BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MAKANAN ENTERAL
Pemberian makanan yang tepat pada pasien akan meningkatkan kualitas
hidup, mencegah malnutrisi serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Ditinjau dari teksturnya makanan dapat berupa makanan padat, lunak ataupun
cair. Sedangkan jalur pemberian makanan dapat melalui oral, enteral dan
parenteral (Almatsier 2005).
Pada kondisi tertentu kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi dalam bentuk
makanan padat bahkan kadang-kadang tidak dapat melalui jalur oral yaitu jalur
normal melalui mulut. Jika hal ini terjadi maka pemberian makanan enteral dapat
menjadi pilihan. Menurut Escot-Stump (1998) yang dimaksud makanan enteral
yaitu semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam tubuh lewat saluran cerna,
baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun selang melalui lubang
stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum (jejunostomi). Disamping
itu, dikenal pula makanan yang diberikan melalui parenteral yaitu pemberian
makanan melalui vena dalam bentuk cairan formula khusus (Almatsier 2005).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian nutrisi enteral ialah jalur
masuknya makanan, ukuran pipa makanan yang digunakan, volume formula yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasien, toleransi sistem saluran cerna dan
kondisi klinis pasien (Lukito et al. 2008).
Makanan enteral dapat diklasifikasikan berdasarkan penggunaan pada
situasi klinik yaitu makanan enteral standar yang digunakan untuk pasien dengan
fungsi saluran cerna yang normal dan makanan enteral spesifik yang digunakan
pada pasien dengan kondisi penyakit yang membutuhkan nutrisi khusus misalnya
kelainan ginjal, diabetes mellitus dan kondisi kritis (Lukito et al. 2008)
Berdasarkan formulanya makanan enteral juga dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis formula yaitu formula rumah sakit (FRS) dan formula
komersial (FK). Makanan enteral FRS, dibuat dari beberapa bahan pangan yang
diracik dan dibuat di rumah sakit dengan menggunakan blender. Konsistensi
larutan, kandungan zat-zat gizi, dan osmolaritas dapat berubah pada setiap
6
pembuatan dan rentan terhadap kontaminasi. Sedangkan makanan enteral FK,
berupa bubuk yang siap dicairkan atau berupa cairan yang dapat segera dipakai.
Nilai gizinya bermacam-macam sesuai kebutuhan; konsistensi dan osmolaritasnya
tetap; praktis menyiapkannya dan tidak mudah terkontaminasi (Simadibrata
2009).
Ditinjau dari jenis diet dan
bahan bakunya, Simadibrata (2009)
mengelompokan makanan enteral FRS menjadi: 1). Makanan cair tinggi energi
dan tinggi protein dengan bahan baku terdiri dari susu full cream, susu skim, susu
rendah laktosa, telur, glukosa, gula pasir, tepung beras, minyak kacang dan sari
buah; 2). Makanan cair rendah laktosa dengan bahan baku terdiri dari susu rendah
laktosa, telur, gula pasir, maizena dan minyak kacang; 3). Makanan cair tanpa
susu (bebas laktosa) dengan bahan baku terdiri dari telur, kacang hijau, wortel
jeruk, tepung beras dan gula pasir; dan 4). Makanan khusus untuk penyakit hati,
rendah protein untuk penyakit ginjal, rendah purin untuk penyakit gout dan diet
diabetes.
Berdasarkan konsistensinya, Almatsier (2005) mengelompokkan makanan
cair menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu makanan cair jernih, makanan cair penuh dan
makanan cair kental. Ada dua formula makanan cair penuh yaitu formula rumah
sakit (FRS) dan formula komersial (FK). Makanan cair penuh formula rumah
sakit terdiri dari: 1) Formula dengan susu full cream atau skim diperuntukkan bagi
pasien dengan gangguan lambung, usus halus tetapi kolon bekerja normal;
2) Makanan hasil blender bila pasien memerlukan tambahan makanan berserat;
3) Formula rendah laktosa untuk pasien yang tidak tahan terhadap laktosa (laktose
intolerance); dan 4) Formula tanpa susu untuk pasien yang tidak tahan protein
susu.
Mahan et. al (2012) mensyaratkan makanan enteral sebagai berikut:
1) Memiliki kepadatan kalori tinggi dengan kepadatan ideal yaitu 1 kcal/mL;
2) Kandungan nutrisinya seimbang yaitu memenuhi kebutuhan energi per hari dan
kebutuhan komponen gizi yang lain; 3) Osmolaritas makanan enteral sesuai
dengan osmolaritas cairan tubuh; 4) Komponen penyusun bahan baku makanan
enteral mudah diabsorpsi sehingga sedikit atau tanpa memerlukan pencernaan;
dan 5) Tanpa atau kurang mengandung serat maupun laktosa. Sedangkan
7
USFDA (1995) menetapkan batas maksimum mikroba aerobik dalam pangan
rumah sakit baik dalam bentuk cair maupun tepung yaitu 104 CFU/g dan Moffit
et al. (1997) menyatakan bahwa CFU/g makanan enteral equivalen ke CFU/mL.
