PERTUMBUHAN PUCUK AKSILER KECAMBAH SENGON

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Isolasi dan Perkecambahan Biji
Hasil penelitian menunjukkan biji yang ditanam dalam medium MS tanpa
zat pengatur tumbuh memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Pierik (1998) bahwa germinasi bisa terjadi dalam médium
sederhana yang mengandung mineral dan gula. Biji sengon mulai berkecambah
pada hari ketiga dengan tingkat perkecambahan sebesar 90 %. Kecambah sengon
memiliki panjang sekitar 3-4 cm pada hari keenam.
Gambar 4.1 Kecambah sengon berumur 3 hari dalam medium
perkecambahan
Menurut Suradinata (2003), biji mulai berkecambah bila berada pada
kondisi lingkungan yang cocok. Adanya akuades (air) dalam medium
perkecambahan sangat membantu proses imbibisi yaitu penyerapan air akibat
potensial air yang rendah pada biji yang kering. Imbibisi air menyebabkan biji
mengembang dan memecahkan kulit pembungkusnya serta memicu perubahan
metabolik
pada
embrio
yang
menyebabkan
biji
tersebut
melanjutkan
pertumbuhan. Enzim-enzim akan mulai mencerna bahan-bahan yang disimpan
dalam endosperma atau kotiledon, dan nutrien-nutriennya dipindahkan ke bagian
embrio yang sedang tumbuh.
15
Pada saat diferensiasi embrio selama perkecambahan, sel-sel pembuluh
dalam kambium mulai berkembang. Metabolisme dalam kotiledon diaktifkan dan
dikontrol oleh rangsangan dari sumbu embrio dan pergerakan rangsangan tersebut
tampaknya bertepatan dengan terjadinya hubungan pembuluh antara sumbu
embrio dan kotiledon. Pada tanaman dikotil, radikula muncul pertama kali dan
menjadi sumbu utama dari sistem akar tunggang. Hipokotil memanjang pada
dasarnya dan kemudian melengkung (lebih besar). Hasil tegangan menyebabkan
kotiledon dan bijinya yang tertutup kulit biji terdorong ke atas tanah. Hipokotil
memanjang secara lurus, kulit biji mengelupas dan kotiledon terpisah satu sama
lain. Apeks epikotil mulai menghasilkan daun, buku dan ruas (Suradinata, 2003).
4.2. Optimasi Medium Pertumbuhan Pucuk
Pada penelitian ini diamati respon pertumbuhan pucuk aksiler sengon
secara in vitro dari nodus kotiledon terhadap berbagai variasi konsentrasi sitokinin
(kinetin dan BAP) yang diberikan secara terpisah maupun kombinasi. Respon
pertumbuhan terlihat pada semua variasi sitokinin dengan adanya pertambahan
jumlah nodus dan peningkatan panjang pucuk aksiler. Sitokinin menginisiasi
pertumbuhan pucuk secara in vitro dan sering ditambahkan ke dalam medium
kultur jaringan untuk menstimulasi pertumbuhan pucuk aksiler maupun adventif
(Urenbay et al., 2005).
4.2.1. Jumlah Nodus
Secara keseluruhan, pucuk aksiler yang diberi perlakuan maupun kontrol
(tanpa zat pengatur tumbuh) mampu menginduksi pertambahan jumlah nodus.
Rata-rata pertambahan jumlah nodus berkisar antara 1.22 hingga 2.85 nodus.
16
Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 menunjukkan rata-rata pertambahan jumlah nodus
pucuk aksiler sengon dalam 9 variasi medium.
Tabel 4.1. Rata-rata pertambahan nodus pucuk aksiler sengon dalam 9 variasi
Medium
Kinetin (µM)
BAP (µM)
0
2,3
4,6
0
2,28 ± 0,95ab
2,42 ± 0,78b
2,28 ± 1,38ab
2,2
1,28 ± 0,48a
2,85 ± 1,06b
2,57 ± 0,78b
4,4
2,00 ± 0,57ab
2,71 ± 0,48b
2,28 ± 0,95ab
Ket: Rata-rata nilai didapat dari tujuh kali pengulangan. Angka yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Pertambahan Nodus
3
2.5
2
1.5
1
0.5
4,4
2,2
BAP (uM)
0
0
0
2,3
Kinetin (uM)
4,6
Gambar 4.1. Jumlah nodus pucuk aksiler sengon dalam 9 variasi medium
Respon pertambahan jumlah nodus berbeda antara perlakuan kinetin tanpa
BAP dan BAP tanpa kinetin. Pemberian 2,3 µM dan 4.,6 µM kinetin tanpa BAP
(B0K2 dan B0K4) menginduksi rata-rata 2,28 hingga 2,42 nodus. Pada perlakuan
ini rata-rata pertambahan jumlah nodus tidak berbeda nyata dengan kontrol yang
menginduksi rata-rata 2,28 nodus.
