Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman dalam Tradisi dan

advertisement
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai
Keislaman dalam Tradisi dan Budaya
Masyarakat Indonesia
J. Suyuthi Pulungan
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
Abstract: This paper focuses on the initiation of creative
Muslims (ulama, scholars, preachers and rulers) in
developing syiar of Islam as an effort to the internalization
and acculturation of Islamic values in the traditions
and culture of Indonesian society from the aspect of
scientific tradition and intellectual heritage in spreading
Islamic teachings. The integration of Malay culture and
Islam happens through trade, marriage, dakwah (Islamic
proselytizing), education, teaching and Sufism (scientific
tradition) which leads to the creation of scientific work in
variety of fields through interaction and cultural contacts
as intellectual heritages of scholars. The interactions
and cultural contacts are: (1) cultural contact between
indigenous people and immigrants who bring Islam, and
(2) contact among Islam spreaders, both indigenous and
migrant, with Muslim communities who understand and
practice the teachings of Islam.
Keywords: Internalization, acculturation, Islamic values,
scientific tradition, intellectual heritage
356
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Pendahuluan
Berbicara mengenai internalisasi1 dan akulturasi2 nilai-nilai
keislaman dalam tradisi dan budaya masyarakat Indonesia tidak
terlepas dari latar historis terkait dengan kedatangan Islam dan
proses penyebarannya dalam masyarakat Indonesia. Dengan kata
lain, realitas Islam dewasa ini di Indonesia merupakan produk dari
Internalisasi sebagai proses penanaman nilai kedalam jiwa seseorang
sehingga nilai tersebut tercermin pada sikap dan prilaku yang ditampakkan
dalam kehidupan sehari-hari (menyatu dengan pribadi). Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 256; Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan
Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 21; dan Fuad Ihsan, Dasar-Dasar
Kependidikan, (Jakarta: Rineka cipta, 1997), hlm. 155.
1
Istilah akulturasi atau kulturisasi mempunyai berbagai arti di berbagai
para sarjana antropologi. Tetapi, semua sepaham bahwa itu merupakan proses
sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga dapat diterima
dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan asli. Proses akulturasi ini dimaksudkan untuk mengola
kebudayaan asing yang tidak menghilangkan unsure budaya asli hingga bisa
diterima oleh penganut kebudayaan tersebut. Karena itu, dalam teori akulturasi, J Powel, mengungkapakan, akulturasi dapat diartikan sebagai masuknya
nilai-nilai budaya asing ke dalam budaya lokal tradisional. Budaya berbeda
itu bertemu, yang luar mempengaruhi yang telah mampan untuk menuju
suatau keseimbangan. Sementara itu, Konjaraningrat mengartikan, akulturasi
sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur kebudayaan
asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam budaya
itu sendiri tampa kehilangan kepribadiaan dan kebudayaanya. Lihat Abdurrahman Fathoni, Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006) hlm. 30; Konjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta:
UI Press, 1990), hlm. 91; dan Baker Sj, J.WM, Filsafat Kebudayaan Sebuah
Pengantar, (Jogjakarta: Kansius, . 1984), hlm. 115
2
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
357
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
Islamisasi atau “pribumisasi” yang berlangsung secara harmonis,
baik dalam konteks “konversi” keimanan maupun penerimaan dan
penerapan nilai-nilai keislaman dalam tradisi dan budaya masyarakat
Indonesia yang bersifat adaptif, asimilatif dan akulturatif--selain
faktor prinsp-prinsip sosial yang dibawa Islam yang berorientasi
memanusiakan manusia, sehingga masyaraktat mudah menerima
ajaran Islam.
Bila dilihat dari perspektif Kuntowijoyo 3 dapat ditegaskan
bahwa Islam sebagai sistem nilai yang berpijak pada konsep
tauhid dapat mempengaruhi sistem simbol kebudayaan apapun
dan mewarnai kebudayaan tersebut. Karena itu, ketika nilai-nilai
keislaman menjadi simbol dan kebudayaan masyarakat Indonesia,
maka Islam yang dipeluk masyarakat akan bersentuhan dengan
tradisi dan budaya lokal masyarakat, sehingga terkadang unsurunsur tradisi dan budaya tersebut masih tetap dilestarikan Islam
dalam wujud ritus atau upacara.
Berdasarkan pandangan ini agama samawi dianggap merupakan
penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Namun
demikian, persoalan interaksi agama dengan budaya pada intinya
melibatkan suatu pertarungan atau setidaknya ketegangan antara
doktrin agama--yang dipercaya bersifat absolut karena berasal dari
Allah Swt--dengan nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat produk
manusia yang tidak selalu selaras dengan ajaran-ajaran ilahiah.
Hal ini disebabkan konstruksi realitas yang bersifat transenden ini
tidak dapat sepenuhnya dipahami dan diwujudkan manusia karena
tidak jarang konsepsi yang diberikan Tuhan itu disampaikan melalui
simbolisme dan ambiguitas, yang pada gilirannya menciptakan
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Cet. VIII, (Bandung: Mizan, 1998).
3
358
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
perbedaan-perbedaan interpretasi dan pemahaman di antara
individu-individu atau kelompok-kelompok manusia.
Melalui kemampuan nalar manusia yang menghasilkan penge­
tahuan atau bahkan dari pengalaman empirisnya, membangun
konstruksi realitasnya sendiri, yang mungkin khas dan berbeda
dengan agama yang dipahami secara umum. Konstruksi realitas yang
bersifat kemanusiaan inilah yang kemudian dikenal sebagai tradisi,
adat, atau secara umum sebagai budaya kemanusiaan. Tradisi atau
adat berkaitan dengan kenyataan bahwa mayoritas Muslim memang
memerlukan kepastian terutama dalam dua hal: pertama, dalam
bidang hukum atau aspek eksoteris Islam; kedua, dalam bidang batin
atau esoteris Islam.
Meskipun dalam perjalanannya, Islam selalu berdialog dengan
fenomena dan realitas budaya di mana Islam itu hadir. Kehadiran
agama telah merambah ke berbagai dimensi budaya manusia; mulai
dari tradisi bahasa, pakaian, pergaulan, pola penyembahan, falsafah
kearifan lokal, ritual kebahagiaan dan rasa syukur, prosesi kelahiran
dan kematian, pernikahan dan warisan, dan lain-lain sampai kepada
hal yang bersifat privat seperti etika hubungan seksual.
Dialektika Nilai-Nilai Keislaman dengan Tradisi dan
Budaya Masyarakat
Islam sebagai sistem nilai universal telah menampakkan
diri dalam berbagai manifestasi, khususnya perhatiannya yang
sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan dan
budaya, termasuk dalam masyarakat di Indonesia yang sangat
plural.4 Hal ini menunjukkan bahwa adanya dialogis antara
Lihat Asnawan, “Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Indonesia”,
dalam Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 2 September, (Jember: Sekolah Tinggi Agama
Islam Al-Falah As Sunniyyah Kencong-Jember, 2011), hlm. 85.
4
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
359
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
nilai-nilai keislaman dengan budaya lokal masyarakat, sehingga
mengantarkan diapresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas dari
budaya masyarakat beserta karakteristik yang mengiringi nilai-nilai
itu. Dengan karakteristik keuniversaan inilah Islam mengusung
berbagai pandangan hidup (weltanchaung), di antaranya; mengenai
persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta
memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti
(core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema
peradaban Islam.5
Islam yang telah berdialektika dengan tradisi dan budaya
masyarakat Indonesia akhirnya membentuk sebuah varian Islam
yang khas dan unik, seperti Islam Jawa, Islam Madura, Islam
Sasak, Islam Melayu, Islam Minang, Islam Sunda, dan seterusnya.
Varian Islam tersebut bukanlah Islam yang tercerabut dari akar
kemurniannya, tetapi Islam yang didalamnya telah berakulturasi
dan terinternalisasi dengan budaya lokal.6 Dalam istilah lain, telah
terjadi inkulturasi, yakni mengandaikan sebuah proses internalisasi
sebuah ajaran baru ke dalam konteks kebudayaan lokal dalam
bentuk akomodasi atau adaptasi. Inkulturasi dilakukan dalam
rangka mempertahankan identitas; Islam tetap tidak tercerabut
akar ideologisnya, demikian pun dengan budaya lokal tidak lantas
hilang dengan masuknya Islam di dalamnya.7
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Cet. III, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 229.