B. PANGAN SIAP SAJI (PSS)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang
keamanan, mutu dan gizi pangan menyebutkan bahwa pangan siap saji adalah
makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan
di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan (BPOM 2004). Pada
umumnya, pengendalian mutu dan keamanan pangan siap saji meliputi empat
tahap, yaitu saat pembelian dan penerimaan bahan pangan; saat penyimpanan;
penyiapan dan pengolahan; dan penyajian pangan (Rahayu 2010 ).
Menurut Rahayu (2010) ada delapan prinsip penanganan pangan siap saji
yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan pangannya yaitu praktek
higiene karyawan yang ketat; pengendalian waktu dan suhu pengolahan;
memastikan bahan pangan segar disimpan terpisah dengan pangan siap konsumsi;
memastikan kebersihan dan sanitasi permukaan kerja yang kontak dengan pangan;
memasak hingga atau lebih besar dari suhu internal minimum pangan;
mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih dari 60 0C atau
suhu pangan dingin pada 5 0C atau lebih rendah; mendinginkan pangan matang
yang panas hingga 5 0C dalam waktu selambatnya 4 jam; memanaskan kembali
pangan untuk disajikan selama lebih dari 15 detik pada suhu internal 74 0C dalam
selang waktu dua jam.
C. KEAMANAN PANGAN
Definisi keamanan pangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun
2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia,
dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
manusia. Bahaya adalah suatu faktor yang keberadaannya pada bahan pangan
dapat menimbulkan masalah kesehatan konsumen yaitu meliputi bahaya biologis,
kimia atau fisik (BPOM 2004).
8
Bahaya biologis berasal dari benda hidup; umumnya mikroba, yang
keberadaannya pada bahan pangan menimbulkan masalah kesehatan konsumen.
Mikroba yang dimaksud adalah mikroba patogen yang dapat menyebabkan diare,
sakit perut, muntah sampai gagal ginjal dan dapat menyebabkan kematian
(Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011). Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi
bahaya biologis yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri
dari pH, kadar air, aktivitas air (aw), nutrien, senyawa anti mikroba, struktur
biologis dan lain-lain. Faktor ekstrinsik terdiri dari suhu, kelembaban, gas (karbon
dioksida, ozon, sulfur dioksida ) dan lain-lain (Winarno 2011b).
Bahaya kimia adalah segala bahan kimia yang bersifat racun; sehingga
mengancam kesehatan manusia. Bahaya kimia ini dapat berasal dari bahan pangan
sendiri, maupun berasal dari luar. Bahaya kimia yang berasal dari bahan itu dapat
berasal dari proses metabolisme bahan ataupun hasil metabolisme mikroba yang
berada pada bahan pangan tersebut. Sedangkan bahaya kimia yang berasal dari
luar, dapat digolongkan dalam bahan bahaya yang masuk secara sengaja
(intentionally) ataupun yang secara tidak sengaja ditambahkan (non-intentionally)
pada bahan pangan (Hariyadi & Dewanti- Hariyadi 2011).
Bahaya fisik bisa berupa fisik bahan pangan itu sendiri ataupun bahan fisik
lain yang keberadaannya dapat mengancam keselamatan konsumen. Bahaya fisik
benda asing dapat berupa pecahan atau patahan tulang, logam, kaca, batang kayu
yang dapat menyebabkan kesehatan atau kecelakaan bagi konsumen. Bahaya fisik
yang disebabkan oleh kondisi fisik bahan pangan itu sendiri, misalnya tekstur dan
ukuran produk (Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011).
D. GMP (Good Manufacturing Practices)
GMP adalah persyaratan minimum sanitasi dan pengolahan untuk menjamin
pangan yang diroduksinya aman dan bermutu. Tujuan dan perlunya menerapkan
GMP adalah untuk memberikan panduan tata cara khusus (Specific Codes) yang
diperlukan bagi setiap rantai pangan, proses pengolahan, atau penanganan
komoditi bahan pangan untuk mencegah terjadinya kesalahan dan meningkatkan
prinsip pelaksanaan persyaratan higiene yang spesifik bagi masing-masing bidang
tersebut (Winarno 2011a). Panduan tata cara khusus produksi pangan yang baik
dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor
9
75/M-IND/PER/7/2010 yaitu tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan
yang Baik (Good Manufacturing Practices). Ruang lingkup pedoman tersebut
meliputi lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi, mesin dan peralatan, bahan,
pengawasan proses, produk akhir, laboratorium, karyawan, pengemas, label dan
keterangan
produk,
penyimpanan,
pemeliharaan
dan
program
sanitasi,
pengangkutan, dokumen dan catatan, pelatihan, penarikan produk dan
pelaksanaan pedoman (Kementerian Perindustrian 2010).
