27 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur, yang merata secara materiil maupun spirituil, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), maka kualitas sumber daya manusia (selanjutnya disebutt SDM) Indonesia, yang merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional, perlu ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya. Hal ini berarti, untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi, dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dalam pelayanan kesehatan, dan di sisi lain, melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. 1 Realita yang ada di masyarakat, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sudah tidak lagi pada tingkat yang mengkhawatirkan, melainkan sudah sampai pada titik yang berbahaya, karena dalam lima tahun terakhir, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan 1 Legal-community.blogspot.com/2011/08/Dasar Tidak.html, (diakses tanggal 11 Januari 2015) Pertimbangan Hakim Sehingga 28 peningkatan yang sangat tajam. 2 Perlu adanya penanganan yang intensif agar penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tersebut dapat teratasi, karena apabila kondisi ini dibiarkan terus-menerus, tanpa ditangani dengan baik oleh semua pihak yang terkait (pemerintah, masyarakat, keluarga/orang tua, sekolah, dan sebagainya), maka sudah tentu pada akhirnya ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan masa depan berbangsa dan bernegara. Pemerintah melalui aparatur penegak hukum, berkewajiban menegakkan hukum dan perundang-undangan, dengan cara menindak tegas dan memberikan sanksi (pidana) terhadap setiap pelaku tindak pidana narkotika, baik sebagai pengguna maupun pengedar narkotika. Terjadinya kecemasan di tengah-tengah masyarakat akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika lebih disebabkan karena, dampak yang ditimbulkan lebih jauh lagi adalah meningkatnya angka kriminal, seperti perampokan, perkosaan, pembunuhan, tawuran, dan lain-lain, yang dapat menciptakan keresahan di tengah-tengah pergaulan hidup masyarakat. Dengan kata lain, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika akan berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat. Masalah narkotika dapat dikategorikan sebagai masalah nasional dan bahkan termasuk masalah internasional, karena sudah banyak konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang penggunaan dan peredaran narkotika dikeluarkan oleh badan-badan dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, antara lain : 2 O.C. Kaligis & Soedjono Dirdjosisworo, Narkoba & Peradilannya di Indonesia (Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan), O.C. Kaligis & Associates, 2006, hlm. 6 29 1. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (United Nations Conference for Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug 1961) ; 2. Convention on Manufacture and Distribution of Narcotic Drugs (Jenewa 1931) ; 3. Convention for Suppression of Illicit Traffic in Dangerous Drugs (Jenewa 1936) ; Perlu dilakukan pendekatan lain untuk mencegah semakin banyaknya peredaran narkotika dan semakin meluasnya penggunaan narkotika. Hal ini dapat dimulai jika sudah ada pembedaan yang jelas dan tegas antara pengguna dan pengedar narkotika, sehingga pada akhirnya hukuman yang dijatuhkan terhadap pengguna tidak dapat disamakan dengan pengedar narkotika. Hukuman bagi pengedar narkotika seharusnya lebih berat dibandingkan hukuman yang akan diterima oleh pengguna narkotika, karena akibat dari narkotika yang diedarkannya tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak yang negatif bagi penggunanya. Pengedar secara sadar mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain yang mengalami kecanduan akibat mengkonsumsi narkotika yang dijual oleh pengedar. Hasil pengamatan dan pemantauan terhadap kinerja pengadilan dalam memproses para pelaku tindak pidana narkotika, diperoleh fakta bahwa meskipun banyak para hakim telah menjatuhkan vonis yang sangat berat, tetapi masih banyak juga bukti yang menandakan masih adanya ketidakadilan di dalam penjatuhan pidana oleh majelis hakim di dalam persidangan tindak pidana narkotika. Hal ini juga dapat dilihat dari aturan hukum yang telah menetapkan 30 hukuman maksimal, akan tetapi sebagian hakim lainnya tidak pernah menetapkan penerapan hukuman maksimal tersebut dalam putusannya. Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. 3 Apabila uang hasil kejahatan dipergunakan dan atau dimasukkan ke dalam dunia peredaran uang termasuk lembaga keuangan, berarti status uang itu identik dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang legal. Jika demikian berarti akan menumbuh suburkan kejahatan yang bermotif uang baik kejahatan konvensional maupun modern, sehingga samar perbuatan yang legal dan illegal. Pencucian uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuan dan penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHPidana). Apakah sama cara melakukan kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi berlainan atau oleh orang yang satu dengan orang yang lain atau dapat terjadi pelakunya sama, akan tetapi objek dan korbannya tidak sama. Kejahatan berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (selanjutnya disebut IPTEK). 3 Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. (Undip: Semarang, 1995), hlm 98 31 Kegiatan pencucian uang akan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK. Penipuan, penyuapan secra tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai, akan tetapi penyuapan dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan teknologi tidak harus pada suatu tempat terten-tu. Praktik pencucian uang bisa dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. 4Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya. Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Di mana dalam pertimbanganpertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan. 5 Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya. 4 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm 94. 5 Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana. (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm 50. 32 Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. 6 Penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut: 7 1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya; 2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari; 3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya; 4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat. Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari 6 7 Ahmad Rifai, Op cit, hlm 111. Ibid, hlm 112. 33 perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan dengan putusan hakim, pernyataan hakim yang merupakan sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenang untuk putusan itu. Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani. 8 B. Perumusan Masalah Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penolakan kasasi dalam putusan Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013? 3. Bagaimanakah akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam penolakan kasasi dalam putusan Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013 8 Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm 95. 34 c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yaitu: a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait pertimbangan hakim dalam menolak kasasi dalam kasus narkotika b. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut terhadap pertimbangan hakim dalam menolak kasasi dalam kasus narkotika. D. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul pertimbangan hakim menolak kasasi dalam kasus narkotika (Analisis Putusan Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013), belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, walaupun penelitian menyangkut money laundering dan perpajakan telah ada diteliti, namun pendekatan yang dilakukan berbeda. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan secara akademik. 35 E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pemidanaan Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana. Pendekatan mengenai peranan pidana dalam menghadapi kejahatan menurut Anttila telah berlangsung beratus-ratus tahun. 9 Penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua, setua dengan peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang menyebutkan sebagai “older philosophy of crime control” 10 Pengertian pemidanaan sering juga digunakan dengan istilah hukuman, penghukuman, penjatuhan pemidanaan, dan hukuman pidana. Istilah hukuman yang berasal dari kata “straf”dan istilah dihukum berasal dari perkataan “ woedt gestraft”, merupakan istilah-istilah konvesional. 11 Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum,sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukuman atau menetapkan sebagai hukumannya (berechten) menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,akan tetapi juga hukum perdata,oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana,maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana,yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan 9 Marlina, Hukum Penitensier, (Refika Aditama, Bandung, 2011P), hlm. 22 Ibid 11 Marlina, Penitensir, (Medan: USU Press, 2010), hlm 12 10 36 pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence. 12 Perkataan penghukuman mempunyai pengertian lain yaitu suatu rangkaian pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum. 13 Penghukuman merupakan tindakan untuk memberikan tindakan penderitaan terhadap pelaku kejahatan sebanding atau lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, apakah penghukuman berupa hukuman penjara atau yang bersifat penderaan 2. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan istilah yang secara resmi digunakan dalamperaturan perundang-undangan. Pembentuk Undang-Undang telah menerjemahkan istilah strafbaar feit yang berasal dari KUHP Belanda ke dalam KUHP Indonesia dan peraturan perundang-undangan pidana lainnya dengan istilah tindak pidana Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata , yaitu straf, baar, dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. 14 Perbuatan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang diancam pidana, 12 P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armiko, 1984), hlm 36. Abdulsyani, Sosiologi Kriminal, (Bandung: Remadja Karya, 1987), hlm 36. 14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) hlm. 69. 13 37 asal saja dimana pada saat itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kekuatan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu Simons, guru besar ilmu hukum pidana di Universitas Utrecht Belanda, memberikan terjemahan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana. Menurutnya, Srafbaar feit adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab. 15 Selain itu, Simons juga merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 16 Moeljatno merumuskan istilah strafbaar feit menjadi istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 17 Berdasarkan uraian pendapat pakar hukum di atas, penulis berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh manusia, baik dengan melakukan perbuatan yang tidak dibolehkan ataupun tidak 15 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm. 224. 16 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 185 17 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 59. 38 melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana. 3. Pengertian Tindak Pidana Narkotika Istilah Narkotika yang kini telah menjadi fenomena berbahaya yang populer di tengah masyarakat.Ada pula istilah lain yang kadang digunakan adalah Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan berbahaya). Selain itu ada pula istilah yang digunakan oleh DepKes RI yaitu NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, Pasikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah diatas mengacu pada sekelompok zat yang mempunyai resiko kecanduan atau adiksi. Narkotika dan Psikotropika itulah yang secara umum biasa di kenal dengan Narkoba atau NAPZA. Namun karena hadirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun Tentang Narkotika yang baru, maka beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur ke dalam perundang-undangan yang baru. Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Menurut Farmakologi medis, yaitu “Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat 39 menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar namun masih haruis di gertak) serta adiksi. 18 Narkotika dalam UU No. 35/2009 adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 : a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 18 Wijaya A.W. Masalah Kenakan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 145 40 c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenal hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda. 19 Dalam peraturan perundang-undangan indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. Demikian pula dengan apa yang didefenisikan Simons dan Van Hammel. Dua ahli hukum pidana Belanda tersebut pandangan-pandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana Belanda dan Indonsia hingga saat ini. 20 19 Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia , (Bandung : Citra Aditya Bakti , 1997), hlm. 26 20 Moh.Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta : Ghlmia Indonesia,2003) , hlm 35. 41 F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, 21 yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. 22 2. Sumber data Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari: 21 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum,(Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999), hlm.3 22 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 41. 42 1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana tindak pidana pencucian uang, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat 44 dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian. 3. Alat pengumpulan data Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. 4. Analisis data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan 43 cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana narkotika, kemudian membuat sistematika dari Pasal-Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini. G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan skripsi ini agar permasalahan yang diangkat dengan pembahasan skripsi sesuai, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Tiap bab terdiri dari setiap sub bab dengan maksud untuk mempermudah dalam hal-hal yang dibahas dalam skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan BAB II PENGATURAN INDONESIA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI 44 Bab ini berisikan mengenai sejarah tindak pidana narkotika, bentuk-bentuk tindak pidana narkotika, pengaturan tindak pidana narkotika. BAB II PERTIMBANGAN HAKIM YANG DILAKUKAN HAKIM DALAM PELAKSANAAN PENOLAKAN KASASI DALAM PUTUSAN NOMOR 2338 K/PID.SUS/2013 BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PENOLAKAN KASASI OLEH MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2338 K/PID.SUS/2013 Bab ini akan KRONOLOGI, membahas DAKWAAN, mengenai POSISI FAKTA-FAKTA KASUS, HUKUM, TUNTUTAN, PUTUSAN HAKIM, ANALISIS KASUS BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan membahas kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan