BAB II RERANGKA TEORITIS 2.1. Konsep Dasar 2.1.1. Keterlibatan Kerja Konsep keterlibatan kerja pertama kali diperkenalkan oleh Lodahl dan Kejner (1965). Mereka menghubungkan keterlibatan kerja pada identifikasi psikologis individu dengan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan dalam citra diri individu (Kanungo, 1982). Lodahl dan Kejner menguraikan definisi keterlibatan kerja ke dalam dua kelompok pengertian yaitu : a. Keterlibatan kerja merupakan tingkatan yang menunjukkan sejauh mana seseorang mampu mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannya, atau taraf pentingnya kerja bagi gambaran dirinya. b. Seberapa jauh hasil kerjanya (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (self esteem), atau dengan kata lain bagi individu pekerjaan merupakan tempat mengekspresikan self-imagenya. Brown (1996) dalam Akhtar & Singh, 2010, mengemukakan bahwa seorang karyawan dikatakan terlibat dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi. Beberapa studi yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana keterlibatan kerja dapat timbul pada para pekerja, yang akhirnya menghasilkan dua sudut pandang yang dianggap menyebabkan timbulnya keterlibatan kerja, yang pertama adalah dalam pendekatan disposisional, keterlibatan dalam pekerjaan dipandang tergantung pada kepribadian individu. Pengaruh yang diberikan oleh beberapa karakteristik pribadi yang stabil akan memastikan individu memiliki sikap kerja yang berbeda. Dua sikap kerja tersebut adalah keterlibatan pekerjaan dan kepuasan kerja. Individu dianggap memiliki sejumlah keinginan atau nilai yang akan mendorong mereka untuk bekerja lebih keras atau menghalangi mereka dari keterlibatan kerja (Sekaran & Mowday, 1981 dalam Akhtar & Singh, 2010). Yang kedua adalah dalam pendekatan situasional, keterlibatan kerja itu timbul sebagai respon terhadap suatu pekerjaan atau situasi tertentu dalam lingkungan kerja. Dengan lain kata suatu jenis pekerjaan atau situasi dalam lingkungan kerja akan mempengaruhi orang tersebut makin terlibat atau tidak dalam pekerjaannya (Rabinowitz & hall, 1977 dalam Akhtar & Singh, 2010). Karyawan dalam keterlibatan yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu. Teori yang mendasari adalah bahwa dengan mengetahui keterlibatan kerjanya, maka karyawan akan menjadi lebih termotivasi lebih berkomitmen terhadap organisasi ataupun perusahaan, lebih produktif, dan lebih puas dengan pekerjaan mereka (Robbins, 2006). Ada beberapa faktor yang dapat dipakai untuk melihat keterlibatan kerja seorang karyawan, dimana faktor - faktor ini telah banyak digunakan para ahli untuk studi - studi keterlibatan kerja yaitu : 1. Aktif berpartisipasi dalam pekerjaannya. Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat menunjukkan seorang pekerja terlibat dalam pekerjaan / job involvement-nya (Allport, 1943). Aktif partisipasi adalah perhatian seseorang terhadap sesuatu. Dari tingkat atensi inilah maka dapat diketahui seberapa seorang karyawan perhatian, peduli dan menguasai bidang yang menjadi bagiannya. 2. Menunjukkan pekerjaannya sebagai yang utama. Faktor view it as a central life interest pada karyawan dapat mewakili tingkat keterlibatan kerjanya (Dubin, 1966). Apabila karyawan tersebut merasa bahwa pekerjaannya adalah hal yang utama. Seorang karyawan yang mengutamakan pekerjaannya akan selalu berusaha yang terbaik untuk pekerjaannya dan mengganggap pekerjaannya sebagai pusat yang menarik dalam hidup dan yang pantas untuk diutamakan. 3. Melihat pekerjaannya sebagai sesuatu yang penting bagi harga diri. Keterlibatan kerja dapat dilihat dari sikap seorang pekerja dalam berpikir mengenai pekerjaannya, dimana seorang karyawan menganggap pekerjaan itu penting bagi harga dirinya (Gurin, Veroff and Feld, 1960). Apabila pekerjaan tersebut dirasa berarti dan sangat berharga baik secara materi dan psikologis bagi pekerja tersebut maka pekerja tersebut akan menghargai dan akan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin sehingga keterlibatan kerja dapat tercapai, dan karyawan tersebut merasa bahwa pekerjaan mereka penting bagi harga dirinya. 