H HA ASSIILL PPEEN NEELLIITTIIA AN N ANALISIS KANDUNGAN TIOSIANAT (SCN-) PADA SINGKONG, KOL, DAN DAUN SINGKONG Zulhaida Lubis1 dan Jumirah2 1 dan 2 Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara ABSTRACT The objective of this research was to analyze content thiocyanate (SCN-) in the food which is consumed by society in area of endemic IDD (Iodide Deficiency Disorder) such as Dairi of North Sumatra, the food are cassava, cabbage and cassava leaf. Research was done in Food Chemical Laboratory of Faculty of Mathematics and Science of University of North Sumatra on October 2002. Analysis of thiocyanate at cassava, leaf of cassava and cabbage was conducted at raw and cooked, condition with spectrophotometric method.Results of research indicate that cooking of food (cassava, cassava leaf and cabbage) can degrade thiocyanate. Degradation rate of thiocyanate equal to 0,007 ppm at cassava (0,015 ppm of raw moment become 0,08 pm after cooked). Decrease of thiocyanate at cassava leaf equal to 0,03 ppm (0,008 ppm of raw moment become 0,005 ppm after cooked). And so do at cabbage happened degradation 0,03 ppm (0,010 ppm of raw moment become 0,07 ppm after cooked. To decrease influence of goitrogenic effect thiocyanate from food, it is suggested cooke before consumed. Boiling can’t eliminate all of thiocyanate. Key words: Thiocyanate, Cassava, Cassava leaf, Cabbage PENDAHULUAN Tiosianat (SCN-) merupakan turunan asam sianida (HCN) yang mempunyai sifat goitrogenik, dalam tubuh bekerja menghambat pengambilan iodium oleh kelenjar tiroid yang berguna untuk pembentukan hormon tiroid. Gangguan pembentukan hormon tiroid menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar tiroid yang sering disebut dengan gondok. Pada tingkat yang lebih berat, gangguan pembentukan hormon tiroid dapat menyebabkan pertumbuhan fisik terhambat, mengganggu sistem syaraf pusat, keterlambatan mental, bahkan dapat menjadikan seseorang buta dan tuli (Sri Kardjati, dkk., 1985). Semua bentuk kekurangan iodium, baik yang dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat dikenal dengan GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium). Dalam konteks GAKI, gondok dan kretin endemik hanya merupakan puncak gunung es di mana gambaran klinis lain tidak dengan sendirinya kelihatan dengan jelas bila tidak diperhatikan khusus atau dicari dengan teliti. Dengan mengacu pada penggolongan bentuk segitiga yang diajukan Hetzel, maka 30-70% dari populasi menderita loyo (kurang energi karena hipotiroidisme–hipometabolisme), 5-30% mengalami kerusakan pada otak, 110% menderika kretin endemik. Bahkan di daerah endemik GAKI berat disimpulkan bahwa “orang normal tidak normal seratus persen”. Hal ini menandakan bahwa GAKI benar-benar merupakan hambatan sumberdaya manusia di masa mendatang (Djokomuljanto, R., 1992). Prevalensi Total Goitre Rate (TGR) di Indonesia masih cukup tinggi walaupun sudah terjadi penurunan yaitu 37,2% tahun 1982 menjadi 27,7% tahun 1990 dan 9,8% pada tahun 1998 (Depkes RI, 1998). Di Sumatera Utara prevalensi TGR 17,3% tahun 1982, meningkat menjadi 20,7% tahun 1990, dan turun kembali menjadi 6,72% tahun 97 Universitas Sumatera Utara 1998. Namun dari hasil pemetaan GAKI tahun 1998, di Sumatera Utara terdapat 2 Kabupaten yang tergolong daerah endemis GAKI berat (TGR > 30%) yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Dairi, yang secara geografis kedua daerah tersebut merupakan daerah dataran tinggi atau pegunungan (Kanwil Depkes Sumut, 1998). Penelitian Berutu (2000) tentang pola makan masyarakat di desa Kutadame Kabupaten Dairi yang merupakan endemis GAKI berat, menunjukkan bahwa bahan makanan sumber iodium sangat rendah, namun garam yang mereka konsumsi umumnya sudah memenuhi syarat Depkes yaitu kadar