bab i pengantar

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Réyog Gemblug merupakan sebuah kesenian rakyat yang
berasal
dari
daerah
Kabupaten
Tulungagung,
Jawa
Timur.
Kesenian ini merupakan tari rakyat yang disajikan secara
kelompok
dengan
penari
berjumlah
enam
orang
atau
kelipatannya. Réyog Gemblug mempunyai nama lain yaitu Réyog
Dhodhog, Réyog Kendang, dan Réyog Tulungagung.
Kesenian Réyog Gemblug dan Réyog Ponorogo sama-sama
Réyog,
menggunakan
kata
menggunakan
Dhadhak
namun
Merak
Réyog
sebagai
Gemblug
properti,
tidak
melainkan
menggunakan kendang berkepala satu sebagai properti tari
sekaligus alat musik utama dalam penyajiannya. Penggunaan
kendang berkepala satu dalam Réyog Gemblug diperkuat oleh
pendapat Claire Holt. Ia menjelaskan bahwa kita dapat melihat
pada relief candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-9,
pemain kendang yang menari mengiringi seorang pangeran dalam
perjalanan
ke
sebuah
stupa
dengan
sesaji.1
Kendang
ini
dimainkan dengan cara dipukul menggunakan tangan dan alat
pukul yang disebut trinthing. Kendang yang digunakan merupakan
1Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan
R.M. Soedarsono (Bandung: MSPI, 2000), 135-136.
1
2
kendang khusus sebanyak enam buah dibawa oleh masing-masing
penari dengan ukuran berbeda dan berkepala satu yang disebut
dengan dhodhog atau gemblug.
Istilah Réyog yang digunakan dalam Réyog Gemblug diambil
dari kata-kata dalam bahasa Jawa yaitu “riyeg” dan “reyot” yang
merupakan penggambaran kelelahan dan kesukaran perjalanan
prajurit dalam perarakan Ratu Kilisuci ke Gunung Kelud. Arakarakan Dewi Kilisuci merupakan cerita sekelompok prajurit yang
beriringan
membawa
dhodhog
dengan
melakukan
beberapa
gerakan. Hal ini merupakan dasar tari Réyog Gemblug yang pada
mulanya berbentuk keprajuritan yang disajikan dengan cara arakarakan.2
Réyog Gemblug mengalami perkembangan dan inovasi. Hal
ini tampak pada perubahan dalam bentuk kostum yang glamour
atau tampak mewah. Perubahan bentuk kostum ini dapat
dimungkinkan terpengaruh pada zaman penjajahan Belanda yang
pada bagian kostumnya menyerupai dengan kostum tentara
Belanda. Masuknya kesenian Wayang Wong Surakarta yang sejak
sebelum kemerdekaan Indonesia sudah mulai berkembang dan
menyebar di luar Surakarta juga mempengaruhi kostum Réyog
Gemblug terkesan mewah atau glamour.
2Soenarto Timoer, Réog di Jawa Timur (Jakarta: Proyek Sasana Budaya
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1978/79), 62-69.
3
Réyog Gemblug sebagai sebuah koreografi kelompok tari
rakyat,
sajiannya
menggunakan
gerak-gerak
variasi
kaki.
Pertunjukan ini menjadi lebih menarik karena dipadukan dengan
pola tabuhan kendang berkepala satu yang dimainkan oleh
masing-masing penari memberikan ritme pada setiap variasi
geraknya. Pertunjukan Réyog Gemblug pada awalnya adalah
sebuah
pertunjukan
arak-arakan
yang
sajiannya
lebih
menonjolkan tabuhan kendang yang kemudian diikuti gerakangerakan kaki. Perkembangan selanjutnya sejak tahun 1981 Réyog
Gemblug mulai dikembangkan dan disajikan ke pertunjukan
panggung yaitu pada panggung prosenium oleh Untung Mulyono.
Sajian pertunjukannya berbeda dengan Réyog Gemblug pada arakarakan.
Sajian pertunjukan Réyog Gemblug panggung memiliki
variasi penggarapan mencakup elemen-eleman tari yaitu ruang,
waktu, dan kekuatan gerak. Y. Sumandiyo Hadi menjelaskan
bahwa ketiga elemen tari tersebut merupakan hal pokok dan sifat
dari tari yang membentuk tritunggal sensasi yang sangat berarti.
Hal ini terjadi dikarenakan kekuatan gerak yang membuat
terjadinya gerakan membentuk aspek ruang sehingga ruangan
menjadi hidup sebagai elemen estetis.3 Hal ini dapat dipahami
3Y. Sumandiyo Hadi, Aspek-Aspek Koreografi Kelompok (Yogyakarta:
eLKAPHI, 2003), 23-25.
4
penggarapan tari rakyat ke dalam pertunjukan panggung tentu
telah menerapkan aspek-aspek koreografi.
Sebuah pertunjukan dapat mempunyai beberapa macam
arti. Sal Murgiyanto menjelaskan bahwa pertunjukan adalah
sebuah komunikasi antara satu orang sebagai pemberi pesan dan
orang yang lain sebagai penerima pesan. Komunikasi ini dapat
terjadi
apabila
pemberi
pesan,
yang
dalam
artian
pelaku
pertunjukan mempunyai maksud yang dapat diterima oleh
penerima pesan, yang disebut sebagai penonton. Lebih lanjut lagi
ia memaparkan bahwa dalam suatu pertunjukan harus terdapat
pemain (performer) dan penonton (audience) yang saling memberi
dan menerima pesan baik itu berupa audio, visual, maupun audio
visual.4
Kesenian
Réyog
Gemblug
sebagai
sebuah
pertunjukan
panggung mulai dikenal oleh masyarakat maupun perguruan
tinggi seni di Indonesia. Pada Festival Kesenian Indonesia pertama
kali pada tahun 1983 terdapat juga pertunjukan Réyog Gemblug,
sehingga membuat kesenian ini semakin dikenal oleh masyarakat.
