BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pidana dan Tujuan Pemidanaan a. Pengertian Pidana Pidana berasal dari kata “straf” yang berarti suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh lembaga yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara. Istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Moeljanto mengatakan, istilah “hukuman” yang berasal dari “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari “wordt gestraf” merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu. 14 15 Istilah pidana ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah hukuman sering digunakan dalam istilah sehari-hari. Oleh karena itu istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Dalam hal ini terdapat perbedaan istilah hukuman dan pidana. Suatu pidana harus berdasarkan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya, karena dalam pengertian hukuman, di dalamnya termasuk keseluruhan norma, baik norma kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan kebiasaan. Walaupun demikian, kedua istilah tersebut tetap mempunyai persamaan, yaitu sama-sama berlatarbelakang pada tata nilai, baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dan sebagainya. Seseorang yang dijatuhi pidana atau terpidana adalah orang yang bersalah atau melanggar suatu peraturan hukum pidana. Akan tetapi, seseorang juga dapat dihukum karena melanggar suatu ketentuan yang bukan hukum pidana. Dalam hal tujuan pidana, mengutip pernyataan Plato dan Aristoteles, mengemukakan bahwa “pidana itu dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan, hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa hukum pidana bersifat preventif atau pencegahan agar tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran” (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 5). Demikian pula menurut Herbert L. Packer, berpendapat bahwa tingkatan atau derajat ketidakenakan atau kekejaman bukanlah ciri yang membedakan “punishment” dan “treatment”. Perbedaan antara “punishment” (pidana) dan “treatment” (tindakan perlakuan) harus dilihat dari tujuannya, seberapa jauh peranan dari si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan perlakuan. Menurut Herbert L. Packer, tujuan utama dari treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau akan yang datang, akan tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan 16 kepadanya. Jadi dasar pembenaran dari “treatment” adalah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Dengan demikian tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan orang yang bersangkutan. Sedangkan “punishment” menurut Herbert L. Packer, pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan sebagai berikut: 1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or undersired conduct orofending conduct); 2) Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar (the deserved infliction of suffering on evildoers/ retribution for perceived wrong doing). Pada masalah pidana, titik beratnya adalah pada perbuatan salah atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku. Dengan perkataan lain, perbuatan itu mempunyai peranan yang besar dan merupakan syarat yang harus ada untuk terjadinya “punishment”. Menurut Muladi dan Barda Nawawi, dengan melihat dasar orientasi dari dua tujuan di atas, maka Packer memasukkan adanya dua tujuan itu ke dalam definisinya sebagai “punishment”. Dalam hal perbedaan secara tradisional antara pidana dan tindakan, Sudarto mengemukakan pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat. Jadi secara dogmatis, menurut Sudarto, pidana itu ditujukan untuk orang normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggung jawab, sebab orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin dipidana dan terhadap orang ini dapat dijatuhkan tindakan (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 6-8). 17 b. Jenis-Jenis Sanksi dalam Sistem Hukum Pidana Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana. Bentuk-bentuk sanksi pidana antara lain: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan yang merupakan pidana pokok, serta pidana berupa pencabutan hakhak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Sanksi tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak tersebar di luar KUHP, walaupun dalam KUHP sendiri mengatur juga bentukbentuknya, yaitu berupa perawatan dirumah sakit dan dikembalikan pada orang tuanya atau walinya bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab (Pasal 44). Hal ini berbeda dengan bentuk-bentuk sanksi tindakan yag tersebar di luar KUHP yang lebih variatif sifatnya, seperti pencabutan surat ijin mengemudi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat tindak pidana, latihan kerja, rehabilitasi, dan perawatan di suatu lembaga. Kedua jenis sanksi tersebut (sanksi pidana dan sanksi tindakan) dalam teori hukum pidana lazim disebut dengan double track system (sistem dua jalur), yaitu sistem sanksi dalam hukum pidana yang menempatkan sanksi pidana dan sanksi tindakan sebagai suatu sanksi yang mempunyai kedudukan yang sejajar dan bersifat mandiri. Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana (Mahrus Ali, 2012:194). Mengenai jenis-jenis pidana tercantum di dalam ketentuan Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar 18 KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang. Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP, jenis-jenis pidana dibedakan sebagai berikut: 1) Pidana Pokok a) Pidana mati, b) Pidana penjara, c) Kurungan, d) Denda, dan e) Tutupan (ditambah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946). 2) Pidana Tambahan a) Pencabutan hak-hak tertentu, b) Perampasan barang tertentu, dan c) Pengumuman putusan hakim. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia mengenal pidana pokok dan pidana tambahan. Salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yaitu pidana mati. Pidana mati adalah pidana yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Menurut Saleh, pidana mati dikatakan sebagai sanksi pidana terberat karena pelaksanaannya berupa perampasan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada ditangan Tuhan. Pidana mati merupakan upaya radikal untuk melenyapkan individuindividu yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi dan juga merupakan pidana yang paling berat dan menyedihkan diantara bentuk pidana lainnya (Roeslan Saleh, 1978: 13). Indonesia adalah negara yang bersifat retensionis (mempertahankan) pidana mati baik secara deyure maupun defacto. Perdebatan terhadap eksistensi pidana mati sebagai salah satu sanksi pidana, merupakan masalah klasik yang tidak pernah berhenti, baik oleh kaum ilmuwan maupun masyarakat awam. Dalam skala global tidak sedikit negara masih 19 mempertahankan pidana mati, baik secara deyure maupun defacto. Bagi negara yang masih mempertahankan pidana mati, berbagai cara dilakukan untuk mengeliminir dampak negatif pelaksanaan pidana mati, baik yang berhubungan dengan cara pelaksanaan eksekusi pidana mati maupun persyaratan pengenaan pidana mati. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, muncul cara-cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati yang bersifat lebih manusiawi dan tidak menyakitkan, disamping menggunakan persyaratan yang sangat ketat (limitative) dan bersifat pengecualian (eksepsional) dalam penerapannya (Pujiyono, 2007: 1-2). Menurut ketentuan-ketentuan dalam KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang diancam pidana mati, yaitu: Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104 KUHP), Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 Ayat (2) KUHP), Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 Ayat (3) KUHP), Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP), Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat (3) KUHP), Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 Ayat (4) KUHP), Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP), dan Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat (2) dan Pasal 149 O Ayat (2) KUHP). Selain yang disebutkan di atas, masih ada ancaman pidana mati berdasarkan ketentuan-ketentuan di luar KUHP, yaitu terdapat didalam: Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955), Tindak Pidana Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia 20 (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000), dan Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003). c. Tujuan Pemidanaan Menurut Barda Nawawi, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Selanjutnya dikemukakan Barda Nawawi, bertolak dari pengertian di atas, maka apabila aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantive tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam undang-undang khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum (Barda Nawawi, 2003: 136). Di Indonesia, hukum positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih 21 dalam tataran yang bersifat teoritis. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan pemidanaan yaitu: 1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (spesiale preventif), atau 2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat (Wirjono Prodjodikoro, 1981: 16). Akan tetapi, dalam rancangan KUHP tahun 2008 telah menetapkan tujuan pemidanaan yang tercantum pada Pasal 54, yaitu: (1) Pemidanaan bertujuan a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam, yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insyaf dan dapat menjadi warga negara yang baik (Bambang Waluyo, 2000: 3). Tujuan pemidanaan diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat 22 manusia. Menurut Lamintang, pada dasarnya terdapat tiga pokok tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: 1) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, 2) Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan 3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi (Lamintang, 2012: 11). Berdasarkan konsep pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan. Teori-teori pemidanaan dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien) Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Dalam buku Zainal Abidin, teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen). Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa: Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan (Zainal Abidin Farid, 2007: 11) 23 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa teori ini hanya berorientasi untuk pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Setiap kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang harus diikuti dengan pidana yang seimbang untuk mencapai kepuasan hati, tanpa memikirkan akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari penjatuhan pidana. 2) Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien) Menurut teori ini pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa: Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan tujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan (Zainal Abidin Farid, 2007: 11). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan dalam teori ini adalah untuk menciptakan ketertiban masyarakat dengan cara menciptakan peraturan perundang-undangan pidana yang bersifat menakut-nakuti sehingga pelaku kejahatan menjadi jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi dan masyarakat tidak berani melakukan tindak kejahatan karena mengingat adanya ancaman pidana. 3) Teori Gabungan atau Teori Modern (Vereningings Theorien) Menurut teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, 24 dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah, sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Menurut Grotius dalam bukunya Frans Maramis, menyatakan bahwa “kodrat mengajarkan bahwa barangsiapa melakukan kejahatan, ia akan terkena derita” (aspek absolut), tetapi dalam menetapkan berat ringannya derita yang dikenakan tergantung pada kemanfaatan sosial (aspek relatif) (Frans Maramis, 2013: 234). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa munculnya teori gabungan pada dasarnya merupakan respon terhadap kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun teori relatif. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan lagi yang merugikan dan meresahkan masyarakat. 2. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan Transnasional a. Pengertian Narkotika Istilah narkotika berasal dari kata narkon yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu kedokteran juga dikenal istilah Narcose atau Narcicis yang berarti membiuskan” (Ikin A. Ghani, 1985: 5). Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya kedalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, 25 seperti dibidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain (Soedjono Dirdjosisworo, 1987: 3). Pengertian narkotika juga dimuat dalam Pasal 1 butir 1 UndangUndang Narkotika yang menyatakan bahwa “narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”. Menurut Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika, narkotika digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu: 1) Narkotika Golongan I Narkotika golongan satu hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Heroin, Kokain, Opium, Ganja, Katinon, MMDA/Ecstasy dan lebih dari 65 macam jenis lainnya. 2) Narkotika Golongan II Narkotika golongan dua, berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin, Fentanil, Metadon dan lain-lain. 3) Narkotika Golongan III Narkotika golongan tiga, berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Codein, Buprenorfin, Etilmorfina, Kodeina, 26 Nikokodina, Polkodina, Propiram dan ada 13 macam termasuk beberapa campuran lainnya. b. Tindak Pidana Narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan salah satu undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana di luar KUHP. Dalam undang-undang ini mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan narkotika. Tindak pidana narkotika akan diuraikan dalam tabel di bawah ini. Pasal Tindak Pidana Narkotika Sanksi 111 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan - Pidana penjara 4(1) hukum menanam, memelihara, 12 tahun memiliki, menyimpan, menguasai, - Pidana denda 800 menyediakan narkotika golongan I juta-1 milyar 111 Ayat dalam bentuk tanaman dan bukan - Pidana penjara tanaman (2) seumur hidup - Pidana penjara 520 tahun - Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 112 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan - Pidana penjara 4(1) hukum memiliki, menyimpan, 12 tahun menguasai, menyediakan narkotika - Pidana denda 800 golongan I dalam bentuk tanaman dan juta-8 milyar bukan tanaman 112 Ayat - Pidana penjara (2) seumur hidup - Pidana penjara 520 tahun - Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 113 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan - Pidana penjara 5(1) hukum memproduksi, mengimpor, 15 tahun mengekspor, atau menyalurkan - Pidana denda 1narkotika golongan I dalam bentuk 10 milyar 27 113 Ayat tanaman dan bukan tanaman (2) 114 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan (1) hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, dalam jual beli, menukar, 114 Ayat atau menyerahkan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dan bukan (2) tanaman 115 Ayat Perbuatan tanpa hak dan melawan (1) hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dan 115 Ayat bukan tanaman (2) 116 Ayat Perbuatan tanpa hak atau melawan (1) hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I 116 Ayat (2) - Pidana mati - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 520 tahun Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 - Pidana penjara 520 tahun - Pidana denda 110 milyar - Pidana mati - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 620 tahun - Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 - Pidana penjara 412 tahun - Pidana denda 800 juta-8 milyar - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 520 tahun Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 - Pidana penjara 515 tahun - Pidana denda 110 milyar - Pidana mati - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 520 tahun 28 - Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 127 Ayat Setiap Penyalah Guna Narkotika - Pidana penjara 1(1) Golongan I untuk digunakan orang lain 4 tahun Narkotika Golongan II, narkotika golongan III bagi diri sendiri 128 Ayat Perbuatan Orang tua atau wali dari - Pidana kurungan (1) pecandu yang belum cukup umur, 6 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 - Pidana denda ayat (1) yang sengaja tidak melapor maksimum 1 juta 129 Perbuatan tanpa hak atau melawan - Pidana penjara 4hukum memiliki, menyimpan, 20 tahun menguasai, atau menyediakan, - Pidana denda memproduksi, mengimpor, maksimum 5 mengekspor, atau menyalurkan, milyar menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. 