ABD RAUF AL-SINKILY DAN KARYA TAFSIRNYA (Telaah atas Metodologi Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid) Oleh Misbahuddin Jamal* Abstrak Sampai paruh akhir abad 16, di Nusantara tidak ditemukan karya tafsir secara utuh. Nanti di abad berikutnya, sebuah karya tafsir lengkap (30 juz) muncul. Karya ini ditulis oleh Abd al-Rauf al-Sinkily dan diberi nama Tarjuman al-Mustafid, dalam bahasa Melayu. Tulisan ini akan mencoba mengetengahkan tiga pokok persoalan seputar penyusunan kitab tafsir ini. Pertama, sebagaimana kajian terhadap penelusuran metodologi sebuah kitab tafsir, pertanyaan yang paling sering dimunculkan lebih awal adalah bagaimana karakteristik tafsirannya. Kedua, sebagai sebuah kitab tafsiran yang muncul pada zamannya maka apakah dalam Tarjuman al-Mustafid terdapat perhatian khusus akan kebutuhan masyarakat waktu itu? Ketiga, mencari orisinalitasnya, dikarenakan kitab tafsir ini –oleh sebagian pendapat- terindikasikan sebagai karya terjemahan dari tafsir Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi. Meski secara keseluruhan tafsir ini merupakan terjemah harfiah dari al-Qur’an dan sebagian besar penjelasannya diambil dari Jalalain/alBaydhawi, tidak berarti tafsir ini melepaskan dirinya dari masyarakatnya dengan berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Kata-kata Kunci: al-Sinkily, metodologi, tafsir PENDAHULUAN Sebagaimana halnya pada beberapa agama besar yang telah dikembangkan oleh para misionarisnya dengan mengusung kitab suci sebagai alasan utama untuk disebarkan dan dilestarikan, maka penyebaran Islam dari awal kemunculannya pun diyakini tak lepas dari sumber primer ajaran Islam, yakni Al-Qur’an. Sehingga dapat dikatakan bahwa sejarah perkembangan Islam adalah sejarah penyebaran Al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, sejarah Al-Qur`an dalam konteks yang paling sederhana di Indonesia dapat ditelusuri melalui sejarah masuknya Islam di Indonesia, 1 * Misbahuddin Jamal, S.Ag., M.Th.I. adalah dosen tetap IAIN Manado dalam bidang Bahasa Arab dan Tafsir. 1 Secara umum ada dua teori populer masuknya Islam di Indonesia. Pertama Teori Timur, yaitu Islam masuk di Indonesia pada abad VII M. atau I H., yang disebarkan langsung melalui jalur perdagangan oleh orang Arab yang bermazhab Syafi’î di daerah pesisir (coast) pantai utara Sumatera 1 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 meskipun sejarah Al-Qur`an (baca: tafsir) lebih terfokus pada peninggalanpeninggalan tertulis yang lahir dari tradisi intelektual. Kajian tentang tradisi al-Qur’an dan tafsir di Indonesia umumnya masih memusatkan perhatian pada karya-karya yang muncul abad 19 ke atas. Sebut misalnya yang dilakukan Howard M. Federspiel2 atau M. Yunan Yusuf3 atau yang lain. Agak jarang –untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali– bahasan serius atas tafsir-tafsir pada abad sebelumnya. Tafsir memegang peran penting dalam kajian Islam. la merupakan salah satu cabang penting dalam pemahaman ajarannya. Jika penyebaran Islam diduga sudah mulai menyentuh wilayah nusantara sejak abad 13,4 maka kenyataan di atas cukup memprihatinkan. Sebab hal demikian akan menimbulkan persepsi tidak menguntungkan bagi sejarah intelektual umat Islam di Indonesia. Padahal, dalam sejarahnya, dinamika intelektual umat Islam sebelum abad 19 memiliki intensitas yang cukup tinggi. Khusus mengenai tafsir, wilayah ini tampaknya tidak mencatat perkembangan pesat. Berbeda dengan disiplin lain seperti tasawuf, fiqih atau filsafat. Namun tidak berarti tradisi penafsiran sama sekali tidak berkembang. A.H. Johns,5 dalam penelusurannya menyebutkan bahwa aktifitas penafsiran di wilayah ini sudah (Malaka). Kedua, teori Barat yang berlandaskan pada perjalanan Marcopolo (1292). Hal ini lebih diperkuat dengan catatan Ibn Batutah yang menjelaskan berdirinya kerajaan Islam di pantai utara Sumatera pada abad XIII M. Azyumardi menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa langsung dari Arabia oleh para missionaris Islam profesional yang dengan jumlah besar datang ke Indonesia pada abad XII-XIII dan pertama-tama dipeluk oleh kalangan elit nusantara. Di samping kedua teori populer tersebut, terdapat teori lainnya dengan karakteristik tertentu. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia secara perorangan pada abad VII M., yang kemudian menjadi kekuatan sosial dan politik pada abad XII M. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVlll (Bandung: Mizan, 1999). 2 Howard M. Federspiel, “Popular Indonesia Literature of Qur’an”, dialihbahasakan oleh Tajul Arifin dengan judul Kajian al-Qur’an di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996). 3 M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia abad ke XX”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. Vol. Ill, No. 4. Th 1992. 