AN ANALYSIS OF CASTE AND GENDER DISCRIMINATION IN TARIAN BUMI : A NOVEL BY OKA RUSMINI SKRIPSI BY: ZAINUDDIN ARIEF NPM: 28181047 ENGLISH DEPARTMENT FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE WIJAYA PUTRA UNIVERSITY SURABAYA 2012 AN ANALYSIS OF CASTE AND GENDER DISCRIMINATION IN TARIAN BUMI : A NOVEL BY OKA RUSMINI Presented in Partial Fulfillment of the Requirements For The Sarjana Degree in English BY: ZAINUDDIN ARIEF NPM: 28181047 ENGLISH DEPARTMENT FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE WIJAYA PUTRA UNIVERSITY SURABAYA 2012 i Approval Sheet I The paper, entitled An Analysis of Caste and Gender Discrimination in Tarian Bumi a Novel By Oka Rusmini is proposed and submitted by Zainuddin Arief as partial fulfillment of the requirements to obtain the Sarjana Sastra Degree in English Department of Wijaya Putra University Surabaya. Surabaya, August 2012 Advisor Drs. H. Mas Moeljono ii Approval Sheet II This thesis written by Zainuddin Arief entitled An Analysis of Caste and Gender Discrimination in Tarian Bumi a Novel By Oka Rusmini has been approve by the examining committee as a Partial fulfillment of the Requirements for the Sarjana Degree. Thesis Examining Committee Dra. Arjunani, MM. ___________________ Examiner I Yulis Setyowati, S.Pd. ____________________ Examiner II Acknowledged by Faculty of Language and Literature Dean Dra. Arjunani, MM. iii APPROVAL STATEMENT Skripsi yang berjudul : An Analysis of Caste and Gender Discrimination in Tarian Bumi a Novel By Oka Rusmini adalah benar-benar karya penulis dan jika di kemudian hari terbukti skripsi ini adalah karya orang lain penulis bersedia menanggung akibatnya. Surabaya, August 2012 Writer Zainuddin Arief iv SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Lengkap NPM Fakultas Program Studi : Zainuddin Arief : 28181047 : Bahasa dan Sastra : Sastra Inggris Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui bahwa karya ilmiah saya yang berjudul: An Analysis of Caste and Gender Discrimination in Tarian Bumi a Novel By Oka Rusmini beserta perangkat yang diperlukan untuk disimpan, dipublikasikan dan diperbanyak dalam bentuk apapun oleh Universitas Wijaya Putra Surabaya untuk keperluan akademis. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dimanfaatkan sebagaimana mestinya Dibuat di Pada Bulan : Surabaya : August 2012 Zainuddin Arief v MOTTO Prevention is better than cure Don’t put of till tomorrow what you can do today Money is The root of all evils Wealth does not always help to produce happiness. vi DEDICATION To my family; My Father , Mother, My Younger brother and Younger Sister You are the diamonds of my life. To all my friends at the English Department ’08 ; Siswanto, Menik, Anyta, Ignasius Ratak, Desy, April, Lisa, Nurul, Mala, Khoirunisa, Niam, Lisa, Suseno, Nelly, Syamsiah, Eko, Shanti, Fisa. All of you are the best people I have ever known. vii ACKNOWLEDGEMENTS Alhamdulillaahirobbil’aalamiin. First of all, I want to express my gratitude to ALLAH SWT, who always shows me what is the best for me and who always teaches me how to be patient dealing with obstacles and difficulties. In the process of writing this final assignment, I am very thankful to Drs. H. Mas Moeljono who is my good advisors. Without his help, constant encouragement and inspiring ideas, this final assignment would have never been completed. I would like to thank Mrs. Dra. Arjunani. MM. and Mrs. Yulis Setyowati, S.Pd respectively as the chairman and secretary of the board of examination as well as the team of examiners. Especially thankful to the Head of English Department Mrs. Yeni Probowati, S.Pd who had given useful comment, criticism, suggestion and advice for the improvement of my experiences study. I also express my sincere thanks to all lecturers of the English Department of Wijaya Putra University. Most of all, I would like to express how grateful I am to the folks around me especially my mother, my father, my younger sister, my best friends, my friends, and all English Literary community of 2008. My deepest appreciation is dedicated to my beloved “My Mother” who has given me her love, spirit, happiness and affection in this life. I also would extend my gratitude to some other people who have provided me help in many ways in making this study complete. Forgive me that I could not put your names here, but believe me you will always be the treasure of my heart. I will always remember your kindness. viii ABSTRACT Name NPM Thesis Department Faculty Institution : Zainuddin Arief : 28181047 : An Analysis of Discrimination Caste and Gender in Tarian Bumi A Novel By Oka Rusmini. : English Department : Language and Literature : Wijaya Putra University Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui diskriminasi kasta dan gender dalam novel Tarian bumi karya Oka Rusmini ditinjau dari: (1) dampak dan pengaruhnya yang terjadi pada masyarakat bali (2) dampak dan pengaruh perbedaan kasta terepresentasikan dalam setiap nama di bali menandakan bahwa seseorang berasal dari kasta rendah apa tinggi. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Data berasal dari novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, responden, dan data dari internet berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka (library research) dan menggunakan teknik content analysis, Teknik analisis data menggunakan teknik analisis mengalir (flow model of analysis), meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Prosedur penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan, dan (3) tahap pelaporan. Simpulan penelitian ini adalah: unsur struktural dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, yaitu: (a) tema dalam novel mengenai kedudukan perempuan dalam adat Bali yang dibagikan menurut kasta, (b) diskriminasi dan latar sosial meliputi kehidupan sosial masyarakat Bali berdasarkan kastanya, (c) amanat dalam novel yaitu untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup dibutuhkan perjuangan yang keras meskipun harus menentang norma-norma adat yang berlaku di masyarakat, Tokoh perempuan dalam novel ini adalah perempuan Bali masih terbelenggu dengan adat budayanya sendiri, mereka adalah perempuan yang patuh pada adat, pekerja keras, sabar dan kuat dalam menghadapi berbagai cobaan hidup, perjuangan tokoh perempuan dalam menghadapi diskriminasi kasta dan gender yang terjadi di keluarga maupun di masyarakat. Novel Tarian Bumi termasuk dalam feminism sosialis yaitu faham yang memahami penindasan terhadap perempuan melalui kelompok sosial tertentu. Keyword: diskriminasi, feminisme, sastra, novel Tarian Bumi. ix TABLE OF CONTENTS TITLE SHEET ………………………………………………………… i APPROVAL SHEET (1)....................................................................... ii APPROVAL SHEET (2)………………………………………………. iii APPROVAL STATEMENT…………………………………………… iv EXPRESSION DOCUMENT………………………………………….. v MOTTO................................................................................................... vi DEDICATION………………………………………………………….. vii ACKNOWLEDGEMENTS……………………………………………. viii ABSTRACT............................................................................................ ix TABLE OF CONTENTS ……………………………………………… x CHAPTER I INTRODUCTION ……………………………………………………… 1 1.1 Background of The Study ……………………………………….. 1.2 Statement of The Problem ……………………………………….. 8 1.3 Objective of The Study ………………………………………….. 8 1.4 Significance of The Study ……………………………………….. 9 1.5 Scope and limitation of The Study ………………………………. 9 1.6 Definitions of Key Terms ………………………………………... 10 1.7 1 1.6.1 Kasta…………………………………………………………... 10 1.6.2 Discrimination…………….…………………………………... 12 1.6.3 Gender…………….………………………………………….. 13 Organization of the Thesis ……………………………………….. 14 x CHAPTER II REVIEW OF RELATED LITERATURE ……………………………. 15 II.1 Pendekatan Teori.....…………………………………………….... 15 II.2 Teori Kritik Sastra Feminis ……………………………………… 16 II.2.1 Kritik Ideologis ……………………………………………… 17 II.2.2 Kritik Ginokritik ……………………………………………... 17 II.2.3 Kritis Sastra Feminis Sosial…………………………………… 17 II.2.4 Kritik Sastra feminis-psikoanalitik…..…………………………. 18 II.2.5 Kritik Feminis Lesbian……………..…………………….. 18 II.2.6 Kritis Feminis Ras atau Etnik……...……………………….. 18 II.3. Dimensi Gender…………….……………….…………………….. 19 CHAPTER III METHOD OF RESEARCH ………………………………………….. 24 III.1. Pendekatan Penelitian……………………………………………. 24 III.2 Strategi Penelitian ……………………………………………….. 24 III.3 Objek Penelitian ………………………………………………… 25 III.4 Data dan Sumber Data ……..……………………………………. 26 III.4.1 Data ………………………………………………………… 26 III.4.2 Sumber Data ……………………………….………………. 26 III.4.2.1 Sumber Data Primer…………………………………... 26 III.4.2.2 Sumber Data Sekunder……………………………….. 27 III.5 Teknik Pengumpulan Data………………………………………….. 27 III.6 Teknik Analisis Data……………………………………………….. 28 xi CHAPTER IV IV.1 Finding and Analysis....…………………………………………… 30 IV.1.1 Caste dan gender Discrimination………………………………... 30 IV.1.2 The name of people in Bali representative from high or low caste. 38 IV.1.3 The Moral Lesson in Studying caste and gender discrimination…. 41 CHAPTER V V.1 Conclusion ……………………………………………………….. 44 V.2 Suggestion ……………………………………………………….. 45 BIBLIOGRAPHY APPENDIX xii CHAPTER I INTRODUCTION I.1 Background of the study Sastra adalah suatu karya yang mengekspresikan kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy kenyataan melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan berupa jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis. Sastra juga merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektika yang dikembangkan dalam karya sastra. Oleh karena itu, baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra menjadi saksi zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulasi tetap ada dalam sastra, aspek sosialpun juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh ke dalam karya sastra. Oleh sebab itu, setiap karya sastra itu mencerminkan masyarakat dan zamannya. Dalam pandangan Lowenthal (dalam Endraswara 2003:88) sastra sebagai cermin nilai dan perasaan yang akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut menurut 1 Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara nyata memantulkan keadaan masyarakat lewat karya sastranya, tanpa terlalu banyak diimajinasikan. Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dan pembacanya. Oleh karena masyarakat cenderung dinamis, karya sastra juga akan mencerminkan hal yang sama. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup tetapi lebih merupakan sebuah “proses yang hidup”. Sastra tidak mencerminkan realitas seperti fotografi, tetapi lebih sebagai bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Adanya realitas sosial dan lingkungan yang berada di sekitar pengarang menjadi bahan dalam menciptakan karya sastra sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan pengarang maupun dengan masyarakat yang ada di sekitar pengarang. Karya sastra yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah novel. Novel mampu menceritakan berbagai permasalahan atau persoalan kehidupan yang lebih kompleks dibandingkan dengan karya sastra yang lain seperti puisi, cerpen, novelet dan lain-lain. Sebagai sebuah hasil karya sastra, novel dapat dipandang sebagai potret atau cerminan suatu masyarakat. Novel yang dalam istilah latinnya disebut Novella merupakan suatu cerita atau narasi fiksi yang bentuk penulisannya diperpanjang dalam prosa, yang mana bertujuan untuk menghibur dan juga membantu pembaca untuk memahami kehidupan dan sejarah umat manusia secara lebih mendalam dengan bertoleransi dan lebih bersimpatik terhadap kehidupan. 2 Novel ditulis oleh penulis novel dengan landasan imajinasinya. Hal tersebut keluar dari pikiran penulis sendiri, dan biasanya dapat didorong keluar dikarenakan pengaruh dari suasana lingkungan sekitarnya atau hal-hal yang pernah dialami olehnya sendiri maupun orang lain. Imajinasi merupakan hasil pola pikir yang dituangkan dalam bentuk sebuah karya yang mana karya tersebut dapat juga dikatakan sebagai karya sastra fiktif. Novel memang merupakan sebuah karya sastra fiktif, namun isi dari novel itu sendiri didapat oleh penulisnya dari segala hal yang terjadi dalam kehidupan nyata dari manusia, yang kemudian dengan pola pikirnya diekspresikan dalam bentuk cerita. Dimana dalam karya tersebut diungkapkan pula sebuah realitas yang terjadi di masyarakat, khususnya mengenai perjuangan perempuan bali terhadap diskriminasi kasta dan gender. Novel Tarian Bumi bercerita tentang kehidupan sosial perempuan Bali di kalangan bangsawan. Kasta yang diagungkan serta perilaku antara orang berkasta tinggi dgn berkasta rendah. Novel Tarian Bumi juga menyinggung tentang masyarakat yang terpola-pola menurut kasta. Bagaimana perbedaan kehidupan kasta tinggi dan kasta rendah di Bali Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik masalah Kasta. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran agama Hindu dan kitab suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi. 3 Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah warna. Apabila kita mengacu pada kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Banyak orang yang menganggap Caturwarna sama dengan kasta yang memberikan seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir. Namun dalam kenyataannya, status dalam sistem Warna didapat setelah seseorang menekuni suatu bidang/profesi tertentu. Sistem Warna juga dianggap membeda-bedakan kedudukan seseorang. Namun dalam ajarannya, sistem Warna menginginkan agar seseorang melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya. Kadangkala seseorang lahir dalam keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi dan membuat anaknya lebih bangga dengan status sosial daripada pelaksanaan kewajibannya. Sistem Warna mengajarkan seseorang agar tidak membanggakan ataupun memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan mereka melakukan kewajiban sesuai dengan status yang disandang karena status tersebut tidak didapat 4 sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian mereka. Jadi, mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang disandang daripada membanggakannya. Di Indonesia (khususnya di Bali) sendiri pun terjadi kesalahpahaman terhadap sistem Catur Warna. Catur Warna harus secara tegas dipisahkan dari pengertian kasta. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Drs. I Gusti Agung Gde Putera, waktu itu Dekan Fakultas Agama dan Kebudayaan Institut Hindu Dharma Denpasar pada rapat Desa Adat se-kabupaten Badung tahun 1974. Gde Putera yang kini Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama mengemukakan: “ Kasta-kasta dengan segala macam titel-nya yang kita jumpai sekarang di Bali adalah suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa daerah Bali), oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang pemerintahan atau negara maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara turun temurun oleh anak cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak lagi memegang jabatan itu. Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa, persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam agama, bukan kasta yang dikenal, melainkan "warna" dimana ada empat warna atau Caturwarna yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat warna ini ada sepanjang zaman “ Menurut I Gusti Agung Gede Putera, kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem Warna. 5 Dalam agama Hindu, istilah kasta disebut dengan warna (Sanskerta: varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti "memilih (sebuah kelompok)". Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian maka ia menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari ketiga status tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia menyandang gelar sebagai Sudra. Keempat golongan tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya, Sudra) saling membantu dan saling memenuhi jika mereka mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Dalam sistem Caturwarna, ketentuan mengenai hak tidak diuraikan karena hak diperoleh secara otomatis. Hak tidak akan dapat diperoleh apabila keempat golongan tidak dapat bekerja sama. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Caturwarna terjadi suatu siklus "memberi dan diberi" jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya. 6 Peneliti menganggap diskriminasi kasta dan gender dalam novel Tarian Bumi penting untuk dianalisis dengan alasan sebagai berikut : 1. Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini merupakan salah satu novel penting dalam kesusastraan modern. Hal ini dibuktikan dengan adanya apresiasi para kritikus sastra dan masyarakat pada umumnya. 2. Pembahasan mengenai masalah perjuangan perempuan bali terhadap diskriminasi kasta dan gender dalam novel Tarian Bumi penting untuk dianalisa untuk mengetahui relevansinya dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. 3. Masalah diskriminasi kasta dan gender dalam karya sastra pada umumnya dan dalam novel Tarian Bumi pada khususnya merupakan fenomena menarik dalam memberikan deskripsi dan kontribusi dalam wacana feminisme, gender dan sastra. Penelitian ini membahas perjuangan perempuan bali terhadap diskriminasi kasta dan gender Tarian Bumi karya yang Oka Rusmini. terdapat Pembahasan dalam dilakukan novel dengan menggunakan tinjauan sastra feminis untuk bisa mengetahui masalah-masalah yang menunjukkan adanya perbedaan kasta dan ketidakadilan jender dalam novel Tarian Bumi tersebut serta hubungan dengan kenyataan yang ada di masyarakat. 7 I.2. Statement of the problem Sehubungan dengan latar belakang yang ditulis diatas maka Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimanakah dampak dan pengaruh akibat adanya diskriminasi kasta dan gender dalam novel Tarian bumi ? 2. Bagaimanakah dampak dan pengaruh perbedaan kasta terepresentasikan dalam setiap nama di Bali menandakan bahwa seseorang itu berasal dari kasta rendah apa tinggi dalam novel Tarian bumi ? I.3. Objective of the study Tujuan penelitian harus jelas mengingat penelitian harus mempunyai arah sasaran yang tepat berdasarkan masalah. Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui dan memahami dampak dan pengaruh diskriminasi kasta dan gender dalam novel Tarian Bumi. 2. Mengetahui dan memahami pengaruh Perbedaan kasta terepresentasikan dalam setiap nama di Bali menandakan bahwa seseorang itu berasal dari kasta rendah apa tinggi dalam novel Tarian bumi. 8 1.4. Significance of the Study Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca karya sastra. Adapun manfaat yang diharapkan adalah : 1. Dapat memperluas khasanah ilmu dalam suatu karya ilmiah untuk semua pihak terutama bagi penulis sendiri, Dan juga untuk mahasiswa jurusan bahasa dan sastra yang mana dapat memberikan contoh bagaimanakah suatu permasalahan kehidupan dalam masyarakat bisa diangkat menjadi suatu tema dalam sebuah karya sastra. 2. Mampu memberikan pandangan yang luas berkaitan dengan permasalahan yang dianalisa dalam sebuah karya sastra. 3. Penulis juga mengharapkan kepada pembaca untuk menjadi lebih bijaksana, mampu bertahan dalam menghadapi suatu permasalahan dan untuk tidak memandang suatu permasalahan hanya dari segi negatifnya saja melainkan juga dari segi positifnya. 