MENGKAJI NILAI–NILAI MORAL MELALUI KARYA SASTRA*) Dingding Haerudin **) Abstrak Karya sastra dapat memainkan peranannya sebagai media komunikasi dalam menyampaikan aturan tentang nilai-nilai moral kepada para pembacanya baik anakanak, remaja, maupun orang dewasa. Kajian sastra aliran moralisme tidak terbatas hanya pada satu genre sastra, melainkan bersifat absolut. Kajian sastra moralisme dapat diimplementasikan pada cerpen, novel, sajak, pantun, dan cerita rakyat. Tulisan ini berusahan mengkaji nilai-nilai moral yang terdapat dalam dalam karya sastra. Pendekatan yang dibahas dalam tulisan ini adalah yang berkaitan dengan konsep yang telah dirumuskan oleh masyarakat secara umum dalam menentukan nilai-nilai moral baik dan buruk. Pada kajian ini penulis mencoba mengimplementasikanya pada sebuah novel yang berjudul Kemelut Hidup karangan Ramadhan K.H. yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1977 oleh PT Dunia Pustaka Jaya. Dalam memberikan ukuran moral pada karya ini, penulis lebih menitikberatkan kepada masalah isi seperti tema, pemikiran, falsafah, dan pesan-pesan pengarang yang tergambar pada prilaku tokoh dan penokohannya serta dikaitkan dengan alur dan latar. A. Pendahuluan Munculnya karya sastra bertemakan moral berkembang seiring dengan berkembangnya permasalahan krisis moral yang dihadapi anak muda, yaitu sekitar akhir pertengahan abad ke-20 (Maclntyre, 2002). Di Amerika, karya sastra pada masa itu merupakan suatu medium untuk mempropagandakan ide-ide moral yang ditulis pengarangnya. Melalui karya sastranya, para pengarang aliran moralisme ingin mesosialisasikan ide-ide moral. Mereka berharap dapat menggiring pembaca untuk menikmati pesan moral yang ditulisnya seperti nilai-nilai baik dan buruk sebagai norma yang berlaku di mayarakat Jutaan bacaan yang beredar di masyarakat berupa buku-buku, majalah, surat kabar, brosur, selebaran-selebaran, dan sebagainya tidak seluruhnya dapat memenuhi kebutuhan para pembacannya. Dari semua bacaan itu ada yang berguna bagi pembacanya dan ada pula yang tidak berguna, bahkan dapat merusak moral orang yang membacanya. Bacaan yang baik di antaranya dapat menimbulkan keperibadian yang baik kepada para pembacanya, dan secara tidak langsung turut mempengaruhi daya pikir pembacanya untuk dapat berfikir rasional dan kritis, dan juga membina nilai-nilai budaya umumnya. Seorang pemikir Romawi, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile, dalam tulisannya berjudul Art Poetice. Artinya, karya sastra sebagai bahan bacaan mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya. Sebagaimana halnya novel-novel pop yang selalu ingin menggambarkan kehidupan yang mewah, mode-mode pun cepat berubah dan cepat menjadi usang. Sebaliknya dengan menggambarkan hakikat manusia yang dengan sendirinya tidak cenderung untuk menjadikan manusia melihat dirinya sebagai narsisus, sastra dan seni yang adiluhung akan tetap hidup melawan perkembangan waktu. Kebenaran memang tidak selamanya enak, dan karena itulah katarsis selalu menyebabkan kita mual terhadap diri sendiri, yang tidak selamanya enak Dalam lingkup yang lebih luas, setiap masyarakat berkepentingan dengan terlatihnya perasaan bagi anggota-anggotanya; membujuk, mendorong, dan menggerakkan masyarakatnya untuk menyukai apa yang mereka seharusnya menyukainya (dalam lingkup kewajiban-kewajiban moral dan hak azasinya), dan mencegah mereka dari menyukai apa yang secara moral dan secara hukum tidak seharusmya disukai. Sementara ada suatu perjanjian umum yang sadar mengenai apa yang harus disukai atau yang tidak harus disukai, namun tidaklah selalu mudah dalam segala hal secara absolut didefinisikan – misalnya adalah tidak benar untuk membunuh manusia, tetapi adakah salah untuk melatih manusia sebagai tentara? Mengenai apa yang harus atau tidak seharusnya disukai, yang barangkali merefleksikan beberapa saja keruwetan-keruwetan