Keadilan Transisional Yang Terabaikan? Tinjauan Ulang Masalah

advertisement
Keadilan Transisional Yang Terabaikan? Tinjauan Ulang Masalah Indonesia/Timor Leste TOSA Hiroyuki (Kobe University) Pendahuluan Pada umumnya Keadilan Transisional (Transitional Justice) dipahami sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang secara sistematis terjadi di masa lalu dalam proses demokratisasi yang diselesaikan melalui prosedur yudisial seperti lewat pengadilan di dalam negeri atau pengadilan internasional, maupun prosedur non-­‐yudisial lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menurut “The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-­‐conflict Societies”, berupa laporan Sekjen PBB yang diajukan kepada Dewan Keamanan PBB, keadilan transisi didefenisikan sebagai berikut; “Demi untuk memastikan pihak yang harus bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat, meluas dan sistematis di masa lalu, sebagai upaya mewujudkan keadilan dan mencapai perdamaian, maka segala proses dan mekanisme untuk mewujudkan masyarakat yang berdamai dengan masa lalunya”, dan “hal ini dapat dilakukan baik melalui mekanisme yudisial, maupun non-­‐yudisial, dengan keterlibatan dunia internasional, sesuai dengan tingkat kebutuhannya (atau tidak harus semuanya), dalam hal penuntutan pidana, penuntutan ganti rugi (reparasi), pengungkapan kebenaran, reformasi kelembagaan dan pemecatan dari jabatan pemerintahan yang didasarkan pada penyelidikan fakta, atau dengan mengkombinasikan langkah-­‐langkah tersebut di atas”1. Dengan demikian konsep keadilan transisi memiliki cakupan yang luas. Dan pada kenyataannya, setelah memasuki abad ke-­‐21, keadilan transisi semakin digelorakan dengan mengkombinasikan antara mekanisme yudisial dan non-­‐yudisial. Jika melihat kasus per kasus, ada upaya mencari bentuk kombinasi terbaik (best mix) antara prosedur penuntutan pidana melalui badan yudisial, yang lebih menitikberatkan pada keadilan retributif (Retributive Justice) dan ada pada KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang lebih menitikberatkan pada keadilan restoratif (Restorative Justice). Sambil mencari best mix, yang dimaksudkan dalam keadilan transisi adalah seperti yang disebutkan dalam laporan PBB beberapa waktu silam, menyangkut perwujudan keadilan dan perdamaian yang saling mengokohkan/menopang pada saat bersamaan2. Namun, kadangkala “keadilan” dikorbankan atas nama “perdamaian”, dengan dalih untuk mempertahankan ketertiban yang mengandung unsur ketidakadilan. Dalam tulisan ini penulis akan meninjau 1
“The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-conflict Societies,” Report of the Secretary General, 23
August 2004, UN Doc. S/2004/616, para.8.
2
ibid., para.21.
1
ulang kasus pengabaian keadilan transisi guna mempertahankan status quo atas nama memprioritaskan “perdamaian”, khususnya pada kasus Indonesia/Timor Leste, dan menguraikan berbagai makna yang terkandung di dalamnya. 1. Kecenderungan keadilan transisi secara makro Berhubungan dengan penelitian tentang keadilan transisi, sudah banyak dilaksanakan studi kasus, baik secara individu atau melalui studi banding, dan juga dilakukan analisis kuantitatif secara lintas negara (cross nasional)3, sehingga akhir-­‐akhir ini sedang tercipta suatu cabang ilmu dari bidang ilmu studi hubungan internasional dan ilmu politik komperatif. Pelembagaan studi keadilan transisi juga telah berkembang sedemikian rupa. Misalnya, lembaga studi yang terkait dengan keadilan transisi, telah didirikan di beberapa negara, seperti The International Center for Transitional Justice (HQ di New York) pada tahun 2001 dan jurnal tentang keadilan transisi berupa International Journal of Transitional Justice, yang terbit sejak tahun 2007. Salah satu latarbelakang dari gerakan tersebut dan tidak dapat diabaikan adalah adanya gelombang besar yang disebut “justice cascade (kaskade keadilan)”4, yaitu tuntutan atas tanggungjawab pelanggar HAM (terutama pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak militer dan kepolisian) yang berat yang terjadi di masa lalu dalam proses demokratisasi. Cascade, bagai mengalirnya air jeram, dimana selama ini meski para pimpinan politik termasuk kepala negara yang melakukan pembantaian atau kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak dihukum dan hal itu dianggap hal yang lumrah terjadi, tetapi belakangan ini tuntutan dalam kasus semacam ini, desakan agar pelakunya diadili di pengadilan semakin meningkat dan dalam kenyataannya, jumlah kepala negara yang dituntut ke pengadilan atas dugaan perbuatan kejahatan berat dalam tenggang waktu Januari 1990 hingga Mei 2008 mencapai 67 orang5. Gagasan “justice cascade” ini pertama kali dicetuskan oleh Sikkink dkk, dan mereka menunjukkan bahwa “justice cascade” yang berasal dari Eropa Selatan dan Amerika Latin telah menyebar ke seluruh dunia, fenomena ini tidak dapat tersangkalkan. Memang, bermula dari Yunani dan Portugis pasca demokratisasi, pengadilan yang terkait dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa para aktivis pada rezim militer di Argentina, dan penangkapan Pinochet di Inggris, atas permintaan dari Spanyol, hingga sampai tahap pengadilan terhadap Pinochet yang dilakukan di Chili, upaya-­‐upaya itu membuka lembaran 3
ibid., para.21.
Kathryn Sikkink, The Justice Cascade: How Human Rights Prosecutions Are Changing World Politics (New
York: W. W. Norton & Company, 2011); Ellen L. Lutz and Kathryn Sikkink, “The Justice Cascade: The
Evolution and Impact of Foreign Human Trials in Latin America,” Chicago Journal of International Law 2(1),
2001, pp. 1-34.
5
Kathryn Sikkink, The Justice Cascade: How Human Rights Prosecutions Are Changing World Politics (New
York: W. W. Norton & Company, 2011); Ellen L. Lutz and Kathryn Sikkink, “The Justice Cascade: The
Evolution and Impact of Foreign Human Trials in Latin America,” Chicago Journal of International Law 2(1),
2001, pp. 1-34.
4
2
baru, maka arus jeram (cascade) ini semakin deras dalam waktu yang cukup singkat. Dan ditambah pula, upaya pengadilan internasional antara lain pengadilan pidana internasional ad hoc untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR), yang akhirnya membawa hasil berupa terbentuknya pengadilan kriminal internasional yang permanen. Namun, “justice cascade” ini tidak tersebar secara merata dan sifat politik yang melekat pun juga berbeda-­‐beda, tergantug kasusnya (case by case). Sehubungan dengan itu, salah satu poin penting yang ditunjukkan oleh Sikkink dkk, adalah pengaruh dari karakteristik proses transisi demokratisasi terhadap keadilan transisi. Misalnya, terjadinya transisi terputus (“ruptured” transition) seperti di Yunani, Portugis dan Argentina, disebabkan oleh pengaruh elit politik rezim lama yang telah lenyap, sehingga terbuka peluang mengadili pelanggar HAM di masa lalu oleh badan yudisial. Akan tetapi, jika transisi paket (“pacted” transition) berupa hasil kompromi antara para elit rezim lama dengan pihak pro demokratisasi seperti di Spanyol dan Uruguay, sebab pengaruh elit rezim lama masih cukup besar, sehingga para pelaku pelanggaran HAM cenderung dibebaskan dari ancaman hukuman pidana lewat pemberian amnesti, sehingga kejahatan masa lalu tidak dipersoalkan lagi. Namun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Sikkink, jika ada upaya untuk mengadili para elit rezim lama yang terlibat dalam pelangaran HAM secara terorganisir di negara tetangganya, di negara-­‐negara yang melakukan transisi paket lewat komporomi tadi pun, kadangkala juga mengikuti upaya tersebut, dan kemudian berupaya mewujudkan keadilan transisi (keadilan transisi) secara sungguh-­‐sungguh. Dengan demikian, meskipun jalur yang dijalankan berbeda sesuai proses demokratisasinya, tetapi melalui proses pembelajaran satu sama lain “justice cascade” semakin menyebar secara pasti. Fonomena itu memang terjadi, khusus di Eropa Selatan dan Amerika Latin, tetapi jika melihat negara-­‐negara selain wilayah tersebut, terutama di wilayah Asia, walaupun gelombang “justice cascade” telah sampai disana, masih terdapat berbagai rintangan dan tantangan, sehingga secara nyata banyak kasus keadilan transisi yang dikebiri atau tidak berjalan sama sekali. Lagi pula, sebagaimana arus air pasti diiringi oleh arus balik, “justice cascade” juga terlihat semakin melemah di tengah suasana yang kadang lebih mengutamakan kepentingan keamanan dan logika geopolitik daripada hak asasi manusia, terutama dalam peristiwa 11 September tahun 2001 di AS dan terjadinya “perang dengan terorisme” pasca pristiwa itu. Sebagai salah satu contoh, khususnya dapat ditunjuk pada kasus Kambodia dan Timor Leste, dimana terjadinya genosida setelah pertengahan tahun 1970-­‐an6. Dalam tulisan ini penulis menfokuskan pada kasus Timor Leste dan menguraikan kenyataan keadilan transisi di sana. 6
Jumlah korban tewas akibat genosida sebenarnya berbeda-beda menurut berbagai laporan. Angka ini diperkirakan
antara 1.6 ~1.8 juta orang di bawah penguasan Khmer Merah di Kambodia, dan 100 ~ 180 ribu orang di Timor Leste.Ben
Kiernan, “The Demography of Genocide in Southeast Asia: The Death Tolls in Cambodia, 1975-79, and East Rimor,
1975-80,” in Genocide and Resistance in Southeast Asia: Documentation, Denial & Justice in Cambodia & East Timor.
