14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pidana dan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Pidana dan Tujuan Pemidanaan
a. Pengertian Pidana
Pidana berasal dari kata “straf” yang berarti suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh lembaga yang berwenang untuk
menjatuhkan pidana atas nama negara. Istilah pidana itu sendiri diartikan
sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan
istilah-istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan,
penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Moeljanto
mengatakan, istilah “hukuman” yang berasal dari “straf” dan istilah
“dihukum” yang berasal dari “wordt gestraf” merupakan istilah yang
konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan
istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf”
dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”.
Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional
dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat
berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya
sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari
di bidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena “pidana”
merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian
atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang
khas. Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan
pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu.
14
15
Istilah pidana ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah
hukuman sering digunakan dalam istilah sehari-hari. Oleh karena itu istilah
pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim
merupakan terjemahan dari recht.
Dalam hal ini terdapat perbedaan istilah hukuman dan pidana. Suatu
pidana harus berdasarkan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas
pengertiannya, karena dalam pengertian hukuman, di dalamnya termasuk
keseluruhan norma, baik norma kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan
kebiasaan. Walaupun demikian, kedua istilah tersebut tetap mempunyai
persamaan, yaitu sama-sama berlatarbelakang pada tata nilai, baik dan tidak
baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dan sebagainya.
Seseorang yang dijatuhi pidana atau terpidana adalah orang yang bersalah
atau melanggar suatu peraturan hukum pidana. Akan tetapi, seseorang juga
dapat dihukum karena melanggar suatu ketentuan yang bukan hukum
pidana.
Dalam hal tujuan pidana, mengutip pernyataan Plato dan Aristoteles,
mengemukakan bahwa “pidana itu dijatuhkan bukan karena telah berbuat
jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan, hal ini merupakan suatu
kenyataan bahwa hukum pidana bersifat preventif atau pencegahan agar
tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran” (Muladi dan Barda Nawawi,
1998: 5). Demikian pula menurut Herbert L. Packer, berpendapat bahwa
tingkatan atau derajat ketidakenakan atau kekejaman bukanlah ciri yang
membedakan “punishment” dan “treatment”. Perbedaan antara “punishment”
(pidana) dan “treatment” (tindakan perlakuan) harus dilihat dari tujuannya,
seberapa jauh peranan dari si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan
perlakuan. Menurut Herbert L. Packer, tujuan utama dari treatment adalah
untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang
bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau akan
yang datang, akan tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan
16
kepadanya. Jadi dasar pembenaran dari “treatment” adalah pada pandangan
bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik.
Dengan
demikian
tujuan
utamanya
adalah
untuk
meningkatkan
kesejahteraan orang yang bersangkutan. Sedangkan “punishment” menurut
Herbert L. Packer, pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan
sebagai berikut:
1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak
dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or
undersired conduct orofending conduct);
2) Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si
pelanggar (the deserved infliction of suffering on evildoers/ retribution
for perceived wrong doing).
Pada masalah pidana, titik beratnya adalah pada perbuatan salah atau
tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku. Dengan perkataan lain,
perbuatan itu mempunyai peranan yang besar dan merupakan syarat yang
harus ada untuk terjadinya “punishment”. Menurut Muladi dan Barda
Nawawi, dengan melihat dasar orientasi dari dua tujuan di atas, maka Packer
memasukkan adanya dua tujuan itu ke dalam definisinya sebagai
“punishment”. Dalam hal perbedaan secara tradisional antara pidana dan
tindakan, Sudarto mengemukakan pidana adalah pembalasan (pengimbalan)
terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk
perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.
Jadi secara dogmatis, menurut Sudarto, pidana itu ditujukan untuk orang
normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggung jawab, sebab orang
yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai kesalahan dan
orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin dipidana dan
terhadap orang ini dapat dijatuhkan tindakan (Muladi dan Barda Nawawi,
1998: 6-8).
17
b. Jenis-Jenis Sanksi dalam Sistem Hukum Pidana
Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang keduanya
mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di
dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah
melakukan perbuatan pidana. Bentuk-bentuk sanksi pidana antara lain:
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana
tutupan yang merupakan pidana pokok, serta pidana berupa pencabutan hakhak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan
hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan.
Sanksi tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak tersebar
di luar KUHP, walaupun dalam KUHP sendiri mengatur juga bentukbentuknya, yaitu berupa perawatan dirumah sakit dan dikembalikan pada
orang tuanya atau walinya bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab
(Pasal 44). Hal ini berbeda dengan bentuk-bentuk sanksi tindakan yag
tersebar di luar KUHP yang lebih variatif sifatnya, seperti pencabutan surat
ijin mengemudi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
perbaikan akibat tindak pidana, latihan kerja, rehabilitasi, dan perawatan di
suatu lembaga. Kedua jenis sanksi tersebut (sanksi pidana dan sanksi
tindakan) dalam teori hukum pidana lazim disebut dengan double track
system (sistem dua jalur), yaitu sistem sanksi dalam hukum pidana yang
menempatkan sanksi pidana dan sanksi tindakan sebagai suatu sanksi yang
mempunyai kedudukan yang sejajar dan bersifat mandiri. Sanksi pidana
diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada
seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan
melakukan tindak pidana (Mahrus Ali, 2012:194).