Bahkan pada Festival Kesenian Yogyakarta pertama kali tahun
4Sal Murgiyanto, Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat (Yogyakarta: FSP
IKJ, 2015), 20.
5
1989 Réyog Gemblug ikut terlibat ke dalam karnaval dengan
penari sebanyak tiga puluh enam orang.5
Pada tahun 1995 kesenian Réyog Gemblug menjadi ikon
budaya Kabupaten Tulungagung. Hal ini ditindaklanjuti oleh
pemerintah Kabupaten Tulungagung dengan menerbitkan buku
berjudul Réyog Tulungagung. Pembuatan buku ini merupakan
harapan
dari
pemerintah
daerah
agar
kelak
masyarakat
Tulungagung lebih bangga dan melestarikan kesenian asli dari
daerah Tulungagung. Selain itu diharapkan juga masyarakat luar
daerah Tulungagung ketika melihat pertunjukan Réyog Gemblug
atau Réyog Kendang akan teringat dengan Tulungagung sebagai
daerah asal kesenian tersebut.6
Pemerintah Kabupaten Tulungagung dengan upaya-upaya
yang dilakukannya ingin menjadikan Réyog Gemblug sebagai
sebuah
identitas
kebudayaan
masyarakat
Tulungagung
mengisyaratkan adanya nuansa politik di dalamnya. Hal tersebut
tercermin ketika Tulungagung ingin membedakan Réyog yang
mereka miliki dengan Réog Ponorogo. Selain hal tersebut, isu
Réyog Gemblug yang dikaitkan dengan politik terlihat pada
beberapa fenomena seperti dalam fenomena yang terjadi ketika
partai Golkar masih mendominasi kancah dunia politik di
5Wawancara dengan Untung Muljono (dosen Etnomusikologi Institut
Seni Indonesia Yogyakarta) pada tanggal 19 November 2013 di ISI Yogyakarta.
6Mugianto, So’iran, dan Sri Wahyuni, Réyog Tulungagung (Tulungagung:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung, 1995), ii.
6
Indonesia. Pada masa ini mempengaruhi aspek koreografi Réyog
Gemblug, yang salah satunya terdiri dari kostum atau busana tari.
Hal ini dapat dipahami bahwa kostum merupakan salah satu
aspek koreografi, senada dengan pernyataan Y. Sumandiyo Hadi
yang menjelaskan bahwa aspek-aspek koreografi kelompok salah
satunya terdiri dari kostum.7 Kostum yang digunakan oleh para
penari Réyog Gemblug pada masa ini serba berwarna kuning.
Selain itu warna yang digunakan dalam kendang berkepala satu
juga menggunakan warna kuning, sehingga disebut “kuningisasi”
atau pengaruh warna kostum dipengaruhi warna dari identitas
partai Golkar.
Kabupaten Tulungagung pada saat ini mempunyai banyak
kelompok Réyog Gemblug. Menurut catatan Dinas Kebudayaan,
Pariwisata, dan Olahraga Kabupaten Tulungagung tahun 2014
terdapat 13 kelompok Réyog Gemblug yang eksis, ditambah lagi
masih banyak kelompok-kelompok kesenian lain yang bukan
khusus sanggar Réyog Gemblug juga memiliki kesenian ini.
Selanjutnya
pemerintah
daerah
mewajibkan
SD,
maupun
SMP,
kabupaten
SMA
Tulungagung
untuk
memiliki
ekstrakulikuler Réyog Gemblug sebagai sarana dalam pendidikan
karakter siswa. Festival maupun perlombaan Réyog Gemblug juga
sering
diadakan
7Y.
sebagai
bentuk
Sumandiyo Hadi, 2003, 23-95.
upaya
pelestarian
dan
7
pengembangan kesenian asli Tulungagung. Pemerintah daerah
Tulungagung juga sering mendapatkan permintaan setiap tahun
untuk mengisi acara pada parade senja di Istana Negara dengan
mementaskan Réyog Gemblug.8
Fenomena yang terjadi di atas memberi landasan berpikir
bahwa pertunjukan Réyog Gemblug mengalami perkembangan
yang cukup signifikan. Perkembangan tersebut dapat dipahami
dipengaruhi
oleh
perkembangan
politik
bentuk
praktis.
gerak
yang
Hal
ini
termasuk
terlihat
dalam
dalam
elemen
koreografi Réyog Gemblug. Gerak-gerak yang ditampilkan tidak
tidak monoton, namun menjadi lebih variatif dan atraktif. Salah
satu contoh yaitu penggunaan kendang berkepala satu bisa
dimainkan sebagai properti yang dapat diputar, diletakkan,
maupun dijinjing.
Perkembangan Réyog Gemblug dapat dipahami tidak dapat
lepas dari dunia politik atau legitimasi dari penguasa. Hal tersebut
mengarahkan peneliti kepada konsep dari Bourdieau tentang rites
of institutions. Bourdieau menjelaskan bahwa rites of institutions
adalah pelembagaan yang menyarankan semua upacara atau
ritual untuk mentasbihkan atau mengesahkan batas dengan
sewenang-wenang. Pentasbihan ini dilakukan sebagai batas dan
8Wawancara
dengan Bimo Wijayanto (Pelatih Réyog Gemblug
Tulungagung) pada tanggal 14 Maret 2014 di kantor DISBUDPARPORA Kab.
Tulungagung.