moral. Karya sastra berfungsi untuk mengembangkan perasaan yang tajam terhadap nilai-nilai pada subject yang mencapai keintiman terhadap susastra. Karya sastra banyak mengungkapkan kepada para penikmatnya dengan seluruh rentangan kehidupan manusia: dari kebahagiaan, keberhasilan, kenikmatan, kegembiraan, cinta kasih, kemerdekaan, persahabatan, dan menghargai diri sendiri atau sadar diri; menjadi rakus, serakah, kalah, putus asa, hilang harapan, apatis, masa bodoh, benci, disintegrasi, dan kematian. Pribadi yang telah selalu membaca sejumlah karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang baik mengenai apa yang berharga dan apa yang tidak berharga. B. Prinsip-prinsip Moralisme Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, moral berarti ajaran tentang baik dan buruk dan kelakuan (akhlak, kewajiban dan sebagainya); Moralisasi uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Moral atau moralitas yaitu tata tertib tingkah laku yang dianggap baik dan luhur dalam suatu lingkungan atau masyarakat. Moral disebut juga kesusilaan ditulis kesusilaan merupakan keseluruhan dari berbagai kaidah dan pengertian yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap durhaka dalam suatu golongan (masyarakat). Pada hakeketnya tiaptiap norma kesusilaan bersifat relatif. Berdasarkan arti kata moral di atas dapat diambil kesimpulan bahwa moral ialah tatanan atau ukuran yang mengatur tingkah laku, perbuatan dan kebiasaan manusia yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat yang bersangkutan. Baik dan buruk orang yang satu dengan yang lainnya ada kalanya tidak sama. Oleh sebab itu masyarakat memberikan pedoman pokok tingkah laku, kebiasaan, dan perbuatan yang telah disusun dan dianggap baik oleh seluruh anggota masyarakat itu. Dalam bahasa Indonensia, selain menerima perkataan akhlaq, etika dan moral yang masing-masing berasal dari bahasa Arab, Yunani dan Latin, juga dipergunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama dengan perkataan akhlaq, ialah: susila, kesusilaan, tata susila, budi pekerti, kesopanan, sopan santun, adab, tingkah laku, prilaku, dan kelakuan. Bila orang membicarakan moral seseorang atau suatu masyarakat maka yang dibicarakan ialah kebiasaan, tingkah laku atau perbuatan orang tersebut atau kelompok masyarakai itu. Dengan moralisasi dimaksudkan usaha menyampaikan ajaran-ajaran moral itu, sehingga aturan-aturan, tingkah laku dan perbuatan yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat dihayati dan dilestarikan oleh anggota masyarakat angatan penerusnya. Maka hal-hal yang dianut dan dijadikan aturan tingkah laku itu dinamakan nilai-nilai moral. Istilah moral atau etik mempunyai hubungan erat dengan arti asalnya. Istilah moral berasal dari kata Latin: mos (sing) mores, moralis, yang berarti adat istiadat, tata cara, kebiasaan atau tingkah laku; dan istilah ethics berasal dari bahasa Yunani: ethos. Keduanya berarti: “kebiasaan atau cara hidup”. Istilah-istilah tersebut kadangkadang dipakai sebagai sinonim. Sekarang, biasanya orang condong untuk memakai ”morality” untuk menunjukkan tingkah laku itu sendiri, sedang ethics menunjuk kepada penyelidikan tentang tingkah laku. Kita berkata: moral act dan ethics code. Teori-teori teleologi menopang pandangan bahwa tindakan yang benar harus memberi sumbangan kepada kebaikan manusia dan dunia. Moral merupakan suatu peraturan yang sangat penting ditegakkan pada suatu masyarakat karena dapat menjadi suatu rambu-rambu dalam kehidupan serta pelindung bagi masyarakatnya itu sendiri. Moral itu dihasilkan dari prilaku intelektual, emosi, atau hasil berfikir intuitif setiap individu yang pada akhirnya merupakan aturan dalam kehidupan untuk menghargai dan dapat membedakan yang benar dan yang salah yang berlaku dalam suatu masyarakat . Bourke menyatakan bahwa pelajaran moralitas (kesusilaan) merupakan bagian dari ilmu filsafat. Dia menggambarkan bahwa moralitas itu sebagai tingkatan perbuatan intelektual yang komplek. moral (akhlak) itu timbul karena adanya moralitas (kesusilaan), dan secara disadari moral itu sendiri menjadi keputusan untuk dipertimbangkan. Di sisi lain moral juga bisa merupakan suatu tindakan seseorang untuk menghindari hukuman; bahwa seseorang hanya akan mengikuti aturan yang berlaku pada lingkungan suatu masyarakat dan yang tidak berlaku di masyarakat lainnya. Alasdair Maclntyre, in After Virtue: A Study in Moral Theory (1-5). George Edward Moore (1873) adalah salah seorang yang dipilih untuk membuka deretan para tokoh moral, berpandangan bahwa perbuatan yang benar secara moral adalah perbuatan yang menghasilkan sebanyak mungkin realitas yang baik. Moore berfokus pada arti kata-kata moral. Ia tidak pertama-tama bertanya: Apa saja yang baik?, melainkan “baik” berarti apa? Alasdair Maclntyre mengemukakan tiga keutamaan tentang moralitas yang menurut pandangannya tidak bisa tidak harus ada kalau sebuah „kegiatan bermakna‟ keinginan untuk mencapai mutu internalnya, yaitu kejujuran dan kepercayaan (truthfulness dan trust). Keadilan (justice), dan keberanian (courage). Kalau kita bersama-sama melakukan sebuah “kegiatan bermakna” dan satu di antara kita melakukan kegiatan tipu muslihat, maka maknanya telah hilang. Keadilan menuntut agar orang lain diperlakukan menurut jasa atau pahalanya sesuai dengan standarstandar “kegiatan bermakna” yang bersangkutan. Thomas Aquinas (89:2002) menjelaskan dua hukum yang perlu dipahami untuk mengerti hakikat moralitas, yaitu hukum abadi (lex aeterna) dan hukum kodrat (lex naturalis). Hukum abadi adalah Allah sendiri, dipandang sebagai sumber eksistensi alam semesta dan manusia dengan segala hakikat dan kekhasannya. Kodrat sebagal mahluk mencerminkan hukum abadi karena segenap ciptaan dalam hakikatnya persis sebagaimana dikehendaki oleh Sang Pencipta. Maka kodrat merupakan hukum bagi kita. Artinya bahwa kita harus hidup sesuai dengan kodrat kita karena hal itu yang dikehendaki oleh Tuhan. Sekaligus kita hanya dapat menjadi diri sendiri apabila kita memang hidup sesuai dengan kodrat kita. Maka bagi manusia hukum kodrat, dalam bahasa modern merupakan hukum moral: Hukum kodrat yang memuat prinsip-prinsip hidup yang bermoral. Di samping hukum abadi dan hukum kodrat, Thomas pun masih mengenal hukum manusia, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia sendiri sesuai dengan keperluannya dengan menerapkan dan memperluas hukum kodrat. Lalu ada juga hukum Ilahi, yaitu wahyu Allah dan Kitab Suci. Pengarang Abul A‟la Maududi mengemukakan tentang moral Islam dalam bukunya Ethical Viewpoint of Islam dan memberikan garis tegas antara moral sekuler dan moral Islam. Moral sekuler nersumber dari pikiran dan prasangka manusia yang beraneka ragam. Sedangkan moral Islam bersandar kepada bimbingan dan petunjuk Allah dalam Al-Quran. Sedangkan prinsip prinsip atau kaidah-kaidah moral yang membentuk akhlak terpuji berdasarkan ajaran Islam di antaranya, selalu berlaku adil terhadap siapapun, baik terhadap kawan maupun lawan, Senantiasa menginat Allah, selalu mengarah kepada kebenaran dalam pikiran, perkataan dan laku perbuatan, tidak gentar dalam perang atau menghadapi kejahatan, seluruh hayat diisi dengan perbuatan baik, suka bergaul dengan ortang baik-baik, bersalaman ketika bertemu, suka berjamaan, tidak terpengaruh oleh bujukan lawan, selalu bersyukur, tidak kaku melaksanakan ketentuan, selalu bercita-cita kebajikan, mengutamakan sikap damai, perkataan yang diucapkan dan perbuatan yang dilakukan selalu dapat dipercaya, memberi kepada orang lain, berusaha yang halal, menjaga dan memelihara ibadah, bermu‟amalah, bersikap kasih kepada sesama mahluk, marah jika kehormatannya tersinggung, bertanggung jawab, selalu membantu jika dibutuhkan, mengasingkan dari perbuatan buruk, memuliakan janji yang