Sumber dan Garis Hukum dalam Al Qur`an dan Hadits Garis hukum

advertisement
18
BAB 2
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
2.1.
Sumber- Sumber dan Garis Hukum dalam Al Qur’an dan Hadits
Garis hukum adalah ketentuan yang jelas yang dirumuskan secara
tersendiri dan mempunyai hubungan dengan penggolongan dari al ahkam al
khamsah. Hubungan antara garis hukum dengan al ahkam al khamsah ada yang
langsung ada juga yang tidak langsung. Banyak di antara garis hukum belum pasti
dapat ditentukan hukumnya apakah wajib, haram, sunnah, makruh atau mubah
dengan melihat pada garis hukum itu saja. Ada pula sebagian garis hukum yang di
dalamnya sekaligus telah ada penegasan hukumnya sehingga hukumnya langsung
bertaut dan termuat dalam garis hukum yang bersangkutan. Untuk garis hukum
yang belum pasti hukumnya penerapan dan penyesuaian kepada hukum dibantu
dengan bahan-bahan dan keterangan-keterangan lainnya. Cara untuk membentuk
garis hukum adalah dengan mempergunakan ayat-ayat Al Qur’an , hadits Rasul
dan pendapat atau ijtihad ulil-amri, ijtihad yang sangat dikenal adalah atsar
sahabat Rasul begitu juga dengan ijtihad mujtahid-mujtahid Islam lainnya. Dapat
diperhatikan dengan seksama jika terjadi pendapat yang berbeda tentang suatu
hal, lebih baik dikembalikan kepada Allah dan Rasul, tidak dikembalikan ke ulil
amri, seperti yang disebutkan dalam firman Allah Surah An-Nisa:59
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ullil Amri (pemegang kekuasaan) di
antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang Demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” 29
Dasar pembentukan garis hukum itu berupa ayat Al Quran, hadits Rasul,
dan ijtihad ulil amri, yang mana merupakan sumber dari hukum Islam, ’dalil’
29
Al Qur’an dan Terjemahan., Op. Cit., QS:IV:59.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
19
hukum Islam, atau ’pokok’ hukum Islam, atau ’dasar’ hukum Islam 30 .
Berdasarkan hadits Mu’az bin Jabal, ketiga sumber hukum Islam tersebut
merupakan rangkaian kesatuan, dengan urutan keutamaan, tidak boleh dibalik.
Urutannya adalah Al Qur’an dan As Sunnah yang terdapat dalam kitab-kitab
Hadits yang biasa disebut Al Hadits merupakan sumber utama, sedangkan akal
pikiran manusia
yang memenuhi syarat untuk berijtihad menentukan norma
benar-salahnya suatu perbuatan merupakan sumber tambahan atau sumber
pengembangan. Dari hadits
Mu’az bin Jabal dapat dismpulkan hal lain di
antaranya:
”(1)Al Qur’an bukanlah kitab hukum yang memuat kaidah-kaidah
hukum secara lengkap dan terperinci. Pada umumnya hanya
memuat kaidah-kaidah hukum fundamental yang harus dikaji
dengan teliti dan dikembangkan oleh pikiran manusia yang
memenuhi syarat untuk diterapkan dalam masyarakat, (2) Sunnah
Nabi Muhammad dalam Al-Hadits pun sepanjang yang mengenai
soal muamallah yaitu soal hubungan antara manusia dengan
manusia lain dalam masyarakat, pada umumnya hanya
mengandung kaidah-kaidah umum yang harus dirinci oleh orang
yang memenuhi syarat untuk dapat diterapkan pada atau dalam
kasus-kasus tertentu, (3) Hukum Islam yang terdapat dalam Al
Qur’an dan As Sunnah atau Al Hadist itu perlu dikaji, dirinci lebih
lanjut, (4) Hakim (atau penguasa) tidak boleh menolak untuk
menyelesaikan suatu masalah atau sengketa dengan alasan bahwa
hukumnya tidak ada. Ia wajib memecahkan masalah atau
menyelesaikan sengketa yang disampaikan kepadanya dengan
berijtihad, melalui berbagai jalan (metode), cara atau upaya.”
Dasar dari pembentukan garis hukum seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
berupa ayat Al Qur’an, Hadits Rasul, dan ijtihad ulil amri.
a. Al Qur’an
Al Quran adalah kalam (diktum) Allah SWT yang diturunkan olehNya
dengan perantaan malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah. Juga sebagai
undang-undang yang dijadikan pedoman umat manusia dan sebagai amal
30
Ali, Op.Cit., hlm. 75-76.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
20
ibadah jika dibacanya, 31 merupakan sumber hukum utama yang memuat
kaidah-kaidah fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan
dikembangkan lebih lanjut. Al Qur’an adalah kitab suci yang memuat
wahyu (firman) Allah, asli seperti yang disampaikan oleh Malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat
manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia
dan di akhirat. Al Qur’an adalah kalam (diktum) Allah SWT yang
diturunkan oleh-Nya dengan perantaan Malaikat Jibril ke dalam hati
Rasulullah. Al Qur’an merupakan intisari dari semua pengetahuan, yang
bersifat prinsipal saja. Sesuatu yang mustahil jika manusia mencoba
mencari penjelasan ilmiah yang terinci di dalam Al-Qur’an dilakukan oleh
beberapa penafsir. Untuk menemukan maksud dari prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Al Qur’an manusia harus menghayati arti sebenarnya
sehingga dapat diketemukan dasarnya, bukan rincian ilmu pengetahuan
dalam Al Quran.
Menurut para ahli, garis-garis besarnya Al Qur’an memuat soal-soal yang
berkenaan dengan (1)akidah, (2)syari’ah baik ibadah maupun muamallah,
(3)akhlak (4)kisah-kisah umat manusia di masa lalu, (5)berita-berita
tentang zaman yang akan datang (kehidupan akhirat), (6) benih atau
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dasar-dasar hukum, yang berlaku bagi
alam semesta termasuk manusia di dalamnya. 32
Dengan sempurnanya
turunnya Al Qur’an maka menjadi lengkapalah syari’at Islam. 33
Hukum Muamallah dapat dirinci sebagai berikut: 34
31
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul-Fiqh), (Jakarta:
Rajawali Pers, 1985), hlm. 22.
32
Ali, Op.Cit., hlm. 83-84
33
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Ushul al Fiqih), diterjemahkan oleh Saefullah
MA, et.Al., cet.5 (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1999), hlm. ix.
34
Khallaf, Op. Cit., hlm. 41-42.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
21
1. Hukum badan pribadi, yang berhubungan dengan unit keluarga
mengatur hubungan suami-isteri dan sanak kerabat, antara satu dengan
yang lainnya.
2. Hukum Perdata, yang berhubungan dengan muamallah antara
perorangan, masyarakat dan persekutuannya seperti jual beli, sewamenyewa, gadai-menggadai, pertanggungan, syirkah, utang piutang
dan memenuhi janji secara disiplin. Mengatur hubungan perorangan,
masyarakat yang menyangkut harta kekayaan dan memelihara hak
setiap orang bersangkutan yang mempunyai hak.
3. Hukum Pidana,
yang berhubungan dengan tindak kriminal dan
masalah pidananya bagi si pelaku kriminal.
4. Hukum Acara, yang berhubungan dengan pengadilan, kesaksian dan
sumpah, merealisasikan keadilan di antara sesama ummat manusia.
5. Hukum
Ketatanegaraan,
yang
berhubungan
dengan
peraturan
pemerintahan dan dasar-dasarnya, membatasi hubungan antara
penguasa dengan rakyatnya.
6. Hukum Internasional, yang berhubungan dengan masalah-masalah
hubungan antar negara-negara Islam dengan bukan negara Islam dalam
situasi damai maupun dalam keadaan perang.
7. Hukum Ekonomi dan Keuangan, yang berhubungan dengan hak orang
miskin yang meminta, dan orang miskin yang yang tidak mendapat
bagian dari harta orang yang kaya dan mengatur irrigasi serta
perbankan. 35 Mengenai muammalah ini sifatnya terbuka untuk
dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk
melakukan usaha itu karena berhubungan langsung dengan kehidupan
sosial manusia. Hal yang menarik adalah hukum Islam tidak
membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum
publik karena menurut sistem hukum Islam pada Hukum perdata
terdapat segi-segi publik begitu juga sebaliknya, pada hukum publik
ada segi-segi perdatanya. 36
35
Khallaf, Ibid.
36
Ali, Opcit., hlm. 55-56.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
22
Al Qur’an yang terdiri dari 30 juz dan 114 surat dan 6666 ayat sebagian
surat, dan ayatnya turun di Mekkah, sebanyak 86 surat dan sebagian surat
dan ayat turun di Mekkah, sebagian surat dan ayat turun di Madinah
sebanyak 28 surat. 37 Dimulai dengan surah Al Fatihah dan ditutup dengan
surah An Nas. Ayat-ayat Al Qur’an yang turun di Madinah, surahnya
cenderung lebih panjang dibanding surah Makiyah karena lebih
mengandung muamalah. Ayat-ayat Al Qur’an yang turun di Madinah
mengandung hukum-hukum (syari’at) antara lain hukum pemerintahan,
hukum hubungan antara orang-orang muslim dan non muslim mengenai
perjanjian dan perdamaian.
Pada kenyataanya, saat ini kita temui bermacam-macam buku tafsir Al
Quran, perbedaan keahlian orang yang menyusun tafsir memberi corak
tersendiri kepada tafsir yang disusunnya hal itu disebakan oleh padatnya
kata-kata dalam ayat Al Quran dan mengandung makna yang tidak mudah
dipahami. Tafsir Al Quran pun berkembang terus dari massa ke massa.
Namun perlu diingat baik-baik bahwa bagaimanapun baiknya penjelasan,
tafsiran atau terjemahan Al Qur’an bukanlah Al Qur’an, karena tafsiran
atau terjemahan Al Qur’an tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan
Al Qur’an. Menafsiri sebuah surat atau ayat dengan lafazh Al Qur’an
dengan lafazh Arab sebagai sinonim lafazh-lafazh Al Qur’an, yang bisa
memberikan makna seperti lafazzh asalnya, tidaklah kemudian lafazhlafazh sinonim itu termasuk Al Qur’an sekalipun penafsiran itu sudah
sesuai dengan makna yang ditafsiri karena Al Qur’an terdiri dari lafazhlafazh Arab yang khusus. Penafsiran/terjemahan tidak pula mendapat
ketetapan hukum-hukum Al Qur’an. Penafsiran/terjemahan hanya boleh
dianggap sebagai penjelas makna Al Qur’an. 38
37
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) hlm. 33
38
Khallaf, Op. Cit.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
23
b. Hadits dan Sunnah Rasul
Hadits merupakan sumber hukum Islam setelah Al Qur’an, karena melalui
kitab-kitab hadits seorang Muslim mengenal Nabi dan isi Al Qur’an.
Tanpa Hadits atau sering juga disebut As Sunnah, sebagian besar isi Al
Qur’an akan tersembunyi dari mata manusia. Antara Al Qur’an dengan As
Sunnah tidak boleh dicerai pisahkan.
Dalam perkatan sehari-hari, hadits dan Sunnah adalah sama, namun para
ahli ada yang membedakannya. Hadits artinya kabar, berita atau baru. Jika
dihubungkan dengan nabi artinya kabar, berita mengenai sesuatu dari nabi.
Sunnah, menurut beberapa ahli hukum Islam adalah kebiasaan yang
terdapat dalam masyarakat Arab, Sunnah dalam pengertian ini disebut
Sunatut taqrir, sunnah dalam bentuk pendiaman nabi tanda menyetujui
sesuatu perbuatan atau hal. Setelah Islam berkembang, kebiasaan orang
Arab ini ada pula yang diubah Nabi dan kemudian oleh para sahabatnya.
Hadits adalah keterangan resmi yang berasal dari Nabi yang disampaikan
secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sunnah Rasul ada yang berupa sunnah qauliyah (perkataan Rasul), sunnah
fi’liyah (perbuatan Rasul) dan Sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah
(sikap diam Rasulullah). Hadits-hadits terkumpul dalam kitab-kitab hadits,
yang terkemuka adalah al-kutub al sittah (kitab-kitab hadits yang disusun
oleh enam orang muhaddis) yaitu: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tarmizi,
Ibnu Majah, Nasa’i. .Hadits atau Sunnah Rasul yang terdapat dalam kitabkitab hadits terdiri dari dua bagian, isnad dan matn. Isnad/sanad
merupakan sandaran dari suatu hadits yaitu orang-orang yang menjadi
mata rantai penghubung yang menyampaikan hadits itu sejak dari Rasul
sampai kepada ahli hadits yang membukukannya.
Bagian yang kedua adalah bagian matn yaitu materi atau isi hadits atau
sunnah. Dalam penilaian untuk penggunaan suatu hadits sebagai alasan
menetapkan hukum, umumnya oleh ahli Hukum Islam di masa yang lalu
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
24
lebih ditekankan pada Isnad/sanad, sedangkan Matn diletakkan pada
tempat kedua. Menurut pendapat Sayuti Thalib, kedudukan Matn adalah
juga sangat penting untuk penafsiran suatu hadits, untuk itu Matn harus
mendapat penilaian sama sekuat penilaian atas Isnad/sanad suatu hadits.
Ucapan dan perbuatan Rasul yang dimaksudkan untuk membentuk hukum
syariat Islam secara umum dan sebagai tuntutan bagi ummat Islam,
haruslah diikuti. Namun ada beberapa yang bukan merupakan syariat,
yaitu dalam keadaan tertentu Rasulullah SAW, di antaranya adalah: 39
1. Hal-hal yang keluar dari Rasulullah SAW yang bersifat kemanusiaan
seperti berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan, minum. Hal tersebut bukan
syariat karena bukan bersumber kepada tugas (risalah)nya tetapi
bersumber dari naluri kemanusiaan. Perlu diperhatikan, jika perbuatan
kemanusiaan itu adalah tuntunan, maka perbuatan tersebut termasuk
hukum (syari’at) Islam.
2. Hal-hal yang keluar dari Rasulullah yang bersifat pengetahuan
kemanusiaan, kepandaian, dan beberapa eksperimen manusiawi bukan
merupakan hukum (syariat) Islam.
3. Hal-hal yang keluar dari Rasulullah dan ada dalil syar’i yang menunjukkan
atas kekhususan bagi Nabi dan bukan tuntunan, maka hal itu bukanlah
hukum (syariat) Islam.
c. Ijtihad ulil amri
Dalam kamus bahasa Arab, al Munjid, susunan Ma’luf al Yasu’i Beirut,
ijtihad diartikan adalah bersungguh-sungguh sehabis usaha. Menurut
Abdul Hamid Hakim, arti ijtihad dari segi tehnis hukum adalah
bersungguh-sungguh sekuat-kuatnya untuk mencapai hukum syari’i
dengan jalan mengambil hukum dari Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan
menurut kata-kata atau bahasa, menurut A. Hamid Hakim, ijtihad berarti
bersungguh-sungguh yaitu bersusah payah. Imma Syafi’i sendiri
menyamakan arti ijtihad dengan arti qiyas yaitu berijtihad berarti
39
Khallaf, Op. Cit.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
25
menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum kepada suatu
hukum yang lain, ijtihad diartikan secara sempit. Menrut M. Hasbi AshSiddieqy ijtihad dalam arti luas adalah mempergunakan segala
kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari kitab Allah dan
hadits Rasul. Muhammad Daud Ali mengartikan ijtihad sebagai usaha atau
ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mengarahkan seluruh kemampuan
dilakukan oleh orang (ahli Hukum) yang memenuhi syarat untuk
merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam
Al
Qur’an
dan
Sunnah.