2.1.2. Kepribadian Proaktif Pada dasarnya jiwa manusia dapat dibedakan menjadi dua aspek, yakni aspek kemampuan (ability) dan aspek kepribadian (personality). Aspek kemampuan meliputi : prestasi belajar, inteligensi, dan bakat; sedangkan aspek kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat, sikap, dan motivasi. Batasan mengenai kepribadian telah dirumuskan oleh para ahli psikologi, dan rumusannya berbeda-beda satu sama lain diantaranya Gordon Allport (1943) menyatakan bahwa kepribadian sebagai organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas. Sedangkan George Kelly (1955) merumuskan kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya Selain itu Cook, Hunsaker dan Coffey (1997) menyatakan bahwa kepribadian adalah ciri dan perilaku yang membedakan individu dengan individu lain. Dari berbagai batasan yang berbeda-beda tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepribadian merupakan suatu karakter yang hanya dimiliki oleh individu, yang menjadi penentu pemikiran dan tingkah lakunya. Setiap individu memiliki kepribadian yang khas, berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Perilaku proaktif merupakan perilaku yang secara langsung dapat mengubah lingkungan disekitar mereka. Dimensi perilaku proaktif merupakan akar dari kebutuhan-kebutuhan individu untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan. Selanjutnya, perbedaan individu mengarah pada kecenderungan orang untuk bertindak dengan mempengaruhi lingkungan mereka (Bateman & Crant, 1993). Bateman dan Crant, mendefinisikan bentuk dasar kepribadian proaktif sebagai seseorang yang relatif tidak didesak oleh kekuatan situasional dan seseorang yang mempengaruhi perubahan lingkungan. Sehingga, orang yang sangat proaktif dapat mengenali peluang dan bertindak atas peluang tersebut, menunjukkan inisiatif dan gigih memperjuangkan perubahan yang berarti. Mereka mentransformasikan misi, menemukan dan menyelesaikan permasalahan organisasi dan pada akhirnya menggunakan hal itu untuk mempengaruhi dunia disekitar mereka. Orang yang kurang proaktif bertindak pasif dan reaktif, mereka cenderung beradaptasi dengan keadaan sekitar daripada menciptakan keadaan (Seibert, Crant dan Kraimer, 1999). Parker et al. (2006) menyebut individu proaktif sebagai orangorang yang biasanya melibatkan diri dalam tindakan yang berdampak diri mereka sendiri dan / atau lingkungan mereka. Oleh karena itu, karyawan dengan kepribadian proaktif selalu berfokus pada masa depan, sadar serta berorientasi pada perubahan. Karyawan yang mampu mengubah lingkungan mereka dianggap lebih efektif dalam kinerja. Inisiatif karyawan proaktif menyebabkan sejumlah kesadaran dan perilaku, seperti mengidentifikasi ide-ide baru untuk memperbaiki proses kerja dan memperbarui keterampilan mereka untuk mencapai hasil yang memuaskan (Seibert, Kraimer, & Crant, 2001). 2.1.3. Persepsi Dukungan Organisasi Eisenberger, Huntington, Hutchison dan Sowa (1986) menyatakan persepsi dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauhmana organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka. Hal ini didasarkan pada teori pertukaran sosial atau social exchange teory yang dikembangkan oleh psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964), dimana hubungan antara karyawan dan organisasinya adalah merupakan suatu hubungan pertukaran, misalnya seorang karyawan mau bekerja di suatu organisasi karena karyawan tersebut hendak mempertukarkan usaha dan loyalitasnya dengan imbalan material sosioemosional tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karyawan mempunyai harapan akan adanya dukungan organisasi terhadap kebutuhan mereka. Jadi teori tentang dukungan organisasi dibangun karena adanya harapan ini dalam diri karyawan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eisenberger, et al., bahwa karyawan menganggap kerja adalah suatu bentuk pertukaran dengan kebutuhan-kebutuhannya sehingga mereka selalu melakukan penilaian apakah organisasi mempunyai perhatian terhadap segala jerih payah yang telah disumbangkan dan mampu memberikan imbalan yang memadai, atau dengan kata lain, jika karyawan bekerja secara ekstra, apakah organisasi akan memberikan imbalan yang lebih pula. Karyawan