New Brunswick: Transaction Books, 2008, pp.269-282; CAVR, Chega! The Report of the Commission for Reception,
Truth, and Reconciliation Timor-Leste.Executive Summary.2005, p.146.
3
2. Pelanggaran HAM yang tidak diadili: Politik yang melumpuhkan keadilan transisi (1) Struktur yang tak berubah dan pembiaran masalah pelanggaran HAM : dari logika perang dingin ke logika geopolitik Walaupun informasi tentang invasi dan penjajahan TNI terhadap Timor Leste sejak tahun 1975 dan yang diikuti dengan terjadinya pembantaian massal dalam proses tersebut, hanya sebagian kecil saja yang sudah disampaikan oleh para pengungsi yang ke Portugis atau ke Australia, tetapi dalam kenyataannya sebagian besar informasi itu tertutupi dan tidak dapat diketahui oleh pihak luar7 Salah satu alasan mengapa penjajahan Indonesia dan pelanggaran HAM berat di Timor Leste tersebut tidak dipersoalkan oleh Amerika Serikat, Austraria, Jepang dan lain-­‐lain tentu karena adanya logika perang dingin pada waktu itu. Sebab pada era itu, pada saat bersamaan dengan kemerdekaan Angola dan Mozanbik dari penjajahan Portugis, dimana di negara-­‐negara tersebut terbentuk pemerintahan sosialis atas dukungan dan bantuan dari Uni Soviet dan Kuba. Sedangkan di Afrika Selatan dan Amerika Serikat memberi bantuan militer kepada gerilyawan melawan pemerintah yang sah. Dengan demikian terjadinya perang dingin yang diwakili oleh kedua kutub di suatu negara. Negara-­‐negara Barat, terutama pemerintah AS dan Australia yang khawatir akan terjadinya hal serupa di Timor Leste yang merupakan jajahan Portugis, mengakui penjajahan Indonesia di bawah rezim Suharto yang menyatakan sikap anti komunisnya. Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu alasannya adalah menurut logika perang dingin. Kemudian, dalam proses perubahan zaman, berakhirnya masa perang dingin antara AS dengan Uni Soviet, keadaan sedikit berubah. Terutama pada bulan Oktober tahun 1989, saat Paus Yohanes Paulus II, Uskup Roma berkunjung ke Timor Leste, terjadi unjuk rasa yang menuntut kemerdekaan yang diikuti dengan terjadinya insiden Santa Cruz pada November 1991, menarik perhatian masyarakat internasional. Belanda, Denmark dan Kanada menghentikan pemberian bantuan ekonomi yang baru kepada Indonesia, dan pada Maret tahun berikutnya Belanda menghentikan pula bantuan yang sudah disepakati sebelumnya. Tetapi pemerintah Jepang, negara donator terbesar bagi pemerintahan Suharto tetap memberikan bantuan ekonominya. Lalu, ketika Ramos Horta dkk berkunjung ke Jepang pada tahun 1997, satu tahun kemudian setelah meraih Penghargaan Nobel Perdamaian, meski Perdana Menteri Jepang Hasimoto (pada waktu itu) sedang berkunjung ke Jakarta, ia menyampaikan kepada presiden Suharto bahwa pemerintah Jepang tidak bersedia untuk bertemu dengan Ramos Horta dan 7
Mengenai sejarah perjuangan Timor-Leste demi kemerdekaan, dapat melihat:Akihisa Matsuno, “Higashi Timor
Dokuritsushi (Sejarah Kemerdekaan Timor-Leste)”(in Japanese). Waseda University Press, 2002 danGeoffrey Robinson,
“If You Leave Us Here, We Will Die” How Genocide Was Stopped in East Timor.Princeton: Princeton University Press,
2010.
4
secara nyata para pejabat tinggi pemerintah Jepang termasuk Menteri Luar Negeri Jepang, Ikeda menolak bertemu dengan Horta8. Pendek kata, dapat diasumsikan bahwa atas pertimbangan kepentingan ekonomi dalam hal perdagangan dengan Indonesia, pemerintah Jepang memilih memelihara hubungan diplomasi yang baik dengan pemerintah Suharto, daripada memilih komitmen tentang pelanggaran HAM di Timor Leste (de facto Jepang bersikap pura-­‐pura tidak tahu-­‐menahu pelanggaran HAM oleh pemerintah Indonesia). Sebagaimana dengan melihat sikap negara-­‐negara Barat akhir-­‐akhir ini yang mengutamakan hubungan ekonomi dengan pemerintah RRC, dan pura-­‐pura tidak tahu-­‐menahu adanya pelanggaran HAM terhadap masyarakat Tibet oleh pemerintah RRC, logika geopolitik atau geo-­‐ekonomik dianggap lebih penting daripada etika pelindungan HAM, dan fenomena ini malah semakin sering terjadi. Yang ingin penulis tunjukkan di sini, adalah bahwa meski keadaan tersebut semakin berubah sebagai suatu kecenderungan yang bersifat makro, tetapi kenyataannya logika geo-­‐ekonomik lebih diperioritaskan dari pada isu HAM, dan hal ini tetap memberi dampak negatif pada proses transisi demokratisasi, bahkan transisi keadilan (keadilan transisi) yang terkait erat dengan itu. Hal itu berlaku juga pada Indonesia yang seharusnya telah mewujudkan “demokratisasi” dan Timor-­‐Leste yang telah merdeka. Upaya penciptaan perdamaian di Timor Leste dinilai relatif berhasil dibanding dengan kasus Bosnia dan Kosovo9. Namun, di sisi lain, kekerasan pasca referendum/jajak pendapat di bawah pengawasan PBB pada tahun 1999 dan pemberontakan para veteran Falintil yang dikenal dengan Krisis 200610, upaya tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar, sehingga tidak sedikit pula yang menganggap upaya-­‐upaya tersebut kurang memadai. Apalagi upaya untuk mewujudkan keadilan transisi dan yang terkait dengan itu, secara de facto dinilai kurang berhasil. Jika penulis ingin menyajikan kesimpulan tulisan ini terlebih dahulu dapat dikatakan seperti di bawah ini. Keadilan transisi di Indonesia dan Timor-­‐Leste tidak mengubah secara mendasar budaya politik impunitas yang melekat atau berakar pada wilayah ini, sebagai akibat dari pilihan yang terlalu mengutamakan perdamaian sebatas rhetoric (retorika) karena terlalu menyegani Indonesia, negara besar di wilayah ini. Hal ini dikarenakan bukan hanya (1) kesungkanan elit politik (terutama Presiden Xanana Gusmão) pemimpin di negara kecil yang baru merdeka ini, terhadap Indonesia, tetapi juga(2) proses demokratisasi yang sebenarnya di Indonesia pun mundur (terhalang) (pengaruh TNI masih kuat), dan (3) keadaan politik internasional terutama sikap negara-­‐negara Barat dan 8
“Presiden Suharto dan PM Hasimoto Bertemu Hari Ini” (Asahi Shinbun-Pagi, 10.1.1979) (in Japanese)
Oisín Tansey, Regime-Building: Democratization and International Administration. Oxford: Oxford University Press,
2009, pp.210-211.
10
Krisis 2006 dapat melihat misalnya;。Report of the United Nations Independent Special Commission of Inquiry for
Timor-Lest. Geneva, 2 October 2006.
9
5
Jepang yang secara substansial mengakui keadilan transisi terlumpuhkan. Terutama berhubungan dengan butir (3) di atas, suasana politik internasional itu tidak jauh berbeda dengan pada era perang dingin, dimana negara-­‐negara Barat dan Jepang tidak mempersoalkan pelanggaran HAM di Timor Leste. (2) “Parodi Keadilan” di Indonesia Pengadilan pidana internasional ad hoc untuk Rwanda (ICTR) dan untuk bekas Yugoslavia (ICTY) masing-­‐masing dibentuk pada tahun 1990-­‐an berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Dan sebenarnya pernah dan sedang ada tuntutan untuk membentuk pengadilan internasional serupa terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah referendum/jajak pendapat di Timor Leste pada tahun 1999. Memang, pada awal tahun 2001 Komisi Penyelidik PBB juga telah mengeluarkan rekomendasi agar membentuk pengadilan internasional ad hoc berkaitan dengan pelanggaran HAM di Timor Leste11. Akan tetapi, untuk menyelenggarakan pengadilan internasional dibutuhkan biaya dan tenaga yang amat besar serta adanya protes dari pemerintah Indonesia, sehingga terpaksa hanya membentuk hybrid court yang tidak tertata dan tidak berkekuatan mengikat. Hybrid courtdi Timor Leste terdiri dari dua instansi, yaitu SCU (Serious Crimes Unit/ Unit Kejahatan Berat) yang dibentuk di lingkungan Kejaksaan Agung di UNTAET dan SPSC (Special Panel for Serious Crimes/Panel Khusus untuk Kejahatan Serius) di bawah PBB di Dili. Tetapi sejalan dengan itu, pengadilan HAM ad hoc juga dibentuk oleh pihak Indonesia. Selain itu, sebagai mekanisme yang melingkupi keadilan transisi dalam arti luas, tidak hanya sebatas keadilan yudisial, tetapi terbentuk pula Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (Commission for Reception, Truth, and Reconciliation [Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação], selanjutnya, CAVR) dibentuk oleh UNTAET sebagai badan independen dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang dibentuk atas kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Timor Leste. Kegiatan kedua instansi itu juga dijalankan seiring dengan prosedur penuntutan pidana yang dijalankan oleh SCU. Karena pelanggaran HAM di Timor-­‐Leste dilakukan oleh negara Indonesia, sehingga jika selama pihak yang bertanggungjawab atas pelanggaran itu tidak diadili, secara substansial keadilan transisi akan kehilangan makna. Meski CAVR maupun KKP telah mengindikasikan siapa penanggungjawabnya, tetapi pihak pemerintah Indonesia tidak mau menyerahkan pelakunya, dua instansi ini tidak dapat mengadili pelakunya, terutama SCU mengalami kehilangan efektivitasnya sama sekali. Sebaliknya, pengadilan HAM ad hoc di Jakarta sejauhmana mampu mengungkapkan dan memvonis para pelaku pelanggaran HAM tahun 1999, hal itu merupakan ujian yang penting. Namun, seperti beberapa laporan telah menunjukkan bahwa tidak hanya “perjanjian yang disebut keadilan transisi saja tidak ditaati”12, melainkan sejak awal “kegagalannya telah 11
“Report of the International Commission of Inquiry on East Timor to the Secretary-General,” UN General Assembly
54th Session, Agenda Item 96, UN Doc.A/54/726, S/2000/59, 31 January 2001, para. 153.