Menurut
Mukhtar
Yahya
dan
Fatchurrahman, ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan berpikir
untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’ yaitu Al Qur’an
dan Sunnah. 40
Menurut Satria Effendi M. Zein, arti ijtihad secara
etimologi adalah bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik
fisik maupun pikiran, di kalangan ulama ushul fiqih, seperti yang
dikemukakan Ibnu Abd al-Syukur dari kalangan hanafiyah ijtihad adalah
pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan
hukum syara’ sampai ke tingkat zanni (dugaan Keras) sehingga yang
berijtihad itu merasakan tidak lagi bisa lebih dari itu. 41 Sayuti Thalib
mengartikan ijtihad sebagai usaha yang bersungguh-sungguh untuk
merumuskan garis hukum dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul. 42
Pembentukan hukum sesuatu hal biasanya tidak hanya dibahas dari segi
ijtihad saja, tapi juga dari segi taqlid. Ijtihad berada di pihak paling tinggi
berupa mengeluarkan hukum dari alasan-alasannya (orang yang berijtihad
disebut Mujtahid), sedangkan taqlid hanya mengikuti saja pendapat
mujtahid tanpa mengetahui alasan-alasannya. Orang yang bertaqlid disebut
Muqallid, tidaklah salah. Yang dapat dikatakan salah adalah Muqallid
yang tidak mau berusaha mengetahui alasan sesuatu persolan. 43 Dan yang
lebih dapat dipersalahkan adalah orang yang berusaha agar orang lain yang
40
Ibid.
41
Ibid.
42
Zahra, Op. Cit.
43
Thalib, Op. Cit., hlm.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
26
bertaqlid
selalu
dihalang-halangi
untuk
mengetahui
alasan
yang
sebenarnya.
Ijtihad merupakan pembentukan garis hukum dilakukan oleh ulil-amri.
Dalam Surat An-Nisa ayat 59 menurut Satria Effendi M. Zein dipahami
dalam dua pengertian:
a) Ulil amri dalam pengertian umara atau penguasa. Yang dimaksud
penguasa adalah petugas-petugas kekuasaan Negara Islam.
Ketentuan hukum yang dibentuk oleh umara adalah ketentuan
hukum ketatanegaraan disebut siyasah syar’iyah. Para umara di
antaranya: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ’Affan, Ali
bin Abi Thalib, Mua’adz bin Jabal, dan lain-lain.
b) Ulil Amri dalam pengertian ulama atau mujtahid atau sebagai
pembina hukum (Islam). Walaupun ulama atau mujtahid tidak
memegang fungsi dalam lingkungan penguasa, mereka tetap diakui
sebagai pembina hukum dan diperintahkan mentaati dan mengikuti
hasil-hasil ijtihad mereka dalam menafsirkan Al Qur’an dan
Sunnah Rasul dan mengembangkannya. Beberapa para ahli Hukum
Islam yang terkenal di antaranya: Zaid bin Tsabit, Ibnu ’Abbas,
Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bin
Hanbal, A. Hassan, Hazairin.
Cara mereka menetapkan hukumnya dengan meneliti Bahasa Arab,
menafsirkan kata demi kata dan mengetahui dasar Ushul Fiqih. Di
samping itu, mereka tidak terlepas daripada dapat membedakan
antara hukum adat, hukum akal dan hukum syara’. Para mujtahid
perlu mempunyai syarat sebagai berikut: 44
-
Benar-benar mengetahui nash-nash (ketentuan-ketentuan) Qur’an
dan
Hadits
yang
berhubungan
dengan
masalah
yang
diijtihadkannya.
-
Benar-benar mengetahui/ mengerti Bahasa Arab yang hendak
ditafsirkan serta mengerti susunan Al qur’an sehingga ia dapat
mengambil hukum dengan teliti.
44
Ali, Op. Cit., hlm. 118
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
27
-
Betul-betul tahu dengan ilmu hadits sehingga ia dapat
membedakan antara hadits yang dapat menjadi dalil dengan
hadits dila’if.
-
Mengetahui tiang dan dasar utama untuk berijtihad yakni ilmu
Ush Fiqh.
Ada beberapa cara atau metode untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad yang
dilakukan sendiri-sendiri maupun dengan bersama-sama dengan orang lain.
Metode tersebut di antaranya: 45
1) Ijma’, yakni persetujuan atau kesesuian pendapat para ahli mengenai
suatu masalah (hukum syariat mengenai suatu kejadian/kasus) pada
suatu tempat di suatu massa yang diperoleh dengan suatu cara di
tempat yang sama. Ijma’ dilakukan setelah Rasulullah wafat. Ijma’
yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin.
Saat Rasulullah masih hidup, Beliau sendirilah sebagai tempat
kembali hukum syariat Islam sehingga tidak terdapat perselisihan
mengenai hukum Syariat Islam dan tidak terjadi pua kesepakatan
(ittiqaf), karena kesepakatan tersebut tidak akan terwujud kecuali
dari beberapa orang. 46 Sekarang ijma’ hanya berarti persetujuan atau
kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat
hukum tertentu dalam Al Qur’an. Kini sulit dicari suatu cara dan
sarana yang dapat dipergunakan untuk memperoleh persetujuan
seluruh ahli mengenai suatu masalah pada suatu massa di tempat
yang berbeda karena luasnya bagian dunia yang didiami oleh umat
Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya.
2) Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya dalam Al Qur’an dan As Sunnah dengan hal lain yang
hukumnya disebut dalam Al Qur’an dan As Sunnah karena ada
persamaan illat (penyebab atau alasan/ dasar hukumnya). Qiyas
45
Ibid., hlm.120-123.
46
Khallaf, Op. Cit., hlm. 64.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
28
adalah ukuran yang dipergunakan oleh akal budi untuk membanding
suatu hal dengan hal lain.
3) Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan,
contohnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama
yang diwahyukan sebelum Islam.
4) Maslahat Mursalah adalah menemukan hukum sesuatu hal yang
tidak terdapat ketentuannya baik dalam Al Qur’an maupun dalam
kitab-kitab
hadits,
masyarakat
atau
berdasarkan
kepentingan
pertimbangan
umum.
Artinya
kemaslahatan
mendatangkan
keuntungan bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan
kesulitan. Maslahat jadi baru menurut barunya keadaan ummat
manusia dan berkembang menurut perkembangan lingkungan. 47
5) Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik 48 , dapat diartikan
Istihsan sebagai cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang
dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
Metode ini merupakan cara yang unik dalam menggunakan akal
pikiran dengan mengesampingkan analogi yang ketat dan bersifat
lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan. Istihsan adalah
suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu
keadaan. 49
6) Istisab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan
kata lain, istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang
telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.
7) ’Urf atau adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum islam
dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang
bersangkutan. Adat istiadat berkenaan dengan soal muamalah.
Menurut kaidah hukum Islam adat dapat dikuhkan menjadi hukum
47
Ibid, hlm. 127.
48
Ibid., hlm. 120.
49
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
29
(al-’adatu muhakammah), hukum adat tersebut dapat berlaku bagi
umat Islam.
2.2.
Fiqh dan Ushul Fiqh
Fiqh dalam Islam sangat penting sekali fungsinya karena dapat menuntun
manusia kepada kebaikan dan bertakwa kepada Allah. Secara umum Fiqh dapat
diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syariat atau
Hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat
individual maupun yang berbentuk masyarakat sosial. Ilmu fiqh merupakan suatu
kumpulan
ilmu
yang
sangat
besar
gelanggang
pembahasannya,
yang
mengumpulkan berbagai macam jenis Hukum Islam dan bermacam rupa aturan
hidup, untuk keperluan seseorang, segolongan dan semasyarakat, seumum
manusia.
50
Banyak para ulama Islam yang mengartikan Fiqh, telah disepakati
oleh para ulama-ulama Islam dari mahzab yang berbeda-beda bahwa Fiqh
merupakan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan yang ada
dalam ibadah dan muamallah, atau berupa pidana dan perdata yang terjadi dalam
soal-soal aqad (contract) atau pengelolaan (Tasharruf), dalam syariat Islam di
mana semua itu termasuk dalam lapangan hukum. Hukum-hukum tersebut
sebagian telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan al Sunnah sedangkan sebagian
yang lain belum dijelaskan. Meski demikian, syariat Islam telah membuat dalildalil dan tanda-tanda bagi hukum tersebut sehingga seorang mujtahid dengan
media dalil dan tanda-tanda yang ada dapat melahirkan ketetapan dan penjelasan
tentang hukum yang belum dijelaskan. 51
Dalam bahasa Arab, perkataan fiqh artinya paham atau pengertian, dengan
kata lain ilmu fiqh adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan
norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al Qur’an dan ketentuanketentuan umum yang ada dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab
hadits. Ilmu fiqh adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum dalam Al
Qur’an dan Sunnah untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang sehat akalnya
dan berkewajiban melaksanakan Hukum Islam. Hasil pemahaman tentang Hukum
50
Nazar Bakry, Op. Cit., hlm. 7.
51
Khallaf, Op. Cit., hlm. 1.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
30
Islam itu disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fiqh dan disebut sebagai
hukum fiqh. 52
2.2.1. Syariat dan Fiqh Islam
Ada dua istilah yang digunakan untuk menunjukkan hukum Islam yaitu
Syariat Islam dan Fiqh Islam. Dalam praktik seringkali baik syariat islam maupun
fiqh dirangkum dalam kata hukum Islam tanpa menjelaskan apa yang dimaksud.
Hubungan keduanya memang sangat erat, dapat dibedakan namun tidak mungkin
dicerai pisahkan. Syariat adalah landasan fiqh, fiqh adalah pemahaman syariat.53
Fiqh tidak dapat menghapuskan sama sekali hukum syariat dan Fiqh tidak boleh
bertentangan dengan hukum syariat apalagi jika ketentuan hukum syariat telah
tegas jelas bunyinya, yang tidak mungkin diartikan lain dari makna yang
disebutnya. Di Indonesia, mayoritas menganut Mazhab Syafi’i yang mengartikan
syariat sebagai gabungan antara syariat dan fiqh itu sendiri. Menurut Mazhab
Syafi’i “Syariat adalah ‘peraturan-peraturan yang bersumber dari wahyu dan
‘kesimpulan-kesimpulan’ yang dapat dianalisis dari wahyu itu mengenai tingkah
laku manusia.”
Seorang ahli hukum di Indonesia harus dapat membedakan mana hukum
Islam yang disebut hukum syariat dan mana yang disebut hukum fiqh. Perbedaan
antara Syariat dan Fiqh di antaranya: 54
1. Syariat adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad. Sedangkan
Fiqh adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang
syariat dan hasil pemahaman itu.
2. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas karena termasuk akidah dan akhlaq. Fiqh bersifat instrumental,
ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan
manusia yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.
52
Ali, Op. Cit., hlm. 48-49.
53
Ibid., hlm. 49.
54
Ibid., hlm. 50-51.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
31
3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu
berlaku abadi, sedangkan Fiqh adalah karya manusia yang tidak
berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.
4. Syariat hanya satu, sedang fiqh mungkin lebih dari satu seperti terlihat
aliran-aliran hukum yang disebut dengan mahzab.
5. Syariat
menunjukkan
kesatuan
dalam Islam,
sedangkan
fiqh
menunjukkan keragamannya.
2.2.2. Hubungan Fiqh dengan Ushul Fiqh
Fiqh adalah proses pembelajaran untuk mengetahui hukum-hukum
(syariat) Islam, Ushul Fiqh dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah yang
dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan perbuatan-perbuatan manusia yang
dikehendaki oleh Fiqh. Hubungan antar Fiqh dan Ushul Fiqh sangat erat, hingga
tidak dapat dipisahkan. 55 Keduanya saling melengkapi, dalam satu tujuan untuk
menerapkan hukum Islam terhadap orang-orang mukallaf. Ilmu Fiqh merupakan
produk dari Ushul Fiqh. Ilmu Fiqh berkembang karena berkembangnya ilmu
Ushul Fiqh. Ilmu Fiqh akan bertambah maju manakala ilmu Ushul Fiqh
mengalami kemajuan karena Ilmu Ushul Fiqh semacam alat yang menjelaskan
metode dan sistem penentuan hukum berdasarkan dalil-dalil naqli maupun aqli. 56
Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam-macam
ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh ketetapan hukum syariat yang harus
diamalkan manusia. 57
Ushul Fiqh lahir lebih dulu dari Fiqh sebab Fiqh diciptakan dari Ushul
Fiqh. Peran Ushul Fiqh untuk menciptakan hukum dan dalil-dalil yang terinci dan
kuat. Kedudukan Ushul Fiqh sebagai dasar dari Fiqh Islam, artinya Ushul Fiqh
merupakan sumber-sumber/ dalil-dalil dan bagaimana cara menunjukkan dalil
tersebut kepada hukum syariat secara garis besar. Tanpa pembahasan mengenai
55
Bakry, Op. Cit., hlm. 23.
56
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Dep. Agama R.I., Pengantar Ilmu Fiqh,
(Jakarta, Departemen Agama, 1981), hlm. 19.
57
Loc. Cit.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
32
Ushul Fiqh, maka Fiqh tidak dapat diciptakan karena dasar Ushul Fiqh harus
dipahami lebih dahulu.
Al Qur’an, hadits Rasul dan ijtihad adalah bahan yang diselidiki oleh ilmu
ushul fiqh, hasil penyelidikannya berupa fiqh. Ilmu khusus untuk mengolah
sumber hukum dan mencabut serta melahirkan garis hukum daripadanya yang
disebut ilmu ushul fiqh. 58
2.3.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara pada masa sekarang karena umat Islam di Indonesia
merupakan kelompok mayoritas baik di Indonesia sendiri maupun kelompok
terbesar di dunia. Hukum Islam sebagai hukum yang dibuat dan berlaku terutama
bagi umat tersebut adalah merupakan hukum dengan subjek yang besar. Hukum
Islam menempati posisi yang sangat strategis bukan saja bagi umat Islam
Indonesia tapi bagi dunia Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati
posisi yang strategis dalam Sistem Hukum Indonesia. Jika ditelaah lebih jauh,
Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam, tapi sebuah Negara Nasional tidak
memberi tempat hanya pada umat Islam untuk melaksanakan Hukum Islam, tapi
juga memberi tempat pada umat-umat penganut agama lain seperti Kristen
Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, tapi negara secara formal juga tidak
sepenuhnya menutup mata dari pelaksanaan hukum Islam sehingga di samping
punya landasan dogmatik pelajaran agama, keberadaan hukum Islam juga
didukung oleh umatnya dan untuk sebagian punya landasan formal dari
Kekuasaan Negara Republik Indonesia. 59
Walaupun Negara Republik Indonesia bukan merupakan Negara Islam,
Pancasila sebagai dasar Negara menjamin untuk menjalankan syariat agama
dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa-nya. Hukum Islam menempati posisi
yang sangat penting sekali, hal ini sejalan dengan ajaran tauhid yang merupakan
sendi pokok dari ajaran Islam. Hukum Islam telah memberikan landasan Idiil
58
Thalib, Op. Cit., hlm. 22.