4 Ada banyak teori mengenai awal mula kedatangan Islam di wilayah ini Namun menurut Azra, teori yang menyebut abad 13 sebagai permulaan kedatangan Islam lebih dapat dipertanggungjawabkan. Diskusi lebih detail mengenai ini lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1999), h. 2-18. 5 Anthony H. Johns, “Qur’anic Exegesis in the Malay World: In search of a Profile” dalam Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, Andrew Rippin (ed.). Oxford: Clareddon Press, 1988. 2 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 berlangsung -sedikitnya- sejak abad 16. Gejala ini tampak dari beberapa karya tulis yang dihasilkan dan ditemukan pada periode itu. Karya-karya Hamzah Fansuri atau Syams al-Din al-Sumatrani, misalnya, meskipun tidak secara tegas dapat disebut karya tafsir, namun sudah dapat dijadikan indikasi sudah terbangunnya tradisi tafsir kala itu. Hal ini didukung oleh pandangan Braginsky yang menulis: “Bagaimanapun, dalam pengertiannya yang luas, semua karangan mistik-keagamaan itu merupakan tafsir sufi generik terhadap teks-teks kanon keagamaan, yang dari sudut pandangan Islam meliputi pelimpahan wahyu.”6 Sampai paruh akhir abad 16, tidak ditemukan karya tafsir secara utuh, kecuali sebuah naskah tafsir Surat al-Kahf (18): 9. Saat ini manuskripnya tersimpan di perpustakaan Universitas Cambridge. Manuskrip itu milik Arabist Belanda, Erpenus (1624) yang diduga dibawanya pulang dari Aceh. Tidak ada nama pengarang yang dapat diidentifikasi, namun diduga ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan mufti kesultanannya adalah Syams al-Din alSumatrani.7 Nanti di abad berikutnya, sebuah karya tafsir lengkap (30 juz) muncul. Karya ini ditulis oleh Abd al-Rauf al-Sinkily (selanjutnya disingkat menjadi al-Sinkily) dan diberi nama Tarjuman al-Mustafid, tertulis dalam bahasa Melayu. Tulisan ini akan mencoba mengetengahkan tiga pokok-persoalan seputar penyusunan kitab tafsir ini. Pertama, sebagaimana kajian terhadap penelusuran metodologi sebuah kitab tafsir, pertanyaan yang paling sering dimunculkan lebih awal adalah bagaimana karakteristik tafsirannya. Kedua, sebagai sebuah kitab tafsiran yang muncul pada zamannya maka apakah dalam Tarjuman al-Mustafid terdapat perhatian khusus akan kebutuhan masyarakat waktu itu? Ketiga, mencari orisinalitasnya. Dikarenakan kitab tafsir ini –oleh sebagian pendapat- terindikasikan sebagai karya terjemahan dari tafsir Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi. 6 V. 1. Braginsky, Yang Indah. berfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu dari Abad 7-19. Jakarta: IN1S, 1998, h. 275. 7 Moch.Nur Ichwan, Literatur Tafsir Qur’an Melayu-Jawi di Indonesia: Relasi Kuasa, Pergeseran dan Kematian. Dalam Visi Islam, Jurnal Ilmu ilmu Keislaman, Volume 1, Nomor 1, Januari 2002. h. 15. 3 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 ABD AL-RAUF AL-SINKILY DAN TAFSIR TARJUMAN AL-MUSTAFID A. Biografi Singkat Nama lengkapnya adalah Abd al-Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkily. Teridentifikasi dari namanya, ia adalah orang Melayu dari daerah Fansur, Sinkel, sebuah wilayah di pantai barat laut Aceh. Latar belakang keluarganya secara pasti tidak diketahui. Hasjmi menyebut asal usul Al-Sinkily berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudra Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), kota pelabuhan tua di pantai Sumatra Barat. Pendapat lain menyebut keluarga ini bersilsilah ke Arab. Syaikh Ali (ayahnya) diperkirakan berasal dari Arab yang kemudian kawin dengan seorang wanita pribumi, dan selanjutnya mereka tinggal di Sinkel.8 Menyangkut garis keturunannya, sejarah penanggalan kelahiran Al-Sinkily pun tidak dapat ditemukan kepastiannya. Voerhoove menyebut tahun 1620,9 dan ada yang menyebut 100 H/1593.10 Adapun latar belakang atau sejarah intelektual Al-Sinkily juga bermula dari desa kelahirannya sendiri, yaitu Sinkel. Dalam catatan Hasjmi, ayah Al-Sinkily adalah seorang alim yang mendirikan sebuah madrasah yang didatangi murid-murid dari berbagai tempat di kesultanan Aceh. Kemudian melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Arabia pada sekitar 1052/1642. Dalam petualangannya ini Al-Sinkily telah berhasil menjalin hubungan selama 19 tahun dengan para ulama besar yang dari mereka dia mempelajari berbagai cabang ilmu agama (tafsir, hadis, fiqih, tasawuf tauhid dan akhlak). Namun demikian, beberapa penulis mencatat, pengaruh paling besar dalam membentuk pola pikir dan pola sikap al-Sinkily berasal dari gurunya di Madinah, al-Kusyasyi dan al-Kurani Dari al-Kusyasyi al-Sinkily mempelajari apa yang disebutnya sebagai ilmu dalam 8 Oman Fathurrahman, Tanbihul Masyi: Menyoal Wahdat al-Wujud, Kasus Al-Sinkily Stnkel pada Abad ke-17 (Bandung: Mizan, 1999), h. 25. 9 P. Voerhoove, “Al-Sinkily Sinkel” dalam Encyclopedia of Islam, New edition. Leiden: E.J. Brill, 1986, Vol I, h. 88. 10 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 31. 