iodium 30-80 ppm. Hal yang diduga memperberat kondisi GAKI di daerah tersebut adalah tingginya konsumsi makanan yang bersifat goitrogenik (menghambat pembentukan hormon tiroid) seperti singkong, daun singkong dan kol (kubis) yang dikonsumsi masyarakat hampir setiap hari. Singkong, daun singkong dan kol yang banyak dikonsumsi masyarakat terutama di daerah pegunungan, memperkuat dugaan bahwa penyebab tingginya prevalensi GAKI di daerah tersebut yakni adanya tiosianat dalam makanan mereka sehari-hari. Yang menjadi permasalahan adalah belum diketahui berapa banyak kandungan tiosianat dalam beberapa bahan makanan yang sering dikonsumsi masyarakat seperti singkong, daun singkong dan kol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan tiosianat (SCN-) dalam singkong, daun singkong dan kol, pada kondisi mentah dan dimasak/direbus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi yang memerlukan terutama Dinas Kesehatan atau Pemerintah Daerah yang terus melakukan penanggulangan masalah GAKI. Informasi ini dapat dijadikan sebagai bahan penyuluhan untuk perbaikan pola makan terutama dalam pemilihan jenis bahan makanan, proses pengolahan dan frekuensi konsumsi. masyarakat di daerah endemis GAKI yaitu singkong, kol dan daun singkong. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Makanan FMIPA USU pada bulan Oktober 2002. Analisis tiosianat pada singkong, daun singkong dan kol dilakukan pada kondisi mentah dan masak (direbus). Penentuan Tiosianat (SCN-) dilakukan dengan langkah-langkah berikut (Association of Official Agricultural Chemist, 1980; Jacobs, M., 1962): a. Preparasi sampel o Sampel (singkong, daun singkong dan kol yang mentah dan yang dimasak/direbus) digiling sampai halus o Ditimbang sebanyak 100 gr o Diekstraksi dengan 500 ml aquadest, disaring lalu dimasukkan dalam labu destilasi b. Persiapan tabung penyerap gas o Isi tabung penyerap gas dengan 10 ml NaOH 0,1 N yang telah diencerkan sampai 225 ml dengan aquadest c. Destilasi Jika semua alat destilasi sudah o dirangkai, dipanaskan dengan penangas listrik dengan suhu 100o C Ditambahkan Pb(CO3)2 bubuk jika o terbentuk endapan untuk menghilangkan adanya sulfur Ditambahkan 50 ml H2SO4 (1: 1) dan o 25 ml MgCl2 melalui corong Diambil destilatnya jika tetesan yang o keluar 40-50 tetes/menit d. Prosedur penentuan SCNo Buat larutan standar SCN- antara 0,02 mg – 0,4 mg SCNo Diukur dengan spektrofotometer (גּmaks = 460 nm) di mana sebelumnya larutan standar tersebut ditambahkan larutan 2,5 ml Fe(NO3)2. 9H2O setiap pengambilan 50 ml sampel untuk mencari kurva kalibrasinya e. Lakukan untuk sampel (perlakuannya sama dengan larutan standar) METODE Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium yang menganalisis kandungan tiosianat (SCN-) dalam beberapa bahan makanan yang banyak dikonsumsi 98 A x 1000 mg SCN- = ---------------B Di mana: A = mg SCN- dari kurva kalibrasi B = ml sampel yang digunakan Analisis Kandungan Tiosianat (SCN-) (97–100) Zulhaida Lubis dan Jumirah Universitas Sumatera Utara Analisa data dilakukan secara deskriptif, dengan menampilkan hasil analisa laboratorium serta membandingkan kadar tiosianat dari setiap bahan pangan yang diperiksa baik mentah maupun direbus. HASIL PENELITIAN Hasil analisis kadar tiosianat (SCN-) dengan metode spektrofotometri, dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Kadar tiosianat dalam singkong, kol, dan daun singkong No Jenis pangan Kadar tiosianat (ppm) Mentah Rebus 0,015 0,008 1 Singkong 2 Kol/Kubis 0,008 0,005 3 Daun singkong 0,010 0,007 Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa proses pemasakan (perebusan) terhadap bahan pangan dapat menurunkan kadar tiosianat, yaitu sebesar 0,007 ppm pada singkong, 0,003 ppm pada kol dan 0,003 ppm pada daun singkong. Hal ini