59
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2004), hlm. 1-3.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
33
yang cukup kokoh untuk melaksanakan ketentuan Hukum Islam dalam Negara
Hukum yang berdasarkan Pancasila. Kemudian dalam Undang-Undang Dasar
1945 ditegaskan pula bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaannya. Landasan konsitusional itulah yang menjadi jaminan formal
dari setiap muslim dan umat Islam di Indonesia untuk melaksanakan ketentuan
Hukum Islam dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat dan bangsa
Indonesia.
Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia dalam rangka kegiatan
pembangunannya telah menempatkan pembinaan Hukum Nasional sebagai salah
satu bidang garapannya. Selama beberapa abad Indonesia masih disibukkan
dengan berbagai kegiatan merancang apa dan bagaimana Hukum Nasional yang
dibentuk, di situlah peluang Hukum Islam untuk dapat menjadi salah satu bahan
Hukum Nasional. Selain dari Hukum Islam, bahan Hukum Nasional juga
mengadopsi Hukum Barat dan Hukum Adat. Jika Hukum Islam ingin
mendapatkan tempat yang lebih luas dalam kehidupan Hukum Nasional harus
dapat menunjukkan keunggulan komparatifnya dari berbagai Hukum yang
lainnya. 60
Selain itu, Hukum Islam selalu menampakkan dua wajah. Hukum Islam
yang bersifat universal dengan daya jangkau untuk semua tempat dan segala
zaman, namun di sisi lainnya Hukum Islam juga dituntut untuk menempatkan diri
dengan wajahnya yang khas. Hukum Islam Indonesia masa kini yang merupakan
sebuah label yang diberikan pada ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berlaku
di Indonesia dan sekaligus menampilkan corak khas ke-Indonesiaannya. Sistem
dan budaya Indonesia akan lebih terefleksi di dalamnya sehingga Hukum Islam
dimaksud untuk beberapa bagian tertentu seperti kaidah hukum maupun pola
pemikirannya tetap bersumberkan pada sumber yang sama yaitu Al Qur’an dan
Sunnah. 61 Hukum Islam pun terus berkembang dari sejak awal mulanya Islam
masuk ke Indonesia sampai masa kini, dan hal itu sudah barang tentu diwarnai
momentum-momentum yang terjadi dalam waktu yang dilaluinya.
60
Ibid.
61
Ibid., hlm. 4
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
34
Umat Islam pun membuat Kompilasi Hukum Islam dalam rangka memberi
arti yang positif bagi kehidupan beragama dalam rangka kebangkitan umat Islam
dan berperan penting dalam pembentukan Hukum Nasional. Kompilasi Hukum
Islam sebaiknya dilihat sebagai batu loncatan untuk meraih masa depan lebih baik
yang merupakan bentuk karya besar. Kompilasi Hukum Islam harus diterima
sebagai hasil yang optimal. Walaupun demikian, kompilasi Hukum Islam tidak
bersifat mutlak sebagaimana halnya wahyu Tuhan maka kita juga punya peluang
untuk memberikan beberapa pertimbangan yang masih diperlukan untuk
menyempurnakannya
lebih
baik,
terbuka
dalam
menerima
usaha-usaha
penyempurnaan.
2.3.1. Latar Belakang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia
Hukum Islam baik di Indonesia maupun di dunia Islam pada umumnya
sampai hari ini adalah hukum fiqh hasil penafsiran pada abad ke dua dan beberapa
abad berikutnya. Kitab-kitab klasik di bidang fiqh masih tetap berfungsi, namun
kajian pada umumnya banyak dipusatkan pada masalah-masalah ibadat, tidak
banyak diarahkan pada fiqh muammalah. Hal ini membuat hukum Islam begitu
kaku berhadapan dengan masalah-masalah yang terjadi saat ini. Materi-materi
yang ada di dalam buku-buku fiqh tidak atau belum disistematisasikan sehingga
bisa disesuaikan dengan masa sekarang. Banyak masalah baru yang belum ada
padanannya pada masa Rasulullah dan pada masa para mujtahid di masa
madzhab-madzhab terbentuk, oleh karena itu ijtihad perlu digalakkan kembali.
Menurut H. Muhammad Daud Ali, dalam membicarakan Hukum Islam di
Indonesia, pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Indonesia. 62 Sedangkan menurut Ichtianto, Hukum Islam sebagai
tatanan Hukum yang dipegangi /ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat
Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian
dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan Nasional dan
merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya. 63 Menurut Rahmat
62
Ibid., hlm. 16
63
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
35
Djatnika, penerapan Hukum Islam di Indonesia dalam kehidupan masyarakat
dapat dilakukan dengan penyesuaian pada budaya Indonesia yang hasilnya
kadang-kadang berbeda dengan hasil ijtihad penerapan hukum Islam di negerinegeri Islam lainnya. 64 Penerapan hukum Islam melalui perundang-undangan
seperti Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan pegangan dalam penerapan
hukumnya,
walaupun
masih
sebagian
kecil
telah
berkembang
dengan
penerapannya yang menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat untuk
menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat untuk menuju tujuan Hukum
Islam seperti masalah monogami, masalah batas umur boleh kawin, masalah
jatuhnya thalak di hadapan sidang Pengadilan, masalah harta bersama, masalah
nadzor dan saksi pada perwakafan tanah milik, dan masalah ikrar perwakafan
harus tertulis. Penerapan hukum tersebut mengandung masalah ijtihadiyah yang
diselesaikan dengan ijtihad ulama Indonesia dengan menggunakan metodemetode istihlah, istihsan, ‘urf dan lain sebagainya yang merupakan metode istidlal
dengan tujuan jabal mashalih wa dar’u al mafasid. Kalau ada yang tidak
sependapat dengan hasil ijtihad tersebut sedangkan hakim memutuskan dengan
ketentuan dalam perundang-undangan, maka ijtihad hakim tidak dapat dibatalkan
dengan ijtihad lain. Berbeda pendapat dengan yang dikemukakan Nasution bahwa
ijtihad bisa dilawan dengan ijtihad.
Politik hukum Nasional yang ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara menurut Masrani Basran adalah kodifikasi hukum, dimungkin unifikasi
hukum. Oleh karena kebutuhan yang amat mendesak, maka Mahkamah Agung
berpendapat perlunya ditetapkan sasaran antara yaitu Kompilasi Hukum Islam. 65
Kompilasi Hukum Islam pun harus segera dibentuk, Kompiliasi Hukum Islam
merupakan kumpulan pendapat-pendapat dalam masalah fiqh yang selama ini
dianut oleh umat Islam Indonesia diwujudkan dengan bentuk kitab hukum dengan
bahasa Undang-Undang. Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia di
ataranya dilatarbelakangi oleh beberapa hal:
1.
Kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat mengenai
masalah hukum Islam.
64
Ibid., hlm. 17
65
Ibid., hlm. 59.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
36
Menurut K.H. Hasan Basry Ketua Umum MUI, sesorang yang punya andil
besar dalam pembentukan Kompilasi Hukum Islam, Umat Islam di
Indonesia memerlukan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman fiqh
yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh
seluruh Bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini diharapkan
tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga
Peradilan Agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah
fiqh akan diakhiri. 66 Sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam, dalam
praktik ada keputusan Peradilan Agama yang saling berbeda dan
mengakibatkan Keputusan Peradilan Agama tidak seragam padahal
kasusnya sama. Bahkan Keputusan tersebut dapat dijadikan alat politik
untuk memukul orang lain yang dianggap sepaham.
Menurut Pendapat Hakim Agung Bustanul Arifin, yang juga merupakan
tokoh berperan besar dalam pembentukan Kompilasi Hukum Islam,
Hukum Islam (fiqh) tersebar sejumlah besar kitab susunan para fuqaha
beberapa abad yang lalu. Dalam setiap masalah selalu ditemukan lebih dari
satu pendapat (qaul), hal ini menyebabkan masyarakat bertanya “Hukum
Islam yang mana?” Pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu
mungkin telah menganut paham tertentu. Bustanul Arifin tidak
mengingkari adanya perbedaan pendapat, namun jika diberlakukan di
Pengadilan suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang untuk
kepastian hukum. 67
2.
Masalah fiqh berbeda-beda dikhawatirkan jadi pemecah.
Sebuah perbedaan di antara fiqh-fiqh yang ada semestinya membawa
rahmat, bukanlah perpecahan. Jangan sampai fiqh yang seharusnya
membawa rahmat justru menjadi perpecahan yang nantinya mendatangkan
laknat Allah.
66
Ibid., hlm. 20.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
37
Dasar Peradilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Hal ini membuka peluang
bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak
yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang
memang tidak menguntungkannya, seraya menunjuk kitab/pendapat yang
menawarkan penyelesaian yang berbeda. Antara para hakim pun sering
berselisih sesama mereka tentang pemilihan kitab rujukan.
Fiqh yang kita pakai sekarang jauh sebelum lahirnya paham Kebangsaan.
Ketika itu praktik ketatanegaraan Islam masih memakai konsep umat.
Berbeda dengan paham kebangsaan, konsep umat menyatukan berbagai
kelompok masyarakat dengan tali agama. Paham kebangsaan baru lahir
setelah Perang Dunia Pertama, kemudian Negara-negara Islam pun
menganutnya, termasuk negara-negara di Dunia Arab. Dengan demikian,
kita tak lagi bisa memakai sejumlah produk dan peristilahan yang
dihasilkan sebelum lahirnya paham kebangsaan itu. 68
3.
Pemilihan kitab rujukan yang ada di antara hakim berbeda.
Kitab-kitab rujukan bagi Pengadilan Agama pada dasarnya sangat
beragam, akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat Edaran Biro
Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan
tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari’iyay di luar Jawa dan
Madura. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk
mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara
maka para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah dianjurkan
agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah ini: 69
1. Al Bajuri,
2. Fathul Muin dengan syarahnya
3. Syarqawi alat tahrir
4. Qulyubi/Muhalli
68
Ibid., hlm. 23.
69
Ibid., hlm. 22.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
38
5. Fathul Wahab dengan Syarahnya
6. Tuhfah
7. Targhibul Musytaq
8. Qawaninusy Syar’iyah lissayyid Usman bin Yahya
9. Qawaninusy Syar’iyah lissayid Shodaqoh Dakhlan
10. Syamsuri lil Fara’idl
11. Bughyatul Mustarsyidin
12. Al Fiqh ‘alal Muadzahibil Arba’ah
13. Mughnil Muhtaj
Umumnya kitab-kitab tersebut adalah kitab-kitab kuno dalam Mahzab
Syafi’i, kecuali mungkin untuk kitab Al Fiqh ‘alal Muadzahibil Arba’ah
termasuk bersifat komparatif atau perbandingan Madzhab. Hampir semua
kitab ditulis dalam bahasa Arab, kecuali kitab Qawaninusy Syar’iyah
lissayyid Usman bin Yahya yang ditulis dalam bahasa Melayu Arab.
Materi yang ada di dalam kitab-kitab rujukan tersebut masih belum
memadai dan kepastian hukum yang merupakan kebutuhan bagi pencari
keadilan masih belum terpenuhi. Di antara ke-13 kitab rujukan tersebut
pun sudah jarang menjadi rujukan para hakim Pengadilan Agama di
Indonesia.
4.
Kitab kuning yang merupakan ijtihad, berisi pendapat dan pasti berbeda
antara pendapat mujtahid yang satu dengan yang lainnya
Menurut tulisan Masrani Basran, Situasi Hukum Islam di negara Indonesia
tetap tinggal dalam kitab-kitab kuning, kitab-kitab yang merupakan
karangan dan bahasan Sarjana-sarjana Hukum Islam, sebagai karangan dan
hasil pemikiran (ijtihad seseorang), maka tiap-tiap kitab kuning itu
diwarnai dengan pendapat dan pendirian masing-masing pengarangnya.
Untuk dasar pemberian fatwa-fatwa tergantung pada kemauan dan
kehendak orang-orang yang meminta fatwa tersebut. 70
70
Ibid., hlm. 25.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
39
Hakim Pengadilan Agama harus mampu menentukan hukum dalam suatu
perkara/sengketa
yang
harus
mampu
mengatasinya,
mencarikan
pemecahannya dan bila ia tidak mampu melakukannya akan merusak rasa
keadilan bagi pihak-pihak yang mencari keadilan. Dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara merupakan suatu masalah adanya perbedaanperbedaan pendapat tentang hukum, seharusnya diberikan batasan-batasan
tertentu melalui putusan-putusan Hakim inconcreto, dalam perkara secara
konkret sehingga perbedaan-perbedaan pendapat tersebut akan diarahkan
pada kesatuan pendapat, kesatuan penafsiran tentang suatu aturan hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Selain itu, kitab kuning yang ada ditulis dalam bahasa Arab abad 8,9 dan
10 M sehingga yang bisa membacanya hanyalah orang-orang yang benarbenar belajar khusus untuk itu, diperkirakan di Indonesia jarang yang
melakukannya dan makin hari semakin sedikit, apalagi untuk memahami
isi kitab kuning tersebut. Hal ini menyebabkan rakyat yang sebenarnya
amat berkepentingan untuk mengetahui hak dan kewajibannya hanya
mempercayakan pendapat dari ulama baik berupa nasihat maupun fatwa
ulama saja. Dengan demikian, hakim-hakim Pengadilan akan kehilangan
kewibawaannya dalam memberikan keputusan, walau benar sekali pun
tetap diragukan jika berbeda dengan pendapat fatwa. Hukum akan sulit
ditegakkan dan semakin sulit meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
jika ada kekacaauan pengertian antara putusan Hakim (Qada) dan fatwa
(Ifta). Menurut Masrani Basran, untuk mengatasi kesulitan tersebut,
dilaksanakan
proyek
yurisprudensi
Islam
yang
beruang
lingkup
mengadakan Kompilasi Hukum Islam.
Selanjutnya, Yahya Harahap, salah seorang Hakim Agung yang juga
punya andil besar dalam pembentukan Kompilasi Hukum Islam
menekankan pada adanya penonjolan kecendurungan mengutamakan
fatwa atau penafsiran ulama dalam menemukan dan menerapkan hukum,
para Hakim di Peradilan Agama sudah menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
40
landasan hukum. Kitab-kitab fiqh sudah berubah fungsi dari semula
sebagai literatur pengkajian ilmu hukum Islam menjadi “Kitab Hukum”
(perundang-undangan). 71 Hukum Islam yang diterapkan dan ditegakkan
seolah-olah bukan lagi berdasarkan hukum tapi sudah menjurus ke arah
penerapan menurut kitab. Pertimbangan dan putusan dijatuhkan,
berdasarkan pada kitab. Seharusnya Pengadilan harus berdasarkan hukum.
