1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi di abad XX menyebabkan terjadinya penyebaran, reproduksi, hubungan lintas batas, dan integrasi dalam bidang ekonomi, politik, sosial, maupun kultural. Fenomena yang muncul pada pertengahan tahun 1980-an ini adalah gambaran menghilangnya batas-batas geografis yang secara tradisional merupakan teritori suatu bangsa. Aliran ide-ide dan barang-barang, serta mobilitas manusia ke seluruh penjuru mendorong terjadinya relasi global di mana identitas lokal disesuaikan dengan kepentingan di tingkat internasional. Kondisi ini memunculkan konsep transnasional yang merujuk pada bentuk-bentuk interaksi manusia dan berbagai institusi melampaui batas-batas wilayah geografis negara. Salah satu bentuk relasi transnasional yang disebabkan oleh majunya teknologi informasi dan kuatnya pengaruh media massa adalah musik. Amerika Serikat menguasai hampir sembilan puluh persen pangsa musik dunia melalui beberapa korporasi rekaman internasional yang dimilikinya (Negus, 2004). Berbagai aliran musik yang berasal dari Amerika menyebar ke seluruh dunia, salah satunya adalah rap, musik yang berasal dari budaya kaum urban kulit hitam dari wilayah Bronx. Musik ini mengalami difusi dan membentuk musik hibrid akibat perbedaan latar belakang sosiokultural dengan negara yang dipengaruhinya (Bennett, 2001; Montley dan Henderson, 2008; Terkourafi, 2010). Rap yang pada 2 awalnya merupakan ekspresi diaspora dan resistensi masyarakat kulit hitam Amerika terhadap hegemoni budaya yang dominan (Lipsitz 1994; Rose 1994), menurut Mitchell dalam Motley & Henderson (2008) berubah menjadi sarana solidaritas kaum muda dan sarana pembentukan kembali identitas lokal di seluruh dunia. Pada tahun 2007 musik rap yang diperdengarkan melalui radio-radio menarik perhatian khalayak di Manggarai karena beberapa faktor: pertama, musiknya mempunyai irama unik terutama pada bagian yang diisi dengan alat musik perkusi. Kedua, penggunaan Ruteng, ibukota Manggarai sebagai tema dalam beberapa lagu seperti: “Ruteng is the City (Ruteng is d City)”, “Wa Mai Tana”, dan “We are Ruteng Clan”. Ketiga, cara menyanyi dengan mengucapkan lirik secara cepat seperti berpuisi dapat tetap dinikmati oleh pendengar. Fenomena rap Manggarai tidak terlepas dari perkembangan musik di Indonesia antara tahun 1980-1990-an. Selama satu dasawarsa musik Indonesia didominasi oleh lagu populer dengan lirik melankolis atau lebih dikenal dengan istilah “lagu cengeng”. Meskipun pada kenyataannya terdapat terdapat pemusik yang memiliki ciri-ciri berbeda dengan arus utama seperti Godbless, Iwan Fals, serta Dewa 19 atau oleh beberapa peneliti disebut sebagai Ahmad Band (Boden, 2005; Wallach, 2008). Rap, punk dan hard rock mencapai popularitas di tahun 1980-an karena liriknya bertema kritik terhadap pemerintah yang berkuasa. Rap menarik perhatian masyarakat karena pernyataan B.J. Habibie, yaitu Menteri Riset dan Teknologi, bahwa musik ini kasar dan tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa. Pernyataan 3 Habibie disanggah oleh para rapper yang menganggap rap cocok untuk menyampaikan aspirasi masyarakat, dalam hal ini kaum muda, demi terciptanya lingkungan serta identitas sosial yang berbeda serta menolak identitas atau perilaku sosial yang dipaksakan oleh pemerintah atau kelompok-kelompok sosial yang mendominasi dalam masyarakat (Boden, 2005). Rap yang pertama kali dipopulerkan oleh Iwa K. dan Denada kemudian menyebar ke seluruh Nusantara. Penyanyi dan kelompok musik rap muncul di daerah-daerah dengan menggunakan identitas lokal seperti bahasa, warna musik, lirik, serta gaya berpakaian. Menurut hiphopindo.net, pulau Jawa menjadi pusat perkembangan rap berdasarkan banyaknya kelompok atau perorangan yang menjadi musisi rap (Allin, 2011b). Luasnya wilayah penyebaran musik rap di Indonesia terlihat dari peserta acara National Rap Competition 2013. Tercatat 52 rapper dari 29 provinsi mengikuti kompetisi yang diadakan oleh BKKBN dalam rangkaian hari AIDS Sedunia. Para rapper tersebut berasal dari Maluku Utara, Banten, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Banten, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau (Hiphopindo, 2013). Besarnya pengaruh musik sebagai salah satu produk seni terhadap masyarakat dapat dirunut sejak masa Yunani Kuno. Plato dalam bukunya Republic menekankan perlunya pelarangan terhadap segala bentuk komposisi musik yang keluar dari bentuk aslinya, berupa inovasi-inovasi baru, karena dapat membahayakan negara secara keseluruhan, karena, “When modes of music 4 change, the fundamental laws of the state always change with them” (Askew, 2003: 26) Pandangan Plato disetujui oleh Moisala dan Diamond dalam Lemos, yang berpendapat bahwa sebagaimana struktur dan perubahan teknologi membentuk kehidupan sebuah masyarakat, musik selalu menjadi penyuara bagi perubahan-perubahan tersebut (Lemos, 2001). Musik adalah tindakan seni yang dapat menembus berbagai perbedaan seperti usia, jaman, dan situasi, selain itu juga menjembatani sejarah, geografi, lokasi, dan budaya (Tekman, Boer, & Fischer, 2012). Menurut Street, Hague dan Savigny (2007), musik berfungsi mendorong dan menampilkan perubahan dalam masyarakat. Musik menjadi faktor pendorong jika tindakan bermusik dapat mengubah pandangan dan tindakan banyak orang, contohnya konser Live 8 yang digelar oleh Bob Geldof di Inggris pada tanggal 2 Juli 2005. Konser ini secara signifikan membuat para pemimpin G8 (The Group of Eight) yaitu Perancis, Jerman, Canada, Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Italia, dan Inggris mempertimbangkan untuk menghapuskan hutang negara-negara dunia ketiga. Kemunculan budaya hip hop sebagai induk dari musik rap tidak terlepas dari kondisi Amerika pada tahun 1950-1960-an. Peristiwa fundamental yang mengubah kondisi hubungan rasial adalah Civil right movement. Gerakan yang dimotori oleh tokoh-tokoh agama maupun para penggiat hak-hak sipil ini mengajukan tuntutan agar warga kulit hitam mendapat persamaan sosial dan politik seperti warga kulit putih. Kematangan gerakan Civil Right pada tahun 1960-an karena strategi dan metode gerakan yang terorganisir secara nasional 5 serta munculnya beberapa tokoh karismatis seperti Dr. Martin Luther King dari S.C.L.C (Southern Christian Leadership Conference), Medgar Evers, Elijah Muhammad dan Malcom X dari Nation of Islam. Gerakan-gerakan ini melahirkan kebijakan-kebijakan baru yang menguntungkan masyarakat kulit hitam, meskipun dalam prakteknya hubungan rasial antara berbagai etnis tidak mengalami banyak kemajuan. Di tengah perjuangan memperoleh persamaan hak sipilnya, Kool Herc, memperkenalkan cara bermusik yang melahirkan budaya hip hop. Herc mengundang para penganggur dan anggota geng yang rawan terhadap tindak kriminal untuk menyalurkan energinya melalui pesta blok dan kompetisi break dancing. Kompetisi tarian ini menarik perhatian kaum muda karena identitas seseorang diakui dan dikenal melalui arena perlombaan. Di tahun 1980-an rap berkembang menjadi genre musik baru yang mendominasi Amerika. Rap yang awalnya menjadi corong kehidupan masyarakat kulit hitam berubah menjadi kekuatan untuk menyuarakan berbagai konflik yang ada dalam masyarakat. Tricia Rose mengatakan, Rap music brings together a tangle of some of the most complex social, cultural and political issues in contemporary American Society. Rap’s contradictory articulations are not signs of absent intellectual clarity; they are common features of community and popular culture dialogues that always offer more than one cultura,l social, or political viewpoint.” (Rose, 1994: 2). Menurut Bennet (2004), ada beberapa faktor yang menyebabkan rap mencapai popularitas di seluruh dunia: pertama, konsepnya yang dikemas sebagai komoditas global sehingga mudah diakses oleh kalangan muda. Kedua, bentuk 6 musiknya yang ekletik mudah diadaptasikan pada berbagai budaya. Ketiga, format lirik dan cara mempertunjukkannya berbeda dari genre lain sehingga potensial untuk menyuarakan aspirasi dan menggambarkan kondisi masyarakat. Keunikan rap memudahkan penyesuaian dan interpretasi kultural seturut kelompok yang mengadopsinya (Bennet, 2004; Motley dan Henderson: 2007; Codry: 2007). Rap di Italia dan Jerman dipergunakan untuk mendiskusikan masalah-masalah rasisme dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Rapper Maori dari New Zealand melakukan kampanye penghormatan terhadap hak-hak penduduk asli yang ada di seluruh dunia. Kaum muda dari etnis minoritas di Swedia menggunakan rap sebagai bentuk resistensi kolektif terhadap kelompok white skinhead, yaitu subkultur musik yang mempunyai ideologi anti imigran dan anti semitis. Tema rap Irlandia adalah tingginya tingkat pengangguran, para rapper Newcastle upon Tyne Inggris berbicara tentang kehidupan kaum pekerja kelas menengah dan kultur Geordie, dan kalangan muda di Eropa Timur, mendengarkan dan menyanyikan rap sebagai bentuk counter-culture terhadap budaya lokal yang bermuatan politis. Kesuksesan Lipooz dan Rapublic Ruteng Clan (R.R.C.) memproduksi beberapa lagu single tak terlepas dari bentuk budaya hip hop yang mulai dikenal oleh masyarakat di wilayah Manggarai melalui media elektronik, cetak maupun internet (Allin, 2012c; SanDre, 2012). Atribut hip hop seperti celana baggy, perhiasan mencolok, serta bandana atau topi yang dipakai secara terbalik menunjukkan pengaruh budaya itu dalam masyarakat. Banyak pelajar Sekolah Menengah Pertama mengubah model celana seragamnya menjadi serupa dengan 7 jeans sepinggul berukuran panjang melebihi lutut dan celana baggy bagi pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas. Unsur graffiti juga muncul, corat-coret pada tembok itu menunjukkan kelompok-kelompok anak muda dari wilayah tertentu. Lagu-lagu rap bercampur dengan pop daerah dan musik era 1980-an terdengar, baik melalui angkutan kota maupun pedesaan. Keberhasilan Lipooz memasuki pangsa pasar nasional dengan penjualan RBT (ringback tone) lagu-lagunya melalui salah satu operator seluler menjadi indikator perhatian masyarakat terhadap rap. Selain Lippoz terdapat musisi atau penyanyi rap Manggarai lain yang tergabung dalam berbagai kelompok di antaranya : RRC (Rapublic Ruteng Clan), RBC (Reo Beat Community), Peace Waelengga, Boys of West Manggarai, dan lain-lainnya. Terdapat lebih dari 15 orang penyanyi rap Manggarai yang telah mengeluarkan single. Jumlah ini menjadi dua kali lipat jika kelompok rap Manggarai yang berdomisili di luar Manggarai digabungkan ke dalamnya. Para rapper Manggarai secara kelompok maupun individu, telah melakukan kolaborasi dengan musisi lokal maupun nasional (Allin, 2012c). Melalui kolaborasi itu mereka dapat memperoleh perhatian dari lingkungan yang lebih luas dengan kesempatan melakukan tour ke Surabaya, Denpasar, dan Balikpapan. Hibriditas rap di berbagai negara telah banyak diteliti, namun kajian tentang hibriditas yang terdapat dalam musik rap di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur, belum pernah dilakukan. Penelitian rap Manggarai ini penting dilakukan untuk melihat perkembangan musik di Indonesia, adaptasi budaya asing terhadap budaya lokal di Indonesia, sekaligus 8 fenomena perubahan sosial di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Hibriditas yang terjadi dalam rap Manggarai dapat menjadi sumber informasi bagi berbagai kajian tentang hubungan musik global dan lokal, kontestasi yang terjadi di dalam ruang-ruang musik lokal, serta bentuk-bentuk negosiasi yang dilakukan oleh pemusik lokal untuk menyesuaikan musik global dengan selera lokal. 1.2 Rumusan Masalah Kepopuleran musik rap di Manggarai menjadi sebuah fenomena yang harus dicermati. Genre baru yang populer di kalangan anak muda itu tidak hanya berpengaruh terhadap selera musik, tetapi juga penampilan penggemarnya. Atribut hip hop yang dipakai oleh rapper menjadi tren di antara mereka. Pada awalnya rap dipakai sebagai alat untuk berbicara tentang hubungan rasial, kekerasan oleh aparat negara, kondisi lingkungan, nasionalisme ras oleh orang kulit hitam di Amerika Serikat. Musik rap adalah penghubung dan bentuk ekspresi mereka terhadap kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya musik rap mengalami difusi dan reinterpretasi sesuai dengan konteks lokalitasnya. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan dan dinamika musik rap Amerika? 2. Mengapa terjadi apropriasi musik rap Amerika di Indonesia? 3. Mengapa terjadi hibriditas budaya Amerika di Manggarai? 9 1.3 Tujuan Penulisan disertasi ini mempunyai beberapa tujuan: 1. Mengungkap dan memaparkan bagaimana perkembangan rap Amerika dan Indonesia. 2. Menganalisis secara kritis persamaan dan perbedaan antara rap di Indonesia, serta melihat bentuk hibriditas yang terjadi dalam musik itu. 3. Menganalisis secara kritis konstruksi ruang-ruang realitas dan imajinasi dalam rap Manggarai dan tujuan konstruksi ruang-ruang itu oleh para rapper. 4. Menganalisis secara kritis reterritorialisasi kultural yang dilakukan oleh para rapper Indonesia secara umum dan khususnya Manggarai untuk menyesuaikan diri dengan selera masyarakat lokal. 