juga menilai apakah kebutuhan sosioemosionalnya seperti kebutuhan akan pengakuan dan penghargaan juga terpenuhi. Untuk menentukan kesiapan organisasi dalam memberikan penghargaan terhadap setiap jerih payah yang dilakukan dan untuk memenuhi sosioemosionalnya, karyawan membentuk suatu keyakinan umum tentang seberapa jauh organisasi menghargai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka. Eisenberger et. al., juga menjelaskan bahwa dukungan organisasi dibangun oleh perlakukanperlakuan organisasi yang diterima misalnya dalam pembayaran honorarium, kenaikan jabatan, pemerkayaan pekerjaan, dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan organisasi. Persepsi dukungan organisasi dipengaruhi oleh pengalaman yang dimiliki oleh individu, serta pengamatan mengenai keseharian organisasi dalam memperlakukan seseorang (Allen, 1995; Eisenberger et all, 1986). Dalam hal ini sikap organisasi terhadap ide-ide yang dilontarkan oleh karyawan, respon terhadap karyawan yang mengalami masalah serta perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan dan kesehatan karyawan merupakan tiga aspek yang menjadi perhatian utama dari karyawan. Penilaian pegawai terhadap organisasi juga dilakukan dengan memperhatikan frekuensi, kesungguhan dan ketulusan organisasi dalam memberikan pernyataan perhargaan dan pengakuan terhadap hasil usaha mereka. Pemberian penghargaan atau penciptaan kondisi kerja yang menyenangkan, jika dilakukan karena kemauan organisasi sendiri akan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap dukungan organisasi dibandingkan dengan jika diberikan karena tekanan dari luar misalnya tekanan serikat pekerja atau peraturan perundangan. (Rhoades and Eisenberger, 2002). 2.1.4. Kepuasan Kerja Ada beberapa teori yang dapat mengungkapkan kepuasan kerja karyawan, salah satunya adalah Two Factor Theory, yaitu teori yang beranggapan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja adalah merupakan dua hal yang berbeda, Artinya, kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinu. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Frederick Herzberg pada tahun 1959. Satisfiers (motivator) ialah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari: pencapaian (achievement) yakni besar kecilnya tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi; pengakuan (recognition) yakni besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas kinerjanya; pekerjaan itu sendiri (work it self) yakni besar kecilnya tantangan bagi tenaga kerja dari pekerjaannya; tanggung jawab (responsibility) yakni besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan dan diberikan pada tenaga kerja dan kemajuan (advancement) yakni besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya. Hadirnya faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfiers (hygiene factor) ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: kebijakan perusahaan (company policy and administration) yakni derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku diperusahaan; penyeliaan (supervision technical) yakni derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan oleh tenaga kerja; gaji (salary) yakni derajat kewajaran gaji/upah sebagai suatu imbalan atas hasil kerjanya; hubungan antar pribadi (interpersonal relations) yakni derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya dan kondisi kerja (working condition) yakni derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan pekerjaannya. Perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja (Wexley & Yukl , 2003). Selanjutnya, Wexley dan Yukl mengemukakan bahwa masingmasing individu memiliki tingkat kepuasan berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dalam dirinya. Semakin banyak aspek yang sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi kepuasan kerjanya. Untuk membantu memahami konsep kepuasan kerja, Locke (1976) dalam Luthans (2006) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari penilaian merupakan pekerjaan kumpulan atau pengalaman perasaan pekerjaan. seseorang untuk Kepuasan kerja bertahan pada pekerjaannya termasuk semua aspek pekerjaan tertentu, baik dan buruk, positif atau negatif, yang