4 REPRODUKSI DAN TINGKAH LAKU PEMIJAHAN IKAN T

advertisement
49
4 REPRODUKSI DAN TINGKAH LAKU PEMIJAHAN
IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO
Pendahuluan
Proses reproduksi adalah bagian penting dari studi biologi spesies
(Chellappa et al. 2005). Penentuan jenis kelamin beberapa spesies ikan hanya
dapat dibedakan dengan memeriksa gonadnya apabila spesies tersebut tidak
menunjukkan dimorfisme seksual yang jelas. Beberapa jenis ikan lainnya dapat
dibedakan hanya dengan melihat ciri seksual sekunder seperti perbedaan warna,
bentuk atau ukuran apabila ikan tersebut menunjukkan dimorfisme atau
dikromatisme seksual. Kepala lebih besar pada ikan siklid betina bisa
meningkatkan kapasitas rongga mulut, memungkinkan mulut diisi dengan telur
dan juvenil yang lebih besar atau lebih banyak (Takahashi & Hori 2006). Ikan T.
sarasinorum diketahui mempunyai dimorfisme seksual yang membedakan ikan
jantan dan ikan betina. Ikan jantan mempunyai tubuh lebih tinggi, sirip-sirip
dorsal dan anal yang lebih panjang dan lebih besar, dan mempunyai
polikromatisme. Ikan betina tubuhnya lebih pendek, ramping dan warnanya abuabu seperti warna pasir (Nilawati et al. 2010).
Berdasarkan tipe pemijahannya ada spesies semelparitas, yang memijah
sekali seumur hidupnya; hal ini berbeda dengan spesies iteroparitas. Beberapa
spesies memijah sekali setahun (misalnya pemijah serempak), sedangkan spesies
lainnya memijah beberapa batch dalam satu siklus tahunan (misalnya pemijah
berulang atau pemijah sebagian). Berbagai fase perkembangan gonad ikan dapat
digunakan untuk menjelaskan dinamika dan pengaturan oogenesis. Karakteristik
makroskopis gonad meliputi ukuran, warna, derajat vaskularisasi dan penampilan
kelompok telur.
Periode pemijahan yang pendek dan karakteristik histologis ovari yang
dipijahkan yang hanya berisi telur dalam tingkat-tingkat perkembangan awal,
bersama-sama dengan folikel-folikel pasca ovulasi dan atresia, menunjukkan
bahwa suatu spesies ikan merupakan pemijah serempak (Goncalves et al. 2006;
Cárdenas et al. 2008). Ikan yang di dalam ovarinya terdapat telur dengan sebagian
besar tingkat perkembangan ada di dalamnya menunjukkan bahwa ikan tersebut
50
merupakan pemijah bertahap. Ikan dengan kematangan penuh didefinisikan
sebagai ikan yang siap bereproduksi (Şaş 2008).
Secara
mikroskopis,
tingkat-tingkat
kematangan
gonad
ditentukan
berdasarkan distribusi telur dan sel-sel spermatogenik. Tipe pemijahan
diidentifikasi berdasarkan karakteristik histologis ovari dan distribusi frekuensi
tingkat kematangan gonad (Goncalves et al. 2006). Secara makroskopis, ovari
ovari dengan tingkat kematangan berbeda mempunyai volume, ketebalan, dan
warna beragam. Secara mikroskopis, ovari dibungkus oleh tunica albuginea yang
mengeluarkan septae ke bagian dalam organ, membentuk ovigerous lamellae
tempat telur-telur dengan tingkat perkembangan berbeda.
Ukuran diameter telur bervariasi menurut tingkat perkembangan (Chellappa
et al. 2005). Perkembangan telur konsisten sepanjang ovari, bergantung kepada
derajat kematangan ovari. Distribusi frekuensi diameter oosit menunjukkan
cadangan stok pada semua tingkat kematangan, tetapi oosit yang ukurannya lebih
besar hanya terdapat pada ovari dengan tingkat kematangan lebih tinggi. Oosit
cadangan sulit dibedakan dengan oosit yang sudah dalam proses perkembangan.
Suatu pendekatan bisa berupa keberadaan kuning telur untuk membedakan oosit
yang sudah dalam proses perkembangan.
Faktor kondisi digunakan untuk membandingkan ―kondisi‖, ―kemontokan‖
atau kesejahteraan ikan. Hal ini berdasarkan pada hipotesis bahwa semakin berat
ikan pada panjang tertentu mempunyai kondisi fisiologis yang lebih baik. Faktor
kondisi sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biotik dan abiotik, dan dapat
digunakan sebagai indeks untuk menilai status ekosistem akuatik tempat hidup
ikan.
Ukuran yang dicapai oleh individu ikan bisa berbeda-beda yang disebabkan
perbedaan pasokan makanan, dan hal ini mencerminkan perbedaan pasokan
nutrien atau tingkat kompetisi makanan. Kondisi ikan, didefinisikan sebagai
kesehatan dan kekuatan atau kesejahteraan seekor ikan adalah komponen penting
dalam biologi perikanan yang digunakan untuk menilai kesehatan umum populasi
(Efitre et al. 2009; Freyre et al. 2009).
Tingkah laku pemijahan adalah aktivitas yang berhubungan langsung
dengan produksi individu baru. Tingkah laku demikian kadang-kadang cukup
51
sederhana. Tingkah laku pemijahan pada banyak spesies ikan bisa jadi sangat
rumit
dan
meliputi pertunjukan-pertunjukan
dan gerakan-gerakan
yang
menakjubkan (Grier 1984).
Selain melakukan isolasi reproduksi dan mencegah kanibalisme, tingkah
laku reproduksi juga harus menyesuaikan/mengharmonisasikan pasangan; yaitu
mereka harus siap untuk pembuahan pada waktu yang sama. Tidak hanya mereka
harus bersama-sama dalam kedekatan fisik (yaitu secara spasial), tetapi juga
secara temporal. Sangat sedikit spesies berada dalam kondisi siap untuk
pembuahan sepanjang waktu. Sebagian besar tingkah laku reproduksi bisa berupa
menguji atau merangsang kesiapan pasangan (Grier 1984; Andersson 1994).
Bab ini menganalisis aspek reproduksi dan tingkah laku pemijahan ikan T.
sarasinorum di arena pemijahan berdasarkan penelitian yang dilakukan bersamasama dengan pengamatan arena pemijahan. Aspek reproduksi ikan secara spasial
dan temporal nantinya akan dikaji dengan memasukkan faktor-faktor lingkungan
yang memengaruhinya.
Bahan dan Metode
Nisbah kelamin dianalisis melalui perbandingan antara jumlah jantan dan
betina yang terdapat dalam suatu populasi dengan mengikuti rumus umum:
𝜒=
Keterangan: χ
M
F
𝑀
𝐹
= nisbah kelamin
= jumlah ikan jantan (ekor), dan
= jumlah ikan betina (ekor)
Nisbah kelamin ini diuji pada rasio 1:1. Pengujian menggunakan Chi
kuadrat (Steel & Torrie 1989).
Hubungan panjang-berat yang digunakan untuk memperkirakan berat pada
panjang tertentu ditentukan dengan rumus:
𝑊 = 𝑎𝐿𝑏
Keterangan:
W
L
a
b
= berat tubuh ikan (g),
= panjang baku ikan (mm),
= konstanta,
= koefisien allometri.
52
Testis dan ovari ditimbang dan diperiksa secara makroskopis untuk
mengamati tingkat kematangan. Testis ikan jantan dan ovari ikan betina matang
yang
menunjukkan
semua
fase
perkembangan
spermatosit
dan
oosit,
mengindikasikan kebiasaan memijah bertahap pada spesies ini.
Gonad yang telah dibedah difiksasi di dalam larutan etanol Bouin (150 ml
80% etanol, 60 ml formaldehid 37%, 15 ml glacial asam asetat, dan 1 ml asam
pikrat) selama 24–36 jam dan disimpan dalam etanol 70% selama tidak lebih dari
dua bulan sebelum pemeriksaan histologis. Sampel kemudian didehidrasi dalam
serangkaian larutan etanol, dicuci dalam xylene dan dipindahkan dalam paraffin.
Seluruh gonad dari tiap hewan dipotong saggitally dengan ketebalan 10 µm.
Sejumlah potongan diletakkan pada kaca preparat dan kemudian dikeluarkan
paraffinnya di dalam xylene dan dihidrasi kembali dalam serangkaian larutan
etanol. Irisan-irisan ini kemudian diberi warna dengan menggunakan metode Y
haematoxylin dan eosin dan diamati pada mikroskop binokuler. Foto dari irisan
yang representatif diambil dengan kamera film warna Kodak Select 200.
Negatifnya dipindai secara digital, dan hasilnya dikumpulkan dan diberi label
dengan Photoshop 5.0 (Adobe Systems, San Jose, CA, USA; Wang & Croll
2004). Tingkat kematangan gonad (TKG) jantan dan betina ditentukan secara
makroskopis dan mikroskopis.
Fekunditas total ditentukan dengan menghitung jumlah seluruh telur di
dalam ovari. Diameter telur diukur untuk menentukan frekuensi pemijahan, dan
juga untuk melihat apakah ikan-ikan yang diteliti termasuk pemijah serempak
(total spawner) ataukah pemijah bertahap (multiple spawner). Diameter telur
diukur dengan menggunakan mikroskop binokuler stereo yang berkekuatan
rendah (sampai 40 kali) yang dilengkapi dengan mikrometer pada lensa
okulernya.
Ukuran ikan pada kematangan pertama didasarkan pada ukuran ikan terkecil
yang telah matang kelamin (TKG IV). Faktor kondisi menunjukkan keadaan
kebugaran ikan (fitness) dilihat dari segi kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup
dan reproduksi.
53
Indeks Kematangan Gonad (IKG) mengikuti rumus:
𝐼𝐾𝐺 =
Keterangan:
𝐵𝐺
× 100
𝐵𝑇
IKG
BG
BT
= indeks kematangan gonad,
= berat gonad (g), dan
= berat tubuh (g).