1.4 Manfaat a. Manfaat Teoretis 1. Penggunaan pendekatan transnasional Pengkajian Amerika dalam penelitian hibriditas musik pada rap Manggarai ini memberikan kontribusi pada penelitian dengan pendekatan serupa, khususnya dalam penelitian tentang musik dan budaya populer yang berasal dari Amerika. 2. Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi untuk penelitian tentang musik di Indonesia, terutama musik hibrid, hubungan antara elemen-elemen lokal dan global yang memungkinkan terjadinya hibriditas, serta hubungan musik dan perubahan sosial. 10 b. Manfaat Praktis 1. Penelitian tentang hibriditas rap ini berguna bagi pihak-pihak yang melihat hubungan saling mempengaruhi antara musik lokal dan global, bentuk-bentuk adaptasi musik global terhadap pangsa lokal, dan upaya para rapper memasukkan unsur budaya lokal dalam format musik global. Pemahaman terhadap hal-hal di atas diharapkan dapat meningkatkan apresiasi terhadap musik rap di Indonesia. 2. Penelitian ini memperbanyak referensi tentang Manggarai, terutama musik populer dan dinamika masyarakatnya, sehingga dapat dipergunakan oleh para peneliti lainnya yang mengkaji musik Manggarai dan perubahan sosial dalam masyarakatnya yang tercermin dalam musik populer. 1.5 Tinjauan Pustaka Seni tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena salah satu fungsi seni adalah menjadi refleksi atas kondisi masyarakat. Seni merupakan bentuk ekspresi individu maupun kelompok di dalam masyarakatnya, sehingga dinamika kehidupan mereka tercermin dalam karya seninya. Meskipun demikian, seni juga dapat mengubah sebuah kondisi dan mendorong perubahan sosial, seperti penelitian Bradley dan Esche (2007) serta Tekman, Boer, dan Fischer (2012). Bradley dan Esche bicara tentang peran artis dalam berbagai perubahan sosial, Sementara Tekman, Boer, dan Fischer membahas arti musik sebagai sebuah sistem interaksi. Dari dua penelitian itu dapat disimpulkan bahwa arti musik hanya dapat ditemukan dalam konteks hubungan antara individu-individu dalam 11 sebuah kelompok, sebab interpretasi terhadap musik hanya dapat terjadi setelah adanya interaksi. Asumsi-asumsi Bradley dan Esche (2007), serta Tekman, Boer, dan Fischer (2012) didukung oleh berbagai teori dari para peneliti lainnya. Mereka menyampaikan konsep-konsep relasional antara hubungan antar individu dan interpretasi terhadap musik. Kelemahan dari gagasan yang disampaikan adalah konsep-konsep itu belum diaplikasikan secara nyata melalui penelitian lapangan, sehingga menimbulkan tinjauan kritis dari peneliti lainnya karena sesuatu yang dianggap sahih secara umum belum tentu cocok bagi masyarakat tertentu. Ketidaksahihan itu disebabkan oleh interpretasi masyarakat terhadap karya musik selalu berbeda-beda, tak hanya berdasarkan hubungan antar individu, melainkan karena latar belakang budaya dan asal-usul musik yang diinterpretasikan. Musik lokal pasti memperoleh tanggapan yang berbeda dengan musik yang masuk melalui kontak-kontak kebudayaan. Dengan tinjauan transnasional dalam riset ini, dapat terlihat bagaimana masyarakat sebuah wilayah berusaha menginterpretasikan musik dari negara lain sesuai dengan budaya lokal. Kajian musik dan perubahan sosial yang dilakukan oleh Street, Hague, Savigny (2007) menampilkan pemikiran bahwa musik dan musikus dapat menciptakan bentuk partisipasi politik. Mereka mengatakan bahwa dalam melakukan observasi terhadap peran musik dan musikus dalam bidang politik, para peneliti perlu menaruh perhatian yang proporsional terhadap keduanya. Sementara untuk menghubungkan dua bidang itu, mereka tidak boleh hanya memperhatikan konteks musik secara umum, namun juga harus memperhatikan 12 hal-hal yang bersifat khusus bagi kedua belah pihak. Pendapat Street, Hague, Savigny mirip dengan pendapat (Nattiez, 1990) yang mengatakan bahwa “meaning exists when an object is situated in relation to a horizon”, arti dari sebuah obyek tampak tidak hanya bagi penerimanya tetapi juga bagi pembuatnya. Pemikiran Street, Hague, Savigny dan pendapat Nattiez memberikan pemahaman yang mendalam tentang arti musik bagi masyarakat pemiliknya, tetapi penelitian ini tak menyinggung masyarakat tertentu secara khusus terutama di wilayahwilayah yang berada di luar musik Barat, atau yang dipengaruhinya. Penelitian tentang musik populer yang berhubungan dengan budaya suatu etnis dan fungsinya dalam masyarakat dilakukan oleh Peretti (2011), Askew (2003), serta Abbott dan Seroff (2001). Peretti membicarakan diaspora Afrika dalam berbagai jenis musik kulit hitam baik di Amerika Latin, Karibia, serta Amerika Serikat. Abbot, dan Sheroff membahas munculnya berbagai jenis musik kulit hitam sebagai upaya menghidupkan kembali budaya Afrika pada masyarakat kulit hitam di Amerika. Sementara Askew menunjukkan signifikansi seni dalam politik dan perubahan sosial di wilayah berbahasa Kiswahili di Afrika Timur, di mana musik dan lagu tradisional di Afrika Timur dipergunakan oleh para artis pribumi untuk melakukan kritik terhadap pemerintah kolonial Inggris tanpa dapat disensor karena penggunaan bahasa yang hanya dapat diinterpretasikan dalam konteks budaya negara-negara kawasan itu dan oleh orang yang berbahasa lokal. Empat tulisan di atas menunjukkan bagaimana musik dipergunakan oleh ras, bangsa, atau golongan tertentu untuk menyampaikan protes dan perlawanan terhadap golongan yang berkuasa atau pemerintah kolonial. Namun para 13 penulisnya tidak menunjukkan unsur-unsur masyarakat tertentu yang dominan melakukan protes dengan menggunakan musik. Padahal dalam kenyataannya motor penggerak perubahan dalam sebuah masyarakat biasanya berasal dari golongan tertentu seperti kelompok terpelajar atau kaum muda. Penelitian yang dilakukan oleh Bennet (2001) dan Roy (2010) memandang musik sebagai bagian dari struktur masyarakat sehingga keberadaannya menjadi bagian tak terpisahkan dari strukturnya. Bila terjadi kegoncangan akibat tidak berfungsinya salah satu bagian, maka musik dapat dipergunakan sebagai alat untuk mendorong terjadinya perubahan. Tulisan Bennet dan Ray menggunakan musik country dan pop tanpa mencantumkan wilayah tertentu dalam kajiannya. Hal ini berbeda dengan penelitian yang mengambil Manggarai sebagai lokasi kajian dan musik rap sebagai obyek kajian. Hip hop sebagai ekspresi nasionalisme orang kulit hitam di Amerika Serikat menjadi salah satu obyek kajian para peneliti. Tulisan Decker (1993), Gladney (1995) dan Kitwana (2002) menyoroti gerakan budaya hip hop di kalangan masyarakat urban kulit hitam, sementara Keil (1991), Henderson (1996), Hess (2005; 2010) dan Trapp (2005) mencermati nasionalisme kulit hitam dalam arti filosofis. Tulisan tentang hip hop yang menyoroti kedudukan kaum muda dan sikapnya menghadapi kondisi urban dilakukan oleh Chan (2005), Hess (2005), Persaud (2011), dan Smitherman (1997). Mereka memaparkan kehidupan kaum muda kulit hitam di perkotaan yang sering mengalami perlakuan diskriminatif oleh aparat keamanaan, ancaman kriminalitas, sekaligus hidup dalam kondisi yang sangat buruk di lingkungan ghetto. Kelompok pemuda inilah yang menjadi 14 pelopor budaya hip hop melalui keempat pilarnya: MCing, DJing, Break Dancing, dan Grafitti Writing. Sejarah perkembangan musik kulit hitam menjadi salah satu obyek kajian para ahli (Alridge & Stewart, 1995; Banfield 2010 ; Becker 1993 ; Briggs, Jr. 1993 ; Guthrie 2003 ; Morgan & Bennett, 2011). Musik kulit hitam yang dibahas meliputi work song, blues, jazz, hingga rap. Selain berbicara tentang musiknya, mereka juga berbicara tentang kondisi-kondisi yang membentuk karakter para pendukung musik itu. Berbeda dengan para ahli di atas, Sullivan (2003) membahas sejarah musik rap dari faktor lingkungan yang memunculkan budaya hip hop. Menurutnya tekanan lingkungan menjadi salah satu faktor yang mendorong kemunculan musik rap di Amerika Serikat. Para penulis di atas menitikberatkan pada sejarah perkembangan musik rap dan pandangan filosofis di balik nasionalisme kulit hitam di Amerika Serikat. Tulisan-tulisan itu memberi banyak informasi tentang pentingnya rap di kalangan masyarakat urban kulit hitam, terutama sebagai bentuk kreativitas untuk menyampaikan pandangan politik dan kritik terhadap penguasa. Meskipunn demikian ruang lingkup penelitiannya masih terbatas pada komunitas-komunitas rap di Amerika. Rap sebagai identitas kultural terdapat dalam tulisan Hess (2005), Jenkins (2011), Jalata (2002), dan Kubrin (2005). Rap tidak hanya sebagai musik yang menghibur dan menghasilkan keuntungan bagi para industrialis musik, tetapi dipergunakan oleh kaum muda sebagai bagian dari identitas mereka. Identitas itu berkaitan dengan budaya jalanan, kebebasan dari kungkungan status quo, dan 15 perlawanan terhadap ketidakadilan. Identitas mereka sebagai warga kulit hitam berhubungan dengan nasionalisme kulit hitam, sebuah gerakan yang mengajak kembali pada akar budaya nenek moyang yang berasal dari Afrika. Tricia Rose (1994) menunjukkan bahwa musik rap adalah bentuk budaya Amerika yang berasal dari pengalaman hidup masyarakat Afro-Amerika di perkotaan, atau biasa disebut kaum urban. Interaksionisme simbolik dipergunakan untuk menganalisis hubungan antar individu di antara kaum muda sehingga memungkinkan keberhasilan tokoh-tokoh hip hop mengumpulkan kaum muda untuk dilibatkan dalam kultur hip hop. Karya Rose banyak diacu oleh para penulis budaya hip hop karena analisisnya yang mendalam tentang unsur-unsur dan ideologi dalam musik ini. Pandangan Rose berbeda dengan Persaud (2011) yang mengatakan bahwa rap adalah bentuk komunikasi naratif yang berbeda dari pengalaman sejarah keturunan Afrika. Rap yang telah menjadi musik global tidak menekankan aspek-aspek yang berhubungan dengan sejarah bangsa kulit hitam di Amerika, tetapi mengakomodasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum muda di seluruh dunia. Buku Rose menjadi salah satu referensi utama dalam penyusunan disertasi ini untuk melihat ideologi yang ada pada rap, sementara konsep pemikiran Persaud membuka peluang untuk mencermati perubahan orientasi para rapper di luar Amerika tentang otentisitas musiknya. Sebagai lagu yang mengandalkan pada kekuatan lirik, keberhasilan lagu rap tak bisa lepas dari kemampuan menyampaikan ide dengan menggunakan syair yang berirama, berima, dan sekaligus ketrampilan bermain kata-kata (Alim, 2006; Bradley, 2009 ; Escher & Rappaport, 2006). Lirik lagu-lagu rap bukan hanya 16 permainan kata dengan rima yang sesuai, namun juga sebuah story telling (penceritaan) akan kehidupan penulisnya dan lingkungan masyarakat kulit hitam secara umum (Price III, 2006). Bahkan para rapper perempuan menjadikan musik rap sebagai alat untuk melakukan perlawanan pada dominasi maskulinitas serta misogynic (pelecehan terhadap perempuan) yang terdapat dalam lirik-lirik rap seperti aliran gangsta dan hard rap (Thomas, 2009). Analisis terhadap lirik lagulagu rap kebanyakan dilakukan dengan pendekatan lingusitik menggunakan teori semiotik. Dalam analisis ini para peneliti melihat bagaimana sebuah lirik lagu dimanfaatkan oleh para pembuatnya untuk menularkan pandangan dan pemikirannya kepada khalayak. Lirik rap tak hanya membuka pemahaman baru terhadap hubungan rasial dan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat urban kulit hitam namun juga memberikan edukasi dan penyadaran terhadap feminisme dan identitas rasial. Penelitian yang menggunakan teori semiotika ini menganalisis teks-teks yang ada pada syair musik rap dan melepaskannya dari unsur-unsur non teks. Sementara penelitian ini lebih menekankan pada unsurunsur non teks yang akan digali menggunakan metode thick description. Penelitian tentang musik di Indonesia belum banyak dilakukan. Dari beberapa penelitian yang ada, mayoritas obyek kajiannya adalah musik tradisional atau hibriditas musik tradisional dan modern antara alat musik dan lagu-lagunya (Supanggah, 2003; Sutton, 2010). Kajian hibriditas lainnya berupa kajian tentang musik modern yang dipadukan dengan tarian tradisional untuk menggantikan musik tradisional (Barendregt & Zanten, 2002). Penelitian musik tradisional juga tersegmentasi berdasarkan wilayahnya. Penelitian musik tradisional Sunda ketuk 17 tilu dilakukan oleh Williams (1990) sedangkan kajian tentang musik pengiring tarian Jaipongan dilakukan oleh Manuel & Baier (1986). Tak berbeda jauh dari kajian tentang musik tradisional Sunda, kajian tentang struktur musik Jawa Timur juga menekankan pada unsur musik daripada musik sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakatnya (Sunardi, 2010). Kajian tentang musik Indonesia modern dilakukan oleh beberapa ahli dari luar Indonesia (Weintraub: 2008; Wallach: 2001; Wallach: 2005; Wallach: 2008). Weintraub membahas musik, tarian, dan lirik-lirik bernuansa Islam yang berkembang pesat setelah berakhirnya Orde Baru. Wallach mengkaji musik Indie dengan mengambil contoh band-band underground yang ada di Jakarta dan Bandung, fenomena Skadut yaitu perkawinan antara musik ska dari Amerika Latin dengan dangdut, serta musik populer di Indonesia secara umum mulai dari pop, rock, underground, hingga dangdut. Munculnya berbagai aliran musik