Pengaruh Kepribadian Proaktif dan Persepsi Dukungan Organisasi

advertisement
BAB II
RERANGKA TEORITIS
2.1. Konsep Dasar
2.1.1. Keterlibatan Kerja
Konsep keterlibatan kerja pertama kali diperkenalkan oleh Lodahl
dan Kejner (1965). Mereka menghubungkan keterlibatan kerja pada
identifikasi psikologis individu dengan pekerjaan atau pentingnya
pekerjaan dalam citra diri individu (Kanungo, 1982). Lodahl dan Kejner
menguraikan definisi keterlibatan kerja ke dalam dua kelompok pengertian
yaitu :
a. Keterlibatan kerja merupakan tingkatan yang menunjukkan sejauh
mana seseorang mampu mengidentifikasikan diri secara psikologis
dengan pekerjaannya, atau taraf pentingnya kerja bagi gambaran
dirinya.
b. Seberapa jauh hasil kerjanya (performance) dapat mempengaruhi harga
dirinya (self esteem), atau dengan kata lain bagi individu pekerjaan
merupakan tempat mengekspresikan self-imagenya.
Brown (1996) dalam Akhtar & Singh, 2010, mengemukakan bahwa
seorang karyawan dikatakan terlibat dalam pekerjaannya apabila karyawan
tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan
pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain
untuk organisasi.
Beberapa studi yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana
keterlibatan kerja dapat timbul pada para pekerja, yang akhirnya
menghasilkan dua sudut pandang yang dianggap menyebabkan timbulnya
keterlibatan kerja, yang pertama adalah dalam pendekatan disposisional,
keterlibatan dalam pekerjaan dipandang tergantung pada kepribadian
individu. Pengaruh yang diberikan oleh beberapa karakteristik pribadi yang
stabil akan memastikan individu memiliki sikap kerja yang berbeda. Dua
sikap kerja tersebut adalah keterlibatan pekerjaan dan kepuasan kerja.
Individu dianggap memiliki sejumlah keinginan atau nilai yang akan
mendorong mereka untuk bekerja lebih keras atau menghalangi mereka
dari keterlibatan kerja (Sekaran & Mowday, 1981 dalam Akhtar & Singh,
2010). Yang kedua adalah dalam pendekatan situasional, keterlibatan kerja
itu timbul sebagai respon terhadap suatu pekerjaan atau situasi tertentu
dalam lingkungan kerja. Dengan lain kata suatu jenis pekerjaan atau situasi
dalam lingkungan kerja akan mempengaruhi orang tersebut makin terlibat
atau tidak dalam pekerjaannya (Rabinowitz & hall, 1977 dalam Akhtar &
Singh, 2010).
Karyawan dalam keterlibatan yang tinggi dengan kuat memihak
pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja
itu. Teori yang mendasari adalah bahwa dengan mengetahui keterlibatan
kerjanya, maka karyawan akan menjadi
lebih termotivasi lebih
berkomitmen terhadap organisasi ataupun perusahaan, lebih produktif, dan
lebih puas dengan pekerjaan mereka (Robbins, 2006).
Ada beberapa faktor yang dapat dipakai untuk melihat keterlibatan
kerja seorang karyawan, dimana faktor - faktor ini telah banyak digunakan
para ahli untuk studi - studi keterlibatan kerja yaitu :
1. Aktif berpartisipasi dalam pekerjaannya.
Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat menunjukkan seorang
pekerja terlibat dalam pekerjaan / job involvement-nya (Allport, 1943).
Aktif partisipasi adalah perhatian seseorang terhadap sesuatu. Dari
tingkat atensi inilah maka dapat diketahui seberapa seorang karyawan
perhatian, peduli dan menguasai bidang yang menjadi bagiannya.
2. Menunjukkan pekerjaannya sebagai yang utama.
Faktor view it as a central life interest pada karyawan dapat mewakili
tingkat keterlibatan kerjanya (Dubin, 1966). Apabila karyawan tersebut
merasa bahwa pekerjaannya adalah hal yang utama. Seorang karyawan
yang mengutamakan pekerjaannya akan selalu berusaha yang terbaik
untuk pekerjaannya dan mengganggap pekerjaannya sebagai pusat yang
menarik dalam hidup dan yang pantas untuk diutamakan.
