ABD RAUF AL-SINKILY DAN KARYA TAFSIRNYA

advertisement
ABD RAUF AL-SINKILY DAN KARYA TAFSIRNYA
(Telaah atas Metodologi Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid)
Oleh Misbahuddin Jamal*
Abstrak
Sampai paruh akhir abad 16, di Nusantara tidak ditemukan karya tafsir secara utuh. Nanti
di abad berikutnya, sebuah karya tafsir lengkap (30 juz) muncul. Karya ini ditulis oleh
Abd al-Rauf al-Sinkily dan diberi nama Tarjuman al-Mustafid, dalam bahasa Melayu.
Tulisan ini akan mencoba mengetengahkan tiga pokok persoalan seputar penyusunan
kitab tafsir ini. Pertama, sebagaimana kajian terhadap penelusuran metodologi sebuah
kitab tafsir, pertanyaan yang paling sering dimunculkan lebih awal adalah bagaimana
karakteristik tafsirannya. Kedua, sebagai sebuah kitab tafsiran yang muncul pada
zamannya maka apakah dalam Tarjuman al-Mustafid terdapat perhatian khusus akan
kebutuhan masyarakat waktu itu? Ketiga, mencari orisinalitasnya, dikarenakan kitab tafsir
ini –oleh sebagian pendapat- terindikasikan sebagai karya terjemahan dari tafsir Anwar
al-Tanzil karya al-Baidhawi. Meski secara keseluruhan tafsir ini merupakan terjemah
harfiah dari al-Qur’an dan sebagian besar penjelasannya diambil dari Jalalain/alBaydhawi, tidak berarti tafsir ini melepaskan dirinya dari masyarakatnya dengan
berbagai persoalan hidup yang melingkupinya.
Kata-kata Kunci: al-Sinkily, metodologi, tafsir
PENDAHULUAN
Sebagaimana halnya pada beberapa agama besar yang telah dikembangkan
oleh para misionarisnya dengan mengusung kitab suci sebagai alasan utama untuk
disebarkan dan dilestarikan, maka penyebaran Islam dari awal kemunculannya pun
diyakini tak lepas dari sumber primer ajaran Islam, yakni Al-Qur’an. Sehingga dapat
dikatakan bahwa sejarah perkembangan Islam adalah sejarah penyebaran Al-Qur’an
itu sendiri. Oleh karena itu, sejarah Al-Qur`an dalam konteks yang paling sederhana
di Indonesia dapat ditelusuri melalui sejarah masuknya Islam di Indonesia, 1
*
Misbahuddin Jamal, S.Ag., M.Th.I. adalah dosen tetap IAIN Manado dalam bidang Bahasa
Arab dan Tafsir.
1
Secara umum ada dua teori populer masuknya Islam di Indonesia. Pertama Teori Timur, yaitu
Islam masuk di Indonesia pada abad VII M. atau I H., yang disebarkan langsung melalui jalur
perdagangan oleh orang Arab yang bermazhab Syafi’î di daerah pesisir (coast) pantai utara Sumatera
1
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
meskipun sejarah Al-Qur`an (baca: tafsir) lebih terfokus pada peninggalanpeninggalan tertulis yang lahir dari tradisi intelektual.
Kajian tentang tradisi al-Qur’an dan tafsir di Indonesia umumnya masih
memusatkan perhatian pada karya-karya yang muncul abad 19 ke atas. Sebut
misalnya yang dilakukan Howard M. Federspiel2 atau M. Yunan Yusuf3 atau yang
lain. Agak jarang –untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali– bahasan serius
atas tafsir-tafsir pada abad sebelumnya.
Tafsir memegang peran penting dalam kajian Islam. la merupakan salah satu
cabang penting dalam pemahaman ajarannya. Jika penyebaran Islam diduga sudah
mulai menyentuh wilayah nusantara sejak abad 13,4 maka kenyataan di atas cukup
memprihatinkan.
Sebab
hal
demikian
akan
menimbulkan
persepsi
tidak
menguntungkan bagi sejarah intelektual umat Islam di Indonesia. Padahal, dalam
sejarahnya, dinamika intelektual umat Islam sebelum abad 19 memiliki intensitas
yang cukup tinggi. Khusus mengenai tafsir, wilayah ini tampaknya tidak mencatat
perkembangan pesat. Berbeda dengan disiplin lain seperti tasawuf, fiqih atau filsafat.
Namun tidak berarti tradisi penafsiran sama sekali tidak berkembang. A.H. Johns,5
dalam penelusurannya menyebutkan bahwa aktifitas penafsiran di wilayah ini sudah
(Malaka). Kedua, teori Barat yang berlandaskan pada perjalanan Marcopolo (1292). Hal ini lebih
diperkuat dengan catatan Ibn Batutah yang menjelaskan berdirinya kerajaan Islam di pantai utara
Sumatera pada abad XIII M. Azyumardi menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa
langsung dari Arabia oleh para missionaris Islam profesional yang dengan jumlah besar datang ke
Indonesia pada abad XII-XIII dan pertama-tama dipeluk oleh kalangan elit nusantara. Di samping
kedua teori populer tersebut, terdapat teori lainnya dengan karakteristik tertentu. Secara singkat, dapat
dikatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia secara perorangan pada abad VII M., yang kemudian
menjadi kekuatan sosial dan politik pada abad XII M. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Nusantara Abad XVlll (Bandung: Mizan, 1999).
2
Howard M. Federspiel, “Popular Indonesia Literature of Qur’an”, dialihbahasakan oleh Tajul
Arifin dengan judul Kajian al-Qur’an di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996).
3
M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia abad ke XX”, dalam Jurnal
Ulumul Qur’an. Vol. Ill, No. 4. Th 1992.
4
Ada banyak teori mengenai awal mula kedatangan Islam di wilayah ini Namun menurut Azra,
teori yang menyebut abad 13 sebagai permulaan kedatangan Islam lebih dapat