ini menurut Wallach tidak terlepas dari permintaan pasar. Ska kebanyakan disukai oleh golongan menengah dengan pengetahuan musik yang lebih luas dan ekonomi yang mapan. Sementara dangdut banyak disukai oleh masyarakat kelas bawah. Perkawinan antara kedua musik tersebut memperluas pangsa pasar sekaligus mengakomodir dua kelas dengan kemampuan ekonomi dan pengetahuan musik yang berbeda. Pop dan rock disukai oleh berbagai kalangan, walau pangsanya kebanyakan anak-anak muda dan kelas menengah, sementara underground mempunyai komunitas sendiri yang cenderung eksklusif. Penelitian tentang fenomena hibriditas budaya dilakukan oleh Mc Intos (2001) di Bali. McIntos melihat maraknya penggunaan irama disco sebagai pengiring tarian di wilayah 18 Denpasar. Anak-anak dan remaja memadukan musik pop Barat dengan tarian tradisional maupun dangdut yang disebut dengan ‘disco dance’. McIntos menyatakan bahwa pengaruh dari luar dapat diterima oleh masyarakat Bali karena dikombinasikan dengan budaya lokal. Penelitian para ahli di atas sudah membicarakan tentang apropriasi dan adaptasi musik Barat di Indonesia. Musik-musik itu bertransformasi menjadi bentuk baru untuk menyesuaikan diri dengan konsumen lokal. Hibriditas antara musik global dan lokal terjadi pula dalam rap, tetapi topik tentang keberadaan musik yang populer sejak pertengahan tahun 1990-an itu belum banyak dikaji. Obyek lainnya yang menarik perhatian para peneliti adalah musik dan budaya populer di Indonesia pasca rezim Orde Baru (Heryanto, 2012; Raden, 2006). Buku Heryanto merupakan kumpulan tulisan tentang budaya pop di Indonesia mulai dari musik, acara televisi, hingga film. Para penulis dalam buku ini berusaha melihat perubahan yang terjadi pada ranah pop setelah jatuhnya rezim Orde Baru di akhir tahun 1990-an. Berbeda dengan Heryanto, analisis Raden menggambarkan perkembangan musik pop yang pesat justru di masa krisis moneter menghantam Indonesia. Dalam risetnya, Raden melihat bahwa perkembangan musik pop tidak berkorelasi dengan kondisi ekonomi. Pada masa stabilitas ekonomi di era Soeharto bentuk-bentuk kreatifitas bermusik dibatasi sehingga dinamikanya tidak begitu terlihat, namun dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan setelah kejatuhan rezim itu, justru terdapat proyek-proyek musik raksasa yang dimotori oleh pihak swasta dan didukung pemerintah, seperti pergelaran Megalitikum-Kuantum oleh Rizaldi Siagian. 19 Satu-satunya kajian tentang musik rap di Indonesia dilakukan oleh Boden (2005a; 2005b). Penelitian Boden mengambil skop temporal 1998-2000, yaitu masa setelah keruntuhan Orde Baru di wilayah Jawa dan Bali. Sebagai musik alternatif, rap Indonesia banyak memotret kehidupan sosial masyarakat di sekeliling para penciptanya. Lebih lanjut, Boden menyatakan bahwa musik rap Indonesia dapat diterima oleh khalayak karena bentuknya merupakan percampuran dari berbagai musik lain seperti rap-punk, rap-metal, dan rap-rock. Penelitian Boden mempunyai obyek material yang sama dengan disertasi ini, tetapi perbedaan yang paling menonjol adalah pemilihan lokasi dan skop waktu yang berbeda, serta pendekatan transnasional dalam pengkajian Amerika untuk meneliti rap yang ada di Indonesia. Kajian dan buku tentang Manggarai mayoritas berbicara tentang asal-usul suku-suku, keragaman adat istiadat, kronologi perpindahan pusat pemerintahan dari Todo-Pongkor ke Ruteng pada masa pemerintah kolonial Belanda, serta munculnya bentuk pemerintahan modern berdasarkan sistem kolonial dan selanjutnya berubah ke sistem pemerintahan sesudah kemerdekaan (Hemo, tanpa tahun terbit; Janggur, 2008; Toda, 1999). Beberapa buku berusaha menginventarisir budaya lokal yang mulai tergerus jaman (Dagur, 1997; Regus dan Deki eds., 2011) dengan cara menggali dan menghimpun berbagai corak kebudayaan Manggarai yang berupa sistem religi, bahasa, teknologi, organisasi sosial, dan kesenian. Kajian antropologis tentang Manggarai dilakukan oleh Maribeth Erb (1991; 1999) serta J.A.J Verheijen dan J. Glinka (Hagul & Lana, 1989). Erb 20 melihat bahwa rumah adat adalah pusat kehidupan masyarakat karena menunjukkan komitmen pada masa lalu dan membedakan satu masyarakat dengan lainnya. Ragam kesenian tradisional yang mempunyai peran kultural hanya dibahas secara sepintas beranekaragamannya budaya karena luasnya Manggarai cakupan akibat kondisi penelitian dan geografis dan topografisnya. J.A.J Verheijen dan J. Glinka lebih menyoroti watak dan perilaku manusia Manggarai dan perubahan yang terjadi dalam hubungannya dengan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah di hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat. Perubahan itu terjadi akibat dorongan dari luar yaitu metode pembangunan dari pusat, namun dalam pelaksanaannya tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Hal itu menyebabkan tidak ada kesadaran dari masyarakat untuk melakukan pembangunan secara berkelanjutan. Disertasi ini berbicara tentang hibriditas musik Manggarai akibat kontak yang terjadi dengan budaya dari luar. Hibriditas yang tampak dalam rap Manggarai merupakan perpaduan antara format musik global dengan unsur lokal yang dimasukkan oleh para penciptanya. Selain itu kajian rap Manggarai ini juga melihat korelasi antara musik dan perubahan sosial yang terjadi di wilayah itu. 1.6 Kerangka Teoretis Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas dipergunakan pendekatan interdisipliner dalam Pengkajian Amerika. Pendekatan interdisipliner menggunakan berbagai konsep dan metode dari berbagai disiplin ilmu. Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan sejarah, sosiologi, dan musik. 21 Pendekatan sejarah dipergunakan untuk melihat asal-usul musik rap dan proses perkembangannya di Amerika Serikat. Pendekatan ini juga bermanfaat untuk melihat bagaimana musik tersebut menyebar ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, serta perkembangannya di beberapa wilayah, termasuk Manggarai. Pendekatan sosiologi dipergunakan untuk melihat fenomena perubahan yang ada di Manggarai tahun 2008-2013. Pendekatan ini juga efektif untuk mengungkap dinamika sosial di Manggarai yang selama ini jarang diteliti. Perubahan-perubahan yang terjadi kemudian dihubungkan dengan penikmat musik rap yang kebanyakan berasal dari kalangan anak muda. Oleh sebab itu pendekatan sosiologi dapat pula dimanfaatkan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan kritik kaum muda terhadap perubahan yang terjadi di kalangan mereka sendiri maupun masyarakat pada umumnya dalam format rap. Untuk mengetahui fungsi musik dalam kehidupan tradisional Manggarai dan perannya untuk mendorong dan menciptakan perubahan digunakan studi musik. Dalam analisa tentang fungsi dan peran musik dipergunakan metode kualitatif dalam musik yang mirip dengan metode interpretif dalam ilmu-ilmu sosial. Berbagai pendekatan dan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini diaplikasikan secara simultan. Pengaplikasian secara simultan ini disesuaikan dengan analisis yang dilakukan terhadap obyek kajian. Dengan menggunakan berbagai teori dan pendekatan dari disiplin ilmu lainnya, aspek-aspek yang dikaji dalam musik rap Manggarai dapat dipaparkan dengan mendalam. 22 Terdapat beberapa konsep yang terkait dengan materi penelitian ini. Konsep-konsep itu adalah: transnasional, hibriditas budaya, musik rap, kontestasi, dan cultural reterritorialization. Untuk memperjelas, penulis memaparkannya sebagai berikut: 1.6.1 Transnasional Pengkajian Amerika Transnasionalisme adalah gerakan baru dalam lingkup studi interdisipliner pengkajian Amerika. Gerakan ini muncul akibat tantangan multikulturalisme yang menguat selama dua dasawarsa terakhir. Transnasionalisme mempertanyakan Amerika sebagai sebuah entitas utuh (Gross, 2000). Gerakan intelektual ini mengasumsikan dunia tak berbatas atau mempunyai batas-batas yang fleksibel di mana aliran barang, ide-ide, dan manusia dapat bergerak secara mudah di antara batas-batas negara. Menurut Gross, pertanyaan yang dikemukakan oleh Hector St. Jean de Crevecoeur, “What is this American, this new man?” (Gross, 2000: 378) menjadi dasar dari pemikiran transnasional dalam pengkajian Amerika. Janice Radway (1999) melihat dua tradisi pemikiran dalam pengkajian Amerika. Tradisi utama yang mendominasi para pemikir Amerika adalah American exceptionalism. Konsep ini muncul dalam Paradigm Drama yang ditulis oleh Gene Wise. American exceptionalism mengasumsikan bahwa American Mind yang merupakan pengalaman bangsa Amerika (American experience) bersifat homogen dan menjadi entitas tunggal meskipun bersifat kompleks dan terdiri dari berbagai tingkatan. American Mind menurut Wise secara teoritis terdapat dalam benak setiap bangsa Amerika, namun secara khusus 23 hal itu terlihat pada konsep pemikiran pemimpin dan intelektual Amerika yang berkulit putih. Konsep American exceptionalism secara tradisi berakar dari dua dokumen bersejarah yaitu Farewell Address (1796) dari Presiden George Washington dan Monroe Doctrine (1823) yang dikeluarkan oleh Presiden James Monroe (Rowe, 2000). Washington memperingatkan Amerika yang baru saja berdaulat sebagai sebuah negara untuk melepaskan diri dari hubungan dengan kepentingankepentingan bangsa Eropa. Sementara Monroe Doctrine berisi peringatan Amerika terhadap negara-negara Eropa untuk melepaskan klaim mereka terhadap negara-negara bekas jajahan di Amerika Utara dan Selatan serta tidak terlibat pada urusan-urusan di wilayah itu. Di samping arus pemikiran utama itu, terdapat pula tradisi pemikiran alternatif yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, kegiatan politik, serta produk-produk kultural kelompok minoritas (López, 2010 ). Konsep ini melihat hubungan antara kelompok-kelompok minoritas dengan komunitasnya yang bersifat internasional maupun lokal. Hubungan-hubungan ini kadang lebih bersifat politis daripada mengenai wilayah atau teritorial. Konsep Amerika menurut kelompok-kelompok minoritas ini tampak dalam tulisan Jose Marti berjudul Nuestra America. Menurut Marti, kultur Amerika tidak hanya merujuk pada orang-orang yang lahir di dalam wilayah Amerika Serikat, tetapi juga orangorang yang berasal dari Karibia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Pemikiran alternatif ini mendorong timbulnya gagasan baru untuk menghubungkan berbagai wilayah dalam arti geografis, budaya, dan identitas 24 masyarakat. Hal ini merujuk pada pendapat bahwa identitas nasional Amerika dibentuk melalui dan dalam hubungan dengan kelompok-kelompok yang heterogen (Castillo, 2006). Amerika Serikat bukan merupakan kesatuan budaya dan identitas yang homogen, sehingga analisis tentang Amerika Serikat harus didasarkan pada hubungan negara itu dengan seluruh dunia termasuk kelompokkelompok non kebangsaan baik di dalam maupun di luar garis batas negaranya. Multikulturalisme dalam masyarakat Amerika menuntut paradigma baru dalam pengkajian Amerika. Demikian juga meningkatnya gerakan-gerakan di dalam masyarakat Amerika seperti perjuangan hak-hak sipil (Civil Rights movement), pergerakan orang kulit hitam (the Black Power movement), gerakan perempuan (the women’s movement), gerakan hak-hak kaum gay (the gay rights movement), dan gerakan buruh (labor movements), menyebabkan para akademisi dalam pengkajian Amerika tidak dapat lagi meneruskan pandangan bahwa bangsa Amerika mempunyai karakter homogen karena berbagi pengalaman masa lalu yang sama. Kondisi tersebut membuat pengkajian Amerika mulai memberi peluang studi multikulturalisme di tahun 1980-an. Transnasionalisme menurut Henry Yu (2000) adalah salah satu alat untuk menganalisis hubungan ras, etnik, dan media di Amerika yang harus dipahami dengan memperhatikan konteks kapitalisme global yang membingkai definisidefinisi perbedaan budaya dan nasionalitas. Wacana tentang perbedaan etnik dan budaya di Amerika selalu bergantung pada hubungan-hubungan dan perbandingan-perbandingan transnasional. Kondisi itu menyebabkan timbulnya kebutuhan terhadap sebuah perspektif untuk menghubungkan berbagai etnis yang 25 ada dengan berbagai macam proses yang melampaui batas-batas negara. PostNationalist American Studies harus berusaha keras menempatkan terbentuknya bangsa Amerika dalam konteks transnasional di mana terdapat perbedaan ras dan budaya. Perspektif dalam pengkajian Amerika ini tidak dimaksudkan untuk mempertajam perbedaan yang ada namun menegaskan kembali hubungan yang erat antara narasi ras, etnik, dan bangsa Amerika atas fenomena transnasional. Perkembangan politik dunia setelah Perang Dingin (Cold War) mendorong pengkajian Amerika untuk menentukan kembali posisinya dalam menyikapi aktivitas militer Amerika Serikat. Akhir Perang Dingin menghapus dikotomi kekuatan militer antara Sekutu dan Uni Soviet. Berakhirnya persaingan antar blok menjadikan Amerika sebagai kekuatan tunggal politik dan militer di dunia. Menyikapi kondisi ini, para ahli pengkajian Amerika berpendapat bahwa pengkajian Amerika tidak berafiliasi dengan politik Amerika Serikat sebagai sebuah negara. Amy Kaplan (2003) dalam pidatonya selaku Presiden American Studies Assosiation pada tahun 2003 mengatakan, “The