telah disepakati, selalu mengajak orang dalam kebajikan, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, menutupi aib kawan maupun lawan, berhati mulia, memberi dan menerima nasihat, patuh akan hukum Allah, negara, dan masyarakat, memiliki rasa malu, dsb. Sebaliknya, prinsip-prinsip / kaidah-kaidah moral yang tercela di antaranya, berperasaan kasar, bertindak tanpa perhitungan, buruk sangka, tidak merasa senang melihat orang lain bahagia, cepat putus asa dan pengeluh, jumud (berpegang kuat pada sesuatu tanpa pengertian, memperturutkan nafsu buruk, sombong, tak kenal diri, serakah, tidak jujur, tidak menrima kenyataan, dan laku perbuatan lain-lainnya yang mengandung nilai negatif bagi akhlak menurut hukum syariat. C. Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Bagaimana kedudukan moralitas dalam karya sastra? Pada prakteknya karya sastra banyak mengungkapkan dunia yang seharusnya menurut moral tidak terjadi. Sifat-sifat sastra memang menuntut orang untuk melihat kenyataan. Seperti yang dikemukakan oleh Budi Darma (1984:185) bahwa sastra yang adiluhung dan juga seni yang adiluhung, memang tidak sejalan dengan mode-mode atau selera sesaat. Kecenderungan selera sesaat adalah meninabobokan orang untuk menjadi narsisus. Mode-mode memang indah dipandang, akan tetapi tidak mencerminkan kedalaman estetika. Rita Manning menyatakan bahwa cerita fiksi merupakan karya sastra yang dapat membantu para pembaca untuk memahami ide-ide tentang moral dan membantu pembaca untuk mencoba menyikapi moral yang tidak layak. Dalam karyanya itu kaya dengan kegiatan interaksi antar manusia dan menolong pembaca menemukan pengaruh moralnya. Hal tersebut yang dinamakan menyuarakan moral. Pembaca berinteraksi dengan rangsangan yang terdapat di dalam teks yang seolah-olah pembaca pun sebagai orang yang mengalami langsung dalam cerita tersebut. John Gardner (106) berpendapat bahwa karakter dalam cerita fiksi, drama, dan film yang berlandaskan nilai-nilai kebaikan dan perjuangkan melawan ketidakadilan, kesalahan, dan kejahatan secara tegas memberikan kekayaan berfikir dan membantu mematangkan emosi para pembacanya. Mark Tappan (5-25) menyatakan bahwa otoritas moral akan muncul dari seseorang yang mendengarkan narasi atau dongeng dan cerita yang lainnya. Days (40) menyatakan bahwa dialog pada sebuah narasi atau cerita tertentu menggambarkan struktur moral kehidupan seseorang atau individu itu sangat kompleks, juga dapat merupakan hubungan berbagai faktor yang di dalamnya menjelaskan bagaimana perkembangan moral dalam kehidupan. Teori respon pembaca beranggapan bahwa karya sastra sangat penting dalam mengembangkan moral anak muda. Seperti dikatakan Wolfgang Iser (107) yang menjelaskan bahwa setelah membaca diharapkan para pembaca mengalami perubahan seperti yang dialami dan diharapkan oleh penulis. Teori respon pembaca menggambarkan bahwa aktivitas yang dilakukan pembaca dapat menghasilkan banyak hal. Pembaca dengan sendirinya akan menyelidiki dan memperkaya apa yang telah ada pada dirinya, baik perasaan dan emosinya, serta pemandangan tentang kehidupan lainnya yang tidak dimilikinya. D. Metode Kajian Sejumlah pembaharuan telah banyak ditawarkan oleh para ahli dalam cara membaca dan mengkaji karya sastra. Abrams dalam Orientasi of Critical Theories membuat bagan untuk menunjukkan empat macam orientasi kajian, yakni yang menghubungkan karya dengan alam semesta, dengan pengarang, pembaca, dan akhirnya pendekatan “objektif” yang melihat karya sebagai sistem otonom. Pada kajian moralisme ini penulis pada keempat pendekatan tersebut. Kemudian yang menjadi alasan menggunakan pendekatan adalah bahwa: 1) struktur dan fungsi teks sebagai karya estetik masih mendapat perhatian yang penting; 2) kajian tentang pembaca sebagai konsumen teks, dan sekaligus sebagai subjek yang memberikan makna pada teks, menduduki tempat penting dalam kajian. Pembaca