DETERMINAN KEMATIAN NEONATAL DI DAERAH RURAL INDONESIA TAHUN 2008-2012 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh: Siti Malati Umah NIM: 1110101000040 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1435 H LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 28 Agustus 2014 Siti Malati Umah i PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi dengan Judul DETERMINAN KEMATIAN NEONATAL DI DAERAH RURAL INDONESIA TAHUN 2008-2012 Telah disetujui dan diperiksa untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 28 Agustus 2014 Oleh: Siti Malati Umah NIM: 1110101000040 Pembimbing I, Pembimbing II, Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS Minsarnawati, SKM, M.Kes NIP. 198404042008122007 NIP. 197502152009012003 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul DETERMINAN KEMATIAN NEONATAL DI DAERAH RURAL INDONESIA TAHUN 2008-2012 telah diujikan dalam sidang skripsi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Agustus 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat. Jakarta, 28 Agustus 2014 Sidang Skripsi, Penguji I, Raihana Nadra Al Kaff, SKM, MMA NIP. 197812162009012005 Penguji II, Riastuti Kusuma Wardani, SKM, MKM NIP. 1980516200902005 iii FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI Skripsi, 28 Agustus 2014 Siti Malati Umah, NIM: 1110101000040 Determinan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 xviii + 156 halaman, 27 tabel, 6 gambar, 3 lampiran ABSTRAK Latar Belakang: Kematian neonatal merupakan penyumbang terbesar kasus kematian pada bayi di Indonesia sebanyak 59% kasus. Kematian neonatal lebih tinggi terjadi di daerah rural dibandingkan wilayah urban Indonesia. Pengetahuan tentang faktor yang berpengaruh terhadap kematian neonatal diperlukan untuk mencegah terjadinya kasus kematian neonatal khususnya di daerah rural. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. Metode: Sumber data penelitian adalah Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 dengan desain penelitian cross sectional study dan analisis statistik menggunakan uji chi square. Hasil: Hasil penelitian didapatkan faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal yaitu status pekerjaan ibu (p= 0,000), umur ibu (p=0,007), paritas (0,033), kunjungan antenatal (p=0,001) dan komplikasi kehamilan (p=0,002). Sedangkan pendidikan ibu (p=0,311), indeks kekayaan rumah tangga (0,375), jenis kelamin bayi (p=0,458), penolong persalinan (p=0,548), persalinan caesar (0,363) dan tempat persalinan (0,674) tidak berhubungan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia. Simpulan: Perlu dilakukan peningkatan pengetahuan pada kelompok ibu umur >20 tahun dan >35 tahun serta kelompok ibu yang bekerja, peningkatan ketersediaan dan kelengkapan fasilitas dan tenaga pada layanan KB, pelayanan antenatal yang fokus pada terjaminnya ketersediaan, kelengkapan dan kualitas fasilitas dan tenaga kesehatan, pemantauan berkelanjutan bagi ibu yang mengalami komplikasi kehamilan dan peningkatan kualitas tenaga penolong persalinan. Kata kunci: Determinan, Kematian Neonatal, Rural, Indonesia Daftar bacaan: 121 (1992-2014) iv FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION Undergraduate Thesis, August 29th 2014 Siti Malati Umah, NIM: 1110101000040 Determinants of Neonatal Mortality in Rural Indonesia Year 2008-2012 xviii + 156 pages, 27 tables, 6 pictures, 3 attachments ABSTRACT Background: Neonatal mortality accounts for almost 59% of infant mortality in Indonesia. Neonatal mortality shows to be higher in rural area than in urban area. An understanding of the factors related to neonatal mortality in rural setting is needed to prevent neonatal death. This study aimed to identify the determinants of neonatal deaths in rural Indonesia year 2008-2012. Method: The data source for the analysis was the 2012 Indonesia Demographic and Health Survey with cross sectional study design and statistic analysis was performed using chi square test. Results: The results indicated that maternal occupation status (p= 0,000), maternal age (p=0,007), parity (0,033), antenatal care (p=0,001) and complications during pregnancy (p=0,002) were associated with neonatal death. While maternal education (p=0,311), household wealth index (0,375), sex of neonatus (p=0,458), birth attendants (p=0,548), cesarean delivery (0,363) dan place of delivery (0,674) were not associated with neonatal death in rural area of Indonesia. Conclusion: Strategies on improving maternal knowledge needed to be focus on maternal age >20 and >35 years and maternal working group, provision of adequate health facilities both of the availability of health professionals and the completeness of equipments on family planning and antenatal care service, sustained monitoring on maternal complication group and improving skilled birth attendance towards providing quality service. Keywords: Determinants, Neonatal Mortality, Rural, Indonesia Reading list: 121 (1992-2014) v RIWAYAT HIDUP PENULIS A. Identitas Pribadi Nama Lengkap : Siti Malati Umah Tempat, Tanggal Lahir : Brebes, 26 Juli 1991 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Alamat : Desa Pasirpanjang RT 006/002, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, 52275 Nomor telepon : 0857 4784 2313 Email : [email protected] Website : elummah35.wordpress.com B. Pendidikan Formal 1. 1997 - 2003 : SDN 03 Pasirpanjang, Salem, Brebes 2. 2003 - 2006 : MTs As Salam Salem, Brebes 3. 2006 - 2010 : MAN 2 Ciamis 4. 2010 - sekarang : S1-Peminatan Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta vi KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Mata Kuliah Skripsi. Salawat dan salam senantiasa tecurahkan kepada Rasul tercinta yang telah menjadi suri tauladan bagi umatnya. Dengan bekal pengetahuan, pengarahan serta bimbingan yang diperoleh selama perkuliahan, penulis menyusun skripsi mengenai “Determinan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah skripsi sebagai tugas akhir mahasiswa. Masalah kematian pada neonatal dipilih sebagai topik penelitian mengingat kematian neonatal menempati proporsi tertinggi kematian yang terjadi pada bayi. Angka Kematian Bayi masih jauh dari target MDGs 2015. Target MDGs untuk menurunkan Angka Kematian Bayi akan tercapai apabila penurunan Angka Kematian Neonatal bisa dicapai. Sehingga diharapkan penelitian ini nantinya bisa berkontribusi terhadap upaya penurunan angka kematian bayi serta balita di Indonesia khususnya untuk daerah rural Indonesia. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. (hc). Dr. M. K. Tajudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. vii 2. Ir. Febrianti, M.Si selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat serta penanggungjawab Mata Kuliah Skripsi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013-2014. 3. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014-2015. 4. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes selaku penanggungjawab Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing skripsi atas arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini. 5. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS selaku dosen pembimbing skripsi atas konsultasi, arahan serta bimbingannya selama penyusunan skripsi. 6. Orang tua penulis, bagi Bapak (Ali Syamsuddin Alm) rasa terimakasih yang sangat besar atas dukungan, do’a serta kepercayaannya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis semakin percaya diri dalam menghadapi berbagai hal. Untuk Ibu (Syariah), dengan kelembutan dan kasih sayang serta do’anya yang tak pernah berhenti dipanjatkan untuk penulis serta keteguhan hati yang dicontohkannya sehingga semakin menguatkan penulis. Penulis selalu mendo’akan, semoga Allah SWT menerima seluruh amal kebaikan mereka dan mengampuni segala dosanya. Amiin. 7. A Irfan yang terus memberikan masukan, motivasi, semangat disaat penulis menghadapi kesulitan-kesulitan. Ceu Ela, dengan kasih sayangnya yang sangat tulus sehingga membuat penulis semakin semangat. Udin, adikku yang paling santai menghadapi berbagai masalahnya. Ceu, A, Udin, semuanya makasih atas dukungan semangat, motivasi dan do’anya. Buat Udin, Ayoo, viii segera menyusul 3.5 tahun selesai ya… Tidak lupa buat si bungsu Fuad yang menjadi sponsor pulsa bagi penulis, makasih Uad bantuannya,, sangat bermanfaat… 8. Buat Rizka sahabatku, teman sekosanku yang mau direpotkan, sering dimintain tolong ini itu, De, makasih banget ya udah banyak ngebantu aku... Buat Nida, Najah, Zata, makasih Nid, Jah, Ta, masukan dan do’a kalian saat penyusunan proposal membuat semangatku bangkit kembali. Buat Wiwid, kamu keren sis, aku banyak belajar dari kamu lho,,. Buat Luthfi, Fi.. makasih ya, udah ngasih banyak masukan buat proposal dan skripsiku, skripsi kita bener-bener mirip ya, tapi tetep berbeda. Buat Bebe, Tika, juga Karlin, makasih ya kalian udah sering berbagi cerita, informasi, ngasih masukan, saling nyemangatin, semoga ukhuwah kita tetap terjaga... Buat kalian semuanya, makasih ya udah sering main ke kosan, refreshing banget buat aku, skripsi jadi lebih menyenangkan (kapan lagi ya kita bisa kumpul di kosan). Tidak lupa buat Ii, makasih ya udah ngasih semangat juga saat proposal. Buat Putri, semangat selalu ya, semoga kita lulus tahun ini semua. Terakhir buat dua cowok yang memang hanya dua cowok di peminatan epidemiologi, Harun dan Bayu, Wong Palembang, cowok-cowok rajin yang ngalahin cewek paling rajin di kelas, kalian bener-bener superrr, patut dijadikan contoh. Peminatan Epidemiologi Pokoknya Tak Terlupakan (udah kangen banget sama kalian...). 9. Teman-teman Kesehatan Masyarakat, Reka, Ifa, Bila, Nina, Angga, Anin, Mawar, Sari, Nita terutama buat Eliza, Syifa, Qotrun, Dillah, Supri, Nia, ix makasih ya buat kalian, kalian seru banget, bikin skripsi lebih seru, sekilas ketegangan hilang, thanks banget Guys... 10. Teman-teman program studi lain, Keperawatan, Shulcha, Hilma, Alung; teman-teman Farmasi Nia, Lina, Farida; adik kelas peminatan epidemiologi Rini, Iis, Ila, Karim; teman-teman CSS MoRA UIN Jakarta, serta kakak kelasku (Teh Eci) dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Selanjutnya, penulis menyadari bahwa penulisan laporan penelitian pada skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar penulis dapat menyusun laporan penelitian yang lebih baik dimasa yang akan datang. Wassalamu‘alaikum Warohmatullah Wabarokatuh Jakarta, 28 Agustus 2014 Siti Malati Umah x MOTTO HIDUP " َﺈ ِن ﱠﻣ َﻊ َ اﻟ ْﻌ ُﺴ ْﺮ ِ ﯾ ُﺴ ْﺮ ً ا ﻓ "..ن ﱠ ﻣإ َِ ﻊ َ اﻟ ْ ﻌ ُﺴ ْﺮ ِ ﯾ ُﺴ ْﺮ ًا “…Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan…” (Q.S. Al Insyiroh: 5-6) xi LEMBAR PERSEMBAHAN Kupersembahkan skripsi ini untuk Bapak (Alm) dan Ibu tercinta… xii DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i PERNYATAAN PERSETUJUAN .................................................................... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................................................... iii ABSTRAK ......................................................................................................... iv RIWAYAT HIDUP PENULIS ......................................................................... vi KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 4 1.3 Pertanyaan Penelitian......................................................................... 5 1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................... 6 1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................ 6 1.4.2 Tujuan Khusus ....................................................................... 6 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................. 8 1.5.1 Bagi Peneliti ........................................................................... 8 1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ............................ 8 1.5.3 Bagi Pemerintah ..................................................................... 8 1.5.4 Bagi Masyarakat..................................................................... 9 1.6 Ruang Lingkup Masalah .................................................................... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 10 2.1 Kematian Neonatal .......................................................................... 10 2.2 Angka Kematian Neonatal ............................................................... 11 2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal .......... 13 xiii 2.3.1 Faktor Sosial-ekonomi (Socioeconomic Factors) .................. 13 2.3.2 Determinan Terdekat (Proximate Determinants) .................. 20 2.3.2.1 Faktor Ibu (Maternal Factors) .................................. 20 2.3.2.2 Faktor Neonatal (Neonatal Factors) ......................... 24 2.3.2.3 Faktor Sebelum Melahirkan (Pre-Delivery Factors). 38 2.3.2.4 Faktor Saat Melahirkan (Delivery Factors) .............. 47 2.3.2.5 Faktor Setelah Melahirkan (Post Delivery Factors).. 61 2.4 Konsep Daerah Rural/Perdesaan ...................................................... 63 2.5 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI 2012) ....... 68 2.6 Kerangka Teori ................................................................................ 75 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ........ 77 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................ 77 3.2 Definisi Operasional ........................................................................ 80 3.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 83 BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................. 84 4.1 Desain Penelitian ............................................................................. 84 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................ 85 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 85 4.3.1 Populasi Penelitian ............................................................... 85 4.3.2 Sampel Penelitian ................................................................. 85 4.4 Cara Pengambilan Sampel ............................................................... 86 4.5 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 87 4.6 Pengolahan Data .............................................................................. 89 4.7 Analisis Data ................................................................................... 90 4.7.1 Analisis Univariat ................................................................. 91 4.7.2 Analisis Bivariat ................................................................... 91 BAB V HASIL ............................................................................................ 92 5.1 Distribusi Kematian Neonatal .......................................................... 92 5.2 Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu .................................................... 92 5.3 Distribusi Status Pekerjaan Ibu ........................................................ 93 5.4 Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga ..................................... 93 xiv 5.5 Distribusi Umur Ibu ......................................................................... 94 5.6 Distribusi Jenis Kelamin Bayi .......................................................... 94 5.7 Distribusi Paritas ............................................................................. 95 5.8 Distribusi Kunjungan Antenatal ....................................................... 95 5.9 Distribusi Komplikasi Kehamilan .................................................... 95 5.10 Distribusi Penolong Persalinan ........................................................ 96 5.11 Distribusi Persalinan Caesar ............................................................ 96 5.12 Distribusi Tempat Persalinan ........................................................... 97 5.13 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kematian Neonatal ..................... 97 5.14 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kematian Neonatal ....................... 98 5.15 Hubungan Indeks Kekayaan Rumah Tangga dengan Kematian Neonatal .......................................................................................... 99 5.16 Hubungan Umur Ibu dengan Kematian Neonatal ........................... 100 5.17 Hubungan Jenis Kelamin Bayi dengan Kematian Neonatal ............ 100 5.18 Hubungan Paritas dengan Kematian Neonatal ................................ 101 5.19 Hubungan Kunjungan Antenatal dengan Kematian Neonatal ......... 102 5.20 Hubungan Komplikasi Kehamilan dengan Kematian Neonatal....... 102 5.21 Hubungan Penolong Persalinan dengan Kematian Neonatal ........... 103 5.22 Hubungan Persalinan Caesar dengan Kematian Neonatal .............. 104 5.23 Hubungan Tempat Persalinan dengan Kematian Neonatal.............. 104 BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................... 106 6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................. 106 6.2 Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 .. 107 6.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..................................... 111 6.3.1 Pendidikan Ibu ................................................................... 111 6.3.2 Pekerjaan Ibu ..................................................................... 115 6.3.3 Indeks Kekayaan Rumah Tangga........................................ 119 6.3.4 Umur Ibu ............................................................................ 123 6.3.5 Jenis Kelamin Bayi............................................................. 127 6.3.6 Paritas ................................................................................ 129 6.3.7 Kunjungan Antenatal .......................................................... 135 xv 6.3.8 Komplikasi Kehamilan ....................................................... 142 6.3.9 Penolong Persalinan ........................................................... 145 6.3.10 Persalinan Caesar............................................................... 152 6.3.11 Tempat Persalinan .............................................................. 154 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 161 7.1 Simpulan ....................................................................................... 161 7.2 Saran ............................................................................................. 162 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 164 LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................. 175 xvi DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kriteria Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia............................... 67 Tabel 3.1 Definisi Operasional ...................................................................... 80 Tabel 4.1 Variabel dan Kode Variabel Penelitian Pada SDKI 2012 ............... 89 Tabel 4.2 Hasil Cleaning Data Daerah Rural Indonesia SDKI 2012 .............. 90 Tabel 5.1 Distribusi Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..................................................................................... 92 Tabel 5.2 Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..................................................................................... 92 Tabel 5.3 Distribusi Pekerjaan Ibu di Daerah Rural Indonesia Tahun 20082012 .............................................................................................. 93 Tabel 5.4 Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 .......................................................... 93 Tabel 5.5 Distribusi Umur Ibu di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 . 94 Tabel 5.6 Distribusi Jenis Kelamin Bayi di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..................................................................................... 94 Tabel 5.7 Distribusi Paritas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..... 95 Tabel 5.8 Distribusi Kunjungan Antenatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..................................................................................... 95 Tabel 5.9 Distribusi Komplikasi Kehamilan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..................................................................................... 96 Tabel 5.10 Distribusi Penolong Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..................................................................................... 96 Tabel 5.11 Distribusi Persalinan Caesar di Daerah Rural Indonesia Tahun 20082012 .............................................................................................. 97 Tabel 5.12 Distribusi Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..................................................................................... 97 xvii Tabel 5.13 Analisis Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 .................. 98 Tabel 5.14 Analisis Hubungan antara Pekerjaan Ibu dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................................. 98 Tabel 5.15 Analisis Hubungan antara Indeks Kekayaan Rumah Tangga dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 .. 99 Tabel 5.16 Analisis Hubungan antara Umur Ibu dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................................... 100 Tabel 5.17 Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin Bayi dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 100 Tabel 5.18 Analisis Hubungan antara Paritas dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................................... 101 Tabel 5.19 Analisis Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 102 Tabel 5.20 Analisis Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 102 Tabel 5.21 Analisis Hubungan antara Penolong Persalinan dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 103 Tabel 5.22 Analisis Hubungan antara Persalinan Caesar dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 104 Tabel 5.23 Analisis Hubungan antara Tempat Persalinan dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 105 xviii DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Neonatal di Indonesia Tahun 2002-2012 ........................................................ 13 Gambar 2.2 Bagan Alur Pengambilan Sampel Rumah Tangga dan Individu ... 69 Gambar 2.3 Kerangka Teori ........................................................................... 76 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ........................................................................ 79 Gambar 4.1 Bagan Alur Pengambilan Sampel Penelitian ................................ 87 Gambar 4.2 Proses Pengambilan Data Penelitian ............................................ 88 xix 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai laporan menunjukkan bahwa kematian neonatal menempati proporsi kematian terbanyak yang terjadi pada bayi di dunia. Laporan MDGs 2013 menunjukkan bahwa proporsi kematian neonatal pada kejadian kematian balita di dunia mengalami peningkatan dari 36% pada tahun 1990 menjadi 43% pada tahun 2011 (United Nations, 2013). Data WHO juga menunjukkan bahwa kematian neonatal memiliki proporsi sebesar 40% kematian dari seluruh kematian yang terjadi pada balita di dunia (WHO, 2014). Data SDKI 2012 menunjukkan kematian neonatal untuk periode 20082012 di Indonesia sebesar 19 kematian per 1000 kelahiran hidup (KH). Angka Kematian Neonatal ini merupakan proporsi kematian terbesar yang terjadi pada bayi (59%) di Indonesia. Angka Kematian Bayi di Indonesia yaitu sebesar 32 per 1000 KH untuk periode 2008-2012. Angka Kematian Bayi ini menunjukkan masih cukup jauh untuk bisa mencapai target MDGs menurunkan Angka Kematian Bayi sebesar 23 per 1000 KH pada tahun 2015 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Angka Kematian Neonatal berdasarkan wilayah rural dan urban di Indonesia menunjukkan bahwa Angka Kematian Neonatal lebih tinggi di 1 2 daerah rural (perdesaan) Indonesia dibandingkan di daerah urban (perkotaan) Indonesia. Angka Kematian Neonatal di daerah urban Indonesia sebesar 15 per 1.000 KH. Sedangkan Angka Kematian Neonatal di daerah rural Indonesia berdasarkan SDKI 2012 yaitu sebesar 24 per 1.000 KH untuk periode 2003-2012 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Angka Kematian Neonatal didaerah rural mengalami penurunan pada hasil SDKI 2002-2003 (26 per 1000 KH) (BPS & ORC Macro, 2003), namun Angka Kematian Neonatal di daerah rural Indonesia ini tetap konstan berdasarkan hasil SDKI 2007 (24 per 1.000 KH) (BPS & Macro International, 2008). Angka Kematian Neonatal (AKN) merupakan kematian yang terjadi pada dua puluh delapan hari pertama kehidupan dibagi jumlah bayi lahir hidup. Pada SDKI 2012 AKN dihitung berdasarkan keterangan jumlah bayi yang meninggal pada dua puluh delapan hari pertama kehidupan dibagi dengan keterangan jumlah bayi yang bertahan hidup. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 dilaksanakan untuk mengetahui informasi mengenai masalah kependudukan serta masalah kesehatan yang fokus pada kesehatan ibu dan anak di Indonesia (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Masa neonatal merupakan masa empat minggu pertama kehidupan pada bayi setelah dilahirkan (WHO, 2006). Masa neonatal merupakan waktu yang paling rentan untuk kelangsungan hidup anak. Upaya menurunkan angka kematian neonatal menjadi semakin penting, bukan hanya karena proporsinya yang semakin meningkat tetapi karena intervensi kesehatan 3 yang diperlukan untuk mengatasi penyebab utama kematian berbeda dengan intervensi pada kematian balita secara umum (WHO, 2014). Hasil penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal yaitu usia ibu (Prabamurti, dkk., 2008), berat bayi lahir (Onwuanaku dkk., 2011), jarak kelahiran (Mekonnen dkk., 2013), jenis kelamin bayi (Bashir dkk., 2013), paritas (Singh dkk., 2013), pendidikan ibu (Upadhyay dkk., 2012), suntikan tetanus toksoid pada ibu (Singh dkk., 2013), persalinan caesar (Chaman dkk., 2009), umur kehamilan (Onwuanaku dkk., 2011), riwayat komplikasi persalinan (Singh, dkk., 2013) dan fasilitas persalinan (Tura, dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan di beberapa daerah rural menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal yaitu kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah, persalinan sesar, paritas, jarak kelahiran, pendidikan ibu, usia ibu, pekerjaan ibu, komplikasi persalinan (Mercer, dkk., 2006; Chaman, dkk., 2009; Upadhyay, dkk., 2012; Singh, dkk., 2013). Penelitian lainnya menemukan bahwa penyebab utama kematian pada neonatal di daerah rural yaitu asfiksia, infeksi (31%), lahir prematur (26%), sepsis (45%) dan pneumonia (36%) (Baqui, dkk., 2006). Penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling berpengaruh adalah berat badan saat lahir (Efriza, 2007; Fachlaeli, 2000). Penelitian lainnya yang menggunakan data SDKI 2003 menunjukkan bahwa status orang tua, status pekerjaan ayah, jarak kelahiran, jenis kelamin bayi, ukuran bayi lahir dan riwayat komplikasi persalinan memiliki hubungan dengan kematian neonatal di Indonesia 4 (Titaley, dkk., 2008). Umur ibu saat melahirkan dan umur kehamilan dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian neonatal (Fachlaeli, 2000). Pada penelitian yang dilakukan (Yani & Duarsa, 2013) Yani dan Duarsa (2013) menemukan bahwa pelayanan antenatal dan penolong persalinan memiliki hubungan dengan kematian neonatal. Target MDGs untuk menurunkan angka kematian bayi sebesar 23 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015 cukup berat bagi Indonesia. Penurunana angka kematian bayi ini membutuhkan berbagai upaya yang perlu ditingkatkan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013) sedangkan waktu pencapaian hanya tersisa satu tahun. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kasus kematian neonatal di Indonesia dengan fokus di daerah rural karena memiliki angka kematian neonatal yang lebih tinggi dibandingkan di daerah urban serta memiliki angka kematian neonatal yang tetap konstan dari tahun sebelumnya. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya melakukan intervensi terkait faktor risiko kematian neonatal sehingga bisa berdampak terhadap penurunan Angka Kematian Neonatal di daerah rural Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan data SDKI 2012 untuk periode 2008-2012, diketahui bahwa kematian neonatal menjadi penyumbang utama kematian yang terjadi pada Bayi di Indonesia. Angka Kematian Bayi masih tinggi, sangat jauh untuk bisa mencapai target MDGs. Angka Kematian Neonatal di daerah rural Indonesia menunjukkan lebih tinggi dibandingkan di daerah urban 5 Indonesia. Kematian neonatal di daerah rural Indonesia tetap konstan berdasarkan SDKI 2007 dan SDKI 2012. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia agar bisa diketahui intervensi yang diperlukan untuk menurunkan Angka Kematian Neonatal yang juga diharapkan bisa berdampak pada penurunan Angka Kematian Bayi. 1.3 Pertanyaan Penelitian Adapun pertanyaan pada penelitian ini sebagai berikut: 1) Bagaimana distribusi kematian neonatal, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga, umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan, penolong persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 2) Bagaimana hubungan pendidikan ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 3) Bagaimana hubungan pekerjaan ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 4) Bagaimana hubungan indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 5) Bagaimana hubungan umur ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 6) Bagaimana hubungan jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 6 7) Bagaimana hubungan paritas dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 8) Bagaimana hubungan kunjungan antenatal dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 9) Bagaimana hubungan komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 10) Bagaimana hubungan penolong persalinan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 11) Bagaimana hubungan persalinan caesar dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 12) Bagaimana hubungan tempat persalinan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan pada penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut: 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini yaitu diketahuinya determinan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 1.4.