Nilai faktor kondisi relatif dihitung mengikuti rumus:
𝐹𝐾 =
Keterangan:
𝑊
𝑎𝐿𝑏
W = berat ikan (g), dan
L = panjang baku (mm).
Musim pemijahan ikan ditentukan dengan menghitung persentase ikan siap
memijah setiap bulan. Frekuensi TKG IV dan pertimbangan IKG dan faktor
kondisi digunakan untuk menduga musim pemijahan.
Tingkah laku terdiri atas berbagai bagian tubuh, seperti anggota gerak dan
otot-otot, serta saraf. Pengamatan tingkah laku adalah mengenali dan
menggolongkan pola-pola gerakan yang relatif unik. Satuan minimum yang dapat
diidentifikasi untuk tingkah laku belum banyak diterima. Ethologis klasik
menyebutnya pola-pola gerakan/aksi, ada pula yang menyebutnya ―ethons‖.
Dalam penelitian ini urutan aksi disebut pola tingkah laku atau tingkah laku (Grier
1984). Tingkah laku dijelaskan tidak hanya melalui aksi-aksi terpisah tetapi juga
dengan mengukur aspek-aspek kontinyu penampilan ikan, seperti posturnya, sudut
dari satu bagian tubuh terhadap yang lain.
Kompetisi di sini digunakan dalam arti yang sama seperti dalam ekologi:
kompetisi terjadi jika penggunaan suatu sumber daya (dalam hal ini pasangan)
oleh satu individu membuat sumber daya itu lebih sulit diperoleh untuk yang
lainnya. Oleh karena itu, pemilihan pasangan oleh satu jenis seks biasanya berarti
(tidak langsung) kompetisi untuk mendapatkan pasangan pada jenis seks lain
(Grier 1984). Saat menerima dan bertemu dengan seekor jantan yang membuahi
telur-telurnya, seekor betina menjadi tidak tersedia bagi jantan-jantan lain,
setidaknya untuk sementara (Andersson 1994).
54
Hasil dan Pembahasan
Nisbah kelamin
Selama periode sampling September 2008 sampai dengan Agustus 2009,
berhasil dikoleksi sebanyak 3165 ekor ikan T. sarasinorum (68,88% jantan dan
31,12% betina). Ikan-ikan tersebut tertangkap di 15 lokasi sampling. Nisbah
kelamin (jantan : betina) di setiap lokasi maupun waktu memiliki nilai yang
berbeda-beda. Ikan jantan selalu lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan
Nisbah kelamin (J:B)
betina di semua lokasi sampling.
4,00
2,91
2,50
3,00 2,36
2,00
1,00
2,44
2,43
3,05
2,58
2,24
1,86
1,71
2,24
1,73
1,49
1,95
1,58
0,00
Lokasi
Gambar 14 Nisbah kelamin T. sarasinorum menurut lokasi sampling
Nisbah kelamin ikan-ikan yang ditangkap di lokasi-lokasi yang terdapat
dalam zona 2 mempunyai nilai rata-rata perbandingan (jantan:betina) yang lebih
besar (2,59 : 1) dibandingkan dengan yang terdapat di zona 1 (2,18 : 1) dan zona 3
(1,96 : 1). Apabila lokasi Salonsa-B, P. Otuno I-B dan P. Otuno II-B (tiga lokasi
habitat pemijahan perakaran) dikeluarkan, ditemukan bahwa lokasi yang
mempunyai nisbah terkecil adalah S. Petea (1,71: 1) dan nisbah terbesar adalah
Pantai Salonsa-A (3,05 : 1) (Gambar 14 dan Lampiran 9).
Nisbah kelamin di lokasi habitat perakaran (Gambar 14) selalu lebih kecil
dibandingkan dengan nisbah kelamin di lokasi habitat batu-pasir. Hal ini
disebabkan lebih banyak ikan betina yang terdapat di habitat perakaran. Ikan
betina berwarna abu-abu sehingga lebih mudah dilihat oleh ikan jantan,
dibandingkan apabila mereka berada di habitat batu berpasir. Kemungkinan lain
55
adalah ikan jantan dan betina yang berpasangan mencari arena yang aman bagi
kelangsungan hidup keturunannya. Arena perakaran mempunyai struktur yang
lebih kompleks,
sehingga
betina
yakin
akan keselamatan telur
yang
dilepaskannya. Tingkat kompleksitas struktur habitat lebih rendah di arena batu
berpasir. Sewaktu-waktu saat hujan atau perairan berombak dan teraduk, telur
menghadapi bahaya yang lebih besar akibat lumpur.
Hasil pengamatan bawah air menunjukkan bahwa kepadatan ikan di arena
pemijahan perakaran (Pantai Salonsa-B, P. Otuno I-B dan P. Otuno II-B) lebih
tinggi daripada kepadatan ikan di arena pemijahan batu berpasir. Jumlah ikan di
habitat perakaran yang luasnya 2 – 5 m2 berkisar antara 2 -12 pasang dan setiap
pasang diikuti oleh 3 – 13 ekor jantan yang tidak memiliki pasangan (cuckolder).
Jadi di arena perakaran nisbah kelamin bisa berkisar antara 3:1 sampai dengan
13:1. Perbandingan nisbah kelamin dengan menggunakan uji ‗Chi-square‘ pada
taraf nyata α = 0,05, diperoleh bahwa nisbah kelamin di setiap lokasi adalah tidak
seimbang (χ2
(0,05: 1)
= 3,841 < χ²
hitung).
Perbandingan nisbah kelamin tertinggi
terdapat di lokasi-lokasi zona 2, sedangkan terendah terdapat di lokasi-lokasi zona
3.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa secara temporal nisbah
kelamin berada pada keadaan tidak seimbang; jumlah ikan jantan selalu lebih
banyak daripada ikan betina (Gambar 15 dan Lampiran 10). Nisbah kelamin
terendah terjadi pada bulan Mei 2009 (2,04 : 1) dan tertinggi pada bulan
November 2008 (2,47 : 1) dan April (2,46 : 1). Pada bulan Mei yaitu periode awal
curah hujan mulai turun diduga kumpulan ikan lebih aktif mencari makanan.
Sementara bulan November dan April merupakan masa puncak curah hujan yang
merangsang ikan jantan untuk memijah sehingga nisbah kelamin meningkat.
Nisbah kelamin yang selalu berada dalam ketidak seimbangan ini dapat
dikonfirmasi dengan hasil pengamatan tingkah laku pemijahan ikan. Seekor ikan
betina diperebutkan oleh beberapa ekor ikan jantan. Jadi pandangan bahwa
keadaan ideal dari nisbah 1 : 1 pada ikan hanya berlaku atau ideal bagi spesies
tertentu, tetapi tidak untuk ikan-ikan T. sarasinorum. Banyak penulis memahami
nisbah kelamin dengan selalu menghubungkannya dengan kestabilan populasi.
Vicentini & Araújo (2003) menyatakan bahwa jika nisbah tidak berada dalam
56
keseimbangan (mengikuti perbandingan 1:1) maka harus mempertimbangkan
untuk mengubah pemahaman mengenai keseimbangan yaitu dengan menganalisis
pertumbuhan populasi. Ikan T. sarasinorum di Danau Matano tidak mengalami
penangkapan, oleh karena itu nisbah kelamin yang ditemukan selama penelitian
ini adalah alami, bukan karena tekanan penangkapan.
Nisbah kelamin (J:B)
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
Waktu
Gambar 15 Nisbah kelamin T. sarasinorum menurut waktu sampling
Hubungan panjang-berat
Penelitian mengenai hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan ikan T.
sarasinorum belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti yang mempelajari ikan
di Danau Matano. Hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan T. sarasinorum
dalam penelitian ini dianalisis. Dengan alasan karena adanya dimorfisme seksual
pada ikan ini maka analisis hubungan panjang-berat dilakukan menurut jenis
kelamin.
Hubungan panjang-berat ikan T. sarasinorum jantan dan betina ditampilkan
dalam Gambar 16. Koefisien korelasi (r) untuk ikan jantan adalah 0,980 dan ikan
betina adalah 0,960. Nilai eksponen b pada ikan jantan adalah 3,218 dan betina
3,124. Hasil uji t terhadap nilai b dengan konstanta 3 diperoleh pola pertumbuhan
ikan T. sarasinorum jantan dan betina adalah allometrik. Nilai b>3 berarti
pertambahan panjang tidak secepat pertambahan berat.
57
Gambar 16 Hubungan panjang berat ikan T. sarasinorum jantan dan
betina
Pertambahan panjang ikan T. sarasinorum jantan dan betina tidak secepat
pertambahan beratnya. Tubuh ikan jantan lebih tinggi dan lebih tebal
dibandingkan dengan ikan betina.
Faktor kondisi
Perhitungan nilai Kn rata-rata ikan jantan dan betina di setiap lokasi
menunjukkan bahwa Kn rata-rata ikan jantan lebih tinggi dibandingkan dengan
Kn rata-rata betina (Gambar 17). Nilai Kn rata-rata ikan jantan adalah 1,088
(±0,154; N=2180) sedangkan Kn rata-rata ikan betina adalah 1,040 (±0,156;
58
N=985). Selanjutnya uji rata-rata nilai Kn dengan menggunakan one way Anova
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata nilai Kn ikan jantan antar lokasi
(P>0,05), tetapi ada perbedaan nyata yang kecil nilai Kn ikan betina antar lokasi
(P<0,05). Nilai Kn rata-rata ikan jantan tertinggi terdapat di Pantai Paku yaitu
1,112 (±0,131; N=115) dan terendah di Pantai Salonsa-B yaitu 1,072 (±0,184;
N=108). Nilai Kn rata-rata ikan betina tertinggi terdapat di Pantai Paku yaitu
1,080 (±0,147; N=46). Nilai tersebut berbeda nyata dengan nilai Kn rata-rata ikan
betina terendah (Pantai Kupu-kupu) yaitu 0,990 (±0,133; N=63).