Orang tidak boleh diadili berdasarkan buku atau pendapat ahli atau ulama
manapun karena hal ini tidak dapat dipertahankan .
M. Yahya Harahap dalam tulisannya menyebutkan tujuan dari pembentukan
Kompilasi Hukum Islam, di antaranya:
a. Untuk merumuskan secara sistematis Hukum Islam di Indonesia secara
konkret.
b. Guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di Lingkungan
Peradilan Agama.
c. Sifat kompilasi berwawasan nasional (bersifat supra sub kultural, aliran atau
mahdzab) yang akan diperlakukan bagi seluruh masyarakat Islam Indonesia,
jika timbul sengketa di depan sidang Peradilan Agama (kalau di luar proses
peradilan, tentu bebas menentukan pilihan dari sumber fiqh yang ada).
d. Dapat terbina penegakan kepastian Hukum yang lebih seragam dalam
pergaulan lalu lintas masyarakat Islam.
Dengan demikian penyusunann Kompilasi Hukum Islam diharapkan
merupakan peeraturan-peraturan hukum Islam yang sesuai dengan kondisi
kebutuhan hukum dan kesadaran hukum umat Islam Indonesia. Gagasan ini
pernah disampaikan oleh Prof. Hasbih Ash-Shidiqi dan Prof. Hazairin S.H. akan
perlunya disusun Fiqh Indonesia.
2.3.2. Metode Perumusan Kompilasi Hukum Islam
Metode peumusan KHI adalah metode yang dilakukan dalam penyusunan
perumusan. Penyusunan rumusan dilakukan dengan metode berpikir, analisis dan
pengkajian yang telah ditentukan sebagai patokan. Patokan-patokan yang
71
Ibid., hlm. 27
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
41
ditetapkan dicari dari berbagai sumber dan pendapat yang dianggap dapat
dipertanggungjawabkan pandangan dan pemikirannya. Pandangan dan pemikiran
itu kemudian diuji pula kebenarannya dengan kenyataan sejarah serta
perkembangan hukum serta Yurisprudensi Hukum Islam dari massa ke massa. 72
Secara ringkas, metode perumusan Kompilasi Hukum Islam adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan pendekatan perumusan dengan berpijak kepada sumber utama
dari nash Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Melalui pendekatan yang
memfokuskan kepada Nash Al Qur’an dan Sunnah. Sejak semula
penyusunan perumusan dapat melepaskan diri dari ikatan pendapat
berbagai mahzab yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh. Akan tetapi
meskipun perumusannya mengacu pada sumber Nash, Al Qur’an dan
Sunnah, namun pelaksanaannya dilakukan dengan langkah-langkah yang
luwes yang mengacu kepada beberapa pemikiran dan pengkajian dengan
memperhatikan tujuan atau jiwa dan semangat Syara’ (Maqasid Al
Syariyah).
Kitab-kitab fiqh diteliti , khususnya pada bidang hukum keluarga
(perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah dan wakaf. Kemudian hasil
penelitiannya diolah lebih lanjut oleh tim proyek bagian pelaksana bidang
kitab dan yurisprudensi. Selain kitab-kitab fiqh, kitab-kitab kuning yang
dijadikan dasar untuk hakim dalam memutuskan sesuatu juga diteliti.
Kitab-kitab kuning yang langsung dikumpulkan dari imam-imam mazhab
dan syarah-syarahnya yang dianggap mempunyai otoritas. Hal yang dicari
adalah kaidah-kaidah hukum dari imam mahzab tersebut beserta dalildalil/argumentasinya kemudian disesuaikan dengan klasifikasi bidangbidang hukum menurut ilmu hukum umum. 73
2. Melakukan pendekatan perumusan Kompilasi Hukum Islam dengan
mengutamakan pemecahan problema masa kini dengan mengejar
72
Daden Muslihat, “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan Agama di
Indonesia” (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafiiyah, Jakarta, 1993), hlm. 39.
73
Atik Andrian, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Kajian Materi Kompilasi
Hukum Islam dalam Perspektif Fikih Konvensional dan Pembaharuan” (Tesis Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Pascasarjana UI, 2004),
hlm. 53.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
42
ketentuan dan ketetapan kehendak yang mampu mengatur dan
memperbaiki tatanan serta ketertiban kehidupan masyarakat Islam.
3. Melakukan pendekatan perumusan KHI dengan memperhatikan prinsip
“Unity dan Variety” yaitu semacam bentuk sosiologis yang mengacu pada
kondisi yang “satu dalam keragaman.”
4. Melakukan pendekatan perumusan Kompilasi Hukum Islam dengan
pendekatan kompromi dengan hukum Adat. Pendekatan Kompromi
perumusan ini terutama untuk mengantisipasi perumusan nilai-nilai hukum
yang tidak dijumpai nashnya dalam Al Qur’an dan Sunnah, sedangkan
pada sisi lain, nilai-nilai itu sendiri telah tumbuh subur berkembang
sebagai norma adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Di samping itu,
nilai-nilai adat kebiasaan yang dalam konteks ilmu hukum Islam disebut
dengan istilah ‘Urf itu nyata-nyata membawa kemaslahatan ketertiban
serta kerukunan dalam kehidupan masyarakat.
2.3.3. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam merupakan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 tanggal 10 Juni 1991. Bagi pemeluk Islam telah ditetapkan oleh UndangUndang yang berlaku adalah Hukum Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan
dan wakaf maka Kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum materiilnya dapat
ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi Presiden. Dasar hukum untuk
Instruksi Presiden adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan Pemerintahan Negara. Menurut
Ismail Suny apakah dinamakan Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden
kedudukannya sama. Menurut Tahir Azhary, dalam hubungannya dengan
Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden sebagai produk eksekutif yang
bersifat instruktif seyogyanya dilihat dari sudut pelaksanaan Hukum Islam oleh
Instansi Pemerintah dan masyarakat. 74 Instruksi Presiden ini ditujukan kepada
74
Tahir Azhary, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Alternatif: Suatu Analisis SumberSumber Hukum Islam. Mimbar Hukum (No. 4 Thn.II 1991) hlm. 15.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
43
Menteri Agama isinya tunggal yaitu menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam. 75
Namun Instruksi Presiden untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam ini
tidak ada penegasan bahwa kompilasi merupakan lampiran dari Instruksi Presiden
sebagaimana lazimnya Instruksi yang serupa sehingga merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari inpres yang bersangkutan. Tidak ada penunjukan teks resmi
dari Kompilasi Hukum Islam yang harus disebarluaskan. Hanya saja dalam
konsideran Instruksi tersebut menyatakan bahwa “Kompilasi Hukum Islam oleh
instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan
sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum
perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan”. Maka kedudukan
kompilasi ini hanyalah sebagai pedoman. “Dapat digunakan sebagai pedoman”
akan dapat menumbuhkan kesan bahwa dalam masalah hukum perkawinan,
hukum kewarisan dan hukum perwakafan, kompilasi tidak mengikat sehingga
para pihak dan instansi dapat memakainya dan dapat pula tidak memakainya. Hal
ini tidak sesuai dengan latar belakang dibentuknya Kompilasi Hukum Islam untuk
dapat digunakan agar tidak ada lagi kesimpangsiuran hakim dalam memutuskan.
Dengan demikian “dapat dijadikan pedoman” harus bermakna sebagai tuntutan
atau petunjuk yang harus bermakna sebagai tuntutan atau petunjuk yang harus
dipakai baik oleh Pengadilan Agama maupun warga Masyarakat dalam
menyelesaikan sengketa mereka dalam bidang hukum perkawinan, hukum
kewarisan maupun hukum perwakafan. 76
Kemudian lebih lanjut yang menjadi dasar dan landasan dari Kompilasi
Hukum Islam adalah Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22
Juli 1991 No. 154 tahun 1991 tentang Pelaksana Instruksi Presiden Republik
Indonesia No.1 tahun 1991 yang dalam salah satu diktumnya menyebutkan bahwa
“dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum Perkawinan, Kewarisan
dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut
di samping Peraturan perundang-undangan lainnya.” Hal yang menjadi perhatian
khusus adalah kata-kata “sedapat mungkin” yang berkaitan dengan kata “dapat
75
Koesnoe, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Varia Peradilan
No. 122 (November, 1995), hlm. 153.
76
Abdurrahman, Loc.Cit, hlm. 55.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
44
digunakan” dalam Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 harus diartikan bukan
dalam
artian
kompilasi
hukum
islam
hanya
dipakai
kalau
keadaan
memungkinkan, tapi sebagai suatu anjuran untuk lebih menggunakan Kompilasi
Hukum Islam dalam penyelesaian sengketa-sengketa perkawinan, kewarisan dan
perwakafan yang terjadi di kalangan umat Islam. 77
Dengan Instruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama, Kompilasi
Hukum Islam dalam hal penyebarannya didukung oleh kekuasaan resmi yaitu
Pemerintah. Penyebaran tersebut pertama-tama ditujukan kepada pemerintah
kemudian kepada masyarakat. 78
Kompilasi Hukum Islam adalah rumusan tertulis Hukum Islam yang hidup
seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia. Kompilasi Hukum
Islam hadir dalam hukum Indonesia melalui isnstrumen hukum Instruksi Presiden
yang diantisipasi dengan Keputusan Meneteri Agama ini menunjukkan fenomena
tata hukum yang dilematis. Pada satu segi pengalaman implementasi program
legislatif nasional memperlihatkan Inpres berkemampuan mandiri untuk berlaku
efektif di samping instrumen hukum lainnya dan karenanya memiliki daya atur
dalam hukum positif Nasional. Pada segi lainnya Inpres tidak terlihat sebagai
salah satu instrumen hukum lainnya dan karenanya memiliki daya atur dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan. Sekalipun demikian Instruksi presidenKompilasi Hukum Islam termasuk makna organik Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan
merambat pada konvensi produk tradisi konstitusional dalam rangkaian
penyelenggaraan negara. 79
Kompilasi Hukum Islam dalam Hukum Islam dapat dilihat dalam dua
kedudukan yaitu sebagai ijma’ dan sebagai peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh pemegang kekuasaan.
80
Menurut Koesnoe, Kompilasi Hukum
Islam merupakan pendapat dari sekelompok ulama dan para pakar hukum Islam
77
Abdurrahman, Loc.Cit., hlm. 57.
78
Koesnoe, Loc. Cit, hlm.151.
79
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakaarta: Gema Insani Pers, 1994), hlm.62.
80
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cetakan kelima, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989) hlm. 60.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
45
yang dapat dikatakan sebagai hasil ijma’ kalangan tersebut. 81 Koesnoe juga
menjelaskan bahwa Kompilasi Hukum Islam dilihat sebagai peraturan perundangundangan dalam tata hukum Indonesia dengan adanya Instruksi Presiden dan
Keputusan Menteri Agama, Kompilasi Hukum Islam dalam hal penyebarannya
didukung oleh kekuasaan resmi yaitu Pemerintah. 82 Suatu peraturan seperti
Kompilasi Hukum Islam bisa mempunyai kekuatan hukum dan mempunyai
tempat dalam sistem hukum nasional karena mengandung sistem formil dan
sistem materiil atau substansiil. Sistem formil mengukur sesuatu dari luarnya
apakah suatu aturan atau keputusan ada dasar formilnya dalam tatanan peraturan
hukum atau tidak. Sistem materiil atau substantiil menilai apakah suatu peraturan
sejiwa dan rechtside yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 atau tidak. 83
Menurut pendapat Kosesnoe, dari tinjauan yuridis formal, sekalipun ada
Instruksi
Presiden
kepada
Menteri
Agama
yang
memerintahkan
penyebarluasannya, kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum
Nasional tetap sebagai suatu karya dari perorangan (swasta) dan bukan merupakan
peraturan resmi yang keluar dari instansi Pemerintah, lebih-lebih bukan suatu
Undang-Undang dan tidak dapat disamakan dengan Undang-Undang. 84 Dengan
adanya Instruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama sebagai pengakuan dan
dukungannya terhdap Kompilasi Hukum Islam bukan berarti mengangkat
Kompilasi Hukum Islam sama dengan Undang-Undang atau hukum tidak tertulis.
Menurut Koesnoe, kedudukan Kompilasi Hukum Islam dapat dilihat sebagai
pandangan bersama para ahlinya (comunis opinio doctorum) sehingga dalam
lingkungan tata hukum belum dapat dikatakan sebagai hukum tidak tertulis. Untuk
dapat disebut sebagai hukum tidak tertulis pun masih ada dua tahap yang harus
dilalui oleh Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
1.
Pandangan bersama para ahlinya (Comunis opinio doctorum) perlu
ditingkatkan dann dikembangkan menjadi pandangan bersama masyarakat
81
Koesnoe, Op. Cit.,hlm.157.
82
Ibid., hlm. 151.
83
Ibid.
84
Koesnoe, Op.Cit., hlm. 154.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
46
muslim (comunis opinio), di tahap inilah letak pentingnya penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam.
2.
Pandangan bersama masyarakat muslim (Comunis opinio) tersebut
diresapi dan berkembang menjadi kesadaran bersama atau menjadi
kesadaran normatif masyarakat muslim. Tahap ini menurut hukum
merupakan tahap comunis opinio necessitatis.
Setelah melalui kedua tahap barulah Kompilasi Hukum Islam dapat dengan
mantap dikatakan sebagai hukum tidak tertulis. 85 Dalam usaha mencapai
kedudukan yang mantap tersebut, isi Kompilasi Hukum Islam harus diwujudkan
dalam keputusan-keputusan hakim melalui Yurisprudensi yang tetap. Dengan
demikian isi Kompilasi Hukum Islam benar-benar sebanding kekuatannya dengan
Undang-Undang. Dalam keadaan demikian Kompilasi Hukum Islam akan menjadi
suatu buku hukum-bukan kodifikasi yang dalam ilmu hukum disebut sebaga buku
hukum yang berpengaruh, atau dalam bahasa Inggris disebut book of authority. 86
Untuk mencapai kedudukan tersebut, Kompilasi Hukum Islam masih memerlukan
penyebarluasan dan penilaian yang positif dari masyarakat, oleh karena itu,
Kompilasi Hukum Islam masih memerlukan perbaikan dan penyempurnaan baik
dari segi penyajian penulisannya maupun dari segi dipenuhinya tuntutan ilmiah
hukum. 87 Walaupun Kompilasi Hukum Islam dianggap baik dan berguna
sehingga pemerintah mendukung penyebarluasannya, kedudukannya dalam sistem
hukum nasional tetap masih berada di luar tatanan hukum positif. Kompilasi
Hukum Islam masih tetap merupakan pendapat dari sekelompok ulama dan para
pakar hukum Islam yang dapat dikatakan sebagai hasil ijma’ bagi kalangan
tersebut. Namun Koesnoe mengakui bahwa bantuan Pemerintah dalam
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam merupakan langkah positif bagi
diketahuinya Kompilasi Hukum Islam oleh kalangan yang berkepentingan secara
lebih luas dan lebih cepat. 88
85
Ibid.