dipertanggungjawabkan. Diskusi lebih detail mengenai ini lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1999), h. 2-18.
5
Anthony H. Johns, “Qur’anic Exegesis in the Malay World: In search of a Profile” dalam
Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, Andrew Rippin (ed.). Oxford:
Clareddon Press, 1988.
2
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
berlangsung -sedikitnya- sejak abad 16. Gejala ini tampak dari beberapa karya tulis
yang dihasilkan dan ditemukan pada periode itu. Karya-karya Hamzah Fansuri atau
Syams al-Din al-Sumatrani, misalnya, meskipun tidak secara tegas dapat disebut
karya tafsir, namun sudah dapat dijadikan indikasi sudah terbangunnya tradisi tafsir
kala itu. Hal ini didukung oleh pandangan Braginsky yang menulis: “Bagaimanapun,
dalam pengertiannya yang luas, semua karangan mistik-keagamaan itu merupakan
tafsir sufi generik terhadap teks-teks kanon keagamaan, yang dari sudut pandangan
Islam meliputi pelimpahan wahyu.”6
Sampai paruh akhir abad 16, tidak ditemukan karya tafsir secara utuh, kecuali
sebuah naskah tafsir Surat al-Kahf (18): 9. Saat ini manuskripnya tersimpan di
perpustakaan Universitas Cambridge. Manuskrip itu milik Arabist Belanda, Erpenus
(1624) yang diduga dibawanya pulang dari Aceh. Tidak ada nama pengarang yang
dapat diidentifikasi, namun diduga ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) dengan mufti kesultanannya adalah Syams al-Din alSumatrani.7
Nanti di abad berikutnya, sebuah karya tafsir lengkap (30 juz) muncul. Karya
ini ditulis oleh Abd al-Rauf al-Sinkily (selanjutnya disingkat menjadi al-Sinkily) dan
diberi nama Tarjuman al-Mustafid, tertulis dalam bahasa Melayu. Tulisan ini akan
mencoba mengetengahkan tiga pokok-persoalan seputar penyusunan kitab tafsir ini.
Pertama, sebagaimana kajian terhadap penelusuran metodologi sebuah kitab tafsir,
pertanyaan yang paling sering dimunculkan lebih awal adalah bagaimana
karakteristik tafsirannya. Kedua, sebagai sebuah kitab tafsiran yang muncul pada
zamannya maka apakah dalam Tarjuman al-Mustafid terdapat perhatian khusus akan
kebutuhan masyarakat waktu itu? Ketiga, mencari orisinalitasnya. Dikarenakan kitab
tafsir ini –oleh sebagian pendapat- terindikasikan sebagai karya terjemahan dari tafsir
Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi.
6
V. 1. Braginsky, Yang Indah. berfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu dari Abad 7-19.
Jakarta: IN1S, 1998, h. 275.
7
Moch.Nur Ichwan, Literatur Tafsir Qur’an Melayu-Jawi di Indonesia: Relasi Kuasa,
Pergeseran dan Kematian. Dalam Visi Islam, Jurnal Ilmu ilmu Keislaman, Volume 1, Nomor 1,
Januari 2002. h. 15.
3
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
ABD AL-RAUF AL-SINKILY DAN TAFSIR TARJUMAN AL-MUSTAFID
A. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abd al-Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkily.
Teridentifikasi dari namanya, ia adalah orang Melayu dari daerah Fansur, Sinkel,
sebuah wilayah di pantai barat laut Aceh.
Latar belakang keluarganya secara pasti tidak diketahui. Hasjmi menyebut asal
usul Al-Sinkily berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudra Pasai pada
akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), kota pelabuhan tua
di pantai Sumatra Barat. Pendapat lain menyebut keluarga ini bersilsilah ke Arab.
Syaikh Ali (ayahnya) diperkirakan berasal dari Arab yang kemudian kawin dengan
seorang wanita pribumi, dan selanjutnya mereka tinggal di Sinkel.8
Menyangkut garis keturunannya, sejarah penanggalan kelahiran Al-Sinkily pun
tidak dapat ditemukan kepastiannya. Voerhoove menyebut tahun 1620,9 dan ada yang
menyebut 100 H/1593.10
Adapun latar belakang atau sejarah intelektual Al-Sinkily juga bermula dari
desa kelahirannya sendiri, yaitu Sinkel. Dalam catatan Hasjmi, ayah Al-Sinkily
adalah seorang alim yang mendirikan sebuah madrasah yang didatangi murid-murid
dari berbagai tempat di kesultanan Aceh. Kemudian melanjutkan pengembaraan
intelektualnya ke Arabia pada sekitar 1052/1642.
Dalam petualangannya ini Al-Sinkily telah berhasil menjalin hubungan selama
19 tahun dengan para ulama besar yang dari mereka dia mempelajari berbagai
cabang ilmu agama (tafsir, hadis, fiqih, tasawuf tauhid dan akhlak). Namun demikian,
beberapa penulis mencatat, pengaruh paling besar dalam membentuk pola pikir dan
pola sikap al-Sinkily berasal dari gurunya di Madinah, al-Kusyasyi dan al-Kurani
Dari al-Kusyasyi al-Sinkily mempelajari apa yang disebutnya sebagai ilmu dalam
8
Oman Fathurrahman, Tanbihul Masyi: Menyoal Wahdat al-Wujud, Kasus Al-Sinkily Stnkel
pada Abad ke-17 (Bandung: Mizan, 1999), h. 25.
9
P. Voerhoove, “Al-Sinkily Sinkel” dalam Encyclopedia of Islam, New edition. Leiden: E.J.
Brill, 1986, Vol I, h. 88.
10
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan,
1992), h. 31.
4
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
(bathin) seperti tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya, hingga akhimya ia ditunjuk