Mengenai jenis-jenis pidana tercantum di dalam ketentuan Pasal 10
KUHP. Jenis-jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar
18
KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang. Menurut
ketentuan Pasal 10 KUHP, jenis-jenis pidana dibedakan sebagai berikut:
1) Pidana Pokok
a) Pidana mati,
b) Pidana penjara,
c) Kurungan,
d) Denda, dan
e) Tutupan (ditambah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1946).
2) Pidana Tambahan
a) Pencabutan hak-hak tertentu,
b) Perampasan barang tertentu, dan
c) Pengumuman putusan hakim.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia mengenal pidana
pokok dan pidana tambahan. Salah satu jenis pidana pokok yang terdapat
dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yaitu pidana mati. Pidana mati adalah
pidana yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar
ketentuan undang-undang. Menurut Saleh, pidana mati dikatakan sebagai
sanksi pidana terberat karena pelaksanaannya berupa perampasan terhadap
hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada ditangan
Tuhan. Pidana mati merupakan upaya radikal untuk melenyapkan individuindividu yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi dan juga merupakan pidana
yang paling berat dan menyedihkan diantara bentuk pidana lainnya (Roeslan
Saleh, 1978: 13).
Indonesia adalah negara yang bersifat retensionis (mempertahankan)
pidana mati baik secara deyure maupun defacto. Perdebatan terhadap
eksistensi pidana mati sebagai salah satu sanksi pidana, merupakan masalah
klasik yang tidak pernah berhenti, baik oleh kaum ilmuwan maupun
masyarakat awam. Dalam skala global tidak sedikit negara masih
19
mempertahankan pidana mati, baik secara deyure maupun defacto. Bagi
negara yang masih mempertahankan pidana mati, berbagai cara dilakukan
untuk mengeliminir dampak negatif pelaksanaan pidana mati, baik yang
berhubungan dengan cara pelaksanaan eksekusi pidana mati maupun
persyaratan pengenaan pidana mati. Untuk mengurangi dampak negatif
tersebut, muncul cara-cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati yang bersifat
lebih manusiawi dan tidak menyakitkan, disamping menggunakan
persyaratan yang sangat ketat (limitative) dan bersifat pengecualian
(eksepsional) dalam penerapannya (Pujiyono, 2007: 1-2).
Menurut ketentuan-ketentuan dalam KUHP, di Indonesia ada
sembilan macam kejahatan yang diancam pidana mati, yaitu: Makar dengan
maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104 KUHP),
Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal
111 Ayat (2) KUHP), Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di
waktu perang (Pasal 124 Ayat (3) KUHP), Menghasut dan memudahkan
terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP), Pembunuhan berencana
terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat (3) KUHP), Pembunuhan
berencana (Pasal 340 KUHP), Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu
mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 Ayat (4) KUHP),
Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP), dan
Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat (2) dan
Pasal 149 O Ayat (2) KUHP).
Selain yang disebutkan di atas, masih ada ancaman pidana mati
berdasarkan ketentuan-ketentuan di luar KUHP, yaitu terdapat didalam:
Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955), Tindak
Pidana Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Tindak Pidana
Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001), Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia
20
(Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000), dan Tindak Pidana Terorisme
(Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003).
c. Tujuan Pemidanaan
Menurut Barda Nawawi, apabila pengertian pemidanaan diartikan
secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup
keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga
seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan
perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana
Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan
sistem pemidanaan. Selanjutnya dikemukakan Barda Nawawi, bertolak dari
pengertian di atas, maka apabila aturan perundang-undangan (the statutory
rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP,
dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa
aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada
hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Keseluruhan
peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana
substantive tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan
khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan
aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam
undang-undang khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada
umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula
memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum (Barda Nawawi,
2003: 136).
Di Indonesia, hukum positif belum pernah merumuskan tujuan
pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih
21
dalam tataran yang bersifat teoritis. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan
pemidanaan yaitu:
1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan
baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif)
maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan
kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi
(spesiale preventif), atau
2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan
kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga
bermanfaat bagi masyarakat (Wirjono Prodjodikoro, 1981: 16).
Akan tetapi, dalam rancangan KUHP tahun 2008 telah menetapkan
tujuan pemidanaan yang tercantum pada Pasal 54, yaitu:
(1) Pemidanaan bertujuan
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat,
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat, dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam,
yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman.
Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar
menjadi insyaf dan dapat menjadi warga negara yang baik (Bambang
Waluyo, 2000: 3). Tujuan pemidanaan diharapkan dapat menjadi sarana
perlindungan
masyarakat,
rehabilitasi
dan
resosialisasi,
pemenuhan
pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa
bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana merupakan suatu nestapa
tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
22
manusia. Menurut Lamintang, pada dasarnya terdapat tiga pokok tentang
tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:
1) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,
2) Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan
3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk
melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan
cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi (Lamintang, 2012:
11).
Berdasarkan konsep pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori
tentang tujuan pemidanaan. Teori-teori pemidanaan dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien)
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Dalam buku Zainal
Abidin, teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut
didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis,
seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak,
bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan,
dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).
Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa:
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga
berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya
kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi
dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak
yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk
memuaskan tuntutan keadilan (Zainal Abidin Farid, 2007: 11)
23
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa teori ini
hanya berorientasi untuk pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Setiap
kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang harus diikuti dengan
pidana yang seimbang untuk mencapai kepuasan hati, tanpa memikirkan
akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari penjatuhan pidana.
2) Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Menurut teori ini pidana adalah alat untuk menegakkan tata
tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori
absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman
artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya
memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi,
dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Sebagaimana yang
dinyatakan Muladi bahwa:
Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku
tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi
masyarakat menuju kesejahteraan. Sanksi ditekankan pada
tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan
kejahatan, maka bukan tujuan untuk pemuasan absolut atas
keadilan (Zainal Abidin Farid, 2007: 11).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan
pemidanaan dalam teori ini adalah untuk menciptakan ketertiban
masyarakat dengan cara menciptakan peraturan perundang-undangan
pidana yang bersifat menakut-nakuti sehingga pelaku kejahatan menjadi
jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi dan masyarakat tidak
berani melakukan tindak kejahatan karena mengingat adanya ancaman
pidana.
3) Teori Gabungan atau Teori Modern (Vereningings Theorien)
Menurut teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat
plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan
absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda,
24
dimana
pemidanaan
mengandung
karakter
pembalasan
sejauh
pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan
yang salah, sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa
tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan
perilaku terpidana di kemudian hari.
Menurut Grotius dalam bukunya Frans Maramis, menyatakan
bahwa “kodrat mengajarkan bahwa barangsiapa melakukan kejahatan, ia
akan terkena derita” (aspek absolut), tetapi dalam menetapkan berat
ringannya derita yang dikenakan tergantung pada kemanfaatan sosial
(aspek relatif) (Frans Maramis, 2013: 234).
Berdasarkan
uraian
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
munculnya teori gabungan pada dasarnya merupakan respon terhadap
kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun teori relatif.
Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada
upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya
untuk mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan
kejahatan lagi yang merugikan dan meresahkan masyarakat.
2. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan Transnasional
a. Pengertian Narkotika
Istilah narkotika berasal dari kata narkon yang berasal dari bahasa
Yunani, yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu kedokteran juga dikenal
istilah Narcose atau Narcicis yang berarti membiuskan” (Ikin A. Ghani,
1985: 5). Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh
tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya kedalam
tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan.
Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis
bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia,
25
seperti dibidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain
(Soedjono Dirdjosisworo, 1987: 3).
Pengertian narkotika juga dimuat dalam Pasal 1 butir 1 UndangUndang Narkotika yang menyatakan bahwa “narkotika adalah zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.
Menurut Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika, narkotika
digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:
1) Narkotika Golongan I
Narkotika golongan satu hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: Heroin, Kokain, Opium, Ganja, Katinon, MMDA/Ecstasy dan
lebih dari 65 macam jenis lainnya.
2) Narkotika Golongan II
Narkotika golongan dua, berkhasiat untuk pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin,
Fentanil, Metadon dan lain-lain.
3) Narkotika Golongan III
Narkotika golongan tiga, berkhasiat untuk pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: Codein, Buprenorfin, Etilmorfina, Kodeina,
26
Nikokodina, Polkodina, Propiram dan ada 13 macam termasuk beberapa
campuran lainnya.
b. Tindak Pidana Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
merupakan salah satu undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana
di luar KUHP. Dalam undang-undang ini mengatur mengenai tindak pidana
yang berkaitan dengan narkotika. Tindak pidana narkotika akan diuraikan
dalam tabel di bawah ini.
