1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi di abad XX
menyebabkan terjadinya penyebaran, reproduksi, hubungan lintas batas, dan
integrasi dalam bidang ekonomi, politik, sosial, maupun kultural. Fenomena yang
muncul pada pertengahan tahun 1980-an ini adalah gambaran menghilangnya
batas-batas geografis yang secara tradisional merupakan teritori suatu bangsa.
Aliran ide-ide dan barang-barang, serta mobilitas manusia ke seluruh penjuru
mendorong terjadinya relasi global di mana identitas lokal disesuaikan dengan
kepentingan di tingkat internasional. Kondisi ini memunculkan konsep
transnasional yang merujuk pada bentuk-bentuk interaksi manusia dan berbagai
institusi melampaui batas-batas wilayah geografis negara.
Salah satu bentuk relasi transnasional yang disebabkan oleh majunya
teknologi informasi dan kuatnya pengaruh media massa adalah musik. Amerika
Serikat menguasai hampir sembilan puluh persen pangsa musik dunia melalui
beberapa korporasi rekaman internasional yang dimilikinya (Negus, 2004).
Berbagai aliran musik yang berasal dari Amerika menyebar ke seluruh dunia,
salah satunya adalah rap, musik yang berasal dari budaya kaum urban kulit hitam
dari wilayah Bronx. Musik ini mengalami difusi dan membentuk musik hibrid
akibat perbedaan latar belakang sosiokultural dengan negara yang dipengaruhinya
(Bennett, 2001; Montley dan Henderson, 2008; Terkourafi, 2010). Rap yang pada
2
awalnya merupakan ekspresi diaspora dan resistensi masyarakat kulit hitam
Amerika terhadap hegemoni budaya yang dominan (Lipsitz 1994; Rose 1994),
menurut Mitchell dalam Motley & Henderson (2008) berubah menjadi sarana
solidaritas kaum muda dan sarana pembentukan kembali identitas lokal di seluruh
dunia.
Pada tahun 2007 musik rap yang diperdengarkan melalui radio-radio
menarik perhatian khalayak di Manggarai karena beberapa faktor: pertama,
musiknya mempunyai irama unik terutama pada bagian yang diisi dengan alat
musik perkusi. Kedua, penggunaan Ruteng, ibukota Manggarai sebagai tema
dalam beberapa lagu seperti: “Ruteng is the City (Ruteng is d City)”, “Wa Mai
Tana”, dan “We are Ruteng Clan”. Ketiga, cara menyanyi dengan mengucapkan
lirik secara cepat seperti berpuisi dapat tetap dinikmati oleh pendengar.
Fenomena rap Manggarai tidak terlepas dari perkembangan musik di
Indonesia antara tahun 1980-1990-an. Selama satu dasawarsa musik Indonesia
didominasi oleh lagu populer dengan lirik melankolis atau lebih dikenal dengan
istilah “lagu cengeng”. Meskipun pada kenyataannya terdapat terdapat pemusik
yang memiliki ciri-ciri berbeda dengan arus utama seperti Godbless, Iwan Fals,
serta Dewa 19 atau oleh beberapa peneliti disebut sebagai Ahmad Band (Boden,
2005; Wallach, 2008).
Rap, punk dan hard rock mencapai popularitas di tahun 1980-an karena
liriknya bertema kritik terhadap pemerintah yang berkuasa. Rap menarik perhatian
masyarakat karena pernyataan B.J. Habibie, yaitu Menteri Riset dan Teknologi,
bahwa musik ini kasar dan tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa. Pernyataan
3
Habibie disanggah oleh para rapper yang menganggap rap cocok untuk
menyampaikan aspirasi masyarakat, dalam hal ini kaum muda, demi terciptanya
lingkungan serta identitas sosial yang berbeda serta menolak identitas atau
perilaku sosial yang dipaksakan oleh pemerintah atau kelompok-kelompok sosial
yang mendominasi dalam masyarakat (Boden, 2005).
Rap yang pertama kali dipopulerkan oleh Iwa K. dan Denada kemudian
menyebar ke seluruh Nusantara. Penyanyi dan kelompok musik rap muncul di
daerah-daerah dengan menggunakan identitas lokal seperti bahasa, warna musik,
lirik, serta gaya berpakaian. Menurut hiphopindo.net, pulau Jawa menjadi pusat
perkembangan rap berdasarkan banyaknya kelompok atau perorangan yang
menjadi musisi rap (Allin, 2011b).
Luasnya wilayah penyebaran musik rap di Indonesia terlihat dari peserta
acara National Rap Competition 2013. Tercatat 52 rapper dari 29 provinsi
mengikuti kompetisi yang diadakan oleh BKKBN dalam rangkaian hari AIDS
Sedunia. Para rapper tersebut berasal dari Maluku Utara, Banten, Yogyakarta,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat,
Banten, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau (Hiphopindo,
2013).
Besarnya pengaruh musik sebagai salah satu produk seni terhadap
masyarakat dapat dirunut sejak masa Yunani Kuno. Plato dalam bukunya
Republic menekankan perlunya pelarangan terhadap segala bentuk komposisi
musik yang keluar dari bentuk aslinya, berupa inovasi-inovasi baru, karena dapat
membahayakan negara secara keseluruhan, karena, “When modes of music
4
change, the fundamental laws of the state always change with them” (Askew,
2003: 26) Pandangan Plato disetujui oleh Moisala dan Diamond dalam Lemos,
yang berpendapat bahwa sebagaimana struktur dan perubahan teknologi
membentuk kehidupan sebuah masyarakat, musik selalu menjadi penyuara bagi
perubahan-perubahan tersebut (Lemos, 2001). Musik adalah tindakan seni yang
dapat menembus berbagai perbedaan seperti usia, jaman, dan situasi, selain itu
juga menjembatani sejarah, geografi, lokasi, dan budaya (Tekman, Boer, &
Fischer, 2012).
Menurut Street, Hague dan Savigny (2007), musik berfungsi mendorong
dan menampilkan perubahan dalam masyarakat. Musik menjadi faktor pendorong
jika tindakan bermusik dapat mengubah pandangan dan tindakan banyak orang,
contohnya konser Live 8 yang digelar oleh Bob Geldof di Inggris pada tanggal 2
Juli 2005. Konser ini secara signifikan membuat para pemimpin G8 (The Group
of Eight) yaitu Perancis, Jerman, Canada, Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Italia,
dan Inggris mempertimbangkan untuk menghapuskan hutang negara-negara dunia
ketiga.
Kemunculan budaya hip hop sebagai induk dari musik rap tidak terlepas
dari kondisi Amerika pada tahun 1950-1960-an. Peristiwa fundamental yang
mengubah kondisi hubungan rasial adalah Civil right movement. Gerakan yang
dimotori oleh tokoh-tokoh agama maupun para penggiat hak-hak sipil ini
mengajukan tuntutan agar warga kulit hitam mendapat persamaan sosial dan
politik seperti warga kulit putih. Kematangan gerakan Civil Right pada tahun
1960-an karena strategi dan metode gerakan yang terorganisir secara nasional
5
serta munculnya beberapa tokoh karismatis seperti Dr. Martin Luther King dari
S.C.L.C (Southern Christian Leadership Conference), Medgar Evers, Elijah
Muhammad dan Malcom X dari Nation of Islam. Gerakan-gerakan ini melahirkan
kebijakan-kebijakan baru yang menguntungkan masyarakat kulit hitam, meskipun
dalam prakteknya hubungan rasial antara berbagai etnis tidak mengalami banyak
kemajuan.
Di tengah perjuangan memperoleh persamaan hak sipilnya, Kool Herc,
memperkenalkan cara bermusik yang melahirkan budaya hip hop. Herc
mengundang para penganggur dan anggota geng yang rawan terhadap tindak
kriminal untuk menyalurkan energinya melalui pesta blok dan kompetisi break
dancing. Kompetisi tarian ini menarik perhatian kaum muda karena identitas
seseorang diakui dan dikenal melalui arena perlombaan.
Di tahun 1980-an rap berkembang menjadi genre musik baru yang
mendominasi Amerika. Rap yang awalnya menjadi corong kehidupan masyarakat
kulit hitam berubah menjadi kekuatan untuk menyuarakan berbagai konflik yang
ada dalam masyarakat. Tricia Rose mengatakan,
Rap music brings together a tangle of some of the most complex
social, cultural and political issues in contemporary American Society.
Rap’s contradictory articulations are not signs of absent intellectual
clarity; they are common features of community and popular culture
dialogues that always offer more than one cultura,l social, or political
viewpoint.” (Rose, 1994: 2).
Menurut Bennet (2004), ada beberapa faktor yang menyebabkan rap
mencapai popularitas di seluruh dunia: pertama, konsepnya yang dikemas sebagai
komoditas global sehingga mudah diakses oleh kalangan muda. Kedua, bentuk
6
musiknya yang ekletik mudah diadaptasikan pada berbagai budaya. Ketiga,
format lirik dan cara mempertunjukkannya berbeda dari genre lain sehingga
potensial untuk menyuarakan aspirasi dan menggambarkan kondisi masyarakat.
Keunikan rap memudahkan penyesuaian dan interpretasi kultural seturut
kelompok yang mengadopsinya (Bennet, 2004; Motley dan Henderson: 2007;
Codry: 2007). Rap di Italia dan Jerman dipergunakan untuk mendiskusikan
masalah-masalah rasisme dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Rapper Maori dari New Zealand melakukan kampanye penghormatan terhadap
hak-hak penduduk asli yang ada di seluruh dunia. Kaum muda dari etnis minoritas
di Swedia menggunakan rap sebagai bentuk resistensi kolektif terhadap kelompok
white skinhead, yaitu subkultur musik yang mempunyai ideologi anti imigran dan
anti semitis. Tema rap Irlandia adalah tingginya tingkat pengangguran, para
rapper Newcastle upon Tyne Inggris berbicara tentang kehidupan kaum pekerja
kelas menengah dan kultur Geordie, dan kalangan muda di Eropa Timur,
mendengarkan dan menyanyikan rap sebagai bentuk counter-culture terhadap
budaya lokal yang bermuatan politis.
Kesuksesan Lipooz dan Rapublic Ruteng Clan (R.R.C.) memproduksi
beberapa lagu single tak terlepas dari bentuk budaya hip hop yang mulai dikenal
oleh masyarakat di wilayah Manggarai melalui media elektronik, cetak maupun
internet (Allin, 2012c; SanDre, 2012). Atribut hip hop seperti celana baggy,
perhiasan mencolok, serta bandana atau topi yang dipakai secara terbalik
menunjukkan pengaruh budaya itu dalam masyarakat. Banyak pelajar Sekolah
Menengah Pertama mengubah model celana seragamnya menjadi serupa dengan
7
jeans sepinggul berukuran panjang melebihi lutut dan celana baggy bagi pelajar
Sekolah Menengah Tingkat Atas. Unsur graffiti juga muncul, corat-coret pada
tembok itu menunjukkan kelompok-kelompok anak muda dari wilayah tertentu.
Lagu-lagu rap bercampur dengan pop daerah dan musik era 1980-an terdengar,
baik melalui angkutan kota maupun pedesaan.
Keberhasilan Lipooz memasuki pangsa pasar nasional dengan penjualan
RBT (ringback tone) lagu-lagunya melalui salah satu operator seluler menjadi
indikator perhatian masyarakat terhadap rap. Selain Lippoz terdapat musisi atau
penyanyi rap Manggarai lain yang tergabung dalam berbagai kelompok di
antaranya : RRC (Rapublic Ruteng Clan), RBC (Reo Beat Community), Peace
Waelengga, Boys of West Manggarai, dan lain-lainnya. Terdapat lebih dari 15
orang penyanyi rap Manggarai yang telah mengeluarkan single. Jumlah ini
menjadi dua kali lipat jika kelompok rap Manggarai yang berdomisili di luar
Manggarai digabungkan ke dalamnya. Para rapper Manggarai secara kelompok
maupun individu, telah melakukan kolaborasi dengan musisi lokal maupun
nasional (Allin, 2012c). Melalui kolaborasi itu mereka dapat memperoleh
perhatian dari lingkungan yang lebih luas dengan kesempatan melakukan tour ke
Surabaya, Denpasar, dan Balikpapan.
Hibriditas rap di berbagai negara telah banyak diteliti, namun kajian
tentang hibriditas yang terdapat dalam musik rap di Indonesia, khususnya di
wilayah Indonesia bagian timur, belum pernah dilakukan. Penelitian rap
Manggarai ini penting dilakukan untuk melihat perkembangan musik di
Indonesia, adaptasi budaya asing terhadap budaya lokal di Indonesia, sekaligus
8
fenomena perubahan sosial di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan.
Hibriditas yang terjadi dalam rap Manggarai dapat menjadi sumber informasi bagi
berbagai kajian tentang hubungan musik global dan lokal, kontestasi yang terjadi
di dalam ruang-ruang musik lokal, serta bentuk-bentuk negosiasi yang dilakukan
oleh pemusik lokal untuk menyesuaikan musik global dengan selera lokal.
1.2
Rumusan Masalah
Kepopuleran musik rap di Manggarai menjadi sebuah fenomena yang
harus dicermati. Genre baru yang populer di kalangan anak muda itu tidak hanya
berpengaruh terhadap selera musik, tetapi juga penampilan penggemarnya.
Atribut hip hop yang dipakai oleh rapper menjadi tren di antara mereka.
Pada awalnya rap dipakai sebagai alat untuk berbicara tentang hubungan
rasial, kekerasan oleh aparat negara, kondisi lingkungan, nasionalisme ras oleh
orang kulit hitam di Amerika Serikat. Musik rap adalah penghubung dan bentuk
ekspresi mereka terhadap kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya musik
rap mengalami difusi dan reinterpretasi sesuai dengan konteks lokalitasnya.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, penulis merumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan dan dinamika musik rap Amerika?
2. Mengapa terjadi apropriasi musik rap Amerika di Indonesia?
3. Mengapa terjadi hibriditas budaya Amerika di Manggarai?
9
1.3
Tujuan
Penulisan disertasi ini mempunyai beberapa tujuan:
1. Mengungkap dan memaparkan bagaimana perkembangan rap Amerika dan
Indonesia.
2. Menganalisis secara kritis persamaan dan perbedaan antara rap di Indonesia,
serta melihat bentuk hibriditas yang terjadi dalam musik itu.
3. Menganalisis secara kritis konstruksi ruang-ruang realitas dan imajinasi dalam
rap Manggarai dan tujuan konstruksi ruang-ruang itu oleh para rapper.
4. Menganalisis secara kritis reterritorialisasi kultural yang dilakukan oleh para
rapper
Indonesia
secara
umum
dan
khususnya
Manggarai
untuk
menyesuaikan diri dengan selera masyarakat lokal.