3. Melihat pekerjaannya sebagai sesuatu yang penting bagi harga diri.
Keterlibatan kerja dapat dilihat dari sikap seorang pekerja dalam
berpikir
mengenai
pekerjaannya,
dimana
seorang
karyawan
menganggap pekerjaan itu penting bagi harga dirinya (Gurin, Veroff
and Feld, 1960). Apabila pekerjaan tersebut dirasa berarti dan sangat
berharga baik secara materi dan psikologis bagi pekerja tersebut maka
pekerja tersebut akan menghargai dan akan melakukan pekerjaannya
sebaik mungkin sehingga keterlibatan kerja dapat tercapai, dan
karyawan tersebut merasa bahwa pekerjaan mereka penting bagi harga
dirinya.
2.1.2. Kepribadian Proaktif
Pada dasarnya jiwa manusia dapat dibedakan menjadi dua aspek,
yakni aspek kemampuan (ability) dan aspek kepribadian (personality).
Aspek kemampuan meliputi : prestasi belajar, inteligensi, dan bakat;
sedangkan aspek kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat,
sikap, dan motivasi. Batasan mengenai kepribadian telah dirumuskan oleh
para ahli psikologi, dan rumusannya berbeda-beda satu sama lain
diantaranya Gordon Allport (1943) menyatakan bahwa kepribadian sebagai
organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan
tingkah laku dan pemikiran individu secara khas. Sedangkan George Kelly
(1955) merumuskan kepribadian sebagai cara yang unik dari individu
dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya Selain itu Cook,
Hunsaker dan Coffey (1997) menyatakan bahwa kepribadian adalah ciri
dan perilaku yang membedakan individu dengan individu lain.
Dari berbagai batasan yang berbeda-beda tersebut di atas dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa kepribadian merupakan suatu karakter
yang hanya dimiliki oleh individu, yang menjadi penentu pemikiran dan
tingkah lakunya. Setiap individu memiliki kepribadian yang khas, berbeda
antara individu yang satu dengan individu yang lainnya.
Perilaku proaktif merupakan perilaku yang secara langsung dapat
mengubah lingkungan disekitar mereka. Dimensi perilaku proaktif
merupakan akar dari kebutuhan-kebutuhan individu untuk memanipulasi
dan mengendalikan lingkungan. Selanjutnya, perbedaan individu mengarah
pada kecenderungan orang untuk bertindak dengan mempengaruhi
lingkungan mereka (Bateman & Crant, 1993).
Bateman dan Crant, mendefinisikan bentuk dasar kepribadian
proaktif sebagai seseorang yang relatif tidak didesak oleh kekuatan
situasional dan seseorang yang mempengaruhi perubahan lingkungan.
Sehingga, orang yang sangat proaktif dapat mengenali peluang dan
bertindak atas peluang tersebut, menunjukkan inisiatif dan gigih
memperjuangkan perubahan yang berarti. Mereka mentransformasikan
misi, menemukan dan menyelesaikan permasalahan organisasi dan pada
akhirnya menggunakan hal itu untuk mempengaruhi dunia disekitar
mereka. Orang yang kurang proaktif bertindak pasif dan reaktif, mereka
cenderung beradaptasi dengan keadaan sekitar daripada menciptakan
keadaan (Seibert, Crant dan Kraimer, 1999).
Parker et al. (2006) menyebut individu proaktif sebagai orangorang yang biasanya melibatkan diri dalam tindakan yang berdampak diri
mereka sendiri dan / atau lingkungan mereka. Oleh karena itu, karyawan
dengan kepribadian proaktif selalu berfokus pada masa depan, sadar serta
berorientasi pada perubahan.