12
Open Society Justice Initiative and Coalition for International Justice, Unfulfilled Promises: Achieving Justice for
6
terencana” 13 . Maksudnya, pengadilan HAM ad hoc berperan untuk mengakhiri keadilan transisi dengan mengingkari harapan keadilan para korban dan keluarganya. Terhadap serangkaian pelanggaran HAM secara massal (penghancuran, pembantaian, pemindahan paksa dan sebagainya) pada tahun 1999, pihak komisi HAM PBB dan lain-­‐lain berupaya untuk membentuk komisi penyelidik international dan pengadilan internasional ad hoc. Sedangkan, pemerintah Indonesia secara de facto, menolak intervensi yudisial dari masyarakat internasional lewat “janji” akan membentuk KPP-­‐HAM (Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia) di bawah Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), dan berdasarkan UU tentang HAM (UU No.39/1999), akan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat di pengadilan dalam negeri. Untuk mengadili pelaku pelaggaran HAM berat seperti pembunuhan massal dan penghancuran secara sistematis di Timor Leste tahun 1999, kenapa tidak dapat membentuk pengadilan internasional ad hoc seperti untuk Rwanda dan bekas Yugosravia? Salah satu alasannya, adalah karena keterbatasan dana serta tenaga, dan ditambah pula dengan janji Indonesia kepada PBB, akan mengambil tindakan yudisial yang memadai sebagi pengganti penolakan intervensi dari masyarakat internasional14. Maka, selanjutnya sikap pengadilan HAM ad hoc di Indonesia disoroti, sejauhmana para hakim berani menghukum terdakwa yang terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut. Memang, pemerintahan Gus Dur, setelah pemerintahan Habibie, telah mencoba menangani masalah itu secara aktif. Tetapi, setelah jatuhnya Gus Dur dari jabatan presiden dan diganti dengan pemerintahan Megawati yang berbasis dukungan TNI, pengadilan ad hoc yang tidak dapat mempertahankan independensi secara yudisial, de facto mengalami kegagalan karena adanya tekanan besar dari pihak TNI. Jenderal
TNI
Wiranto
dan Mayjen Zacky Makarim yang disebut sebagai penanggungjawab tertinggi atas pelanggaran HAM pada tahun 1999 menurut SCU maupun laporan KPP-­‐HAM15 tidak dituntut di muka pengadilan. Lagi pula hanya 6 orang terdakwa divonis bersalah di antara 18 orang yang dituntut di tingkat Pengadilan Negeri, kemudian semua terdakwa dari pihak Indonesia termasuk aparat TNI dibebaskan di Pengadilan Tingkat banding16. Hanya satu-­‐satunya yang divonis penjara selama 10 tahun adalah Eurico Guterres, komandan Milisi Aitarak di Dili, tetapi tidak juga diekuseksi. Kemudian atas bukti yang baru, putusan itu dibatalkan pula dan divonis tidak bersalah17. Crimes Against Humanity in East Timor. November 2004.
13
David Cohen, Intended to Fail: The Trials Before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta. New York: International
Center for Transitional Justice, 2003.
14
Jeffrey Kingston, “Balancing Justice and Reconciliation in East Timor,” Critical Asian Studies, 38 (3), 2006, p.273.
15
Laporan KPP-HAM dapat dibaca keseluruhannnya dengan pustaka berikut:KPP-HAM “Full Report of the
Investigative Commission into Human Rights Violations in East Timor ” in Masters of Terror: Indonesia's Military and
Violence in East Timor. Edited by Richard Tanter, Desmond Ball, and Gerry van Klink. Lanham: Rowman & Littlefield
Publishers, 2006, pp. 21-66.
16
Akihisa Matsuno, “Transistional Justice in a Succession of Defeats: A Trajectory of Quest for Accountability in
Indonesia and East Timor,1998~2010”in Restoring Human Rights and Transitional Jusctice, Peace Studies No.38—edited
PSAJ: Waseda University Press, 2012, pp.80~82 (in Japanese)
17
“Court Frees Former ETimor Militia Leader Eurico Guetterres,” Jakarta Post, April 5, 2008.
7
Terhadap Mayjen Adam R. Damiri yang bertugas sebagai Pangdam Udayana pada waktu itu divonis hanya 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri dengan alasan terlibat pada kejahatan kemanusiaan yang memberi perintah pembunuhan, dan putusan itu sempat menarik perhatian publik. Namun, ia juga akhirnya divonis tidak bersalah oleh pengadilan banding dengan alasan barang bukti tidak cukup. Perubahan putusan pengadilan terhadap Adam Damiri itu malah membuat kita terkesan adanya arus balik (backlash) yang deras secara menyeluruh melawan upaya penegakan keadilan18. Terhadap serangkaian putusan pengadilan ad hoc yang bersifat backlash itu, yang meringankan atau membebaskan terdakwa dari pihak Indonesia tersebut, Komisi Pakar PBB menyampaikan laporan19 yang mengkritik kinerja pengadilan ad hoc tersebut kepada Sekjen PBB. Menurutnya, kurangnya komitmen dalam prosedur tindakan pidana yang efektif yang dapat dilihat dari adanya kekeliruan yang menonjol dalam proses investigasi, perlindungan saksi serta korban dan penyediaan alat bukti, sehingga prosedur sidang di pengadilan ad hoc sangat lemah. Terutama, menyangkut masalah yang cukup serius, meskipun laporan KPP-­‐HAM dan lain-­‐lain telah membuktikan keterlibatan TNI dalam pelanggaran HAM secara terorganisir, tetapi langkah-­‐langkah penyidikan sengaja tidak dilaksanakan secara tegas20. Pihak kejaksaan dalam pengadilan ad hoc tidak hanya membatasi ruang lingkup obyek penyidikan sebagai tindak pidana seperti tabel 1, tetapi tanggungjawab masing-­‐masing tersangka juga jauh lebih diringankan jika dibanding dengan SCU maupun KPP-­‐HAM seperti tabel 2. Semakin naik banding hingga kasasi, vonis terhadap terdakwa justru semakin ringan. Akibatnya dapat dikatakan bahwa pengadilan HAM ad hoc memberi kontribusi dalam terjadinya “budaya politik impunitas” terhadap pelanggaran HAM oleh negara. Tabel 1. RuangLingkup Obyek InvestigasiKejahatan Terhadap Kemanusiaan Kategori kejahatan Kejaksaan pengadilan ad hoc Kasus kejahatan Empat (4) kasus: ①kasus penyerangan Gereja
Liquisa, ②penyerangan kompleks Gereja Suai, ③
penyerangan rumah Manuel Carrascalao,④penyerangan rumah Uskup Belo) 18
Laporan KPP-­‐HAM Pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual/pemerkosaan, pembumihangusan, pemindahan paksa/pengusiran, penghilangan barang bukti. Tidak hanya 4 kasus di kiri tabel, tetapi terdapat 16 kasus. Cohen,Intended to Fail----, p. 3.
UN, Security Council, “AnnexⅡ Report to the Secretary-General of the Commission of Experts to Review of the
Prosecution of Serious Violations of Human Rights in Timor-Leste (then East Timor) in 1999 (以下、COE Report),” in
Letter dated 24 June 2005 from the Secretary-General addressed to the President of the Security Council. UN Doc.
S/2005/458, 15 July 2005, para.370-375.
