BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Wilayah Indonesia berada di antara garis ekuator yang memiliki karakteristik wilayah tropis. Proses klimatologi yang khas pada wilayah tropis adalah memiliki temperatur rata – rata tahunan yang relatif tinggi, karena posisi matahari yang sepanjang tahun relatif berada di antara garis ekuator. Hal tersebut menyebabkan wilayah Indonesia merupakan daerah pertemuan sirkulasi global seperti Sirkulasi Hadley, Sirkulasi Walker, dan Sirkulasi Lokal. Wilayah Indonesia yang berupa negara kepulauan menyebabkan setiap daerah memiliki perbedaan karakakteristik cuaca dan iklim (Habibie, 2011). Karakteristik klimatologis merupakan komponen fisis yang ada di atmosfer dan berpengaruh terhadap kondisi iklim pada suatu wilayah. Karakteristik klimatologis melihat kejadian atmosfer dalam skala ruang yang luas dan dalam kurun waktu yang relatif lama, sehingga adanya perubahan karena suatu sebab terjadi secara perlahan dan berdampak panjang. Berbeda dengan karakteristik meteorologis yang cenderung berlangsung dalam waktu yang singkat dan memiliki perubahan secara spontan terhadap atmosfer serta terjadi dalam skala lokal atau sempit. Kondisi ini akan mempengaruhi pola cuaca yang terjadi dalam suatu regional. Kedua karakter tersebut utamanya dipengaruhi oleh penyinaran matahari yang berlangsung di daerah tropis dan membuat kejadian – kejadian atmosfer secara periodik mengikuti pola pergerakan matahari. Pengaruh terhadap kedua karakter tersebut juga dapat dipengaruhi oleh kejadian alam lainnya seperti bencana, sampai hal – hal yang dilakukan oleh umat manusia yang dapat mempengaruhi keadaan atmosfer dalam skala lokal maupun regional, seperti perubahan penggunaan lahan. Tantangan Indonesia semenjak dicanangkannya Protokol Kyoto dan kemudian dimasukkan ke dalam forum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui program Millenium Development Goals (MDGs), masalah perubahan iklim sebagai akibat dari kenaikan temperatur bumi secara global merupakan 1 permasalahan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Indonesia sebagai negara, dan berada di antara garis ekuator, merupakan wilayah yang berpengaruh terhadap keadaan iklim maupun cuaca di dunia. Pada beberapa tahun terakhir Indonesia juga memiliki pola – pola cuaca yang sangat ekstrim. Contoh dari terjadinya pola ekstrim di Indonesia adalah terjadinya bencana meteorologis mulai dari curah hujan yang tinggi, kemarau panjang, badai kilat, hingga angin kencang yang terjadi pada wilayah tertentu yang selanjutnya akan disebut sebagai angin ribut. Angin merupakan massa udara yang bergerak karena adanya perbedaan gradien tekanan udara dari daerah yang memiliki tekanan udara tinggi menuju daerah dengan tekanan udara rendah (Tjasyono, 2006). Adanya perbedaan gradien akan memberikan pergerakan berupa arah dan juga memiliki kecepatan. Arah menunjukkan tujuan dari gerakan angin yang ditunjukkan dengan 8 arah mata angin yang biasa kita kenal, dan 16 mata angin untuk urusan penerbangan. Kecepatan menunjukkan jauhnya pergerakan massa udara dalam suatu satuan waktu. Beaufort telah membagi kelas kecepatan angin dengan memberikan istilahnya tersendiri. Dalam skala ini yang kemudian dikenal adanya ciri – ciri dari angin ribut. Angin ribut adalah angin yang bergerak dengan kecepatan tinggi sehingga menghasilkan gaya yang dapat menimbulkan daya rusak bagi benda apapun yang dilewatinya, tergantung dari kuat atau kualitas dari benda tersebut untuk menahan tekanan (Nirkaryanto, 1979). Beaufort (dalam Neiburger, 1982) mengklasifikasikan angin ribut dengan kecepatan minimal 16 m/s, semakin kencang maka akan memiliki daya rusak yang lebih besar hingga dapat merusak bangunan. Angin ribut merupakan kejadian lanjutan dari rangkaian pertumbuhan awan comulonimbus (Cb), berawal dari tumbuhnya awan cumulus (Cu) yang berkembang menjadi awan comulonimbus (Cb) karena tingginya arus vertikal. Awan Ketidakstabilan awan menjadi sebab terjadinya pencaran udara yang mengalir di dalam awan, sehingga menjadi pusaran yang berlawanan dengan arah jarum jam dan menghasilkan energi kinetik yang memiliki kekuatan yang kuat (Nirkaryanto, 1979). 2 Endarwin (2010), dalam penelitiannya mengenai deteksi potensi gerak vertikal di atas wilayah Bandung menyimpulkan bahwa gerak vertikal yang terjadi di wilayah penelitiannya lebih didominasi oleh pengaruh orografi, memiliki kecenderung yang dipengaruhi oleh kondisi topografi dengan perbedaan elevasi yang tinggi. Hal tersebut juga mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Nirkaryanto (1979) yang menyebutkan bahwa di Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa daerah pemusatan terjadinya angin ribut dengan frekuensi mulai dari 0,7 % sampai 3,5 % kejadian. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kompleksitas topografi yang ada dengan kelembaban yang melebihi 75 %, yang merupakan sebuah generator dari beberapa kejadian cuaca ekstrim seperti badai sampai angin ribut. Atmosfer memiliki hubungan dengan permukaan bumi yang akan saling mempengaruhi, baik langsung maupun tidak langsung, dan secara alami maupun terpengaruh oleh makhluk hidup. Permukaan bumi menerima panas dari matahari sebagai energi melalui transfer dan konversi energi, kemudian digunakan oleh makhluk hidup untuk berbagai keperluan hidupnya. Manusia menggunakan energi tersebut untuk membangun kehidupannya menjadi lebih baik dengan cara memodifikasi permukaan bumi sesuai kebutuhannya. Semakin berkembangnya teknologi, perubahan lahan berlangsung secara intensif yang tentu saja akan berpengaruh dan dapat merubah proses antara permukaan bumi dengan atmosfer. Perubahan yang dilakukan secara berlebihan akan menyebabkan ketidakseimbangan proses, salah satunya adalah terjadinya angin ribut. Kejadian angin ribut tercatat berada di sekitar daerah permukiman, sehingga hampir selalu ada kerugian baik material maupun jiwa. Untuk mengurangi kerugian akibat kejadian dari angin ribut, maka perlu diketahui sifat – sifat dari kejadiannya, seperti lokasi, waktu, dan keadaan tertentu pada saat kejadian angin ribut di atmosfer, maupun keadaan serta pola yang terbentuk di permukaan bumi seperti halnya tutupan lahan (Fajri, 2010). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kondisi topografi berpengaruh besar terhadap kejadian angin ribut. Angin ribut biasa terjadi pada keadaan lereng yang relatif datar, adapun kondisi topografi masih belum dihubungkan dengan pencatatan data yang dilakukan oleh 3 pemerintah. Adanya modifikasi dan perubahan lahan di permukaan bumi memiliki kemungkinan yang cukup besar dalam proses terjadinya angin ribut. Hingga saat ini penulis masih belum menemukan adanya penelitian yang mengkaji mengenai kejadian angin ribut dengan kondisi iklim serta topografi disekitar kejadian. Wilayah Bandung secara morfologi memiliki bentuk yang mirip dengan sebuah mangkuk. Bagian tengah dari wilayah tersebut didominasi oleh dataran dan disekelilingnya berupa deretan pegunungan. Perbedaan topografi menyebabkan perbedaan temperatur dan tekanan udara, dengan kondisi kelembaban udara yang tinggi di wilayah tersebut. BPBD Jawa Barat mencatat pada tahun 2012 telah terjadi setidaknya 8 kejadian angin ribut di wilayah Bandung (termasuk di dalamnya adalah kabupaten Bandung, kota Bandung, kota Cimahi, dan kabupaten Bandung Barat). Mendasarkan dari uraian yang telah dijelaskan, maka dipilihlah sebuah penelitian dengan Judul “Kajian Angin Ribut Berdasarkan Unsur Iklim dan Aspek Lahan di Wilayah Bandung” 1. 