8
mendorong pengakuan itu sebagai sah, batas yang merupakan
tatanan sosial dan mental upacara yang dirancang untuk menjaga
di semua aspek, seperti pembagian antara kedua jenis kelamin
dalam upacara perkawinan.9 Konsep ini menuntun peneliti untuk
meneliti lebih lanjut mengenai perkembangan dari tari Réyog
Gemblug yang dipengaruhi oleh politik praktis, terutama dari
penguasa yang sangat dominan dalam perkembangan kesenian
tersebut.
Fenomena yang terjadi dalam politik pada Réyog Gemblug
memberikan dampak dalam sudut pandang yang lain. Réyog
Gemblug sebagai seni tradisi di wilayah Kabupaten Tulungagung
memiliki nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kesenian ini
tidak lepas dari praktik sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Berdasarkan perkembangan Réyog Gemblug yang terjadi sekaligus
pengaruh
ketertarikan
maupun
dampak
terhadap
peneliti
yang
dihasilkan
untuk
meneliti
membawa
lebih
lanjut
fenomena yang terjadi di dalam kesenian ini.
Penelitian
ini
merupakan
kelanjutan
dari
penelitian
terdahulu yaitu “Reyog Gemblug Sanggar Condromowo Kabupaten
Tulungagung” yang membahas tentang koreografi maupun sistem
tradisi pewarisan di dalam Sanggar Condromowo. Réyog Gemblug
di Tulungagung pada saat ini telah mengalami perkembangan
9Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, John B. Thompson, ed.
(Cambridge UK: Polity Press, 1991), 118.
9
yang cukup pesat. Perkembangan yang terjadi tidak lepas dari
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perkembangan
di
dalam
pertunjukan kesenian tersebut. Sebagai sebuah pertunjukan,
kesenian Réyog Gemblug sangat berkaitan erat dengan proses yang
membutuhkan ruang dan waktu.
Penelitian
yang
ada
pada
saat
ini
melihat
dari
perkembangan Réyog Gemblug di Tulungagung yang terjadi
sehingga menambah semarak dan kreativitas seniman Réyog
Gemblug. Maka timbul pertanyaan bagaimana perkembangan yang
terjadi dalam pertunjukan kesenian Réyog Gemblug Tulungagung.
Permasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi pertunjukan
Réyog Gemblug menjadikan suatu penelitian ini menarik untuk
diteliti dengan pokok permasalahan bagaimana perkembangan
koreografi Réyog Gemblug yang dipengaruhi politik praktis.
Pemahaman politik praktis yang dimaksud tidak semata-mata
yang berkaitan dengan partai politik maupun dunia politik yang
ada
dalam
sebuah
sistem.
Politik
merupakan sebuah kekuatan yang
menguasai
dan
mampu
praktis
dapat
dipahami
ada dan timbul untuk
memberikan
perubahan
maupun
perkembangan dalam sebuah kesenian, yang dalam hal ini adalah
Réyog Gemblug di Tulungagung. Berdasarkan pokok permasalahan
tersebut maka judul penelitian yang diberikan adalah “Réyog
10
Gemblug Tulungagung, Jawa Timur: Pengaruh Politik Praktis
Terhadap Perkembangannya”.
B. Rumusan Masalah
Penelitian tentang Réyog Gemblug ini menggunakan data
tentang sejarah dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Selain
itu yang menjadi pemusatan data yang digunakan adalah berupa
data kualitatif. Pertti Alasuutari menjelaskan bahwa penggunaan
data kualitatif sebagai data yang diandalkan disarankan untuk
menyelidiki lebih dalam tentang data tersebut. Pertanyaan yang
dimunculkan
adalah
“mengapa”
dan
“bagaimana”
untuk
mengungkap data berupa data kualitatif.10 Berdasarkan fenomena
yang terjadi dalam Réyog Gemblug peneliti merumuskan beberapa
permasalahan yang ditarik menjadi tiga butir pertanyaan, yaitu
sebagai berikut.
1.
Mengapa Réyog Gemblug menggunakan kendang berkepala
satu sebagai properti dan alat musik tarinya?
2.
Bagaimana bentuk koreografi Réyog Gemblug?
3.
Bagaimana politik praktis mempengaruhi perkembangan
pertunjukan Réyog Gemblug?
10Pertti Alasuutari, Researching Culture: Qualitative Method and Cultural
Studies (London: Thouson Oaks, New Delhi: SAGE Publication, 1996), 6-22.
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Menjelaskan kronologis Réyog Gemblug menggunakan kendang
berkepala satu sebagai properti dan alat musik tarinya.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis bentuk koreografi Réyog
Gemblug.
3. Mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh politik praktis
mempengaruhi pertunjukan Réyog Gemblug.
4. Memberikan informasi kepada akademisi, seniman, maupun
masyarakat tentang pengaruh politik praktis terhadap teks
bentuk koreografi Réyog Gemblug Tulungagung.
D. Tinjauan Pustaka
Peninjauan buku atau pustaka yang terkait dalam penelitian
ini merupakan upaya yang dilakukan untuk membuktikan bahwa
penelitian ini adalah hasil penelitian yang masih orisinil. Adapun
pustaka yang terkait dengan penelitian ini antara lain terdapat
pada tulisan-tulisan sebagai berikut.
Penelitian
yang
menjelaskan
mengenai
Réyog
adalah
disertasi G.R. Lono Lastoro Simatupang berjudul “Play and
Display: An Ethnographic Study of Réyog Ponorogo in East Java,
Indonesia”. Pada tulisan ini Réyog disebut réog merupakan sebuah
bentuk seni masyarakat yang mengilhami dari kata Réog Ponorogo
sebagai seni pertunjukan. Antara seni masyarakat dan seni
12
pertunjukan tersebut berhubungan satu sama lain sebagai
tampilan kebudayaan dan budaya tradisional. Réyog yang terdapat
di Ponorogo dijelaskan merupakan tarian yang terdapat peranperan di dalamnya yaitu peran Warok, Jathil, Dhadhak Merak,
Kelana Sewandana.11
Réyog Ponorogo dilihat dari bentuk pertunjukannya terdapat
peran-peran tertentu dan menggunakan properti salah satunya
dhadhak
yaitu
merak.