20
Ibid.,
19
8
Wilayah yang 3 lokasi (Suai, Dili dan Liquisa) diselidiki Jumlah tersangka 16 orang Seluruh distrik (13 distrik) Timor Leste Lebih dari 100 orang termasuk para pemberi komando kepada anggota dan pelaku di lapangan secara langsung di pihak Indonesia. Tenggang waktu April s/d September 1999 Januari s/d September 1999 (Sumber: “AnnexⅡ Report to the Secretary-­‐General of the Commission of Experts to Review of the Prosecution of Serious Violations of Human Rights in Timor-­‐Leste (then East Timor) in 1999,” in Letter dated 24 June 2005 from the Secretary-­‐General addressed to the President of the Security Council ,UN Doc. S/2005/458, p.551.) Tabel 2:Tanggapan institusi yudisial terhadap pelaku tindak pidana Kejaksaan SCU Laporan KPP-­‐HAM Terduga Pengadilan ad hoc (kejahatan terhadap kemanusiaan) Jenderal TNI Penghentian Bertanggungjawab Bertanggungjawab Wiranto;Panglima penuntutan pidana atas komando. TNI dan Menteri Pertahanan Nasional Mayjen TNI Adam Bertanggungjawab Bertanggungjawab Bertanggungjawab pidana dan komando. Damiri; Pangdam IX atas komando. Udayana Mayjen Zacky Penghentian Bertanggungjawab Bertanggungjawab Makarim penuntutan pidana pidana dan atas komando. Mayjen Kiki Penghentian Bertanggungjawab Tidak ada nama Syahnakri penuntutan pidana pidana dan atas dalam dafter komando. Brigjen FX. Tono Bertanggungjawab Bertanggungjawab Bertanggungjawab Suratman;Komandan atas komando. pidana dan atas Korem 164 Wira komando. Dharma Dili Kolonel M. Nur Bertanggungjawab Bertanggungjawab Bertanggungjawab Muis;Komandan atas komando. atas komando. Korem 164 Wira Dharma Dili (Suksesi Suratman) Letkol Yayat Bertanggungjawab Bertanggungjawab Bertanggungjawab Sudrajat;Perwira pidana dan atas atas komando. Kopassus/SGI BKO komando. Korem Dili Abilio Bertanggungjawab Bertanggungjawab Bertanggungjawab Soares;Gubernur atas komandon. pidana KDH Tingkat I Timor Timur (sumber: “AnnexⅡ Report to the Secretary-­‐General of the Commission of Experts to Review of the Prosecution of Serious Violations of Human Rights in Timor-­‐Leste (then East Timor) in 1999,” in Letter dated 24 June 2005 from the Secretary-­‐General addressed to the President of the Security Council ,UN Doc. S/2005/458, p.49. Pangkat serta jabatannya menurut laporan KPP=HAM) 9
Lagi pula, yang perlu digarisbawahi adalah orang-­‐orang yang disebut namanya sebagai pelaku utama kejatahan terhadap kemanusiaan oleh KPP-­‐HAM dan SCU, hampir semuanya tidak dicopot dari jabatan pemerintahan sama sekali, malah ada juga yang berhasil naik panggung politik di tingkat pusat, seperti Wiranto mantan menteri pertahanan nasional dan Prabowo mantan panglima kopasus. Konkritnya, kedua orang itu tidak hanya mencalonkan diri sebagai calon presiden dari Partai Golkar pada 2004, tetapi juga Prabowo mendirikan Partai Gerindra sebagai ketua partai pada 2008, kemudian mengikuti pemilihan presiden tahun 2009 sebagai calon wakil presiden yang berpasangan dengan Megawati, calon presiden dan mendapatkan sekitar 27% dari total suara21. Sementara, meski tidak disebut namanya sebagai tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan dalam laporan KPP-­‐HAM, Susilo Bambang Yudoyono juga pernah mengikuti operasi militer dalam invasi dan penjajahan Timor-­‐Leste dan menurut sebagian akademisi seharusnya ia bertanggungjawab atas komando 22 pelanggaran HAM berat di Timor-­‐Leste. Namun, SBY mempromosikan diri sebagai “orang yang bersih” dan mencalonkan diri untuk jabatan presiden pada pemilihan presiden tahun 2004 serta 2009, dan menang dengan memperoleh suara sebesar sekitar 61%. Kendati terlihat kecenderungan “demilitarisasi” di jabatan pemerintahan, tetapi para veteran yang berperan besar pada zaman Orde Baru masih tetap mempertahankan pengaruh besarnya pasca “demokratisasi”. Artinya, proses demokratisasi di Indonesia terjadi pada suasana pengaruh kaum elit rezim lama yang masih relatif kuat di antara pola transisi paket (pacted transition), dimana terjadi kompromi antara kaum elit rezim lama dengan pihak pro-­‐demokratitasi. Akibatnya, keadilan transisi cenderung terkebiri kecuali pada periode pemerintahan presiden Gus Dur yang relatif menghindari kaum elit rezim lama. Orang yang dituduh sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dibebaskan dari segala tuduhan, bahkan berhasil memainkan peran di panggung politik pusat. Proses ini mengingatkan kita pada mantan Perdana Menteri Jepang, Shinsuke Kishi yang ditahan sebagai tersangka kejahatan dalam perang dunia II melalui pengadilan Tokyo, tapi di kemudian hari terjadi arus balik pada era perang dingin, penuntutannya dihentikan serta sanksi berupa penghentian dari jabatan pemerintah juga dihapuskan, dan akhirnya menjadi perdana menteri. Analogi ini menunjukkan bahwa dampak dari perubahan kebijakan pemerintah AS terhadap hak asasi manusia dan kemanusiaan sebagi suatu backlash dalam keadilan transisi, tidak dapat diabaikan. Pemerintah AS menghentikan bantuan militer kepada Indonesia dengan alasan pelanggaran HAM secara sitematis di Timor Leste tahun 1999. Sebenarnya, ketika terjadi insiden Santa Cruz tahun 1991, pemerintah AS telah menghentikan pemberian bantuan militer kepada Indonesia tahun sebelumnya. Tetapi semenjak tahun 1995, dijalankan kembali sebatas program International Military Education and Training (selanjutnya IMET). Namun, sehubungan terjadinya serangkaian kekerasan di 21
Honna, Jun “Daitoryosen-Yudoyono no Saisen to Kenyokuseiji to Doin project, “Indonesian no Senkyo—Yudoyono
saisen no haikeito Dainiki seiken no tembo”---edited by Honna Jun& Kawamura Koichi, IDE, 2010, P.53 (Japanese)
22
Gerry van Klinken and David Bourchier, “Crimes against Humanity in East Timor in 1999: The Key Suspects,” in
Masters of Terror----.edited by Richard Tanter, Gerry van Klinken and Desmond Ball, pp.153-54.
10
Timor Leste tahun 1999, sehingga IMET dihentikan lagi, dan mencakup seluruh bantuan.23. Namun demikian, semenjak serangan 11 September 2001, dalam konteks “Perang melawan Terorisme” yang digelorakan oleh Presiden AS Bush, Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Filipina diposisikan sebagai garis terdepan sekunder dalam perang terhadap ekstrimis Islam, dan sesuai dengan penilaian semakin pentingnya posisi strategis tersebut, pada awal tahun 2002 pemerintah AS membuka kembali keran saluran bantuan militer terhadap Indonesia24. Khususnya terhadap peristiwa teror pemboman di Kuta, Bali pada tgl.12 Januari 2002 dan pemboman Hotel JW Mariot di Jakarta pada tgl. 5 Agustus 2003 25, Indonesia semakin meningkatkan hubungan kerjasama di bidang “Perang melawan Terorisme” yang diprakarsai oleh AS. Akibatnya, bukan hanya sebatas keadilan transisi yang berkaitan dengan Timor-­‐Leste yang terkebiri, juga di antara tersangka yang dibebaskan dari tuduhan dalam proses keadilan transisi, seperti Guteres, Damiri atau Timbul Silaen (Kapolda Timtim pada saat terjadinya kekerasaan tahun 1991), di kemudian hari ternyata ada juga yang diangkat sebagai komandan operasi militer terhadap gerakan separatis di Papua (Irian Jaya)26 dan Aceh, dan mereka mengulangi tindakan pelanggaran HAM seperti yang dilakukannya di Timor Leste27. Bahkan Guteres yang menggunakan para milisi Aitarak di Timor Leste dalam pembantaian, menerapkan pula metode itu di Papua dengan membentuk milisi yang bernama Front Pembela Merah Putih dalam rangka operasi militer di sana28. Perbuatan itu merupakan sebuah tantangan terhadap proses keadilan transisi yang berkeinginan mengadili pelaku pelanggaran HAM secara sistematis termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-­‐Leste, dan juga ingin mempertahankan logika negara pertahanan keamanan selama ini29, dimana demi kepentingan pertahanan dan keamanan nasional serta keutuhan teritorial, maka mengorbankan hak asasi manusia dan keamanan manusia yang dinilai sebagai akibat logis yang tidak dapat terhindarkan. Menurut pandangan TNI, kekerasan yang terjadi di Timor-­‐Timur merupakan “perang saudara” antara yang pro-­‐ dan yang kontra-­‐ integrasi di tengah masyarakat Timor-­‐Timur sendiri dan kemerdekaan Timor-­‐Leste dari Indonesia juga merupakan hasil dari tipu muslihat 23
Anthony L. Smith, “A Glass Half Full: Indonesia-U.S. Relations in the Age of Terror,” Contemporary
Southeast Asia 25(4), 2003, P.453.
24
ibid., p.459.
25
Meski tidak ada pernyataan, tetapi dianggap kedua insiden itu dilakukan oleh Jamaah Islamiyah
26
Pada 1999 Presiden Gus Dur menyetujui perubahan nama Propinsi Pupua dari Irian Jaya dan pengibaran bendera
Morning Star yang merupakan lambang gerakan Papua Merkeda. Walaupun kebijakan Gus Dur ini dikecam di sidang
DPR pada 2000, tetapi 2003 Propinsi Irian Jaya diubah menjadi Propinsi Pupua secara resmi. Tetapi dibawah
pemerintahan presiden Megawati pihak konservatif meraih kekuasaan kembali, mengebiri makna UU No.21/tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Propinsi Papua dan untuk melumpuhkan gerakan Papua Merdeka memekarkan wilayahnya dan
mendirikan Propinsi Papua Barat. Richard Chauvel, “Australia’s Strategic Environment: The Problem of Papua,” Agenda
11(1), 2004, pp.44-48.