1.5. Scope and Limitation of the study Banyak sekali permasalahan yang bisa dianalisa dalam sebuah karya sastra. Begitu juga dalam novel Tarian Bumi by Oka Rusmini. Akan tetapi analisa dalam penulisan skripsi ini di batasi pada perjuangan perempuan bali terhadap diskriminasi kasta dan gender, dan pengaruh Perbedaan kasta dalam setiap nama di Bali menandakan bahwa seseorang itu berasal dari kasta rendah apa tinggi dalam novel Tarian Bumi by Oka Rusmini. Bagaimanakah dampak dan pengaruhnya akibat adanya 9 diskriminasi kasta dan gender dalam suatu keluarga dan masyarakat sekitarnya, yang mana akan dibahas dalam bab empat dalam skripsi ini. I.6. Definitions of Key terms Untuk memudahkan pembaca memahami isi dari skripsi ini, sangat penting bagi penulis untuk menerangkan istilah-istilah yang menjadi topik pembahasan dalam skripsi ini. I.6.1 Kasta Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta:varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti "memilih (sebuah kelompok)". Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian maka ia menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, 10 serta profesi lainnya yang berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari ketiga status tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia menyandang gelar sebagai Sudra. Ada 4 tingkatan kasta di Bali yaitu : Brahmana Brahmana merupakan golongan pendeta dan rohaniwan dalam suatu masyarakat, sehingga golongan tersebut merupakan golongan yang paling dihormati. Dalam ajaran Warna, Seseorang dikatakan menyandang gelar Brahmana karena keahliannya dalam bidang pengetahuan keagamaan. Jadi, status sebagai Brahmana tidak dapat diperoleh sejak lahir. Status Brahmana diperoleh dengan menekuni ajaran agama sampai seseorang layak dan diakui sebagai rohaniwan. Ksatriya Ksatriya merupakan golongan para bangsawan yang menekuni bidang pemerintahan atau administrasi negara. Ksatriya juga merupakan golongan para kesatria ataupun para Raja yang ahli dalam bidang militer dan mahir menggunakan senjata. Kewajiban golongan Ksatriya adalah melindungi golongan Brahmana, Waisya, dan Sudra. Apabila golongan Ksatriya melakukan kewajibannya dengan baik, maka mereka mendapat balas jasa secara tidak langsung dari golongan Brāhmana, Waisya, dan Sudra. 11 Waisya Waisya merupakan golongan para pedagang, petani, nelayan, dan profesi lainnya yang termasuk bidang perniagaan atau pekerjaan yang menangani segala sesuatu yang bersifat material, seperti misalnya makanan, pakaian, harta benda, dan sebagainya. Kewajiban mereka adalah memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) golongan Brahmana, Ksatriya, dan Sudra. Sudra Sudra merupakan golongan para pelayan yang membantu golongan Brāhmana, Kshatriya, dan Waisya agar pekerjaan mereka dapat terpenuhi. Dalam filsafat Hindu, tanpa adanya golongan Sudra, maka kewajiban ketiga kasta tidak dapat terwujud. Jadi dengan adanya golongan Sudra, maka ketiga kasta dapat melaksanakan kewajibannya secara seimbang dan saling memberikan kontribusi. 1.6.2 Discrimination Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kasta atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi. 12 1.6.3 Gender Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat. Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain adalah genus) bagi pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak bahasa, yang terkenal dari rumpun bahasa Indo-Eropa (contohnya bahasa Spanyol) dan Afroasiatik (seperti bahasa Arab), mengenal kata benda "maskulin" dan "feminin" (beberapa juga mengenal kata benda "netral"). Gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya "intergender", seperti dalam kasus waria. Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin. 13 1.7. Organization of the Thesis Penelitian ini terdiri dari lima bab. Dalam bab pertama, penulis menginformasikan kepada pembaca tentang latar belakang umum dari penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian dan organisasi penulisan. Dalam bab kedua, penulis menyajikan tinjauan literatur terkait dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian sastra. Dan bab ketiga merupakan metode penelitian, dimana akan menjelaskan jenis-jenis data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, dan pada bab empat tentang analisa, dan yang terakhir bab lima merupakan kesimpulan seluruh diskusi dan saran oleh penulis. 14 CHAPTER II REVIEW OF RELATED LITERATURE Dalam bab ini, penulis menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini dan selanjutnya teori yang telah diuraikan digunakan sebagai acuan pada penulisan skripsi ini. Teori yang ada pada bab ini adalah teori – teori yang difokuskan pada teori tentang diskriminasi kasta dan gender, yang mana topik tersebut merupakan topik batasan pembahasan yang dipilih oleh penulis. Dan tidak hanya itu, penulis juga menggunakan teori – teori pendekatan feminis untuk mendapatkan analisa yang lebih dalam dan akurat dalam penelitian tentang kehidupan masyarakat Bali dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. II.1. Pendekatan Teori Pendekatan dengan feminisme memfokuskan adalah perhatian pendekatan pada relasi terhadap gender yang karya sastra timpang dan mempromosikan pada tataran yang seimbang akan laki-laki dan perempuan (Djajanegara, 2000: 27). Feminisme bukan merupakan pemberontakan kaum wanita kepada laki-laki, upaya melawan pranata sosial, seperti instusi rumah tangga dan perkawinan atau pandangan upaya wanita untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 2007: 5). Feminisme muncul sebagai akibat dari adanya prasangka gender yang menomorduakan perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan 15 mengakibatkan perempuan dinomorduakan. Perbedaan tersebut tidak hanya pada kriteria biologis, melainkan juga pada criteria sosial budaya. Asumsi tersebut membuat kaum perempuan semakin terpojok, oleh karena itulah kaum feminis memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek kehidupan, dengan tujuan agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan yang sederajat yang setidaknya sejajar dengan kaum laki-laki. II.2. Teori Kritik Sastra Feminis Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Menurut Djajanegara (2000: 27) kritik sastra feminis berasal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk mewujudkan citra wanita dalam karya penulis-penulis dengan tradisi pria yang menampilkan berbagai cara ditekan, patriarkat yang dominan. memaparkan batasan feminis adalah bahwa ada perebutan umum “membaca perbedaan makna karya disalahtafsirkan, Culler kritik sebagai penting sastra, wanita (dalam sastra dengan serta jenis kata makhluk yang disepelekan oleh Sugihastuti, feminis, perempuan” dalam sebagai bahwa adalah kelamin lain 2002:7) juga kritik sastra kesadaran pada ada pembaca makna perbedaan dan jenis kelamin dalam dunia sastra. Arti kritik sastra feminis secara sederhana menurut Sugihastuti (2002: 140) adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan 16 kesadaran khusus akan adanya perbedaan jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia pada umumnya. Jenis kelamin itu membuat banyak perbedaan, di antara semuanya dalam sistem kehidupan manusia. Ada asumsi bahwa perempuan memiliki persepsi yang dengan laki-laki dalam membaca sastra. Selain itu, Djajanegara berbeda (2000: 28-36) menyatakan bahwa ada beberapa ragam kritik sastra feminis yaitu sebagai berikut : II.2.1 Kritik Ideologis Kritik kaum citra sastra feminis, serta sebagai stereotip kesalahpahaman sering feminis pembaca. wanita tentang tidak ini dalam wanita diperhitungkan memperkaya wawasan melibatkan Yang menjadi karya sastra. dan pusat Kritik nyaris dan khususnya pembaca ini sebab-sebab bahkan pembaca wanita, adalah juga meneliti mengapa wanita diabaikan. membebaskan Cara ini cara berpikir tentang sejarah mereka. II.2.2 Kritik Ginokritik Dalam karya sastra raga mini wanita, gaya wanita. Di samping profesi penulis itu wanita termasuk penulisan, dikaji sebagai juga suatu penelitian tema, tentang genre, dan struktur penulis kreativitas penulis wanita, perkumpulan, serta perkembangan kelas-kelas masyarakat. dan peraturan tradisi penulis wanita. II.2.3 Kritis Sastra Feminis Sosial Kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita, yaitu Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas. 17 II.2.4 Kritik Sastra Feminis-Psikoanalitik Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasi dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedang wanita tersebut biasanya merupakan cerminan penciptaannya. II.2.5 Kritik Feminis Lesbian Jenis wanita ini saja, faktor, ragam yaitu homoseksual, definisi kritik kaum Pada pertama-tama meneliti ini penulis sangat kurang kaum intinya menyukai lesbian tujuan Kemudian sastra definisi pengkritik sastra tokoh karena beberapa kelompok wanita menulis tentang menggunakan bahasa feminis-lesbian adalah yang banyak kritik suatu dan terbatas jurnal-jurnal wanita mengembangkan lesbian. masih feminis kurangnya lesbianisme, terselubung. makna hanya yang lesbian cermat akan tentang menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks karyanya. II.2.6 Kritik Feminis Ras atau Etnik Kritik feminis yang berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam kajian maupun feminis. dalam Kritik sastra ranah beranjak sastra dari tradisional diskriminasi ras dan yang dialami wanita sastra kaum wanita yang berkulit hitam selain di Amerika. 18 II.3. Dimensi gender Dimensi berarti mendefinisikan parameter sifat-sifat pengukuran suatu objek yang dibutuhkan (Supriyanto. 