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini sebagai berikut: 1) Diketahuinya distribusi kematian neonatal, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga, umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan, 7 penolong persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 2) Diketahuinya hubungan pendidikan ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 3) Diketahuinya hubungan pekerjaan ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 4) Diketahuinya hubungan indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 5) Diketahuinya hubungan umur ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 6) Diketahuinya hubungan jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 7) Diketahuinya hubungan paritas dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 8) Diketahuinya hubungan kunjungan antenatal dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 9) Diketahuinya hubungan komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 10) Diketahuinya hubungan penolong persalinan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 11) Diketahuinya hubungan persalinan caesar dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 12) Diketahuinya hubungan tempat persalinan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 8 1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat pada penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1.5.1 Bagi Peneliti Sebagai sarana menerapkan dan mengaplikasikan keilmuan kesehatan masyarakat yang telah didapatkan di perkuliahan mengenai metodologi penelitian, epidemiologi kesehatan reproduksi, manajemen dan analisis data serta keilmuwan kesehatan masyarakat lainnya yang digunakan dalam penelitian ini. 1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan bagi kalangan akademisi sebagai informasi terhadap penelitian selanjutnya. 1.5.3 Bagi Pemerintah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bisa mendapatkan hasil penelitian ini berupa Policy Brief mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia. Sehingga diharapkan Policy Brief tersebut selanjutnya menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan upaya penurunan Angka Kematian Neonatal di Indonesia terutama fokus di daerah rural. 9 1.5.4 Bagi Masyarakat Masyarakat bisa mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia setelah membaca laporan hasil penelitian ini. 1.6 Ruang Lingkup Masalah Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan variabel independen adalah pendidikan ibu, pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga, umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan, penolong persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan. Sedangkan variabel dependennya adalah kematian neonatal. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study, dimana variabel dependen maupun independen dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Instrumen pada penelitian berupa Kuesioner Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2014. Populasi penelitian yaitu semua neonatal di daerah rural Indonesia pada periode 2008-2012 dengan sampel penelitian berjumlah 7.138 orang. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kematian Neonatal Neonatus (bayi baru lahir) adalah bayi dari saat lahir sampai usia 4 minggu pertama kehidupan (Wong, 2004). Periode neonatal dimulai saat bayi lahir sampai 28 hari setelah kelahiran (WHO, 2006). Periode neonatal ini merupakan periode paling kritis untuk perkembangan dan pertumbuhan bayi (Saifudin, dkk, 2009). Bayi sangat mudah terserang penyakit akibat terjadi transisi dari kehidupan didalam kandungan ke kehidupan di luar kandungan (ekstrauterus) yang memerlukan beberapa penyesuaian fisiologi dan biokimia agar bayi bisa bertahan hidup. Pada masa transisi ini sebagian besar masalah yang terjadi adalah lemahya adaptasi bayi akibat aspiksia, kelahiran prematur dan efek yang terjadi akibat proses persalinan (Kliegman, dkk., 2011). Kematian neonatal menurut ICD10 adalah kematian yang terjadi selama dua puluh delapan hari pertama kehidupan setelah bayi dilahirkan. Kematian neonatal terbagi atas kematian neonatal dini dan kematian neonatal lanjut. Kematian neonatal dini merupakan kematian seorang bayi dari mulai setelah dilahirkan sampai 7 hari pertama kehidupan (0-6 hari). Sedangkan kematian neonatal lanjut adalah kematian bayi setelah 7 hari sampai sebelum 28 hari pertama kehidupan (7-27 hari) (WHO, 2006). 10 11 2.2 Angka Kematian Neonatal Angka Kematian Neonatal merupakan jumlah kematian bayi berumur kurang dari 28 hari pada periode tertentu biasanya pada periode satu tahun (Timmreck, 1994). Walaupun Angka Kematian Balita di dunia menunjukkan terjadi penurunan sebesar 41% dari 87 kematian per 1000 kelahiran hidup tahun 1990 menjadi 51 kematian per 1000 kelahiran hidup tahun 2011, masih diperlukan upaya lebih serius untuk menurunkan dua per tiga kematian balita pada tahun 2015. Selain itu, proporsi kematian neonatal pada kematian balita di dunia justru mengalami peningkatan dari 36% pada tahun 1990 menjadi 43% pada tahun 2011 (United Nations, 2013). Penurunan Angka Kematian Neonatal sangat penting untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 penurunan Angka Kematian Balita. Target MDGs untuk penurunan Angka Kematian Balita yaitu penurunan kematian sebesar dua per tiga kematian pada 2015 dari kematian balita yang terjadi pada tahun 1990 (United Nations, 2013). Penurunan angka kematian balita ini secara lebih rinci yaitu dari 97 kematian per 1000 KH menjadi 32 kematian per 1000 KH pada tahun 2015 (Stalker, 2008). Angka Kematian Balita di Indonesia diketahui sebesar 40 per 1.000 KH pada periode 2008-2012, dimana kematian yang terjadi pada bayi merupakan penyumbang kematian tertinggi (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Angka Kematian Bayi di Indonesia yaitu sebesar 32 per 1000 KH untuk periode 2008-2012. Sedangkan Angka Kematian Bayi di daerah 12 rural Indonesia sebesar 40 per 1000 KH untuk periode 2003-2012. Pada kematian bayi tersebut diketahui kematian neonatal merupakan proporsi kematian penyumbang paling banyak. Angka Kematian Neonatal di Indonesia yaitu sebesar 19 per 1000 KH untuk periode 2008-2012. Angka kematian neonatal ini tidak mengalami penurunan maupun peningkatan (konstan) dari hasil SDKI sebelumnya (SDKI 2007). Namun, Proporsi kematian neonatal terhadap kematian bayi mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke tahun 2012 (58% menjadi 59%) (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Angka kematian neonatal di daerah rural Indonesia berdasarkan SDKI 2012 didapatkan sebesar 24 per 1000 KH. Angka kematian neonatal ini mengalami penurunan berdasarkan SDKI 2002-2003, namun tetap konstan berdasarkan SDKI 2007. Angka kematian neonatal di daerah rural Indonesia berdasarkan SDKI 2002-2003 sebesar 26 per 1000 KH (BPS & ORC Macro, 2003). Sedangkan berdasarkan SDKI 2007, angka kematian neonatal di daerah rural Indonesia yaitu sebesar 24 per 1000 KH (BPS & Macro International, 2008). 13 Gambar 2.1 Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2002-2012 Jumlah 60 52 45 40 40 26 24 24 20 0 SDKI 2002-2003 Kematian Bayi SDKI 2007 SDKI 2012 Kematian Neonatal Sumber: (BPS & ORC Macro, 2003; BPS & Macro International, 2008; BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013) 2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal Determinan atau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup neonatal menurut Titaley, dkk (2008) terdiri dari faktor sosial-ekonomi (socioeconomic determinants) dan faktor terdekat (proximate determinants). Determinan terdekat tersebut terdiri dari faktor ibu, faktor bayi dan faktor pelayanan kesehatan. 2.3.1 Faktor Sosial-ekonomi (Socioeconomic Factors) Faktor sosial-ekonomi yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bayi terdiri dari pendidikan ibu, pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga dan wilayah tempat tinggal (Titaley, dkk, 2008; Mekonnen dkk., 2013; Singh, dkk., 2013; Upadhyay, dkk., 2012; Yi, dkk., 2011). 1) Pendidikan Ibu Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 14 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Adapun jenjang pendidikan merupakan tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Semakin meningkatnya level pendidikan ibu dapat meningkatkan kemampuan ibu untuk memperoleh, memproses dan memahami informasi dasar kesehatan tentang manfaat pelayanan sebelum melahirkan dan informasi pelayanan kesehatan reproduksi yang dibutuhkan. Informasi sangat penting bagi ibu untuk membuat keputusan yang tepat. Ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi lebih percaya diri bertanya mengenai pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh dirinya (Karlsen, dkk., 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian kematian neonatal (Mekonnen dkk., 2013; Upadhyay, dkk., 2012). Tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan dengan kejadian 15 kematian neonatal (Singh dkk., 2013). Semakin rendah tingkat pendidikan ibu akan semakin besar peluang terjadinya kasus kematian bayi (Ibu tidak pernah sekolah, OR: 2.48; ibu berpendidikan rendah, OR: 1.57) (Faisal, 2010). Penelitian lainnya juga menunjukkan terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kematian bayi (Sugiharto, 2011). Penelitian yang dilakukan Pertiwi (2010) juga menunjukkan ada hubungan antara pendidikan dengan kematian neonatal. Ibu yang tidak memiliki riwayat pendidikan lebih rentan mengalami kejadian kematian pada neonatusnya (Manzar, dkk., 2012). Penelitian kualitatif pada masyarakat suku Dayak Siang Murung Raya, menemukan bahwa terdapat remaja yang masih duduk dibangku sekolah bahkan remaja yang belum mengalami menstruasi yang sudah menikah. Hal tersebut terjadi karena diketahui sebagian besar pendidikan masyarakat setempat yang masih rendah (Kemenkes RI, 2012). Penelitian pada masyarakat suku Gorontalo Desa Imbodu menemukan bahwa sebagian besar masyarakat berpendidikan rendah. Informasi yang didapatkan secara informal juga jarang ditemukan di daerah perdesaan. Sebagian besar masyarakat mendapatkan pengetahuan kesehatan berdasarkan penuturanpenuturan orang tua. Para orang tua memiliki pengalaman diobati oleh dukun saat mereka sakit. Selain itu, para remaja 16 sungkan untuk bertanya mengenai masalah kesehatan reproduksi kepada orangtuanya. Biasanya para remaja tersebut mendapatkan informasi dari teman-temannya (Kemenkes RI, 2012). Namun, pada penelitian yang dilakukan Wijayanti (2013) menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian kematian neonatal. 2) Pekerjaan Ibu Apabila ibu melakukan pekerjaan saat hamil, ibu memiliki kemungkinan terkena pajanan terhadap zat fetotoksik, ketegangan fisik yang berlebihan, terlalu lelah serta kesulitan yang berhubungan dengan keseimbangan tubuh. Ibu yang sering beridiri di suatu tempat dalam jangka waktu lama bisa berisiko mengalami varises vena, flebitis dan edema (Ladewig, dkk., 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status pekerjaan ibu dengan kematian neonatal (Singh, dkk., 2013). Status ibu bekerja memiliki hubungan dengan kematian neonatal (Titaley, dkk., 2008). Ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi 1.52 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak bekerja (Faisal, 2010). Ada hubungan antara status ibu bekerja dengan kematian neonatal dini (Nugraheni, 2013). 17 Ibu yang bekerja memiliki risiko 2.34 kali untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan ibu yang tidak bekerja (Dewi, 2010). Penelitian lainnya menunjukkan tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian kematian neonatal (Wijayanti, 2013). Penelitian di daerah rural Etiopia menunjukkan bahwa kematian bayi lebih tinggi terjadi pada ibu yang bekerja yang merupakan usaha miliki sendiri. Bayi dari ibu tersebut memiliki risiko 5.4 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan bayi dari ibu pada kelompok lainnya (petani, IRT) (Andargie, dkk., 2013). Penelitian di daerah rural India juga menemukan bahwa anak dari ibu yang tidak bekerja (tinggal di rumah) memiliki risiko lebih rendah untuk meninggal selama periode neonatal dibandingkan anak dari ibu yang bekerja (Singh, dkk., 2013). Penelitian kualitatif yang dilakukan di Desa Jrangoan (Suku Madura) Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Jawa Timur, menemukan bahwa remaja putri telah menikah umumnya pada usia 17 tahun. Remaja putri tersebut yang kemudian menjadi nyonya-nyonya kecil harus bisa membantu suami mengurus ladang yang merupakan tempat mereka mencari nafkah. Ibu hamil tetap bekerja ke sawah walaupun dalam kondisi hamil karena ingin membantu suaminya mencari nafkah untuk keluarga. Kegiatan bertani yang 18 dilakukan oleh ibu hamil tersebut adalah menanam berbagai jenis tanaman seperti padi, kacang-kacangan, singkong, ketela, cabai, bawang dan tembakau (Kemenkes RI, 2012). Kebiasaan ibu tetap bekerja juga ditemukan pada masyarakat Etnik Manggarai Desa Waicodi Kecamatan Cibal Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ibu hamil usia muda maupun usia kehamilan tujuh bulan masih selalu bekerja membantu suaminya di ladang. Pada saat menjelang persalinan, ibu juga dianjurkan untuk turut bekerja di kebun agar janin dalam kandungan tidak diganggu roh jahat (Kemenkes RI, 2012). Pada masyarakat Etnik Ngalum Distrik Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua juga diemukan bahwa kebiasaan ibu saat hamil pada etnik ini yaitu dari mulai menyiapkan sarapan untuk keluarga, memetik hasil kebun dan kemudian menjualnya ke pasar, dimana jarak rumah ke pasar cukup jauh. Ibu hamil dan ibu-ibu lainnya kemudian menggunakan hasil penjualan dagangannya untuk membeli keperluan keluarga yang telah habis. Selanjutnya ibu menyiapkan makanan siang untuk keluarganya dan setelah semua selesai ibu melakukan pekerjaan lain, mencuci pakaian, mencuci piring, mengangkat air dan bahkan kembali lagi ke kebun mengangkat kayu bakar untuk memasak di rumah. Kebiasaan-kebiasaan melakukan pekerjaan berat ini berlaku 19 bagi seluruh ibu di Etnik Ngalum baik ibu tidak hamil maupun tidak hamil (Kemenkes RI, 2012). 3) Indeks Kekayaan Rumah Tangga Indeks kekayaan rumah tangga memiliki hubungan dengan kejadian kematian neonatal. Rumah tangga dengan indeks kekayaan rumah tangga terendah memiliki kemungkinan 1,6 kali untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan rumah tangga dengan indeks kekayaan tinggi (Bashir, dkk., 2013). Neonatus yang berasal dari ibu dengan status sosial ekonomi dibawah rata-rata lebih rentan terhadap kematian pada periode neonatal (Manzar, dkk., 2012; Gizaw, dkk., 2014). Penelitian yang dilakukan Mekonnen, dkk (2013) juga menunjukkan terdapat hubungan antara indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian neonatal. Rumah tangga miskin yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan memiliki risiko yang meningkat terhadap kematian neonatal (Målqvist, dkk., 2010). Ibu dan anak yang berasal dari keluarga miskin memiliki risiko meningkat terhadap kematian neonatal dan memiliki tantangan untuk mengakses pelayanan tepat waktu dibandingkan keluarga yang lebih kaya (Lawn, dkk., 2009). 20 2.3.2 Determinan Terdekat (Proximate Determinants) Menurut Titaley, dkk (2008), determinan atau faktor terdekat terhadap kematian neonatal terdiri dari faktor ibu, faktor neonatal, faktor sebelum melahirkan, faktor saat melahirkan dan faktor setelah melahirkan. 2.3.2.1 Faktor Ibu (Maternal Factors) Faktor ibu yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup neonatal adalah umur ibu (Bashir, dkk., 2013; Mekonnen, dkk., 2013; Upadhyay, dkk, 2012). 1) Umur Ibu Pada umur dibawah 20 tahun, rahim dan panggul sering kali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya, ibu hamil pada usia itu mungkin mengalami persalinan lama/macet atau gangguan lainnya karena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggungjawabnya sebagai orang tua. Ibu dianjurkan hamil pada usia antara 20-35 tahun. Pada usia ini ibu lebih siap hamil secara jasmani dan kejiwaan. Pada umur 35 tahun atau lebih, kesehatan ibu sudah menurun, akibatnya ibu hamil pada usia itu mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak cacat, persalinan lama dan perdarahan (Kemenkes RI, 2011). 21 Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51% kematian neonatal terjadi pada pada ibu usia muda (1524 tahun) (Yego, dkk., 2013). Umur ibu merupakan faktor tidak langsung dan merupakan faktor confounding. Ibu yang memiliki umur lebih dari 30 tahun bisa mengalami kematian neonatal (Vandresse, 2008). Terdapat hubungan antara variabel umur ibu saat melahirkan dengan kejadian kematian bayi (Sugiharto, 2011) (Sugiharto, 2011; Mekonnen, dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan Bashir, dkk (2013) menunjukkan bahwa kematian neonatal dipengaruhi oleh umur ibu dengan OR sebesar 2.4 (≥ 40 tahun). Pada penelitian Markovitz, dkk (2005) menunjukkan risko kematian neonatal lebih tinggi pada ibu usia muda (12– 17 tahun) dari pada ibu usia lebih tua (18–19 tahun) menunjukkan tidak ada perbedaan risiko kematian neonatal. Umur ibu memiliki pengaruh terhadap kematian neonatal dengan nilai (Yani & Duarsa, 2013). Ibu yang melahirkan pada kelompok umur <20 tahun dan kelompok umur >30 tahun memiliki peluang lebih besar untuk terjadinya kasus kematian bayi dibandingkan ibu melahirkan umur 20-30 tahun (<20 tahun = OR: 1.53; >30 tahun = OR: 1.46) (Faisal, 2010). Penelitian lainnya 22 juga menunjukkan bahwa ibu kelompok umur <20 tahun dan >35 tahun memiliki risiko terjadinya kematian lebih tinggi (OR: 1.595) dibandingkan dengan kelompok umur antara 20-35 tahun (Wijayanti, 2013). Namun hasil penelitian yang dilakukan Onwuanaku dkk (2011) dan August, dkk., (2011) menunjukkan bahwa umur ibu tidak memiliki hubungan dengan kematian neonatal. Penelitian yang dilakukan Pertiwi (2010) juga menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel umur ibu dengan kematian neonatal. Tidak ada hubungan antara umur ibu kurang dari 20 tahun dengan kematian neonatal dini serta tidak ada hubungan antara umur ibu lebih dari 35 tahun terhadap kematian neonatal dini (Nugraheni, 2013). Hasil penelitian kualitatif di salah satu daerah rural Indonesia, yaitu pada masyarakat Etnik Madura Jawa Timur, menemukan bahwa umumnya remaja putri menikah sebelum menyelesaikan pendidikan pesantren, yaitu sekitar usia 17 tahun (Kemenkes RI, 2012). Penelitian kualitatif pada Etnik Nias, Sumatera Utara juga menemukan bahwa masyarakat di Desa Hilifadölö secara umum mentaati peraturan mengenai usia boleh menikah yaitu minimal 18 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Selain itu, masih ditemukan 23 beberapa pasangan yang menikah sebelum umur tersebut. Sebagian besar pasangan yang menikah sebelum umur yang telah ditetapkan adalah pasangan yang menikah di luar Pulau Nias (Kemenkes RI, 2012). Bahkan hasil penelitian lainnya menemukan bahwa usia perkawinan yang dianjurkan pada masyarakat Etnik Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat yaitu minimal 16 tahun untuk perempuan dan minimal 18 tahun untuk laki-laki (Kemenkes RI, 2012). Pada masyarakat Etnik Ngalum, Provinsi Papua, juga diketahui bahwa batasan usia boleh melakukan pernikahan di Daerah Pegunungan Bintang adalah 18 tahun. Secara umum masyarakat yang benar-benar memegang norma adat mematuhi aturan tersebut. Namun, banyak juga masyarakat melanggar aturan tersebut dengan melakukan perkawinan pada usia dini. Diketahui, karena kurangnya pengetahuan para remaja Etnik Ngalum mengenai kesehatan reproduksi, sehingga banyak remaja yang hamil pada usia sangat muda yaitu usia 13 tahun. Remaja tersebut melakukan aktivitas belajar di sekolah dalam keadaan hamil dan pihak guru tidak melarang mereka mengikuti kegiatan belajar karena sudah memahami kondisi murid seperti itu di daerahnya. Bahkan ada remaja yang telah memiliki anak, kemudian 24 menunggunya diluar kelas bersama ibunya. Selain itu, para remaja tersebut cenderung tidak mengingat waktu terakhir mengalami haid, mengetahui berapa umur sehingga mereka tidak kandungannya. Kasus kehamilan tidak hanya ditemukan pada anak dan remaja tetapi juga terjadi pada ibu usia lebih dari 45 tahun. Padahal kehamilan pada usia tersebut sangat berisiko terhadap terjadinya komplikasi kehamilan. Apalagi diketahui kasus anemia pada ibu hamil di Suku Ngalum merupakan kasus yang paling tinggi di Papua (Kemenkes RI, 2012). 2.3.2.2 Faktor Neonatal (Neonatal Factors) Faktor neonatal yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup neonatal yaitu infeksi/penyakit, paritas, jarak kelahiran, jenis kelamin bayi, berat badan lahir, inisiasi menyusu dini (Titalley, dkk., 2008; Debes, dkk., 2013; Carlsen, dkk., 2013). 1) Infeksi/Penyakit Penyakit tertentu dilihat sebagai indikator biologi terhadap peranan determinan langsung kematian neonatal (Mosley & Chen, 2003). Aspiksia, kelahiran prematur, kelainan kongenital merupakan penyebab terbanyak yang mengakibatkan buruknya adaptasi bayi terhadap lingkungan diluar rahim 25 (Kliegman, dkk., 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kematian neonatal dini adalah aspiksia (45%), infeksi (22%) dan kelainan kongenital (11%) (Djaja, dkk., 2005). Pada saat baru lahir, fungsi pernapasan yang adekuat pada bayi sangat penting agar berhasil beradaptasi dengan kehidupan diluar rahim. Pada janin, organ pertukaran gas adalah plasenta sedangkan pada saat lahir, paru-paru mengambil alih fungsi pernapasan. Agar bayi bisa bertahan hidup, bayi harus mampu mengembangkan fungsi paru-paru dengan udara, melakukan pernapasan secara kontinu, dan mempertahankan area kontak antara gas alveolus dengan darah kapiler yang cukup besar agar efek perpindahan gas dapat memenuhi kebutuhan metabolik (Rudolph, dkk., 2007). Infeksi yang relatif tidak membahayakan pada orang dewasa bisa bersifat fatal jika terjadi pada bayi. Gejala infeksi pada bayi sangat tidak jelas pada tingkat awal kehidupan bayi, sehingga pengenalan terhadap gejala infeksi pada bayi menjadi sangat penting. Pintu masuk infeksi bisa melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, saluran kemih, dan kulit (Price & Gwin, 2005). 26 Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pneumonia merupakan salah satu dari tiga penyebab utama kematian neonatal yang berkontribusi terhadap perbedaan kematian antara area rural dan urban pada kematian neonatal (Yanping, dkk., 2010). Aspiksia, infeksi dan kelainan kongenital merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kematian neonatal dini (Sriasih, 2012). Hasil penelitian Baqui, dkk (2006) menunjukkan bahwa aspiksia, infeksi dan pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada neonatal selain. Penelitian yang dilakukan Yego, dkk., (2013) juga menunjukkan bahwa aspiksia merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatal. Penelitian yang dilakukan Prabamurti, dkk (2008) menunjukkan ada hubungan antara kondisi usaha napas bayi dengan kematian neonatal. Manajemen infeksi pada bayi baru lahir merupakan salah satu intervensi yang dapat menurunkan kematian pada neonatal (Khan, dkk., 2013). 2) Jenis Kelamin Bayi Jenis kelamin merupakan karakteristik fisik seseorang sebagai pria atau wanita (Andrews, 2009). Bayi laki-laki cenderung lebih rentan terhadap penyakit dibandingkan dengan bayi perempuan. Secara biologis, 27 bayi perempuan mempunyai keunggulan fisiologi pada tubuhnya jika dibandingkan dengan bayi laki-laki (Wells, 2000). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010). Penelitian yang dilakukan Rahmawati (2007) juga menunjukkan bahwa jenis kelamin secara statistik berhubungan dengan kematian neonatal. Bayi laki-laki berisiko mengalami kematian neonatal sebesar 1.4 kali dibandingkan dengan bayi perempuan. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010). Namun penelitian lainnya menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian pada bayi (Faisal, 2010; Wijayanti, 2013). Terjadi penurunan absolut kematian bayi yang lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan bayi perempuan (Carlsen, dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan Dewi (2010) juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kematian neonatal. 28 Menurut penelitian kualitatif pada suku Nias diketahui bahwa anak laki-laki (ono matua) dianggap lebih berharga dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini disebabkan karena suku Nias menganut sistem patrilinear, yakni garis keturunan yang diikuti adalah dari pihak laki-laki sehingga anak laki-lakilah yang akan meneruskan keturunan/marga (ngaötö/mado) keluarga dan juga mengurus harta atau warisan yang dimiliki keluarga. Selain itu, sebagian besar anak lakilaki yang sudah menikah tinggal bersama dengan orang tua sehingga kelak ketika orang tua sudah tidak bisa bekerja lagi maka anak laki-laki inilah yang akan mengurus orang tuanya. Sehingga para ibu terus hamil sampai akhirnya berhasil mendapatkan anak laki-laki (Kemenkes RI, 2012). 3) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (Saifuddin, dkk., 2009). BBLR sangat terkait dengan kelahiran prematur dimana terjadi fungsi organ belum matang, komplikasi akibat terapi dan gangguan-gangguan tertentu (Kliegman, dkk., 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian menjadi lebih tinggi pada neonatus dengan berat lahir 29 kurang dari 2.5 kg (Onwuanaku dkk., 2011). Terdapat hubungan antara berat bayi saat lahir dengan kematian neonatal dini (Nugraheni, 2013). Anak lahir dengan BBLR mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 3.53 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki bayi lahir BBLN (Faisal, 2010). Pada beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan terdapat hubungan antara berat bayi lahir dengan kematian neonatal (Schoeps, dkk., 2007; Rahmawati, 2007; Dewi, 2010; Pertiwi, 2010; Wijayanti, 2013). Namun, pada penelitian yang dilakukan Sugiharto (2011) menunjukkan tidak terdapat hubungan antara berat bayi lahir dengan kematian bayi. 2) Paritas Menurut Kamus Saku Mosby (Kedokteran, Keperawatan dan Kesehatan), paritas merupakan klasifikasi perempuan berdasarkan jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati yang dilahirkannya pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada masa kehamilan, rahim ibu teregang oleh adanya janin. Apabila terlalu sering melahirkan, rahim akan semakin lemah. Apabila ibu telah melahirkan 3 anak atau lebih, perlu 30 diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan, persalinan dan nifas (Kemenkes RI, 2011). Paritas lebih dari 3 menunjukkan ada hubungan dengan kematian neonatal (Chaman, dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa berhubungan dengan penelitian lainnya Titaley, jarak dkk kelahiran kematian menunjukkan neonatal. bahwa (2008) pendek Hasil terdapat hubungan antara paritas dengan kematian neonatal (Dewi, 2010). Penelitian yang dilakukan Sugiharto (2011) menunjukan bahwa nomor urut kelahiran memiliki hubungan dengan kematian bayi. Ibu yang telah melahirkan lebih dari tiga anak mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 1.66 kali dibandingkan ibu yang telah melahirkan 1-3 anak (Faisal, 2010). Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa ibu yang memiliki paritas lebih dari empat memiliki hubungan dengan kematian neonatal (Rahmawati, 2007). Namun, pada penelitian Rahmawati (2007) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki paritas satu tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kematian neonatal. Penelitian lain yang dilakukan Nugraheni (2013) juga menunjukkan tidak ada hubungan antara 31 urutan kelahiran pertama dengan kematian neonatal dini. Pada penelitian yang dilakukan Wijayanti (2013) menunjukkan tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kematian neonatal. Hasil penelitian kualitatif lainnya menunjukkan bahwa nilai anak bagi orang Toraja Sa’dan sangat penting. Memiliki banyak anak masih menjadi pandangan utama bagi sebagian besar penduduk Sa’dan. Program Keluarga Berencana (KB) dari pemerintah yang mengarahkan dua anak lebih baik tidak berlaku bagi orang Toraja Sa’dan. Istilah KB bagi orang Toraja Sa’dan diubah menjadi “keluarga besar”, untuk menunjukkan banyaknya jumlah anak yang mereka miliki. Bahkan seorang yang terpandang di Toraja menceritakan bahwa dua bukan dua orang, namun dua pasang (empat orang) untuk menunjukkan anak yang beliau miliki. Ketiadaan seorang anak bagi orang Toraja Sa’dan merupakan hal yang masiri’ (malu) dalam keluarga, dianggap lemah, dan dikasihani oleh keluarga luas. Bahkan, sekalipun sudah memiliki anak, tetapi baru satu, keluarga tersebut masih dianggap belum lengkap (Kemenkes RI, 2012). Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang bisa dilakukan untuk mengontrol 32 jumlah kelahiran adalah penggunaan metode kontrasepsi. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh, menunjukkan bahwa penggunaan metode kontrasespi berhubungan dengan kejadian kematian neonatal. Pada ibu yang pernah menggunakan metode kontrasepsi sekitar 39% lebih rendah terhadap kematian neonatal dibandingkan ibu yang tidak pernah menggunakan metode kontrasepsi (Chowdhury, dkk, 2013). Pemakaian metode kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate) di Indonesia menurut hasil SDKI 2012 diketahui tidak ada perbedaan antara daerah perdesaan dengan daerah perkotaan yaitu sebesar 62%. Pemakaian kontrasepsi ini mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebelumnya yaitu sebesar 61%. Pemakaian metode kontrasepsi modern juga mengalami peningkatan dari 57% menjadi 58% (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Namun, angka ini masih cukup jauh dari target MDGs 5 untuk meningkatkan pemakaian metode kontrasepsi modern sebesar 65% pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2014). Diantara metode KB modern, metode KB yang paling banyak digunakan wanita berstatus kawin adalah suntikan dan pil (masing-masing 32 dan 14%). Peserta KB suntikan mengalami peningkatan dari 12% tahun 33 1991 menjadi 32% tahun 2012. Sedangkan peserta KB IUD mengalami penurunan dari 13% tahun 1991 menjadi 4% tahun 2012. Wanita di daerah perdesaan cenderung lebih banyak menggunakan metode suntik dibanding daerah perkotaan (masing-masing sebesar 28% dan 35%) sedangkan metode IUD, MOW/sterilisasi wanita dan kondom lebih banyak di gunakan di daerah perkotaan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Adapun total tingkat kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmetneed) wanita berstatus kawin 1549 tahun pada SDKI 2012 sebesar 11% (7% untuk membatasi kelahiran dan 4% untuk menjarangkan kelahiran). Walaupun unmetneed ini telah turun dari 13% pada SDKI 2007 menjadi 11% pada SDKI 2012 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013), namun angka ini masih belum mencapai target MDGs 5 untuk menurunkan unmetneed menjadi 5% pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2014). Hasil penelitian kualitatif di daerah Kalimantan Tengah menemukan bahwa ibu hamil Suku Dayak Siang Murung terpaksa tidak melakukan KB karena alat di fasilitas kesehatan tidak tersedia (Kemenkes RI, 2012). Pada masyarakat suku lainnya diketahui bahwa 34 ibu sudah mengetahui tentang manfaat KB, namun ibu tetap ingin memiliki anak lebih dari dua. Falsafah hidup Banyak Anak Banyak Rezeki masih diyakini beberapa warga hingga saat ini (Kemenkes RI, 2012). 