1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kanker merupakan suatu penyakit dimana pembelahan sel tidak terkendali
dan akan mengganggu sel sehat disekitarnya. Jika tidak dibunuh, kanker dapat
menyebar ke bagian tubuh lain atau mengalami metase (Gabriel, 1996).
Berdasarkan data dari WHO, penyakit ini merupakan penyakit penyebab kematian
kedua setelah cardiovascular. Jumlah kasus penderita kankerpun semakin tinggi
tiap tahunnya (Jemal et al., 2011).
Menurut Global Cancer Statistics pada tahun 2008, di negara berkembang,
dari 12,7 juta kasus kanker, kasus meninggal dunia mencapai angka 7,6 juta jiwa
(Jemal et al., 2011). Karena itulah, teknologi untuk pengobatan penyakit ini perlu
berkembang. Beberapa teknologi yang dikembangkan dalam upaya penanganan
penyakit tersebut diantaranya adalah pembedahan, kemoterapi, radioterapi dan
brakhiterapi.
Pembedahan merupakan upaya standar yang dilakukan dalam rangka
pengangkatan kanker. Dengan pembedahan, kanker dapat diambil dari tubuh,
namun terdapat kemungkinan pengangkatan kanker yang tidak tuntas sehingga
kanker akan tumbuh kembali. Hal ini dimungkinkan terjadi pada kanker stadium
lanjut, dimana akar dari kanker mungkin saja tertinggal dan akan kembali
berkembang. Sedangkan dengan radioterapi, pengobatan dilakukan dengan
memanfaatkan radiasi gamma. Pengobatan ini dapat dilakukan baik secara
internal (brachytherapy) maupun eksternal (teletherapy). Pengobatan dengan
radioterapi ini dapat membuat ukuran kanker menyusut dan kemudian mati
(Gabriel, 1996). Namun resiko kerusakan jaringan sehat di sekitar sel kanker
cukup tinggi karena daya tembus dan jangkauan sinar gamma yang cukup tinggi.
Bukan hanya dapat menembus tulang, partikel gamma bahkan mampu menembus
beton (Alwan, 2011) dan (Davey, 2005). Selain itu, terdapat pengobatan yang
dilakukan dengan memasukan zat kimia atau obat tertentu ke tubuh pasien
1
2
(kemoterapi). Pengobatan ini mampu menghambat atau bahkan membunuh sel
kanker, namun juga menyebabkan efek samping yang cukup menyiksa pasien,
diantaranya adalah mual, muntah dan kerontokan rambut (Sardjono, 2014).
Dengan berbagai kelemahan teknologi pengobatan kanker yang dipaparkan
sebelumnya, para peneliti selanjutnya memperkenalkan teknologi baru yang
diharapkan memiliki efek biologi yang lebih kecil terhadap sel sehat di sekitar
kanker. Teknologi baru yang sedang dikembangkan untuk pengobatan kanker
dengan memanfaatkan reaksi tangkapan neutron atau lebih dikenal dengan nama
Neutron Capture Therapy (NCT). NCT merupakan teknologi yang dirancang
dengan memanfaatkan radiasi partikel berat bermuatan dengan target selektif pada
tingkat sel. Konsep NCT ini pertama kali diusulkan oleh Chadwick pada tahun
1932 dan disusul dengan penemuan Goldhaber pada tahun 1934 tentang besarnya
tampang-lintang serapan neutron termal oleh isotop boron-10 (10B). Dengan
penemuan tersebut, pada tahun 1936 Gordon Locher mengemukakan prinsip
Boron Neutron Capture Therapy (BNCT). Locher menyatakan bahwa
10
B dapat
dikonsentrasikan secara selektif pada kanker dan ketika diiradiasi dengan neutron
termal maka dosis radiasi pada kanker jauh lebih tinggi dari pada jaringan sehat di
sekitarnya (IAEA, 2001)
Prinsip BNCT adalah reaksi tangkapan neutron oleh inti boron-10 (10B)
yang selanjutnya menghasilkan partikel α dan inti lithium-7 (7Li). Interaksi ini
dapat dituliskan dalam reaksi 10B(n,α)7Li (Tahara et al, 2006). Pengobatan dengan
BNCT dilakukan dengan menginjeksikan isotop non- radioaktif
10
B ke dalam
tubuh melalui obat, kemudian diiradiasi dengan berkas neutron. Reaksi ini
menghasilkan partikel α dan juga inti Li yang memiliki Linear Energy Transfer
(LET) masing- masing 150 keV/µm dan 175 keV/µm, lebih tinggi jika
dibandingkan dengan partikel gamma dengan LET 38 keV/µm (Sauerwein et al.,
2012). Selain itu, jangkauan partikel α dan Li sebesar (8-10) µm dan (4,5-5) µm.
Lebih pendek dibanding sel tunggal penyusun tubuh yang berdiameter 12- 13 µm.
Dengan fakta inilah, BNCT diharapkan dapat mengurangi risiko kerusakan sel
sehat di sekitar sel kanker karena radiasi yang dihasilkan hanya berada di daerah
sel kanker (Schmitz et al., 2010) dan (IAEA, 2001).