1.4
Manfaat
a. Manfaat Teoretis
1. Penggunaan pendekatan transnasional Pengkajian Amerika dalam penelitian
hibriditas musik pada rap Manggarai ini memberikan kontribusi pada
penelitian dengan pendekatan serupa, khususnya dalam penelitian tentang
musik dan budaya populer yang berasal dari Amerika.
2. Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi untuk penelitian tentang
musik di Indonesia, terutama musik hibrid, hubungan antara elemen-elemen
lokal dan global yang memungkinkan terjadinya hibriditas, serta hubungan
musik dan perubahan sosial.
10
b. Manfaat Praktis
1. Penelitian tentang hibriditas rap ini berguna bagi pihak-pihak yang melihat
hubungan saling mempengaruhi antara musik lokal dan global, bentuk-bentuk
adaptasi musik global terhadap pangsa lokal, dan upaya para rapper
memasukkan unsur budaya lokal dalam format musik global. Pemahaman
terhadap hal-hal di atas diharapkan dapat meningkatkan apresiasi terhadap
musik rap di Indonesia.
2.
Penelitian ini memperbanyak referensi tentang Manggarai, terutama musik
populer dan dinamika masyarakatnya, sehingga dapat dipergunakan oleh para
peneliti lainnya yang mengkaji musik Manggarai dan perubahan sosial dalam
masyarakatnya yang tercermin dalam musik populer.
1.5
Tinjauan Pustaka
Seni tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena salah satu fungsi seni
adalah menjadi refleksi atas kondisi masyarakat. Seni merupakan bentuk ekspresi
individu maupun kelompok di dalam masyarakatnya, sehingga dinamika
kehidupan mereka tercermin dalam karya seninya. Meskipun demikian, seni juga
dapat mengubah sebuah kondisi dan mendorong perubahan sosial, seperti
penelitian Bradley dan Esche (2007) serta Tekman, Boer, dan Fischer (2012).
Bradley dan Esche bicara tentang peran artis dalam berbagai perubahan sosial,
Sementara Tekman, Boer, dan Fischer membahas arti musik sebagai sebuah
sistem interaksi. Dari dua penelitian itu dapat disimpulkan bahwa arti musik
hanya dapat ditemukan dalam konteks hubungan antara individu-individu dalam
11
sebuah kelompok, sebab interpretasi terhadap musik hanya dapat terjadi setelah
adanya interaksi.
Asumsi-asumsi Bradley dan Esche (2007), serta Tekman, Boer, dan
Fischer (2012) didukung oleh berbagai teori dari para peneliti lainnya. Mereka
menyampaikan konsep-konsep relasional antara hubungan antar individu dan
interpretasi terhadap musik. Kelemahan dari gagasan yang disampaikan adalah
konsep-konsep itu belum diaplikasikan secara nyata melalui penelitian lapangan,
sehingga menimbulkan tinjauan kritis dari peneliti lainnya karena sesuatu yang
dianggap sahih secara umum belum tentu cocok bagi masyarakat tertentu.
Ketidaksahihan itu disebabkan oleh interpretasi masyarakat terhadap karya musik
selalu berbeda-beda, tak hanya berdasarkan hubungan antar individu, melainkan
karena latar belakang budaya dan asal-usul musik yang diinterpretasikan. Musik
lokal pasti memperoleh tanggapan yang berbeda dengan musik yang masuk
melalui kontak-kontak kebudayaan. Dengan tinjauan transnasional dalam riset ini,
dapat
terlihat
bagaimana
masyarakat
sebuah
wilayah
berusaha
menginterpretasikan musik dari negara lain sesuai dengan budaya lokal.
Kajian musik dan perubahan sosial yang dilakukan oleh Street, Hague,
Savigny (2007) menampilkan pemikiran bahwa musik dan musikus dapat
menciptakan bentuk partisipasi politik. Mereka mengatakan bahwa dalam
melakukan observasi terhadap peran musik dan musikus dalam bidang politik,
para peneliti perlu menaruh perhatian yang proporsional terhadap keduanya.
Sementara untuk menghubungkan dua bidang itu, mereka tidak boleh hanya
memperhatikan konteks musik secara umum, namun juga harus memperhatikan
12
hal-hal yang bersifat khusus bagi kedua belah pihak. Pendapat Street, Hague,
Savigny mirip dengan pendapat (Nattiez, 1990) yang mengatakan bahwa
“meaning exists when an object is situated in relation to a horizon”, arti dari
sebuah obyek tampak tidak hanya bagi penerimanya tetapi juga bagi pembuatnya.
Pemikiran Street, Hague, Savigny dan pendapat Nattiez memberikan pemahaman
yang mendalam tentang arti musik bagi masyarakat pemiliknya, tetapi penelitian
ini tak menyinggung masyarakat tertentu secara khusus terutama di wilayahwilayah yang berada di luar musik Barat, atau yang dipengaruhinya.
Penelitian tentang musik populer yang berhubungan dengan budaya suatu
etnis dan fungsinya dalam masyarakat dilakukan oleh Peretti (2011), Askew
(2003), serta Abbott dan Seroff (2001). Peretti membicarakan diaspora Afrika
dalam berbagai jenis musik kulit hitam baik di Amerika Latin, Karibia, serta
Amerika Serikat. Abbot, dan Sheroff membahas munculnya berbagai jenis musik
kulit hitam sebagai upaya menghidupkan kembali budaya Afrika pada masyarakat
kulit hitam di Amerika. Sementara Askew menunjukkan signifikansi seni dalam
politik dan perubahan sosial di wilayah berbahasa Kiswahili di Afrika Timur, di
mana musik dan lagu tradisional di Afrika Timur dipergunakan oleh para artis
pribumi untuk melakukan kritik terhadap pemerintah kolonial Inggris tanpa dapat
disensor karena penggunaan bahasa yang hanya dapat diinterpretasikan dalam
konteks budaya negara-negara kawasan itu dan oleh orang yang berbahasa lokal.
Empat tulisan di atas menunjukkan bagaimana musik dipergunakan oleh ras,
bangsa, atau golongan tertentu untuk menyampaikan protes dan perlawanan
terhadap golongan yang berkuasa atau pemerintah kolonial. Namun para
13
penulisnya tidak menunjukkan unsur-unsur masyarakat tertentu yang dominan
melakukan protes dengan menggunakan musik. Padahal dalam kenyataannya
motor penggerak perubahan dalam sebuah masyarakat biasanya berasal dari
golongan tertentu seperti kelompok terpelajar atau kaum muda.
Penelitian yang dilakukan oleh Bennet (2001) dan Roy (2010) memandang
musik sebagai bagian dari struktur masyarakat sehingga keberadaannya menjadi
bagian tak terpisahkan dari strukturnya. Bila terjadi kegoncangan akibat tidak
berfungsinya salah satu bagian, maka musik dapat dipergunakan sebagai alat
untuk mendorong terjadinya perubahan. Tulisan Bennet dan Ray menggunakan
musik country dan pop tanpa mencantumkan wilayah tertentu dalam kajiannya.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang mengambil Manggarai sebagai lokasi
kajian dan musik rap sebagai obyek kajian.
Hip hop sebagai ekspresi nasionalisme orang kulit hitam di Amerika
Serikat menjadi salah satu obyek kajian para peneliti. Tulisan Decker (1993),
Gladney (1995) dan Kitwana (2002) menyoroti gerakan budaya hip hop di
kalangan masyarakat urban kulit hitam, sementara Keil (1991), Henderson (1996),
Hess (2005; 2010) dan Trapp (2005) mencermati nasionalisme kulit hitam dalam
arti filosofis. Tulisan tentang hip hop yang menyoroti kedudukan kaum muda dan
sikapnya menghadapi kondisi urban dilakukan oleh Chan (2005), Hess (2005),
Persaud (2011), dan Smitherman (1997). Mereka memaparkan kehidupan kaum
muda kulit hitam di perkotaan yang sering mengalami perlakuan diskriminatif
oleh aparat keamanaan, ancaman kriminalitas, sekaligus hidup dalam kondisi
yang sangat buruk di lingkungan ghetto. Kelompok pemuda inilah yang menjadi
14
pelopor budaya hip hop melalui keempat pilarnya: MCing, DJing, Break Dancing,
dan Grafitti Writing.
Sejarah perkembangan musik kulit hitam menjadi salah satu obyek kajian
para ahli (Alridge & Stewart, 1995; Banfield 2010 ; Becker 1993 ; Briggs, Jr.
1993 ; Guthrie 2003 ; Morgan & Bennett, 2011). Musik kulit hitam yang dibahas
meliputi work song, blues, jazz, hingga rap. Selain berbicara tentang musiknya,
mereka juga berbicara tentang kondisi-kondisi yang membentuk karakter para
pendukung musik itu. Berbeda dengan para ahli di atas, Sullivan (2003)
membahas sejarah musik rap dari faktor lingkungan yang memunculkan budaya
hip hop. Menurutnya tekanan lingkungan menjadi salah satu faktor yang
mendorong kemunculan musik rap di Amerika Serikat.
Para penulis di atas menitikberatkan pada sejarah perkembangan musik
rap dan pandangan filosofis di balik nasionalisme kulit hitam di Amerika Serikat.
Tulisan-tulisan itu memberi banyak informasi tentang pentingnya rap di kalangan
masyarakat urban kulit hitam, terutama sebagai bentuk kreativitas untuk
menyampaikan pandangan politik dan kritik terhadap penguasa. Meskipunn
demikian ruang lingkup penelitiannya masih terbatas pada komunitas-komunitas
rap di Amerika.
Rap sebagai identitas kultural terdapat dalam tulisan Hess (2005), Jenkins
(2011), Jalata (2002), dan Kubrin (2005). Rap tidak hanya sebagai musik yang
menghibur dan menghasilkan keuntungan bagi para industrialis musik, tetapi
dipergunakan oleh kaum muda sebagai bagian dari identitas mereka. Identitas itu
berkaitan dengan budaya jalanan, kebebasan dari kungkungan status quo, dan
15
perlawanan terhadap ketidakadilan. Identitas mereka sebagai warga kulit hitam
berhubungan dengan nasionalisme kulit hitam, sebuah gerakan yang mengajak
kembali pada akar budaya nenek moyang yang berasal dari Afrika.
Tricia Rose (1994) menunjukkan bahwa musik rap adalah bentuk budaya
Amerika yang berasal dari pengalaman hidup masyarakat Afro-Amerika di
perkotaan, atau biasa disebut kaum urban. Interaksionisme simbolik dipergunakan
untuk menganalisis hubungan antar individu di antara kaum muda sehingga
memungkinkan keberhasilan tokoh-tokoh hip hop mengumpulkan kaum muda
untuk dilibatkan dalam kultur hip hop. Karya Rose banyak diacu oleh para penulis
budaya hip hop karena analisisnya yang mendalam tentang unsur-unsur dan
ideologi dalam musik ini. Pandangan Rose berbeda dengan Persaud (2011) yang
mengatakan bahwa rap adalah bentuk komunikasi naratif yang berbeda dari
pengalaman sejarah keturunan Afrika. Rap yang telah menjadi musik global tidak
menekankan aspek-aspek yang berhubungan dengan sejarah bangsa kulit hitam di
Amerika, tetapi mengakomodasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum
muda di seluruh dunia. Buku Rose menjadi salah satu referensi utama dalam
penyusunan disertasi ini untuk melihat ideologi yang ada pada rap, sementara
konsep pemikiran Persaud membuka peluang untuk mencermati perubahan
orientasi para rapper di luar Amerika tentang otentisitas musiknya.
Sebagai lagu yang mengandalkan pada kekuatan lirik, keberhasilan lagu
rap tak bisa lepas dari kemampuan menyampaikan ide dengan menggunakan syair
yang berirama, berima, dan sekaligus ketrampilan bermain kata-kata (Alim, 2006;
Bradley, 2009 ; Escher & Rappaport, 2006). Lirik lagu-lagu rap bukan hanya
16
permainan kata dengan rima yang sesuai, namun juga sebuah story telling
(penceritaan) akan kehidupan penulisnya dan lingkungan masyarakat kulit hitam
secara umum (Price III, 2006). Bahkan para rapper perempuan menjadikan musik
rap sebagai alat untuk melakukan perlawanan pada dominasi maskulinitas serta
misogynic (pelecehan terhadap perempuan) yang terdapat dalam lirik-lirik rap
seperti aliran gangsta dan hard rap (Thomas, 2009). Analisis terhadap lirik lagulagu rap kebanyakan dilakukan dengan pendekatan lingusitik menggunakan teori
semiotik. Dalam analisis ini para peneliti melihat bagaimana sebuah lirik lagu
dimanfaatkan oleh para pembuatnya untuk menularkan pandangan dan
pemikirannya kepada khalayak. Lirik rap tak hanya membuka pemahaman baru
terhadap hubungan rasial dan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat
urban kulit hitam namun juga memberikan edukasi dan penyadaran terhadap
feminisme dan identitas rasial. Penelitian yang menggunakan teori semiotika ini
menganalisis teks-teks yang ada pada syair musik rap dan melepaskannya dari
unsur-unsur non teks. Sementara penelitian ini lebih menekankan pada unsurunsur non teks yang akan digali menggunakan metode thick description.
Penelitian tentang musik di Indonesia belum banyak dilakukan. Dari
beberapa penelitian yang ada, mayoritas obyek kajiannya adalah musik tradisional
atau hibriditas musik tradisional dan modern antara alat musik dan lagu-lagunya
(Supanggah, 2003; Sutton, 2010). Kajian hibriditas lainnya berupa kajian tentang
musik modern yang dipadukan dengan tarian tradisional untuk menggantikan
musik tradisional (Barendregt & Zanten, 2002). Penelitian musik tradisional juga
tersegmentasi berdasarkan wilayahnya. Penelitian musik tradisional Sunda ketuk
17
tilu dilakukan oleh Williams (1990) sedangkan kajian tentang musik pengiring
tarian Jaipongan dilakukan oleh Manuel & Baier (1986). Tak berbeda jauh dari
kajian tentang musik tradisional Sunda, kajian tentang struktur musik Jawa Timur
juga menekankan pada unsur musik daripada musik sebagai bagian dari
kehidupan sosial masyarakatnya (Sunardi, 2010).
Kajian tentang musik Indonesia modern dilakukan oleh beberapa ahli dari
luar Indonesia (Weintraub: 2008; Wallach: 2001; Wallach: 2005; Wallach: 2008).