2. Perumusan Masalah Kejadian angin ribut merupakan kejadian yang sesaat dan sulit untuk diprediksi. Temperatur udara dan kelembaban udara merupakan salah satu variabel yang banyak berperan secara fisis dalam pembentukan awan comulonimbus (Cb) yang merupakan awal dari berbagai kejadian angin ribut. Awan comulonimbus merupakan cikal bakal dari kejadian angin ribut, namun tidak setiap pembentukan awan comulonimbus dapat menimbulkan kejadian tersebut sehingga prediksi sulit dilakukan. Pendekatan fenomena ini berasal dari pengamatan secara visual mengenai perkembangan awan, serta data iklim yg tercatat pada saat itu serta terintergrasi dengan stasiun lain. Kejadian angin ribut kemungkinan memiliki ciri – ciri yang dapat dilihat dari data iklim yang tercatat pada stasiun iklim. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada tempat kejadian bencana memiliki peluang mengalami kejadian yang sama karena pengulangan siklus yang terjadi pada tempat yang relatif hampir sama. Masalah yang ada pada saat ini adalah sulitnya dalam mencari data yang akurat dalam skala rinci. 4 Hubungan antara kondisi atmosfer dan permukaan bumi menjadi kunci atas kejadian angin ribut, sehingga diperlukan adanya kajian untuk dapat membahas relasi variabel atmosfer dan permukaan bumi dengan kejadian angin ribut. Kejadian angin ribut secara teori terjadi pada daerah yang relatif datar, namun tidak menutup kemungkinan di kondisi lereng yang lain juga dapat terjadi, mengingat belum adanya laporan mengenai deskripsi kondisi tempat kejadian. Hal ini mengingat bahwa wilayah Indonesia memiliki kondisi topografi yang bervariasi menyebabkan adanya perbedaan gradien tekanan udara. Perubahan penggunaan lahan dan dampak kenaikan temperatur udara global juga dapat mendukung dalam peningkatan kejadian angin ribut yang menyebabkan terganggunya proses sirkulasi antara atmosfer dan permukaan bumi, secara fisis hal ini dapat mempengaruhi kondisi temperatur dan kelemaban udara. Angin bergerak berdasarkan gradient tekanan udara dari daerah tekanan udara tinggi menuju tekanan udara lebih rendah. Kecepatan yang dihasilkan bergantung dari kemiringan gradien tersebut. Dengan mengetahui arah relatif dari pergerakan angin, maka setidaknya akan diketahui asal maupun tujuan daripada pergerakan angin ribut. Didasarkan pada penjelasan yang telah diulas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang diambil ke dalam bentuk pertanyaan untuk dilakukannya analisis, yaitu : 1. Bagaimana persebaran spasial dan temporal kejadian angin ribut di wilayah Bandung? 2. Bagaimana hubungan spasial antara kejadian angin ribut dengan faktor kondisi iklim dan lahan pada daerah terdampak kejadian angin ribut di wilayah Bandung? 1. 3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini selain untuk memetakan catatan kejadian angin ribut yang ada di wilayah Bandung, dengan menganalisis secara spasial hubungannya dengan variabel iklim dan topografi. Hubungan yang dimaksudkan merupakan hubungan maupun kaitannya antara jumlah kejadian angin ribut 5 dengan berdasarkan berbagai kondisi dari iklim dan lahan. Hal tersebut dilakukan agar dapat diambil kesimpulan karakteristik atmosfer dan permukaan lahan yang dapat menimbulkan potensi kejadian angin ribut. Secara rinci yang didasarkan dari latar belakang serta rumusan masalah dari penelitian ini memiliki tujuan : 1. Mengetahui pola persebaran spasial dan temporal kejadian angin ribut di wilayah Bandung. 2. Mengetahui hubungan spasial antara kejadian angin ribut dengan faktor kondisi iklim dan lahan pada daerah terdampak kejadian angin ribut di wilayah Bandung. 1. 4. Kegunaan Penelitian Dari penelitian yang dilakukan diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut : 1. Sebagai salah satu acuan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. 2. Sebagai informasi yang bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah, serta instansi lain yang memiliki kepentingan dalam hal yang sama dari penelitian ini. 1. 5. Tinjauan Pustaka dan Penelitian Sebelumnya 1. 5. 1. Tinjauan Pustaka Angin adalah udara yang bergerak karena adanya perbedaan tekanan di permukaan bumi. Angin akan bergerak dari suatu wilayah yang memiliki tekanan udara tinggi ke daerah yang memiliki tekanan udara yang lebih rendah. Angin yang bertiup di permukaan bumi terjadi akibat adanya perbedaan penerimaan radiasi matahari, sehingga mengakibatkan perbedaan temperatur udara. Adanya perbedaan temperatur udara menyebabkan perbedaan tekanan udara, akhirnya menimbulkan gerakan udara. Perubahan panas antara siang dan malam merupakan gaya gerak utama sistem angin harian, karena beda panas yang kuat antara udara di atas darat dan laut atau antara udara diatas tanah dengan elevasi tinggi (pegunungan) dan tanah dengan elevasi lebih rendah (lembah) (Tjasyono, 2006). 6 Prawirowardoyo (1996) mengartikan angin sebagai gerak nisbi terhadap bumi. Angin merupakan gaya gerak secara horizontal dari massa udara yang bergerak, namun bukan berarti massa udara tidak bergerak secara vertikal, hanya saja masyarakat biasa menyebut angin sebagai udara yang berhembus melawan tubuh mereka. Gerakan vertikal sangatlah penting karena banyak mendukung dalam pembentukan awan dan curah hujan (Neiburger, 1982) yang terjadi pada suatu wilayah. Daerah dimana terjadi gerakan turun (subsidens) merupakan daerah yang normalnya berlangit relatif cerah, sedangkan dimana terjadi gerakan ke atas, sangatlah mungkin terjadi awan dan hujan (Trewartha, 1968). Angin memiliki arah dan juga kecepatan. Arah angin merupakan arah dari asal tempat angin datang yang menjadikan patokan sebagai penamaan terhadap suatu jenis angin. Misalnya suatu angin yang bergerak dari arah Timur menuju Barat akan dinamakan sebagai angin Timur, angin laut adalah angin yang bergerak dari laut ke daratan, dan angin lembah merupakan angin yang bergerak dari lembah menaiki pegunungan (Tjasyono, 2006). Kecepatan angin menentukan besarnya laju angin di atmosfer yang dapat dinyatakan dalam meter per detik (m/s), kilometer per jam (km/h), ataupun dalam knot yang memiliki nilai 1 knot = 0.5 m/s. Beaufort (dalam Neiburger, 1982) membagi kecepatan angin dalam 12 skala yang berbeda, ditampilkan pada Tabel 1.1. Secara sederhana angin merupakan udara yang bergerak, dan udara mengandung banyak unsur gas. Dengan demikian maka secara prinsipnya hal – hal yang berpengaruh terhadap angin juga dapat diterangkan dalam hukum fisika dan kimia sesuai dengan prilaku – prilaku gas yang ditunjukkan. Dalam suatu wadah yang dalam hal ini adalah bumi, gas akan tersebar dan membentuk permukaan yang dapat bergerak bebas karena antar molekul tidak saling terkait. Apabila antar molekul saling bertumbukkan satu dengan yang lainnya sebagai hasil dari gerakan yang bebas tersebut, maka akan terjadi tekanan dari hasil pertumbukkan antara molekul gas. Gerakan tersebut akan terus terjadi sampai gas tersebar secara merata dan dalam rentang waktu tersebut tekanan di dalam wadah akan terus berubah sampai terjadinya keseimbangan. 