3
BNCT awalnya dikembangkan untuk pengobatan kanker otak, terutama
glioblastoma multiformis (GBM). Penyakit ini menyebabkan kematian dalam
waktu yang sangat singkat setelah diagnosis, terlepas dari semua perawatan medis
yang berlaku. Pada pasien dewasa, rata-rata pasien hanya dapat bertahan 10
hingga 14 bulan jika ditangani dengan kemoterapi (Rulsseh et al., 2012). Pada
tahun 2008 kasus GBM di dunia mencapai 238.000 kasus dengan angka kematian
mencapai 175.000 (Ferlay, 2008).
BNCT lebih efektif untuk penanganan kanker otak karena pembedahan otak
sangat sulit dan beresiko, sehingga upaya pembedahan dan brachytherapy hampir
tidak mungkin dilakukan. Selain itu, kanker otak memiliki kecenderungan untuk
menyerap
10
B lebih besar daripada sel sehat (Wagner, 2012). Dengan demikian,
senyawa 10B hanya terkumpul di sel kanker.
Dibandingkan dengan terapi kanker dengan kemoterapi, terapi BNCT
memiliki beberapa kelebihan:
1) Pada rentang dosis tertentu senyawa 10B tidak bersifat toksik pada tubuh, tidak
menimbulkan rasa mual
2) Bersifat selective targeting, sedangkan pada kemoterapi senyawa kimia
menyebar ke seluruh tubuh
3) Partikel α dapat membunuh sel kanker yang sedang membelah maupun yang
tidak membelah, sedangkan kemoterapi hanya dapat bekerja optimal saat sel
sedang mengalami pembelahan (IAEA, 2001).
Selain kelebihan yang diuraikan di atas, terapi ini memiliki kelemahan
dengan adanya partikel foton yang dihasilkan pada reaksi BNCT maupun hasil
interaksi neutron dengan materi penyusun jaringan tubuh. Foton tersebut adalah
radiasi gamma yang dihasilkan dari reaksi inti dan sinar-X yang dihasilkan akibat
adanya peristiwa eksitasi dan ionisasi atom. Foton dapat mencapai jarigan sehat di
sekitar sel kanker. Oleh karena itu sangat penting dilakukan pengukuran dosimetri
foton dalam terapi BNCT.
Untuk keperluan terapi BNCT, diperlukan fasilitas sumber neutron. Karena
reaksi
10
B(n,α) 7Li memerlukan neutron termal dengan energi < 1 eV, maka
neutron yang diharapkan keluar dari sumber adalah neutron epitermal dengan
4
energi 1 eV- 10 keV. Neutron ini akan mengalami moderasi dan kehilangan
energinya ketika melalui jaringan lunak dan jaringan keras sebelum mengenai
kanker, sehingga neutron yang mencapai kanker adalah neutron termal. Untuk itu,
dilakukan penelitian reaktor nuklir sebagai sumber neutron untuk BNCT, yang
pada saat itu dianggap sebagai satu- satunya sumber neutron dengan energi yang
sesuai.
Peneliti di Indonesia meneliti sumber neutron untuk BNCT menggunakan
reaktor nuklir. Penelitian yang berkaitan dengan penyediaan berkas neutron
dilakukan pada saluran Radial Piercing Beamport (RPB) reaktor Kartini PSTA
Batan Yogyakarta. RPB merupakan suatu saluran yang terhubung langsung
dengan teras reaktor. Penelitian terdahulu telah dilakukan antara lain oleh Ilma
(2013), Wahyuningsih (2014) dan Fadli (2015). Pada penelitiannya, Ilma
melakukan simulasi pemandu berkas neutron pada RPB. Pada penelitian ini
diperoleh hasil fluks neutron epitermal sebesar 108 n.cm-2.s-1 (Ilma, 2013).
Selanjutnya Wahyuningsih melakukan optimalisasi kolimator, dan diperoleh fluks
epitermal mencapai 109 n.cm-2.s-1 (Wahyuningsih, 2014). Kemudian untuk
memperoleh berkas neutron yang lebih baik, Fadli (2015) melakukan optimalisasi
pada reflektor, apperture, moderator dan filter. Dari penelitian Fadli diperoleh
fluks neutron epitermal 108 n.cm-2.s-1, dengan fluks netron termal 0 (Fadli, 2015),
sedangkan saran IAEA untuk fluks neutron epitermal adalah >109 n.cm-2.s-1.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, diketahui bahwa
fluks neutron yang dihasilkan dari reaktor Kartini tidak dapat mendukung
pengobatan BNCT, dikarenakan fluks neutron epitermal yang belum mencukupi.
Hal ini menyebabkan pengobatan memerlukan waktu lama untuk memenuhi dosis
yang diharapkan (Krstic, et, al, 2014). Dengan alasan tersebut, pemenuhan
sumber neutron beralih pada accelerator.
