BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pendekatan klasik untuk memperoleh akses biokatalis baru adalah dengan menumbuhkembangkan mikroorganisme dari sampel lingkungan, seperti tanah dalam media berbeda dan diukur aktivitas enzim yang diinginkan. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan karena hanya sedikit proporsi dari total komunitas mikroba dari sampel tanah yang dapat diisolasi dengan kultivasi sel dalam media standar (Torsviket al., 1990, Jacobsen and Rasmussen, 1992). Saat ini, para ahli memperkirakan bahwa sekitar 99% dari mikroorganisme yang ada di alam tidak dapat dibudidayakan atau dikultivasi dengan teknik standar (Amann, et al., 1995). Metode alternatif yang dapat dikembangkan adalah dengan mengisolasi DNA langsung dari mikroorganisme yang ada dalam tanah tanpa melalui pembuatan kultur sebelumnya yang dikenal dengan istilah metagenomik. Metagenomik diawali dengan isolasi DNA dari sampel lingkungan. Saat ini, terdapat dua pendekatan untuk isolasi DNA metagenomik, yaitu lisis sel secara langsung dan tidak langsung. Metode lisis secara langsung didasarkan pada ekstraksi langsung DNA dari sampel lingkungan, yaitu dilakukan lisis secara in situ (tanpa pemisahan sel-sel bakteri dari sampel lingkungan) dan selanjutnya dilakukan pemurnian DNA. Metode lisis secara tidak langsung diawali dengan pemisahan sel-sel bakteri dari sampel lingkungan (ex situ), diikuti dengan lisis suspensi sel, dilanjutkan dengan pemurnian DNA (Urban and Adamczak, 2008). Menurut Robe et al. (2003), prosedur lisis secara langsung lebih tepat digunakan bila diperlukan hasil DNA dengan jumlah yang besar, mikroorganisme 1 2 yang terbatas, dan bila keanekaragaman seluruh sampel lingkungan harus diteliti dengan bias minimal. Salah satu kelemahan metode ini adalah ekstrak DNA yang dihasilkan biasanya terfragmentasi dan terkontaminasi dengan asam humat. Selain itu, ekstrak sering terkontaminasi DNA ekstraseluler dan/atau eukariotik dengan jumlah yang tidak diketahui. Pada metode ekstraksi tidak langsung, meskipun memerlukan waktu lebih lama, lebih dipilih bila yang menjadi sasaran adalah selselprokariotik, bila diperlukan kemurnian DNA yang tinggi, dan biladiperlukan DNA dengan berat molekul yang tinggi (tidak terfragmentasi). Terdapat tiga jenis teknik lisis sel (gangguan membran) yang digunakan, yaitu pemecahan sel secara fisik, kimia dan enzimatik. Perlakuan fisik pada lisis sel secara langsung yang dapat merusak struktur tanah, cenderung memiliki akses terbesar bagi seluruh bakteri termasuk bakteri yang jauh berada ke dalam struktur tanah microaggregates(Robeet al., 2003).Metode fisik meliputi pembekuanpencairan dan siklus pembekuan-pendidihan, yang memanfaatkan efek pemecahan dari kristal es dan suhu pada dinding sel mikroorganisme (More et al., 1994). Lisis sel secara kimia yang paling umum digunakan adalah dengan deterjen natrium dodesil sulfat (SDS) yang melarutkan bahan hidrofobik membran sel. Pada lisis sel dengan enzimatik, pemberian lisozim merupakan satu dari yang paling umum digunakan.Selain itu, proteinase K juga digunakan untuk menghilangkan kontaminasi protein (Robe, et al., 2003). Yuliana(2012)telah melakukan lisis DNA metagenomik dari tanah hutan mangrove Pantai Suwung Kauh Bali menggunakan metode lisis tidak langsung yang diambil dari metode Marco (2010) dan Amorim et al., (2008). Hasil analisis 3 DNA metagenomik dengan elektroforesis dan spektrofotometer UV-Vis menunjukkan hasil DNA metagenomik yang sebagian terfragmentasi. Menurut Robeet al., (2003) lisis sel secara tidak langsung memberikan kualitas DNA metagenomik yang lebih baik, yang umumnya DNA tidak ada atau sedikit terfragmentasi dibandingkan lisis sel secara langsung. Tahapan lisis sel dalam isolasi DNA merupakan tahapan yang amat krusial bagi kualitas maupun kuantitas DNA yang akan diperoleh (Boyer, 2005). Dalam prosedur lisis sel secara tidak langsung yang telah dilakukan sebelumnya oleh Yuliana (2012) , diduga teknik thermal shock yang digunakan untuk melisis sel dapat