Gambar 17 Faktor kondisi relatif ikan T sarasinorum jantan dan betina secara
spasial
Nilai Kn rata-rata ikan jantan dan betina berfluktuasi antar bulan (Gambar
18). Uji rata-rata nilai Kn dengan menggunakan one way Anova menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan nyata nilai Kn ikan jantan dan nilai Kn ikan betina
antar waktu (P>0,05). Perbedaan ini diduga berkaitan dengan musim pemijahan;
pada musim pemijahan nilai Kn meningkat.
Nilai Kn rata-rata ikan jantan tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu 1,196
(±0,167; N=174) dan terendah pada bulan Juni yaitu 1,001 (±0,124; N=171). Nilai
59
Kn rata-rata ikan betina tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 1,212 (±0,121;
N=75) dan terendah pada bulan Mei yaitu 0,846 (±0,080; N=100).
Pada bulan Februari dan Maret saat memasuki musim hujan nilai Kn ikan
betina dan jantan tinggi; pada saat itu ikan diduga mengumpulkan energi untuk
persiapan pemijahan pada bulan berikutnya. Pada bulan Mei dan Juni ikan baru
selesai memijah, nilai Kn ikan betina dan jantan pada waktu itu paling rendah. Hal
ini ditandai oleh semakin rendahnya jumlah ikan TKG IV.
Gambar 18 Faktor kondisi relatif ikan T. sarasinorum jantan dan betina secara
temporal
Tingkat kematangan gonad
Secara
mikroskopis,
tingkat-tingkat
kematangan
gonad
ditentukan
berdasarkan distribusi oosit dan sel-sel spermatogenik. Tipe pemijahan
diidentifikasi berdasarkan karakteristik histologis ovari yang dipijahkan dan
distribusi frekuensi tingkat-tingkat kematangan gonad (Goncalves et al. 2006).
Secara makroskopis, ovari bervariasi volumenya, ketebalan dan warnanya,
menurut tingkatan kematangan gonad. Secara mikroskopis, dibungkus oleh tunica
60
albuginea yang mengeluarkan septae ke bagian dalam organ, membentuk
ovigerous lamellae dimana terdapat oosit dengan tingkat-tingkat perkembangan
berbeda.
Morfologi testis dan spermatogenesis
Testis T. sarasinorum berupa organ berpasangan, memanjang dan fusiform
terletak di dalam rongga perut secara lateral ke saluran pencernaan. Testis terdapat
bebas dan menyatu pada ujung kaudal membentuk spermatic duct yang biasa,
yang terbuka pada urogenital papilla, dimana spermatozoa meninggalkan tubuh.
Gambar 19 Struktur histologis gonad ikan T. sarasinorum jantan
Ket.: A=TKG I, B=TKG II, C=TKG III, D=TKG IV, E=TKG V,
Sg=spermatogonia, Sc= spermatosit, Spt=spermatid,
Sz=spermatozoa, Lo=lobul.
Secara mikroskopis, testis dibungkus oleh tunica albuginea yang
memunculkan septae ke bagian dalam organ, membentuk lobul yang berisi tubule
61
seminiferi. Dinding tubule ini terdiri dari kista yang dibatasi oleh perpanjangan
sitoplasma sel-sel Sertoli.
Pengamatan histologis gonad jantan menunjukkan bahwa di dalam gonad
jantan terdapat spermatogonia yang menyebar (Gambar 19). Pada TKG I sel-sel
punca berada di dalam spermatogonia (SG). Pada TKG II lebih banyak kista berisi
spermatogonia, dan pada meiosis spermatogonia menjadi spermatosit (ST).
Setelah memasuki TKG III, kista menunjukkan adanya spermatid (SPT) yang
mengalami spermiogenesis, dan sel-sel berubah menjadi spermatozoa (SZ).
Dinding kista pecah dan spermatozoa dikeluarkan ke dalam lobule lumen.
TKG IV adalah tahap akhir spermatogenesis. Spermatozoa yang berada di
dalam lobule lumen bertambah banyak, dan spermatozoa masuk ke dalam efferent
duct. Batch-batch baru dari sel-sel di dalam kista matang perlahan-lahan. Kista
yang berisi spermatogonia lebih dahulu menghilang, diikuti oleh spermatosit dan
spermatid, sampai semua sel di dalam gonad menyelesaikan spermatogenesis.
Pada TKG V terdapat banyak ruang kosong karena banyak spermatozoa yang
telah dikeluarkan saat pemijahan. Spermatozoa yang tertinggal dalam tubule
seminiferi mengalami fagositosis (Lampiran 11).
Morfologi ovari dan oogenesis
Berbeda dengan ikan pada umumnya yang mempunyai ovari berpasangan,
pada T. sarasinorum ovari berbentuk organ tunggal yang membulat terletak di
dalam rongga perut di bagian posterior hati dan lateral saluran pencernaan. Ovari
terdapat bebas dan pada bagian posterior berupa oviduct, yang terbuka pada
urogenital papilla di depan anus. Secara makroskopis, ovari bervariasi volume,
ketebalan dan warnanya, menurut tingkatan kematangan gonad. Ovari yang belum
matang berwarna agak jernih. Ovari dibungkus oleh selaput tipis berwarna hitam
pada ovari yang belum matang, dan kuning pada ovari yang sudah matang, dan
didalamnya terdapat oosit dengan tingkat-tingkat perkembangan berbeda. Ovari
yang sudah matang mengisi sepertiga rongga perut. Pengamatan dengan
mikroskop menunjukkan terdapat filamen yang tumbuh mengelilingi oosit.
Diameter oosit bertambah dengan berkembangnya oosit. Fungsi dari filamen
tersebut adalah untuk melekatkan embrio yang sedang berkembang pada substrat.
62
Selama oogenesis, oogonia (kecil, dengan sebuah nukleus vesikel, sebuah
nukleolus pusat dan sedikit sitoplasma) merupakan asal dari oosit. Oogenesis
adalah suatu fase fundamental dalam proses reproduksi organisme. Oogenesis
memberikan gambaran rinci tentang kondisi reproduksi ikan betina.
Gambar 20 Struktur histologis gonad ikan T. sarasinorum betina
Ket.: A= TKG I, B=TKG II, C=TKG III, D=TKG IV, E=TKG V,
Og= oogonia, Nu= nukleus, Os=oosit, Ot=ootid,
Kt= kuning telur, Oa= oosit atresia, Bm= butiran minyak,
Do= dinding ovari
Gonad ikan betina yang berada pada kondisi TKG I menunjukkan
perkembangan gonad dimana oogonia tersebar di dalam ovari dengan ukuran yang
sangat kecil (Gambar 20). Selanjutnya oogonia akan berkembang melalui
pembelahan meiosis. Pada TKG II oosit bertambah volume dan ukurannya. Telur
63
masih berupa butiran kecil berwarna putih susu. Pada TKG III, oosit dapat dilihat
dengan mata telanjang. Ootid terbentuk; pada tahap ini telur memasuki tahap
pematangan gonad. Pada tahap ini terdapat tiga kelompok ukuran telur. Telur
yang masih kecil berwarna putih, kemudian telur yang berkembang berwarna
kekuningan, dan telur yang matang berwarna kuning bening dengan nukleus
berukuran besar. Pada TKG IV, ootid berkembang menjadi ovum. Sebagian telur
di dalam ovari mulai matang. Telur yang sudah siap dipijahkan ditandai dengan
adanya nukleus berukuran besar dan dikelilingi oleh butiran kuning telur dan
nukleolus. Pada TKG V tampak banyak oosit atresia yang bentuknya tidak
beraturan (Lampiran 12).
Pemijah berulang ditandai oleh pola temporal tingkat-tingkat ovari
makroskopik, kejadian teratur ovari yang salin sebagian, dan pola perkembangan
oosit, dengan lepasnya oosit matang dalam batch, seperti dalam kasus Cichla
monoculus (Chellappa et al. 2005).
Awal kematangan kelamin merupakan fase transisi yang kritis dalam sejarah
hidup, karena alokasi sumberdaya terutama berhubungan dengan pertumbuhan
sebelum dan pada reproduksi setelah kematangan kelamin (Chellappa et al. 2005).
Proses reproduksi, seperti kematangan gonad, pada ikan-ikan tropis dipengaruhi
oleh berbagai perubahan lingkungan yang dirangsang oleh awal musim hujan.
Beberapa ikan jantan, terutama yang matang untuk pertama kalinya,
menghasilkan lebih sedikit sel-sel punca yang sedang matang di dalam gonadnya
(Dziewulska & Domagała 2003). Dengan kata lain, sebagian besar sel-sel punca
tetap tidak aktif, pada tingkat spermatogonium, dalam satu siklus reproduksi.
Kondisi ini disebut ―pematangan tidak sempurna‖.
Frekuensi jumlah ikan jantan dan betina menurut status tingkat kematangan
gonad (TKG) ditampilkan secara spasial dan temporal dalam Gambar 21 - 23.
Persentase TKG ikan jantan dan betina berfluktuasi baik berdasarkan lokasi,
waktu maupun kelas ukuran.
Secara umum, jumlah ikan jantan TKG IV adalah dominan pada setiap
lokasi dan waktu sampling. Uji rata-rata dengan menggunakan two way Anova
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata jumlah ikan jantan di setiap lokasi
(F=1,47; P=0,153; df=14; α=0,05). Jumlah rata-rata ikan jantan menurut TKG
64
berbeda nyata menurut lokasi (F=60,66; P=0,000; df=4; α=0,05). Jumlah rata-rata
ikan jantan TKG IV adalah dominan di setiap lokasi, sedangkan antara jumlah
rata-rata ikan jantan TKG I, II, III dan IV tidak berbeda nyata antar lokasi
(Gambar 21).