Perlakuan 2,2 µM dan 4,4 µM BAP tanpa kinetin (B2K0 dan B4K0)
menginduksi rata-rata pertambahan jumlah nodus lebih sedikit dibandingkan
17
kontrol. Pada perlakuan ini pertambahan jumlah nodus rata-rata diinduksi sekitar
1,28 hingga 2 nodus. Namun, hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata
pertambahan jumlah nodus meningkat seiring peningkatan konsentrasi BAP yang
diberikan.
Kombinasi kinetin dan BAP memperlihatkan pertambahan nodus yang
cukup baik. Rata-rata pertambahan jumlah nodus terbaik terlihat pada kombinasi
2,3 µM kinetin dengan 2,2 µM BAP (B2K2) yaitu sekitar 2,85 nodus. Kombinasi
2,3 µM kinetin dan 4,4 µM BAP (B2K4) juga menunjukkan pertambahan jumlah
nodus yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B2K2 yaitu menghasilkan ratarata 2,71 nodus.
4.2.2. Panjang Pucuk
Panjang pucuk aksiler secara umum terinduksi dengan baik pada medium
perlakuan maupun kontrol. Rata-rata panjang pucuk aksiler yang dihasilkan
berkisar antara 22,40 – 36,00 mm. Tabel 4.2 dan Gambar 4.2 memperlihatkan
rata-rata panjang pucuk aksiler sengon dalam 9 variasi medium.
Tabel 4.2. Rata-rata panjang pucuk aksiler sengon (mm) dalam 9 variasi medium
Kinetin (µM)
BAP (µM)
0
2,3
4,6
0
29,67 ± 4,19b
29,74 ± 7,30b
27,24 ± 7,78ab
2,2
23,52 ± 7,78ab
36,00 ± 2,23c
22,40 ± 2,86a
4,4
23,17 ± 3,76a
29,37 ± 1,59b
25,97 ± 6,33ab
Ket: Rata-rata nilai didapat dari tujuh kali pengulangan. Angka yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
18
Panjang pucuk (mm)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
0
0
2,3
4,4
2,2
BAP (uM)
4,6
Kinetin (uM)
Gambar 4.2. Panjang pucuk aksiler sengon dalam 9 variasi medium
Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang pucuk pada perlakuan
kinetin tanpa BAP memberikan respon yang sama seperti pada pertambahan
jumlah nodus yaitu perlakuan tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan
dengan kontrol. Rata-rata panjang pucuk yang induksi pada perlakuan kinetin
tanpa BAP berkisar antara 27,24 mm hingga 29,74 mm. Kontrol menginduksi
rata-rata 29, 67 mm panjang pucuk.
Pertumbuhan panjang pucuk jika dibandingkan dengan kontrol terhambat
pada perlakuan BAP tanpa kinetin dan kombinasi BAP dan kinetin kecuali pada
kombinasi 2,3 µM kinetin dengan 2,2 µM BAP (B2K2). Rata-rata panjang pucuk
terinduksi sekitar 23,17 mm hingga 23,52 mm pada perlakuan 2,2 µM dan 4,4
µM BAP tanpa kinetin. Kombinasi BAP dan kinetin kecuali B2K2 menginduksi
rata-rata 22,40 mm hingga 29,37 mm sedangkan B2K2 menghasilkan rata-rata
36,00 mm panjang pucuk.
19
4.2.3. Pembahasan Hasil Penelitian
Jumlah nodus dan panjang pucuk yang dihasilkan merupakan parameter
penting. Pertambahan jumlah nodus dan pucuk yang semakin panjang
menunjukkan adanya pertumbuhan pada eksplan tersebut. Selain sebagai
parameter pertumbuhan, jumlah nodus per pucuk juga digunakan dalam metode
nodus tunggal (single node method) untuk menentukan laju multiplikasi (Kumar
et al., 1998).