Pasal
Tindak Pidana Narkotika
Sanksi
111 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan - Pidana penjara 4(1)
hukum
menanam,
memelihara,
12 tahun
memiliki, menyimpan, menguasai, - Pidana denda 800
menyediakan narkotika golongan I
juta-1 milyar
111 Ayat dalam bentuk tanaman dan bukan - Pidana
penjara
tanaman
(2)
seumur hidup
- Pidana penjara 520 tahun
- Pidana
denda
maksimum Ayat
(1) ditambah 1/3
112 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan - Pidana penjara 4(1)
hukum
memiliki,
menyimpan,
12 tahun
menguasai, menyediakan narkotika - Pidana denda 800
golongan I dalam bentuk tanaman dan
juta-8 milyar
bukan
tanaman
112 Ayat
- Pidana
penjara
(2)
seumur hidup
- Pidana penjara 520 tahun
- Pidana
denda
maksimum Ayat
(1) ditambah 1/3
113 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan - Pidana penjara 5(1)
hukum memproduksi, mengimpor,
15 tahun
mengekspor,
atau
menyalurkan - Pidana denda 1narkotika golongan I dalam bentuk
10 milyar
27
113 Ayat tanaman dan bukan tanaman
(2)
114 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan
(1)
hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara, dalam jual beli, menukar,
114 Ayat atau menyerahkan narkotika golongan I
dalam bentuk tanaman dan bukan
(2)
tanaman
115 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan
(1)
hukum
membawa,
mengirim,
mengangkut, atau mentransito narkotika
golongan I dalam bentuk tanaman dan
115 Ayat bukan tanaman
(2)
116 Ayat Perbuatan tanpa hak atau melawan
(1)
hukum
menggunakan
narkotika
golongan I terhadap orang lain atau
memberikan narkotika golongan I
116 Ayat
(2)
- Pidana mati
- Pidana
penjara
seumur hidup
- Pidana penjara 520 tahun
Pidana
denda
maksimum Ayat
(1) ditambah 1/3
- Pidana penjara 520 tahun
- Pidana denda 110 milyar
- Pidana mati
- Pidana
penjara
seumur hidup
- Pidana penjara 620 tahun
- Pidana
denda
maksimum Ayat
(1) ditambah 1/3
- Pidana penjara 412 tahun
- Pidana denda 800
juta-8 milyar
- Pidana
penjara
seumur hidup
- Pidana penjara 520 tahun
Pidana
denda
maksimum Ayat
(1) ditambah 1/3
- Pidana penjara 515 tahun
- Pidana denda 110 milyar
- Pidana mati
- Pidana
penjara
seumur hidup
- Pidana penjara 520 tahun
28
- Pidana
denda
maksimum Ayat
(1) ditambah 1/3
127 Ayat Setiap Penyalah Guna Narkotika - Pidana penjara 1(1)
Golongan I untuk digunakan orang lain
4 tahun
Narkotika Golongan II, narkotika
golongan III bagi diri sendiri
128 Ayat Perbuatan Orang tua atau wali dari - Pidana kurungan
(1)
pecandu yang belum cukup umur,
6 bulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 - Pidana
denda
ayat (1) yang sengaja tidak melapor
maksimum 1 juta
129
Perbuatan tanpa hak atau melawan - Pidana penjara 4hukum
memiliki,
menyimpan,
20 tahun
menguasai,
atau
menyediakan, - Pidana
denda
memproduksi,
mengimpor,
maksimum
5
mengekspor,
atau
menyalurkan,
milyar
menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan prekursor narkotika untuk
pembuatan
narkotika
membawa,
mengirim,
mengangkut,
atau
mentransito prekursor narkotika untuk
pembuatan narkotika.
130 Ayat Tindak pidana yang dilakukan oleh
Pengurus:
(1)
korporasi
- Pidana penjara
- Pidana denda
Korporasi:
- Pidana
denda
pemberatan 3 kali
130 Ayat
Korporasi:
(2)
- Pencabutan izin
usaha
- Pencabutan status
badan hukum
131
Perbuatan dengan sengaja tidak - Pidana
penjara
melaporkan adanya tindak pidana
maksimum
1
narkotika
tahun
- Pidana
denda
maksimum
50
juta
29
133 Ayat Perbuatan menyuruh, memberi atau
(1)
menjanjikan
sesuatu,
memberikan
kesempatan,
menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa
dengan ancaman, memaksa dengan
kekerasan, melakukan tipu muslihat,
atau membujuk anak yang belum cukup
umur untuk melakukan tindak pidana
narkotika
135
Pengurus industri farmasi yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud daam Pasal 45
138
142
143
146
(1)
Tabel
- Pidana mati
- Pidana
penjara
seumur hidup
- Pidana penjara 520 tahun
- Pidana denda 220 milyar
- Pidana penjara 17 tahun
- Pidana denda 40
juta-400 juta
- Pidana
penjara
maksimum
7
tahun
- Pidana
denda
maksium 500 juta
Perbuatan menghalang-halangi atau
mempersulit
penyidikan
serta
penuntutan dan pemeriksaan perkara
tindak pidana narkotika dan/atau tindak
pidana prekursor narkotika dimuka
sidang pengadilan
Petugas laboratorium yang memalsukan - Pidana
penjara
hasil pengujian atau secara melawan
maksimum
7
hukum tidak melaksanakan kewajiban
tahun
melaporkan hasil pengujiannya kepada - Pidana
denda
penyidik atau penuntut umum
maksium 500 juta
Saksi yang memberikan keterangan - Pidana penjara 1tidak benar dalam perkara tindak pidana
10 tahun
narkotika dan prekursor narkotika - Pidana denda 60dimuka sidang pengadilan
600 juta
Ayat Warga Negara Asing yang melakukan - Pengusiran keluar
tindak pidana narkotika dan/atau tindak
wilayah Negara
pidana prekursor narkotika dan telah
Republik
menjalani pidananya
Indonesia
1. Tindak Pidana Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika
Dalam Undang-Undang Narkotika terdapat kekhususan mengenai
penjatuhan sanksi pidana, antara lain:
1) Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan dan pidana denda), pidana tambahan (pencabutan izin
30
usaha/pencabutan hak tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga
negara asing)
2) Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana
narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 (empat) tahun sampai dengan
20 (dua puluh) tahun dan seumur hidup.
3) Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara
kumulatif (terutama penjara dan denda)
4) Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimal
khusus (penjara maupun denda)
5) Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan
pemufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh
korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan
apabila ada pengulangan (recidive).
Tindak pidana narkotika termasuk dalam tindak pidana transnasional.
hal ini dikarenakan tindak pidana narkotika saat ini dilakukan secara
terorganisir dan melintasi batas-batas negara lain. Menurut Mehmet Zulfu
Oner, memberikan pernyataan bahwa:
The definition of transnational crime has evolved, reflecting the
increasing complexity and international nature of the phenomenon.
The term ‘transnational’ is used most often to mean the movement of
information, money, physical objects, people, or other commodities
across national boundaries, when at least one of the actors involved
in the transaction is nongovernmental. Various countries have
different definitions of transnational crime depending on very
different law systems and philosophies. By definition, transnational
crime is crime that violates the laws of more than one state, or
transnational crimes are criminal acts or transactions that span
national borders, thus, violating the laws of more than one country
(Mehmet Zulfu Oner, 2014: 60).
Terjemahan bebas: definisi kejahatan transnasional telah berevolusi,
mencerminkan peningkatan kompleksitas dan sifat internasional suatu
31
kejadian. Istilah ‘transnasional’ sering digunakan untuk merujuk pada
pergerakan informasi, uang, benda, manusia, atau komoditas lain melintasi
batas Negara, dengan paling tidak salah satu pelaku yang terlibat berasal dari
luar pemerintah. Berbagai negara memiliki definisi berbeda terhadap
kejahatan transnasional bergantung pada sistem dan filosofi hukum yang
juga sangat berbeda. Kejahatan transnasional dapat diartikan sebagai
kejahatan yang melanggar hukum lebih dari satu negara, atau dapat pula
diartikan sebagai tindakan kriminal atau transaksi yang melewati batas
negara, sehingga melanggar hukum lebih dari satu negara.
Menurut Siswanto, tindak pidana transnasional yang terorganisasi
merupakan kejahatan internasional yang mengancam kehidupan sosial,
ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia. Perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memudahkan lalu
lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara
lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam
dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut, pada saat ini telah
berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari
lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya.
Oleh sebab itu,
diperlukan kerjasama internasional perlu dibentuk dan ditingkatkan guna
mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi
(Siswanto, 2012: 89-90).
Menurut Pierre Hauck dan Sven Peterke, memberikan pernyataan
bahwa:
‘Organized crime’ is a very pithy term that has become part of the
vocabulary of many politicians and the broader public as well. It is
often applied without a clear reference point and is, in fact, highly
indeterminate and vague. This lack of clarity also affects the relevant
academic debate.
On the one hand, the term can be used to refer to certain types of
more sophisticated criminal activities embedded, in one form or
another, in complex illicit markets. Arms, drug, and human
32
trafficking are often correlated with a set of ‘enabling activities’ such
as (the threat of) violence, corruption, and money laundering. One
group of authors assumes that the former constitute core activities of
organized crime; another refers to the latter. In both cases the
offences can usually be categorized as ‘serious crimes’. It may be
more accurate to use the term ‘organized criminality’ (Pierre Hauck
dan Sven Peterke, 2010: 408-409).
Terjemahan bebas: ‘kejahatan yang terorganisasi’ merupakan istilah
yang sangat ringkas yang telah menjadi bagian dari kamus banyak politisi
dan juga publik pada umumnya. Istilah tersebut sering digunakan tanpa
rujukan yang jelas serta bersifat samar/ambigu dan tidak menentukan.
Kurangnya kejelasan tersebut juga mempengaruhi perdebatan akademis
terkait.
Di satu sisi, istilah tersebut dapat digunakan untuk merujuk jenisjenis tindakan kriminal tertentu yang lebih rumit/pelik yang terkait, dalam
suatu bentuk atau bentuk lain, dengan pasar gelap yang kompleks.