7 Tabel 1.1. Skala Kecepatan Angin Beaufort Skala Nama Kecepatan (m/s) 0 Tenang / Calm < 0,3 1 Udara ringan / Light Air 0,3 – 1,6 2 Sepoi – sepoi lemah / Light Breeze 1,6 – 3,4 3 Sepoi – sepoi halus / Gentle Breeze 3,4 – 5,5 4 Sepoi – sepoi sedang / Moderate Breeze 5,5 – 8 5 Sepoi – sepoi segar / Fresh Breeze 8 – 10,8 6 Sepoi – sepoi kuat / Strong Breeze 10,8 – 13,9 7 Angin kuat / Moderate Gale 13,9 – 17,2 8 Angin ribut / Gale 17,2 – 20,8 9 Angin ribut kuat / Strong Gale 20,8 – 24,5 10 Badai / Strom 24,5 – 28,5 11 Badai kuat / Violent Strom 28,5 – 32,6 12 Angin topan / Hurricane > 32,6 Sumber : (Neiburger, 1982 dengan penyesuaian) Udara mengandung banyak unsur gas, secara prinsip hal – hal yang berpengaruh terhadap angin juga dapat diterangkan dalam hukum fisika dan kimia sesuai dengan prilaku – prilaku gas yang ditunjukkan. Dalam suatu wadah yang dalam hal ini adalah bumi, gas akan tersebar dan membentuk permukaan yang dapat bergerak bebas karena antar molekul tidak saling terkait. Apabila antar molekul saling bertumbukkan satu dengan yang lainnya sebagai hasil dari gerakan yang bebas tersebut, maka akan terjadi tekanan dari hasil pertumbukkan antara molekul gas. Gerakan tersebut akan terus terjadi sampai gas tersebar secara merata dan dalam rentang waktu tersebut tekanan di dalam wadah akan terus berubah sampai terjadinya keseimbangan. Angin dipengaruhi oleh gaya yang dihasilkan oleh bumi yang akan berpengaruh terhadap arah dan kecepatan angin, beberapa gaya yang mempengaruhinya menurut Trewartha (1968), Nirkaryanto (1979), dan Tjasyono (2006) yaitu : 1. Gaya gradien tekanan, merupakan gaya yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara. 8 2. Gaya koriolis, merupakan gaya yang disebabkan oleh rotasi bumi. 3. Gaya berat atau gaya gravitasi, akan berpengaruh terhadap berat jenis suatu partikel. 4. Gaya gesekan, merupakan gaya yang tercipta sebagai hasil pertemuan udara dengan jenis zat lainnya seperti padatan, cairan, maupun gas sekalipun. 5. Gaya sentrifugal, merupakan gaya yang dihasilkan dari energi udara yang bergerak berputar. Didasarkan pada teori yang telah dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang akan mempengaruhi kecepatan dan arah angin berdasarkan gaya – gaya yang ada di dalam bumi adalah pengaruh topografi dan letak lintang bumi. Dalam keadaan atmosfer disaat udara tidak seimbang, maka akan terbentuknya anomali sebagai hasil dari ketidakstabilan massa udara untuk menuju pada kesetimbangan yang bisa saja dalam bentuk angin ribut. Hal ini dikarenakan tekanan udara akan berubah menurut perubahan temperatur dalam suatu volume yang dianggap tetap besarannya. Temperatur udara yang berasal dari radiasi matahari akan mempengaruhi partikel di atmosfer yang dapat mempercepat proses kimiawi dari hasil interaksi antar partikel di atmosfer. Dalam hal ini matahari memiliki peranan yang besar terhadap proses yang terjadi di atmosfer. Matahari merupakan energi primer bagi bumi. Adanya radiasi matahari merupakan salah satu proses dalam transfer energi antara matahari dengan bumi. Transfer energi matahari sangatlah penting karena merupakan proses penerimaan energi dari matahari dan mengembalikan energi bumi tersebut ke angkasa dalam sistem bumi berdasarkan hukum kekekalan energi. Energi berpindah secara vertikal antara permukaan daratan – air dan atmosfer seperti juga halnya antara berbagai lapisan udara di dalam atmosfer itu sendiri. Namun besar energi yang diterima oleh permukaan bumi tidak sama besarnya dengan yang dikeluarkan oleh matahari, hal ini menyangkut bahwa di dalam atmosfer juga terjadi penyerapan energi dan pemantulan oleh lapisan atmosfer bumi sehingga jumlah energi yang 9 sampai pada permukaan bumi telah banyak berkuran, namun hal tersebut sudah cukup untuk dapat menghangatkan bumi (Trewartha, 1968). Besarnya energi tergantung dari seberapa besar sinar matahari langsung mengenai permukaan bumi. Jumlah energi sinaran langsung yang menimpa satuan luas horisontal selama satuan waktu disebut sebagai penyuryaan atau insolasi (W/m² atau ly/menit). Besar jumlah energi insolasi bergantung dari letak posisi matahari terhadap bumi. Daerah dengan lintang tinggi akan menerima energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah dengan lintang rendah, hal ini juga terpengaruh dari rotasi bumi dimana dalam hal ini terjadinya siang dan malam. Sistem revolusi bumi terhadap matahari menyebabkan posisi matahari terhadap bumi akan berpindah di sekitaran garis equator yang dalam hal ini terjadi pada bulan Januari dan bulan Juli posisi matahari berada tepat di atas garis equator. Ada beberapa hal yang timbul dari peristiwa tersebut yaitu keragaman harian yang merupakan hasil dari rotasi bumi dan ketinggian matahari yang berbeda, serta keberagaman musiman sebagai hasil dari kemiringan sumbu bumi terhadap bidang ekiliptik (bidang lintasan bumi dalam mengelilingi matahari) (Neiburger, 1982). Tjasyono (2006) menerangkan, radiasi matahari merupakan salah satu dari kendali iklim yang akan berpengaruh terhadap unsur – unsur iklim, beberapa diantaranya adalah temperatur, kelembaban, dan tekanan udara. Secara umum temperatur dapat diartikan dengan besaran yang menunjukkan tingkat panas dari suatu benda, semakin panas suatu benda maka tingkat temperatur benda tersebut akan semakin meningkat. Temperatur ditunjukkan dalam derajat celcius (⁰c) dengan skala angka seratus sebagai titik didih, maupun fahrenheit (⁰f) dengan titik didih pada 212 derajat dan titik lebur es pada 32 derajat, namun ada juga yang menggunakan derajat kelvin (K) yang dimulai berdasarkan angka nol (0) mutlak sebagai keadaan dimana gas secara teoritik berhenti melakukan tekanan. Temperatur udara akan berubah sesuai dengan ruang dan waktu yang pada umumnya Temperatur maksimum terjadi pada tengah hari antara pukul 12.00 sampai pukul 14.00, dan temperatur minimum terjadi sesaat sebelum fajar. 10 Indonesia memiliki iklim tropis karena secara geografis berada di antara garis equator dan lintang rendah, dimana pada daerah tropis temperatur udara rata – rata tidak terlalu banyak berbeda, sehingga penentuan musim pada daerah tropis tidak berdasarkan variasi temperatur udara tetapi menggunakan jumlah hujan yang menghasilkan musim hujan / basah (wet season) dan musim kering / kemarau (dry season) (Soenarmo, 2003). Pada saat bulan Desember, matahari akan mulai berpindah posisi terhadap bumi dari berada di sekitar garis khatulistiwa / equator, menuju belahan bumi Utara yang maksimal berada pada posisi 23.5 derajat lintang Utara pada bulan Juni (Neiburger, 1982). Oleh karena perpindahan ini maka akan terlihat sebuah palung temperatur di sekitar garis katulistiwa, namun hal tersebut akan berbeda – beda tergantung dari karakteristik wilayahnya, batasbatas dari palung equator tersebut lebih dikenal dengan nama Intertropical Convergency Zone atau ITCZ (Soenarmo, 2003). Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki laut yang lebih luas daripada jumlah daratan. Hal ini akan mengaitkan hubungan di antara daratan dan lautan. Sebagai negara yang beriklim tropis yang memiliki sinaran matahari sepanjang tahun tentunya akan memiliki gaya konvergensi yang akan memindahkan uap air dari permukaan bumi menuju atmosfer, laut merupakan bagian bumi yang memiliki kontribusi terbesar sebagai penyedian uap air di atmosfer. Keberadaan dan penyebaran uap air di atmosfer memiliki andil tersendiri terhadap keadaan cuaca dan iklim. Trewartha (1968) menjelaskan beberapa alasan mengapa uap air berpengaruh terhadap cuaca maupun iklim yaitu: 1. Apabila uap air berkondensasi maka akan terbentuk awan, kabut, dan embun yang akan menghasilkan presipitasi menjadi air dalam bentuk cair. 2. Uap air dapat menyerap radiasi bumi lebih banyak daripada radiasi matahari. 3. Jumlah uap air di atmosfer akan mempengaruhi kecepatan evaporasi yang penting bagi kehidupan makhluk hidup. 4. Apabila uap air berubah fase menjadi cair atau padatan, maka akan melepas energi laten berupa panas yang akan mengurangi pengaruh pengambangan (buoyancy) dan gerakan vertikal. 11 Prawirowardoyo (1996) menambahkan bahwa uap air dapat berubah bentuk menjadi cair atau padatan pada temperatur atmosfer normal. Atmosfer yang dipenuhi oleh air akan membuat udara di sekitar menjadi lembab. Dan seiring dengan bertambahnya uap air di udara maka nilai kelembaban udara akan terus bertambah, maka kelembaban udara dapat diartikan sebagai banyaknya uap air yang ada di udara. Ada beberapa ukuran dalam menentukan kelembaban udara, beberapa di antaranya adalah : 1. Kelembaban mutlak, merupakan banyaknya uap air dalam gram untuk 1 m³ udara lengas (dinyatakan dengan gram / m³ atau g / m³). 2. Perbandingan campuran x, merupakan perbandingan antara banyaknya uap air (dalam gram) dengan banyaknya udara kering (dalam kilogram) dalam suatu udara lengas (dinyatakan dengan gram / kilogram atau g / kg). 3. Kelembaban spesifik, merupakan banyaknya uap air (dalam gram) di dalam 1 kg udara lengas (dinyatakan dengan gram / kilogram atau g / kg). 4. Kelembaban nisbi (r), merupakan perbandingan dalam persen antara tekanan uap air dengan tekanan uap air jenuh pada temperatur yang sama. 5. Temperatur titik embun atau disingkat titik embun, merupakan temperatur saat udara akan menjadi jenuh bila udara tersebut didinginkan pada tekanan konstan tanpa ada penambahan atau pengurangan uap air. 6. Tekanan uap air atau tekanan parsial uap air (e), merupakan tekanan yang disebabkan oleh uap air yang terdapat dalam atmosfer (dinyatakan dengan milibar atau mb, 1 mb = 100 N/m² = 10³ dyne/cm²). Ukuran yang paling sering digunakan adalah kelembaban nisbi karena kemudahannya dalam pengukuran dengan menggunakan thermometer bola basah dan bola kering. Kelembaban nisbi menunjukkan derajat kejenuhan udara, dan perlu diingat bahwa kelembaban nisbi tidak memberikan informasi mengenai banyaknya uap air di dalam atmosfer tetapi menunjukkan jauh dekatnya dari keadaan jenuh. Kelembaban nisbi sangat dipengaruhi oleh temperatur udara, semakin rendah temperatur udara makin besar kelembaban relatif, dan sebaliknya semakin tinggi temperatur udara maka makin kecil kelembaban nisbi. Besar kelembaban nisbi dapat dirumuskan dalam persamaan yaitu, 12 e adalah tekanan parsial uap air dan adalah tekanan uap air jenuh pada temperatur yang sama (Prawirowardoyo, 1996). Tekanan dan temperatur udara secara teoritis memiliki hubungan yang dekat. Temperatur akan mempengaruhi tekanan udara, dan begitupun sebaliknya. Matahari adalah sumber energi utama bagi bumi sehingga secara tidak langsung menjelaskan bahwa temperatur akan berpengaruh lebih dominan terhadap atmosfer dibandingkan tekanan udara. Sistem tekanan udara di Jawa lebih dipengaruhi oleh kondisi topografi sehingga akan memberikan pengaruh – pengaruh yang berlangsung dalam skala lokal karena berlakunya gradien tekanan yang juga bersifat setempat. Arus angin yang terjadi akan memiliki pola yang tidak menentu dan biasanya mengikuti pola topografi, namun hal tersebut terjadi ketika matahari berposisi di atas garis equator yang ditandai dengan naiknya variabilitas temperatur. Ketika pengaruh topografi dan gradien tekanan lokal lebih besar dibandingkan pengaruh angin muson, maka terjadilah musim pancaroba. Kejadian tersebut akan berkurang ketika posisi matahari berada pada lintang tertinggi, sehingga pengaruh angin muson akan memiliki pengaruh yang optimum. Wilayah Bandung sendiri merupakan daerah dengan dominasi tekanan udara tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan bahwa wilayah Bandung sendiri yang merupakan sebuah cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan, sehingga Bandung merupakan daerah depresi yang menampung angin turun secara mekanis dari segala penjuru baik pada musim angin Barat, dan musim angin Timur (Nirkaryanto, 1979). Temperatur udara akan berpengaruh terhadap gerak massa udara secara vertikal karena tekanan udara lebih rendah dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Gerakan vertikal memiliki sifat yang tidak stabil. Hal ini disebabkan massa udara yang bergerak ke atas memiliki temperatur udara yang lebih panas dibandingkan dengan temperatur udara di sekitarnya. Adanya pola hotspot atau area panas merupakan indikasi terjadinya gerak udara secara vertikal. Udara yang terangkat naik merupakan uap air yang mengalami penguapan akibat temperatur 13 di permukaan bumi (Nirkaryanto, 1979 dan Endarwin, 2010). Pada saat terjadinya gerakan vertikal, aliran udara horisontal akan mengerucut pada lokasi yang terpanaskan oleh matahari. Menyebabkan lokasi yang terpanaskan memiliki tekanan udara yang lebih rendah dibandingkan dengan sekitarnya, dan gerakan ke atas yang terjadi akibat panas laten sehingga air dapat menguap ke udara. Udara yang terpanaskan akan berkurang kerapatannya, akan mengembang, dan mendistribusikan panas secara vertikal. Hal ini juga menunjukkan bahwa tekanan udara permukaan akan menggerakkan uap air ke atas yang dikarenakan tekanan uap di atas atmosfer lebih rendah dibandingkan dengan permukaan (Sudibyakto, 2008). Banyaknya uap air yang terangkatkan akan mempengaruhi besarnya kelembaban, apabila udara yang naik cukup lembab, maka akan terjadi pendinginan uap air menjadi kristal es seiring dengan naiknya elevasi, hal ini disebut dengan kondensasi. Inti kondensasi terus terjadi, maka awan akan menjadi lebih besar. Awan yang semula berjenis cumulus akan berubah menjadi comulonimbus yang memiliki bentuk mirip paron (landasan pandai besi) dan menjulang tinggi (Neiburger, 1982). Karakteristik dari arus udara vertikal akan menentukan jenis dan bentuk awan. Berdasarkan sebab kenaikan udara, maka dapat dibedakan menurut ketinggian dasar awan yaitu : a. Awan