discipline had a role in defining ‘America’ independently from the actions of the State.” (Kaplan, 2003: 1). Usaha untuk mendefinisikan ulang kedudukan pengkajian Amerika di tengah pengaruh politik Amerika Serikat yang ekspansif pada awal abad 21 adalah mempertegas kembali “arti sebenarnya” dari kajian tentang Amerika. Meskipun demikian, dalam usaha untuk memahami “arti sebenarnya” itu, interpretasi dan pemakaian pendekatan lain tentang Amerika masih dibatasi (Fisher, 2006). Pandangan tentang kedudukan pengkajian Amerika di tengah globalisasi dan sikap pemisahan diri dari Amerika Serikat sebagai entitas politik 26 dikemukakan oleh John Carlos Rowe. Konsep Rowe (2010) tentang contact zone memunculkan pemikiran untuk mengkaji Amerika dari luar batas negara. Kesadaran untuk melihat Amerika dari padangan para ahli di luar Amerika menyebabkan interaksi dua arah dan mengubah pandangan American Mind yang berfokus pada pengkajian pengalaman Amerika di dalam batas wilayahnya sendiri menjadi Hemispheric Mind yaitu pandangan terhadap Amerika dari bangsabangsa lainnya, serta pengaruh Amerika terhadap negara-negara yang berbatasan dengannya. Pendapat Rowe sesuai dengan pemikiran Ali Fisher, “This conception of a genuinely transnational approach would emphasize geographic position only to the extent it informed local interpretation, rather than providing a hierarchical ordering of understandings based on their place of origin… In the transnational conception of the discipline, American Studies engages the numerous images of ‘America’ with each local framework of understanding.” (Fisher, 2000:13) Studi transnasional berpotensi menciptakan berbagai interpretasi tentang Amerika. Konsep-konsep yang muncul terlepas dari konsep umum dan menekankan pada pemahaman secara lokal karena etnis, kelompok kultural, atau bangsa mempunyai konsep-konsep yang berbeda tentang Amerika. Interpretasi dengan menggunakan konsep-konsep lokal ini diperlukan untuk meningkatkan pemahaman tentang Amerika dalam hubungan transnasional. Oleh karena itu pendekatan transnasional dalam pengkajian Amerika meliputi: Investigations of the broad array of cultural crossroads shaping the work of border-crossing authors, artists, and cultural forms that straddle multiple regional and national traditions (Fishkin, 2005: 32). 27 Penelitian musik rap di Manggarai Nusa Tenggara Timur sesuai dengan pendapat Fischer dan Fishkin. Rap di Manggarai dapat diteliti menggunakan konsep transnasionalisme dalam pengkajian Amerika karena merupakan kajian tentang budaya yang berasal dari Amerika dari perspektif budaya di luar Amerika, sekaligus analisis tentang bentuk lintas batas budaya (border-crossing culture) dari musik Amerika. Rap yang sudah melintasi batas negara dianalisis berdasarkan kondisi budaya dan tradisi setempat. 1.6.2 Hibriditas Budaya Menurut Canclini (2002) hibriditas budaya adalah proses sosiokultural di mana praktek-praktek atau struktur dengan ciri-ciri khusus yang tadinya mempunyai bentuk berbeda dikombinasikan untuk membentuk struktur, obyek, dan praktek-praktek yang baru. Proses ini dapat terjadi secara secara tidak sengaja maupun hasil tak terduga dari migrasi, tourisme, atau pertukaran ekonomi dan komunikasi. Hibriditas juga timbul karena kreativitas individual atau kelompok tidak hanya dalam bidang seni tetapi dalam kehidupan sehari-hari dan kemajuan teknologi. Hal ini terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang berusaha untuk mengubah kembali sumber-sumber atau warisan budaya yang dimilikinya agar dapat diintegrasikan kembali dengan kondisi yang baru dalam produksi dan distribusi. Pendapat Canclini hampir serupa dengan Mitchell (2005), yang mengatakan bahwa hibriditas muncul dari ide-ide untuk melakukan integrasi dan difusi dari berbagai sumber dan membentuk sesuatu yang berbeda, tetapi elemenelemen asal sebagai penyusunnya tetap dapat dilacak dalam budaya baru yang 28 merupakan hasil dari proses percampuran itu. Jadi, hibriditas adalah proses-proses percampuran kreatif yang menciptakan sesuatu yang berbeda, tetapi tetap mengandung jejak-jejak budaya asalnya. Konsep hibriditas menurut Lull (1995) merupakan bagian dari cultural territory, yang merupakan hasil dari mobilitas lokal dan transnasional maupun perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Proses ini dimulai dari bentuk-bentuk kultural dari sebuah negara secara harafiah berpindah melampaui ruang dan waktu dan berinteraksi dengan bentuk-bentuk kultural lainnya. Proses ini menimbulkan terjadinya hibridisasi yaitu kontak dan percampuran antara bentuk-bentuk budaya baru dengan budaya yang ada dalam sebuah masyarakat dan membentuk percampuran di antara keduanya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa proses percampuran ini mendorong terjadinya “indigenization” atau pribuminisasi yaitu budaya yang berasal dari luar mengambil bentuk-bentuk lokal. Androutsopoulos & Scholz (2003) mencontohkan proses ini dalam musik rap Eropa, di mana terjadi percampuran antara bentuk-bentuk rap Amerika dengan musik pop Eropa. Percampuran dua jenis musik ini menampilkan karakter rap Eropa yang terlihat melalui berbagai unsur bunyi dan teks seperti: penggunaan elemen suara lokal, bahasa atau dialek lokal, dan tema-tema yang berbicara tentang kondisi dan institusi lokal. Budaya baru yang telah mengalami pribuminisasi dalam hibriditas, menurut Lull (1995), diintegrasikan ke dalam bentuk-bentuk budaya masyarakat setempat dan sebagai konsekueansinya budaya itu tidak lagi terasa asing bagi masyarakat lokal. Salah satu bentuk hibriditas yang kental dengan pribuminisasi 29 adalah rap yang masuk ke Indonesia. Musik rap Indonesia dinyanyikan dalam bahasa lokal, dengan lirik yang mengacu pada kepribadian, kondisi, dan situasi lokal menjadikannya musik hibrid antara kultur Afro-Amerika dan Indonesia (Lull, 1995: 156-157). Hibriditas dalam musik rap Indonesia juga terdapat dalam rap Manggarai. Unsur-unsur musik masyarakat Afro-Amerika tetap terlihat dalam format rap Manggarai melalui pemilihan sampel, teknik bernyanyi, ungkapan-ungkapan khas rap yang merupakan produk budaya masyarakat kulit hitam wilayah urban, dan sistem produksinya. Unsur-unsur dari luar itu dipadukan dengan penggunaan bahasa setempat, unsur-unsur musik lokal, dan tema-tema yang sesuai dengan kondisi serta situasi lokal untuk menampilkan budaya Manggarai. Dua unsur yang berbeda itu membentuk sebuah produk budaya baru yang sesuai dan tidak terasa asing bagi masyarakat Manggarai. 1.6.2.1 Konsep Musik Global Fenomena globalisasi yang terjadi pada tahun 1980-an memunculkan konsep-konsep budaya global. Menurut Giddens (2006) budaya global bersifat homogen, diciptakan untuk masyarakat luas, tidak berakar pada budaya tertentu sehingga tidak mempunyai keterikatan kultural pada golongan tertentu. Budaya global tidak memperhitungkan keanekaragaman penerima budaya serta bersifat cair sehingga sesuai untuk berbagai wilayah yang menjadi sasaran ekspansinya. Pendapat itu sesuai dengan pandangan Chong, 30 Global culture, […] is usually defined as a 'melange' of disparate components 'eclectic, universal, timeless and technical', such that it is 'memory-less', 'syncretic' and dependent on capitalist production of 'mass-mediated signs and symbols' (Chong, 2003: 449). Produk budaya global bersifat artifisial karena diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar yang beragam serta memiliki selera serta tren yang tidak dapat diprediksi. Produk itu dapat segera diganti dengan hal baru bila tidak menguntungkan bagi produsen. Sentimen tertentu seperti nostalgia, keterhubungan dengan pengalaman personal, serta hal-hal lainnya yang bersifat emosional bukan merupakan tujuan produksinya. Dalam industri musik, istilah global sering disebut sebagai musik dunia (world music). Menurut Guibault (2006) definisi musik global atau musik dunia adalah musik populer yang tumbuh di tahun 1980-an, didistribusikan secara massal ke seluruh dunia, serta berhubungan dengan kelompok minoritas dan negara-negara berkembang yang mengkombinasikan karakteristik musik lokal dengan genre arus utama dipasarkan oleh industri musik masa kini dan mencapai pasaran di negara-negara maju. Connell & Gibson (2004), mendefinisikan musik dunia (world music) sebagai salah satu kategori musik komersial, bukan genre tertentu, yang tidak mempunyai hubungan dengan suatu wilayah. Dalam level tertentu, musik dunia adalah gambaran musiman dari semua masyarakat di seluruh dunia, meskipun hanya beberapa musik yang dapat disebut sebagai musik dunia (Connell & Gibson, 2004: hlm 343). Dalam pembahasan lebih lanjut tentang musik dunia, Connell & Gibson juga memberikan konsep alternatif bahwa musik dunia adalah musik yang eksotik dan berasal dari dunia ketiga tetapi dapat 31 menarik perhatian dan menembus pasaran negara maju seperti musik reggae dan zouk yang berasal dari Karibia tetapi dapat berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam menganalisis rap di Manggarai definisi global adalah musik populer yang masuk ke Manggarai melalui berbagai media, termasuk di antaranya berbagai genre musik populer yang menjadi produk industri musik arus utama. Musik yang masuk dalam kategori ini adalah pop Indonesia, dangdut, lagu-lagu daerah yang masuk dalam kategori pop daerah, dan musik alternatif lainnya. Baik yang diproduksi dengan menggunakan indie maupun mayor label. Posisi sebagai bagian dari musik global juga diterapkan pada musik rap yang berasal dari luar Manggarai. Musik rap global ini tidak hanya diperuntukkan bagi musik rap asing, tetapi termasuk juga musik rap Indonesia. Dimasukkannya musik rap Indonesia ke dalam wilayah musik global karena tema-tema rap Indonesia mempunyai kesamaan dengan tema-tema rap yang berasal dari kotakota besar di seluruh dunia. Mayoritas tema rap dari kota-kota besar berisi kehidupan kelas menengah dalam masyarakat industri (Bodden, 2005a). Tema ini berbeda dengan pengalaman budaya dan ideologi masyarakat Manggarai yang berada di wilayah pinggiran. Perbedaan ini dipergunakan untuk menjelaskan posisi rap yang berasal dari Manggarai tetapi berbicara tentang isu-isu umum yang tidak mempunyai dampak atau tidak pernah ada dalam realitas keseharian masyarakat Manggarai. 32 1.6.2.2 Konsep Musik Lokal Musik lokal didiskripsikan sebagai hal-hal yang terhubung dengan sifat otentisitas dan waktu serta tempat tertentu. Lokalitas juga disertai dengan asumsi terdapatnya keterikatan, akar, keaslian terhadap budaya pra-modern tertentu (Chong, 2003). Budaya lokal atau nasional mempunyai konotasi emosional yang kuat bagi banyak orang. Otentisitas budaya lokal terletak pada asal-usul, kesinambungan, tradisi, dan secara simbolis terhubung dengan nilai-nilai asli masyarakat (Chong, 2003: 459). Berdasarkan konsep lokalitas di atas, maka yang masuk ranah lokal dalam pembahasan ini adalah musik rap Manggarai yang mengungkapkan ide-ide lokal, berbicara tentang realitas keseharian, dan mengangkat nilai-nilai ideal masyarakat Manggarai. Lagu-lagu tersebut dapat menggunakan bahasa Manggarai, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, maupun campuran dari ketiganya. Kategori musik lokal bagi rap Manggarai berhubungan erat dengan definisi otentisitas dari rap Amerika, yaitu musik yang dekat dengan tema-tema tentang realitas sosial masyarakat dan berfungsi sebagai corong bagi suara yang terpinggirkan. 1.6.3 Musik Rap Rap merupakan jenis musik yang mulai populer di Amerika pada tahun 1980-an. Rap merupakan bentuk improvisasi lirik dan cara penyampaian yang dilakukan oleh MC (Master of Ceremony) di puncak-puncak irama (beats), potongan-potongan lagu yang dirangkai (samples), dan elemen-elemen lain yang membentuk lagu (Hoffman, 2002). Rap menyatukan irama musik dan syair yang 33 diucapkan penyanyi menjadi rangkaian suara yang dapat dinikmati oleh para pendengar musik. Ritme adalah elemen mendasar dari rap yang membentuk pola-pola ekspresi verbal dan merupakan sumber suara dan irama (Bradley, 2009). Ritme yang berasal dari alat musik terdengar lebih menonjol dibandingkan suara penyanyinya, namun lirik lagu yang diucapkan oleh penyanyi rap juga berupa ritme. Lirik yang berbentuk ritme itu diucapkan di antara ritme-ritme musik dan membentuk kesatuan ritme yang selaras. Notasi 1: Lagu “Jesus Walks” dari Kanye West. Sumber: Martin Connors, http://rapgenius.com/posts/1669-Therapper-s-flow-encyclopedia Dari contoh di atas terlihat bahwa adalah rima adalah bagian yang ditandai dengan huruf besar seperti pada kata WEST-IS dan REST-LESS. Rima membentuk ritme tersendiri disamping ritme lagu yang dituliskan dengan not balok pada setiap bar1. Lagu-lagu Kanye West kebanyakan memiliki susunan rima sederhana yang terdiri dari dua kata di setiap barnya. Musisi rap lainnya mempunyai variasi rima yang lebih rumit dengan menempatkan lebih dari dua kata pada satu bar. Hal ini terlihat pada lagu Lost Yourself yang dinyanyikan oleh Eminem: 1 Bar adalah tempo musik yang ditandai dengan garis vertikal yang memisahkan not musik (Bradley A. , 2009). 