IV. EROSI TANAH Pada tanah-tanah pertanian yang intensif (terus menerus ditanami) dan tidak diikuti dengan usaha-usaha pengelolaan tanah, tanaman dan air yang baik dan tepat akan mengalami penurunan produktivitas secara cepat, melalui kemerosotan tingkat kesuburan tanah. Disamping masalah kesuburan, produktivitas tanah juga merosot karena adanya gejala erosi. Erosi tanah merupakan masalah utama penyebab penurunan produktivitas tanah terutama di daerah-daerah dengan intensitas hujan yang tinggi dan lahan mempunyai kemiringan lebih dari 15%. Bahaya erosi tidak hanya mengenai daerah-daerah yang tererosi (hulu), melainkan juga berdampak pada daerah-daerah hilir yang menjadi tempat pengendapat sedimen. A. Proses Erosi Erosi tanah merupakan suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah yang disebabkan oleh agensia erosi. Di daerah tropika, agensia erosi yang utama adalah air hujan. Air hujan mempunyai dua bentuk energi yaitu energi potensial (Ep) dan energi kinetik (Ek). Energi potensial air hujan berkaitan dengan letak air hujan dari permukaan bumi, yang besarnya sama dengan massa air hujan (m) dilakikan dengan jarak tinggi tempat (h) dan percepatan gravitasi bumi (g). Ep = m.g.h .................................................(1) Dengan satuan kg.m2/s2 atau dikenal dengan satuan Joule (J). Energi kinetik hujan dipeorel karena adanya gerakan air hujan menuju permukaan bumi, yang besarnya sama dengan massa dikalikan kuadrat kecepatan jatuh hujan. Ek = ½ .m.v2 ..............................................(2) Dengan satuan kg.m2.s-2 atau Joule (J). Begitu tetesan air hujan bertumbukan dengan permukaan tanah, maka energi kinetik air hujan berubah menjadi energi penghancur agregat tanah. Agregat tanah yang menpunyai kekuatan ikatan lebih rendah dari energi kinetic hujan akan tercerai-berai menjadi ukuran yang lebih tinggi. Pada saat agregat tanah terendam air, proses penghancuran agregat dipercepat oleh daya pengurai (dispers) dari air itu sendiri. Partikel-partikel halus yang terurai ini akan menyumbat pori-pori tanah, sehingga laju infiitrasi menurun. Penurunan laju Unversitas Gadjah Mada infiitrasi mengakibatkan jumlah aliran limpasan (run off) meningkat tajam. Laju aliran limpasan mempunyai energi kinetik yang mampu mengikis atau menghancurkan agregat dan mengangkut partikel-partikel tanah yang telah dihancurkan. Unversitas Gadjah Mada Apabila partikel-partikel tanah yang telah lepas (agregat yang hancur) melebihi kapasitas daya angkut aliran limpasan, mulailah terjadi proses pengendapan material lepas di sepanjang lintasan aliran permukaan. Peristiwa pengendapan suspensi ini juga dapat juga berlangsung apabila terjadi perubahan laju aliran limpasan, misal kemiringan lereng menjadi lebih landai atau bahkan datar atau memasuki muara-muara aliran. Dengan demikian proses erosi yang disebabkan oleh agensia air dalam keadaan normal di lapangan meliputi tiga tahapan proses yaitu (1) proses penghancuran agregat termasuk dispersi agregat oleh pukulan tetesan air hujan dan oleh daya dispersi air, (2) proses pemindahan (transportasi) bahan lepas hasil proses 1 oleh kekuatan aliran limpasan atau terlempar (terpercik) oleh pukulan tetes hujan ke tempat lain, dan (3) proses pengendapan (sedirnentasi) material terangkut di sepanjang lintasan aliran permukaan maupun di tempat-tempat pengendapan. Secara skematis proses terjadinya erosi tanah terlihat pada Gambar 4. B. Faktor-faktor Erosi Menurut Hudson (1973) erosi secara prinsip merupakan proses penghalusan atau pendataran permukaan, dimana tanah dan partikel-partikel batuan dihancurkan, dihaluskan, dan disortasi oleh gaya gravitasi. Agensia utama erosi adalah air dan angin. Air merupakan agensia erosi yang paling utama di daerah tropis terutama di daerah tropika basah, seperti Indonesia. Angin merupakan agensia erosi di daerah-daerah kering seperti di padang pasir Afrika, Amerika, China dan lain-lain. Menurut Gabriel tit Sarief (1985), erosi merupakan fungsi dari erosivitas hujan dan erodibilitas tanah. Morgan (1980) menyatakan bahwa erosi tanah disebabkan oleh (1) erosivitas hujan, (2) erodibilitas tanah, (3) kemiringan tanah dan (4) faktor pengelolaan tanah dan penutupan tanaman. 