Gambar 21 Persentase TKG ikan T. sarasinorum jantan (atas) dan betina (bawah)
secara spasial
Secara umum, jumlah ikan betina TKG IV dan V adalah dominan pada
setiap lokasi dan waktu sampling. Uji rata-rata dengan menggunakan two way
Anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata jumlah ikan betina di
setiap lokasi (F=1,29; P=0,245; df=14; α=0,05), sedangkan jumlah rata-rata ikan
betina menurut TKG berbeda nyata menurut lokasi (F=66,80; P=0,000; df=4;
α=0,05). Jumlah rata-rata ikan betina TKG IV dan V tidak berbeda nyata, tetapi
berbeda nyata dengan jumlah ikan betina TKG I, II dan III di setiap lokasi. Jumlah
rata-rata ikan betina TKG I, II dan III tidak berbeda (Gambar 21).
65
Gambar 22 Persentase TKG ikan T. sarasinorum jantan (atas) dan betina (bawah)
secara temporal
Jumlah rata-rata ikan jantan tidak berbeda nyata antar waktu sampling
(F=0,31; P=0,979; df=11; α=0,05), sedangkan ikan betina tidak berbeda nyata
antar waktu sampling (F=0,21; P=0,996; df=11; α=0,05). Sementara jumlah ratarata ikan jantan dan betina menurut TKG berbeda nyata antar waktu sampling;
one way Anova untuk jantan (F=331,23; P=0,000; df=4; α=0,05) dan betina
(F=0,21; P=0,996; df=11; α=0,05). Jumlah rata-rata ikan jantan TKG IV adalah
dominan pada setiap waktu (Gambar 22), sedangkan jumlah rata-rata jantan TKG
I, II, III dan V tidak berbeda nyata. Sementara jumlah rata-rata ikan betina TKG
IV adalah dominan pada setiap waktu sampling, tetapi tidak berbeda nyata dengan
jumlah betina TKG V, dan berbeda nyata dengan jumlah betina TKG I, II dan III.
Histogram untuk setiap tingkat kematangan gonad ikan jantan dan betina
pada setiap waktu sampling menunjukkan bahwa ikan T. sarasinorum memijah
66
Gambar 23 Persentase TKG ikan T. sarasinorum jantan (atas) dan betina (bawah)
menurut kelas ukuran
sepanjang waktu (Gambar 22). Hal ini ditandai dengan ditemukannya semua
tingkat kematangan gonad dengan persentase berbeda-beda pada setiap bulan.
Ikan yang merupakan pemijah bertahap pada gonadnya diperoleh komposisi
tingkat kematangan yang terdiri dari berbagai tingkatan dengan persentase
berbeda-beda (Cárdenas et al. 2008; Goncalves et al. 2006; Şaş 2008).
Jumlah rata-rata ikan jantan tidak berbeda nyata antar kelas ukuran (F=1,84;
P=0,075; df=11; α=0,05), sedangkan jumlah rata-rata ikan jantan menurut TKG
berbeda nyata antar kelas ukuran (F=12,33; P=0,000; df=4; α=0,05). Jumlah ratarata ikan jantan TKG IV adalah dominan pada setiap kelas ukuran; jumlah ratarata ikan jantan TKG I, II, III dan V tidak berbeda nyata (Gambar 23).
Berdasarkan Gambar 23 tampak bahwa kelas ukuran 22,44-26,83 dan 26,84-31,23
mm diisi oleh ikan jantan TKG I (100%). Kelas ukuran 31,24-35,63 mm
didominasi oleh ikan jantan TKG I (83%). Selanjutnya kelas ukuran 35,64-40,03
mm didominasi oleh ikan TKG II (83%). Kelas-kelas ukuran berikutnya
67
didominasi oleh ikan jantan TKG IV. Kelas ukuran terbesar hanya berisi ikan
jantan TKG IV (96%) dan V (4%). Dengan demikian jelas bahwa kelas-kelas
ukuran kecil didominasi oleh ikan TKG I atau II, sedangkan kelas-kelas ukuran
besar yang hadir di arena pemijahan umumnya adalah ikan yang siap memijah.
Jumlah rata-rata ikan betina berbeda nyata antar kelas ukuran (F=3,45;
P=0,002; df=11; α=0,05). Begitu pula, jumlah rata-rata ikan betina menurut TKG
berbeda nyata antar kelas ukuran (F=4,42; P=0,004; df=4; α=0,05). Jumlah ratarata ikan betina TKG IV dan V tidak berbeda nyata dengan jumlah betina TKG
III, tetapi berbeda nyata dengan jumlah TKG I dan II (Gambar 23). Gambar 23
menunjukkan bahwa kelas ukuran 35,64-40,03 mm didominasi oleh ikan betina
TKG I (60%). Kelas-kelas ukuran berikutnya didominasi oleh ikan-ikan betina
TKG IV dan atau V.
Ikan-ikan T. sarasinorum jantan dan betina yang berada di dalam habitat
pemijahan adalah ikan-ikan dewasa kelamin yang siap untuk memijah. Umumnya
ikan jantan berada pada TKG IV yang berukuran antara 40,04 mm sampai dengan
75,23 mm, sedangkan ikan betina berukuran antara 40,04 – 66,43 mm. Ikan-ikan
ini memijah setiap waktu, tetapi puncaknya adalah pada akhir musim kemarau dan
musim hujan dengan muka air yang meningkat. Puncak pemijahan ikan T.
sarasinorum tampak dipengaruhi oleh fluktuasi muka air dan curah hujan.
Banyaknya ikan yang mempunyai TKG IV pada waktu akhir musim kemarau dan
awal musim hujan mengantar pada dugaan bahwa ikan T. sarasinorum
mempunyai puncak pemijahan pada waktu-waktu tersebut yang disertai kenaikan
muka air danau. Ikan memijah pada akhir musim kemarau, sehingga diperkirakan
makanan akan cukup tersedia bagi larva pada waktu air naik kembali pada musim
hujan. Telur-telur ikan-ikan yang dipijahkan di daerah litoral yang dangkal
memiliki peluang mengalami bahaya kekeringan jika terjadi penurunan massa air
akibat dibukanya pintu air untuk kepentingan pembangkit listrik yang ada di
Danau Towuti (Gambar 4 pada Bab 2).
Komposisi dan fluktuasi tingkat kematangan gonad ikan T. sarasinorum
disajikan pada Gambar 19. Tahap matang gonad atau memijah (TKG IV) pertama
kali ditemukan pada kisaran panjang baku 40,04 – 44,43 mm untuk jantan dan
35,64 – 40,03 mm untuk betina. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikan
68
betina lebih cepat matang daripada ikan jantan. Ikan jantan TKG I dan II tidak
terdapat di habitat perakaran di P. Otuno I dan P. Otuno II, sedangkan ikan TKG
III tidak ditemukan dalam sampel di Pantai Salonsa. Sementara ikan betina
didominasi oleh ikan-ikan tingkat kematangan akhir hingga pascapemijahan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikan-ikan yang berada di habitat
perakaran adalah ikan-ikan yang siap memijah.
Indeks kematangan gonad
Indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. sarasinorum untuk setiap TKG
secara keseluruhan ditampilkan pada Tabel 5. Tampak bahwa semakin tinggi
tingkat kematangan gonad ikan semakin tinggi pula indeks kematangan gonadnya,
kecuali pada ikan jantan TKG V. Hal ini karena jantan mulai mempersiapkan
kembali untuk perkembangan gonad pada pemijahan berikutnya.
Tabel 5 Nilai indeks kematangan gonad ikan T. sarasinorum jantan dan betina
untuk setiap tingkat kematangan gonad
Jenis
kelamin
Jantan
Betina
TKG
I
II
III
IV
V
I
II
III
IV
V
IKG (%)
Rata-rata
0,548
0,632
0,945
1,915
1,158
0,363
0,418
1,092
2,298
2,849
SB
0,818
0,288
0,274
0,795
0,891
0,287
0,229
0,393
0,956
0,977
Indeks kematangan gonad rata-rata ikan jantan dan betina di setiap lokasi
menunjukkan bahwa IKG rata-rata ikan jantan lebih rendah dibandingkan dengan
IKG rata-rata betina (Gambar 24). Nilai IKG rata-rata ikan jantan adalah 1,541 (±
0,901; N=2180) sedangkan IKG rata-rata ikan betina adalah 2,261 (±1,132;
N=985). Selanjutnya uji rata-rata nilai IKG dengan menggunakan one way Anova
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata nilai IKG ikan jantan antar lokasi
(P<0,05) dan nilai IKG ikan betina antar lokasi (P<0,05). Nilai IKG rata-rata ikan
jantan tertinggi terdapat di P. Otuno I-B adalah 1,986 (±0,972; N=112) dan
69
terendah di Sokoio yaitu 1,065 (±0,562; N=111). IKG rata-rata ikan betina
tertinggi terdapat di P. Otuno II-B adalah 2,712 (±1,168; N=74) dan terendah di
Sokoio 1,817 (±0,933; N=64).
Gambar 24 Nilai IKG rata-rata ikan T. sarasinorum jantan dan betina secara
spasial
Perhitungan nilai IKG rata-rata ikan jantan dan betina antar waktu sampling
menunjukkan bahwa IKG rata-rata ikan jantan lebih rendah daripada IKG ratarata betina. Selanjutnya uji rata-rata nilai IKG dengan menggunakan one way
Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata nilai IKG ikan jantan antar
waktu (P<0,05) dan nilai IKG ikan betina antar waktu (P<0,05) (Gambar 23).
Nilai IKG rata-rata ikan jantan tertinggi terjadi pada bulan Mei 2009 yaitu 1,708
(±0,987; N=204) dan terendah pada bulan Januari yaitu 1,370 (±0,738; N=165).
IKG rata-rata ikan betina tertinggi terjadi pada bulan April 2008 yaitu 2,621
(±1,139; N=76) dan terendah pada bulan Januari yaitu 1,784 (±0,738; N=77).