86
Ibid., hlm. 156-158.
87
Ibid., hlm. 157.
88
Ibid., hlm. 157.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
47
Presiden mempunyai beberapa kekuasaan, salah satunya kekuasaan di
bidang legislatif yang dilakukan bersama-sama dengan DPR, sehingga Presiden
tidak bisa sendirian dalam menggunakan kekuasaan di bidang legislatif seperti
halnya membuat Instruksi Presiden. Untuk itu secara yuridis formal Instruksi
Presiden adalah dua tingkat di bawah tingkat di bawah Undang-Undang.
Tahir Azhary melihat Kompilasi Hukum Islam sebagai suatu himpunan
bahan-bahan hukum Islam dalam suatu buku atau lebih tepat lagi himpunan
kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis selengkap mungkin
dengan berpedoman pada rumusan kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan
dalam peraturan perundang-undangan. Ia berpendapat, sebagai pedoman,
Kompilasi Hukum Islam tidak hanya harus diperhatikan tapi juga mempunyai
kekuatan mengikat bagi para Hakim Peradilan Agama.
Menurut M. Tahir Azhary, Kompilasi Hukum Islam pada hakikatnya
merupakan salah satu bentuk variasi dalam proses tasyri’ Islami. Baik melalui
ijma maupun dengan peraturan perundang-undangan perlu dibina keseragaman
hukum Islam. Beragamnya kitab fiqh yang dijadikan rujukan di Pengadilan sering
menyebabkan kasus serupa bila ditangani oleh hakim-hakim diputuskan secara
berbeda pula. 89
Profesor Ismail Sunny dalam tulisannya yang dimuat dalam mimbar
Hukum No. 4 tahun II 1991 mempertanyakan dasar Hukum Islam sebagai hukum
materiil ditetapkan dalam bentuk Instruksi Presiden karena sudah jelas bahwa
dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan bagi pemeluk-pemeluk
Islam telah ditetapkan dengan Undang-Undang yang berlaku adalah Hukum
Islam, maka Kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum materiilnya dapat
ditetapkan oleh Keputusan Presiden/ Instruksi Presiden. Ismail Sunny dalam
disertasinya juga mengutip pendapat S. Attamimi antara lain bahwa sebagai
peraturan yang memperoleh kwenangan atribuitif langsung dari Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, maka selain mengenai materi muatan dan
kedudukan hierarki yang tidak sama, terhadap asas hukum umum dan asas
pembentukan
89
peraturan
perundang-undangan,
posisi
Keputusan
Presiden
Koesnoe, Op. Cit.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
48
berfungsi pengaturan yang mandiri sama dengan posisi Undang-Undang. 90
Karena itu, semua asas hukum dan asas pembentukan yang berlaku bagi Undangundang berlaku juga bagi Keputusan Presiden. Bedanya yang mendasar adalah
apabila Undang-Undang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, Keputusan Presiden berfungsi pengaturan yang mandiri tidak
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 91
Dilihat dari tata hukum nasional, Kompilasi Hukum Islam dihadapkan
pada dua pandangan. Pandangan pertama Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum
tidak tertulis seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan instrumen hukum berupa
Instruksi Presiden yang tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan peraturan
perundang-undangan yang menjadi sumber hukum tertulis. Pendapat kedua adalah
Kompilasi Hukum Islam dikatagorikan sebagai hukum tertulis, menunjukkan
bahwa Kompilasi Hukum Islam berisi law dan rule yang pada gilirannya terangkat
menjadi law dengan potensi political power. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991
dipandang sebagai salah satu produk political power yang mengalirkan Kompilasi
Hukum Islam dalam jajaran law. Pada akhirnya, masyarakat pemakai Kompilasi
Hukum Islam yang menguji keberanian pandangan ini sehingga menjadikannya
sebagai hukum tertulis. Kehadirannya secara formal melalui Instruksi Presiden
No.1 Tahun 1991 pada saatnya akan membuktikan bahwa manusia dipandang
mampu mengantisipasi kebutuhan hukumnya seperti yang dimaksud oleh the
living law daripada sekedar mengklaim adanya the ideal law tanpa akhir. 92
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam menjadi alternatif yang berpengaruh kuat
pada seleksi pengambilan sumber normatifnya. Lima sumber utama yang dipilih
untuk penyusunan Kompilasi Hukum Islam yaitu hukum produk legislatif
nasional yang telah tertuang dalam perundang-undangan dan peraturann lainnya
(seperti Undang-Undang No.1 Tahun 1974); produk yudisial pengadilan dalam
lingkungan peradilan Agama; produk eksplanasi fungsionalisasi ajaran Islam
melalui kajian hukum yang dilakukan Institut Agama Islam Negeri dengan pokok
90
Ismail Sunny, Kompilasi Hukum Islam ditinjau dari Sudut Pertumbuhan Teori Hukum
Islam di Indonesia, mimbar Hukum, No: 4 tahun II, 1991, hlm. 3.
91
Ibid.
92
Abdullah, Op. Cit., hlm. 62.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
49
bahasann sesuai dengan distribusinya; rekaman pendapat hukum 20 orang di
Palembang, 16 orang di Bandung, 18 orang di Surabaya, 18 orang di Surakarta, 15
orang di Banjarmasin, 19 orang di Ujung Pandang, 20 orang di Mataram; hasil
studi perbandingan di Maroko, Turki dan Mesirserta: pendapat dan pandangan
yang hidup pada saat Musyawarah Alim Ulama Indonesia yang diadakan pada
tanggal 2-6 Februari 1989 di Jakarta dengan peserta dari seluruh Indonesia. 93
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam itu sendiri dalam hukum perkawinan
di Indonesia dapat dirinci sebagai berikut: 94
1.
Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan pelaksanaan UndangUndang Perkawinan bagi Pemeluk Agama Islam.
Kompilasi disusun sedemikian rupa sehingga sejalan dengan UndangUndang Perkawinan. Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang
perkawinan terutama ketentuan-ketentuan yang oeh Undang-undang
perkawinan dilimpahkan dan diatur sesuai dengan aturan agama masingmasing dalam Kompilasi Hukum Islam diatur lebih rinci, sebagaimana
Kompilasi merupakan Lex spesialisnya.
2.
Kompilasi Hukum Islam merupakan unifikasi hukum Perkawinan Islam.
Hukum Perkawinan sangat beragam, begitu pula hukum perkawinan dalam
Islam. Oleh karena itu, dengan adanya Kompilasi Hukum Islam,
terwujudlah suatu unifikasi hukum perkawinan Islam yang memiliki
kepastian dan kekuatan hukum sebagai hukum positif. Kekuatan dan
kepastian hukum yang dimiliki oleh Kompilasi Hukum Islam terutama
terhadap pertimbangan-pertimbangan hukum dalam penanganan kasuskasus di Pengadilan Agama. Namun dengan adanya Kompilsi Hukum
Islam yang mengatur masalah perkawinan dalam Buku I tidak dapat
sepenuhnya melahirkan ketentuan-ketentuan yang dapat dianggap sebagai
kompromi bagi perbedaan-perbedaan aliran hukum Perkawinan Islam.
3.
Kompilasi Hukum Islam masih membuka peluang bagi pengaruh adat dan
kebiasaan setempat.
93
Ibid.
94
Moh. Yasin, “Status Harta Kekayaan dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Suatu Perbandingan Hukum),” (Depok,
Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, 2005), hlm. 49-50.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
50
Di tempat-tempat yang masyarakatnya masih memegang kuat mengenai
hukum adat, hukum Islam banyak dipengaruhi oleh hukum adat setempat
yang seringkali sudah dianggap sebagai hukum Islam yang harus ditaati.
Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara tidak boleh
mengabaikan adat dan kebiasaaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 229
Kompilasi Hukum Islam.
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan. 95
95
Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit., psl 229.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
51
BAB 3
KEDUDUKAN HARTA BERSAMA
DALAM HAL PERMOHONAN SITA MARITAL (MARITALE BESLAAG)
3.1.
Harta Kekayaan Pada Umumnya
Harta adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia sehingga
manusia selalu didorong oleh keinginan memiliki harta sebanyak-banyaknya.
Harta yang menutup mata manusia, bagaikan dua mata pedang karena harta
silaturahmi bisa semakin dipererat, karena harta juga manusia bisa saling
menuding, bertengkar, terkam sana-sini, hingga bisa merebut harta orang lain
hanya untuk dikuasai bahkan untuk dimiliki. Oleh karena itu, harta milik yang sah
harus dipelihara dengan baik agar tidak diganggu pihak lainnya yang tidak
mematuhi aturan syariat Islam. Harta yang didapatkan atas hasil usaha adalah hak
bagi pihak yang mengusahakannya, sebagaimana Al Qur’an telah mengaturnya:
Manusia, sebagai khalifah-Nya di bumi, berhak mengurus dan memanfaatkan
milik mutlak Allah itu dengan cara-cara yang benar dan halal
dan berhak
memperoleh bagian dari hasil usahanya (QS 4: 32, 14: 51). 96 Dalam pemanfaatan
kekayaan atau harta miliknya tersebut, manusia tidak boleh boros, karena tidak
sesuai dengan konsumsi Islam yang mengatur penggunaaan harta yang wajar, di
mana barang/ harta yang juga dikaitkan dengan aspek nilai moral yang
manfaatnya menimbulkan perbaikan secara material, moral dan spiritual.
Konsumsi berlebih-lebihan seperti pemborosan (israf), menghaburkan uang
(tabzir) yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan,
dikutuk dalam Islam. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al Isra’ (27) :
Sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat
ingkar kepada Tuhannya. 97
96
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press,
2006), hlm. 21.
97
Al Qur’an dan Terjemahan., Op. Cit., QS: 17:27.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
52
3.1.1. Harta Kekayaan dengan Syirkah
Kedudukan harta seorang muslim/muslimah secara umum, antara harta
kekayaan seseorang dapat disatukan atau digabungkan dengan harta orang lain.
Penggabungan harta disebut juga dengan Syirkah/Syarikah. Pembahasan Syirkah
atau syarikah baik menurut Syafi’i dan pengikut-pengikutnya seperti Nawawi dan
Syarbabani maupun dalam buku-buku lain seperti dalam tulisan Ibnu Hajar al‘Asqalani, Muhammad Ibnu Ismail al-Syan’ani terdapat dalam kitab dagang,
bukan dalam kitab nikah. Berarti persoalan syirkah adalah mengenai pengaturan
persyarikatan atau perkongsian dalam perdagangan atau pemberian jasa kemudian
diterapkan pada soal harta bersama suami-steri dalam membicarakan hukum
perkawinan. 98
Menurut pendapat Imam Syafi’i dalam kitab Jual Beli, Syirkah ada dua
macam:
1. Syirkah Mufawadhah, yaitu syirkah yang tidak terbatas, bentuk dan
penggabungan harta dan usahanya untuk mendapatkan untung meliputi
perolehan masing-masing pihak dengan cara lain seperti salah seorangnya
mendapat hibah, hadiah dan lain sebagainya. Menurut Syafi’i hukumnya
adalah batal, karena mengandung bermacam-macam ghurur (ketidak
tentuan atau penipuan). 99 Namun menurut mahdzab Hanafi, Maliki dan
Hambali hukum syirkah ini boleh. 100
2. Syirkah ‘Inaan, yaitu syirkah terbatas dalam bentuk penggabungan harta
dan usaha untuk mendapatkan untung meliputi perolehan masing-masing
pihak dengan cara lain seperti salah seorang mendapat hibah, hadiah dan
lain sebagainya tetap menjadi milik masing-masing yang memperolehnya.
Masing-masing pihak yang terikat dalam perkongsian punya modal dan
sama-sama bekerja menjalankan usaha dengan keuntungan dibagi sesuai
dengan perjanjian saat perkongsian dibentuk meliputi pula tanggung jawab
di antara para pihak. Menurut Syafi’i hukumnya adalah boleh, karena telah
98
Thalib, Op.Cit., hlm.
99
Ibid.
100
Ahmad Suhaeni, Harta Gono-Fini Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam,
(Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hlm. 12.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
53
jelas harta yang dimasukkan oleh salah seorang anggota syirkah bagi
anggota yang lainnya. 101
Ulama Mahdzab lainnya pun sepakat
membolehkannya.
Nawawi dan Syarbaini , Ulama Madzhab Syafi’i dalam bukunya
“Al-Minhaaj” dan “Mughni al-Muhtaaj” menguraikan lebih lanjut
pendapat Syafi’i dengan menambahkan syirkah-syirkah lainnya yaitu:
1. Syirkah Abdaan, adalah syirkah dalam bidang pemberian jasa atau
melakukan pekerjaan (perkongsian tenaga). Jasa yang diberikan
atau pekerjaan yang dilahirkan mungkin jasa dan pekerjaan yang
sama mungkin pula jasa dan pekerjaan yang berbeda. Beberapa
orang atau pekerja berkongsi melakukan pekerjaan dengan
keuntungan dibagi menurut perjanjian. Menurut Nawawi dan
Syarbaini
adalah
batal
(tidak
boleh)
karena
tidak
ada
penggabungan harta pada syirkah tersebut. Selain itu, syirkah
tersebut mengandung ghurur (penipuan atau ketidaktahuan) karena
seorang yang satu tidak tahu apakah temannya yang satu lagi
punya usaha atau tidak. 102
Namun hukum syirkah ini boleh
menurut mahdzab Hanafi, Maliki dan Hambali. Hanya bedanya
antara tiga mahdzab yang membolehkan yaitu menurut Maliki
mensyaratkan supaya pekerjaan dilakukan harus sejenis dan
setempat. Sedangkan Mahdzab Hanafi dan Hambali tidak. 103
2. Syirkah Wujuuh, adalah syirkah antara dua orang atau lebih
berdasarkan kepercayaan bahwa masing-masing anggota syirkah
membeli sesuatu barang dagangan dengan dasar kepercayaan
bahwa masing-masing anggota syirkah membeli sesuatu barang
dagangan dengan dasar kepercayaan (kredit) dan menjualkannya.
Hukumnya adalah tidak boleh (batal) karena tidak adanya modal
101
Ibid., hlm. 81.
102
Ibid
103
Suhaeni, Op. Cit., hlm. 13.
.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
54
dalam syirkah ini. 104 Sedangkan menurut ulama mahdzab lainnya
syirkah ini dibolehkan.
2.
Selain Syirkah yang telah dijelaskan di atas, ulama Madzhab Syafi’i juga
menyebutkan adanya syirkah Mudharabah yaitu syirkah laba bersama
antara seorang anggota syirkah yang memasukkan modalnya ke dalam
syirkah itu sedang anggota yang lain memasukkan tenaga serta keuntungan
bersama dengan syarat-syarat tertentu. Syirkah Mudharabah dianggap
disahkan oleh ulama pengikut Syafi’i.
Selain itu Syirkah menurut pandangan Ulama Mahdzab Hanafi, di
antaranya adalah:
1.