Weintraub membahas musik, tarian, dan lirik-lirik bernuansa Islam yang
berkembang pesat setelah berakhirnya Orde Baru. Wallach mengkaji musik Indie
dengan mengambil contoh band-band underground yang ada di Jakarta dan
Bandung, fenomena Skadut yaitu perkawinan antara musik ska dari Amerika
Latin dengan dangdut, serta musik populer di Indonesia secara umum mulai dari
pop, rock, underground, hingga dangdut. Munculnya berbagai aliran musik ini
menurut Wallach tidak terlepas dari permintaan pasar. Ska kebanyakan disukai
oleh golongan menengah dengan pengetahuan musik yang lebih luas dan ekonomi
yang mapan. Sementara dangdut banyak disukai oleh masyarakat kelas bawah.
Perkawinan antara kedua musik tersebut memperluas pangsa pasar sekaligus
mengakomodir dua kelas dengan kemampuan ekonomi dan pengetahuan musik
yang berbeda. Pop dan rock disukai oleh berbagai kalangan, walau pangsanya
kebanyakan anak-anak muda dan kelas menengah, sementara underground
mempunyai komunitas sendiri yang cenderung eksklusif. Penelitian tentang
fenomena hibriditas budaya dilakukan oleh Mc Intos (2001) di Bali. McIntos
melihat maraknya penggunaan irama disco sebagai pengiring tarian di wilayah
18
Denpasar. Anak-anak dan remaja memadukan musik pop Barat dengan tarian
tradisional maupun dangdut yang disebut dengan ‘disco dance’. McIntos
menyatakan bahwa pengaruh dari luar dapat diterima oleh masyarakat Bali karena
dikombinasikan dengan budaya lokal.
Penelitian para ahli di atas sudah membicarakan tentang apropriasi dan
adaptasi musik Barat di Indonesia. Musik-musik itu bertransformasi menjadi
bentuk baru untuk menyesuaikan diri dengan konsumen lokal. Hibriditas antara
musik global dan lokal terjadi pula dalam rap, tetapi topik tentang keberadaan
musik yang populer sejak pertengahan tahun 1990-an itu belum banyak dikaji.
Obyek lainnya yang menarik perhatian para peneliti adalah musik dan
budaya populer di Indonesia pasca rezim Orde Baru (Heryanto, 2012; Raden,
2006). Buku Heryanto merupakan kumpulan tulisan tentang budaya pop di
Indonesia mulai dari musik, acara televisi, hingga film. Para penulis dalam buku
ini berusaha melihat perubahan yang terjadi pada ranah pop setelah jatuhnya
rezim Orde Baru di akhir tahun 1990-an. Berbeda dengan Heryanto, analisis
Raden menggambarkan perkembangan musik pop yang pesat justru di masa krisis
moneter menghantam Indonesia. Dalam risetnya, Raden melihat bahwa
perkembangan musik pop tidak berkorelasi dengan kondisi ekonomi. Pada masa
stabilitas ekonomi di era Soeharto bentuk-bentuk kreatifitas bermusik dibatasi
sehingga dinamikanya tidak begitu terlihat, namun dalam kondisi ekonomi yang
memprihatinkan setelah kejatuhan rezim itu, justru terdapat proyek-proyek musik
raksasa yang dimotori oleh pihak swasta dan didukung pemerintah, seperti
pergelaran Megalitikum-Kuantum oleh Rizaldi Siagian.
19
Satu-satunya kajian tentang musik rap di Indonesia dilakukan oleh Boden
(2005a; 2005b). Penelitian Boden mengambil skop temporal 1998-2000, yaitu
masa setelah keruntuhan Orde Baru di wilayah Jawa dan Bali. Sebagai musik
alternatif, rap Indonesia banyak memotret kehidupan sosial masyarakat di
sekeliling para penciptanya. Lebih lanjut, Boden menyatakan bahwa musik rap
Indonesia
dapat
diterima
oleh
khalayak
karena
bentuknya
merupakan
percampuran dari berbagai musik lain seperti rap-punk, rap-metal, dan rap-rock.
Penelitian Boden mempunyai obyek material yang sama dengan disertasi ini,
tetapi perbedaan yang paling menonjol adalah pemilihan lokasi dan skop waktu
yang berbeda, serta pendekatan transnasional dalam pengkajian Amerika untuk
meneliti rap yang ada di Indonesia.
Kajian dan buku tentang Manggarai mayoritas berbicara tentang asal-usul
suku-suku, keragaman adat istiadat, kronologi perpindahan pusat pemerintahan
dari Todo-Pongkor ke Ruteng pada masa pemerintah kolonial Belanda, serta
munculnya bentuk pemerintahan modern berdasarkan sistem kolonial dan
selanjutnya berubah ke sistem pemerintahan sesudah kemerdekaan (Hemo, tanpa
tahun
terbit;
Janggur,
2008;
Toda,
1999).
Beberapa
buku
berusaha
menginventarisir budaya lokal yang mulai tergerus jaman (Dagur, 1997; Regus
dan Deki eds., 2011) dengan cara menggali dan menghimpun berbagai corak
kebudayaan Manggarai yang berupa sistem religi, bahasa, teknologi, organisasi
sosial, dan kesenian.
Kajian antropologis tentang Manggarai dilakukan oleh Maribeth Erb
(1991; 1999) serta J.A.J Verheijen dan J. Glinka (Hagul & Lana, 1989). Erb
20
melihat bahwa rumah adat adalah pusat kehidupan masyarakat karena
menunjukkan komitmen pada masa lalu dan membedakan satu masyarakat dengan
lainnya. Ragam kesenian tradisional yang mempunyai peran kultural hanya
dibahas
secara
sepintas
beranekaragamannya
budaya
karena
luasnya
Manggarai
cakupan
akibat
kondisi
penelitian
dan
geografis
dan
topografisnya. J.A.J Verheijen dan J. Glinka lebih menyoroti watak dan perilaku
manusia Manggarai dan perubahan yang terjadi dalam hubungannya dengan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah di hampir seluruh sektor
kehidupan masyarakat. Perubahan itu terjadi akibat dorongan dari luar yaitu
metode pembangunan dari pusat, namun dalam pelaksanaannya tidak melibatkan
partisipasi masyarakat. Hal itu menyebabkan tidak ada kesadaran dari masyarakat
untuk melakukan pembangunan secara berkelanjutan.
Disertasi ini berbicara tentang hibriditas musik Manggarai akibat kontak
yang terjadi dengan budaya dari luar. Hibriditas yang tampak dalam rap
Manggarai merupakan perpaduan antara format musik global dengan unsur lokal
yang dimasukkan oleh para penciptanya. Selain itu kajian rap Manggarai ini juga
melihat korelasi antara musik dan perubahan sosial yang terjadi di wilayah itu.
1.6
Kerangka Teoretis
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas dipergunakan
pendekatan interdisipliner dalam Pengkajian Amerika. Pendekatan interdisipliner
menggunakan berbagai konsep dan metode dari berbagai disiplin ilmu. Dalam
penelitian ini dipergunakan pendekatan sejarah, sosiologi, dan musik.
21
Pendekatan sejarah dipergunakan untuk melihat asal-usul musik rap dan
proses perkembangannya di Amerika Serikat. Pendekatan ini juga bermanfaat
untuk melihat bagaimana musik tersebut menyebar ke berbagai belahan dunia
termasuk Indonesia, serta perkembangannya di beberapa wilayah, termasuk
Manggarai.
Pendekatan sosiologi dipergunakan untuk melihat fenomena perubahan
yang ada di Manggarai tahun 2008-2013. Pendekatan ini juga efektif untuk
mengungkap dinamika sosial di Manggarai yang selama ini jarang diteliti.
Perubahan-perubahan yang terjadi kemudian dihubungkan dengan penikmat
musik rap yang kebanyakan berasal dari kalangan anak muda. Oleh sebab itu
pendekatan sosiologi dapat pula dimanfaatkan untuk mengetahui perubahan yang
terjadi dalam masyarakat dan kritik kaum muda terhadap perubahan yang terjadi
di kalangan mereka sendiri maupun masyarakat pada umumnya dalam format rap.
Untuk mengetahui fungsi musik dalam kehidupan tradisional Manggarai
dan perannya untuk mendorong dan menciptakan perubahan digunakan studi
musik. Dalam analisa tentang fungsi dan peran musik dipergunakan metode
kualitatif dalam musik yang mirip dengan metode interpretif dalam ilmu-ilmu
sosial.
Berbagai pendekatan dan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini
diaplikasikan secara simultan. Pengaplikasian secara simultan ini disesuaikan
dengan analisis yang dilakukan terhadap obyek kajian. Dengan menggunakan
berbagai teori dan pendekatan dari disiplin ilmu lainnya, aspek-aspek yang dikaji
dalam musik rap Manggarai dapat dipaparkan dengan mendalam.
22
Terdapat beberapa konsep yang terkait dengan materi penelitian ini.
Konsep-konsep itu adalah: transnasional, hibriditas budaya, musik rap, kontestasi,
dan cultural reterritorialization. Untuk memperjelas, penulis memaparkannya
sebagai berikut:
1.6.1 Transnasional Pengkajian Amerika
Transnasionalisme adalah gerakan baru dalam lingkup studi interdisipliner
pengkajian Amerika. Gerakan ini muncul akibat tantangan multikulturalisme yang
menguat selama dua dasawarsa terakhir. Transnasionalisme mempertanyakan
Amerika sebagai sebuah entitas utuh (Gross, 2000). Gerakan intelektual ini
mengasumsikan dunia tak berbatas atau mempunyai batas-batas yang fleksibel di
mana aliran barang, ide-ide, dan manusia dapat bergerak secara mudah di antara
batas-batas negara. Menurut Gross, pertanyaan yang dikemukakan oleh Hector St.
Jean de Crevecoeur, “What is this American, this new man?” (Gross, 2000: 378)
menjadi dasar dari pemikiran transnasional dalam pengkajian Amerika.
Janice Radway (1999) melihat dua tradisi pemikiran dalam pengkajian
Amerika. Tradisi utama yang mendominasi para pemikir Amerika adalah
American exceptionalism. Konsep ini muncul dalam Paradigm Drama yang
ditulis oleh Gene Wise. American exceptionalism mengasumsikan bahwa
American Mind yang merupakan pengalaman bangsa Amerika (American
experience) bersifat homogen dan menjadi entitas tunggal meskipun bersifat
kompleks dan terdiri dari berbagai tingkatan. American Mind menurut Wise
secara teoritis terdapat dalam benak setiap bangsa Amerika, namun secara khusus
23
hal itu terlihat pada konsep pemikiran pemimpin dan intelektual Amerika yang
berkulit putih.
Konsep American exceptionalism secara tradisi berakar dari dua dokumen
bersejarah yaitu Farewell Address (1796) dari Presiden George Washington dan
Monroe Doctrine (1823) yang dikeluarkan oleh Presiden James Monroe (Rowe,
2000). Washington memperingatkan Amerika yang baru saja berdaulat sebagai
sebuah negara untuk melepaskan diri dari hubungan dengan kepentingankepentingan bangsa Eropa. Sementara Monroe Doctrine berisi peringatan
Amerika terhadap negara-negara Eropa untuk melepaskan klaim mereka terhadap
negara-negara bekas jajahan di Amerika Utara dan Selatan serta tidak terlibat
pada urusan-urusan di wilayah itu.
Di samping arus pemikiran utama itu, terdapat pula tradisi pemikiran
alternatif yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, kegiatan politik,
serta produk-produk kultural kelompok minoritas (López, 2010 ). Konsep ini
melihat hubungan antara kelompok-kelompok minoritas dengan komunitasnya
yang bersifat internasional maupun lokal. Hubungan-hubungan ini kadang lebih
bersifat politis daripada mengenai wilayah atau teritorial. Konsep Amerika
menurut kelompok-kelompok minoritas ini tampak dalam tulisan Jose Marti
berjudul Nuestra America. Menurut Marti, kultur Amerika tidak hanya merujuk
pada orang-orang yang lahir di dalam wilayah Amerika Serikat, tetapi juga orangorang yang berasal dari Karibia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Pemikiran alternatif ini mendorong timbulnya gagasan baru untuk
menghubungkan berbagai wilayah dalam arti geografis, budaya, dan identitas
24
masyarakat. Hal ini merujuk pada pendapat bahwa identitas nasional Amerika
dibentuk melalui dan dalam hubungan dengan kelompok-kelompok yang
heterogen (Castillo, 2006). Amerika Serikat bukan merupakan kesatuan budaya
dan identitas yang homogen, sehingga analisis tentang Amerika Serikat harus
didasarkan pada hubungan negara itu dengan seluruh dunia termasuk kelompokkelompok non kebangsaan baik di dalam maupun di luar garis batas negaranya.
Multikulturalisme dalam masyarakat Amerika menuntut paradigma baru
dalam pengkajian Amerika. Demikian juga meningkatnya gerakan-gerakan di
dalam masyarakat Amerika seperti perjuangan hak-hak sipil (Civil Rights
movement), pergerakan orang kulit hitam (the Black Power movement), gerakan
perempuan (the women’s movement), gerakan hak-hak kaum gay (the gay rights
movement), dan gerakan buruh (labor movements), menyebabkan para akademisi
dalam pengkajian Amerika tidak dapat lagi meneruskan pandangan bahwa bangsa
Amerika mempunyai karakter homogen karena berbagi pengalaman masa lalu
yang sama. Kondisi tersebut membuat pengkajian Amerika mulai memberi
peluang studi multikulturalisme di tahun 1980-an.
Transnasionalisme menurut Henry Yu (2000) adalah salah satu alat untuk
menganalisis hubungan ras, etnik, dan media di Amerika yang harus dipahami
dengan memperhatikan konteks kapitalisme global yang membingkai definisidefinisi perbedaan budaya dan nasionalitas. Wacana tentang perbedaan etnik dan
budaya
di
Amerika
selalu
bergantung
pada
hubungan-hubungan
dan
perbandingan-perbandingan transnasional. Kondisi itu menyebabkan timbulnya
kebutuhan terhadap sebuah perspektif untuk menghubungkan berbagai etnis yang
25
ada dengan berbagai macam proses yang melampaui batas-batas negara. PostNationalist American Studies harus berusaha keras menempatkan terbentuknya
bangsa Amerika dalam konteks transnasional di mana terdapat perbedaan ras dan
budaya. Perspektif dalam pengkajian Amerika ini tidak dimaksudkan untuk
mempertajam perbedaan yang ada namun menegaskan kembali hubungan yang
erat antara narasi ras, etnik, dan bangsa Amerika atas fenomena transnasional.
Perkembangan politik dunia setelah Perang Dingin (Cold War) mendorong
pengkajian Amerika untuk menentukan kembali posisinya dalam menyikapi
aktivitas militer Amerika Serikat. Akhir Perang Dingin menghapus dikotomi
kekuatan militer antara Sekutu dan Uni Soviet. Berakhirnya persaingan antar blok
menjadikan Amerika sebagai kekuatan tunggal politik dan militer di dunia.