1. Faktor erosivitas hujan (R) Hujan yang terjadi di alam tidak selalu menimbulkan erosi tanah. Hujan dengan intensitas yang tinggi namun berlangsung sangat singkat tidak menimbulkan erosi, akan tetapi hujan dengan intensitas yang rendah dan berlangsung sangat lama, akan menghasilkan aliran permukaan yang besar dan akan menimbulkan erosi. Menurut Hudson (1973) kemampuan potensial hujan Unversitas Gadjah Mada yang dapat menyebabkan terjadinya erosi disebut erosivitas hujan. Lebih lanjut dikatakan bahwa erosivitas hujan merupakan fungsi dari karakteristik hujan. Karakteristik hujan akan mementukan besarnya energi yang dimiliki hujan, terutama energi kinetik hujan, Karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap beasrnya erosivitas hujan, menurut Hudson (1973) adalah (a) jumlah curah hujan, (b) intensitas hujan, (c) ukuran butiran hujan, (d) sebaran atau distribusi ukuran butiran hujan selama hujan berlangsung, dan (e) kecepatan akhir jatuh butir hujan. Dalam setiap kejadian hujan, kelima sifat hujan ini tidak selalu sama dan bahkan jarang dijumpai adanya suatu pola yang pasti. Jumlah curah hujan merupakan parameter hujan yang paling tersedia dalam setiap data stasiun klimatologi. Namun jarang sekali para pakar menghubungkan antara jumlah curah hujan dengan besarnya erosi yang terjadi. Pengetahuan tentang jumlah curah hujan belum cukup dapat menjelaskan fenomena kejadian erosi. Sebagai ilustrasi, kejadian hujan dengan jumlah curah hujan 200 mm pada suatu saat tidak menimbulkan erosi, tetapi pada saat yang lain jumlah yang sama yang jatuh pada tanah yang sama, dapat menimbulkan erosi yang hebat. Fenomena erosi ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan informasi jumlah curah hujan saja. Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan lamanya waktu hujan. Curah hujan 200 mm dicapai dalam waktu yang lama (mungkin berjam-jam), wajar bila tidak menimbulkan erosi, dan sebaliknya curah hujan 200 mm dicapai dalam waktu singkat (hanya beberapa mentt) dapat dipastikan akan menyebabkan erosi yang hebat Contoh lain, jumlah curah hujan sebesar 3000mm yang tersebar merata sepanjang tahun mungkin tidak menimbulkan erosi tanah yang berarti, tetapi jika hanya berlangsung dalam waktu 2-3 bulan, maka erosi yang ditimbulkan akan sangat hebat sekali. Ada beberapa hal yang dapat dijelaskan. Pada fenomena yang pertama, memungkinkan (1) tanah selalu ditumbuhi tanaman dan permukaan tanah dalam keadaan yang selalu teriindungi, sehingga daya rusak air hujan dan air limpasan menjadi lebih keci|; (2) intensitas hujan rata-rata rsndah pada setia.p kejadian hujan, sehingga besarnya energi kinetik yang dimiliki setiap kejadian hujan rendah, sehingga kurang erosif. Sedangkan pada fenomena yang kedua, hujan yang sama turun dalam waktu singkat, mengindikasikan besarnya energi kinetik yang dimiliki, dengan dernikian letyih besar kemampuannya merus3k tanah (Utomo, 1983) Unversitas Gadjah Mada Intensitas hujan menjadi alternatif lain sebagai parameter hujan dalam kajian erosi. Para pakar sepakat bahwa intensitas hujan mempunyai hubungan yang lebih jelas dengan erosi yang terjadi, dibandingkan parameter jumlah curah hujan. Intensitas hujan menyatakan besarnya curah hujan yang jatuh per satuan waktu tertentu. Biasanya intensitas hujan dinyatakan dalam satuan mm.janv1, cm.jam-1 atau inchi.jam-1. Klasifikasi intensitas hujan menurut Arsyad (1989) seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Intensitas Hujan No. Intensitas hujan (mm/jam) Harkat 1. <5 Sangat rendah 2. 5-10 Rendah 3. 11-25 Sedang 4. 26-50 Agak tinggi 5. 51-75 Tinggi 6. >75 Sangat tinggi Menurut Fournier cit. Morgan (198,0) dari hasil penetitiannya di Ohio USA, terdapat hubungan antara intensitas hujan dengan besarnya erosi tanah yang dinyatakan dalam kg.m-2, sepertii pada Tabel 3. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa intensity hujan mempunyai pola yang tidak konsisten terhadap besarnya erosi yang terjadi. Hasil penelitian, Richter & Negedank cit Morgan (1980) di Jerman Barat pada plot dengan kemiringan 26° dan panjang lereng 8 m diperoleh hasil bahwa curah hujan 15,6 mm dengan intesitas maksimum 50,4 mm.jam-1 menyebabkan erosi sebesar 141 g.m-2; curah hujan 19,8 mm dengan intensitas maksimum 44,4 mm.jam-1 menyebabkan erosi 242 g.m-2; curah hujan 39 mm dengan intensitas 25,8 mm.jam-1 menyebabkan erosi 27 g.m-2; dan curah hujan 30,8 mm dengan intensitas 31,2 mm.jam-1 menghasilkan erosi sebesar 17 g.m-2 Unversitas Gadjah Mada Tabel 3. Hubungan antara intensitas hujan dengan erosi tanah Jumlah hujan Kehilangan tanah (kg.m-2) 0 - 25,4 40 0.37 25.5 - 50.8 61 0.60 50.9 - 76.2 40 1.18 76.3 - 101.6 19 1.14 101.7 - 127.0 13 3.42 127.1 - 152.4 4 3.63 152.5 - 177.8 5 3.87 177.9 - 254.0 1 4.79 Intensitas hujan maksimum 5 menit (mm.jam-1) Gambar 5. Hubungan antara diameter median dengan intensitas Menurut Morgan (1980) erosivitas hujan merupakan fungsi dari (1) intensitas dan durasi hujan, (2) diameter butir hujan dan (3) kecepatan jatuh hujan. Untuk menghitung erosivitas diperlukan analisis distribusi diameter butir hujan. Distribusi ukuran butir hujan biasanya dinyatakan dalam diameter median butir hujan 50% (D50) yaitu diameter rata-rata butir hujan dimana ½ volume curah hujan total berasal dari diameter butir < D50 dan ½ volume berasal dari