4) Jarak Kelahiran Apabila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan pertumbuhan janin kurang baik, mengalami persalinan yang lama atau perdarahan (Kemenkes RI, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak kelahiran kurang dari 24 bulan (2 tahun) menunjukkan ada hubungan dengan kematian neonatal (Chaman, dkk.,, 2009). Hasil penelitian Titaley, dkk., (2008) juga menunjukkan bahwa jarak kelahiran berhubungan dengan kematian neonatal. Penelitian yang dilakukan Smith, dkk (2003) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki jarak yang pendek (<6 bulan) diantara kehamilannya memiliki peluang lebih besar untuk mengalami komplikasi pertama. Jarak antar kehamilan yang pendek berhubungan peningkatan risiko kelahiran prematur dan kematian neonatal. Penelitian lainnya menunjukkan 35 terdapat hubungan antara jarak antar kelahiran dengan kematian bayi (Sugiharto, 2011). Namun, penelitian lainnya menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jarak kelahiran (Nugraheni, dengan 2013). kematian Jarak antar neonatal kelahiran dini tidak berhubungan dengan kematian neonatal (Wijayanti, 2013). 5) Kelahiran Prematur Persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (antara 20-37 minggu) (Saifuddin, dkk., 2009). Persalinan prematur merupakan hal yang berbahaya karena mempunyai perinatal dampak potensia (Wiknjosastro, dkk., terhadap kematian 2002). Persalinan prematur pada bayi dengan BBLR sangat tergantung dengan usia kehamilan. Kelahiran prematur berhubungan dengan kondisi kesehatan dimana terjadi ketidakmampuan uterus untuk menahan janin akibat ketuban pecah dini, pemisahan dini plasenta, kehamilan ganda atau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya kontraksi uterus sebelum waktu persalinan (Kliegman, dkk., 2011). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara umur kehamilan saat melahirkan 36 dengan kematian pada neonatal. Bayi yang dilahirkan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu menunjukkan angka kematian neonatal yang tinggi dibandingkan dengan ibu melahirkan dengan umur kehamilan 37 minggu atau lebih (Onwuanaku dkk., 2011). Penelitian yang dilakukan Schoeps, dkk (2007) menunjukkan terdapat hubungan antara kelahiran prematur dengan kematian neonatal. Penelitian lainnya menemukan bahwa kelahiran prematur pada minggu ke 32-36 memiliki risiko yang rendah terhadap kematian neonatal dibandingkan kelahiran prematur kurang dari 32 minggu (Lisonkova, dkk., 2012). 6) Inisiasi Menyusu Dini (IMD) ASI dapat memberikan keuntungan imunitas, gizi, dan psikososial. Jika dibandingkan dengan susu sapi, ASI lebih banyak mengandung zat besi, gula, vitamin A, C dan Vitamin B3. ASI memiliki protein dan kalsium yang lebih rendah daripada susu sapi, tapi jumlah tersebut lebih baik bagi bayi. ASI lebih mudah dicerna karena gelembung lemak berukuran kecil serta terbebas dari bakteri. Sehingga, bayi menjadi lebih kebal terhadap penyakit-penyakit tertentu pada anakanak. Bayi yang mendapatkan ASI lebih cenderung tidak mengalami gangguan pencernaan (Price & Gwin, 37 2005). Jadi, manfaat selain menyediakan nilai gizi, ASI juga memberikan perlindungan dalam melawan sejumlah besar infeksi (Kliegman, dkk., 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa inisiasi menyusu dini memberikan risiko yang rendah terhadap kejadian kematian neonatal pada bayi dengan BBLR (RR=0.580 dan bayi dengan infeksi yang berhubungan dengan kematian neonatal (RR = 0.55) (Debes, dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan Pertiwi (2010) menunjukkan berhubungan bahwa dengan inisiasi penurunan menyusu risiko dini kematian neonatal. Inisiasi menyusu setelah satu jam pertama memiliki risiko dua kali lipat terhadap kematian neonatal. Penelitian lainnya menemukan bahwa ibu yang tidak memberikan ASI pada bayinya mempunyai kecenderungan untuk mengalami kematian bayi sebesar 10.67 kali lebih besar dibandingkan ibu yang memberikan ASI pada waktu <1 jam (Faisal, 2010). Penelitian yang dilakukan Sugiharto (2011) juga menunjukkan terdapat hubungan antara waktu pertama bayi mendapatkan ASI dengan kejadian kematian bayi. Namun, pada penelitian yang dilakukan Dewi (2010) dan Rahmawati (2007) menunjukkan tidak terdapat 38 hubungan antara pemberian Air Susu Ibu (ASI) dengan kematian neonatal. 2.3.2.3 Faktor Sebelum Melahirkan (Pre-Delivery Factors) Faktor sebelum melahirkan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup neonatal adalah kunjungan antenatal dan komplikasi kehamilan (Singh, dkk., 2013, Bashir, dkk., 2013; Singh, dkk 2014). 1) Kunjungan Antenatal Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum bayi dilahirkan melalui pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil. Berbagai bentuk upaya pencegahan dan penanggulangan dini terhadap faktorfaktor yang memperlemah kondisi seorang ibu hamil perlu diprioritaskan seperti gizi rendah, anemia dan jarak antar kelahiran dekat (Saifudin, dkk, 2009). Asuhan antenatal merupakan upaya preventif program pelayanan kesehatan obstetrik untuk optimalisasi kesehatan maternal dan neonatal melalui serangkaian kegiatan rutin selama kehamilan (Saifuddin, dkk., 2010). Adanya manajemen yang baik saat bayi masih dalam kandungan, selama persalinan, segera setelah dilahirkan dan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan setelahnya akan menghasilkan bayi yang sehat (Saifudin, dkk., 2009). 39 Indikator yang digunakan untuk menggambarkan akses ibu terhadap layanan antenatal adalah cakupan kunjungan pertama (K1) dan cakupan kunjungan minimal empat kali (K4) dengan tenaga kesehatan sesuai standar. K1 sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada trimester pertama sebelum minggu ke-8. Sedangkan K4 sebaiknya dilakukan minimal satu kali pada trimester pertama (0-12 minggu), minimal satu kali pada trimester ke-2 (≥12-24 minggu) dan minimal 2 kali pada trimester ke-3 (≥24 minggu sampai kelahiran) (Kemenkes RI, 2012). Janin yang melakukan aktivitas secara aktif menununjukkan janin berada dalam kondisi baik. Adanya penurunan aktivitas janin menunjukkan janin dalam kondisi bahaya dan membutuhkan penanganan secepatnya (Ladewig, dkk., 2006). Kondisi seperti ini bisa diketahui apabila ibu melakukan kunjungan antenatal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal (<4, ≥4). Kunjungan ANC merupakan faktor protektif yang berhubungan dengan kematian neonatal pada minggu pertama (OR: 0.65) dan pada hari pertama kehidupan (OR: 0.71) (Singh, dkk., 2014). Beberapa 40 penelitian lainnya yang dilakukan di Indonesia juga menunjukkan terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal (Rahmawati, 2007; Dewi, 2010; Sukamti, 2011; Sugiharto, 2011). Pelayanan kesehatan yang berkualitas dapat mencegah kematian neonatal (Sukamti, 2011). Ibu yang tidak pernah melakukan kunjungan ANC mempunyai kecenderungan untuk mengalami kematian bayi sebesar .3.09 kali lebih besar dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan ANC sesuai standar minimal (Faisal, 2010). Penelitian lainnya menemukan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu dengan pelayanan antenatal tidak lengkap berisiko mengalami kematian neonatal sebesar 16.32 lebih besar daripada bayi yang dilahirkan ibu dengan pelayanan antenatal lengkap (Yani & Duarsa, 2013). Ibu yang melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan selama kehamilannya akan menerima pemeriksaan dan pengidentifikasian kondisi-kondisi yang berkaitan dengan komplikasi serta edukasi mengenai tanda bahaya, potensi komplikasi dan tempat untuk mencari pertolongan (Mahmood, 2002). Penelitian lainnya oleh Hinderaker, dkk (2003) di wilayah rural Tanzania menegaskan bahwa sekitar 62% kasus 41 kematian neonatal sebetulnya dapat dicegah melalui kegiatan layanan antenatal di fasilitas layanan kesehatan. Penyedia layanan kesehatan bertanggungjawab terhadap lebih dari setengah dari faktor-faktor terhadap kematian neonatal yang dapat dicegah, baik dari faktor kegagalan klinik antenatal untuk merujuk ke fasilitas layanan kesehatan yang lebih tinggi maupun kelalaian yang terjadi di tingkat rumah sakit itu sendiri. Hal ini mengindikasikan adanya potensi untuk melakukan peningkatan layanan antenatal dan konsultasi rutin termasuk layanan kehamilan di rumah sakit. Kunjungan antenatal yang terlambat kemungkinan menghambat ibu untuk mendapatkan manfaat sepenuhnya dari strategi pencegahan pada layanan antenatal misalnya suplementasi zat besi, asam folat, pengobatan untuk infeksi cacing dan pengobatan untuk pencegahan malaria pada kehamilan (Eijk, dkk., 2006). Penelitian yang dilakukan Titaley, dkk (2010) di Indonesia menemukan bahwa yang berhubugan sangat kuat dengan rendahnya kunjungan antenatal yaitu bayi dari ibu yang tinggal di daerah rural, memiliki tingkat indeks kekayaan rumah tangga rendah, berasal dari ibu dengan berpendidikan rendah, jumlah kelahiran tinggi 42 dan jarak kelahiran kurang dari 2 tahun. Penelitian kualitatif yang dilakukan di beberapa daerah rural Indonesia menemukan bahwa ibu hamil suku Alifuru di Provinsi Maluku baru akan memeriksakan kehamilannya saat terlihat perubahan yang nyata pada tubuh ibu (terlihat jelas ibu hamil). Kunjungan saat terakhir menstruasi (K1) dan kunjungan pada trimester kedua relatif kecil (Kemenkes RI, 2012). Penelitian kualitatif lainnya menemukan bahwa alasan ibu Etnik Dayak Siang Murung di Kalimantan Tengah tidak melakukan pemeriksaan kehamilan yaitu karena Puskesmas Pembantu yang ada di desa tidak menyediakan fasilitas kesehatan yang lengkap seperti obat-obatan, wilayah puskesmas pembantu cukup sulit dijangkau oleh masyarakat di RT lain dan tenaga kesehatan yang ditugaskan sering tidak berada di tempat sehingga membuat masyarakat kesulitan saat membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat memilih langsung melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit yang ada di Kabupaten. Rumah sakit berada sangat jauh dari desa dan harus melewati jalan yang cukup sulit terutama apabila terjadi hujan disamping memerlukan biaya yang cukup besar. Sehingga beberapa ibu hamil lainnya memilih tidak 43 memeriksakan kehamilannya dengan alasan petugas kesehatan sering tidak ada di tempat (Kemenkes RI, 2012). Penelitian Gorontalo lainnya pada Provinsi Gorontalo ibu hamil menemukan Etnik bahwa sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan kepada bidan tidak memakan vitamin yang diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan vitamin rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012). Namun, penelitian lainnya menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel antenatal dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010). Penelitian yang dilakukan Nugraheni (2013) juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal dini (Nugraheni, 2013). Penelitian lainnya juga menunjukkan tidak ada hubungan antara ANC dengan kematian neonatal (Wijayanti, 2013). 2) Komplikasi Kehamilan Menurut McCarthy & Maine (1992), komplikasi kehamilan terdiri dari perdarahan, infeksi, pre- eklampsia/eklampsia, persalinan lama/macet dan abortus. 44 Komplikasi kehamilan merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi selama kehamilan dan persalinan. Masalah kesehatan ibu bisa saja terjadi sebelum kehamilan yang pada akhirnya berdampak komplikasi pada masa kehamilan. Komplikasi ini dapat berdampak pada kesehatan ibu, kesehatan bayi ketika dilahirkan, atau keduanya (Wiknjosastro, dkk., 2002). Perdarahan yang terjadi pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya. Perdarahan setelah kehamilan dua minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada sebelum 22 minggu sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda. Perdarahan yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta. Kejang merupakan salah satu gejala pada wanita penderita eklampsia yang biasanya juga diikuti dengan koma. Biasanya eklampsia terjadi didahului pre-eklampsia, sehingga pengawasan antenatal yang teliti dan teratur merupakan salah satu upaya untuk mencegah timbulnya eklampsia (Wiknjosastro, dkk., 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal dini. Prevalensi kematian neonatal dini lebih besar pada kelompok komplikasi kehamilan 45 dibandingkan tidak mengalami komplikasi kehamilan (Nugraheni, 2013). Penelitian lainnya menunjukkan ada hubungan antara komplikasi selama kehamilan dengan kejadian kematian neonatal (95% CI, 1.690-3.897) (Wijayanti, 2013). Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki risiko 1.8 kali dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan (Rahmawati, 2007). Hasil penelitian (Schoeps, dkk., 2007) juga menunjukkan terdapat hubungan antara komplikasi saat kehamilan dengan kematian neonatal. Penelitian lainnya yang dilakukan di daerah rural Bangladesh mengalami juga menunjukkan pendarahan bahwa selama ibu yang kehamilannya berhubungan kuat dengan adanya peningkatan risiko terhadap kematian neonatal (Owais, dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil Etnik Ngalum Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang hamil tetap mengalami komplikasi walaupun telah melakukan pemeriksaan kehamilan karena hamil pada usia lebih dari 45 tahun dan memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang berdekatan. Tingkat anemia ibu hamil pada suku ini paling tinggi dibandingkan etnik lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan tingginya kejadian retensio plasenta saat 46 melahirkan. Padahal petugas kesehatan telah memberikan tablet penambah darah yang seharusnya diberikan tiga bulan sekali menjadi satu bulan sekali karena tingginya kasus anemia. Namun, petugas kesehatan tidak bisa memastikan apakah obat yang diberikan rutin diminum oleh ibu hamil setiap hari (Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi Gorontalo menemukan sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan tidak memakan vitamin yang diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012). Anemia atau kadar Hb <11 g/dl yang salah satunya bisa disebabkan karena defisiensi besi sehingga perlu diberi obat penambah zat besi. Kondisi anemia pada ibu hamil sangat berbahaya bisa menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Perdarahan merupakan penyebab terbanyak kematian pada ibu (Zakariah, dkk., 2009). Berdasarkan hasil review bahwa dampak anemia pada ibu hamil terhadap bayinya bervariasi sesuai tingkat defisiensi Hb yang dialami oleh ibu. Defisiensi Hb <11 gr/dl berhubungan dengan peningkatan kematian pada 47 perinatal. Peningkatan 2-3 kali kematian perinatal pada ibu dengan Hb <8.0 gr/dl dan peningkatan 8-10 kali ketika kadar Hb <5.0 gr/dl. Selain itu, penurunan terhadap berat bayi lahir dan lambatnya pertumbuhan janin terjadi ketika kadar Hb ibu <8.0 gr/dl (Kalaivani, 2009). Penelitian lainnya yang dilakukan Dewi (2010) menunjukkan tidak ada hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal. 2.3.2.4 Faktor Saat Melahirkan (Delivery Factors) Faktor saat melahirkan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup neonatal adalah penolong persalinan, komplikasi persalinan, persalinan cesario dan tempat persalinan (Titalley, dkk., 2008; Singh, dkk., 2013; Bashir, dkk., 2013; Chaman, dkk 2009; Singh, dkk., 2014). 1) Penolong Persalinan Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (Depkes RI, 2009). Penolong persalinan memiliki tugas untuk mengawasi ibu yang sedang berada pada proses persalinan dan mengecek apakah semua persiapan untuk persalinan sudah lengkap serta member obat kepada ibu jika terdapat indikasi bagi ibu maupun anaknya 48 (Wiknjosastro, dkk., 2002). Penanganan medis yang tepat dan memadai selama melahirkan dapat menurunkan risiko komplikasi yang bisa menyebabkan kesakitan serius pada ibu dan bayinya (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Penolong persalinan memiliki hubungan dengan kematian neonatal pada minggu pertama kehidupan yang terjadi di Asia (Singh, dkk., 2014). Penelitian yang menunjukkan dilakukan terdapat di hubungan Indonesia antara juga penolong persalinan dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010; Wijayanti, 2013). Ibu yang melahirkan dengan bantuan tenaga bukan kesehatan mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 2.01 kali lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan bayi dengan bantuan tenaga kesehatan (Faisal, 2010). Penelitian yang dilakukan Yani & Duarsa (2013) juga menemukan bahwa penolong persalinan berhubungan dengan kejadian kematian neonatal. Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa 83% persalinan pada kurun waktu 2008-2012 ditolong oleh tenaga kesehatan profesional (62% perawat/bidan/bidan 49 desa, 20% dokter kandungan dan 1% dokter). Proporsi ini mengalami peningkatan dari hasil SDKI 2007 sebesar 73% persalinan profesional yang (BPS, ditolong BKKBN, tenaga Kemenkes kesehatan & ICF International, 2013). Menurut Yego, dkk (2013) akses terhadap penolong persalinan terampil termasuk dokter maupun bidan penting untuk mencegah kematian maternal dan neonatal. Penolong persalinan yang sebagian besar dilakukan oleh penolong persalinan dengan keterampilan yang rendah dapat berkontribusi terhadap kejadian kematian neonatal dan kematian maternal. Pada penelitian lainnya juga menemukan bahwa perlunya pelatihan bagi penolong persalinan agar penolong persalinan mampu menangani kasus infeksi yang diketahui merupakan penyebab terbanyak kasus kematian neonatal (Turnbull, dkk., 2011). Pada penelitian yang dilakukan Kusiako, dkk (2000) menunjukkan bahwa komplikasi pada saat melahirkan merupakan penyebab sepertiga kematian pada perinatal. Padahal peningkatan layanan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terkualifikasi dan layanan neonatus yang lebih baik seharusnya dapat menurunkan kematian pada perinatal. Penelitian yang dilakukan di 50 Jawa Barat menemukan bahwa ibu yang mengakses penolong persalinan terlatih atau melakukan persalinan di fasilitas layanan kesehatan sebagian besar dilakukan ketika ibu mengalami komplikasi kehamilan (Titaley, dkk., 2010). Hasil penelitian kualitatif pada masyarakat Suku Nias juga menemukan bahwa terkadang keluarga alot dalam memutuskan merujuk ke rumah sakit atau puskesmas. Hal tersebut menyebabkan ibu terlambat mendapatkan pertolongan dari petugas kesehatan. Ibu yang melakukan persalinan di rumah sakit biasanya ibu yang sudah mengalami masalah pada persalinannya (Kemenkes RI, 2012). Review yang dilakukan Upadhyay, dkk (2012) juga menunjukkan bahwa kurangnya sumber daya yang terampil merupakan salah satu penyebab kematian neonatal yang terjadi di daerah rural India. Kurangnya sumber daya manusia yang terampil berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan yang diterima oleh neonatus. Sehingga penyediaan tenaga kesehatan yang terkualifikasi ke daerah rural merupakan tantangan yang harus dilakukan untuk menghindari kematian pada neonatal. Pada menemukan penelitian bahwa Zimba, walaupun dkk Malawi (2012) juga mengalami 51 peningkatan jumlah penolong persalinan terampil, tetapi sebagian besar ibu dan bayi baru lahir yang mengalami komplikasi masih belum mendapatkan penanganan kesehatan yang diperlukan. Pada penelitian lainnya diketahui bahwa peralatan dan kualitas layanan yang tidak memadai juga merupakan tantangan di wilayah Afrika dan Asia (Harvey, dkk., 2007). Menurut Singh, dkk (2014) definisi tenaga penolong persalinan yang ada saat ini, tidak mencakup unsur layanan yang memadai. Walaupun sebagian besar negara di Afrika dan Asia mengalami peningkatan jumlah tenaga penolong persalinan terampil, sebagian besar setiap individu yang disebut sebagai tenaga kesehatan terampil tidak memiliki kompetensi yang diperlukan atau peralatan yang dibutuhkan untuk mengatasi komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir. Berdasarkan tingginya kematian pada minggu pertama kehidupan, pelatihan intervensi pada masa intrapartum harus ditekankan. Adapun penyebab masih tingginya kematian neonatal pada penolong pesalinan non tenaga kesehatan di daerah rural Indonesia kemungkinan terjadi karena masih rendahnya akses ibu hamil terhadap tenaga keseahatan.menurut. Seperti diketahui hasil penelitian Titaley, dkk (2010) bahwa di beberapa daerah terpencil 52 di Indonesia, bidan desa yang pada beberapa wilayah merupakan satu-satunya tenaga kesehatan penolong persalinan yang tersedia, terkadang pergi keluar desa (Titaley, dkk., 2010). Masih tingginya kematian pada penolong persalinan non tenaga kesehatan kemungkinan besar karena pengetahuan dan keterampilan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yang sangat kurang tentang penanganan persalinan pada ibu bersalin, maupun tentang penanganan bayi baru lahir. Apalagi penanganan ibu dengan gejala eklampsia, akan sangat sulit bagi penolong bukan tenaga kesehatan untuk dapat melakukan tindakan yang tepat. Pengetahuan penolong yang kurang tentang bagaimana melakukan upaya pencegahan terhadap kemungkinan bayi aman dari risiko terjadinya gangguan thermoregulasi, gangguan respirasi, dan risiko lainnya yang biasa melekat pada bayi baru lahir, sangat berpengaruh besar terhadap status kesehatan neonatus. Jika penanganannya kurang tepat maka kecenderungan terjadinya risiko kematian akan semakin besar (Astuti, dkk., 2010). Namun, pada beberapa penelitian lainnya menunjukkan tidak ada hubungan antara penolong persalinan dengan kematian bayi (Sugiharto, 2011; 53 Dewi, 2010). Penelitian yang dilakukan Nugraheni (2013) juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal dini. 2) Komplikasi Persalinan Komplikasi persalinan merupakan tanda bahaya yang terjadi pada saat persalinan. Komplikasi yang terjadi pada saat persalinan diantaranya adalah perdarahan, ketuban pecah sebelum waktunya dan persalinan lama (Kemenkes RI, 2011). Perdarahan yang banyak segera atau dalam satu jam setelah melahirkan sangat berbahaya dan merupakan penyebab kematian ibu paling banyak. Ibu harus segera mendapatkan pertolongan agar bisa diselamatkan (Kemenkes RI, 2011). Ketuban pecah dini merupakan keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Biasanya ketuban pecah saat menjelang persalinan, setelah ada tanda awal persalinan seperti mulas dan keluarnya lendir bercampur sedikit darah. Bila ketuban pecah dan cairan ketuban keluar sebelum ibu mengalami tanda-tanda persalinan, janin dan ibu akan mudah terinfeksi (Kemenkes RI, 2011). Kemudian, persalinan lama merupakan waktu persalinan yang memanjang akibat kemajuan persalinan yang terhambat (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). 54 Biasanya persalinan berlangsung kurang dari 12 jam. Apabila persalinan lebih dari 12 jam perlu ibu harus segera mendapatkan pertolongan di rumah sakit untuk menyelamatkan janin serta mencegah perdarahan dan infeksi pada ibu (Kemenkes RI, 2011). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara komplikasi kelahiran dengan kematian neonatal (Dewi, 2010). Ibu yang memiliki komplikasi persalinan meningkatkan risiko kematian neonatal sebesar 1.5 kali dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi persalinan (Rahmawati, 2007). Penelitian lainnya yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi saat persalinan dengan kematian neonatal (Schoeps, dkk., 2007). Penelitian lainnya yang dilakukan di daerah rural Bangladesh juga menunjukkan bahwa ibu yang mengalami pendarahan selama kehamilannya berhubungan kuat dengan adanya peningkatan risiko terhadap kematian neonatal (Owais, dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil Etnik Ngalum Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang hamil tetap mengalami komplikasi walaupun telah melakukan pemeriksaan kehamilan karena hamil pada usia lebih dari 45 tahun dan memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang berdekatan. Tingkat 55 anemia ibu hamil pada suku ini paling tinggi dibandingkan etnik lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan tingginya kejadian retensio plasenta saat melahirkan. Padahal petugas kesehatan telah memberikan tablet penambah darah yang seharusnya diberikan tiga bulan sekali menjadi satu bulan sekali karena tingginya kasus anemia. Namun, petugas kesehatan tidak bisa memastikan apakah obat yang diberikan rutin diminum oleh ibu hamil setiap hari (Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi Gorontalo menemukan sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan tidak memakan vitamin yang diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012). Anemia atau kadar Hb <11 g/dl yang salah satunya bisa disebabkan karena defisiensi besi sehingga perlu diberi obat penambah zat besi. Kondisi anemia pada ibu hamil sangat berbahaya bisa menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Perdarahan merupakan penyebab terbanyak kematian pada ibu (Zakariah, dkk., 56 2009). Berdasarkan hasil review bahwa dampak anemia pada ibu hamil terhadap bayinya bervariasi sesuai tingkat defisiensi Hb yang dialami oleh ibu. Defisiensi Hb <11 gr/dl berhubungan dengan peningkatan kematian pada perinatal. Peningkatan 2-3 kali kematian perinatal pada ibu dengan Hb <8.0 gr/dl dan peningkatan 8-10 kali ketika kadar Hb <5.0 gr/dl. Selain itu, penurunan terhadap berat bayi lahir dan lambatnya pertumbuhan janin terjadi ketika kadar Hb ibu <8.0 gr/dl (Kalaivani, 2009). Penelitian lainnya menunjukkan tidak ada hubungan antara komplikasi selama persalinan dengan kematian neonatal (Wijayanti, 2013). 3) Persalinan Caesar Persalinan caesar merupakan tindakan untuk melahirkan bayi melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (Saifuddin, dkk., 2009). Persalinan caesar merupakan operasi besar yang dilakukan pada saat terdapat alasan kesehatan tertentu (Whalley, dkk., 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persalinan dengan cara bedah caesar memiliki hubungan dengan kematian neonatal (Bashir, dkk., 2013). Bayi dari ibu yang kembali melakukan persalinan dengan cara caesar 57 memiliki angka kesakitan (penyakit pernapasan) lebih tinggi dan tinggal di rumah sakit lebih lama dibandingkan ibu yang melakukan persalinan per vaginam yang sebelumnya melakukan persalinan caesar (Kamath, dkk., 2009). Kematian neonatal meningkat sejalan dengan tingginya persalinan caesar yang dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan. Selain itu secara keseluruhan, kegawatdaruratan persalinan maupun non caesar (kondisi kegawatdaruratan) berhubungan dengan meningkatnya kesakitan pada neonatal (Shah, dkk., 2009). Hasil review literatur menyebutkan bahwa persalinan caesar tanpa adanya alasan kesehatan (kegawatdaruratan) juga bisa membahayakan kondisi ibu dan janinnya baik dari segi pendek maupun lamanya waktu yang diperlukan prosedur persalinan caesar dibandingkan persalinan normal (Wiklund, dkk., 2012). Penelitian lainnya menunjukkan tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar terhadap kematian neonatal dini (Nugraheni, 2013). Penelitian yang dilakukan Wijayanti (2013) juga menunjukkan tidak ada hubungan antara riwayat operasi caesar dengan kejadian kematian neonatal. 58 4) Tempat Persalinan Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu dan anak adalah terbatasnya tempat persalinan yang memadai. Upaya untuk mengurangi risiko kematian ibu dan anak adalah sangat penting dengan cara meningkatkan persalinan oleh tenaga kesehatan yang profesional yang dilakukan di fasilitas kesehatan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan di fasilitas non kesehatan mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 1.35 kali lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan bayi di fasilitas kesehatan (Faisal, 2010). Melahirkan diluar fasilitas layanan kesehatan lebih memungkinkan untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan melahirkan dilakukan di fasilitas layanan kesehatan (Ajaari, dkk., 2012). Penelitian kualitatif pada Suku Mamasa, Sulawesi Barat menemukan bahwa walaupun telah terdapat program Jampersal (Jaminan Persalinan) namun belum diketahui oleh ibu-ibu di wilayah tersebut. Selain itu, mereka belum mempercayai sepenuhnya bahwa bersalin di fasilitas kesehatan tidak dikenakan biaya/gratis. Apalagi jika mereka harus di rujuk ke 59 Rumah Sakit, akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Selain itu, permasalahan juga terdapat pada tenaga kesehatan dimana belum keluarnya pembayaran (klaim) terhitung sejak 2011-2012. Padahal semua catatan dan bukti telah terkumpul dengan rapi. Kejadian tersebut terjadi pada semua bidan di desa dan kecamatan di Kabupaten Mamasa. Meskipun demikian, bidan desa tetap melayani dan menggratiskan persalinan yang ditolong di fasilitas persalinan (Kemenkes RI, 2012). Penelitian lainnya pada suku Toraja Sa’dan menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan lain, pertimbangan ekonomi untuk memenuhi biaya-biaya di luar cakupan Jampersal, seperti transportasi, uang makan keluarga yang menungguinya di sarana kesehatan, anakanak kecil yang ditinggalkan, hewan-hewan ternak (pemeliharaan babi) yang menjadi tanggung jawab ibu. Pendapatan sehari-hari menjadi pertimbangan lain mengapa ibu memutuskan untuk melahirkan sendiri di rumahnya. Selain itu, beberapa wilayah Toraja Sa’dan memang berada jauh dari sarana pelayanan kesehatan. Selain jarak yang jauh, akses warga terhadap pelayanan kesehatan dipersulit dengan kondisi jalan yang rusak. Sarana transportasi menjadi sulit dan mahal karena kondisi jalan yang rusak parah (Kemenkes RI, 2012). 60 Hasil penelitian lainnya menunjukkan tidak ada hubungan antara tempat persalinan dengan kematian bayi (Sugiharto, 2011). Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis tempat persalinan dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010; Nugraheni, 2013; Wijayanti, 2013). Penelitian yang dilakukan di daerah rural Burkina Faso bahwa kematian bayi lebih tinggi terjadi di fasilitas layanan kesehatan. Adanya fasilitas pelayanan kesehatan tidak akan memberikan perbedaan yang berarti jika fasilitas tersebut tidak memiliki kelengkapan alat atau tenaga kesehatan yang cukup terlatih (Diallo, dkk., 2012). Menurut penelitian Singh, dkk (2012) juga menunjukkan bahwa setelah adanya peningkatan penggunaan rumah sakit bersalin di India berdampak pada terjadinya penurunan kematian neonatal sebesar 2.5% namun penurunan kematian neonatal ini tidak signifikan dimungkinkan terjadi karena masih rendahnya kualitas layanan kesehatan. Seperti ditemukan juga pada penelitian lainnya bahwa persalinan yang dilakukan di rumah di daerah rural sebagian besar ditolong oleh dokter atau bidan desa dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan masih tergolong cukup rendah (Yanping, dkk., 2010). 61 2.3.2.5 Faktor Setelah Melahirkan (Post Delivery Factors) Faktor setelah melahirkan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup neonatal adalah kunjungan neonatal (Titalley, dkk., 2008; Kayode, dkk, 2014; Bashir, dkk., 2013). 