Tulisan
Réyog
Ponorogo
tersebut
memberikan informasi penting yang dapat dijadikan sebagai salah
satu sumber acuan Réyog-Réyog lain yang ada di Jawa Timur
termasuk Réyog Gemblug di Tulungagung.
Tesis
Yayuk
Nuryati
berjudul
“Keberlangsungan
dan
Pergeseran Peran Warok dalam Pertunjukan Réyog Ponorogo”.
Penelitian ini menitikberatkan Warok sebagai objek utama dalam
penelitian tersebut, yang dijelaskan keberadaan tokoh warok
sebagai tokoh yang khas, unik dan hanya sebutannya di Ponorogo,
saat ini telah mengalami pergeseran dalam kehidupan sosial
maupun perannya dalam kesenian Réyog Ponorogo. Tesis ini
memaparkan asal-usul kesenian Réyog Ponorogo beserta unsurunsur
pertunjukannya.
Tulisan
sangat
informatif
dalam
memberikan gambaran mengenai Réyog lain di Jawa Timur yaitu
11G.R. Lono Lastoro Simatupang, “Play and Display An Ethnographic
Study of Réyog Ponorogo in East Java Indonesia, (disertasi doktoral, University
of Sydney, 2002), 151-164.
13
Réyog Ponorogo yang mempunyai ciri khas yaitu terdapat penari
Warok dalam pertunjukannya, namun di dalamnya tidak terdapat
penjelasan
mengenai
Réyog
lain
termasuk
Réyog
Gemblug
Tulungagung.12
Buku Soenarto Timoer yang berjudul Reog di Jawa Timur,
1978/79, menjelaskan tentang beberapa jenis Réyog yang berada
di Jawa Timur. Ia menyebutkan Réyog di Jawa Timur antara lain
Réyog Ponorogo, Réyog Tulungagung, dan Réyog Kediri. Masingmasing daerah ini memiliki kesamaan nama dalam keseniannya
yaitu Réyog, namun ketiga kesenian ini mempunyai sajian dan
bentuk
pertunjukan
yang
berbeda.
Soenarto
Timoer
juga
menjelaskan sejarah dari masing-masing Réyog tersebut.
Menurut
buku
ini,
kesenian
Réyog
Tulungagung
Di
Tulungagung disebutkan mempunyai nama lain yaitu Réyog
Kendang. Nama ini digunakan untuk menyebut kesenian yang
berasal dari Tulungagung menggunakan kendang khusus sebagai
properti sekaligus sebagai alat musik utama. Buku ini sangat
informatif yang dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk
melihat sejarah dari Réyog Tulungagung. Penjelasan tentang
perkembangan
maupun
pengaruh
dari
konteks
lain
yang
mempengaruhi perkembangan kesenian Réyog Tulungagung tidak
12Yayuk Nuryati, “Keberlangsungan dan Pergeseran Peran Warok dalam
Pertunjukan Réyog Ponorogo”, (tesis magister, Universitas Gadjah Mada, 2014),
34-86.
14
terdapat dalam buku ini. Selain itu Soenarto Timoer hanya
menjelaskan tentang dua nama yang digunakan untuk mengingat
kesenian ini.13
Pustaka lain yang membahas Réyog Gemblug adalah Réyog
Tulungagung Kesenian Tradisional Khas Tulungagung ditulis oleh
Mugianto, So’iran, dan Sri Wahyuni (1995). Buku ini sangat
informatif
dalam
menunjang
penelitian
“Réyog
Gemblug
Tulungagung, Jawa Timur: Pengaruh Politik Praktis Terhadap
Perkembangannya”. Informasi yang didapatkan peneliti dari buku
ini adalah pemaparan tentang perubahan nama Réyog Kendang
menjadi Réyog Tulungagung. Buku ini juga mendeskripsikan
tentang rincian kostum penari, peralatan tari dan instrumen
beserta
deskripsi
singkat
tentang
gerak
dasar
tari
Réyog
Tulungagung yang digunakan. Gerak ini terdiri dari sepuluh
macam gerak antara lain, 1) Gerak Baris; 2) Gerak Sundangan; 3)
Gerak Andul; 4) Gerak Menthokan; 5) Gerak Gejoh Bumi; 6) Gerak
Ongak Sumur; 7) Gerak Midak Kecik; 8) Gerak Lilingan; 9) Gerak
Kejang; dan 10) Gerak Baris.14
Penelitian tentang Réyog Gemblug Tulungagung mempunyai
letak perbedaan dengan buku Réyog Tulungagung Kesenian
Tradisional Khas Tulungagung. Letak perbedaan yang dimaksud
adalah penggunaan objek material yang sama yaitu Réyog
13Soenarto
Timoer, 1978/79, 62-115.
So’iran, dan Sri Wahyuni, 1995, 10-12.
14Mugianto,
15
Gemblug, namun di dalam penelitian ini dipaparkan mengenai
sejarah penggunaan kendang berkepala satu dalam tari Réyog
Gemblug serta analisis dari koreografi Réyog Gemblug yang juga
meliputi gerak. Pengaruh politik praktis yang mempengaruhi
perkembangan
pertunjukan
Réyog
Gemblug
beserta
peran
pemerintah terhadap kesenian ini juga dipaparkan dan dianalisis
di dalam penelitian ini. Pemaparan dan analisis tersebut tidak
terdapat dalam buku Réyog Tulungagung Kesenian Tradisional
Khas Tulungagung.
