27 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka

advertisement
27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan
makmur, yang merata secara materiil maupun spirituil, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945), maka kualitas sumber daya manusia (selanjutnya disebutt
SDM) Indonesia, yang merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan
nasional, perlu ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya.
Hal ini berarti, untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat, perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan di
bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi, dengan
mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan
sebagai obat dalam pelayanan kesehatan, dan di sisi lain, melakukan tindakan
pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika. 1
Realita yang ada di masyarakat, penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika sudah tidak lagi pada tingkat yang mengkhawatirkan, melainkan sudah
sampai pada titik yang berbahaya, karena dalam lima tahun terakhir,
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan
1
Legal-community.blogspot.com/2011/08/Dasar
Tidak.html, (diakses tanggal 11 Januari 2015)
Pertimbangan
Hakim
Sehingga
28
peningkatan yang sangat tajam. 2 Perlu adanya penanganan yang intensif agar
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tersebut dapat teratasi, karena
apabila kondisi ini dibiarkan terus-menerus, tanpa ditangani dengan baik oleh
semua pihak yang terkait (pemerintah, masyarakat, keluarga/orang tua, sekolah,
dan sebagainya), maka sudah tentu pada akhirnya ini akan berdampak buruk bagi
kelangsungan masa depan berbangsa dan bernegara. Pemerintah melalui aparatur
penegak hukum, berkewajiban menegakkan hukum dan perundang-undangan,
dengan cara menindak tegas dan memberikan sanksi (pidana) terhadap setiap
pelaku tindak pidana narkotika, baik sebagai pengguna maupun pengedar
narkotika.
Terjadinya
kecemasan
di
tengah-tengah
masyarakat
akibat
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika lebih disebabkan karena, dampak
yang ditimbulkan lebih jauh lagi adalah meningkatnya angka kriminal, seperti
perampokan, perkosaan, pembunuhan, tawuran, dan lain-lain, yang dapat
menciptakan keresahan di tengah-tengah pergaulan hidup masyarakat. Dengan
kata lain, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika akan berdampak negatif
terhadap kehidupan bermasyarakat.
Masalah narkotika dapat dikategorikan sebagai masalah nasional dan
bahkan termasuk masalah internasional, karena sudah banyak konvensi-konvensi
internasional yang mengatur tentang penggunaan dan peredaran narkotika
dikeluarkan oleh badan-badan dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, antara
lain :
2
O.C. Kaligis & Soedjono Dirdjosisworo, Narkoba & Peradilannya di Indonesia
(Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan), O.C. Kaligis & Associates,
2006, hlm. 6
29
1. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (United Nations Conference for
Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug 1961) ;
2. Convention on Manufacture and Distribution of Narcotic Drugs (Jenewa
1931) ;
3. Convention for Suppression of Illicit Traffic in Dangerous Drugs (Jenewa
1936) ;
Perlu dilakukan pendekatan lain untuk mencegah semakin banyaknya
peredaran narkotika dan semakin meluasnya penggunaan narkotika. Hal ini dapat
dimulai jika sudah ada pembedaan yang jelas dan tegas antara pengguna dan
pengedar narkotika, sehingga pada akhirnya hukuman yang dijatuhkan terhadap
pengguna tidak dapat disamakan dengan pengedar narkotika. Hukuman bagi
pengedar narkotika seharusnya lebih berat dibandingkan hukuman yang akan
diterima oleh pengguna narkotika, karena akibat dari narkotika yang diedarkannya
tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak yang negatif bagi penggunanya.
Pengedar secara sadar mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain yang
mengalami kecanduan akibat mengkonsumsi narkotika yang dijual oleh pengedar.
Hasil pengamatan dan pemantauan terhadap kinerja pengadilan dalam
memproses para pelaku tindak pidana narkotika, diperoleh fakta bahwa meskipun
banyak para hakim telah menjatuhkan vonis yang sangat berat, tetapi masih
banyak juga bukti yang menandakan masih adanya ketidakadilan di dalam
penjatuhan pidana oleh majelis hakim di dalam persidangan tindak pidana
narkotika. Hal ini juga dapat dilihat dari aturan hukum yang telah menetapkan
30
hukuman maksimal, akan tetapi sebagian hakim lainnya tidak pernah menetapkan
penerapan hukuman maksimal tersebut dalam putusannya.
Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan
dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah
konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs
and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna
Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para
anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang
berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. 3
Apabila uang hasil kejahatan dipergunakan dan atau dimasukkan ke dalam
dunia peredaran uang termasuk lembaga keuangan, berarti status uang itu identik
dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang legal. Jika demikian berarti akan
menumbuh suburkan kejahatan yang bermotif uang baik kejahatan konvensional
maupun
modern,
sehingga
samar
perbuatan
yang
legal
dan
illegal.
