tinjauan tentang dasar hukum transaksi elektronik di indonesia

advertisement
63
Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19, Oktober 2010: 63 - 76
ISSN 1412 - 0887
TINJAUAN TENTANG DASAR HUKUM TRANSAKSI
ELEKTRONIK DI INDONESIA
M. Yusron, MZ SH., MH1
ABSTRAK
Transaksi elektronik diatur dalam KUHPerdata yang menagnut asas kebebasan
berkontrak. Di samping itu, harus memenuhi syarah sah kontrak sebagaimna yang
tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian itu sendiri terjadi pada saat
kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan.
Mengingat sifat transaksi elektronik, maka harus ada itikad baik dalam pelaksanaan
kontrak. Hal tersebut juga berpotensi untuk menimbulkan sengketa. Upaya hukum
penyelesaian sengketa tentang transaksi elektronik didasarkan atas kesepakatan kedua
belah pihak mengenai pilihan hukum dan lembaga yang menyelesaikan permasalahan
yang terjadi baik itu litigasi maupun non litigasi.
Kata Kunci: Transaksi Elektronik, Perjanjian, Litigasi dan Non Litigasi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi di berbagai bidang khususnya bidang informatika
memudahkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain khususnya dalam
hubungan hukum antara para pihak tersebut. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi melahirkan berbagai dampak baik dampak positif maupun dampak yang
negatif. Salah satu hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini antara lain
adalah teknologi dunia maya yang dikenal dengan istilah internet.
Kegiatan bisnis perdagangan melalui internet yang dikenal dengan istilah
Electronic Commerce yaitu suatu kegiatan yang banyak dilakukan oleh setiap orang,
karena transaksi jual beli secara elektronik ini dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu sehingga seseorang dapat melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang
dimanapun dan kapanpun. Hubungan hukum menggunakan sarana informatika
dilakukan dalam bentuk transaksi elektronik yang diatur dalam Undang-undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat
UUITE).
Transaksi elektronik menurut Pasal 1 angka 2 UU ITE adalah “perbuatan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media
elektronik lainnya”. Transaksi yang berarti adanya suatu hubungan hukum yaitu
hubungan yang menimbulkan akibat hukum antara dua pihak atau lebih yang dilakukan
dengan menggunakan sarana komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
64
lainnya. Transaksi tersebut menggunakan sarana komputer, jaringan komputer dan atau
media elektronik. Komputer yaitu alat untuk memproses data elektronik, magnetik,
optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan”.
Transaksi diartikan sebagai persetujuan jual beli yang menggunakan sarana
elektronika berupa komputer, karena sebagaimana Pasal 17 ayat (1) UUITE, bahwa
“Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun
privat..”. Dalam lingkup hukum privat hubungan para pihak didasarkan atas perjanjian,
sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Sifat terbuka dari KUH Perdata
ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas
Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk,
macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan
syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Di atas telah disinggung bahwa transaksi secara elektronik ini lingkupnya secara
nasional maupun internasional. Transaksi elektronik yang mendasarkan tikad baik para
pihak, nampaknya banyak para pengusaha asing yang masih meragukan itikad baik
orang-orang Indonesia, sehingga perlu adanya suatu tatanan hukum yang jelas mengatur
mengenai transaksi elektronik.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di Indonesia?
2. Bagaimana upaya hukum penyelesaian sengketa tentang transaksi elektronik ?
Metode Penulisan
1. Pendekatan Masalah
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif
maksudnya pembahasan permasalahan yang ada kemudian disinkronkan dengan
peraturan perundang-undangan tentang transaksi secara elektronik, dan dikaji
dengan literatur yang ada. Hal ini didasarkan karena penelitian ini bersifat yuridis
normatif, dengan pendekatan melalui perundang-undangan.
2. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang merupakan dasar yang digunakan untuk mengkaji
permasalahan, yang bersifat mengikat, dalam hal ini adalah :
1) Undang-Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang digunakan untuk menjelaskan bahan
hukum primer, seperti buku literatur maupun artikel - artikel yang berkaitan
dengan pokok permasalahan.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum yang memberikan penjelasan maupun memberikan petunjuk
mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
65
PEMBAHASAN
A. PENGATURAN HUKUM TENTANG
INDONESIA
TRANSAKSI ELEKTRONIK DI
1. Transaksi Elektronik
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UUITE bahwa transaksi
elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Transaksi menggunakan sartana
elektronik dapat dilakukan dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat sesuai
dengan Pasal 17 ayat (1) UUITE. Pada pembahasan berikutnya materinya dibatasi
transaksi elektronik dalam lingkup hukum privat. Di dalam transaksi elektronik antara
pihak-pihak hanya mengandalkan itikad baik, karena memang transaksi elektronik
dikenal di dunia maya yang tidak saling mempertemukan antara pihak-pihak yang
bertransaksi sesuai dengan Pasal 17 ayat (2) UUITE yang menentukan bahwa para
pihak yang melakukan Transaksi Elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan
interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
selama transaksi berlangsung.
Jual beli adalah perjanjian, yang berarti perjanjian sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 1313 KUH Perdata adalah "suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Subekti mengartikan
perjanjian adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".2
Perjanjian jual beli agar mempunyai kekuatan mengikat terhadap kedua belah
pihak, maka harus dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya
perjanjian yang dimaksud adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH
Perdata.
Perkataan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya” sebagaimana Pasal 1338 KUH Perdata di atas,
mengandung maksud bahwa buku III KUH Perdata menganut asas kebebasan
berkontrak, maksudnya bahwa: “Setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja,
walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Walaupun berlaku asas ini,
kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”.3
Perjanjian jika dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian
tersebut mengikat kedua belah pihak sejak tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal
yang pokok, demikian halnya dengan perjanjian jual beli sesuai dengan ketentuan Pasal
1458 KUH Perdata. Dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya sengketa
akibat peralihan hak atas tanah, peralihan hak atas tanah perlu dibuat dalam bentuk
perjanjian. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 1338 alinea pertama KUH Perdata.
Hal tersebut di atas berarti bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus
didasarkan atas kemauan yang bebas sebagai perwujudan dari asas kebebasan
2
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h. 1.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,, h. 84.
3
66
berkontrak. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi
ruang lingkup sebagai berikut:4
a. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c. kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan
dibuatnya;
d. kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;
e. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f. kebebasan untuk menerimas atau menyimpangi ketentyuan undang-undang yang
bersifat opsional.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
dalam transaksi elektronik khususnya hukum privat dasar yang digunakan adalah
aturan-aturan dalam KUH Perdata terutama Buku III tentang Perikatan. Pada perikatan
ini menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya pihak-pihak diberi kebebasan
dalam membuat perjanjian atau transaksi asalkan tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum maupun kesusilaan.
2. Bukti Dalam Transaksi Elektronik
Membahas mengenai transaksi elektronik tidak lepas dari membahas mengenai
alat bukti, karena dalam transaksi elektronik belum secara keseluruhannya dapat
digunakan sebagai alat bukti sah terjadinya hubungan hukum para pihak.
Perihal alat bukti sah, diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata, yang menentukan
sebagai berikut:
Alat pembuktian meliputi:
a. bukti tertulis;
b. bukti saksi;
c. persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.
Akta menurut Pitlo yaitu “surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai
sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu
dibuat”.5 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah “surat yang diberi tandatangan,
yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 6 Dengan demikian akta
merupakan surat, yang ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa perbuatan hukum
4
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, 1993, h. 47.
5
Pitlo (Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, 1986, h. 52.
6
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1979, h. 106.