Unversitas Gadjah Mada diameter butir hujan > D50. Laws & Parsons cit. Morgan (1980) menyimpulkan bahwa distribusi diameter butir hujan sangat berkaitan dengan intensitas hujan yaitu semakin tinggi intensitas hujan diameter median butir hujan semakin besar. Hasil penelitian Hudson (1973) di daerah tropika dinyatakan bahwa hubungan D50 dengan intensitas hujan hanya sampai intensitas 100 mm.jam-1. Pada intensitas lebih besar dari 100 mm.jam-1, D50 semakin menurun (Gambar 5). Hal ini disebabkan karena gerakan turbulen menyebabkan ukuran butir hujan yang besar menjadi tidak stabil. \ Gambar 6. Hubungan antara diameter butir hujan dengan kecepatan jatuh (Laws cit Hudson, 1973) Penggunaan parameter tunggal sifat hujan untuk menduga erosivitas hujan sering memberikan hasil yang kurang tepat. Beberapa peneliti menggabungkan beberapa parameter sifat hujan dalam menduga besarnya erosivitas hujan. Energi kinetik hujan merupakan gabungan parameter massa hujan dan parameter kecepatan hujan. Terdapat hubungan yang positif antara parameter massa yaitu diameter butir hujan dengan kecepatan jatuh butir hujan, seperti pada Gambar 6. Pengukuran diameter butir hujan dan kecepatan jatuh, secara praktis sangat sulit. Wischmeier dan Smith cit Morgan (1980) Unversitas Gadjah Mada menggunakan data Laws dan Parsons mendapatkan hubungan yang nyata antara besarnya energi kinetik hujan dengan intensitas hujan, dan dilukiskan pada persamaan 3. Ek = 13.32 + 9.78 log10 (I) .......................................(3) Dimana I = intensitas hujan (mm.jam-1) dan Ek = energi kinetik hujan (J.m-2.mm-1) Dan besarnya indeks erosivitas hujan (R) menurut Wischmeier adalah R = 0.01 X El30 ........................................................ (4) Penggunaan parameter intensitas hujan, masih memberikan hasil yang kurang memuaskan dalam hubungannya dengan erosi yang terjadi. Kemudian diusulkan parameter baru yaitu intensitas hujan maksimum dalam jangka waktu tertentu. Wischmeier & Smith Cit. Morgan (1980) menemukan bahwa kehilangan tanah karena percikan, aliran limpasan dan erosi alur berhubungan sangat erat dengan energi kinetik (Ek) dan intensitas hujan maksimum 30 menit (bo). Gabungan dua parameter ini dikenal sebagai Indeks erosivitas hujan Wischmeier dan dikenal sebagai EI30 Terdapat beberapa kritik terhadap indeks EI30 yaitu (1) Energi kinetik yang dihitung dari persamaan 3 tidak cocok untuk daerah tropis yang mempunyai intensitas hujan yang tinggi, (2) Ebo mengindikasikan bahwa setiap hujan menyebabkan erosi, kenyataannya tidak semua intensitas hujan menyebabkan terjadinya erosi tanah. Hudson (1973) menunjukkan bahwa hanya hujan dengan intensitas lebih dari 25 mm.jam-1 yang menyebabkan kejadian erosi tanah. Persamaan 3, mempakan hasil penelitian di daerah sub tropis, dimana intensitas hujan yang terjadi lebih rendah dari daerah tropis. Berdasarkan kenyataan ini, Hudson (1973) dari hasil penelitiannya di Rhodesia (daerah tropika) mernodifikasi persamaan 3, dan didapatkan hubungan energi kinetik dengan intensitas hujan seperti persamaan 5. Ek = 29.8 . .................................. (5) dimana I = intensitas hujan (mm.jam-1) Untuk daerah tropis kemudian Hudson mengusulkan indeks erosivitas hujan yang baru dan dikenal sebagai indeks EK>25 (energi kinetik dengan intensitas hujan > 25mm.jam-1). Hudson menghilangkan parameter I30 dengan alasan (1) I3o tidak berkorelasi nyata dengan rasio intensitas hujan yang erosif Unversitas Gadjah Mada dengan hujan non-erosif, (2) tidak ada alasan yang menyakinkan kenapa harus menggunakan parameter I30. Hasil penelitian Stocking & Elwell (Morgan, 1980) bahwa bo hanya cocok pada daerah terbuka (jawa: bero), sedang pada daerah dengan vegetasi yang jarang dan rapat diusulkan menggunakan intensitas hujan maksimum 15 dan 5 menitan. Contoh perhitungan indeks erosivitas hujan Wischmeier (Ebo) dan indeks erosivitas Hudson (EK >25) tertera pada Tabel 4. tabel 4. Perhitungan erosivitas hujan Waktu (menit) Curah hujan Intensitas hujan (mm) Energi kinetik Total EK (kol 2 (mm.jam ) *) x kol4) (J.m-2) 13.42 -1 0-14 1.52 6.08 (J.M-2mm-1) 8.83 15-29 14.22 56.88 27.56 391.90 30-44 26.16 104.64 28.58 747.65 45-59 31.5 126.00 28.79 906.89 60-74 8.38 33.52 26.00 217.88 75-89 .25 1.00 - - *) Energi kinetik dihitung dengan persamaan (5) Penghitungan Indeks erosivitas hujan (1) Indeks Wischmeier (Ebo) Curah hujan maksimum 30 menit = 26.16+31.50 = 57.66 mm Intensitas hujan maksimum CC 30 menit (I30) 57.66 x 2 = 115.32 mm.jam-1 Total energi kinetik (EK) = total kolom 5= 2277.74 J.m-2 El30 = EK x I30 = 2277.74x115.32 = 262668.98 J.m-2.mm-1 Indeks erosivitas hujan Wischmeier (Rw) = 0.01 x EI30 = 0.01 x 262668.98 = 2626.7 Unversitas Gadjah Mada (2) Indeks Hudson (EK>25) Total energi kinetik dengan I > 