Karyawan yang mampu mengubah lingkungan mereka dianggap
lebih efektif dalam kinerja. Inisiatif karyawan proaktif menyebabkan
sejumlah kesadaran dan perilaku, seperti mengidentifikasi ide-ide baru
untuk memperbaiki proses kerja dan memperbarui keterampilan mereka
untuk mencapai hasil yang memuaskan (Seibert, Kraimer, & Crant, 2001).
2.1.3. Persepsi Dukungan Organisasi
Eisenberger, Huntington, Hutchison dan Sowa (1986) menyatakan
persepsi dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai
sejauhmana organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap
kesejahteraan mereka. Hal ini didasarkan pada teori pertukaran sosial atau
social exchange teory yang dikembangkan oleh psikolog John Thibaut dan
Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson
(1962), dan Peter Blau (1964), dimana hubungan antara karyawan dan
organisasinya adalah merupakan suatu hubungan pertukaran, misalnya
seorang karyawan mau bekerja di suatu organisasi karena karyawan
tersebut hendak mempertukarkan usaha dan loyalitasnya dengan imbalan
material sosioemosional tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
karyawan mempunyai harapan akan adanya dukungan organisasi terhadap
kebutuhan mereka. Jadi teori tentang dukungan organisasi dibangun karena
adanya harapan ini dalam diri karyawan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eisenberger, et al., bahwa
karyawan menganggap kerja adalah suatu bentuk pertukaran dengan
kebutuhan-kebutuhannya sehingga mereka selalu melakukan penilaian
apakah organisasi mempunyai perhatian terhadap segala jerih payah yang
telah disumbangkan dan mampu memberikan imbalan yang memadai, atau
dengan kata lain, jika karyawan bekerja secara ekstra, apakah organisasi
akan memberikan imbalan yang lebih pula. Karyawan juga menilai apakah
kebutuhan sosioemosionalnya seperti kebutuhan akan pengakuan dan
penghargaan juga terpenuhi.
Untuk menentukan kesiapan organisasi dalam memberikan
penghargaan terhadap setiap jerih payah yang dilakukan dan untuk
memenuhi sosioemosionalnya, karyawan membentuk suatu keyakinan
umum tentang seberapa jauh organisasi menghargai kontribusi mereka dan
peduli
terhadap kesejahteraan mereka. Eisenberger
et.
al., juga
menjelaskan bahwa dukungan organisasi dibangun oleh perlakukanperlakuan
organisasi
yang
diterima
misalnya
dalam
pembayaran
honorarium, kenaikan jabatan, pemerkayaan pekerjaan, dan partisipasi
dalam pembuatan kebijakan organisasi.
Persepsi dukungan organisasi dipengaruhi oleh pengalaman yang
dimiliki oleh individu, serta pengamatan mengenai keseharian organisasi
dalam memperlakukan seseorang (Allen, 1995; Eisenberger et all, 1986).
Dalam hal ini sikap organisasi terhadap ide-ide yang dilontarkan oleh
karyawan, respon terhadap karyawan yang mengalami masalah serta
perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan dan kesehatan karyawan
merupakan tiga aspek yang menjadi perhatian utama dari karyawan.
Penilaian pegawai terhadap organisasi juga dilakukan dengan
memperhatikan frekuensi, kesungguhan dan ketulusan organisasi dalam
memberikan pernyataan perhargaan dan pengakuan terhadap hasil usaha
mereka. Pemberian penghargaan atau penciptaan kondisi kerja yang
menyenangkan, jika dilakukan karena kemauan organisasi sendiri akan
mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap dukungan organisasi
dibandingkan dengan jika diberikan karena tekanan dari luar misalnya
tekanan serikat pekerja atau peraturan perundangan. (Rhoades and
Eisenberger, 2002).
2.1.4. Kepuasan Kerja
Ada beberapa teori yang dapat mengungkapkan kepuasan kerja
karyawan, salah satunya adalah Two Factor Theory, yaitu teori yang
beranggapan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja adalah
merupakan dua hal yang berbeda, Artinya, kepuasan dan ketidakpuasan
terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinu. Teori
ini pertama kali dikemukakan oleh Frederick Herzberg pada tahun 1959.