67
dan digunakan sebagai pembuktian. Bagi Subekti, akta berlainan dengan surat, dengan
menjelaskan bahwa kata-kata akta bukan berarti surat, melainkan harus diartikan
dengan perbuatan hukum, berasal dari kata “acta” yang dalam bahasa Perancis berarti
“perbuatan”.7 Tanda tangan dalam suatu akta merupakan suatu hal yang mutlak, karena
dalam KUH Perdata, diakui surat yang bertanda tangan, sedangkan surat yang tidak
bertanda tangan, tidak diakui, karena tidak dapat diketahui siapa penulisnya. Pentingnya
ada/keberadaan tanda tangan oleh karena dengan adanya tanda tangan berarti orang
yang menanda tangani mengetahui isi dari akta tersebut, sehingga dengan demikian
orang tersebut terikat dengan isi dari akta tersebut.8 Hal ini berarti bahwa yang
dimaksud dengan akta adalah:
1) perbuatan handeling/perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian yang
luas, dan
2) suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan
hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian sesuatu.9
Dengan demikian fungsi akta bagi pihak-pihak adalah:
1) syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum,
2) alat pembuktian, dan
3) alat pembuktian satu-satunya.10
Akta termasuk sebagai salah satu bukti tertulis, yang dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu:
1. surat yang berbentuk akta;
2. surat-surat lain, uang bukan berbentuk akta.11
Apa yang dikemukakan oleh Subekti di atas dalam memberikan pengertian akta
lebih menonjolkan pada isi akta, yaitu berisikan perbuatan hukum yang dibuat oleh
pihak-pihak. Perbuatan hukum tersebut diwujudkan dalam suatu tulisan-tulisan yang
digunakan sebagai bukti telah terjadinya suatu ikatan. Oleh karena berisikan suatu
perbuatan hukum antara para pihak dan digunakan sebagai bukti, maka surat meskipun
dibuat dalam bentuk tertulis, namun karena tidak berisikan adanya perbuatan hukum,
maka tulisan tersebut tidak dapat disebut sebagai akta, tetapi hanya surat biasa.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya surat dapat disebut sebagai
akta, adalah sebagai berikut:
1) surat itu harus ditandatangani;
2) surat itu harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau
perikatan, dan
3) surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti. 12
7
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980, h. 29.
http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/message/1736. Jusuf Patrianto Tjahjono,
Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian yang Sempurna,
Diakses tanggal 25 September 2010.
9
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta Dalam Pembuktian
dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1993, h. 26.
10
Pitlo, Op. cit., h. 54.
11
Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta Notaris
Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober, 1989, h. 271.
8
68
Surat itu harus ditandatangani, dimaksudkan untuk mengetahui pihak-pihak
yang melakukan perbuatan hukum yang tandatangannya dibubuhkan dalam surat
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pihak yang membubuhkan
tandatangan tersebut mempunyai kekuasaan untuk itu, yang sejalan dengan ketentuan
Pasal 1869 KUH Perdata, ditentukan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau
tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena cacat dalam bentuknya, tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai
tulisan di bawah tangan jika surat tersebut ditandatangani oleh para pihak. Jadi jika
suatu akta tersebut adalah akta, namun karena sesuatu hal, misalnya cacat bentuk atau
sebab lain yang berakibat cacatnya akta, maka meskipun akta tersebut otentik otomatis
menjadi akta di bawah tangan bagi pihak-pihak yang menanda tangani akta tersebut.13
Dijelaskan lebih lanjut oleh Victor M. Situmorang, bahwa suatu surat dapat disebut
sebagai akta harus ditanda tangani, sehingga jika tidak ditandatangani oleh pembuatnya,
maka surat itu bukan merupakan akta.14 Hal ini sesuai pula dengan pendapat Hamzah,
bahwa pembubuhan tanda tangan terhadap sebuah akta merupakan suatu kewajiban atau
keharusan yang mutlak, oleh karena di samping tanda tangan tersebut yang dapat
membedakannya dengan surat-surat dalam bentuk di luar akta, seperti halnya karcis
kereta api, resi dan sebagainya, juga untuk memberikan ciri atas pembuat akta yang
dimaksud. 15 Penandatanganan pada surat tersebut dengan tujuan untuk memberi ciri
atau untuk mengindividualisasi sebuah akta, sebab tandatangan dari setiap orang
mempunyai ciri tersendiri yang tidak mungkin sama dengan tandatangan orang lain.
Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hal atas perikatan,
maksudnya bahwa surat itu harus berisikan sesuatu keterangan yang dapat menjadi
bukti yang dibutuhkan oleh para pihak yang menandatanganinya. Mengenai maksud
pencantuman peristiwa hukum yang termuat dalam surat tersebut haruslah merupakan
peristiwa hukum yang menjadi dasar adanya perikatan. Oleh karena itu jika dalam surat
tersebut tidak termuat dasar perikatan, maka tidak dapat disebut sebagai akta, sebab itu
tidak mungkin digunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perikatan.
Surat itu diperuntukkan sebagai bukti, maksudnya bahwa surat tersebut harus
digunakan sebagai bukti jika dipersengketakan di depan pengadilan, sehingga jika
tulisan atau akta tersebut dibuat tidak digunakan sebagai bukti, maka surat tersebut tidak
dapat disebut sebagai akta.
Surat digunakan sebagai alat bukti hak, yang dimaksud adalah bahwa setiap
orang yang merasa haknya dilanggar, maka yang bersangkutan harus dapat
membuktikan bahwa memang haknya dilanggar. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
1865 KUH Perdata, bahwa “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai
sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut”.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
dasar hukum dibuatnya suatu akta adalah kesepakatan antara pihak-pihak yang
membuatnya dan dijadikan bukti dipersidangan jika disengketakan (Pasal 1866 KUH
Perdata) yang diwujudkan dalam bentuk tanda tangan sebagai tanda sepakat mengenai
12
Victor M. Situmorang, op. cit., h. 26-28.
Ibid.
14
Ibid.
15
Hamzah, Loc. Cit.
13
69
hubungan hukum kedua belah pihak. Sebagai bukti maksudnya bukti antara pihak-pihak
tersebut telah sepakat dalam suatu perbuatan hukum dengan ditandatanganinya suatu
akta tersebut.
B. UPAYA HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA TENTANG TRANSAKSI
ELEKTRONIK
1. Kerugian Yang Timbul Dalam Transaksi Elektronik
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 ayat (1) UUITE bahwa
“Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para
pihak”, yang berarti bahwa apabila salah satu pihak tidak memenuhi kesepakatan yang
terjadi dalam transaksi elektronik tersebut yang berakibat timbulnya kerugian, maka
pihak yang dirugikan akibat transaksi elektronik berhak untuk mengajukan gugatan
ganti kerugian.
Perihal gugatan ganti kerugian pada umumnya terjadi karena adanya ingkar janji
atau wanprestasi dan karena adanya perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige
daad. Gugatan ganti rugi atas dasar “wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban
yang telah ditetapkan dalam perikatan”.16 Gugatan atas dasar wanprestasi diawali
dengan tidak dipenuhinya suatu kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian. Ganti rugi
yang didasarkan atas suatu perjanjian, di mana salah satu pihak tidak memenuhi
kewajiban yang didasarkan atas perjanjian dapat dikatakan ingkar janji atau wanprestasi
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak
mengikat pada saat kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok
yang dijanjikan. Dengan tercapainya kata sepakat maka untuk tahap berikutnya yaitu
pelaksanaan perjanjian tersebut.
Pelaksanaan perjanjian merupakan hakikat dari perjanjian itu sendiri,
maksudnya bahwa setiap perjanjian dibuat tentunya mempunyai maksud tertentu untuk
dilaksanakannya. Mengenai pelaksanaan perjanjian ini, Riduan Syahrani
mengemukakan: “Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya
apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh karena itu
melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu untuk kepentingan orang lain”.17
Pelaksanaan perjanjian, timbul pada saat perjanjian tersebut mengikat kedua
belah pihak, yaitu sejak saat tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok
antara kedua belah pihak yang disebut dengan konsensus..18 Dengan tercapainya kata
sepakat, maka menimbulkan suatu kewajiban secara timbal balik yang disebut juga
dengan prestasi. Prestasi diartikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai “kewajiban
yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan”.19
Prestasi merupakan kewajiban, yang berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh
para pihak yang membuat perjanjian sebagai pelaksanaan dari perjanjian tersebut.
Kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUH Perdata yang
16
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., h. 20.
Riduan Syahrani, Op. cit., h. 257.
18
Subekti, Op. cit., h. 23.
19
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., h. 17.
17
70
menentukan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Hal ini berarti bahwa wujud prestasi
dalam suatu perjanjian adalah untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu. Dalam hubungannya asuransi bentuk prestasinya berupa berbuat
sesuatu, yaitu melakukan perbuatan yang tidak sesuai yang telah diperjanjikan bersama.
Di atas telah disebutkan bahwa salah satu unsur wanprestasi adalah berakibat
merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yahya Harahap
sebagai berikut: “Jika wanprestasi itu benar-benar menimbulkan kerugian kepada
kreditur, maka debitur wajib mengganti kerugian yang timbul. Namun untuk itu harus
ada hubungan sebab akibat atau kausal verband antara wanprestasi dengan kerugian.20
Dengan demikian seseorang yang wanprestasi memberikan hak kepada pihak
lain yang dirugikannya untuk menggugat ganti kerugian. Mengenai bentuk ganti
kerugian, Pasal 1246 KUH Perdata menentukan bahwa “Biaya, rugi dan bunga yang
oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas
rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya,…”.
Gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum, diawali pada
mulanya perbuatan melawan hukum hanya ditujukan pada perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku saja. Namun setelah tahun 1919,
yang dipelopori oleh Pengadilan Tertinggi di Negeri Belanda (putusan Hoge Raad
tanggal 31 Januari 1919). Istilah “onrechtmatige daad“ ditafsirkan secara luas, sehingga
meliputi pula suatu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang
dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat.
1.
2.
3.
4.
Berdasarkan Arrest Hoge Raad 1919, suatu perbuatan melawan hukum, jika :
melanggar hak orang lain;
bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku;
bertentangan dengan kesusilaan;
bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu-lintas masyarakat
terhadap diri atau barang orang lain.
Gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melanggar hukum diatur dalam Pasal
1365 KUH Perdata, yang menentukan: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”. Pasal 1365 KUH Perdata
tersebut, di dalamnya terkandung unsur-unsur :
a. Perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad);
b. Harus ada kesalahan;
c. Harus ada kerugian yang ditimbulkan;
d. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. 21
Apabila memperhatikan uraian di atas menunjukkan bahwa pelaku usaha jika
melakukan perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur pasal 1365 KUH Perdata,
maka dapat dimintakan pertanggungjawaban berupa ganti rugi. Perihal ganti rugi dalam
perbuatan melanggar hukum, menurut yurisprudensi “kerugian yang timbul karena
20
21
Yahya Harahap, Op. cit., h. 65.
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., h. 142.
71
perbuatan melanggar hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan kerugian yang
timbul karena wanprestasi dalam perjanjian. Ketentuan tersebut diperlakukan secara
analogi”22. Kerugian atas dasar wanprestasi bentuknya berupa biaya, rugi dan bunga
sesuai dengan pasal 1246 KUH Perdata, sebagaimana yang telah dikutip di atas.
2. Penyelesaian Sengketa yang Timbul Dalam Transaksi Elektronik
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (2), (3), (4) dan ayat (5) UU ITE
menentukan sebagai berikut:
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi
Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik
internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang
menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin
timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional
Memperhatikan uraian sebagaimana pasal 18 UUITE di atas dapat dijelaskan
bahwa jika dalam transaksi elektronik timbul suatu sengketa maka instansi yang
menyelesaikannya tergantung pada keinginan para pihak, di mana para pihak memiliki
kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya, apabila para pihak tidak melakukan pilihan hukum maka,
hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum telah mengetahui yaitu
memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit, sehingga penyelesaian
sengketa alternatif banyak menjadi pilihan di antaranya melalui arbitrase, sehingga
dalam pembahasan berikutnya materi penyelesaian secara arbitrase.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999). Perihal arbitrase,
terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi perjanjian arbitrase, di antaranya:
a. perjanjian arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;
b. perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
c. perjanjian perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk
menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.