Syirkah Milik, adalah Syirkah terhadap suatu benda atau kekayaan
dengan tidak ada sengaja mengadakan perjanjian khusus terlebih
dahulu. Contohnya syirkah antara dua orang saudara atas sebuah
rumah tempat tinggal mereka yang berasal dari orang tua mereka
kepada mereka berdua.
2.
Syirkah ‘Uquud, adalah syirkah yang timbul karena adanya
perjanjian terlebih dahulu antara dua orang atau lebih mengenai
sesuatu usaha atau hal lain.
Menurut Hanafi, hukum syirkah tersebut adalah boleh. Ketentuan umum
yang diberikan oleh Hanafi adalah bahwa kekayaan diperoleh di luar syirkah tetap
menjadi milik masing-masing. Mahdzhab hanafi tidak menggolongkan syirkah
Mudharabah ke dalam golongan syirkah.
3.1.2. Harta Bersama (Syirkah) antara Suami-Isteri
Beberapa macam harta yang lazim dikenal di Indonesia antara lain:
1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena
usaha mereka masing-masing, di Bali disebut Guna Kaya, Di Sumatera
Selatan disebut harta pembujang jika dihasilkan oleh gadis. Harta jenis
ini adalah hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak (suami atau
104
Thalib, Loc. Cit.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
55
isteri). Menurut Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, harta ini tetap
di bawah penguasaan masing-masing pihak. 105
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 106
2. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua
mempelai, mungkin berupa modal usaha, perabot rumah tangga atau
mungkin rumah tempat tinggal suami isteri tersebut.
3. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tetapi karena
hibah atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga terdekat. Di
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta disebut sebagai harta
Gawan, sedangkan di Jakarta disebut Barang Usaha.
4. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan
perkawinan berlangsung atas usaha mereka berdua atau usaha salah
seorang dari mereka yang disebut sebagai harta pencaharian. Menurut
Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 35 ayat (1) diatur bahwa harta
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. “Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, sesudah mereka
berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah
seorang dari mereka yang disebut harta pencaharian, menurut Hukum Islam
terdapat dua versi jawaban yang dapat dikemukakan tentang harta bersama, ada
yang berpendapat bahwa tidak dikenal harta bersama dalam lembaga Islam
kecuali dengan Syirkah, dan ada pula pendapat yang menyatakan bahwa ada harta
bersama antara suami dan isteri menurut Hukum Islam.
105
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 28.
106
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
56
3.1.2.1. Pendapat yang Mengatakan Bahwa Tidak Dikenal Harta Bersama
dalam Lembaga Islam
Pada dasarnya menurut Hukum Islam, harta suami isteri terpisah. Masingmasing memiliki hak untuk membelanjakan atau menggunakan hartanya dengan
sepenuhnya tanpa boleh diganggu oleh pihak lain. Baik merupakan harta
bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami
isteri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta yang diperoleh oleh salah
seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka
menikah. 107
Dalam Al Qur’an tidak diatur mengenai harta bersama suami isteri dalam
perkawinan. Ketentuan tentang harta ini dapat digunakan Surat An Nisa:32 yang
artinya:
Dan Janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan
Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (karena) bagi
laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi
perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh Allah
Maha mengetahui segalanya. 108
Pernyataan Hazairin mengenai Surah An Nisaa:32:
“....Qur’an tidak mengandung ketentuan tentang harta bersama
dalam perkawinan. Surah An Nisa:32 hanya menegaskan bahwa
perempuan dan laki-laki sama-sama berlaku atau berusaha dan
untuk memperoleh rezeki dari usahanya masing-masing.....
Kesimpulannya: Qur’an tidak mengatur lembaga harta bersama
dalam perkawinan, yaitu bahwa setiap sesuatu yang diperoleh
suami atau oleh isteri secara usaha masing-masing atau secara
usaha bersama menjadi harta bersama dalam perkawinan. Segala
sesuatu yang tidak diatur dalam Al Qur’an yang belum cukup jelas
107
Djubaedah, Op. Cit., hlm. 122.
108
Al Qur’an dan Terjemahannya, Op. Cit., QS. IV:32.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
57
bagi umat, otonomi menjadi hak setiap masyarakat Islam untuk
mengaturnya secara Syura bainahum” 109
Ayat ini dapat ditafsirkan bahwa tidak ada harta bersama antara suami dan
apa yang diterima isteri di luar pembiayaan rumah tangga, pendidikan anak serta
nafkah sewajarnya dari suami sesuai dengan kesanggupan suami seperti
kebutuhan makanan, pakaian, tempat kediaman yang menjadi hak isteri.
Pemberian di luar hak-hak yang seharusnya diterima isteri tersebut seperti
contohnya hadiah perhiasan berupa cincin, gelang dan sebagainya menjadi hak
isteri dan tidak boleh diganggu gugat lagi oleh suami. Begitu pula apa yang
diusahakan oleh suami keseluruhannya tetap menjadi hak milik suami, kecuali
dilakukan syirkah (perjanjian bahwa harta mereka bersatu).
Dengan kata lain ijtihad terhadap harta bersama harus dilakukan.
Berdasarkan uraian tersebut maka cukup jelaslah bahwa harta bersama memang
tidak diatur oleh Al Qur’an dan Sunnah.
Selain itu, ada alasan lain dalam Surat An Nisa:29 yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar),
kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh
Allah Maha Penyayang kepadamu. 110
Ayat ini, ditafsirkan oleh para ulama, bahwa: 111
1.
Islam mengakui adanya hak milik perseorangan yang berhak mendapat
perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat.
2.
Hak milik perseorangan bila banyak wajib dikeluarkan zakatnya dan
kewajiban lainnya untuk kepentingan agama, negara dan sebagainya.
109
Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor: 1-1974 (Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1975) hlm. 30 dan mengacu pada Surah 42: 38.
110
Al Qur’an dan Terjemahannya, Op. Cit., QS. IV: 29.
111
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
58
3.
Sekalipun seseorang mempunyai harta yang banyak dan banyak pula orang
yang memerlukannya dari golongan orang yang berhak zakatnya, tetapi
orang itu tidak boleh diambil begitu saja tanpa seizin pemiliknya atau tanpa
menurut prosedur yang sah.
Harta suami isteri yang terpisah itu, memberikan hak yang sama bagi isteri
dan suami mengatur hartanya sesuai dengan kebijaksanaannya masing-masing.
Lain halnya wanita yang bersuami menurut aturan Pasal 119 Kitab UndangUndang Hukum Perdata ”Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum
berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami-isteri, jika tidak diatur
dalam perjanjian kawin.”. Dengan demikian, suami sendirilah yang harus
mengatur harta persatuan. Isteri tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap harta persatuan dalam perkawinan walaupun harta
persatuan terdiri atas harta kekayaan isteri yang lebih banyak. 112 Sebagaimana
ditentukan dalam pasal 1330 KUH Perdata yang menyatakan perempuan tidak
cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Isteri tidak dapat bertindak sendiri
tanpa bantuan suami. Hal ini tentunya sangat tidak adil bagi kaum perempuan.
Berbeda halnya dengan pengaturan dalam Hukum Islam, baik suami
maupun isteri berhak dan berwenang atas harta kekuasaan masing-masing. Suami
tidak berhak atas harta isterinya karena kekuasaan isteri terhadap hartanya tetap
dan tidak berkurang disebabkan dengan adanya perkawinan. Hal ini menunjukkan
di bidang harta benda atau kekayaan baik suami maupun isteri mempunyai
kedudukan dan kewenangan yang sama.
113
Kedua belah pihak cakap melakukan
perbuatan hukum khususnya terhadap harta kekayaan.
Pada Keputusan Landraad Van Justitie Jakarta tanggal 28 Desember 1928
menetapkan bahwa tidak ada milik bersama antara suami isteri meskipun barang
diperoleh karena pekerjaan dan kerajinan bersama kecuali jika hal itu dengan jelas
disetujui pada perkawinan dengan diadakannya syirkah (perjanjian bahwa harta
mereka bersatu). 114 Hal ini menegaskan menurut Hukum Islam antara suami isteri
tidak dikenal harta bersama kecuali para pihak setuju diadakannya syirkah.
112
Ramulyo, Op. Cit., hlm. 30.
113
Ibid., hlm. 30.
114
Ibid. hlm. 32.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
59
Pengaturan mengenai harta benda di bidang perkawinan oleh keempat
imam (Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki) dalam kitab Bidayatul Mujtahid
(literatur fiqh di bidang hukum perkawinan) secara tegas merinci dua hal: 115
1. Pengaturan mengenai permasalahan mahar; yang mengatur tentang hukum
mahar dan unsur-unsurnya, penentuan keseluruhan mahar bagi isteri, tentang
pemaruhan mahar, tentang tafwidh mahar dan hukumnya, tentang mahar yang
rusak dan hukumnya dan tentang persengketaan suami-isteri berkenaan
dengan mahar.
2. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami isteri mengenai nafkah
Dari pembahasan mengenai harta dalam Bidayatul Mujtahid tidak ditemukan
pengaturan lainnya mengenai harta benda dalam perkawinan, khususnya tentang
harta bersama. Tidak tercantumnya ketentuan harta bersama memberikan dasar
untuk suatu pemikiran yaitu harta bersama memang tidak diatur dalam empat
mahzab hukum fiqh di bidang perkawinan.
Menurut Satria Effendi mengenai Harta Bersama:
“...... sepanjang yang penulis ketahui, tidak di setiap negeri Islam
terjadi sengketa pembagian dalam sebuah rumah tangga, pada
mulanya didasarkan atas ‘Urf atau adat istiadat dalam sebuah
negeri yang tidak memisahkan antara hak milik suami-isteri. Harta
bersama tidak ditemukan dan harta isteri dalam sebuah rumah
tangga. Harta Pencaharian suami selama dalam perkawinan adalah
harta suami, bukan dianggap harta bersama dengan isteri.” 116
Menurut pendapat Mr. Haji Abdullah Siddik dalam bukunya Hukum Perkawinan
Islam, disebutkan bahwa menurut Hukum Perkawinan Islam status harta seorang
perempuan tidak berubah dengan sebab perkawinannya, tidak ada timbulnya
automatis kepunyaan bersama atas harta benda sang suami dan isteri. Menurut
115
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid (Semarang: Asy Syifa, 1990) hlm. 351-664. Selain
itu juga dapat dilihat pada T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970), hlm. 232-300. Lihat juga Muhammad Jawad Mughiyah, Fiqh 5 Mahzab (Jakarta:
Lentera Basritama, 1996) hlm. 309-494.
116
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyah (Jakarta: Prenada Media, 2004) hlm. 59.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
60
ajaran agama Islam hubungan antara pria dan wanita didasarkan pada prinsip
perimbangan hak dan tanggung jawab yang timbal balik. Baik wanita maupun pria
adalah sama di mata Tuhan. Wanita dalam Islam benar-benar merdeka dalam
urusan hak miliknya boleh menjual, menggadaikan, menghibahkan hartanya
terlepas dari kekuasaan orang lain termasuk suaminya. Harta kepunyaan isteri
tetap menjadi miliknya pribadi baik yang dibawanya di waktu kawin maupun
yang didapatinya selama dalam perkawinan dari hasil usahanya sendiri dan
sebagainya. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa Hukum Perkawinan Islam
tidak ada harta bersama, hanya Hukum adat di Indonesialah yang mengakui harta
bersama.
Salah satu rukun dalam melakukan perkawinan menurut Islam adalah
dengan akad nikah berupa ijab dan qabul, pada prinsipnya menurut hukum islam
akad nikah tidak mempunyai akibat hukum terhadap pemilikan harta masingmasing. Suami masih terikat dengan hak dan kewajiban atas hartanya sendiri
sesudah akad sama seperti sebelum akad nikah diadakan.117
Dapat disimpulkan pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada
harta bersama ini, harta yang menjadi hak isteri tetap menjadi milik isteri dan
tidak dapat diganggu gugat termasuk oleh suami, begitu pula apa yang diusahakan
oleh suami keseluruhannya tetap menjadi hak milik suami kecuali bila ada
syirkah, perjanjian bahwa harta suami-isteri tersebut bersatu.
3.1.2.2. Pendapat yang mengatakan bahwa ada harta bersama antara suami
dan isteri menurut Hukum Islam
Walaupun harta suami isteri terpisah, dan diberikan hak yang sama bagi
isteri dan suami mengatur hartanya sesuai dengan kebijaksanaannya masingmasing., menurut Sajuti Thalib, ada kemungkinan syirkah atas harta kekayaan
suami isteri secara resmi dan menurut cara-cara tertentu.
Harta bersama dimungkinkan dengan adanya syirkah, di mana kekayaan
baik dari pihak suami maupun isteri bersatu seakan-akan menrupakan harta
kekayaan tambahan. Dengan perkawinan isteri menjadi syarikatur rajuli filhayati,
yaitu kongsi sekutu seorang suami dalam melayari bahtera hidup. Antara suami117
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 1995),
hlm. 111.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
61
isteri dapat terjadi syirkah abdan (perkongsian pekerjaan). Di mana Syirkah
Abdan ini diperbolehkan karena tidak mengandung ghurur atau penipuan. Jika
antara suami isteri melakukan usaha bersama selama perkawinan menjadi milik
bersama. Dengan demikian apabila kelak perjanjian perkawinan itu putus karena
perceraian atau thalak, maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami isteri
menurut pertimbangan sejauh mana usaha mereka suami atau isteri ikut berusaha
dalam syirkah.
Cara terjadinya syirkah di antaranya adalah: 118
1.
Mengadakan perjanjian syirkah secara nyata-nyata tertulis atau diucapkan
sebelum atau sesudah langsungnya akad nikah dalam suatu perkawinan,
baik untuk harta bawaan atau harta yang diperoleh setelah perkawinan tapi
bukan atas usaha mereka ataupun dari harta pencaharian.
2.
Ditetapkan dengan Undang-undang/ peraturan perundang-undangan,
bahwa harta yang diperoleh atas usaha salah seorang suami-isteri atau oleh
kedua-duanya selama masa perkawinan (dalam hubungan perkawinan)
adalah harta bersama atau harta syirkah suami isteri tersebut.
Diam-diam terjadi syirkah pada harta kekayaan yang diperoleh atas usaha
selama masa perkawinan, jika pada kenyataannya suami isteri bersatu dalam
mencari dan membiayai hidup. Cara ini khusus untuk harta bersama.
Menurut Sajuti Thalib, harta suami isteri dapat dilihat dari tiga sudut
pandang: dilihat dari sudut asalnya harta suami isteri, dilihat dari sudut
penggunaannya, dan dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam
masyarakat. Harta suami-isteri jika dilihat dari sudut asalnya harta suami isteri
dapat digolongkan menjadi:
1. Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum suami isteri
menikah, baik diperoleh karena mendapat warisan, hadiah, atau usaha mereka
sendiri-sendiri. Harta ini sering juga disebut sebagai harta bawaan. Masingmasing pihak masih memiliki dann menguasai harta bersamanya, mencakup
juga atas kerugian dan keuntungan yang ditimbulkan dari harta bawaannya
tersebut. penggabungan harta bawaan tersebut diperbolehkan bahkan sangat
118
Thalib, Op. Cit., hlm. 84-85.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
62
dianjurkan yang dilakukan dengan syirkah sehingga keuntungan dan kerugian
yang timbul ditambahkan dan dibebankan pada harta syirkah tersebut.