Satisfiers (motivator) ialah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya
sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari: pencapaian (achievement)
yakni besar kecilnya tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi;
pengakuan (recognition) yakni besar kecilnya pengakuan yang diberikan
kepada tenaga kerja atas kinerjanya; pekerjaan itu sendiri (work it self)
yakni besar kecilnya tantangan bagi tenaga kerja dari pekerjaannya;
tanggung jawab (responsibility) yakni besar kecilnya tanggung jawab yang
dirasakan dan diberikan pada tenaga kerja dan kemajuan (advancement)
yakni besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam
pekerjaannya. Hadirnya faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi
tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan.
Dissatisfiers (hygiene factor) ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi
sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: kebijakan perusahaan (company
policy and administration) yakni derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga
kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku diperusahaan;
penyeliaan (supervision technical) yakni derajat kewajaran penyeliaan
yang dirasakan oleh tenaga kerja; gaji (salary) yakni derajat kewajaran
gaji/upah sebagai suatu imbalan atas hasil kerjanya; hubungan antar pribadi
(interpersonal relations) yakni derajat kesesuaian yang dirasakan dalam
berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya dan kondisi kerja (working
condition) yakni derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses
pelaksanaan pekerjaannya. Perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan
mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan
menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja (Wexley &
Yukl , 2003).
Selanjutnya, Wexley dan Yukl mengemukakan bahwa masingmasing individu memiliki tingkat kepuasan berbeda sesuai dengan sistem
nilai yang berlaku dalam dirinya. Semakin banyak aspek yang sesuai
dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi kepuasan
kerjanya.
Untuk membantu memahami konsep kepuasan kerja, Locke (1976)
dalam Luthans (2006) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu
keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari
penilaian
merupakan
pekerjaan
kumpulan
atau
pengalaman
perasaan
pekerjaan.
seseorang
untuk
Kepuasan
kerja
bertahan
pada
pekerjaannya termasuk semua aspek pekerjaan tertentu, baik dan buruk,
positif atau negatif, yang mungkin berkontribusi pada pengembangan
perasaan kepuasan atau ketidakpuasan.
Kepuasan kerja mengacu pada reaksi emosional positif individu
untuk pekerjaan tertentu. Kepuasan kerja adalah hanya mengenai
bagaimana orang merasa tentang pekerjaan mereka dan aspek yang berbeda
dari pekerjaan mereka. Ini adalah sejauh mana orang-orang suka
(kepuasan) atau tidak suka (ketidakpuasan) pada pekerjaan mereka
(Spector, 1997). Namun, apa yang membuat pekerjaan memuaskan atau
tidak memuaskan tidak hanya tergantung pada sifat dari pekerjaan, tetapi
juga pada harapan bahwa individu mendapatkan apa yang seharusnya
disediakan dari pekerjaan mereka.
Menurut Robbins (2006) kepuasan berdimensi sangat luas secara
garis besar mencakup tantangan dalam kerja, imbalan dan penghargaan
yang wajar, kondisi dan rekan kerja yang mendukung, serta kesesuaian
pekerjaan dengan kepribadian karyawan.
2.2. Pengembangan Hipotesis
2.2.1. Kepribadian proaktif dan Keterlibatan Kerja
Keterlibatan kerja didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang
mengidentifikasi secara psikologis dengan pekerjaannya atau pentingnya
pekerjaan dalam citra diri individu (Lodhal dan Kejner, 1965 dalam
Kanungo, 1982). Dalam pendekatan disposisional, keterlibatan dalam
pekerjaan dipandang tergantung pada kepribadian individu. Pengaruh yang
diberikan oleh beberapa karakteristik pribadi yang stabil akan memastikan
individu memiliki sikap kerja yang berbeda. Dua sikap kerja tersebut
adalah keterlibatan pekerjaan dan kepuasan kerja. Individu dianggap
memiliki sejumlah keinginan atau nilai yang akan mendorong mereka
untuk bekerja lebih keras atau menghalangi mereka dari keterlibatan kerja
(Sekaran & Mowday, 1981 dalam Akhtar & Singh, 2010). Sedangkan
kepribadian proaktif didefinisikan sebagai sebuah disposisi dalam
mengambil inisiatif pribadi untuk mempengaruhi lingkungan seseorang
(Crant, 2000). Parker et al. (2006) menyebut individu proaktif sebagai
orang-orang yang biasanya melibatkan diri dalam tindakan yang
berdampak diri mereka sendiri dan / atau lingkungan mereka. Oleh karena
itu, karyawan dengan kepribadian proaktif selalu berfokus pada masa
depan, sadar serta berorientasi pada perubahan.