25 = total kol 5 baris 2,3,4 dan 5 = 2264.32 J.m-2 Indeks erosivitas hujan Hudson (RH) = 2264.32 J.m-2 Indeks erosivitas hujan disamping EI30 dan EK >25, terdapat indeks antara lain yang dilaporkan oleh Lal cit. Greenland dan Lal (1977) yang cocok untuk daerah tropis yaitu tndek Alm. Lal mendapatkan hubungan yang jauh baik antara besarnya erosi (ton. Ha-1) dengan total curah hujan (A, cm) dan intensitas maksimum (lm) dibandingkan dengan Ebo atau EK>25. Indeks Alm tahunan dihitung seperti persamaan 6. AIm ∑ ∑ (aim) …………………….. (6) dimana a = total curah hujan harian (cm); im = intensitas maksimum curah hujan harian (cm.jam-1); d = jumlah hari hujan dalam sebulan; dan b = jumlah bulan dalam satu tahun (1-12 bulan). 2. Faktor erodibilitas tanah (K) Erodibilitas tanah menyatakan ketahanan atau kepekaan tanah untuk dihancurkan maupun dipindahkan. Walaupun ketahanan tanah terhadap erosi ditentukan juga oleh letak / posisi topografi, kemiringan lereng, dan besarnya usikan manusia misal pengolahan tanah, namun sifat tanah itu sendiri yang sangat menentukan. Erodibilitas tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah (ukuran partikel yang dominan), kemantapan agregat, kekuatan daya geser tanah, kapasitas infiltrasi, kadar bahan organik tanah dan jumlah kation tertukar (Morgan, 1980). Peranan tekstur tanah berkaitan dengan ukuran partikel tanah. Partikel berukuran besar sulit dipindahkan karena membutuhkan gaya yang lebih besar, sedang partikel yang halus tahan terhadap pengrusakan karena gaya kohesinya yang tinggi. Partikel yang peka terhadap penghancuran dan pemindahan yaitu partikel debu dan pasir halus. Dengan demikian tanah dengan kandungan debu yang tinggi lebih mudah tererosi. Richter & Negedank cit. Morgan (1980) Unversitas Gadjah Mada melaporkan bahwa tanah dengan kadar debu 40-60% paling peka terhadap erosi, sedang Evan menyebutkan bahwa tanah dengan kandungan lempung antara 9-30% sangat peka terhadap erosi. Penggunaan kadar lempung sebagai parameter erodibilitas, secara teoritis lebih tepat mengingat partikel lempung berkombinasi dengan bahan organik membentuk agregat tanah, dimana kemantapan agregat sangat menentukan kepekaan tanah terhadap erosi. Tanah yang mempunyai kandungan kation basa tinggi lebih rnantap karena kation basa membantu menjadi jembatan kation dalam pembentukan agregat tanah. Kemantapan agregat juga ditentukan oleh tipe mineral lempung. Mineral lempung Illit dan Montmorilonit lebih mudah membentuk agregat, namun bersifat terbuka, mudah mengembang saat basah dan mengkerut saat kering, sehingga agregat cenderung kurang mantap dibandingkan dengan mineral lempung kaolinit. Kapasitas infiltrasi, yang mencerminkan laju maksimum tanah dapat menyerap air, sangat dipengaruhi oleh ukuran pori, kemantapan pori dan keragaman profit tubuh tanah. Tanah dengan agregat yang mantap, cenderung mampu menjaga ruang porinya dibandingkan dengan tanah yang kembangkerut. Kapasitas infiltrasi yang diukur di lapangan menggunakan alat infiltrometer, kadang-kadang tidak menunjukkan kapasitas infiltrasi aktual saat terjadi hujan. De Ploey (Morgan, 1980) melaporkan pada tanah pasir Tongrian Belgia dari uji infiltrometer menunjukkan kapasitas infiltrasi yang cukup besar yaitu 200 mm.jam-1, namun kenyataannya hujan dengan intensitas 20 mm.jam-1 telah menimbulkan aliran limpasan. Apabila profil tanah mempunyai keragaman, maka horison yang mempunyai kapasitas infiltrasi terkecil yang jadi pembatas. Nilai indeks erodibilitas tanah telah banyak diusulkan berdasarkan sifat tanah baik dari uji laboratorium, uji lapangan, maupun uji tanggapan tanah terhadap hujan (tabel 5.). Unversitas Gadjah Mada Tabel 5. Beberapa usulan indeks erodibilitas tanah Indeks erodibilitas Keterangan Uji laboraorium • Nisbah dispersi = Perbandingkan kandungan lempung dan debu antara Middleton tanah tidak terdispersi dengan tanah terdispersi sempurna • Nisbah lempung = Nisbah permukaan prosentase pasir dan debu dengan prosentase lempung Bouyoucos • Perbandingan = Perbandingan antara luas permukaan partikel > agregat Andre- 0,05 mm dengan {prosentase debu+lempung tanah Anderson terdispersi sempurna dikurangi prosentase debu+lempung dalam tanah tidak terdispersi} • Hujan tiruan = Membandingkan besarnya erosi yang terjadi pada berbagai jenis tanah pada kejadian hujan baku WoodburnKozachyn • Kadar agregat = Prosentase agregat mantap air berukuran > 0,5 mm = Seper {rerata ketahanan geser dikalikan mantap air Bryan Uji lapangan • permeabifitas } Indeks erodibilitas Chorley • Indeks erodibilitas = Besarnya kehifangan tanah setiap unit EI30 WischmeierMannering Indeks erodibilitas (K) yang paling baik dihasilkan dari pengukuran langsung di lapangan pada keadaan kemiringan dan panjang lereng baku (standart). K= .......................................