34 Notasi 2: Lagu “Lost Yourself” dari Eminem Sumber: Martin Connors, http://rapgenius.com/posts/1669-Therapper-s-flow-encyclopedia Pada lagu rap, peran rapper dalam mengucapkan kata-kata sama penting dengan irama lagu pengiringnya. Rapper mengombinasikan ritme musik dengan ritme perkataannya. Kombinasi keduanya disebut flow. Secara etimologis flow berasal dari bahasa Yunani ‘rheo’ yang berarti ritme, yaitu naik turunnya suara penyanyi yang ada hubungannya dengan irama. Flow dalam musik rap adalah komunikasi ritmis antara puisi (lirik) dan musik pengiring. Komunikasi ini bergantung sepenuhnya pada irama, pengaturan tempo, nada, aksen, dan intonasi sehingga disebut dual rhythmic relationship (Bradley, 2009). Bila dilihat dari sejarahnya, rap tidak bisa dilepaskan dari dua pilar dalam budaya hip hop yaitu DJing yang merupakan kependekan dari Disk Jockey dan MCing yang berasal dari kata Master of Ceremony. Dua unsur ini saling mendukung dan kemudian bertukar peran selama masa perkembangan budaya hip hop di Amerika Serikat. Menurut David Samuels (2004) DJing berakar dari “toasting” yang muncul di Jamaika tahun 1960-an. Toasting atau berbicara dengan diiringi lagu-lagu tertentu muncul sebagai reaksi atas sulitnya memiliki alat musik Barat di Jamaika. Sebagai ganti dari alat-alat musik, para seniman musik Jamaika menggunakan rekaman musik R&B yang digabung-gabungkan 35 membentuk sebuah irama baru. Gaya bermusik ini diperkenalkan di Amerika oleh DJ Kool Herc (Clive Campbell), seorang keturunan Jamaika, di New York pada tahun 1970-an. Herc menggunakan metode mixing break atau break beats, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dari lagu-lagu yang terkenal pada masa itu dan menyusunnya menjadi rangkaian irama dengan menggunakan dua pemutar piringan hitam (Bennet, 1991). Grandmaster Flash (Joseph Saddler) menyempurnakan teknik mixing break milik Kool Herc dengan quick mix theory. Flash menggunakan headset agar dapat mendengarkan dengan lebih seksama lagu yang tengah dipersiapkan sebelum menggabungkannya dengan lagu yang sedang diperdengarkan. Cara baru ini menciptakan rangkaian irama tak berjeda dan harmonis yang lebih baik dari teknik sebelumnya. Suara khas dalam musik rap yang disebut scratching ditemukan oleh Grandwizard Theodore (Theodore Livingston). Suara scratch ini diperoleh dengan cara menekan piringan hitam yang sedang berputar untuk menghentikan gerakannya. Langkah berikutanya adalah melakukan backspinning yaitu secara halus menggerakkan keping piringan hitam ke arah berlawanan secara berulangulang. Potongan-potongan suara akibat gerakan tangan disk jockey menimbulkan bunyi baru yang dapat dipergunakan sebagai variasi atau penyela bagi rangkaian lagu yang berbeda ritme atau genre musiknya. Pada awal kemunculannya, DJ menjadi tokoh utama dalam pertunjukan musik rap. MC lahir dari bentuk interaksi antara DJ dan penonton. Posisi MC pada awalnya sebagai asisten yang bertugas mengumpulkan massa dan mengisi kekosongan yang terjadi selama DJ sedang memilih lagu untuk sesi pertunjukan 36 break dance berikutnya (Hess 2006; 2008; Chang 2000). MC juga bertugas untuk menghibur para pengunjung agar tertarik mengikuti acara dan termotivasi untuk terlibat di dalamnya. Munculnya album “Rapper’s Delight” oleh Sugarhill Gang, menurut Hess (2008), menjadi titik balik bagi konsep-konsep fundamental dalam budaya hip hop, khususnya musik rap. Pertama, penggunaan live band dan munculnya teknologi rekaman memberi alternatif bagi para MC untuk menggunakan band atau DAT (digital audiotape) sebagai musik pengiring sehingga menghilangkan peran DJ dalam pertunjukan musik rap. Kedua, keberhasilan album “Rapper’s Delight” membuat musik rap masuk dalam arus utama musik pop di seluruh dunia dan rapper menjadi daya tarik komersial dalam rap. Ketiga, album ini memisahkan konsep musik rap dari musik hip hop yang masih mempertahankan orisinalitas budaya aslinya. Keempat, adanya perbedaan konsep antara MC dan rapper. MC adalah penyanyi rap yang tetap mempertahankan gaya bernyanyi seperti masa dan mengadakan pertunjukan di klub-klub musik atau pesta-pesta pribadi, sedangkan rapper adalah penyanyi rap komersial yang terjun dalam dunia hiburan dan menyesuaikan lagu-lagunya dengan selera pasar. Komersialisasi rap pada lingkup global menurut Bennett (2001) memperluas jangkauan budayanya sehingga tak lagi secara ekslusif menjadi milik masyarakat kulit hitam. Rapper di berbagai negara melakukan apropriasi dan adaptasi musik rap dengan beragam cara. Pemaknaan tentang originalitas musik yang berasal dari warisan orang kulit hitam Amerika dilakukan secara filosofis maupun praktis. Unsur penting dalam lokalisasi musik rap adalah upaya para 37 rapper secara terus menerus menemukan dan mendefinisikan ulang musik mereka sehingga sesuai dengan kondisi lingkungan. Rap dengan unsur lokal ini dipergunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan lingkungan dalam konteks lokal. 1.6.3.1 Konsep Ruang dan Tempat Konsep ruang dan tempat dalam geografi kultural berakar pada pandangan humanistik dan pandangan materialisme dalam aliran Marxis. Pandangan humanistik menekankan pada ‘sense of place’ apapun latar belakangnya. Pandangan ini berpusat pada tempat sebagai wilayah khusus yang berisi pengalaman hidup penghuninya. Pandangan Marxis mengalisis hubungan antara dominasi dan resistensi yang terjadi melalui ruang-ruang yang ada, dan menekankan pentingnya sebuah ruang sebagai hasil dari produksi dan konsumsi sosial (Hubbard, 2005). Berdasarkan pandangan humanistik maupun Marxis, ruang dan tempat dikonstruksikan dan direkonstruksi melalui jaringan-jaringan yang melibatkan orang, praktek-praktek sosial, bahasa, dan representasi. Jadi konsep ruang dan tempat mengacu pada apa yang dilakukan oleh penghuninya, bukan latar belakang mereka. Konsep ruang dan tempat dalam konteks musik, dalam pandangan Connell dan Gibson (2003), berhubungan dengan tempat-tempat secara fisik dan pergerakan budaya, komoditas, dan manusia yang melampaui batas geografis konvensional. Hal itu disebabkan karena musik adalah produk yang dapat dinikmati melalui pendengaran, sehingga ruang-ruang publik di mana identitas musik dikonstruksikan berwujud fisik (dalam bentuk pertunjukan musik di suatu 38 tempat tertentu) maupun virtual (melalui ruang-ruang siaran umum). Melalui pandangan ini dapat dilihat bahwa ruang adalah identitas yang dikonstruksikan pada musik tertentu, sementara tempat adalah wujud fisik maupun virtual di mana musik-musik itu dipertunjukkan. Rap menempatkan ruang dan tempat sebagai bagian dari identitas kultural maupun tempat produksi lagu-lagunya. Rose (1994) melalui bukunya Black Noise: Rap Music and Black Culture in Contemporary America, menunjukkan bagaimana hip hop mengalami transformasi kreativitas dengan menggunakan teknologi dan ruang (Foreman, 2000). Ruang-ruang yang dimaksud oleh Rose adalah kota-kota post-industrial di mana masyarakat Afro-Amerika tinggal dan menjalankan praktek budayanya. Kota-kota ini menjadi penting karena “Provided the context for creative development among hip hop's earliest innovators, shaped their cultural terrain, access to space, materials, and education” (Rose, 1994: 34). Ruang-ruang itu menjadi konteks bagi lirik lagu rap yang dihasilkan oleh seorang rapper. Kontekstualitas sebuah lagu didasarkan pada posisi rapper dalam ruang yang dibicarakannya dalam lagu. Konsep tempat dalam rap terlihat dari pendapat Foreman (2000) “In the music and lyrics, the city is an audible presence, explicitly cited and digitally sampled in the reproduction of the aural textures of the urban environment”. (Foreman, 2000: 67-68). Hal ini diperjelas oleh Iain Chamber dengan mengatakan bahwa rap adalah “New York sound system.” Dalam musik rap Amerika, lingkungan atau neighbourhoods (hood) mempunyai arti yang lebih luas dibandingkan geografis dan praktek-praktek 39 kultural para rapper, “It illuminates a particular relationship to space or, more accurately, a relationship to particular places” (Foreman, 2000: 67). Kurtis Blow (1997) menunjukkan contoh nyata dari pertanyaan di atas dengan fenomena Kool DJ Herc dan para penggemarnya. Pada masa hip hop awal, Herc mempunyai kelompok penggemar dari lingkungannya yang mengikutinya dalam setiap pesta. Kehadiran para pengikut itu disebabkan oleh keterikatan identitas karena kesamaan lokasi dan lingkungan. Pembagian ruang bagi para DJ pada masa awal rap didasarkan pada faktor audio, karena setiap DJ menggunakan sound system berjalan. Ruang dikonstruksikan berdasarkan kemampuan audio menjangkau lingkungan tertentu sehingga tidak menyebabkan tumpang-tindih suara. Kool Herc mempunyai wilayah di lingkungan Bronx bagian barat dan klub-klub malam di Bronx bagian timur, Grandmaster Flash bermain di wilayah Bronx bagian selatan antara 138th Street sampai 163rd Street, Afrika Bambaataa menguasai wilayah tenggara dan utara, sementara DJ Breakout and DJ Baron di bagian tengah (Chang, 2005). Berdasarkan pembagian wilayah ini maka ruang-ruang rap di wilayah Bronx adalah ghetto wilayah di mana mereka tinggal dan mempunyai kesamaan pengalaman dan praktek-praktek kultural, sementara tempat merujuk pada lokasilokasi tertentu seperti Queens, Brooklyn, South Bronx, dan sebagainya. Transformasi konsep ruang dan tempat terjadi ketika para rapper dari West Coast mendominasi peredaran musik rap di tahun 1987-1988. Ruang-ruang rap bagi mereka adalah hood yang merupakan kependekan dari “neighbourhood” untuk menggantikan ghetto sebagai batas wilayah. Hood berfungsi sebagai ruang 40 bermusik sekaligus pemberi identitas bagi para rapper dan menekankan pada hubungan yang kuat antara rapper dengan lingkungan asalnya sekaligus membedakan praktek kreatif setiap rapper yang tinggal dalam wilayah itu. Pergeseran makna ruang dan tempat selanjutnya terjadi ketika rap berkembang ke wilayah-wilayah lain di luar East Coast dan West Coast. Bangkitnya daerah-daerah pinggiran seperti Houston, Atlanta, New Orleans, dan wilayah-wilayah Selatan menyebabkan konsep ruang terletak pada sistem produksi yang disebut posse2 (Rose, 1994; Foreman, 2000; Foreman, 2004), yaitu: […] fundamental social unit binding a rap act and its production crew together, creating a collective identity that is rooted in place and within which the creative process unfolds… It is not rare for an entire label to be defined along posse lines with the musical talent, the producers and various peripheral associates bonding under the label's banner. (Foreman, 2000: 71) Sebagai sebuah kesatuan identitas dan produksi, posse terlihat dari penggunaan kata: crew, gang, atau clan dalam nama-nama kelompok seperti: The Sugarhill Gang, Doug E. Fresh and the Get Fresh Crew, atau X-Clan. Dalam perkembangannya posse juga ditampilkan dalam nama kelompok-kelompok rap seperti California's South Central Posse atau Native Tongues Posse (Hess, 2010). Struktur posse dapat dilihat dalam berbagai aktivitas anggotanya seperti: sistem 2 Posse secara etimologis berarti kekuatan yang besar atau kelompok. Bagi sebagian besar orang Amerika Utara posse diidentikkan dengan kondisi tanpa aturan hukum atau hukum di daerah perbatasan (frontier justice) yang menjadi tema bagi film-film Hollywood tahun 1940-1950-an. Definisi ini yang dimaksudkan oleh kelompok-kelompok rap, meskipun pada prakteknya lebih sesuai dengan budaya posse di Jamaika (Jamaika posse culture). Sistem posse di Jamaika muncul akibat kondisi ekonomi, sosial, dan budaya tertentu pada pertengahan tahun 1970-an. Sistem ini memunculkan kultur gang dan kekerasan yang muncul karena niaga obat-obat terlarang, kokain, dan ganja. Sistem inilah yang kemudian muncul di kota-kota Amerika Utara (Foreman, 2000; Foreman, 2004). 41 produksi album dengan produser yang sama, saling tampil sebagai artis pendatang dalam album anggota posse, serta melakukan tour dalam berbagai pertunjukan secara berkelompok. Posse dapat meliputi berbagai wilayah, sehingga untuk menunjukkan tempat asalnya, kelompok-kelompok rap secara eksplisit menunjuk kota asal mereka dalam nama kelompok seperti Compton's Most Wanted, Detroit's Most Wanted, the Fifth Ward Boyz, dan South Central Cartel (Foreman, 2000). Selain tampak dalam nama-nama kelompok, tempat juga ditampilkan dalam judul dan lirik lagu seperti “The South Park Psycho” karya Gangsta N-I-P atau “Straight Outta Cashville” oleh Young Buck dan “Straight Outta Compton” oleh N.W.A. (Hess, 2010). Pentingnya ruang dan tempat dalam rap terlihat dari penjelasan Foreman (Foreman, 2000) di bawah ini: In rap, there is a widespread sense that an act cannot succeed without first gaining approval and support from the crew and the 'hood. Successful acts are expected to maintain connections to the 'hood and to 'keep it real' thematically, rapping about situations, scenes and sites that comprise the lived experience of the 'hood. At issue is the complex question of authenticity as rap posses continually strive to reaffirm their connections to the 'hood in an attempt to mitigate the negative accusations that they have sold out in the event of commercial or crossover success. (Foreman, 2000: 72). Ruang dan tempat dalam musik rap berfungsi sebagai tempat berafiliasi, berproduksi, menyalurkan kreativitas, berinteraksi, memperoleh legitimasi, serta sumber inspirasi bagi lagu-lagu anggota kelompok. Ghetto, Hood, maupun Posse menjadi ruang-ruang produksi musik, identitas kultural, sekaligus akar bagi 42 eksistensinya sebagai seorang artis. Dukungan dari komunitas rap di dalam ruangruang fisik maupun produksi itu menjadi bentuk legitimasi terhadap otentisitasnya sebagai seorang rapper. 