5
Andik Wahyun Muqoyyidin, “Dialektika Islam dan Budaya Lokal
Jawa”, dalam Jurnal Kebudayaan Islam Ibda’, Vol. 11, No. 1, Januari-Juni,
(Purwokerto: STAIN Purwokerto, 2013), hlm. 2.
6
Paisun, “Dinamika Islam Kultural: Studi atas Dialektika Islam dan
Budaya Lokal Madura”, dalam Jurnal el-Harakah, Edisi Vol. 12, No. 2, JuliDesember, (Malang: Universutas Islam Negeri Maliki, 2010), hlm. 156.
7
360
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Varian Islam lokal tersebut--untuk selanjutnya disebut Islam
kultural—terus lestari dan mengalami perkembangan. Islam kultural
tetap menjadi ciri khas dari fenomena keislaman masyarakat
Indonesia yang berbeda dengan Islam yang ada di Timur Tengah
maupun di Eropa. Hal ini tidak terlepas dari heterogenitas dan
kemajemukan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa
mana pun di dunia. Heterogenitas dan kemajemukan inilah yang
menyebabkan Islam yang tumbuh dan berkembang di Indonesia
mau tidak mau harus berdialektika dengan budaya lokal yang
kemudian mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Perpaduan
antara Islam dengan tradisi masyarakat ini adalah sebuah kekayaan
tafsir lokal agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang
sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang
ada di Arab, tetapi Islam mesti berdialog dengan tradisi lokal
masyarakat setempat.8
Salah satu varian dialektika nilai-nilai keislaman dengan tradisi
dan budaya masyarakat Indonesia dapat dilihat, misalnya, dalam
masyarakat Bugis, di mana terdapat sinergi antara keteguhan dalam
adat dengan ketaatan beragama. Dengan menjadikan adeq (adat)
dan saraq (syariat) keduanya sebagai struktur dalam panggaderreng
(undang-undang sosial), maka ini menyatukan fungsi keduanya
dalam mengatur kehidupan. Akhirnya, perjumpaan adat dan agama
dalam budaya masyarakat Bugis menunjukkan telah terjadi dialog
dan merekonstruksi sebuah budaya baru dalam nuansa lokal.9
Muhammad Harfin Zuhdi, “Dakwah dan Dialektika Akulturasi Budaya”, dalam Jurnal RELIGIA Vol. 15 No. 1, April, (Mataram: IAIN Mataram,
2012), hlm. 46-64.
8
Ismail Suardi Wekke, Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan
Agama dalam Masyarakat Bugis”, .Jurnal Analisis Volume XIII, Nomor 1,
9
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
361
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Jawa. Pola
akulturasi Islam dan tradisi-budaya Jawa, misalnya, dapat dilihat
dari peran penting para Walisanga. Mereka dapat dengan mudah
memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam
bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa
Jawa. Perspektif akomodasionis ini telah dilaksanakan secara amat
berhasil oleh Walisanga. Mereka berusaha memperkenalkan Islam
melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu mempelajari kearifan
lokal. Dari sinilah, kemudian lahir berbagai serat atau kitab.
Wayang yang merupakan bagian ritual dan seremonial agama Hindu
bisa diubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran Islam
yang monoteisme. Ini adalah sebuah kreativitas yang sedemikian
canggih, sehingga seluruh warga masyarakat dalam semua lapisan
strata sosial, petani, pedagang, dan bangsawan diislamkan melalui
jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya Islam karena tanpa
mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.10
Dalam masyarakat Melayu pun hal demikian juga terjadi.
Setelah orang Melayu bersentuhan dengan agama Islam dan mereka
tertarik dengan agama baru ini, sehingga mereka meninggalkan
kepercayaan lama. Paling tidak ada dua penyebab utama
ketertarikan mereka terhadap agama baru ini, yakni; pertama, agama
Islam mampu memberikan jawaban yang memuaskan terhadap
persoalan-persoalan yang selama ini belum bisa dijawab oleh agama
atau kepercayaan terdahulu, seperti misteri hidup dan mati. Kedua,
ajaran Islam sangat menghargai kebersihan ruhani, ketinggian budi
Juni, (Sorong: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong, 2013),
hlm. 28.
Abdul Mun’im DZ, “Mengukuhkan Jangkar Islam Nusantara”, dalam
Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 26, (JakartaL LAKPESDAM NU, 2008), hlm. 4.
10
362
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
pekerti dan penampilan bahasa yang halus. Semuanya ini amat
bersesuaian dengan adat resam orang Melayu yang menjunjung
tinggi budi bahasa.11
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa
sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima
akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak
memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan
dengan agama-agama lain. Di sinilah paling tidak terdapat dua
hal yang berkaitan dengan persinggungan Islam dengan tradisi
dan budaya, yaitu; Islam sebagai konsepsi sosial budaya, dan Islam
sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para
ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan
Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi
kecil) atau local tradition (tradisi lokal) atau juga disebut islamicate,
bidang-bidang yang “Islamik” yang dipengaruhi oleh Islam.12
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam
yang permanen--atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang
melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil,
doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah--hukum
Islam--yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola tindak umat Islam.
Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang
dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran). Sedangkan tradisi kecil
(tradisi lokal, Islamicate) adalah realm of influence, kawasan-kawasan
yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi lokal
Hasbullah, “Dialektika Islam dalam Budaya Lokal: Potret Budaya Melayu Riau”, dalam Jurnal Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial
dan Budaya, Vol. 11, No. 2, Juli-Desember, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014), hlm. 176.
11
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 13.
12
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
363
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian
budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan
manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.13
Dalam pembacaan perspektif sosiologis terhadap fenomena
bahwa Islam hadir dan berdialektika dengan tradisi menunjukkan
bahwa Islam merupakan respons atas kondisi yang bersifat khusus
di tanah Arab. Artinya, Islam itu sendiri sebenarnya lahir sebagai
produk lokal yang kemudian diuniversalisasi dan ditransendensikan,
sehingga menjadi Islam universal.14 Yang dimaksud Islam sebagai
produk lokal adalah Islam yang lahir di Arab, dalam situasi Arab
dan ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan yang
berkembang di sana. Kemudian di sisi lain, meskipun Islam diyakini
sebagai wahyu Ilahi yang universal, pada akhirnya dipandang
oleh pemeluknya sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas
intelektual, sistem budaya dan segala keragaman setiap pemeluknya
di dalam komunitasnya. Aktualisasi Islam dalam sejarah, telah
menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai
dari Arab, Persia, Turki, India, Asia Tenggara, termasuk Indonesia.15
Terjadinya identifikasi sebagai perspektif akomodasionis yang
pada gilirannya akan menghantarkan pada pemahaman bahwa
relasi Islam dengan budaya lokal berlangsung dalam konstruksi
Hasbullah, “Dialektika Islam dalam Budaya Lokal: Potret Budaya Melayu Riau”, hlm. 175.
13
Zainul Milal Bizawie, “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan
Antropologis Pribumisasi Islam”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi
Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 14, (JakartaL LAKPESDAM NU, 2003), hlm. 33-34.
14
Moh. Mashur Abadi dan Edi Susanto, “Tradisi Ngunya Muslim Pegayaman Bali”, dalam Jurnal Karsa; Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, Edisi Vo.
20, No. 20, Desember, (Madura: STAIN Pemekasan, 2012), hlm. 229.
15
364
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
apresiatif-akomodatif-afirmatif, sehingga akan menampilkan
wajah tradisi Islam yang beragam. Dalam pandangan ini, proses
enkulturasi dan akulturasi terhadap tradisi kultural setempat
berjalan dalam bentuknya yang bervariasi, dan sejarah telah
membuktikan bahwa tidak ada bentuk tradisi kultural keislaman
yang tunggal. Berdasarkan perspektif ini beberapa konstruksi teoritis
para ilmuwan tentang Islam Indonesia--dan praktik keislaman
pada komunitas Muslim lainnya--yang dipandang sebagai sekadar
Islam nominalis, menjadi terkoreksi.16 “Islam lokal, yang selama ini
menurut beberapa pengamat dipandang sebagai bukan Islam yang
sesungguhnya, melainkan sebatas Islamisiasi dipermukaan saja”,17
menjadi terbantahkankan.
Dalam konteks inilah, Islam sebagai agama sekaligus telah
menjadi tradisi dan budaya masyarakat Islam Indonesia. Di sisi
lain, budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang
dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus
dikembangkan dengan mendapat warna Islam. Perkembangan ini
kemudian melahirkan akulturasi budaya, antara budaya lokal dan
Islam.