4 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 (bathin) seperti tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya, hingga akhimya ia ditunjuk sebagai imam tarikat Syattariyah dan Qadiriyah. Dari al-Kurani ia mendapat gemblengan pengetahuan di luar disiplin-disiplin pengetahuan tasawuf. Setelah mengenyam pendidikan selama sekitar 19 tahun al-Sinkily kembali ke Aceh pada sekitar tahun 1661. Adapun karya-karya al-Sinkily tidak terbatas pada satu bidang, sebagian ahli mengatakan karya al-Sinkily 21 buah. Satu berbentuk tafsir, 2 kitab hadis, 3 buah berupa kitab fiqih, dan 15 sisanya merupakan kitab tasawuf.11 Di antaranya adalah: 1. Syarah Latif ‘ala Arba’in Hadisan li Imam al-Nawawi, 2. Al-Mawa’iz al-Badi’ah, keduanya berbahasa Melayu. 3. Mi’rat al-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syar’iyyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara’ Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah. 4. ‘Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), 5. Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), 6. Daqa’iq al-Huruf (Detail-Detail Huruf), serta 7. Bayan Tajalli (Keterangan Tajalli). Dan selebihnya kitab ilmu tasawuf B. Latar Belakang Penulisan Tarjuman al-Mustafid Salah satu potret kehidupan pada periode kepemimpinan para ratu di mana alSinkily mengabdikan karier adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Terutama era ratu Safiatuddin, banyak karya tulis dihasilkan dengan atau tanpa permintaan ratu. Salah satu karyanya yang dinyatakan sebagai pesanan Sultanah adalah Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam, dimaksudkan agar menjadi panduan, pedoman bagi para qadhi (hakim) dalam menjalankan tugasnya. Adapun karya tafsirnyaya Tarjuman al-Mustafid sampai saat ini dianggap sebagai tafsir lengkap pertama dalam bahasa Melayu yang ada. Tafsir ini, menurut Hasjmi, disusun pada masa pemerintahan Safiatuddin.12 11 Ibid., h. 31-33. 5 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Berbeda dengan Mir’at al-Thullab, tafsir ini mulai pembahasannya pada surat al-Fatihah dan pendahuluan atau keterangan lainnya yang dapat dijadikan informasi, misalnya tentang kapan, di mana dan waktu dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Riddell menduga penulisan tafsir ini dilakukan pada tahun 1675 berdasarkan hasil temuannya atas kopi tertua dari manuskrip tafsir ini, diperkirakan tahunnya lebih dekat kepada saat kembalinya dari Arab dari pada saat meninggalnya.13 Dalam edisi yang dipakai sebagai sumber penelitian ini, terdapat kolofon yang tertulis: “Dan telah sempurnalah tafsir al-Qur’an yang amat mulia yang dinamai Tarjuman al-Mustafid yang di jamikan oleh syaikh kita dan ikutan kita kepada Allah Ta’ala, yang alim allamah lagi waliyullah yang fanni fillah Ta’ala, Aminuddin Abdurrauf anak Ali Jawi lagi Fansuri yang dikasihi Allah Ta’ala jua kiranya akan dia dan diterima-Nya dan diberi Allah Ta’ala manfaat jua kiranya akan kita dengan berkat ilmunya di dalam dunia dan dalam akhirat, perkenankan olehmu hai Tuhanku….” “Dan menambahi atasnya oleh sekecil-kecil muridnya dan sehina-hinanya khadimnya itu yaitu Daud Jawi anak Ismail anak Agha Mustafa Al Rumi diampuni Allah Ta’ala jua kiranya sekalian mereka itu akan kisahnya yang diambil kebaikannya dari pada al-Khazin dan setengah riwayatnya pada khilaf qiraah dengan suratnya….”14 Selain tentang empat hal, kolofon di atas tidak memberi petunjuk informasi mengenai penanggalan dan juga atas dorongan apa atau oleh siapa usaha penyusunan tafsir dilakukan. Empat hal dimaksud adalah penegasan bahwa penulisan tafsir ini dilakukan oleh Abd Rauf. Tarjuman al-Mustafid sebagai nama yang dipakai sejak awal, sumber tafsir dan tentang peran Daud Rumi dalam penulisan tafsir. Benar bahwa tafsir ini disusun al-Sinkily, tapi bentuk akhir kitab ini sebagaimana beredar hingga kini tak lepas dari keterlibatan Daud Rumi. Akibat keterlibatan ini, menurut Riddell, meninggalkan pengaruh terhadap perubahan sifat, karakter dan watak tafsir.15 12 A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Para Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 115. 13 Peter Riddell, “Earliest Qur’anic Exegetical Activity in the Malay-Speaking States”, dalam majalah Archipel, 1989, h. 109. 14 Al-SinkilySinkel, dalam kolofon Tarjuman al-Mustaftd. edisi 1990, h. 610. 15 P. Riddell, “Tafsir Klasik di Indonesia (Studi tentang Tarjuman al-Mustafid karya Abdurrauf Sinkily)” dalam Mimbar Agama dan Budoya, Jakarta: IAIN Syahid, Vol XVII. No 2, 2000, h. 9. 6 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Bila ditelaah dari sudut kepentingan, tampaknya penyusunan kitab tafsir ini atas inisiatif al-Sinkily sendiri. Alasannya, umumnya kitab “pesanan” sultanah bersifat “praktis”. Misalnya Mir’at al-ThulIab, Kifayat al-Muhtadin atau Hidayat atImam, yang dalam batas-batas tertentu sepertinya digunakan untuk merespon kebutuhan-kebutuhan dan kecenderungan yang sedang menggejala waktu itu. Statemen di atas, sama sekali tidak dimaksudkan bahwa tafsir al-Qur’an bukan kebutuhan praktis yang mendesak waktu itu. Persengketaan agama yang terjadi saat itu bukan tidak mungkin bersumber dari penafsiran terhadap ayat al-Qur’an. Namun menghubungkan proses penyusunan tafsir ini dengan permintaan sultanah memiliki beberapa keberatan. Pertama, ratu Safiatuddin tidak memiliki tingkat pengetahuan agama yang mendalam. 