1.6.3.2 Konsep Keepin’ It Real Hall dalam Wall (2003) mengatakan bahwa musik adalah jalan untuk mengartikulasikan identitas karena dapat merepresentasikan “the real me”. Kebutuhan untuk menampilkan identitas budaya asalnya terjadi karena: “[…] we no longer have an essensial sense of self…while our identity has become fragmented, meaning are less certain, and we may feel geographically and culturally displaced, we still relate ourselves to important sense of individual and collective history (Hall dalam Wall, 2003: 161). Konsep ruang dan tempat dalam rap berpengaruh terhadap otentisitas dan legitimasi seorang rapper. Ruang dan tempat dalam rap sebagai pembentuk identitas seorang rapper terlihat dari nama kelompok, judul, dan lirik lagu. Identitas itu oleh Foreman (2000) disebut sebagai curriculum vitae yang bertujuan untuk menunjukkan keterikatan seorang rapper dengan wilayah kulturalnya sekaligus menampilkan hubungan-hubungan dengan wilayah lain sebagai bentuk keterhubungan untuk mewujudkan legitimasinya. Curriculum vitae menjamin rapper telah berlaku “keepin’ it real” sebagai seorang artis. Menurut David Diallo dalam Hess (2010), konsep “keepin’ it real” secara literal berarti “representing, realistically or through hyperbolic gangsta narratives, the symbolic forms of the ghetto” (David Diallo dalam Hess 2010: 318). Dengan menggunakan contoh film 8 Miles yang dibintangi oleh Eminem, 43 Diallo menunjukkan bahwa “Keepin’ it real” adalah ruang simbolik dan sosial di mana rapper mengidentifikasi dirinya dan berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosialnya. B. Rabbit (Eminem) dapat mengalahkan dan mempermalukan Papa Doc pada pertarungan antar rapper (battle rap) karena lawannya berasal dari golongan kelas menengah, bersekolah di sekolah swasta, dan mempunyai keluarga yang harmonis. Latar belakang sosial itu membuat Papa Doc tidak mempunyai legitimasi untuk memasukkan lirik gangsta dalam lagulagunya. Selain mempunyai konotasi sebagai ruang simbolis, “Keepin’ it real” juga mempunyai konotasi sebagai ruang realitas seperti terlihat alam freestyle champion antara rapper Craig G dan Supernatural. Craig G mengalahkan lawannya dengan menekankan pada latar belakang Supernatural yang berasal dari Indiana, sehingga tidak memungkinkannya untuk berbicara tentang kehidupan masyarakat urban kulit hitam di New York. Kembrew McLeod (1999) mengatakan bahwa otentisitas dalam musik rap merupakan usaha untuk menjaga keaslian budaya rap sebagai bagian dari narasi masyarakat kulit hitam di daerah urban. Usaha itu, menurut Hess (2007), dilakukan dengan dua cara yaitu melalui gaya musik dan identitas penyanyi. Keaslian gaya bermusik berpusat pada usaha untuk menolak struktur musik pop dengan mencampurkan musik dansa, rock, atau R & B dalam musik hip hop sebagai upaya memperluas pendengar, sementara keaslian dari sudut penyanyi berpusat pada kedekatan pengalaman dari seorang rapper dengan musik yang dikreasikan sebagai narasi masyarakat urban kulit hitam ini (Hess, 2007: 23-24). 44 Makna “keepin’ it real” bergeser seiring dengan perkembangan rap ke berbagai wilayah di Amerika. Edward G. Amstrong yang dikutip pendapatnya dalam Hess (2007) dan Wright (2010) menyebutkan ada tiga ide dalam konsep “keepin’ it real” yaitu: menjadi diri sendiri (being true to yourself), mempunyai hubungan dengan identitas lokal dan teritorial (local allegiances and territorial identities), dan membangun hubungan dengan asal-usul hip hop atau “sumber asli rap” melalui tempat, gaya, dan jaringan dengan penyanyi yang telah mapan. Penyebaran rap ke seluruh dunia menyebabkan konsep “keepin’ it real” mengalami penyesuaian dengan latar belakang sosial budaya para rapper. “Keepin it real” dalam konteks Amerika berbeda dengan negara lainnya, sehingga otentisitas seorang rapper tidak terletak pada keterhubungan secara langsung dengan budaya Afro-Amerika, tetapi dengan budaya di mana dirinya berasal dan mengidentifikasikan diri. “Keepin it real” adalah perjalanan dan pengalaman hidup rapper yang sesuai dengan konteks budaya, lingkungan, dan pendengarnya. 1.6.3.3 Konsep Ruang Realitas dan Imajinasi Pembentukan konsep realitas dan imajinasi dalam lagu tidak terlepas dari relasi antara musik dan tempat untuk mengkonstruksikan identitas seseorang atau sebuah kelompok dalam masyarakatnya (Kong, 1995; Hudson, 2006; Connell & Gibson, 2003; Foreman, 2000). Menurut Hudson, “[…] music has the ability to conjure up powerful images of place, feelings of deep attachment to place.” (Hudson, 2006: 626), lebih lanjut Nash yang dikutip dalam Hudson (2006) mengatakan, “It influences virtually all aspects of culture and manifests itself in numerous spatial ways” (Hudson, 2006: 626). Musik dapat mempengaruhi 45 perasaan seseorang terhadap sebuah tempat karena memunculkan imajinasi tentang sebuah tempat melalui lagu secara keseluruhan seperti yang dikatakan oleh Kong (1995), Indeed, this ability to convey images is not only confined to lyrics. Rather, music is a whole package comprising lyrics, melody, instrumentation, and the general "feel" or sensory impact of the music. It is this aggregated package which often provides us with images of regions (Kong, 1995: 52). Jadi menurut para ahli di atas, kesatuan lirik, melodi, instrumentasi, serta rasa dari lagu mendorong imajinasi pendengar terhadap sebuah tempat. Representasi itu dapat diterima karena kedekatan sosial budaya dari pendengarnya atau interpretasi yang dilakukan oleh pencipta lagu terhadap kondisi sosial budaya tempat itu. Lagu menghantarkan imajinasi kepada pendengar tentang tempat tertentu. Konstruksi ruang realitas dan imajinasi dengan konsep berbeda dilakukan oleh María Elena Cepeda (2012). Menurutnya, musik populer menjadi arena bagi topografi imajiner dari kenangan, identitas, dan tempat bagi orang-orang Kolombia yang memiliki identitas multikultural karena bermigrasi ke Amerika. Musik sebagai salah satu alat, selain bahasa, makanan, gerak tubuh, dan berbagai aktivitas, untuk menampilkan identitas Kolombia. Menurut Cepeda, “[…] music provides a collective space for imagining colombianidad outside traditional geopolitical borders” (Cepeda, 2012: 20). Mengutip pendapat José David Saldívar, Cepeda berpendapat bahwa budaya pop adalah alat untuk mengimajinasikan ulang sebuah bangsa dan menjadi perwujudan dari peta kognisi 46 yang beraneka bentuk sebagai reaksi terhadap kegagalan negara untuk menciptakan kesatuan identitas kultural akibat berbagai persoalan. Jadi, musik pop Colombia hasil produksi para artis dalam industri musik arus utama di Amerika seperti Shakira atau Gloria Estefan menampilkan imajinasi tentang tanah kelahiran dalam perspektif para imingan. Musik rap Colombia yang menyatakan realitas kehidupan masyarakatnya tidak menarik perhatian kaum imigran yang menginginkan romantisme kehidupan daerah asalnya (Cepeda, 2012; Tickner, 2008). Musik rap menekankan konsep realitas dengan “keepin it real”, seorang rapper harus berbicara tentang kehidupan yang dijalaninya dalam lirik-lirik lagunya. Kejujuran seorang rapper dalam menarasikan diri dan lingkungannya menjadi dasar bagi legitimasinya sebagai seorang penyanyi. Legitimasi diperoleh dari posse, komunitas rap di wilayah itu, maupun para pendengarnya. Ruang realitas dalam rap Amerika adalah wilayah pendengarnya berupa ghetto, hood, maupun wilayah yang lebih luas lagi seperti East Coast atauWest Coast. Dalam rap Manggarai, konstruksi ruang realitas dan imaginasi didasarkan pada posse dan penggemar rap sebagai konsumen. Ruang realitas didasarkan pada pengalaman masyarakat Manggarai sebagai masyarakat rural yang tinggal di wilayah Manggarai dan mempunyai pengalaman historis dan kultural sebagai orang Manggarai. Tema-tema lagu yang berbicara dalam konteks itu menjadi bagian dari ruang realitas dalam rap Manggarai. Mobilitas sosial dan urbanisasi memunculkan pengalaman baru bagi orang Manggarai yang tinggal di perantauan. Komunikasi yang intens dengan budaya 47 luar menyebabkan perspektif baru dalam memandang Manggarai dan identitasnya sebagai orang Manggarai. Para rapper yang berada di wilayah urban itu menciptakan lagu berdasarkan realitas hidup di wilayah domisilinya. Realitas kehidupan urban berhadapan dengan ruang realitas rap Manggarai yang mendasarkan realitasnya pada kehidupan rural, sehingga kehidupan urban yang dialami oleh para rapper Manggarai menjadi ruang imajinasi bagi para penggemarnya. Munculnya ruang imajinasi ini karena para rapper Manggarai di daerah urban secara konseptual melakukan “keepin it real” tetapi realitas yang diceritakannya berbeda dengan pengalaman kultural dan historis orang Manggarai sebagai penikmatnya. 1.6.3.4 Konsep Rural dan Urban Konsep rural dan urban lebih banyak ditinjau dari sudut geografis. Dalam geografi kultural konsep rural dan urban tidak hanya berupa tempat atau wilayah tertentu tetapi dapat berupa entitas politik, unit administratif, tempat untuk bekerja dan bermain, kumpulan mimpi dan ketakutan, jaringan hubungan sosial, kelompok aktivitas ekonomi, dan sebagainya (Hubbard, 2006). Secara umum konsep rural dan urban dihubungkan dengan kepadatan penduduk, ukuran populasi, jumlah pekerjaan per kilometer persegi, pekerja di bidang pertanian, dan tipe penggunaan tanah (Stead, 2002). Stewart Jr. (1958), menambahkan bahwa kriteria yang membedakan desa dan kota terletak pada fasilitas seperti: servis dan perdagangan, sekolah, hiburan, informasi dan budaya, dan kehidupan sosial. Fasilitas-fasilitas itu jarang terdapat di wilayah rural akibat infrastruktur yang terbatas. Kriteria lainnya, adalah 48 persentase jumlah penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian. Penduduk kota hanya sedikit yang bekerja di sektor pertanian, sementara daerah pedesaan mayoritas penghuninya bekerja di bidang pertanian. Konsep yang berbeda dikemukakan oleh Marc Mormont dalam Wood (2011), mengatakan bahwa di luar realitasnya sebagai sebuah wilayah, rural juga merupakan kategori pemikiran. Rural pertama-tama diimajinasikan, kemudian direpresentasikan, lalu dikonstruksikan sebagai tempat, bentang alam, dan cara hidup di mana ide tentang rural itu mewujud. Salah satu dari ide tentang rural yang berpengaruh adalah “rural idyll”, yaitu imajinasi tentang daerah rural sebagai tempat yang damai, tenang, dan sederhana, sebagai kontras dari kehidupan urban yang serba cepat dan hiruk-pikuk. “Rural idyll” juga dihubungkan dengan keinginan untuk melarikan diri dari modernitas yang identik dengan kondisi daerah urban untuk kembali bersatu dengan alam. Menurut Bunce dalam Wood (2011) pandangan tentang romantisme wilayah rural ini disebut “armchair countryside”, yang diimajinasikan dan dinikmati dari ruang-ruang keluarga di wilayah urban dan pinggiran kota, sebuah gambaran yang dipaksakan dari masyarakat yang berada di luar wilayah itu. Kata kota (city) berasal dari bahasa latin civis yang berarti penduduk dan urban berasal dari kata urbs yang berarti kota, city atau kota merupakan tindakan untuk mendiami sebuah tempat, sementara urbs menunjuk pada tempat (Miles, 2007). Dengan mengutip pendapat Sennett, kota atau citémeans dalam bahasa Perancis adalah tempat yang dikelilingi tembok, sementara bourgan tidak dikelilingi tembok tetapi dijaga keamanannya. Keduanya dipisahkan dari 49 commune, tempat tinggal periferal untuk orang miskin yang berpenduduk lebih sedikit dari cité tetapi tidak punya keistimewaan dan kekuasaan. Bagi orang-orang yang mempunyai keistimewaan, kota merefleksikan dan memungkinkan mereka untuk mengekspresikan statusnya sebagai penguasa, tempat yang terbebas dari keterikatan pada tanah, dan tempat untuk mengembangkan bisnis dan intelektualnya. Bagi masyarakat miskin kota menjadi tempat penindasan sebagaimana di desa (Miles, 2007: 9). Daerah urban sebagai tempat migrasi yang menghilangkan keterikatan dengan kepemilikan tanah dikemukakan oleh Tönnies, menurutnya daerah urban adalah tempat di mana para migran mengakhiri kewajiban-kewajiban dalam masyarakat rural yang berhubungan dengan ikatan kekeluargaan dan pemilikan tanah dan digantikan oleh hubungan asosiasi dengan sesama pendatang (Miles, 2007: 10). Konsep rural dan urban menurut Marc Mormont dan Bunce terdapat dalam lirik rap Manggarai. Wilayah rural dalam rap Manggarai adalah Manggarai sebagai tempat yang damai, tenang, dan sederhana, ditambah dengan kekerabatan yang kuat dan praktek-praktek kultural yang terpelihara. Berbeda dengan pendapat Bunce yang menganggap konstruksi rural itu dibuat oleh masyarakat urban, dalam rap Manggarai ruralitas dikonstruksikan oleh keduabelah pihak. Rapper dari wilayah rural yaitu Manggarai mengemukakan keunggulan wilayah rural dibandingkan urban, terutama dalam nilai-nilai budaya dan kemasyarakatan, sementara rapper yang tinggal di luar wilayah Manggarai menyoroti modernitas yang mulai masuk ke wilayah rural dan mengganggu sistem sosial dan budaya yang menjadi keunggulan wilayah rural. 