(7) dimana A = jumlah tanah yang hilang (ton. ha ) dan R = indeks erosivitas hujan. Unversitas Gadjah Mada Keadaan baku yang dipakai adalah plot baku Wischmeier berukuran panjang 22 m, dengan kemiringan 5° (9%). Pengukuran di lapangan langsung memang didapatkan hasil yang sangat memuaskan, namun terkendala oleh pendanaan yang sangat besar dan dalam jangka waktu yang lama. Penggunaan hujan buatan baik di lapangan maupun di laboratorium dikembangkan, untuk menggantikan percobaan langsung di lapangan. Percobaan hujan buatan masih memerlukan waktu yang lama dan hasil yang kurang memuaskan (tidak konsisten). Mengingat tingkat kesulitas percobaan langsung maupun hujan buatan, maka para ahli kembali menggunakan pendekatan sifat tanah. Wischmeier dan kawan-kawan mengusulkan parameter persen pasir (0,1-2,0mm), persen debu+pasir sangat halus (0,002-0,1 mm), kandungan bahan organik tanah, kelas struktur tanah dan permeabilitas tanah. Untuk mempermudah penetapan indeks erodibilitas (nilai K), Wischmeier dan kawan-kawan membuat Nomograp yang lebih dikenal dengan narna Nomograf Erodibilitas Tanah (Gam bar 6). Data Struktur tanah didasarkan analisis struktur tanah di lapangan, berdasarkan bentuk (tipe) dan ukuran (klas) struktur. Struktur tanah dibedakan menjadi 4 kelas (tabel 6). Permeabilitas tanah lapisan permukaan ditetapkan di laboratorium dan dibedakan menjadi 6 klas (Tabel 7). Nomograf erodibilitas memberikan hasil yang cukup memuaskan dan mempunyai keunggulan bahwa penetapan erodibilitas tanah dapat dilakukan sembarang waktu, lebih cepat dan tidak tergantung musim. Tabel 6. Klasifikast struktur tanah untuk nomograf erodibifitas tanah Kelas Tipe Ukuran (mm) Harkat 1. Granuler <1 Sangat halus 2. Granuler 1-5 Halus 3. Granuler 4. Masif, blocky, atau lempeng Unversitas Gadjah Mada >5 - Kasar - Unversitas Gadjah Mada Tabel 7. Klasifikasi permeabilitas tanah untuk nomograf erodibilitas tanah Kelas 1. Harkat Cepat Nilai permeabilitas (cm.jarrf1) >12.5 2. Agak cepat 6.250-12.5 3. Sedang 2.000-6.25 4. Agak lambat 0.500-2.00 5. Lambat 0.125-0.50 6. Sangat lambat < 0.125 Tabel 8. Klasifikasi nilai erodibilitas tanah (K) Kelas Nilai K Harkat Keterangan 1. <=0.10 Amat rendah Sangat mantap 2. 0.11-0.20 Rendah Mantap 3. 0.21-0.32 Sedang Cukup mantap 4. 0.33 - 0.43 Agak tinggi Agak rentan 5. 0.44 - 0.55 Tinggi Rentan 6. >0.56 Amat tinggi Sangat rentan Cara penggunaan nomograf sebagai berikut : Data % DEBU + PASIR SANGAT HALUS (0,002 - 0,05 mm) diplotkan pada sumbu vertikal, dttarik mendatar (ke kanan) sampai memotong grafik %PASIR (0,1-2,0 mm) yang dikehendaki, dari titik potong % pasir ditarik vertikal (ke atas atau ke bawah) sampai memotong grafik % BAHAN ORGANIK, kemudian ditarik horisontal (ke kanan) sampai memotong grafik KELAS STRUKTUR TANAH, ditarik vertikal (ke bawah) sampai memotong grafik KELAS PERMEABILITAS TANAH dan selanjutnya dari titik potong permeabilitas di tarik mendatar (ke kiri) sampai memotong SUMBU Y SOIL ERODIBILITY FACTOR, K. Titik potong pada sumbu erodibilitas tanah menunjukkan besarnya NILAI K. Apabila data tidak lengkap, yaitu tidak ada data kelas struktur dan permeabilitas, dengan nomograf nilai K hanya dihitung secara pendekatan. Setelah memotong grafik bahan organik ditarik ke kanan sampai memotong sumbu Y first approximation of K, di titik perpotongan ini merupakan nilai K pendekatan. Unversitas Gadjah Mada Dangler dan El-swafy cit. Utomo (1983) membuat klasifikasi nilai erodibilitas tanah (Tabel 8). Tanah dengan nilai erodibilitas sebesar 56% tergolong tanah sangat rentan terhadap erosi, sedang tanah dengan nilai erodibilitas <10% tergolong tanah yang sangat mantap atau tidak mudah tererosi. 3. Faktor Lereng (LS) Komponen lereng yang mempengaruhi besarnya erosi yang terjadi yaitu faktor kemiringan lereng dan faktor panjang lereng. Erosi yang terjadi di suatu daerah akan meningkat seiring peningkatan kemiringan lereng dan panjang lereng, karena terjadi peningkatan kecepatan dan volume aliran limpasan. Pada daerah yang datar percikan partikel tanah bersifat random ke segala arah. Pada daerah berlereng, percikan lebih banyak ke lereng bawah dibanding ke lereng sebelah atas dan proporsinya meningkat seiring peningkatan kemiringan lereng. Hubngan antara besarnya erosi (A) dengan aspek lereng dinyatakan dalam persamaan 8. A ∞ tan m L n .................... (8) dimana = sudut kemiringan dan L panjang tereng; m dan n suatau konstanta. Zingg (Morgan, 1980) dari hasil penelitiannya di USA mendapatkan nilai m = 1,4 dan n = 0,6. Hudson melaporkan nilai m = 2, yang mengindikasikan pengaruh lereng sangat besar di daerah tropika dimana hujan yang terjadi relatif sangat lebat. Beberapa peneliti melaporkan nilai m berkaitan dengan ukuran