Adanya satu puncak IKG menandakan bahwa ikan tersebut mengalami satu
kali puncak pemijahan dalam setahun (Sulistiono et al. 2001a). Hasil penelitian
untuk ikan T. sarasinorum (Gambar 25) menunjukkan bahwa terdapat puncak-
70
puncak nilai IKG pada bulan Februari, April-Mei, Agustus dan November untuk
ikan betina. Sementara untuk ikan jantan puncak-puncak nilai IKG terjadi pada
bulan Februari, Mei, Agustus dan Oktober. Dengan demikian ikan ini mengalami
beberapa kali pemijahan dalam setahun.
Gambar 25 Nilai IKG rata-rata ikan T. sarasinorum jantan dan betina secara
temporal
Fekunditas
Fekunditas didefinisikan sebagai jumlah vitelogenic oocytes pada betina
matang. Penelitian tentang fekunditas ikan adalah penting untuk menilai
potensi reproduksi suatu spesies, sehingga memungkinkan untuk menyimpulkan
tentang tingkah laku populasi tersebut (Duarte & Araújo 2002).
Ikan T. sarasinorum yang diambil untuk diperiksa fekunditasnya adalah 200
ekor ikan betina yang berada dalam kondisi TKG IV. Hasil menunjukkan bahwa
fekunditas rata-rata ikan adalah 224 butir, dengan kisaran 64 – 488 butir. Ikan
71
dengan kondisi TKG IV dengan fekunditas terendah (165 butir) mempunyai PB
56,47 mm, sedangkan ikan TKG IV yang mempunyai fekunditas tertinggi (488
butir ) mempunyai PB 60,77 mm. Uji persamaan regresi untuk hubungan antara
fekunditas dan PB menunjukkan nilai koefisien korelasi r = 0,418 (Gambar 26).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang kecil antara
fekunditas dengan panjang baku ikan. Atau dengan kata lain bahwa, jumlah telur
di dalam ovari ikan T. sarasinorum tidak dapat diduga berdasarkan panjang baku
ikan. Hasil uji dengan one way Anova menunjukkan perbedaan tidak nyata
fekunditas rata-rata antar lokasi dan antar waktu sampling (masing-masing dengan
P>0,05).
Tipe pemijahan ikan tergantung pada perkembangan gonad ikan betina
(ovari), frekuensi pemijahan dalam siklus setahun dan lamanya periode
pemijahan. Tipe pemijahan juga bisa ditandai dengan tingkat adhesiveness telur,
600
F = 0,002 L 2,876
r = 0,418
Fekunditas (butir)
500
400
300
200
100
0
40,00
45,00
50,00
55,00
Panjang baku (mm)
60,00
65,00
Gambar 26 Hubungan fekunditas dan panjang baku ikan T. sarasinorum
yang berarti bahwa ikan yang melepaskan telur secara bebas disebut sebagai
pemijahan total (Duarte & Araújo 2002), sedangkan yang melepaskan telur yang
lebih lengket memijah dalam batch. Perkembangan oosit T. sarasinorum adalah
asinkronis, menunjukkan bahwa spesies ini memijah dalam batch.
72
Jumlah oosit yang menyelesaikan perkembangannya pada waktu pemijahan
tergantung pada volume rongga perut yang berisi ovari matang dan ukuran oosit
ini. Selain fekunditas lebih tinggi, jumlah ikan yang relatif rendah di suatu
perairan, mungkin disebabkan sedikitnya jumlah substrat yang tersedia (Duarte &
Araújo 2002). Fekunditas berbeda berperan sebagai mekanisme yang mengatur
populasi, tergantung pada kepadatan, dan fekunditas yang relatif tinggi ini bisa
menjadi mekanisme untuk meningkatkan kelangsungan hidup telur dan larva
walaupun substrat tidak tersedia yang cukup.
Spesies yang memijah dalam batch dengan perkembangan oosit asinkroni,
penentuan fekunditasnya sulit dilakukan (Juchno & Boroń 2006). Korelasi
signifikan antara fekunditas, ukuran telur dan ukuran C. paludica betina telah
diamati. Ikan betina kecil, yang hidup di sungai-sungai musiman, harus
memaksimalkan jumlah telur yang dihasilkan karena fekunditasnya relatif rendah,
sedangkan ikan betina yang lebih besar bisa mengorbankan fekunditas untuk
membantu meningkatkan ukuran telurnya, yang bisa meningkatkan kualitas
(Juchno & Boroń 2010). Memaksimalkan kesejahteraan maternal dengan
menghasilkan telur lebih sedikit tetapi lebih besar memberikan pengaruh besar
dalam tingkat kelangsungan hidup anak.
Diameter telur
Jumlah telur yang diperiksa diameternya berasal dari masing-masing 10
ovari ikan betina untuk TKG III, IV dan V (Gambar 27). Hasil pemeriksaan
diameter telur menunjukkan bahwa terdapat 18 kelas ukuran yang dibagi menjadi
3 kelompok besar yaitu kelas ukuran I (0,50 – 0,81 mm), kelas ukuran II (0,82 –
1,19 mm) dan kelas ukuran III (1,20 – 1,75 mm). Ikan TKG III mempunyai
jumlah telur kelas ukuran I (diameter 0,50 – 0,81 mm) sebanyak 68%, kelas
ukuran II (0,82 – 1,19 mm) sebanyak 32% dan tidak ada telur kelas ukuran III.
Ikan TKG IV mempunyai jumlah telur kelas ukuran I sebanyak 50%, kelas ukuran
II sebanyak 38% dan kelas ukuran III sebanyak 13%. Ikan TKG V mempunyai
jumlah telur kelas ukuran I sebanyak 72%, kelas ukuran II sebanyak 29% dan
tidak ada telur dalam kelas ukuran III.
Jumlah telur pada semua tingkat kematangan gonad berkurang dengan
bertambahnya diameter; jumlah telur berukuran kecil dominan pada semua TKG.
73
Telur-telur berukuran sedang pada TKG III tumbuh menjadi telur berukuran besar
pada TKG IV dan siap untuk dikeluarkan. Telur berukuran besar pada TKG V
sebagian besar sudah dikeluarkan dan gonad hanya berisi beberapa telur
berukuran besar, dan lebih banyak berisi telur ukuran kecil dan sedang. Telur
yang tidak dikeluarkan pada pemijahan terakhir akan diserap kembali.
Gambar 27 Sebaran diameter telur ikan T. sarasinorum pada TKG III,
TKG IV dan TKG V di Danau Matano
74
Data ini menunjukkan bahwa telur-telur dalam kelas ukuran III adalah telur
berukuran besar yang siap untuk dipijahkan. Telur berukuran besar ini merupakan
telur matang yang siap untuk dipijahkan. Berdasarkan sebaran ukuran diameter
telur (Sulistiono et al. 2001b), ikan T. sarasinorum dalam penelitian ini adalah
pemijah bertahap; ikan melepaskan telurnya secara bertahap. Dapat disimpulkan
bahwa ikan T. sarasinorum merupakan ikan yang memijah secara bertahap pada
musimnya. Faktanya, di alam, ikan ini melakukan pemijahan secara terus-menerus
sepanjang hari sejak menjelang siang sampai sore hari.
Telur ikan T. sarasinorum jumlahnya relatif sedikit tetapi mempunyai
ukuran diameter yang relatif besar. Telur berukuran besar mempunyai tingkat
kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Jumlah telur ikan T. sarasinorum sedikit
tetapi ikan memijah secara bertahap dengan melepaskan telur-telur matang
terlebih dahulu. Pola ini juga terjadi pada ikan T. sarasinorum Australia M. s.
splendida dan M. eachamensis masing-masing mempunyai sekitar 13% dan 16%
telur yang siap dipijahkan (Pusey et al. 2001). Ikan T. sarasinorum mempunyai
13% telur yang siap dipijahkan pada ikan TKG IV.
Transpor oksigen yang cukup melalui kapsul telur penting untuk
kelangsungan hidup embrio. Pemilihan lokasi pelepasan telur oleh ikan betina
tampaknya berkaitan dengan porositas pasir yang memengaruhi aliran air yang
membawa pasokan oksigen, yang menjamin kelangsungan hidup embrio, waktu
munculnya juvenil, dan kondisi juvenil pada waktu menetas. Suhu inkubasi
memengaruhi laju perkembangan, efisiensi metabolisme dan ukuran juvenil saat
menetas. Dengan demikian ukuran juvenil, sebagai hasil dari ukuran awal telur,
ditentukan oleh investasi betina pada telur, dan kondisi lingkungan selama
perkembangan.
Telur-telur yang ukurannya besar menghasilkan juvenil berukuran besar,
yang secara kompetitif superior dan lebih kuat menghadapi predator (Chellappa et
al. 2005). Tetapi telur berukuran besar mempunyai ketahanan yang kurang baik
dibandingkan dengan telur berukuran kecil di dalam sarang yang kualitas
kerikilnya buruk. Populasi ikan yang ukuran tubuh betinanya menentukan
keberhasilan dalam kompetisi lokasi sarang, setiap induk betina akan mempunyai
hubungan ukuran telurnya dengan kebugaran anak. Ukuran telur yang optimal
75
akan bertambah seiring dengan pertambahan ukuran tubuh betina. Sementara
atresia pada folikel-folikel yang matang tampak merupakan mekanisme
pengaturan jumlah telur sehingga ukurannya akan optimal (Şaş 2008).