sebagai imam tarikat Syattariyah dan Qadiriyah. Dari al-Kurani ia mendapat
gemblengan pengetahuan di luar disiplin-disiplin pengetahuan tasawuf. Setelah
mengenyam pendidikan selama sekitar 19 tahun al-Sinkily kembali ke Aceh pada
sekitar tahun 1661.
Adapun karya-karya al-Sinkily tidak terbatas pada satu bidang, sebagian ahli
mengatakan karya al-Sinkily 21 buah. Satu berbentuk tafsir, 2 kitab hadis, 3 buah
berupa kitab fiqih, dan 15 sisanya merupakan kitab tasawuf.11 Di antaranya adalah:
1. Syarah Latif ‘ala Arba’in Hadisan li Imam al-Nawawi,
2. Al-Mawa’iz al-Badi’ah, keduanya berbahasa Melayu.
3. Mi’rat al-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syar’iyyah li al Malik al-Wahhab
(Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum
Syara’ Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah.
4. ‘Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan),
5. Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat),
6. Daqa’iq al-Huruf (Detail-Detail Huruf), serta
7. Bayan Tajalli (Keterangan Tajalli). Dan selebihnya kitab ilmu tasawuf
B. Latar Belakang Penulisan Tarjuman al-Mustafid
Salah satu potret kehidupan pada periode kepemimpinan para ratu di mana alSinkily mengabdikan karier adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, seni
dan budaya. Terutama era ratu Safiatuddin, banyak karya tulis dihasilkan dengan
atau tanpa permintaan ratu. Salah satu karyanya yang dinyatakan sebagai pesanan
Sultanah adalah Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam, dimaksudkan agar
menjadi panduan, pedoman bagi para qadhi (hakim) dalam menjalankan tugasnya.
Adapun karya tafsirnyaya Tarjuman al-Mustafid sampai saat ini dianggap
sebagai tafsir lengkap pertama dalam bahasa Melayu yang ada. Tafsir ini, menurut
Hasjmi, disusun pada masa pemerintahan Safiatuddin.12
11
Ibid., h. 31-33.
5
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
Berbeda dengan Mir’at al-Thullab, tafsir ini mulai pembahasannya pada surat
al-Fatihah dan pendahuluan atau keterangan lainnya yang dapat dijadikan informasi,
misalnya tentang kapan, di mana dan waktu dibutuhkan untuk menyelesaikannya.
Riddell menduga penulisan tafsir ini dilakukan pada tahun 1675 berdasarkan hasil
temuannya atas kopi tertua dari manuskrip tafsir ini, diperkirakan tahunnya lebih
dekat kepada saat kembalinya dari Arab dari pada saat meninggalnya.13 Dalam edisi
yang dipakai sebagai sumber penelitian ini, terdapat kolofon yang tertulis:
“Dan telah sempurnalah tafsir al-Qur’an yang amat mulia yang dinamai
Tarjuman al-Mustafid yang di jamikan oleh syaikh kita dan ikutan kita kepada
Allah Ta’ala, yang alim allamah lagi waliyullah yang fanni fillah Ta’ala,
Aminuddin Abdurrauf anak Ali Jawi lagi Fansuri yang dikasihi Allah Ta’ala jua
kiranya akan dia dan diterima-Nya dan diberi Allah Ta’ala manfaat jua kiranya
akan kita dengan berkat ilmunya di dalam dunia dan dalam akhirat, perkenankan
olehmu hai Tuhanku….”
“Dan menambahi atasnya oleh sekecil-kecil muridnya dan sehina-hinanya
khadimnya itu yaitu Daud Jawi anak Ismail anak Agha Mustafa Al Rumi
diampuni Allah Ta’ala jua kiranya sekalian mereka itu akan kisahnya yang
diambil kebaikannya dari pada al-Khazin dan setengah riwayatnya pada khilaf
qiraah dengan suratnya….”14
Selain tentang empat hal, kolofon di atas tidak memberi petunjuk informasi
mengenai penanggalan dan juga atas dorongan apa atau oleh siapa usaha penyusunan
tafsir dilakukan. Empat hal dimaksud adalah penegasan bahwa penulisan tafsir ini
dilakukan oleh Abd Rauf. Tarjuman al-Mustafid sebagai nama yang dipakai sejak
awal, sumber tafsir dan tentang peran Daud Rumi dalam penulisan tafsir.
Benar bahwa tafsir ini disusun al-Sinkily, tapi bentuk akhir kitab ini
sebagaimana beredar hingga kini tak lepas dari keterlibatan Daud Rumi. Akibat
keterlibatan ini, menurut Riddell, meninggalkan pengaruh terhadap perubahan sifat,
karakter dan watak tafsir.15
12
A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Para Ratu (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), h. 115.
13
Peter Riddell, “Earliest Qur’anic Exegetical Activity in the Malay-Speaking States”, dalam
majalah Archipel, 1989, h. 109.
14
Al-SinkilySinkel, dalam kolofon Tarjuman al-Mustaftd. edisi 1990, h. 610.
15
P. Riddell, “Tafsir Klasik di Indonesia (Studi tentang Tarjuman al-Mustafid karya Abdurrauf
Sinkily)” dalam Mimbar Agama dan Budoya, Jakarta: IAIN Syahid, Vol XVII. No 2, 2000, h. 9.
6
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
Bila ditelaah dari sudut kepentingan, tampaknya penyusunan kitab tafsir ini
atas inisiatif al-Sinkily sendiri. Alasannya, umumnya kitab “pesanan” sultanah
bersifat “praktis”. Misalnya Mir’at al-ThulIab, Kifayat al-Muhtadin atau Hidayat atImam, yang dalam batas-batas tertentu sepertinya digunakan untuk merespon
kebutuhan-kebutuhan dan kecenderungan yang sedang menggejala waktu itu.
Statemen di atas, sama sekali tidak dimaksudkan bahwa tafsir al-Qur’an bukan
kebutuhan praktis yang mendesak waktu itu. Persengketaan agama yang terjadi saat