mempengaruhi hasil DNA yang sebagian terfragmentasi. Menurut Boyer (2005), terdapat variasi besardalam stabilitas terhadap suhu dari ikatan hidrogendalam struktur double helix DNA. Umumnya stabilitas DNA masih tetap dapat dijaga pada sebagian besar DNA yang diisolasi pada suhu 80-90°C. Penelitian Yuliana (2012) dan Rosalinda (2012) yang menggunakan metode Amorim et al., (2008) thermal shock dilakukan pada suhu 100°C selama 4 menit. Picardet al., (1992) telah melakukan lisis sel secara fisik dengan menggunakan teknik thermal shock. Jumlah siklus, waktu inkubasi dalam nitrogen cair atau es dan pemanasan pada suhu 50°C, 60°C, 100°C semua dapat bervariasi. da Silva et al., (2012) melakukan isolasi DNA dengan menggunakan pendidihan (suhu 90°C selama 5 menit) tanpa reagen kimia diperoleh pita hasil PCR yang sangat lemah yang menunjukkan rendahnya konsentrasi DNA.Untuk itu pada penelitian ini akan dilakukan variasi terhadap waktu pemanasan saat thermal shock, yaitu 2 menit, 3 menit dan 4 menit dengan suhu 100°C. 4 Metode lisis sel secara tidak langsung umumnya dilakukan untuk mendapatkan massa molekul DNA yang lebih besar dan kemurnian yang lebih tinggi dibandingkan dengan prosedur lisis langsung. Namun dalam banyak kasus, jumlah DNA yang ditemukan jauh lebih rendah. Oleh karena itu, untuk pembuatan pustaka metagenomik yang membutuhkan DNA dengan jumlah yang banyak, seringkali juga DNA diisolasi dari tanah dengan metode lisis sel secara langsung (Torsviket al., 1989). Lisis sel secara langsung yang umumnya menghasilkan DNA lebih tinggi, diasumsikan pula dapat mengakses fraksi yang lebih besar dari populasi mikroba dan untuk mendapatkan asam nukleat (DNA dan RNA) dari keragaman genetika yang lebih besar daripada metode tidak langsung (Leff et al., 1995). Penelitian terbaru yang berhubungan dengan perbandingan terhadap perbedaan protokol lisis sel secara langsung menunjukkan bahwa hasil DNA yang lebih besar tidak selalu sama besar dengan keanekaragaman spesies bakteri dan gambaran tentang sekuens sangat dipengaruhi oleh metode ekstraksi yang digunakan. Oleh karena itu, ekstrak DNA yang diperoleh dengan metode lisis sel secara tidak langsung juga dapat mewakili komunitas mikroba yang ditargetkan dibandingkan yang diperoleh oleh lisis sel secara langsung (Gaboret al., 2003). Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini selain akan dilakukan variasi waktu pemanasan saat thermal shock, perbandingan isolasi DNA metagenomik dari tanah dengan menggunakan metode lisis sel secara langsung dan tidak langsung juga akan dilakukan. Hal ini menarik dikaji dalam penelitian ini untuk mempersiapkan bahan DNA yang representatif bagi pembuatan pustaka 5 metagenomik pada penelitian selanjutnya dalam rangka eksplorasi enzim (khususnya selulase) dari tanah hutan mangrove pantai Suwung Bali. I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimana perbandingan kualitas DNA metagenomik hasil isolasi dengan menggunakan metode lisis sel secara tidak langsung dengan variasi waktu pemanasan saat thermal shock? b. Bagaimana perbandingan kualitas DNA metagenomik hasil isolasi dengan menggunakan metode lisis sel secara langsung dan tidak langsung dari tanah hutan mangrove pantai Suwung Bali? I.3 Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk membandingkan kualitas DNA metagenomik hasil isolasi dengan menggunakan metode lisis sel secara tidak langsung dengan variasi waktu pemanasan saat thermal shock. b. Untuk membandingkan kualitas DNA metagenomik hasil isolasi dengan menggunakan metode lisis sel secara langsung dan tidak langsung dari tanah hutan mangrove pantai Suwung Bali. 6 I.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah adanya informasi mengenai metode lisis sel yang efektif dan efisien dari tanah hutan mangrove pantai Suwung Bali sehingga diperoleh DNA metagenomik dengan berat molekul yang cukup tinggi dan lebih menjamin kesuksesan tahapan selanjutnya dalam eksplorasi enzim secara metagenomik, yaitu tahapan pembuatan pustaka genom melalui kloning gen.