Musim pemijahan
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa ikan T. sarasinorum memijah
hampir sepanjang waktu dalam sehari. Hal ini ditunjang oleh data yang
ditampilkan dalam Gambar 20 dan 21 yang menunjukkan bahwa ikan jantan TKG
IV adalah dominan dalam setiap waktu sampling, sedangkan ikan betina TKG IV
dominan pada sebagian besar waktu. Musim pemijahan dalam penelitian ini
ditentukan berdasarkan pada periode ikan jantan dan betina dengan kondisi TKG
IV yang mencapai frekuensi tertinggi. Adanya ikan yang sudah matang gonad
merupakan indikator adanya ikan yang memijah di perairan tersebut (Sulistiono et
al. (2001a). Periode waktu ikan jantan TKG IV dengan persentase tertinggi adalah
pada bulan Oktober 2008, April 2009, Mei 2009 dan Agustus 2009. Dengan
demikian patut diduga bahwa puncak pemijahan ikan T. sarasinorum adalah bulan
April, Mei, Agustus dan Oktober. Sementara periode waktu ikan betina TKG IV
dengan persentase tertinggi adalah pada bulan September 2008, Februari 2009,
Juni 2009 dan Agustus 2009. Dengan demikian patut diduga puncak musim
pemijahan ikan T. sarasinorum betina terjadi pada bulan Februari, Juni, Agustus
dan September. Pada waktu-waktu tersebut baik IKG jantan maupun betina juga
tinggi. Dapat dikatakan bahwa puncak musim pemijahan ikan terjadi pada akhir
musim kemarau dengan muka air meningkat, serta musim hujan. Tampak bahwa
ikan betina mencapai kematangan gonad lebih awal dibandingkan dengan ikan
jantan. Menurut Winemiller & Kelso-Winemiller (2003), banjir musim hujan
menstimulasi produksi primer dan sekunder yang lebih besar, biasanya diiringi
oleh aktivitas reproduksi yang meningkat diantara ikan-ikan dan organisme
akuatik lainnya.
Secara histologis, sebagian besar tingkat kematangan gonad terdapat di
dalam satu ovari dan gonad yang sama. Hal ini mengantar pada dugaan bahwa
ikan T. sarasinorum merupakan pemijah bertahap; telur-telur dilepaskan
berulang-ulang. Ikan T. sarasinorum mempunyai ukuran diameter telur yang
relatif kecil dalam jumlah yang banyak. Ikan ini merupakan pemijah substrat dan
76
tidak melakukan pengasuhan anak. Hal ini sesuai dengan teori sejarah hidup
bahwa ikan ini termasuk ke dalam tipe strategi-r.
Melanotaenia eachamensis and Cairnsichthys rhombosomoides, endemik
sungai-sungai hutan Australia timur laut dan M. s. splendida yang lebih tersebar
(Pusey et al. 2001) mempunyai fekunditas hingga beratus-ratus telur dengan
diameter antara 1.10 dan 1.24 mm. Sebagian reproduksinya terjadi pada musim
kemarau, walaupun M. s. splendida dan C. rhombosomoides aktif reproduksinya
sepanjang tahun. Suhu atau fotoperiod tidak berperan sebagai kunci-kunci
lingkungan
untuk
reproduksi,
sehingga
hal
ini
menunjukkan
bahwa
perkembangan gonad sangat berkaitan dengan pertumbuhan somatik. Konsentrasi
reproduksi pada musim kemarau menjamin larva yang dihasilkan selama periode
kondisi fisik yang relatif stabil dan tenang. Perbandingan perubahan temporal
nilai-nilai IKG menunjukkan bahwa musim pemijahan M. eachamensis, yang
terjadi di sungai-sungai yang elevasinya tinggi, adalah lebih terbatas dan mulai
sekitar 1 bulan lebih cepat daripada spesies lain. Begitu pula populasi M. s.
splendida yang ditemukan pada elevasi tinggi dan menekankan potensi untuk
perbedaan spasial produktivitas sungai yang memengaruhi sejarah hidup.
Ketiga ikan pelangi tersebut matang pada ukuran kecil dan merupakan
pemijah batch tersebar (Pusey et al. 2001). Walaupun beberapa individu aktif
reproduktif sepanjang tahun, mayoritas aktivitas reproduksi terjadi selama musim
kering. Ikan T. sarasinorum T. sarasinorum juga memijah sepanjang waktu.
Puncak pemijahan ikan T. sarasinorum ini adalah pada akhir musim kemarau dan
pada musim hujan.
Tingkah laku pemijahan
Peristiwa berpasangan dimulai dengan ikan jantan menemukan ikan betina
di habitat pemijahan dan bersama-sama masuk ke dalam arena pemijahan.
Kemudian di dalam arena pemijahan pasangan berenang berputar-putar. Pasangan
ini selalu diikuti oleh beberapa ekor ikan jantan lain (sneaker atau pesaing
pembuahan, dan jantan tunggal bukan pesaing pembuahan) yang juga berusaha
merebut ikan betina. Sedangkan ikan jantan yang sedang berpasangan (jantan
utama) akan berusaha mempertahankan ikan betina pasangannya dengan
menghalang-halangi ikan-ikan jantan lain mendekati betina pasangannya.
77
Pasangan yang sedang memijah akan terus berputar-putar di dalam arena sampai
betina mendapatkan kesempatan untuk melepaskan telur. Setelah betina
menemukan letak tempat untuk melepaskan telur, pasangan memijah ini akan
melakukan perkawinan. Pasangan ikan menekan abdomen ke substrat sehingga
ikan betina mengeluarkan telur dan ikan jantan melepaskan sperma.
Gambar 28 Ethogram tingkah laku pemijahan ikan T. sarasinorum
Ketika pasangan ikan sedang memijah, pesaing pembuahan turut
melepaskan spermanya untuk dapat membuahi telur yang dilepaskan oleh betina.
Saat melepaskan spermanya posisi pesaing pembuahan selalu berada di samping
ikan jantan utama – bukan di antara ikan jantan utama dan ikan betina, seperti
pada ikan bluegill sunfish di Danau Opinicon Canada (Gross 1982). Sesaat setelah
peristiwa ini ikan betina meninggalkan tempat pelepasan telur, sedangkan ikan
jantan pasangannya membalikkan tubuhnya kembali ke arah tempat telur
dilepaskan dan melakukan gerakan seperti menekan-nekan di area tempat
pelepasan telur (Gambar 28). Pada banyak hewan banyak jantan mempunyai
keuntungan dalam mendapatkan pasangan dan sarang dan oleh karena itu
keberhasilan perkawinan jantan sangat bervariasi dengan ukuran dan umur (Ito &
Yanagisawa 2006).
78
Sementara itu ikan-ikan jantan pesaing pembuahan melakukan gerakan
seperti memungut atau memakan sesuatu dari sekitar tempat pelepasan telur.
Peristiwa ini diduga sebagai peristiwa memungut atau memakan sisa-sisa sperma
yang tersebar di sekitar tempat pelepasan telur.
Belum pernah ada laporan tentang ikan-ikan memakan sisa-sisa sperma
yang terbuang saat pembuahan. Tetapi hal ini mungkin terjadi pada habitat
perairan yang miskin sumber daya makanannya. Diketahui bahwa Danau Matano
adalah danau oligotrofik. Jadi peristiwa memakan sisa-sisa sperma dari pasangan
ikan yang memijah merupakan alternatif makan bagi ikan-ikan yang berada di
habitat yang miskin akan sumberdaya makanan. Ketika berada di luar habitat
pemijahannya, ikan T. sarasinorum diamati mengikuti ikan-ikan T. antoniae yang
sedang memijah. Mereka memburu telur-telur ikan T. antoniae yang baru
dilepaskan (Kottelat 1991; Gray et al. 2006; Gray & McKinnon 2006; Nilawati &
Tantu 2007).
Ikan yang ada di dalam arena pemijahan adalah individu-individu yang
matang kelamin. Mereka menunjukkan kebugaran dalam bentuk pertunjukan
warna jantan dengan mengembangkan sirip-sirip lebih besar, berwarna cerah,
lebih kuat dan mencolok, yang diikuti oleh pertunjukan berpasangan, perkelahian
antar ikan-ikan jantan yang memperebutkan ikan betina, dan gerakan-gerakan
melepaskan telur dan sperma. Didalam arena pemijahan dasar gerakan-gerakan
tingkah laku pemijahan dipertunjukan secara horisontal ke arah dasar, sedangkan
di arena perakaran tingkah laku pemijahan dipertunjukan dengan gerakan-gerakan
vertikal dan horisontal. Arah gerakan seperti ini berkaitan dengan struktur arena
pemijahan.
Ikan-ikan jantan dan betina yang berpasangan diamati aktif memijah pada
substrat di bawah kondisi naungan, yang berasal dari pohon di tepian danau atau
dari batu bulat besar atau batu besar kecil di dekat arena. Pada waktu perairan
berombak dan substrat dasar tercampur maka tidak ada aktivitas kawin yang
diamati dan ikan-ikan tampak berpindah ke perairan yang lebih dalam dan lebih
jernih.
Penelitian ini juga menemukan bahwa aktivitas pemijahan jarang terjadi
pada substrat dasar di perairan terbuka tanpa naungan dari vegetasi terestrial atau
79
dari batu-batu besar yang tidak memiliki kolam-kolam pasir. Di perairan terbuka
ikan-ikan menggunakan sebagian besar waktunya untuk makan dengan mengikuti
pasangan ikan T. antoniae yang sedang memijah dan memburu telur-telur yang
baru dilepaskan. Penelitian ini juga menemukan bahwa pada substrat dasar yang
hanya ditutupi oleh batu bulat dan/atau substrat pasir jarang ditemukan kelompokkelompok ikan yang melakukan aktivitas perkawinan. Aktivitas perkawinan tidak
pernah ditemukan pada substrat berlumpur. Arena pemijahan yang diamati
mempunyai karakteristik fisik khusus (Tabel 2).
Ikan betina melepaskan telur pada pasir untuk melindungi telur dari
dinamika gerakan air yng mungkin dapat
menghanyutkan telur atau bahkan
menyebabkan mortalitas telur. Selain itu, telur-telur yang dilepaskan pada pasir
akan mengalami oksigenasi yang diperlukan untuk perkembangannya. Selama
pengamatan tidak tampak ikan yang berpasangan memijah pada substrat lumpur.