yang dimaksud bisa merupakan pembaca yang disiratkan oleh teks, atau pembaca aktual; 3) pengarang tidak lagi dilihat sebagai sumber segala makna teks seperti dalam pendekatan ekspresif, walaupun ia dapat menjadi salah satu sumber makna; 4) sastra merupakan cerminan realitas, maka ditelusuri adanya keterkaitan antara teks dan “alam semesta”. Pendekatan moral bertolak dari asumsi dasar bahwa salah satu tujuan kehadiran sastra ti tengah-tengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harakat dan martabat manusia sebagai mahluk berbudaya, berfikir, dan berketuhanan. Karya sastra diciptakan oleh seorang penulis tidak semata-mata mengandalkan bakat dan kemahiran berekpresi, tetapi lebih dari itu, seorang penulis melahirkan karya sastra karena ia memiliki visi, aspirasi, itikad baik, dan perjuangan, yang sehingga karya sastra yang dihasilkannya memiliki nilai tinggi. Oleh sebab itu dalam karya sastra yang mengandung nilai-nilai moral dapat memotivasi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Di dalam karya sastra itu dapat diperlihatkan tokoh-tokoh yang memiliki kebijkasanaan dan kearifan sehingga pembaca dapat mengambilnya sebagai tauladan. Keunggulan Pendekatan ini memandang bahwa karya sastra sebagai karya yang mengandung nilai-nilai, pemikiran, dan falsafah hidup yang akan membawa manusia menuju ke arah kehidupan yang lebih bermutu; pembaca dapat menemukan berbagai sikap, nilai, harga diri, sifat kemanusiaan yang sangat bermanfaat untuk memperdalam dan memperluas persepsi, tanggapan, wawasan dan penalarannya. Di samping keunggulan tersebut, ada pula beberapa keterbatasannya, di antaranya, dalam proses pengkajian terdapat kesulitan dalam membedakan antara aliran moralisme dengan aliran budaya; sukar sekali merumuskan konsep moral, karena pengertian moral bisa berubah-ubah dan tidak sama bagi setiap orang pada setiap waktu; berkecenderungan untuk melengahkan masalah bentuk dengan lebih banyak memperhatikan aspek isi; terdapat kemungkinan mengidentikkan apa yang dilukiskan pengarang dalam karyanya dengan sikap hidup beragama pengarang. Sebagai solusinya, dalam melakukan pengkajian sastra dengan pendekatan moralisme, terlebih dahulu perlu menentukan kriteria yang lebih tegas yang menjadi batasan-batasan moralitas. Kejelasan batasan aliran moralisme akan mempertegas dalam menentukan kriteria dalam proses pengkajian pada sebuah karya sastra. Dengan demikian dapat diketahui apakah karya sastra tersebut bertemakan tentang moral atau tidak, atau apakah karya sastra tersebut ingin menyampaikan tentang moral atau bukan. E. Berbagai Hasil Kajian Sapardi Jokodamono (2002) telah mengkaji pantun yang mampu mengemban berbagai fungsi yang diperlukan masyarakat untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan pantun kita dapat memberikan nasihat kepada orang lain untuk rajin mendirikan shalat. Dalam pantun lain kita diberi tahu mengenai adat yang berlaku dalam kehidupan militer zaman dahulu, yang mungkin sekali sampai sekarang pun masih berlaku, yakni bahwa untuk menjadi hulubalang, orang harus memiliki keberanian untuk menjarah. Kita baca saja pantun berikut ini. Burung kenari berkekah, berkekah di tengah padang; Jika tak berani menjarah, tiada sah menjadi hulubalang. Oleh para pakar, pantun tersebut dikategorikan sebagai pantun adat, yang tentunya berisi kaidah yang harus diikuti dengan ketat. Di zaman kita ini, kaidah yang dulu pernah disuratkan nenek moyang kita bisa saja terbaca sebagai sindiran, atau bahkan protes. Namun, pantun tidak hanya dipergunakan untuk memberi nasihat dan menyindir; ia juga dipergunakan untuk 'sekedar' bermain-main kata, menggunakan imajinasi kita sepenuh-penuhnya. Sarumpaet (2002) mengkaji cerita The Tale of Peter Rabbit karya Beatrix Potter (1902).Pada cerita itu digambarkan bahwa Ibu, orang tua, bapak, otoritas keluarga amat berkuasa. Karena dialah tempat