16 Kedua, tradisi yang berkembang tentang pengajaran alQur’an umumnya terbatas pada studi baca al-Qur’an. 17 Al-Qur’an sangat jarang dipelajari secara langsung, tapi dalam bentuk yang sudah “diolah” dalam karya-karya skolastik mengenai fiqih atau akidah.18 Tafsir merupakan disiplin khusus. Meski ada guru yang menguasainya, namun umumnya jarang terpikir untuk mempelajari hal tersebut sebelum menguasai pikah (fiqih) dan usay (ushul fiqih).19 Dari hal tersebut, lebih dapat dikatakan penyusunannya tafsir ini merupakan inisiatif al-Sinkily sendiri, bukan permintaan Sultanah. Karena (sebagai pendidik) alSinkily ingin mengajarkan ajaran-ajaran al-Qur’an (baca: Islam) kepada masyarakat. C. Karakteristik Tafsir Tarjuman al-Mustafid Menelaah karakteristik sebuah tafsir, menurut Yunan Yusuf,20 dapat dilakukan dengan mengidentifikasi metode penafsiran, teknik penafsiran dan corak tafsir. Pada 16 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara abad XII dan X1II (Bandung: Mizan. 1999), h. 179. 17 Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyal dan Adat Istiadatnya, terj. Sultan Maimun, jilid II (Jakarta: 1NIS, t.th.), h. 3-1. 18 Martin Van Bruissen, “Kitab Kumng, Buku-buku Berhuruf Arab yang Dipakai di linngkungan Pesantren”, dalam Kitab Kuning, Pesantem dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), h. 135. 19 Snouck Hurgronje, Aceh …., h. 18. 20 Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Ahad ke-XX”, dalam Jurnal Ulum al-Qur’an Vol. 01. No 4. thn. 1992. 7 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 metode penafsiran, telaah ditekankan pada penggalian mengenai cara seorang mufasir memberikan tafsirnya; apakah ia menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan hadis, dengan riwayat sahabat, dengan kisah-kisah israiliyat atau dengan ra’yu (pendapat personal). Pada teknik penafsiran diarahkan pada prosedur penafsiran; apakah penafsiran mengikuti pola tafshili (mushafi, analitis atau ijmali (global), atau maudhu’i (tematis). Sedang pada corak penafsiran, pemeriksaan yang dimaksud untuk melihat corak pemikiran teologi yang mempengaruhi mufasir, dilakukan dengan melihat penafsirannya pada ayat-ayat yang tergolong mutasyabihat. Untuk melihat lebih jelas karakteristik tafsir ini, berikut kutipan surat al-Ikhlas. “Ini surat al-Ikhlas turunnya di Makkah atau Madinah dan ia itu empat atau lima ayat. Maka tersebut dalam al-Baidhawi hadis bahwasannya ia mendengar seorang laki-laki mengaji dia maka sabdanya “wajabat”, maka dekat (berkata?) orang “apa arti “wajabat” ya rasulillah? Maka sabdanya “wajabat lahu aljannah” artinya wajiblah baginya surga. “Kata olehmu Ya Muhammad pekerjaan itu ia jua Tuhan yang Esa. Allah Ta’ala jua yang dimaksud dari pada segala hajat. Tiada ia beranak dan tiada diperanakkan. Dan tiada baginya sekutu dengan seorang juapun. (kata) ahli tafsir, tersebut di dalam al-Khazin bahwasanya segala musyrik itu telah berkata mereka itu bag! rasul Allah s.a.w.: sebut olehmu bagi kamu bangsa Tuhanmu, maka turun firman Allah Ta’ala “Qul huwa Allahu Ahad”. Kepada akhimya (Bayan) Ikhtilaf antara segala qari’ yang tiga pada membaca kufiiwan. Maka Nafi’ dan Abu ‘amr membaca dia kufua dengan hamzah, dan Hafsah membaca dia kufuwa dengan wawu. Wa allahu a’lam.21 Dari kutipan di atas, al-Sinkily hanya menerjemahkan secara harfiah ayat-ayat al-Qur’an tanpa penjelasan detail kandungan ayat yang sedang diterjemahkan seperti munasabah dengan ayat-ayat lain yang seide. Demikian pula tidak disertai dengan hadis nabi, riwayat sahabat, terlebih lagi dengan kisah israiliyyat. Ada tiga variable lain yang secara rutin disertakan dalam tafsir ini di luar penjelasan terjemah harfiah. Pertama, keterangan tentang asbab al-nuzul ayat –kalau ada, al-Sinkily memasukkannya dalam bagian “kata mufasir” atau “kisah”. Kedua, penjelasan tentang ragam bacaan (qira’ah) dimasukkan dalam bagian “bayan” atau “faidah”. Penjelasan terakhir tentang guna atau manfaat atau fadhilah ayat atau sarat. 21 Al-Sinkily Sinkel, Tarjuman al-Mustafi’..., h. 609-610. 