27
ibid., p. 39, 52; Open Society Justice Initiative and Coalition for International Justice, op.cit.,p.23; Joseph Nevins, A
Not-So-Distant Horror: Mass Violence in East Timor. Ithaca: Cornell University Press, 2005, p.177.
28
Neles Tebay, West Papua: The Struggle for Peace with Justice (London: Catholic Institute for International Relations,
2005), p.18.
29
Berhubung dengan logika tentang pertahanan dan keamanan nasional, tesis karya Iris Marion Young amat sugestif.
Lihat Iris Marion Young, “The Logic of Masculinist Protection: Reflections on the Current Security State,” Sings:
Journal of Women in Culture and Society, 29(2), 2003, pp.1-25.
11
masyarakat internasional termasuk Australia didalamnya 30 . Maksudnya, argumen yang menyebut adanya keterlibatanTNI pada pelanggaran HAM dalam kekerasan tahun 1999 di Timor Timur adalah salah, dan dalam hal itu TNI sama sekali tidak perlu memikul pertanggungjawaban. Itulah pernyataan resmi TNI. Sebagai akibat “politik penghindaran” itu, budaya politik yang menimbulkan pelanggaran HAM secara berulang tidak dapat diperbaiki. Dengan demikikan penulis menyimpulkan faktor-­‐faktor terkebirinya proses keadilan transisi sebagai berikut. Pertama, kekuasan politik para kaum elit rezim lama masih cukup kuat. Kedua, adanya peranan hegemoni AS yang menopang struktur kekuasaan tersebut. Dan ketiga, PBB yang seharusnya menjalankan keadilan transisi maupun pihak elit politik di Timor Leste yang sebenarnya merupakan korban sendiri juga tidak terlepas dari permasalahan. (3) SCU : Keterbatasan Hybrid Justice yang tak tertata Melihat kondisi Timor Leste tahun 1999, Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyelenggarakan special session, dan meminta Sekjan PBB untuk membentuk Komisi Penyelidik Internasional31. Pada Januari 2000, Komisi Penyelidik PBB yang dibentuk sesuai permintaan tersebut, mengusulkan agar membentuk pengadilan pidana internasional yang mengadili pelaku pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil penyelidikan 32. Akan tetapi kantor pusat PBB tidak mengabulkan usulan itu karena permasalahan biaya dan kepedulian (atau pengharapan) terhadap Indonesia 33 . Maka, prosedur penuntutan pidana terhadap pelanggaran itu dijalankan melalui dua jalur masing-­‐masing pengadilan HAM ad hoc di Indonesia dan hybrid court di Timor Leste secara terpisah. Seperti disebut di atas, hybrid court di Timor Leste terdiri dari SCU (Serious Crimes Unit) yang berfungsi sebagai kejaksaan dan SPSC (Special Panel for Serious Crimes) yang berfungsi sebagai pengadilan, dan keduanya disebut proses hukum terhadap kejahatan berat (Serious Crimes process). Penilaian pihak luar terhadap proses kejahatan berat itu rata-­‐rata kurang memuaskan34. Misalnya, SPSC terdiri dari dua orang hakim dari luar negeri dan satu orang hakim di negara setempat, tetapi tingkat pengetahuan, kompetensi serta pengalaman mereka di bidang hukum kurang memadai. Selain itu infrastruktur informasi hukum kurang lengkap, perlindungan saksi dan korban kurang perhatian serta masalah komunikasi disebabkan tidak adanya penerjemah dan lain-­‐lain. Masalah-­‐masalah itu telah disebut sejak awal institusi itu berjalan, sama halnya 30
Pandangan pihak Indonesia, terutama para elit TNI yang menganggap tipu muslihat masyarakat internasional dalam hal
masalah Timor Leste ditunjuk dalam tesis karya Akihisa Matsuno. Lihat Akihisa Matsuno, iblid., pp.85~86.
31
Commission on Human Rights Resolution 1999/S-4/1, 27 September 1999, para.6.
32
“Report of the International Commission of Inquiry on East Timor to the Secretary-Genral,” UN Doc. A/54/727,
S/2009/59, paras. 152-153.
33
Megan Hirst and Howard Varney, Justice Abandoned: An Assessment of the Seriosu Crimes Process in East Timor.
New York: International Center for Transnational Justice, June 2005, p.4.
34
Sejumlah buku yang mengulas dan menilai putusan SPSC dari 2001 hingga 2005 telah diterbitkan , dan di situ terlihat
penuh komentar dan kritik yang sangat pedes, misalnya tidak memenuhi kriteria international dsb.Adnré Klip and Göran
Sluiter eds. Annotated Leading Cases of International Tribunals. Volume ⅩⅢ Timor Leste The Special Panels for
Serious Cimes 2001-2003. Antwerp: Intersentia, 2008;-----.Annotated Leading Cases of International Tribunals. Volume
ⅩⅥ Timor Leste The Special Panels for Serious Cimes 2003-2005. Antwerp: Intersentia, 2009, passim.
12
seperti SCU35. SCU sendiri menjalankan prosedur penuntutan pidana dari tahun 2000 hingga 2005 sejalan dengan pengadilan HAM ad hoc di Indonesia, tetapi sejak awal lembaga ini juga menghadapi banyak permasalahan. Sebetulnya mandat SCU mencakup penyidikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum tahun 1999, yakni selama seperempat abad di bawah invasi dan penguasaan militer Indonesia semenjak tahun 1975, tetapi sumber daya yang dapat digunakan sangat terbatas, maka terpaksa membatasi kasus pelanggaran hanya dalam kurun dari Januari hingga September 1999 saja. Artinya, pelanggaran HAM berat selama kurun waktu 25 tahun tidak diproses sebagai perkara tindak pidana. Pengungkapan fakta pelanggaran tersebut dilaksanakan oleh CAVR. Penulis akan menyinggungnya di bagian belakang tulisan ini. Meski periode yang difokuskan sudah dibatasi, tetapi SCU juga kurang berhasil 36 . Ini selain dikarenakan masalah karakterlistik hybrid justice, (1) kekurangan pengalaman para pihak yudisial di Timor Leste, (2) kekurangan dana, (3) program peningkatan kemampuan sumber daya manusia setempat yang kurang mamadai, (4) kurangnya dukungan politik di dalam negeri dan (5)kekurangan dukungan termasuk lemahnya political will dari PBB. Contohnya, akibat kekerasan tahun 1999 diperkirakan lebih dari 1300 orang kehilangan nyawa, namun karena proses penyidikan hanya dapat menangani 40% dari total korban, sehingga tuntutan dalam upaya penyidikan yang datang dari pihak keluarga korban semakin meningkat. Namun, SCU menghadapi dilema, jika menangani kasus secara sendiri-­‐sendiri, untuk menyidik tersangka yang merupakan kaki tangan di lapangan akan memakan waktu lama serta membutuhkan tenaga dalam jumlah besar, dan sebaliknya penyidikan terhadap tersangka utama tidak dapat dilaksanakan dengan memadai37. Menurut laporan Komisi Pakar (Commission of Expert) PBB juga menyebutkan masalah-­‐masalah yang serius dalam SCU seperti kurangnya political will, dan lemahnya strategi yang efektif untuk memproses perkara. Pendek kata, dikarenakan SCU yang tidak memiliki strategi yang efektif dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang terbatas, maka tidak berhasil dengan mamadai untuk mengungkapkan gambaran yang menyeluruh tentang pelanggaran berat hak asasi manusia38. Upaya hybrid court di Timor-­‐Leste yang dibantu oleh PBB kurang berhasil akibat kekurangan political will, kepemimpinan, kemampuan managemen dan akuntabilitasnya. Hanya saja apabila upaya tersebut dapat terhindar dari kegagalan total, menurut seorang penilai, disebabkan oleh faktor kebetulan adanya kesungguhan orang secara pribadi yang berupaya keras untuk mengungkapkannya39. Tetapi kita harus ingat bahwa hambatan terbesar dalam prosedur penuntutan pidana ini adalah justru sikap pemerintah RI yang tidak kooperatif dan hambatan dari pimpinan politik 35
Caitlin Reiget and Marieke Wierda, The Serious Crimes Process in Timor-Leste: In Retrospect, New York:
International Center for Transnational Justice, 2006, pp.14-16.
36
Suzanne Kazenstein, “Hybrid Tribunals: Searching for Justice in East Timor,” Harvard Human Rights Journal 16, 2003,
p.245-278.
37
Reiget and Wierda, op.cit., p.20.
38
39
COE Report, para.51, 63-64.
David Cohen, Indifference and Accountability: The United Nations and the Politics of International Justice in East
Timor. Honolulu: East-West Center, June 2006, passim.