rendah, mempunyai ketinggian dasar awan kurang dari 2 km, nama awan dipakai nama strato atau stratus. Contohnya Nimbostratus (Ns), Stratocumulus (Sc), Stratus (St). b. Awan menengah, mempunyai ketinggian dasar awan antara 2 – 6 km, nama awan diawali dengan kata alto. Contohnya Altocumulus (Ac), Altostratus (As). c. Awan tinggi, mempunyai ketinggian dasar awan di atas 6 km, nama awan ditandai dengan cirro atau cirrus. Contonya Cirrus (Ci), Cirrostratus (Cs), dan Cirrocumulus (Cc). Awan berdasarkan formasinya dibedakan menjadi 2 yaitu awan stratiform dan awan cumuliform. Awan stratiform tumbuh dengan lambat dan arus vertikalnya menyebar luas. Awan cumuliform terbentuk dari arus vertikal 14 yang kuat yang terjadi pada cakupan area yang relatif kecil. Contoh dari awan dengan cumuliform adalah awan Cumulus (Cu) dan Cumulonimbus atau comulonimbus (Cb) (Tjasyono dan Harijono, 2006). Awan comulonimbus (Cb) yang merupakan jenis awan yang menghasilkan hujan deras. awan ini memiliki ciri yaitu terlihat berat, menjulang tinggi dengan ketinggian mencapai 15 km, dan puncaknya terbentuk rata. Awan ini sering kali diikuti oleh hujan lebat, badai topan dan kadang – kadang hujan es (Trewartha, 1968). Karena awan ini mengandung tetes awan dan pada bagian atasnya mengandung es (Prawirowardoyo, 1996). Ketika awan tersebut berada pada keadaan yang tidak stabil, maka udara yang mengalir di dalam awan tersebut juga akan memencar sehingga menghasilkan gaya kinetik yang kuat berupa aliran udara yang kemudian disebut angin ribut (Nirkaryanto, 1979). Hampir setiap buku dasar mengenai meteorologi dan klimatologi akan menjelaskan mengenai pembentukan awan comulonimbus dan akan mengaitkannya dengan kejadian badai maupun angin ribut, pembentukan angin ribut dapat didasarkan oleh 3 fase, yaitu : 1. Fase Tumbuh / Cumulus Uap air naik dari permukaan tanah ke atmosfer melalui arus konvektif kuat yang terbentuk karena pemanasan. Sering kali pergerakan vertikal ini dibantu oleh angin yang bertiup menuju zona konvergensi. Uap air akan berkondensasi apabila terdapat inti kondensasi di area batas kondensasi atmosfer dan membentuk awan cumulus. Pada saat ini hujan belum turun karena titik - titik air dan kristal es masih tertahan oleh arus konvektif. Apabila massa udara tidak stabil dalam konvektif, maka awan cumulus akan berkembang ke atas melewati titik beku dan membentuk awan comulonimbus. 2. Fase Dewasa / Masak Titik – titik air dan kristal es tidak dapat tertahankan lagi oleh arus konvektif, sehingga hujan turun beserta arus udara turun / advektif. Hujan yang turun menimbulkan gaya gesek antara udara yang naik dan udara yang turun. Temperatur udara yang turun lebih dingin daripada udara di sekitarnya, dan membentuk zona divergensi di sekitar zona konvergensi. Antara arus udara 15 yang naik dan yang turun dapat terjadi arus udara yang memuntir yang dapat menerima maupun mengalirkan aliran angin menuju sekitarnya bergantung dari tekanan udara di dalam zona maupun di luar zona. 3. Fase Punah / Pembuyaran (Disappearing Stage) Gerakan udara ke atas mereda yang berarti konveksi berhenti. massa udara yang turun meluas di seluruh awan dan melemah, serta kondensasi juga berhenti. Pada saat itu awan comulonimbus beralih menjadi awan altostratus atau cirrostratus, angin mereda dan hanya hujan biasa (diambil dari Nirkaryanto, 1979 dan Sudibyakto, 2008). Pembentukan awan Comulonimbus bergantung pada beberapa hal, salah satunya adalah uap air yang cukup dan terdapatnya inti kondensasi di atmosfer, maka kelembaban udara memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Kelembaban merupakan motor penggerak bagi angin ribut, angka 75% merupakan harga untuk berlakunya hal tersebut (Nirkaryanto, 1979). Hal lain yang dapat mempengaruhi terbentuknya awan comulonimbus, tidak lain adalah besar gaya konveksi yang bekerja karena dipengaruhi oleh panas di permukaan bumi. Panas di permukaan bumi juga dipengaruhi juga oleh temperatur udara dari hasil penyampaian energi matahari melalui radiasi (Prawirowardoyo, 1996). Gambar 1.1. Proses Terbentuknya Awan Comulonimbus. (Sumber : Google) Konveksi merupakan pergerakan persebaran panas yang terjadi akibat gerakan udara panas yang bergerak secara vertikal, dan menyebabkan udara di sekitarnya menjadi panas. Konveksi berperan penting terhadap distribusi panas ke 16 atmosfer serta berkontribusi terhadap perkembangan awan comulonimbus (Cb) dan badai (Prawirowardoyo, 1996). Konveksi berperan langsung terhadap gerak vertikal udara, namun tidak hanya konveksi yang dapat menimbulkan gerak vertikal dan juga angin ribut. Faktor gerakan horisontal yang terjadi seperti konvergensi, divergensi, serta adveksi dapat juga menghasilkan gerak vertikal yang berkontribusi dalam pembentukan awan dan badai, termasuk angin ribut yang dihasilkan dari berbagai proses yang telah disebutkan (Endarwin, 2010). Konvergensi merupakan proses penambahan atau pemusatan massa pada suatu daerah secara horisontal, dengan bertambahnya massa udara maka tekanan udara pada daerah tersebut cenderung bertambah. Kebalikan dari konvergensi adalah divergensi yang merupakan proses pengurangan massa udara secara horisontal, dengan berkurangnya massa udara sehingga tekanan udara yang ada pada daerah tersebut cenderung berkurang (Prawirowardoyo, 1996). Adanya proses konvergensi dan divergensi dapat diketahui berdasarkan pola udara yang terbentuk yang digambarkan melalui streamline. Streamline merupakan peta yang menggambarkan distribusi angin secara 2 dimensi (2D). Adanya konvergensi dapat dikenali ketika streamline memiliki pola saling mendekat yang disebut sebagai gerakan confluent. Kebalikannya dari konvergensi, pada divergensi streamline memiliki pola saling menjauh yang disebut sebagai gerakan diffluent (Endarwin, 2010). Untuk memahami lebih lanjut mengenai pola streamline dalam mengenali proses konvergensi dan divergensi, ditunjukkan pada Gambar 1.2. Gambar 1.2. Pola Streamline untuk Konvergensi dan Divergensi (Sumber : Trewartha, 1968) 17 Nirkaryanto (1979) menambahkan bahwa kejadian angin ribut biasa terjadi pada daerah yang berada pada zona adveksi. Adveksi sendiri merupakan proses perpindahan panas sebagai akibat dari gerakan udara panas secara horisontal dan menyebabkan udara di sekitarnya menjadi panas (Daldjoeni, 1986). Zona adveksi yang menyebabkan gerakan vertikal biasanya berada pada zona pertemuan massa udara panas / front panas dengan massa udara dingin / front dingin, biasa disebut sebagai bidang front. Kedua front ini tidak saling menyatu tetapi cenderung memisahkan antara satu dengan lainnya dengan dibatasi oleh bidang miring. Di bidang front, massa udara dingin memiliki berat molekul yang lebih besar, sehingga udara dingin cenderung mengarah turun ke permukaan bumi, sedangkan udara panas mengarah ke lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Ciri – ciri pola dari zona adveksi ini biasanya dapat dilihat dari hasil interpolasi data temperatur udara, tekanan udara, dan arah yang diperlihatkan oleh streamline. Data temperatur udara ditampilkan