Pustaka selanjutnya yaitu buku Réyog Tulungagung Réyog
Icon Budaya Tulungagung yang ditulis oleh Endin Didik Handoko,
Suprayitno, dan Sri Wahyuni (2009). Buku ini merupakan buku
yang
diterbitkan
oleh
Paguyuban
Jaranan
dan
Réyog
Se-
Tulungagung Watara Agung Saguru. Buku ini pada dasarnya
hampir sama dengan buku Réyog Tulungagung (1995), namun
buku ini lebih lengkap dengan menjelaskan legenda Réyog.
Informasi yang terdapat dari buku ini selain menjelaskan legenda
Réyog
juga
menjelaskan
mengenai
makna
kostum
yang
digunakan. Buku ini juga menjelaskan tentang gerak-gerak yang
digunakan dalam Réyog Gemblug yang berjumlah dua belas
gerakan, berbeda dengan buku Réyog Tulungagung (1995) yang
hanya menggunakan sepuluh macam gerak saja. Gerak yang
dimaksud antara lain, yaitu : 1) Gerak Baris; 2) Gerak Menthokan;
16
3) Gerak Patettan; 4) Gerak Kejang; 5) Gerak Lilingan; 6) Gerak
Ngungak Sumur; 7) Gerak Gejoh Bumi; 8) Gerak Midak Kecik; 9)
Gerak Sundang; 10) Gerak Andul; 11) Gerak Gembyangan; dan 12)
Gerak Baris.15
Pustaka-pustaka tersebut di atas memberikan informasi
berharga yang memuat deskripsi Réyog Gemblug di Tulungagung
beserta latar belakang singkat dan perkembangannya, namun
kurang lengkap karena tidak menyertakan konteks yang dapat
diperkirakan dipengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan
politik praktis. Tulisan di dalam pustaka-pustaka di atas tidak
memberikan informasi mengenai pengaruh politik praktis terhadap
perkembangan Réyog Gemblug Tulungagung yang memberikan
corak
pertunjukan
yang
berbeda
pada
Réyog
Gemblug
Tulungagung. Maka penelitian yang berjudul “Réyog Gemblug
Tulungagung, Jawa Timur: Pengaruh Politik Praktis Terhadap
Perkembangannya” merupakan penelitian yang masih orisinil.
E. Landasan Teori
Melihat
dari
disiplin
ilmu
yang
digunakan,
peneliti
menggunakan pendekatan etnokoreologi yang meletakkan bidang
tari sebagai subjek dengan analisisnya yang menggunakan ilmuilmu
tari
seperti
koreografi
dan
estetika.
Berdasarkan
15Endin
Didik Handoko, Suprayitno, dan Sri Wahyuni, Réyog
Tulungagung Réyog Icon Budaya Tulungagung (Tulungagung: Paguyuban
Jaranan dan Réyog Se- Tulungagung Watara Agung Saguru, 2009), 16-17.
17
permasalahan penelitian yang cukup kompleks peneliti juga
menggunakan beberapa disiplin bidang ilmu lain seperti dalam
bidang ilmu sejarah yang digunakan untuk mengupas sejarah dari
objek yang akan diteliti, sehingga penelitian ini dapat dikatakan
menggunakan pendekatan multidisiplin.
Pendekatan
etnokoreologi
digunakan
peneliti
dalam
mendeskripsikan dan menganalisis fenomena Réyog Gemblug
Tulungagung. Kurath menjelaskan dalam artikelnya yang berjudul
“Panorama of Dance Ethnology” tentang studi koreologi. Ia
menjelaskan
bahwa
koreologi
melingkupi
pengaturan
dalam
kebudayaan (tari) yang di dalamnya terdapat posisi budaya
individu dan jenis kelamin, pola organisasi sosial, serta kegiatan
ekonomi.16 Hal ini juga senada dengan yang diungkapkan oleh
R.M. Soedarsono bahwa istilah koreologi atau choreology lebih
tepat untuk digunakan dalam meneliti tari. Secara harfiah
choreology terdiri dari dua suku kata dalam bahasa Yunani yaitu
choros yang berarti tari dan logos yang berarti ilmu pengetahuan.
Lebih
lanjut
etnokoreologi
lagi
dipilih
R.M.
Soedarsono
sebagai
disiplin
menjelaskan
ilmu
karena
bahwa
sasaran
16Gertrude Prokosh Kurath, “Panorama of Dance Ethnology” dalam
Jurnal Current Anthropology, Vol. 1, No. 3 (The University of Chicago Press on
behalf of Wenner-Gren Foundation for Anthropological Research, May 1960),
233-254.
18
penelitian yang sudah jelas yaitu tari dari bangsa-bangsa atau
suku bangsa.17
Réyog Gemblug yang menggunakan kendang berkepala satu
sebagai
properti
dan
alat
musik
tarinya
dapat
ditelusuri
kronologisnya. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan
data-data sejarah. T. Ibrahim Alfian menjelaskan bahwa dalam
penelitian yang membahas mengenai sejarah diperlukan teori
maupun
konsep
ilmu
sosial
untuk
menganalisis
penelitian
tersebut.18 Arnold Hauser dalam bukunya The Sociology of Art
menjelaskan tentang perubahan sosial yang menjelaskan bahwa
seni adalah produk sosial, sehingga perubahan yang terjadi dalam
seni merupakan produk masyarakat yang berubah.19 Pendapat
tersebut senada dengan Janet Wolff dalam bukunya The Social
Production of Art yang menjelaskan bahwa perkembangan seni
tidak dapat lepas dari masyarakat pemiliknya.20 Kedua pendapat
17R.M. Soedarsono, “Penegakan Etnokoreologi Sebagai Sebuah Disiplin”
dalam R.M. Pramutomo ed., Etnokoreologi Nusantara: batasan kajian,
sistematika, dan aplikasi keilmuannya, (Surakarta: ISI Press, 2007), 1-13.
