BAB II LANDASAN TEORI A. Kerangka Teori 1) Tinjauan Tentang Perjanjian dan Sewa Menyewa a. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Pitlo menjelaskan pengertian tentang suatu perikatan “Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua atau lebih atas dasar pihak yang satu (kreditur) berhak atas suatu prestasi (debitur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi ”.1 Definisi perjanjian telah diatur dalam KUHPerdata Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.2 Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.3 Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. 1 Carina Pariska Pribadi, I Ketut Rai Setiabudhi, Ida Bagus Wyasa Putra, “ Study Of Legal Ownership Of Land Juridical Property By Foreign Citizens Through The "Nominee Agreement"Which Was Made Before The Notary“, artikel pada Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, edisi no. 2, Vol.10, 2014, hlm. 28. 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). op.cit., Pasal 1313. 3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ketujuh, ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm. 97. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak atau kata sepakat). Sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.4 Kata perbuatan pada perumusan tentang persetujuan sebagai yang disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata lebih tepat kalau diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum mengingat bahwa dalam suatu perjanjian, akibat hukum yang muncul memang dikehendaki para pihak.5 Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah:6 1) Suatu perbuatan; 2) Sekurangnya dua orang; 3) Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut. Selain pengertian yang diberikan Pasal 1313 KUHPerdata, beberapa sarjana juga memberikan perumusan mengenai pengertian perjanjian. 4 Ibid, hlm. 97-98. J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), ctk. Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm.7. 6 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, ctk. Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.7. 5 Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.7 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.8 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.9 Menurut Black’s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian.10 Inti definisi yang tercantum dalam Black’s Law Dictionary adalah bahwa kontrak dilihat sebagai persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian. Menurut Charles L. Knapp dan Nathan M. Crystal, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, tidak hanya memberikan kepercayaan tetapi secara bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka.11 Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi. 7 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 36. R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Jakarta, 1987, hlm. 49. 9 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, ctk. Kedua, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6. 10 Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, ctk. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.16. 11 Ibid. 8 Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.12 b. Syarat Sahnya Perjanjian Menurut pasal 1320 KUHPerdata, terdapat empat syarat sahnya membuat suatu perjanjian, yaitu:13 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya Dengan sepakat atau juga dinamakan persetujuan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai subtansi perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh salah satu pihak, juga dikehendaki pihak yang lain, begitu pula sebaliknya. 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Subjek yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasarnya, setiap orang yang sudah dinyatakan dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata14 menegaskan antara lain bahwa orangorang yang belum dewasa dan ditaruh dibawah pengampuan dinyatakan tidak cakap untuk membuat dan menandatangani perjanjian. 3. Mengenai suatu hal tertentu Syarat ketiga sahnya perjanjian menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, serta hak dan kewajiban kedua belah pihak. Terkait dengan perjanjian kredit, harus disebutkan dengan jelas, Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm.78. Sunu Widi Purwoko, Catatan Hukum Seputar Perjanjian kredit dan Jaminan, Nine Seasons, Jakarta, 2011, hlm. 3-7. 14 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 1330. 12 13 antara lain besarnya pinjaman yang didapat debitor, tujuan kredit, jangka waktu pengembalain kredit, besarnya bunga dan biaya yang dibebankan, tata cara pencairan kredit, tata cara pembayaran pokok kredit dan bunga, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan debitor, jaminan, kondisi lalai, dan lainlain. 4. Suatu sebab yang halal Syarat keempat sahnya perjanjian adalah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain bahwa isi atau subtansi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dua syarat pertama diatas digolongkan sebagai syarat subjektif karena mengenai subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir digolongkan syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri. Terhadap syarat subjektif yang tidak terpenuhi, salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian dibatalkan, sedangkan bila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Kondisi ini diartikan bahwa dari semula tidak pernah disepakati suatu perjanjian dan tidak pernah timbul perikatan itu antara para pihak. c. Azas-Azas Perjanjian Hukum perjanjian memiliki asas-asas yaitu:15 1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak tersirat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata16 yang berbunyi sebagai berikut: Semua 15 16 Gunawan Widjaja, Lisensi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.71. Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 1338 ayat (1). perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Istilah “semua” dalam rumusan tersebut memberikan indikasi bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja. Asas kebebasan berkontrak meliputi: 1. Kebebasan untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian; 2. Kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat perjanjian; 3. Kebebasan untuk menentukan isi perjanjian; 4. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian; 5. Kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian. Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata yang merupakan syarat-syarat sahnya perjanjian. 2. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme berasal dari kata “consensus” (latin) berarti sepakat. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 butir 1 KUHPerdata. Asas konsensualisme bersumber dari moral manusia senantiasa memegang janjinya, ada adagium yang mengatakan: a) Pacta sunt servanda (janji itu mengikat); b) Promissorum implendorum obligato (kita harus memenuhi janji kita). 3. Asas Personalia Asas personalia ini dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 1315 KUHPerdata yang dipertegas lagi oleh ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata, dari kedua rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya perjanjian hanya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban di antara para pihak yang membuatnya.17 Pada dasarnya seseorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian bagi pihak ketiga, kecuali dalam hal terjadinya peristiwa penanggungan (dalam hal yang demikian pun penanggung tetap berkewajiban untuk membentuk perjanjian dengan siapa penanggungan tersebut akan diberikan dan dalam hal yang demikian maka perjanjian penanggungan akan mengikat penanggungan dengan pihak yang ditanggung dalam perjanjian penanggungan), ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, demi hukum hanya akan mengikat para pihak yang membuatnya. 4. Asas Itikad Baik Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata18. Ketentuan ini merupakan penegasan lebih lanjut sebagai pelaksanaan dari suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah. Terpenuhinya syarat sahnya perjanjian tidak dengan begitu saja menghilangkan hak dari salah satu pihak dalam perjanjian untuk tetap meminta pembatalan dalam perjanjian telah dilaksanakan tidak dengan itikad baik oleh pihak lainnya dalam perjanjian. 17 18 Ibid; Pasal 1315 jo Pasal 1340. Ibid; Pasal 1338 ayat (3). d. Kebatalan Perjanjian Kebatalan suatu perjanjian dibedakan antara:19 1) Dapat dibatalkan, dalam hal tidak dipenuhinya syarat subjektif, yaitu : a) Tidak adanya kata sepakat; b) Tidak adanya kecakapan bertindak dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. 2) Batal demi hukum, dalam hal tidak dipenuhinya syarat objektif, yaitu: a) Tidak ada causa/objek perjanjian; b) Tidak mengandung causa yang dibenarkan menurut hukum c) Batal demi hukum karena non existent, yaitu disebabkan karena: Tiadanya sesuatu yang esesnsi/pokok dalam perjanjian tersebut; Tiada dipenuhinya syarat yang diharuskan oleh UU; Perjanjian fidusia dibuat hanya secara dibawah tangan (tidak notarial); Pendirian CV tidak ada persero komanditer. Perjanjian yang dapat dibatalkan, batal demi hukum dan batal demi hukum karena non existent ketiga-tiganya mempunyai persamaan yaitu: sama-sama tidak mempunyai akibat hukum sebagaimana diinginkan. Kebatalan perjanjian juga bisa dibedakan: 1) Buku III bagian kedelapan, Pasal 1446 sampai dengan 1456 KUHPerdata yaitu karena: 19 Mulyoto, PERJANJIAN; Teknik, cara membuat, dan hukum perjanjian yang harus dikuasai, Cakrawala Media, Yogyakarta, 2011, hlm. 44-46. a) Tidak cakap bertindak (dibawah umur, ditaruh dibawah pengampuan, ditaruh dibawah perwalian); b) Cacat dalam kehendak (karena adanya paksaan, karena adanya kekhilafan/kekeliruan, atau karena adanya tipuan). 2) Yurisprudensi, yaitu penyalahgunaan keadaan. e. Pengertian Sewa Menyewa Sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian timbal balik. Ada beberapa pengertian mengenai sewa-menyewa antara lain : 1. Menurut Subekti, sewa-menyewa adalah pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan.20 2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sewa didefinisikan sebagai: (i). pemakaian sesuatu dengan membayar uang; (ii). Uang dibayarkan karena memakai atau meminjam sesuatu, ongkos biaya pengangkutan (transportasi); (iii). Boleh dipakai setelah dibayar dengan uang. Menyewa didefiniskan sebagai memakai (meminjam, mengusahakan, dan sebagainya) dengan membayar uang sewa.21 3. Menurut M. Yahya Harahap, sewa-menyewa (huur envenhuur) adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang 20 21 Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 48. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, ctk. Ketujuh, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 933. hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya (volledige genot).22 4. Menurut Wiryono Prodjodikoro, sewa-menyewa barang adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai dan memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh pemakai kepada pemilik.23 5. Sewa-menyewa menurut Pasal 1548, BabVII Buku III KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang pihak tertentu belakangan itu disanggupi pembayarannya”. 24 Sewa-menyewa, seperti halnya dengan jual beli dan perjanjianperjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensual. Artinya sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak lain, sedangkan kewajiban pihak yang lain adalah membayar harga sewa. Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam jual beli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu. Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk dinikmati dan M. Yahya Harahap, loc. cit. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, ctk. Ketujuh, Sumur Bandung, Bandung, 1981, hlm. 49. 24 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 1548. 22 23 bukannya menyerahkan Hak Milik atas barang itu, maka ia tidak usah pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian maka seorang yang mempunyai hak nikmat-hasil dapat secara sah menyewakan barang yang dikuasainya dengan hak tersebut. Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban membayar sesuatu apa, maka yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-pakai. Jika si pemakai barang itu diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam-pakai yang terjadi tetapi sewa menyewa. Disebutkannya perkataan “waktu tertentu” dalam uraian Pasal 1548 KUHPerdata tersebut diatas, menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya itu, ada yang menafsirkan bahwa maksudnya tidak lain dari pada untuk mengemukakan bahwa pembuat undang-undang memang memikirkan pada perjanjian sewa-menyewa mengenai waktu sewa ditentukan, misalnya enam bulan, satu tahun dan sebagainya. Suatu petunjuk terdapat dalam Pasal 1579 KUHPerdata25, yang tertuju pada perjanjian sewa-menyewa mengenai waktu sewa itu ditentukan. Pasal tersebut berbunyi: “Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya”. Teranglah bahwa pasal ini ditujukan dan juga hanya dapat dipakai terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu tertentu. Memang sudah selayaknya bahwa seorang yang sudah menyewakan barangnya misalnya untuk lima tahun, tidak boleh menghentikan sewanya kalau waktu tersebut belum habis, dengan dalih bahwa ia ingin memakai sendiri barang yang disewakan itu. Tetapi kalau ia menyewakan barangnya tanpa ditetapkannya suatu waktu tertentu, 25 Ibid; Pasal 1579. sudah barang tentu ia berhak menghentikan sewa itu setiap waktu asal ia mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang diperlukan untuk pemberitahuan pengakhiran sewa menurut kebiasaan setempat. Peraturan tentang sewa-menyewa yang termuat dalam bab ke-7 dari buku III KUHPerdata berlaku untuk segala macam sewa-menyewa, mengenai semua jenis barang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, oleh karena “waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewamenyewa. Mengenai harga sewa, kalau dalam jual beli harga harus berupa uang, karena kalau berupa barang perjanjiannya bukan jual beli lagi tetapi menjadi tukar-menukar, tetapi dalam sewa-menyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa harga sewa itu berupa barang atau jasa. Sebagai telah diterangkan, segala macam barang dapat disewakan. Perkataan “carter” yang berasal dari dunia perkapalan ditujukan kepada pemborongan pemakai sebuah kendaraan atau alat pengangkut (kapal laut, pesawat terbang, mobil, dan lain-lain) untuk suatu waktu tertentu atau untuk suatu perjalanan tertentu, dengan pengemudinya yang akan tunduk pada perintah-perintah yang diberikan oleh si pencarter. Sewa-menyewa adalah perjanjian konsensual, namun oleh undangundang diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara sewa tertulis dan sewa lisan. Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuanpemberhentian untuk itu. Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa tertulis itu diatur dalam Pasal 1570 KUHPerdata dan perihal sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata.26 Seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu sewa yang ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan menempati rumah atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu tetap menguasai barang yang disewakan atas dasar syaratsyarat yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan tak dapatlah ia meninggalkan rumah atau ruangan itu atau dikeluarkan dari situ, melainkan sesudahnya dilakukan pemberitahuan penghentian sewanya menurut kebiasaan setempat.27 Dengan uraian yang panjang lebar diatas dimaksudkan bahwa sewa tertulis tersebut, setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah atau ruangan sewa tersebut, berubah menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut adat kebiasaan setempat. f. Hak dan Kewajiban Pihak Yang Menyewakan Hak-hak yang diperoleh pihak yang menyewakan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata28, yaitu: 1. Menerima uang sewa sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian; 2. Menegur penyewa apabila penyewa tidak menjalankan kewajibanya dengan baik. 26 Ibid; Pasal 1570 jo 1571. Ibid; Pasal 1587. 28 Ibid; Pasal 1548. 27 Sedangkan, kewajiban pihak yang menyewakan dapat ditemukan dalam Pasal 1550 KUHPerdata29. Kewajiban-kewajiban tersebut, yaitu:30 1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa; 2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang tersebut dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan; 3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tertera dari pada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewamenyewa. Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang yang disewa untuk dinikmati kegunaan barang tersebut bukan hak milik. Tentang pemeliharaan barang yang disewakan pihak yang menyewakan barang diwajibkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan atas barang yang disewakan. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1551 ayat (2) KUHPerdata yang berbunyi bahwa Ia harus selama waktu sewa menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan, yang perlu dilakukan kecuali pembetulanpembetulan yang menjadi wajibnya si penyewa.31 Pasal 1552 KUHPerdata mengatur tentang cacat dari barang yang disewakan. Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menanggung semua cacat dari barang yang dapat merintangi pemakaian barang yang disewakan walaupun sewaktu perjanjian dibuat pihak-pihak tidak mengetahui cacat tersebut. Jika cacat tersebut mengakibatkan kerugian bagi pihak penyewa maka pihak yang menyewakan diwajibkan untuk Ibid; Pasal 1550. Komang Linda Harmayanti, “Pengakhiran Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu‘’, artikel pada Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Vol. 8, 2014, hlm. 22. 31 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 1551 ayat (2). 29 30 menganti kerugian. Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menjamin tentang gangguan atau rintangan yang menggangu penyewa menikmati obyek sewa yang disebabkan suatu tuntutan hukum yang bersangkutan dengan hak milik atas barangnya.32 Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 1556 dan 1557 KUHPerdata. Jika terjadi yang demikian, maka penyewa berhak menuntut suatu pengurangan harga sewa menurut imbangan, asalkan ganguan dan rintangan tersebut telah di beritahukan kepada pemilik. Pihak yang menyewakan tidak diwajibkan untuk menjamin si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam menggunakan barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan peristiwa yang tidak berkaitan dengan tuntutan atas hak milik atas barang sewa.33 g. Hak dan Kewajiban Pihak Penyewa Bagi Pihak Penyewa memiliki hak-hak, antara lain: 1. Menerima barang yang disewa; 2. Memperoleh kenikmatan yang tertera atas barang yang disewanya selama waktu sewa; 3. Menuntut pembetulan-pembetulan atas barang yang disewa apabila pembetulan-pembetulan tersebut merupakan kewajiban pihak yang menyewakan. Bagi Pihak penyewa memiliki kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Pasal 1560, 1561, 1564, dan 1566 KUHPerdata, antara lain:34 Pasal 1560 KUHPerdata35, yaitu : 1. Memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut 32 Ibid; Pasal 1552. Ibid; Pasal 1556 jo 1557. 34 Komang Linda Harmayanti, loc. cit. 35 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 1560. 33 perjanjian sewanya, atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan; 2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Pasal 1561 KUHPerdata36, jika si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu keperluan lain dari yang menjadi tujuannya, atau untuk suatu keperluan sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan suatu kerugian kepada pihak yang menyewakan, maka pihak ini, menurut keadaan, dapat meminta pembatalan sewanya; Pasal 1564 KUHPerdata37, Menanggung segala kerusakan yang terjadi selama sewa menyewa, kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si penyewa; Pasal 1566 KUHPerdata38, si penyewa adalah bertanggung jawab untuk segala kerusakan dan kerugian yang diterbitkan pada barang yang disewa, oleh kawan-kawannya serumah atau oleh mereka kepada siapa ia telah mengoperkan sewanya. h. Pengertian Penyewaan Ulang Menyewakan ulang adalah sewa yang seharusnya sudah berakhir, namun terus dilanjutkan kembali. Sewa ulang tersebut bisa dengan ketentuan dan persyaratan perjanjian yang sama seperti sebelumnya atau bisa juga dengan perubahan, berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Berdasarkan Pasal 1572 KUHPerdata,39 apabila pihak yang satu (orang yang menyewakan) telah memberitahukan kepada pihak yang 36 Ibid; Pasal 1561. Ibid; Pasal 1564. 38 Ibid; Pasal 1566. 39 Ibid; Pasal 1572. 37 lainnya (penyewa) bahwa ia hendak menghentikan sewanya, si penyewa, meskipun ia tetap menikmati barangnya, tidak dapat memajukan adanya suatu penyewaan ulang secara diam-diam. Perjanjian sewa-menyewa dibuat secara tertulis dan setelah sewa menyewa berakhir si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, terjadilah suatu sewa baru yang akibatakibatnya diatur dalam pasal-pasal tentang penyewaan dengan lisan.40 Kedua perjanjian sewa-menyewa seperti itu, penanggungan utang yang dibuat untuk disewanya tidak meliputi kewajiban-kewajiban yang timbul dari perpanjangan sewa.41 i. Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa Berakhirnya Perjanjian Sewa-Menyewa Perjanjian berakhir secara umum diatur di dalam undang-undang. Penentuan berakhirnya perjanjian sewa-menyewa terkait dengan bentuk perjanjian. Ketentuan hukum perjanjian sewa-menyewa di dalam KUHPerdata membedakan antara perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan tertulis. Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa: 1) Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan: a) Perjanjian sewa-menyewa tertulis Diatur didaam pasal 1570 KUHPerdata yang berbunyi bahwa jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu.42 b) Perjanjian sewa-menyewa lisan Ibid; Pasal 1573. Ibid; Pasal 1574. 42 Ibid; Pasal 1570. 40 41 Diatur dalam pasal 1571 KUHPerdata yang berbunyi: bahwa jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.43 2) Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya. Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.44 3) Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus: a) Permohonan/pernyataan dari salah satu pihak. Penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas persetujuan dua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa akan mengunakan sendiri barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian sewa-menyewa ini diperbolehkan.45 43 Ibid; Pasal 1571. M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 240. 45 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 1579. 44 b) Putusan Pengadilan. Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan seperti yang diatur di dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49 Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981.46 c) Benda obyek sewa-menyewa musnah. Pasal 1553 KUHPerdata mengaur apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht).47 2) Tinjauan Tentang Notaris dan Akta Notaris a. Pengertian Notaris Notariat berasal dari kata Latin yakni Notariaat, sedangkan Notaris dari Notarius (Notarui) diartikan sebagai orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Secara historis, institusi notariat merupakan salah satu cabang profesi tertua didunia Notaris memberikan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata, yang termasuk dalam bidang hukum publik.48 46 Pasal 10 ayat (3), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 1963 Tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1981 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 Tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan. 47 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 1553. 48 Ida Bagus Ketut Suardana, “Akta Pejabat Dalam Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing Diatas Tanah Bidang Tanah Hak Milik Perorangan”, artikel pada Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, Universitas Udayana, Vol. 8, 2014, hlm. 2. Pengertian Notaris dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka (1) UUJN,49 Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Menurut R. Soegondo Notodisoerjo, Notaris adalah Pejabat Umum Openbare ambtenaren, karena erat hubungannya dengan wewenang atau tugas dan kewajiban yang utama yaitu membuat akta-akta otentik.50 b. Kewenangan, Kewajiban, dan Larangan Notaris dalam UndangUndang Jabatan Notaris Setiap perbuatan pemerintahan diisyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah seorang pejabat ataupun Badan Tata Usaha Negara tidak dapat melaksankan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun bagi setiap badan.51 Kewenangan dari seorang Notaris telah diatur didalam Pasal 15 UUJN, yaitu:52 1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau 49 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, loc.cit. 50 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo, Jakarta, 1993, hlm. 42. 51 Lutfi Efendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm. 77. 52 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, op.cit., Pasal 15. dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b) membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c) membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g) membuat akta risalah lelang. 3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kewajiban dari Notaris telah diatur dalam Pasal 16 UUJN, yaitu:53 1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: a) bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; 53 Ibid; Pasal. 16 ayat (1). b) membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris; c) melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta; d) mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta; e) memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f) merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g) menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h) membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i) membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; j) mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l) mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m) membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan n) menerima magang calon Notaris. Larangan bagi Notaris telah diatur dalam Pasal 17 (1) UUJN yaitu:54 1) Notaris dilarang : a) Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya; b) Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c) Merangkap sebagai Pegawai Negeri Sipil; d) Merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara; e) Merangkap jabatan sebagai Advokat; f) Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Milik Swasta; g) Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar wilayah jabatan Notaris; h) Menjadi Notaris Pengganti; atau 54 Ibid; Pasal. 17 ayat (1). i) Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. c. Sanksi Terhadap Pelangaran Notaris Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris seperti: a) Mengirimkan daftar akta yang berkenaan dengan wasiat atau daftar nihil ke Daftar Pusat Wasiat Departemen (Pasal 16 (1) huruf j); b) Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan (Pasal 16 (1) huruf l); c) Para penghadap yang dibuatkan aktanya harus berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap dalam melakukan perbuatan hukum, serta tidak dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris oleh 2 (dua) orang saksi pengenal (Pasal 39); d) Akta yang dibuat wajib dibacakan oleh Notaris yang dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi (Pasal 40 (1)); e) Akta yang dibacakan, wajib ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila penghadap yang tidak dapat membubuhkan tandatangan dengan menyebutkan alasannya (Pasal 44 (1)); f) Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, kecuali perubahan atas akta tersebut mendapat persetujuan para pihak dengan dilakukan perubahan di sisi kiri akta, dengan diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris (Pasal 48 (2)); g) Pembetulan isi akta akibat kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik pada minuta akta yang telah ditandatangani perlu membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta dengan menyebut tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan, serta wajib menyampaikan salinan akta berita acara kepada para pihak (Pasal 51 (2)); h) Notaris tidak boleh membuat akta untuk diri sendiri atau istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun karena hubungan darah (Pasal 52 (1)); Tindakan Pelanggaran yang dilakukan Notaris (Sanksi Perdata) dalam Pasal 84 dapat mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum, serta dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Selain itu, Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UUJN, seperti: a) Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris wajib: menjalankan jabatannya dengan nyata, menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah, serta menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab dibidang agrarian pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah serta Bupati atau Walikota di tempat Notaris diangkat (Pasal 7 (1)); b) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris mempunyai kewajiban yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Jabatan Notaris (sebagaimana telah dijelaskan diatas sebelumnya); c) Notaris wajib menghindari larangan yang diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Jabatan Notaris (sebagaimana telah dijelaskan diatas sebelumnya); d) Notaris dalam menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidak berpihakan (Pasal 20 (1)); e) Notaris mengajukan permohonan cuti secara tertulis kepada (Pasal 27 (2)): Majelis Pengawas Daerah, dalam jangka waktu cuti tidak lebih dari 6 (enam) bulan; Majelis Pengawas Wilayah, dalam jangka waktu cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun; atau Majelis Pengawas Pusat, dalam jangka waktu cuti lebih dari 1 (satu) tahun. f) Pengajuan cuti oleh Notaris disertai usulan penunjukkan Notaris Pengganti, dan wajib menyerahkan Protokol Notaris kepada Notaris Pengganti (Pasal 27 (1) jo Pasal 32 (1)); g) Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu (Pasal 37 (1)); h) Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 54 (1)); i) Notaris membuat daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan, dan daftar surat lain yang diwajibkan oleh undang-undang ini (Pasal 58 (1)); j) Notaris membuat daftar klapper untuk daftar akta dan daftar surat di bawah tangan yang disahkan (Pasal 59 (1)); k) Penyerahan Protokol dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol Notaris yang ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima Protokol Notaris (Pasal 63 (1)). Notaris yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas dapat dikenai (Sanksi Administrasi) dalam Pasal 85, yaitu: a) Teguran lisan; b) Teguran tertulis; c) Pemberhentian sementara; d) Pemberhentian dengan hormat; atau e) Pemberhentian dengan tidak hormat. d. Pengertian Akta Notaris Pada umumnya akta itu adalah suatu surat yang ditanda tangani, memuat keterangan tentang kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari suatu perjanjian, dapat dikatakan bahwa akta itu adalah suatu tulisan dengan mana dinyatakan sesuatu perbuatan hukum. 55 55 Rahmad Hendra, “ Tanggungjawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Penghadapnya Mempergunakan Identitas Palsu Di Kota Pekanbaru ”, Artikel Pada Jurnal Ilmu Hukum, Vol.3, 2012, hlm. 12. Akta menurut A. Pitlo merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.56 Menururt Sudikno Mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.57 Akta Notaris dalam UUJN, dalam Pasal 1 angka 7 disebut kan bahwa akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. 