Berdasarkan konsep tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
kepribadian proaktif menyiratkan kesediaan untuk terlibat dan mengambil
inisiatif untuk mengidentifikasi dan memberikan kontribusi pada berbagai
kegiatan dan situasi (Crant, 2000). Apabila tingkat kepribadian proaktif
semakin tinggi maka kesediaan untuk terlibat di dalam pekerjaan akan
semakin tinggi pula.
Hipotesis 1: Kepribadian proaktif berpengaruh signifikan terhadap
keterlibatan kerja karyawan.
2.2.2. Persepsi Dukungan Organisasi dan Keterlibatan Kerja
Peran dukungan organisasi menjelaskan bahwa organisasi akan
menyediakan bantuan sesuai yang dibutuhkan oleh karyawan untuk bekerja
secara efektif dan untuk menghadapi situasi yang sulit. Eisenberger et al.
(1997) dalam Akhtar & Singh (2010) menjabarkan persepsi dukungan
organisasi sebagai pemahaman masyarakat secara global mengenai tingkat
di mana organisasi peduli dengan keberadaan dan kontribusi karyawan
serta peduli terhadap kesejahteraan mereka. Sedangkan keterlibatan kerja
timbul sebagai respon terhadap suatu pekerjaan atau situasi tertentu dalam
lingkungan kerja (Rabinowitz & hall, 1977 dalam Akhtar & Singh, 2010).
Berdasarkan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory), karyawan
cenderung melihat apakah ada sikap atau perilaku menguntungkan dari
organisasi yang muncul dari hubungan pertukaran yang terjadi antara
karyawan dan pimpinan organisasi (Eisenberger et al., 1997 dalam
Dharmasri & Vathsala, 2010). Informasi di atas dapat menunjukkan
pentingnya peran dukungan organisasi untuk para karyawan. Apabila
karyawan percaya bahwa organisasi menyediakan dukungan yang mereka
perlukan, menilai kontribusi mereka, dan peduli tentang kesejahteraan
mereka, maka hal ini dapat meningkatkan keterlibatan kerja karyawan dan
selanjutnya meningkatkan kepuasan kerja (Rhoades and Eisenberger,
2002). Hal ini didukung hasil penelitian Dharmasri & Vathsala (2010) yang
menemukan bahwa POS
berpengaruh signifikan positif
terhadap
keterlibatan kerja.
Hipotesis 2: Persepsi dukungan organisasi berpengaruh signifikan
terhadap keterlibatan kerja karyawan.
2.2.3. Keterlibatan Kerja dan Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja didefinisikan sebagai suatu keadaan emosional
yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan
atau pengalaman pekerjaan (Locke, 1976 dalam Luthans, 2006). Kepuasan
kerja mengacu pada reaksi emosional positif individu untuk pekerjaan
tertentu. Kepuasan kerja adalah hanya mengenai bagaimana orang merasa
tentang pekerjaan mereka dan aspek yang berbeda dari pekerjaan mereka.
Ini adalah sejauh mana orang-orang suka (kepuasan) atau tidak suka
(ketidakpuasan) pada pekerjaan mereka (Spector, 1997).