Cara produksi pangan yang baik untuk pangan siap saji menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu
dan Gizi Pangan yaitu cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan
pangan, antara lain dengan cara mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan; mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik
patogen, serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan mengendalikan proses
antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan,
pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan serta cara penyajian
(BPOM 2004).
Pedoman cara produksi pangan siap saji yang baik tersebut dituangkan
dalam
Peraturan
Menteri
1096/MenKes/PER/VI/2011
Kesehatan
tentang
Higiene
Republik
Sanitasi
Indonesia
Nomor
Jasaboga.
Menurut
peraturan tersebut jasaboga adalah usaha pengelolaan makanan yang disajikan di
luar tempat usaha atas dasar pesanan yang dilakukan oleh perseorangan atau
badan usaha. Pengelolaan makanan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi
penerimaan bahan makanan mentah atau terolah, pembuatan, pengubahan bentuk,
pengemasan, pewadahan, pengangkutan dan penyajian (Kementerian Kesehatan
2011).
Peraturan tersebut menggolongkan jasaboga kedalam tiga kelompok yaitu
golongan A, B dan C. Jasaboga golongan A merupakan jasaboga yang melayani
kebutuhan masyarakat umum, golongan B melayani kebutuhan masyarakat dalam
kondisi tertentu dan golongan C melayani kebutuhan masyarakat di dalam alat
angkut umum internasional dan pesawat udara (Kementerian Kesehatan 2011).
10
Pelayanan jasaboga golongan B meliputi a) asrama haji, asrama transito atau
asrama lainnya, b) industri, pabrik, pengeboran lepas pantai, c) angkutan umum
dalam negeri selain pesawat udara dan d) fasilitas pelayanan kesehatan. Jasaboga
golongan ini akan mendapatkan sertifikat kelaikan fisik higiene sanitasi antara
lain bila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan minimal 90,2 % dan hasil
pemeriksaan laboratorium terhadap pangan yang dihasilkan menunjukkan
cemaran kimia pada makanan negatif; bakteri E.coli 0/gram contoh; dan tidak
dijumpai adanya mikroba patogen pada penjamah makanan yang diperiksa dengan
cara usap dubur/rectal swab (Kementerian Kesehatan 2011).
Makanan enteral FRS diproduksi oleh unit penyelenggara makanan pada
pelayanan kesehatan. Oleh karena itu pedoman cara produksi makanan enteral
FRS yang baik mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor:
1096/MenKes/PER/VI/2011
tentang
Higiene
Sanitasi
Jasaboga
khususnya untuk jasaboga golongan B. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan
teknis higiene dan sanitasi, cara pengolahan makanan yang baik dan kursus
higiene
sanitasi
makanan
bagi
pengusaha/pemilik/penanggungjawab
dan
penjamah makanan yang bekerja di jasaboga. Persyaratan tersebut terdiri dari
beberapa parameter. Parameter yang dimaksud tercantum pada Lampiran 1 yaitu
uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga (Kementerian
Kesehatan 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Oliveira et. al (2000) menyebutkan bahwa
blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan enteral menjadi
penyebab utama terjadinya kontaminasi. Oleh karena itu disarankan pencucian
blender dilakukan dengan cara membongkar peralatan dan diikuti dengan sanitasi
menggunakan disinfektan, setiap kali selesai proses. Sumber kontaminasi yang
lain yaitu higiene karyawan, wadah makanan enteral, air atau lingkungan.
Oliveira et al. (2001) juga menyebutkan bahwa hasil penelitian yang
dilakukan terhadap penerapan HACCP makanan enteral di rumah sakit
menemukan bahwa rata-rata suhu lemari pendingin yang dipergunakan untuk
menyimpan makanan enteral siap konsumsi menunjukkan suhu diatas yang
disarankan, yaitu di atas 7 0C. Menurut Jay et al. (2005) bahwa suhu untuk
penyimpanan dingin idealnya adalah 4,4 0C atau diantara 0 dan 7 0C. Hasil
11
penelitian itu juga menyarankan agar sistem distribusi makanan enteral ke pasien
dilakukan dengan sistem sentralisasi. Ruang pengolahan dibagi menjadi dua
dengan jendela sebagai penghubungnya. Ruang pertama dipergunakan untuk
membersihkan dan mensanitasi peralatan dan ruang kedua hanya untuk
mempersiapkan dan memblender makanan enteral (Oliveira et al. 2001).
Download