partikel. Gabriel etal. (Morgan, 1980) nilai m = 0,6 untuk partikel berukuran 0,05 mm dan nilai m = 1,7 untuk partikel berukuran 1,0 mm. Nilai m juga bervariasi tergantung dari sudut kemiringan tereng. Horvath dan Erodi (Morgan, 1980) melaporkan nilai m = 1,6 untuk kemiringan lereng < 2,5°, m = 0,7 untuk kemiringan lereng 3° - 6,5° dan m = 0,4 untuk kemiringan > 6,5°. Nilai m juga dipengaruhi oleh bentuk lereng. D'Souza dan Morgan (Morgan, 1980) melaporkan nilai m = 0,5 untuk bentuk lereng cembung, m = 0,4 untuk bentuk lereng lurus dan m = 0,14 untuk bentuk lereng cekung. Wischmeier dan Smith (Kirkby & Morgan, 1980) dari hasil pengukuran pada petak baku didapatkan besarnya faktor kemiringan lereng dan panjang lereng sebagai berikut: Unversitas Gadjah Mada L= . ...........................(9) dimana L = indeks panjang lereng; X = panjang lereng (meter); dan M = konstanta. Besarnya konstanta m ditentukan oleh kemiringan lereng, sebagai berikut : M = 0,5, jika kemiringan lereng > 5% M = 0,4, untuk kemiringan lereng 3,1% - 4,9% M = 0,3, untuk kemiringan lereng 1,0% - 3,0%, dan M = 0,2, untuk kemiringan < 1,0% Besarnya pengaruh kemiringan lereng terhadap kehilangan tanah dikenal sebagai indeks kemiringan lereng (S). Normalisasi pada petak baku dengan kemiringan 9%, didapatkan nilai indeks kemiringan sebagai berikut : S= ... . …………………(10) dimana S = indeks kemiringan lereng dan X = kemiringan lereng (persen) Persamaan 9 dan 10 digabungkan menjadi indeks lereng (LS) yang dapat dihitung bersama-sama. LS= .. . . . ……………….(11) dimana LS = indeks lereng; L = panjang lereng (meter) dan S= kemiringan lereng (persen). Persamaan 11 hanya valid untuk lereng tunggal. Penggunaan indeks LS persamaan 11 menimbulkan overestimasi kehilangan tanah pada lereng cembung dan underestimasi pada lereng cekung. Untuk menyelesaikan penghitungan indeks lereng pada lereng majemuk, dilakukan tahapan sekmentasi lereng, sehingga diperoleh setiap segmen lereng mempunyai kemiringan yang sama. Penyelesaian indeks lereng majemuk menurut Foster dan Wischmeier (Mitchell & Bubenzer, 1980) sebagai berikut: Unversitas Gadjah Mada #$% ∑( & " #$% ")% " " "'% LS = ! - ……………………..(12) * +.,# dimana LS = indeks lereng; Sj = nilai indeks kemiringan lereng ke-j Lj = panjang lereng dari puncak sampai ke batas bawah lereng ke-j Lj-1 = panjang lereng dari puncak sampai ke batas atas lereng ke-j Lt = panjang lereng total. Sebagai ilustrasi penggunaan persamaan 12, suatu lereng cembung panjang total 120m dibagi menjadi 3 segmen masing-masing panjang dan kemiringan sebagai berikut: L1= 50m S1= 5%; L2= 40m 82 = 8% dan L3 = 30 S3=11%. Karena semua segmen mempunyai kemiringan lereng lebih besar dari 5%, maka nilai m = 0,5. Hasil perhitungan tertera pada Tabel 9. Untuk mempermudah digunakan persamaan pembantu sebagai berikut: Uj = 121 ./0/ 1 422.136 dan Uj-1 = 121 ./0/1 1 …………..(13) 422.136 .Tabel 9. Perhitungan indeks LS pada lereng majemuk Sekmen lereng No Sj Lj Lj-1 Uj Uj-1 Uj - Uj-1 LSj 50 0.4544 50 0 34.1515 0.0000 34.1515 0.2846 8 40 0.8441 90 50 153.2020 63.4389 89.7631 0.7480 11 30 1.3508 120 90 378.4679 245.1726 132.2953 1.1025 ∑ = 2.1351 Slope Panjang (%) (m) 1. 5 2. 3. ∑ =120 Apabila nilai indeks erodibilitas tanah (K) untuk setiap segmen lereng berbeda-beda, maka besarnya nilai indeks KLS keseluruhan lereng merupakan penjumlahan dari indeks KLS masing-masing segmen. Dengan demikian secara matematis seperti persamaan 14. 9 KLS = ∑8: 78 * Unversitas Gadjah Mada ! 121 ./ 0/ ./0121 /1 +.,# - ……………………..(14) 4. Faktor tanaman (C) Jumlah tanah yang tererosi dipengaruhi juga oleh faktor tanaman yang diusahakan pada lahan tersebut. Nilai indeks tanaman (C) merupakan nisbah (ratio) besarnya kehilangan tanah dari lahan yang ditanami tanaman tertentu dengan besarnya kehilangan tanah dari tanah bero yang diolah searah lereng pada kondisi jenis tanah, kemiringan dan hujan yang sama (Mitchell & Bubenzer, 1980). Tanaman penutup tanah yang baik seperti padang rumput dan hutan lebat dapat meminimalkan pengaruh hujan dan topografi (lereng) terhadap erosi. Pengaruh tanaman terhadap erosi menurut Arsyad (1989) melalui (1) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, (2) penurunan kecepatan aliran limpasan dan daya rusak air, (3) peningkatan kapasitas infiltrasi melalui perbaikan kemantapan agregat tanah dan pori-pori tanah, dan (4) Penurunan kandungan lengas karena transpirasi tanaman. Menurut Morgan (1980) efektivitas tanaman dalam mengurangi erosi tergantung pada (a) tinggi dan kontinuitas tajuk tanaman, (b) kerapatan (density) penutupan tanah dan (c) kerapatan akar tanaman. Keberadaan tanaman akan mengakibatkan air hujan tidak langsung menumbuk permukaan tanah, tetapi ditahan oleh tajuk tanaman. Ada 2 proses yang menyebabkan