8 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Bagian ini ditempatkan pada pembuka surat, menyertai penjelasan status surat (Makkiyah atau Madaniyyah). Corak pemikiran tafsir ini dapat dilihat dari penjelasan al-Sinkily terhadap ayat-ayat antropomorfis berikut. Contoh kasus yang diangkat adalah pada ayat yang terdapat kata yad (secara literal berarti tangan). Dari penelusuran yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa al-Sinkily memakai tiga pola dalam menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Pada satu kasus al-Sinkily memakai makna asli (tasybih). Misalnya pada ayat: “Tangan Allah di atas tangan mereka itu….” (Q.S. al-Fath (48): 10)22 “Tangan Allah tergenggam daripada melimpahkan rizki atas kita” (Q.S. alMaidah (5): 64)23 Pada kasus lain ia memberi tafsiran terhadap kata-kata tersebut, seperti pada: “Telah suci daripada segala sifat muhdas Tuhan yang pada tasarrufya jua sultan dan kudrat dan Ia itu atas tiap-tiap suatu amat kuasa…”(QS. al-Mulk (67): I).24 Namun dalam kasus yang lain al-Sinkily melakukan kombinasi kedua pola terseubt di atas. Artinya a-Sinkily menggabungkan pola terjemahan harfiah dengan takwil. Sebagaimana dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut: “Kata olehmu ya Muhammad bahwasanya nugera itu pada tangan kudrat Allah.-.” (Q.S. Ali Imran(3):73).25 “kata olehmu siapa jua yang pada tangan kodratnya milik tiap-tiap suatu…” (Q.S. al-Mukminun(23):88).26 22 Ibid., h. 513. Ibid., h. 119. 24 Ibid., h. 563. 25 Ibid.., h. 60. 26 Ibid., h. 348. 23 9 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 “Maka maha suci Tuhan yang pada tangan kodratnya jua memilikkan tiap-tiap suatu dan padanya jua ditolakkan sekalian itu…,”(Q.S. Yasin(36): 83).27 Dengan memperhatikan kutipan di atas, pembagian Yunan Yusuf atas dua kategori pemikiran teologi: teologi tradisional (dicirikan oleh sikap tidak menafsirkan ayat-ayat demikian) dan teologi liberal (dicirikan penafsirannya terhadap ayat demikian), terasa tidak muat untuk menempatkan posisi al-Sinkily. Kesemua ciri itu ada pada pola penerjemahan Tarjuman al-Mustafid. Pola demikian dapat ditemukan dalam tradisi pemikiran sufi. Para sufi umumnya tidak menempatkan dirinya pada salah satu dari dua ekstrim ketika berhadapan dengan ayat-ayat antropomorfis. Mereka menerima konsep tanzih sekaligus tasybih Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecenderungan tafsir ini terletak pada titik ambang antara teologi tradisional dan liberal yang direpresentasikan oleh pemikiran sufi. D. Kesumberan Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid Eksistensi Tarjuman al-Mustafid tergolong kontroversial, terutama mengenai sumbernya. Penilaian umum yang sejak lama berkembang selalu menghubungkan karya ini dengan karya al-Baidhawi atau menegaskan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari Anwar al-Tanzil-nya al-Baidhawi. Pernyataan ini diterima oleh para sarjana Islam di Makkah, Eropa, dan Asia Tenggara. Pangkal anggapan ini, menurut Riddell, berasal dari edisi cetakan pertama yang beredar di Istanbul pada 1884. pada halaman judul, redaktur memuat pemyataan: “….Inilah kitab yang bernama Tarjuman at-Mustafid bi al-Jawi yang diterjemahkan dengan bahasa Jawi yang diambil setengah maknanya dari tafsir al-Baidhawi” Penyebutan poin bahwa tafsir al-Baidhawi merupakan sebagian sumber dari Tarjuman al-Mustafid inilah yang lantas disalahtafsirkan, dan Riddell menduga, Snouck Hurgronje-lah penyebar kesalahan ini. Snouck memiliki satu edisi Istanbul di perpustakaan pribadinya, yang kemudian diwariskan ke perpustakaan Leiden. Keterangan yang masuk akal, menurut Riddell, adalah Snouck Hurgronje menyaring 27 Ibid., h. 446. 10 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 inti isi halaman-halaman Tarjuman al-Mustafid, melihat rujukan tafsir secara sekilas, kemudian menyimpulkan: “Karya besar lain dari Abd al-Rauf ialah terjemah tafsir al-Qur’an oleh Baidhawi dalam bahasa Melayu …”28 Edisi yang beredar (dan diterbitkan ) di asia Tenggara juga menyertakan keterangan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari al-Baidhawi. Seperti terdapat dalam halaman judul tafsir yang dijadikan referensi kajian ini, tertulis keterangan: “Al-tarjamah al-jawiyah li al-tafsir al-musamma Anwar alTanzil wa Asrar al-Ta’wil li al-Imam al-Qadli al-Baidhawi …”29 Edisi ini juga terdapat tambahan penjelasan (tepatnya: kesaksian) dari tiga orang sarjana Melayu di Makkah bahwa mereka telah meneliti dan setuju bahwa hasil karya itu merupakan terjemahan dari tafsir al-Baidlawi tanpa penambahan atau pengurangan, dan tanpa perubahan atau penggantian.30 Dalam penilaian Riddell, penyandaran tersebut tidak memiliki landasan kuat. Sebaliknya, pemeriksaan yang teliti terhadap ayat demi ayat memberi bukti bahwa karya tersebut merupakan gabungan dari beberapa tafsir Arab. Namun tidak semua sumber disebut, selain al-Khazin dan al-Baidhawi. Tetapi perlu diingat, bentuk final tafsir ini tidak semata dikerjakan oleh al-Sinkily, ada keterlibatan Daud Rumi dalam proses akhir ini. Keberadaan faedah, juga bagian-bagian yang dinukil dari al-Khazin dan al-Baidhawi tampaknya merupakan tanggung jawab Daud. Jika hal-hal terakhir dianggap sebagai tambahan dan dihilangkan, maka selebihnya (berarti karya alSinkily) merupakan saduran yang kaitannya lebih dekat dengan Tafsir Jalalain. Kedekatan dengan Jalalain, dari perspektif jaringan pemikiran al-Sinkily lebih dapat diterima dari pada dengan al-Khazin atau al-Baidhawi.31 Penisbatan dengan alBaidhawi, bisa jadi disebabkan oleh kegagalan mengenali peran utama Tafsir Jalalain (seperti pada Snouck Hurgronje) atau karena unsur kesengajaan karena pertimbangan komersil. Reputasi al-Khazin atau al-Baidhawi lebih tinggi dari pada 28 Snouck Hurgronje, Aceh. Rakyat dan Adat Istiadatnya II, h. 14. Al-Sinkily Sinkel, Tarjuman al-Mustafid, h. 609. 