Islamisasi dan Tradisi Keilmuan
Penyebaran dan melembaganya nilai-nilai keislaman dalam
tradisi dan budaya masyarakat Nusantara melalui proses yang
panjang. Karena itu berbicara mengenai Islam di Nusantara tidak
Moh. Mashur Abadi dan Edi Susanto, “Tradisi Ngunya Muslim Pegayaman Bali”, hlm. 230
16
Martin van Bruinessen, “Islam Lokal dan Islam Global di Indonesia”,
dalam Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 14, (JakartaL LAKPESDAM NU, 2003), hlm. 69.
17
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
365
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
terlepas dari grand theory18 tentang masuknya Islam di Indonesia.
Sebagaimana diketahui setidaknya terdapat empat teori yang
menjelaskan masuknya Islam di Nusantara. Pertama, teori Arab.
Menurut teori ini, Islam datang langsung dari Arab, tepatnya dari
Hadramaut. Teori ini pertama kali dikedepankan oleh Crawfurd
(1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan
Veth (1878). Sebagai identifikasi sekaligus untuk mempermudah
pengelompokannya teori ini selajutnya disebut “teori Arab”.19
Kedua, teori India atau Gujarat. Teori ini menyatakan bahwa
Islam di Nusantara datang dari India. Untuk pertama kalinya,
teori ini dikemukakan oleh Pijnappel, seorang ahli Melayu dari
Telah terjadi perdebatan terutama terfokus pada tiga masalah pokok,
yaitu; a). tempat asal kedatangan Islam di Nusantara; b). para pembawanya;
dan c). waktu kedatangannya. Penjelasan lebih jauh lihat Azyumardi Azra,
(Ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989)
hlm. xii-xiii.
18
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. (Jakarta: Prenada Media, 2005) hlm. 7. Lihat juga
GWJ Drewes, “New Light on the Coming of Islam in Indonesia”, compiled
by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain, Readings on Islam in
Southeast Asia, (Singapore: Institue of Southeast Asia Studies, 1985), hlm.
7-19; Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 31; Hamka, “Masuk dan
Berkembangnya Agama Islam di Daerah Pesisir Sumatra Utara”, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, (Medan, Panitia Seminar
Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963), hlm. 91; TW Arnold, The
Preaching of Islam, A History of the Propogation of the Muslim Faith, (London:
Luzac & Company, 1935), hlm. 363; Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani
Hlm.imi, Sejarah Islam, (Pulau Penang: Fajar Bakti SDN.BHD, 1993), hlm.
559; dan Sayyed Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Perkembangan Islam di
Timur Jauh, (Jakarta: Maktab al-Daimi, 1957) hlm. 21.
19
366
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1872. Azyumardi Azra20
menulis; “Berdasarkan terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan
Suleiman, Marco Polo, dan Ibn Battuta, ia menyimpulkan bahwa orangorang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India
yang membawa Islam ke Asia Tenggara”. Tetapi sesungguhnya ulasan
panjang lebar juga dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam
bukunya Islam Oost Nederland Indie.
Ketiga, teori yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa
Islam datang dari Benggali (Bangladesh). Ia mengutip keterangan
Tome Pures yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang
terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka.
Dan, Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya dari arah
Pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11 M,
melalui Canton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia
beralasan bahwa doktrin Islam di Semenanjung lebih sama dengan
Islam di Phanrang, elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih
mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran. Drewes, yang
mempertahankan teori Snock Hurgronje, menyatakan bahwa teori
Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas
prasasti yang ada dinilai merupakan perkiraan liar belaka. Lagi pula
madzhab yang dominan di Benggali adalah madzhab Hanafi, bukan
madzhab Syafi’i seperti di Semenanjung dan Nusantara secara
keseluruhan. Namun Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu
nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Benggal.
Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah didatangkan dari daerah
itu. Ini menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa asal
Islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Benggal. Dalam
kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi mengkritik para ahli
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan
Kekuasaan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999)
20
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
367
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun
475 H/1082 M) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.21
Keempat, teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah
P.A. Hoesein Djayadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang
masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori India
dan Arab, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya,
serta madzhab Syafi’i-nya. Teori Persia lebih menitikberatkan tin­
jauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat
Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan
Persia.22
Meskipun banyak teori yang diharapkan dapat menjelaskan
proses Islamisasi di Nusantara seperti yang tertulis di atas, tetapi
tak menutup kemungkinan munculnya “ruang debat” baru atas
keragaman teori tersebut. Kemudian, setelah melihat daerah asal
kedatangan Islam di Nusantara, persoalan selanjutya adalah feno­
mena dialektika penerimaan Islam di Nusantara atau apa yang
disebut sebagai conversion to Islam.
Sebagaimana teori kedatangan Islam, tentang konversi masya­
rakat Nusantara terhadap Islam, pun dapat dijelaskan melalui tiga
teori. Menurut Ira M. Lapidus, ketiga teori itu sebagai berikut;23
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Prenada Media, 2005) hlm.4.
21
GWJ Drewes, “New Light on the Coming of Islam in Indonesia”, compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain, Readings on
Islam in Southeast Asia, hlm. 7-19. Lihat juga Ahmad Mansur Suryanegara,
Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1995), hlm. 90-91.
22
Ira M. Lapidus, History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1988) hlm. 469, dan lihat pula Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial
Umat Islam, Jilid I (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 720-721.
23
368
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
pertama, teori yang menekankan peran para pedagang yang
telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah Indonesia,
menikah dengan beberapa keluarga penguasa lokal dan yang telah
me­nyumbangkan peran diplomatik serta pergaulan internasional
terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir.
Kedua, teori yang lebih menekankan pada makna Islam bagi
masyarakat umum daripada kegiatan elite pemerintah. Islam
telah menyumbangkan sebuah landasan ideologi bagi kebijakan
indi­vidual, bagi solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang,
dan lagi integritas kelompok parokhial yang lebih kecil menjadi
masyarakat yang lebih besar. Islam kaitannya dengan masyarakat
pribumi, khsusunya menghadapi kolonialisme, menjadi semacam
“mekanisme pertahanan diri” (defence mechanism) dalam meng­
hadapi penjajahan dan penindasan kaum kolonialis yakni dapat
dipersepsikan sebagai kristalisasi ide dan gerakan sebagai simbolisme
perlawanan.24
Ketiga, teori yang menjelaskan peran para juru dakwah (da’i)
atau kaum sufi, atau juga yang disebut oleh sebagian orientalis sebagai
kaum misionari, baik dari Gujarat, Benggal dan Arabia. Kedatangan
para sufi (darwis) bukan hanya sebagai para guru tetapi sekaligus
juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan istana
para penguasa, perkampungan golongan pedagang dan memasuki
daerah-daerah rural seperti perkampungan-perkampungan di
daerah pedalaman.
Berkenaan dengan hubungan Nusantara dengan Timur Tengah
sejak kehadiran Islam setidaknya dimulai pada abad ke-8 M sampai
dengan abad ke-15 M, telah mengalami dua fase. Fase pertama,
yaitu hubungan Nusantara dengan Timur Tengah pada abad
24
J.D. Legge, Indonesia (Englewood Cliffs, NY:Prentice, 1965), hlm. 52.
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
369
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
ke-8 sampai 15 M, pada umumnya, hubungan keduanya hanya
berkenaan dengan perdagangan. Hadirnya banyak kaum Muslim di
Nusantara, terutama dari Arab dan Persia, memperlihatkan bahwa
inisiatif pada hubungan yang terajut pada periode fase pertama ini
lebih diprakarsai oleh mereka (orang Arab dan Persia) tinimbang
masyarakat Muslim Nusantara. Pada abad ke-13 M sampai abad ke15 M, hubungan kedua wilayah ini memasuki fase kedua, yaitu bahwa
hubungan keduanya mulai menyinggung pada aspek-aspek yang
lebih luas. Jika pada fase pertama, aspek ekonomi (perdagangan)
merupakan ciri umum yang mewarnai keduanya, maka pada fase
kedua ini, Muslim Arab dan Persia, baik para pedagang ataupun
pengembara sufi yang berperan sebagai juru dakwah (da’i) Islam
mulai meningkatkan penyebaran Islam di berbagai wilayah
Nusantara. Hubungan keagamaan dan kultural di antara kedua
wilayah ini terjalin lebih erat dan intensif pada fase kedua ini.25
Meskipun Islam baru dapat berkembang setelah berdirinya
kerajaan Islam, atau setidaknya ketika ada jalinan hubungan dagang
antara saudagar muslim dengan pribumi. Namun cara kedatangan
Islam dan penyebarannya di Nusantara tidak dilakukan dari saluran
politik atau perdagangan semata. Setidaknya ada enam saluran
berkembangnya Islam di Nusantara,26 yaitu saluran perdagangan,
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999) dan lihat juga Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang
Disingkirkan (Tangerang: Transpustaka, 2011), hlm. 37-40.