itu bukan tidak mungkin bersumber dari penafsiran terhadap ayat al-Qur’an. Namun
menghubungkan proses penyusunan tafsir ini dengan permintaan sultanah memiliki
beberapa keberatan. Pertama, ratu Safiatuddin tidak memiliki tingkat pengetahuan
agama yang mendalam. 16 Kedua, tradisi yang berkembang tentang pengajaran alQur’an umumnya terbatas pada studi baca al-Qur’an. 17 Al-Qur’an sangat jarang
dipelajari secara langsung, tapi dalam bentuk yang sudah “diolah” dalam karya-karya
skolastik mengenai fiqih atau akidah.18 Tafsir merupakan disiplin khusus. Meski ada
guru yang menguasainya, namun umumnya jarang terpikir untuk mempelajari hal
tersebut sebelum menguasai pikah (fiqih) dan usay (ushul fiqih).19
Dari hal tersebut, lebih dapat dikatakan penyusunannya tafsir ini merupakan
inisiatif al-Sinkily sendiri, bukan permintaan Sultanah. Karena (sebagai pendidik) alSinkily ingin mengajarkan ajaran-ajaran al-Qur’an (baca: Islam) kepada masyarakat.
C. Karakteristik Tafsir Tarjuman al-Mustafid
Menelaah karakteristik sebuah tafsir, menurut Yunan Yusuf,20 dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi metode penafsiran, teknik penafsiran dan corak tafsir. Pada
16
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara abad XII dan X1II
(Bandung: Mizan. 1999), h. 179.
17
Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyal dan Adat Istiadatnya, terj. Sultan Maimun, jilid II (Jakarta:
1NIS, t.th.), h. 3-1.
18
Martin Van Bruissen, “Kitab Kumng, Buku-buku Berhuruf Arab yang Dipakai di
linngkungan Pesantren”, dalam Kitab Kuning, Pesantem dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), h. 135.
19
Snouck Hurgronje, Aceh …., h. 18.
20
Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Ahad ke-XX”, dalam Jurnal
Ulum al-Qur’an Vol. 01. No 4. thn. 1992.
7
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
metode penafsiran, telaah ditekankan pada penggalian mengenai cara seorang
mufasir memberikan tafsirnya; apakah ia menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an,
dengan hadis, dengan riwayat sahabat, dengan kisah-kisah israiliyat atau dengan
ra’yu (pendapat personal). Pada teknik penafsiran diarahkan pada prosedur
penafsiran; apakah penafsiran mengikuti pola tafshili (mushafi, analitis atau ijmali
(global), atau maudhu’i (tematis). Sedang pada corak penafsiran, pemeriksaan yang
dimaksud untuk melihat corak pemikiran teologi yang mempengaruhi mufasir,
dilakukan dengan melihat penafsirannya pada ayat-ayat yang tergolong mutasyabihat.
Untuk melihat lebih jelas karakteristik tafsir ini, berikut kutipan surat al-Ikhlas.
“Ini surat al-Ikhlas turunnya di Makkah atau Madinah dan ia itu empat atau lima
ayat. Maka tersebut dalam al-Baidhawi hadis bahwasannya ia mendengar
seorang laki-laki mengaji dia maka sabdanya “wajabat”, maka dekat (berkata?)
orang “apa arti “wajabat” ya rasulillah? Maka sabdanya “wajabat lahu aljannah” artinya wajiblah baginya surga.
“Kata olehmu Ya Muhammad pekerjaan itu ia jua Tuhan yang Esa. Allah Ta’ala
jua yang dimaksud dari pada segala hajat. Tiada ia beranak dan tiada
diperanakkan. Dan tiada baginya sekutu dengan seorang juapun. (kata) ahli tafsir,
tersebut di dalam al-Khazin bahwasanya segala musyrik itu telah berkata mereka
itu bag! rasul Allah s.a.w.: sebut olehmu bagi kamu bangsa Tuhanmu, maka turun
firman Allah Ta’ala “Qul huwa Allahu Ahad”. Kepada akhimya (Bayan) Ikhtilaf
antara segala qari’ yang tiga pada membaca kufiiwan. Maka Nafi’ dan Abu ‘amr
membaca dia kufua dengan hamzah, dan Hafsah membaca dia kufuwa dengan
wawu. Wa allahu a’lam.21
Dari kutipan di atas, al-Sinkily hanya menerjemahkan secara harfiah ayat-ayat
al-Qur’an tanpa penjelasan detail kandungan ayat yang sedang diterjemahkan seperti
munasabah dengan ayat-ayat lain yang seide. Demikian pula tidak disertai dengan
hadis nabi, riwayat sahabat, terlebih lagi dengan kisah israiliyyat.
Ada tiga variable lain yang secara rutin disertakan dalam tafsir ini di luar
penjelasan terjemah harfiah. Pertama, keterangan tentang asbab al-nuzul ayat –kalau
ada, al-Sinkily memasukkannya dalam bagian “kata mufasir” atau “kisah”. Kedua,
penjelasan tentang ragam bacaan (qira’ah) dimasukkan dalam bagian “bayan” atau
“faidah”. Penjelasan terakhir tentang guna atau manfaat atau fadhilah ayat atau sarat.
21
Al-Sinkily Sinkel, Tarjuman al-Mustafi’..., h. 609-610.
8
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
Bagian ini ditempatkan pada pembuka surat, menyertai penjelasan status surat
(Makkiyah atau Madaniyyah).
Corak pemikiran tafsir ini dapat dilihat dari penjelasan al-Sinkily terhadap
ayat-ayat antropomorfis berikut. Contoh kasus yang diangkat adalah pada ayat yang
terdapat kata yad (secara literal berarti tangan).
Dari penelusuran yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa al-Sinkily
memakai tiga pola dalam menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat tersebut.
Pada satu kasus al-Sinkily memakai makna asli (tasybih). Misalnya pada ayat:
    