Penyelesaian perkara perdata melalui lembaga peradilan tidak cukup hanya pada
lembaga peradilan dalam arti Pengadilan Negeri saja, karena jika dengan putusan
peradilan tingkat pertama tersebut terdapat pihak yang merasa dirugikan, dapat
22
Abdulkadir Muhammad, op. Cit., h. 146.
72
mengajukan upaya hukum pada peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding pada
Pengadilan Tinggi. Jika putusan Pengadilan Tinggi tersebut mengakibatkan salah satu
pihak merasa keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi
pada Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah satu pihak merasa keberatan
terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Pada kondisi yang demikian
tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan memerlukan waktu yang cukup lama,
tentunya juga menyangkut masalah biaya dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama, bahwa para pedagang pada
umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Keadaan ini dirasakan di
semua negara. Tetapi lebih-lebih lagi dalam keadaan sistem peradilan di negara kita. Di
Indonesia sekarang ini bisa rata-rata berlangsung tidak kurang dari 8-9 tahun. Tentunya
banyak biaya yang harus dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan
kekuatan pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan melalui eksekusi. 23
Penyelesaian melalui jalur lembaga peradilan, selain memakan waktu cukup
lama yang dilanjutkan dengan banyaknya tenaga dan biaya yang dikeluarkan oleh
pihak-pihak berperkara. Penyelesaian melalui jalur hukum, pada prinsipnya yang
digunakan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan adalah hukum nasional
negara Indonesia. Kondisi yang demikian tentunya kurang menguntungkan bagi pihakpihak yang bersengeka di mana salah satu pihaknya adalah dari negara asing. Inilah
yang merupakan salah satu kendala yang muncul dalam kaitannya dengan dunia
perdagangan, karena menurutnya kurang adanya perlindungan dan kepastian hukum
khususnya bagi negara yang sedang berkembang sebagaimana di Indonesia.
Dengan kondisi sebagaimana di atas, penyelesaian melalui lembaga arbitrase
mempunyai kelebihan-kelebihan jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur
peradilan umum. Kelebihan tersebut di antaranya adalah:
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduran dan
administrasi;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempu-nyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup menge-nai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun lang-sung dapat
dilaksanakan.24
Arbitrase merupakan salah satu alternatif diantara sekian banyak alternatif forum
penyelesaiann sengketa dagang. Arbitrase termasuk dalam model penyelesaian sengketa
yang bersifat non ligitigasi (out of court dispute settlement). Selain arbitrase, terdapat
pula berbagai alternatif penyelesaian sengketa dagang secara non litigasi, antara lain
meliputi: negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain sebagainya. Di antara berbagai model
penyelesaian sengketa non litigasi tersebut, maka arbitrase yang memiliki ciri
23
Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, (selanjutnya disingkat
Sudargo Gautama 1), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 2-3.
24
Periksa Penjelasan UU No. 30 Tahun 1999.
73
tersendiri yang tergolong unik. Di satu pihak, arbitrase termasuk sebagai model non
litigasi, oleh karena menyangkut penyelesaian sengketa dagang di luar lembaga
peradilan atas dasar kesukarelaan para pihak. Para pihak yang bersengketa memiliki
otonomi luas (party autonomie) dalam dan menentukan forum, aturan, prosedur,
arbitrase, dan lain sebagainya yang dianggap sesuai dengan kehendak bersama para
pihak. Termasuk adanya prinsip “private and confidential” yang merupakan ciri yang
paling litigasi. Dipihak lain, putusan yang telah dihasilkan melalui proses arbitrase
bersifat final dan mengikat (final and binding) sehingga putusannya dimungkinkan
untuk dilaksanakan sebagaimana layaknya sebagai putusan lembaga peradilan
(enforceable). Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat memberikan
penyelesaian sengketa dagang yang efektif dan efisien kepada pihak yang bersengketa.