Menyikapi kondisi ini, para ahli pengkajian Amerika berpendapat bahwa
pengkajian Amerika tidak berafiliasi dengan politik Amerika Serikat sebagai
sebuah negara. Amy Kaplan (2003) dalam pidatonya selaku Presiden American
Studies Assosiation pada tahun 2003 mengatakan, “The discipline had a role in
defining ‘America’ independently from the actions of the State.” (Kaplan, 2003:
1). Usaha untuk mendefinisikan ulang kedudukan pengkajian Amerika di tengah
pengaruh politik Amerika Serikat yang ekspansif pada awal abad 21 adalah
mempertegas kembali “arti sebenarnya” dari kajian tentang Amerika. Meskipun
demikian, dalam usaha untuk memahami “arti sebenarnya” itu, interpretasi dan
pemakaian pendekatan lain tentang Amerika masih dibatasi (Fisher, 2006).
Pandangan tentang kedudukan pengkajian Amerika di tengah globalisasi
dan sikap pemisahan diri dari Amerika Serikat sebagai entitas politik
26
dikemukakan oleh John Carlos Rowe. Konsep Rowe (2010) tentang contact zone
memunculkan pemikiran untuk mengkaji Amerika dari luar batas negara.
Kesadaran untuk melihat Amerika dari padangan para ahli di luar Amerika
menyebabkan interaksi dua arah dan mengubah pandangan American Mind yang
berfokus pada pengkajian pengalaman Amerika di dalam batas wilayahnya sendiri
menjadi Hemispheric Mind yaitu pandangan terhadap Amerika dari bangsabangsa lainnya, serta pengaruh Amerika terhadap negara-negara yang berbatasan
dengannya. Pendapat Rowe sesuai dengan pemikiran Ali Fisher,
“This conception of a genuinely transnational approach would
emphasize geographic position only to the extent it informed local
interpretation, rather than providing a hierarchical ordering of
understandings based on their place of origin… In the transnational
conception of the discipline, American Studies engages the numerous
images of ‘America’ with each local framework of understanding.”
(Fisher, 2000:13)
Studi transnasional berpotensi menciptakan berbagai interpretasi tentang
Amerika. Konsep-konsep yang muncul terlepas dari konsep umum dan
menekankan pada pemahaman secara lokal karena etnis, kelompok kultural, atau
bangsa mempunyai konsep-konsep yang berbeda tentang Amerika. Interpretasi
dengan menggunakan konsep-konsep lokal ini diperlukan untuk meningkatkan
pemahaman tentang Amerika dalam hubungan transnasional. Oleh karena itu
pendekatan transnasional dalam pengkajian Amerika meliputi:
Investigations of the broad array of cultural crossroads shaping
the work of border-crossing authors, artists, and cultural forms that
straddle multiple regional and national traditions (Fishkin, 2005: 32).
27
Penelitian musik rap di Manggarai Nusa Tenggara Timur sesuai dengan
pendapat Fischer dan Fishkin. Rap di Manggarai dapat diteliti menggunakan
konsep transnasionalisme dalam pengkajian Amerika karena merupakan kajian
tentang budaya yang berasal dari Amerika dari perspektif budaya di luar Amerika,
sekaligus analisis tentang bentuk lintas batas budaya (border-crossing culture)
dari musik Amerika. Rap yang sudah melintasi batas negara dianalisis
berdasarkan kondisi budaya dan tradisi setempat.
1.6.2 Hibriditas Budaya
Menurut Canclini (2002) hibriditas budaya adalah proses sosiokultural di
mana praktek-praktek atau struktur dengan ciri-ciri khusus yang tadinya
mempunyai bentuk berbeda dikombinasikan untuk membentuk struktur, obyek,
dan praktek-praktek yang baru. Proses ini dapat terjadi secara secara tidak sengaja
maupun hasil tak terduga dari migrasi, tourisme, atau pertukaran ekonomi dan
komunikasi. Hibriditas juga timbul karena kreativitas individual atau kelompok
tidak hanya dalam bidang seni tetapi dalam kehidupan sehari-hari dan kemajuan
teknologi. Hal ini terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang berusaha untuk
mengubah kembali sumber-sumber atau warisan budaya yang dimilikinya agar
dapat diintegrasikan kembali dengan kondisi yang baru dalam produksi dan
distribusi. Pendapat Canclini hampir serupa dengan Mitchell (2005), yang
mengatakan bahwa hibriditas muncul dari ide-ide untuk melakukan integrasi dan
difusi dari berbagai sumber dan membentuk sesuatu yang berbeda, tetapi elemenelemen asal sebagai penyusunnya tetap dapat dilacak dalam budaya baru yang
28
merupakan hasil dari proses percampuran itu. Jadi, hibriditas adalah proses-proses
percampuran kreatif yang menciptakan sesuatu yang berbeda, tetapi tetap
mengandung jejak-jejak budaya asalnya.
Konsep hibriditas menurut Lull (1995) merupakan bagian dari cultural
territory, yang merupakan hasil dari mobilitas lokal dan transnasional maupun
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Proses ini dimulai dari
bentuk-bentuk kultural dari sebuah negara secara harafiah berpindah melampaui
ruang dan waktu dan berinteraksi dengan bentuk-bentuk kultural lainnya. Proses
ini menimbulkan terjadinya hibridisasi yaitu kontak dan percampuran antara
bentuk-bentuk budaya baru dengan budaya yang ada dalam sebuah masyarakat
dan membentuk percampuran di antara keduanya. Lebih lanjut dikatakannya
bahwa proses percampuran ini mendorong terjadinya “indigenization” atau
pribuminisasi yaitu budaya yang berasal dari luar mengambil bentuk-bentuk lokal.
Androutsopoulos & Scholz (2003) mencontohkan proses ini dalam musik rap
Eropa, di mana terjadi percampuran antara bentuk-bentuk rap Amerika dengan
musik pop Eropa. Percampuran dua jenis musik ini menampilkan karakter rap
Eropa yang terlihat melalui berbagai unsur bunyi dan teks seperti: penggunaan
elemen suara lokal, bahasa atau dialek lokal, dan tema-tema yang berbicara
tentang kondisi dan institusi lokal.
Budaya baru yang telah mengalami pribuminisasi dalam hibriditas,
menurut Lull (1995), diintegrasikan ke dalam bentuk-bentuk budaya masyarakat
setempat dan sebagai konsekueansinya budaya itu tidak lagi terasa asing bagi
masyarakat lokal. Salah satu bentuk hibriditas yang kental dengan pribuminisasi
29
adalah rap yang masuk ke Indonesia. Musik rap Indonesia dinyanyikan dalam
bahasa lokal, dengan lirik yang mengacu pada kepribadian, kondisi, dan situasi
lokal menjadikannya musik hibrid antara kultur Afro-Amerika dan Indonesia
(Lull, 1995: 156-157).
Hibriditas dalam musik rap Indonesia juga terdapat dalam rap Manggarai.
Unsur-unsur musik masyarakat Afro-Amerika tetap terlihat dalam format rap
Manggarai melalui pemilihan sampel, teknik bernyanyi, ungkapan-ungkapan khas
rap yang merupakan produk budaya masyarakat kulit hitam wilayah urban, dan
sistem produksinya. Unsur-unsur dari luar itu dipadukan dengan penggunaan
bahasa setempat, unsur-unsur musik lokal, dan tema-tema yang sesuai dengan
kondisi serta situasi lokal untuk menampilkan budaya Manggarai. Dua unsur yang
berbeda itu membentuk sebuah produk budaya baru yang sesuai dan tidak terasa
asing bagi masyarakat Manggarai.
1.6.2.1 Konsep Musik Global
Fenomena globalisasi yang terjadi pada tahun 1980-an memunculkan
konsep-konsep budaya global. Menurut Giddens (2006) budaya global bersifat
homogen, diciptakan untuk masyarakat luas, tidak berakar pada budaya tertentu
sehingga tidak mempunyai keterikatan kultural pada golongan tertentu. Budaya
global tidak memperhitungkan keanekaragaman penerima budaya serta bersifat
cair sehingga sesuai untuk berbagai wilayah yang menjadi sasaran ekspansinya.
Pendapat itu sesuai dengan pandangan Chong,
30
Global culture, […] is usually defined as a 'melange' of disparate
components 'eclectic, universal, timeless and technical', such that it is
'memory-less', 'syncretic' and dependent on capitalist production of
'mass-mediated signs and symbols' (Chong, 2003: 449).
Produk budaya global bersifat artifisial karena diproduksi untuk memenuhi
kebutuhan pasar yang beragam serta memiliki selera serta tren yang tidak dapat
diprediksi. Produk itu dapat segera diganti dengan hal baru bila tidak
menguntungkan
bagi
produsen.
Sentimen
tertentu
seperti
nostalgia,
keterhubungan dengan pengalaman personal, serta hal-hal lainnya yang bersifat
emosional bukan merupakan tujuan produksinya.
Dalam industri musik, istilah global sering disebut sebagai musik dunia
(world music). Menurut Guibault (2006) definisi musik global atau musik dunia
adalah musik populer yang tumbuh di tahun 1980-an, didistribusikan secara
massal ke seluruh dunia, serta berhubungan dengan kelompok minoritas dan
negara-negara berkembang yang mengkombinasikan karakteristik musik lokal
dengan genre arus utama dipasarkan oleh industri musik masa kini dan mencapai
pasaran di negara-negara maju. Connell & Gibson (2004), mendefinisikan musik
dunia (world music) sebagai salah satu kategori musik komersial, bukan genre
tertentu, yang tidak mempunyai hubungan dengan suatu wilayah. Dalam level
tertentu, musik dunia adalah gambaran musiman dari semua masyarakat di
seluruh dunia, meskipun hanya beberapa musik yang dapat disebut sebagai musik
dunia (Connell & Gibson, 2004: hlm 343). Dalam pembahasan lebih lanjut
tentang musik dunia, Connell & Gibson juga memberikan konsep alternatif bahwa
musik dunia adalah musik yang eksotik dan berasal dari dunia ketiga tetapi dapat
31
menarik perhatian dan menembus pasaran negara maju seperti musik reggae dan
zouk yang berasal dari Karibia tetapi dapat berkembang di Eropa dan Amerika
Serikat.
Dalam menganalisis rap di Manggarai definisi global adalah musik
populer yang masuk ke Manggarai melalui berbagai media, termasuk di antaranya
berbagai genre musik populer yang menjadi produk industri musik arus utama.
Musik yang masuk dalam kategori ini adalah pop Indonesia, dangdut, lagu-lagu
daerah yang masuk dalam kategori pop daerah, dan musik alternatif lainnya. Baik
yang diproduksi dengan menggunakan indie maupun mayor label.
Posisi sebagai bagian dari musik global juga diterapkan pada musik rap
yang berasal dari luar Manggarai. Musik rap global ini tidak hanya diperuntukkan
bagi musik rap asing, tetapi termasuk juga musik rap Indonesia. Dimasukkannya
musik rap Indonesia ke dalam wilayah musik global karena tema-tema rap
Indonesia mempunyai kesamaan dengan tema-tema rap yang berasal dari kotakota besar di seluruh dunia. Mayoritas tema rap dari kota-kota besar berisi
kehidupan kelas menengah dalam masyarakat industri (Bodden, 2005a). Tema ini
berbeda dengan pengalaman budaya dan ideologi masyarakat Manggarai yang
berada di wilayah pinggiran. Perbedaan ini dipergunakan untuk menjelaskan
posisi rap yang berasal dari Manggarai tetapi berbicara tentang isu-isu umum
yang tidak mempunyai dampak atau tidak pernah ada dalam realitas keseharian
masyarakat Manggarai.
32
1.6.2.2 Konsep Musik Lokal
Musik lokal didiskripsikan sebagai hal-hal yang terhubung dengan sifat
otentisitas dan waktu serta tempat tertentu. Lokalitas juga disertai dengan asumsi
terdapatnya keterikatan, akar, keaslian terhadap budaya pra-modern tertentu
(Chong, 2003). Budaya lokal atau nasional mempunyai konotasi emosional yang
kuat bagi banyak orang. Otentisitas budaya lokal terletak pada asal-usul,
kesinambungan, tradisi, dan secara simbolis terhubung dengan nilai-nilai asli
masyarakat (Chong, 2003: 459).
Berdasarkan konsep lokalitas di atas, maka yang masuk ranah lokal dalam
pembahasan ini adalah musik rap Manggarai yang mengungkapkan ide-ide lokal,
berbicara tentang realitas keseharian, dan mengangkat nilai-nilai ideal masyarakat
Manggarai. Lagu-lagu tersebut dapat menggunakan bahasa Manggarai, bahasa
Inggris, bahasa Indonesia, maupun campuran dari ketiganya. Kategori musik lokal
bagi rap Manggarai berhubungan erat dengan definisi otentisitas dari rap
Amerika, yaitu musik yang dekat dengan tema-tema tentang realitas sosial
masyarakat dan berfungsi sebagai corong bagi suara yang terpinggirkan.
1.6.3 Musik Rap
Rap merupakan jenis musik yang mulai populer di Amerika pada tahun
1980-an. Rap merupakan bentuk improvisasi lirik dan cara penyampaian yang
dilakukan oleh MC (Master of Ceremony) di puncak-puncak irama (beats),
potongan-potongan lagu yang dirangkai (samples), dan elemen-elemen lain yang
membentuk lagu (Hoffman, 2002). Rap menyatukan irama musik dan syair yang
33
diucapkan penyanyi menjadi rangkaian suara yang dapat dinikmati oleh para
pendengar musik.
Ritme adalah elemen mendasar dari rap yang membentuk pola-pola
ekspresi verbal dan merupakan sumber suara dan irama (Bradley, 2009). Ritme
yang berasal dari alat musik terdengar lebih menonjol dibandingkan suara
penyanyinya, namun lirik lagu yang diucapkan oleh penyanyi rap juga berupa
ritme. Lirik yang berbentuk ritme itu diucapkan di antara ritme-ritme musik dan
membentuk kesatuan ritme yang selaras.
Notasi 1: Lagu “Jesus Walks” dari Kanye West.
Sumber: Martin Connors, http://rapgenius.com/posts/1669-Therapper-s-flow-encyclopedia
Dari contoh di atas terlihat bahwa adalah rima adalah bagian yang ditandai
dengan huruf besar seperti pada kata WEST-IS dan REST-LESS. Rima
membentuk ritme tersendiri disamping ritme lagu yang dituliskan dengan not
balok pada setiap bar1. Lagu-lagu Kanye West kebanyakan memiliki susunan
rima sederhana yang terdiri dari dua kata di setiap barnya. Musisi rap lainnya
mempunyai variasi rima yang lebih rumit dengan menempatkan lebih dari dua
kata pada satu bar. Hal ini terlihat pada lagu Lost Yourself yang dinyanyikan oleh
Eminem:
1
Bar adalah tempo musik yang ditandai dengan garis vertikal yang memisahkan not
musik (Bradley A. , 2009).