130 Ayat Tindak pidana yang dilakukan oleh Pengurus: (1) korporasi - Pidana penjara - Pidana denda Korporasi: - Pidana denda pemberatan 3 kali 130 Ayat Korporasi: (2) - Pencabutan izin usaha - Pencabutan status badan hukum 131 Perbuatan dengan sengaja tidak - Pidana penjara melaporkan adanya tindak pidana maksimum 1 narkotika tahun - Pidana denda maksimum 50 juta 29 133 Ayat Perbuatan menyuruh, memberi atau (1) menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika 135 Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud daam Pasal 45 138 142 143 146 (1) Tabel - Pidana mati - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 520 tahun - Pidana denda 220 milyar - Pidana penjara 17 tahun - Pidana denda 40 juta-400 juta - Pidana penjara maksimum 7 tahun - Pidana denda maksium 500 juta Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika dimuka sidang pengadilan Petugas laboratorium yang memalsukan - Pidana penjara hasil pengujian atau secara melawan maksimum 7 hukum tidak melaksanakan kewajiban tahun melaporkan hasil pengujiannya kepada - Pidana denda penyidik atau penuntut umum maksium 500 juta Saksi yang memberikan keterangan - Pidana penjara 1tidak benar dalam perkara tindak pidana 10 tahun narkotika dan prekursor narkotika - Pidana denda 60dimuka sidang pengadilan 600 juta Ayat Warga Negara Asing yang melakukan - Pengusiran keluar tindak pidana narkotika dan/atau tindak wilayah Negara pidana prekursor narkotika dan telah Republik menjalani pidananya Indonesia 1. Tindak Pidana Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Dalam Undang-Undang Narkotika terdapat kekhususan mengenai penjatuhan sanksi pidana, antara lain: 1) Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda), pidana tambahan (pencabutan izin 30 usaha/pencabutan hak tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga negara asing) 2) Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 (empat) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun dan seumur hidup. 3) Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda) 4) Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimal khusus (penjara maupun denda) 5) Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan pemufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive). Tindak pidana narkotika termasuk dalam tindak pidana transnasional. hal ini dikarenakan tindak pidana narkotika saat ini dilakukan secara terorganisir dan melintasi batas-batas negara lain. Menurut Mehmet Zulfu Oner, memberikan pernyataan bahwa: The definition of transnational crime has evolved, reflecting the increasing complexity and international nature of the phenomenon. The term ‘transnational’ is used most often to mean the movement of information, money, physical objects, people, or other commodities across national boundaries, when at least one of the actors involved in the transaction is nongovernmental. Various countries have different definitions of transnational crime depending on very different law systems and philosophies. By definition, transnational crime is crime that violates the laws of more than one state, or transnational crimes are criminal acts or transactions that span national borders, thus, violating the laws of more than one country (Mehmet Zulfu Oner, 2014: 60). Terjemahan bebas: definisi kejahatan transnasional telah berevolusi, mencerminkan peningkatan kompleksitas dan sifat internasional suatu 31 kejadian. Istilah ‘transnasional’ sering digunakan untuk merujuk pada pergerakan informasi, uang, benda, manusia, atau komoditas lain melintasi batas Negara, dengan paling tidak salah satu pelaku yang terlibat berasal dari luar pemerintah. Berbagai negara memiliki definisi berbeda terhadap kejahatan transnasional bergantung pada sistem dan filosofi hukum yang juga sangat berbeda. Kejahatan transnasional dapat diartikan sebagai kejahatan yang melanggar hukum lebih dari satu negara, atau dapat pula diartikan sebagai tindakan kriminal atau transaksi yang melewati batas negara, sehingga melanggar hukum lebih dari satu negara. Menurut Siswanto, tindak pidana transnasional yang terorganisasi merupakan kejahatan internasional yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut, pada saat ini telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya. Oleh sebab itu, diperlukan kerjasama internasional perlu dibentuk dan ditingkatkan guna mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi (Siswanto, 2012: 89-90). Menurut Pierre Hauck dan Sven Peterke, memberikan pernyataan bahwa: ‘Organized crime’ is a very pithy term that has become part of the vocabulary of many politicians and the broader public as well. It is often applied without a clear reference point and is, in fact, highly indeterminate and vague. This lack of clarity also affects the relevant academic debate. On the one hand, the term can be used to refer