asal, tempat pergi, dan tempat pulang, tempat menunjukkan dan membuktikan pertumbuhan. Dengan alasan yang dapat mengembalikan ingatan kita pada kisah-kisah abad 17-18 di Inggris, cerita ini menunjukkan bagaimana anak diletakkan di tempat yang harus diberadabkan, karena dia belum tahu, karena dia masih „primitif‟. Ini serta merta menunjukkan oposisi biner dari Yang Lain yang harus diubah, dibentuk, dan dibuat beradab. Anak sebagai lahan yang masih polos tadi, walaupun “Suatu hari, seekor induk itik menggiring ketiga anaknya ke sungai. Dengan penuh kasih sayang sang induk mengajari anak-anaknya mencari makan.” dirasakan bahwa induk mengasihi anaknya, ia tetaplah yang membentuk dan yang mendominasi. G. Aspek Moral pada Novel Kemelut Hidup Pada kajian ini penulis mencoba mengimplementasikan aliran moralisme ini pada karya sastra yang berjudul Kemelut Hidup karangan Ramadhan K.H. yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1977 oleh PT Dunia Pustaka Jaya. Berbagai konsep dan prinsip-prinsip tentang moral di atas, dijadikan sebagai patokan dalam proses menganalisis sebuah karya sastra yang diasumsikan penulis banyak memiliki nilai-nilai moral. Kemelut Hidup, dilihat dari isi ceritanya menggambarkan seorang tokoh bernama Abdurahman. Dia adalah pensiunan kepala kantor pada instansi perburuhan. Ketika ia masih aktif bekerja dengan jabatan sebagai seorang kepala, seharusnya mejadikan keluarganya hidup berkecukupan dan tidak banyak memikirkan masalah ekonomi. Karena kejujuran dan kepolosannya, jabatan yang dikatakan orang sekeliling Abdurahman adalah “basah” tidak dimanfaatkannya untuk menimbun kekayaan. Maka perekonomian keluarga Abdurahman pas-pasan. Dan setelah ia pensiun dari pekerjaannya, perekonomian keluarganya lebih morat-marit. Tetapi Abdurahman yang jujur dan polos itu tatap tawakal, tidak menyerah pada keadaan yang terus dirundung kemelut Konflik kisah ini terjadi sejak sosok tokoh utama bernama Abdurahman ini pensiun dari jabatan dan pekerjaannya. Timbulnya permasalahan berawal dari sebuah informasi yang disampaikan seorang Inspektur Polisi bernama Sambas. Ia memberitahukan bahwa anak gadisnya Abdurahman yang kedua yang bernama Susana terkena razia di sebuah rumah bordir. Sebagai seorang ayah, Abdurahman sangat terpukul mendapatkan berita tentang prilaku anaknya yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang berlaku di masyarakat. Wajar bila keadaan seorang ayah memiliki perasaan seperti itu. Ayah mana yang merelakan anaknya terjerumus pada dunia hitam. Gerakan moralisme adalah gerakan yang berusaha melawan dan menentang suatu peristiwa yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah moral. Pada naskah ini gerakan moral digambarkan oleh Abdurahman Seorang tokoh sentral yang banyak mengalami permasalahan. Tetapi dalam menyikapi berbagai permasalahan yang dihadapinya dia selalu berpegang teguh pada prinsip hidupnya yang dia anggap benar dan tidak melanggar aturan-aturan yang berlaku baik secara hukum maupun normanorma yang berlaku di masyarakat (hal.15). Di dalam kemarahannya dia masih dapat mengotrol diri. Kemarahannya tidak meledak-ledak selayaknya orang yang marah. Ia tidak memaki, tidak mengeluarkan sumpah-serapah, dan tidak pula menggunakan kekuatan fisik, seperti memukul atau menampar. Prilaku terpuji yang dilakukan oleh Abdurahman menggambarkan ketenangan dan kematangan seorang ayah yang menerima keadaan (hal. 21). Abdurahman yang selalu tawakal, tabah, selalu meminta petunjuk Yang Maha Kuasa, menyadari benar bahwa segala sesuatu yang terjadi yang menimpa dirinya telah ada yang mengaturnya. Walaupun dia bercita-cita memiliki anak yang soleh, dan untuk itu ia telah banyak berusaha untuk menyadarkan anaknya untuk selalu hidup di jalan yang benar, sederhana, menerima apa adanya, karena semua yang dialaminya itu adalah di luar kekuasaan dan kemampuannya. Tidak hanya sebatas keluarga