30 Ibid., h. 661. 31 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 203-204. 29 11 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Jalalain. Lagi pula, menarik dicatat, ada perbedaan model pengiklanan antara abad 20 dengan abad-abad sebelumnya. Jika pada abad 20, suatu karangan memiliki “kekurangan” bila hanya bersifat terjemahan, maka pada era al-Sinkily sifat orisinal (barangkali) justru akan dirasa sebagai kekurangan. 32 Hal ini, tentu terkait dengan orientasi keagamaan waktu itu yang masih berpusat ke Arab. E. Kearifan Lokal atas Pemikiran dalam Tarjuman al-Mustafid Wujud kreatifitas atau individualitas yang telah dilakukan al-Sinkily dalam karya tafsirnya akan coba penulis upayakan dengan memeriksa terjemahan tafsir alSinkily Sinkel terhadap ayat-ayat tertentu. Pemilihan terhadap ayat tertentu didasarkan pada peristiwa yang menjadi latar belakang atau yang tengah berlangsung dan diduga merupakan tantangan eksternal dalam proses penyusunan tafsir. Dengan mengacu pada pembahasan sebelumnya, dapat dipetakan menjadi dua pokok persoalan; yaitu persoalan teologis dan sosial. Untuk persoalan teologis, kajian ini terutama akan mengambil fokus pada persoalan tauhid. Selain karena keberadaannya sebagai sentral ajaran Islam, penerjemahan lebih lanjut konsep inilah yang ujungnya memunculkan permasalahan seperti wahdat al-wujud yang juga berkembang di Aceh waktu itu Persoalan sosial, terutama yang berhubungan peran publik perempuan. Poin ini diangkat karena penguasa saat itu adalah seorang perempuan. Posisi itu menjadi tema yang dipandang ganjil dan terus dipermasalahkan tidak saja oleh pemuka agama di wilayah Nusantara, tapi juga di beberapa belahan dunia Islam lainnya a. Tauhid Tauhid adalah basis pandangan hidup al-Qur’an, ia merupakan pondasi, pusat dan akhir seluruh tradisi Islam. Secara umum tauhid berisi ajaran dan konsepsikonsepsi tentang Tuhan Dalam rentang sejarahnya, diskursus tentang tauhid pernah menimbulkan percekcokan dan berbuntut pada gejolak Percekcokan muncul karena disinyalir 32 Karel Sleenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ike-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 125-126. 12 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 adanya pemikiran tauhid yang menyimpang sebab mengajarkan konsep inkarnasionisme (hulul) atau unifikasionisme (Ittihad). Pemikiran terakhir diwakili oleh sayap pemikiran dari kalangan sufi. Di Aceh, gejolak serupa pernah berlangsung. Perselisihan terjadi antara penganut wahdat al-wujud (wujudiyah) dan penentangnya (yang menyebut diri wahdat al-syuhud) yang kemudian berkembang menjadi tragedi berdarah. Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani dikenal sebagai pioner aliran pertama dan Nuruddin al-Raniri sebagai tokoh kalangan berikutnya. Dalam konteks inilah penting untuk melihat pemikiran tauhid al-Sinkily dalam tafsirnya minimal untuk dua alasan. Pertama, posisinya sebagai qadhi malik al-adil yang memiliki kewenangan menjaga stabilitas negara (kerajaan). Kedua, sebagaimana dikatakan Braginsky, al-Sinkilyadalah penerus paling fasih dalam tradisi pemikiran Hamzah Fansuri (wahdat al-wujud), Kata tauhid tidak terdapat dalam al-Qur’an. Secara etimologis kata ini terambil dari wahhada-yuwahhidu-tauhid. Salah satu surat dalam al-Qur’an yang biasa dipakai sebagai landasan konsep tauhid adalah Q.S. 112. ketika sampai pada bagian ini al-Sinkily menerjemahkan dengan: “Kata olehmu ya Muhammad pekerjaan itu ia jua Tuhan yang esa. Allah Ta’ala jua yang dimaksud daripada segala hajat. Tiada ia beranak dan tiada diperanakkan. Dan tiada baginya sekutu dengan seorang pun jua”.33 Sekilas penerjemahan al-Sinkily atas surat tersebut terasa datar. Seperti halnya Jalalain yang selain penjelasan nahwiyah, tidak memberi kupasan apapun. Berbeda dengan al-Khazin yang mencoba membedakan kata ahad dengan wahid.34 Al-Sinkily Sinkel, Al-Qur’an al-’Azhim, wa bihamisyih: Tarjuman al-Mustafid (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), h. 610. 34 ‘Ala al-Din Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir al-Khazin al-Musamma Lubab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), juz. 4, h. 49. 