34
Notasi 2: Lagu “Lost Yourself” dari Eminem
Sumber: Martin Connors, http://rapgenius.com/posts/1669-Therapper-s-flow-encyclopedia
Pada lagu rap, peran rapper dalam mengucapkan kata-kata sama penting
dengan irama lagu pengiringnya. Rapper mengombinasikan ritme musik dengan
ritme perkataannya. Kombinasi keduanya disebut flow. Secara etimologis flow
berasal dari bahasa Yunani ‘rheo’ yang berarti ritme, yaitu naik turunnya suara
penyanyi yang ada hubungannya dengan irama. Flow dalam musik rap adalah
komunikasi ritmis antara puisi (lirik) dan musik pengiring. Komunikasi ini
bergantung sepenuhnya pada irama, pengaturan tempo, nada, aksen, dan intonasi
sehingga disebut dual rhythmic relationship (Bradley, 2009).
Bila dilihat dari sejarahnya, rap tidak bisa dilepaskan dari dua pilar dalam
budaya hip hop yaitu DJing yang merupakan kependekan dari Disk Jockey dan
MCing yang berasal dari kata Master of Ceremony. Dua unsur ini saling
mendukung dan kemudian bertukar peran selama masa perkembangan budaya hip
hop di Amerika Serikat. Menurut David Samuels (2004) DJing berakar dari
“toasting” yang muncul di Jamaika tahun 1960-an. Toasting atau berbicara
dengan diiringi lagu-lagu tertentu muncul sebagai reaksi atas sulitnya memiliki
alat musik Barat di Jamaika. Sebagai ganti dari alat-alat musik, para seniman
musik Jamaika menggunakan rekaman musik R&B yang digabung-gabungkan
35
membentuk sebuah irama baru. Gaya bermusik ini diperkenalkan di Amerika oleh
DJ Kool Herc (Clive Campbell), seorang keturunan Jamaika, di New York pada
tahun 1970-an. Herc menggunakan metode mixing break atau break beats, yaitu
mengambil bagian-bagian tertentu dari lagu-lagu yang terkenal pada masa itu dan
menyusunnya menjadi rangkaian irama dengan menggunakan dua pemutar
piringan
hitam
(Bennet,
1991).
Grandmaster
Flash
(Joseph
Saddler)
menyempurnakan teknik mixing break milik Kool Herc dengan quick mix theory.
Flash menggunakan headset agar dapat mendengarkan dengan lebih seksama lagu
yang tengah dipersiapkan sebelum menggabungkannya dengan lagu yang sedang
diperdengarkan. Cara baru ini menciptakan rangkaian irama tak berjeda dan
harmonis yang lebih baik dari teknik sebelumnya.
Suara khas dalam musik rap yang disebut scratching ditemukan oleh
Grandwizard Theodore (Theodore Livingston). Suara scratch ini diperoleh
dengan cara menekan piringan hitam yang sedang berputar untuk menghentikan
gerakannya. Langkah berikutanya adalah melakukan backspinning yaitu secara
halus menggerakkan keping piringan hitam ke arah berlawanan secara berulangulang. Potongan-potongan suara akibat gerakan tangan disk jockey menimbulkan
bunyi baru yang dapat dipergunakan sebagai variasi atau penyela bagi rangkaian
lagu yang berbeda ritme atau genre musiknya.
Pada awal kemunculannya, DJ menjadi tokoh utama dalam pertunjukan
musik rap. MC lahir dari bentuk interaksi antara DJ dan penonton. Posisi MC
pada awalnya sebagai asisten yang bertugas mengumpulkan massa dan mengisi
kekosongan yang terjadi selama DJ sedang memilih lagu untuk sesi pertunjukan
36
break dance berikutnya (Hess 2006; 2008; Chang 2000). MC juga bertugas untuk
menghibur para pengunjung agar tertarik mengikuti acara dan termotivasi untuk
terlibat di dalamnya.
Munculnya album “Rapper’s Delight” oleh Sugarhill Gang, menurut Hess
(2008), menjadi titik balik bagi konsep-konsep fundamental dalam budaya hip
hop, khususnya musik rap. Pertama, penggunaan live band dan munculnya
teknologi rekaman memberi alternatif bagi para MC untuk menggunakan band
atau DAT (digital audiotape) sebagai musik pengiring sehingga menghilangkan
peran DJ dalam pertunjukan musik rap. Kedua, keberhasilan album “Rapper’s
Delight” membuat musik rap masuk dalam arus utama musik pop di seluruh dunia
dan rapper menjadi daya tarik komersial dalam rap. Ketiga, album ini
memisahkan konsep musik rap dari musik hip hop yang masih mempertahankan
orisinalitas budaya aslinya. Keempat, adanya perbedaan konsep antara MC dan
rapper. MC adalah penyanyi rap yang tetap mempertahankan gaya bernyanyi
seperti masa dan mengadakan pertunjukan di klub-klub musik atau pesta-pesta
pribadi, sedangkan rapper adalah penyanyi rap komersial yang terjun dalam
dunia hiburan dan menyesuaikan lagu-lagunya dengan selera pasar.
Komersialisasi rap pada lingkup global menurut Bennett (2001)
memperluas jangkauan budayanya sehingga tak lagi secara ekslusif menjadi milik
masyarakat kulit hitam. Rapper di berbagai negara melakukan apropriasi dan
adaptasi musik rap dengan beragam cara. Pemaknaan tentang originalitas musik
yang berasal dari warisan orang kulit hitam Amerika dilakukan secara filosofis
maupun praktis. Unsur penting dalam lokalisasi musik rap adalah upaya para
37
rapper secara terus menerus menemukan dan mendefinisikan ulang musik mereka
sehingga sesuai dengan kondisi lingkungan. Rap dengan unsur lokal ini
dipergunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan lingkungan dalam
konteks lokal.
1.6.3.1 Konsep Ruang dan Tempat
Konsep ruang dan tempat dalam geografi kultural berakar pada pandangan
humanistik dan pandangan materialisme dalam aliran Marxis. Pandangan
humanistik menekankan pada ‘sense of place’ apapun latar belakangnya.
Pandangan ini berpusat pada tempat sebagai wilayah khusus yang berisi
pengalaman hidup penghuninya. Pandangan Marxis mengalisis hubungan antara
dominasi dan resistensi yang terjadi melalui ruang-ruang yang ada, dan
menekankan pentingnya sebuah ruang sebagai hasil dari produksi dan konsumsi
sosial (Hubbard, 2005). Berdasarkan pandangan humanistik maupun Marxis,
ruang dan tempat dikonstruksikan dan direkonstruksi melalui jaringan-jaringan
yang melibatkan orang, praktek-praktek sosial, bahasa, dan representasi. Jadi
konsep ruang dan tempat mengacu pada apa yang dilakukan oleh penghuninya,
bukan latar belakang mereka.
Konsep ruang dan tempat dalam konteks musik, dalam pandangan Connell
dan Gibson (2003), berhubungan dengan tempat-tempat secara fisik dan
pergerakan budaya, komoditas, dan manusia yang melampaui batas geografis
konvensional. Hal itu disebabkan karena musik adalah produk yang dapat
dinikmati melalui pendengaran, sehingga ruang-ruang publik di mana identitas
musik dikonstruksikan berwujud fisik (dalam bentuk pertunjukan musik di suatu
38
tempat tertentu) maupun virtual (melalui ruang-ruang siaran umum). Melalui
pandangan ini dapat dilihat bahwa ruang adalah identitas yang dikonstruksikan
pada musik tertentu, sementara tempat adalah wujud fisik maupun virtual di mana
musik-musik itu dipertunjukkan.
Rap menempatkan ruang dan tempat sebagai bagian dari identitas kultural
maupun tempat produksi lagu-lagunya. Rose (1994) melalui bukunya Black
Noise: Rap Music and Black Culture in Contemporary America, menunjukkan
bagaimana hip hop mengalami transformasi kreativitas dengan menggunakan
teknologi dan ruang (Foreman, 2000). Ruang-ruang yang dimaksud oleh Rose
adalah kota-kota post-industrial di mana masyarakat Afro-Amerika tinggal dan
menjalankan praktek budayanya. Kota-kota ini menjadi penting karena “Provided
the context for creative development among hip hop's earliest innovators,
shaped their cultural terrain, access to space, materials, and education”
(Rose, 1994: 34). Ruang-ruang itu menjadi konteks bagi lirik lagu rap yang
dihasilkan oleh seorang rapper. Kontekstualitas sebuah lagu didasarkan pada
posisi rapper dalam ruang yang dibicarakannya dalam lagu.
Konsep tempat dalam rap terlihat dari pendapat Foreman (2000) “In the
music and lyrics, the city is an audible presence, explicitly cited and digitally
sampled
in
the
reproduction
of
the
aural
textures
of
the
urban
environment”. (Foreman, 2000: 67-68). Hal ini diperjelas oleh Iain Chamber
dengan mengatakan bahwa rap adalah “New York sound system.”
Dalam musik rap Amerika, lingkungan atau neighbourhoods (hood)
mempunyai arti yang lebih luas dibandingkan geografis dan praktek-praktek
39
kultural para rapper, “It illuminates a particular relationship to space or, more
accurately, a relationship to particular places” (Foreman, 2000: 67). Kurtis Blow
(1997) menunjukkan contoh nyata dari pertanyaan di atas dengan fenomena Kool
DJ Herc dan para penggemarnya. Pada masa hip hop awal, Herc mempunyai
kelompok penggemar dari lingkungannya yang mengikutinya dalam setiap pesta.
Kehadiran para pengikut itu disebabkan oleh keterikatan identitas karena
kesamaan lokasi dan lingkungan.
Pembagian ruang bagi para DJ pada masa awal rap didasarkan pada faktor
audio, karena setiap DJ menggunakan sound system berjalan. Ruang
dikonstruksikan berdasarkan kemampuan audio menjangkau lingkungan tertentu
sehingga tidak menyebabkan tumpang-tindih suara. Kool Herc mempunyai
wilayah di lingkungan Bronx bagian barat dan klub-klub malam di Bronx bagian
timur, Grandmaster Flash bermain di wilayah Bronx bagian selatan antara 138th
Street sampai 163rd Street, Afrika Bambaataa menguasai wilayah tenggara dan
utara, sementara DJ Breakout and DJ Baron di bagian tengah (Chang, 2005).
Berdasarkan pembagian wilayah ini maka ruang-ruang rap di wilayah Bronx
adalah ghetto wilayah di mana mereka tinggal dan mempunyai kesamaan
pengalaman dan praktek-praktek kultural, sementara tempat merujuk pada lokasilokasi tertentu seperti Queens, Brooklyn, South Bronx, dan sebagainya.
Transformasi konsep ruang dan tempat terjadi ketika para rapper dari
West Coast mendominasi peredaran musik rap di tahun 1987-1988. Ruang-ruang
rap bagi mereka adalah hood yang merupakan kependekan dari “neighbourhood”
untuk menggantikan ghetto sebagai batas wilayah. Hood berfungsi sebagai ruang
40
bermusik sekaligus pemberi identitas bagi para rapper dan menekankan pada
hubungan yang kuat antara rapper dengan lingkungan asalnya sekaligus
membedakan praktek kreatif setiap rapper yang tinggal dalam wilayah itu.
Pergeseran makna ruang dan tempat selanjutnya terjadi ketika rap
berkembang ke wilayah-wilayah lain di luar East Coast dan West Coast.
Bangkitnya daerah-daerah pinggiran seperti Houston, Atlanta, New Orleans, dan
wilayah-wilayah Selatan menyebabkan konsep ruang terletak pada sistem
produksi yang disebut posse2 (Rose, 1994; Foreman, 2000; Foreman, 2004), yaitu:
[…] fundamental social unit binding a rap act and its production crew
together, creating a collective identity that is rooted in place and
within which the creative process unfolds… It is not rare for an entire
label to be defined along posse lines with the musical talent, the
producers and various peripheral associates bonding under the
label's banner. (Foreman, 2000: 71)
Sebagai sebuah kesatuan identitas dan produksi, posse terlihat dari
penggunaan kata: crew, gang, atau clan dalam nama-nama kelompok seperti: The
Sugarhill Gang, Doug E. Fresh and the Get Fresh Crew, atau X-Clan. Dalam
perkembangannya posse juga ditampilkan dalam nama kelompok-kelompok rap
seperti California's South Central Posse atau Native Tongues Posse (Hess, 2010).
Struktur posse dapat dilihat dalam berbagai aktivitas anggotanya seperti: sistem
2
Posse secara etimologis berarti kekuatan yang besar atau kelompok. Bagi sebagian besar
orang Amerika Utara posse diidentikkan dengan kondisi tanpa aturan hukum atau hukum
di daerah perbatasan (frontier justice) yang menjadi tema bagi film-film Hollywood tahun
1940-1950-an. Definisi ini yang dimaksudkan oleh kelompok-kelompok rap, meskipun
pada prakteknya lebih sesuai dengan budaya posse di Jamaika (Jamaika posse culture).
Sistem posse di Jamaika muncul akibat kondisi ekonomi, sosial, dan budaya tertentu pada
pertengahan tahun 1970-an. Sistem ini memunculkan kultur gang dan kekerasan yang
muncul karena niaga obat-obat terlarang, kokain, dan ganja. Sistem inilah yang kemudian
muncul di kota-kota Amerika Utara (Foreman, 2000; Foreman, 2004).
41
produksi album dengan produser yang sama, saling tampil sebagai artis pendatang
dalam album anggota posse, serta melakukan tour dalam berbagai pertunjukan
secara berkelompok.
Posse dapat meliputi berbagai wilayah, sehingga untuk menunjukkan
tempat asalnya, kelompok-kelompok rap secara eksplisit menunjuk kota asal
mereka dalam nama kelompok seperti Compton's Most Wanted, Detroit's Most
Wanted, the Fifth Ward Boyz, dan South Central Cartel (Foreman, 2000).
Selain tampak dalam nama-nama kelompok, tempat juga ditampilkan dalam judul
dan lirik lagu seperti “The South Park Psycho” karya Gangsta N-I-P atau
“Straight Outta Cashville” oleh Young Buck dan “Straight Outta Compton”
oleh N.W.A. (Hess, 2010).
Pentingnya ruang dan tempat dalam rap terlihat dari penjelasan Foreman
(Foreman, 2000) di bawah ini:
In rap, there is a widespread sense that an act cannot
succeed without first gaining approval and support from the crew and
the 'hood. Successful acts are expected to maintain connections to the
'hood and to 'keep it real' thematically, rapping about situations,
scenes and sites that comprise the lived experience of the 'hood. At
issue is the complex question of authenticity as rap posses continually
strive to reaffirm their connections to the 'hood in an attempt to
mitigate the negative accusations that they have sold out in the event of
commercial or crossover success. (Foreman, 2000: 72).
