Hubungan Kontrol Diri dengan Perilaku Merokok pada Mahasiswi

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Kontrol Diri
2.1.1.
PengertianKontrol Diri
Averill (1973) berpendapat bahwa kontrol diri merupakan variabel
psikologis yang sederhana karena didalamnya tercakup tiga konsep yang
berbeda tentang kemampuan mengontrol diri yaitu kemampuan individu
untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola
informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi serta
kemampuan individu untuk memilih suatu tindakan berdasarkan suatu yang
diyakininya.
Hurlock (1990) kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu
mengendalikan emosi secara keseluruhan ekspresi yang bermanfaat dan
dapat diterima secara sosial. Mengacu pada definisi tersebut maka dapat
disimpulkan
bahwa
kontrol
diri
adalah
kemampuan
individu
mengendalikan diri dan mengelola perilaku yang disertai dengan
perencanaan yang baik untuk menghasilkan sikap yang terbaik sesuai
dengan norma, dapat diterima secara sosial serta tidak merugikan orang
lain.
Calhoun & Acocela (dalam Andrian 2013) kontrol diri adalah
pengaturan proses-proses fisik, psikologis dan perilaku seseorang,
10
dengan kata lain kontrol diri merupakan keseluruhan dari proses yang
membentuk diri individu yang mencakup proses pengaturan fisik,
psikologis dan perilaku.
Menurut Chaplin (2000) kontrol diri adalah kemampuan untuk
membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan impulsimplus atau tingkah laku impulsif (tiba-tiba).
Santrock
(2001)
mengatakan
bahwa
kontrol
diri
cukup
berpengaruh dalam pembentukan perilaku remaja. Dengan kata lain,
remaja yang memiliki kontrol diri tinggi akan mampu mengatur dan
mengarahkan perilakunya.
2.1.2. Aspek-aspek Kontrol Diri
Berdasarkan konsep Averill (dalam Indraprasti dan Rachmawati,
2008), terdapat tiga jenis kontrol diri yang meliputi lima aspek, yaitu:
a. Kemampuan mengontrol perilaku (behavioral control)
Kemampuan mengontrol perilaku didefinisikan sebagai kesiapan
atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung
mempengaruhi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.
Kemampuan ini diperinci lebih lanjut kedalam dua komponen:
1) Kemampuan
mengontrol
pelaksanaan
(regulated
administration), yaitu kemampuan individu untuk menentukan
11
siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan dirinya sendiri
atau sesuatu diluar dirinya.
2) Kemampuan mengontrol stimulus (stimulus modifiability), yaitu
merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan
suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.
b. Kontrol kognitif (cognitive control)
Kontrol kognitif yaitu kemampuan individu dalam mengolah
informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi,
menilai atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka
kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan.
Kemampuan ini diperinci kedalam dua komponen, yaitu:
1) Kemampuan memperoleh informasi (informasi gain), dengan
informasi yang dimiliki, individu dapat mengantisipasi keadaan
tersebut dengan berbagai pertimbangan secara relatif objektif.
2) Kemampuan melakukan penilaian (appraisal), yaitu melakukan
penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan
suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segisegi positif secara objektif.
c. Kemampuan mengontrol keputusan (decisional control)
Kemampuan
mengontrol
keputusan
merupakan
kemampuan
seseorang untuk memilih hasil atau tindakan berdasarkan pada
sesuatu yang diyakini atau disetujui.
12
Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol
diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut:
a. Kemampuan mengontrol perilaku
b. Kemampuan mengontrol stimulus
c. Kemampuan mengantisipasi peristiwa
d. Kemampuan menafsirkan peristiwa
e. Kemampuan mengontrol keputusan
2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri
Hurlock (1980) mengemukakan bahwa kontrol diri dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya adalah:
a. Faktor internal yang mempengaruhi kontrol diri seseorang adalah
faktor usia dan kematangan. Semakin bertambahnya usia seseorang
maka akan semakin baik kontrol dirinya, individu yang matang
secara psikologis juga akan mampu mengontrol perilakunya karena
telah mampu mempertimbangkan mana hal yang baik dan yang tidak
baik bagi dirinya.
b. Faktor eksternal meliputi lngkungan keluarga. Dalam lingkungan
keluarga
terutama
orang
tua
akan
menentukan
bagaimana
kemampuan kontrol diri seseorang. Apabila orang tua menerapkan
kepada anaknya sikap disiplin secara intens sejak dini dan orang tua
bersikap konsisten terhadap konsekuensi yang dilakukan anak bila
13
menyimpang dari yang sudah ditetapkan, maka sikap konsisten ini
akan diinternalisasikan oleh anak dan akan menjadi kontrol baginya.