2008. untuk “Dimensi”. http://id.wikipedia.org). Gender adalah sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan sehingga perempuan lahir yang beberapa dibentuk anggapan oleh tentang faktor-faktor peran sosial sosial budaya, budaya laki-laki dan perempuan. Dari keterangan di atas maka dapat disimpulkan Dimensi gender adalah sudut pandang gender atau lingkup gender yang berhubungan dengan feminisme, bisa masalah kesetaraan perempuan, ketidakadilan terhadap hak perempuan. Makna kata hak-hak perempuan, dan “gender” yang pertama muncul di kamus adalah “penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan dua jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan)” Concise Oxford Dictionary of Current English, dalam Fakih, 2000: xii). Dalam khasanah ilmu-ilmu sosial istilah gender diperkenalkan untuk mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis. Jadi, rumusan gender ini merujuk kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang merupakan bentukan sosial; perbedaan-perbedaan yang tetap muncul meskipun tidak disebabkan oleh perbedaan-perbedaan biologis yang menyangkut jenis kelamin. Dalam rumusan ilmu-ilmu sosial itu, yang dimaksud dengan istilah hubunganhubungan (atau relasi gender) adalah sekumpulan aturan-aturan, tradisi-tradisi, hubungan-hubungan sosial timbal balik dalam masyarakat dan dan dalam 19 kebudayaan, yang menentukan batas-batas ‘feminin’ dan ‘maskulin’ (memutuskan apa saja yang dianggap bersifat keperempuanan dan bersifat kelelakian). Pemahaman konsep gender sesungguhnya masalah hubungan kemanusiaan dalam (Fakih, 2000: rangka menjelaskan 6). Adapun gender sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih,2000: 8). Konsep gender sesungguhnya berkaitan dengan budaya. Keterkaitan itu menyebabkan wacana gender menjadi sebuah fenomena yang melintasi batas-batas budaya. perkembangan pola pikir manusia mengenai laki-laki dalam gender kedudukan muncul wanita karena bersama kehidupan bermasyarakat. Dalam gender dikenal sistem hirarki yang menciptakan kelompok-kelompok yang bersifat operasional, kelompok tersebut saling bergantung atau bahkan bersaing untuk mempertahankan kekuasaan masing-masing (Moore dalam Abdullah, 1997: 87). Ann Oakley(dalam Abdullah, 1997: 284) menyatakan bahwa hubungan yang berdasarkan gender merupakan : 1. Hubungan antara manusia yang berjenis kelamin berbeda dan itu merupakan hirarki yang menimbulkan masalah social. 2. Gender merupakan konsep yang cenderung deskriptif daripada eksplanatoris tentang tingkah laku kedudukan sosial dan pengalaman antara laki-laki dan perempuan. 3. Gender memformulasikan bahwa hubungan asimetris laki-laki dan perempuan sebagian order atau normal. 20 Moore (dalam Abdullah, 1997: 188) menyatakan bahwa gender mempunyai tiga pendekatan yang berfungsi sebagai prinsip yaitu permasalahan status sosial dan (1) Pendekatan pertumbuhan pada ekonomi yang efisien; (2) Integrasi penuh perempuan pada pengambilan keputusan; (3) Wanita mempunyai kebebasan yang sama dalam menentukan pilihan baik aktivitas ekonomi maupun aktivitas lainnya. Kesetaraan gender mempergunakan aspek gender untuk membahas atau menganalisis isu-isu di dalam bidang-bidang politik, ekonomi, sosial, hukum budaya, psikologi tersebut mempengaruhi program, proyek, dipelajari bagaimana untuk dan dan memahami dipengaruhi kegiatan-kegiatan. faktor gender bagaimana oleh Dalam aspek gender kebijakan-kebijakan, pembahasan menumbuhkan tersebut diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), dalam menikmati serta kesamaan hasil pembangunan tersebut (Bambang Sujatmiko. 2009. “Kesetaraan Gender”. http://menengpp.com). Ketidakadilan perempuan di gender adalah belakang laki-laki. diskriminasi Fakih (2000: yang 13-23) menempatkan mengemukakan bahwa manifestasi ketidakadilan gender antara lain: (1) Gender dan marjinalisasi perempuan (2) Gender dan subordinasi 21 (3) Gender dan stereotype (4) Gender dan kekerasan (5) Gender dan beban kerja. Marjinalisasi berarti menempatkan/ menggeser perempuan pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang/ tidak rasional, kurang sehingga perempuan memimpin. tidak pantas/ selalu tidak dinomorduakan Marjinalisasi kaum berani perempuan tidak berani, memimpin. apabila ada sering ke Akibatnya kesempatan terjadi dalam untuk kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan tempat kerja (Fakih, 2000: 14-15). Kaum perempuan sering mendapat diskriminasi oleh anggota keluarga lakilaki. mereka menganggap bahwa perempuan tidak pantas mendapat pendidikan tinggi, yang memperoleh pendidikan tinggi hanyalah laki-laki, sedangkan perempuan bekerja di dapur. Kekuasaan tertinggi ada di tangan laki-laki apapun yang terjadi kaum laki-lakilah yang boleh memberi keputusan (Nunuk, 2004: ix). Subordinasi terhadap kaum perempuan sering terjadi di masyarakat. Perempuan sering diberi tugas yang ringan dan mudah karena mereka di pandang kurang mampu dan lebih rendah daripada laki-laki. Pandangan ini bagi perempuan pembantu, menyebabkan sosok, kemampuannya bayangan sebagai mereka merasa dan tidak pribadi. menyebabkan mereka sah untuk tidak Bagi sudah selayaknya berani laki-laki sebagai memperhatikan pandangan ini memberikan kesempatan perempuan muncul sebagai pribadi yang utuh. Mereka selalu merasa khawatir apabila satu pekerjaan yang utuh atau berat ditangani oleh perempuan laki-laki 22 menganggap perempuan tidak mampu berfikir seperti ukuran mereka diungkapkan dalam bentuk (Nunuk, 2004: x) Stereotype laki-laki atas perempuan kekuasaan laki-laki untuk melakukan kekerasan fisik, psikis baik verbal maupun non verbal terhadap perempuan. Kekerasan (violence) adalah saranan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas psikologi seseorang. Kekerasan terhadap semua manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber (Fakih, 2000: 17) Beban kerja yang dimiliki oleh perempuan sangat berat karena harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencari air untuk mandi hingga mengurus anak. Bagi perempuan kalangan atas kurang biasa merasakan beban ini, tetapi bagi perempuan kalangan bawah setiap hari mereka harus merasakan beban tersebut. Perempuan harus memikul beban kerja ganda, mereka harus bekerja di dalam rumah tangga dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Nunuk, 2004: x). Faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender tersebut, antara lain (1) Adanya organisasi laki-laki yang sama sekali tidak memberi kesempatan pada kaum perempuan untuk berkembang secara maksimal; (2) Laki-laki sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga; (3) Kultur yang selalu memenangkan laki-laki telah mengakar di masyarakat; (4) Norma hukum dan kebijakan politik yang diskriminatif; (5) Perempuan sangat rawan pemerkosaan atau pelecehan seksual dan bila ini terjadi akan merusak citra keluarga dan masyarakat (Fakih, 2000:12). 23 CHAPTER III METHOD OF RESEARCH III.1. Pendekatan Penelitian Metode yang digunakan dalam mengkaji novel Tarian Bumi adalah metode deskriptif kualitatif. Pengkajian jenis ini bertujuan untuk mengungkapkan data sebagai media informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (indikator atau kelompok), keadaan, fenomena dan tidak terbatas pada pengumpulan data meliputi analisis interpretasi (Sutopo, 2002: 8-10). Pengkajian deskriptif menyarankan pengkajian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya (sastrawan). Artinya yang dicatat dan dianalisis adalah unsur-unsur. Dalam mengkaji novel Tarian deskriptif kualitatif. Metode dianalisis dan analisisnya hasil penelitian Bumi digunakan deskriptif berbentuk metode kualitatif diskripsi, tidak penelitian artinya berupa yang angka- angka atau koefisien tentang hubungan variable (Aminudin, 1990: 116). III.2. Strategi Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Pengkajian ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat suatu hal, fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data, melainkan meliputi analisis dan interpretasi (Sutopo, 2002: 8 - 10). Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi studi 24 terpancang. Sutopo (2002: 112) memaparkan bahwa pada penelitian terpancang, peneliti di variabel dalam proposalnya yang sudah memilih menjadi dan menentukan fokus utama. Arah atau penekanan dalam penelitian ini adalah Perjuangan perempuan bali terhadap diskriminasi kasta dan gender dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, urutan analisis sebagai berikut : 1. Bagaimanakah dampak dan pengaruh akibat adanya diskriminasi kasta dan gender dalam novel Tarian Bumi ? 2. Bagaimanakah dampak dan pengaruh perbedaan kasta terepresentasikan dalam setiap nama di Bali menandakan bahwa seseorang itu berasal dari kasta rendah apa tinggi dalam novel Tarian Bumi ? III.3. Objek Penelitian Objek adalah unsur-unsur yang bersama-sama dengan sasaran penelitian membentuk kata dan konteks data (Sudaryanto, 1988: 30). Objek penelitian dapat berupa budaya dan sebagainya. individu, benda, bahasa, karya sastra Objek dalam penelitian ini adalah diskriminasi kasta dan gender dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini: tinjauan sastra feminis. 25 III.4. Data dan Sumber Data Untuk melengkapi sebuah analisis dalam penelitian ini, maka selain pembacaan juga diperlukan data dan sumber data yang akurat dan lengkap. III.4.1 Data Data adalah bagian yang sangat penting dalam setiap bentuk penelitian. Adapun data dalam penelitian ini berupa data lunak (soft data) yang berwujud kata, kalimat, dan paragraf yang terdapat dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, cetakan pertama, setebal 182 halaman. III.4.2 Sumber Data Sumber kepustakaan. data yang Kepustakaan digunakan adalah dalam sumber data penelitian yang ini adalah diperoleh dari dokumen yang mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel yang merupakan catatan, menunjang penelitian. transkip, Hal buku, ini majalah sejalan dan dengan lain-lain perincian yang sebagai berikut: III.4.2.1 Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber data utama penelitian yang diproses langsung dari sumbernya tanpa melalui perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini berupa teks novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, cetakan pertama, setebal 182 halaman. 26 III.4.2.2 Sumber Data Sekunder Sumber data dikumpulkan sekunder oleh orang adalah di luar data yang penyelidik, terlebih dahulu walaupun yang dikumpulkan itu sebenarnya data yang asli. Dalam penelitian internet yaitu ini Gita sumber sekundernya berupa Lakshmi. 2007. “Tarian artikel Bumi di Tarian Pemberontakan”. http://sepocikopi-wordpress, Oka Rusmini. 2007. “Menulis Itu Buat relevansi Saya”. untuk http://pinjambuku.wordpress, memperkuat argumentasi yang mempunyai dan melengkapi hasil penelitian. III.5. Teknik Pengumpulan Data Data yang berhasil digali dikumpulkan dan dicatat, dalam kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh sebab itu setiap penelitian harus untuk mengembangkan memilih validitas dan data menentukan yang cara-cara diperoleh. yang Pengumpulan tepat data dengan benar-benar diperlukan oleh peneliti. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka yaitu mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data dan konteks kesastraan dengan dunia nyata secara mimemik. Teknik simak dan catat digunakan sebagai instrumen kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data primer, yakni karya sastra sebagai sasaran penelitian yang berupa teks novel Tarian Bumi dalam rangka memperoleh data yang diinginkan. 27 III.6. Teknik Analisis Data Teknik analisis dalam semiotik terdiri atas heuristik berarti pembaca penelitian pembacaan ini heuristik melakukan adalah dan interpretasi pembacaan hermeneutik. secara model Pembacaan referensial melalui tanda linguistik. Realisasi pembacaan heuristik dapat berupa sinopsis, pengungkapan teknik cerita, dan gaya bahasa yang digunakan. Pembacaan hermeuneutik merupakan pembacaan kritis secara bolak-balik terhadap teks dari awal hingga akhir dengan melakukan interpretasi makna (Pradopo dalam Sangidu, 2004: 19). Langkah dalam menganalisis novel Tarian Bumi dalam penelitian ini adalah pembacaan awal novel Tarian Bumi ini meliputi tema, alur, latar, penokohan dan perwatakan, dan amanat. Tahap pembacaan ini merupakan interpretasi tahap kedua yang bersifat retroakif yang melibatkan kode di luar bahasa dapat dan menggabungkannya membongkar secara struktural secara guna integrative sampai mengungkapkan pembaca makna dalam sistem tertinggi yakni makna keseluruhan teks sebagai sistem tertentu. Hubungan antara heuristik dan hermeuneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan kerja hermeuneutik yang oleh Riffattere juga sebagai pembaca retroaktif yang memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis (Nurgiyantoro, 2007: 35). Untuk melengkapi sebuah analisis dalam penelitian ini, maka selain pembacaan heuristik digunakan juga kerangka berpikir induktif. Hadi (1984: 43) menyatakan analisis induktif dilakukan dengan menelaah faktafakta yang khusus, peristiwa yang konkret kemudian dari fakta-fakta itu 28 dibalik, digeneralisasikan dari sifat yang umum. Proses induktif diawali dengan peristiwa di dalam novel Tarian Bumi kemudian menuju ke hal-hal umum yaitu tentang kejadian yang terjadi di dalam kehidupan nyata. 29 BAB IV FINDING AND ANALYSIS Masyarakat Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya. Sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Selain itu agama Hindu yang telah lama terintegrasikan kedalam kebudayaan Bali, dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan satuan itu. Perkawinan merupakan suatu adat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali. Karena dengan keadaan itu seseorang memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat. Penulis dalam penelitian ini telah menemukan beberapa diskriminasi kasta dan gender serta perbedaan kasta terepresentasikan dalam setiap nama di Bali menandakan bahwa seseorang itu berasal dari kasta rendah apa tinggi pada novel tarian bumi. Penulis juga akan menganalisa hal-hal yang mana secara langsung dapat ditemukan dampak dan pengaruhnya bagi kehidupan tokoh di novel itu sendiri maupun kehidupan orang-orang disekitarnya. Disamping hal-hal tersebut dalam bab ini oleh penulis akan didiskusikan juga nilai-nilai moral yang di dapat dari penelitian novel ini. III.1.1 Caste dan gender Discrimination Dalam suatu pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah atau batu sandungan. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun zaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi. 30 Di Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah menikah dan menjadi istri akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam pernikahan beda kasta, seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah biasa jika dijadikan istri oleh lelaki dari kasta yang lebih tinggi. Bahkan pihak keluarga perempuan kadang ada rasa bangga. Lalu bagaimana jika seorang perempuan berkasta menikah dengan lelaki tidak berkasta atau dengan lelaki yang kastanya lebih rendah? Ini istilahnya “nyerod” atau turun kasta. Pernikahan seperti ini sangat dihindari dan kalaupun terjadi biasanya dengan sistem “ngemaling” yaitu menikah dengan sembunyi-sembunyi. Karena pernikahan “nyerod” seperti ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga besar pihak perempuan. Jadi seperti “tradisi” diatas, semakin tinggi kasta perempuan maka semakin sempit pula peluang mereka untuk memilih jodoh, karena biasanya pihak keluarga yang berkasta lebih senang menjodohkan anak perempuannya dengan pilihan orangtua atau pilihan keluarga. Kasus “nyerod” sangat jarang, jadi jarang ada lelaki biasa (tidak berkasta) memiliki istri yang berkasta. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: “kau sadar siapa dirimu, Wayan? Kau sudah berfikir apa jadinya kalau kau menikah dengan Dayu Telaga? Ada apa dengan dirimu! Kau anak laki-laki satu-satunya milik meme. Jangan buat masalah dengan orang-orang griya. Tugeg, pikirkan lagi keputusan ini. Tolonglah, ini semua demi kebaikan kami” ( Oka Rusmini, 2007 : 136 ) Kutipan diatas menunjukkan bahwa terjadi suatu bentuk diskriminasi kasta, Wayan adalah laki-laki berkasta sudra dan Dayu Telaga adalah perempuan berkasta brahmana. Seorang laki-laki sudra dilarang meminang perempuan brahmana. Akan 31 mendapat dampak dan pengaruh buruk apabila wayan mengambil Telaga sebagai istri. Perempuan sudra itu percaya pada mitos yang juga dipercaya oleh leluhurnya. Dengan kekuatan cinta yang mereka miliki akhirnya mereka menikah dengan sembunyisembunyi (ngemaling) tanpa sepengetahuan pihak griya (rumah keluarga perempuan). Apabila perempuan sudra menikah dengan laki-laki brahmana, maka perempuan itu akan berkasta brahmana (naik kasta), Dan apabila perempuan brahmana menikah dengan laki-laki sudra, maka perempuan itu akan berkasta sudra (turun kasta). Dengan melakukan upacara Patiwangi sesuai tradisi adat yang dipercaya masyarakat Bali supaya tidak terjadi dampak dan pengaruh yang buruk (sial) terhadap keluarga. Faktor strata masyarakat di Bali dibedakan pada kedudukan kasta yang mereka sandang. Kasta Bramana dengan kasta Sudra terpaut jarak sosial yang jauh. Dalam kitab Bali sudah tertuliskan adanya perbedaan itu hingga sekarang ini, dan sudah menjadi pijakan bagi kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat yang berstatus dalam kasta sudra wajib menghormati kelas di atasnya yaitu kasta Brahmana. Pola pikir dan tindakan belum bisa mengubah sedikit adat istiadat yang memandang rendah kaum Sudra. Kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat Bali dan keharusan bagi mereka untuk senantiasa taat pada jenjang kasta, jika tidak ingin terjebak dalam kehidupan yang merana dan terlempar jauh dari pusaran kehidupan yang mapan. Perempuan Bali masih terbelenggu dengan adat budayanya sendiri, mereka adalah perempuan yang pekerja keras, sabar dan kuat dalam menghadapi berbagai cobaan hidup, penindasan terhadap perempuan melalui kelompok sosial tertentu. Tapi dibandingkan dengan kasus “nyerod”, masyarakat sepertinya lebih terbiasa dan bisa menerima melihat perempuan Bali yang menikah dengan lelaki yang bukan 32 orang Bali/Hindu. Sistem patrilineal ini juga menyebabkan orang Bali secara tidak langsung lebih menginginkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Ya walaupun tidak semua orang tua seperti itu. Bagaimana jika tidak memiliki anak laki-laki? Ada juga sistem pernikahan matrilineal. Yaitu pihak lelaki yang akan bergabung dengan keluarga perempuan. Istilahnya “nyentana” atau “nyeburin”, saat ini juga cukup lumrah terjadi. Kalau pernikahan “nyeburin” atau “nyentana” ini terjadi dalam satu tingkatan kasta yang sama, biasanya tidak akan ada masalah. Laki-laki di bali beranggapan bahwa perempuan yang mempunyai kasta yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang terhormat di masyarakat daripada perempuan yang lebih rendah kastanya. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: “Sayang dia seorang brahmana, Andaikata dia seorang sudra, perempuan kebanyakan, aku akan memburunya sampai nafasku habis. Kalau dia minta nafasku, aku akan memberikan hari ini juga“ ( Ibid : 7 ). Kutipan diatas menunjukkan bahwa terjadi suatu bentuk diskriminasi tentang pandangan seorang laki-laki terhadap perempuan yang kastanya lebih tinggi. Laki-laki akan berhati-hati dalam melakukan komunikasi Dan sangat menjaga perilakunya dihadapan perempuan berkasta lebih tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya mereka yang berkasta menggunakan bahasa Bali halus untuk berkomunikasi dengan kasta yang selevel dan level di atasnya. Sementara ketika berbicara dengan berkasta lebih rendah, yang memiliki kasta lebih tinggi kadang dianggap bisa menggunakan bahasa yang biasa atau lebih ‘kasar’. 33 Dalam kegiatan sosial masyarakat, mereka yang berkasta lebih tinggi juga biasanya lebih dihormati, salah satunya ditunjukkan dengan bahasa yang digunakan. Apalagi mereka yang berkasta itu kebetulan secara ekonomi lebih mampu alias kaya. Tentu tidak semua orang seperti itu, banyak juga mereka yang tidak berkasta namun tetap dihormati. Dan kembali juga kepada masing-masing orang karena pada kenyataannya tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang hormat kepada mereka yang berkasta. Masyarakat berkasta brahmana sangat mengagungkan nilai-nilai kebangsawanan Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: “Tuniangmu sangat tidak bisa menerima apabila ada lakilaki griya menikah dengan perempuan biasa, tuniangmu sangat kukuh. Kebangsawanan harus tetap di pertahankan sesuai dengan tradisi yang diwarisi dari orang-orang tua kita“ ( Ibid : 19 ). Kutipan diatas menunjukkan bahwa keluarga bangsawan sangat menjaga kasta yang dimiliki keluarga besarnya. Manusia yang menikah beda kasta dalam kebudayaan Bali sangat dilarang hal ini akan membawa aib bagi kedua belah pihak dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Bagi perempuan Brahmana akan mendapat sanksi berupa penurunan kasta dan menjalani ritual adat begitu sebaliknya bagi perempuan Sudra akan diperlakukan secara berbeda dengan perempuan yang asli keturunan kasta Brahmana. Kaum perempuan sering mendapat diskriminasi oleh laki-laki. mereka menganggap bahwa perempuan tidak pantas mendapat pendidikan tinggi, yang memperoleh pendidikan tinggi hanyalah laki-laki, sedangkan perempuan bekerja di 34 dapur. Kekuasaan tertinggi ada di tangan laki-laki apapun yang terjadi kaum lakilakilah yang boleh memberi keputusan. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut: “Sungguh, Meme, aku ingin melakukannya. Bahkan kudengar laki-laki yang sering mencubit pantatku istrinya dua. Laki-laki tukang kawin. Padahal dia tidak punya pekerjaan yang bisa menopang keluarganya” ( Ibid : 32 ). Kutipan diatas menunjukkan bahwa terjadi suatu bentuk diskriminasi tentang Faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender yang mengatakan bahwa Perempuan sangat rawan pemerkosaan atau pelecehan seksual dan bila ini terjadi akan merusak citra keluarga dan masyarakat. Kutipan diatas menceritakan Beban kerja yang dimiliki oleh Luh kenten anak seorang perempuan sudra sangat berat karena harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga, mulai dari membersihkan, memasak, mencari kayu bakar, hingga mencari air untuk mandi. Bagi perempuan kalangan atas kurang biasa merasakan beban ini, tetapi bagi perempuan kalangan bawah setiap hari mereka harus merasakan beban tersebut. Perempuan harus memikul beban kerja ganda, mereka harus bekerja di dalam rumah tangga dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 35 Seperti pada kutipan berikut : “Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang. Itu kuncinya agar hidup laki-laki bisa makmur, bisa tenang. Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka Cuma perlu kasih sayang, cinta, dan perhatian. Kalau itu sudah dipenuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka. Lebih sering berbohong lebih baik. Mereka menyukainya. Itulah ketololan perempuan. Tapi ketika berhadapan dengan mereka, mainkanlah peran pengabdian, hamba mereka. Pada saat seperti itu perempuan akan menghargai kita”( Ibid : 32 ). Kutipan diatas menunjukkan bahwa terjadi suatu bentuk diskriminasi tentang pandangan seorang laki-laki terhadap Kedudukan wanita yang menjadi objek dalam penciptaan karya sastra menimbulkan adanya persepsi kurang baik dan sebuah pandangan tersendiri terhadap wanita, wanita tidak memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Dan wanita juga tidak berdaya intelektual tinggi, selain itu juga dapat menimbulkan pandangan lain tentang wanita, yaitu selalu dianggap lemah, tidak kreatif, berperan domestik, dan selalu berada pada kekuasaan laki-laki. Dengan adanya anggapan-anggapan tentang kedudukan wanita tersebut. Mendorong wanita untuk menjadi maju dan modern. Seiring dengan meningkatnya kemakmuran dan pendidikan wanita akibat industrialisasi. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum ( baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum hukum adat ). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan lakilaki. 36 Adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminis berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut : “perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri”( Ibid : 25 ). Kutipan diatas menunjukkan bahwa terjadi suatu bentuk perjuangan perempuan terhadap pandangan laki-laki selama ini. Wanita juga mempunyai kebebasan yang sama dalam menentukan pilihan baik aktivitas ekonomi maupun aktivitas lainnya. Perjuangan Luh Sekar dalam mewujudkan impiannya untuk menikah dengan seorang laki-laki dari kasta Brahmana begitu kuat. Dia ingin keluar dari kehidupan yang dialaminya selama menjadi seorang perempuan Sudra yang cenderung kurang dihormati di masyarakat dan selalu identik dengan kemiskinan. Akhirnya impian Luh sekar ibu dari Ida Ayu Telaga Pidada bisa terwujud. Dia menjadi seorang perempuan Brahmana setelah menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada. Dia bisa menikmati kemewahan dan kekayaan yang dialami perempuan Brahmana di Griya. Luh sekar juga sangat di hormati oleh ibunya yg perempuan sudra dan di hormati masyarakat, Yang selama ini menganggap bahwa perempuan sudra tidak patut untuk di hormati. 37 IV.1.2 The name of people in Bali representative from high or low caste Nama Orang Bali pada umumnya relatif panjang. Sebagai contoh adalah I Gusti Agung Made Wirautama. Itu padahal nama intinya hanya satu kata yaitu “Wirautama”, bisa jadi lebih panjang lagi jika nama intinya lebih dari satu kata. Lalu apa maksud dari “I Gusti Agung Made” pada nama itu? Nama orang Bali umumnya diawali dengan sebutan yang mencirikan kasta dan urutan kelahiran. Jadi, nama orang Bali menjadi panjang karena di depannya ada embelembel kasta atau nama keluarga (semacam marga) dan urutan kelahiran. Seperti, “I Gusti Agung” adalah mencirikan berasal dari kasta Ksatria. Selain itu ada juga I Gusti, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Cokorda, I Dewa, Ida Bagus, Ida Ayu dan lainnya. Selain embel-embel kasta, ada juga kata Made. Ini adalah ciri bahwa anak kedua. Jadi pada umumnya orang Bali bisa diketahui dia anak ke berapa dari nama depannya. Anak pertama : biasanya diberi awalan Putu, Wayan (biasanya untuk laki-laki), Luh (khusus perempuan), Gede. Anak kedua : Made, Nengah, Kadek . Ketiga : Nyoman, Komang. Keempat : Ketut (kadang digunakan untuk anak ketiga). Untuk anak selanjutnya biasanya diulang lagi dari awal. Dari nama berdasarkan urutan kelahiran mungkin bisa dikatakan orang Bali sudah menerapkan sistem keluarga berencana ala Bali sejak dahulu. Ya walaupun pada prakteknya orang Bali dulu memiliki relatif banyak anak. Akan tetapi ada juga yang memiliki anak sedikit. 38 sistem nama berdasarkan kasta juga berkaitan dengan nama depan yang berdasarkan urutan lahir. Misalnya tidak ada orang berkasta yang memiliki awalan Luh atau Wayan. Begitu pula dari kasta Brahmana jarang yang menggunakan nama depan berdasarkan urutan kelahiran seperti Putu, Made, Ketut, jadi cukup berawalan Ida Bagus (laki-laki) atau Ida Ayu (perempuan) saja. Nama orang Bali laki-laki dan perempuan juga ada ciri tertentu, misalnya kalau diawali dengan huruf/kata “I” biasanya orang laki-laki dan perempuan diawali dengan kata “Ni”. Tapi tidak semua kasta / orang Bali menggunakan kata I atau Ni. Misalnya dari golongan Anak Agung semuanya akan diawali dengan kata “Anak Agung”. Namun semua tradisi bukannya tidak mengalami perubahan. Contohnya dulu Putu hanya digunakan untuk nama orang berkasta namun sekarang semua orang biasa menggunakannya untuk nama depan anak pertama mereka tidak perduli dari kasta apapun. Meme : Ibu Luh : Panggilan untuk anak perempuan kebanyakan Odah : Nenek ( Panggilan nenek untuk kasta Sudra ) Tuniang : Nenek ( Panggilan nenek untuk kasta Brahmana ) Tukakiang : Kakek Ida Ayu : Nama depan anak perempuan kasta brahmana, Kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali, biasanya disingkat Dayu Ida Bagus : Nama depan anak laki-laki kasta brahmana, Kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali Hyang Widi : Tuhan 39 Griya : Rumah tempat tinggal kasta Brahmana. Untuk kasta kesatria rumahnya bernama puri. Takir/celemik : Alat perlengkapan upacara. Nyentanain : Kawin dengan seorang perempuan yang telah dijadikan (ahli waris). Yang perempuan berkuasa dirumah. Dalam hal yang demikian pihak perempuan yang meminta laki-laki. Karena peraturan adat yang dibalikkan, maka pihak perempuan dipandang sebagai pihak lakilaki, yang lelaki sebagai perempuan. Ratu : Panggilan kehormatan untuk kalangan bangsawan. Bli : Panggilan untuk kakak laki-laki. Tiang : Saya. Nama orang Bali ini merupakan salah satu keunikan yang ada di Bali dan hingga saat ini sebagian besar orang Bali masih menggunakannya. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut : “Setelah disunting secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, Luh Sekar tidak hanya meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, dia harus juga meninggalkan semua yang pernah membesarkannya” ( Ibid : 54 ). Kutipan diatas menunjukkan bahwa pernikahan beda kasta di Bali juga akan berpengaruh terhadap nama perempuan sudra yang menikah dengan laki-laki brahmana, Ida Bagus gurah Pidada adalah laki-laki brahmana dan Luh Sekar adalah perempuan sudra. Luh Sekar berganti nama dengan Jero Kenanga karena nama yang 40 harus dipakai oleh seorang perempuan kebanyakan yang menikah dengan laki-laki Brahmana Dan derajat perempuan itu juga berubah menjadi seorang bangsawan (Brahmana). Seperti pada kutipan berikut : “Tugeg harus pegang kata-kata tiang ini. Hargai diri Tugeg. Menjadi bangsawan itu sudah kemewahan bagi seorang manusia” ( Ibid : 54 ). Kutipan diatas menunjukkan bahwa perubahan nama anak seorang perempuan sudra apabila menikah dengan seorang laki-laki brahmana juga berpengaruh terhadap masyarakat yang akan memanggilnya. Tugeg adalah singkatan dari Ratu jegeg. Seorang yang kastanya lebih rendah akan memanggil anak perempuan Brahmana dengan panggilan Tugeg ( Nama panggilan dari Ida Ayu Telaga Pidada ). Meskipun ibunya luh sekar dulu berasal dari kasta sudra tapi menikah dengan laki-laki Brahmana sehingga berubah nama jadi Jero kenanga dan anak perempuanya juga mendapat gelar kehormatan dan berhak menyandang nama Ida Ayu Telaga Pidada Dan menjadi seorang Brahmana. IV.8. The Moral Lesson in Studying caste and gender discrimination. Dari penelitian novel Tarian Bumi by Oka Rusmini ini, kita juga dapat mengambil nilai-nilai moral yang mana terdapat didalam beberapa kutipan cerita dimana dapat dijadikan sebuah hikmah kita dalam kehidupan dan juga sebagai pegangan untuk kita dalam nejalani kehidupan di masyarakat. Seorang ibu yang menginginkan anak perempuan satu-satunya menikah dengan seorang laki-laki dari kasta brahmana agar garis keturunan keluarga bangsawan akan selalu terjaga. 