33 13 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Namun bila dicermati, dalam kadar tertentu pembedaan semantik sebagaimana yang dilakukan oleh al-Khazin dilakukan oleh al-Sinkily ini terbaca dari penerjemahannya terhadap kata ahad atau kata-kata semakna (wahid wahda) ketika dihubungkan dengan Allah yang secara konsisten diterjemahkan dengan kata esa. Sementara untuk konteks lain al-Sinkily memakai kata satu. Seperti pada jumlah ayat pada pengantar surat al-Lail tertulis “wa hiya ihda ‘isyruna ayat” yang selanjutnya diterjemahkan menjadi “dan ia itu dua puluh satu ayat”. Ini berarti dua kelas kata tersebut sudah sama-sama dikenal dan berkembang saat itu, namun antara keduanya memiliki struktur batin (untuk meminjam istilah teknis dalam ilmu semantik) yang berbeda. Kata esa sendiri merupakan kosa kata asli yang tumbuh dan berkembang di kawasan Melayu. Mengapa al-Sinkily tidak memakai atau memilih kata satu atau eka dan memilih esa? Dalam KBBI, kata esa masuk kategori nominal sedangkan satu atau eka tergolong numerical atau numerilia.35 Ada perbedaan signifikan antara kedua kelas kata tersebut, yang pertama mengekspresikan makna mutlak sementara pada yang kedua terkandung makna relatif. Pemilihan kata esa oleh al-Sinkily bukan tanpa alasan. Hal itu menunjukkan kehati-hatiannya ketika menjelaskan kata tauhid. Sebelum sampai pada pemilihan kata tersebut, jelas ada proses kreatif dilalui al-Sinkily untuk menemukan bentuk ungkapan dari bahasa local (sasaran) yang representatif dengan pemikiran tauhidnya Selain menunjukkan sikap hati-hati, definisi tauhid (juga dalam kata esa) di atas memperkuat kecenderungan sufistik dalam pemikiran al-Sinkily. Dalam ranah teologi Islam, secara umum terdapat dua arus umum yang keduanya ingin menunjukkan ketunggalan Allah. Arus pertama diwakili para pemikir dengan penafsiran rasional yang membersihkan corak antropomorfis dalam kaitannya dengan Tuhan. Para filosof kurun awal menempati posisi ini. Arus kedua menerima corak antropomorfis sambil menyertakan dalih seperti dengan menganggap ayat demikian sebagai majaz atau kinayah. Masuk dalam golongan ini adalah pemikir sufi. 35 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pusiaka, I98S), h. 2-6. 14 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Dari pola penerjemahan terhadap ayat-ayat antropomorfis, al-Sinkily cenderung pada posisi tengah. Sebagaimana penjelasan tentang karakteristik tafsir Tarjuman al-Mustafid di atas. Contoh kata yad yang memiliki makna dasar tangan. Pada satu bagian al-Sinkily menerjemahkan secara harfiah (tasybih), seperti pada: “Tangan Allah di atas tangan mereka itu…” (Q.S. al-Fath (48): 10).36 Pada bagian lain ia memberi tafsiran terhadap kata tersebut: “Tangan Allah tergenggam dari pada melimpahkan rizki atas kita” (Q.S. alMaidah (5): 64).37 Dan pada kasus lain ia memberi tafsiran terhadap kata-kata tersebut seperti: “Telah suci dari pada segala sifat muhdas Tuhan yang pada tasarrufnya jua sultan dan kudrat dan ia itu atas tiap-tiap suatu amat kuasa…” (Q.S. al-Mulk (67): 1).38 Namun dalam kasus lain ia melakukan kombinasi kedua pola di atas. Artinya, al-Sinkily menggabungkan terjemah harfiah dengan ta’wil (tasybih-tanzih). Seperti pada kutipan-kutipan berikut: “Katakan olehmu ya Muhammad bahwasanya nugerah itu ada pada tangan kudrat Allah…”(Q.S. Ali Imran (3): 73).39 “Kata olehmu siapa jua yang pada tangan kodratnya milik tiap-tiap sesuatu…” (Q.S. Al-Mukminun (23): 88) 36 Ibid., h. 513. 37 Ibid., h. 119. 38 Ibid., h. 563. 39 Ibid., h. 60. 15 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 “Maka maha suci Tuhan yang pada tangan kodratnya jua memilikkan tiap-tiap satu dan padanya jua ditolakkan sekalian itu…” (Q.S. Yasin (23): 83).40 Kreatifitas atau unsur lokalitas pemikirannya ini agaknya erat kaitannya dengan tuntutan zamannya. Di mana Aceh waktu itu terdapat dua alur pemikiran yang saling berhadapan yang tidak mustahil masih banyak pengikutnya pada masa al-Sinkily. Karena itulah diasumsikan melalui pola penerjemahannya ini hendak mengakomodasi tanpa mereduksi dua alur pemikiran tersebut, bahwa masing-masing pandangan sejalan dengan kitab Allah. b. Peran Perempuan dalam ranah Publik Berangkat dari kenyataan bahwa penguasa wilayah dimana al-Sinkily mendarmabaktikan karir intelektualnya adalah seorang perempuan, maka cukup beralasan untuk melihat kreatifitas proses penafsirannya Al-Sinkily - seorang ulama yang memiliki latar belakang pendidikan keagamaan dari Jazirah Arabiah yang notabene ortodoks (termasuk dalam memandang peran sosial perempuan)- ketika menafsirkan ayat al-Qur’an yang kerap dikutip untuk memposisikan hubungan/ kedudukan perempuan di antara laki-laki, Q.S. al-Nisa (4): 34, Ketika menerjemahkan ayat ini, Al-Sinkily menulis: “Bermula segala laki-laki dikeraskan (dikuasakan) mereka itu atas segala perempuan dengan sebab dilebihkan oleh Allah Ta’ala segala laki-laki itu atas segala perempuan dengan ilmu dan akal dan wilayah dan dengan sebab dibiayakan mereka itu atas segala arta mereka itu…maka segala perempuan yang salih itu berbuat bakti mereka itu akan segala suami mereka itu…41 Mencermati kutipan di atas dapat dikenali arah dan cara pandang yang diikuti Al-Sinkily tentang perempuan. Tampak bahwa Al-Sinkily tetap berpegang teguh pada kecenderungan pemikiran para tradisional. Kecenderungan dimaksud adalah 40 Ibid., h. 348. Al-Sinkily Sinkel, Tarjuman al-Mustafid, h. 85. 