18T. Ibrahim Alfian, “Sejarah dan Permasalahan Masa Kini”, dalam
Soemitro Djoyowidagdo, ed., Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah
Mada Ilmu-Ilmu Humaniora (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000),
98.
19Arnold Hauser, The Sociology of Art. Trans. Kenneth J. Nortcott
(Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), 135.
20Janet Wolff, The Social Production of Art, (New York: St. Martin Press,
Inc., 1998), 26-84.
19
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
seni,
termasuk
seni
pertunjukan, merupakan produk masyarakat.21
Menjawab permasalahan mengenai bentuk koreografi Réyog
Gemblug peneliti meminjam teori koreografi dari La Meri. Réyog
Gemblug dilihat dalam konteks pertunjukan adalah sebuah bentuk
tari. Pertunjukan yang ditampilkan merupakan media ungkap dari
perasaan maupun ide seniman penggarapnya. Seniman penggarap
atau koreografer dalam penggarapan sebuah pertunjukan tari
memerlukan pengetahuan tentang koreografi. La Meri dalam
tulisan Soedarsono menjelaskan tentang elemen-elemen koreografi
terdiri dari: 1) gerak tari; 2) desain lantai; 3) desain atas; 4) desain
musik; 5) desain dramatik; 6) dinamika; 7) tema; 8) rias kostum; 9)
properti tari; dan 10) pementasan.22
Selanjutnya dalam menganalisis gerak tari ke dalam bentuk
grafis
peneliti
pencatatan
menggunakan
notasi
tari.23
labanotation
Labanotation
sebagai
atau
notasi
sistem
laban
merupakan sebuah sistem pencatatan gerak (tari) yang diprakarsai
oleh Rudolf Von Laban pada tahun 1920 dengan menggunakan
simbol piktoral (gambar) dan linear (stik/garis) yang berfungsi
21Periksa R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 1-3.
22Soedarsono, Tari-Tarian Indonesia I, (Jakarta: Proyek Pengembangan
Media Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1977), 40-58.
23Ann Hutchinson, Labanotation or Kinetography Laban: The System of
Analyzing and Recording Movement, (New York: Theatre Arts Books, 1977), 1-6.
20
untuk mencatat/mendokumentasikan dan menganalisis gerak
(tari). Dengan metode ilmiah ini semua bentuk gerakan, mulai dari
yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, dapat ditulis
secara akurat. Sistem ini juga telah berhasil diterapkan pada
setiap bidang di mana ada kebutuhan untuk merekam gerakan
antropologi tubuh manusia, atletik, dan phisiotherapy.
Menjawab permasalahan politik praktis yang mempengaruhi
perkembangan pertunjukan Réyog Gemblug digunakan teori
perubahan sosial. Perubahan maupun perkembangan dalam
bentuk penyajian kesenian Réyog Gemblug bisa terjadi karena
pengaruh dari dalam maupun dari luar kesenian tersebut.
Pengaruh dari luar dan dalam saling berinteraksi sehingga
membuat kesenian ini semakin berkembang. Pengaruh dari luar
dan dalam tersebut merupakan teori perubahan sosial. Arnold
Toynbee menjelaskan bahwa teori perubahan sosial terdiri dari
faktor eksternal dan internal.24 Faktor eksternal yaitu faktor dari
luar seniman yang membantu atau mendukung berkembangnya
penggarapan, yang meliputi kesenian rakyat lain dalam wilayah
tersebut dan pengaruh budaya lokal maupun interlokal serta
pengaruh dari dinas setempat. Faktor internal meliputi aktivitas
24Alvin Boskoff, “Recent Theories of Social Change” dalam Werner J.
Cahnman dan Alvin Boskoff, ed., Sociology and History: Theory and Research
(New York: The Free Press Glencoe,1964), 140-155.
21
dan kreativitas para pendukungnya terutama dari seniman
penggarapnya serta seniman pelaku yaitu penari dan pengrawit.
Réyog Gemblug sering dijadikan sebagai kendaraan politik
atau sarana untuk menggandeng masa. Terlihat pada waktu
pemilihan umum kepala daerah tahun 2014 Réyog Gemblug
dipentaskan pada saat pembukaan dalam pentas Wayang Orang di
Balai Desa Prangwedanan, Kalangbret, Tulungagung pada tanggal
22 Maret 2014.25 Pementasan ini didanai dan diprakarsai oleh
salah satu calon legislatif yang mencalonkan diri pada pemilu
tahun 2014. Réyog Gemblug dianggap efektif untuk memperoleh
massa, maka dipakai sebagai ajang kampanye untuk memperoleh
massa. Hal ini dapat dipahami bahwa Réyog Gemblug merupakan
seni sebagai propaganda politik. Fenomena tersebut terdapat
pengaruh dari tatanan politik yang sedang berlaku, sehingga
menjadikan kesenian Réyog Gemblug semakin berkembang dan
beragam dalam bentuk pertunjukannya. Keragaman yang didapat
dari tatanan politik tersebut dipertegas oleh R.M. Soedarsono yang
menyatakan bahwa tata kehidupan politik dalam seni pertunjukan
menambah
ragam,
bentuk,
dan
fungsi
seni
pertunjukan
tersebut.26
25Eri
Kisworo, “Reyog Gemblug Sanggar Condromowo Kabupaten
Tulungagung” (skripsi sarjana, Institut Seni Indonesia Surakarta, 2014), 61.