to certain types of more sophisticated criminal activities embedded, in one form or another, in complex illicit markets. Arms, drug, and human 32 trafficking are often correlated with a set of ‘enabling activities’ such as (the threat of) violence, corruption, and money laundering. One group of authors assumes that the former constitute core activities of organized crime; another refers to the latter. In both cases the offences can usually be categorized as ‘serious crimes’. It may be more accurate to use the term ‘organized criminality’ (Pierre Hauck dan Sven Peterke, 2010: 408-409). Terjemahan bebas: ‘kejahatan yang terorganisasi’ merupakan istilah yang sangat ringkas yang telah menjadi bagian dari kamus banyak politisi dan juga publik pada umumnya. Istilah tersebut sering digunakan tanpa rujukan yang jelas serta bersifat samar/ambigu dan tidak menentukan. Kurangnya kejelasan tersebut juga mempengaruhi perdebatan akademis terkait. Di satu sisi, istilah tersebut dapat digunakan untuk merujuk jenisjenis tindakan kriminal tertentu yang lebih rumit/pelik yang terkait, dalam suatu bentuk atau bentuk lain, dengan pasar gelap yang kompleks. Perdagangan senjata, narkotika, dan manusia sering dihubungkan dengan ‘seperangkat kegiatan’ yang memungkinkan seperti (ancaman) kekerasan, korupsi, dan pencucian uang. Suatu grup penulis mendiha bahwa kegiatankegiatan perdagangan tersebut merupakan kegiatan inti dari kejahatan terorganisasi sedangkan kelompok lain menduga kekerasan, korupsi, dan pencucian uang sebagai aktifitas utama dari kejahatan terorganisasi. Dalam kedua kasus tersebut, kejahatan yang terjadi dapat digolongkan sebagai ‘kejahatan serius’. Ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Dari bab-bab Undang-Undang Narkotika, terdapat perbuatanperbuatan yang dianggap tindak pidana. Perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana, antara lain: 1) Tindak pidana menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I, II, dan III baik 33 berupa tanaman maupun bukan tanaman secara tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113 Ayat (1), Pasal 117, dan Pasal 122). 2) Tindak pidana dibidang produksi narkotika serta ilmu pengetahuan Narkotika hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi tertentu yang telah memperoleh ijin khusus dari Menteri Kesehatan. Pengertian produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau non ekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/mengubah bentuk narkotika (Pasal 1 angka 3). Untuk memproduksi narkotika dimungkinkan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu industri farmasi, tetapi dilakukan secara selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan narotika dapat lebih mudah dilakukan. Ancaman pidana bagi mereka yang memproduksi narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum diatur dalam (Pasal 113 Ayat (1) dan (2) untuk narkotika golongan I, Pasal 118 Ayat (1) dan (2) untuk narkotika golongan II, Pasal 123 Ayat (1) dan (2) untuk narkotika golongan III). Lembaga ilmu pengetahuan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang kegiatannya secara khusus atau salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian, dan pengembangan dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan. Akan tetapi harus mendapat ijin terlebih dahulu dari menteri kesehatan. Ancaman pidana dalam ketentuan Pasal 147 dikenakan bagi: a) Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. 34 b) Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. c) Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. d) Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. 3) Tindak pidana dibidang ekspor, impor, pengangkutan, dan transito a) Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dan prekursor narkotika dari daerah pabean. (Pasal 1 angka 5, selanjutnya diatur dalam bab V bagian kedua) b) Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika dan prekursor narkotika kedalam daerah pabean. (Pasal 1 angka 4, selanjutya diatur dalam bab V bagian kesatu) c) Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apapun. (Pasal 1 angka 9, selanjutnya diatur dalam bab V bagian ketiga) d) Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari satu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan. (Pasal 1 angka 12, selanjtnya diatur dalam bab V bagian keempat). Ketentuan pidana mengenai pelanggaran ketentuan dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut diatur dalam (Pasal 113 Ayat 35 (2), Pasal 115 Ayat (1) dan (2), Pasal 118 Ayat (1) dan (2), Pasal 120 Ayat (1) dan (2), Pasal 123 Ayat (1) dan (2), Pasal 125 Ayat (1) dan (2)). 4) Tindak pidana dibidang peredaran narkotika Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peredaran narkotika tersebut meliputi penyaluran, penyerahan. Sedangkan pengertian peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Ketentuan pidana mengenai tindak pidana dibidang peredaran narkotika diatur dalam (Pasal 114 Ayat (1) dan (2), Pasal 119 Ayat (1) dan (2), Pasal 124 Ayat (1) dan (2), Pasal 147 huruf (a) dan (d)). 5) Tindak pidana dibidang labeling dan publikasi narkotika Industri farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika, label pada kemasan sebagaimana dimaksud dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah, dan/atau kemasannya. Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label harus lengkap dan tidak menyesatkan. Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai labeling dan publikasi, diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam (Pasal 135). 6) Tindak pidana di bidang pengobatan dan rehabilitasi (Pasal 134). 36 7) Tindak pidana berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri maupun orang lain (Pasal 116 Ayat (1) dan (2), Pasal 121 Ayat (1) dan (2), Pasal 126 Ayat (1) dan (2), Pasal 127 Ayat (1)). 8) Tindak pidana pelaporan penyalahguna narkotika (Pasal 128 Ayat (1), (2), (3), dan (4)). 9) Tindak pidana prekursor narkotika Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Dengan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut: a) memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika, b) memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan precursor untuk pembuatan narkotika, c) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan precursor narkotika untuk pembuatan narkotika, d) membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. c. Ketentuan Pidana Mati dalam Undang-Undang Narkotika Tindak pidana dibidang narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus. Dalam undang-undang ini, mengenai sanksi pidana mati terdapat pada Pasal 113 Ayat (2), Pasal 114 Ayat (2), Pasal 118 Ayat (2), Pasal 119 Ayat (2), Pasal 121 Ayat (2), dan Pasal 133 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika, sebagai berikut: 1) Pasal 113 (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud 37 pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 2) Pasal 114 (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 3) Pasal 116 (2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 4) Pasal 118 (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 5) Pasal 119 (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk 38 tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 6) Pasal 121 (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 7) Pasal 133 (1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). 3. Grasi dan Eksekusi Pidana Mati a. Pengertian Grasi Undang-Undang Grasi yang berlaku di Indonesia adalah UndangUndang Nomor 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Grasi (Undang-Undang Grasi). Dalam Pasal 1 Ayat (1), memberikan pengertian bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pasal 1 Ayat (2) menentukan secara 39 tegas bahwa terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mengenai subyek hukum yang dapat mengajukan permohonan grasi diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 6. Dalam Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Sedangkan Pasal 6 menyatakan bahwa permohonan grasi dapat diajukan oleh: 1) Terpidana atau kuasa hukumnya, 2) Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana, dan 3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana. Adapun dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa kata “dapat” dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi. Kemudian, pengertian keluarga dalam penjelasan Pasal 6 angka 2 dibatasi secara tegas, yaitu hanya istri, suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara kandung terpidana. Yang dimaksudkan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah: 1) Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang telah ditentukan oleh undangundang tentang hukum acara pidana, 2) Putusan tingkat banding, yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang Hukum Acara Pidana, atau 3) Putusan pengadilan (Lamintang, 2012: 281). Yang dimaksud dengan pengadilan adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana. Dalam Pasal 2 Ayat (2) telah diatur secara tegas bahwa putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana 40 dimaksud pada Ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Kemudian, Pasal 2 Ayat (3) menyatakan bahwa permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Pasal 7 Ayat (1) menyatakan bahwa permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian, Pasal 7 Ayat (2) menyatakan bahwa permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengajuan permohonan grasi tidak berarti menunda pelaksanaan putusan, hal ini tertuang dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Pengajuan permohoan grasi diatur dalam Pasal 8 Ayat (2) menentukan bahwa pengajuan permohonan grasi diajukan kepada Presiden melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan/atau terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Adapun dalam Ayat (3) dan Ayat (4) menentukan bahwa dalam hal permohonan grasi diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidana, permohonan dan salinannya disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk diteruskan kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut dan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan dan salinannya, berkas perkara terpidana dikirim kepada Mahkamah Agung. Penyelesaian permohonan grasi diatur dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dalam Pasal 10 juga menetapkan waktu secara limitatif, yaitu dalam jangka waktu 41 paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Kemudian, dalam Pasal 11 juga menetapkan limit waktu, yaitu: 1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, 2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi, 3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung. Selanjutnya, penyelesaian permohonan grasi diatur dalam Pasal 12 sebagai berikut: 1) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) disampaiakan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden. 2) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disampaikan kepada: a) Mahkamah Agung, b) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, c) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana, dan d) Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. b. Eksekusi Pidana Mati Pelaksanaan eksekusi pidana mati terhadap terpidana mati yang mana putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yaitu: 1) Pasal 1 Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut. 42 2) Pasal 2 (1) Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 Ayat (1)). (2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu. 3) Pasal 3 (1) Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. (2) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam Ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain itu. (3) Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam Ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alatalat yang diperlukan untuk itu. 4) Pasal 4 Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 Ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya. 5) Pasal 5 Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4. 6) Pasal 8 Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati. 43 7) Pasal 9 Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. 8) Pasal 10 (1) Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira. (2) Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata organiknya. (3) Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati. 9) Pasal 11 (1) Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. (2) Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. (3) Terpidana berpakaian sederhana dan tertib. (4) Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya. 10) Pasal 12 (1) Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut. (2) Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. 11) Pasal 13 (1) Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4. (2) Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter. 12) Pasal 14 (1) Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. (2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. 44 (3) Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. (4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. (5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter. 13) Pasal 15 (1) Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain. (2) Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh terpidana. 14) Pasal 16 (1) Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan pidana mati. (2) Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan bersangkutan. (3) Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya. Sedangkan, penundaan eksekusi pidana mati terhadap terpidana mati yang mana putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tertuang dalam Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yaitu: 45 1) Pasal 6 (1) Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut. (2) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut. 2) Pasal 7 Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. 46 B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Narkotika dilakukan Mary Jane Fiesta Veloso di Indonesia Pidana Mati dalam Putusan Pengadilan Nomor: 385/Pid.B/2010/PN.Slmn Upaya Hukum: Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali Penolakan Permohonan Grasi dalam Keputusan Presiden Nomor: 31G/2014 Eksekusi Pidana Mati Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 51 PK/Pid.Sus/2015 Penundaan Eksekusi Pidana Mati Implikasi Penundaan Eksekusi Pidana Mati Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan: Kerangka pemikiran di atas mencoba memberikan gambaran mengenai alur berfikir dalam menggambarkan, menelaah, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan hukum mengenai penundaan eksekusi pidana mati di Indonesia. 47 Melalui kerangka berfikir di atas, penulis mencoba untuk menggali lebih dalam mengenai pengaturan tentang penundaan eksekusi pidana mati di Indonesia. Penulis ingin mengetahui apakah implikasi penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso sebagai terpidana mati dalam putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dalam hal ini, penulis mengangkat suatu kasus berkaitan dengan tindak pidana narkotika dengan pelaku Mary Jane Fiesta Veloso. Kasus ini telah melalui pemeriksaan di Pengadilan Negeri Sleman dengan Putusan Nomor 385/Pid.B/2010/PN.Slmn yang menjatuhkan pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso. Setelah adanya putusan tersebut, Mary Jane Fiesta Veloso menempuh berbagai upaya hukum, yaitu: banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Selain mengajukan upaya hukum, Mary Jane Fiesta Veloso juga telah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Seluruh upaya hukum dan permohonan grasi yang diajukan Mary Jane Fiesta Veloso dinyatakan ditolak. Putusan pengadilan dalam perkara ini dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga terhadap putusan pengadilan tersebut dapat dilakukan eksekusi. Akan tetapi, dalam kasus ini eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso mengalami penundaan. Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengetahui apakah implikasi adanya penundaan eksekusi pidana mati terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).