Selain dari pada itu, dengan dimungkinkannya pelaksanaan putusan arbitrase melalui
lembaga peradilan memberikan efek kepastian hukum kepada pihak yang bersengketa.
Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa hakekat perjanjian
arbitrase ialah untuk menyelesaikan suatu permasalahan hubungan keperdataan yang
diusahakan di luar sidang pengadilan (non litigasi). Penyelesaian di luar peradilan
umum tersebut untuk menghindari penyelesaian yang memakan waktu, biaya dan
tenaga dan lebih utama adalah dengan penyelesaian secara arbitrase dijamin kerahasiaan
sengketa para pihak.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di Indonesia khususnya liungkup
hukum privat didasarkan atas ketentuan dalam Buku III KUH Perdata tentang
Perikatan yang menganut asas terbuka atau kebebasan berkontrak, maksudnya
memberikan kebebasan kepada pihak-pihak dalam membuat perjanjian asalkan ada
kata sepakat, cakap bertindak dalam hukum, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal. Dalam transaksi elektronik dituntut adanya itikad baik para pihak yang
membuat perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Perjanjian itu sendiri terjadi pada saat kedua belah pihak mencapai kata sepakat
mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan.
2. Upaya hukum penyelesaian sengketa tentang transaksi elektronik didasarkan atas
kesepakatan kedua belah pihak mengenai pilihan hukum dan lembaga yang
menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Sebagaimana umumnya bahwa
perselisihan dalam transaksi terjadi karena adanya kerugian yang diderita oleh salah
satu pihak baik karena adanya wanprestasi maupun karena adanya perbuatan
melanggar hukum. Penyelesaian melalui lembaga peradilan umum selalu dihindari,
karena memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Penyelesaian lebih
dipilih melalui mengginakan arbitrase dengan berbagai keistimewaannya salah satu
di antaranya tidak memakan waktu, biaya dan tenaga bila dibandingkan dengan
penyelesaian melalui peradilan umum.
2. Saran
1. Pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di Indonesia, agar dunia
internasional percaya dalam bertransaksi elektronik dengan orang atau pengusaha
74
Indonesia, untuk itu perlu dipertegas mengenai aturan hukum yang menjadi dasar
transaksi elektronik di Indonesia.
2. Upaya hukum penyelesaian sengketa tentang transaksi elektronik lebih memilih
melalui lembaga arbitrase, untuk itu agar hukum Indonesia yang dipilih dan lembaga
arbitrase Indonesia yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa, hendaknya dalam
memutus perkara keadilan perlu mendapat perhatian.
75
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku - buku
Gautama, Sudargo, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999.
Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta Notaris
Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober, 1989.
Khairandy, Ridwan, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Ghama Media,
Yogyakarta, 1999.
Kusumawati, Lanny, Hukum Kontrak (Versi Common Law), Laros, Sidoarjo.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1979.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Mulyadi, Kartini, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003.
Pitlo (Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, 1986.
Prodjodikor,oWirjono, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung, 1991.
Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta Dalam Pembuktian
dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1993.
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir
Indonesia, Jakarta, 1993.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004.
Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:Alumni,
1992.
Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
1989.
Vollmar, Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Recht, Terjemahan
Adiwimarta, Gajahmada, Yogyakarta, 1962.
76
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
C. Situs Internet
http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/message/1736,
Akta
Notaris
Sebagai Alat Bukti Tertulis yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian yang
Sempurna, Tanggal 25 September 2010.
http://khotibwriteinc.blogspot.com,
Tanggal 25 September 2010.
Penyelesaian
Sengketa
melalui
Arbitrase,
Download