Perdagangan senjata, narkotika, dan manusia sering dihubungkan dengan
‘seperangkat kegiatan’ yang memungkinkan seperti (ancaman) kekerasan,
korupsi, dan pencucian uang. Suatu grup penulis mendiha bahwa kegiatankegiatan perdagangan tersebut merupakan kegiatan inti dari kejahatan
terorganisasi sedangkan kelompok lain menduga kekerasan, korupsi, dan
pencucian uang sebagai aktifitas utama dari kejahatan terorganisasi. Dalam
kedua kasus tersebut, kejahatan yang terjadi dapat digolongkan sebagai
‘kejahatan serius’.
Ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika
dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 111 sampai dengan
Pasal 148. Dari bab-bab Undang-Undang Narkotika, terdapat perbuatanperbuatan yang dianggap tindak pidana. Perbuatan yang diklasifikasikan
sebagai tindak pidana, antara lain:
1) Tindak
pidana
menanam,
memelihara,
memiliki,
menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I, II, dan III baik
33
berupa tanaman maupun bukan tanaman secara tanpa hak dan melawan
hukum (Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113 Ayat (1), Pasal 117, dan Pasal
122).
2) Tindak pidana dibidang produksi narkotika serta ilmu pengetahuan
Narkotika hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi tertentu
yang telah memperoleh ijin khusus dari Menteri Kesehatan. Pengertian
produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat,
dan menghasilkan narkotika secara langsung atau tidak langsung
melalui ekstraksi atau non ekstraksi dari sumber alami atau sintetis
kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/mengubah bentuk
narkotika
(Pasal
1
angka
3).
Untuk
memproduksi
narkotika
dimungkinkan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu industri
farmasi, tetapi dilakukan secara selektif dengan maksud agar
pengendalian dan pengawasan narotika dapat lebih mudah dilakukan.
Ancaman pidana bagi mereka yang memproduksi narkotika secara tanpa
hak atau melawan hukum diatur dalam (Pasal 113 Ayat (1) dan (2)
untuk narkotika golongan I, Pasal 118 Ayat (1) dan (2) untuk narkotika
golongan II, Pasal 123 Ayat (1) dan (2) untuk narkotika golongan III).
Lembaga
ilmu
pengetahuan
yang
diselenggarakan
oleh
pemerintah maupun swasta yang kegiatannya secara khusus atau salah
satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian, dan
pengembangan
dapat
memperoleh,
menanam,
menyimpan,
dan
menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi harus mendapat ijin terlebih dahulu dari menteri kesehatan.
Ancaman pidana dalam ketentuan Pasal 147 dikenakan bagi:
a) Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, sarana
penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang
mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan.
34
b) Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang membeli, menyimpan,
atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan.
c) Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika
golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan.
d) Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika
golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
3) Tindak pidana dibidang ekspor, impor, pengangkutan, dan transito
a) Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dan prekursor
narkotika dari daerah pabean. (Pasal 1 angka 5, selanjutnya diatur
dalam bab V bagian kedua)
b) Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika dan prekursor
narkotika kedalam daerah pabean. (Pasal 1 angka 4, selanjutya
diatur dalam bab V bagian kesatu)
c) Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan
cara, moda, atau sarana angkutan apapun. (Pasal 1 angka 9,
selanjutnya diatur dalam bab V bagian ketiga)
d) Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari satu negara
ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan
atau tanpa berganti sarana angkutan. (Pasal 1 angka 12, selanjtnya
diatur dalam bab V bagian keempat).
Ketentuan pidana mengenai pelanggaran ketentuan dalam
pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut diatur dalam (Pasal 113 Ayat
35
(2), Pasal 115 Ayat (1) dan (2), Pasal 118 Ayat (1) dan (2), Pasal 120
Ayat (1) dan (2), Pasal 123 Ayat (1) dan (2), Pasal 125 Ayat (1) dan
(2)).
4) Tindak pidana dibidang peredaran narkotika
Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka
perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Peredaran narkotika tersebut meliputi penyaluran,
penyerahan. Sedangkan pengertian peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai
tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.
Ketentuan pidana mengenai tindak pidana dibidang peredaran
narkotika diatur dalam (Pasal 114 Ayat (1) dan (2), Pasal 119 Ayat (1)
dan (2), Pasal 124 Ayat (1) dan (2), Pasal 147 huruf (a) dan (d)).
5) Tindak pidana dibidang labeling dan publikasi narkotika
Industri farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan
narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika,
label pada kemasan sebagaimana dimaksud dapat berbentuk tulisan,
gambar, kombinasi tulisan dan gambar atau bentuk lain yang disertakan
pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau
merupakan bagian dari wadah, dan/atau kemasannya. Setiap keterangan
yang dicantumkan dalam label harus lengkap dan tidak menyesatkan.
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah
kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Pelanggaran terhadap
ketentuan mengenai labeling dan publikasi, diancam dengan pidana
sebagaimana diatur dalam (Pasal 135).
6) Tindak pidana di bidang pengobatan dan rehabilitasi (Pasal 134).