Pencucian uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun
bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuan dan
penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHPidana). Apakah sama cara melakukan
kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi berlainan
atau oleh orang yang satu dengan orang yang lain atau dapat terjadi pelakunya
sama, akan tetapi objek dan korbannya tidak sama. Kejahatan berkembang seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (selanjutnya disebut IPTEK).
3
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. (Undip: Semarang, 1995), hlm 98
31
Kegiatan pencucian uang akan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK.
Penipuan, penyuapan secra tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai,
akan tetapi penyuapan dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan
teknologi tidak harus pada suatu tempat terten-tu. Praktik pencucian uang bisa
dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri.
Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di
dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin
ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan
adanya kecakapan teknik membuatnya. 4Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat
berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan
putusannya.
Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya
putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang
bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Di mana dalam pertimbanganpertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil,
yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan. 5
Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana
diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian
ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan
tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran
hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya.
4
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm 94.
5
Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu
Masalah Perkara Pidana. (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm 50.
32
Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan
dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang
menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat
pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya
hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan
tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. 6
Penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada
dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut: 7
1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan
yang dilakukan oleh pelakunya;
2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan
tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;
3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana
sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;
4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan
pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana
dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.
Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses
yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan
kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus
meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak,
dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari
6
7
Ahmad Rifai, Op cit, hlm 111.
Ibid, hlm 112.
33
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa
suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan
dengan putusan hakim, pernyataan hakim yang merupakan sebagai pernyataan
pejabat negara yang diberi wewenang untuk putusan itu. Jadi putusan hakim
bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga
didasarkan pada hati nurani. 8
B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penolakan kasasi dalam putusan
Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013?
3. Bagaimanakah akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh Mahkamah
Agung Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam penolakan kasasi dalam
putusan Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013
8
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm 95.
34
c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh
Mahkamah Agung Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis
maupun teoritis yaitu:
a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
pihak-pihak yang terkait pertimbangan hakim dalam menolak kasasi dalam
kasus narkotika
b. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk
penelitian lebih lanjut terhadap pertimbangan hakim dalam menolak kasasi
dalam kasus narkotika.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan
informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera
Utara, penelitian dengan judul pertimbangan hakim menolak kasasi dalam kasus
narkotika (Analisis Putusan Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013), belum pernah
dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, walaupun penelitian menyangkut money
laundering dan perpajakan telah ada diteliti, namun pendekatan yang dilakukan
berbeda. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis
keilmuan dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.
35
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Pemidanaan
Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak
pidana. Pendekatan mengenai peranan pidana dalam menghadapi kejahatan
menurut Anttila telah berlangsung beratus-ratus tahun. 9 Penggunaan sanksi pidana
untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua, setua dengan
peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang menyebutkan sebagai “older
philosophy of crime control” 10
Pengertian pemidanaan sering juga digunakan dengan istilah hukuman,
penghukuman, penjatuhan pemidanaan, dan hukuman pidana. Istilah hukuman
yang berasal dari kata “straf”dan istilah dihukum berasal dari perkataan “ woedt
gestraft”, merupakan istilah-istilah konvesional. 11
Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan
penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa “Penghukuman itu
berasal dari kata dasar hukum,sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan
hukuman atau menetapkan sebagai hukumannya (berechten) menetapkan hukum
suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,akan tetapi
juga hukum perdata,oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana,maka
istilah tersebut harus disempitkan
artinya, yakni penghukuman dalam arti
pidana,yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan
9
Marlina, Hukum Penitensier, (Refika Aditama, Bandung, 2011P), hlm. 22
Ibid
11
Marlina, Penitensir, (Medan: USU Press, 2010), hlm 12
10
36
pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama
dengan sentence. 12
Perkataan penghukuman mempunyai pengertian lain yaitu suatu rangkaian
pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum. 13 Penghukuman merupakan
tindakan untuk memberikan tindakan penderitaan terhadap pelaku kejahatan
sebanding atau lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan
tersebut, apakah penghukuman berupa hukuman penjara atau yang bersifat
penderaan
2. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan istilah yang secara resmi digunakan
dalamperaturan
perundang-undangan.
Pembentuk
Undang-Undang
telah
menerjemahkan istilah strafbaar feit yang berasal dari KUHP Belanda ke dalam
KUHP Indonesia dan peraturan perundang-undangan pidana lainnya dengan
istilah tindak pidana Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata , yaitu straf, baar, dan feit.
Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan
dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan
tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. 14
Perbuatan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan
pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang diancam pidana,
12
P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armiko, 1984), hlm 36.
Abdulsyani, Sosiologi Kriminal, (Bandung: Remadja Karya, 1987), hlm 36.
14
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) hlm. 69.