“Tangan Allah di atas tangan mereka itu….” (Q.S. al-Fath (48): 10)22
   
“Tangan Allah tergenggam daripada melimpahkan rizki atas kita” (Q.S. alMaidah (5): 64)23
Pada kasus lain ia memberi tafsiran terhadap kata-kata tersebut, seperti pada:
“Telah suci daripada segala sifat muhdas Tuhan yang pada tasarrufya jua sultan
dan kudrat dan Ia itu atas tiap-tiap suatu amat kuasa…”(QS. al-Mulk (67): I).24
Namun dalam kasus yang lain al-Sinkily melakukan kombinasi kedua pola
terseubt di atas. Artinya a-Sinkily menggabungkan pola terjemahan harfiah dengan
takwil. Sebagaimana dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut:
    

“Kata olehmu ya Muhammad bahwasanya nugera itu pada tangan kudrat Allah.-.”
(Q.S. Ali Imran(3):73).25
    

“kata olehmu siapa jua yang pada tangan kodratnya milik tiap-tiap suatu…”
(Q.S. al-Mukminun(23):88).26
   
   

22
Ibid., h. 513.
Ibid., h. 119.
24
Ibid., h. 563.
25
Ibid.., h. 60.
26
Ibid., h. 348.
23
9
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
“Maka maha suci Tuhan yang pada tangan kodratnya jua memilikkan tiap-tiap
suatu dan padanya jua ditolakkan sekalian itu…,”(Q.S. Yasin(36): 83).27
Dengan memperhatikan kutipan di atas, pembagian Yunan Yusuf atas dua
kategori pemikiran teologi: teologi tradisional (dicirikan oleh sikap tidak
menafsirkan ayat-ayat demikian) dan teologi liberal (dicirikan penafsirannya
terhadap ayat demikian), terasa tidak muat untuk menempatkan posisi al-Sinkily.
Kesemua ciri itu ada pada pola penerjemahan Tarjuman al-Mustafid.
Pola demikian dapat ditemukan dalam tradisi pemikiran sufi. Para sufi
umumnya tidak menempatkan dirinya pada salah satu dari dua ekstrim ketika
berhadapan dengan ayat-ayat antropomorfis. Mereka menerima konsep tanzih
sekaligus tasybih Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecenderungan
tafsir ini terletak pada titik ambang antara teologi tradisional dan liberal yang
direpresentasikan oleh pemikiran sufi.
D. Kesumberan Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid
Eksistensi Tarjuman al-Mustafid tergolong kontroversial, terutama mengenai
sumbernya. Penilaian umum yang sejak lama berkembang selalu menghubungkan
karya ini dengan karya al-Baidhawi atau menegaskan bahwa Tarjuman al-Mustafid
merupakan terjemahan dari Anwar al-Tanzil-nya al-Baidhawi. Pernyataan ini
diterima oleh para sarjana Islam di Makkah, Eropa, dan Asia Tenggara.
Pangkal anggapan ini, menurut Riddell, berasal dari edisi cetakan pertama yang
beredar di Istanbul pada 1884. pada halaman judul, redaktur memuat pemyataan:
“….Inilah kitab yang bernama Tarjuman at-Mustafid bi al-Jawi yang diterjemahkan
dengan bahasa Jawi yang diambil setengah maknanya dari tafsir al-Baidhawi”
Penyebutan poin bahwa tafsir al-Baidhawi merupakan sebagian sumber dari
Tarjuman al-Mustafid inilah yang lantas disalahtafsirkan, dan Riddell menduga,
Snouck Hurgronje-lah penyebar kesalahan ini. Snouck memiliki satu edisi Istanbul di
perpustakaan pribadinya, yang kemudian diwariskan ke perpustakaan Leiden.
Keterangan yang masuk akal, menurut Riddell, adalah Snouck Hurgronje menyaring
27
Ibid., h. 446.
10
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
inti isi halaman-halaman Tarjuman al-Mustafid, melihat rujukan tafsir secara sekilas,
kemudian menyimpulkan: “Karya besar lain dari Abd al-Rauf ialah terjemah tafsir
al-Qur’an oleh Baidhawi dalam bahasa Melayu …”28
Edisi yang beredar (dan diterbitkan ) di asia Tenggara juga menyertakan
keterangan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari al-Baidhawi.
Seperti terdapat dalam halaman judul tafsir yang dijadikan referensi kajian ini,
tertulis keterangan: “Al-tarjamah al-jawiyah li al-tafsir al-musamma Anwar alTanzil wa Asrar al-Ta’wil li al-Imam al-Qadli al-Baidhawi …”29
Edisi ini juga terdapat tambahan penjelasan (tepatnya: kesaksian) dari tiga
orang sarjana Melayu di Makkah bahwa mereka telah meneliti dan setuju bahwa
hasil karya itu merupakan terjemahan dari tafsir al-Baidlawi tanpa penambahan atau
pengurangan, dan tanpa perubahan atau penggantian.30
Dalam penilaian Riddell, penyandaran tersebut tidak memiliki landasan kuat.
Sebaliknya, pemeriksaan yang teliti terhadap ayat demi ayat memberi bukti bahwa
karya tersebut merupakan gabungan dari beberapa tafsir Arab. Namun tidak semua
sumber disebut, selain al-Khazin dan al-Baidhawi. Tetapi perlu diingat, bentuk final