50 Konsep urban menurut Sennett dan Tönnies dalam Miles (2007) sebagai wilayah yang penindasan bagi orang miskin terlihat dalam tema perjuangan dan suka-duka hidup di perantauan yang berbeda dari wilayah rural. Tema-tema lainnya adalah modernitas yang menggilas kaum urban yang tidak dapat menyesuaikan diri karena tidak memiliki keterampilan dan kekuasaan. Paradoks antara kehidupan rural dan urban ini mendominasi tema-tema rap Manggarai. 1.6.4 Kontestasi Middleton dalam Shuker (2005) meletakkan musik populer sebagai wilayah kontradiksi dan kontestasi antara sesuatu yang diterapkan dan hal yang dianggap otentik, selain itu musik populer juga menekankan pada otonomi relatif dari praktek-praktek kultural. Musik populer yang menyebar ke luar wilayah mengalami apropriasi dan adaptasi sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan selera lokal. Proses apropriasi, adaptasi, dan kreativitas para seniman memunculkan ruang realitas dan imajinasi yang berkontestasi dalam ruang pendengar musik. Secara konseptual, kontestasi adalah aktifitas sosial yang mayoritas di lakukan dengan menggunakan bahasa, meskipun tidak semua bentuk kontestasi menggunakan “expressis verbis” (Wiener, 2014). Jadi dalam model-model kontestasi seperti, arbitrasi (arbitration), justifikasi (justification), perembukan (deliberation), dan pertikaian (contention), terutama yang terakhir, tidak membutuhkan kata-kata untuk menunjukkan sikap. Meskipun demikian hal utama dalam kontestasi adalah tidak menggunakan kekerasan dalam melakukan aksinya, serta lebih mengutamakan tindakan. 51 Sebagai praktek sosial kontestasi dilakukan terhadap sesuatu yang menjadi isu spesifik bagi masyarakat. Cara-cara melakukan kontestasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Metode kontestasi dalam lingkungan yang luas seperti negara dan masyarakat tentu berbeda dengan dunia akademis yang mempunyai lingkup sempit seperti yang dikatakan oleh Steven Bernstein dalam Wiener (2014), ‘‘one way to think about contestation is ‘the gap between general rules and specific situations’’’ (Bernstein dalam Wiener, 2014: 24) Berdasarkan pendapat di atas maka praktek-praktek kontestasi dalam budaya pop dapat menggunakan berbagai bentuk, baik eksplisit maupun implisit. Para pelaku dalam budaya pop dapat menggunakan karya-karyanya untuk mengekspresikan beragam bentuk kontestasi seperti mempromosikan budaya lokal dengan format musik global. Cara ini dipakai dalam rap Manggarai yang menggunakan konsep musik rap global untuk melakukan revitalisasi dan promosi budaya lokal. 1.6.5 Apropriasi Penyebaran musik rap ke luar Amerika mendorong terjadinya apropriasi oleh para rapper di luar budaya aslinya untuk melakukan apropriasi genre musik itu agar sesuai dengan selera masyarakatnya. Apropriasi dalam musik menurut Shuker (2005) merujuk pada proses peminjaman, penciptaan kembali, dan percampuran dari berbagai sumber untuk menciptakan bentuk-bentuk dan ruang baru untuk melakukan reterritorialisasi. Proses peminjaman dan penciptaan kembali oleh para musisi itu dalam bentuk suara-suara musikal, aksen, dan gaya bermusik maupun penampilannya. 52 Apropriasi musik rap oleh masyarakat di luar wilayah budaya aslinya, menurut Kitwana (2002), merupakan bentuk penerimaan, inisiatif, dan sekaligus ungkapan ketidakcocokan atau perbedaan pandangan terhadap produk budaya masyarakat Afro-Amerika oleh konsumen musik di luar wilayah Amerika. Pendapat ini hampir serupa dengan pandangan Androutsopoulos & Scholz (2003) yaitu, “appropriation is the productive use of an original imported cultural pattern, […] appropriation of rap music starts when rap fans not only listen to imported records, but starts performing the genre themselves” (Androutsopoulos & Scholz, 2003: 463). Tujuan apropriasi yang dilakukan oleh rapper di luar wilayah Amerika adalah penyesuaian dengan selera masyarakat lokal, mempertahankan identitas budayanya, serta melakukan reterritorialisasi terhadap budaya baru sekaligus penafsiran baru terhadap budayanya sendiri. Penyesuaian terhadap selera masyarakat lokal dilakukan untuk memenangkan kontestasi dengan genre musik lainnya, sekaligus menjadikan rap lokal tidak terasa asing bagi masyarakat setempat. Upaya apropriasi untuk mempertahankan identitas budaya oleh para rapper dilakukan karena nilai-nilai yang terdapat dalam genre musik itu tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai budaya penerimanya, bahkan terkadang bertentangan dengan budaya lokal. Ketidaksesuaian itu mendorong mereka memasukkan unsur-unsur lokal agar tidak tercerabut dari budaya asalnya. bentukbentuk apropriasi ini juga merupakan kreativitas dan inisiatif rapper untuk melakukan reterritorialisasi budaya terhadap budaya masyarakat Afro-Amerika yang masuk ke Indonesia, sekaligus mengkritisi budaya lokal yang dianggap tidak 53 sesuai dengan pandangan kaum muda sehingga membuka peluang untuk penafsiran baru yang sesuai dengan perkembangan jaman. 1.6.6 Cultural Reterritorialization Pada era global penyebaran budaya dari satu wilayah ke wilayah lainnya berlangsung cepat dan tak terbendung. Produk-produk budaya populer seperti film dan musik menyebar ke seluruh penjuru dunia dalam waktu singkat. Media internet, televisi, dan radio menghilangkan keterbatasan kondisi topografis, geografis, dan waktu. Di tengah serbuan budaya asing terdapat upaya aktif untuk menyesuikan dengan budaya lokal. James Lull menjelaskan bagaimana sumber-sumber budaya global itu disesuaikan dan ditata ulang dengan konteks lokal yang spesifik. Individu, yang persepsinya terhadap dunia berdasarkan pada bentuk-bentuk tertentu dari pengalaman dan pengetahuan lokalnya, secara kultural berusaha mendefinisikan ulang imaji, teks, dan obyek yang berasal dari budaya global dengan melakukan tindakan simbolis berupa cultural reterritorialization (Bennett, 2005). Teori ini berdasarkan pada asumsi bahwa budaya menyebar melampaui batas-batas geografis. Pengaruh budaya mengalir secara fleksibel melalui berbagai macam sarana komunikasi maupun kontak-kontak langsung yang semakin intens akibat berkembangnya alat transportasi. Asumsi kedua , batas-batas tersebut tidak hilang, namun ditata ulang menjadi bentuk-bentuk yang baru (Gupta & Fergusson, 1992). Budaya yang menyebar ke seluruh dunia mengalami kontektualisasi 54 dengan budaya lokal sehingga muncul bentuk-bentuk budaya baru melalui proses adopsi dan adaptasi. Pada proses adopsi dan adaptasi, budaya dari luar mengalami apropriasi. Proses apropriasi terjadi karena individu selalu berusaha menciptakan kembali tempat kultural atau teritori kultural yang baru (reterritorialize) di mana pun mereka berada. Upaya adaptasi terhadap budaya asing yang masuk dengan memberikan format baru sebagai bentuk keinginan menciptakan “cultural home” di mana pun seseorang berada. Kedua, dengan mencampurkan budaya dari luar dengan budaya setempat, terciptalah versi lokal yang lebih cocok dengan selera masyarakatnya. Selain itu, masyarakat lokal tetap ingin menggunakan nilai-nilai tradisional agar tak terlepas dari akar budayanya demi mempertahankan status maupun cara hidup, namun mereka merasa perlu mengadakan pembaharuan bentuk sehingga dapat mengikuti perkembangan jaman. Lebih lanjut Lull mengatakan: Reterritorialization….is a process of active cultural selection and synthesis drawing from the familiar and new. But creative construction of new cultural territories also involves new ways in interpreting cultural icons in process of resignification. The entire cultural milleu….become symbolic resources to be use in ways that differ radically from their original meanings and functions (Lull, 2000: 161). Cultural Reterritorialization menyebabkan semua dasar-dasar wilayah budaya yang meliputi cara hidup, artefak-artefak, simbol, dan konteksnya, terbuka pada interpretasi dan pemahaman baru. Selain itu cultural reterritorialization juga menunjukkan bahwa budaya secara terus menerus dibentuk kembali melalui interaksi sosial, bentuk komunikasi personal yang kreatif, teknologi, dan media 55 massa. Produk budaya yang mengalami cultural reterritorialization telah kehilangan bentuk aslinya akibat interpretasi dan pemahaman baru dalam konteks lokal. Kobin & Alaste dalam Lang (2009), mengatakan artis-artis lokal mengintegrasikan budaya lokal mereka dengan budaya asing untuk menciptakan budaya hibrid yang tidak lagi terasa asing. Bentuk-bentuk cultural reterritorialization dalam musik rap Manggarai diantaranya adalah: tema, bahasa, dan musiknya. 1.7 Metode Penelitian Penelitian kualitatif tentang hibriditas musik Amerika ini menggunakan obyek formal budaya Amerika, sementara obyek materialnya adalah musik rap ini merupakan kajian transnasional dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dalam Pengkajian Amerika. Pendekatan interdisipliner melihat fenomena dengan menggunakan berbagai sudut pandang agar dapat menginterpretasikannya lebih mendalam. Untuk mencapai tujuan itu dipergunakan berbagai konsep, teori, dan metode yang berasal dari berbagai bidang ilmu. Sebagai sebuah penelitian kualitatif, peneliti membuat interpretasi atas apa yang dilihat, dengar, dan pahami (Creswell, 2012). Untuk melakukan interpretasi dipergunakan metode thick description yang dikemukakan oleh Pontoretto. Metode Pontoretto (2006) merupakan pengembangan dari pemikiran Denzin yang menyatukan konsep antropologis Geertz dan konsep filosofis Ryle. Metode Denzin menurut Pontoretto berbentuk instruktif sehingga thick description tak hanya dapat dipergunakan untuk penelitian etnografi, namun dapat dipergunakan 56 juga untuk penelitian sosiologis, komunikasi, maupun humaniora. Pontoretto mengatakan: A thick description… does more than record what a person is doing. It goes beyond mere fact and surface appearances. It presents detail, context, emotion, and the webs of social relationships that join persons to one another. Thick description evokes emotionality and self feelings. It inserts history into experience. It establishes the significant of an experience, or the sequence of events, for the person or persons in question. In thick description, the voices, the feelings, actions, and meanings of interacting individual are heard (Pontoretto 2006: 261). Menurut Ponterotto dalam menganalisis sebuah fenomena menggunakan thick description harus dapat melukiskan dan menginterpretasikan tindakan sosial yang dilakukan oleh orang-orang yang diteliti secara kontekstual di mana peristiwa tersebut terjadi, baik berupa pikiran, emosi, maupun hubungan sosial di antara individu serta kelompok yang diteliti. Ciri utama untuk melakukan interpretasi terhadap tindakan sosial mengharuskan tinjauan terhadap motivasi dan tujuan dari tindakan sosial tersebut. Hal ini harus dilakukan agar pihak yang membaca hasil penelitian dapat merasakan pengalaman seperti yang dialami oleh peneliti terhadap situasi yang dikisahkannya. Jadi thick description harus menyajikan ‘thick interpretation’ atas tindakan-tindakan sosial yang dilakukan tineliti sehingga dapat memberikan ‘thick meaning’ pada hasil penelitian yang menjangkau pemahaman sekaligus situasi batin pembaca. 1.7.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian terhadap rap Manggarai dibatasi secara temporal pada lagu-lagu rap yang beredar pada kurun waktu 2008-2013. Tahun 2008 merupakan tonggak kehadiran rap di Manggarai, sementara batasan tahun 2013 57 diambil berdasarkan asumsi bahwa waktu lima tahun dapat memperlihatkan dinamika, tren, dan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam musik. Dengan demikian melalui penetapan kurun waktu 2008-2013 dinamika rap Manggarai dapat diamati dan dianalisisa dengan baik. Elemen-elemen rap yang menjadi kajian dalam penelitian ini dibatasi pada elemen musik dan teks liriknya. Elemen musik dipergunakan untuk mengamati hibriditas yang terjadi dalam konteks musiknya, sementara teks dipergunakan untuk menganalisis hibriditas yang terjadi dalam tema, bahasa, dan cara penyampaiannya. Untuk melihat karakter hibrid dalam musik pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap elemen bunyi bunyi lokal yang menampilkan kekhasan wilayah Manggarai. Analisis terhadap karakter hibrid dalam teks dilihat melalui penggunaan bahasa serta penyampaian topik, dan fenomena lokal dalam narasi para rapper. Batasan Manggarai dalam penelitian ini meliputi aspek kesatuan geografis dan kultural. Aspek geografis menunjuk pada wilayah di bagian barat pulau Flores, 08°.14’ LS - 09°.00 LS dan 120°.20’ BT - 120°.55’° BT dengan luas wilayah 7. 