25
Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press,
1997), hlm. 201-203; lihat juga Uka Tjandrasasmita, “Kedatangan dan Penyebaran Islam”, dalam Taufik Abdullah (ed, et all), Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam Asia Tenggara, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm.9-23.
Sedangkan berkaitan dengan tahapan Islamisasi di Indonesia dalam kajian
arkeologis dapat dilihat Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak
26
370
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
politik, perkawinan, pendidikan, kesenian dan tasawuf. Proses
internalisasi dan akulturasi nilai-nilai keislaman dalam tradisi dan
budaya masyarakat Nusantara melalui keenam saluran inilah yang
kemudian membentuk jaringan tradisi keilmuan.27 Menurut Abed
al Jabiri dalam bukunya Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary
Critique,28 tradisi keilmuan tidak muncul dengan sendirinya, tapi
selalu terkait dengan latar belakang sosial, politik dan budaya suatu
masyarakat. Dari situ diketahui bahwa pada dasarnya aktifitas
internalisasi dan akulturasi keislaman dalam berbagai variasinya
tetap berkutat pada usaha ”rekonsiliasi antara nalar dan wahyu”.
Pertama, melalui perdagangan. Pedagang-pedagang muslim yang
berasal dari Arab, Persia, dan India telah ikut ambil bagian dalam
jalan lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Asia Barat,
Asia Timur, dan Asia Tenggara, pada abad ke-7 sampai abad ke-16
M. Para pedagang muslim yang akhirnya juga singgah di Indonesia
ini, ternyata tidak hanya semata-mata melakukan kegiatan dagang.
Melalui hubungan perdagangan tersebut, agama dan kebudayaan
Islam masuk ke wilayah Indonesia. Pada abad ke-9 M, orang-orang
Islam mulai mendirikan perkampungan Islam di Kedah (Malaka),
Aceh, dan Palembang. Pada akhir abad ke-12 M, kekuasaan politik
dan ekonomi kerajaan Sriwijaya mulai merosot karena didesak oleh
kekuasaan Kertanegara dari Singasari. Sejak saat itu, Aceh dan
Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998),
hlm. 55-60.
Lihat Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, “Jaringan Ulama”
dalam Taufik Abdullah (ed, et all), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 105.
27
Menurut Abed al Jabiri Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary Critique, (Center for Middle Eastern Studies, the University of Texas at Austin,
1999)
28
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
371
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran
yang ramai dan banyak dikunjungi oleh para pedagang Islam dan
penduduk dari berbagai daerah terjadi interaksi yang akhirnya
banyak yang masuk Islam.
Kedua, melalui politik. Masuknya Islam melalui saluran ini
dapat terlihat ketika Samudera Pasai menjadi kerajaan, banyak
sekali penduduk yang memeluk agama Islam. Proses seperti ini
terjadi pula di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat
masuk Islam setelah raja mereka memeluk Islam terlebih dahulu.
Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah
ini. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik
penduduk kerajaan yang bukan muslim untuk memeluk agama
Islam.
Ketiga, melalui perkawinan. Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya,
diceritakan perkawinan antara Maulana Iskhak dan putri Raja
Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri, sedangkan
dalam Babad Cirebon diceritakan perkawinan putri Kawunganten
dengan Sunan Gunung Jati. Demikian pula yang terjadi antara
Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Brawijaya
dengan puteri Campa yang menurunkan Raden Fatah, raja pertama
kerajaan Demak, dan lain-lain.
Keempat, melalui pendidikan. Pada proses ini, biasanya dilaku­
kan melalui pendidikan-pendidikan yang dilakukan oleh para
wali, ulama, kiai, atau guru agama yang mendidik murid-murid
mereka. Seperti di meunasah, dayah dan rangkang di Aceh,
surai di Minangkabau dan juga tempat yang paling pesat untuk
mengembangkan ajaran Islam adalah di pondok pesantren.29
Penjelasan lebih lanjut lihat Mohd. Koharuddin Mohd. Balwi, Peradaban Melayu, (Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia Johor Darul Ta’zim,
29
372
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Kelima, melalui kesenian. Kesenian merupakan wahana untuk
berdakwah bagi para pemuka agama di Indonesia. Pada proses
ini yang paling terkenal menggunakannya adalah para wali yang
menyebarkan agama Islam di Jawa. Salah satu media pertunjukan
yang paling terkenal melalui pertunjukan wayang. Sunan Kalijaga,
penyebar Islam di daerah Jawa Tengah adalah sosok yang sangat
mahir dalam memainkan wayang. Cerita wayang diambil dari kisah
Mahabarata dan Ramayana, tetapi oleh Sunan Kalijaga diseliptakan
tokoh-tokoh dari pahlawan Islam.
Keenam, melalui tasawuf (sufistik). Tasawuf atau sufistik
merupa­kan bagian ajaran dari agama Islam.Bila dilihat perkem­
bangan tasawuf dalam tradisi keilmuan Islam di Nusantara tampak­
nya lebih dominan. Kaum sufi berjasa menjaga eksistensi agama
Islam, untuk kemudian menyebarkannya ke tempat-tempat lain
tanpa penaklukan militer. 30
Kontinyuitas Warisan Intelektual Islam di Indonesia
Tradisi intelektual umumnya mengacu pada proses transmisi
keislaman, pembentukan wacana intelektual, yang dalam proses
selanjutnya menjadi tradisi yang dikembangkan dan dipelihara
secara terus menerus. Tradisi intelektual ini kemudian berwujud
pada lahirnya karya-karya keislaman. Kontak keilmuan Islam antara
wilayah Melayu-Nusantara dengan pusat keilmuan di Haramain
semakin intensif pada gilirannya, ketika sebagian ulama kembali ke
2005), hlm. 103-113; A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Acheh
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 6-7; lihat juga Baihaqi A. K., “Ulama
dan Madrasah Acheh” dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan
Sosial (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 131-132.
Nurchalish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,(Bandung:
Mizan, 1992), hlm. 66.
30
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
373
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
tanah airnya, mereka menjadi lokomotif utama dalam sosialisasi dan
transmisi berbagai pemikiran keagamaan ke kalangan masyarakat
Muslim Nusantara.31
Upaya yang paling awal dilakukan adalah menyampaikan
berbagai ajaran Islam melalui tradisi lisan. Namun, seiring dengan
semakin meningkatnya jumlah masyarakat yang tertarik mem­
pelajari Islam, segera muncul kebutuhan terhadap teks-teks ke­
agamaan yang diperlukan untuk menjadi pegangan dalam penye­
baran, penyiaran dan pengajaran Islam. Dalam konteks inilah
muncul tradisi penyalinan, penulisan serta penerjemahan teks-teks
atau manuskrip-manuskrip keagamaan Islam dalam bahasa lokal
(vernacularisation).32
Proses tradisi intelektual ini tidak terlepas dari proses tranmisi
dan difusi ajaran dan gagasan Islam selalu melibatkan semacam
“jaringan intelektual” (intellectual networks), baik yang terbentuk di
kalangan ulama maupun salah satu segmen dari kaum intelektual
secara keseluruhan. Yang disebut sebagai “jaringan ulama” adalah
jalinan hubungan yang kompleks dan luas, yang terdapat baik yang
terbentuk antar ulama sendiri maupun antara ulama dan muridmuridnya.33
Oman Fathurrahman, “Tradisi Intelektual Islam Melayu-Indonesia:
Adaptasi dan Pembaharuan: Book Review Peter Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, Singapore: Horizon Books, 2001”, dalam Jurnal Studia
Islamika, Vol. 8, No. 3, (Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, 2004), hlm. 212.
31
32
Ibid.,
Lihat Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, “Jaringan Ulama”
dalam Taufik Abdullah (ed, et all), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia
Tenggara, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 105. Dalam
khasanah keilmuan Islam terdapat tradisi yang sering disebut “rihlah ilmiah”.