13
37
asal saja dimana pada saat itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan,
(yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kekuatan orang),
sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya
kejadian itu
Simons, guru besar ilmu hukum pidana di Universitas Utrecht Belanda,
memberikan terjemahan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana. Menurutnya,
Srafbaar feit adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan
(schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab. 15 Selain itu, Simons juga
merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 16
Moeljatno merumuskan istilah strafbaar feit menjadi istilah perbuatan
pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut. 17
Berdasarkan uraian pendapat pakar hukum di atas, penulis berpendapat
bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
manusia, baik dengan melakukan perbuatan yang tidak dibolehkan ataupun tidak
15
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
hlm. 224.
16
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, (Bandung
:Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 185
17
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), hlm. 59.
38
melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana.
3. Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Istilah Narkotika yang kini telah menjadi fenomena berbahaya yang
populer di tengah masyarakat.Ada pula istilah lain yang kadang digunakan adalah
Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan berbahaya). Selain itu ada pula istilah yang
digunakan oleh DepKes RI yaitu NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika,
Pasikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah diatas mengacu pada
sekelompok zat yang mempunyai resiko kecanduan atau adiksi. Narkotika dan
Psikotropika itulah yang secara umum biasa di kenal dengan Narkoba atau
NAPZA. Namun karena hadirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun Tentang
Narkotika yang baru, maka beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur
ke dalam perundang-undangan yang baru.
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan
untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan
tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat
merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini
akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan
nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan
nasional.
Menurut Farmakologi medis, yaitu “Narkotika adalah obat yang dapat
menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat
39
menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar namun masih haruis di gertak)
serta adiksi. 18
Narkotika dalam UU No. 35/2009 adalah tanaman papever, opium mentah,
opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka,
daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja,
garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah,
atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai
sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai
narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan
yang merugikan,
dan
campuran- campuran
atau
sediaan-sediaan
yang
mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau
bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan
sebagai narkotika.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 :
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/
atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
18
Wijaya A.W. Masalah Kenakan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung:
Armico, 1985), hlm. 145
40
c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan
ketergantungan.
Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenal
hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.
Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah
seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan
dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat
bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang
termuat dalam Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda. 19
Dalam peraturan perundang-undangan indonesia tidak ditemukan defenisi
tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan
kreasi teoritis para ahli hukum. Para ahli hukum pidana umumnya masih
memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. Demikian
pula dengan apa yang didefenisikan Simons dan Van Hammel. Dua ahli hukum
pidana Belanda tersebut pandangan-pandangannya mewarnai pendapat para ahli
hukum pidana Belanda dan Indonsia hingga saat ini. 20
19
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum
Pidana Indonesia , (Bandung : Citra Aditya Bakti , 1997), hlm. 26
20
Moh.Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta : Ghlmia Indonesia,2003) ,
hlm 35.
41
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini,
menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis Pertimbangan Hakim
Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika. Pendekatan penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif, 21 yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap
masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena
itu dilakukan penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka
merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder.
Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga
meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada
dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
22
2. Sumber data
Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan
melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang
meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori
dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa
peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri
dari:
21
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di
dalam Penelitian Hukum,(Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1999), hlm.3
22
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono
Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali
Press, 1990), hlm. 41.
42
1. Bahan hukum primer, antara lain:
a. Norma atau kaedah dasar
b.
Peraturan dasar landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian
ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana
tindak pidana pencucian uang, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,
artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan
dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal
ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat
44
dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.
3. Alat pengumpulan data
Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi
dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang
diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang
kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang
relevan dengan objek penelitian.
4. Analisis data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan
ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan
43
cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang tindak pidana narkotika, kemudian membuat sistematika dari Pasal-Pasal
tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara
kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan
menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data
diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain
menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini agar permasalahan yang diangkat
dengan pembahasan skripsi sesuai, maka diperlukan adanya sistematika penulisan
yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Tiap bab terdiri dari setiap sub
bab dengan maksud untuk mempermudah dalam hal-hal yang dibahas dalam
skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan
BAB II
PENGATURAN
INDONESIA
TINDAK
PIDANA
NARKOTIKA
DI
44
Bab ini berisikan mengenai sejarah tindak pidana narkotika,
bentuk-bentuk tindak pidana narkotika, pengaturan tindak pidana
narkotika.
BAB II
PERTIMBANGAN HAKIM YANG DILAKUKAN HAKIM
DALAM PELAKSANAAN PENOLAKAN KASASI DALAM
PUTUSAN NOMOR 2338 K/PID.SUS/2013
BAB III
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENOLAKAN KASASI OLEH
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2338 K/PID.SUS/2013
Bab
ini
akan
KRONOLOGI,
membahas
DAKWAAN,
mengenai
POSISI
FAKTA-FAKTA
KASUS,
HUKUM,
TUNTUTAN, PUTUSAN HAKIM, ANALISIS KASUS
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini akan membahas kesimpulan dan saran dari hasil penelitian
yang telah dilakukan
Download