242 km persegi yang terdiri dari daratan Pulau Flores dan pulau kecil yaitu Pulau Mules, Pulau Komodo, dan Rinca (BPS Kabupaten Manggarai, 2014a; Hemo, 1988; Dagur, 1997) dengan jumlah penduduk 548.168 jiwa pada tahun 2000 (BPS Kabupaten Manggarai, 2014b). Kabupaten Manggarai merupakan kabupaten induk yang mengalami dua kali pemekaran yaitu Manggarai Barat pada tahun 2005 dan Manggarai Timur tahun 2007. Dalam wilayah administratifnya, Manggarai mempunyai 11 kecamatan dengan 145 desa 58 dan 17 kelurahan (BPS Kabupaten Manggarai, 2014c). Sebagai sebuah kesatuan, tiga kabupaten ini terletak di ujung barat pulau Flores yang berbatasan dengan: Kabupaten Ngada di sebelah timur, Selat Sape di bagian Barat, Laut Sawu di bagian selatan, dan Laut Flores di sebelah utara. Tiga kabupaten yang berasal dari satu kabupaten induk ini juga merupakan satu kesatuan sosiokultural. Ketiga wilayah administratif ini disebut Manggarai Raya (Regus & Deki, 2011) karena secara umum memiliki kesamaan kondisi sosial dan budaya meskipun ada beberapa perbedaan bahasa seperti: bahasa Komodo di Pulau Komodo, bahasa Wae Rana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang memiliki kesamaan sampai di wilayah Ngada bagian utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong, dan bahasa Manggarai Khusus (Dagur, 1997). Menurut Dorotheus Hemo (1988), yang dimaksud dengan bahasa Manggarai khusus adalah enam dialek yang terdiri dari dialek Riung, dialek Manggarai Barat, Dialek Manggarai Tengah, dialek Manggarai Peralihan, dialek Manggarai Timur, serta dialek S menjadi H (wilayah Kolang, Pacar, dan Rego), dan dialek C menjadi S (wilayah Riwu dan Manus). 59 Peta1: Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur Sumber: www. petantt.com 1.7.2 Metode Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif, data dalam penelitian ini diperoleh dari studi pustaka, observasi, dan wawancara. Data dari studi pustaka berasal dari sumber berformat audiovisual seperti DVD/VCD, situs internet (reverbnation dan youtube), dan MP3 serta sumber kepustakaan yaitu buku, jurnal ilmiah, koran, dan majalah. Data observasi diperoleh dari observasi terhadap acara musik di radio, televisi, video clip, dan acara-acara musik secara langsung (live performance), sedangkan data wawancara diperoleh dari informan, baik yang bergerak dalam bidang musik rap maupun para penggemar musik itu. Data audiovisual yang berupa musik rap menjadi data primer. Data musikmusik lain yang mencerminkan perubahan sosial seperti jazz, blues, country/folk, 60 dan pop menjadi data sekunder. Data kepustakaan yang berhubungan dengan musik rap dan perubahan sosial menjadi data pendukung. Data tentang musik rap di Amerika Serikat dikumpulkan berdasarkan wilayahnya yaitu rap East Coast diwakili oleh New York dan rap West Coast diwakili oleh Los Angeles dan San Fransisco. Musik rap Manggarai diambil secara keseluruhan karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rap yang berasal dari wilayah Manggarai Barat, Manggarai, atau Manggarai Timur. Observasi terhadap musik rap Manggarai dilakukan melalui program musik yang disiarkan oleh radio dan acara-acara yang melibatkan komunitas hip hop Manggarai. Observasi terhadap program musik radio dilakukan pada RSPD (Radio Suara Pemerintah Daerah) Manggarai, Lumen 2003 FM, dan Ntala Gewang FM. Alasan pemilihan ketiga radio adalah RSPD sebagai radio yang bergelombang AM (Amplitude Modulated) memiliki jangkauan yang luas sampai ke wilayah pedalaman. Luasnya jangkauan ini berpengaruh terhadap banyaknya pendengar yang dapat mengakses siarannya. Radio Lumen 2003 dan Ntala Gewang FM adalah radio milik Keuskupan Ruteng yang beroperasi secara mandiri menggunakan gelombang FM (Frequency Modulated). Radio dengan gelombang FM jangkauan siarannya lebih sempit, namun aksesnya lebih mudah diperoleh dengan menggunakan radio maupun telepon seluler yang mempunyai program radio. Observasi terhadap acara musik yang dipentaskan secara langsung (live performance) dilakukan pada acara-acara musik yang rutin dilaksanakan pada hari-hari besar keagamaan seperti Paskah dan Natal, Tahun Baru, dan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan, maupun pertunjukan insidental yang 61 diadakan dengan dukungan perusahaan tertentu dalam rangka promosi sebuah produk. Observasi terhadap musik rap Amerika Serikat dilakukan melalui media audiovisual seperti televisi, siaran radio live streaming, siaran langsung melalui internet, serta film-film yang mengangkat tema hip hop atau rap. Observasi pada media televisi dilakukan terhadap MTV (Music Television) dan stasiun televisi lain yang mempunyai program musik. Observasi terhadap siaran radio live streaming dan siaran langsung melalui internet dilakukan pada acara-acara musik, terutama musik rap. Data lainnya diperoleh dengan melakukan wawancara. Metode wawancara yang dipakai adalah wawancara tidak terstruktur (unstructured interview) dan bersifat terbuka (open-ended). Wawancara dengan metode ini mengajukan pertanyaan tentang hal yang sama kepada setiap informan, meskipun cara dan model pertanyaannya dapat bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi saat dilakukannya wawancara. Informan yang dipilih terdiri dari rapper, anggota komunitas rap, pengamat musik, penyiar radio, serta penikmat musik rap. Wawancara terhadap informan dilakukan secara langsung maupun menggunakan media komunikasi internet seperti Yahoo Messenger, Facebook, dan Skype. 1.7.3 Metode Pengolahan Data Proses pengolahan data adalah sebuah proses yang dilakukan peneliti untuk menyeleksi data yang diperoleh dan menempatkannya dalam kelompokkelompok untuk dianalisis guna menjawab rumusan masalah dalam penelitian. Menurut LeCompte & Schensul dalam Patton, 62 Data analysis is the process of reducing large amount of collected data to make sense of them. During analysis, data are organized, data are reduced through summarization and categorization, and patterns and themes in the data are identified and linked (LeCompte & Schensul dalam Patton, 1999: 23) Data studi pustaka yang berupa audiovisual dicatat atau direkam sesuai dengan kondisi sumber datanya. Data-data itu diidentifikasi untuk menggolongkannya dalam data primer atau data sekunder. Masing-masing data diklasifikasikan menurut tema yang ditemukan peneliti selama proses penelitian. Data primer yang terdiri dari lagu-lagu Manggarai dipilah berdasarkan bahasa yang dipergunakan dalam liriknya. Berdasarkan rekaman lagu yang beredar dalam bentuk CD maupun MP3 dalam internet, rap Manggarai menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Manggarai dan kombinasi di antara keduanya. Lagu yang menggunakan bahasa Manggarai menjadi kajian utama selain lagu yang menggunakan bahasa Indonesia dan campuran keduanya. Lagu-lagu rap Manggarai itu kemudian dikelompokkan lagi berdasarkan temanya yaitu yang berbicara tentang perubahan sosial dan non perubahan sosial. Lagu yang bertema perubahan sosial menjadi kajian, sementara lagu bertema non perubahan sosial tidak termasuk di dalamnya. Hal ini bertujuan untuk menemukan jawaban tentang definisi rap Manggarai sekaligus melihat potret perubahan sosial yang ada di wilayah itu. Salah satu contoh lagu rap Manggarai yang menggunakan bahasa Manggarai dan menggambarkan kondisi masyarakatnya adalah Benggong. Lagu ini merupakan adaptasi dari syair masyarakat Manggarai dengan judul yang sama: 63 Benggong - banggong, mbere lele benggong Hostiga benggong rangkang lada benggong Lako ko toe hi nana lupi nanga haes teku wae betong benggong – banggong Rasung wa...rasung wa toe ita ende go.... ema go..... betong benggong – banggong. Sekarang kita akan berpisah, (pergi dari tanah asal) menjadi pesuruhSekarang akan segera pergi Pada musim bunga lada mekar Akan pergi atau tidak laki-laki di dekat pantai Memikul potongan bambu untuk menimba air Saatnya berpisah Sungguh sedih….sungguh sedih Tak akan melihat ayah ibu lagi Saatnya berpisah Lagu Benggong ini menggambarkan perubahan pola hidup masyarakat Manggarai dari agraris menjadi masyarakat urban. Dalam kehidupan masyarakat agraris, orang Manggarai memiliki kedaulatan atas hidup dan tanahnya sendiri. Kedaulatan ini merupakan sebuah kebanggaan sekaligus perwujudan harga diri. Kepergian mereka dari tanah asalnya untuk menjadi kaum urban berarti kehilangan kedaulatan dan kebanggaan atas diri sendiri dengan hanya menjadi orang upahan atau memperoleh gaji dari orang lain. Dalam pandangan orang Manggarai, orang upahan atau pesuruh mempunyai konotasi serupa dengan mendi atau budak. Istilah budak dalam bahasa Manggarai merujuk pada pekerja kasar tanpa ketrampilan. Perpisahan dengan kampung halaman dan kaum kerabat menyebabkan kesedihan mendalam karena tercabutnya seseorang dari asalusulnya berarti kehilangan identitas kultural dan menjadi seseorang tanpa akar, terutama karena kepergian mereka tidak dapat diketahui batas waktunya. Mobilitas sosial orang Manggarai sebagai kaum urban dapat diartikan sebagai kematian karena kehilangan jati diri dan terlepas dari komunitasnya. Lagu ini menunjukkan bagaimana para rapper menggambarkan perubahan konsep hidup 64 masyarakat Manggarai dari petani menjadi buruh di kota-kota besar di luar pulau Flores. Data yang berasal dari kepustakaan dibaca dan dibuat katalognya. Data kepustakaan yang berupa buku, jurnal, majalah baik cetak maupun online, dan musik sheet disusun berdasarkan tema dan disimpan dalam bentuk catatan keras (hard copy) maupun catatan lunak (soft copy). Data ini dipergunakan untuk mendukung data audiovisual untuk melihat transnasionalisasi musik rap Amerika di Manggarai. Pengolahan data hasil observasi yang berupa catatan-catatan dilakukan dengan cara membaca kembali semua catatan, kemudian memilah dan mengkategorikan catatan-catatan itu berdasarkan tema. Data yang diperoleh dari proses tersebut kemudian diinterpretasi oleh peneliti. Setiap kategori yang ada kemudian dihubungkan untuk melihat keterkaitannya. Hasil dari interpretasi itu dipergunakan untuk mendukung jawaban terhadap permasalahan yang diajukan dalam pertanyaan penelitian. Hasil wawancara ditranskripsikan dan dibaca ulang oleh peneliti. Transkrip itu dipilah-pilah ke dalam jenis-jenis yang berbeda berdasarkan data yang diberikan oleh informan. Data yang telah dipilah dan diproses itu kemudian diklasifikasikan berdasarkan tema yang telah ditentukan. Hasil klasifikasi terhadap data itu kemudian diinterpretasikan agar dapat menyingkap makna dibalik jawaban-jawaban yang diberikan oleh informan selama dilakukan wawancara. Hasil interpretasi itu dilakukan untuk mendukung data-data lainnya guna menjawab pertanyaan penelitian dan mewujudkan tujuan penelitian. 65 1.8 Sistematika Penulisan Disertasi ini berisi enam bab yang terdiri dari bab I berisi pengantar, latar belakang permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta konsep dan teori yang dipakai untuk melakukan analisis terhadap obyek kajian. Bagian akhir dari bab ini berisi metode penelitian yang berupa metode pengumpulan dan analisis data, serta sistematika penilaian. Bab II berisi perkembangan dan dinamika rap di Amerika. Pembahasan dalam bab ini meliputi latar belakang munculnya budaya hip hop dan keempat pilarnya di New York. Dalam perkembangan hip hop yang menyebar ke seluruh Amerika menimbulkan berbagai dinamika, antara lain persaingan antara kelompok-kelompok rap di East Coast dan West Coast, munculnya gangsta rap, dan pusat-pusat rap baru di the Midwest dan the South yang membawa ciri khas tersendiri dalam genre ini. Perkembangan rap yang didukung oleh media juga sampai ke wilayah pinggiran yaitu Hawaii. Berbeda dengan rap Amerika Daratan, komunitas rap Hawaii menampilkan hibriditas melalui bahasa lokal dan musik tradisional kepulauan itu. Bab ini membahas pula perkembangan rap ke manca negara dengan bantuan media massa dan film. Bab III berisi perkembangan rap di Indonesia yang terdiri dari masa awal, pada masa genre itu masuk dalam industri arus utama, dan ketika melakukan produksi dengan sistem indie setelah terjadi perubahan tren musik dalam masyarakat. Bab ini juga membahas bentuk-bentuk apropriasi yang dilakukan oleh para rapper Indonesia dan reterritorialisasi yang dilakukan untuk menampilkan identitas kulturalnya. 66 Bab IV berisi keterhubungan antara unsur-unsur tradisional di Manggarai dengan musik rap sehingga mempercepat proses apropriasi dan popularitas musik itu di kalangan kaum muda. Bab ini juga membahas tentang komunitas rap underground yang ada di Manggarai. Termasuk di dalamnya perkembangan musik itu di tiga wilayah Manggarai Raya dengan pusat-pusat di Borong, Labuan Bajo, dan Ruteng. Selanjutnya pada bab V, pembahasan meliputi konsep otentisitas dalam musik rap Manggarai, konsep rural dan urban, ruang realitas dan imajinasi, kontestasi antara ruang-ruang itu dalam rap Manggarai, serta bentuk reterritorialisasi rap Manggarai. Konsep otentitas dibahas untuk melihat pergeseran yang terjadi dari konsep otentisitas dalam rap Amerika akibat apropriasi oleh rapper lokal. Konsep rural dan urban yang mempengaruhi persepsi pendengar dan rapper sehingga menimbulkan ruang-ruang realitas dan imajinasi, serta kontestasi antara rapper dari dua wilayah itu. Sementara bab VI berisi kesimpulan dari penelitian ini dan temuan-temuan yang memberikan kontribusi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan musik rap dan kajian di wilayah Manggarai.