33
374
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Pada abad ke-16 M, jaringan ulama di Hadramain memperlihat­
kan peningkatan minat dalam melacak dan menemukan haditshadits baru untuk selanjutnya menguji dan menyebarkannya
kepada kaum muslim guna diamalkan. Dengan demikian, terjadi
pergeseran dalam penekanan terhadap pengkajian hadits. Ke­
banyak­an ulama mengkaji hadits lebih untuk kepentingan praktis
meningkatkan pengamalan keagamaan kaum muslimin daripada
sekedar kepentingan akademis dan ilmiah. Perkembangan semacam
ini berkaitan dengan upaya yang berkesinambungan di kalangan
banyak ulama untuk memperbaharui tasawuf. Dalam konteks ini,
pengkajian hadits selain merupakan bidang keilmuan penting dalam
Islam, juga dipandang sebagai sebuah disiplin untuk mendukung
usaha ke arah rekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim.
Kecenderungan intelektual lain yang sangat menonjol dalam
ulama-ulama yang terkait dalam jaringan yang ada adalah har­
monisasi antara syariat (fiqh) dan tasawuf. Gejala rekonsiliasi
dan harmonisasi antara bidang keilmuan dan kehidupan Islam
ini menghasilkan apa sering disebut beberapa ahli sebagai “neosufisme”.34 Kebangkitan dan penyebaran gagasan dan praktik neoPenjelasan lebih lanjut lihat Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah:
Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik, (Bandung: Citapustaka Media, 2006), hlm. 198; dan Umar Ridha Kahhalah, Dirasaat al- Ijtima’iyyah fi
al-‘ushur al-Islamiyyah, (Dimasyq, 1973), hlm.54.
Pembahasan lebih lengkap tentang neo-sufisme dapat dilihat dalam
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka,
1984), hlm. 193. Bisa dilihat pula Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm..273; Hamka, Tasawuf Moderen (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), dan juga dalam bukunya Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981); Mohammad Damani, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka, 2000); Budhy Munawar-Rahman dkk, (eds.), Ensiklopedi Nurcholis
34
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
375
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
sufisme itu terutama terjadi melalui jaringan ulama yang berpusat
di Haramain.35
Perkembangan jaringan ulama di Haramain mengalami
akselerasi pada abad ke-17 dan 18 M. Seperti diungkapkan
Azyumardi Azra, jaringan ulama, terutama berpusat di Mekkah
dan Madinah menduduki posisi penting dalam kaitannya dengan
ibadah haji, sehingga mendorong sejumlah guru besar (ulama) dan
penuntut ilmu dari berbagai wilayah di dunia muslim datang dan
bermukim di sana, yang pada gilirannya menciptakan semacam
jaringan keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik.36
Sesungguhnya pada abad ke-17 dan 18 M merupakan salah satu
masa yang paling dinamis dalam sejarah sosio-intelektual kaum
muslim.37 Murid-murid Jawi di Haramain merupakan inti utama
Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, (Bandung: Mizan, Paramadina
dan CSL, 2006), hlm. 2188; Nurcholis Majid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), hlm. 94.
Lihat Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, “Jaringan Ulama”
dalam Taufik Abdullah (ed, et all), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Jilid 5, hlm. 108-109.
35
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia, Cet V, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 16.
36
Ibid., 15-16. Pada masa ini terbentuklah ashab al-Jawiyyin (para saudara
kita orang Jawi) atau Jama’at al-Jawiyyin (komunitas Jawi). Penjelasan lebih
jauh dapat dilihat Oman Fathurrahman, Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud
bagi Muslim Nusantara, (Bandung: Mizan, 2012); dan Oman Fathurrahman,
“Jama’at al-Jawiyyin di Haramayn dan Pembentukan Tradisi Intelektual Islam di Dunia Melayu-Nusantara”, dalam https://naskahkuno.wordpress.com/
2007/09/13/ jama%EF%82%91at-al-jawiyyin-di-haramayn-dan-pembentukantradisi-intelektual-islam-di-dunia-melayu-nusantara/ dan . Diakses 1 Maret 2016.
37
376
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum muslim
Melayu-Nusantara. Meskipun dapat dipastikan bahwa banyak
murid Jawi yang menuntut ilmu di Haramain dan terlibat dalam
jaringan ulama yang ada di kawasan ini, tetapi pada abad ke-17
M hanya terdapat tiga murid Jawi yang sangat menonjol, yang
kemudian mempunyai peran amat penting dalam perkembangan
Islam di Nusantara. Mereka adalah Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf
Singkel, dan Muhammad Yusuf al-Makassari.38
Nuruddin ar-Raniri (w. 1068H/1658 M), misalnya, dianggap
sebagai salah seorang mujadid paling penting di Nusantara pada
abad ke-17 M. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat,
peranan ar-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak
dapat diabaikan. Ia telah berperan membawa tradisi besar Islam
sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi
yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain
yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri ini, ar-Ranirilah yang
menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah
dengan tradisi Islam Nusantara. Bahkan, ar-Raniri merupakan
ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktik
sufi yang salah dan benar.39
Oleh karena itu, dalam pandangan ar-Raniri, masalah besar yang
dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah akidah, paham
immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan
oleh paham wujudiah merupakan praktik sufi yang berlebihan.
Lihat Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, “Jaringan Ulama”
dalam Taufik Abdullah (ed, et all), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Jilid 5, hlm. 112.
38
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia, hlm. 166-188.
39
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
377
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
Mengutip doktrin Asy’ariyyah, ar-Raniri berpandangan bahwa antara
Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara
antara manusia dan Tuhan terdapat hubungan transenden.40
Selama tujuh tahun berada di Aceh, ar-Raniri telah melahirkan
banyak karya keislaman di berbagai bidang; teologi, tafsir, hadis,
fiqh, sejarah, dan lain-lain. Ia memang dikenal seorang ulama
yang sangat produktif dalam menulis. Berdasarkan sumber-sumber
yang tersedia, tercatat setidaknya lima belas karya ar-Raniri yang
berkenaan dengan masalah teologi dan tasawuf. Berikut ini adalah
beberapa di antaranya: Durrat al-Farâ’id bi Syarh al-Aqâ’id; Nubdzah
fi Da’wah azh-Zhil ma’a Sâhibihi; Latâ’if al-Asrâr; Asrâr al-Ihsân fî
Ma’rifah al-Rûh wa al-Rahmân; Tibyân fî Ma’rifah al-Adyân ; Hill alZhill ; Hujjah al-Siddiq li Daf’i al-Zindiq ; dan al-Fath al-Mubîn ‘alâ
al-Muhîdîn dan beberapa karya-karya lain yang membahas masalah
yang sama.41
Sebagai seorang penganut aliran neo-sufisme, ar-Raniri dengan
sendirinya sangat menekankan pentingnya syari’ah dalam praktikpraktik tasawuf. Dalam Sirât al-Mustaqîm, misalnya, ia dengan tegas
menandaskan kewajiban utama muslim dalam praktik beragama, di
mana syariah menduduki posisi sangat mendasar. Ia dalam karyanya
itu memberikan penjelasan secara rinci mengenai berbagai hal yang
menyangkut ibadah, mulai dari bersuci (wudlu’), salat, zakat, puasa
Perdebatan antara Ar-Raniri dengan Fanzah Fansuri dapat dibaca lebih
lanjut dalam buku Edwar Djamaris dan Saksono Prijanto, Hamzah Fansuri
dan Nuruddin Ar-Raniri, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaa
n Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1995/1996).
40
Lihat Oman Fathurahman dan Jajat Burhanudin, “Tradisi dan Wacana
Intelektual Islam Indonesia”, dalam http://oman.uinjkt.ac.id/2007/01/tradisidan-wacana-intelektual-islam.html. Diakses 1 Maret 2016.
41
378
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
(shawm), haji (hajj), kurban (qurbân), hingga masalah-masalah lain
yang banyak dikupas dalam kitab-kitab fiqh yang dikenal di dunia
muslim.
Di abad ke-18 M ini, jaringan keulamaan Melayu-Nusantara
dengan pusat kota suci Haramain semakin terjalin dengan erat.
Tidak sedikit para ulama Melayu-Nusantara yang berbondongbondong belajar ke sana. Bahkan tak jarang, mereka juga menduduki
staf pengajar dan imam di Masjidil Haram serta menjadi tokoh
kenamaan dalam lingkaran keilmuan. Seperti Syaikh Arsyad Banjar
(w. 1227 / 1812), Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani (w. 1203 H/
1789 M), dan Abdul Wahhab al-Bughisi. Ketiganya adalah murid
dari Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, mufti Syafi’iyah
ternama di Madinah.
Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani (w. 1203 H/1789 M),
misalnya mempunyai posisi terhormat dengan jaringan murid tidak
hanya asal kepulauan Melayu-Nusantara. Bahkan Syaikh Abdus
Shamad al-Falimbani merupakan penafsir paling berwibawa dan
kreatif dalam tasawuf al-Ghazali; para penuntut ilmu di Haramain
dinilai belum sempurna ilmunya jika belum belajar pada Syaikh
Abdus Shamad al-Falimbani. Selanjutnya, ia adalah ulama
pertama dari dunia Melayu yang kegiatan keilmuannya dicatat
dan diberitakan dalam kamus biografi Arab (thabaqat), sesuatu
yang tidak pernah terjadi sebelumnya, yang memastikan karirnya
dihormati bukan hanya di dunia Melayu, tetapi juga di kawasan
Timur Tengah.42
Lihat MalAn Abdullah, Jejak Sejarah Abdus-Samad Al-Palimbani, Edisi
Revisi, (Palembang: Syariah IAIN Raden Fatah, 2013), hlm. 3; lihat juga
Martin van Bruinessen, “Studi Tasawuf pada Akhir Abad ke-18: Amalan
dan Bacaan Abdus-Samad al-Falimbani, Nafis al-Banjari dan Tarekat Sam42
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
379
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
Karena itu, Jajat Burhanuddin menyatakan sepanjang me­
nyangkut dunia Melayu pada abad ke-18 M, Syaikh Abdus Shamad
al-Falimbani merupakan ulama paling bertanggung jawab ter­
hadap penyebaran pemikiran neo-sufisme di Nusantara. Selama
di Haramain, ia mempelajari, selain mengajarkan kepada para
muridnya, pemikiran tasawuf al-Ghazali, di mana karya al-Ghazali
Ihya Ulum ad-Din telah menjadi dasar pijakan utama karya-karya
Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani. Di sini, Syaikh Abdus Shamad
al-Falimbani telah melampaui para ulama pendahulunya pada
abad ke-17 M yang hanya menjadikan karya al-Ghazali sebagai
salah satu acuan dalam karya mereka. Sebab itu, seperti dikatakan
para ahli sejarah Islam, Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani kerap
digambarkan sebagai “penerjemah” paling menonjol dari karya alGhazali di antara para ulama Melayu-Nusantara.43
Kendati Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani mendalami
tasawuf, namun ia sangat kritis terbukti ia mengkritik kalangan yang
mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Ia selalu mengingatkan
akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat
tersebut, khususnya tarekat wujudiyyah mulhid yang terbukti telah
membawa banyak kesesatan di Aceh. Berkaitan dengan ajaran
tasawufnya, Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani mengambil jalan
tengah antara doktrin tasawuf imam al-Ghazali dan ajaran wahdatul
wujud Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah
manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam
maniyah”. Dalam Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:
Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 70.
Jajat Burhanuddin, “Tradisi Keilmuan dan Intelektual”, dalam Taufik
Abdullah (ed, et all), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Jilid 5,
hlm. 152.
43
380
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi,
sehingga mampu “melihat” Allah Swt sebagai “penguasa” mutlak.44
Bahkan atas jasa Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani,
Muhammad al-Sammani dan tarekat Sammaniyah menjadi subjek
utama dalam tulisan-tulisan para ulama Palembang sesudahnya. Di
Palembang, tarekat Sammaniyah juga mendapat tempat tersendiri.
Menurut temuan Jeroen Peeters, ketika di Palembang mengalami
vakum spiritual selanjutnya diisi oleh tarekat Sammaniyah.
Penganut tarekat Sammaniyah bukan hanya berkembang di
kalangan ulama Palembang, di antaranya Kemas H. Ahmad dan
Kiagus H. Muhammad Akib. Tetapi juga dari kalangan sultan
Palembang sebagai pelindungnya.45
Dalam hal pemikiran tasawufnya, Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani
menentang pandangan spekulatif yang tak terkontrol dalam mistisisme. Karena itu, ia menolak doktrin-doktrin yang dikatakan wujuiyyah mulhid (secara
harfiah berarti kesatuan wujud ateistik) serta praktik-praktik keagamaan praIslam, seperti persembahan religius untuk ruh para leluhur. Sebagaimana arRaniri, Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani membagi doktrin wujud ke dalam
dua jenis, yaitu; wujudiyyah mulhid (kesatuan wujud ateistik) dan wujudiyyah
muwahhid (kesatuan wujud uniterisme). Bagi Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani para pengikut doktrin wujudiyyah mulhid berpendapat bahwa rukun iman
pertama, yaitu; Lâ ilâha illâ Allâh (tidak ada Tuhan selain Allah), berarti “tidak
ada hal semacam itu sebagaimana wujud kami, kecuali hanya Wujud Tuhan,
yaitu, kami adalah Wujud Tuhan” Lihat Zoelhariini, “Jaringan dan Pengaruh
Pemikiran Pemikiran Syekh ‘Abd Al-Shamad Al-Palimbani”, http://zoelhariini.
blogspot.co.id/2011/06/syekh-abd-al-shamad-al-palimbani.html. Diakses 1 Maret
2016.
44
Lihat Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di
Palembang 1821-1942, (Jakarta: INIS, 1977), hlm. 23-24. Lihat juga, Martin van Bruinessen, “Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akherat”,
dalam majalah Pesantren, Vol. IX, No. 1, 1992, hlm. 3-14. Selain masalah keagamaan di tanah air, perhatiannya juga tertuju pada masalah kolonialisme
45
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
381
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
Kontinyuitas tradisi Intelektual Islam tak hanya sampai di
situ. Pada abad ke-19 M, di dunia Melayu setidaknya terdapat dua
orientasi ideologi yang berkembang, yakni; pertama, pemikiran
tentang ideologi kebangsaan yang mengadopsi model negarabangsa (nation-state). Seperti yang berkembang di Barat sebagai
sistem politik rakyat Melayu. Mainstream ini diwakili oleh Abdullah
bin Abdul Kadir Munsyi (1787-1854). Dalam karyanya Hikayat
Abdullah, ia mengedepankan rumusan identitas masyarakat Melayu
yang berbeda dengan rumusan sebelumnya. Ia mengetengahkan
bangunan identitas masyarakat Melayu dalam rumusan bangsa,
yang dipahami sebagai suku atau ras Melayu. Abdullah Munsyi
memahami masyarakat Melayu tidak lagi sebagai sebuah komunitas
yang sepenuhnya berada dibawah sistem kekuasaan politik yang
berbasis pada ideologi kerajaan. Tetapi sebagai sebuah ras atau
bangsa yang memiliki hak untuk terlibat menentukan format politik
Melayu. Abdullah Munsyi mengkritik keras terhadap ideologi
kekuasaan sebelumnya, yakni kerajaan. Ideologi ini dinilainya
telah bertanggung jawab atas keterbelakangan masyarakat Melayu.
Bahkan menurut Abdullah Munsyi, ideologi kerajaan telah membuat
raja-raja Melayu berlaku tiran dan tidak adil karena telah merampas
hak rakyat.46
Barat di negeri-negeri Islam. Perhatian dan keprihatinannya ini ia tuangkan
dalam kitab berjudul Nasihah al-Muslimin wa Tazkirah al-Mu’minin fi Fada’il alJihad fi Sabil Allah wa Karamah al-Mujahidin (Nasihat bagi Muslimin dan Peringatan bagi Mukminin mengenai Keutamaan Jihad di Jalan Allah), yang ditulis
dalam bahasa Arab pada tahun 1772. Bahkan, Hikayat Perang Sabil yang ditulis
oleh Teungku Cik Di Tiro juga dikabarkan mengutip dari salah satu karya alPalimbani, yaitu Nasihah al-Muslimin wa Tazkirah al-Mu’min fi Fadha’il Jihad fi
Sabilillah tersebut.
46
382
Ibid., hlm. 161-162
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Di sisi lain, terdapat pemikiran untuk merestorasi kerajaan yang
menghendaki model kerajaan Melayu yang ada sebagai sistem sosial
dan politik rakyat Melayu yang diwakili oleh Raja Ali Haji. Pemikiran
Raja Ali Haji lebih banyak mengkaji tentang upaya untuk merestorasi
kerajaan dan tradisi Melayu yang telah lama berkembang. Hal ini
beralasan karena ia termasuk kalangan elite kerajaan dan sejak
kecil sudah meyaksikan persoalan kerajaan dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya, seperti yang tercermin dalam karyanya,
di antaranya; Tuhfah an-Nafis), Tsamarah al-Muhimmah dan Intizam
Waza’if al-Malik47. Raja Ali Haji menghendaki pelaksanaan kembali
nilai-nilai Islam dalam kehidupan seperti pada masa Kerajaan Johor
saat mengalami masa keemasannya.
Menurut Raja Ali Haji, setidaknya ada tiga tugas pokok seorang
pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, yaitu; pertama,
seorang pemimpin (raja) jangan sampai luput dari rasa memiliki
terhadap hati rakyat.48 Kedua, pemimpin harus berhati-hati bila
menerima pengaduan dari masyarakat.49 Ketiga, seorang pemimpin
(raja) tidak boleh membeda-bedakan rakyat atau dengan kata lain
tidak diskriminatif. Dengan kata lain, pemimpin harus adil.50 Di
sinilah tampaknya cita-cita politik Raja Ali Haji dalam sistem politik
47
Ibid., 165.
Lihat Raja Ali Haji, Muqaddima fi Intizham (Riau, Daik Lingga: 1887),
hlm. 2.
48
Ibid., hlm. 3; lihat juga Shadik, Faishal, “Politik Islam Melayu: Studi
Pemikiran Raja Ali Haji 1808-1873”, Tesis pada Program Studi Hukum Islam
Konsenterasi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakata: UIN Sunan Kalijaga, 2007,
hlm. 103.
49
Lihat Mahdini, Etika Politik: Pandangan Raja Ali Haji dalam Tsamarat
al-Muhimmah, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2000, hlm. 51.
50
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
383
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
menuju kepada bentuk “theo-monarki”, pemerintahan berbentuk
kerajaan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Allah Swt yaitu
syari’at Islam.
Masih di abad ke-19 M, perkembangan Islam di Jawa ditandai
dengan menguatnya pengaruh ortodoksi. Hal ini terjadi terutama
akibat hubungan yang semakin intensif dengan Timur tengah
melalui kegiatan ibadah haji yang semakin meningkat. Bersamaa
dengan itu, perkembangan Islam di Nusantara abad ke-19 M juga
ditandai dengan meningkatnya jumlah pesantren dan tarekat.
Lembaga pesantren umumnya dipimpin para haji dan kyai yang
sekaligus bertindak sebagai guru tarekat bagi santri dan masyarakat
sekitarnya. Tarekat yang berkembang pesat di Jawa, yakni tarekat
Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syattariah.51
Pada abad ke-19 M ini pula terdapat tiga orang ulama ter­
kemukaka yang dapat dikatakan mewakili tradisi intelektual
Islam Nusantara dari dunia kaum santri, yakni Ahmad Rifa’i dari
Kalisasak, Jawa Tengah. Sebagai ulama terkemukaka, Ahmad Rifa’i
telah banyak menulis karya, di antaranya; Kitab Tahririyyah (Kitab
tentang Kebebasan), Ri’ayah al-Himmah (Pemeliharaan Semangat),
Abyan al-Hawa’ij (Penjelasan tentang Berbagai Kebutuhan), Tabyin
al-Islahi (Penjelasan tentang Pembaharuan), Tasyrihah al-Mukhtaj
(Pen­jelasan bagi Orang-orang yang Membutuhkan), dan Syarif alImam (Imam yang Mulia).52
Kemudian dalam peta intelektual Islam di Indonesia, Akhmad
Khatib dikenal sangat keras menentang tarekat, khususnya Tarekat
Jajat Burhanuddin, “Tradisi Keilmuan dan Intelektual”, dalam Taufik
Abdullah (ed, et all), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Jilid 5,
hlm. 172
51
52
384
Ibid., hlm. 177.
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Naqsyabandiyah yang memang banyak pengikut di Minangkabau.
Kritik keras Akhmad Khatib direfleksikan dalam tiga karya utamanya;
Izhar Zagl al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi-Sadiqin, al-Ayah al-Bayyinah
li al-Munsifin fi Izalah Khurafat ba’d al-Muta’assibin, dan as-Saif alBattar fi Mahq Kalimah Ba’d Ahl al-Iqtirar. Dalam ketiga karyanya
ini, Akhmad Khatib berpendapat bahwa Tarekat Naqsyabandiyah
bertentangan dengan ajaran Islam. Ia menunjukkan beberapa
praktik keagamaan para pengikut Tarekat Naqsyabandiyah yang
dinilainya tidak memiliki dasar yang kuat pada praktik keagamaan
Nabi Muhammad Saw dan para sahabat, serta bertentangan dengan
ajaran Islam dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.53
Selanjutnya, Nawawi al-Bantani. Selama di Mekkah Nawawi
telah menulis karya keislaman dalam jumlah besar, mencapai sekitar
26 karya dan meliputi berbagai bidang: fiqh, tafsir, hadits, tasawuf,
kalam, dan sebagainya. Meskipun sebagian besar merupakan ulasan
(syarh) dari karya para ulama Timur Tengah, dan karya Nawawi
al-Bantani sangat terkenal di Nusantara, khususnya di dunia
pesantren, dan bahkan hingga kini. Di antara karya Nawawi alBantani yang dianggap paling orisinil dan juga paling terkemukaka
adalah bidang tafsir, Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil (Kitab Tafsir
yang Memberi Cahaya bagi Al-Qur’an). 54
Demikian beberapa warisan intelektual ulama Nusantara.
Tentunya masih banyak lagi warisan intelektual ulama Nusantera
yang belum tergali dan terpublikasikan. Kita berharap warisan
intelektual ini terus akan digali, diteliti, dan dipublikasikan di masa
yang akan datang. Jangan sampai konyuitas ini mandek sebab karya-
53
Ibid., hlm. 179-180
54
Ibid., hlm. 180-181
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
385
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
karya intelektual ulama masa lalu merupakan khasanah peradaban
Islam Melayu-Nusantara.
Penutup
Pada bagian akhir ini kembali ingin ditegaskan bahwa proses
internalisasi dan akulturasi nilai-nilai keislaman dalam tradisi dan
budaya masyarakat Indonesia telah berlangsung sejak kedatangan
Islam di bumi Nusantara oleh para pembawa Islam (pedagang
muslim, da’i/muballigh) dan orang pribumi yang sudah muslim serta
kebijakan penguasa, sehingga melahirkan peradaban Islam MelayuNusantara.
Dialektika Islam dengan tradisi dan budaya masyarakat
Indonesia akhirnya membentuk sebuah varian Islam yang khas dan
unik, seperti Islam Jawa, Islam Madura, Islam Sasak, Islam Melayu,
Islam Minang, Islam Sunda, dan seterusnya. Varian Islam tersebut
bukanlah Islam yang tercerabut dari akar kemurniannya, tetapi Islam
yang didalamnya telah berakulturasi dan terinternalisasi dengan
budaya lokal. Dengan demikian, Islam tetap tidak tercerabut akar
ideologisnya, demikian pun dengan budaya lokal tidak lantas hilang
dengan masuknya Islam di dalamnya.
Kemudian bila dilihat proses penyebaran dan melembaganya
nilai-nilai keislaman dalam tradisi dan budaya masyarakat
Nusantara tidak terlepas dari grand theory tentang masuknya Islam
di Indonesia. Meskipun demikian, cara kedatangan Islam dan
penyebarannya di Nusantara tidak hanya dilakukan dari saluran
politik atau perdagangan semata, tetapi juga melalui perkawinan,
pendidikan, kesenian dan tasawuf.
Selanjutnya, proses terbentuknya tradisi intelektual di
Nusantara tidak terlepas dari proses tranmisi dan difusi ajaran dan
gagasan Islam selalu melibatkan semacam “jaringan intelektual”
386
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
(intellectual networks), baik yang terbentuk di kalangan ulama
maupun salah satu segmen dari kaum intelektual secara keseluruhan.
Perkembangan jaringan ulama di Haramain mengalami akselerasi
pada abad ke-17 dan 18 M. Jaringan ulama, terutama berpusat di
Mekkah dan Madinah menduduki posisi penting dalam kaitannya
dengan ibadah haji, sehingga mendorong sejumlah guru besar
(ulama) dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah di dunia muslim
datang dan bermukim di sana, yang pada gilirannya menciptakan
semacam jaringan keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah yang
unik, yaitu jaringan intelektual ulama di Haramain ini sejumlah
ulama yang datang dari berbagai belahan dunia Islam, termasuk
di dalamnya para ulama dari dunia Melayu-Nusantara, atau yang
disebut dalam sumber-sumber Arab sebagai ashab al-Jawiyyin (para
saudara kita orang Jawi) atau, seperti dalam Ithaf al-Dhaki disebut
Jama’at al-Jawiyyin (komunitas Jawi).