saja yang diperhatikan Abdurahman, Ia pun memiliki kepedulian terhadap orang di luar lingkungan keluarganya. Ini dibuktikan Abdurahman ketika Ia akan meninggalkan dan sekaligus menanggalkan jabatannya di sebuah kantor pemerintahan. Untuk yang terakhir kalinya Abdurahman mengajak dan menasihati orang supaya melakukan pekerjaan dengan baik dan jujur, agar tidak melakukan hal-hal di luar aturan seperti korupsi, dan melanggar hukum karena kecurangan akan mengakibatkan kehancuran diri keluarga (hal 35-36). Abdurahman harus menerima resiko tidak disenangi rekan sekantornya karena prilakunya yang jujur dan tidak mau diajak kompromi untuk korupsi, karena hal itu bertolak belakang dengan hati nuraninya, di samping bertentangan dengan ajaran agamanya. Walaupun akhirnya harus hidup serba kekurangan Abdurahman, tetap pada pendiriannya dan tidak pernah terpengaruh oleh desakan dari sang istri yang bertubi-tubi untuk berkorupsi dan menghalalkan segala cara. (hal. 39-41). Abdurahman juga sosok orang yang bijaksana. Walaupun kebijaksanaanya mengorbankan kepentingan pribadi (hal. 39-40). Abdurahman seorang tokoh yang tahu diri (melaksanakan dulu kewajiban daripada menuntut hak), tidak tergesa-gesa untuk mendapatkan harta, ia mengetahui benar keadaan yang dihadapinya. Dia akan berusaha untuk melakukan dulu pekerjaan sebelum mendapat imbalan. Nilai-nilai dapat disampaikan oleh seseorang atau individu melalui ajaran formal dan norformal. Nasihat-menasihati untuk melakukan kebajikan merupakan tindakan moral yang baik. Pada novel ini tergambar pada sosok Inspektur Polisi Sambas. Susana anak Abdurahman yang selalu ingin hidup bermewah-mewahan, bersenang-senang, dan kebebasan yang tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku. Pengaruh lingkungan pergaulan menyebabkan Ia mendambakan kehidupan duniawi, kesenangan sesaat, segalanya serba enak, setiap kebutuhan terpenuhi dengan mudah (hal.19). Bagi Susana, menafsirkan nilai kebahagiaan itu adalah bergelimangnya harta, mobil mewah, rumah bagus dan baju mahal, seperti yang dialami oleh tetangga dan teman-temannya di sekolah. Untuk menggapai kesenangan itu Susana dengan sengaja mengorbankan dirinya menjadi seorang wanita pesanan. Walaupun Susana menyadari bahwa yang dilakukannya itu tidak baik, tetapi Ia tidak mempedulikannya. Ia menjadi gadis simpanan, ia hidup dengan seorang lelaki tanpa menikah. Tidak ada lagi yang Ia pedulikan, yang terpikirkannya adalah kebutuhan duniawi tercapai, mamiliki rumah, mobil, memiliki uang dan baju bagus. Susana berpandangan bahwa hidup ini adalah hanyan tipu menipu, sandiwara belaka. Seolah-olah kejujuran tidak akan menghasilkan segala apa yang dicita-citakan. Tetapi hati kecilnya mengakui bahwa tidak didapatkan ketentraman (hal 19, 112) Ina adalah tokoh antagonis, Dia tidak jauh berbeda dengan Susan, selalu memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi belaka. Ina berpendirian bahwa materi adalah segala-galanya” (hal. 21). Dalam pikiran dan pembicaraannya mengisyaratkan bahwa segala permasalahan dapat diatasi dengan berbagai cara. Dia tidak menghiraukan apakan yang dilakukannya itu sesuai dengan kaida-kaidah moral atau tidak, sehingga tidak dapat membedakan batasan antara perbuatan yang baik dan yang buruk. Ina selalu mempermudah persoalan sehingga segala permasalahan yang diahadapinya selalu dilalui dengan cara tergesa-gesa tanpa perhitungan (hal. 51). Ina merasa tidak puas bersuamikan Abdurahman, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, maka ia berbuat serong dengan Mang Sukanda pamannya (hal. 78). Ina yang tidak menerima keadaan, mendambakan segala kebutuhan materinya terpenuhi. Dia selalu protes kepada suaminya (Abdurahman) dengan cara apa pun bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya (hal. 40-41). Pergaulan bebas pada malam perpisahan dilakukan Aminah (anak Abdurahman) dengan kekasihnya saat akan