Eksplan pada medium tanpa zat pengatur tumbuh (kontrol) mampu
menginduksi pertambahan nodus dan panjang pucuk. Eksplan yang berasal dari
biji yang kecambah ini diduga memiliki level zat pengatur tumbuh endogen yang
cukup untuk pertumbuhan eksplan. Menurut Chand dan Singh (2001) kebutuhan
zat pengatur tumbuh eksogen tergantung pada level zat pengatur tumbuh endogen
jaringan tanaman yang bervariasi tergantung organ, genotip tanaman dan fase
pertumbuhan tanaman. Secara umum biji yang sedang berkembang memiliki
konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen lebih tinggi dibandingkan bagian
tanaman lain (Dafies, 1990).
Perlakuan kinetin tanpa BAP memperlihatkan pertambahan jumlah nodus
dan panjang pucuk tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol. Namun, ratarata pertambahan jumlah nodus dan panjang pucuk pada perlakuan BAP tanpa
kinetin secara signifikan berbeda dengan kontrol. Secara umum, BAP lebih efektif
menginduksi multiplikasi pucuk dibandingkan sitokinin lain tergantung jenis
eksplan yang digunakan (Tiwari et al., 2001 dan Kadota dan Niimi, 2003). Selain
itu, untuk regenerasi dan multiplikasi klonal pohon legum seperti Albizia
20
chinensis (Osb.) Merr., penggunaan BAP lebih dibutuhkan daripada kinetin
(Sinha et al., 2000).
Rata-rata pertambahan jumlah nodus pada perlakuan BAP tanpa kinetin
lebih sedikit dibandingkan kontrol, akan tetapi pertambahan jumlah nodus
tersebut meningkat seiring peningkatan konsentrasi BAP dalam medium. Pucuk
aksiler sengon dalam penelitian ini diduga membutuhkan BAP yang lebih tinggi
untuk menginduksi pertambahan jumlah nodus. Tiwari et al. (2001) melaporkan
nodus dan internodus Bacopa monniera efektif menghasilkan tunas adventif pada
konsentrasi 4,4 µM, 6,6 µM dan 8,9 µM BAP. Pada Albizia procera, frekuensi
regenerasi meningkat secara signifikan seiring dengan peningkatan konsentrasi
BAP dan hasil maksimum didapatkan pada konsentrasi 10 µM (Kumar et al.,
1998). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Kadota dan Niimi (2003) pada dua
kultivar Pyrus pyrifolia N. Multiplikasi pucuk terbaik dihasilkan pada perlakuan
4,4 µM dan 11 µM BAP.
Pemanjangan pucuk aksiler terlihat terhambat pada perlakuan BAP tanpa
kinetin jika dibandingkan dengan kontrol. Panjang pucuk terhambat diduga karena
level sitokinin dalam eksplan tinggi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa level zat
pengatur tumbuh endogen yang dimiliki eksplan cukup untuk menginduksi
pertambahan jumlah nodus dan panjang pucuk. Penambahan sitokinin eksogen
diduga melebihi level sitokinin yang dibutuhkan oleh eksplan untuk
meningkatkan pertumbuhan panjang pucuk.
Williams dan Taji (1991) juga melaporkan bahwa sitokinin menghambat
pemanjangan pucuk Olearia microdisca (J.M. Black). Penggunaan sitokinin
dalam konsentrasi tinggi nyata sekali mereduksi panjang pucuk Decalepsis
21
arayalpathra (Sudha et al. 2005). Pertumbuhan dan pemanjangan pucuk Albizia
chinensis tidak efektif dalam media yang mengandung konsentrasi tinggi BAP
(Sinha et al., 2000).
Kombinasi 2,2 µM BAP dan 2,3 µM kinetin merupakan konsentrasi
sitokinin optimal untuk pertumbuhan pucuk aksiler sengon pada penelitian ini.
Hal ini diamati dari pertambahan jumlah nodus terbaik yang dihasilkan diiiringi
dengan panjang pucuk yang efektif dalam melakukan subkultur. Panjang
internodus untuk tanaman dengan karakteristik seperti tanaman sengon ini
sebaiknya berkisar antara 5 – 8 mm untuk memudahkan pemotongan pada saat
subkultur.
Pucuk aksiler yang dihasilkan kemudian disubkultur ke medium baru,
tetapi
hasil pengamatan menunjukkan tidak terlihat adanya pertumbuhan.