2.2. Perilaku Merokok
2.2.1. Pengertian Perilaku Merokok
Merokok adalah perilaku manusia yang berusia ratusan bahkan
ribuan tahun. Perilaku merokok adalah perilaku yang merugikan bukan
hanya pada diri si perokok sendiri namun juga merugikan orang lain
yang ada di sekitarnya. Perilaku merokok menunjukkan adanya
keberagaman inter-intra individu (Vinck, 1993; Smet, 1994; Gilbert,
1996; Loeksono dan Wismanto, 1999, dalam Wismanto 2007).
Menurut Smet (dalam Wismanto, 2007) perilaku merokok adalah
perilaku yang kompleks, yang diawali dan berlanjut yang disebabkan
oleh beberapa variabel yang berbeda. Awal perilaku merokok pada
umumnya diawali pada saat usia yang masih muda dan disebabkan
adanya model yang ada di lingkungannya, atau karena adanya tekanan
sosial misalnya dinyatakan bukan sebagai teman atau anggota kelompok
jika tidak merokok; atau dicap sebagai “banci”/tidak jantan jika tidak
merokok. Vinck (dalam Wismanto, 2007) ketagihan terhadap rokok
pada umumnya disebabkan oleh interpretasi terhadap efek yang segera
dirasakan ketika individu merokok.
14
Perry dkk. (dalam Wismanto 2007) yang menyatakan bahwa
perilaku merokok dimulai pada usia remaja, dan percobaan merokok
terebut berkembang menjadi pengguna secara tetap dalam kurun waktu
beberapa tahun kemudian. Meskipun pada awalnya remaja yang
mencoba merokok kurang dapat menikmati rokok pertamanya karena
membuat si perokok merasa pahit di mulut, mual dan pusing, namun
karena dorongan sosial (dorongan teman-teman), perilaku tersebut
menjadi menetap. Perasaan mual dan pusing disebabkan karena tubuh
memerlukan penyesuaian terhadap zat-zat yang terkandung di dalam
rokok yang tidak dapat diterima oleh tubuh, namun lama kelamaan
menjadi terbiasa dan teradaptasi setelah mengalami beberapa kali
percobaan merokok. Unsur-unsur yang terdapat di dalam rokok seperti
nikotin dan karbon monoksida dapat membuat orang menjadi ketagihan
dan ingin merokok lebih banyak lagi. Perilaku merokok pada usia
dewasa diyakini merupakan perilaku yang didasari efeknya, namun tetap
dilakukan oleh karena dirasakan kebutuhannya akan asupan nikotin dari
rokok dengan berbagai alasan.
Menurut Sarafino (dalam Wismanto, 2007) ada beberapa penyebab
mengapa seseorang atau remaja itu merokok, yaitu faktor sosial, faktor
psikologis maupun faktor biologis. Seseorang mulai merokok karena
faktor sosial antara lain karena pengaruh orang tua, karena teman
sekelompok (takut tidak diterima dalam kelompok tertentu) maupun
15
karena adanya contoh dari saudara, orang tua, guru, maupun media
massa. Faktor ini terkait dengan pengalaman dan pengetahuan manusia.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan Trihandini dan
Wismanto(2003) yang menunjukkan bahwa remaja yang merokok
dipengaruhi oleh persepsinya terhadap gaya hidup modern.
Seseorang merokok karena faktor psikologis antara lain karena
merasa kesepian, tidak ada orang yang diajak berbicara, karena putus
cinta atau masalah lain, maupun karena hanya ingin mencoba semata
(iseng). Seseorang merokok karena faktor biologis misalnya karena
kedinginan, meskipun hal ini kecil persentasenya.