Kontak keilmuan Islam antara wilayah Melayu-Nusantara
dengan pusat keilmuan di Haramain semakin intensif pada
gilirannya, ketika sebagian ulama kembali ke tanah airnya, mereka
menjadi lokomotif utama dalam sosialisasi dan transmisi berbagai
pemikiran keagamaan ke kalangan masyarakat Muslim Nusantara.
Bahkan tidak sedikit ulama Nusantara melahirkan karya-karya
monumental yang hingga sekarang masih dikaji dan diteliti serta
dikembangkan dan dipelihara secara terus menerus.
Daftar Pustaka
A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Acheh. Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Abdul Mun’im DZ, “Mengukuhkan Jangkar Islam Nusantara”, dalam
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
387
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan
dan Kebudayaan, Edisi No. 26, Jakarta: Lakpesdam NU, 2008.
Abdurrahman Fathoni, Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar,
Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Abed al Jabiri Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary Critique,
Center for Middle Eastern Studies, the University of Texas
at Austin, 1999.
Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan,
Tangerang: Transpustaka, 2011.
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.
Andik Wahyun Muqoyyidin, “Dialektika Islam dan Budaya Lokal
Jawa”, dalam Jurnal Kebudayaan Islam Ibda’, Vol. 11, No. 1,
Januari-Juni, Purwokerto: STAIN Purwokerto, 2013.
Asnawan, “Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Indonesia”, dalam
Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 2 September, Jember: STAI AlFalah As Sunniyyah Kencong-Jember, 2011.
Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, “Jaringan Ulama” dalam
Taufik Abdullah (ed, et all), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
Asia Tenggara, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Azyumardi Azra, (Ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar
Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan,
1999.
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam,
Jakarta: Paramadina, 1999.
388
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Prenada Media,
2005.
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana &
Kekuasaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1997,
Baihaqi A. K., “Ulama dan Madrasah Acheh” dalam Taufik Abdullah
(ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali, 1983)
Baker Sj, J.WM, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Jogjakarta:
Kansius, 1984.
Budhy Munawar-Rahman dkk, (eds.), Ensiklopedi Nurcholis Madjid:
Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Bandung: Mizan,
Paramadina dan CSL, 2006.
D. Legge, Indonesia. Englewood Cliffs, NY: Prentice, 1965.
Edwar Djamaris dan Saksono Prijanto, Hamzah Fansuri dan
Nuruddin Ar-Raniri, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995/1996.
Faishal Shadik, “Politik Islam Melayu: Studi Pemikiran Raja Ali
Haji 1808-1873”, Tesis pada Program Studi Hukum Islam
Konsenterasi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Yogyakata: UIN Sunan Kalijaga, 2007.
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, Bandung:
Pustaka, 1984.
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka cipta, 1997.
GWJ Drewes, “New Light on the Coming of Islam in Indonesia”,
compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
389
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
Hussain, Readings on Islam in Southeast Asia, Singapore:
Institue of Southeast Asia Studies, 1985.
Hamka, “Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah Pesisir
Sumatra Utara”, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya
Islam ke Indonesia, Medan, Panitia Seminar Sedjarah
Masuknya Islam ke Indonesia, 1963.
Hamka, Tasawuf Moderen. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan
Nurul Islam, 1981.
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah SosialIntelektual Muslim Klasik, Bandung: Citapustaka Media, 2006.
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan
Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Hasbullah, “Dialektika Islam dalam Budaya Lokal: Potret Budaya
Melayu Riau”, dalam Jurnal Sosial Budaya: Media Komunikasi
Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya, Vol. 11, No. 2, Juli-Desember,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014.
Ira M. Lapidus, History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge
University Press, 1988.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000.
Ismail Suardi Wekke, Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya
dan Agama dalam Masyarakat Bugis”, Jurnal Analisis Volume
XIII, Nomor 1, Juni, Sorong: STAIN Sorong, 2013.
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
390
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di
Palembang 1821-1942, Jakarta: INIS, 1977.
Konjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: UI Press, 1990.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Cet. VIII,
Bandung: Mizan, 1998.
Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani Hlm.imi, Sejarah Islam,
Pulau Penang: Fajar Bakti SDN.BHD, 1993.
Mahdini, Etika Politik: Pandangan Raja Ali Haji dalam Tsamarat alMuhimmah, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2000.
MalAn Abdullah, Jejak Sejarah Abdus-Samad Al-Palimbani, Edisi
Revisi, Palembang: Syariah IAIN Raden Fatah, 2013.
Martin van Bruinessen, “Islam Lokal dan Islam Global di Indonesia”,
dalam Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 14, JakartaL
Lakpesdam NU, 2003.
Martin van Bruinessen, “Studi Tasawuf pada Akhir Abad ke-18:
Amalan dan Bacaan Abdus-Samad al-Falimbani, Nafis
al-Banjari dan Tarekat Sammaniyah”, dalam Martin van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.
Martin van Bruinessen, “Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia
atau Akherat”, dalam majalah Pesantren, Vol. IX, No. 1, 1992.
Moh. Mashur Abadi dan Edi Susanto, “Tradisi Ngunya Muslim
Pegayaman Bali”, dalam Jurnal Karsa; Jurnal Sosial dan
Budaya Keislaman, Edisi Vo. 20, No. 20, Desember, Madura:
STAIN Pemekasan, 2012.
Mohammad Damani, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka,
Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000.
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
391
Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman
Mohd. Koharuddin Mohd. Balwi, Peradaban Melayu, Malaysia:
Universiti Teknologi Malaysia Johor Darul Ta’zim, 2005.
Muhammad Harfin Zuhdi, “Dakwah dan Dialektika Akulturasi
Budaya”, dalam Jurnal RELIGIA Vol. 15 No. 1, April,
Mataram: IAIN Mataram, 2012.
Nurchalish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,Bandung:
Mizan, 1992.
Nurcholis Majid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Islam dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Paramadina,
1995.
Oman Fathurahman dan Jajat Burhanudin, “Tradisi dan Wacana
Intelektual Islam Indonesia”, dalam http://oman.uinjkt.
ac.id/2007/01/tradisi-dan-wacana-intelektual-islam.html.
Diakses 1 Maret 2016.
Oman Fathurrahman, “Jama’at al-Jawiyyin di Haramayn dan
Pembentukan Tradisi Intelektual Islam di Dunia MelayuNusantara”, dalam https://naskahkuno.wordpress.com/
2007/09/13/ jama%EF%82%91at-al-jawiyyin-di-haramayndan-pembentukan-tradisi-intelektual-islam-di-dunia-melayunusantara/ dan . Diakses 1 Maret 2016.
Oman Fathurrahman, “Tradisi Intelektual Islam Melayu-Indonesia:
Adaptasi dan Pembaharuan: Book Review Peter Riddell,
Islam and the Malay-Indonesian World, Singapore: Horizon
Books, 2001”, dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 3,
Jakarta: PPIM UIN Syarif Hidayatullah, 2004.
Oman Fathurrahman, Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi
Muslim Nusantara, Bandung: Mizan, 2012.
392
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
J. Suyuthi Pulungan
Paisun, “Dinamika Islam Kultural: Studi atas Dialektika Islam dan
Budaya Lokal Madura”, dalam Jurnal el-Harakah, Edisi Vol.
12, No. 2, Juli-Desember, (Malang: UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2010.
Raja Ali Haji, Muqaddima fi Intizham, Riau: Daik Lingga, 1887.
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung:
Alfabeta, 2004.
Sayyed Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Perkembangan Islam di
Timur Jauh, Jakarta: Maktab al-Daimi, 1957.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
TW Arnold, The Preaching of Islam, A History of the Propogation of
the Muslim Faith, London: Luzac & Company, 1935.
Uka Tjandrasasmita, “Kedatangan dan Penyebaran Islam”, dalam
Taufik Abdullah (ed, et all), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
Asia Tenggara, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Umar Ridha Kahhalah, Dirasaat al- Ijtima’iyyah fi al-‘ushur alIslamiyyah, Dimasyq, 1973.
Zainul Milal Bizawie, “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis
dan Antropologis Pribumisasi Islam”, dalam Jurnal Tashwirul
Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan,
Edisi No. 14, Jakarta: Lakpesdam NU, 2003.
Zoelhariini, “Jaringan dan Pengaruh Pemikiran Pemikiran Syekh
‘Abd Al-Shamad Al-Palimbani”, http://zoelhariini.blogspot.
co.id/2011/06/syekh-abd-al-shamad-al-palimbani.html. Diakses
1 Maret 2016.
Vol. 2, No. 1, Januari - Juni 2017
393
Download