Ruang dan tempat dalam musik rap berfungsi sebagai tempat berafiliasi,
berproduksi, menyalurkan kreativitas, berinteraksi, memperoleh legitimasi, serta
sumber inspirasi bagi lagu-lagu anggota kelompok. Ghetto, Hood, maupun Posse
menjadi ruang-ruang produksi musik, identitas kultural, sekaligus akar bagi
42
eksistensinya sebagai seorang artis. Dukungan dari komunitas rap di dalam ruangruang fisik maupun produksi itu menjadi bentuk legitimasi terhadap otentisitasnya
sebagai seorang rapper.
1.6.3.2 Konsep Keepin’ It Real
Hall dalam Wall (2003) mengatakan bahwa musik adalah jalan untuk
mengartikulasikan identitas karena dapat merepresentasikan “the real me”.
Kebutuhan untuk menampilkan identitas budaya asalnya terjadi karena:
“[…] we no longer have an essensial sense of self…while our identity has
become fragmented, meaning are less certain, and we may feel
geographically and culturally displaced, we still relate ourselves to
important sense of individual and collective history (Hall dalam Wall,
2003: 161).
Konsep ruang dan tempat dalam rap berpengaruh terhadap otentisitas dan
legitimasi seorang rapper. Ruang dan tempat dalam rap sebagai pembentuk
identitas seorang rapper terlihat dari nama kelompok, judul, dan lirik lagu.
Identitas itu oleh Foreman (2000) disebut sebagai curriculum vitae yang bertujuan
untuk menunjukkan keterikatan seorang rapper dengan wilayah kulturalnya
sekaligus menampilkan hubungan-hubungan dengan wilayah lain sebagai bentuk
keterhubungan untuk mewujudkan legitimasinya. Curriculum vitae menjamin
rapper telah berlaku “keepin’ it real” sebagai seorang artis.
Menurut David Diallo dalam Hess (2010), konsep “keepin’ it real” secara
literal berarti “representing, realistically or through hyperbolic gangsta
narratives, the symbolic forms of the ghetto” (David Diallo dalam Hess 2010:
318). Dengan menggunakan contoh film 8 Miles yang dibintangi oleh Eminem,
43
Diallo menunjukkan bahwa “Keepin’ it real” adalah ruang simbolik dan sosial di
mana rapper mengidentifikasi dirinya dan berpartisipasi secara aktif dalam
kehidupan
sosialnya.
B.
Rabbit
(Eminem)
dapat
mengalahkan
dan
mempermalukan Papa Doc pada pertarungan antar rapper (battle rap) karena
lawannya berasal dari golongan kelas menengah, bersekolah di sekolah swasta,
dan mempunyai keluarga yang harmonis. Latar belakang sosial itu membuat Papa
Doc tidak mempunyai legitimasi untuk memasukkan lirik gangsta dalam lagulagunya. Selain mempunyai konotasi sebagai ruang simbolis, “Keepin’ it real”
juga mempunyai konotasi sebagai ruang realitas seperti terlihat alam freestyle
champion antara rapper Craig G dan Supernatural. Craig G mengalahkan
lawannya dengan menekankan pada latar belakang Supernatural yang berasal dari
Indiana, sehingga tidak memungkinkannya untuk berbicara tentang kehidupan
masyarakat urban kulit hitam di New York.
Kembrew McLeod (1999) mengatakan bahwa otentisitas dalam musik rap
merupakan usaha untuk menjaga keaslian budaya rap sebagai bagian dari narasi
masyarakat kulit hitam di daerah urban. Usaha itu, menurut Hess (2007),
dilakukan dengan dua cara yaitu melalui gaya musik dan identitas penyanyi.
Keaslian gaya bermusik berpusat pada usaha untuk menolak struktur musik pop
dengan mencampurkan musik dansa, rock, atau R & B dalam musik hip hop
sebagai upaya memperluas pendengar, sementara keaslian dari sudut penyanyi
berpusat pada kedekatan pengalaman dari seorang rapper dengan musik yang
dikreasikan sebagai narasi masyarakat urban kulit hitam ini (Hess, 2007: 23-24).
44
Makna “keepin’ it real” bergeser seiring dengan perkembangan rap ke
berbagai wilayah di Amerika. Edward G. Amstrong yang dikutip pendapatnya
dalam Hess (2007) dan Wright (2010) menyebutkan ada tiga ide dalam konsep
“keepin’ it real” yaitu: menjadi diri sendiri (being true to yourself), mempunyai
hubungan dengan identitas lokal dan teritorial (local allegiances and territorial
identities), dan membangun hubungan dengan asal-usul hip hop atau “sumber asli
rap” melalui tempat, gaya, dan jaringan dengan penyanyi yang telah mapan.
Penyebaran rap ke seluruh dunia menyebabkan konsep “keepin’ it real”
mengalami penyesuaian dengan latar belakang sosial budaya para rapper. “Keepin
it real” dalam konteks Amerika berbeda dengan negara lainnya, sehingga
otentisitas seorang rapper tidak terletak pada keterhubungan secara langsung
dengan budaya Afro-Amerika, tetapi dengan budaya di mana dirinya berasal dan
mengidentifikasikan diri. “Keepin it real” adalah perjalanan dan pengalaman
hidup rapper yang sesuai dengan konteks budaya, lingkungan, dan pendengarnya.
1.6.3.3 Konsep Ruang Realitas dan Imajinasi
Pembentukan konsep realitas dan imajinasi dalam lagu tidak terlepas dari
relasi antara musik dan tempat untuk mengkonstruksikan identitas seseorang atau
sebuah kelompok dalam masyarakatnya (Kong, 1995; Hudson, 2006; Connell &
Gibson, 2003; Foreman, 2000). Menurut Hudson, “[…] music has the ability to
conjure up powerful images of place, feelings of deep attachment to place.”
(Hudson, 2006: 626), lebih lanjut Nash yang dikutip dalam Hudson (2006)
mengatakan, “It influences virtually all aspects of culture and manifests itself in
numerous spatial ways” (Hudson, 2006: 626). Musik dapat mempengaruhi
45
perasaan seseorang terhadap sebuah tempat karena memunculkan imajinasi
tentang sebuah tempat melalui lagu secara keseluruhan seperti yang dikatakan
oleh Kong (1995),
Indeed, this ability to convey images is not only confined to lyrics. Rather,
music is a whole package comprising lyrics, melody, instrumentation,
and the general "feel" or sensory impact of the music. It is this
aggregated package which often provides us with images of regions
(Kong, 1995: 52).
Jadi menurut para ahli di atas, kesatuan lirik, melodi, instrumentasi, serta
rasa dari lagu mendorong imajinasi pendengar terhadap sebuah tempat.
Representasi itu dapat diterima karena kedekatan sosial budaya dari pendengarnya
atau interpretasi yang dilakukan oleh pencipta lagu terhadap kondisi sosial budaya
tempat itu. Lagu menghantarkan imajinasi kepada pendengar tentang tempat
tertentu.
Konstruksi ruang realitas dan imajinasi dengan konsep berbeda dilakukan
oleh María Elena Cepeda (2012). Menurutnya, musik populer menjadi arena bagi
topografi imajiner dari kenangan, identitas, dan tempat bagi orang-orang
Kolombia yang memiliki identitas multikultural karena bermigrasi ke Amerika.
Musik sebagai salah satu alat, selain bahasa, makanan, gerak tubuh, dan berbagai
aktivitas, untuk menampilkan identitas Kolombia. Menurut Cepeda, “[…] music
provides a collective space for imagining colombianidad
outside traditional
geopolitical borders” (Cepeda, 2012: 20). Mengutip pendapat José David
Saldívar,
Cepeda
berpendapat
bahwa
budaya
pop
adalah
alat
untuk
mengimajinasikan ulang sebuah bangsa dan menjadi perwujudan dari peta kognisi
46
yang beraneka bentuk sebagai reaksi terhadap kegagalan negara untuk
menciptakan kesatuan identitas kultural akibat berbagai persoalan. Jadi, musik
pop Colombia hasil produksi para artis dalam industri musik arus utama di
Amerika seperti Shakira atau Gloria Estefan menampilkan imajinasi tentang tanah
kelahiran dalam perspektif para imingan. Musik rap Colombia yang menyatakan
realitas kehidupan masyarakatnya tidak menarik perhatian kaum imigran yang
menginginkan romantisme kehidupan daerah asalnya (Cepeda, 2012; Tickner,
2008).
Musik rap menekankan konsep realitas dengan “keepin it real”, seorang
rapper harus berbicara tentang kehidupan yang dijalaninya dalam lirik-lirik
lagunya. Kejujuran seorang rapper dalam menarasikan diri dan lingkungannya
menjadi dasar bagi legitimasinya sebagai seorang penyanyi. Legitimasi diperoleh
dari posse, komunitas rap di wilayah itu, maupun para pendengarnya. Ruang
realitas dalam rap Amerika adalah wilayah pendengarnya berupa ghetto, hood,
maupun wilayah yang lebih luas lagi seperti East Coast atauWest Coast.
Dalam rap Manggarai, konstruksi ruang realitas dan imaginasi didasarkan
pada posse dan penggemar rap sebagai konsumen. Ruang realitas didasarkan pada
pengalaman masyarakat Manggarai sebagai masyarakat rural yang tinggal di
wilayah Manggarai dan mempunyai pengalaman historis dan kultural sebagai
orang Manggarai. Tema-tema lagu yang berbicara dalam konteks itu menjadi
bagian dari ruang realitas dalam rap Manggarai.
Mobilitas sosial dan urbanisasi memunculkan pengalaman baru bagi orang
Manggarai yang tinggal di perantauan. Komunikasi yang intens dengan budaya
47
luar menyebabkan perspektif baru dalam memandang Manggarai dan identitasnya
sebagai orang Manggarai. Para rapper yang berada di wilayah urban itu
menciptakan lagu berdasarkan realitas hidup di wilayah domisilinya. Realitas
kehidupan urban berhadapan dengan ruang realitas rap Manggarai yang
mendasarkan realitasnya pada kehidupan rural, sehingga kehidupan urban yang
dialami oleh para rapper Manggarai menjadi ruang imajinasi bagi para
penggemarnya. Munculnya ruang imajinasi ini karena para rapper Manggarai di
daerah urban secara konseptual melakukan “keepin it real” tetapi realitas yang
diceritakannya berbeda dengan pengalaman kultural dan historis orang Manggarai
sebagai penikmatnya.
1.6.3.4 Konsep Rural dan Urban
Konsep rural dan urban lebih banyak ditinjau dari sudut geografis. Dalam
geografi kultural konsep rural dan urban tidak hanya berupa tempat atau wilayah
tertentu tetapi dapat berupa entitas politik, unit administratif, tempat untuk bekerja
dan bermain, kumpulan mimpi dan ketakutan, jaringan hubungan sosial,
kelompok aktivitas ekonomi, dan sebagainya (Hubbard, 2006). Secara umum
konsep rural dan urban dihubungkan dengan kepadatan penduduk, ukuran
populasi, jumlah pekerjaan per kilometer persegi, pekerja di bidang pertanian, dan
tipe penggunaan tanah (Stead, 2002).
Stewart Jr. (1958), menambahkan bahwa kriteria yang membedakan desa
dan kota terletak pada fasilitas seperti: servis dan perdagangan, sekolah, hiburan,
informasi dan budaya, dan kehidupan sosial. Fasilitas-fasilitas itu jarang terdapat
di wilayah rural akibat infrastruktur yang terbatas. Kriteria lainnya, adalah
48
persentase jumlah penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian. Penduduk kota
hanya sedikit yang bekerja di sektor pertanian, sementara daerah pedesaan
mayoritas penghuninya bekerja di bidang pertanian.
Konsep yang berbeda dikemukakan oleh Marc Mormont dalam Wood
(2011), mengatakan bahwa di luar realitasnya sebagai sebuah wilayah, rural juga
merupakan kategori pemikiran. Rural pertama-tama diimajinasikan, kemudian
direpresentasikan, lalu dikonstruksikan sebagai tempat, bentang alam, dan cara
hidup di mana ide tentang rural itu mewujud. Salah satu dari ide tentang rural
yang berpengaruh adalah “rural idyll”, yaitu imajinasi tentang daerah rural
sebagai tempat yang damai, tenang, dan sederhana, sebagai kontras dari
kehidupan urban yang serba cepat dan hiruk-pikuk. “Rural idyll” juga
dihubungkan dengan keinginan untuk melarikan diri dari modernitas yang identik
dengan kondisi daerah urban untuk kembali bersatu dengan alam. Menurut Bunce
dalam Wood (2011) pandangan tentang romantisme wilayah rural ini disebut
“armchair countryside”, yang diimajinasikan dan dinikmati dari ruang-ruang
keluarga di wilayah urban dan pinggiran kota, sebuah gambaran yang dipaksakan
dari masyarakat yang berada di luar wilayah itu.
Kata kota (city) berasal dari bahasa latin civis yang berarti penduduk dan
urban berasal dari kata urbs yang berarti kota, city atau kota merupakan tindakan
untuk mendiami sebuah tempat, sementara urbs menunjuk pada tempat (Miles,
2007). Dengan mengutip pendapat Sennett, kota atau citémeans dalam bahasa
Perancis adalah tempat yang dikelilingi tembok, sementara bourgan tidak
dikelilingi tembok tetapi dijaga keamanannya. Keduanya dipisahkan dari
49
commune, tempat tinggal periferal untuk orang miskin yang berpenduduk lebih
sedikit dari cité tetapi tidak punya keistimewaan dan kekuasaan. Bagi orang-orang
yang mempunyai keistimewaan, kota merefleksikan dan memungkinkan mereka
untuk mengekspresikan statusnya sebagai penguasa, tempat yang terbebas dari
keterikatan pada tanah, dan tempat untuk mengembangkan bisnis dan
intelektualnya. Bagi masyarakat miskin kota menjadi tempat penindasan
sebagaimana di desa (Miles, 2007: 9). Daerah urban sebagai tempat migrasi yang
menghilangkan keterikatan dengan kepemilikan tanah dikemukakan oleh Tönnies,
menurutnya daerah urban adalah tempat di mana para migran mengakhiri
kewajiban-kewajiban dalam masyarakat rural yang berhubungan dengan ikatan
kekeluargaan dan pemilikan tanah dan digantikan oleh hubungan asosiasi dengan
sesama pendatang (Miles, 2007: 10).