menunjukkan bahwa proses pemasakan (perebusan) dapat mengurangi pengaruh zat goitrogenik tiosianat pada bahan pangan. Bila ditinjau dari kebiasaan masyarakat mengonsumsi bahan pangan tersebut, umumnya singkong dan daun singkong direbus, sedangkan kol (kubis) sering dimakan dalam keadaan mentah (dilalap). Untuk itu disarankan bagi masyarakat yang ingin mengkonsumsi bahan pangan tersebut sebaiknya direbus terlebih dahulu, terlebih bagi masyarakat pegunungan yang sangat memperoleh pangan sumber iodium sehingga meningkatkan risiko terjadinya GAKI. Di samping itu, untuk mengurangi pengaruh tiosianat terhadap pemanfaatan iodium dalam tubuh dapat dilakukan dengan mengurangi frekuensi konsumsi bahan pangan yang tinggi kadar tiosianatnya termasuk singkong, daun singkong dan kol, karena ternyata prores pengolahan (perebusan) tidak dapat menghilangkan tiosianat. Dengan kata lain perebusan hanya mengurangi kadar tiosianat bukan menghilangkan secara keseluruhan. Penelitian Berutu (2000) di daerah endemis GAKI berat di kecamatan Kerajaan Kabupaten Dairi Sumatera Utara, Analisis Kandungan Tiosianat (SCN-) (97–100) Zulhaida Lubis dan Jumirah menunjukkan bahwa ada kebiasaan masyarakat (hampir setiap hari) mengkonsumsi singkong rebus, daun singkong dan kol sementara pangan lain termasuk sumber iodium sangat jarang mereka konsumsi. Demikian juga dengan penelitian Razak Taha (1998) di daerah pantai perairan Ambon dengan prevalensi GAKI yang cukup tinggi,ternyata masuarakat mempunyai kebiasaan makan umbi-umbian seperti singkong. Mengurangi konsumsi bahan pangan yang mengandung tiosianat, baik mentah maupun masak diharapkan dapat mengurangi efek goitrogenik dari tiosianat dalam tubuh khususnya dalam menghambat pembentukan hormon tiroid. Bila hormon tiroid terhambat dapat menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid di bagian leher yang biasa disebut gondok. Selain itu juga terhambatnya pembentukan hormon tiroid dapat berpengaruh pada terhambatnya pertumbuhan fisik, penurunan fungsi syaraf pusat dan akhirnya dapat menyebabkan penurunan IQ point, retardasi mental, bahkan pada tahap lanjut dapat menyebabkan seseorang tuli dan bisu. KESIMPULAN DAN SARAN Kadar tiosianat (SCN-) dalam singkong mentah 0,015 ppm dan setelah direbus berkurang menjadi 0,008 ppm. Demikian juga pada kol (kubis) dan daun singkong terjadi penurunan kadar tiosianat setelah direbus, yaitu dari 0,008 ppm menjadi 0,005 ppm pada kol dan 0,010 menjadi 0,007 ppm pada daun singkong. Untuk mengurangi pengaruh tiosianat yang berasal dari singkong, kol dan daun singkong yang cukup digemari masyarakat Indonesia, sebelum mengkonsumsi bahan pangan tersebut sebaiknya direbus terlebih dahulu. Selain itu juga perlu mengurangi frekuensi konsumsi dan jumlah bahan pangan tersebut karena proses perebusan ternyata tidak dapat mengilangkan seluruhnya kandungan tiosianat tetapi hanya mengurangi. DAFTAR PUSTAKA Berutu, Ros Idah. 2000. “Pola Konsumsi Makanan pada Masyarakat di Kecamatan Kutadame Kabupaten Dairi”. Skripsi. FKM USU. 99 Universitas Sumatera Utara Depkes RI. 1998. “Survei Nasional Pemetaan Gizi”, Proyek Intensifikasi penanggulangan GAKI, IBRD-LOAN. Jakarta. Djokomoeljanto, R. 1992. Konsekuensi GAKI Terhadap Kualitas Sumberdaya Manusia. Jakarta. Jacobs, M. 1962. The Chemical Analysis of Foods and Food product, 3th Eddition. D. Van Nostrand Companyu, Inc. New York. 100 Kanwil Depkes Sumut. 1998. “Survei Pemetaan GAKI Provinsi Sumatera Utara”. Razak Taha. 1998. “Kebiasaan Makan Penduduk yang bermukim di Daerah Pantai Perairan Ambon”. FKM UNHAS. Sri Kardjati, dkk. 1985. Aspek Gizi dan Kesehatan Anak Balita. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Analisis Kandungan Tiosianat (SCN-) (97–100) Zulhaida Lubis dan Jumirah Universitas Sumatera Utara