26R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Dari Perspektif Politik, Sosial, Dan
Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), 31.
22
F. Metode Penelitian
Penelitian
Réyog
Gemblug
ini
merupakan
penelitian
kombinasi antara tekstual dalam tari Réyog Gemblug yang berupa
unsur-unsur koreografi maupun fenomena dari perkembangan
Réyog Gemblug sebagai sebuah pertunjukan dengan analisis
geraknya menggunakan labanotation. Penelitian ini merupakan
jenis penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang
lebih
mengarah
ke
lapangan
berupa
observasi
maupun
wawancara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode intreaktif yang lebih mengarah pada proses wawancara
yang berada di lapangan untuk kemudian dideskripsikan serta
dianalisis lebih lanjut. Metode penelitian ini menggunakan 3
tahapan yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penulisan
laporan.
1.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data
tertulis maupun tidak tertulis. Pada tahap pengumpulan data
digunakan tiga teknik pengumpulan data yang meliputi hal-hal
sebagai berikut.
a. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan tahapan awal dengan mencari
data-data tertulis yang terkait dengan objek penelitian untuk
23
memberikan informasi atau keterangan yang bersifat teoritis,
karena analisis berhubungan erat dengan penelitian. Pustakapustaka ini didapatkan dari jelajah buku, tesis, jurnal, dan
makalah, yang digunakan untuk acuan analisis dan memperjelas
hasil penelitian. Selain itu studi pustaka dilakukan untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perkembangan
Réyog Gemblug sebagai sebuah pertunjukan.
b. Observasi
Observasi merupakan tahap kedua dalam penelitian ini yang
dilakukan
Penggunaan
untuk
memperoleh
metode
observasi
data
dalam
tari
Réyog
penelitian
ini
Gemblug.
dengan
mengamati objek penelitian supaya memperoleh data-data yang
dibutuhkan dalam memecahkan permasalahan yang terdapat
pada objek yang diteliti. Tahapan observasi ini dilakukan dengan
cara terjun langsung ke lokasi penelitian dimana kesenian ini
tumbuh dan berkembang.
Observasi
pertama
dilakukan
peneliti
pada
tanggal 13
Oktober 2013. Peneliti melakukan observasi dengan pencarian dan
pemilihan objek yang akan diteliti dengan cara terjun langsung ke
lapangan tepatnya di wilayah Kabupaten Tulungagung. Pada tahap
ini peneliti mendapatkan informasi tentang objek yang akan diteliti
sekaligus memastikan dan memilih objek tersebut sebagai objek
24
penelitian. Selanjutnya pada tanggal 24 November 2013 Peneliti
melakukan observasi kedua dengan mengadakan
kunjungan ke
lokasi penelitian untuk mengenal orang-orang yang terlibat dalam
kesenian ini. Selain itu kunjungan juga dilakukan sebagai
silaturahmi sehingga mereka yang terlibat dalam penelitian
tersebut dapat menerima niat baik dari peneliti dan bersedia
memberikan informasi kepada peneliti.
Observasi ketiga dilakukan pada tanggal 13 Maret 2014. Pada
observasi
ketiga
ini
peneliti
melakukan
kunjungan
ke
DISBUDPARPORA Kabupaten Tulungagung untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut tentang kesenian
Réyog Gemblug
di
Tulungagung. Selanjutnya peneliti melakukan kunjungan ke
Sanggar
Condromowo
dan
mengadakan
wawancara
kepada
narasumber beberapa narasumber. Dalam kunjungan ini peneliti
mendapatkan informasi tentang Réyog Gemblug di Tulungagung.
Selain
itu
peneliti
mendapatkan
gambaran
latihan
dan
mendokumentasikan proses latihan Réyog Gemblug.
Observasi keempat dilakukan pada tanggal 22 Maret 2014.
Pada
tahap
observasi
keempat
ini
peneliti
melakukan
pendokumentasian pementasan Réyog Gemblug di balai desa
Prangwedanan, Kalangbret, Tulungagung. Setelah itu peneliti
melanjutkan observasi kelima pada tanggal 9 April 2014 di
Sanggar Condromowo. Observasi kelima ini peneliti mendapatkan
25
data-data terkait koreografi Réyog Gemblug, pendokumentasian
busana atau kostum dari Réyog Gemblug, dan proses pewarnaan
Gemblug.
Observasi keenam dilakukan pada tanggal 29 April 2014
bertempat di ISI Surakarta. Pada tahap observasi keenam ini
peneliti mendapatkan pendokumentasian Réyog Gemblug yang
dilakukan dalam arak-arakan. Kemudian pada observasi ketujuh
peneliti lakukan pada tanggal 27 Mei 2014. Pada observasi ini
peneliti mendapatkan data berupa dokumentasi foto motif gerak
Réyog Gemblug.
Obvervasi kedelapan dilakukan pada tanggal 30 Mei 2015 di
sanggar Dhodhog Sadjiwo Jati pimpinan Siswoyo. Siswoyo yang
juga
merupakan
sesepuh
tari
Réyog
Gemblug
memberikan
gambaran kepada peneliti mengenai kesenian tersebut beserta
ruang lingkup sejarahnya. Selanjutnya pada observasi kesembilan
dilakukan pada tanggal 29 Februari 2016 di Sanggar Dhodhog
Sadjiwo Jati dan di Taman Budaya Tulungagung. Pada observasi
ini
peneliti
mendapatkan
data
dan
informasi
berupa
perkembangan Réyog Gemblug sampai mendapatkan penghargaan
dari Museum Rekor Indonesia karena telah memecahkan rekor
dalam menarikan Réyog Gemblug dengan jumlah penari sebanyak
2400 penari. Selain itu peneliti juga mendapatkan data mengenai
26
perbedaan kostum yang dipakai saat ini yang telah mengalami
perkembangan.