1) Kunjungan Neonatal Pelayanan pada bayi baru lahir sangat penting dilakukan untuk mengurangi kematian neonatal dan mencegah komplikasi segera setelah ibu melahirkan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Sekitar dua per tiga bayi meninggal pada 4 minggu pertama setelah kelahirannya (Pinem, 2009). Sehingga untuk mencegah terjadinya kematian tersebut semua bayi baru lahir harus mendapatkan pemeriksaan klinis dalam 24 jam pertama kehidupan (Meadow & Newell, 2002). Pada saat kelahiran, tubuh bayi baru lahir mulai melakukan sejumlah adaptasi psikologik. Adanya perubahan lingkungan yang dramastis menyebabkan bayi memerlukan pemantauan ketat untuk menentukan bagaimana bayi tersebut membuat suatu transisi yang baik terhadap kehidupannya diluar rahim (Ladewig, dkk, 2006). Pemeriksaan bayi baru lahir memiliki tujuan untuk mendeteksi masalah penting sedini 62 mungkin sehingga dapat diobati secara tepat, mempermudah adaptasi pada kehidupan ekstrauterus dan melindungi bayi baru lahir dari proses berbahaya seperti hipotermia dan infeksi (Rudolph, dkk., 2006). Standar pelayanan kesehatan bagi neonatus menetapkan bahwa setiap bayi baru lahir harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar oleh tenaga kesehatan minimal tiga kali selama periode 0 sampai dengan 28 hari setelah lahir baik, di fasilitas kesehatan maupun melalui kunjungan rumah. Adapun kunjungan neonatus pertama (KN1) merupakan pelayanan kesehatan terhadap neonatus sesuai standar pada 6-48 jam setelah lahir. Kunjungan neonatal ini diharapkan dapat meningkatkan akses neoantus terhadap pelayanan kesehatan dasar dan mengetahui sedini mungkin kelainan/masalah kesehatan yang terjadi pada neonatus (Depkes RI, 2009). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara pemeriksaan bayi setelah melahirkan dengan kejadian kematian neonatal (Pertiwi, 2010). Kematian bayi lebih rendah pada bayi yang menerima kunjungan pada hari pertama dibandingkan mereka yang tidak menerima kunjungan. Bayi yang bertahan hidup pada dua hari pertama dan menerima kunjungan 63 pertama pada hari kedua berhubungan dengan sebesar 64% kematian neonatal yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menerima kunjungan. Namun, kunjungan pertama setelah hari kedua kehidupan pertama bayi tidak berhubungan dengan penurunan kematian neonatal (Baqui, dkk., 2009). Namun, Nugraheni pada (2013) penelitian menunjukkan yang tidak dilakukan terdapat hubungan antara kunjungan neonatal pertama dengan kematian neonatal dini. Penelitian yang dilakukan Singh, dkk (2012) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pemeriksaan bayi pada 24 jam setelah kelahiran dengan kematian neonatal. 2.4 Konsep Daerah Rural/Perdesaan Menurut Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang klasifikasi perkotaan dan perdesaan di Indonesia. Perkotaan merupakan status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Sedangkan perdesaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Desa/Kelurahan merupakan wilayah administrasi terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan (BPS, 2010). 64 Adapun kriteria suatu desa/kelurahan dikategorikan sebagai perkotaan atau perdesaan yaitu apabila suatu desa/kelurahan memiliki persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan (BPS, 2010). Fasilitas perkotaan tersebut yaitu (BPS, 2010): 1) Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) 2) Sekolah Menengah Pertama 3) Sekolah Menengah Umum 4) Pasar 5) Pertokoan 6) Bioskop 7) Rumah Sakit 8) Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon 9) Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Telepon 10) Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Listrik Penentuan nilai/skor untuk menetapkan sebagai wilayah perkotaan dan perdesaan atas desa/kelurahan yaitu sebagai berikut (BPS, 2010): a. Wilayah perkotaan, apabila dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga, pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor 10 (sepuluh) atau lebih. b. Wilayah perdesaan, apabila dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga, pertanian, dan keberadaan/akses pada 65 fasilitas perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor dibawah 10 (sepuluh). Nilai/skor kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki dapat dilihat pada Tabel 2.1 (BPS, 2010). Angka Kematian Neonatal di daerah rural berdasarkan SDKI 2012 menunjukkan kematian lebih tinggi di daerah rural dibandingkan di daerah urban (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Penelitian yang dilakukan di Bangladesh juga menemukan bahwa risiko kematian neonatal di daerah rural menunjukkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah urban (Chowdhury, dkk., 2013). Perbedaan antara wilayah rural dan urban tersebut menggambarkan adanya perbedaan wilayah yang mengalami perkembangan dan wilayah yang tidak mengalami perkembangan (Yanping, dkk., 2010). Penyebab kematian yang perlu mendapatkan perhatian serius di daerah rural Indonesia yaitu masih tingginya pengaruh dari unsur budaya. Hasil penelitian kualitatif pada ibu hamil Etnik Ngalum di Distrik Oksibil Provinsi Papua menemukan bahwa terdapat adat dimana pihak perempuan harus membalas mas kawin kepada pihak laki-laki sebesar yang dibayarkan kepada pihak perempuan. Apabila terjadi pelanggaran adat, ibu tidak membayar mas kawin kepada pihak laki-laki, maka akan terdapat korban dari keluarga tersebut. Salah satu kasus yang ditemukan, Ibu Tuti seorang ibu hamil belum bisa membayar mas kawin sampai usia kehamilannya 9 bulan. Pada saat melahirkan, bayi yang dilahirkan berada 66 dalam kondisi sehat namun keesokan harinya ditemukan bayi telah meninggal. Keluarga menyadari betul, bahwa hal itu terjadi karena mereka belum menyelesaikan pembayaran kembali mas kawin. Sehingga mereka harus tunduk pada adat yang telah ada/turun-temurun dari nenek moyang mereka (Kemenkes RI, 2012). Diketahui hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi dengan Angka Kematian Neonatal yang tinggi di Indonesia yaitu sebesar 27 per 1.000 KH (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Selain itu, kasus kematian bayi baru lahir yang masih tinggi pada Etnik Ngalum Papua juga disebabkan karena bayi mengalami infeksi pneumonia. Hasil pengamatan menemukan, ternyata pada beberapa keluarga dapur perapian bukan hanya digunakan untuk memasak makanan tetapi juga digunakan untuk menghangatkan badan pada saat malam hari karena suhu yang cukup dingin (19-200C). Namun, perapian tersebut tidak dilengkapi dengan cerobong asap, sehingga asap hasil pembakaran hanya berputar didalam dapur (Kemenkes RI, 2012). 67 Tabel 2.1 Kriteria Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia Kriteria Kepadatan Nilai/Skor Penduduk per Km2 >500 500-1249 1250-2499 2500-3999 4000-5999 6000-7499 7500-8499 >8500 1 Persentase Rumah Tangga Pertanian >70.00 Keberadaan/Akses Pada Fasilitas Perkotaan Nilai/Skor Fasilitas Perkotaan Kriteria a. Sekolah Taman KanakKanak 1) Ada, atau ≤ 2.5 Km *) 2 50.00-69.99 2 b. Sekolah Menengah Pertama 2) > 2.5 Km *) 3 40.00-49.99 3 c. Sekolah Menengah Umum 4 20.00-30.99 4 d. Pasar 1) Ada, atau ≤ 2 Km *) 5 15-19.99 5 e. Pertokoan 2) > 2 Km *) 6 10-14.99 6 f. Bioskop 1) Ada, atau ≤ 5 Km *) 7 5.00-9.99 7 g. Rumah Sakit 2) > 5 Km *) 8 <5.00 8 h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti 1) Ada Pijat/Salon 2) Tidak ada i. Persentase RT Telepon 1) ≥ 8.00 2) < 8.00 j. Persentase RT listrik 1) ≥ 90.00 2) < 90.00 *) Jarak tempuh diukur dari Kantor Desa/Kelurahan Nilai/Skor 1 67 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 68 2.5 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI 2012) Survei demografi adalah survei yang menggambarkan rumah tangga secara nasional. Survei ini menyediakan data dengan cakupan luas terkait indikator monitoring dan evaluasi populasi, kesehatan dan gizi (ICF International). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 merupakan survei ketujuh yang dilakukan sebagai bagian dari proyek internasional Demographic and Health Survey (DHS). Survei sebelumnya dilakukan pada tahun 1987, 1991, 1994, 1997, 2002-2003, dan 2007. SDKI 2012 dirancang bersama-sama oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). SDKI 2012 bertujuan untuk menyediakan informasi secara rinci tentang penduduk, keluarga berencana dan bidang kesehatan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Pengambilan sampel yang dilakukan pada SDKI 2012 mengunakan metode sampel tiga tahap. Pada tahap pertama dilakukan pemilihan sejumlah Primary Sampling Unit (PSU) dari kerangka sampel PSU secara Probability Proportional to Size (PPS). PSU adalah kelompok blok sensus berdekatan yang menjadi wilayah tugas koordinator tim Sensus Penduduk 2010. Pada tahap kedua dilakukan pemilihan satu blok sensus secara PPS disetiap PSU terpilih. Selanjutnya pada tahap ketiga dilakukan pemilihan 25 rumah tangga biasa di setiap blok sensus terpilih secara sistematik. Rangkaian pengambilan sampel SDKI 2012 digambarkan pada Gambar 2.2 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). 69 Gambar 2.2 Bagan Alur Pengambilan Sampel Rumah Tangga dan Individu Pemilihan Blok Sensus (Primary Sampling Unit) berdasarkan Daftar Blok Sensus Penduduk 2010 Pemilihan 25 rumah tangga pada setiap Blok Sensus secara sistematis Pemilihan wanita usia 15-49 yang memenuhi syarat di setiap rumah tangga Wawancara wanita usia 15-49 yang memenuhi syarat Sumber: (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013) BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International (2013) Sampel SDKI 2012 bertujuan untuk memberikan estimasi karakteristik bagi perempuan usia 15-49 tahun dan laki-laki menikah usia 15-54 tahun di Indonesia baik di daerah perkotaan maupun pedesaan di setiap provinsi. Sehingga untuk mencapai tujuan ini, sebanyak 1.840 blok sensus (874 di daerah perkotaan dan 966 di daerah pedesaaan) dipilih dari daftar Blok sensus pada Primary Sampling Unit (PSU) yang terbentuk saat sensus penduduk 2010. Pada setiap blok sensus, pemutakhiran dan pemetaan daftar rumah tangga secara lengkap dilakukan pada bulan April 2012. Daftar lengkap rumah tangga dimasing-masing blok sensus dijadikan dasar untuk pengambilan sampel tahap kedua. Sebanyak 25 rumah tangga dipilih secara sistematis dari setiap blok sensus. Semua wanita usia 15-49 yang memenuhi syarat diwawancarai dalam komponen 70 Remaja dari SDKI. Data wanita dan laki yang tidak pernah menikah usia 15-24 tahun merupakan dasar laporan ini. Selanjutnya 8 rumah tangga dipilih secara sistematis dari 25 rumah tangga untuk mendapatkan responden pria menikah usai 15-54 tahun (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Hasil pendataan sampel rumah tangga didapatkan total rumah tangga sebesar 46.024 untuk Indonesia dimana sebanyak 47.533 wanita memenuhi syarat untuk diwawancarai. Total rumah tangga hasil pendataan sampel untuk Provinsi Maluku adalah sebesar 1.077 rumah tangga. Sedangkan total sampel wanita usia subur yang memenuhi syarat untuk Indonesia didapatkan sebesar 1.291 wanita (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). SDKI 2012 menggunakan empat macam kuesioner yaitu kuesioner rumah tangga, kuesioner wanita usia subur, kuesioner pria kawin dan kuesioner remaja pria belum pernah kawin. Adanya perubahan cakupan sampel individu wanita dari wanita pernah kawin (WPK) umur 15-49 tahun dalam SDKI 2007 menjadi wanita umur subur (WUS) 15-49 tahun pada SDKI 2012, maka kuesioner WUS ditambahkan pertanyaanpertanyaan untuk remaja wanita belum pernah kawin umur 15-24 tahun. Tambahan pertanyaan ini merupakan bagian dari kuesioner Survei Kesehatan Reproduksi Remaja tahun 2007 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). 71 Kuesioner rumah tangga maupun kuesioner WUS SDKI 2012 sebagian besar mengacu pada versi terbaru (Maret 2011) kuesioner standar yang digunakan program DHS VI. Model kuesioner tersebut disesuaikan dengan kebutuhan di Indonesia. Beberapa pertanyaan di kuesioner standar DHS tidak dicakup dalam SDKI 2012 karena kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Selain itu, kategori jawaban serta tambahan pertanyaan disesuaikan dengan muatan lokal terkait program di bidang kesehatan dan keluarga berencana di Indonesia (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Kuesioner rumah tangga digunakan untuk mencatat seluruh anggota rumah tangga dan tamu yang menginap di rumah tangga terpilih sampel malam sebelum wawancara, dan keadaan tempat tinggal rumah tangga terpilih. Pertanyaan dasar anggota rumah tangga yang dikumpulkan adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan hubungan dengan kepala rumah tangga. Keterangan mengenai tempat tinggal yang dikumpulkan meliputi sumber air minum, jenis kakus, jenis lantai, jenis atap, jenis dinding, dan kepemilikan aset rumah tangga. Informasi mengenai kepemilikan aset menggambarkan status sosialekonomi rumah tangga tersebut. Kegunaan utama kuesioner rumah tangga adalah untuk menentukan responden wanita dan pria yang memenuhi syarat untuk wawancara perseorangan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Kuesioner WUS digunakan untuk mengumpulkan informasi dari wanita umur 15-49 tahun. Topik yang ditanyakan kepada wanita tersebut 72 adalah latar belakang responden (status perkawinan, pendidikan, akses terhadap media massa, dan lain-lain), riwayat kelahiran, pengetahuan dan pemakaian kontrasepsi, perawatan kehamilan, persalinan, dan pemeriksaan setelah melahirkan, pemberian air susu ibu dan makanan anak, kematian anak, imunisasi dan kesakitan anak, perkawinan dan kegiatan seksual, preferensi fertilitas, latar belakang suami/pasangan dan pekerjaan responden, pengetahuan tentang HIV-AIDS dan infeksi seksual lain, kematian saudara kandung, termasuk kematian ibu dan isu kesehatan lainnya (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Selanjutnya pada kuesioner wanita umur 15-24 tahun yang belum pernah kawin, ditanyakan mengenai latar belakang tambahan yaitu pengetahuan mengenai sistem reproduksi manusia, sikap tentang perkawinan dan anak, peran keluarga, sekolah, masyarakat dan media, rokok, minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang, pacaran dan perilaku seksual. Pada kuesioner pria kawin (PK), informasi yang dikumpulkan dalam kuesioner PK hampir sama dengan kuesioner WUS namun lebih pendek karena tidak mencakup riwayat kelahiran, dan kesehatan ibu dan anak. Pada kuesioner untuk pria berstatus kawin juga dikumpulkan informasi mengenai pengetahuan dan partisipasi mereka dalam perawatan kesehatan anak. Kuesioner remaja pria (RP) mencakup pertanyaan yang sama dengan kuesioner remaja wanita belum pernah kawin umur 15-24 tahun (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). 73 Sebelum memulai kegiatan di lapangan, kuesioner SDKI 2012 diujicobakan di Provinsi Riau dan Nusa Tenggara Timur untuk memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan sudah jelas dan dapat dipahami oleh responden. Uji coba penting dilakukan terkait dengan cakupan sampel yang berbeda dengan SDKI sebelumnya. Pada SDKI sebelumnya responden perempuan merupakan wanita yang pernah kawin umur 15-49 tahun berubah menjadi semua wanita umur 15-49 tahun terlepas dari status perkawinan. Selain itu, terdapat pertanyaan baru dan format pertanyaan yang disesuaikan dengan kuesioner standar DHS. Dua tim direkrut di setiap provinsi. Uji coba dilakukan pada pertengahan Juli hingga pertengahan Agustus 2011 di empat kabupaten terpilih, yang mencakup 4 blok sensus perkotaan dan empat blok sensus perdesaan. Kabupaten yang dipilih untuk uji coba adalah Pekanbaru dan Kabupaten Kampar (Provinsi Riau), serta Kota Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Berdasarkan temuan uji coba, dilakukan penyempurnaan terhadap kuesioner rumah tangga dan individu (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Kemudian dilakukan pelatihan kepada seluruh enumerator sebelum survei dilakukan. Sebanyak 922 orang (376 pria dan 546 wanita) dilatih sebagai pewawancara. Pelatihan berlangsung selama 12 hari pada bulan Mei 2012 di sembilan pusat pelatihan yaitu Batam, Bukit Tinggi, Banten, Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Makasar, Manokwari dan Jayapura. Pelatihan mencakup pembelajaran materi di kelas, latihan wawancara dan tes. Pelatihan dibedakan menjadi tiga kelas yaitu kelas wanita (WUS), 74 kelas pria kawin (PK), dan kelas remaja pria (RP). Seluruh peserta dilatih menggunakan kuesioner rumah tangga dan kuesioner perseorangan sesuai jenis kelasnya. Pengumpulan data yang dilakukan pada SDKI 2012 yaitu menggunakan metode wawancara terhadap responden penelitian menggunakan kuesioner penelitian (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Pengumpulan data SDKI 2012 dilakukan oleh 119 tim petugas. Setiap tim terdiri dari delapan orang yaitu 1 orang pengawas pria, 1 orang editor wanita untuk WUS dan PK, 4 orang wanita pewawancara WUS, 1 orang pria pewawancara PK yang merangkap sebagai editor RP, dan 1 orang pria pewawancara RP. Sedangkan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat setiap tim pengumpul terdiri dari dari lima orang, 1 orang pengawas pria yang merangkap sebagai editor PK dan RP, 1 orang wanita editor WUS, 2 orang wanita pewawancara WUS dan 1 orang pria pewawancara PK dan RP. Kegiatan pengumpulan data SDKI 2012 di lapangan berlangsung dari 7 Mei sampai 31 Juli 2012 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Hasil pengumpulan data dilapangan didapatkan sebesar 99% sampel rumah tangga yang berhasil diwawancarai. Selanjutnya, sampel wanita usia subur yang memenuhi syarat yang berhasil diwawancarai yaitu sebesar 22.898 wanita (96%). Adapun rumah tangga yang berhasil diwawancarai untuk Indonesia yaitu sebesar 97.4% (1.077 rumah tangga) dan sampel wanita usia subur yang memenuhi syarat yang berhasil 75 diwawancarai sebesar 89% (1.149 wanita) (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). 2.6 Kerangka Teori Berdasarkan model faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian pada neonatal dari Titaley (2008) dapat diilustrasikan model kerangka teori faktor-faktor yang mempengaruhi kematian neonatal pada Gambar 2.3. 76 Gambar 2.3 Kerangka Teori Determinan Sosial-ekonomi: Pendidikan Ibu3,5,6 Pekerjaan Ibu1,3 Indeks Kekayaan Rumah Tangga4 Determinan Terdekat (Proximate Determinants) Faktor Ibu: Umur Ibu4,5,6 Faktor Neonatal: Infeksi/Penyakit12,13 Jenis Kelamin Bayi1,3,4,5,10 Berat Bayi Lahir2,7,8 Paritas2,3,8 Jarak Kelahiran1,2,5,8 Kelahiran Prematur7 Inisiasi Menyusu Dini11 Faktor Sebelum Melahirkan: Kunjungan Antenatal3,9 Komplikasi Kehamilan4 Hidup Faktor Saat Melahirkan: Penolong Persalinan9 Komplikasi Persalinan1,3,4 Persalinan Caesar4,8 Tempat Persalinan1 Faktor Setelah Melahirkan: Kunjungan Neonatal1,2,4 Meninggal Sumber: Modifikasi Determinan Kelangsungan Hidup Bayi Titaley, dkk (1), 2008, Kayode, dkk, 2014 (2), Singh, dkk, 2013 (3), Bashir, dkk. 2013 (4), Mekonnen, dkk, 2013 (5), Upadhyay, dkk, 2012 (6), Onwuanaku, dkk 2011 (7), Chaman, dkk 2009 (8), Singh, dkk 2014 (9), Carlsen, dkk 2013 (10), Debes, dkk 2013 (11), Yego, dkk, 2013 (12), Yanping, dkk, 2010 (13) 3 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Berdasarkan teori penyebab kematian neonatal dari Titaley (2008), faktor yang mempengaruhi kematian neonatal yaitu terdiri dari faktor sosial ekonomi dan faktor terdekat (proximate determinants). Determinan sosial-ekonomi tidak mempengaruhi secara langsung kematian neonatal, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan ibu, semakin besar peluang terjadinya kasus kematian bayi. Ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi lebih besar dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Ibu dan anak yang berasal dari keluarga miskin memiliki risiko meningkat terhadap kematian neonatal. Sehingga peneliti ingin meneliti secara langsung pengaruh faktor sosial-ekonomi tersebut terhadap kematian neonatal. Variabel berat bayi lahir, jarak kelahiran, kelahiran prematur, inisiasi menyusu dini, komplikasi persalinan dan kunjungan neonatal tidak dijadikan variabel penelitian karena sebagian besar data variabel missing serta variabel infeksi/penyakit tidak dijadikan variabel penelitian karena data tidak tersedia pada SDKI 2012. Adapun variabel lainnya yang dipilih sebagai variabel penelitian adalah faktor terdekat yang terdiri dari variabel 77 78 umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas, jarak kelahiran, kelahiran prematur, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan, penolong persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan. Semakin tua umur ibu maka organ reproduksi ibu semakin mengalami penurunan serta semakin muda umur ibu, organ reproduksi yang ada belum cukup matang untuk menjalani proses kehamilan. Sehingga pada umur terlalu muda dan terlalu tua kehamilan memiliki risiko tinggi mengalami kematian bayi. Selain itu, apabila ibu terlalu sering melahirkan rahim akan semakin lemah. Bayi pada ibu yang mengalami komplikasi pada saat kehamilan memiliki kemungkinan untuk mengalami komplikasi pada saat persalinan (perdarahan, persalinan sulit atau lama) yang bisa menyebabkan terjadinya kematian pada bayi terutama pada masa 28 hari pertama kehidupan. Persalinan caesar dilakukan apabila terdapat indikasi kesehatan tertentu, sehingga ibu lebih memiliki risiko kematian pada bayinya. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terampil akan membantu ibu dan bayi tetap berada pada kondisi yang baik. Petugas kesehatan memiliki keterampilan lebih baik dalam menghadapi kondisi-kondisi yang mungkin terjadi selama persalinan. Apabila ibu melangsungkan persalinan di fasilitas kesehatan, kondisi yang memerlukan tindakan lebih lanjut bisa dilakukan lebih cepat karena telah tersedianya alat-alat yang dibutuhkan. 79 Berikut kerangka konsep pada penelitian ini: Gambar 3.1 Kerangka Konsep Pendidikan Ibu Pekerjaan Ibu Indeks Kekayaan Rumah Tangga Umur Ibu Jenis Kelamin Bayi Paritas Kunjungan Antenatal Komplikasi Kehamilan Penolong Persalinan Persalinan Caesar Tempat Persalinan Kematian Neonatal 80 3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No Definisi Cara Ukur Alat Ukur Kematian yang terjadi selama dua puluh delapan hari pertama kehidupan setelah bayi dilahirkan di Indonesia pada periode 2008-2012. Observasi Data SDKI 2012 Kuesioner SDKI 2012-WUS Bagian 2 No. 216, 220, Bagian 4 No. 404 Jenjang pendidikan tertinggi pernah dijalani ibu. yang Observasi Data SDKI 2012 Kuesioner SDKI 2012-WUS Bagian 1 No 105, 106 Status pekerjaan yang dilakukan ibu baik dirumah maupun diluar rumah yang mendapat imbalan/penghasilan. Indeks kekayaan Indeks kekayaan rumah tangga, yang rumah tangga didapatkan dengan mengukur karakteristik latar belakang rumah tangga (mengukur standar hidup rumah tangga dalam jangka panjang). Umur Ibu Ulang tahun terakhir ibu saat dilakukan wawancara dikurangi umur Observasi Data SDKI 2012 Observasi Data SDKI 2012 Variabel Hasil Ukur Skala Ukur Variabel Dependen 1. Kematian Neonatal 0 = meninggal 1 = tidak meninggal (WHO, 2006) Ordinal Variabel Independen 2. Pendidikan Ibu 3. Pekerjaan Ibu 4. 5. Observasi Data SDKI 0 = rendah (SD atau SMP) 1 = tinggi (SMA, Diploma atau Perguruan Tinggi) (Singh, dkk., 2013) Kuesioner SDKI 0 = bekerja 2012-WUS Bagian 1 = tidak bekerja 8 No. 807-814 (Titaley, dkk., 2008) Kuesioner SDKI 1 = rendah 2012-RT Bagian III 2 = menengah dan IV 3 = tinggi (Bashir, dkk., 2013) Ordinal Kuesioner SDKI 2012-WUS Bagian Ordinal 0 = < 20 atau > 35 tahun 1 = 20-35 tahun Ordinal Ordinal 81 No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur anak terakhir pada periode 5 tahun sebelum survei (2008-2012). 2012 1 No. 102, 103 (Wijayanti, 2013) Observasi Data SDKI 2012 Observasi Data SDKI 2012 Observasi Data SDKI 2012 Kuesioner SDKI 2012-RT Bagian 2 No. 213 Kuesioner SDKI 2012-WUS Bagian 2 No. 224 Kuesioner SDKI 2012-Bagian 4 No. 408-412C 6. Jenis Kelamin Jenis kelamin anak terakhir yang meninggal pada periode 2008-2012. 7. Paritas Jumlah bayi yang pernah dilahirkan ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. 8. Kunjungan Antenatal Jumlah kunjungan ibu memeriksakan kehamilan untuk anak terakhir pada periode 5 tahun sebelum survei (20082012). 9. Komplikasi kehamilan 10. Penolong Persalinan Riwayat terjadinya komplikasi pada kehamilan untuk kehamilan anak terakhir dengan tanda komplikasi mulas sebelum 9 bulan, perdarahan, demam yang tinggi, kejang-kejang dan pingsan. Tenaga yang menjadi penolong persalinan untuk anak terakhir pada periode 5 tahun sebelum survei (2008- Observasi Data SDKI 2012 Observasi Data SDKI 2012 0 = laki-laki 1 = perempuan (Titaley, dkk., 2008) 0=≥4 1 = 1-3 (Titaley, dkk., 2008) 0 = tidak melakukan kunjungan atau kunjungan kurang dari empat kali 1 = kunjungan antenatal minimal empat kali (Yani & Duarsa, 2013) Kuesioner SDKI- 0 = komplikasi (minimal WUS Bagian 4 No. terdapat satu tanda 414 C, 414 D komplikasi) 1 = tidak komplikasi (Nugraheni, 2013) Kuesioner SDKI 2012-WUS Bagian 4 No. 433 0 = non tenaga kesehatan 1 = tenaga kesehatan (Titaley, dkk., 2008) Skala Ukur Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal 82 No Variabel 11. Persalinan caesar 12. Tempat persalinan Definisi 2012). Anak terakhir pada periode 5 tahun sebelum survei (2008-2012) dilahirkan dengan cara perut dibedah untuk mengeluarkan bayi. Tempat ibu melangsungkan proses persalinan untuk anak terakhir pada periode 5 tahun sebelum survei (20082012). Hasil Ukur Skala Ukur Cara Ukur Alat Ukur Observasi Data SDKI 2012 Kuesioner SDKI 2012-WUS Bagian 4 No. 435 0 = caesar 1 = tidak caesar (Bashir, dkk., 2013) Observasi Data SDKI 2012 Kuesioner SDKI 2012-WUS Bagian 4 No. 434 0 = non fasilitas layanan Ordinal kesehatan 1 = fasilitas layanan kesehatan (Titaley, dkk., 2008) Ordinal 83 3.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kematian neonatal. 2. Ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kematian neonatal. 3. Ada hubungan antara indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian neonatal. 4. Ada hubungan antara umur ibu dengan kematian neonatal. 5. Ada hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal. 6. Ada hubungan antara paritas dengan kematian neonatal. 7. Ada hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal. 8. Ada hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal. 9. Ada hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. 10. Ada hubungan antara persalinan caesar dengan kematian neonatal. 11. Ada hubungan antara tempat persalinan dengan kematian neonatal. 4 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan menggunakan desain cross sectional study dimana status paparan dan status penyakit dikumpulkan dalam satu waktu (Gordis, 2004). Desain ini adalah desain penelitian dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 yang merupakan sumber data pada penelitian ini. Desain studi cross sectional merupakan desain penelitian yang mudah dilakukan karena tidak membutuhkan waktu follow up (Murti, 1997). Namun, desain cross sectional memiliki kelemahan dimana tidak bisa membedakan antara faktor penyebab dan akibat, karena pengumpulan data paparan dan efek dilakukan secara bersamaan (Gerstman, 2003). SDKI 2012 merupakan survei ketujuh yang dilakukan sejak tahun 1987 sebagai bagian dari proyek internasional Demographic and Health Survey (DHS). Survei ini bertujuan untuk menyediakan informasi secara rinci tentang penduduk, keluarga berencana dan kesehatan. Survei ini dirancang oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). 84 85 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2014 dengan lokasi penelitian adalah wilayah rural Indonesia. Adapun analisis data penelitian dilakukan di wilayah Ciputat, Tangerang Selatan. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya akan diduga (Hastono & Sabri, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh neonatal di daerah rural Indonesia pada periode 20082012 berdasarkan sampel SDKI 2012. 4.3.2 Sampel Penelitian Sampel adalah bagian dari populasi yang ciri-cirinya akan diteliti atau diukur (Hastono & Sabri, 2010). Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu wanita usia subur (15-49 tahun) di daerah rural Indonesia dan pernah memiliki bayi pada rentang periode 20082012. Besar sampel minimal pada penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus berikut (Dahlan, 2010): 2 Z1-α/2 2P(1-P)+Z1-β P1 (1-P1 )+ P2 (1-P2 ) xDeff n= (P1 - P2 )2 Keterangan: n1 = jumlah sampel minimal Z1-α/2 = 1.96 (Nilai Z pada derajat kemakanaan α sebesar 5% (0.05) 86 = 0.84 (Nilai Z pada kekuatan uji 1-β dengan β sebesar Z1-β 20%) P = Proporsi total = (P1+P2)/2 P1 = proporsi kematian neonatal pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti P2 = proporsi kematian neonatal pada kelompok yang bersumber dari kepustakaan Deff = Desain efek Berdasarkan nilai P2 hasil penelitian terdahulu sebesar 0.43 (Chaman, dkk., 2009), α = 5% (Z1-α/2 = 1.96); β = 20% (Zβ = 0.84), P1P2 = 3.5% dan Deff = 2 didapatkan jumlah sampel minimal yang diperlukan untuk penelitian sebesar 6.327 sampel. Jumlah WUS yang memililiki bayi pada periode 2008-2012 di daerah rural Indonesia setelah proses cleaning data didapatkan sebesar 7.138 sampel. Sehingga peneliti mengambil seluruh sampel tersebut (7.138 sampel) karena telah memenuhi besar sampel minimal penelitian (6.327 sampel). 4.4 Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan memilih sampel WUS yang memenui syarat dan berhasil diwawancarai di Indonesia. Jumlah sampel WUS yang memenuhi syarat yang berhasil diwawancarai yaitu sebesar 45.607 wanita. Selanjutnya dipilih sampel WUS yang memiliki bayi pada periode 2008-2012. Jumlah sampel WUS yang memenuhi syarat dan berhasil diwawancarai serta memiliki bayi pada periode 2008-2012 di Indonesia yaitu 87 sebesar 16.198 sampel. Selanjutnya dipilih WUS berdasarkan wilayah tempat tinggal didaerah rural (perdesaan) yaitu sebesar 8.848 sampel. Kemudian dilakukan proses cleaning data sehingga didapatkan jumlah sampel WUS yang memiliki bayi pada periode 2008-2012 yaitu sebesar 7.138 sampel. Berikut alur pengambilan sampel pada penelitian ini. Gambar 4.1 Bagan Alur Pengambilan Sampel Penelitian Pemilihan sampel wanita usia 15-49 yang di wawancarai di Indonesia yaitu sebesar 45.607 sampel Pemilihan sampel wanita usia 15-49 yang di wawancarai yang memiliki bayi di Indonesia Tahun 2008-2012 yaitu sebesar 16.198 sampel Pemilihan sampel wanita usia 15-49 yang di wawancarai yang memiliki bayi di daerah rural Indonesia Tahun 2008-2012 yaitu sebesar 8.848 sampel Pemilihan sampel hasil cleaning data wanita usia 15-49 yang di wawancarai yang memiliki bayi di daerah rural Indonesia Tahun 20082012 yaitu sebesar 7.138 sampel 4.5 Teknik Pengumpulan Data Sumber data pada penelitian ini adalah data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Data yang dikumpulkan pada 88 penelitian ini yaitu data hasil Kuesioner Wanita Usia Subur (WUS) dan Kuesioner Rumah Tangga SDKI 2012 untuk Indonesia. Data hasil kuesioner WUS yang dikumpulkan terdiri dari kematian neonatal, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga, wilayah tempat tinggal, umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan, penolong persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan analisis terlebih dahulu terhadap Kuesioner WUS dan Kuesioner Rumah Tangga SDKI 2012. Kemudian memilih variabel-variabel yang akan dijadikan sebagai variabel penelitian berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Selanjutnya, peneliti meminta data mentah (row data) hasil Kuesioner WUS dan Rumah Tangga ke Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pemegang data SDKI 2012. Berikut ini gambaran proses pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini: Gambar 4.2 Proses Pengambilan Data Penelitian Analisis Kuesioner Wanita Usia Subur (WUS) dan Kuesioner Rumah Tangga (RT), SDKI 2012 Pemilihan Variabel Penelitian Berdasarkan Penelitian-Penelitian Sebelumnya Permintaan Data Mentah (Row Data) Hasil Kuesioner WUS dan RT, SDKI 2012 ke BKKBN 89 4.6 Pengolahan Data Adapun proses pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini sebagai berikut: 1) Filter (Penyaringan), menyaring data yang tidak dibutuhkan dalam penelitian. Peneliti sebelumnya mengidentifikasi pertanyaan pada Kuesioner SDKI 2012 yang dianggap berkaitan dengan kematian neonatal berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya. Berikut kode variabel penelitian pada row data SDKI 2012: Tabel 4.1 Variabel dan Kode Variabel Penelitian Pada SDKI 2012 Variabel No. Variabel Dependen 1. Kematian neonatal Variabel Independen 2. Pendidikan ibu 3. Pekerjaan ibu 4. Indeks kekayaan rumah tangga 5. Umur ibu 6. Jenis kelamin bayi 7. Paritas 8. Kunjungan pelayanan antenatal 9. 