Konsep rural dan urban menurut Marc Mormont dan Bunce terdapat dalam
lirik rap Manggarai. Wilayah rural dalam rap Manggarai adalah Manggarai
sebagai tempat yang damai, tenang, dan sederhana, ditambah dengan kekerabatan
yang kuat dan praktek-praktek kultural yang terpelihara. Berbeda dengan
pendapat Bunce yang menganggap konstruksi rural itu dibuat oleh masyarakat
urban, dalam rap Manggarai ruralitas dikonstruksikan oleh keduabelah pihak.
Rapper dari wilayah rural yaitu Manggarai mengemukakan keunggulan wilayah
rural dibandingkan urban, terutama dalam nilai-nilai budaya dan kemasyarakatan,
sementara rapper yang tinggal di luar wilayah Manggarai menyoroti modernitas
yang mulai masuk ke wilayah rural dan mengganggu sistem sosial dan budaya
yang menjadi keunggulan wilayah rural.
50
Konsep urban menurut Sennett dan Tönnies dalam Miles (2007) sebagai
wilayah yang penindasan bagi orang miskin terlihat dalam tema perjuangan dan
suka-duka hidup di perantauan yang berbeda dari wilayah rural. Tema-tema
lainnya adalah modernitas yang menggilas kaum urban yang tidak dapat
menyesuaikan diri karena tidak memiliki keterampilan dan kekuasaan. Paradoks
antara kehidupan rural dan urban ini mendominasi tema-tema rap Manggarai.
1.6.4 Kontestasi
Middleton dalam Shuker (2005) meletakkan musik populer sebagai
wilayah kontradiksi dan kontestasi antara sesuatu yang diterapkan dan hal yang
dianggap otentik, selain itu musik populer juga menekankan pada otonomi relatif
dari praktek-praktek kultural. Musik populer yang menyebar ke luar wilayah
mengalami apropriasi dan adaptasi sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan
selera lokal. Proses apropriasi, adaptasi, dan kreativitas para seniman
memunculkan ruang realitas dan imajinasi yang berkontestasi dalam ruang
pendengar musik.
Secara konseptual, kontestasi adalah aktifitas sosial yang mayoritas di
lakukan dengan menggunakan bahasa, meskipun tidak semua bentuk kontestasi
menggunakan “expressis verbis” (Wiener, 2014). Jadi dalam model-model
kontestasi seperti, arbitrasi (arbitration), justifikasi (justification), perembukan
(deliberation), dan pertikaian (contention), terutama yang terakhir, tidak
membutuhkan kata-kata untuk menunjukkan sikap. Meskipun demikian hal utama
dalam kontestasi adalah tidak menggunakan kekerasan dalam melakukan aksinya,
serta lebih mengutamakan tindakan.
51
Sebagai praktek sosial kontestasi dilakukan terhadap sesuatu yang menjadi
isu spesifik bagi masyarakat. Cara-cara melakukan kontestasi dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan. Metode kontestasi dalam lingkungan yang luas seperti negara
dan masyarakat tentu berbeda dengan dunia akademis yang mempunyai lingkup
sempit seperti yang dikatakan oleh Steven Bernstein dalam Wiener (2014), ‘‘one
way to think about contestation is ‘the gap between general rules and specific
situations’’’ (Bernstein dalam Wiener, 2014: 24)
Berdasarkan pendapat di atas maka praktek-praktek kontestasi dalam
budaya pop dapat menggunakan berbagai bentuk, baik eksplisit maupun implisit.
Para pelaku dalam budaya pop dapat menggunakan karya-karyanya untuk
mengekspresikan beragam bentuk kontestasi seperti mempromosikan budaya
lokal dengan format musik global. Cara ini dipakai dalam rap Manggarai yang
menggunakan konsep musik rap global untuk melakukan revitalisasi dan promosi
budaya lokal.
1.6.5 Apropriasi
Penyebaran musik rap ke luar Amerika mendorong terjadinya apropriasi
oleh para rapper di luar budaya aslinya untuk melakukan apropriasi genre musik
itu agar sesuai dengan selera masyarakatnya. Apropriasi dalam musik menurut
Shuker (2005)
merujuk pada proses peminjaman, penciptaan kembali, dan
percampuran dari berbagai sumber untuk menciptakan bentuk-bentuk dan ruang
baru untuk melakukan reterritorialisasi. Proses peminjaman dan penciptaan
kembali oleh para musisi itu dalam bentuk suara-suara musikal, aksen, dan gaya
bermusik maupun penampilannya.
52
Apropriasi musik rap oleh masyarakat di luar wilayah budaya aslinya,
menurut Kitwana (2002), merupakan bentuk penerimaan, inisiatif, dan sekaligus
ungkapan ketidakcocokan atau perbedaan pandangan terhadap produk budaya
masyarakat Afro-Amerika oleh konsumen musik di luar wilayah Amerika.
Pendapat ini hampir serupa dengan pandangan Androutsopoulos & Scholz (2003)
yaitu, “appropriation
is the productive use of an original imported cultural
pattern, […] appropriation of rap music starts when rap fans not only listen to
imported records, but starts performing the genre themselves” (Androutsopoulos
& Scholz, 2003: 463).
Tujuan apropriasi yang dilakukan oleh rapper di luar wilayah Amerika
adalah penyesuaian dengan selera masyarakat lokal, mempertahankan identitas
budayanya, serta melakukan reterritorialisasi terhadap budaya baru sekaligus
penafsiran baru terhadap budayanya sendiri. Penyesuaian terhadap selera
masyarakat lokal dilakukan untuk memenangkan kontestasi dengan genre musik
lainnya, sekaligus menjadikan rap lokal tidak terasa asing bagi masyarakat
setempat. Upaya apropriasi untuk mempertahankan identitas budaya oleh para
rapper dilakukan karena nilai-nilai yang terdapat dalam genre musik itu tidak
selalu sesuai dengan nilai-nilai budaya penerimanya, bahkan terkadang
bertentangan dengan budaya lokal. Ketidaksesuaian itu mendorong mereka
memasukkan unsur-unsur lokal agar tidak tercerabut dari budaya asalnya. bentukbentuk apropriasi ini juga merupakan kreativitas dan inisiatif rapper untuk
melakukan reterritorialisasi budaya terhadap budaya masyarakat Afro-Amerika
yang masuk ke Indonesia, sekaligus mengkritisi budaya lokal yang dianggap tidak
53
sesuai dengan pandangan kaum muda sehingga membuka peluang untuk
penafsiran baru yang sesuai dengan perkembangan jaman.
1.6.6 Cultural Reterritorialization
Pada era global penyebaran budaya dari satu wilayah ke wilayah lainnya
berlangsung cepat dan tak terbendung. Produk-produk budaya populer seperti film
dan musik menyebar ke seluruh penjuru dunia dalam waktu singkat. Media
internet, televisi, dan radio menghilangkan keterbatasan kondisi topografis,
geografis, dan waktu.
Di tengah serbuan budaya asing terdapat upaya aktif untuk menyesuikan
dengan budaya lokal. James Lull menjelaskan bagaimana sumber-sumber budaya
global itu disesuaikan dan ditata ulang dengan konteks lokal yang spesifik.
Individu, yang persepsinya terhadap dunia berdasarkan pada bentuk-bentuk
tertentu dari pengalaman dan pengetahuan lokalnya, secara kultural berusaha
mendefinisikan ulang imaji, teks, dan obyek yang berasal dari budaya global
dengan melakukan tindakan simbolis berupa cultural reterritorialization (Bennett,
2005).
Teori ini berdasarkan pada asumsi bahwa budaya menyebar melampaui
batas-batas geografis. Pengaruh budaya mengalir secara fleksibel melalui berbagai
macam sarana komunikasi maupun kontak-kontak langsung yang semakin intens
akibat berkembangnya alat transportasi. Asumsi kedua , batas-batas tersebut tidak
hilang, namun ditata ulang menjadi bentuk-bentuk yang baru (Gupta & Fergusson,
1992). Budaya yang menyebar ke seluruh dunia mengalami kontektualisasi
54
dengan budaya lokal sehingga muncul bentuk-bentuk budaya baru melalui proses
adopsi dan adaptasi.
Pada proses adopsi dan adaptasi, budaya dari luar mengalami apropriasi.
Proses apropriasi terjadi karena individu selalu berusaha menciptakan kembali
tempat kultural atau teritori kultural yang baru (reterritorialize) di mana pun
mereka berada. Upaya adaptasi terhadap budaya asing yang masuk dengan
memberikan format baru sebagai bentuk keinginan menciptakan “cultural home”
di mana pun seseorang berada. Kedua, dengan mencampurkan budaya dari luar
dengan budaya setempat, terciptalah versi lokal yang lebih cocok dengan selera
masyarakatnya. Selain itu, masyarakat lokal tetap ingin menggunakan nilai-nilai
tradisional agar tak terlepas dari akar budayanya demi mempertahankan status
maupun cara hidup, namun mereka merasa perlu mengadakan pembaharuan
bentuk sehingga dapat mengikuti perkembangan jaman.
Lebih lanjut Lull
mengatakan:
Reterritorialization….is a process of active cultural selection and
synthesis drawing from the familiar and new. But creative construction of
new cultural territories also involves new ways in interpreting cultural
icons in process of resignification. The entire cultural milleu….become
symbolic resources to be use in ways that differ radically from their
original meanings and functions (Lull, 2000: 161).
Cultural Reterritorialization menyebabkan semua dasar-dasar wilayah
budaya yang meliputi cara hidup, artefak-artefak, simbol, dan konteksnya, terbuka
pada interpretasi dan pemahaman baru. Selain itu cultural reterritorialization juga
menunjukkan bahwa budaya secara terus menerus dibentuk kembali melalui
interaksi sosial, bentuk komunikasi personal yang kreatif, teknologi, dan media
55
massa. Produk budaya yang mengalami cultural reterritorialization telah
kehilangan bentuk aslinya akibat interpretasi dan pemahaman baru dalam konteks
lokal. Kobin & Alaste dalam Lang (2009), mengatakan artis-artis lokal
mengintegrasikan budaya lokal mereka dengan budaya asing untuk menciptakan
budaya
hibrid
yang
tidak
lagi
terasa
asing.
Bentuk-bentuk
cultural
reterritorialization dalam musik rap Manggarai diantaranya adalah: tema, bahasa,
dan musiknya.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian kualitatif tentang hibriditas musik Amerika ini menggunakan
obyek formal budaya Amerika, sementara obyek materialnya adalah musik rap ini
merupakan kajian transnasional dengan menggunakan pendekatan interdisipliner
dalam Pengkajian Amerika. Pendekatan interdisipliner melihat fenomena dengan
menggunakan berbagai sudut pandang agar dapat menginterpretasikannya lebih
mendalam. Untuk mencapai tujuan itu dipergunakan berbagai konsep, teori, dan
metode yang berasal dari berbagai bidang ilmu.
Sebagai sebuah penelitian kualitatif, peneliti membuat interpretasi atas apa
yang dilihat, dengar, dan pahami (Creswell, 2012). Untuk melakukan interpretasi
dipergunakan metode thick description yang dikemukakan oleh Pontoretto.
Metode Pontoretto (2006) merupakan pengembangan dari pemikiran Denzin yang
menyatukan konsep antropologis Geertz dan konsep filosofis Ryle.
Metode
Denzin menurut Pontoretto berbentuk instruktif sehingga thick description tak
hanya dapat dipergunakan untuk penelitian etnografi, namun dapat dipergunakan
56
juga untuk penelitian sosiologis, komunikasi, maupun humaniora. Pontoretto
mengatakan:
A thick description… does more than record what a person is
doing. It goes beyond mere fact and surface appearances. It presents
detail, context, emotion, and the webs of social relationships that join
persons to one another. Thick description evokes emotionality and self
feelings. It inserts history into experience. It establishes the significant of
an experience, or the sequence of events, for the person or persons in
question. In thick description, the voices, the feelings, actions, and
meanings of interacting individual are heard (Pontoretto 2006: 261).
Menurut Ponterotto dalam menganalisis sebuah fenomena menggunakan
thick description harus dapat melukiskan dan menginterpretasikan tindakan sosial
yang dilakukan oleh orang-orang yang diteliti secara kontekstual di mana
peristiwa tersebut terjadi, baik berupa pikiran, emosi, maupun hubungan sosial di
antara individu serta kelompok yang diteliti. Ciri utama untuk melakukan
interpretasi terhadap tindakan sosial mengharuskan tinjauan terhadap motivasi
dan tujuan dari tindakan sosial tersebut. Hal ini harus dilakukan agar pihak yang
membaca hasil penelitian dapat merasakan pengalaman seperti yang dialami oleh
peneliti terhadap situasi yang dikisahkannya. Jadi thick description harus
menyajikan ‘thick interpretation’ atas tindakan-tindakan sosial yang dilakukan
tineliti sehingga dapat memberikan ‘thick meaning’ pada hasil penelitian yang
menjangkau pemahaman sekaligus situasi batin pembaca.
1.7.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian terhadap rap Manggarai dibatasi secara temporal
pada lagu-lagu rap yang beredar pada kurun waktu 2008-2013. Tahun 2008
merupakan tonggak kehadiran rap di Manggarai, sementara batasan tahun 2013
57
diambil berdasarkan asumsi bahwa waktu lima tahun dapat memperlihatkan
dinamika, tren, dan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam musik. Dengan
demikian melalui penetapan kurun waktu 2008-2013 dinamika rap Manggarai
dapat diamati dan dianalisisa dengan baik.
Elemen-elemen rap yang menjadi kajian dalam penelitian ini dibatasi pada
elemen musik dan teks liriknya. Elemen musik dipergunakan untuk mengamati
hibriditas yang terjadi dalam konteks musiknya, sementara teks dipergunakan
untuk menganalisis hibriditas yang terjadi dalam tema, bahasa, dan cara
penyampaiannya. Untuk melihat karakter hibrid dalam musik pada penelitian ini
dilakukan analisis terhadap elemen bunyi bunyi lokal yang menampilkan
kekhasan wilayah Manggarai. Analisis terhadap karakter hibrid dalam teks dilihat
melalui penggunaan bahasa serta penyampaian topik, dan fenomena lokal dalam
narasi para rapper.