Selain kemungkinan alasan penglihatan, hal ini merupakan salah satu cara ikan
untuk menjamin kelangsungan hidup anak-anaknya.
Habitat dengan akar-akar menggantung dan/atau batang/ranting tumbang
ditutupi oleh alga dan/atau sponge air tawar disukai sebagai arena pemijahan.
Pelepasan telur terjadi pada akar-akar atau batang yang ditutupi oleh alga/sponge
air tawar. Dalam tipe arena pemijahan ini tampak bahwa ikan betina
menyembunyikan telur yang baru dilepaskannya di antara alga atau sponge,
dengan tujuan untuk melindunginya dari predator. Selain itu, alga/sponge juga
memberikan makanan bagi anak-anak ikan setelah menetas. Cara seperti ini,
walaupun ikan tidak melakukan pengasuhan anak tetapi pemilihan tempat
melepaskan telur merupakan cara ikan menjamin kelangsungan hidup anakanaknya. Tingkah laku melepaskan telur pada pasir dan di antara alga/sponge
dimaksudkan untuk melindungi anak-anaknya dari predator.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil-hasil dari penelitian lain pada sistem
berbeda. Misalnya, Bohlen et al. (2003) yang meneliti habitat pemijahan ikan
spined loach (Cobitis taenia), menemukan bahwa ikan melakukan pemilihan
tempat melepaskan telur diantara vegetasi yang padat. Keberadaan vegetasi pada
tepian danau, yang mempunyai sistem perakaran terendam air/submerge dan
vegetasi terestrial yang menaungi permukaan air dari cahaya matahari langsung
80
memegang peran penting dalam keberadaan arena pemijahan. Sejauh ini hasil
penelusuran pustaka tidak ada informasi mengenai pengaruh naungan terhadap
pemijahan ikan endemik dalam kondisi alami. Tetapi hal ini masih perlu diuji
melalui penelitian yang lebih maju. Naungan mempunyai korelasi dengan
kelangsungan hidup telur dan anak-anak ikan. Naungan di arena juga membantu
melindungi telur dari penglihatan predator.
Pola perkawinan pada ikan T. sarasinorum adalah promiscuity yaitu ikan
jantan bisa kawin dengan ikan betina manapun secara acak (Grier 1984). Ikan
jantan dan betina kawin dengan betina dan jantan berbeda dalam selang waktu
yang singkat. Pasangan jantan dan betina yang sama bisa kawin beberapa kali.
Ikan-ikan yang ada di daerah pemijahan adalah ikan-ikan yang dewasa
dengan ukuran panjang baku yang ada dalam koleksi 22,44 – 75,08 mm. Warna
pada ikan jantan muncul seiring dengan umur (dalam hal ini ukuran). Makin
matang ikan secara reproduktif maka akan muncul warna karena persaingan pada
tingkat ini semakin besar. Makin besar persaingan, kemungkinan bahwa sifat seks
dalam bentuk warna akan makin banyak. Makin banyak pesaing makanan mereka
akan berkompetisi dengan warna. Makin kurang pesaing akan kembali pada
warna asal.
Jumlah pasangan ikan yang memijah di arena pemijahan batu berpasir
menurut waktu (pagi, siang dan malam) menunjukkan terdapat perbedaan nyata
(one way Anova; F=22,53; df=2; P=0,000; N=12). Jumlah pasangan memijah
pada pagi dan sore hari tidak berbeda nyata. Jumlah pasangan memijah terbanyak
pada siang hari (pukul 11.00 - 12.00).
Jumlah perkawinan (courting) rata-rata per pasangan setiap menit tidak
berbeda nyata antara siang dan sore hari. Jumlah perkawinan rata-rata paling
rendah pada pagi hari (1 kali per menit).
Jumlah kehadiran pesaing pembuahan menurut waktu tidak berbeda nyata
antara pagi dan sore hari. Jumlah pesaing pembuahan rata-rata paling banyak pada
siang hari (2 ekor per pasangan memijah), dan berbeda nyata dengan jumlah
pesaing pembuahan pada pagi dan sore hari (F=10,66; df=2; P=0,000).
One way Anova menunjukkan jumlah pasangan ikan yang memijah di arena
pemijahan perakaran menurut waktu (pagi, siang dan malam) tidak berbeda nyata
81
(F=3,02; df=2; P=0,063; N=12). Jumlah pasangan memijah terendah pada sore
hari dan tertinggi pada siang hari.
Jumlah perkawinan rata-rata per pasangan setiap menit tertinggi pada siang
hari. Jumlah perkawinan rata-rata 5 kali per menit dan terendah pada sore hari (5
kali per menit). Pada pagi hari 5 kali per menit. Secara statistik antar waktu tidak
berbeda nyata (F=0,71; df=2; P=0,501).
Jumlah kehadiran pesaing pembuahan menurut waktu berbeda nyata
(F=11,51; df=2; P=0,000). Jumlah pesaing pembuahan rata-rata paling banyak
pada siang hari (8 ekor per pasangan memijah), dan paling sedikit pada sore hari
(6 ekor); pada pagi hari jumlahnya 6 ekor.
Secara keseluruhan jumlah rata-rata pasangan memijah adalah 4 pasangan
per waktu. Durasi berpasangan rata-rata 4,78 menit dengan jumlah perkawinan
rata-rata 7 kali (atau jumlah perkawinan rata-rata 2 kali per menit).
Pengamatan bawah air di arena pemijahan terdapat kejadian adanya betina
kawin yang melakukan gerakan menekan tempat pelepasan telur. Total dari 96
pasang ikan yang perkawinan terdapat 5 kejadian adanya betina menyembunyikan
telur, sedangkan pada jantan terdapat 130 kejadian jantan menyembunyikan telur.
Selain itu ditemukan 188 kejadian ikan jantan pesaing pembuahan dan bukan
pesaing pembuahan memakan sperma.
Pada beberapa spesies ekspresi ciri seks sekunder bisa berkurang seiring
dengan umur. Ciri seks sekunder ini belum berkembang ketika ikan jantan masih
muda. Oleh karena itu preferensi betina terhadap ciri seks sekunder yang
berkembang dengan baik akan sering membedakan terhadap jantan-jantan muda.
Tidak diketahui apakah betina yang kawin dengan jantan tua mempunyai anak
yang kelangsungan hidupnya yang lebih tinggi daripada rata-rata. Pada spesies
dengan pengasuhan anak, keuntungan kawin dengan jantan tua adalah kepedulian
induk lebih baik atau keuntungan langsung lain.
Menurunnya kondisi ikan mungkin berkaitan dengan rendahnya rekrutmen
paling tidak sebagian karena rendahnya jumlah dan kualitas gamet bisa
menurunkan keberhasilan pembuahan (persentase telur yang dibuahi selama
pemijahan). Telur yang dibuahi oleh jantan yang kondisinya baik ditemukan
mempunyai laju sintasan yang lebih tinggi daripada yang dibuahi oleh ikan yang
82
kondisinya lebih buruk. Investasi ukuran relatif testis pada whitefish danau di
Teluk Quinte (Danau Ontario) berhubungan dengan kondisi, yang menunjukkan
bahwa whitefish danau yang kondisinya baik bisa mempunyai keuntungan
reproduksi daripada ikan lain (Blukacz et al. 2010).
Taktik kawin pada ikan guppy jantan, menurut urutan meningkatnya
investasi energi, adalah kopulasi secara diam-diam tanpa pacaran, pertunjukan
terhadap betina sebelum kopulasi, dan secara agresif menghalang-halangi jantanjantan lain (Kolluru & Grether 2004). Taktik agresif mulai dari merebut posisi
dekat betina, pertunjukan, berhadapan dan menggigit jantan pesaing.
Banyak spesies yang menginvestasikan materi dan energi dalam ovum
dalam jumlah yang cukup besar dan sangat signifikan dalam hidup betina yang
memproduksinya. Jadi massa investasi reproduksi dan tanggung jawab pada
kebanyakan spesies ada pada betina, sedangkan jantan terutama menyediakan
informasi genetik. Investasi berbeda pada seks ini memunculkan implikasi penting
bagi individu yang kawin. Betina harus memilih jantan dengan cermat dan
sebaliknya jantan diharapkan berusaha kawin lebih sering. Betina yang paling
berhasil (dalam hal kelangsungan hidup dan reproduksi) adalah yang
mendapatkan pasangan ―terbaik‖ (terkuat, paling mungkin mengumpulkan
makanan jika perlu, paling mungkin untuk bertahan) dengan gen-gen untuk
bergabung dengannya.
Pada spesies ikan yang betinanya melakukan pemilihan pasangan, jantan
bersaing menarik betina. Jantan terbaik ditentukan oleh kemampuannya
melakukan pertunjukan, mungkin berarti bahwa jantan yang mempunyai waktu
dan energi untuk pertunjukan demikian juga mempunyai waktu dan energi untuk
aspek-aspek lain kelangsungan hidup dan reproduksi. Dalam perkelahian antar
jantan, jantan terbaik ditentukan oleh pemenang dalam perkelahian. Betina tidak
―memilih‖ tetapi hanya kawin dengan pemenang. Kadang-kadang jantan
bertarung satu sama lain memperebutkan betina. Pemilihan pasangan oleh betina
dan perkelahian antar jantan bisa menyebabkan perbedaan keberhasilan pemijahan
jantan daripada betina, ikatan pasangan yang lemah, dimorfisme seksual
(perbedaan fisik antara jantan dan betina) dan kematangan jantan yang tertunda
hingga jantan lebih tua dan lebih kuat.