10. Komplikasi kehamilan Penolong persalinan 11. 12. Persalinan Caesar Tempat persalinan Kode Data B5, B6, B7 V106, V149 V714, V716, V731 V190, V191 V012 B4 V201 M13, M14, S412BAS412BC S632HA-S632HX M3A$1, M3B$1, M3C$1, M3D$1, M3E$1, M3G$1, M3H$1, M3K$1, M3N$1 V401, M17 M15 2) Cleaning (Pembersihan data), memeriksa kembali kemungkinan adanya data tidak konsisten dan missing data dengan analisis frekuensi 90 terhadap masing-masing variabel penelitian. Berikut hasil cleaning data pada penelitian ini: Tabel 4.2 Hasil Cleaning Data Daerah Rural Indonesia SDKI 2012 No. Variabel 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Kategori anak hidup Umur saat meninggal Pendidikan ibu Pekerjaan ibu Indeks kekayaan rumah tangga Wilayah tempat tinggal Umur ibu Jenis kelamin bayi Paritas Jarak kelahiran IMD Kunjungan antenatal Komplikasi kehamilan Penolong persalinan Komplikasi persalinan Berat bayi lahir Kelahiran prematur Persalinan Caesar Tempat persalinan Kunjungan neonatal pertama Jumlah Akhir Sampel Data Jumlah Awal Valid Missing 8.848 8.848 0 8.848 8.848 0 8.848 8.368 480 8.848 8.834 14 8.848 8.848 0 8.848 8.848 0 8.848 8.848 0 8.848 8.848 0 8.848 8.848 0 8.848 5.722 3.126 8.848 7.226 1.622 8.848 8.848 0 8.848 8.810 38 8.848 8.784 64 8.848 6.718 2130 8.848 6.652 2.196 8.848 585 8.263 8.848 8.769 79 8.848 8.783 65 8.848 4.464 4.384 7.138 sampel 3) Recoding (pengkodean ulang), memberikan kode baru untuk setiap variabel penelitian yang perlu diubah. 4.7 Analisis Data Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari analisis univariat dan analisis bivariat. 91 4.7.1 Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi variabelvariabel yang akan diteliti. Variabel-variabel tersebut adalah kematian neonatal, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga, umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan, penolong persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan. 4.7.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji statistik chi square untuk menguji hipotesis penelitian, yaitu adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen penelitian. Variabel independen penelitian terdiri dari pendidikan ibu, pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga, umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan, penolong persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan. Sedangkan variabel dependennya adalah kematian neonatal. Derajat signifikansi (α) pada penelitian ini ditetapkan sebesar 5% (0.05). Terdapat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apabila hasil perhitungan didapatkan nilai p lebih kecil dari nilai α (P < α). Sebaliknya apabila nilai p didapatkan lebih besar dari nilai α (P > α), maka tidak terdapat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. 5 5.1 BAB V HASIL Distribusi Kematian Neonatal Distribusi kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini: Tabel 5.1 Distribusi Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal Total n 79 7059 7138 % 1,1 98,9 100 Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa dari 7.138 ibu yang memiliki bayi, terdapat 1,1% (79 kasus) kematian neonatal yang terjadi pada bayi di daerah rural Indonesia Tahun 2008-2012. 5.2 Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu Distribusi pendidikan ibu di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut ini: Tabel 5.2 Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Pendidikan Ibu Rendah Tinggi Total n 4911 2227 7138 92 % 68,8 31,2 100 93 Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan rendah (68,8%). 5.3 Distribusi Status Pekerjaan Ibu Distribusi status pekerjaan ibu di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.3 berikut ini: Tabel 5.3 Distribusi Pekerjaan Ibu di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Status Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak bekerja Total n 3903 3235 7138 % 54,7 45,3 100 Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa ibu yang memiliki status bekerja yaitu sebesar 54,7% (3.903 orang). 5.4 Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.4 berikut ini: Tabel 5.4 Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Indeks Kekayaan Rumah Tangga Rendah Menengah Tinggi Total n % 4756 1196 1186 7138 66,6 16,8 16,6 100 Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki indeks kekayaan rumah tangga rendah yaitu sebesar 66,6% (4.756 orang). 94 5.5 Distribusi Umur Ibu Distribusi umur ibu di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut ini: Tabel 5.5 Distribusi Umur Ibu di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Umur Ibu <20 tahun dan >35 tahun 20-35 tahun Total n 1980 5158 7138 % 27,7 72,3 100 Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki umur 20-35 tahun yaitu sebesar 72,3% (5.158 orang). 5.6 Distribusi Jenis Kelamin Bayi Distribusi jenis kelamin bayi di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut ini: Tabel 5.6 Distribusi Jenis Kelamin Bayi di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total n 3725 3413 7138 % 52,2 47,8 100 Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa bayi yang berjenis kelamin perempuan lebih sedikit dibandingkan bayi berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 47,8% (3.413 bayi). 95 5.7 Distribusi Paritas Distribusi paritas di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.7 berikut ini: Tabel 5.7 Distribusi Paritas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Paritas >=4 1-3 Total n 1368 5778 7138 % 19,1 80,9 100 Berdasarkan Tabel 5.7 diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki paritas 1-3 yaitu sebesar 80,9% (5.778 orang). 5.8 Distribusi Kunjungan Antenatal Distribusi kunjungan antenatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.8 berikut ini: Tabel 5.8 Distribusi Kunjungan Antenatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Kunjungan Antenatal Tidak ANC ANC Total n 2688 4450 7138 % 37,7 62,3 100 Berdasarkan Tabel 5.8 diketahui bahwa ibu yang telah melakukan kunjungan antenatal selama kehamilannya yaitu sebesar 62,3% (4.450 orang). 5.9 Distribusi Komplikasi Kehamilan Distribusi komplikasi kehamilan di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.9 berikut ini: 96 Tabel 5.9 Distribusi Komplikasi Kehamilan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Komplikasi Kehamilan Komplikasi Tidak komplikasi Total n 427 6711 7138 % 6,0 94,0 100 Berdasarkan Tabel 5.9 diketahui bahwa sebagian besar ibu tidak mengalami komplikasi pada saat kehamilannya yaitu sebedar 94,0% (6.711 orang). 5.10 Distribusi Penolong Persalinan Distribusi penolong persalinan di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.10 berikut ini: Tabel 5.10 Distribusi Penolong Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Penolong Persalinan Non Nakes Nakes Total n 1911 5227 7138 % 26,8 73,2 100 Berdasarkan Tabel 5.10 diketahui bahwa sebagian besar persalinan pada ibu ditolong oleh tenaga kesehatan yaitu sebesar 73,2% (5.227 orang). 5.11 Distribusi Persalinan Caesar Distribusi persalinan caesar di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.11 berikut ini: 97 Tabel 5.11 Distribusi Persalinan Caesar di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Persalinan Caesar Caesar Tidak Caesar Total n 571 6567 7138 % 8,0 92,0 100 Berdasarkan Tabel 5.11 diketahui bahwa sebesar 8,0% (571 orang) ibu yang melakukan persalinan caesar pada persalinannya. 5.12 Distribusi Tempat Persalinan Distribusi tempat persalinan di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.12 berikut ini: Tabel 5.12 Distribusi Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Tempat Persalinan Non Fasyankes Fasyankes Total n 4276 2862 7138 % 59,9 40,1 100 Berdasarkan Tabel 5.12 diketahui bahwa ibu yang melakukan persalinan di non fasilitas pelayanan kesehatan pada saat persalinannya yaitu sebesar 59,9% (4.276 orang). 5.13 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara pendidikan ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.13 berikut ini: 98 Tabel 5.13 Analisis Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Pendidikan Ibu Rendah Tinggi Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal n % n % 59 1,2 4852 98,8 20 0,9 2207 99,1 Total n 4911 2227 % 100 100 P Value 0,311 Berdasarkan Tabel 5.13 diketahui bahwa dari 4.911 ibu yang berpendidikan rendah terdapat 59 kematian neonatal (1,2%), sedangkan dari 2.227 ibu berpendidikan tinggi terdapat 20 kematian neonatal (0,9%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,311 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan kematian neonatal. 5.14 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara pekerjaan ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada tabel 5.14 berikut ini: Tabel 5.14 Analisis Hubungan antara Pekerjaan Ibu dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Status Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak Bekerja Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal n % n % 62 1,6 3841 98,4 17 0,5 3218 99,5 Total n 3903 3235 % 100 100 P Value 0,000 Berdasarkan Tabel 5.14 diketahui bahwa dari 3.903 ibu yang bekerja terdapat 62 kematian neonatal (1,6%), sedangkan dari 3.235 ibu yang tidak bekerja terdapat 17 kematian neonatal (0,5%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat 99 kepercayaan 95% terdapat hubungan antara status pekerjaan ibu dengan kematian neonatal. 5.15 Hubungan Indeks Kekayaan Rumah Tangga dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.15 berikut ini: Tabel 5.15 Analisis Hubungan antara Indeks Kekayaan Rumah Tangga dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Indeks Kekayaan Rumah Tangga Rendah Menengah Tinggi Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal n % n % 47 1,0 4709 99,0 17 1,4 1179 98,6 15 1,3 1171 98,7 Total n 4756 1196 1186 % 100 100 100 P Value 0,375 Berdasarkan Tabel 5.15 diketahui bahwa dari 4.756 ibu dengan status indeks kekayaan rumah tangga rendah terdapat 47 kematian neonatal (1,0%), dari 1.196 ibu dengan status indeks kekayaan rumah tangga menengah terdapat 17 kematian neonatal (1,4%) serta dari 1.186 ibu dengan status indeks kekayaan rumah tangga tinggi terdapat 15 kematian neonatal (1,3%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,375 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian neonatal. 100 5.16 Hubungan Umur Ibu dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara umur ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.16 berikut ini: Tabel 5.16 Analisis Hubungan antara Umur Ibu dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Umur Ibu <20 tahun dan >35 tahun 20-35 tahun Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal n % n % Total n % 33 1,7 1947 98,3 1980 100 46 0,9 5112 99,1 5158 100 P Value 0,007 Berdasarkan Tabel 5.16 diketahui bahwa dari 1.980 ibu yang berusia <20 tahun dan >35 tahun terdapat 33 kematian neonatal (1,.7%), sedangkan dari 5.158 ibu yang berusia 20-35 tahun terdapat 46 kematian neonatal (0,9%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,007 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% terdapat hubungan antara umur ibu dengan kematian neonatal. 5.17 Hubungan Jenis Kelamin Bayi dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.17 berikut ini: Tabel 5.17 Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin Bayi dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Jenis Kelamin Bayi Laki-laki Perempuan Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal n % n % 45 1,2 3680 98,8 34 1,0 3379 99,0 Total n 3725 3413 % 100 100 P Value 0,458 101 Berdasarkan Tabel 5.17 diketahui bahwa dari 3.725 ibu dengan bayi berjenis kelamin laki-laki terdapat 45 kematian neonatal (1,2%), sedangkan dari 3.413 ibu dengan bayi berjenis kelamin perempuan terdapat 34 kematian neonatal (1,0%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,458 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal. 5.18 Hubungan Paritas dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara paritas dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.18 berikut ini: Tabel 5.18 Analisis Hubungan antara Paritas dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Kematian Neonatal Paritas Meninggal Tidak meninggal n % n % ≥4 23 1,7 1342 98,3 1-3 56 1,0 5717 99,0 Total n 1365 5773 % 100 100 P Value 0,033 Berdasarkan Tabel 5.18 diketahui bahwa dari 1.365 ibu yang memiliki paritas lebih dari empat terdapat 23 kematian neonatal (1,7%), sedangkan dari 5.773 ibu yang memiliki paritas 1-3 terdapat 56 kematian neonatal (1,0%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,033 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% terdapat hubungan antara paritas dengan kematian neonatal. 102 5.19 Hubungan Kunjungan Antenatal dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.19 berikut ini: Tabel 5.19 Analisis Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Kunjungan Antenatal Tidak ANC ANC Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal n % n % 45 1,7 2643 98,3 34 0,8 4416 99,2 Total n 2688 4416 % 100 100 P Value 0,001 Berdasarkan Tabel 5.19 diketahui bahwa dari 2.688 ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal terdapat 45 kematian neonatal (1,7%), sedangkan dari 4.416 ibu yang melakukan kunjungan antenatal terdapat 34 kematian neonatal (0,8%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,001 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal. 5.20 Hubungan Komplikasi Kehamilan dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.20 berikut ini: Tabel 5.20 Analisis Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Komplikasi Kehamilan Komplikasi Tidak komplikasi Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal n % n % 12 2,8 415 97,2 67 1,0 6644 99,0 Total n 427 6711 % 100 100 P Value 0,002 103 Berdasarkan Tabel 5.20 diketahui bahwa dari 427 ibu yang mengalami komplikasi kehamilan terdapat 12 kematian neonatal (2,8%), sedangkan dari 6.711 ibu yang melakukan kunjungan antenatal terdapat 67 kematian neonatal (1,0%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal. 5.21 Hubungan Penolong Persalinan dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara penolong persalinan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.21 berikut ini: Tabel 5.21 Analisis Hubungan antara Penolong Persalinan dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Penolong Persalinan Non Nakes Nakes Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal n % n % 24 1,3 1887 98,7 55 1,1 5172 98,9 Total n 1911 5227 % 100 100 P Value 0,548 Berdasarkan Tabel 5.21 diketahui bahwa dari 1.911 ibu dengan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan terdapat 24 kematian neonatal (1,3%), sedangkan dari 5.227 ibu dengan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terdapat 55 kematian neonatal (1,1%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,548 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. 104 5.22 Hubungan Persalinan Caesar dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara persalinan caesar dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.22 berikut ini: Tabel 5.22 Analisis Hubungan antara Persalinan Caesar dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Persalinan Caesar Caesar Tidak Caesar Kematian Neonatal Total Meninggal Tidak meninggal n % n % n % 9 1,6 562 98,4 571 100 70 1,1 6497 98,9 6567 100 P Value 0,363 Berdasarkan Tabel 5.22 diketahui bahwa dari 571 ibu yang melakukan persalinan caesar pada persalinannya terdapat 9 kematian neonatal (1,6%), sedangkan dari 6.567 ibu yang tidak melakukan persalinan caesar pada persalinannya terdapat 70 kematian neonatal (1,1%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,363 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar dengan kematian neonatal. 5.23 Hubungan Tempat Persalinan dengan Kematian Neonatal Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.23 berikut ini: 105 Tabel 5.23 Analisis Hubungan antara Tempat Persalinan dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Tempat Persalinan Non Fasyankes Fasyankes Kematian Neonatal Meninggal Tidak meninggal n % n % 45 1,1 4231 98,9 34 1,2 2828 98,8 Total n 4276 2862 % 100 100 P Value 0,674 Berdasarkan Tabel 5.23 diketahui bahwa dari 4.276 ibu dengan persalinan dilakukan bukan di fasilitas pelayanan kesehatan terdapat 45 kematian neonatal (1,1%), sedangkan dari 2.862 ibu dengan persalinan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan terdapat 34 kematian neonatal (1,2%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,674 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara tempat persalinan dengan kematian neonatal. BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia. Keterbatasan pada penelitian ini termasuk merupakan keterbatasan pada SDKI 2012 sebagai sumber data pada penelitian ini. Pertama, pelaporan kematian terbatas pada wanita umur 15-49 tahun yang masih hidup. Oleh karena itu, pelaporan anak yang meninggal dari wanita yang telah meninggal tidak tersampaikan. Sehingga akan menghasilkan bias terhadap estimasi mortalitas neonatal. Estimasi mortalitas akan berbeda dengan kenyataan sesungguhnya di lapangan. Kedua, responden cenderung kurang mengingat kejadian di masa lampau, sehingga kemungkinan terjadi pelaporan tanggal kelahiran dan umur saat meninggal yang berbeda yang bisa menghasilkan angka kematian yang bias. Ketiga, kematian hanya dikumpulkan dari wanita usia 15-49 tahun, sehingga wanita usia 50 tahun tidak dapat melaporkan kelangsungan hidup anaknya pada periode survei yang dimaksud. Keempat, SDKI 2012 tidak meneliti seluruh faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal, 106 107 sehingga variabel pada penelitian terbatas pada variabel yang diteliti SDKI 2012. Kelima, terdapat hingga ribuan data yang missing pada variabel jarak kelahiran, inisiasi menyusu dini, komplikasi persalinan, berat bayi lahir, kelahiran prematur dan kunjungan neonatal pertama sehingga variabel tersebut tidak bisa dianalisis. 6.2 Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Menurut WHO (2006) kematian neonatal adalah kematian yang terjadi selama dua puluh delapan hari pertama kehidupan setelah bayi dilahirkan. Kematian neonatal dibedakan menjadi kematian neonatal dini dan kematian neonatal lanjut. Kematian neonatal dini yaitu kematian saat setelah bayi dilahirkan sampai 7 hari pertama kehidupannya (0-6 hari) sedangkan kematian neonatal lanjut yaitu kematian setelah hari ke tujuh sampai sebelum dua puluh delapan hari (7-27 hari). Pada penelitian ini ditemukan kematian neonatal sebesar 0.8% dari total 7.138 bayi yang dilahirkan selama periode 2008-2012. Walaupun jumlah kematian neonatal pada penelitian ini terlihat sangat kecil, tetapi hasil perhitungan secara keseluruhan kasus kematian neonatal di daerah rural Indonesia pada SDKI 2012 menghasilkan angka kematian neonatal di daerah rural Indonesia sebesar 24 per 1000 KH. Adanya perbedaan yang cukup rumit antara kematian neonatal dini dan lahir mati, sehingga SDKI menyarankan untuk menggabungkannya pada penghitungan angka kematian. Angka kematian neonatal di daerah rural tersebut tetap konstan berdasarkan hasil 108 SDKI pada periode sebelumnya. (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Pada penelitian ini, didapatkan Angka Kematian Neonatal di daerah rural Indonesia sebesar 11,19 per 1000 KH. Angka kematian neonatal di daerah rural pada penelitian ini menunjukkan lebih kecil dari hasil SDKI 2012 sebelumnya dikarenakan pada penelitian ini terdapat ratusan variabel yang tidak dianalisis sehubungan adanya missing data. Oleh karena itu, terdapat beberapa kasus kematian neonatal yang tidak bisa masuk ke dalam penelitian ini. Angka Kematian Neonatal di daerah rural berdasarkan SDKI 2012 menunjukkan kematian lebih tinggi di daerah rural dibandingkan di daerah urban (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Hasil angka kematian neonatal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Bangladesh bahwa risiko kematian neonatal di daerah rural menunjukkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah urban (Chowdhury, dkk., 2013). Perbedaan antara wilayah rural dan urban tersebut menggambarkan adanya perbedaan wilayah yang mengalami perkembangan dan wilayah yang tidak mengalami perkembangan (Yanping, dkk., 2010). Periode neonatal merupakan periode paling kritis untuk perkembangan dan pertumbuhan bayi (Saifudin, dkk., 2009). Bayi pada periode ini sangat mudah terserang penyakit akibat terjadi transisi dari kehidupan didalam kandungan ke kehidupan di luar kandungan (ekstrauterus) yang memerlukan beberapa penyesuaian baik fisiologi maupun biokimia sehingga bayi dapat 109 bertahan hidup. Asfiksia, kelahiran prematur, dan efek persalinan merupakan salah satu penyebab lemahnya adaptasi bayi terhadap lingkungan barunya (Kliegman, dkk., 2011). Penyebab langsung kematian neonatal pada penelitian belum diketahui karena data tidak tersedia pada SDKI 2012. Penelitian-penelitian di daerah rural yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa penyebab langsung kematian neonatal adalah infeksi, berat bayi lahir rendah, meningitis/sepsis, kelahiran prematur, asfiksia dan pneumonia (Hinderaker, dkk., 2003; Baqui, dkk., 2006; Chowdhury, dkk., 2010; Yanping, dkk., 2010; Turnbull, dkk., 2011; Owais, dkk., 2013). Sebanyak 65% kasus kematian neonatal berdasarkan hasil identifikasi terhadap penyedia pelayanan kesehatan sebetulnya dapat dicegah dan 51% kasus dapat dicegah dari faktor pasien itu sendiri. Sebagian besar ibu yang memiliki risiko terhadap kematian neonatal tidak menyadari keberadaan faktor risiko tersebut. Kemudian sebagian besar pasien gagal untuk mencari layanan kesehatan ketika mereka mengetahui tanda bahaya pada kehamilan. Padahal sebetulnya apabila ibu mendapatkan pencegahan terhadap komplikasi dan bayi mendapatkan pengobatan yang adekuat bisa mencegah terjadinya kematian pada neonatal (Hinderaker, dkk., 2003). Penyebab lain kematian yang perlu mendapatkan perhatian serius di daerah rural Indonesia yaitu masih tingginya pengaruh dari unsur budaya. Hasil penelitian kualitatif pada ibu hamil Etnik Ngalum di Distrik Oksibil Provinsi Papua menemukan bahwa terdapat adat dimana pihak perempuan 110 harus membalas mas kawin kepada pihak laki-laki sebesar yang dibayarkan kepada pihak perempuan. Apabila terjadi pelanggaran adat, ibu tidak membayar mas kawin kepada pihak laki-laki, maka akan terdapat korban dari keluarga tersebut. Salah satu kasus yang ditemukan, Ibu Tuti seorang ibu hamil belum bisa membayar mas kawin sampai usia kehamilannya 9 bulan. Pada saat melahirkan, bayi yang dilahirkan berada dalam kondisi sehat namun keesokan harinya ditemukan bayi telah meninggal. Keluarga menyadari betul, bahwa hal itu terjadi karena mereka belum menyelesaikan pembayaran kembali mas kawin. Sehingga mereka harus tunduk pada adat yang telah ada/turun-temurun dari nenek moyang mereka (Kemenkes RI, 2012). Diketahui hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi dengan Angka Kematian Neonatal yang tinggi di Indonesia yaitu sebesar 27 per 1000 KH (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Selain itu, kasus kematian bayi baru lahir yang masih tinggi pada Etnik Ngalum Papua juga disebabkan karena bayi mengalami infeksi pneumonia. Hasil pengamatan menemukan, ternyata pada beberapa keluarga dapur perapian bukan hanya digunakan untuk memasak makanan tetapi juga digunakan untuk menghangatkan badan pada saat malam hari karena suhu yang cukup dingin (19-200C). Namun, perapian tersebut tidak dilengkapi dengan cerobong asap, sehingga asap hasil pembakaran hanya berputar di dalam dapur (Kemenkes RI, 2012). 111 Penurunan Angka Kematian Neonatal sangat penting agar bisa mencapai target MDGs 4 penurunan angka kematian bayi sebesar 23 per 1000 KH pada tahun 2015. Namun penurunan angka kematian bayi menjadi cukup berat mengingat waktu pencapaian target hanya tersisa satu tahun. Sehingga perlu dilakukan upaya-upaya lebih giat lagi dalam melakukan intervensi terhadap penurunan Angka Kematian Bayi. 6.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal pada penelitian ini diuraikan pada bagian-bagian berikut: 6.3.1 Pendidikan Ibu Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU RI No. 20 tahun 2003). Pendidikan dapat mempengaruhi ibu dalam memperoleh, memproses dan memahami informasi. Informasi sangat penting bagi ibu untuk membuat keputusan yang tepat. Selanjutnya ibu dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih percaya diri untuk bertanya mengenai 112 pelayanan kesehatan yang dibutuhkan bagi dirinya (Karlsen, dkk., 2011). Pada penelitian ini, pendidikan ibu dikategorikan menjadi pendidikan rendah dan pendidikan tinggi. Pendidikan rendah terdiri dari SD dan SMP. Ibu yang tidak sekolah tidak termasuk pendidikan rendah karena data tidak ditemukan pada penelitian ini. Sedangkan pendidikan tinggi terdiri dari SMA, diploma, atau perguruan tinggi. Pengkategorian ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya (Singh, dkk., 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah lebih banyak dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi (68,8%). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kematian neonatal. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Wijayanti (2013) namun berbeda dengan hasil penelitian Mahmood, dkk (2002) bahwa pendidikan ibu berpengaruh terhadap penurunan kematian bayi pada daerah rural Pakistan. Pendidikan berhubungan dengan kematian neonatal dimana semakin rendah tingkat pendidikan ibu semakin besar peluang terjadinya kematian pada neonatal (Faisal, 2010). Walaupun secara statistik hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan 113 kematian neonatal, pada penelitian ini ditemukan bahwa jumlah kematian neonatal lebih tinggi pada ibu dengan pendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan hasil Singh, dkk (2013) pada penelitiannya bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu yang sekolah lebih dari 10 tahun, lebih sedikit bayi yang mengalami kematian neonatal (40%) jika dibandingkan ibu yang buta huruf. Ibu dengan pendidikan rendah merupakan kelompok berisiko dimana rendahnya tingkat pendidikan dapat menurunkan kemampuan ibu untuk memahami informasi yang diberikan (Karlsen, dkk., 2011). Hasil penelitian ini juga konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan Andargie, dkk (2013) bahwa kematian bayi lebih tinggi pada kelompok ibu pendidikan rendah (buta huruf). Sehingga ibu dengan pendidikan tinggi merupakan harapan yang bisa memberikan banyak manfaat dan peluang lebih baik untuk menurunkan kemiskinan serta masalah kemiskinan yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Pada penelitian lainnya diketahui ibu yang tidak mengalami pendidikan cenderung lebih banyak tinggal di daerah dengan waktu tempuh lebih dari 1,5 jam ke fasilitas pelayanan kesehatan dibandingkan ibu dengan pendidikan (Okwaraj, dkk., 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa kematian neonatal akan diperparah dengan masalah waktu tempuh ke pelayanan kesehatan pada ibu dengan pendidikan rendah. 114 Penelitian kualitatif lainnya menemukan bahwa pada masyarakat suku Dayak Siang Murung Raya, terdapat remaja yang masih duduk di bangku sekolah yang sudah menikah bahkan remaja yang belum mengalami menstruasi. Hal tersebut terjadi karena diketahui sebagian besar pendidikan masyarakat setempat yang masih rendah (Kemenkes RI, 2012). Hal ini juga ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat suku Gorontalo Desa Imbodu berpendidikan rendah. Selain itu, informasi yang didapatkan secara informal juga jarang ditemukan di mendapatkan daerah perdesaan. pengetahuan Sebagian kesehatan besar masyarakat berdasarkan penuturan- penuturan orang tua. Para orang tua memiliki pengalaman diobati oleh dukun saat mereka sakit. Selain itu, para remaja sungkan untuk bertanya mengenai masalah kesehatan reproduksi kepada orangtuanya. Biasanya para remaja tersebut mendapatkan informasi dari temantemannya (Kemenkes RI, 2012). Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian informasi tentang kesehatan ibu dan anak perlu lebih ditingkatkan pada kelompok ibu dengan tingkat pendidikan rendah. Peningkatan pemberian informasi juga harus didukung oleh ketersediaan akses yang memadai terhadap informasi tersebut. 115 6.3.2 Pekerjaan Ibu Ibu yang melakukan pekerjaan pada saat hamil memiliki kemungkinan terkena pajanan zat fetotoksik, ketegangan fisik berlebihan, kelelahan serta kesulitan yang berhubungan dengan keseimbangan tubuh. Kondisi lain, seperti ibu sering berdiri di suatu tempat dalam jangka waktu lama juga bisa berisiko terhadap varises vena, flebitis dan edema yang bisa membahayakan ibu (Ladewig, dkk., 2006). Pada penelitian ini, status pekerjaan ibu dibedakan menjadi bekerja dan tidak bekerja. Ibu dikatakan bekerja apabila ibu berprofesi sebagai tenaga ahli/teknisi, pemimpin, pejabat, industri, jasa, pertanian dan tenaga produksi. Sedangkan ibu dikatakan tidak bekerja apabila ibu mengatakan tidak memiliki profesi-profesi tertentu. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah ibu yang bekerja lebih banyak dibandingkan ibu yang tidak bekerja (54,7%). Ibu lebih banyak bekerja pada bidang pertanian (19,5%), tenaga usaha jasa dan penjualan (14%), dan pekerja industri (12,1%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status pekerjaan dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya oleh Titaley, dkk (2008) bahwa status ibu bekerja memiliki hubungan dengan kematian pada neonatal. Penelitian lainnya yang dilakukan Faisal (2010) juga menunjukkan bahwa ibu yang 116 bekerja mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi 1,52 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Penelitian lainnya di wilayah rural India menunjukkan terjadi penurunan risiko kematian neonatal sebesar 10% pada neonatus yang dilahirkan dari ibu yang tidak bekerja dibandingkan neonatus yang dilahirkan dari ibu yang bekerja (Singh, dkk., 2013). Penelitian di daerah rural Etiopia juga menunjukkan bahwa kematian bayi lebih tinggi terjadi pada ibu yang bekerja yang merupakan usaha miliki sendiri. Bayi dari ibu tersebut memiliki risiko 5,4 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan bayi dari ibu pada kelompok lainnya (petani, IRT) (Andargie, dkk., 2013). Penelitian di daerah rural India juga menemukan bahwa anak dari ibu yang tidak bekerja (tinggal di rumah) memiliki risiko lebih rendah untuk meninggal selama periode neonatal dibandingkan anak dari ibu yang bekerja (Singh, dkk., 2013). Pada penelitian ini menunjukkan ibu sebagian besar bekerja sebagai petani. Hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI, di salah satu daerah rural Indonesia, Desa Jrangoan (Suku Madura) Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Jawa Timur, menemukan bahwa remaja putri telah menikah umumnya pada usia 17 tahun. Remaja putri tersebut yang kemudian menjadi 117 nyonya-nyonya kecil harus bisa membantu suami mengurus ladang yang merupakan tempat mereka mencari nafkah. Ibu hamil tetap bekerja ke sawah walaupun dalam kondisi hamil karena ingin membantu suaminya mencari nafkah untuk keluarga. Kegiatan bertani yang dilakukan oleh ibu hamil tersebut adalah menanam berbagai jenis tanaman seperti padi, kacang-kacangan, singkong, ketela, cabai, bawang dan tembakau (Kemenkes RI, 2012). Ibu-ibu muda tersebut akan istirahat hanya saat menjelang persalinan. Setelah melahirkan, ibu juga hanya diminta untuk duduk sementara pekerjaan lain yang biasanya dikerjakan seperti memasak, mencuci pakaian dan membersihkan rumah dilakukan oleh sang suami. Namun, hal ini terjadi jika sang suami tidak pergi ke luar kota untuk bekerja. Bagi ibu yang suaminya bekerja di luar kota, ibu tetap harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti biasa. Selain itu, mereka akan mulai bekerja setelah 35 hari dari persalinan dengan alasan masa nifas telah selesai dan sudah mampu bekerja di ladang. Pekerjaan di ladang yang dilakukan masyarakat suku madura ini memang biasanya dilakukan oleh perempuan/ibu (Kemenkes RI, 2012). Kebiasaan ibu tetap bekerja juga ditemukan di Etnik Manggarai Desa Waicodi Kecamatan Cibal Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur, ibu hamil usia muda maupun usia kehamilan tujuh bulan masih selalu bekerja membantu suaminya di ladang. Pada saat 118 menjelang persalinan, ibu juga dianjurkan untuk turut bekerja di kebun agar janin dalam kandungan tidak diganggu roh jahat (Kemenkes RI, 2012). Penelitian kualitatif lainnya pada masyarakat Etnik Ngalum Distrik Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua menemukan bahwa kebiasaan ibu saat hamil pada etnik ini yaitu dari mulai menyiapkan sarapan untuk keluarga, memetik hasil kebun dan kemudian menjualnya ke pasar, dimana jarak rumah ke pasar cukup jauh. Ibu hamil dan ibu-ibu lainnya kemudian menggunakan hasil penjualan dagangannya untuk membeli keperluan keluarga yang telah habis. Selanjutnya ibu menyiapkan makanan siang untuk keluarganya dan setelah semua selesai ibu melakukan pekerjaan lain, mencuci pakaian, mencuci piring, mengangkat air dan bahkan kembali lagi ke kebun mengangkat kayu bakar untuk memasak di rumah. Kebiasaankebiasaan melakukan pekerjaan berat ini berlaku bagi seluruh ibu di Etnik Ngalum baik ibu tidak hamil maupun tidak hamil (Kemenkes RI, 2012). Kebiasaan bekerja pada ibu hamil juga ditemukan pada Etnik Dayak Siang Murung di Kalimantan Tengah, ibu hamil tetap memilih bekerja walaupun keluarga dan suami menganjurkan tidak bekerja. Ibu hamil tetap melakukan mantat (menyadap karet) sebagai mata pencaharian mereka bersama suaminya di ladang (Kemenkes RI, 119 2012). Kebiasaan tetap bekerja juga ditemukan pada ibu hamil Etnik Alifuru di Provinsi Maluku, ibu tidak pernah berhenti melakukan kegiatan yang harus dilakukannya sehari-hari walaupun usia kehamilannya sekitar enam bulan. Ibu tetap pergi ke hutan, mencari air, serta mengurus rumah dan anak-anak seperti biasanya. Ibu menganggap bahwa kehamilan tidak boleh menghalanginya dari tugas dan kewajiban sehari-hari (Kemenkes RI, 2012). Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian ini dianjurkan agar ibu hamil di daerah rural Indonesia menghindari pekerjaan yang terlalu berat seperti melakukan pekerjaan tanpa jeda dari mulai pagi sampai sore hari terutama pekerjaan berat seperti mengambil kayu di hutan, menyadap getah karet dan membawa air dari hutan. Hal ini bisa menyebabkan ibu hamil mengalami ketegangan atau kelelahan yang bisa membahayakan kondisi kesehatannya serta janin yang dikandungnya. Seperti diketahui hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang bekerja berhubungan dengan kejadian kematian neonatal di daerah rural Indonesia. 6.3.3 Indeks Kekayaan Rumah Tangga Indeks kekayaan rumah tangga pada SDKI 2012 dihitung berdasarkan kepemilikan rumah tangga terhadap sejumlah aset yang digunakan di rumah tangga seperti fasilitas sanitasi, sumber air minum, barang tahan lama, bahan lantai rumah dan lain lain. Berdasarkan 120 keterangan kepemilikan atas sejumlah aset tersebut kemudian dihitung menggunakan prinsip analisis komponen untuk mendapatkan skor indeks kekayaan. Skor indeks kekayaan dibagi kedalam lima kuintil kekayaan dari mulai skor indeks kekayaan terendah sampai tertinggi yang terdiri dari 20% penduduk pada setiap kuintil. Lima kuintil tersebut yaitu kuintil terendah, kedua, menengah, keempat dan tertinggi. Hasil dari kepemilikan rumah tangga atas barang-barang tertentu yang dibedakan kedalam lima kuintil tersebut digunakan untuk mengukur status sosial ekonomi keluarga (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Pada penelitian ini, indeks kekayaan rumah tangga dibedakan menjadi tiga kategori yaitu rendah, menengah dan tinggi. Kategori rendah terdiri dari kuintil terendah dan kuintil kedua, kategori menengah terdiri dari kuintil menengah serta ketegori tinggi terdiri dari kuintil keempat dan kuintil tertinggi. Pengelompokan ini dilakukan karena jumlah kematian neonatal pada kuintil ke-2 dan ke-4 sangat kecil. Hal ini juga dilakukan pada penelitian sebelumnya Bashir, dkk (2013) dimana kategori dibedakan menjadi rendah, menengah dan tinggi karena jumlah kematian neonatal pada kuintil ke2 dan ke-4 sangat kecil. Ibu dan anak yang berasal dari keluarga miskin memiliki risiko meningkat terhadap kematian neonatal karena memiliki tantangan 121 untuk mengakses pelayanan tepat waktu dibandingkan keluarga yang lebih kaya (Lawn, dkk., 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan ibu yang memiliki indeks kekayaan rumah tangga rendah lebih banyak dibandingkan ibu dengan indeks kekayaan menengah dan tinggi (66,6%). Analisis statistik yang dilakukan pada penelitian ini menemukan tidak terdapat hubungan antara indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Bashir, dkk (2013) bahwa indeks kekayaan rumah tangga memiliki hubungan dengan kejadian kematian neonatal. Pada penelitian Manzar, dkk (2012) dan Gizaw, dkk (2014) juga menemukan bahwa neonatus yang berasal dari ibu dengan status sosial ekonomi dibawah rata-rata lebih rentan mengalami kematian pada periode neonatal. Pada penelitian ini, jumlah ibu dengan indeks kekayaan rumah tangga rendah lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Penelitian kualitatif di salah satu daerah rural Indonesia juga menunjukkan bahwa proporsi masyarakat kelompok miskin pada masyarakat Suku Mamasa masih cukup besar (27,5%) (Kemenkes RI, 2012). Namun, pada penelitian ini proporsi kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok lainnya. Kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok indeks kekayaan rumah tangga menengah dan tinggi. Hasil ini tidak konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan di daerah rural Nepal bahwa 122 terjadi pengaruh faktor sosial-ekonomi yang lebih besar dibandingkan pengaruh faktor biologi terhadap kelangsungan hidup bayi pada ibu dengan usia muda (Sharma, dkk., 2009). Sehingga kemungkinan penyebab kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok indeks kekayaan menengah dan tinggi karena kelompok ibu usia berisiko lebih tinggi pada kelompok ini. Namun, pada penelitian ini ditemukan bahwa ibu dengan usia berisiko, lebih tinggi pada kelompok indeks kekayaan rendah. Kemungkinan faktor lainnya berkontribusi terhadap hasil penelitian ini seperti status pekerjaan ibu dan persalinan caesar. Pada penelitian ini diketahui status ibu bekerja lebih tinggi pada kelompok ibu dengan indeks kekayaan rendah dibandingkan kelompok lainnya. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Singh, dkk (2013) di daerah rural India bahwa pada ibu yang bekerja menunjukkan ibu memiliki tingkat ekonomi lebih rendah. Kemungkinan penyebab lainnya adalah tingginya persalinan caesar, namun ternyata persalinan caesar menunjukkan lebih tinggi pada ibu dengan indeks kekayaan rumah tangga rendah. Penyebab lain tingginya kematian pada kedua kelompok tersebut yaitu jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan. Namun, menurut Okwaraj, dkk (2012) efek dari jarak terhadap fasilitas layanan kesehatan lebih berpengaruh di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi dimana mereka tidak memiliki biaya untuk membayar 123 transportasi ke fasilitas layanan kesehatan dibandingkan keluarga yang kaya. Pada penelitian ini diketahui kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok ibu dengan indeks kekayaan rumah tangga menengah dan tinggi. Sehingga, masalah biaya untuk transportasi kemungkinan tidak menjadi kendala bagi kedua kelompok ini. Sehingga perlu adanya penelitian untuk mengetahui faktor apa yang berpengaruh terhadap tingginya angka kematian neonatal pada kelompok indeks kekayaan menengah dan atas. 6.3.4 Umur Ibu Pada umur dibawah 20 tahun, rahim dan panggul sering kali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya, ibu hamil pada usia itu mungkin mengalami persalinan lama/macet atau gangguan lainnya karena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggungjawabnya sebagai orang tua. Ibu dianjurkan hamil pada usia antara 20-35 tahun. Pada usia ini ibu lebih siap hamil secara jasmani dan kejiwaan. Pada umur 35 tahun atau lebih, kesehatan ibu sudah menurun, akibatnya ibu hamil pada usia itu mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak cacat, persalinan lama dan perdarahan (Kemenkes RI, 2011). Pada penelitian ini, ibu dikategorikan kedalam kelompok ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dan kelompok ibu usia 20-35 tahun. Pengelompokkan ini didasarkan pada hasil penelitian 124 sebelumnya yang dilakukan oleh Wijayanti (2013). Penelitian ini menunjukkan, ibu yang memiliki umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun yaitu sebesar 27,7%. Hasil uji statistik umur ibu dengan kematian neonatal diketahui terdapat hubungan antara umur ibu dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Yego, dkk (2013) bahwa sebagian besar kematian neonatal terjadi pada ibu usia muda. Umur ibu memiliki pengaruh terhadap kematian neonatal, dimana semakin muda dan semakin tua umur ibu, maka semakin tinggi juga kematian pada neonatal (Mekonnen, dkk., 2013; Bashir, dkk., 2013; Markovitz, dkk., 2005). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Penelitian oleh Sharma, dkk (2009) juga menemukan bahwa kejadian yang merugikan bayi baru lahir lebih tinggi pada kelompok ibu usia 12-15 dibandingkan ibu usia 20-24. Sekitar 51% bayi mengalami BBLR, 24% lahir prematur dan 73,5% usia kehamilan kecil. Bayi yang dilahirkan dari ibu usia 12-15 tahun memiliki risiko 2,24 kali lebih tinggi terhadap kematian neonatal dibandingkan bayi yang dilahirkan dari ibu usia 20-24 tahun. Penelitian lainnya berbasis rumah sakit di Nepal menemukan bahwa kejadian BBLR, komplikasi pada neonatal dan komplikasi pada ibu, lebih tinggi ditemukan pada ibu usia 15-19 tahun dibandingkan 125 ibu usia 20-24 tahun (Pun & Chauhan, 2011). Hasil ini juga didukung oleh Chen, dkk (2007) bahwa kehamilan yang terjadi pada remaja berhubungan dengan kejadian peningkatan risiko kematian pada neonatal. Hasil penelitian kualitatif di salah satu daerah rural Indonesia, yaitu pada masyarakat Etnik Madura Jawa Timur, menemukan bahwa umumnya remaja putri di daerah tersebut menikah sebelum menyelesaikan pendidikan pesantren, yaitu sekitar usia 17 tahun (Kemenkes RI, 2012). Penelitian kualitatif lainnya pada Etnik Nias, Sumatera Utara juga menemukan bahwa masyarakat di Desa Hilifadölö secara umum mentaati peraturan mengenai usia boleh menikah yaitu minimal 18 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Selain itu, masih ditemukan beberapa pasangan yang menikah sebelum umur tersebut. Sebagian besar pasangan yang menikah sebelum umur yang telah ditetapkan adalah pasangan yang menikah di luar Pulau Nias (Kemenkes RI, 2012). Bahkan hasil penelitian lainnya menemukan bahwa usia perkawinan yang dianjurkan pada masyarakat Etnik Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat yaitu minimal 16 tahun untuk perempuan dan minimal 18 tahun untuk laki-laki (Kemenkes RI, 2012). Pada masyarakat Etnik Ngalum, Provinsi Papua, juga diketahui bahwa batasan usia boleh melakukan pernikahan di Daerah 126 Pegunungan Bintang adalah 18 tahun. Secara umum masyarakat yang benar-benar memegang norma adat mematuhi aturan tersebut. Namun, diektahui masih banyak masyarakat yang melanggar aturan tersebut dengan melakukan perkawinan pada usia dini. Kurangnya pengetahuan para remaja Etnik Ngalum mengenai kesehatan reproduksi, sehingga banyak remaja yang hamil pada usia sangat muda yaitu usia 13 tahun (Kemenkes RI, 2012). Remaja tersebut melakukan aktivitas belajar di sekolah dalam keadaan hamil dan pihak guru tidak melarang mereka mengikuti kegiatan belajar karena sudah memahami kondisi murid seperti itu di daerahnya. Bahkan ada remaja yang telah memiliki anak, kemudian menunggunya diluar kelas bersama ibunya. Selain itu, para remaja tersebut cenderung tidak mengingat waktu terakhir mengalami haid, sehingga mereka tidak mengetahui berapa umur kandungannya. Kasus kehamilan tidak hanya ditemukan pada anak dan remaja tetapi juga terjadi pada ibu usia lebih dari 45 tahun. Padahal kehamilan pada usia tersebut sangat berisiko terhadap terjadinya komplikasi kehamilan. Apalagi diketahui kasus anemia pada ibu hamil di Suku Ngalum merupakan kasus yang paling tinggi di Papua (Kemenkes RI, 2012). Sehingga berdasarkan hasil pada penelitian ini, maka perlu adanya peningkatan pengetahuan mengenai kesehatan ibu dan anak bagi kelompok ibu usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. 127 Peningkatan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut harus ditingkatkan lebih serius di daerah rural Indonesia baik melalui layanan antenatal di fasilitas layanan kesehatan maupun kegiatan yang telah ada di masyarakat. 6.3.5 Jenis Kelamin Bayi Jenis kelamin merupakan karakteristik fisik seseorang sebagai laki-laki atau perempuan (Andrews, 2009). Bayi laki-laki cenderung lebih rentan terhadap penyakit jika dibandingkan dengan bayi perempuan. Secara biologis, bayi perempuan mempunyai fungsi fisiologi tubuh lebih baik jika dibandingkan dengan bayi laki-laki (Wells, 2000). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa bayi berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan bayi berjenis kelamin perempuan (52,2%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Titaley (2008) dan Pertiwi (2010) yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal. Bayi berjenis kelamin laki-laki memiliki risiko 1,49 kali lebih besar terhadap kematian neonatal dibandingkan bayi perempuan (Titaley, dkk., 2008). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian- 128 penelitian lainnya yang dilakukan sebelumnya (Dewi, 2010; Faisal, 2010; Wijayanti, 2013). Namun, pada penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kematian neonatal lebih tinggi pada bayi berjenis kelamin laki-laki dibandingkan bayi jenis kelamin perempuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di daerah rural Bangladesh yang menunjukkan bahwa proporsi kematian neonatal lebih tinggi pada bayi jenis kelamin laki-laki (60%) dibandingkan bayi jenis kelamin perempuan (Owais, dkk., 2013). Keuntungan biologis yang dimiliki bayi perempuan kemungkinan menyebabkan bayi perempuan lebih mampu untuk bertahan hidup dibandingkan bayi laki-laki (Wells, 2000). Seleksi alam diprediksi dapat meningkatkan kerentanan bayi laki-laki terhadap kondisi-kondisi seperti penyakit infeksi, luka atau gizi buruk. Fungsi fisiologi bayi laki-laki pada awal kehidupan tidak sebaik fungsi fisiologi pada bayi perempuan. Perbedaan tersebut diasumsikan semakin berkembang dengan munculnya masalah gizi pada anak. Gizi memegang peranan penting sebagai etiologi penyakit yang berkaitan dengan paru-paru pada neonatal. Bayi perempuan lebih terlindungi karena memiliki tingkat kematangan paru-paru lebih baik dibandingkan bayi laki-laki. Adanya interaksi antara penyakit infeksi dengan masalah gizi menyebabkan kondisi yang semakin 129 membayakan bayi laki-laki. Selanjutnya, adanya pengaruh lingkungan pada semua status gizi merupakan faktor yang lebih memperberat kondisi laki-laki terhadap kasus kematian (Wells, 2000). Selain itu, menurut penelitian kualitatif diketahui bahwa anak laki-laki (ono matua) dianggap lebih berharga dibandingkan dengan anak perempuan pada suku Nias. Hal ini disebabkan karena suku Nias menganut sistem patrilinear, yakni garis keturunan yang diikuti adalah dari pihak laki-laki sehingga anak laki-lakilah yang akan meneruskan keturunan/marga (ngaötö/mado) keluarga dan juga mengurus harta atau warisan yang dimiliki keluarga. Selain itu, sebagian besar anak laki-laki yang sudah menikah tinggal bersama dengan orang tua sehingga kelak ketika orang tua sudah tidak bisa bekerja lagi maka anak laki-laki inilah yang akan mengurus orang tuanya. Sehingga para ibu terus hamil sampai akhirnya berhasil mendapatkan anak laki-laki (Kemenkes RI, 2012). 6.3.6 Paritas Menurut Kamus Saku Mosby, paritas merupakan klasifikasi perempuan berdasarkan jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati yang dilahirkannya pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada saat hamil, rahim ibu teregang karena adanya janin. Apabila terlalu sering melahirkan, rahim ibu akan semakin lemah. Jika ibu telah melahirkan 130 3 anak atau lebih, perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan, persalinan dan nifas (Kemenkes RI, 2011). Pada penelitian ini, paritas dibedakan menjadi kelompok paritas 1-3 dan paritas lebih dari 3. Pengkategorian ini didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya (Titaley, dkk., 2008) yang membagi paritas kedalam dua kelompok. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang telah melahirkan lebih dari tiga anak sebesar 19,1%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara paritas dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Titaley, dkk (2008) bahwa paritas lebih dari tiga memiliki hubungan dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Wijayanti (2013) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kematian neonatal. Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi pada ibu dengan paritas lebih dari tiga. Hasil ini konsisten dengan penelitian Titaley (2008) di Indonesia yang menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi terjadi pada bayi dengan urutan kelahiran lebih dari empat dengan jarak kelahiran kurang atau sama dengan dua tahun. Bayi dengan urutan kelahiran lebih dari tiga merupakan faktor risiko potensial terhadap kematian neonatal (Chaman, dkk., 2009). Tingginya paritas berkaitan dengan 131 semakin melemahnya rahim ibu akibat terjadinya peregangan rahim karena keberadaan janin (Kemenkes RI, 2011). Hasil peneilitian Faisal (2010) juga menunjukkan bahwa ibu yang telah melahirkan lebih dari tiga anak mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 1,66 kali dibandingkan ibu yang telah melahirkan 1-3 anak. Pada penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kematian neonatal semakin meningkat pada ibu dengan paritas lebih dari tiga (Kozuki, dkk., 2013). Kozuki, dkk (2013) juga menemukan bahwa kelahiran pertama (nulipara) menunjukkan risiko kematian neonatal yang lebih tinggi. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa ibu dengan kelahiran pertama memiliki risiko yang meningkat terhadap hipertensi, BBLR dan persalinan caesar. Ibu dengan paritas tinggi namun tidak memiliki riwayat komplikasi sebelumnya memiliki risiko yang rendah terhadap terjadinya komplikasi (Majoko, dkk., 2004). Pada penelitian ini, peneliti memasukan paritas satu kedalam kelompok tidak berisiko berdasarkan pertimbangan terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara paritas satu dengan kematian neonatal (Rahmawati, 2007; Nugraheni, 2013). Selain itu, penelitian lainnya menunjukkan ada hubungan antara paritas lebih dari tiga dengan kematian neonatal (Faisal, 2010). Penelitian yang 132 dilakukan di daerah rural Iran juga menunjukkan paritas lebih dari tiga memiliki hubungan dengan kejadian kematian pada neonatal (Chaman, dkk., 2009). Hasil penelitian kualitatif pada Suku Ngalum Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang hamil pada usia lebih dari 45 tahun memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang berdekatan. Namun, dengan jumlah anak yang banyak dan tingkat anemia tinggi/gizi kurang sehingga banyak ditemukan kasus retensio plasenta (plasenta tertahan di dalam rahim tidak keluar bersama bayi). Sehingga, ditemukan tingkat kematian ibu yang sangat tinggi pada Suku Ngalum (Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian kualitatif lainnya menunjukkan bahwa nilai anak bagi orang Toraja Sa’dan sangat penting. Memiliki banyak anak masih menjadi pandangan utama bagi sebagian besar penduduk Sa’dan. Program Keluarga Berencana (KB) dari pemerintah yang mengarahkan dua anak lebih baik tidak berlaku bagi orang Toraja Sa’dan. Istilah KB bagi orang Toraja Sa’dan diubah menjadi “keluarga besar”, untuk menunjukkan banyaknya jumlah anak yang mereka miliki. Bahkan seorang yang terpandang di Toraja menceritakan bahwa dua bukan dua orang, namun dua pasang (empat orang) untuk menunjukkan anak yang beliau miliki. Ketiadaan seorang anak bagi orang Toraja Sa’dan merupakan hal yang masiri’ (malu) dalam 133 keluarga, dianggap lemah, dan dikasihani oleh keluarga luas. Bahkan, sekalipun sudah memiliki anak, tetapi baru satu, keluarga tersebut masih dianggap belum lengkap (Kemenkes RI, 2012). Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang bisa dilakukan untuk mengontrol jumlah kelahiran adalah penggunaan metode kontrasepsi. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh, menunjukkan bahwa penggunaan metode kontrasespi berhubungan dengan kejadian kematian neonatal. Pada ibu yang pernah menggunakan metode kontrasepsi sekitar 39% lebih rendah terhadap kematian neonatal dibandingkan ibu yang tidak pernah menggunakan metode kontrasepsi (Chowdhury, dkk, 2013). Pemakaian metode kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate) di Indonesia menurut hasil SDKI 2012 diketahui tidak ada perbedaan antara daerah perdesaan dengan daerah perkotaan yaitu sebesar 62%. Pemakaian kontrasepsi ini mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebelumnya yaitu sebesar 61%. Pemakaian metode kontrasepsi modern juga mengalami peningkatan dari 57% menjadi 58% (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Namun, angka ini masih cukup jauh dari target MDGs 5 untuk meningkatkan pemakaian metode kontrasepsi modern sebesar 65% pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2014). 134 Diantara metode KB modern, metode KB yang paling banyak digunakan wanita berstatus kawin adalah suntikan dan pil (masingmasing 32 dan 14%). Peserta KB suntikan mengalami peningkatan dari 12% tahun 1991 menjadi 32% tahun 2012. Sedangkan peserta KB IUD mengalami penurunan dari 13% tahun 1991 menjadi 4% tahun 2012. Wanita di daerah perdesaan cenderung lebih banyak menggunakan metode suntik dibanding daerah perkotaan (masingmasing sebesar 28% dan 35%) sedangkan metode IUD, MOW/sterilisasi wanita dan kondom lebih banyak di gunakan di daerah perkotaan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Adapun total tingkat kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmetneed) wanita berstatus kawin 15-49 tahun pada SDKI 2012 sebesar 11% (7% untuk membatasi kelahiran dan 4% untuk menjarangkan kelahiran). Walaupun unmetneed ini telah turun dari 13% pada SDKI 2007 menjadi 11% pada SDKI 2012 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013), namun angka ini masih belum mencapai target MDGs 5 untuk menurunkan unmetneed menjadi 5% pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2014). Hasil penelitian kualitatif di daerah Kalimantan Tengah menemukan bahwa ibu hamil Suku Dayak Siang Murung terpaksa tidak melakukan KB karena alat di fasilitas kesehatan tidak tersedia (Kemenkes RI, 2012). Pada masyarakat suku lainnya diketahui bahwa 135 ibu sudah mengetahui tentang manfaat KB, namun ibu tetap ingin memiliki anak lebih dari dua. Falsafah hidup Banyak Anak Banyak Rezeki masih diyakini beberapa warga hingga saat ini (Kemenkes RI, 2012). Sehingga upaya penurunan angka kematian neonatal dengan mengunakan strategi peningkatan pemakaian metode kontrasepsi perlu dilakukan. Startegi pemakaian metode kontrasepsi selain memperhatikan aspek kelengkapan fasilitas yang dibutuhkan juga memperhatikan aspek budaya/adat masyarakat setempat. 6.3.7 Kunjungan Antenatal Kunjungan antenatal merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan ibu hamil selama masa kehamilannya minimal empat kali yaitu minimal satu kali pada trimester pertama (0-12 minggu), minimal satu kali pada trimester ke-2 (≥12-24 minggu) dan minimal 2 kali pada trimester ke-3 (≥24 minggu sampai kelahiran) (Kemenkes RI, 2012). Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum bayi dilahirkan melalui pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil. Manajemen yang baik yang diperoleh bayi saat masih dalam kandungan akan menghasilkan bayi yang sehat (Saifudin, dkk., 2009). Pada penelitian ini, kunjungan antenatal dikategorikan menjadi melakukan kunjungan antenatal dan tidak melakukan kunjungan antenatal. Ibu dikategorikan melakukan kunjungan antenatal apabila 136 ibu melakukan kunjungan minimal satu kali pada trimester pertama, minimal satu kali pada trimester kedua dan minimal dua kali pada trimester ketiga. Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan kriteria kunjungan antenatal yang di rekomendasikan di Indonesia (Kemenkes RI, 2012). Selain itu, pengkategorian ini juga didasarkan pada hasil penelitian-penelitian sebelumnya (Yani & Duarsa, 2013; Singh, dkk., 2014). Pada penelitian ini diketahui bahwa tiga provinsi paling tinggi yang telah melakukan kunjungan antenatal sesuai dengan rekomendasi Kemenkes RI (1-1-2) di daerah rural Indonesia yaitu Provinsi DIY (87,2%), Provinsi Bali (84%) dan Provinsi Jawa Tengah (82,6%). Adapun tiga provinsi dengan jumlah kunjungan antenatal paling rendah yaitu Provinsi Papua (31,7%), Provinsi Sulawesi Barat (33,8%) dan Provinsi Gorontalo (43,4%). Angka cakupan tertinggi kunjungan antenatal pada penelitian ini masih belum mencapai target rencana strategis Kementerian Kesehatan RI yaitu sebesar 93% untuk target kunjungan antenatal K4. Pada penelitian ini, ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal selama kehamilannya adalah sebesar 37,7%. Hasil uji statistik didapatkan bahwa terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Singh, dkk (2014) bahwa terdapat 137 hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal. Penelitian lainnya menemukan bahwa ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal memiliki risiko mengalami kematian neonatal lebih tinggi dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan antenatal (Faisal, 2010; Yani & Duarsa, 2013). Namun, hasil ini tidak sesuai dengan hasil pada penelitian-penelitian lainnya di Indonesia (Pertiwi, 2010; Nugraheni, 2013; Wijayanti, 2013). Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan antenatal. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menerima pemeriksaan kesehatan selama kehamilan di daerah rural menunjukkan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk bertahan selama periode neonatal (Mahmood, 2002). Kondisi janin salah satunya dipengaruhi oleh adanya komplikasi kehamilan, biasanya merupakan masalah yang sering terjadi selama kehamilan. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya perdarahan, pre-eklampsia dan eklampsia. Eklampsia biasanya terjadi didahului pre-eklampsia, sehingga pemeriksaan antenatal yang rutin dan teliti merupakan salah satu upaya untuk mencegah eklampsia yang bisa membahayakan kondisi ibu dan janin yang dikandungnya (Wiknjosastro, dkk., 2002). Ibu yang melakukan kunjungan ke fasilitas 138 kesehatan selama kehamilannya akan menerima pemeriksaan dan pengidentifikasian kondisi-kondisi yang berkaitan dengan komplikasi serta edukasi mengenai tanda bahaya, potensi komplikasi dan tempat untuk mencari pertolongan (Mahmood, 2002). Penelitian lainnya oleh Hinderaker, dkk (2003) di wilayah rural Tanzania menegaskan bahwa sekitar 62% kasus kematian neonatal sebetulnya dapat dicegah melalui kegiatan layanan antenatal di fasilitas layanan kesehatan. Penyedia layanan kesehatan bertanggungjawab terhadap lebih dari setengah dari faktor-faktor terhadap kematian neonatal yang dapat dicegah, baik dari faktor kegagalan klinik antenatal untuk merujuk ke fasilitas layanan kesehatan yang lebih tinggi maupun kelalaian yang terjadi di tingkat rumah sakit itu sendiri. Hal ini mengindikasikan adanya potensi untuk melakukan peningkatan layanan antenatal dan konsultasi rutin termasuk layanan kehamilan di rumah sakit. Pada penelitian Hinderaker, dkk (2003) juga ditemukan lebih dari sepertiga kasus kematian neonatal tidak memiliki faktor risiko dan kemungkinan tidak teridentifikasi pada layanan antenatal rutin. Hal ini menjadi lebih membahayakan bagi ibu yang tidak menyadari adanya faktor risiko pada dirinya. Sehingga ditegaskan bahwa setiap ibu hamil merupakan kelompok yang berisiko. Pelayanan antenatal seharusnya dapat berperan dalam melakukan skrining dan merujuk ibu hamil 139 dengan risiko atau komplikasi ke fasilitas pelayanan yang lebih tinggi. Pelayanan antenatal harus fokus untuk mempersiapkan ibu untuk persalinannya dan mengedukasi suaminya sehingga telah siap ketika terjadi komplikasi yang tak terduga. Komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dan ibu hamil pada saat layanan antenatal perlu ditekankan, harus dipastikan pesan yang disampaikan dimengerti oleh ibu hamil maupun suaminya. Kunjungan antenatal yang terlambat kemungkinan menghambat ibu untuk mendapatkan manfaat sepenuhnya dari strategi pencegahan pada layanan antenatal misalnya suplementasi zat besi, asam folat, pengobatan untuk infeksi cacing dan pengobatan untuk pencegahan malaria pada kehamilan (Eijk, dkk., 2006). Adapun, hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 63,7% dari ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal pada trimester pertama melakukan kunjungan antenatal pada trimester ketiga. Sehingga, kemungkinan hal ini menyebabkan ibu tidak menerima seluruh manfaat layanan antenatal, dimana salah satunya dilakukan upaya deteksi dini terhadap adanya komplikasi kehamilan maupun persalinan. Perilaku penggunaan layanan antenatal dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hasil penelitian di daerah rural Kenya menunjukkan bahwa ibu dengan status pernah mendapatkan pendidikan selama lebih 140 dari 8 tahun dan merupakan kelompok dengan tingkat sosial ekonomi tinggi merupakan faktor paling berpengaruh terhadap kunjungan antenatal. Walaupun terkadang persepsi mahalnya biaya yang diperlukan untuk melakukan kunjungan antenatal dapat menghalangi ibu untuk melakukan kunjungan. Biaya untuk transportasi, jarak ke fasilitas layanan antenatal yang jauh bisa menjadi hambatan bagi ibu untuk melakukan kunjungan antenatal begitu juga persepsi rendahnya kualitas layanan antenatal menjadi salah satu hambatan ibu melakukan kunjungan (Eijk, dkk. 2006). Penelitian yang dilakukan Titaley, dkk (2010) di Indonesia menemukan bahwa yang berhubugan sangat kuat dengan rendahnya kunjungan antenatal yaitu bayi dari ibu yang tinggal di daerah rural, memiliki tingkat indeks kekayaan rumah tangga rendah, berasal dari ibu dengan berpendidikan rendah, jumlah kelahiran tinggi dan jarak kelahiran kurang dari 2 tahun. Penelitian kualitatif yang dilakukan di beberapa daerah rural Indonesia menemukan bahwa ibu hamil suku Alifuru di Provinsi Maluku baru akan memeriksakan kehamilannya saat terlihat perubahan yang nyata pada tubuh ibu (terlihat jelas ibu hamil). Kunjungan saat terakhir menstruasi (K1) dan kunjungan pada trimester kedua relatif kecil (Kemenkes RI, 2012). Penelitian kualitatif lainnya menemukan bahwa alasan ibu Etnik Dayak Siang Murung di Kalimantan Tengah tidak melakukan 141 pemeriksaan kehamilan yaitu karena Puskesmas Pembantu yang ada di desa tidak menyediakan fasilitas kesehatan yang lengkap seperti obatobatan, wilayah puskesmas pembantu cukup sulit dijangkau oleh masyarakat di RT lain dan tenaga kesehatan yang ditugaskan sering tidak berada di tempat sehingga membuat masyarakat kesulitan saat membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat memilih langsung melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit yang ada di Kabupaten. Rumah sakit berada sangat jauh dari desa dan harus melewati jalan yang cukup sulit terutama apabila terjadi hujan disamping memerlukan biaya yang cukup besar. Sehingga beberapa ibu hamil lainnya memilih tidak memeriksakan kehamilannya dengan alasan petugas kesehatan sering tidak ada di tempat (Kemenkes RI, 2012). Penelitian lainnya pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi Gorontalo menemukan bahwa sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan kepada bidan tidak memakan vitamin yang diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan vitamin rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012). Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini bahwa ada hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia, maka perlu memperhatikan aspek yang mempengaruhi 142 kunjungan antenatal tersebut. Seperti telah dijelaskan berbagai penelitian, beberapa alasan ibu hamil tidak melakukan kunjungan antenatal baik dari segi budaya, kurangnya ketersediaan fasilitas kesehatan maupun kurangnya tenaga kesehatan. Pelayanan antenatal perlu ditingkatkan dengan lebih mengutamakan kelengkapan fasilitas kesehatan, ketersediaan tenaga kesehatan serta tetap menjamin kualitas dari fasilitas dan tenaga kesehatan. 6.3.8 Komplikasi Kehamilan Komplikasi kehamilan yaitu terdiri dari perdarahan, infeksi, pre-eklampsia/eklampsia, persalinan lama/macet dan abortus (McCarthy & Main, 1992). Komplikasi kehamilan merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi selama kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dapat berdampak pada kesehatan ibu, kesehatan bayi ketika dilahirkan, atau pada keduanya (Wiknjosastro, dkk., 2002). Pada penelitian ini, komplikasi kehamilan dikategorikan menjadi komplikasi dan tidak komplikasi. Ibu masuk kedalam kelompok komplikasi jika mengalami minimal satu bentuk komplikasi (mulas sebelum 9 bulan, pendarahan, demam tinggi, kejang-kejang dan pingsan). Sedangkan ibu masuk kedalam kelompok tidak komplikasi jika ibu tidak mengalami satu pun bentuk komplikasi kehamilan. Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Nugraheni, 2013). 143 Pada penelitian ini diketahui ibu yang mengalami komplikasi pada saat kehamilannya yaitu sebesar 6%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan Nugraheni (2013) dan Wijayanti (2013) bahwa ada hubungan antara komplikasi selama kehamilan dengan kejadian kematian neonatal. Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki risiko lebih tinggi terhadap kematian neonatal dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan (Rahmawati, 2007). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi terjadi pada kelompok ibu dengan komplikasi kehamilan. Bayi dari ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki risiko 1,8 kali lebih tinggi terhadap kematian neonatal dibandingkan bayi dari ibu yang tidak mengalami komplikasi selama kehamilannya (Rahmawati, 2007). Penelitian lainnya yang dilakukan di daerah rural Bangladesh juga menunjukkan bahwa ibu yang mengalami pendarahan selama kehamilannya berhubungan kuat dengan adanya peningkatan risiko terhadap kematian neonatal (Owais, dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil Etnik Ngalum Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang hamil tetap mengalami 144 komplikasi walaupun telah melakukan pemeriksaan kehamilan. Ibu tersebut mengalami kehamilan pada usia lebih dari 45 tahun dan memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang berdekatan. Tingkat anemia ibu hamil pada suku ini paling tinggi dibandingkan suku lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan tingginya kejadian retensio plasenta saat melahirkan. Padahal petugas kesehatan telah memberikan tablet penambah darah yang seharusnya diberikan tiga bulan sekali menjadi satu bulan sekali karena sangat tingginya kasus anemia. Namun, petugas kesehatan tidak bisa memastikan apakah obat yang diberikan rutin diminum oleh ibu hamil setiap hari (Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi Gorontalo juga menemukan bahwa sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan tidak meminum vitamin yang diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan karena rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012). Anemia atau kadar Hb <11 g/dl yang salah satunya bisa disebabkan karena defisiensi besi sehingga perlu diberi obat penambah zat besi. Kondisi anemia pada ibu hamil sangat berbahaya bisa menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Perdarahan merupakan penyebab 145 terbanyak kematian pada ibu (Zakariah, dkk., 2009). Berdasarkan hasil review bahwa dampak anemia pada ibu hamil terhadap bayinya bervariasi sesuai tingkat defisiensi Hb yang dialami oleh ibu. Defisiensi Hb <11 gr/dl berhubungan dengan peningkatan kematian pada perinatal. Peningkatan 2-3 kali kematian perinatal pada ibu dengan Hb <8,0 gr/dl dan peningkatan 8-10 kali ketika kadar Hb <5,0 gr/dl. Selain itu, penurunan terhadap berat bayi lahir dan lambatnya pertumbuhan janin terjadi ketika kadar Hb ibu <8,0 gr/dl (Kalaivani, 2009). Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal maka perlu dilakukan peningkatan upaya deteksi dini di tingkat layanan antenatal disertai pemantauan yang ketat terhadap kepatuhan kelompok ibu yang dideteksi mengalami komplikasi kehamilan (anemia, hipertensi, dan lain-lain) terhadap saran yang diberikan oleh petugas kesehatan seperti dianjurkan mengonsumsi tablet penambah darah. 6.3.9 Penolong Persalinan Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (Depkes RI, 2009). Penanganan medis yang tepat dan memadai saat ibu melahirkan dapat menurunkan risiko komplikasi 146 yang bisa menyebabkan kesakitan serius pada ibu dan bayinya (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Pada penelitian ini, penolong persalinan dikategorikan menjadi tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan. Penolong persalinan dikategorikan sebagai tenaga kesehatan jika merupakan dokter, dokter kandungan, perawat, bidan, atau bidan desa. Sedangkan penolong persalinan dikategorikan sebagai non tenaga kesehatan jika penolong persalinan adalah dukun, tetangga atau tanpa penolong persalinan. Pengkategorian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Titaley, dkk (2008) di Indonesia. Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa 83% persalinan pada kurun waktu 2008-2012 ditolong oleh tenaga kesehatan profesional (62% perawat/bidan/bidan desa, 20% dokter kandungan dan 1% dokter). Proporsi ini mengalami peningkatan dari hasil SDKI 2007 sebesar 73% persalinan yang ditolong tenaga kesehatan profesional (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Pada penelitian ini diketahui ibu yang ditolong oleh tenaga kesehatan profesional pada persalinannya di daerah rural Indonesia yaitu sebesar 73,2% (30,7% bidan, 24,1% bidan desa, 5,5% dokter kandungan, 1,3% perawat, 0,4% dokter dan 11,2% lebih dari satu penolong tenaga kesehatan). Angka ini masih cukup jauh dari target MDGs 5 tahun 147 2015, peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan profesional menjadi 90% (Kemenkes RI, 2014). Persalinan yang dilakukan oleh bukan tenaga kesehatan pada penelitian ini yaitu sebesar 26,8%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Artinya, tidak ada perbedaan antara penolong persalinan oleh tenaga kesehatan maupun oleh non tenaga kesehatan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Singh, dkk (2014), Pertiwi, (2010) dan Wijayanti, (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Namun, hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Sugiharto (2011), Dewi (2010) dan Nugraheni (2013) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu ditolong oleh tenaga kesehatan pada persalinannya, namun proporsi kematian neonatal pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan proporsi yang cukup jauh sehingga analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan. Bahkan pada penelitian Titaley, dkk (2011) yang dilakukan di Indonesia ditemukan kematian neonatal dini justru lebih tinggi pada ibu yang bersalin di rumah yang ditolong oleh tenaga yang terlatih. Penelitian lainnya menemukan bahwa 148 kematian neonatal lebih tinggi pada ibu tanpa penolong persalinan (Neupane & Doku, 2014). Namun, pada penelitian ini hanya 0,4% ibu yang melakukan persalinan tanpa adanya penolong persalinan. Kemungkinan penyebab masih tingginya angka kematian neonatal pada kelompok ibu dengan penolong persalinan tenaga kesehatan adalah masih rendahnya kualitas penolong persalinan tersebut. Seperti diketahui pada penelitian Yego, dkk (2013) bahwa akses terhadap penolong persalinan terampil termasuk dokter maupun bidan penting untuk mencegah kematian maternal dan neonatal. Penolong persalinan yang sebagian besar dilakukan oleh penolong persalinan dengan keterampilan yang rendah dapat berkontribusi terhadap kejadian kematian neonatal dan kematian maternal (Yego, dkk., 2013). Pada penelitian lainnya juga menemukan bahwa perlunya pelatihan bagi penolong persalinan agar penolong persalinan mampu menangani kasus infeksi yang diketahui merupakan penyebab terbanyak kasus kematian neonatal (Turnbull, dkk., 2011). Pada penelitian yang dilakukan Kusiako, dkk (2000) menunjukkan bahwa komplikasi pada saat melahirkan merupakan penyebab sepertiga kematian pada perinatal. Padahal peningkatan layanan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terkualifikasi dan layanan neonatus yang lebih baik seharusnya dapat menurunkan kematian pada perinatal. Pada penelitian ini, kemungkinan penyebab 149 lain masih tingginya kematian neonatal pada kelompok ibu dengan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah ibu memilih bersalin oleh tenaga kesehatan ketika terjadi masalah serius pada persalinannya. Seperti ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Jawa Barat bahwa ibu yang mengakses penolong persalinan terlatih atau melakukan persalinan di fasilitas layanan kesehatan sebagian besar dilakukan ketika ibu mengalami komplikasi kehamilan (Titaley, dkk., 2010). Review menunjukkan yang dilakukan Upadhyay, dkk bahwa kurangnya sumber daya (2012) yang juga terampil merupakan salah satu penyebab kematian neonatal yang terjadi di daerah rural India. Kurangnya sumber daya manusia yang terampil berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan yang diterima oleh neonatus. Sehingga penyediaan tenaga kesehatan yang terkualifikasi ke daerah rural merupakan tantangan yang harus dilakukan untuk menghindari kematian pada neonatal. Pada penelitian Zimba, dkk (2012) menemukan bahwa walaupun Malawi mengalami peningkatan jumlah penolong persalinan terampil, tetapi sebagian besar ibu dan bayi baru lahir yang mengalami komplikasi masih belum mendapatkan penanganan kesehatan yang diperlukan. Pada penelitian lainnya diketahui bahwa peralatan dan kualitas layanan yang tidak memadai juga merupakan tantangan di 150 wilayah Afrika dan Asia (Harvey, dkk., 2007). Menurut Singh, dkk (2014) definisi tenaga penolong persalinan yang ada saat ini, tidak mencakup unsur layanan yang memadai. Walaupun sebagian besar negara di Afrika dan Asia mengalami peningkatan jumlah tenaga penolong persalinan terampil, sebagian besar setiap individu yang disebut sebagai tenaga kesehatan terampil tidak memiliki kompetensi yang diperlukan atau peralatan yang dibutuhkan untuk mengatasi komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir. Adapun penyebab masih tingginya kematian neonatal pada penolong pesalinan non tenaga kesehatan di daerah rural Indonesia kemungkinan terjadi karena masih rendahnya akses ibu hamil terhadap tenaga keseahatan.menurut. Hasil penelitian Titaley, dkk (2010) di beberapa daerah terpencil di Indonesia menunjukkan bahwa bidan desa yang pada beberapa wilayah merupakan satu-satunya tenaga kesehatan penolong persalinan yang tersedia, terkadang pergi keluar desa (Titaley, dkk., 2010). Hal ini semakin mempersulit akses ibu terhadap tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Masih tingginya kematian pada penolong persalinan non tenaga kesehatan kemungkinan besar juga karena pengetahuan dan keterampilan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yang sangat kurang tentang penanganan persalinan pada ibu bersalin, maupun tentang penanganan bayi baru lahir. Apalagi penanganan ibu dengan 151 gejala eklamsia, akan sangat sulit bagi penolong bukan tenaga kesehatan untuk dapat melakukan tindakan yang tepat. Pengetahuan penolong yang kurang tentang bagaimana melakukan upaya pencegahan terhadap kemungkinan bayi aman dari risiko terjadinya gangguan thermoregulasi, gangguan respirasi, dan risiko lainnya yang biasa melekat pada bayi baru lahir, sangat berpengaruh besar terhadap status kesehatan neonatus. Jika penanganannya kurang tepat maka kecenderungan terjadinya risiko kematian akan semakin besar (Astuti, dkk., 2010). Hasil penelitian kualitatif pada masyarakat Suku Nias menemukan bahwa terkadang keluarga alot dalam memutuskan merujuk ke rumah sakit atau puskesmas. Hal tersebut menyebabkan ibu terlambat mendapatkan pertolongan dari petugas kesehatan. Ibu yang melakukan persalinan di rumah sakit biasanya ibu yang sudah mengalami masalah pada persalinannya (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan hasil penelitian ini diperlukan upaya untuk meningkatkan keterampilan penolong persalinan baik bagi tenaga penolong persalinan. Peningkatan kualitas tenaga penolong persalinan dilakukan dari mulai calon tenaga penolong persalinan di tingkat akademik/universitas maupun bagi mereka yang telah berprofesi sebagai tenaga penolong persalinan. Peningkatan kualitas tenaga 152 penolong persalinan ini terutama pada masalah penanganan komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir. 6.3.10 Persalinan Caesar Persalinan caesar merupakan tindakan untuk melahirkan bayi melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (Saifuddin, dkk., 2009). Persalinan caesar merupakan operasi besar yang dilakukan pada saat terdapat indikasi kesehatan tertentu (Whalley, dkk., 2008). Pada penelitian ini, cara persalinan dibedakan menjadi persalinan caesar dan bukan persalinan caesar. Ibu dikategorikan melakukan persalinan caesar apabila ibu melakukan persalinan dengan cara perut dibedah untuk mengeluarkan bayi. Sedangkan ibu dikategorikan tidak melakukan persalinan caesar apabila ibu melakukan persalinan dengan cara per vaginam/normal. Pengkategorian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Bashir, dkk (2013). Pada penelitian ini diketahui ibu yang melakukan persalinan caesar pada persalinannya yaitu sebesar 8%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar dengan kematian neonatal. Hasil pada penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Bashir, dkk (2013) yang menunjukkan bahwa persalinan dengan cara bedah caesar memiliki hubungan dengan kematian neonatal. Ibu dengan persalinan caesar memiliki kemungkinan 1,6 kali lebih besar terhadap kematian neonatal 153 dibandingkan ibu yang melahirkan per vaginam. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Nugraheni (2013) dan Wijayanti (2013) bahwa tidak ada hubungan antara persalinan caesar dengan kematian neonatal. Namun, penelitian Owais, dkk (2013) di daerah rural Bangladesh justru menemukan bahwa persalinan dengan cara caesar menjadi faktor protektif terhadap kematian neonatal. Walaupun uji statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar dengan kematian neonatal, pada penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok ibu dengan persalinan caesar. Kemungkinan hal ini terjadi karena persalinan caesar sebagian besar dilakukan karena ditemukan adanya indikasi kesehatan tertentu pada ibu seperti ditunjukkan pada hasil penelitian (Shah, dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan di daerah urban Ibadan Nigeria menunjukkan bahwa dari 21% ibu yang melakukan persalinan caesar sebanyak 89% merupakan kasus kegawatdaruratan (Adetola, dkk., 2011). Namun, pada penelitian lainnya yang dilakukan di daerah Iran menemukan bahwa sebagian besar persalinan caesar dilakukan bukan karena adanya indikasi kesehatan (Bahadori, dkk., 2013). Bayi dari ibu yang kembali melakukan persalinan dengan cara caesar memiliki angka kesakitan (penyakit pernapasan) lebih tinggi dan tinggal di rumah sakit lebih lama dibandingkan ibu yang 154 melakukan persalinan per vaginam yang sebelumnya melakukan persalinan caesar (Kamath, dkk., 2009). Kematian neonatal meningkat sejalan dengan tingginya persalinan caesar yang dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan. Selain itu secara keseluruhan, persalinan caesar (kondisi kegawatdaruratan maupun non kegawatdaruratan) berhubungan dengan meningkatnya kesakitan pada neonatal (Shah, dkk., 2009). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa dari 571 persalinan yang dilakukan secara caesar, 90,2% tidak mengalami komplikasi selama kehamilannya. Sehingga, kemungkinan sebagian besar persalinan caesar pada penelitian ini dilakukan bukan karena adanya indikasi kesehatan. Hasil review literatur menyebutkan bahwa persalinan caesar tanpa adanya alasan kesehatan (kegawatdaruratan) juga bisa membahayakan kondisi ibu dan janinnya baik dari segi pendek maupun lamanya waktu yang diperlukan prosedur persalinan caesar dibandingkan persalinan normal (Wiklund, dkk., 2012). 6.3.11 Tempat Persalinan Upaya untuk mengurangi risiko kematian ibu dan anak sangat penting dengan cara meningkatkan persalinan oleh tenaga kesehatan yang profesional yang dilakukan di fasilitas kesehatan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Pada penelitian ini, tempat persalinan dikategorikan menjadi non fasilitas layanan kesehatan dan 155 fasilitas layanan kesehatan. Ibu melakukan persalinan di fasilitas layanan kesehatan jika persalinan dilakukan di rumah sakit, klinik, dokter/perawat/bidan praktek, dan bidan desa. Sedangkan ibu dikategorikan melakukan persalinan di non fasilitas layanan kesehatan apabila ibu melakukan persalinan di rumahnya sendiri maupun rumah dukun/tetangga. Pengkategorian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Titaley, dkk (2008). Pada penelitian ini diketahui bahwa ibu yang melakukan persalinan di non fasilitas pelayanan kesehatan yaitu sebesar 59,9%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tempat persalinan dengan kematian neonatal. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Faisal (2010) menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan di fasilitas non kesehatan mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan. Namun, hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Sugiharto (2011), Pertiwi (2010), Nugraheni (2013) dan Wijayanti (2013) bahwa tidak terdapat hubungan antara tempat persalinan dengan kematian neonatal. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi terjadi di non fasilitas layanan kesehatan. Ibu yang melakukan persalinan diluar fasilitas pelayanan kesehatan memiliki risiko 1,85 kali lebih tinggi untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan ibu yang melahirkan di fasilitas layanan 156 kesehatan. Melahirkan diluar fasilitas layanan kesehatan lebih memungkinkan untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan melahirkan dilakukan di fasilitas layanan kesehatan (Ajaari, dkk., 2012). Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa jumlah ibu yang melahirkan di non fasilitas pelayanan kesehatan lebih tinggi dibandingkan di fasilitas pelayanan kesehatan konsisten dengan hasil penelitian Owais, dkk (2013). Namun, diketahui kematian neonatal justru ditemukan lebih tinggi terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan. Artinya, kasus kematian neonatal lebih tinggi terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan padahal penolong persalinan di fasilitas pelayanan merupakan tenaga kesehatan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Titaley (2011) bahwa terjadinya peningkatan risiko kematian neonatal dini yang signifikan berhubungan dengan persalinan yang dilakukan di rumah sakit di daerah rural Indonesia. Hasil ini juga konsisten dengan penelitian lainnya yang dilakukan di daerah rural Burkina Faso bahwa kematian bayi lebih tinggi terjadi di fasilitas layanan kesehatan. Adanya fasilitas pelayanan kesehatan tidak akan memberikan perbedaan yang berarti jika fasilitas tersebut tidak memiliki kelengkapan alat atau tenaga kesehatan yang cukup terlatih (Diallo, dkk., 2012). Hasil ini juga sejalan dengan hasil penelitian Singh, dkk (2012) bahwa setelah adanya peningkatan penggunaan rumah sakit bersalin di India terjadi penurunan kematian 157 neonatal sebesar 2,5% namun penurunan kematian neonatal ini tidak signifikan dimungkinkan terjadi karena masih rendahnya kualitas layanan kesehatan. Seperti ditemukan juga pada penelitian lainnya bahwa persalinan yang dilakukan di rumah di daerah rural sebagian besar ditolong oleh dokter atau bidan desa dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan masih tergolong cukup rendah (Yanping, dkk., 2010). Kemungkinan alasan lainnya yaitu sebagian besar persalinan yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan persalinan dengan komplikasi yang bisa berakibat pada kematian neonatal. Hal ini terjadi karena perilaku mencari pelayanan kesehatan dilakukan setelah awalnya persalinan akan dilakukan di rumah. Penolong persalinan di rumah tidak akan merujuk ibu ke fasilitas layanan kesehatan kecuali ibu telah mengalami komplikasi. Sehingga lemahnya sistem layanan kesehatan juga akan berkontribusi terhadap tingginya angka kematian neonatal di fasilitas layanan kesehatan (Ajaari, dkk., 2012). Pada penelitian ini didapatkan, hasil analisis antara komplikasi kehamilan dengan tempat persalinan menunjukkan adanya hubungan. Sebesar 49,2% persalinan yang dilakukan di fasilitas layanan kesehatan merupakan kasus komplikasi kehamilan. Penelitian kualitatif yang dilakukan pada masyarakat suku Mamasa Sulawesi Barat juga menunjukkan bahwa beberapa kejadian kematian ibu dan 158 bayi saat bersalin di rumah sakit rujukan. Ibu hamil datang ke rumah sakit tersebut dengan keadaan sangat parah (sakit berat) atau umur kehamilan sudah terlalu tua (Kemenkes RI, 2012). Penggunaan layanan kesehatan kemungkinan juga dipengaruhi oleh jarak terhadap layanan kesehatan tersebut. Hasil penelitian di daerah rural Etiophia ditemukan bahwa sekitar 90% anak tinggal di wilayah dengan waktu tempuh lebih dari 1,5 jam ke fasilitas kesehatan. Anak tersebut memiliki risiko 2 kali lebih besar terhadap kematian dibandingkan anak yang tinggal dengan waktu tempuh 1,5 jam ke fasilitas kesehatan (Okwaraj, dkk., 2012). Penelitian lain di daerah rural Burkina Faso menemukan bahwa terjadi 33% peningkatan kematian bayi yang signifikan jika ibu tinggal dengan lokasi pusat layanan kesehatan yang terdekat lebih dari 10 km (Becher, dkk., 2004). Penelitian yang dilakukan di Jawa Barat menemukan bahwa jarak dan keterbatasan biaya merupakan dua penyebab utama ibu tidak mengakses penolong persalinan terlatih dan fasilitas layanan kesehatan pada saat persalinannya (Titaley, dkk., 2010). Walaupun 90% ibu telah melakukan kunjungan antenatal namun hanya 2 dari 10 ibu yang melakukan persalinan di fasilitas layanan antenatal. Hasil pengamatan diketahui bahwa persalinan dilakukan di rumah berkaitan dengan adanya perkembangan persalinan yang cepat, jarak, kesulitan transportasi pada malam hari dan biaya. Jarak merupakan hambatan terhadap persalinan di fasilitas layanan 159 kesehatan bukan terhadap kunjungan antenatal. Hal ini dikarenakan tidak semua fasilitas yang menyediakan layanan antenatal memiliki layanan persalinan 24 jam. Sehingga jarak untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dengan layanan persalinan lebih sulit didapatkan dibandingkan dengan layanan antenatal. Persalinan alami pada kondisi gawat mungkin menjadi lebih baik untuk menyelesaikan masalah jarak ke fasilitas layanan persalinan. Selain itu, ibu memilih tenaga penolong persalinan tradisional karena lebih fleksibel dalam masalah biaya. Bahkan masih ditemukan ibu tanpa tenaga penolong persalinan, padahal ibu tanpa penolong persalinan akan kesulitan mendapatkan penolong ketika terjadi komplikasi pada persalinannya (Eijk, dkk., 2006). Penelitian kualitatif pada Suku Mamasa, Sulawesi Barat menemukan bahwa walaupun telah terdapat program Jampersal (Jaminan Persalinan) namun belum diketahui oleh ibu-ibu di wilayah tersebut. Selain itu, mereka belum mempercayai sepenuhnya bahwa bersalin di fasilitas kesehatan tidak dikenakan biaya/gratis. Apalagi jika mereka harus di rujuk ke Rumah Sakit, akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Selain itu, permasalahan juga terdapat pada tenaga kesehatan dimana belum keluarnya pembayaran (klaim) terhitung sejak 2011-2012. Padahal semua catatan dan bukti telah terkumpul dengan rapi. Kejadian tersebut terjadi pada semua bidan di desa dan kecamatan di Kabupaten Mamasa. Meskipun demikian, bidan desa 160 tetap melayani dan menggratiskan persalinan yang ditolong di fasilitas persalinan (Kemenkes RI, 2012). Penelitian lainnya pada suku Toraja Sa’dan menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan lain, pertimbangan ekonomi untuk memenuhi biaya-biaya di luar cakupan Jampersal, seperti transportasi, uang makan keluarga yang menungguinya di sarana kesehatan, anakanak kecil yang ditinggalkan, hewan-hewan ternak (pemeliharaan babi) yang menjadi tanggung jawab ibu. Pendapatan sehari-hari menjadi pertimbangan lain mengapa ibu memutuskan untuk melahirkan sendiri di rumahnya. Selain itu, beberapa wilayah Toraja Sa’dan memang berada jauh dari sarana pelayanan kesehatan. Selain jarak yang jauh, akses warga terhadap pelayanan kesehatan dipersulit dengan kondisi jalan yang rusak. Sarana transportasi menjadi sulit dan mahal karena kondisi jalan yang rusak parah (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan hasil pada penelitian ini, maka perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas fasilitas layanan kesehatan baik dari segi akses maupun kelengkapan alat dan ketersediaan tenaga kesehatan profesional. Pemerintah Daerah sebaiknya melakukan peningkatan perbaikan infrastruktur di wilayahnya agar akses terhadap fasilitas kesehatan semakin meningkat. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan rendah (55,1%), berstatus kerja (53,1%), memiliki indeks kekayaan rumah tangga rendah (47,7%), tinggal diwilayah perdesaan (53,1%), memiliki umur antara 20-35 tahun (74,3%), berjenis kelamin laki-laki (51,6%), memiliki paritas 1-3 (83,6%), melakukan kunjungan antenatal (68,8%), mengalami komplikasi kehamilan (93,5%), melakukan persalinan oleh tenaga kesehatan (82,5%), melakukan persalinan bukan caesar (87,3%) dan melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (57,9%). 2) Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 3) Terdapat hubungan antara status pekerjaan ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 4) Tidak terdapat hubungan antara indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 5) Terdapat hubungan antara umur ibu dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 161 162 6) Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 7) Terdapat hubungan antara paritas dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 8) Terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 9) Terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 10) Tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 11) Tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 12) Tidak terdapat hubungan antara tempat persalinan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012. 7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka peneliti memberikan saran sebagai berikut: 7.2.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI 1) Strategi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait peningkatan pengetahuan ibu mengenai kesehatan ibu dan anak perlu difokuskan pada kelompok ibu umur kurang dari 20 tahun 163 dan lebih dari 35 tahun dan kelompok ibu yang bekerja untuk daerah rural Indonesia. 2) Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan penggunaan metode keluarga berencana yang didukung oleh ketersediaan dan kelengkapan fasilitas dan tenaga yang perlukan serta memperhatikan aspek budaya/adat masyarakat setempat. 3) Pelayanan antenatal perlu ditingkatkan dengan fokus pada terjaminnya ketersediaan, kelengkapan dan kualitas dari fasilitas serta tenaga kesehatan di daerah rural Indonesia. 4) Upaya deteksi dini terhadap komplikasi pada kehamilan di daerah rural Indonesia perlu diikuti dengan pemantauan yang berkelanjutan pada kepatuhan ibu terhadap anjuran dari petugas kesehatan. 