41 Seperti dalam kutipan berikut : “kau adalah harapan meme, Tugeg. Kelak, kau harus menikah dengan laki-laki yang memakai nama depan Ida Bagus. Kau harus tanam dalam-dalam pesanku ini. Sekarang kau bukan anak kecil lagi. Kau tidak bisa bermain bola lagi. Kau harus mulai belajar menjadi peempuan keturunan Brahmana. Menghapal beragam sesaji, juga harus tahu bagaimana mengukir janur untuk upacara, Pegang kata-kataku ini, Tugeg. Kau mengerti?” ( Ibid : 67 ). Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat suatu pesan moral yang bisa dijadikan gambaran para pembaca untuk menyikapi bahwa keinginan orangtua tidak selamanya sesuai dengan keinginan anaknya, dan bahkan bisa menimbulkan suatu permasalahan hingga terjadi ketidakharmonisan hubungan seorang ibu dan anak. Memaksakan suatu kehendak terhadap anak akan menimbulkan dampak dan pengaruh yang buruk apabila tidak ada kesepakatan dan komunikasi yang baik antara ibu dan anak. Meskipun seorang ibu memiliki masa lalu yang kelam dan tidak baik pasti menginginkan anaknya menjadi yang terbaik bagi keluarga dan masyarakat. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut : “Aku bicara yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin seorang jogged yang tubuhnya biasa disentuh laki-laki bisa menasehati cucuku dengan baik.” ( Ibid : 73 ). Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat suatu bentuk pesan moral yang bisa kita ambil sebagai pelajaran yang mana masa lalu adalah bagian dari pengalaman hidup. Manusia tidak bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan yang bisa terjadi pada siapapun dan dimanapun. Meskipun dalam kutipan diatas bahwa seorang ibu dari keluarga sudra mengalami pelecehan sexual ketika menjadi seorang penari, akan tetapi 42 dengan penuh ambisi dan keyakinan menjadi seorang ibu mempunyai harapan yang besar terhadap anaknya agar tidak mengalami kejadian yang buruk yang pernah dialaminya. Seorang ibu menginginkan anaknya menjadi yang terbaik dan menjaga nama baik keluarganya di masyarakat. Ketidak adilan bisa dialami pada siapapun dan dimanapun, dalam kehidupan masyarakat sering terjadi pandangan, tindakan atau perilaku yang menunjukkan rasa ketidak adilan itu timbul. Seperti yang terjadi pada kutipan berikut : “Jangan kau bawa cucuku ke rumahmu, Cucuku seorang Brahmana, bukan Sudra. Bagaimana kamu ini! Kalau sering kau bawa pulang ke rumahmu, cucuku tidak akan memiliki sinar kebangsawanan. Kau mengerti Kenanga!” ( Ibid : 61 ). Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat suatu bentuk pesan moral yang bisa kita ambil sebagai pelajaran yang mana diskriminasi bisa terjadi d dalam keluarga maupun di masyarakat. Dalam kutipan diatas menunjukkan bahwa suatu bentuk perbedaan bisa menimbulkan masalah dan mengakibatkan ketidakharmonisan hubungan keluarga dan pengaruh buruk di masyarakat. Selama ini kelas bawah yaitu sudra sering tidak dihormati dan dianggap tidak mempunyai kedudukan di masyarakat. Kelas atas yaitu Brahmana sangat dihormati sama kelas dibawahnya, dan mendapat perlakuan yang terhormat di masyarakat. Pesan yang dapat diambil dari novel yang telah dianalisis oleh penulis adalah menghormati sesama manusia tanpa memandang status, kelas, ekonomi dan gender itu akan membuat hubungan suatu keluarga atau masyarakat bisa harmonis dan berjalan dengan baik. CHAPTER V 43 CONCLUSION AND SUGGESTIONS 5.1 Conclusion Setelah melakukan analisis tentang diskriminasi kasta dan gender yang terdapat di dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini maka dapat disimpulkan oleh penulis bahwa diskriminasi merupakan sesuatu hal yang dapat terjadi dimanapun, kapanpun dan untuk siapa pun, yang mana tentu saja hal tersebut terjadi disebabkan oleh suatu hal yang dapat memancing ketidakadilan yang dialami individu, keluarga maupun kelompok atau golongan. Seorang anak perempuan bernama Telaga yang lahir dari seorang Ibu bernama Luh Sekar, perempuan sudra yang menikah dengan seorang Ida bagus (nama depan lakilaki dari kasta Brahmana, kasta tertinggi dari masyarakat bali). Sudra adalah kasta terendah dalam masyarakat bali. Bahwa diskriminasi terhadap kasta tinggi dan kasta rendah merupakan bentuk ketidakadilan akibat kesalahpahaman sitem kasta yang yang dipercaya sebagaian besar masyarakat bali dan sampai saat ini juga masih berlaku karena merupakan kepercayaan yang merupakan tradisi dan telah diyakini dari leluhur mereka. Keluarga dari kasta Brahmana menginginkan anaknya agar menikah dengan laki-laki atau perempuan dari keluarga yang mempunyai kasta yang sama dan sederajat. Telaga atau lengkapnya Ida Ayu (nama depan anak perempuan kasta brahmana) Telaga Pidada menyandang gelar bangsawan. Sejarah hidup Telaga sendiri penuh luka. Karena cintanya pada seorang laki-laki dari kasta sudra ia bersedia menanggalkan kebangsawannya. Kehidupan keluarga dari kasta sudra yang cenderung miskin, terhina dan tidak dihormati membuat Kenanga sangat berambisi 44 untuk menjadi kaya dan terhormat. Satu-satunya jalan untuk mewujudkan keinginan itu adalah dengan menerima pinangan dari lelaki bangsawan yang tidak dicintainya. Bagi Kenanga, cinta tak penting, yang utama adalah kekayaan. Perempuan Brahmana lebih dihormati dan mempunyai kedudukan yang tinggi di masyarakat. Kaum perempuan dari golongan kasta sudra juga sering mengalami pelecehan sexual dari laki-laki. Bagi keluarga dari kasta Brahmana wibawa harus terus dijaga agar orang di luar griya (Rumah tempat tinggal kasta Brahmana) mau menghargai dan menghormatinya. Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini mengandung unsur-un sur yang mengaitkannya pada arus baru dalam fiksi warna daerah, termasuk kedudukan perempuan dalam masyarakat, beban diskriminasi kasta, diskriminasi gender. Semua ini mencerminkan semacam keterbukaan nyata yang luar biasa untuk sastra Indonesia modern. 5.2 Suggestions Berdasarkan hasil dari analisa ini, maka penulis ingin memberikan beberapa saran kepada pembaca agar supaya dapat digunakan dalam menjalani kehidupan seharihari,seperti berikut: 1. Perlunya adanya kesadaran diri baik individu dan masyarakat untuk tidak melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun karena akan menimbulkan ketidakharmonisan terhadap suatu hubungan di masyarakat. 2. Disarankan kepada pembaca bahwa tidak seharusnya kita melakukan diskriminasi baik di dalam keluarga maupun di masyarakat. Karena sejatinya mereka merupakan bagian dari kehidupan kita. Untuk memecahkan sebuah masalah yang terjadi di dalam keluarga atau 45 masyarakat sebaiknya kita bisa lebih terbuka dan berbagi atas masalah yang menimpa tersebut. 3. Disarankan kepada pembaca bahwa kita haruslah mencari penyebab masalah yang membuat kita melakukan diskriminasi agar kita bisa mencari solusi bagaimana mengatasinya dengan sesegera mungkin sebelum ketidakadilan tersebut terjadi berlarutlarut. Karena diskriminasi pada akhirnya akan membawa kita ke dalam ketidakharmonisan dalam suatu hubungan dan kehancuran di keluarga ataupun masyarakat. 46 BIBLIOGRAPHY Astiti, T.I.P., 2000; “Jender Dalam Hukum Adat” Makalah. Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS. Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Media Pressindo. Fakih, Mansour, 1996; Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar Jogyakarta. Gita Lakshmi. 2007. “Tarian Bumi Tarian Pemberontakan”. http://sepocikopi wordpress, Oka Rusmini. 2007. “Menulis Itu Buat Saya”. http://pinjambuku.wordpress, Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2010. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press. Haryatmoko, 2010 : Dominasi Penuh Muslihat : Akar Kekerasan dan Diskriminasi Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Itsna Hadi Saptiawan. 2010. Gender dan Inferioritas Perempuan: Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. I Gusti Agung Oka, Slokantara. Penerbit: Hanumān Sakti, Jakarta Ketut Wiana dan Raka Santeri, Kasta dalam Hindu – kesalahpahaman selama berabad-abad. Penerbit: Yayasan Dharma Naradha. Muchtar, Yati, 2001; “Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14. Nama Orang Bali : http://imadewira.com/nama-orang-bali/ Nunuk P. Murniati, 2008 : Getar Gender, Penerbit : Indonesia Tera. Rusmini, Oka (2007) (in Indonesian). Tarian bumi : sebuah novel [Dance of the Earth]. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Soewondo, Nani, 1984; Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta. Stevi Jackson dan Jackie Jones, januari-2010 : Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer Penerbit : Jalasutra. Sue Thornham, 2010 Teori Feminis dan Cultural Studies ; Penerbit : Jalasutra Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Widjajanti M. Santoso, Juli – 2011, Sosiologi Feminisme : Konstruksi Perempuan dalam Industri Media Penerbit ; Lkis APPENDIXES 1 BIOGRAPHY OF OKA RUSMINI, AWARD AND HER LITERARY WORKS 1. Biography Oka Rusmini Oka Rusmini (Ida Ayu Oka Rusmini), the poet and novelist, was born on 11 July 1967 in Jakarta, Indonesia. Presently, she lives in Denpasar, Bali. Her writing is characteristic of the condition of women in the patriarchal culture in traditional society. Oka has to her credit collections of short stories, poems and novels. Oka's poem has also been included along with twelve other Balinese contributors in a book entitled Bali Living in Two Worlds, edited by Urs Ramseyer from the Museum der Kulturen Basel in Switzerland. She has also served as the fashion editor in the Bali Post, the largest local newspaper in Bali. She has been speaking at various national and international literary forums, such as "Ubud Writers and Readers Festival" in Bali; the "Pulpit Poet 21st Century" at Taman Ismail Marzuki, Jakarta in 1996; ASEAN Writers Writing Program, 1997; "International Poetry Festival", Surakarta, 2002 and that in Denpasar, Bali in 2003. She represented Indonesia at the "Winternachten Literature Festival" in The Hague and Amsterdam, the Netherlands. In 2003, she was invited as a guest author at the University of Hamburg, Germany. 