Observasi kesepuluh dilakukan pada tanggal 3 maret 2016.
Pada observasi ini peneliti mendapatkan data dokumentasi latihan
tari Réyog Gemblug oleh PERSIT (Persatuan Istri Prajurit) Kartika
Candra Kirana. Latihan ini dilakukan sebagai persiapan lomba di
KODIM Surabaya. Hal ini menunjukkan bahwa tari Réyog
Gemblug ditarikan tidak hanya oleh penari saja, namun sebagai
wujud pelestarian kesenian oleh seluruh lapisan masyarakat
bahkan jajaran istri tentara. Observasi kesebelas dilakukan di
candi Prambanan dan Borobudur pada tanggal 26 april 2016.
Pada observasi ini peneliti mendapatkan data dokumentasi relief
yang
erat
hubungannya
dengan
kesenian
Réyog
Gemblug.
Selanjutnya pada observasi terakhir yaitu yang keduabelas
dilakukan di program studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa UGM pada tanggal 28 April 2016. Pada observasi terakhir ini
peneliti melakukan wawancara terhadap narasumber salah satu
dosen sekaligus pakar arkeolog. Peneliti mendapatkan data dan
informasi mengenai relief kendang dan bentuk-bentuknya salah
satunya kendang berkepala satu dari kesenian Réyog Gemblug.
27
c. Wawancara
Wawancara merupakan langkah yang dilakukan peneliti
untuk mendapatkan informasi dari narasumber tertentu yang
mengetahui dan terlibat langsung dalam kesenian Réyog Gemblug.
Wawancara dilakukan terhadap narasumber yang dianggap dapat
memberikan
informasi
tentang
Narasumber-narasumber
dipilih
objek
yang
diteliti
berdasarkan
peneliti.
keterkaitannya
dengan objek yang diteliti. Narasumber yang dipilih antara lain
sesepuh dan seniman Réyog Gemblug di Tulungagung, penata tari
Réyog Gemblug
yang
ditunjuk
oleh
Dinas
Pendidikan
dan
Kebudayaan, dan seniman Réyog Gemblug yang mengembangkan
di luar Tulungagung.
2.
Analisis Data
Setelah
melalui
tahap
pengumpulan
data,
selanjutnya
peneliti melakukan tahap yang kedua yaitu tahap analisis data.
Analisis data dilakukan dari setiap bagian yang ditemukan. Data
yang
diperoleh
tersebut
dari
studi
pustaka,
observasi,dan
wawancara. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif analisis dan secara kualitatif sesuai dengan pokok
bahasannya. Hal ini untuk memperoleh kajian dan kesimpulan
akhir kemudian yang diuraikan dalam tulisan.
28
3.
Penyusunan Laporan
Tahapan terakhir yang dilakukan peneliti adalah tahapan
penyusunan laporan. Penyusunan laporan dilakukan setelah
pengumpulan data serta analisis data. Data tersebut dituangkan
ke
dalam
keseluruhan
data
dari
bab
per
bab
dengan
permasalahan dan sistematika penulisan.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian berjudul “Réyog Gemblug Tulungagung: Pengaruh
Politik Praktis Terhadap Perkembangannya” terdiri dari lima bab.
Tahapan
ini
digunakan
untuk
memberikan
arahan
agar
penyusunan penelitian ini dapat dilihat secara rinci. Penyajian
data disusun ke dalam bab-bab seperti di bawah ini.
BAB I : Merupakan pengantar yang terdiri dari latar belakang
masalah,
rumusan
masalah,
tujuan
dan
manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Membahas mengenai Réyog Gemblug Tulungagung. Pada
bab ini membahas tentang asal kata Réyog dan asal-usul
kesenian Réyog Gemblug Tulungagung. Asal kata Réyog
pada bab ini menjelaskan mengenai macam-macam kata
Réyog di Jawa dan akan menunjukkan kedudukan serta
arti
kata
Réyog
pada
kesenian
Réyog
Gemblug
29
Tulungagung.
Asal-usul
Réyog
kesenian
Gemblug
Tulungagung berisi tentang penjelasan sejarah kesenian
ini beserta sejarah penggunaan kendang berkepala satu
sebagai properti dan alat musik dalam Réyog Gemblug.
BAB III: Membahas
mengenai
koreografi
Réyog
Gemblug
Tulungagung yang terdiri dari 1) gerak tari, 2) desain
lantai, 3) desain atas, 4) desain musik, 5) desain dramatik,
6) dinamika, 7) komposisi kelompok, 8) tema, 9) rias
kostum, 10) properti tari, dan 11) pementasan. Pada
bagian
gerak
tari
dianalisis
menggunakan
sistem
pencatatan tari yaitu notasi laban.
BAB IV: Membahas tentang pengaruh politik praktis terhadap
perkembangan Réyog Gemblug Tulungagung. Pada bab ini
dijelaskan
perkembangan
Réyog
Gemblug
yang
dipengaruhi politik praktis terdiri dari faktor eksternal
dan internal. Faktor eksternal meliputi kesenian rakyat
lain di kabupaten Tulungagung, pengaruh budaya lokal
maupun
interlokal,
Tulungagung.
Faktor
dan
internal
pemerintah
terdiri
dari
kabupaten
kekuatan
seniman penggarap atau koreografer, kreativitas seniman
pelaku meliputi penari dan pengrawit, dan anggota
kelompok/komunitas.
30
BAB V : Kesimpulan merupakan simpulan yang menyimpulkan
pembahasan dari rumusan masalah dan saran-saran.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Kepustakaan
Narasumber
Diskografi
GLOSARIUM
LAMPIRAN
Download