58 e. Bentuk dan Fungsi Akta Notaris Dari pengertian yang terdapat berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata tentang akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.59 maka bentuk akta otentik ada dua, yang menentukan sebagai berikut : 1. Akta parte atau partij akta Akta parte ialah akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat umum (Notaris) yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat. Dalam akta ini Notaris hanya menuangkan kehendak dan kemauan para pihak yang merupakan isi dari akta tersebut. Isi dalam akta bukanlah keinginan Notaris, tetapi keinginan dari para pihak yang tertuang dalam akta tersebut, peran Notaris hanyalah memberikan 56 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Alih Bahasa M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1986, hlm.52. Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 116. 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, op cit., Pasal 1 angka 7. 59 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 1868. 57 otentisitas pada akta tersebut. Mengutip dari Journal of Law, Policy and Globalization “which became the main base or core in the manufacture of a notary deed, ie there must be the desire or the will (wilsvorming) and requests of the parties. If the wishes and requests of the parties does not exist, will not make a notary deed in question. To meet the demand of the parties wishes and notaries can advise to remain grounded in the rule of law”. Dari pernyataan ini dapat disimak bahwa yang menjadi basis utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris , yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak. Jika keinginan dan permintaan dari pihak tidak ada, tidak akan membuat akta Notaris yang bersangkutan. Untuk memenuhi permintaan dari keinginan pihak-pihak tersebut, Notaris dapat menyarankan untuk tetap mengikuti aturan hukum.60 2. Akta pejabat atau relaas akta Mengutip dari Journal of Law, Policy and Globalization “relaas deed or deed of news events description is seen and witnessed by a notary public notary himself at the request of the parties to the action or actions of the parties done poured into the form of a notarial deed”.61 Dari pernyataan ini dapat disimak bahwa relaas akta atau akta berita acara adalah penjelasan yang dilihat dan disaksikan oleh Notaris sendiri atas permintaan para pihak terhadap perbuatan atau tindakan dari pihak-pihak yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang Thobby Wakarmamu, “Legal Protection For Creditors In Credit Bank Agreement With Guarantee On The Liability Rights That Have Not Been Officialy Registered”, Artikel Pada Journal of Law, Policy and Globalization, Vol.44, 2015, hlm. 135. 61 Ibid: hlm. 134-135. 60 dibuat oleh Notaris sebagai, tentang semua peristiwa atau kejadian yang dilihat, dialami, dan disaksikan oleh Notaris sendiri dalam menjalankan jabatannya. Misalnya akta berita acara dan akta risalah. Sudikno Mertokusumo menjelasakan bahwa akta mempunyai fungsi sebagai berikut :62 1. Fungsi Formil (Formalitas causa) yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta, disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil ialah Pasal 1610 KUHPerdata tentang perjanjian pemborongan, Pasal 1767 KUHPerdata tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga dan Pasal 1851 KUHPerdata tentang perdamaian, untuk itu semuanya digunakan adanya akta dibawah tangan sedangkan yang disyaratkan dengan akta otentik antara lain ialah Pasal 1171 KUHPerdata tentang pemberian hipotik, Pasal 1682 KUHPerdata tentang schenking, dan Pasal 1945 KUHPerdata tentang melakukan sumpah oleh orang lain. 2. Fungsi alat bukti (Probationis causa) bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. 62 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, ctk. Pertama, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm. 114-115. Dari pendapat-pendapat sebagaimana terurai diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik sekurang-kurangnya mempunyai tiga fungsi, yaitu : 1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu; 2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak; 3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali apabila ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak. f. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menururt pendapat umum yang dianut pada setiap akta otentik demikian juga pada akta Notaris mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktiaan yaitu :63 1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht) Kemampuan lahirian akta otentik merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik acta publica probant sesse ipsa jika dilihat dari luar atau lahirnya sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah.64 Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta tersebut, parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta 63 64 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 55-59. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 123. otentik yaitu pada tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan dan adanya awal akta mulai dari judul sampai dengan akhir akta. Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lain, jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik, maka yang bersangkutan wajib membuktikan akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik. 2. Kekuatan Pembuktian Formil (formele bewijskracht) Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuktian akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul atau waktu menghadap, dan identitas dari pihak yang menghadap comparanten, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, demikian juga tempat akta itu dibuat, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris pada akta pejabat/berita acara dan mencatat keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap pada akta pihak. Mengenai aspek normal yang dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta dengan kata lain pihak yang mempermasalhkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyagkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersesbut harus diterima oleh siapapun. 3. Kekuatan Pembuktian Material (materiele bewijskracht) Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, karena apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya tegen bewijs keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat atau akta berita acara atau keterangan atau para pihak yang diberikan/disampaikan dihadapan Notaris akta pihak dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan dan akta harus dinilai telah benar berkata. Mengenai pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri, Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya menjadi bukti yang sah untuk/diantara para pihak dan para ahli waris serta penerima hak mereka. Untuk membuktikan aspek material dari akta maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta pejabat dan para pihak yang tidak benar harus dihadapan Notaris menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek material dari akta Notaris. Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut, jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta tersebut di degradasikan dalam kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. g. Pembatalan Akta Notaris Pasal 1266 KUHPerdata menjelaskan bahwa terdapat dua kebatalan (nulitas) dalam suatu perikatan yakni: suatu perikatan dianggap selalu mempunyai suatu syarat batal (Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata), dan pembatalan harus diberikan oleh suatu majelis hakim (Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata).65 Pasal 1266 KUHPerdata ini erat kaitannya dengan Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata, yang memperjelas bilamana suatu akta (baik otentik maupun dibawah tangan) dapat dimintakan dibatalkannya ataupun batal demi hukum, seperti syarat-syarat yang diuraikan oleh masing-masing pasal tersebut, yang dalam doktrin ilmu hukum terdapat ketentuan secara obyektif dan subyektif, atau berkenaan dengan subyek hukum, perbuatan, hubungan, keadaan atau peristiwa hukum dan obyek hukum yang merupakan terjadinya perikatan atau perjanjian. 3) Tinjauan Tentang Hak Milik dan Hak Sewa Atas Tanah a. Pengertian tentang Tanah Mengutip dari Journal of Law, Policy and Globalization “ Soil is the embodiment of existence and for each individual region and country. as it is understood that Indonesia as an agricultural country and agriculture where as a source of livelihood for the people of Indonesia. Ground concerning livelihood of the people that get a special protection of the state, in Article 33 of the Constitution of 1945 subsection (3) states that "earth and water and natural resources contained therein shall be 65 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 1266. controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people ". The meaning of Article 33, paragraph 3 of the Constitution of 1945 substantially at the state preserve and protect the central aspects of the soil, water and natural resources concerning the lives of many people in order to achieve prosperity of the people”. Dari pernyataan ini dapat disimak bahwa Tanah adalah perwujudan eksistensi dan untuk masingmasing daerah individu dan negara. seperti yang dipahami bahwa Indonesia sebagai negara agraris dan pertanian adalah sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat Indonesia. Tanah menyangkut kehidupan rakyat yang mendapatkan perlindungan khusus dari negara, dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (3)66 menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dari orang-orang. Makna Pasal 33, ayat 3 UUD 1945 secara substansial di negara melestarikan dan melindungi aspek sentral dari tanah, air dan sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak untuk mencapai kemakmuran rakyat.67 Sebutan tanah dalam Bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaanya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut di gunakan. Dalam hukum tanah kata sebutan ”tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Dalam Pasal 468 dinyatakan, bahwa Atas dasar hak menguasai dari negara… ditentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang…69 Undang-Undang Dasar 1945, loc. cit. J.Andy Hartanto, Legal Aspects of Sale of Land Unregistered, Artikel Pada Journal of Law, Policy and Globalization, Vol. 42, 2015, hlm. 160. 68 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, loc. cit. 69 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok 66 67 Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi ayat (1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaanya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.70 Dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya.71 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah adalah : 1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; 2. Keadaan bumi di suatu tempat; 3. Permukaan bumi yang diberi batas; 4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya). 