83
Usaha memilih tempat untuk meletakkan telur; merupakan bentuk
perlindungan terhadap predator dan menjamin ketersediaan sumber makanan
untuk anak yang akan menetas. Telur mungkin diletakkan, seringkali dengan
struktur morfologi yang khusus, ovipositor, di dalam tanah atau pasir, di bawah
tumbuhan, dalam lubang, atau mungkin melekat pada tumbuhan atau benda lain
yang nantinya akan berperan sebagai makanan. Induk pergi, dan anak harus
menetas, memasuki dunia, dan mencari makan sendiri. Hal ini tampak pada T.
sarasinorum. Selama penelitian sempat diamati telur yang telah dibuahi (melalui
pembuahan buatan) tampak mempunyai struktur yang berfungsi sebagai perekat
pada substrat. Dengan demikian telur yang dilepaskan melekat pada substrat.
Semua ini dikenal dengan istilah seleksi r vs K. Spesies yang mempunyai
kecepatan reproduksi yang lebih rendah, seringkali lebih pengasuhan anak, serta
tubuh lebih besar adalah seleksi K. Tipe lain, dengan laju reproduksi lebih tinggi
dan karakteristik lain, adalah seleksi r.
Terbatasnya jumlah sperma yang bisa dikeluarkan oleh seekor jantan juga
bisa membantu pemilihan pasangan oleh jantan (Andersson 1994). Tergantung
pada sistem kawin, peran pengasuhan, dan ekologi reproduksi, bisa ada kompetisi
dan pemilihan pasangan pada jantan dan betina, tetapi kompetisi biasanya paling
menonjol pada jantan, dan pemilihan pasangan paling menonjol pada betina.
Kejadian-kejadian di habitat pemijahan tidak selalu berakhir dengan
perkawinan. Tetapi bisa berlanjut dengan bentuk-bentuk lain, misalnya kompetisi
sperma antara jantan-jantan yang kawin dengan betina yang sama (Andersson
1994). Taktik-taktik jantan yang umum yang mengurangi resiko pesaing
membuahi betina adalah menjaga atau menguasai betina, dan seringkali jantan
kawin dengan betina selama waktu memungkinkan.
Ikan betina yang kawin dengan ikan jantan yang paling berornamen
diharapkan mendapatkan keuntungan langsung maupun tidak langsung. Karena
sifat-sifat
demikian menandakan kemampuan jantan untuk memberikan
sumberdaya yang berpengaruh langsung terhadap kebugaran ikan betina yang
memilihnya, atau karena ornamen menandakan kualitas genetik jantan yang akan
menguntungkan betina secara tidak langsung melalui kualitas genetik anakanaknya yang lebih baik (Andersson 1994). Pada spesies dengan sistem
84
perkawinan yang bebas sumber daya (jantan hanya menyumbangkan sperma pada
waktu pemijahan), preferensi betina terhadap jantan yang berornamen didorong
oleh keuntungan genetik yang diturunkan melalui ayah, seperti ―gen baik‖ untuk
kelangsungan hidup anak dan atau untuk reproduksi yang akan datang (Andersson
1994).
Pengamatan menunjukkan bahwa ikan T. sarasinorum jantan tidak
menunjukkan preferensi terhadap ukuran ikan betina. Menurut Pyron (1996b),
tidak adanya preferensi jantan terhadap ukuran betina mungkin disebabkan
biasnya nisbah kelamin di arena pemijahan atau rendahnya variasi jumlah telur
yang dikeluarkan pada setiap pemijahan. Seekor ikan betina dapat diperebutkan
oleh 3 hingga 13 ekor ikan jantan. Tampak bahwa ikan betina lebih menyukai
memijah dengan ikan jantan yang berukuran besar. Menurut Cargnelli & Gross
(1997), hal ini kemungkinan karena jantan berukuran besar mempunyai sifat-sifat
yang lebih baik yang dapat diturunkan kepada anak-anaknya. Jantan berukuran
besar mempunyai ketahanan lebih kuat dalam kompetisi memperebutkan sumber
daya yang terbatas di danau.
Ikan-ikan jantan dalam penelitian ini tampak menunjukkan taktik kawin
alternatif yaitu jantan utama dan jantan pesaing pembuahan. Menurut Gross
(1980, 1982) dan Taborsky (1994), ikan jantan utama menunda kematangan dan
mengadopsi taktik perkawinan dan menjaga, sedangkan jantan pesaing
pembuahan matang lebih cepat. Kedua tipe jantan yang melakukan taktik berbeda
ini mempunyai keberhasilan pemijahan yang berbeda (Neff et al. 2003). Tingkah
laku pengganggu merupakan komponen penting dalam sistem perkawinan ikan
ini.
Menurut Gross & Charnov (1980), keberhasilan reproduksi ikan jantan
utama dipengaruhi oleh ukuran tubuh. Ikan jantan yang ukurannya besar
mempunyai akses lebih besar kepada posisi ikan betina. Selain itu, ikan jantan
berukuran besar mampu mempertahankan ikan betina pasangannya dari ikan
jantan pesaing pembuahan yang umumnya berukuran lebih kecil.
Pembuahan eksternal dan penjagaan tempat pemijahan atau betina oleh
jantan pasangannya merupakan pola reproduksi yang banyak terjadi pada ikan.
Tetapi menjaga telur dari sperma pesaing sulit dilakukan secara fisik karena
85
penjagaan dan pembuahan harus terjadi secara bersama-sama. Oleh karena itu
strategi reproduksi alternatif harus ada pada ikan.
Tingkah laku pemijahan ikan jantan utama tampak dipengaruhi oleh
kehadiran jantan pesaing dan jantan bukan pesaing. Jumlah perkawinan yang
dilakukan oleh pasangan ikan bertambah dengan meningkatnya jumlah ikan
jantan lain di arena. Pemijahan meningkat pada siang hari; semakin banyak
pasangan ikan kawin pada waktu itu. Aktivitas pemijahan berkurang pada saat
turun hujan karena air menjadi keruh akibat percampuran (mixing) pada waktu itu.
Ikan-ikan diamati berpindah ke perairan yang lebih dalam, yang lebih jernih.
Dapat dikatakan bahwa kecerahan perairan tampak jelas memengaruhi aktivitas
pemijahan ikan. Kecerahan tampak berpengaruh terhadap jarak pandang ikan.
Ikan betina tampak menyukai kawin dengan ikan jantan berukuran besar dengan
sirip-sirip yang panjang dan besar, dan berwarna mencolok. Apabila perairan
keruh akibat percampuran, penglihatan ikan menjadi terganggu sehingga
pemijahan tidak dapat berlangsung.
Perbedaan warna memengaruhi pemijahan pada ikan siklid sehingga daya
pandang adalah penting dalam komunikasi ikan-ikan tersebut (Carleton et al.
2005). Perubahan daya pandang di dalam sistem akuatik bermula dari adaptasi
sistem penglihatan ikan pada transmisi spektrum cahaya di dalam air akibat
perubahan warna perairan, kekeruhan atau kedalaman. Meningkatnya kekeruhan
menyebabkan
berkurangnya
cahaya,
dan
mengurangi
transmisi
cahaya
bergelombang pendek. Transmisi cahaya di lokasi-lokasi yang keruh adalah pada
gelombang cahaya yang lebih panjang.
Penglihatan ikan ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif oleh sifat-sifat
optik perairan (Seehausen et al. 2003). Sifat optik perairan juga ditentukan oleh
jenis dan kepadatan bahan organik yang terdispersi dan konsentrasi bahan organik
terlarut di dalam air. Oleh karena itu sifat optik perairan tergantung pada kondisi
trofiknya. Bahan-bahan terdispersi atau terlarut di dalam air mempengaruhi
penetrasi cahaya ke dalam perairan. Meningkatnya kepadatan dan konsentrasi
bahan-bahan tersebut dapat menurunkan kecerahan perairan dan transmisi cahaya,
serta komposisi panjang gelombang cahaya di dalam air; keduanya mempengaruhi
jarak pandang dan warna yang dilihat oleh ikan. Danau Matano mempunyai
86
kecerahan perairan yang tinggi; cahaya merah hanya dapat dilihat hingga
kedalaman 2,5 m (Seehausen et al. 2003), sedangkan cahaya biru dapat dilihat
hingga sejauh penetrasi cahaya ke dalam perairan. Oleh karena itu perairan Danau
Matano tampak biru. Kandungan bahan-bahan terdispersi dan terlarut di perairan
saat terjadi percampuran yang menyebabkan perairan menjadi keruh, tentu
memengaruhi penglihatan ikan yang pada akhirnya berpengaruh pula pada
aktivitas pemijahannya.
Kesimpulan
Nisbah kelamin T. sarasinorum di arena pemijahan selalu berada dalam
keadaan tidak seimbang (tidak mengikuti perbandingan 1:1); kondisi ini adalah
kondisi alamiah ikan tersebut. Nisbah seimbang 1:1 yang dianggap ideal pada
banyak ikan tidak berlaku pada T. sarasinorum karena ikan ini memiliki tingkah
laku pemijahan yang spesifik.
Ikan T. sarasinorum memijah sepanjang waktu, dengan puncak pemijahan
terjadi pada awal musim hujan saat muka air danau meningkat. Jumlah ikan jantan
lebih banyak daripada ikan betina, dan dalam peristiwa pemijahan ikan betina
selalu lebih cepat matang kelamin. Ikan ini tidak melakukan kepedulian induk,
tetapi melakukan perlindungan terhadap telur yang dipijahkan dengan cara
menyembunyikannya di antara pasir atau alga. Ini merupakan strategi reproduksi
ikan untuk menjamin kelangsungan keturunannya.
Tingginya jumlah pasangan ikan yang memijah di arena perakaran
disebabkan struktur arena perakaran lebih kompleks dibandingkan dengan arena
pemijahan di batuan berpasir. Struktur perakaran yang kompleks diduga akan
lebih memberikan perlindungan dan keselamatan telur-telur yang dilepaskan,
dibandingkan dengan jika dilepaskan di arena batu pasir. Arena batu berpasir akan
menjadi rawan pada saat terjadi hujan yang membawa materi yang menutup
permukaan dasar perairan, dan atau saat terjadi gelombang yang mengaduk
perairan.
Download