penahanan tajuk (intersepsi) dapat menekan erosi, yaitu (a) hadangan tajuk berarti mengurangi ketinggian jatuh butir hujan, dengan demikian saat mengenai permukaan tanah, energi hujan sudah jauh berkurang sehingga daya hancur rendah; dan (b) intersepsi tajuk mengakibatkan pengurangan volume air hujan yang sampai ke tanah, paling tidak memperlambat air hujan mencapai permukaan tanah, dengan demikian memberi kesempatan lebih lama untuk infiltrasi dan berlanjut pada pengurangan volume air limpasan. Penutupan tanaman dan tingkat kerapatannya, disamping penghadangan intersepsi, juga peningkatan kekasaran permukaan sehingga laju aliran diperlambat dan volume limpasan berkurang karena peningkatan waktu infiltrasi. Secara umum hutan lebih efektif dalam mencegah erosi dibandingkan tanaman semusim. Unversitas Gadjah Mada Pengaruh tidak langsung, peranan tanarnan dalam mencegah erosi melalui perbaikan sifat fisik tanah. Tabel 10. Nilai faktor C beberapa tanaman di Indonesia Sumber: Arsyad (1989) Keterangan : 1) Pola tanam tumpang gilir : jagung + padi + ubikayu, setelah panen padi ditanami kacang tanah 2) Pola tanam berurutan : padi -jagung - kacang tanah Unversitas Gadjah Mada Terbentuknya agregat yang mantap akan menciptakan kondisi keruangan yang tidak mudah hancur. Agregat yang mantap air (water stable aggregate) menjamin keberlangsungan infiltrasi tanah, sehingga kapasitas infiltrasi tanah tetap besar. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, terhadap beberapa jenis tanaman memberikan nilai indeks tanaman (C) yang beragam (tabel 10). Pengaruh tanaman disamping secara individual, juga berkaitan dengan sistem budidaya. Aina et at. (Lal, 1977) melaporkan bahwa kehilangan tanah pada tanaman monokultur cenderung lebih tinggi dibanding tanaman campuran, seperti pada tabel 11. Tabel 11. Kehilangan tanah dan aliran limpasan pada budidaya monokultur ketela dan budidaya campuran ketela-jagung Kemiringan (%) Kehilangan tanah (ton/ha/tahun) Aliran limpasan (%) 1 Monokultur 2.7 Campuran 2.5 Monokultur 18 Campuran 14 5 87.4 49.9 43 33 10 125.1 85.5 20 18 15 221.1 137.3 30 19 5. Faktor Pengelolaan (P) Tindakan pengelolaan tanah baik secara fisik teknik, kimia, maupun vegetasi berpengaruh terhadap besamya erosi yang tenjadi. Indeks pengelolaan tanah (P) merupakan nisbah jumlah kehilangan tanah pada pengelolaan lahan tertentu dengan jumlah kehilangan tanah pada pengelolaan baku yaitu tanah diolah searah lereng (Mitchell & Bubenzer, 1980). Tindakan pengontrolan erosi (P) mencakup tindakan pengolahan searah kontur, budidaya baris (contour strip cropping), maupun penerasan. Disamping itu termasuk juga dalam tindakan pengontrolan erosi meliputi pengolahan tanah minimal, rotasi tanaman, perbaikan kesuburan dan penggunaan sisa-sisa tanaman. Tindakan pengelolaan lahan, menurut Lal (1977) didasarkan pada dua prinsip yaitu: Unversitas Gadjah Mada (1) Ditujukan untuk menjaga agar laju infiltasi tanah tetap tinggi sehingga mampu menekan air limpasan, jika perlu air limpasan sampai kategori dapat diabaikan. (2) Tindakan pengelolaan mampu membantu pembuangan air limpasan secara aman keluar dari lahan. Tindakan yang akan dipilih tergantung banyak faktor, yang terbaik merupakan kombinasi dari kedua prinsip tersebut. Pengelolaan tanaman (cara budidaya) biasanya ditujukan untuk mempertahankan laju infiltrasi cukup tinggi. Penggunaan mulsa, penanaman tanaman penutup tanah, pengolahan minimum atau bahkan tanpa olah termasuk dalam usaha-usaha prinsip yang pertama. Tindakan pengelolaan lahan untuk prinsip yang kedua biasanya melalui tindakan manipulasi fisik tanah, seperti pembuatan guludan, terassering, pembuatan jalan air, dam, maupun penggunaan bahan pembenah tanah (soil conditioners). Tabel12. Pengaruh pemulsaan terhadap jumlah kehilangan tanah pada berbagai kemiringan Kemiringan (%) 15 Kehilangan tanah (ton. ha"1) Bero (tanpa tindakan Mulsa pada tanaman konservasi) 0.8 4.27 4.27 29.8 jagung 0.00 0.01 0.09 0.20 to 15 Tabel 13. Pengaruh takaran mulsa terhadap jumlah air limpasan dan kehilangan tanah Takaran mulsa Air limpasan -1 Kehilangan tanah (ton.ha-1) (ton.ha ) 0 50.0 4.83 2 19.7 2.48 4 8.0 0.52 6 1.2 0.05 Peranan tanaman dalam memproteksi tanah dari pukulan air hujan mampu menurunkan kehilangan tanah sebesar 127 kali dibandingkan dengan Unversitas Gadjah Mada tanah terbuka (Hudson cit. Lal, 1977) untuk daerah tropika. Pemulsaan tanah mencegah terbentuknya kerak akibat pukulan air hujan dan mendiorong peningkatan aktivitas biologi tanah sehingga terbentuk pori makro tanah. Efek pemulsaan dalam mencegah besarnya erosi pada berbagai lereng maupun berbagai takaran aplikasi terlihat pada tabel 12 dan tabel 13. Pengolahan tanah minimum seperti pemulsaan pada tanpa olah maupun tindakan pengendalian