dengan menggunakan garis isotherm, pola yang ditampilkan biasanya garis yang memiliki nilai temperatur tinggi cenderung membulat dan menutup. Diikuti dengan pola garis rapat dengan perbedaan nilai tiap garis yang cukup signifikan, sehingga menghasilkan nilai gradien yang cukup besar. Data tekanan udara biasanya dijadikan satu dengan data arah streamline. Pola yang ditampilkan yaitu garis isobar cenderung untuk membulat dan menutup dengan nilai tekanan udara yang rendah. arah streamline juga cenderung memutar pada garis tekanan tersebut. Pola lain untuk streamline yaitu pola yang cenderung membentuk gerakan confluent, dan juga arah streamline cenderung untuk saling bertabrakan dan tidak beraturan. Apabila pola – pola tersebut ditemukan, maka besar kemungkinan daerah tersebut pernah atau akan mengalami kejadian angin ribut. Banyaknya uap air yang ada di atmosfer tidak terlepas dari besar penguapan yang terjadi di permukaan bumi terhadap atmosfer. Permukaan bumi yang terhangatkan oleh matahari menjadi pemicu terjadinya penguapan. Besarnya energi yang diterima permukaan bumi akan berdampak besar bagi atmosfer, karena permukaan bumi memiliki sifat menyimpan dan memantulkan kembali radiasi matahari ke atmosfer. Semakin banyak radiasi yang disimpan oleh 18 permukaan bumi, maka akan semakin besar energi yang tersimpan. Sifat menyimpan dan memantulkan energi radiasi matahari yang dilakukan oleh permukaan bumi bergantung dari sifat dan karakteristik bahan yang menutupi permukaan bumi. Segala sesuatu yang menutupi permukaan bumi baik secara alami maupun dibuat oleh manusia lebih dikenal sebagai penutup lahan. Oleh karena besar penyimpanan panas oleh suatu komponen di permukaan bumi akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan awan comulonimbus, maka faktor penutup lahan menjadi penentu baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap atmosfer dan kejadian angin ribut. Penutup lahan merupakan bagian dari lahan. Mabbut (1968 dalam Ritohardoyo, 2013) membatasi arti lahan sebagai gabungan unsur – unsur permukaan dan dekat permukaan bumi yang penting bagi kehidupan manusia. FAO (1976, dalam bbsdlp.litbang.pertanian.go.id) menerangkan lahan yang merupakan bagian dari bentanglahan (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, topografi / relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Lahan dalam arti yang lebih luas lagi termasuk yang telah dipengaruhi oleh aktivitas flora, fauna, dan manusia. Lahan mencakup lingkungan fisik dan sosial, termasuk di dalamnya merupakan topografi, penutup lahan, dan penggunaan lahan. Topografi merupakan salah satu faktor dalam bentanglahan, dan merupakan suatu studi mengenai permukaan bumi. Topografi menyuguhkan relief permukaan bumi yang digambarkan oleh lereng, secara kuantitatif dinyatakan dalam satuan kelas kemiringan lereng (dinyatakan dalam persen maupun derajat), arah lereng, panjang lereng, maupun bentuk lereng. Dalam studi geomorfologi, topografi merupakan pembatas dari suatu satuan lahan yang ditentukan berdasarkan perbedaan ketinggian permukaan bumi yang dimulai dari permukaan laut sebagai dasar, biasa disebut sebagai elevasi permukaan bumi. Topografi di dalam peta digambarkan dengan garis kontur, yaitu garis yang menghubungan ketinggian atau elevasi yang besarannya sama. Topografi juga merupakan suatu batasan alami atau barier yang membatasi suatu daerah aliran sungai (DAS) 19 menjadi satu kesatuan (Ritohardoyo, 2013). Pembatas ini juga berpengaruh terhadap proses yang terjadi pada atmosfer, dimana adanya pembatas dapat merubah arah laju angin dari horisontal menjadi vertikal sehingga membentuk awan dan memberikan hujan orografis. Penutup lahan dalam arti sempit dinyatakan hanya sebagai penutup (cover) dari permukaan bumi dalam suatu pengamatan baik bersifat alami maupun buatan. Penutup lahan dan penggunaan lahan pada dasarnya merupakan hal yang sama, hanya saja dapat dikatakan sebagai objek yang berbeda berdasarkan tujuannya. Contohnya penutup lahan dapat berupa kenampakan asli dari permukaan bumi seperti vegetasi, bangunan, es, air, tanah, batuan, dan sebagainya. Penggunaan lahan melihat lahan memiliki tujuan tertentu dalam pemanfaatannya, sehingga contoh dari penggunaan lahan dapat berupa permukiman, sawah tadah hujan, tegalan, hutan, lahan kosong, dan sebagainya (Danoedoro, 2009). Penutup lahan cenderung melihat sesuatu yang alami tanpa ada kepentingan manusia. Berdasarkan prosesnya penutup lahan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu penutup lahan alami dan buatan. Penutup lahan alami merupakan penutup lahan yang terjadi secara alamiah yang dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Contoh dari penutup lahan alami adalah vegetasi yang tumbuh secara alami, termasuk juga penggunaan lahan yang dibiarkan secara alami atau tidak diberikan sesuatu oleh campur tangan manusia, namun dapat juga batuan atau bentukan yang terbentuk oleh alam dalam bentuklahan tertentu. Sedangkan penutup lahan buatan merupakan bentuk dari penutup lahan yang telah dicampuri oleh urusan manusia untuk maksud tertentu. Contohnya antara lain bangunan, sawah, kebun, dan jenis penggunaan lain yang dibuat dan digunakan untuk kepentingan tertentu (Danoedoro, 2009). Jenis penutup lahan akan berpengaruh terhadap temperatur udara di sekitarnya, namun hal tersebut juga bergantung dari topografi, terutama elevasi dari suatu tempat. Contohnya ketika daerah permukiman yang dominan penutup lahannya adalah bangunan yang berada pada topografi dataran tinggi akan sangat berbeda nilai temperatur udara yang dimilikinya. Elevasi akan sangat berpengaruh 20 karena temperatur udara akan berkurang nilainya sebesar kurang lebih 0.6 oC setiap 100 meter kenaikan elevasi dari permukaan laut (Susilawati, 2011). Keadaan perawanan pada topografi yang berbukit sampai bergunung, perlu diperhatikan karena keadaan perawanan akan dipengaruhi oleh angin yang bergerak dari lembah ke puncak gunung, khususnya pada siang hari. Hal tersebut akan membawa uap air menuju puncak gunung dan uap air akan berkondensasi karena melewati batas ketinggian kondensasi yang biasa disebut sebagai peristiwa orografis. Menurut Nirkaryanto (1979), keadaan tersebut selain adanya aliran udara yang frontal, kondisi tersebut juga dapat menimbulkan angin ribut di sekitar wilayah tersebut. 1. 5. 2. Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai angin dalam beberapa tahun ini sudah cukup banyak, terlebih dengan seringnya kejadian angin ribut dan angin puting beliung yang terliput oleh media. Kebanyakan penelitian tersebut mengenai metode dan aplikasi guna memprediksikan kejadian angin puting beliung. Beberapa penelitian yang dapat ditemukan di perpustakaan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nirkaryanto (1979) dan Fajri (2011). Nirkaryanto (1979) mengkaji tentang fenomena yang terjadi di pulau jawa pada tahun 1971 – 1975. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui waktu kejadian angin ribut dan wilayah yang sering terjadi angin ribut. Penelitian yang bersumber data dari Departemen Sosial pada zamannya serta data dari water resources journal, yang memberikan hasil berupa pembagian wilayah potensi kejadian angin ribut berdasarkan tingkat frekuensi kejadian angin ribut. Dengan membandingkan unsur-unsur cuaca yang diperolehnya, maka beliau dapat menaksir sebab-sebab kejadian adalah berdasarkan kondisi topografi. Di dalamnya juga menjelaskan kejadian angin ribut yang sering terjadi hampir di semua pembagian wilayah, berlangung pada musim pancaroba. Penelitian lainnya datang dari Fajri (2011) yang mengkaji mengenai pola kejadian angin puting beliung di propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola yang 21 ditunjukkan berdasarkan kejadian angin puting beliung yang terjadi di Jawa Tengah dan DIY, mengetahui persebarannya, dan waktu kejadian dari angin puting beliung. Dengan teknik plotting dan pengumpulan database, penelitian tersebut menghasilkan peta kecenderungan kejadian angin puting beliung secara spasial dan temporal. Secara spasial wilayah, ada beberapa wilayah yang memiliki banyak catatan kejadian, namun di beberapa tempat justru tidak memiliki laporan akan kejadian angin puting beliung. Penelitian ini bersumber data dari catatan kejadian angin puting beliung dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Dinas Pekerjaan Umum, dan Badan Pemerintah lainnya yang memiliki data mengenai kejadian angin puting beliung, serta laporan dari media massa. Penelitian lain mengenai angin ribut didapat di dalam jurnal BMKG yang telah diunggah di internet. Beberapa diantaranya adalah milik Endarwin (2010), Harsa (2011), dan Sasmito (2011). Dalam penelitian, Endarwin (2010) menjelaskan mengenai deteksi potensi gerak vertikal atmosfer yang berada di atas wilayah Bandung dan sekitarnya. Upaya dalam mendeteksi potensi keberadaannya dilakukan dengan memanfaatkan terdapatnya konvergensi atau pengaruh kondisi orografi yang menjadi salah satu sebab dari timbulnya gerak vertikal. Hal tersebut dilakukan melalui interpolasi data angin pada arah horizontal (2D) di beberapa ketinggian yang berbeda untuk 9 waktu pengamatan di bulan Oktober 2003, menggunakan analisis hodograf untuk menentukan indikasi kemampuan olahan data angin dalam mendeteksi potensi gerak vertikal, analisis divergensi untuk mengetahui terdapatnya konvergensi , serta analisis vortisitas relatif untuk mengetahui terdapatnya pengaruh kondisi orografi. Hasilnya bahwa analisis vortisitas relatif dapat mendeteksi adanya potensi gerak vertikal dengan cukup signifikan dengan tingkat korelasi rata – rata adalah 64%. Hal tersebut menjelaskan bahwa olahan data angin dapat berfungsi dengan cukup baik dalam mendeteksi potensi gerak vertikal dan menunjukkan bahwa gerak vertikal yang terjadi lebih didominasi oleh pengaruh kondisi orografi di wilayah Bandung dan sekitarnya. Harsa (2011), mengkaji mengenai pemanfaatan aplikasi SATAID untuk analisa banjir dan angin puting beliung. SATAID sendiri merupakan satelit yang 22 menampilkan citra yang bisa digunakan untuk mendapatkan nilai dari beberapa parameter meteorologi. Hasilnya adalah ketika dilakukan pengamatan melalui citra ini pada tanggal 18 februari 2007, citra menghasilkan gambar yang menunjukkan adanya pertumbuhan awan konvektif kuat yang berpotensi menimbulkan angin puting beliung. Pada gambar citra terindikasi adanya penurunan hingga -70 derajat celcius yang biasanya mengindikasikan pembentukan awan konvektif kuat yang berpotensi menimbulkan angin puting beliung. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sasmito (2011) adalah mengenai peringatan dini dan diagnosis munculnya tubulensi cuaca cerah dan dampaknya pada pesawat terbang. Menurutnya, turbulensi pada saat cuaca cerah sulit untuk diperkirakan. Penelitian mengambil studi kasus pada tanggal 20 September 2008 pada pukul 12.50 WIB pada pesawat China Air Line yang terbang dari Taipe menuju Bali. Menurut analisis data udara atas, satelit cuaca, dan prakiraan cuaca numeric model JMA, menghasilkan bahwa pesawat terkena turbulensi cuaca cerah di sekitar Pulau Lulbu, Filipina. Ditenggarai berada pada daerah pertemuan dua massa udara, dengan temperatur puncak awan -70 derajat celcius, dan keadaan cuaca yang berkaitan dengan munculnya siklon tropis Hagupit di Filipina pada saat itu. Perbedaan pada penelitian ini data iklim akan dihitung pada saat kejadian angin ribut, atau pada hari terjadinya angin ribut. Dengan menggunakan nilai kelas yang dirancang dalam menentukan tingkat pengaruh dari data iklim dan data kondisi tutupan lahan, kemudian akan dilihat hubungannya dengan menggunakan metode statistik. Penelitian ini dilakukan di wilayah Bandung dan sekitarnya dengan mendasarkan pada tutupan lahan serta keadaan topografi daerah sekitar kejadian. Pada penelitian ini, data kejadian hanya dijadikan sebagai pembuktian atau validasi dari data yang dibuat sebelumnya. Adapun data yang diolah sebelumnya adalah peta yang menunjukkan persebaran relatif dari temperatur udara, tekanan udara, kelembaban udara yang akan dibandingkan dengan peta persebaran angin ribut dan dikaitkan dengan peta tutupan lahan serta topografi yang ditunjukkan oleh peta kontur. Daftar penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel I.2. 23 Tabel 1.2. Keaslian Penelitian No. 1. 2. 3. Nama Peneliti Nirkaryanto Judul Angin Ribut di Jawa Endarwin Deteksi Potensi Gerak Vertikal Atmosfer di Atas Wilayah Bandung dan Sekitarnya Ahdi Ahmad Fajri Pola Kejadian Angin Puting Beliung di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun Penelitian Tujuan Penelitian 1979 Kapan, dimana, dan bagaimana korelasi antara kasus angin ribut dengan faktor distribusi suhu, kelembaban, dan sistem arus angin di Jawa kejadian angin ribut terjadi? 2010 Mengidentifikasi pola arah dan kecepatan angin, mengidentifikasi kemampuan olahan data angin dalam mendeteksi potensi gerak vertikal, mengidentifikasi terdapatnya potensi gerak vertikal, dan menganalisa tingkat akurasi identifikasi potensi gerak vertikal. 2011 Mengetahui pola temporal dan spasial, daerah rawan berdasarkan sebaran kejadian, dan kecenderungan kejadian angin puting beliung di Provinsi Jawa Tengah dan DIY Metode Penelitian Hasil Penelitian Kualitatif Deskripsi Frekuensi kejadian angin ribut tertinggi pada bulan Novenber. Terdapat beberapa pemusatan kejadian angin ribut pada dataran utara dari Serang sampai Purwakarta, dan di bagian tengah pegunungan di Magelang, Boyolali, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Klaten Surakarta, dan Semarang. Perbedaan suhu dan kelembapan udara disebabkan oleh faktor dekatnya pegunungan dengan lautan sehingga menyebabkan adveksi front. Kuantitatif Olahan data angin dengan metode Krigging dapat digunakan untuk mengetahui kondisi angin dan mendeteksi potensi gerak vertikal. Deteksi potensi gerak vertikal melalui analisis vortisitas relatif jauh lebih baik daripada analisis nilai divergensi. Gerak vertikal yang terjadi di wilayah penelitian didominasi oleh pengaruh orografi. Akurasi deteksi potensi gerak vertikal melalui analisis vortisitas relatif sebesar 65% Kualitatif Deskripsi Kejadian angin puting beliung terbanyak pada Februari tahun 2009/2011 dipengaruhi oleh El-Nino pada waktu siang dan sore hari. Jumlah kejadian di Provinsi Jawa Tengah adalah 204 dengan Kabupaten terbanyak pada Temanggung dengan 23 kejadian. Pada Provinsi DIY terjadi 194 kejadian dengan Kabupaten Sleman sebagai Kabupaten terbanyak dengan 63 kejadian. 