70 71 Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, ed. Rev, ctk. Keduabelas, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm. 18-19. Ibid. Ibid; hlm. 19. Menurut Undang-undang Pokok Agraria yang dimaksud dengan tanah apa yang disebut dengan permukaan bumi, Pengertian land menurut hukum Inggris adalah pengertian yang kita kenal sebagai pengertian dari agrarian yang mencakup bumi, air, dan ruang angkasa dan tanah menurut UUPA hanya merupakan bagian terkecil dari bumi yaitu apa yang disebut sebagai permukaan bumi.72 b. Pengertian Hak Milik Nama Hak Milik pada dasarnya diperuntukan khusus bagi warganegara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tunggal. Baik untuk tanah yang diusahakan, maupun untuk keperluan membangun sesuatu di atasnya. Sesuai dengan sefat aslinya dalam UUPA ditetapkan, bahwa Hak Milik tidak terbatas jangka waktu berlakunya. Dapat beralih karena pewarisan dan dapat juga dipindahkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat.73 Pengertian tentang Hak Milik diatur dalam Pasal 570 KUHPerdata74, sebagai berikut : Hak Milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebasbebasnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak menggangu hak orang lain, kesemuanya dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-undang. Dari ketentuan ini dapat terlihat bahwa Hak Milik merupakan hak yang paling utama jika dibandingkan dengan hak-hak lain, karena yang 72 I Wayan Sueden, “Tinjauan Pendaftaran Tanah Untuk Menjamin Kepastian Hukum Hak Atas Tanah”, Artikel Pada Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, Universitas Udayana, Vol.05, 2013, hlm. 4. 73 Boedi Harsono, op.cit., hlm. 286. 74 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., Pasal 570. berhak dapat menikmati dan menguasai sepenuhnya dan sebebasnya, yaitu dalam arti dapat mengalihkan, membebani atau menyewakan, atau dapat memetik hasilnya, memeliharanya, bahkan merusaknya. Pemerintah pun tidak boleh sewenang-wenang membatasi Hak Milik seseorang, melainkan harus ada ganti ruginya dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undnag-undang. Pengertian Hak Milik dalam Pasal 570 KUHPerdata ini hanya berlaku untuk benda bergerak, karena Hak Milik atas barang tak bergerak berupa tanah dan segala sesuatu yang melekat pada tanah itu telah diatur oleh UUPA.75 Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA pengertian Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.76 Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa sifat-sifat Hak Milik membedakan dengan hak-hak lainnya. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat. Kata-kata turun–temurun berarti bahwa Hak Milik atas tanah tidak hanya berlangsung selama hidup pemegang hak, akan tetapi apabila terjadi peristiwa hukum yaitu dengan meninggalnya pemegang hak dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Kata terkuat berarti bahwa Hak Milik atas tanah dapat dibebani hak atas tanah lainnya, misalnya dibebani dengan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan hak lainnya. Hak Milik atas tanah ini wajib didaftarkan. Sedangkan kata terpenuh berarti 75 Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Edisi Revisi, ctk. Pertama, Nuansa Aulia, Bandung, 2012, hlm. 116. 76 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, op. cit., Pasal 20 ayat (1). bahwa Hak Milik atas tanah telah memberi wewenang yang luas kepada pemegang hak dalam hal menggunakan tanahnya. c. Subyek Hak Milik Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang menjadi subyek Hak Milik adalah sebagai :77 1. Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik; 2. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik; 3. Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini maka terhadap kehilangan suatu kewarganegaraan wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperoleh hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak itu hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lainnya tetap berlangsung; 4. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan ayat (3) Pasal ini. Pemegang Hak Milik atas tanah pada prinsipnya hanya dipunyai oleh perorangan, yaitu sebagai Warga Negara Indonesia tunggal. Oleh karena 77 Ibid; Pasal 21. itu, Hak Milik pada dasarnya diperuntukkan khusus bagi Warga Negara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tunggal. Berdasarkan ketentuan pada ayat (2) dengan pertimbangan tertentu, Hak Milik dapat dipunyai oleh badan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, yaitu sebagai berikut :78 1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); 2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 ( Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 139); 3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; 4. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah ditunjuk Menteri Sosial yang terkait. Penunjukan badan-badan hukum tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, serta untuk keperluan-keperluan yang menurut sifatnya menghendaki penguasaan tanah dengan Hak Milik, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Bagi Bank Negara dapat diberikan Hak Milik atas tanah yang dipergunakan sebagai tempat bangunan yang diperlukan guna menunaikan tugasnya serta untuk perumahan pegawainya; 2. Perkumpulan Koperasi Pertanian dapat mempunyai Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari batas maksimum sebagai ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 Tentang Pengadaan Tanah; 78 Pasal 1, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. 3. Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai Hak Milik atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan dan sosial. d. Sifat dan Ciri Hak milik Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya Hak Milik atas tanah memiliki sifat terkuat dan terpenuh yang membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak-hak lainnya. Hak Milik itu hak terkuat artinya bahwa Hak Milik itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh artinya Hak Milik dapat memberikan wewenang yang lebih luas dibandingkan hak-hak lainnya. Ini berarti Hak Milik dapat menjadi induk dari hak-hak lainnya, seperti misalnya pemegang Hak Milik dapat menyewakannya kepada pihak lain. Sedangkan ciri-ciri Hak Milik, antara lain:79 e. 1. Wajib didaftarkan; 2. Dapat beralih kepada ahli waris; 3. Dapat dialihkan; 4. Dapat diwakafkan; 5. Turun Termurun; 6. Dapat dilepaskan; 7. Dapat dijadikan induk hak lain; 8. Dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan. Hapusnya Hak milik Sejak dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok –Pokok Agraria (UUPA) telah dimasukkan 79 Putu Wulandari Savitri., " Pembebanan Hak Milik Atas Tanah Sebagai Objek Hak Tanggungan Yang Sedang Dalam Proses Balik Nama", Tesis, Program Magister Kenotariatan, Universitas Udayana, Denpasar, 2015, hlm. 43. ketentuan mengenai hapusnya hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 27.80 Hak Milik hapus bila: a) Tanahnya jatuh kepada negara, 1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; 2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. karena diterlantarkan; 4. karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2). b) Tanah nya musnah. f. Pengertian Hak Sewa Hak Sewa adalah hak yang memberikan wewenang menggunakan tanah milik orang lain dan penyewa wajib membayar uang sewa kepada pemilik tanah. Pembayaran uang sewanya dapat dilakukan pada waktu tertentu atau dibayar dimuka sesuai dengan perjanjian. Perjanjian sewa menyewa dibuat secara tertulis yang mengatur wewenang, hak dan kewajiban, jangka waktu sewa serta biaya sewa. Perjanjian sewa menyewa dapat dilanjutkan jika perjanjiannya diperbaharui. 81 Ketentuan mengenai Hak Sewa diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUPA jo Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA. Pasal 44 UUPA82 berisi ketentuan: 1) Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai Hak Sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa; 2) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan : 80 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, op. cit., Pasal 27. 81 Theresia Febriani Hakim, “Analisis Kepemilikan Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Hak Milik Pihak Lain (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 625 K/Pdt/2009)”, Tesis, Program Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 22. 82 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, op. cit., Pasal 44. a) satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu; b) sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. 3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertaisyarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Pasal 44 ayat (1) UUPA tersebut menegaskan bahwa Hak Sewa tanah untuk bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa tanah untuk bangunan.83 Hak Sewa termasuk dalam hak atas tanah sekunder yaitu hak atas tanah yang tidak langsung bersumber pada hak bangsa Indonesia dan yang diberikan oleh pemilik tanah dengan cara perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan. Hak Sewa tanah untuk bangunan tidak sama dengan Hak Sewa atas bangunan. Dalam Hak Sewa tanah untuk bangunan pemilik menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong kepada penyewa dengan maksud supaya penyewa dapat mendirikan bangunan diatas tanah tersebut. Bangunan itu menurut hukum yang berlaku saat ini menjadi milik pihak penyewa tanah tersebut, kecuali jika ada perjanjian lain. 84 Sedangkan dalam Hak Sewa atas bangunan yang terjadi adalah penyewa menyewa bangunan di atas tanah hak milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa dan dalam jangka waktu yang tertentu atas dasar kesepakatan antar pemilik bangunan dan penyewa bangunan. 83 Irmina Tutik Sundari, “Pelaksanaan Pemberian Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan Bagi Sekolah Swasta Dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Di Kota Tangerang Selatan”, Artikel Pada Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2016, hlm. 4. 84 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 153. g. Subyek Hak Sewa Subyek hak sewa dijelaskan dalam Pasal 45 UUPA bahwa yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa ialah :85 a) Warga Negara Indonesia; b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c) Badan hukum yang didirikan menururt hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. h. Ciri-Ciri Hak sewa Hak Sewa secara sederhana akan memberikan pemenggalan pengertian yang berbeda dengan Hak Pakai, sebab Hak Sewa terdapat rumusan sebagai berikut :86 a) Mempergunakan tanah milik orang lain; b) Hanya milik perseorangan bukan yang dikuasai negara; c) Adanya pembayaran uang sewa; d) Tidak boleh ada unsur yang mengandung pemerasan. 