36
7) Tindak pidana berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika untuk diri
sendiri maupun orang lain (Pasal 116 Ayat (1) dan (2), Pasal 121 Ayat
(1) dan (2), Pasal 126 Ayat (1) dan (2), Pasal 127 Ayat (1)).
8) Tindak pidana pelaporan penyalahguna narkotika (Pasal 128 Ayat (1),
(2), (3), dan (4)).
9) Tindak pidana prekursor narkotika
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah). Dengan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut:
a) memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan prekursor
narkotika untuk pembuatan narkotika, b) memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan precursor untuk pembuatan narkotika, c)
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan precursor
narkotika untuk pembuatan narkotika, d) membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan
narkotika.
c. Ketentuan Pidana Mati dalam Undang-Undang Narkotika
Tindak pidana dibidang narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai
dengan Pasal 148 Undang-Undang Narkotika yang merupakan ketentuan
khusus. Dalam undang-undang ini, mengenai sanksi pidana mati terdapat
pada Pasal 113 Ayat (2), Pasal 114 Ayat (2), Pasal 118 Ayat (2), Pasal 119
Ayat (2), Pasal 121 Ayat (2), dan Pasal 133 Ayat (1) Undang-Undang
Narkotika, sebagai berikut:
1) Pasal 113
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud
37
pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk
bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
2) Pasal 114
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam
bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
3) Pasal 116
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
4) Pasal 118
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor
atau
menyalurkan
Narkotika
Golongan
II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
5) Pasal 119
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk
38
tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam
bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
6) Pasal 121
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk di gunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
7) Pasal 133
(1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,
memberikan
kesempatan,
menganjurkan,
memberikan
kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan
kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang
belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,
Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126,
dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
3. Grasi dan Eksekusi Pidana Mati
a. Pengertian Grasi
Undang-Undang Grasi yang berlaku di Indonesia adalah UndangUndang Nomor 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010
Tentang Grasi (Undang-Undang Grasi). Dalam Pasal 1 Ayat (1),
memberikan pengertian bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada
terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pasal 1 Ayat (2) menentukan secara
39
tegas bahwa terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengenai subyek hukum yang dapat mengajukan permohonan grasi
diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 6. Dalam Pasal 2 Ayat (1)
menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi
kepada Presiden. Sedangkan Pasal 6 menyatakan bahwa permohonan grasi
dapat diajukan oleh:
1) Terpidana atau kuasa hukumnya,
2) Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana, dan
3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat
diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
Adapun dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa kata
“dapat” dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk
menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan
grasi. Kemudian, pengertian keluarga dalam penjelasan Pasal 6 angka 2
dibatasi secara tegas, yaitu hanya istri, suami, anak kandung, orang tua
kandung, atau saudara kandung terpidana.
Yang dimaksudkan dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah:
1) Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding
atau kasasi dalam waktu yang telah ditentukan oleh undangundang tentang hukum acara pidana,
2) Putusan tingkat banding, yang tidak diajukan kasasi dalam waktu
yang ditentukan oleh Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
atau
3) Putusan pengadilan (Lamintang, 2012: 281).
Yang dimaksud dengan pengadilan adalah pengadilan di lingkungan
peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang
memutus perkara pidana. Dalam Pasal 2 Ayat (2) telah diatur secara tegas
bahwa putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana
40
dimaksud pada Ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Kemudian, Pasal 2 Ayat
(3) menyatakan bahwa permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Pasal 7 Ayat (1) menyatakan bahwa
permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Kemudian, Pasal 7 Ayat (2) menyatakan bahwa
permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan paling
lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pengajuan permohonan grasi tidak berarti menunda pelaksanaan
putusan, hal ini tertuang dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa permohonan
grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana,
kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Pengajuan permohoan grasi diatur dalam Pasal 8 Ayat (2)
menentukan bahwa pengajuan permohonan grasi diajukan kepada Presiden
melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama
dan/atau terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Adapun dalam
Ayat (3) dan Ayat (4) menentukan bahwa dalam hal permohonan grasi
diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidana, permohonan dan
salinannya disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk
diteruskan kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara
tersebut dan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan dan
salinannya, berkas perkara terpidana dikirim kepada Mahkamah Agung.
Penyelesaian permohonan grasi diatur dalam Pasal 9 yang
menyatakan bahwa dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari
terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan
permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dalam
Pasal 10 juga menetapkan waktu secara limitatif, yaitu dalam jangka waktu
41
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan
permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.
Kemudian, dalam Pasal 11 juga menetapkan limit waktu, yaitu:
1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung,
2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi,
3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan
Mahkamah Agung.
Selanjutnya, penyelesaian permohonan grasi diatur dalam Pasal 12
sebagai berikut:
1) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2)
disampaiakan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.
2) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disampaikan
kepada:
a) Mahkamah Agung,
b) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama,
c) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana, dan
d) Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
b. Eksekusi Pidana Mati
Pelaksanaan eksekusi pidana mati terhadap terpidana mati yang mana
putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yaitu:
1) Pasal 1
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana
yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan
pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati,
menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.