Keterlibatan kerja merupakan faktor penting dalam sikap kerja lain
yang terkait seperti kepuasan kerja. Orang dengan keterlibatan kerja tinggi
memfokuskan sebagian besar perhatian pada pekerjaan mereka sehingga
menjadi benar-benar tenggelam dan menikmati pekerjaan tersebut. Hal ini
merupakan kepercayaan seseorang terhadap pekerjaannya dan merupakan
fungsi dari seberapa banyak pekerjaan tersebut dapat memuaskan
keinginan seseorang (Csikszentmihalyi, 1997 dalam Diefendorff et al.,
2006).
Dengan adanya keterlibatan secara penuh terhadap pekerjaan maka
karyawan akan menciptakan kinerja yang baik dan akan berpartisipasi aktif
dalam menyelesaikan pekerjaan atau tugasnya karena hal ini dianggap
penting sehingga karyawan akan lebih merasa puas dan senang jika bisa
menghabiskan sebagian besar waktu, tenaga, dan pikiran untuk
pekerjaannya. Hal ini senada dengan hasil penelitian Khan & Nemati
(2011) serta Putri (2010) yang menemukan bahwa keterlibatan kerja
berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja.
Hipotesis 3: Keterlibatan kerja karyawan berpengaruh signifikan
terhadap kepuasan kerja karyawan.
2.2.4. Keterlibatan Kerja sebagai Mediator hubungan antara
kepribadian proaktif dan persepsi dukungan organisasi
terhadap kepuasan kerja.
Penelitian ini berusaha mengungkapkan bahwa hubungan antara
kepribadian proaktif dan persepsi dukungan organsasi terhadap kepuasan
kerja akan dimediasi oleh keterlibatan kerja. Secara teoritis, orang proaktif
lebih mungkin untuk menampilkan inisiatif untuk mengubah prosedur
dalam melakukan pekerjaan dan lingkungan organisasi, dengan demikian
cenderung menjadi kreatif (Seibert, Kraimer, & Crant, 2001). Hal tersebut
dapat mendorong individu untuk lebih terlibat dalam pekerjaannya. Orang
dengan keterlibatan kerja tinggi memfokuskan sebagian besar perhatian
pada pekerjaan mereka sehingga menjadi benar-benar tenggelam dan
menikmati pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kepercayaan seseorang
terhadap pekerjaannya dan merupakan fungsi dari seberapa banyak
pekerjaan
tersebut
dapat
memuaskan
keinginan
(Csikszentmihalyi, 1997 dalam Diefendorff et al., 2006).
seseorang
Menurut Brown (1996), karyawan dikatakan terlibat dalam
pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri
secara psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya
penting untuk dirinya. Keterlibatan kerja akan terbentuk karena keinginan
dari pekerja akan kebutuhan tertentu, nilai atau karakteristik tertentu yang
diperoleh dari pekerjaannya sehingga akan membuat pekerja tersebut lebih
terlibat atau tidak terlibat pada pekerjaannya.
Selain
itu
apabila
karyawan
percaya
bahwa
organisasi
menyediakan dukungan yang mereka perlukan, menilai kontribusi mereka,
dan peduli tentang kesejahteraan mereka, maka hal ini dapat meningkatkan
keterlibatan kerja karyawan dan selanjutnya meningkatkan kepuasan kerja
(Eisenberger et al., 1997).
Hipotesis 4
: Keterlibatan kerja karyawan memediasi hubungan
antara kepribadian proaktif terhadap kepuasan kerja
karyawan.
Hipotesis 5
: Keterlibatan kerja karyawan memediasi hubungan
antara
persepsi
dukungan
kepuasan kerja karyawan.
2.3. Kerangka pemikiran Penelitian
organisasi
terhadap
Berdasarkan telaah pustaka dan hipotesis yang dikembangkan
diatas maka sebuah model konseptual atau kerangka pemikiran teoritis
dapat dikembangkan seperti yang disajikan dalam gambar berikut :
Gambar 2.1
Model Penelitian
H4
Kepribadian Proaktif
(X1)
H1
Keterlibatan Kerja
(Y1)
Persepsi Dukungan
Organisasi (X2)
H3
Kepuasan Kerja
(Y2)
H2
H5
Sumber : Dikembangkan dalam penelitian ini
Download