mungkin berkontribusi pada pengembangan perasaan kepuasan atau ketidakpuasan. Kepuasan kerja mengacu pada reaksi emosional positif individu untuk pekerjaan tertentu. Kepuasan kerja adalah hanya mengenai bagaimana orang merasa tentang pekerjaan mereka dan aspek yang berbeda dari pekerjaan mereka. Ini adalah sejauh mana orang-orang suka (kepuasan) atau tidak suka (ketidakpuasan) pada pekerjaan mereka (Spector, 1997). Namun, apa yang membuat pekerjaan memuaskan atau tidak memuaskan tidak hanya tergantung pada sifat dari pekerjaan, tetapi juga pada harapan bahwa individu mendapatkan apa yang seharusnya disediakan dari pekerjaan mereka. Menurut Robbins (2006) kepuasan berdimensi sangat luas secara garis besar mencakup tantangan dalam kerja, imbalan dan penghargaan yang wajar, kondisi dan rekan kerja yang mendukung, serta kesesuaian pekerjaan dengan kepribadian karyawan. 2.2. Pengembangan Hipotesis 2.2.1. Kepribadian proaktif dan Keterlibatan Kerja Keterlibatan kerja didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang mengidentifikasi secara psikologis dengan pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam citra diri individu (Lodhal dan Kejner, 1965 dalam Kanungo, 1982). Dalam pendekatan disposisional, keterlibatan dalam pekerjaan dipandang tergantung pada kepribadian individu. Pengaruh yang diberikan oleh beberapa karakteristik pribadi yang stabil akan memastikan individu memiliki sikap kerja yang berbeda. Dua sikap kerja tersebut adalah keterlibatan pekerjaan dan kepuasan kerja. Individu dianggap memiliki sejumlah keinginan atau nilai yang akan mendorong mereka untuk bekerja lebih keras atau menghalangi mereka dari keterlibatan kerja (Sekaran & Mowday, 1981 dalam Akhtar & Singh, 2010). Sedangkan kepribadian proaktif didefinisikan sebagai sebuah disposisi dalam mengambil inisiatif pribadi untuk mempengaruhi lingkungan seseorang (Crant, 2000). Parker et al. (2006) menyebut individu proaktif sebagai orang-orang yang biasanya melibatkan diri dalam tindakan yang berdampak diri mereka sendiri dan / atau lingkungan mereka. Oleh karena itu, karyawan dengan kepribadian proaktif selalu berfokus pada masa depan, sadar serta berorientasi pada perubahan. Berdasarkan konsep tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepribadian proaktif menyiratkan kesediaan untuk terlibat dan mengambil inisiatif untuk mengidentifikasi dan memberikan kontribusi pada berbagai kegiatan dan situasi (Crant, 2000). Apabila tingkat kepribadian proaktif semakin tinggi maka kesediaan untuk terlibat di dalam pekerjaan akan semakin tinggi pula. Hipotesis 1: Kepribadian proaktif berpengaruh signifikan terhadap keterlibatan kerja karyawan. 2.2.2. Persepsi Dukungan Organisasi dan Keterlibatan Kerja Peran dukungan organisasi menjelaskan bahwa organisasi akan menyediakan bantuan sesuai yang dibutuhkan oleh karyawan untuk bekerja secara efektif dan untuk menghadapi situasi yang sulit. Eisenberger et al. (1997) dalam Akhtar & Singh (2010) menjabarkan persepsi dukungan organisasi sebagai pemahaman masyarakat secara global mengenai tingkat di mana organisasi peduli dengan keberadaan dan kontribusi karyawan serta peduli terhadap kesejahteraan mereka. Sedangkan keterlibatan kerja timbul sebagai respon terhadap suatu pekerjaan atau situasi tertentu dalam lingkungan kerja (Rabinowitz & hall, 1977 dalam Akhtar & Singh, 2010). Berdasarkan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory), karyawan cenderung melihat apakah ada sikap atau perilaku menguntungkan dari organisasi yang muncul dari hubungan pertukaran yang terjadi antara karyawan dan pimpinan organisasi (Eisenberger et al., 1997 dalam Dharmasri & Vathsala, 2010). Informasi di atas dapat menunjukkan pentingnya peran dukungan organisasi untuk para karyawan. Apabila karyawan percaya bahwa organisasi menyediakan dukungan yang mereka perlukan, menilai kontribusi mereka, dan peduli tentang kesejahteraan mereka, maka hal ini dapat meningkatkan keterlibatan kerja karyawan dan selanjutnya meningkatkan kepuasan kerja (Rhoades and Eisenberger, 2002). Hal ini didukung hasil penelitian Dharmasri & Vathsala (2010) yang menemukan bahwa POS berpengaruh signifikan positif terhadap keterlibatan kerja. Hipotesis 2: Persepsi dukungan organisasi berpengaruh signifikan terhadap keterlibatan kerja karyawan. 