13
pemerintah Timor-­‐Leste. Hingga tahun 2005, SCU menutut sejumlah 391 orang sebagai tersangka kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Di antaranya, termasuk 37 orang perwira TNI, 4 orang perwira Polri, 60 orang warga Timor Leste yang terkait militer, dan 5 orang pejabat tinggi sipil seperti mantan gubernur atau bupati, tetapi 339 orang diantaranya telah berada di wilayah Indonesia, yaitu di luar wilayah yuridiksi Timor-­‐Leste40. Oleh karenanya, SCU meminta surat penangakapan Wiranto, mantan Menteri Pertahanan sebagai penanggungjawab tertinggi atas kekerasan dan pelanggaran tahun 1999, dan bulan Mei 2004 pengadilan mengabulkan permintaan itu dan menerbitkan surat penangkapannya. Akan tetapi, presiden Gusmão memanggil jaksa agung, menekan dan memaksakannya untuk menarik kembali permohonan penangkapan itu. Maka, secara nyata menutupi jalur pencarian orang (tersangka) melalui interpol41. Seperti dijelaskan di atas, pada waktu itu Wiranto sedang merebut kursi calon presiden di partai Golkar. Barangkali hal itu juga jadi pertimbangan, tapi selain itu, demi mempertahankan kebijakan “perdamaian”, presiden Gusmão sengaja pergi ke pulau Bali dan memperlihatkan sikap yang ramah dengan Wiranto dengan saling berdekapan 42 . Semenjak itu, pihak Timor Leste de facto tidak dapat mengeluarkan surat penangkapan tersangka utama orang Indonesia yang diduga terlibat pada pelanggaran hak asasi manusia pada tahun 199943. Mengapa para elit politik Timor-­‐Leste termasuk presiden Gusmão mempertahankan kebijakan perdamaian sampai mengorbankan keadilan lewat hukum acara pidana? Tentu salah satu alasannya adalah untuk mempertahankan hubungan baik dengan Indonesia, negara besar dan negara tetangganya. Karena mereka takukeadilan transisiika upaya penuntutan secara pidana akan menyinggung perasaan kaum konservatif di Indonesia, dan berakibat buruk terhadap hubungan Indonesia dan Timor-­‐Leste, maka pada Mei 2004 Gusmão mengusulkan pendekatan kebenaran dan perdamaian secara internasional kepada presiden Megawati (kala itu)44 . Seperti dikatakan oleh Ramos Horta, sepanjang tanpa persetujuan negara-­‐negara Dewan Keamanan PBB termasuk AS, tidak mungkin dibentuk pengadilan internasional yang mengadili elit politik Indonesia. Oleh karenanya bagi Timor-­‐Leste hanya ada opsi perdamaian tanpa penghukuman. Inilah pemahaman para elit politik di Timor-­‐Leste45. Di samping itu, pemerintah RI, terutama SBY yang menjadi presiden pada Oktober 2004 mengajak keikutsertaannya dalam KPP yang lebih menitikberatkan pada perdamaian, dan pemerintah Jepang juga dengan kuat mendukung KKP, maka dalam kondisi itu elit politik Timor-­‐Leste mau tak mau memilih jalur (kebijakan) perdamaian meski sebagian besar masyarakat dalam negeri menuntut keadilan jalur hukum 46 . Menurukeadilan transisieffrey Kingston yang 40
ibid., para. 48.
ibid., para.71-73.
42
ibid., para.71.
43
ibid., para.74.
44
Megan Hirst, Too Much Friendship, Too Little Truth: Monitoring Report on the Commission of Truth and Friendship in
Indonesia and Timor-Leste. New York: International Justice Center for Transnational Justice, January 2008, p.10-11.
45
ibid.,p.11.
46
Jeffrey Kingston, “Balancing Justice and Reconciliation in East,” Critical Asian Studies 38 (3), 2006, p.298.
41
14
mewawancarai Gusmão dan Horta, kedua elit itu beranggapan negatif terhadap penuntutan keadilan yudisial tanpa pertimbangan yang matang seperti LSM-­‐LSM hak asasi manusia, dan menyatakan perdamaianlah yang lebih penting 47 . Dari pandangan tersebut, Gusmão mengkritik penuntutan pidana atau kompensasi (reparasi) sebagai idealisme yang belebihan seperti bukan saja oleh SCU tetapi juga isi laporan CAVR. Akan tetapi menurut laporan Komisi Pakar PBB, hasil polling opini publik di Timor Leste tahun 2004 menunjukkan bahwa sekitar 39% yang menjawab; “lebih baik mengutamakan perdamaian meski upaya perwujudan keadilan dikorbankan”, sedangkan yang mendukung; “harus mewujudkan keadilan meski perdamaian terhambat” mencapai sekitar 52% 48 . Berdasarkan hasil polling itu, Komisi ini merekomendasikan agar memajukan prosedur penuntutan pidana pada masa depan karena pelanggaran HAM berat dalam keadaan impunitas tidak boleh dibiarkan49.Terutama, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer Indonesia dan tidak diproses secara hukum, apakah bisa dianggap sebagai opsi terbaik atau tidak, dimana terdapat perbedaan pandangan antara elit politik dengan masyakarat internasional dan dalam negeri50. (4) KKP: Perdamaian tanpa hukuman KKP didirikan atas kesepakatan antara Gusmão dengan SBY dan misinya adalah pengungkapan kebenaran dengan membahas ulang sejumlah laporan yang berkaitan dengan kekerasan dan pelangaran HAM tahun 1999 (KKP-­‐HAM, Pengadilan HAM ad hoc, SCU, CAVR dan sebagainya). KKP memulai kegiatannya sejak tahun 2005 dan pada tanggal 15 Juli 2008 saat pertemuan kedua presiden di Bali disampaikan laporan terakhir yang berjudul “Dari Kenangan Menuju Harapan (Per Memoriam Ad Spem)” yang terdiri dari sekitar 300 halaman51. Menyikapi laporan tersebut, SBY mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia oleh aparatur TNI, sebagaimana disebut dalam laporan itu dan menyatakan penyesalannya, namun tidak menyatakan permintaan maaf secara resmi, maupun pernyataan perlu menjalankan proses acara pidana lebih lanjut tentang pelanggaran tersebut. Tetapi, yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa yang menginginkan “perdamaian tanpa menghukum” 47
ibid., p.280-83.
COE Report, para.381.
49
ibid., para.387.Pad bulan Juni 2005, Sekjen PBB mengajukan laporan Komisi Pakar kepada DK PBB. Walaupun DK
PBB tidak menerima begitu saja rekomendasi di laporan itu, tetapi meminta penyelidikan dan laporan lebih lanjut yang
mengusulkan pendekatan “lebih realistis dan praktis “ untuk mengungkapkan keadilan dan kebenaran di Timor-Leste.
Berdasarkan itu SCIT (Serius Crimes Investigation Team) dibentuk pada 2008.Namun, karena kewenangan dan
sumberdaya yang diberikan kepada SCIT ini pun terbatas, maka kiranya tidak dapat memperbaiki kondisi impunitas. ICTJ
Brussels (James Kirk, Carlito da Costa Bobo et al.), Impunity in Timor-Leste: Can the Serious Crimes Investigation Make
a Difference? Brussels: International Center for Transitional Justice, June 2010.
50
Apabila ditanyakan apa yang diperlukan sekarang, tentu jumlah orang yang menjawab bantuan ekonomi daripada
keadilan jauh lebih banyak, dan hal itu wajar, terutama di daerah pedesaan kecenderungan itu sangat menonjol. Lagi pula
informasi tentang keadilan transisi termasuk CAVR juga tidak tersebar di daerah pedesaan.Oleh karena itu kita perlu peka
pada cela antara kerangka keadilan transisi yang diberikan dari pihak luar dengan keadaran masyarakat setempat. Harus
memperhatikan pernyataan Robins yaitu, perlunya evaluasi terhadap instrument keadilan transisi ini dari pandangan para
korban.Simon Robins, “Challenging the Therapeutic Ethic: A Victim-Centred Evaluation of Transitional Justice Process
in Timor-Leste,” The International Journal of Transitional Justice, 6, 2012, pp.83-105.