Terhambatnya pertumbuhan diduga karena kebutuhan zat pengatur tumbuh yang
dibutuhkan eksplan pada subkultur pertama berbeda dengan subkultur kedua. Hal
tersebut juga teramati pada Albizia chinensis. Pertumbuhan dan pemanjangan
pucuk pada subkultur berikutnya tidak efektif dalam media mengandung BAP
dengan konsentrasi tinggi setelah sitokinin diketahui menghambat pemanjangan
batang (Sinha et al., 2000). Oleh karena itu, percobaan menggunakan auksin
diperlukan seperti yang dilakukan oleh Sasmitamihardja et al. (2005) yang
mengatakan bahwa laju proliferasi pucuk Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
tertinggi diinduksi dalam medium mengandung 0,1 µM IAA dan 0,5 µM BAP
22
4.3. Pengujian Sensitivitas Tanaman terhadap Karbenisilin
Pengaruh karbenisilin terhadap sensitifitas pucuk aksiler sengon dievaluasi
setelah 3 minggu kultur diinduksi dalam medium mengandung karbenisilin.
Berdasarkan hasil pengujian karbenisilin pada sejumlah konsentrasi (10, 20, 30,
40 dan 50 mg/L) didapatkan bahwa pucuk aksiler sengon sensitif terhadap
karbenisilin jika ditumbuhkan pada kondisi in vitro. Sensitiftas tanaman berbedabeda pada tiap konsentrasi yang diberikan. Pteri (2005) menyatakan bahwa
sensitifitas tanaman terhadap antibiotik berbeda tergantung pada eksplan dan
spesies tanaman.
Menurut Xia et al. (2006), disamping membunuh Agrobacterium,
karbenisilin juga dapat merugikan sel tanaman dan menurunkan kemampuan
regenerasinya. Selain itu fenomena fitotoksik juga akan terlihat pada tanaman
(Pierik, 1998). Fenomena fitotoksik yang mengganggu pertumbuhan pucuk aksiler
sengon juga dapat diketahui dari pengamatan visual. Hasil yang diamati berupa
adanya perubahan warna kotiledon menjadi kuning pada eksplan yang ditanam
dalam medium mengandung antibiotik (Gambar 4.3). Yu et al. (2001) meneliti
bahwa pemberian kanamisin pada tanaman berpengaruh terhadap mitokondria dan
kloroplas dengan mengganggu sintesis protein sehingga menyebabkan klorosis.
Gambar 4.3. Kotiledon menguning dalam medium mengandung
karbenisilin
23
4.3.1. Jumlah Nodus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian karbenisilin pada medium
kultur dapat menurunkan kemampuan eksplan menginduksi pertambahan jumlah
pucuk (Tabel 4.3 dan Gambar 4.4). Jumlah pucuk pada kontrol berbeda secara
signifikan dengan perlakuan antibiotik pada semua konsentrasi. Jumlah pucuk
pada perlakuan terinduksi lebih sedikit dibandingkan kontrol
Tabel 4.3. Rata-rata pertambahan nodus aksiler sengon pada medium mengandung
karbenisilin
Konsentrasi
Karbenisilin (mg/L)
0
10
20
30
40
50
Jumlah nodus
± SD
2,85 ± 1,06b
1,11 ± 0,33a
1,00 ± 0,00a
1,00 ± 0,00a
1,00 ± 0,00a
1,00 ± 0,00a
Ket: Rata-rata nilai didapat dari sembilan kali pengulangan. Angka yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
3
Jumlah Nodus
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0
10
20
30
40
50
Konssentrasi Karbenisilin (mg/L)
Gambar 4.4. Pertambahan nodus pucuk aksiler sengon dalam medium
mengandung karbenisilin
Kontrol mampu menginduksi jumlah nodus rata-rata 2,85 nodus. Jumlah
nodus berkurang pada perlakuan 10 mg/L karbenisilin dengan rata-rata 1,1 nodus.
Peningkatan konsentrasi karbenisilin (20, 30, 40 dan 50 mg/L) semakin
menghambat pertambahan nodus dengan rata-rata 1 nodus. Efek inhibitor yang
24
dimiliki oleh karbenisilin semakin meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasinya.
4.3.2. Panjang Pucuk
Respon
peningkatan
panjang
pucuk
pada
medium
mengandung
karbenisilin bervariasi pada tiap konsentrasi karbenisilin yang diujikan (Tabel 4.4
dan Gambar 4.5). Secara umum terlihat adanya penurunan kemampuan eksplan
menginduksi panjang pucuk pada medium mengandung karbenisilin.