2.2.3. Keterlibatan Kerja dan Kepuasan Kerja Kepuasan kerja didefinisikan sebagai suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman pekerjaan (Locke, 1976 dalam Luthans, 2006). Kepuasan kerja mengacu pada reaksi emosional positif individu untuk pekerjaan tertentu. Kepuasan kerja adalah hanya mengenai bagaimana orang merasa tentang pekerjaan mereka dan aspek yang berbeda dari pekerjaan mereka. Ini adalah sejauh mana orang-orang suka (kepuasan) atau tidak suka (ketidakpuasan) pada pekerjaan mereka (Spector, 1997). Keterlibatan kerja merupakan faktor penting dalam sikap kerja lain yang terkait seperti kepuasan kerja. Orang dengan keterlibatan kerja tinggi memfokuskan sebagian besar perhatian pada pekerjaan mereka sehingga menjadi benar-benar tenggelam dan menikmati pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kepercayaan seseorang terhadap pekerjaannya dan merupakan fungsi dari seberapa banyak pekerjaan tersebut dapat memuaskan keinginan seseorang (Csikszentmihalyi, 1997 dalam Diefendorff et al., 2006). Dengan adanya keterlibatan secara penuh terhadap pekerjaan maka karyawan akan menciptakan kinerja yang baik dan akan berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan pekerjaan atau tugasnya karena hal ini dianggap penting sehingga karyawan akan lebih merasa puas dan senang jika bisa menghabiskan sebagian besar waktu, tenaga, dan pikiran untuk pekerjaannya. Hal ini senada dengan hasil penelitian Khan & Nemati (2011) serta Putri (2010) yang menemukan bahwa keterlibatan kerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Hipotesis 3: Keterlibatan kerja karyawan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. 2.2.4. Keterlibatan Kerja sebagai Mediator hubungan antara kepribadian proaktif dan persepsi dukungan organisasi terhadap kepuasan kerja. Penelitian ini berusaha mengungkapkan bahwa hubungan antara kepribadian proaktif dan persepsi dukungan organsasi terhadap kepuasan kerja akan dimediasi oleh keterlibatan kerja. Secara teoritis, orang proaktif lebih mungkin untuk menampilkan inisiatif untuk mengubah prosedur dalam melakukan pekerjaan dan lingkungan organisasi, dengan demikian cenderung menjadi kreatif (Seibert, Kraimer, & Crant, 2001). Hal tersebut dapat mendorong individu untuk lebih terlibat dalam pekerjaannya. Orang dengan keterlibatan kerja tinggi memfokuskan sebagian besar perhatian pada pekerjaan mereka sehingga menjadi benar-benar tenggelam dan menikmati pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kepercayaan seseorang terhadap pekerjaannya dan merupakan fungsi dari seberapa banyak pekerjaan tersebut dapat memuaskan keinginan (Csikszentmihalyi, 1997 dalam Diefendorff et al., 2006). seseorang Menurut Brown (1996), karyawan dikatakan terlibat dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya. Keterlibatan kerja akan terbentuk karena keinginan dari pekerja akan kebutuhan tertentu, nilai atau karakteristik tertentu yang diperoleh dari pekerjaannya sehingga akan membuat pekerja tersebut lebih terlibat atau tidak terlibat pada pekerjaannya. Selain itu apabila karyawan percaya bahwa organisasi menyediakan dukungan yang mereka perlukan, menilai kontribusi mereka, dan peduli tentang kesejahteraan mereka, maka hal ini dapat meningkatkan keterlibatan kerja karyawan dan selanjutnya meningkatkan kepuasan kerja (Eisenberger et al., 1997). Hipotesis 4 : Keterlibatan kerja karyawan memediasi hubungan antara kepribadian proaktif terhadap kepuasan kerja karyawan. Hipotesis 5 : Keterlibatan kerja karyawan memediasi hubungan antara persepsi dukungan kepuasan kerja karyawan. 2.3. Kerangka pemikiran Penelitian organisasi terhadap Berdasarkan telaah pustaka dan hipotesis yang dikembangkan diatas maka sebuah model konseptual atau kerangka pemikiran teoritis dapat dikembangkan seperti yang disajikan dalam gambar berikut : Gambar 2.1 Model Penelitian H4 Kepribadian Proaktif (X1) H1 Keterlibatan Kerja (Y1) Persepsi Dukungan Organisasi (X2) H3 Kepuasan Kerja (Y2) H2 H5 Sumber : Dikembangkan dalam penelitian ini