41 16 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 pandangan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari perempuan dalam aspek domestik maupun publik. Terbukti dari penafsiran Al-Sinkilytentang factor-faktor yang disebut sebagai nilai lebih laki-laki: ilmu, akal, dan wilayah. Meski tidak ada perincian makna wilayah dalam tafsir tersebut, tapi dalam pengertiannya yang umum, wilayah merujuk pada kawasan non-domestik, seperti kepala pemerintahan, qadli, anggota majlis rakyat atau peran-peran publik lainnya. Posisi Safiatuddin sebagai sultan waktu itu dapat dikatagorikan wilayah al-qadha’. Dan sepanjang mengikuti tradisi pemikiran Syafi’iyyah, posisi ini mensyaratkan lakilaki sebagai unsur keabsahannya. PENUTUP Dari serangkaian pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Usaha penerjemahan al-Qur’an secara menyeluruh dapat dipahami sebagai ikhtiar untuk menggiring ke pemahaman al-Qur’an secara utuh. Sebagai solusi untuk meredam pertentangan paham yang terjadi dikarenakan pemahaman al-Qur’an yang bersifat parsial. Demikian tafsir Tarjuman al-Mustafid lahir dalam situasi yang dipenuhi pertentangan paham teologi, antara kelompok penganut wahdat alwujud dan wujudiyyah. 2. Al-Sinkily adalah seorang qadhy istana sekaligus seorang alim yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Meski demikian, indikasi yang mengarah pada kesimpulan bahwa tafsir ini merupakan pesanan penguasa sangat sulit didapatkan. Indikasi yang menonjol justru adalah keinginan al-Sinkily untuk berusaha meredam pertentangan dengan cara menerjemahkan sejumlah al-Qur’an secara lengkap. 3. Meski secara keseluruhan tafsir ini merupakan terjemah harfiah dari al-Qur’an dan sebagian besar penjelasannya diambil dari Jalalain/al-Baydhawy, tidak berarti tafsir ini melepaskan dirinya dari masyarakatnya dengan berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. ----DAFTAR PUSTAKA 17 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 ‘Ala’ aWin ali bin Muhammad bin ibrahim al-Baghdadi. Tafsir al-Khazin al-Musamma Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Beirut: Dar af-Fikr, 1988. A. Hasjmi. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Para Ratu. Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Al-Sinkily. al-Qur’an al-’Adhim wa bihamisyih Tarjuman ai-Maslafid. Dar al-Fikr, 1990. ________. dalam kolofon Tarjuman al-Mustafid. edisi 1990. Anthony H. Johns. ‘Quranic Exegesis in the Malay World: In search of a Profile” dalam Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an. Andrew Ripptn (ed.). Oxford: Clareddon Press, 1988. Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nasanlara Abad XVlll. Bandung: Mizan, 1999. Howard M. Federspiel. Popular Indonesia Literature of Qur’an. Diindonesiakan oleh Tajul Arifin dengan judul Kajian al-Qur’an di Indonesia,. Bandung: Mizan, 1996. Indal Abrar. “Potret Kronologis Tafsir Indonesia” Dalam Esensia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin. Fakuhas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogya, Vol. 3. No. 2. 2002. Karel Steenbrink. Beberapa Aspek lentang Islam di Indonesia abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. M. Yunan Yusuf. “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia abad ke XX”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an. Vol, III, No 4 Th. 1992. Martin Van Bruissen. “Kitab Kuning, Buku-buku Berhuruf Arab yang di pakai di Lingkungan Pesantren”, dalam Kifab Kuning, Pesantern dan Tarekal: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. Nashiruddin Baidan. “Pribumisasi (Pesan) Qur’an”, makalah disampaikan dalam seminar HMJ TH IAIN Sunan Kalijaga yogyakarta, tanggal 25 Mei 2000. Oman Fathurrahman. Tanbihul Masyi: Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Al-Sinkilysinkel pada Abad ke-17. Bandung: Mizan, 1999. P. Riddel. ‘Tafsir Klasik di Indonesia (Studi tentang Tarjuman al-Mustafid karya Abdurrauf Sinkily)” dalam Mimbar Agama dan Budaya. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Vol XVII, No 2, 2000. P. Voerhoove. “Al-SinkilySinkel” dalam Encyclopedi of Islam. New edition. Leiden: E.J. Brill, 1986. Peter Riddel. “Earliest Quranic Exegetical Activity in the Malay-Speaking States”, tahun majalah Archipel, 1989, him. 109. Roolvink, R. “Indonesian Literature” dalam Encyclopedia of Islam. Leiden: E. J. BriO, Vol. III, 1986. Snouck Hurgronje. Aceh. Rakyal dan adapt Istiadainya, terj. Sutan Mahnun, jilid II. Jakarta: INIS, t.th. Tim penulis IAIN Syhid. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992. Tim Penyusun. Kamus BesarBahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. 18 Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 V. I. Braginsky. Yang Indah. Berfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu dari Abad 7-19. Jakarta: INIS, 1998. 19