Tabel 4.4 Rata-rata panjang pucuk aksiler sengon pada medium mengandung
karbenisilin
Konsentrasi
Karbenisilin (mg/L)
0
10
20
30
40
50
Panjang pucuk (mm)
± SD
36,00 ± 2,23c
7,80 ± 3,86ab
7,20 ± 4,27ab
7,62 ± 3,68ab
11,50 ± 5,45b
6,14 ± 3,66a
Ket: Rata-rata nilai didapat dari sembilan kali pengulangan. Angka yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
40
Panjang Pucuk (mm)
35
30
25
20
15
10
5
0
0
10
20
30
40
50
Konsentrasi Karbenisilin (mg/L)
Gambar 4.5. Panjang pucuk aksiler sengon dalam medium mengandung
karbenisilin
25
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa panjang pucuk control berbeda
secara signifikan dengan perlakuan. Pemberian 10 mg/L karbenisilin telah dapat
menghambat induksi panjang pucuk rata-rata 7,80 mm, sedangkan kontrol mampu
menginduksi 36 mm panjang pucuk. Pemberian 20 mg/L karbenisilin semakin
menekan pertumbuhan panjang pucuk menjadi 7,20 mm. Pemberian karbenisilin
sebanyak 30 mg/L memperlihatkan adanya peningkatan induksi panjang pucuk
(7,62 mm) walaupun tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan 20 mg/L.
Induksi panjang pucuk meningkat siginifikan ketika ditambahkan 40 mg/L
karbenisilin ke dalam medium (11,50 mm). Pemberian karbenisilin yang lebih
tinggi (50 mg/L) ternyata memperlihatkan adanya penghambatan pertumbuhan
panjang pucuk kembali yaitu hanya mampu menginduksi rata-rata 6,14 mm
panjang pucuk.
4.3.3. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, secara umum karbenisilin menghambat
induksi pertambahan jumlah nodus dan panjang pucuk aksiler sengon pada
kondisi in vitro. Menurut Milhaljevic et al. (2001), selain dapat mengeliminasi
Agrobacterium dalam proses transformasi, karbenisilin juga dapat mempengaruhi
pertumbuhan kultur. Biasanya karbenisilin merupakan inhibitor morfogenesis
(Oliveira et al., 1996).
Induksi pertambahan nodus dan panjang pucuk aksiler pada
medium mengandung karbenisilin terhambat dibandingkan dengan pertambahan
nodus dan panjang pucuk pada medium tanpa karbenisilin. Hal ini diduga nodus
kotiledon dari kecambah sengon yang digunakan sebagai eksplan masih memiliki
sel meristematik dan sel embriogenik. Menurut Milhaljevic et al. (2001) target
26
yang paling sensitif terhadap antibiotik adalah sel meristematik dan sel
embriogenik.
Efek inhibitor yang dimiliki oleh karbenisilin semakin meningkat seiring
peningkatan konsentrasinya. Hal tersebut juga terlihat pada pembentukan embrio
somatik Carica papaya L. (Yu et al., 2001). Penelitian lain menyatakan bahwa
penghambatan pertumbuhan tanaman oleh karbenisilin relatif lemah dan biasanya
terjadi pada tahap regenerasi tunas adventif dan diferensiasi pucuk (Xia et al.,
2006).
Karbenisilin merupakan antibiotik golongan β-laktam kelompok penisilin.
Karbenisilin memiliki ciri struktur seperti yang dimiliki oleh auksin, dan ketika
terpecah, menunjukkan efek menyerupai auksin lemah asam fenilasetik, dan
kemudian meningkatkan potensial regenerasi eksplan kultur (Tang et al., 2004).
Oleh karena itu, peningkatan penginduksian panjang pucuk teramati pada
perlakuan 40 mg/L karbenisilin yang kemungkinan merupakan hasil dari
pelepasan senyawa seperti auksin tersebut.
Pemakaian karbenisilin sebagai agen bakterisidik dalam transformasi
genetika pucuk aksiler sengon sebaiknya menggunakan konsentrasi sebanyak 40
mg/L. pada konsentrasi ini pucuk aksiler sengon memberikan pertumbuhan
panjang pucuk yang optimal. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Wijayanti
(2006) bahwa pada konsentrasi tersebut Agrobacterium juga menunjukkan
aktivitas pertumbuhan terendah.
27
Download