2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok
Menurut Adit (dalam Wismanto, 2007) merokok bagi remaja
sering diidentikkandengan kegagahan atau kejantanan dan kedewasaan
bahkan merasa dirinyasudah mandiri. Salah satu cara agar mereka
dianggap dewasa adalahdengan merokok.
Banyak remaja yang merokok hanya karena mereka memiliki
teman perokok berat. Kadang kala seseorang merokok karena
menghadap tekanan hidup dan menjadikannya sebagai sarana untuk
melarikan diri dari masalah yang dihadapinya hingga akhirnya dan tanpa
disadarinya, merokokpun menjadi satu kebiasaan dalam dirinya.
16
Hansen et al (dalam Sarapino, 1990) didukung oleh para ahli lain
menyatakan bawa secara umum faktor yang mempengaruhi perilaku
merokok yaitu :
a. Lingkungan sosial
Seseorang mempunyai kebiasaan merokok karena lingkungannya
adalah perokok. Evant et al (dalam Vries, 1989) mengatakan bahwa
faktor sosial berpengaruh secara langsung dan tidak langsung kepada
individu. Pengaruh langsung berupa menawarkan rokok, membujuk
untuk merokok, menantang dan menggoda, pengaruh ini dirasakan
kuat pada kelompok remaja.
b. Faktor psikologis
(Levy, Dignan and Shirrefs (1993) serta Sitepoe (1997), dalam
Wismanto, 2007) menyatakan bahwa individu merokok untuk
mendapatkan kesenangan, nyaman merasa lepas dari kegelisahan
dan juga untuk mendapatkan rasa percaya diri. Oleh karena itu
individu perokok bergaul dengan perokok lebih sulit berhenti
merokok, daripada perokok yang bergaul atau lingkungan sosialnya
menolak perilaku merokok.
c. Faktor biologis
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa semakin tinggi kadar
nikotin dalam darah semakin besar pula ketergantungan terhadap
rokok (Aston and Stephey, 1982; Warbuton and Wesnes, 1986,
17
Aditama, 1992; Sitepoe, 1997, dalam Wismanto 2007). Perilaku
merokok sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan kadar nikotin di
dalam darah.
d. Faktor sosio cultural
Kebiasaan masyarakat, tingkat ekonomi, pendidikan, pekerjaan juga
berpengaruh terhadap perilaku merokok.
2.2.3. Tipe Perokok
Mereka yang dikatakan perokok sangat berat adalah apabila
mengonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari dan selang merokoknya
lima menit setelah bangun pagi. Perokok berat merokok sekitar 21-30
batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 630 menit. Perokok sedang menghabiskan rokok 11-21 batang dengan
selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi. Perokok ringan
menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu 60 menit
dari bangun pagi.
Menurut Tomkins (dalam Wismanto, 2007) ada 4 tipe perilaku
merokok berdasarkan Management of affect theory, ke empat tipe
tersebut adalah:
a. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan adiktif
Dengan merokok seseorang merasakan penambahan rasa yang
positif. Green (1978) menambahkan ada 3 sub tipe ini:
18
1) Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah
atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya
merokok setelah minum kopi atau mekan.
2) Stimulation to pick them up, perilaku merokk hanya dilakukan
sekedarnya untuk menyenangkan pikiran.
3) Pleasure of handling the cigarette, kenikmatan yang diperoleh
dengan memegeang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa.
Perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisi pipa
dengan tembakau sedangkan untuk menghisapnya hanya
dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Atau perokok lebih
senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jarijarinya lama sebelum ia nyalakan dengan api.
b. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif.
Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi
perasaan negatif, misalnya bila ia marah, cemas, gellisah, rook
dianggap sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok bila
perasaan tidak enak terjadi, sehingga terhindar dari perasaan yang
lebih tidak enak.
c. Perilaku merokok adiktif.
Oleh Green disebut sebagai psychological addiction. Mereka
yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan
setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.
19
Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau
tengah malam sekalipun, karena ia khawatir kalau rokok tidak
tersedia setiap saat ia menginginkannya.
Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka
menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan
perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaannya
rutin. Dapat dikatakan pada orang-orang tipe ini merokok sudah
merupakan perilaku yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan
dan tanpa disadari. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang
terdahulu telah benar-benar habis.
2.2.4
Aspek-aspek Perilaku Merokok
Setiap individu dapat menggambarkan setiap perilaku menurut tiga
dimensi berikut (Twiford & Soekaji dalam Sulistyo,2009):
a. Frekuensi
Sering tidaknya perilaku muncul mungkin cara yang paling
sederhana untuk mencatat perilaku hanya dengan menghitung
jumlah munculnya perilaku tersebut. Frekuensi sangatlah bermanfaat
untuk mengetahui sejauh mana perilaku merokok seseorang muncul
atau tidak. Dari frekuensi dapat diketahui perilaku merokok
seseorang yang sebenarnya sehingga pengumpulan data frekuensi
20
menjadi salah satu ukuran yang paling banyak digunakan untuk
mengetahui perilaku merokok seseorang.
b. Lamanya berlangsung
Waktu yang diperlukan seseorang untuk melakukan setiap
tindakan (seseorang menghisap rokok lama atu tidak). Jika suatu
perilaku mempunyai permulaan dan akhir tertentu, tetapi dalam
jangka waktu yang berbeda untuk masing-masing peristiwa, maka
pengukuran lamanya berlangsung lebih bermanfaat lagi. Aspek
lamanya berlangsung ini sangatlah berpengaruh bagi perilaku
merokok seseorang, apakah seseorang dalam menghisap rokoknya
lama atau tidak.
c. Intensitas
Banyaknya daya yang dikeluarkan oleh perilaku tersebut.
Aspek ini digunakan untuk mengukur seberapa dalam dan seberapa
banyak seseorang menghisap rokok. Dimensi intensitas mungkin
merupakan cara yang paling sebjektif dalam mengukur perilaku
merokok seseorang.
Aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang (dalam
Sulistyo, 2009), yaitu:
a. Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari
Fungsi merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami si
perokok, seperti perasaan yang positif maupun perasaan negatif.
21
b. Intensitas merokok
Klasifikasi perokok berdasarkan banyaknya rokok yang dihisap
yaitu:
1) Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam
sehari
2) Perokok sedang yang menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari
3) Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari
c. Tempat merokok
Tipe perokok berdasarkan tempatnya yaitu:
1) Merokok di tempat-tempat umum/ruang publik
a) Kelompok
homogeny
(sama-sama
perokok),
secara
bergerombol mereka menikmati kebiasaannya. Umumnya
mereka masih menghargai orang lain, karena itu mereka
menempatkan diri di smoking area.
b) Kelompok yang heterogen (merokok di tengah orang-orang
lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang
sakit dan lain-lain).
2) Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi
a) Kantor atau di kamar tidur pribadi
Perokok memilih tempat-tempat seperti ini yang sebagai
tempat merokok digolongkan kepada individu yang kurang
menjaga kebersihan diri, penuh rasa gelisah yang mencekam.
22
b) Toilet
Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka
berfantasi.
d. Waktu merokok
Perilaku merokok dipengaruhi oleh keadaan yang dialaminya pada
saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan teman, cuaca
yang dingin, setelah dimarahi orang tua dan lain-lain.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek
frekuensi, aspek lamanya berlangsung dan aspek intensitas dapat
digunakan dalam menyatakan aspek-aspek perilaku merokok pada
mahasiswi.
2.3. Hubungan antara Kontrol Diri dengan Perilaku Merokok pada Mahasiswi
Wanita selalu terlambangkan dengan kelembutan dan keanggunan. Kesan
ini tidak akan pernah hilang pada setiap fase kehidupan wanita. Kesan negatif
akan melekat pada wanita bila ia merokok. Padahal merokok merupakan hak
setiap orang, baik itu pria, wanita, remaja, anak-anak bahkan hingga lansia.
Karena rokok adalah salah satu ekstase kecil yang legal untuk dinikmati. Masa
dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat
perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya
kemampuan reproduktif (Hurlock,1992). Mahasiswi rata-rata berumur antara
23
18-24 tahun, maka dari itu mahasiswi masuk dalam masa perkembangan
dewasa dini.