24 Lanjutan Tabel 1.2. Keaslian Penelitian. No. 4. 5. Nama Peneliti Judul Achmad Sasmito Peringatan Dini dan Diagnostik Munculnya Turbulensi Cuaca Cerah dan Dampaknya Terhadap Pesawat Hastuadi Harsa Pemanfaatan SATAID untuk Analisis Banjir dan Angin Puting Beliung, Studi Kasus Jakarta dan Yogyakarta Tahun Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian 2011 Menduga lokasi terjadinya turbulensi pesawat dengan menentukan nilai ambang batas harga Rid dan nilai unsur meteorologi yang dapat digunakan untuk membuat peringatan dini terhadap turbulensi cuaca cerah. Kualitatif 2011 Memanfaatkan aplikasi SATAID untuk analisis persiapan banjir dan persiapan angin puting beliung. Kualitatif Hasil Penelitian Lokasi terjadi nya turbulensi diperkirakan terjadi di sekitar P. Lulbu (Filipina) dengan elevasi antara 300 – 100 mb dengan jenis turbulensi adalah tubulensi cuaca cerah sebagai akibat dari pertumbuhan siklon tropis Hagupit. Adapun data yang digunakan adalah data meteorologis yang tercatat selama perjalanan pesawat dan seharusnya dicocokkan dengan data FDR (Flight Data Recorder). Sebelum terjadi banjir, terlihat awan dingin pada citra MTSAT yang mengindikasikan adanya konsentrasi awan konvektif kuat yang dapat menyebabkan curah hujan dengan intensitas tinggi dan berpotensi menyebabkan banjir. Pada saat terjadinya angin puting beliung citra MTSAT menunjukkan awan dengan pola bulatan yang merupakan konsentrasi awan konvektif kuat yang berpotensi menimbulkan angin puting beliung. 25 Lanjutan Tabel 1.2. Keaslian Penelitian. No. 6. 7. Nama Peneliti Judul Rudiono Pemetaan Partisipatif dan Penilaian Kapasitas Masyarakat pada Daerah Terkena Dampak Bencana Angin Puting Beliung di Wilayah Pesisir Selatan Kabupaten Purworejo Muhammad Choirul Amri Kajian Angin Ribut Berdasarkan Unsur Iklim dan Aspek Lahan di Wilayah Bandung Tahun Penelitian 2013 2015 Tujuan Penelitian Metode Penelitian Menganalisis karakter kejadian dan memetakan daerah terlanda bencana angin puting beliung, Kuantitatif dan serta menilai kapasitas Kualitatif masyarakat dalam menghadapi bencana angin puting beliung Mengetahui pola spasial dan temporal dari kejadian angin ribut, serta hubungan spasial kejadian angin ribut terhadap kondisi iklim serta lahan di wilayah Bandung Kualitatif Deskripsi Hasil Penelitian Kejadian angin puting beliung terjadi di 4 desa dengan luasan bencana mencapai 0,95 km² dengan panjang lintasan 4,3 km ke arah timur laut dengan kecepatan 9 skala Beaufort, serta berdampak 87 unit rumah dan 1 tempat ibadah rusak. Pohon rapuh menjadi penyebab kerusakan bangunan. Elemen beresiko yang ada adalah penduduk, bangunan, dan jaringan listrik. Tingkat persepsi masyarakat terhadap bencana angin puting beliung tergolong sedang dengan tingkat kapasitas masyarakat yang tergolong tinggi. Total kejadian angin ribut pada periode tahun 2011 – 2013 berjumlah 176 kejadian yang tersebar di desa yang kebanyakan berdekatan dengan lokasi celah topografi, terjadi lebih sering pada musim penghujan namun juga dapat terjadi pada musim transisi yang disebabkan oleh anomali cuaca. Hasil tabulasi silang memperlihatkan kejadian angin ribut terjadi pada temperatur udara 21 – 24 ºC, tekanan udara 895 – 932 mbar, kelembaban udara 80 – 87%, di lereng yang datar (0 – 8 %), arah hadap lereng yang rata, serta di tutupan lahan berupa sawah. Sumber : Telaah Pustaka 26 1. 5. 3. Kerangka Pemikiran Kondisi geografis Indonesia terletak diantara garis ekuator dan tersusun atas gugusan kepulauan besar maupun kecil. Diantara pulau yang ada, terdapat deretan gunungapi dan perbukitan sebagai hasil dari tumbukan antar lempeng tektonik yang yang membentuk lingkaran api atau lebih dikenal dengan Ring of Fire. Kompleksitas dari kondisi geografis Indonesia berdampak terhadap adanya variasi cuaca dan iklim yang berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa fenomena angin ribut merupakan salah satu kejadian dalam keseimbangan proses atmosfer. Kejadiannya merupakan hasil dari hubungan proses antara atmosfer dengan permukaan bumi. Kondisi atmosfer diwakili oleh unsur – unsur iklim, sedangkan kondisi permukaan bumi diwakili oleh aspek – aspek lahan. Kejadian angin ribut memiliki tanda – tanda awal sebelum terjadinya hal tersebut. Tanda tersebut berupa pembentukan awan comulonimbus, namun tanda ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan visual yang baik dan dalam waktu yang relatif dekat dengan waktu kejadian. Karena tidak semua awan comulonimbus menghasilkan angin ribut, maka penaksiran angin ribut berdasarkan pembentukan awan comulonimbus tidak selalu efektif sehingga penelitian akan berfokus terhadap pola hubungan yang terjadi antara atmosfer dengan permukaan bumi. Adapun unsur iklim yang digunakan seharusnya adalah seluruh unsur yang mempengaruhi iklim untuk pembentukan awan comulonimbus, namun pada penelitian ini hanya akan digunakan beberapa unsur iklim yaitu temperatur udara, tekanan udara, kelembaban udara, kecepatan serta arah angin. Aspek lahan yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi kondisi topografi berupa kemiringan lereng, arah hadap lereng, dan penutup lahan. Semuanya dianggap berpengaruh terhadap kejadian angin ribut yang terjadi. Berdasarkan data kejadian angin ribut yang dikeluarkan oleh BPBD Jawa Barat, wilayah Bandung telah memiliki serangkaian catatan kejadian angin ribut pada jenjang desa / kelurahan. Beberapa desa / kelurahan yang ada diantaranya telah mengalami beberapa kali kejadian dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2013. Hal ini memperlihatkan bahwa suatu kejadian bencana memungkinkan untuk terjadi kembali di masa mendatang baik pada lokasi yang sama, relatif berdekatan dari 27 lokasi pertama, maupun pada lokasi yang berbeda. Berdasarkan rekam jejak kejadian bencana tesebut yang di plot berdasarkan spasial dan temporal, maka akan memberikan hasil berupa pola kejadian angin ribut secara spasial maupun temporal. Secara spasial, pola kejadian angin ribut yang terbentuk dapat dikaitkan dengan unsur iklim dan aspek lahan yang terbentuk pada lokasi kejadian maupun di sekitar lokasi kejadian. Secara temporal, pola kejadian angin ribut dapat dikaitkan dengan pengaruh iklim yang terjadi saat kejadian berlangsung. Kerangka pemikiran digambarkan secara singkat pada Gambar 1.3. Kondisi Geografis Indonesia Aspek Lahan Unsur Iklim Radiasi Matahari Curah Hujan Evaporasi Perawanan Visibilitas Geomorfologi Penggunaan Lahan Tanah Temperatur Udara Tekanan Udara Kelembaban Udara Angin Kemiringan Lereng Arah Hadap Lereng Penutup Lahan Kejadian Angin Ribut Pola Spasial Pola Temporal Hubungan Spasial Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran Penelitian 28