2. Award In 1994, she won the best short story prize for her entry "Putu Menolong Tuhan" in the Femina magazine, which was also translated as "Putu Helps his God" by Vern Cork and included in a book Bali Behind the Seen, published in Australia. In the same magazine, her novel "Sagra" won the prize for the novel category. This was followed by the Horizon literary magazine best short story award for her collection of stories entitled "Pemahat Abad", translated as The Sculptor of the Century, in the period 1999-2000. Her short story "The Century Carver" has been translated into English by Pamela Allen. Poetry Journal awarded her with the best poetry in 2002. In 2003, her novel Tarian Bumi, "Dance of the Earth" was hailed as the "Work Honorees Writing Literature 2003" by the Ministry of Education, Language Centre, Indonesia. The novel has been translated in German and is in process to be translated into English by Lontar Foundation. 3. Oka Rusmini Literary Works : 1. Rusmini, Oka (1997) (in Indonesian). Monolog Pohon: 30 Sajak [Monologue Tree]. Denpasar: Griya Budaya. 2. Utan Kayu: Tafseer in Games (1998) 3. Bali: The Morning After (Australia, 2000) 4. Rusmini, Oka (2001) (in Indonesian). Sagra. Magelang: Indonesia Tera. 5. Rusmini, Oka (2001). Bali: living in two worlds : a critical self-portrait. Germany: Museum der Kulturen Basel. 6. Rusmini, Oka (2003) (in Indonesian). Kenanga. Indonesia: Gramedia Widiasarana. 7. Rusmini, Oka (2003) (in Indonesian). Patiwangi. Jogjakarta, Jakarta: Bentang Budaya. 8. Boxwood (2003) 9. Rusmini, Oka (2004) (in Indonesian). Malaikat biru kota Hobart : suara dari Bali. Jogjakarta: Logung Pustaka : Akar Indonesia. 10. McGlynn, John (2006). Menagerie: Indonesian fiction, photographs, essays, Volume 4. Jakarta: Lontar Foundation. 11. Rusmini, Oka (2007) (in Indonesian). Warna kita : seratus puisi pilihan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 12. Rusmini, Oka (2007) (in German). Erdentanz [Roman aus Bali]. Germany: Bad Honnef Horlemann. 13. Rusmini, Oka (2007) (in Indonesian). Tarian bumi : sebuah novel [Dance of the Earth]. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 14. Rusmini, Oka (2008) (in Indonesian). Pandora : kumpulan puisi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. ISBN Gramedia Widiasarana Indonesia. 15. Rusmini, Oka (2009) (in Indonesian). Kundangdya. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 16. Rusmini, Oka (2010) (in Indonesian). Tempurung. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 17. Color We (2007) 18. The Century Carver (2009) poetry, APPENDIXES II SYNOPSIS OF TARIAN BUMI A NOVEL BY OKA RUSMINI 1. Synopsis in English Luh Sekar is a poor Sudra, the lowest caste in Bali. Her mother is Luh Dalem. Some people say, she has been robbed and raped by more than three men, then she gets pregnant even blind. Many efforts have been done to miscarriage but fails to do that. She then bears two babies, they are Luh Kerta and Luh Kerti, Luh Sekar’s younger sisters. To earn their living, Luh Sekar sells things in Badung market. Luh Dalem, especially her daughter Luh Sekar, is a hardworking woman. They want to improve their life. That is why Luh Sekar chooses to marry a man from a Brahmana caste, the highest caste. In order to attract the man, she learns dancing. She also prepares herself with a jimat (magical power) given by her mother. Beside that, she looks for a Taksu (inner, spiritual power from God) by praying in a temple at night accompanied by Luh Kenten. Luh Sekar is able to change her life for she succeeds to marry Ida Bagus Ngurah, a Brahmana. Due to Balinese traditional culture, she is given a title called Jero. Her new name is Jero Kenanga. It is true that, after the marriage, being a new Brahmana, she becomes a woman with a changed socio-economic condition. In fact, she is not happy as her husband is a playboy and a gambler. She is so stressed because of the tight rule as a Brahmana. So, many rules have to follow. In the family, she is so dilemmatic because she is now a Brahmana but treated a Sudra. From her marriage, she has a Brahmana daughter, named Ida Ayu Telaga Pidada alias Tugeg. Like her mother, Ida Ayu Telaga Pidada is good at dancing. Under the guidance of Luh Kambren, her dance teacher, she can dance various traditional dances. However, there are so many different characters between Ida Ayu Telaga Pidada and her mother. Her mother is very ambitious in terms of socio-economic status whereas Ida Ayu Telaga Pidada seems very humble. As a Brahmana, Ida Ayu Telaga Pidada cherishes all people. She hates any rule run in the brahmana family. Different from her mother, she does not like to marry a man from the same caste (Brahmana). That is why, she chooses to marry a Sudra painter named Wayan Sasmita. It is told that, Wayan Sasmita is an unexpected child from illegal marriage between Ida Bagus Ketu and Luh Gumbreg whom are Ida Ayu Telaga Pidada‘s father and mother-in-law. The marriage between Ida Ayu Telaga Pidada and Wayan Sasmita is not lasted long for Wayan Sasmita dies of heart-attack. But, they have a daughter named Luh Sari. After her husband death, Ida Ayu Telaga Pidada suffers so much. Wayan Sasmita’s mother-in-law (Luh Gumbreg) blames Ida Ayu Telaga Pidada as the cause of her son‘s death. She thinks that it is all because Ida Ayu Telaga Pidada does not hold a special religious ceremony concerning her giving up relationship from her being Brahmana. To do that, such a ceremony is held one day. On the other hand, Sadri, Wayan Sasmita‘s sister, is jealous with Ida Ayu Telaga Pidada. Once, Ida Ayu Telaga Pidada is also raped by Putu Sarma, her brother-in-law. 2. Synopsis in Indonesian Cerita tentang seorang anak perempuan bernama Telaga yang lahir dari seorang Ibu bernama Luh Sekar, perempuan sudra yang menikah dengan seorang Ida bagus (nama depan laki-laki dari kasta Brahmana, kasta tertinggi dari masyarakat bali). Sudra adalah kasta terendah dalam masyarakat bali. Telaga atau lengkapnya Ida Ayu (nama depan anak perempuan kasta brahmana) Telaga Pidada menyandang gelar bangsawan. Sejarah hidup Telaga sendiri penuh luka. Karena cintanya pada seorang laki-laki dari kasta sudra ia bersedia menanggalkan kebangsawannya. Pernikahan Telaga dan Wayan sejak semula tidak direstui oleh kedua belah pihak orang tua mereka. Ibu Telaga, yang kemudian berganti nama menjadi “Jero” (Jero adalah nama yang harus dipakai oleh seorang perempuan sudra yang menjadi anggota keluarga griya) Kenanga, dulunya seorang penari sudra yang sangat cantik. Kehidupan keluarganya yang miskin dan terhina membuat Kenanga sangat berambisi untuk menjadi kaya dan terhormat. Satu-satunya jalan untuk mewujudkan keinginan itu adalah dengan menerima pinangan dari lelaki bangsawan yang tidak dicintainya. Bagi Kenanga, cinta tak penting, yang utama adalah kekayaan. Laki-laki bangsawan yang dinikahi Kenanga kemudian ditemukan meninggal dalam dekapan pelacur. Ibu mertua Kenanga adalah wanita yang sangat keras. Sejak awal ia tidak menyukai anak laki-laki kesayangannya menikahi perempuan sudra. Ia menerapkan aturan yang sangat kaku. Bagi nenek Telaga, wibawa harus terus dijaga agar orang di luar griya mau menghargainya. Dalam rumah besar dan mewah itu hanya teriakan nenek dan kata-kata kasar ayah yang sering keluar. Ibu Telaga jarang berbicara. Dan kakek hanya bisa diam. Setelah kematian ayah Telaga disusul kemudian nenek, Ibu mulai mengatur kehidupan Telaga. Kenanga tidak membiarkan Telaga berpikir untuk hidupnya sendiri. Keinginankeinginan Kenanga adalah harga mati yang tak seorang pun bisa membelokkannya, pun demikian jodoh untuk Telaga, putri satu-satunya. Sementara itu, Ibu Wayan, sangat keberatan niat putranya menyunting Telaga. Tak pantas laki-laki sudra meminang perempuan brahmana. Jika itu terjadi maka dikhawatirkan malapetaka akan menimpa keluarga mereka. Namun pernikahan tidak dapat dibatalkan karena Telaga telah mengandung calon benih Wayan. Telaga dan Wayan menikah untuk kemudian mereka tinggal bersama Ibu Wayan. Namun pernikahan itu tidak berlangsung lama. Wayan ditemukan meninggal di studio lukisnya. Dari hasil pemeriksaan dokter diketahui bahwa Wayan mengidap penyakit jantung bawaan sejak kecil. Kematian putra satu-satunya mendorong Ibu Wayan meminta Telaga untuk melakukan upacara Patiwangi. Ibu Wayan meyakini sebelum Telaga melakukan upacara itu, selamanya ia akan menjadi pembawa malapetaka. Upacara patiwangi adalah semacam upacara pamitan kepada leluhur di griya (tempat tinggal kasta Brahmana), karena ia tidak lagi menjadi bagian dari keluarga griya. Bukan sebuah upacara yang mudah. Karena upacara ini akan menurunkan harga diri keluarga griya dan menjatuhkan nama baik mereka. Dengan upara pamit ini akan menimbulkan masalah, karena Telaga akan dijadikan contoh dan dapat menyebabkan banyak Ida Ayu yang kawin dengan laki-laki sudra. Dan ini adalah aib bagi leluhur griya. Silsilah Tokoh Utama dalam Novel Tarian Bumi Ida Bagus Tugur + Ida Ayu Sagra Pidada Ida Bagus Ngurah Pidada Wayan Sasmita + + Luh Sekar (Jero Kenanga) Ida Ayu Telaga Pidada Luh Sari