4. Tinjauan Tentang Teori Keadilan Mengutip dari Journal of Law, Policy and Globalization “Justice is generally interpreted as a just conduct or a just treatment. On the other hand, being just means being impartial and to take the side of the right party. According to philosophical study, justice requires two elements, first: it does not bring disadvantage on an individual and second: proper treatment to individuals according to their respective rights. If the two principles can be fulfilled, justice can be realized”. Dari pernyataan ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, op., cit, Pasal 45. 86 YLBHI dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, ctk. Kedua, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007. hlm. 166. 85 dapat disimak bahwa keadilan umumnya ditafsirkan sebagai hanya melakukan atau hanya perlakuan. Di sisi lain, yang hanya berarti memihak dan mengambil sisi pihak yang tepat. Menurut penelitian filosofis, keadilan membutuhkan dua elemen, pertama: tidak membawa kerugian pada individu dan kedua: perawatan yang tepat untuk individu sesuai dengan hak masing-masing. Jika dua prinsip dapat dipenuhi, keadilan dapat diwujudkan.87 Keadilan adalah konsep kebenaran moral berdasarkan etika, rasionalitas hukum, hukum alam, agama, keadilan atau ekuitas, serta hukuman dari pelanggaran etika tersebut.88 Teori tentang keadilan sangat terkait dengan filsafat hukum sebagaimana disampaikan oleh E. Utrecht bahwa filsafat hukum memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan adanya tujuan hukum), apakah sebabnya kita mentaati hukum? (persoalan berlakunya hukum) dan apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan keadilan hukum). Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi alat penyeledikan dalam filsafat hukum juga disampaikan oleh Kusumadi Pudjosewojo yaitu apakah tujuan dari hukum itu? apakah semua syarat keadilan? apakah keadilan itu? bagaimana hubungan antara hukum dan keadilan.89 Teori tentang keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala, hubungan antara keadilan dengan hukum positif jadi pusat perhatian para ahli filsuf dari Yunani, sama halnya dengan pemikiran tentang hukum pada saat tersebut.90 Dibawah ini akan diuraikan beberapa 87 Sri Muryanto, Koesno Adi, Masruchin Ruba’i, Amiruddin, “The Principle Of Justice In The Sentencing Of Corruption Offenders”, Artikel Pada Journal of Law, Policy and Globalization, Vol. 27. 2014, hlm. 57. 88 James Konow, “Which Is The Fairness One Of All? A Positive Analysis Of Justice Theories”, Artikel Pada Journal Of Economic Literature 41, No.2, 2003, hlm. 1188. 89 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, ctk. Kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 4-5. 90 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, PT. Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm. 6. pemikiran dalam konteks keadilan dalam hukum yang penulis pilih dalam pembahasan penelitian ini yaitu teori Plato dan Aristoteles yang mewakili pemikiran dari masa klasik serta John Rawls mewakili pemikiran dari masa Modern. a. Teori Keadilan Plato Plato (427-347 SM) adalah murid Socrates dan guru Aristoteles. Ia banyak menuangkan pikirannya dalam bentuk dialog. Ada sekitar 26 dialog yang dapat dijumpai sampai sekarang.91 Plato adalah filsuf besar sepanjang sejarah. Pemikiran falsafinya masih tetap awet, lestari, dan menjadi pedoman sebagian besar pemikir sesudahnya. Hampir semua filosofi Plato terekam dalam bentuk dialog dengan para muridnya.92 Metode dialog menjadi satu-satunya metode yang paling vital dalam penyampaian falsafahnya.93 Sebenarnya Plato mengikuti metode dialog yang dirintis Socrates, gurunya. Filosofi Plato mengalami tiga masa perkembangan: Pertama, membahas tema-tema sentral, misalnya tentang mawas diri (charmides, Temperance); persahabatan (lysis, friendship); keberanian (laches, courage); symposium (symposium); apologi (apology); republik (republic); dan hukum (laws). Kedua, membahas tentang teori bentuk (theory of from). Ketiga , membicarakan tentang metodologi, logika, dan sistematik.94 Karya Plato yang paling terkenal yaitu Republic, yang menawarkan konsep masyarakat yang utopis dengan sebuah masyarakat yang M.M. Sharif, “Greek Thought”, dalam M.M. Sharif (editor), A History of Muslim Philosophy, Vol. I, Low Price Publication, Delhi, 1995, hlm. 93. 92 Gilbert Ryle. “Plato”, dalam Paul Edwads (editor), The Encyclopedia of Philoshophy, ctk. Pertama, Vol. IV, Collier Macmillan, Inc., Canada, 1967, hlm. 319. 93 Charles H. Patterson, Cliff’s Course Outlines: Western Philosophy, Vol. I, 600 B.C to 1600 A.D, Cliff’s Note, Lincoln, 1970, hlm. 20. 94 Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2005, hlm. 79. 91 dipimpin oleh kelas elit yang dididik sejak lahir untuk menjadi pimpinan. Sisanya dibagi menjadi kelompok tentara dan masyarakat umum.95 Republik merupakan salah satu karya dari Plato yang sebenarnya menyuarakan nilai keadilan di dalamnya meskipun tidak secara eksplisit didefinisikan, persoalan keadilan yang diungkapkan plato ini telah menuai pro dan kontra baik dari sisi yang mengamininya atau pun dari sisi yang menyanggahnya. Plato percaya bahwa menegakan keadilan harus menjadi tujuan negara. Karena itu, hukum dan keadilan menempati posisi sentral dalam politik. Keadilan dan hukum yang adil itulah yang menjadi titik tolak dan sekaligus tujuan karyanya, yaitu Republic. Dalam dialog panjang antara Sokrates dengan Glaucon, Polemarchus, Adematus, Niceratus, dan yang lain; Plato melalui mulut Sokrates (Sokrates sendiri tidak menulis) menekankan pentingnya membedakan tindakan yang adil dari tindakan yang tidak adil, manusia yang adil dari manusia yang tidak adil.96 Republik, karya Plato ini pada dasarnya terdiri dari sepuluh bab atau biasa disebut buku yakni Buku I sampai dengan Buku X. Pertanyaan tentang Keadilan muncul di buku I (Republic). Penjelasan tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia dengan yang lain. Memberikan keadilan bagi orang lain berarti mengatakan kebenaran dan mengembalikan apa yang anda pinjam.97 95 Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers - 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2010, hlm. 37. 96 Andre Ata Ujan, FILSAFAT HUKUM, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm. 37. 97 James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm. 5. Definisi keadilan, yang merupakan tujuan nominal dari seluruh diskusi, tercapai di buku IV. keadilan adalah apabila seorang itu menjalankan pekerjaannya dalam hidup ini sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. 98 Keadilan itu terwujud ketika setiap orang melakukan pekerjaannya dan tidak mencampuri urusan orang lain. Kota ini adil ketika pedagang, pembantu/pendukung, dan wali, masing-masing menjalankan tugasnya sendiri tanpa mencampuri urusan warga dari kelas lain. 99 Dengan demikian, Plato hendak mengatakan bahwa masyarakat yang adil adalah yang anggotanya bisa menjalankan secara demikian itu. mengurusi pekerjaan sendiri dan tidak mencampuri oranglain itulah keadilan. 100 Plato juga berpendapat bahwa keadilan merupakan suatu kebajikan yang memberikan kepada setiap orang tempatnya sendiri didalam masyarakat dan kemudian menimbulakan hak-hak dan kewajiban masing-masing.101 Bagi Plato keadilan merupakan suatu kebajikan yang mengandung keselarasan dan keseimbangan yang tidak dapat diketahui atau dijelaskan dengan argumentasi rasional.102 Plato membagi empat kebajikan, yaitu kebijaksanaan atau kearifan, keberanian atau keteguhan hati, disiplin, dan keadilan.103 Keempat kebajikan ini harus dimiliki oleh negara sebagai kualitas utama. Peraturan perundang-undangan harus dibentuk oleh lembaga yang berwenang, peraturan yang tidak baik atau tidak adil akan menghasilkan pemerintahan yang buruk. Sebaliknya peraturan yang adil atau baik 98 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Kencana Prenada Media Groups, Jakarta, 2009, hlm. 213. 99 Satrio Arismunandar, “Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis”, Makalah Pada Tugas Kuliah Sejarah Filsafat Yunani, Program S3 Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia, Depok, 18 Desember 2008, hlm. 9. 100 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 256. 101 JJ. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa: Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 93. 102 W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, Stevens and son Limited, London, 1960, hlm. 9. 103 Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 271. akan menghasilkan masyarakat yang stabil dan mendatangkan kebahagiaan bagi setiap orang.104 b. Teori keadilan Aristoteles Aristoteles (384-322 SM) adalah murid dari Plato Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khusus, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditunjukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukum, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan. 105 Persoalan keadilan menjadi hal yang utama dalam pemikiran hukum kodrat pada masa Yunani kuno, dengan peletak hukum kodrat Aristoteles. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sudah terdapat gagasan umum tentang apa yang adil menurut kodratnya dana apa yang adil itu harus sesuai atau menurut keberlakuan hukumnya.106 Menurut Aristoteles, tanpa ada kecenderungan hati sosial-etis yang baik pada warga negara, maka tidak ada harapan untuk tercapai keadilan tertinggi dalam negara meskipun yang memerintah adalah orang-orang bijak dengan undang-undang yang mutu sekalipun.107 Karena hukum mengikat semua orang, maka keadilan hukum mesti dipahami dalam pengertian kesamaan, namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit, yang 104 Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama dulu dan Sekarang, Penterjemah P. Hardono Hadi, Kanisius, Jakarta, 2000, hlm. 107. 105 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm.24. 106 Made Sumbawa, “Pemikiran Filsafat Hukum Dalam Membentuk Hukum”, Artikel Pada Jurnal Sarathi: Kajian Teori dan Masalah Sosial Politik, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Denpasar, Vol. 14 (3), 2007, hlm. 244-245. 107 Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 42. sekarang biasa dipahami tentang kesamaan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan, prestasi, dan sebagainya. Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadailan korektif, keadilan distibutif ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang porsi menurut prestasinya, keadilan korektif memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya, dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.108 keadilan yang pertama berlaku dalam hukum Publik dan yang kedua dalam hukum Perdata dan Pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bias dipahami dalam rangka konsepsi diwilayah keadialan distributif bahwa imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat, lalu dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis jelas bahwa apa yang ada di benak Aristoteles bahwa distribusi kekayaan dan barang berharga lainnya berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikan yakni nilai bagi masyarakat.109 108 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, ctk. Keduapuluh enam, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hlm. 11-12. 109 Carl Joachim Friedrich, op. cit., hlm. 25. Keadilan Korektif, pada sisi yang lain, berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Apabila suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka hukuman yang pantas perlu diberikan kepada pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “Kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Uraian tersebut nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintahan.110 Aristoteles, dalam membangun argumentasinya, menekankan perlu dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasar keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.111 c. Teori Keadilan John Rawls Pada abad modern salah seorang yang dianggap memiliki peran penting dalam mengembangkan konsep keadilan adalah John Borden Rawls. Rawls berpendapat bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan apabila negara melaksanakan asas keadilan, berupa setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan 110 111 Ibid. Ibid; hlm. 26-27. dasar (basic liberties); dan perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memberi manfaat yang besar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung, dan bertalian dengan jabatan serta kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.112 John Rawls dalam buku a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan socialekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu the principle of fair equality of opportunity menunjukan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas. Mereka itulah yang harus diberi perlindungan khusus.113 Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme. Aliran utilitarianisme merupakan reaksi terhadap ciri metafisis dan abstrak dari filsafat hukum pada abad ke delapan belas. Jeremy Bentham sebagai penemunya menunjuk banyak dari karyanya pada kecaman-kecaman yang hebat atas seluruh konsepsi hukum alam. Bentham tidak puas dengan kekaburan dan ketidaktetapan teori-teori tentang hukum alam, dimana utilitarianisme mengetengahkan salah satu dari gerakan-gerakan periodik dari yang abstrak hingga yang konkret, dari yang idealitis hingga yang materialistis, dari yang apriori hingga yang berdasarkan 112 Inge Dwisvimiar, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum”, Artikel Pada Jurnal Dinamika Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Vol. 11, 2011, hlm. 528. 113 Carl Joachim Friedrich, op. cit., hlm. 27. pengalaman. Gerakan aliran ini merupakan ungkapan- ungkapan/tuntutan-tuntutan dengan ciri khas dari abad kesembilan belas.114 Menurut aliran ini, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya.115 Aliran utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baikburuk, adil atau tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.116 Utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum, kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines), yang tidak mempermasalahkan baik atau tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung kepada pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.117 Penganut aliran utilitarianisme mempunyai prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri , lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. 114 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin, Disunting oleh Achmad Nasir Budiman dan Suleman Saqib, Rajawali, Jakarta, 1990, hlm 111. 115 Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum; Edisi lengkap (Dari Klasik sampai Postmoderenisme), Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, hlm 159. 116 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 59. 117 Muh. Erwin, Filsafat Hukum; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2011, hlm 179. Rawls juga berpendapat bahwa teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menururt Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa, sehingga menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi, pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa, sehingga dihasilkan keuntungan tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatanjabatan yang terbuka bagi semua orang dengan memberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. John Rawls, lebih lanjut, menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan social ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.118 118 John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 hlm.69. Prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa, sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah. John Rawls menyatakan dua prinsip keadilan yang dipercaya akan dipilih dalam posisi awal. Di bagian ini John Rawls hanya akan membuat komentar paling umum, dan karena itu formula pertama dari prinsip-prinsip ini bersifat tentative. Kemudian, John Rawls mengulas sejumlah rumusan dan merancang langkah demi langkah pernyataan final yang akan diberikan nanti. John Rawls yakin bahwa tindakan ini membuat penjelasan berlangsung dengan alamiah. Pernyataan pertama dari dua prinsip tersebut berbunyi sebagai berikut :119 Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa, sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Ada dua frasa ambigu pada prinsip kedua, yakni “keuntungan semua orang” dan “sama-sama terbuka bagi semua orang”. Pengertian frasa-frasa itu secara lebih tepat yang akan mengarah pada rumusan kedua. Versi akhir 119 Ibid; hlm. 72. dari dua prinsip tersebut diungkapkan dalam mempertimbangkan prinsip pertama. Melalui jalan komentar umum, prinsip-prinsip tersebut terutama menerapkan struktur dasar masyarakat. Mereka akan mengatur penerapan hak dan kewajiban dan mengatur distribusi keuntungan sosial dan ekonomi. Sebagaimana diungkapkan rumusan mereka, prinsipprinsip tersebut menganggap bahwa struktur sosial dapat dibagi menjadi dua bagian utama, prinsip pertama diterapkan yang satu, yang kedua pada yang lain. Mereka membagi antara aspek-aspek sistem sosial yang mendefinisikan dan menjamin kebebasan warganegara dan aspek-aspek yang menunjukan dan mngukuhkan ketimpangan sosial ekonomi. Kebebasan dasar warga negara adalah kebebasan politik (hak untuk memilih dan dipilih menduduki jabatan publik) bersama dengan kebebasan berbicara dan berserikat, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berpikir, kebebasan seseorang seiring dengan kebebasan untuk mempertahankan hak milik (personal), dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang sebagaimana didefinisikan oleh konsep rule of law. Kebebasan-kebebasan ini oleh prinsip pertama diharuskan setara, karena warga suatu masyarakat yang adil mempunyai hak-hak dasar yang sama. Prinsip kedua berkenaan dengan distribusi pendapatan dan kekayaan serta dengan desain organisasi yang menggunakan perbedaaan dalam otoritas dan tanggung jawab atau rantai komando. Sementara distribusi kekayaan dan pendapatan tidak perlu sama, posisi-posisi otoritas dan jabatan komando harus bisa diakses oleh semua orang. Masyarakat yang menerapkan prinsip kedua dengan membuat posisi-posisinya terbuka bagi semua orang, sehingga tunduk dengan batasan ini, akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi sedemikian hingga semua orang diuntungkan. Prinsip-prinsip ini ditata dalam tata urutan dengan prinsip pertama mendahului prinsip kedua. Urutan ini mengandung arti bahwa pemisahan mendahului prinsip kedua. Urutan ini mengandung arti bahwa pemisah dari lembaga-lembaga kebebasan setara yang diperlukan prinsip pertama tidak bias dijustifikasi, atau digantikan dengan keuntungan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Distribusi kekayaan dan pendapatan, serta hierarki otoritas, harus sejalan dengan kebebasan warga negara dan kesamaan kesempatan. Jelas bahwa prinsip-prinsip tersebut agak spesifik isinya, dan penerimaan mereka terletak pada asumsi-asumsi tertentu yang pada akhirnya harus dijelaskan. Teori keadilan tergantung pada teori masyarakat dalam hal-hal yang akan tampak nyata nanti. Sekarang, harus dicermati bahwa dua prinsip tersebut (dan hal ini berlaku pada semua rumusan) adalah kasus khusus tentang konsepsi keadilan yang lebih umum yang bias dijelaskan seagai berikut:120 Semua nilai sosial-kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan dan basis-basis harga diri-didistribusikan secara sama kecuali jika distribusi yang tidak sama dari sebagian, atau semua, nilai tersebut demi keuntungan semua orang. Ketidakadilan adalah ketimpangan yang tidak menguntungkan semua orang. Tentu, konsepsi ini sangat kabur dan membutuhkan penafsiran. Sebagai langkah pertama, anggaplah bahwa struktur dasar masyarakat mendistribusikan sejumlah nilai-nilai primer, yakni segala sesuatu yang diinginkan semua orang yang berakal. Nilai-nilai ini biasanya punya kegunaan apa pun rencana hidup seseorang. Sederhananya, anggaplah bahwa nilai-nilai primer utama pada disposisi masyarakat adalah hak dan kebebasan, kekuasaan dan kesempatan, 120 Ibid; hlm 74. pendapatan dan kekayaan. Hal-hal tersebut merupakan nilai-nilai sosial primer. Niali-nilai primer lain seperti kesehatan dan kekuatan, kecerdasan dan imajinasi, hal-hal natural, kendati kepemilikan mereka dipengaruhi oleh struktur dasar, namun tidak langsung berada dibawah kontrolnya. Bayangkan tatanan hipotesis awal dimana semua nilai primer di distribusikan secara sama, semua orang punya hak dan kewajiban yang sama, pendapatan dan kekayaan dibagi sama rata. Kondisi ini memberikan standar untuk menilai perbaikan. Apabila ketimpangan kekayaan dan kekuasaaan organisasional akan membuat semua orang menjadi lebih baik daripada situasi asal hipotesis ini, maka mereka sejalan dengan konsepsi umum. Mustahil secara teoritis bahwa dengan memberikan sejumlah kebebasan fundamental, mereka secara memadai dikompensasi capaiancapaian ekonomi dan sosialnya. Konsepsi keadilan umum tidak menerapkan batasan pada