pergi ke Negeri Belanda (hal. 29-30). Aminah mengalami tekanan batin (stress). Ia tidak bisa melaksanakan pekerjaannya sebagai perawat dengan baik, karena selalu memikirkan kekasihnya yang berada di tanah air yang telah menghamilinya, akibat dari hasil pergaulan bebas (hal.57) Asikin seorang hartawan, maka penghormatan dari seorang adik kepada seorang kakak seolah-olah tidak berlaku lagi. Asikin memperlakukan Abdurahman bagaikan seorang bawahan atau pesuruh. Karena tidak dapat mengendalikan begelimangnya harta, maka hubungan keluarga dapat dirubah menjadi hubungan buruh dan majikan (hal. 67) Kebenaran secara individual belum tentu benar bila dipandang secara moral. Benar secara individual sifatnya subjektif, sedangkan pandangan moral benar itu bersifat adil. Hal itu digambarkan dalam perbincangan Abdurahman dan saudaranya bahwa yang dikatakan orang benar belum tentu benar menurut orang lain. Orang yang berbuat jujur dan tidak mau menerima sogok dikatakan orang yang sok jujur bahkan dikatakan sinting. Ada anggapan bahwa selagi memegang kekuasaan itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok. Perbuatan jujur tidak selamanya akan menghasilkan apa yang dicita-citakan. Segala kebutuhan tidak akan terpenuhi hanya dengan mengandalkan kejujuran. Dan bila kekuasaan itu sudah tidak dimiliki lagi, maka tidak ada lagi kesempatan untuk memanfaatkannya sekehendak hati (hal. 73, 75) Adanya perasaan bangga setelah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilia-nilai moral digambarkan pada prilaku Sukanda. Dia merasa bangga telah dapat melampiaskan nafsu birahinya terhadap keponakannya bernama Ina yang juga istri Abdurahman. karena kepuasan seksnya yang selama ini tidak tersalurkan dapat terpenuhi walaupun tidak sesuai dengan aturan moral (hal. 89-90) Bunuh diri adalah bukan perbuatan yang terpuji dan bertentangan dengan moral. Masalah tidak akan selesai dengan cara seperti itu. Pada novel ini digambarkan oleh Sukanda ketika ia kepergo istrinya melakukan perbuatan serong dengan Ina. Ia berusaha bunuh diri sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya karena merasa terhimpit dan menyesal atas perbuatannya (hal. 80) F.Kesimpulan Karya sastra merupakan suatu medium untuk mempropagandakan ide-ide moral yang ditulis pengarangnya. Melalui karya sastra kita dapat mengetahui bagaimana manusia harus bersikap menghadapi permasalahan sehari-hari, seperti ekonomi, teknologi, hukum dan pendidikan, bagaimana bangsa-bangsa harus bertindak untuk memelihara perdamaian, dan persoalan hari kemudian dunia yang bermoral. Begitu juga dialog kita dengan kajian moral pada sebuah karya sastra dapat menambah gairah kita untuk senantiasa mencari dan menemukan hal-hal baru. Cara penelusuran nilai-nilai itu dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik berupa contoh perbuatan dan tingkah laku, nasihat, maupun uraian baik langsung maupun tidak langsung, dan sebagainya. Kajian sastra aliran moralisme tidak terbatas hanya pada satu genre sastra, tetapi bersifat absolut. Kajian sastra moralisme dapat diimplementasikan pada cerpen, novel, sajak, pantun, dan cerita rakyat. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: CV. Sinar Baru. Budianta, Melani. 2002. Sastra dan Kajian Budaya: Sebuah Fenomena Postmodern. Collins, Carol Jones. 2002. Finding The Way: Morality And Young Adult Literature. K.H. Rahadhan. 1977. Kemelut Hidup. Jakarta: Pustaka Jaya: Selden, Raman & Widdowson. 1993. Contemporary Literary Theory. University Press of Kentucky. Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Suseno, Frans Magnis.1998. Model-model Pendekatan Etika. Jogjakarta: Kanisius. ------------------------------ 1998. 12 Tokoh Etika Abad ke- 20. Jogjakarta: Kanisius. *) Pernah dimuat dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS UPI **) Staf dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Sunda FPBS UPI.