Accelarator mempercepat partikel bermuatan listrik, misalnya proton
ataupun ion, sehingga energinya tinggi dan ditembakan ke inti sasaran sehingga
neutron dihasilkan dari reaksi tersebut. Reaksi yang dapat menghasilkan neutron
antara lain 7Li(p,n)7Be, 9Be(p,n)9B, 9Be(d,n)10B, 13C(d,n)14C
2006).
(Burian,
5
Sato (2014) meneliti mengenai penyedia berkas neutron
memanfaatkan proton dari accelerator dengan reaksi
9
dengan
9
Be(p,n) B, dengan
memvariasikan tebal target berilium. Diperoleh hasil bahwa reaksi 9Be(p,n)9B
dengan proton 30 MeV menghasilkan neutron optimal pada ketebalan Be 0,57 cm
(Sato, et, al, 2014).
Dosis yang diterima pasien juga menjadi fokus penelitian pada BNCT.
Bukan hanya dosis yang diterima sel kanker, melainkan juga dosis yang diterima
setiap organ pasien. Hal ini dapat dilihat dari berapa dosis serap yang diterima
oleh masing- masing organ sehat, dan apakah dosis tersebut masih berada di
bawah ambang batas.
Siwi (2014) menyebutkan bahwa waktu terapi BNCT untuk kasus
Glioblastoma bergantung dari konsentrasi
10
B yang diinjeksikan pada pasien.
Dosis total minimum dalam terapi untuk mengendalikan kanker Glioblastoma
adalah 52,6 Gy. Untuk itu, pada kasus kanker yang berada 4,5 cm dari sumber
radiasi diperlukan waktu iradiasi yang berbeda untuk konsentrasi
10
Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsentrasi
B tertentu.
10
B paling
optimal adalah 30 µg/g kanker (Siwi, 2014).
Selain konsentrasi
10
B, jumlah atau fluks neutron yang diiradiasikan juga
mempengaruhi waktu iradiasi. Neutron yang diharapkan sampai ke sel kanker
adalah neutron termal, karena tampang lintang reaksi neutron termal terhadap 10B
cukup tinggi, yakni 3835 barn (Podgorsak, 2014). Untuk itu, pada tahun 2001
International Atomic Energy Agency (IAEA) mengeluarkan suatu parameter untuk
berkas neutron yang digunakan untuk terapi BNCT (IAEA, 2001).
Dalam upaya memenuhi parameter IAEA, optimasi sumber neutron terus
dikembangkan. Optimasi dilakukan pada pemandu berkas neutron, sehingga
diharapkan diperoleh berkas dengan fluks neutron epitermal yang memenuhi
kriteria IAEA, dengan fluks neutro termal dan cepat rendah. Neutron termal
dengan energi rendah dikhawatirkan tidak akan mencapai sel kanker, tetapi justru
berinteraksi dengan sel sehat. Sedangkan neutron cepat dan gamma dapat
mencapai jangkauan yang besar dan berinteraksi dengan sel sehat.
6
1.2. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis memberikan batasan masalah yaitu
penggunaan model penyedia neutron hasil modifikasi penyedia neutron model
Sato (2014). Neutron merupakan hasil reaksi 9Be(p,n) 9B dengan asumsi proton
berasal dari cyclotron dengan energi 30 MeV. Konsentrasi
10
B yang digunakan
adalah 30 𝜇gram/ gram kanker. Neutron memancar secara monodirection dan
terdapat foton yang dihasilkan dari keluaran sumber penyedia berkas neutron.
Iradiasi dilakukan dari arah superior (atas). Perhitungan laju dosis yang dilakukan
adalah laju dosis foton untuk masing- masing organ. Foton yang diperhitungkan
adalah foton yang berasal dari penyedia berkas dan foton hasil reaksi neutron
dengan materi jaringan tubuh. Laju dosis yang diperhitungkan dipengaruhi
interaksi
materi
dengan
partikel
proton,
neutron
dan
foton,
tanpa
memperhitungkan faktor temperatur.
1.3. Perumusan Masalah
Permasalahan yang ingin diselesaikan dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana desain pemandu berkas neutron yang menghasilkan berkas paling
optimal?
2.
Bagaimana karakteristik neutron dari pemandu berkas?
3.
Bagaimana distribusi laju dosis foton yang diterima tubuh?
1.4. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mendesain penyedia berkas neutron yang menghasilkan berkas paling
optimal.
2.
Mendiskripsikan karakteristik neutron yang dihasilkan dari pemandu berkas.
3.
Mendiskripsikan distribusi laju dosis foton yang diterima tubuh, sehingga
dapat dipastikan jika dosis yang diterima masing- masing organ tidak
melebih dosis ambang.
7
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian pustaka bagi pada
akademisi di bidang Fisika Medis, khususnya mengenai Proteksi Radiasi
dalam lingkup dosis serap yang diterima suatu organ akibat terapi BNCT
khususnya pada kasus kanker GBM.
2.
Manfaat Aplikasi Teknik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai dosis serap
yang diterima organ tertentu pada pengobatan BNCT.
Download