2. Harta masing-masing suami isteri yang dimiliknya sesudah mereka berada
dalam
hubungan
perkawinan,
diperoleh
selama
pernikahan,
tetapi
diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau bersamasama melainkan diperoleh karena warisan, wasiat ataupun hibah untuk
masing-masing.
3. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan
atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka. Harta jenis ini
disebut juga sebagai harta pencaharian yang merupakan harta bersama bagi
suami-isteri.
Dengan adanya syirkah, diharapkan perceraian dapat diminimalisir, harta
utuh untuk kehidupan bersama suami isteri. Berkaitan dengan harta pencaharian,
yang dapat disoroti adalah status hukum dari harta pencaharian tersebut, apakah
dapat dianggap sebagai harta bersama suami isteri. Al Qur’an dan Sunnah Rasul
tidak mengatur dengan tegas mengenai hal tersebut, meskipun antara Suami-isteri
tidak terdapat harta bersama dapat mengadakan syirkah atau percampuran harta
kekayaan yang diperoleh suami dan/atau isteri selama masa adanya perkawinan
atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri atau usaha mereka bersama. Harta yang
dapat disyirkahkan adalah harta yang dimiliki suami-isteri baik berupa harta
bawaan, harta yang diperoleh atas usaha masing-masing atau bersama selama
perkawinan, maupun harta yang diperoleh selama perkawinan atas dasar
pemberian warisan, wasiat, atau hibah.
Masalah syirkah atau harta bersama asal mulanya dari hukum adat
setempat. Sesuai dengan perkembangan zaman, manusia berubah, hukum pun
terus menerus berubah. Seperti halnya dengan hukum yang mengatur syirkah.
Dapat terjadi di masyarakat Indonesia karena adanya: 119
a. Kesempatan si isteri mencari kekayaan dan berusaha sendiri sangat
terbatas dibanding dengan kesempatan suami. Beberapa regulasi di
Indonesia masih menerapkan perbedaan gender khususnya di bidang
119
Thalib, Op. Cit.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
63
pekerjaan tertentu. Untuk jabatan positional tertinggi di suatu
perusahaan hanya bisa diisi oleh laki-laki.
b. Terselenggaranya dengan baik bagian pekerjaan yang dipegang oleh si
isteri dalam suatu rumah tangga yang merupakan pekerjaan yang
cukup berat, merupakan sebab langsung bagi si suami untuk dapat
menguruskan pekerjaan dan usahanya jauh dari rumah mereka dengan
perasaan tenang dan sungguh-sungguh. Isteri bekerja sebagai ibu
rumah tangga seringkali diremehkan dengan asumsi pihak isteri tidak
melakukan pekerjaan di kantor sehingga tidak pantas menerima
gaji/upah, padahal jika dihitung-hitung menjadi seorang ibu rumah
tangga lebih mempunyai resiko dan tantangan yang besar dan tidak
kalah sulitnya dengan wanita karir.
Dalam surah An Nisa: 21 disebutkan bahwa: Hak isteri seimbang dengan
kewajiban suami yang diberikan kepadanya secara baik-baik (makruf). 120
Menurut pendapat Prof. Dr. Hazairin, S.H yang dikutip dari buku Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat
Menurut Hukum Islam yang disusun oleh Mohd. Idris Ramulyo: Harta yang
diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka
bekerja bersama-sama ataupun hanya sang suami saja yang bekerja sedangkan
isteri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di rumah, sekali
mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka
semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anak tanpa perlu diringi
syirkah, sebab perkawinan dengan ijab qabul serta memenuhi persyaratan lainnya
seperti adanya wali, saksi, mahar, walimah dann ‘ilanun nikah sudah dapat
dianggap syirkah antara suami-isteri. 121 Sebab perkawinan menurut hukum islam
merupakan akad yang sangat kuat.
Perkawinan menurut ajaran Islam merupakan suatu perjanjian yang
langsung antara laki-laki dan perempuan. Nikah dalam Islam adalah suatu
120
Al Quran dan Terjemahannya, Op.Cit.
121
Ramulyo, Op. Cit, hlm. 34.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
64
perjanjian suci bagi tiap-tiap orang Islam yang harus dilakukannya, merupakan
pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja
antara suami isteri dan turunan bahkan antara dua keluarga. 122 Nikah diawali
dengan ijab-qabul yang merupakan unsur dari perikatan (akad), Menurut
pandangan Hanafi, hanya karena tidak ada ijab saja atau hanya karena qabul saja
akad tidak akan pernah terwujud sama sekali. 123
Selain itu dalam kaidah ushl
fiqh ada disebutkan bahwa “Tidak ada
kemudharatan dan tidak boleh memudharatkan. Hal tersebut mengisyaratkan
bahwa penyelesaian harta bersama harus dilakukan secara adil dalam pembagian
antara suami dan isteri, dalam praktik sehari-hari bila terjadi perceraian di antara
suami-isteri biasanya harta bersama dibagi dua dengan pembagian yang sama
rata. 124
Ketentuan mengenai harta bersama diatur dalam pasal 85 Kompilasi
Hukum Islam, yang menyatakan dikenalnya harta bersama suami isteri.
“Adanya Harta Bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.”
Secara detail, Yahya Harahap memberikan gambaran sejauh mana ruang
lingkup harta dikatakan sebagai harta bersama dalam kehidupan perkawinan,
menurutnya ada lima katagori yaitu: 125
a. Harta yang dibeli selama perkawinan
Patokan pertama untuk menentukan apa suatu barang termasuk objek harta
bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang dibeli
selama perkawinan maka harta tersebut menjadi objek harta bersama suami
isteri, tanpa mempersoalkan:
1) Apakah isteri atau suami yang membeli
2) Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami
122
Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Tintamas, 1983), hlm. 28.
123
Kuzari, Op. Cit., hlm. 12.
124
Bahdar Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi
Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Hibah, Wakaf dan Shadaqah (Bandung: Mandar,
1993), hlm. 34.
125
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Karting, 1993) cet ke-3,
hlm. 302-306.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
65
3) Apakah harta itu terletak di mana hal ini telah menjadi sesuatu yang
permanen sebagaimana dikemukakan dalam putusan Mahkamah
Agung tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/Sip/1970.
b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta
bersama
Patokan harta bersama berikutnya ditentukan oleh asal usul biaya
pembelian atau dibangun sesudah terjadi perceraian. Misalnya, suami isteri
selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang bersama.
Kemudian terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan dikuasai oleh
suami dan belum dilakukan pembagian. Harta seperti ini dikatagorikan
sebagai harta bersama. Praktik ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung
Tanggal 5 Mei 1970 No. 803 K/Sip/1970.
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan
Pada umumnya, pada setiap harta bersama, pihak yang digugat selalu
akan memajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama,
tetapi adalah milik tergugat. Hak pemilikan tergugat bisa diadili atas nama hak
pembelian, warisan, hibah dan lainnya. Namun apabila penggugat dapat
membuktikan harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama
perkawinan berlangsung dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang
pribadi, maka harta tersebut menjadi objek harta bersama.
d. Penghasilan Harta Bersama dan harta bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan jatuh
menambah jumlah harta bersama.
e. Segala penghasilan suami-isteri
Menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 1971 No. 454 K/ Sip/
1970, “Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang
diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil dari perolehan
masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suamiisteri”. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri, tidak terjadi
pemisahan. Justru dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta
bersama. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
66
menurut hukum, sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
Kompilasi
Hukum
Islam
mengakui
adanya
harta
bersama.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 huruf f: Harta kekayaan dalam
perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
maupun bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapa. Pasal ini dapat diartikan adanya harta bersama seketika terjadi
setelah dilangsungkan akad nikah, tidak mempedulikan pihak mana yang
menghasilkannya
sepanjang
berlangsungnya
suatu
perkawinan,
tanpa
mempermasalahkan atas nama suami atau isteri harta tersebut dikuasai atau
dimiliki, dan apakah harta tersebut diperoleh dari usaha salah satu pihak
ataupun dari kedua belah pihak.. Dari pasal ini dapat diketahui bahwa
Kompilasi Hukum Islam mengakui adanya syirkah secara langsung dengan
adanya perkawinan.
Selain itu juga ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam, walaupun
mengakui adanya harta bersama dalam perkawinan, tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing, di mana penggunaan dan
kuasa atas harta masing-masing tersebut ada di tangan masing-masing
pihak 126 dan masing-masing pihak punya hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atasnya.
Atas harta, baik merupakan harta bersama yang didapat selama
berlangsungnya perkawinan ataupun harta milik pihak lainnya bahkan
miliknya sendiri wajib dijaga oleh suami dan isteri, mengakibatkan tanpa
adanya persetujuan pihak lain harta bersama tidak boleh dijual atau
dipindahkan. Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri
maupun hartanya sendiri. 127 Istri turut bertanggung jawab menjaga harta
bersama, maupun harta suami yang ada padanya.
126
Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit.,Psl. 85.
127
Ibid., Psl. 89.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
67
Kompilasi
Hukum
Islam
mengatur
mengenai
harta
bersama
sedemikian rupa tetap mengakui keberadaan harta bawaan masing-masing
baik yang didapat sebelum perkawinan maupun selama perkawinan dari hasil
hibah, warisan wasiat dan sebagainya. Ini dapat dikaitkan dengan kedudukan
suami atau isteri punya hak untuk menggunakan dan menguasai harta pribadi
masing-masing, menggunakan harta bersama untuk kepentingan para pihak
dengan berpegang teguh pada kewajiban untuk menggunakannya atas
persetujuan kedua belah pihak, yang bertujuan untuk tetap menjaga
keharmonisan rumah tangga dengan sifat yang saling terbuka satu sama lain.
Dari pengaturan harta tersebut, baik harta bersama maupun harta asal dan/atau
harta bawaan berdasarkan Firman Allah Surah An-Nisaa ayat 34 sebagai
berikut yang artinya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh adalah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya,
karena Allah telah memelihara mereka.....” 128
Hadits Nabi Muhammad menjelaskan mengenai pemanfaatan harta,
termasuk kewajiban suami dalam memenuhi kebutuhan biaya hidup isteri dan
anak-anaknya dan biaya lainnya yang merupakan hak isteri. 129
Dari Aisyah berkata Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan
menghadap kepada Rasulullah SAW mengadu: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang
kikir, ia tidak memberi nafkah yang cukup kepadaku dan
anakku, kecuali aku mengambil sendiri hartanya tanpa
sepengetahuannya, apakah aku menanggung dosa atas
128
Al, Qur’an dan Terjemahannya, QS. 4: 34.
129
Zainuddin Ali, M.A. Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hlm. 58.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
68
perbuatanku tersebut? Beliau bersabda: “Ambil saja hartanya
secara makruf, untuk mencukupi kebutuhanmu dan anakanakmu (muttafaqun ‘alaih).
Berbeda pada zaman Rasullullah, pengertian harta kekayaan menjadi
luas jangkauannya, tidak hanya barang-barang berupa materi yang langsung
dapat menjadi bahan makanan, melainkan termasuk non materi berupa jasa
dan sebagainya, seperti yang diatur dalam pasal 91 Kompilasi Hukum Islam
Harta bersama dapat berupa benda berwujud meliputi benda tidak bergerak,
benda bergerak dan surat-surat berharga atau benda tidak berwujud berupa hak
maupun kewajiban.
Dapat diperhatikan lebih seksama dalam pasal 91 ayat (4) juga
disebutkan bahwa harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh
salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Penggunaan kekayaan baik
merupakan kepentingan salah satu pihak maupun kepentingan bersama harus
selalu berdasarkan musyawarah. Oleh karena itu penggunaan harta bersama
tidak dibolehkan jika tanpa persetujuan kedua belah pihak.
3.1.3. Pembagian Harta Bersama Suami- Isteri
Harta bersama antara suami isteri akibat ketidak sepahaman kerap terjadi,
dan lebih parahnya dapat mengakibatkan sengketa. Penyebabnya antara lain:
a. Putusnya perkawinan, baik karena kematian ataupun karena perceraian
atau
b. Tanpa putusnya perkawinan.130 Sengketa harta bersama juga bisa terjadi di
tengah perjalanan perkawinan ketika kata cerai belum muncul. Misalnya di
antara suami isteri belum ada penjabaran mana harta istri atau suami,
pemeliharaan dan pemanfaatan harta bersama dan sejauh mana pembagian
harta bersama tersebut.
Penyelesaian sengketa tersebut dapat diajukan bersama-sama dengan
perceraian, atau setelah terjadinya perceraian ataupun setelah terjadinya kematian
130
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), cet. Ke-5, hlm. 248.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
69
salah satu pihak dari suami isteri atau setelah terjadinya kematian salah satu pihak
dari suami isteri atau kedua suami isteri. 131
3.2.
Pengaturan dan Pelaksanaan Sita Marital di Indonesia
3.2.1. Pengertian dan Tujuan Penyitaan secara Umum
Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda) 132 , dan istilah
Indonesia beslah istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang
terkandung di dalamnya adalah :
a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke
dalam keadaan penjagaan 133 ,
b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim. Sita dapat dilakukan hakim,
sebagai hukuman untuk tergugat berupa tindakan penempatan harta
kekayaan di bawah penjagaan meskipun putusan tentang kesalahannya
belum dijatuhkan. Dengan demikian sebelum putusan diambil dan
dijatuhkan, tergugat telah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta
sengketa atau harta kekayaan tergugat.
134
Penyitaan membenarkan
putusan yang belum dijatuhkan yang merupakan tindakan perampasan,
karena penyitaan dilakukan sebelum dijatuhkan putusan berkekuatan
hukum tetap (in kracht). Namun sebelum sita diputuskan, pengabulan
permohonan sita harus benar-benar dinilai dan dipertimbangkan dengan
seksama dan objektif.
c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan berupa barang yang
disengketekan tapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat
pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat dengan jalan
menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut,
131
Ibid.
132
Marianne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia (Jakarta: Djambatan,
1999), hlm. 49.
133
Meriem Webster’s Dictionary of Law (Massachusets: Merriam Webster Springfield,
1996), hlm. 451.
134
M. Yahya Harahap 1, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.283.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
70
d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses
pemeriksaan sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.
Tujuan diadakannya penyitaan adalah untuk menjaga agar harta kekayaan
tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau penghibahan,
dan agar harta kekayaan tidak dibebani dengan sewa menyewa atau diagunkan
kepada pihak ketiga. Pihak penggugat yang khawatir adanya itikad buruk (bad
faith) dari pihak tergugat dapat mengadakan upaya hukum permohonan sita agar
harta kekayaan yang disita dapat tetap utuh terjamin sampai adanya putusan
berkekuatan hukum tetap.