42
2) Pasal 2
(1) Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati
dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan
putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 Ayat (1)).
(2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam
satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat
yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan
pelaksanaan demikian itu.
3) Pasal 3
(1) Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam
Pasal 2, setelah mendengar nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang
bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan
tempat pelaksanaan pidana mati.
(2) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang
Kepala Polisi Komisariat Daerah lain, maka Kepala Polisi
Komisariat tersebut dalam Ayat (1) merundingkannya dengan
Kepala Polisi Komisariat Daerah lain itu.
(3) Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam Ayat (1)
bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu
pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alatalat yang diperlukan untuk itu.
4) Pasal 4
Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 Ayat (1) atau
Perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati
tersebut
bersama-sama
dengan
Jaksa
Tinggi/Jaksa
yang
bertanggungjawab atas pelaksanaannya.
5) Pasal 5
Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara
atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa
tersebut dalam Pasal 4.
6) Pasal 8
Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan
terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.
43
7) Pasal 9
Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara
sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
8) Pasal 10
(1) Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari
Brigade Mobile yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang
Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
(2) Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak
mempergunakan senjata organiknya.
(3) Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa
Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan
pidana mati.
9) Pasal 11
(1) Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan
polisi yang cukup.
(2) Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
(3) Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
(4) Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal
menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana
tidak menghendakinya.
10) Pasal 12
(1) Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau
berlutut.
(2) Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab
dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya
ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
11) Pasal 13
(1) Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata
sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa
Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
(2) Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu
Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang
dari 5 meter.
12) Pasal 14
(1) Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang
bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk
memulai pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari
terpidana.
44
(3) Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu
Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan
menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk
membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan
pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk
menembak.
(4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan
tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera
memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan
tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya
pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
(5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat
diminta bantuan seorang dokter.
13) Pasal 15
(1) Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana,
kecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa
yang bertanggungjawab memutuskan lain.
(2) Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan
pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana
maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan
mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh
agama/kepercayaan yang dianut oleh terpidana.
14) Pasal 16
(1) Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat
berita acara dari pada pelaksanaan pidana mati.
(2) Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan
Pengadilan yang telah mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani
olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang
ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah
disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan bersangkutan.
(3) Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.
Sedangkan, penundaan eksekusi pidana mati terhadap terpidana mati
yang mana putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) tertuang dalam Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer, yaitu:
45
1) Pasal 6
(1) Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana
mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana
tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.
(2) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan
atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.
2) Pasal 7
Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat
dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.
46
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Narkotika
dilakukan Mary Jane Fiesta
Veloso di Indonesia
Pidana Mati dalam Putusan
Pengadilan Nomor:
385/Pid.B/2010/PN.Slmn
Upaya Hukum: Banding, Kasasi
dan Peninjauan Kembali
Penolakan Permohonan Grasi
dalam Keputusan Presiden
Nomor: 31G/2014
Eksekusi Pidana Mati
Putusan Peninjauan Kembali
Nomor: 51 PK/Pid.Sus/2015
Penundaan Eksekusi Pidana Mati
Implikasi Penundaan Eksekusi
Pidana Mati
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Kerangka pemikiran di atas mencoba memberikan gambaran mengenai alur
berfikir dalam menggambarkan, menelaah, menjabarkan, dan menemukan jawaban
atas permasalahan hukum mengenai penundaan eksekusi pidana mati di Indonesia.
47
Melalui kerangka berfikir di atas, penulis mencoba untuk menggali lebih dalam
mengenai pengaturan tentang penundaan eksekusi pidana mati di Indonesia. Penulis
ingin mengetahui apakah implikasi penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary
Jane Fiesta Veloso sebagai terpidana mati dalam putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Dalam hal ini, penulis mengangkat suatu kasus berkaitan dengan tindak
pidana narkotika dengan pelaku Mary Jane Fiesta Veloso. Kasus ini telah melalui
pemeriksaan
di
Pengadilan
Negeri
Sleman
dengan
Putusan
Nomor
385/Pid.B/2010/PN.Slmn yang menjatuhkan pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta
Veloso. Setelah adanya putusan tersebut, Mary Jane Fiesta Veloso menempuh
berbagai upaya hukum, yaitu: banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Selain
mengajukan upaya hukum, Mary Jane Fiesta Veloso juga telah mengajukan
permohonan grasi kepada Presiden. Seluruh upaya hukum dan permohonan grasi
yang diajukan Mary Jane Fiesta Veloso dinyatakan ditolak. Putusan pengadilan
dalam perkara ini dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde), sehingga terhadap putusan pengadilan tersebut dapat dilakukan eksekusi.
Akan tetapi, dalam kasus ini eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso
mengalami penundaan. Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengetahui apakah
implikasi adanya penundaan eksekusi pidana mati terhadap putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Download