5) Penyediaan tenaga penolong persalinan perlu difokuskan pada peningkatan kualitas tenaga penolong persalinan terutama terkait penanganan komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir. 7.2.2 Bagi Pemerintah Daerah Bagi Pemerintah Daerah yang memiliki daerah dengan karakteristik rural/perdesaan disarankan untuk melakukan peningkatan ketersediaan, akses, kapasitas dan kualitas tenaga penolong persalinan dan fasilitas persalinan di wilayahnya. DAFTAR PUSTAKA Adetola, A. O., Tongo, O. O., Orimadegun, A. E., & Osinusi, K. (2011). Neonatal Mortality in an Urban Population in Ibadan, Nigeria. Pediatrics and Neonatology , 244. Ajaari, J., Masanja, H., Weiner, R., Abokyi, S. A., & Owusu-Agyei, S. (2012). Impact of Place of Delivery on Neonatal Mortality in Rural Tanzania. International Journal of MCH and AIDS , 52,. Andargie, G., Berhane, Y., Worku, A., & Kebede, Y. (2013). Predictors of Perinatal Mortality in Rural Population of Northwest Ethiopia: A Prospective Longitudinal Study. BMC Public Health , 4. Andrews, G. (2009). Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Wanita Terjemahan Sari Kurnianingsih. Jakarta: EGC. Astuti, W. D., Sholikhah, H. H., & Angkasawati, T. J. (2010). Estimasi Risiko Penyebab Kematian Neonatal di Indonesia Tahun 2007. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan , 306. August, E., Salihu, H., Weldeselasse, H., Biroscak, B., Mbah, A., & Alio, A. (2011). Infant Mortality and Subsequent Risk of Stillbirth: a Retrospective Cohort Study. BJOG An International Journal of Obstetrics and Gynaecology , 1636-1645. Bahadori, F., Hakimi, S., & Heidarzade, M. (2013). The Trend of Caesarean Delivery in The Islamic Republic of Iran. Eastern Mediterranean Health Journal , S69. Baqui, A. H., Ahmed, S., Arifeen, S. E., Darmstadt, G. L., Rosecrans, A. M., Mannan, I., et al. (2009). Effect of Timing of First Postnatal Care Home Visit on Neonatal Mortality in Bangladesh: A Prospective Cohort Study. BMJ , 445-448. Baqui, A., Darmstadt, G., Williams, E., Kumar, V., Kiran, T., Panwar, D., et al. (2006). Rates, Timing and Cause of Neontal Deaths in Rural India: Implication for Neonatal Health Programmes. Bulletin of The World Health Organization , 706-711. 164 Bashir, A. O., Ibrahim, G. H., Bashier, I. A., & Adam, I. (2013). Neonatal Mortality in Sudan: Analysis of the Sudan Household Survey, 2010. BMC Public Health , 1-9. Becher, H., Muller, O., Jahn, A., Gbango, A., Kynast-Wolf, G., & Kouyate, B. (2004). Risk Factors of Infant and Child Mortality in Rural Burkina Faso. Bulletin of The World Health Organization , 270. BPS & Macro International. (2008). Indonesia Demograhic and Health Survey 2007. Jakarta: BPS & Macro International. BPS & ORC Macro. (2003). Indonesia Demographic and Health Survey. Jakarta: BPS & ORC Macro. BPS. (2010). Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia. Jakarta: BPS. BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International. (2013). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International. Carlsen, F., Grytten, J., & Eskild, A. (2013). Changes in Fetal and Neonatal Mortality during 40 Years by Offspring Sex: A National Registry-Based Study in Norway. BMC Pregnancy and Childbirth , 1-7. Chaman, R., Naieni, K. H., Golestan, B., Nabavizadeh, H., & Yunesian, M. (2009). Neonatal Mortality Risk Factors in a Rural Part of Iran: A Nested CaseControl Study. Iranian Journal of Public Health , 48-52. Chen, X.-K., Wen, S. W., Fleming, N., Demissie, K., Rhoads, G. G., & Walker, M. (2007). Teenage Pregnancy and Adverse Birth Outcomes: A Large Population Based Retrospective Cohort Study. International Journal of Epidemiology , 371. Chowdhury, A. H., Islam, S. S., & Karim, A. (2013). Covariates of Neonatal and Post-Neonatal Mortality in Bangladesh. Global Journal of Human Social Science . Chowdhury, H. R., Thompson, S., Ali, M., Alam, N., Yunus, M., & Streatfield, P. K. (2010). Causes of Neonatal Deaths in a Rural Subdistrict of Bangladesh Implications for Intervention. J. HEALTH POPUL NUTR , 375. 165 Dahlan, S. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Debes, A. K., Kohli, A., Walker, N., Edmond, K., & Mullany, L. C. (2013). Time to Initiation of Breastfeeding and Neonatal Mortality and Morbidity A Systematic Review. BMC Public Health , 1-14. Depkes RI. (2009). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA). Jakarta: Depkes RI. Dewi, R. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. Diallo, A. H., Meda, N., Sommerfelt, H., Traore, G. S., Cousens, S., & Tylleskar, T. (2012). The High Burden of Infant Deaths in Rural Burkina Faso A Prospective Community-Based Cohort Study. BMC Public Health , 12. Djaja, S., Kosen, S., Fel, l. P., & Ariawan, I. (2005). Survei Kematian Neonatal (Studi Autopsi Verbal) di Kabupaten Cirebon, 2004. Buletin Penelitian Kesehatan , 41-52. Efriza. (2007). Determinan Kematian Neonatal Dini Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional , 104. Eijk, A. M., Bles, H. M., Odhiambo, F., Ayisi, J. G., Blokland, I. E., Rosen, D. H., et al. (2006). Use of Antenatal Services and Delivery Care Among Women in Rural Western Kenya A Community Based Survey. Reproductive Health , 6. Fachlaeli, E. (2000). Hubungan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dengan Kematian Neonatal Di Kabupaten DT II Majalengka Jawa Barat Tahun 1998. Universitas Indonesia . Faisal, A. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Bayi di Indonesia Tahun 2003-2007 (Analisis Data SDKI 2007). Depok: Universitas Indonesia. Gerstman, B. B. (2003). Epidemiology Kept Simple. New Jersey: Canada. Gizaw, M., Molla, M., & Mekonnen, W. (2014). Trends and Risk Factors for Neonatal Mortality in Butajira District, South Central Ethiopia, (1987-2008): A Prospective Cohort Study. BMC Pregnancy and Childbirth , 1-6. Gordis, L. (2004). Epidemiology Third Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 166 Harvey, S. A., Blandón, Y. C., McCaw-Binns, A., Sandino, I., Urbina, L., Rodríguez, C., et al. (2007). Are skilled Birth Attendants Really Skilled? A Measurement Method, Some Disturbing Results and A Potential Way Forward. Bulletin of the World Health Organization . Hastono, S. P., & Sabri, L. (2010). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers. Hinderaker, S. G., Olsen, B. E., Bergsjø, P. B., Gasheka, P., Lie, R. T., Havnen, J., et al. (2003). Avoidable Stillbirths and Neonatal Deaths in Rural Tanzania. BJOG: an International Journal of Obstetrics and Gynaecology , 616. ICF International. (n.d.). DHS Overview. Retrieved Juny 27, 2014, from The DHS Program (Demographic and Health Surveys): http://dhsprogram.com/WhatWe-Do/Survey-Types/DHS.cfm Kalaivani, K. (2009). Prevalence & Consequences of Anaemia in Pregnancy. Indian J Med Res , 630. Kamath, B. D., Todd, J. K., Glazner, J. E., Lezotte, D., & Lynch, A. M. (2009). Neonatal Outcomes After Elective Cesarean Delivery. The American College of Obstetricians and Gynecologists , 1231. Karlsen, S., Say, L., Souza, J.-P., Hogue, C. J., Calles, D. L., Gülmezoglu, A. M., et al. (2011). The Relationship Between Maternal Education and Mortality Among Women Giving Birth in Health Care Institutions: Analysis of the Cross Sectional WHO Global Survey on Maternal and Perinatal Health. BMC Public Health , 1. Kayode, G. A., Ansah, E., Agyepong, I. A., Amoakoh-Coleman, M., Grobbee, D. E., & Klipstein-Grobusch, K. (2014). Individual and Community Determinants of Neonatal Mortality in Ghana: A Multilevel Analysis. BMC Pregnancy and Childbirth , 1-12. Kemenkes RI. (2011). Buku Pedoman Pengenalan Tanda Bahaya pada Kehamilan, Persalinan dan Nifas Bagi Kader. Jakarta: Kemenkes RI. Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Alifuru Seram Desa Waru Kecamatan Bula Kabupaten Seram Bagian Timur Provinsi Maluku. Kemenkes RI , 59. Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Dayak Siang Murung Desa Dirung Bakung Kecamatan Tanah Siang 167 Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah. Kemenkes RI , 7980. Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Gorontalo Desa Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwoto Provinsi Gorontalo. Kemenkes RI , 88. Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Madura Desa Jrangoan Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur. Kemenkes RI , 14. Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Mamasa Desa Makuang Kecamatan Messawa Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat . Kemenkes RI , 45. Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Ngalum Distrik Oksibil Kabupaten Penggunungan Bintang Provinsi Papua . Kemenkes RI , 77-78. Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Nias Desa Hilifadölö Kecamatan Lölöwa'u Kabupaten Nias Selatan Provinsi Sumatera Utara . Kemenkes RI , 20. Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Toraja Sa'dan Desa Sa'dan Malimbong Kecamatan Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Kemenkes RI , 2. Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak: Etnik Manggarai Desa Waicodi Kecamatan Cibal Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kemenkes RI , 64. Kemenkes RI. (2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Bina Kesehatan Ibu Tahun Anggaran 2013. Jakarta: Kemenkes RI. Kemenkes RI. (2012). Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu Edisi Kedua. Jakarta: Kemenkes RI. Khan, A. A., Zahidie, A., & Rabbani, F. (2013). Interventions to Reduce Neonatal Mortality from Neonatal Tetanus in Low and Middle Income Countries - A Systematic Review. BMC Public Health , 1-7. 168 Kliegman, R. M., Stanton, B. F., Schor, N. F., II, J. W., & Behrman, R. E. (2011). Nelson Text Book of Pediatrics 19th Edition International Edition. Philadelphia: Elsevier. Kozuki, N., Lee, A. C., Silveira, M. F., Sania, A., Vogel, J. P., Adair, L., et al. (2013). The Associations of Parity and Maternal Age With Small-For-GestationalAge, Preterm, and Neonatal and Infant Mortality A Meta-Analysis. BMC Public Health , 5. Kusiako, T., Ronsman, C., & Paal, L. V. (2000). Perinatal Mortality Atributable to Complications of Childbirth in Matlab, Bangladesh. Bulletin of The World Health Organization , 623. Ladewig, P. W., London, M. L., & Olds, S. B. (2006). Buku Saku Asuhan Ibu dan Bayi baru Lahir Terjemahan Salmiyatun. Jakarta: EGC. Lawn, J., Kerber, K., Enweronu-Laryea, C., & Bateman, O. M. (2009). Newborn Survival in Low Resource Settings are We Delivering. BJOG An International Journal of Obstetrics and Gynaecology , 50. Lisonkova, S., Sabr, Y., Butler, B., & Joseph, K. (2012). International Comparisons of Preterm Birth Higher Rates of Late Preterm Birth are Associated with Lower Rates of Stillbirth and Neonatal Death. BJOG An International Journal of Obstetrics and Gynaecology , 1630-1637. Mahmood, M. A. (2002). Determinants of Neonatal and Post-neonatal Mortality in Pakistan. The Pakistan Development Review , 735, 739. Majoko, F., LNyström, Munjanja, S., Mason, E., & Lindmark, G. (2004). Relation of Parity to Pregnancy Outcome in a Rural Community in Zimbabwe. African Journal of Reproductive Health , 205. Målqvist, M., Sohel, N., Do, T. T., Eriksson, L., & Persson, L. Å. (2010). Distance Decay in Delivery Care Utilization Associated With Neonatal Mortality. A Case Referent Study in Northern Vietnam. BMC Public Health , 1-9. Manzar, N., Manzar, B., Yaqoob, A., Ahmed, M., & Kumar, J. (2012). The Study of Etiological and Demographic Characteristics of Neonatal Mortality and Morbidity-A Consecutive Case Series Study from Pakistan. BMC Pediatrics , 1-6. 169 Markovitz, B. P., Cook, R., Flick, L. H., & Leet, T. L. (2005). Socioeconomic Factors and Adolescent Pregnancy Outcomes: Distinctions Between Neonatal and Post-Neonatal Deaths? BMC Public Health , 1-7. McCarthy, J., & Maine, D. (1992). A Framework for Analyzing the Determinants of Maternal Mortality. Studies in Family Planning , 26. Meadow, R., & Newell, S. (2002). Lectures Notes: Pediatrika. Terjemahan Kripti Hartini dan Asri Dwi Rachmawati. Jakarta: Erlangga. Mekonnen, Y., Tensou, B., Telake, D. S., Degefie, T., & Bekele, A. (2013). Neonatal Mortality in Ethiopia: Trends and Determinants. BMC Public Health , 1-14. Mercer, A., Haseen, F., Huq, N. L., Uddin, N., Khan, M. H., & Larson, C. P. (2006). Risk Factors for Neonatal Mortality in Rural Areas of Bangladesh Served by A Large NGO Programme. Oxford University Press , 432. Mosley, W. H., & Chen, L. C. (2003). An Analytical Framework for The Study of Child Survival in Developing Countries. Geneva: World Health Organization. Murti, B. (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: UGM Press. Neupane, S., & Doku, D. T. (2014). Neonatal Mortality in Nepal A Multilevel Analysis of A Nationally Representative. Journal of Epidemiology and Global Health , 218. Nugraheni, A. (2013). Pengaruh Komplikasi Kehamilan Terhadap Kematian Neonatal Dini di Indonesia (Analisis Data SDKI 2007). Depok: Universitas Indonesia. Okwaraj, Y. B., Cousens, S., Berhane, Y., Mulholland, K., & Edmond, K. (2012). Effect of Geographical Access to Health Facilities on Child Mortality in Rural Ethiopia A Community Based Cross Sectional Study. Plos One , 3. Onwuanaku, C. A., Okolo, S. N., Ige, K. O., Okpe, S. E., & Toma, B. O. (2011). The Effects of Birth Weight and Gender on Neonatal Mortality in North Central Nigeria. BMC Research Notes , 1-5. Owais, A., Faruque, A. S., Das, S. K., Ahmed, S., Rahman, S., & Stein, A. D. (2013). Maternal and Antenatal Risk Factors for Stillbirths and Neonatal Mortality in Rural Bangladesh: A Case-Control Study. Plos One , 3. 170 Pertiwi, I. (2010). Hubungan Kematian Neonatal dengan Kunjungan ANC dan Perawatan Postnatal di Indonesia Menurut SDKI 2007-2008. Depok: Universitas Indonesia. Pinem, S. (2009). Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: CV. Trans Info Media. Prabamurti, P. N., Purnami, C. T., Widagdo, L., & Setyono, S. (2008). Analisis Faktor Risiko Status Kematian Neonatal Studi Kasus Kontrol di Kecamatan Losari Kabupaten Brebes Tahun 2006. Semarang: Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Price, D. L., & Gwin, J. F. (2005). Thompson's Pediatric Nursing An Introductory Text. Philadelphia: Elsevier Saunders. Pun, K. D., & Chauhan, M. (2011). Outcomes of Adolescent Pregnancy at Kathmandu University Hospital, Dhulikhel, Kavre. Kathmandu University Medical Journal , 50. Rahmawati, H. K. (2007). Hubungan Karakteristik Ibu, Karakteristik Bayi, Pelayanan Antenatal, dan Perawatan Persalinan dengan Kematian Neonatal di Indonesia Tahun 2003-2003 (Analisis Data SDKI 2002-2003). Depok: Universitas Indonesia. Rudolph, A. M., Hoffman, J. I., & Rudolph, C. D. (2006). Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 1 Terjemahan A. Samik Wahab. Jakarta: EGC. Rudolph, A., Hoffman, J. I., & Rudolph, C. D. (2007). Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3 Terjemahan A. Samik Wahab. Jakarta: EGC. Saifuddin, A. B., Rachimhadi, T., & Wiknjosastro, G. H. (2010). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiroharjo. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Saifudin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G. H., & Waspodo, D. (2009). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirodiharjo. Schoeps, D., Almeida, M. F., Alenca, G. P., Jr., I. F., Novaes, H. M., Siqueira, A. A., et al. (2007). Risk Factors for Early Neonatal Mortality. Rev Saúde Pública , 1-8. Shah, A., Fawole, B., M'Imunya, J. M., Amokrane, F., Nafiou, I., Wolomby, J.-J., et al. (2009). Cesarean Delivery Outcomes from The WHO Global Survey on 171 Maternal and Perinatal Health in Africa. International Journal of Gynecology and Obstetrics , 5. Sharma, V., Katz, J., Mullany, L. C., Khatry, S. K., LeClerq, S. C., Shrestha, S. R., et al. (2009). Young Maternal Age and the Risk of Neonatal Mortality in Rural Nepal. Arch Pediatr Adolesc Med , 5. Singh, A., Kumar, A., & Kumar, A. (2013). Determinants of Neonatal Mortality in Rural India, 2007–2008. PeerJ , 1-26. Singh, A., Yadav, A., & Singh, A. (2012). Utilization of Postnatal Care for Newborns and Its Association with Neonatal Mortality in India: An Analytical Appraisal. BMC Pregnancy and Childbirth , 1-6. Singh, K., Brodish, P., & Suchindran, C. (2014). A Regional Multilevel Analysis: Can Skilled Birth Attendants Uniformly Decrease Neonatal Mortality? Maternal Child Health Journal , 242-248. Smith, G. C., Pell, J. P., & Dobbie, R. (2003). Interpregnancy Interval and Risk of Preterm Birth and Neonatal Death Retrospective Cohort Study. British Medical Journal , 313-315. Sriasih, N. G. (2012). Determinan Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kematian Neonatal Dini. Jurnal Skala Husada , 129. Stalker, P. (2008). Millenium Development Goals. New York: Bappenas dan UNDP. Sugiharto, J. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Bayi di Indonesia Tahun 2007 (Analisis Data Sekunder SDKI 2007). Depok: Universitas Indonesia. Sukamti, S. (2011). Pengaruh Pelayanan Kesehatan Terhadap Kematian Neonatal Anak Terakhir di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2010). Depok: Universitas Indonesia. Timmreck, T. C. (1994). An Introduction to Epidemiology. London: Jones and Bartlett Publishers. Titaley, C. R., Dibley, M. J., & Roberts, C. L. (2010). Factors Associated with Underutilization of Antenatal Care Services in Indonesia Results of Indonesia Demographic and Health Survey 2002 2003 and 2007. BMC Public Health , 9. 172 Titaley, C. R., Dibley, M. J., & Roberts, C. L. (2011). Type of Delivery Attendant, Place of Delivery and Risk of Early Neonatal Mortality Analyses of the 1994–2007 Indonesia Demographic and Health Surveys. Health Policy and Planning , 8, 9. Titaley, C. R., Dibley, M. J., Agho, K., Roberts, C. L., & Hall, J. (2008). Determinants of Neonatal Mortality in Indonesia. BMC Public Health , 1-15. Tura, G., Fantahun, M., & Worku, A. (2013). The Effect of Health Facility Delivery on Neonatal Mortality: Systematic Review and Meta-Analysis. BMC Pregnancy and Childbirth , 1-9. Turnbull, E., Lembalemba, M. K., Guffey, M. B., Bolton-Moore, C., MubianaMbewe, M., Chintu, N., et al. (2011). Causes of Stillbirth, Neonatal Death and Early Childhood Death in Rural Zambia by Verbal Autopsy Assessments. Tropical Medicine and International Health , 897. United Nations. (2013). The Millennium Development Goals Report 2013. New York: United Nations. Upadhyay, R., Dwivedi, P., Rai, S., Misra, P., Kalaivani, M., & Krishnan, A. (2012). Determinants of Neonatal Mortality in Rural Haryana: A Retrospective Population Based Study. Indian Pediatric , 291-294. Vandresse, M. (2008). Estimation of a Structural Model of the Determinants of Neonatal Mortality in Hungary, 1984-88 and 1994-98. Population Studies , 85-111. Wells, J. C. (2000). Natural Selection and Sex Differences in Morbidity and Mortality in Early Life. J. Theor. Biol. , 70, 71. Whalley, J., Simkin, P., & Keppler, A. (2008). Panduan Praktis Bagi Calon Ibu: Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: BIP. WHO. (2014). Global Health Observatory (GHO): Neonatal Mortality. Retrieved Februari 5, 2014, from World Health Organization: http://www.who.int/gho/child_health/mortality/neonatal_text/en/index.html WHO. (2006). Neonatal and Perinatal Mortality Country, Regional and Global Estimates. Geneva: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan dan Rujukan. Jakarta: Kemenkes RI. 173 Wijayanti, A. C. (2013). Hubungan Jumlah Anak yang Dilahirkan Terhadap Kejadian Kematian Neonatal (Analisis Data SDKI 2007). Depok: Universitas Indonesia. Wiklund, I., Andolf, E., Lilja, H., & Hildingsson, I. (2012). Indications for Cesarean Section on Maternal Request-Guidelines for Counseling and Treatment. Sexual & Reproductive Healthcare , 104. Wiknjosastro, H., Saifuddin, A. B., & Rachimhadhi, T. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Wong, D. L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Terjemahan Monica Ester. Jakarta: EGC. Yani, D. F., & Duarsa, A. B. (2013). Pelayanan Kesehatan Ibu dan Kematian Neonatal. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional , 373. Yanping, W., Lei, M., Li, D., Chunhua, H., Xiaohong, L., Mingrong, L., et al. (2010). A Study on Rural-Urban Differences in Neonatal Mortality Rate in China, 1996-2006. Journal Epidemiology Community Health , 935-936. Yego, F., Williams, J. S., Byles, J., Nyongesa, P., Aruasa, W., & D'Este, C. (2013). A Retrospective Analysis of Maternal and Neonatal Mortality at A Teaching and Referral Hospital in Kenya. Reproductive Health , 1-8. Yi, B., Wu, L., Liu, H., Fang, W., Hu, Y., & Wang, Y. (2011). Rural-Urban Differences of Neonatal Mortality in A Poorly Developed Province of China. BMC Public Health , 1-6. Zakariah, A. Y., Alexander, S., Roosmalen, J. v., Buekens, P., Kwawukume, E. Y., & Frimpong, P. (2009). Reproductive Age Mortality Survey (RAMOS) in Accra, Ghana. Reproductive Health , 1-5. Zimba, E., Kinney, M. V., Kachale, F., Waltensperger, K. Z., Blencowe, H., Colbourn, T., et al. (2012). Newborn Survival in Malawi: A Decade of Change and Future Implications. Oxford University Press , iii96. 174 LAMPIRAN-LAMPIRAN 175 KUESIONER 176 Pertanyaan Terkait Umur dan Pendidikan Ibu 177 Pertanyaan Terkait Status Pekerjaan Ibu 178 Pertanyaan Terkait Indeks Kekayaan Rumah Tangga 179 180 181 182 Pertanyaan Terkait Kematian Neonatal dan Jenis Kelamin Bayi Pertanyaan Terkait Paritas 183 Pertanyaan Terkait Kunjungan Antenatal 184 Pertanyaan Terkait Komplikasi Kehamilan 185 Pertanyaan Terkait Penolong Persalinan Pertanyaan Terkait Cara Persalinan Pertanyaan Terkait Tempat Persalinan 186 HASIL UJI STATISTIK Case Processing Summary Cases Valid N Tingkat Pendidikan Ibu * Kematian Neonatal Missing Percent 7138 N Total Percent 100.0% 0 .0% N Percent 7138 100.0% Tingkat Pendidikan Ibu * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Tingkat Pendidikan Ibu Meninggal Tidak meninggal Total Count 59 4852 4911 % within Tingkat Pendidikan Ibu 1.2% 98.8% 100.0% Count 20 2207 2227 % within Tingkat Pendidikan Ibu .9% 99.1% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Tingkat Pendidikan Ibu 1.1% 98.9% 100.0% Rendah Tinggi Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2sided) 1.288a 1 .256 Continuity Correction 1.026 1 .311 Likelihood Ratio 1.338 1 .247 Pearson Chi-Square b Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .274 .155 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b 1.288 1 .256 7138 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.65. b. Computed only for a 2x2 table Case Processing Summary Cases Valid Pekerjaan Ibu * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% 187 Pekerjaan Ibu * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Pekerjaan Ibu Meninggal Tidak meninggal Total Count 62 3841 3903 % within Pekerjaan Ibu 1.6% 98.4% 100.0% Count 17 3218 3235 % within Pekerjaan Ibu .5% 99.5% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Pekerjaan Ibu 1.1% 98.9% 100.0% Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .000 .000 Bekerja Tidak bekerja Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2sided) Pearson Chi-Square 18.263a 1 .000 Continuity Correctionb 17.304 1 .000 Likelihood Ratio 19.688 1 .000 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases 18.260 1 .000 7138 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 35.80. b. Computed only for a 2x2 table Case Processing Summary Cases Valid Indeks Kekayaan Rumah Tangga * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% Indeks Kekayaan Rumah Tangga * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Indeks Kekayaan Rumah Tangga Rendah Menengah Tinggi Total Meninggal Tidak meninggal Total Count 47 4709 4756 % within Indeks Kekayaan Rumah Tangga 1.0% 99.0% 100.0% Count 17 1179 1196 % within Indeks Kekayaan Rumah Tangga 1.4% 98.6% 100.0% Count 15 1171 1186 % within Indeks Kekayaan Rumah Tangga 1.3% 98.7% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Indeks Kekayaan Rumah Tangga 1.1% 98.9% 100.0% 188 Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value df Asymp. Sig. (2sided) a 2 2 1 .375 .390 .265 1.963 1.885 1.240 7138 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13. Case Processing Summary Cases Valid Umur Ibu * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% Umur Ibu * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Umur Ibu 0 1 Total Meninggal Tidak meninggal Total Count 33 1947 1980 % within Umur Ibu 1.7% 98.3% 100.0% Count 46 5112 5158 % within Umur Ibu .9% 99.1% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Umur Ibu 1.1% 98.9% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2sided) 7.848 a 1 .005 Continuity Correction 7.157 1 .007 Likelihood Ratio 7.242 1 .007 Pearson Chi-Square b Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases 7.847 1 Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1-sided) .008 .005 .005 7138 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21.91. b. Computed only for a 2x2 table 189 Case Processing Summary Cases Valid Jenis Kelamin * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% Jenis Kelamin * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Meninggal Jenis Kelamin Laki-Laki Tidak meninggal Total Count 45 3680 3725 % within Jenis Kelamin 1.2% 98.8% 100.0% Count 34 3379 3413 % within Jenis Kelamin 1.0% 99.0% 100.0% Perempuan Total Count 79 7059 7138 % within Jenis Kelamin 1.1% 98.9% 100.0% Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .429 .230 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2sided) .730a 1 .393 Continuity Correction .550 1 .458 Likelihood Ratio .734 1 .392 Pearson Chi-Square b Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases .730 1 .393 7138 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 37.77. b. Computed only for a 2x2 table Case Processing Summary Cases Valid Paritas * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% 190 Paritas * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Paritas Meninggal Tidak meninggal Total Count 23 1342 1365 % within Paritas 1.7% 98.3% 100.0% Count 56 5717 5773 % within Paritas 1.0% 99.0% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Paritas 1.1% 98.9% 100.0% >=4 1-3 Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2sided) 5.156 a 1 .023 Continuity Correction 4.523 1 .033 Likelihood Ratio 4.624 1 .032 Pearson Chi-Square b Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .030 .020 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association 5.155 N of Valid Casesb 7138 1 .023 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.11. b. Computed only for a 2x2 table Case Processing Summary Cases Valid Kunjungan Antenatal * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% Kunjungan Antenatal * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Kunjungan Antenatal Tidak Iya Total Meninggal Tidak meninggal Total Count 45 2643 2688 % within Kunjungan Antenatal 1.7% 98.3% 100.0% Count 34 4416 4450 % within Kunjungan Antenatal .8% 99.2% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Kunjungan Antenatal 1.1% 98.9% 100.0% 191 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2sided) 12.681a 1 .000 Continuity Correction 11.863 1 .001 Likelihood Ratio 12.189 1 .000 Pearson Chi-Square b Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .001 .000 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases 12.679 1 .000 7138 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 29.75. b. Computed only for a 2x2 table Case Processing Summary Cases Valid Komplikasi Kehamilan * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% Komplikasi Kehamilan * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Komplikasi Kehamilan Meninggal Tidak meninggal Total Count 12 415 427 % within Komplikasi Kehamilan 2.8% 97.2% 100.0% Count 67 6644 6711 % within Komplikasi Kehamilan 1.0% 99.0% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Komplikasi Kehamilan 1.1% 98.9% 100.0% Komplikasi Tidak komplikasi Total Chi-Square Tests df Asymp. Sig. (2sided) 12.042 a 1 .001 Continuity Correction 10.444 1 .001 Likelihood Ratio 8.687 1 .003 Value Pearson Chi-Square b Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases 12.041 1 Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .002 .002 .001 7138 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.73. b. Computed only for a 2x2 table 192 Case Processing Summary Cases Valid Penolong Persalinan * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% Penolong Persalinan * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Penolong Persalinan Non Nakes Meninggal Tidak meninggal Total Count 24 1887 1911 % within Penolong Persalinan 1.3% 98.7% 100.0% Count 55 5172 5227 % within Penolong Persalinan 1.1% 98.9% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Penolong Persalinan 1.1% 98.9% 100.0% Nakes Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2sided) .530a 1 .466 Continuity Correction .361 1 .548 Likelihood Ratio .516 1 .472 Pearson Chi-Square b Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .446 .270 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases .530 1 .467 7138 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21.15. b. Computed only for a 2x2 table Case Processing Summary Cases Valid Persalinan Caesar * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% 193 Persalinan Caesar * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Persalinan Caesar Meninggal Tidak meninggal Total Count 9 562 571 % within Persalinan Caesar 1.6% 98.4% 100.0% Count 70 6497 6567 % within Persalinan Caesar 1.1% 98.9% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Persalinan Caesar 1.1% 98.9% 100.0% Caesar Tidak caesar Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2sided) 1.250 a 1 .264 Continuity Correction .827 1 .363 Likelihood Ratio 1.117 1 .290 Pearson Chi-Square b Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .291 .178 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association 1.249 N of Valid Casesb 7138 1 .264 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.32. b. Computed only for a 2x2 table Case Processing Summary Cases Valid Tempat Persalinan * Kematian Neonatal Missing Total N Percent N Percent N Percent 7138 100.0% 0 .0% 7138 100.0% Tempat Persalinan * Kematian Neonatal Crosstabulation Kematian Neonatal Tempat Persalinan Non Fasyankes Fasyankes Total Meninggal Tidak meninggal Total Count 45 4231 4276 % within Tempat Persalinan 1.1% 98.9% 100.0% Count 34 2828 2862 % within Tempat Persalinan 1.2% 98.8% 100.0% Count 79 7059 7138 % within Tempat Persalinan 1.1% 98.9% 100.0% 194 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2sided) .288a 1 .592 Continuity Correction .177 1 .674 Likelihood Ratio .286 1 .593 Pearson Chi-Square b Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases .288 1 Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .645 .335 .592 7138 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31.68. b. Computed only for a 2x2 table 195