51
Per Memoriam Ad Spem: Final Report of the Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia-Timor-Leste,
Denpasar, 2008. [http://www.laohamutuk.org/Justice/Reparations/CTFReportEn.pdf](akses tgl.31.8.2012)
48
15
adalah pihak elit politik Timor-­‐Leste termasuk Gusmão seagaimana telah disinggung di atas. Yaitu, sebagaimana penulis katakan di bagian awal tulisan ini, apabila pola transisi paket (pacted transition) dimana proses demokratisasi terjadi atas kompromi antara pihak elit rezim lama dengan pihak pro-­‐demokratisasi, biasanya pengaruh kaum elit rezim lama masih cukup kuat, sehingga pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu tidak dipersoalkan atau impunitas. Kondisi politik lokal atau hubungan antara Indonesia dengan Timor-­‐Leste tergolong dalam pola itu. Oleh karenanya, elit politik Timor-­‐Leste yang berhasil meraih kedaulatan negara, serta hak untuk menentukan nasib bangsa sendiri melaui kemerdekaan, malah mempertimbangkan kekuatan elit rezim lama di negara tetangganya dan memilih opsi “perdamaian tanpa menghukum”. Niat mereka terlihat pula pada judul laporan ”Dari Kenangan Menuju Harapan” itu. Sikap pemerintah Timor-­‐Leste itu mengundang kritik yang pedas bukan hanya dari LSM-­‐LSM hak asasi manusia dan akademisi di Timor-­‐Leste dan Indonesia, tetapi dari Komisi Pakar PBB juga. Salah satu masalah yang ditunjuk oleh Komisi Pakar PBB adalah bahwa dari tahap awal, KKP telah berencana mengambil tindakan amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM berat yang tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan tanpa penuntutan pidana, dan menurutnya komisi tidak dapat mengakui langkah KPP itu karena tidak sesuai dengan kriteria internasional 52 . Sambil mengutip kecaman-­‐kecaman LSM di Indonesia, laporan komisi menunjukkan bahwa masalah pelanggaran HAM di Timor-­‐Timor bukanlah masalah antara rakyat Indonesia dan Timor-­‐Leste, melainkan masalah kekerasan aparatur militer Indonesia atau milisi terhadap masyarakat Timor-­‐Leste”, dan lagi pula, pendekatan perdamaian tanpa menghukum oleh KKP yang dijalankan di bawah kesepakatan antara kaum elit politik di kedua negara itu tidak didukung oleh masyarakat Timor-­‐Leste secara luas, malah kebanyakan masyarakat merasa tidak puas terhadap impunitas aparatur militer Indonesia53. Berdasarkan pandangan tersebut, PBB menolak untuk terlibat pada proses KKP itu sendiri. Kendati penyusunan laporan terakhir KKP dikerjakan di tengah kritik yang sengit dari masyarakat internasional, tetapi ada satu poin yang dianggap positif adalah KKP mengakui bahwa TNI secara organisir terlibat pada serangkaian pelanggaran HAM di Timor-­‐Leste pada tahun 1999, sehingga sebagai organisasi TNI harus bertanggjawab atas perbuatan itu54. Karena KKP tidak memiliki wewenang untuk membentuk pengadilan baru, dan sejak awal pendiriannya, komisi ini diharapkan agar mengeluarkan rekomendasi yang sesuai dengan tujuan politik menuju perdamaian tanpa menghukum pelaku kejahatan, sehingga laporan KKP mengandung banyak masalah. Misalnya, sama sekali tidak menyinggung tanggungjawab para pelaku secara peribadi. Namun, ada yang menilai positif laporan itu karena tidak menutup kemungkinan akan adanya penuntutan pidana terhadap pelanggaran HAM berat di 52
COE Report, para.337-341.
ibid.,para.348-351.
54
Per Memoriam Ad Spem---, pp.259-264.
53
16
masa depan55. Ditambah pula, KKP pada awalnya menyatakan bahwa terhadap pelaku yang bersikap kooperatif dengan memberi keterangan di tempat terbuka harus diberikan amnesti, tetapi dalam laporan terakhir dinyatakan bahwa dikarenakan amnesti tidak sesuai dengan tujuan pencegahan terulangnya kekerasan dalam rangka pemulihan martabat manusia, penciptaan fondasi untuk perdamaian kedua negara dan penjaminan supremasi hukum, sehingga tehadap pelaku yang melanggar HAM berat yang tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan pada prinsipnya tidak diberikan amnesti. Sikap KKP ini juga dinilai positif56. Meskipun laporan terakhir sedikit berkesesuaian dengan isi laporan Komisi Pakar PBB, tetapi nampak jelas sebagian besar para elit politik termasuk presiden kedua negara itu berorientasi pada “perdamaian tanpa penghukuman kejatahan” yang merupakan tujuan pendirian KKP itu sendiri. (5) CAVR: Persiapan untuk Mencari Keadilan di Masa Mendatang dengan Rekonstruksi Catatan Sejarah? CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi) didirikan pada tahun 2001 sebagai lembaga independen berdasarkan Regulasi 10/20011 UNTAET bertujuan untuk mencatat semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Leste. CAVR didirikan atas inisiatif dari pihak Timor-­‐Leste sendiri57, bukan inisiatif dari pihak PBB karena pendirian lembaga ini merupakan tanggapan terhadap usulan pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di kongres nasional CNRT (Conselho Nacional de Reconstrução do Timor) pada tahun 2000-­‐-­‐setahun sebelum pendiriannya-­‐-­‐menjelang merdeka secara resmi. Kongres CNRT itu sekaligus mengeluarkan misi yang akan menuju pembangunan masyarakat yang damai melalui perdamaian dengan kemerdekaan negara, serta gagasan akan mencari identitas nasional yang inklusif sambil menyusun sejarah nasional baru melalui rekonstruksi catatan sejarah yang pahit selama ini58. Berhubungan dengan gagasan itu, salah satu mandat CAVR adalah mencatat segala pelanggaran HAM berat di Timor-­‐Timor dari tgl. 25 April 1974 hingga tgl. 25 October 1999. Hal itu patut diperhatikan sebab berbeda dengan pengadilan HAM ad hoc, SCU dan KKP yang menyelidiki hanya sebatas serangkaian kekerasan tahun 1999 saja. Pengungkapan fakta tentang segala pelanggaran HAM secara sistematis selama seperempat abad dan data yang dikumpulkan dan didatabasekan itu, akan menjadi referensi yang amat penting jika penuntutan pidana dimungkinkan di masa mendatang. 55
Megan Hirst, An Unfinished Truth: An Analysis of the Commission of Truth and Friendship’s Final Report on the 1999
Atrocities in East Timor. New York: International Justice Center for Transitional Justice, March 2009, p.16.
56
Per Memoriam Ad Spem---, pp.290-91; Hirst, op.cit., p.26.
57
CAVR,Chega! Executive Summary, p.10.
58
David Webster, “History, Nation and Narrative in East Timor’s Truth Commission Report,” Pacific Affairs, 80(4),
2007/8, pp.581-591.CAVR mencatat “Sejalah Konflik” (Bagian 3, sebanyak 186 halaman) dilaporan akhir. Di situ
dinyatakan maksud penyusuannya seperti berikut;“penulisan sejarah East Timor ini merupakan langkah penting dalam
pembangunan suatu bangsa,” dan “Laporan ini tidak dimaksud untuk menjadi sejarah yangeksklusif, yang hanya merekam
pandangan dan pencapaian para pemimpin nasional, atau darisalah satu pihak dalam pecaturan politik.”CAVR, Chega!
The Report of the Commission for Reception, Truth, and Reconciliation Timor-Leste. Part 3.
p.5.[http://www.cavr-timorleste.org/index.html] (akses tgl. 31.8. 2012)
17
Untuk mencatat segala pelanggaran HAM secara sistematis selama dalam kurun waktu 25 tahun, CAVR mengumpulkan pernyataan 7.669 dari 13 distrik di Timor-­‐Leste, mengumpulkan data statistik makro tentang jumlah yang dibunuh melalui investigasi kuburan dalam keadaan tanpa ada data dasar, dan melakukan lebih dari 1.000 wawancara. Menurut hasil penyelidikan itu diperkirakan sekitar 80.000 hingga 180.000 orang meninggal akibat langsung dari invasi dan penguasaan militer Indonesia. Perincian hasil penyelidikan itu telah dipublikasikan pada Desember 2005 sebagai laporan akhir setebal lebih dari 2.500 halaman yang diberi judul “Chega! (sudah cukup)”. Sebagian besar dari laporan itu menjelaskan tentang pelanggaran HAM (Bagian 7), terutama Bab 7.2; Pembunuhan Di luar Hukum dan Penghilangan Paksa (sebanyak 356 halaman), Bab 7.4: Penahanan, Penyiksaan dan Penganiayaan (sebanyak 299 halaman), Bab 7.3 : Pemindahan Paksa dan Kelaparan (sebanyak 170 halaman) dan Bab 7.7: Pemerkosaan, Perbudakan Seksual, dan Bentuk-­‐Bentuk Lain Kekerasan Seksual (sebanyak 118 halaman) menunjukkan kepada kita betapa besarnya skala pelanggaran HAM, keji dan sadisnya perbuatan itu59. Perlu digarisbahwahi pula bahwa CAVR dimandatkan selain melakukan pencarian kebenaran dan penuntutan pidana, mendukung penerimaan dan reintegrasi termasuk Prosedur Rekonsiliasi Komunitas (PRK). Menanggapi mandat itu, CAVR melakukan pertemuan PRK yang diiuti oleh rata-­‐rata 16 orang per hari selama 294 hari dengan tujuan untuk memajukan rekonsiliasi, menerima 1.541 pernyataan dari pelaku pelanggaran, dan mendorong reintegrasi mereka yang bertindak pidana ringan dalam masyarakat setempat60. Pertemuan itu disiarkan langsung melalui TV dan radio, hal itu meningkatkan perhatian masyarakat terhadap kegiatan CAVR serta memperluas kesempatan bagi orang yang menghadapi masalah pada masa lalu. Sebagaimana langkah-­‐langkah itu dilakukan sambil belajar dari pengalaman KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) Afrika Selatan, CAVR tidak hanya mencari keadilan secara yudisial melalui penuntutan pidana, yaitu tidak sebatas keadilan retributif dalam arti sempit, tetapi mencari keadilan dalam arti luas termasuk keadilan restoratif. Hal ini merupakan ciri khas CAVR dan dinilai sangat positif61. Memang kita perlu menilai dengan positif bahwa model CAVR itu menutupi bagian yang tidak dapat diselesaikan dengan hanya keadilan retributif atau punitif (hukuman), dan mendorong rekonsiliasi di tingkat akar rumput serta reintegrasi masyarakat secara aktif dengan mengaitkan konsep tradisional legal cultural di masyarakat lokal (misalnya cara penyelesaian konflik yang disebut “Nahe Biti (buka tikar)”62. Tetapi lokalisasi keadilan transisi memiliki sisi yang lemah, karena bisa saja dimanfaatkan untuk mengebiri keadilan retributif (supremasi hukum formal) serta melegitimasikan rezim penguasa pada waktu itu63. 59
ibid.,passim.
ibid.,pp.22-23.