Wanita khususnya mahasiswi menjadi lebih banyak tekanan baik dirumah
maupun dilingkungan kuliahnya. Akibatnya membuat mahasiswi mudah stress,
cemas dan tegang. Sulit mengungkapkan masalah yang dihadapinya sehingga
sering terlarut dalam kesendirian. Hal inilah yang membuat mahasiswi mencoba
untuk merokok dengan anggapan rokok dapat digunakan sebagai penangkal
stres, meredakan perasaan cemas dan dapat menenangkan jiwa saat sedang
banyak masalah.
Dengan merokok terkadang mahasiswi sulit untuk
mengendalikan perilakunya sehingga tidak sadar bahwa mereka sudah banyak
menghisap rokok.
Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu
mengatur dan mengarahkan perilaku. Mekanisme yang dimaksud adalah kontrol
diri. Kontrol diri pada satu individu dengan individu yang lain tidaklah sama.
Ada individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada yang memiliki
kontrol diri yang rendah (Widiana dkk, 2004). Calhoun & Acocela (dalam
Andrian 2013) kontrol diri adalah pengaturan proses-proses fisik, psikologis
dan perilaku seseorang, dengan kata lain kontrol diri merupakan keseluruhan
dari proses yang membentuk diri individu yang mencakup proses pengaturan
fisik, psikologis dan perilaku.
24
Skinner (2013) mengungkapkan salah satu teknik pengendalian diri (self
control) yaitu obat-obatan (obat-obatan yang menstimulasi efek dari variabelvariabel lain misalnya dengan perilaku merokok). Melalui penggunaan obatobatan semacam anestesi, analgesik dan soporifik dapat mengurangi rasa sakit
atau mengalihkan stimulus yang tidak dapat dihilangkan dengan mudah. Polapola perilaku euforia diperoleh dengan morfin dan obat-obatan terkait, dan
dalam hal tertentu dengan kafein dan nikotin.
2.4. Penelitian yang Relevan
Menurut hasil wawancara penulis pada mahasiswi BK, faktor mahasiswi
merokok yaitu faktor dari diri sendiri, faktor pergaulan dan faktor masalah yang
dihadapi. Kurangnya kontrol diri dari perilaku merokok terhadap masalah yang
dihadapi juga dirasakan beberapa mahasiswi.
Penelitian yang dilakukan Zia dan Retno (2008) tentang “Hubungan
Kontrol Diri dengan Perilaku Merokok pada Siswa Siswi SMAN 1 Parakan”
memperoleh hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara kontrol diri
dengan perilaku merokok pada remaja. Kontrol diri diperlukan untuk membantu
mengatur dan mengarahkan remaja dalam membuat keputusan dan melakukan
tindakan efektif yang dapat membawa remaja tersebut kearah konsekuensi
positif, dengan kata lain kontrol diri berpengaruh terhadap perilaku merokok
pada remaja. Penelitian lain tentang perilaku merokok pada mahasiswi juga
dilakukan oleh Ni’mah (2011) yang menunjukkan bahwa mahasiswi merokok
25
dilatarbelakangi oleh faktor lingkungan pergaulan, faktor lingkungan keluarga,
faktor citra rokok yang keren dan faktor pekerjaan.
Penelitian Purnadewi (2013) tentang “self control dengan need for
smokingpada remaja SMA di Jakarta” menunjukan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara self control dengan need for smoking ditunjukkan dengan
banyaknya partisipan dengan tingkat self control yang tinggi dan banyaknya
partisipan dengan tingkat need for smoking yang rendah. Dengan adanya
penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti di atas, maka peneliti ingin
meneliti kembali penelitian tentang hubungan kontrol diri dengan perilaku
merokok pada mahasiswi program studi Bimbingan dan Konseling Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan UKSW Salatiga.
2.5. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Ho
: Tidak ada hubungan antara kontrol diri dengan perilaku merokok
pada Mahasiswi Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan UKSW Salatiga
Ha
: Ada hubungan antara kontrol diri dengan perilaku merokok pada
Mahasiswi Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan UKSW Salatiga.
26
Download