gulma dengan herbisida, telah banyak dikaji kaitannya dengan besarnya erosi tanah. Hasil penelitian Lal (1977) tertera pada Tabel 14. Tabel 14. Pengaruh pengolahan tanah terhadap jumlah air limpasan dan kehilangan tanah Kemiringan 1 Air limpasan (%) Bero dibajak Tanpa olah 69.8 1.3 Kehilangan tanah (ton. ha-1) Bero dibajak Tanpa olah 1.0 0.00 5 71.9 1.6 2.6 0.00 10 74.0 3.2 19.6 0.01 15 87.6 2.7 33.3 0.00 Penggunaan bahan pembenah tanah dalam usaha pengendalian erosi telah dilaporkan oleh Gabriels et a/. (1977). Bahan pembenah tanah berpengaruh terhadap besarnya indeks pelepasan partikel tanah permukaan (detachability index), erodibilitas tanah dan infiltrabilitas tanah. Hubungan antara besarnya erosi percik (SE), kehilangan tanah (A) dan jumlah air limpasan (W) dengan energi kinetik hujan (EK) pada penggunaan bahan pembenah tanah sebagai berikut: SE = K’1K1 x EK A = K’2K2 x EK ………………………………(12) W = K’3K3 x EK dimana K’1 ,K’2 ,& K’3 berturut-turut koefisien reduksi bahan pembenah pada erosi percik, kehilangan tanah, dan jumlah air limpasan. K1, K2, K3 berturut-turut nilai indeks pelepasan (detachability), erodibilitas tanah dan infiltrabilitas tanah Unversitas Gadjah Mada Nilai koefisien reduksi bahan pembenah (K) tertera pada tabel 15. Nilai K = 1 untuk tanah tanpa penggunaan bahan pembenah tanah. Bahan pembenah berperang baik dalam pengendalian erosi diindikasikan dengan nilai K , 0,6. Tabel 15. Koefisien reduksi (K) bahan pembenah tanah Nitai K 0.8-1.0 Kemampuan pembenahan Sangat rendah 0.6-0.8 Rendah 0.4 - 0.6 Cukup 0.2 - 0.4 Tinggi <0.2 Sangat tinggi Wischmeir dan Smith (Kirkby & Morgan, 1980) berdasarkan hasil penelitiannya di USA didapatkan indeks pengelolaan tanah (P) seperti pada Tabel 16. Tabel 16. Indeks pengelolaan tanah (P) pada berbagai tingkat kemiringan Pengolahan searah Indeks P Stripp cropping dan kontur pengairan jalur 1-2 0.60 0.30 0.12 3-8 0.50 0.25 0.10 9-12 0.60 0.30 0.12 13-16 0.70 0.35 0.14 17-20 0.80 0.40 0.16 21-25 0.90 0.45 0.18 Kemiringan (%) Penerasan Pada lahan dengan kemiringan > 8%, nilai indeks pengelolaan meningkat serah peningkatan kemiringan lereng. Usaha tindakan konservasi pada kemiringan < 2% tidak perlu dilakukan. Nilai indeks pengelolaan lahan (P) mempunyai keragaman yang sangat tinggi terutama antara tanah di daerah subtropis dengan daerah tropis. Beberapa nilai indeks pengelolaan lahan (P) untuk Indonesia dari hasil penelitian Tim konservasi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Arsyad, 1989) seperti tertera pada Tabel 17. Unversitas Gadjah Mada Tabel 17. Nilai faktor P untuk beberapa tindakan konservasi tanah khusus Keterangan: 1) Konstruksi teras bangku dinilai dari kerataan dasar teras dan keadaan talud teras Unversitas Gadjah Mada DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. 290h. Gabriels, D., L. Maene, J. Lenvain and de Boodt.1977. Possibilities of using soil conditioners for soil erosion control. Dalam DJ. Greenland and R. Lal (eds.). Soil Conservation and Management in the Humid Tropics. John Wiley and Sons, Chichester. pp: 99-108. Hudson, N. 1973. Soil Conservation. Batsford, London. 320p. Kirkby, M.J. and R.P.C. Morgan. 1980. Soil Erosion. John Wiley and Sons, Chichester. 312p. Lal, R. 1988. Soil erosion by wind and water; Problems and prospects. Dalam R. Lal (ed.). Soil Erosion Research Methods. Soil and Water Conservation Society, ankeny, Iowa, USA. 244p. Lal, R. 1977. Soil Management System and Erosin Control. Dalam D.J. Greenland and R. Lal (eds.). Soil Conservation and Management in the Humid Tropics. John Wiley and Sons, Chichester. pp: 93-97 Lal, R. 1977. Soil-Conserving Versus Soil-Degrading Crops and Soil Management for Erosion Control. Dalam D.J. Greenland and R. Lal (eds.). Soil Conservation and Management in the Humid Tropics. John Wiley and Sons, Chichester. pp: 81-86. Mitchell, J.K. and G.D. Bubenzer. 1980. So// Loss Estimation. Dalam M.J. Kirkby and R.P.C. Morgan (eds.). Soil Erosion. John Wiley and Sons, Chichester. pp: 17-62. Morgan, R.C.P. 1980. Soil Erosin. Longman Group Limited, London. 113p. Unversitas Gadjah Mada Morgan, R.C.P. 1981. Soil Conservation : Problems and Prospects. John Wiley and Sons. Chichester. 575p. Sarief, E.S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana, Bandung. 145h. Seyhan, E. 1995. Fundamentals of Hydrology (Dasar-dasar Hidrologi. Terjemahan S. Subagyo dan S.Prawirohatmodjo). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 388h. Sosrodarsono, S. dan K. Takeda. 1983. Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramita, Jakarta. 226h. Utomo, W.H. 1983. Pengawetan Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 156h. Wisler, C.O. and E.F. Brater. Hydrology. 2nd ed. John Wiley and Sons, New York. 408p. Unversitas Gadjah Mada