61
Akihisa Matuno,”Heiwa kochiku ni okeru shinjitsu tankyu: Funso gono Higashi Timor no jirei kara” in “Peace-Building
from the Perspectives of the Post-Conflict Countries: The Roles and Tasks of International Criminal Justice”---edited
Hideaki Shiroyama, Yuji Ishida and Kan Endo, Tokyo: Toshindo, 2007, pp.97-100 .(in Japanese)
62
Dionísio Babo-Soares, “Nahe Biti: The Philosophy and Process of Grassroots Reconciliation (and Justice) in East
Timor,” The Asia Pacific Journal of Anthropology, 5(1), 2004, pp.15-33.
63
Rosalind Shar and Lars Waldorf, “Introduction: Localizing Transitional Justice,” in Localizing Transitional Justice.
60
18
Sebenarnya metode keadilan restoratif semacam ini beresiko, karena dalam arti tertentu, terlalu menitikberatkan pada rekonsiliasi, sehingga masalah itu mudah dialihkan ke masalah pribadi seperti pemaafan secara psikologis atau mentalitas, padahal masalah itu sebenarnya masalah sistem berupa struktur yang tidak adil, dan bisa saja masalah itu dibiarkan begitu saja64. Lagi pula keadilan restroratif pasca konflik merupakan prosedur yudisial informal yang mendadak untuk melengkapi kekurangan sumber daya manusia di bidang hukum, dan diterapkan untuk sebatas tindak pidana ringan. Artinya, tidak melengkapi prosedur yudisial untuk menuntut perkara pelanggaran HAM berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu, pada umumnya para korban tidak merasa puas dengan metode tersebut65. Untuk itu, kasus kejahatan berat perlu diselasaikan dengan prosedur acara pidana secara resmi sesuai dengan yang semestinya. Hanya pada saat sekarang, akibat keadaan politik seperti di atas (keterbatasan “demokratisasi” di Indonesia, realisme para elit politik Timor Leste 66 dan logika geo-­‐ekonomik AS, Jepang dan Australia yang lebih mementingkan hubungan dengan Indonesia, penerapan prosedur itu belum dapat dilaksanakan. Satu faktor yang perlu digarisbawahi dalam pernyataan CAVR berhubungan dengan struktur politik internasional yang mengebiri keadilan transisional adalah masalah “pelaku penyerta” dalam hal pelanggaran HAM berat di Timor-­‐Leste selama periode 25 tahun, yakni pertanggungjawaban negara donator bagi Indonesia seperti AS, Australia dan Jepang 67 . Laporan CAVR menyatakan pendapat berupa rekomendasi bahwa negara-­‐negara (terutama AS, Inggris dan Prancis) serta perusahaan yang memberi atau menjual senjata kepada Indonesia perlu bertanggungjawab untuk pemberian ganti rugi (reparasi) kepada para korban68. Sebagaimana ditulis di atas, para pimpinan politik Timor Leste termasuk Gusmão mengkritik rekomendasi-­‐rekomendasi tersebut sebagai idealisme yang ambisius. Tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa kondisi pelanggaran HAM berat oleh militer Indonesia selama periode 25 tahun itu, justru bisa terjadi oleh karena kebanyakan orang menyerah terhadap keadaan dan keterbatasan politik internasional pada waktu itu sebagai “realitas”. Untuk mencegah pelumpuhan keadilan transisi mungkin perlu menggalang kembali “kekuatan idealisme” yang mampu mengubah keadaan nyata sebagaimana terlihat dalam rekomendasi-­‐rekomendasi CAVR69. Secara konkret Dewan Keamanan PBB perlu membentuk pengadilan internasional ad hoc agar dapat mengadili para pelaku pelanggaran HAM selama priode 25 tahun dari 1974 sampai 1999 yang diselidiki oleh CAVR 70 . Memang hanya Edited by Rosalind Shaw and Lars Waldorf. Stanford: Stanford University Press, 2010, pp.14-20.
64
Nevins,A Not-So-Distant Horror---, pp. 171-171.
65
Robinson, op.cit.,p.224.
66
Maksud realism di sini bukan yang berorientasi penyeimbangan kekuatan yang harus menyimbangi dengan negara
lawan, melainkan berorientasi bandwagon(ikut-ikutan) yang harus menakluk kepada pihak yang lebih berkuasa seperti
hegemoni.
67
CAVR, Chega!,Part 8, pp.91-93.
68
CAVR, Chega!,Part 11, P.4.
69
Joseph Nevins, “The CAVR: Justice and Reconciliation in a Time of ”Impoverished Political Possibilities”,” Pacific
Affairs, 80(4), 2007/2008, p.602.
70
Robinson, op.cit.p.228.
19
mengandalkan mekanisme yudisial saja tidaklah cukup, namun dengan hanya upaya rekonsiliasi saja tentu sama sekali tidak cukup pula. Kesimpulan Pada bagian awal tulisan ini, penulis menyatakan bahwa tujuan keadilan transisi berbentuk best mix antara keadilan resributif (penuntutan pidana) dengan keadilan restoratif (KKR) merupakan upaya untuk mencapai keadilan dan perdamaian yang saling mengokohkan pada saat bersamaan. Sesuai hal tersebut, keadilan transisi terkait dengan pelanggaran HAM secara sistematis di Timor-­‐Leste dapat dikatakan bahwa kasus yang mengabaikan upaya pencarian keadilan demi mempertahankan satus quo atas nama perdamaian. Terutama prosedur penuntutan pidana oleh badan yudisial terdapat kekeliruan yang amat serius, dan para penanggungjawab di pihak Indonesia atas pelanggaran berat termasuk pembantaian secara sistematis dan operasi pembumihangusan pada tahun 1999 yang akhirnya satu orang pun tidak dikenakan hukuman. Malah di antara mereka ada juga yang terjun ke dunia politik dalam hal menjadi capres seperti Wiranto dan Prabowo, atau yang melakukan pelanggaran HAM berat secara berulang dalam operasi militer untuk melumpuhkan gerakan pelawan pemerintah di Papua atau daerah lain seperti Eurico Guterres dan Timbul Silaen. Salah satu faktor penghalang perluasan justice cascade, adalah kegagalan proses demokrasi di negara bersangkutan sendiri, yaitu penataan pemerintahan yang bersifat otoritarisme (kembali) dan ditambah fonomena backlash di politik internasional dan politik regional yang memberi pengakuan itu. Khususnya pada kasus Timor Leste dan Kambodia nampak jelas kecenderungan itu. Tetapi dalam kasus yang mengadili Pinocet menunjukkan tidak sedikit kemungkinan, adanya penuntutan pidana terhadap mantan kepala negara atau pejabat tinggi negara pada masa mendatang. Artinya, di wilayah Asia juga kemungkinan akan terjadi gelombang justice cascade. Untuk persiapan di masa depan itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan sekarang adalah pengumpulan alat bukti melalui penyelidikan. Dari pandangan itu, dokumen-­‐dokumen pernyataan yang dikumpulakan CAVR amat penting. Selain itu dengan adanya pesan dari masyarakat sipil secara kontinue bahwa “tidak membiarkan budaya politik impunitas” terhadap kejatahan berat oleh Negara, akan dimungkinkan sedikit demi sedikit mengubah kondisi “perdamaian tanpa penghukuman” yang telah dijadikan suatu realitas akibat kompromi antara para elit politik di kedua pihak sekarang. Sebagai masalah terkait dengan keadilan transisi sering dipertanyakan yang mana yang harus diutamakan, apakah perdamaian atau keadilan, tetapi pertanyaan yang bersifat dikotonomi itu sendiri sudah salah. Namun, pihak yang melihat realisme politik, malah cenderung memandang keadilan transisi itu dari segi dikotonomi itu, dan menganggap bahwa pengungkapan keadilan atas desakan akan mengakibatkan politik yang tidak stabil, akhirnya akan merusak perdamaian itu sendiri 71
71 . Padahal, seperti kasus Indonesia/Timor-­‐Leste Jack Snyder and Leslie Vinjamuri, “Trials and Errors: Principle and Pragmatism in Strategies of International Justice,”
20
menunjukkan bahwa apabila mempertahankan ketertiban politik rezim lama atas nama perdamaian dengan alasan upaya desakan perwujudan keadilan, malah dapat merusak perdamaian, ternyata perbuatan pelanggaran HAM secara sistematis terulang kembali. Terhadap kritik dari pandangan realisme politik itu, Sikking dkk berargumentasi bahwa hampir tidak ada kasus yang menimbulkan konflik akibat penuntutan pidana. Bahkan upaya penegakan keadilan retributif yang melakukan prosedur penuntutan pidana terhadap pelanggaran berat akan dimungkinkan mencegah terulangnya pelanggaran HAM serta perdamaian yang berkesinambungan dalam jangka waktu panjang melalui dua jalur, yaitu pencegahan kejahatan dan sosialisasi norma terhadap HAM. Yakni, bukanlah kita harus memilih salah satu dari perdamaian atau keadilan, tetapi proses untuk saling mengkokohkan perdamaian maupun keadilan merupakan optimalisasi keadilan transisi untuk menuju demokrasi yang sebenarnya. Sebaliknya, sepanjang kita masih mempertahankan jalur keadilan transisi yang diingkari atas nama “perdamaian” dan mengabaikan keadilan, “masalah ketidak-­‐adilan” akan terus dipersoalkan dan tak kunjung selesai. International Security.28(3), 2003/04, pp.5-44.
21
Download