tafsir ini tidak semata dikerjakan oleh al-Sinkily, ada keterlibatan Daud Rumi dalam
proses akhir ini. Keberadaan faedah, juga bagian-bagian yang dinukil dari al-Khazin
dan al-Baidhawi tampaknya merupakan tanggung jawab Daud. Jika hal-hal terakhir
dianggap sebagai tambahan dan dihilangkan, maka selebihnya (berarti karya alSinkily) merupakan saduran yang kaitannya lebih dekat dengan Tafsir Jalalain.
Kedekatan dengan Jalalain, dari perspektif jaringan pemikiran al-Sinkily lebih
dapat diterima dari pada dengan al-Khazin atau al-Baidhawi.31 Penisbatan dengan alBaidhawi, bisa jadi disebabkan oleh kegagalan mengenali peran utama Tafsir
Jalalain (seperti pada Snouck Hurgronje) atau karena unsur kesengajaan karena
pertimbangan komersil. Reputasi al-Khazin atau al-Baidhawi lebih tinggi dari pada
28
Snouck Hurgronje, Aceh. Rakyat dan Adat Istiadatnya II, h. 14.
Al-Sinkily Sinkel, Tarjuman al-Mustafid, h. 609.
30
Ibid., h. 661.
31
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 203-204.
29
11
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
Jalalain. Lagi pula, menarik dicatat, ada perbedaan model pengiklanan antara abad
20 dengan abad-abad sebelumnya. Jika pada abad 20, suatu karangan memiliki
“kekurangan” bila hanya bersifat terjemahan, maka pada era al-Sinkily sifat orisinal
(barangkali) justru akan dirasa sebagai kekurangan. 32 Hal ini, tentu terkait dengan
orientasi keagamaan waktu itu yang masih berpusat ke Arab.
E. Kearifan Lokal atas Pemikiran dalam Tarjuman al-Mustafid
Wujud kreatifitas atau individualitas yang telah dilakukan al-Sinkily dalam
karya tafsirnya akan coba penulis upayakan dengan memeriksa terjemahan tafsir alSinkily Sinkel terhadap ayat-ayat tertentu.
Pemilihan terhadap ayat tertentu didasarkan pada peristiwa yang menjadi latar
belakang atau yang tengah berlangsung dan diduga merupakan tantangan eksternal
dalam proses penyusunan tafsir. Dengan mengacu pada pembahasan sebelumnya,
dapat dipetakan menjadi dua pokok persoalan; yaitu persoalan teologis dan sosial.
Untuk persoalan teologis, kajian ini terutama akan mengambil fokus pada
persoalan tauhid. Selain karena keberadaannya sebagai sentral ajaran Islam,
penerjemahan lebih lanjut konsep inilah yang ujungnya memunculkan permasalahan
seperti wahdat al-wujud yang juga berkembang di Aceh waktu itu
Persoalan sosial, terutama yang berhubungan peran publik perempuan. Poin ini
diangkat karena penguasa saat itu adalah seorang perempuan. Posisi itu menjadi tema
yang dipandang ganjil dan terus dipermasalahkan tidak saja oleh pemuka agama di
wilayah Nusantara, tapi juga di beberapa belahan dunia Islam lainnya
a. Tauhid
Tauhid adalah basis pandangan hidup al-Qur’an, ia merupakan pondasi, pusat
dan akhir seluruh tradisi Islam. Secara umum tauhid berisi ajaran dan konsepsikonsepsi tentang Tuhan
Dalam rentang sejarahnya, diskursus tentang tauhid pernah menimbulkan
percekcokan dan berbuntut pada gejolak Percekcokan muncul karena disinyalir
32
Karel Sleenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ike-19 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), h. 125-126.
12
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
adanya
pemikiran
tauhid
yang
menyimpang
sebab
mengajarkan
konsep
inkarnasionisme (hulul) atau unifikasionisme (Ittihad). Pemikiran terakhir diwakili
oleh sayap pemikiran dari kalangan sufi.
Di Aceh, gejolak serupa pernah berlangsung. Perselisihan terjadi antara
penganut wahdat al-wujud (wujudiyah) dan penentangnya (yang menyebut diri
wahdat al-syuhud) yang kemudian berkembang menjadi tragedi berdarah. Hamzah
Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani dikenal sebagai pioner aliran pertama dan
Nuruddin al-Raniri sebagai tokoh kalangan berikutnya.
Dalam konteks inilah penting untuk melihat pemikiran tauhid al-Sinkily dalam
tafsirnya minimal untuk dua alasan. Pertama, posisinya sebagai qadhi malik al-adil
yang memiliki kewenangan menjaga stabilitas negara (kerajaan).
Kedua,
sebagaimana dikatakan Braginsky, al-Sinkilyadalah penerus paling fasih dalam
tradisi pemikiran Hamzah Fansuri (wahdat al-wujud),
Kata tauhid tidak terdapat dalam al-Qur’an. Secara etimologis kata ini terambil
dari wahhada-yuwahhidu-tauhid. Salah satu surat dalam al-Qur’an yang biasa
dipakai sebagai landasan konsep tauhid adalah Q.S. 112. ketika sampai pada bagian
ini al-Sinkily menerjemahkan dengan:

    
     
    


“Kata olehmu ya Muhammad pekerjaan itu ia jua Tuhan yang esa. Allah Ta’ala
jua yang dimaksud daripada segala hajat. Tiada ia beranak dan tiada
diperanakkan. Dan tiada baginya sekutu dengan seorang pun jua”.33
Sekilas penerjemahan al-Sinkily atas surat tersebut terasa datar. Seperti halnya
Jalalain yang selain penjelasan nahwiyah, tidak memberi kupasan apapun. Berbeda
dengan al-Khazin yang mencoba membedakan kata ahad dengan wahid.34
Al-Sinkily Sinkel, Al-Qur’an al-’Azhim, wa bihamisyih: Tarjuman al-Mustafid (Beirut: Dar
al-Fikr, 1990), h. 610.
34
‘Ala al-Din Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir al-Khazin al-Musamma
Lubab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), juz. 4, h. 49.
33
13
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
Namun bila dicermati, dalam kadar tertentu pembedaan semantik sebagaimana
yang dilakukan oleh al-Khazin dilakukan oleh al-Sinkily ini terbaca dari
penerjemahannya terhadap kata ahad atau kata-kata semakna (wahid wahda) ketika
dihubungkan dengan Allah yang secara konsisten diterjemahkan dengan kata esa.
Sementara untuk konteks lain al-Sinkily memakai kata satu. Seperti pada jumlah ayat
pada pengantar surat al-Lail tertulis “wa hiya ihda ‘isyruna ayat” yang selanjutnya
diterjemahkan menjadi “dan ia itu dua puluh satu ayat”. Ini berarti dua kelas kata
tersebut sudah sama-sama dikenal dan berkembang saat itu, namun antara keduanya
memiliki struktur batin (untuk meminjam istilah teknis dalam ilmu semantik) yang
berbeda. Kata esa sendiri merupakan kosa kata asli yang tumbuh dan berkembang di
kawasan Melayu. Mengapa al-Sinkily tidak memakai atau memilih kata satu atau eka
dan memilih esa?
Dalam KBBI, kata esa masuk kategori nominal sedangkan satu atau eka
tergolong numerical atau numerilia.35 Ada perbedaan signifikan antara kedua kelas
kata tersebut, yang pertama mengekspresikan makna mutlak sementara pada yang
kedua terkandung makna relatif.
Pemilihan kata esa oleh al-Sinkily bukan tanpa alasan. Hal itu menunjukkan
kehati-hatiannya ketika menjelaskan kata tauhid. Sebelum sampai pada pemilihan
kata tersebut, jelas ada proses kreatif dilalui al-Sinkily untuk menemukan bentuk
ungkapan dari bahasa local (sasaran) yang representatif dengan pemikiran tauhidnya
Selain menunjukkan sikap hati-hati, definisi tauhid (juga dalam kata esa) di
atas memperkuat kecenderungan sufistik dalam pemikiran al-Sinkily. Dalam ranah
teologi Islam, secara umum terdapat dua arus umum yang keduanya ingin
menunjukkan ketunggalan Allah. Arus pertama diwakili para pemikir dengan
penafsiran rasional yang membersihkan corak antropomorfis dalam kaitannya
dengan Tuhan. Para filosof kurun awal menempati posisi ini. Arus kedua menerima
corak antropomorfis sambil menyertakan dalih seperti dengan menganggap ayat
demikian sebagai majaz atau kinayah. Masuk dalam golongan ini adalah pemikir sufi.
35
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pusiaka, I98S), h. 2-6.
14
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
Dari pola penerjemahan terhadap ayat-ayat antropomorfis, al-Sinkily
cenderung pada posisi tengah. Sebagaimana penjelasan tentang karakteristik tafsir
Tarjuman al-Mustafid di atas. Contoh kata yad yang memiliki makna dasar tangan.
Pada satu bagian al-Sinkily menerjemahkan secara harfiah (tasybih), seperti pada:
    
“Tangan Allah di atas tangan mereka itu…” (Q.S. al-Fath (48): 10).36
Pada bagian lain ia memberi tafsiran terhadap kata tersebut:
   
“Tangan Allah tergenggam dari pada melimpahkan rizki atas kita” (Q.S. alMaidah (5): 64).37
Dan pada kasus lain ia memberi tafsiran terhadap kata-kata tersebut seperti:
   
     
“Telah suci dari pada segala sifat muhdas Tuhan yang pada tasarrufnya jua
sultan dan kudrat dan ia itu atas tiap-tiap suatu amat kuasa…” (Q.S. al-Mulk
(67): 1).38
Namun dalam kasus lain ia melakukan kombinasi kedua pola di atas. Artinya,
al-Sinkily menggabungkan terjemah harfiah dengan ta’wil (tasybih-tanzih). Seperti
pada kutipan-kutipan berikut:
    
     
 
“Katakan olehmu ya Muhammad bahwasanya nugerah itu ada pada tangan
kudrat Allah…”(Q.S. Ali Imran (3): 73).39
    
    
    
“Kata olehmu siapa jua yang pada tangan kodratnya milik tiap-tiap sesuatu…”
(Q.S. Al-Mukminun (23): 88)
   
   

36
Ibid., h. 513.
37
Ibid., h. 119.
38
Ibid., h. 563.
39
Ibid., h. 60.
15
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
“Maka maha suci Tuhan yang pada tangan kodratnya jua memilikkan tiap-tiap
satu dan padanya jua ditolakkan sekalian itu…” (Q.S. Yasin (23): 83).40
Kreatifitas atau unsur lokalitas pemikirannya ini agaknya erat kaitannya
dengan tuntutan zamannya. Di mana Aceh waktu itu terdapat dua alur pemikiran
yang saling berhadapan yang tidak mustahil masih banyak pengikutnya pada masa
al-Sinkily. Karena itulah diasumsikan melalui pola penerjemahannya ini hendak
mengakomodasi tanpa mereduksi dua alur pemikiran tersebut, bahwa masing-masing
pandangan sejalan dengan kitab Allah.
b. Peran Perempuan dalam ranah Publik
Berangkat dari kenyataan bahwa penguasa wilayah dimana al-Sinkily
mendarmabaktikan karir intelektualnya adalah seorang perempuan, maka cukup
beralasan untuk melihat kreatifitas proses penafsirannya Al-Sinkily - seorang ulama
yang memiliki latar belakang pendidikan keagamaan dari Jazirah Arabiah yang
notabene ortodoks (termasuk dalam memandang peran sosial perempuan)- ketika
menafsirkan ayat al-Qur’an yang kerap dikutip untuk memposisikan hubungan/
kedudukan perempuan di antara laki-laki, Q.S. al-Nisa (4): 34,


