3.2.2. Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag) dan Sita Marital (Maritale
Beslaag)
Sita jaminan merupakan salah satu bentuk sita yang tujuannya agar barang
debitur yang selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara tidak digelapkan
atau diasingkan tergugat selama proses persidangan berlangsung, sehingga saat
putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut penggugat tidak
terpenuhi dengan menjual barang yang telah dijatuhkan sita tersebut. Dapat
dinyatakan bahwa tujuan sita jaminan adalah agar keutuhan barang dapat tetap
terjamin nilai dan keberadaannya sampai putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap karena harta kekayaan tergugat ada di bawah penjagaan pengadilan. Dengan
demikian pada saat putusan telah berkekuatan hukum tetap, barang yang telah
ditetapkan sita oleh Pengadilan dapat dieksekusi riil dengan jalan mengosongkan
atau membongkar bangunan yang ada di atasnya serta sekaligus menyerahkannya
kepada penggugat.
Harta kekayaan tergugat yang menjadi objek sita jaminan di antaranya
adalah barang terbatas yang diperkarakan dan tidak boleh melebihi yang
diperkarakan. Sedangkan untuk perkara utang piutang, objek sita jaminan bisa
meliputi seluruh harta kekayaan tergugat dengan mendahulukan penyitaan barang
bergerak baru diikuti penyitaan barang tidak bergerak jika ternyata barang
bergerak tidak mencukupi besarnya utang, tetapi jika tergugat tidak mempunyai
barang bergerak sama sekali barulah dapat dilakukan penyitaan langsung terhadap
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
71
barang tidak bergeraknya. Jika perjanjian antara tergugat dengan penggugat ada
agunan, maka barang yang dapat dikenakan sita jaminan adalah terbatas pada
barang yang dikenakan agunan tersebut tanpa mempersoalkan apakah nilainya
cukup memenuhi jumlah utang atau tidak.
Sita marital atau Maritale Beslaag merupakan salah satu bentuk dari sita
jaminan (conservatoire beslaag) yang bersifat khusus. Pada dasarnya, maritale
beslaag adalah sama dan serupa dengan sita jaminan (conservatoire beslaag), sita
marital merupakan perwujudan dari sita jaminan, oleh karena itu, segala ketentuan
yang berlaku pada sita jaminan berlaku sepenuhnya pada sita marital. Namun sita
marital hanya dapat diterapkan terhadap harta perkawinan, yakni harta bersama
bila di antara suami isteri terjadi perceraian.135 Sita atas harta perkawinan yang
disebut juga sita marital dapat timbul jika terjadi perkara perceraian. Dalam sistem
hukum Indonesia dapat juga disebut sebagai sita harta bersama atau sita harta
perkawinan, dapat juga disebut sita harta benda bersama suami-isteri. Agar lebih
praktis dalam pengistilahan tapi tetap efektif, lebih tepat digunakan istilah sita
harta bersama yang memperlihatkan kedudukan setara antara suami dan isteri.
Tujuannya untuk menjamin agar harta bersama mendapat putusan yang
berkekuatan hukum tetap, untuk menjamin keselamatan keutuhan harta
perkawinan (harta bersama) sampai putusan perkara perceraian berkekuatan
hukum tetap.
Apabila selama proses pemeriksaan perkara telah terjadi pemisahan tempat
tinggal antara suami isteri bersangkutan atas izin hakim, semakin besar
kemungkinan atas terancamnya keutuhan dan pemeliharaan harta perkawinan.
Misalnya atas persetujuan hakim, isteri sudah terpisah tempat tinggalnya selama
pemeriksaan perkara berlangsung dan harta perkawinan semuanya dikuasai suami,
hal ini seolah-olah memberi kesempatan kepada suami untuk menjual atau
menggelapkan sebagian dari harta perkawinan. Sebagai upaya untuk menjamin
keselamataan keutuhan harta perkawinan (harta bersama), undang-undang
memberi hak kepada isteri untuk mengajukan permohonan sita marital.136
135
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Permasalahan dan Penerapan
Conservatoir beslaag (sita jaminan), cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka, 1987), hlm. 145.
136
M. Yahya Harahap (2), Ibid. hlm. 145
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
72
Berbeda dengan conservatoire beslaag yang bertujuan menjadikan barang
yang disita sebagai pemenuhan pembayaran utang tergugat, tujuan sita marital
bukan untuk menjamin tagihan pembayaran kepada penggugat, bukan juga untuk
menuntut penyerahan hak milik, tapi untuk membekukan harta bersama suamiisteri agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian
atau pembagian harta bersama. Keberadaan dan keutuhan harta bersama yang
hendak diselamatkan melalui upaya hukum sita marital ialah keutuhan seluruh
harta kekayaan perkawinan. Jika sita marital hanya secara parsial akan
mengakibatkan cacat yuridis. Itulah
perbedaan mendasar antara sita marital
dengan sita jaminan biasa. Sita jaminan hanya dikenakan tehadap harta kekayaan
tergugat, terhadap barang tertentu yang besarnya sejumlah tagihan hutang.
Sita marital harus dikenakan terhadap keseluruhan harta perkawinan tanpa
mempersoalkan apakah harta kekayaan perkawinan itu berada pada pihak tergugat
maupun penggugat, alasan hukumnya adalah:
-
Selama proses perkara perceraian masih berlangsung, harta
kekayaan perkawinan masih tetap merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisah. 137
-
Selama proses perkara perceraian masih berlangsung, harta
kekayaan perkawinan secara bulat adalah hak milik bersama di
antara suami isteri.
-
Yang hendak diselamatkan upaya hukum maritale beslaag adalah
keutuhan seluruh harta perkawinan.
Secara singkat tujuan dari sita marital adalah untuk menyelamatkan
keutuhan harta bersama dari kelicikan dan itikad buruk salah satu pihak, sampai
putusan perceraian berkekuatan hukum tetap.
Sita marital dapat diletakkan oleh Pengadilan Agama jika terjadi
perselisihan mengenai harta bersama tanpa harus berkaitan dengan gugatan cerai
agar segala sesuatu yang dapat merugikan dan membahayakan harta bersama bagi
keluarga dapat dicegah. Kompilasi Hukum Islam mengatur lebih spesifik
mengenai sita marital dalam pasal 95 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa:
137
Ibid. hlm. 151.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
73
(1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2),
suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk
meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya
permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan
yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi,
mabuk, boros dan sebagainya.
(2)
Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama
untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah sita jaminan atas harta
bersama karena dalam kompilasi diatur bahwa kedudukan antara suami dan isteri
seimbang, diatur secara tegas dalam Pasal 79 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
bahwa kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dalam
ayat (3) pun diatur bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum, sedangkan sita marital identik dengan ketidak cakapan isteri
sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang hukum Perdata, di mana isteri
tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan harus tunduk patuh kepada suami
(pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975, menegaskan bahwa:
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau
tergugat, Pengadilan dapat :
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
a. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan
dan pendidikan anak;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang
yang menjadi hak isteri. 138
138
Indonesia, Peraturan Pemerintah, Nomor 9 tahun 1975 PP Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Lembaran Negara Nomor 12, 1975, psl. 24..
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
74
Dalam pasal ini tidak dijelaskan secara tersurat kewenangan Pengadilan untuk
meletakkan sita terhadap harta bersama. Kalimat “menentukan hal-hal yang perlu
untuk menjamin terpeliharanya barang-barang”, pada hakekatnya sudah tersirat
makna tindakan atau upaya pensitaan terhadap harta perkawinan. Dan tindakan
yang dianggap dapat menjamin terpeliharanya harta perkawinan selama proses
perceraian berlangsung adalah sita jaminan yang disebut “maritale beslaag” agar
pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan dapat terjamin. 139 Pasal 136 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam menentukan hal yang sama diatur dalam pasal 24
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
Di antara ketiga pasal tersebut terlihat perbedaan. Dalam pasal 95
Kompilasi Hukum Islam, permohonan sita jaminan atas harta bersama hanya
bertujuan untuk melindungi harta bersama dari perbuatan yang dikhawatirkan
dapat merugikan bahkan membahayakan harta bersama, bukan bagian dari
permohonan gugatan cerai, karena sita yang diajukan dapat dimohonkan tanpa
adanya permohonan gugatan cerai. 140 Sedangkan dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam permohonan penjaminan terhadap harta bersama diajukan menjadi
satu bagian dalam proses gugatan perceraian. Pasal 24 ayat (2) terlalu sempit
dalam pengajuan sita marital, jika ada perceraian baru dapat diajukan sita marital,
seakan-akan tanpa adanya gugatan cerai tidak dapat diajukan sita marital, seakan
selama perkawinan masih berjalan tidak dimungkinkan mengajukan pemisahan
harta perkawinan. Kompilasi Hukum Islam lebih luas dalam mengaturnya, Pasal
95 Kompilasi Hukum Islam merupakan modifikasi dan sejiwa dengan Pasal 186
KUH Perdata, di luar gugatan perceraian isteri atau suami dapat mengajukan
pemisahan harta perkawinan yang masih utuh ke Pengadilan. Aturan ini
merupakan cara untuk melindungi keutuhan harta perkawinan dan juga
melindungi hak isteri terhadap harta bersama, tanpa harus memutuskan tali
perkawinan Pihak isteri atau suami misalnya sangat ingin mempertahankan
mahligai perkawinan, sementara suami atau isterinya melakukan tindakantindakan yang dapat merugikan harta bersama yang merupakan sumber bagi
139
Harahap (2), Op. Cit.
140
Djubaedah, Op. Cit.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
75
penghidupan dan kesejahteraan bagi keluarganya, dibutuhkanlah suatu tindakan
prevensi agar harta bersama tidak habis dan berpindah tangan ke pihak lain selain
isteri dan anak-anaknya yang berhak atas harta bersamanya. Jika memperhatikan
Pasal 186 KUHPerdata dan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa
permohonan sita marital tidak mutlak bersifat asesoir kepada gugatan cerai atau
pembagian harta bersama, permohonan sita dapat berdiri sendiri tanpa tergantung
pada perkara cerai. Dengan demikian pihak suami atau isteri dapat mengajukan
sita marital, dengan ketentuan siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan
tindakan yang dapat merugikan harta bersama.
Harta bersama yang dijatuhkan sita marital juga dapat dimanfaatkan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 823 Rv. Peletakan sita marital atas barang
bergerak atau tidak bergerak tidak menghalangi suami isteri untuk memanfaatkan
apa-apa yang dihasilkan barang tersebut, namun pemanfaatannya tidak boleh
mengurangi pemenuhan fungsi dan kewajiban yang ditentukan undang-undang
seperti membayar biaya pendidikan, kesejahteraan keluarga dan anak-anak, atau
tidak boleh mengusir pihak lain dari rumah kediaman semula, pemanfaatan hasil
itu satu pihak dibebani kewajiban untuk membagi hasil itu kepada pihak lain baik
suami maupun isteri.
141
Harta bersama merupakan milik bersama suami-isteri,
oleh karenanya harus dibagi dua separuh-separuh, sebagaimana diatur dalam Pasal
97 Kompilasi Hukum Islam: ”Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
Selain itu, hal yang unik dalam sita marital adalah dapat menghalangi
permintaan sita jaminan (conservatoire beslaag) yang diminta pihak ketiga untuk
menjamin pembayaran utang suami-isteri (utang bersama suami isteri) terhadap
harta bersama di atasnya baik utang-utang yang terjadi sebelum sita harta bersama
diletakkan, yang dapat dikabulkan hanya sebatas sitas penyesuaian. Ketentuan ini
diatur dalam pasal 823 i Rv.
141
Harahap (1), Op. Cit., hlm. 377.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
76
3.2.3. Alasan diajukannya Sita Marital
Sita marital merupakan bentuk khusus dari sita jaminan, seperti yang telah
dipaparkan di atas sebelumnya, aturan mengenai sita jaminan juga dapat
diterapkan pada sita marital. Alasan pengajuan sita ini, diatur dalam Pasal 227 jo.
Pasal 197 HIR atau Pasal 206 RBG yaitu:
1. Ada persangkaan yang beralasan. Persangkaan itu sendiri harus
didasarkan pada fakta yang mendukung dan masuk akal atau sekurangkurangnya ada petunjuk yang dapat membenarkan persangkaan, karena
jika tidak ada fakta, permohonan sita ditolak;
2. Bahwa tergugat akan menggelapkan barang-barang;
3. Hal tersebut mengakibatkan kerugian bagi penggugat
Penerapan sita harta bersama tidak dibenarkan secara parsial yang hanya
diletakkan pada harta tergugat saja untuk menghindari kepincangan, mengingat
harta bersama dapat dikuasai baik tergugat maupun penggugat (suami-isteri).
3.2.4. Sita Marital terhadap Harta Bersama bukan Harta Bawaan/Harta
Pribadi
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Kompilasi Hukum Islam
mengatur mengenai harta bersama walaupun pada dasarnya harta kekayaan tidak
bercampur secara mutlak dengan adanya perkawinan, harta isteri tetap menjadi
milik isteri dan dikuasai penuh olehnya, begitu pula dengan harta kekayaan suami.
Harta yang demikian tersebut merupakan harta bawaan, sepanjang para pihak
tidak menentukan lain, dan terhadap harta bawaan masing-masing pihak,
perbuatan hukum dapat dilakukan sesuai dengan kewenangannya. Ada pembedaan
bentuk dan status antara harta kekayaan dalam perkawinan dengan harta bawaan/
harta pribadi yang menjadi hak penuh bagi masing-masing suami-isteri. Oleh
karena itu, harta bawaan/ harta pribadi dipisahkan dari sita marital (maritale
beslaag).
Terhadap
harta
kekayaan
bawaan/
pribadi,
keselamatan
dan
keutuhannya tidak perlu dilindungi karena masing-masing pihak berhak
sepenuhnya untuk mengatur serta menyelamatkannya.
Agar harta bawaan/ harta pribadi tidak dikenai sita marital, para pihak
harus membuktikan kepemilikannya. Pengadilan seharusnya lebih teliti dalam
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
77
menentukan mana yang merupakan harta bawaan, dan mana yang termasuk harta
bersama, mengingat ketentuan di Kompilasi Hukum Islam, mengatur bahwa harta
bersama tidak mempersoalkan terdaftar milik siapa. Kasus yang sering terjadi
dalam perkawinan, suatu barang didaftarkan atas nama suami atau isteri, padahal
barang yang terdaftar bukan merupakan harta bawaan masing-masing pihak
melainkan merupakan harta bersama para pihak.
Namun, jika harta bawaan/ harta pribadi ada di bawah kekuasaan tergugat,
sita marital juga harus diletakkan terhadap harta tersebut. Demikian halnya jika
harta bawaan/pribadi tergugat ada di bawah kekuasaan tergugat itu sendiri, tidak
bisa diletakkan sita marital, penggugat tidak dapat menuntut sita marital harta
bawaan/pribadi tergugat tersebut. Dapat disimpulkan bahwa pengaturan sita
marital tidak meliputi harta bawaan/ harta pribadi tidak bersifat mutlak.
Kemutlakan sita marital (maritale beslaag) pada prinsipnya hanya meliputi harta
kekayaan bersama suami isteri. 142
142
Harahap (2), Op.Cit.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
Download