London. Hutagalung, Ari Sukanti dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing Malang. Iskandar Syah, Mudakir, 2010, Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Upaya Hukum Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak, Jala Permata Aksara, Jakarta. Jhingan, M.L, 2004, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Co, Fifth Edition, 1979). Kartohadiprodjo, Soediman, 1967, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, PT Pembangunan, Jakarta. Kasim, Ifdhal, 1996, Tanah Sebagai Komoditas : Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru, ELSAM, Jakarta. Latif, H. Abdul dan H. Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Limbong, Bernhard, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi, Kompensasi Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta. , 2012, Hukum Agraria Nasional, Pustaka Margareta, Jakarta. Mahfud MD, Moh., 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Marhaendra, A.A. Oka, 1996, Menguak Masalah Hukum Demokrasi dan Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta. 202 , 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Jakarta. Mubyarto, 1997, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta. Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Presisndo,Surabaya. Mustofa dan Suratman, 2013, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, Sinar Grafika, Jakarta. Noer, Fauzi, 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. , 1999, Petani dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Parlindungan, A.P, 1993, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Studi Perbandingan, Mandar Maju, Bandung. Pelzer, Karl J, 1991, Sengketa Agraria : Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Pound, Roscou, 1922, An Introduction To The Philosophy of Law, Yale University Press, New Heaven. Praptodihardjo, Singgih, 1953, Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia, Yayasan Pembangunan, Jakarta. Purbopranoto, Kuntjoro, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung. Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, Bandung. Rosadi, Otong, dan Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum : Suatu Optik Ilmu Hukum, Thafa Media, Yogyakarta. Salindeho, John, 1988, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta. 203 Santoso, Budi, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Model BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Jakarta. Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenanda, Jakarta. Setiawan, Bonnie, 2003, Globalisasi Pertanian : Ancaman Atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani, The Institute for Global Justice, Jakarta. Simarmata, Rikardo, 2002, Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara, INSIST Press, Yogyakarta. Sitorus, Oloan dan Dayat Limbong, 2004, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Pertanahan Indonesia, Yogyakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2010, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekarno, 1932, Swadeshi dan Massa Aksi dalam Imam Toto K. Rahardjo dan Herdianto, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari : Kenangan 100 tahun Bung Karno, Grasindo, Jakarta Soimin, Soedharyo,2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta. Stone, Julius, 1961, The Province and Function of Law As Logic, Justice and Social Control, A Study In Jurisprudence, New York. Sudiyat, Iman, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta. Sumardjono, Maria S.W, 2009, Tanah Dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta. , 2009, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta. Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta. Sutiyoso, Bambang , 2012, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press 204 Syahrani, H. Riduan, 2010, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Banjarmasin. Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wahjono, Padmo, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia Indonesia, Jakarta. Wiradi, Gunawan, 2000, Reforma Agraria :Perjalanan Yang Belum Berakhir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. MAJALAH/JURNAL A. Hamid S. Atamimi, 1996, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan Persepektifnya Menurut Pancasila dan UUD 1945, Makalah pada Seminar Dies Natalis Universitas 17 Agustus Jakarta ke 42, diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus, Jakarta, Tanggal 9 Juli. Bagir Manan,1999, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, Makalah pada Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 6 April. Benny Soetrisno, 2000, Peran Swasta Dalam Pembiayaan Infrastruktur Serta Kendala Keseimbangan Antara Pusat dan Daerah, Makalah pada Seminar Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ke 50, Semarang, 21 September 2000. Bapenas, 2011, Sustaining Partnership, Media Informasi Kerjasama Pemerintah dan Swasta, Mengapa Memilih KPS, Identifikasi dan Seleksi Proyek Kerjasama, Jakarta. Herman Soesangobeng, “Tanah dan Hak Ulayat”, Makalah disampaikan dalam Seminar Pertanahan Balitbang Dep.Keh.HAM, Jakarta, 4 November 2003. JD. Hal Sulivan, How the Private Sector can work in partnership with the Government of Indonesia successfully implement infrastructure projects, Presented at the Legal Climate in Indonesia for BOT Investment, 17 Juni 1996, Jakarta. Maria S.W Sumardjono, “Telaah Konseptual terhadap Beberapa Aspek Hak Milik, Sebuah Catatan untuk Makalah Chadijdjah Dalimunte, Konsep Akademis Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Makalah Dalam Seminar Nasional Hukum Agraria III Fakultas Hukum Universitas 205 Sumatera Utara-Badan Pertanahan Nasional, Medan 19-20 September, 1990. Padmo Wahjono, Menelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan, dalam Majalah Forum Keadilan, No. 29, April 1991. Soekarno, 1932, Swadeshi dan Massa Aksi dalam Imam Toto K. Rahardjo dan Herdianto, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari : Kenangam 100 tahun Bung Karno, Grasindo, Jakarta. Soekarno, 1959, Amanat pada Sidang Pleno I Dewan Perancang Nasional (Depernas), 28 Agustus 1959, dalam Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK, 2001, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari, penerbit Grasindo, Jakarta. Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, dalam Majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973. KARYA ILMIAH Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ronald Z. Titahelu, 1993, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. KAMUS Tim Pusat Bahasa Indonesia, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta. W. J. S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) 206 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2324) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22) Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan HakHak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksana Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksana Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang KetentuanKetentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksana Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur INTERNET Achmad Rusyaidi, 2012, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara Kepentingan Umum dan Perlindungan HAM, (Cited : 18 Oktober 2012), available from URL: http://prpmakasar.wordpress_com