jenis ketimpangan apa yang diperbolehkan. Hanya mengharuskan agar posisi semua orang bisa diperbaiki. Tidak perlu mengandaikan sesuatu yang amat drastis seperti persetujuan pada perbudakan. Bayangkan bahwa orang-orang justru meninggalkan hakhak politik tertentu manakala keuntungan ekonomi signifikan dan kemampuan mereka untuk mempengaruhi arus kebijaksanaan melalui penerapan hak-hak tersebut pada semua kasus akan terpinggir. Pertukaran jenis ini yang akan diungkapkan dua prinsip tersebut, setelah diurutkan secara serial mereka tidak menginjinkan pertukaran antara kebebasan dasar dengan capaian-capaian sosial dan ekonomi. Ururtan secara serial atas prinsip-prinsip tersebut mengekspresikan pilihan dasar dianatara nilai-nilai sosial primer. Ketika pilihan itu rasional, begitu pula pilihan prinsip-prinsip tersebut dalam urutan ini. Upaya mengembangkan keadilan sebagai fairness, dalam banyak hal akan mengabaikan konsepsi umum tentang keadilan dan justru mengulas kasus khusus dua prinsip dalam urutan. Keuntungan dari prosedur ini, bahwa sejak awal persoalan prioritas diakui, kemudian diciptakan upaya untuk menemukan prinsip-prinsip untuk mengatasinya. Orang digiring untuk memperhatikan seluruh kondisi dimana pengetahuan tentang yang absolute memberi penekanan pada kebebasan dengan menghargai keuntungan sosial dan ekonomi. Sebagaimana di definisikan oleh leksikal order dua prinsip tadi, akan jadi masuk akal. Urutan ini tampak ekstrim dan terlampau spesial untuk menjadi hal yang sangat menarik, namun ada lebih banyak justifikasi daripada yang akan terlihat pada pandangan pertama. Atau setidaknya seperti yang akan disebutkan. Selain itu, pembedaan anatara hak-hak dan kebebasan fundamental dengan keuntungan sosial dan ekonomi menandai perbedaan di antara nilai sosial primer yang seharusnya dimanfaatkan. Pembedaan yang ada dan urutan yang diajukan hanya bersandar pada perkiraan. Namun, penting untuk menunjukkan kalimat utama dari konsepsi keadilan yang masuk akal dan dalam kondisi, dua prinsip dalam tata urutan serial tersebut bias cukup berguna. Kenyataan bahwa dua prinsip tersebut bisa diterapkan pada berbagai lembaga punya konsekuensi tertentu. Berbagai hal menggambarkan hal ini adalah hak-hak dan kebebasan yang diaku oleh prinsip-prinsip ini adalah hak-hak dan kebebasan yang didefinisikan oleh aturan publik dari struktur dasar. Kebebasan orang ditentukan oleh hak dan kewajiban yang dibentuk lembaga-lembaga utama masyarakat. Kebebasan orang ditentukan oleh hak dan kewajiban yang dibentuk lembaga-lembaga utama masyarakat. Kebebasan merupakan pola yang pasti dari bentukbentuk sosial. Prinsip pertama menyatakan bahwa seperangkat aturan tertentu, aturan-aturan yang mendefinisikan kebebasan dasar, diterapkan pada semua orang secara sama dan membiarkan kebebasan ekstensif yang sesuai dengan kebebasan bagi semua. Satu alasan untuk membatasi hak-hak yang menentukan kebebasan dan mengurangi kebebasan bahwa hak-hak setara sebagaimana didefinisikan secara institusional tersebut saling mencampuri. Hal lain yang harus diingat bahwa ketika prinsip-prinsip menyebutkan person, atau menyatakan bahwa semua orang memperoleh sesuatu dari ketidaksetaraan, acuannya person yang memegang berbagai posisi sosial atau jabatan atau apapun yang dikukuhkan oleh struktur dasar. Dalam menerapkan prinsip kedua diasumsikan bahwa dimungkinkan untuk memberi harapan akan kesejahteraan pada individu-individu yang memegang posisi-posisi tersebut. Harapan ini menunjukan masa depan hidup mereka sebagaimana dilihat dari status sosial mereka. Secara umum, harapan orang-orang representatif bergantung pada distribusi hak dan kewajiban diseluruh struktur dasar. Ketika hal ini berubah, harapan berubah. Dapat diasumsikan bahwa harapan-harapan tersebut terhubung dengan menaikkan masa depan orang yang representatif pada satu posisi, berarti kita meningkatkan atau menurunkan masa depan orang-orang representatif di posisi-posisi lain. Hal ini bisa diterapkan pada bentukbentuk institusional, prinsip kedua (atau bagaian pertamanya) mengacu pada harapan akan individu-individu representatif. Kedua prinsip tersebut tidak bisa diterapkan pada distribusi nilai-nilai tertentu pada individu-individu tertentu yang bisa diidentifikasi oleh nama-nama pas mereka. Situasi dimana seseorang meperimbangkan bagaimana mengalokasikan komoditas-komoditas tertentu pada orang-orang yang membutuhkan yang diketahui tidak berada dalam cakupan prinsip tersebut. Mereka bermaksud mengatur tatanan institusional dasar dan tidak boleh mengasumsikan bahwa terdapat banyak kesamaan dari sudut pandang keadilan antara porsi administrative berbagai nilai pada person- person spesifik dengan desain yang layak tentang masyarakat. Intuisi common sense mengenai porsi administratif mungkin merupakan panduan yang buruk bagi desain kata masyarakat. Sekarang prinsip kedua menuntut agar setiap orang mendapat keuntungan dari ketimpangan dalam struktur dasar. Berarti pasti masuk akal bagi setiap orang representatif yang didefinisikan oleh struktur ini, ketika ia memandangnya sebagai sebuah titik perhatian, untuk memilih masa depannya dengan ketimpangan daripada masa depannya tanpa ketimpangan. Orang tidak boleh menjustifikasi perbedaan pendapatan atau kekuatan organisasional, karena orang-orang lemah lebih diuntungkan oleh lebih banyaknya keuntungan orang lain. Lebih sedikit penghapusan kebebasan yang dapat diseimbangkan dengan cara ini. Andaikan diterapkan pada struktur dasar, prinsip utilitas akan memaksimalkan jumlah harapan orang-orang representatif (ditekankan oleh sejumlah orang yang mereka wakili, dalam pandangan klasik), dan hal ini akan membuat kita mengganti sejumlah kerugian dengan pencapaian hal lain. Dua prinsip tersebut menyatakan bahwa semua orang mendapat keuntungan dari ketimpangan sosial dan ekonomi. Jelas bahwa ada banyak cara yang membuat semua orang bisa diuntungkan ketika penataan awal atas kesetaraan dianggap sebagai standar. Bagaimana memilih diantara berbagai kemungkinan ini, pada prinsipnya harus jelas sehingga dapat memberikan kesimpulan yang pasti. B. Kerangka Berpikir Perjanjian sewa menyewa yang dibuat dalam bentuk akta Notaris harus di dasarkan pada syarat sah perjanjian yang terdapat di Pasal 1320 KUH Perdata, dimana salah satu syarat itu adalah mengenai kesepakatan dalam mengadakan perjanjian. Dalam hal ini terjadi kesepakan sepihak dimana pihak penyewa dengan kehendaknya sendiri tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu melakukan perpanjangan sewa menyewa. Hal tersebut tentu merugikan pihak yang menyewakan. Karena tidak didasarkan atas persetujuan dari pihak yang menyewakan. Notaris dalam menjalankan jabatannya tentu nya harus bersikap jujur, tidak berpihak dan penuh rasa tanggung jawab, ini merupakan kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya. Terkadang didalam prakteknya masih terdapat beberapa Notaris yang melanggar, salah satu contoh terkait pembuatan akta mengenai perpanjangan perjajian sewa menyewa dimana Notaris menguntungkan salah satu pihak. Pihak penyewa melakukan perpanjangan sewa tanpa menghadirkan atau meminta persetujuan dari pemilik objek sewa. Pemilik objek sewa merasa dirugikan dalam hal perpanjangan sewa yang dilakukan secara terus menerus secara sepihak tersebut. Hingga akhirnya terjadi gugatan ke pengadilan, dan Notaris yang membuat akta perpanjangan sewa menjadi tergugat. Gugatan yang akhirnya di putus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2647 K/Pdt/2014 yang akhirnya membatalkan akta perpanjangan perjanjian sewa menyewa atas tanah hak milik itu. Dengan demikian timbul pertanyaan, Bagaimana kekuatan pembuktian dan kebatalan akta Notaris dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2647 K/Pdt/2014 dan Apakah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2647 K/Pdt/2014 telah sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Dari permasalahan yang diteliti dapat dibuat kerangka penelitian sebagai berikut: Syarat Sah Perjanjian Pasal 1320 KHUPerdata Perjanjian Sewa Menyewa atas Tanah Pihak yang Menyewakan (PENGGUGAT) NOTARIS AKTA OTENTIK Pihak Penyewa (TERGUGAT) Gugatan Perdata PENGADILAN NEGERI SLAWI Hakim Salah Menerapkan Hukum PENGADILAN TINGGI SEMARANG TEORI PEMBUKTIAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN MARI NO. 2647 K/Pdt/2014 tidak sesuai Dengan Nilai Nilai Keadilan Pembatalan Akta Perjanjian Perpanjangan Sewa Menyewa Tanah TEORI KEADILAN ARISTOTELES C. Penelitian Yang Relevan Dalam mencari bahan-bahan hukum sekunder, penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang telah dipublikasikan dan memiliki kesamaan namun terdapat perbedaan dalam substansi, yaitu : Ringkasan isi No 1 Penulis Judul Glorius Frits Taihuttu Pembatalan Akta Tanggung jawab Glorius Notaris terhadap Sewa-Menyewa Frits pembatalan akta Taihuttu, Tanah (Tinjauan Yuridis Terhadap perpanjangan Tesis; perjanjian sewa2011, UI, Putusan menyewa tanah, Mahkamah Depok Serta mengenai Agung Republik Indonesia Nomor: perlindungan 15/K/Pdt/2009). hukum bagi pihak penyewa terkait pembatalan akta perpanjangan perjanjian sewamenyewa tanah, dan apakah Putusan Mahkamah Agung telah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku? Aldin Derilianto kekuatan pembuktian dan pembatalan akta Notaris dalam kasus pembatalan akta sewamenyewa atas tanah Hak Milik serta mengkaji putusan Mahkamah Agung apakah dalam memutus telah sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Ringkasan isi No 2 Penulis Judul Danieta Yulinda, Tesis; 2012, UI, Depok Analisis Tanggung Jawab Notaris Terhadap Keabsahan Akta Pembatalan (Kasus Putusan Nomor 534/PDT.G/200 8/ PN.JKT.BAR Tanggal 31 Desember 2008) Danieta Yulinda Aldin Derilianto Keabsahan Akta Pembatalan yang dibuat secara sepihak oleh pihak penjual dan tanggung jawab serta peran Notaris jika dikaitkan dengan peraturan jabatan notaris dan kode etik. kekuatan pembuktian dan pembatalan akta Notaris dalam kasus pembatalan akta sewamenyewa atas tanah Hak Milik serta mengkaji putusan Mahkamah Agung apakah dalam memutus telah sesuai dengan nilai-nilai keadilan Ringkasan isi No 3 Penulis Judul Pieter Tamba Simbolon, Tesis; 2008, UNDIP, Semarang Pembatalan Akta Notariil Dalam Sengketa Perdata Di Pengadilan Negeri Semarang (Studi Kasus Putusan Perkara No.14/Pdt.G/2 005/Pn Smg) Pieter Tamba Simbolon Faktor yang menyebabkan Akta Notaris dapat di batalkan oleh pengadilan dan bagaimana pertanggung jawaban seorang Notaris terhadap pembatalan akta tersebut Aldin Derilianto kekuatan pembuktian dan pembatalan akta Notaris dalam kasus pembatalan akta sewamenyewa atas tanah Hak Milik serta mengkaji putusan Mahkamah Agung apakah dalam memutus telah sesuai dengan nilai-nilai keadilan