Batasan Manggarai dalam penelitian ini meliputi aspek kesatuan geografis
dan kultural. Aspek geografis menunjuk pada wilayah di bagian barat pulau
Flores, 08°.14’ LS - 09°.00 LS dan 120°.20’ BT - 120°.55’° BT dengan luas
wilayah 7. 242 km persegi yang terdiri dari daratan Pulau Flores dan pulau
kecil yaitu Pulau Mules, Pulau Komodo, dan Rinca (BPS Kabupaten Manggarai,
2014a; Hemo, 1988; Dagur, 1997) dengan jumlah penduduk 548.168 jiwa pada
tahun 2000 (BPS Kabupaten Manggarai, 2014b). Kabupaten Manggarai
merupakan kabupaten induk yang mengalami dua kali pemekaran yaitu
Manggarai Barat pada tahun 2005 dan Manggarai Timur tahun 2007. Dalam
wilayah administratifnya, Manggarai mempunyai 11 kecamatan dengan 145 desa
58
dan 17 kelurahan (BPS Kabupaten Manggarai, 2014c). Sebagai sebuah kesatuan,
tiga kabupaten ini terletak di ujung barat pulau Flores yang berbatasan dengan:
Kabupaten Ngada di sebelah timur, Selat Sape di bagian Barat, Laut Sawu di
bagian selatan, dan Laut Flores di sebelah utara.
Tiga kabupaten yang berasal dari satu kabupaten induk ini juga merupakan
satu kesatuan sosiokultural. Ketiga wilayah administratif ini disebut Manggarai
Raya (Regus & Deki, 2011) karena secara umum memiliki kesamaan kondisi
sosial dan budaya meskipun ada beberapa perbedaan bahasa seperti: bahasa
Komodo di Pulau Komodo, bahasa Wae Rana di Manggarai Tenggara, bahasa
Rembong di Rembong yang memiliki kesamaan sampai di wilayah Ngada bagian
utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong, dan
bahasa Manggarai Khusus (Dagur, 1997). Menurut Dorotheus Hemo (1988), yang
dimaksud dengan bahasa Manggarai khusus adalah enam dialek yang terdiri dari
dialek Riung, dialek Manggarai Barat, Dialek Manggarai Tengah, dialek
Manggarai Peralihan, dialek Manggarai Timur, serta dialek S menjadi H (wilayah
Kolang, Pacar, dan Rego), dan dialek C menjadi S (wilayah Riwu dan Manus).
59
Peta1: Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur
Sumber: www. petantt.com
1.7.2 Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif, data dalam penelitian ini
diperoleh dari studi pustaka, observasi, dan wawancara. Data dari studi pustaka
berasal dari sumber berformat audiovisual seperti DVD/VCD, situs internet
(reverbnation dan youtube), dan MP3 serta sumber kepustakaan yaitu buku, jurnal
ilmiah, koran, dan majalah. Data observasi diperoleh dari observasi terhadap acara
musik di radio, televisi, video clip, dan acara-acara musik secara langsung (live
performance), sedangkan data wawancara diperoleh dari informan, baik yang
bergerak dalam bidang musik rap maupun para penggemar musik itu.
Data audiovisual yang berupa musik rap menjadi data primer. Data musikmusik lain yang mencerminkan perubahan sosial seperti jazz, blues, country/folk,
60
dan pop menjadi data sekunder. Data kepustakaan yang berhubungan dengan
musik rap dan perubahan sosial menjadi data pendukung.
Data tentang musik rap di Amerika Serikat dikumpulkan berdasarkan
wilayahnya yaitu rap East Coast diwakili oleh New York dan rap West Coast
diwakili oleh Los Angeles dan San Fransisco. Musik rap Manggarai diambil
secara keseluruhan karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rap
yang berasal dari wilayah Manggarai Barat, Manggarai, atau Manggarai Timur.
Observasi terhadap musik rap Manggarai dilakukan melalui program
musik yang disiarkan oleh radio dan acara-acara yang melibatkan komunitas hip
hop Manggarai. Observasi terhadap program musik radio dilakukan pada RSPD
(Radio Suara Pemerintah Daerah) Manggarai, Lumen 2003 FM, dan Ntala
Gewang FM. Alasan pemilihan ketiga radio adalah RSPD sebagai radio yang
bergelombang AM (Amplitude Modulated) memiliki jangkauan yang luas sampai
ke wilayah pedalaman. Luasnya jangkauan ini berpengaruh terhadap banyaknya
pendengar yang dapat mengakses siarannya. Radio Lumen 2003 dan Ntala
Gewang FM adalah radio milik Keuskupan Ruteng yang beroperasi secara
mandiri menggunakan gelombang FM (Frequency Modulated). Radio dengan
gelombang FM jangkauan siarannya lebih sempit, namun aksesnya lebih mudah
diperoleh dengan menggunakan radio maupun telepon seluler yang mempunyai
program radio. Observasi terhadap acara musik yang dipentaskan secara langsung
(live performance) dilakukan pada acara-acara musik yang rutin dilaksanakan
pada hari-hari besar keagamaan seperti Paskah dan Natal, Tahun Baru, dan
peringatan hari ulang tahun kemerdekaan, maupun pertunjukan insidental yang
61
diadakan dengan dukungan perusahaan tertentu dalam rangka promosi sebuah
produk.
Observasi terhadap musik rap Amerika Serikat dilakukan melalui media
audiovisual seperti televisi, siaran radio live streaming, siaran langsung melalui
internet, serta film-film yang mengangkat tema hip hop atau rap. Observasi pada
media televisi dilakukan terhadap MTV (Music Television) dan stasiun televisi
lain yang mempunyai program musik. Observasi terhadap siaran radio live
streaming dan siaran langsung melalui internet dilakukan pada acara-acara musik,
terutama musik rap.
Data lainnya diperoleh dengan melakukan wawancara. Metode wawancara
yang dipakai adalah wawancara tidak terstruktur (unstructured interview) dan
bersifat terbuka (open-ended). Wawancara dengan metode ini mengajukan
pertanyaan tentang hal yang sama kepada setiap informan, meskipun cara dan
model pertanyaannya dapat bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi saat
dilakukannya wawancara. Informan yang dipilih terdiri dari rapper, anggota
komunitas rap, pengamat musik, penyiar radio, serta penikmat musik rap.
Wawancara terhadap informan dilakukan secara langsung maupun menggunakan
media komunikasi internet seperti Yahoo Messenger, Facebook, dan Skype.
1.7.3 Metode Pengolahan Data
Proses pengolahan data adalah sebuah proses yang dilakukan peneliti
untuk menyeleksi data yang diperoleh dan menempatkannya dalam kelompokkelompok untuk dianalisis guna menjawab rumusan masalah dalam penelitian.
Menurut LeCompte & Schensul dalam Patton,
62
Data analysis is the process of reducing large amount of collected data to
make sense of them. During analysis, data are organized, data are
reduced through summarization and categorization, and patterns and
themes in the data are identified and linked (LeCompte & Schensul dalam
Patton, 1999: 23)
Data studi pustaka yang berupa audiovisual dicatat atau direkam sesuai
dengan
kondisi
sumber
datanya.
Data-data
itu
diidentifikasi
untuk
menggolongkannya dalam data primer atau data sekunder. Masing-masing data
diklasifikasikan menurut tema yang ditemukan peneliti selama proses penelitian.
Data primer yang terdiri dari lagu-lagu Manggarai dipilah berdasarkan bahasa
yang dipergunakan dalam liriknya. Berdasarkan rekaman lagu yang beredar dalam
bentuk CD maupun MP3 dalam internet, rap Manggarai menggunakan dua bahasa
yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Manggarai dan kombinasi di antara keduanya.
Lagu yang menggunakan bahasa Manggarai menjadi kajian utama selain lagu
yang menggunakan bahasa Indonesia dan campuran keduanya. Lagu-lagu rap
Manggarai itu kemudian dikelompokkan lagi berdasarkan temanya yaitu yang
berbicara tentang perubahan sosial dan non perubahan sosial. Lagu yang bertema
perubahan sosial menjadi kajian, sementara lagu bertema non perubahan sosial
tidak termasuk di dalamnya. Hal ini bertujuan untuk menemukan jawaban tentang
definisi rap Manggarai sekaligus melihat potret perubahan sosial yang ada di
wilayah itu.
Salah satu contoh lagu rap Manggarai yang menggunakan bahasa
Manggarai dan menggambarkan kondisi masyarakatnya adalah Benggong. Lagu
ini merupakan adaptasi dari syair masyarakat Manggarai dengan judul yang sama:
63
Benggong - banggong,
mbere lele benggong
Hostiga benggong
rangkang lada benggong
Lako ko toe hi nana lupi nanga
haes teku wae betong
benggong – banggong
Rasung wa...rasung wa
toe ita ende go.... ema go..... betong
benggong – banggong.
Sekarang kita akan berpisah,
(pergi dari tanah asal) menjadi
pesuruhSekarang akan segera pergi
Pada musim bunga lada mekar
Akan pergi atau tidak laki-laki di dekat
pantai
Memikul potongan bambu untuk
menimba air
Saatnya berpisah
Sungguh sedih….sungguh sedih
Tak akan melihat ayah ibu lagi
Saatnya berpisah
Lagu Benggong ini menggambarkan perubahan pola hidup masyarakat
Manggarai dari agraris menjadi masyarakat urban. Dalam kehidupan masyarakat
agraris, orang Manggarai memiliki kedaulatan atas hidup dan tanahnya sendiri.
Kedaulatan ini merupakan sebuah kebanggaan sekaligus perwujudan harga diri.
Kepergian mereka dari tanah asalnya untuk menjadi kaum urban berarti
kehilangan kedaulatan dan kebanggaan atas diri sendiri dengan hanya menjadi
orang upahan atau memperoleh gaji dari orang lain. Dalam pandangan orang
Manggarai, orang upahan atau pesuruh mempunyai konotasi serupa dengan mendi
atau budak. Istilah budak dalam bahasa Manggarai merujuk pada pekerja kasar
tanpa ketrampilan. Perpisahan dengan kampung halaman dan kaum kerabat
menyebabkan kesedihan mendalam karena tercabutnya seseorang dari asalusulnya berarti kehilangan identitas kultural dan menjadi seseorang tanpa akar,
terutama karena kepergian mereka tidak dapat diketahui batas waktunya.
Mobilitas sosial orang Manggarai sebagai kaum urban dapat diartikan sebagai
kematian karena kehilangan jati diri dan terlepas dari komunitasnya. Lagu ini
menunjukkan bagaimana para rapper menggambarkan perubahan konsep hidup
64
masyarakat Manggarai dari petani menjadi buruh di kota-kota besar di luar pulau
Flores.
Data yang berasal dari kepustakaan dibaca dan dibuat katalognya. Data
kepustakaan yang berupa buku, jurnal, majalah baik cetak maupun online, dan
musik sheet disusun berdasarkan tema dan disimpan dalam bentuk catatan keras
(hard copy) maupun catatan lunak (soft copy). Data ini dipergunakan untuk
mendukung data audiovisual untuk melihat transnasionalisasi musik rap Amerika
di Manggarai.
Pengolahan data hasil observasi yang berupa catatan-catatan dilakukan
dengan cara membaca kembali semua catatan, kemudian memilah dan
mengkategorikan catatan-catatan itu berdasarkan tema. Data yang diperoleh dari
proses tersebut kemudian diinterpretasi oleh peneliti. Setiap kategori yang ada
kemudian dihubungkan untuk melihat keterkaitannya. Hasil dari interpretasi itu
dipergunakan untuk mendukung jawaban terhadap permasalahan yang diajukan
dalam pertanyaan penelitian.
Hasil wawancara ditranskripsikan dan dibaca ulang oleh peneliti.
Transkrip itu dipilah-pilah ke dalam jenis-jenis yang berbeda berdasarkan data
yang diberikan oleh informan. Data yang telah dipilah dan diproses itu kemudian
diklasifikasikan berdasarkan tema yang telah ditentukan. Hasil klasifikasi
terhadap data itu kemudian diinterpretasikan agar dapat menyingkap makna
dibalik jawaban-jawaban yang diberikan oleh informan selama dilakukan
wawancara. Hasil interpretasi itu dilakukan untuk mendukung data-data lainnya
guna menjawab pertanyaan penelitian dan mewujudkan tujuan penelitian.
65
1.8 Sistematika Penulisan
Disertasi ini berisi enam bab yang terdiri dari bab I berisi pengantar, latar
belakang permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
serta konsep dan teori yang dipakai untuk melakukan analisis terhadap obyek
kajian. Bagian akhir dari bab ini berisi metode penelitian yang berupa metode
pengumpulan dan analisis data, serta sistematika penilaian.
Bab II berisi perkembangan dan dinamika rap di Amerika. Pembahasan
dalam bab ini meliputi latar belakang munculnya budaya hip hop dan keempat
pilarnya di New York. Dalam perkembangan hip hop yang menyebar ke seluruh
Amerika menimbulkan berbagai dinamika, antara lain persaingan antara
kelompok-kelompok rap di East Coast dan West Coast, munculnya gangsta rap,
dan pusat-pusat rap baru di the Midwest dan the South yang membawa ciri khas
tersendiri dalam genre ini. Perkembangan rap yang didukung oleh media juga
sampai ke wilayah pinggiran yaitu Hawaii. Berbeda dengan rap Amerika Daratan,
komunitas rap Hawaii menampilkan hibriditas melalui bahasa lokal dan musik
tradisional kepulauan itu. Bab ini membahas pula perkembangan rap ke manca
negara dengan bantuan media massa dan film.
Bab III berisi perkembangan rap di Indonesia yang terdiri dari masa awal,
pada masa genre itu masuk dalam industri arus utama, dan ketika melakukan
produksi dengan sistem indie setelah terjadi perubahan tren musik dalam
masyarakat. Bab ini juga membahas bentuk-bentuk apropriasi yang dilakukan
oleh para rapper Indonesia dan reterritorialisasi yang dilakukan untuk
menampilkan identitas kulturalnya.
66
Bab IV berisi keterhubungan antara unsur-unsur tradisional di Manggarai
dengan musik rap sehingga mempercepat proses apropriasi dan popularitas musik
itu di kalangan kaum muda. Bab ini juga membahas tentang komunitas rap
underground yang ada di Manggarai. Termasuk di dalamnya perkembangan musik
itu di tiga wilayah Manggarai Raya dengan pusat-pusat di Borong, Labuan Bajo,
dan Ruteng.
Selanjutnya pada bab V, pembahasan meliputi konsep otentisitas dalam
musik rap Manggarai, konsep rural dan urban, ruang realitas dan imajinasi,
kontestasi antara ruang-ruang itu dalam rap Manggarai, serta bentuk
reterritorialisasi rap Manggarai. Konsep otentitas dibahas untuk melihat
pergeseran yang terjadi dari konsep otentisitas dalam rap Amerika akibat
apropriasi oleh rapper lokal. Konsep rural dan urban yang mempengaruhi
persepsi pendengar dan rapper sehingga menimbulkan ruang-ruang realitas dan
imajinasi, serta kontestasi antara rapper dari dua wilayah itu. Sementara bab VI
berisi kesimpulan dari penelitian ini dan temuan-temuan yang memberikan
kontribusi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan musik
rap dan kajian di wilayah Manggarai.
Download