    
Ketika menerjemahkan ayat ini, Al-Sinkily menulis:
“Bermula segala laki-laki dikeraskan (dikuasakan) mereka itu atas segala
perempuan dengan sebab dilebihkan oleh Allah Ta’ala segala laki-laki itu atas
segala perempuan dengan ilmu dan akal dan wilayah dan dengan sebab
dibiayakan mereka itu atas segala arta mereka itu…maka segala perempuan yang
salih itu berbuat bakti mereka itu akan segala suami mereka itu…41
Mencermati kutipan di atas dapat dikenali arah dan cara pandang yang diikuti
Al-Sinkily tentang perempuan. Tampak bahwa Al-Sinkily tetap berpegang teguh
pada kecenderungan pemikiran para tradisional. Kecenderungan dimaksud adalah
40
Ibid., h. 348.
Al-Sinkily Sinkel, Tarjuman al-Mustafid, h. 85.
41
16
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
pandangan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari perempuan dalam aspek domestik
maupun publik. Terbukti dari penafsiran Al-Sinkilytentang factor-faktor yang disebut
sebagai nilai lebih laki-laki: ilmu, akal, dan wilayah.
Meski tidak ada perincian makna wilayah dalam tafsir tersebut, tapi dalam
pengertiannya yang umum, wilayah merujuk pada kawasan non-domestik, seperti
kepala pemerintahan, qadli, anggota majlis rakyat atau peran-peran publik lainnya.
Posisi Safiatuddin sebagai sultan waktu itu dapat dikatagorikan wilayah al-qadha’.
Dan sepanjang mengikuti tradisi pemikiran Syafi’iyyah, posisi ini mensyaratkan lakilaki sebagai unsur keabsahannya.
PENUTUP
Dari serangkaian pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Usaha penerjemahan al-Qur’an secara menyeluruh dapat dipahami sebagai ikhtiar
untuk menggiring ke pemahaman al-Qur’an secara utuh. Sebagai solusi untuk
meredam pertentangan paham yang terjadi dikarenakan pemahaman al-Qur’an
yang bersifat parsial. Demikian tafsir Tarjuman al-Mustafid lahir dalam situasi
yang dipenuhi pertentangan paham teologi, antara kelompok penganut wahdat alwujud dan wujudiyyah.
2. Al-Sinkily adalah seorang qadhy istana sekaligus seorang alim yang menguasai
berbagai disiplin ilmu. Meski demikian, indikasi yang mengarah pada kesimpulan
bahwa tafsir ini merupakan pesanan penguasa sangat sulit didapatkan. Indikasi
yang menonjol justru adalah keinginan al-Sinkily untuk berusaha meredam
pertentangan dengan cara menerjemahkan sejumlah al-Qur’an secara lengkap.
3. Meski secara keseluruhan tafsir ini merupakan terjemah harfiah dari al-Qur’an
dan sebagian besar penjelasannya diambil dari Jalalain/al-Baydhawy, tidak berarti
tafsir ini melepaskan dirinya dari
masyarakatnya dengan berbagai persoalan
hidup yang melingkupinya.
----DAFTAR PUSTAKA
17
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
‘Ala’ aWin ali bin Muhammad bin ibrahim al-Baghdadi. Tafsir al-Khazin al-Musamma
Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Beirut: Dar af-Fikr, 1988.
A. Hasjmi. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Para Ratu. Jakarta: Bulan
Bintang, 1977.
Al-Sinkily. al-Qur’an al-’Adhim wa bihamisyih Tarjuman ai-Maslafid. Dar al-Fikr, 1990.
________. dalam kolofon Tarjuman al-Mustafid. edisi 1990.
Anthony H. Johns. ‘Quranic Exegesis in the Malay World: In search of a Profile” dalam
Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an. Andrew Ripptn (ed.).
Oxford: Clareddon Press, 1988.
Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nasanlara Abad XVlll. Bandung:
Mizan, 1999.
Howard M. Federspiel. Popular Indonesia Literature of Qur’an. Diindonesiakan oleh Tajul
Arifin dengan judul Kajian al-Qur’an di Indonesia,. Bandung: Mizan, 1996.
Indal Abrar. “Potret Kronologis Tafsir Indonesia” Dalam Esensia Jurnal Ilmu-ilmu
Ushuluddin. Fakuhas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogya, Vol. 3. No. 2. 2002.
Karel Steenbrink. Beberapa Aspek lentang Islam di Indonesia abad ke-19. Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
M. Yunan Yusuf. “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia abad ke XX”. Dalam Jurnal
Ulumul Qur’an. Vol, III, No 4 Th. 1992.
Martin Van Bruissen. “Kitab Kuning, Buku-buku Berhuruf Arab yang di pakai di
Lingkungan Pesantren”, dalam Kifab Kuning, Pesantern dan Tarekal: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999.
Nashiruddin Baidan. “Pribumisasi (Pesan) Qur’an”, makalah disampaikan dalam seminar
HMJ TH IAIN Sunan Kalijaga yogyakarta, tanggal 25 Mei 2000.
Oman Fathurrahman. Tanbihul Masyi: Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Al-Sinkilysinkel
pada Abad ke-17. Bandung: Mizan, 1999.
P. Riddel. ‘Tafsir Klasik di Indonesia (Studi tentang Tarjuman al-Mustafid karya Abdurrauf
Sinkily)” dalam Mimbar Agama dan Budaya. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Vol
XVII, No 2, 2000.
P. Voerhoove. “Al-SinkilySinkel” dalam Encyclopedi of Islam. New edition. Leiden: E.J.
Brill, 1986.
Peter Riddel. “Earliest Quranic Exegetical Activity in the Malay-Speaking States”, tahun
majalah Archipel, 1989, him. 109.
Roolvink, R. “Indonesian Literature” dalam Encyclopedia of Islam. Leiden: E. J. BriO, Vol.
III, 1986.
Snouck Hurgronje. Aceh. Rakyal dan adapt Istiadainya, terj. Sutan Mahnun, jilid II. Jakarta:
INIS, t.th.
Tim penulis IAIN Syhid. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Tim Penyusun. Kamus BesarBahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
18
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015
V. I. Braginsky. Yang Indah. Berfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu dari Abad 7-19.
Jakarta: INIS, 1998.
19
Download