determinan kematian neonatal di daerah rural

advertisement
DETERMINAN KEMATIAN NEONATAL
DI DAERAH RURAL INDONESIA TAHUN 2008-2012
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
Siti Malati Umah
NIM: 1110101000040
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/1435 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 Agustus 2014
Siti Malati Umah
i
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
DETERMINAN KEMATIAN NEONATAL
DI DAERAH RURAL INDONESIA TAHUN 2008-2012
Telah disetujui dan diperiksa untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 28 Agustus 2014
Oleh:
Siti Malati Umah
NIM: 1110101000040
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS
Minsarnawati, SKM, M.Kes
NIP. 198404042008122007
NIP. 197502152009012003
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul DETERMINAN KEMATIAN NEONATAL DI
DAERAH RURAL INDONESIA TAHUN 2008-2012 telah diujikan dalam
sidang skripsi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 15 Agustus 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi
Kesehatan Masyarakat.
Jakarta, 28 Agustus 2014
Sidang Skripsi,
Penguji I,
Raihana Nadra Al Kaff, SKM, MMA
NIP. 197812162009012005
Penguji II,
Riastuti Kusuma Wardani, SKM, MKM
NIP. 1980516200902005
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, 28 Agustus 2014
Siti Malati Umah, NIM: 1110101000040
Determinan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
xviii + 156 halaman, 27 tabel, 6 gambar, 3 lampiran
ABSTRAK
Latar Belakang: Kematian neonatal merupakan penyumbang terbesar kasus
kematian pada bayi di Indonesia sebanyak 59% kasus. Kematian neonatal lebih
tinggi terjadi di daerah rural dibandingkan wilayah urban Indonesia. Pengetahuan
tentang faktor yang berpengaruh terhadap kematian neonatal diperlukan untuk
mencegah terjadinya kasus kematian neonatal khususnya di daerah rural.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
Metode: Sumber data penelitian adalah Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 2012 dengan desain penelitian cross sectional study dan analisis
statistik menggunakan uji chi square.
Hasil: Hasil penelitian didapatkan faktor yang berhubungan dengan kematian
neonatal yaitu status pekerjaan ibu (p= 0,000), umur ibu (p=0,007), paritas
(0,033), kunjungan antenatal (p=0,001) dan komplikasi kehamilan (p=0,002).
Sedangkan pendidikan ibu (p=0,311), indeks kekayaan rumah tangga (0,375),
jenis kelamin bayi (p=0,458), penolong persalinan (p=0,548), persalinan caesar
(0,363) dan tempat persalinan (0,674) tidak berhubungan dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia.
Simpulan: Perlu dilakukan peningkatan pengetahuan pada kelompok ibu umur
>20 tahun dan >35 tahun serta kelompok ibu yang bekerja, peningkatan
ketersediaan dan kelengkapan fasilitas dan tenaga pada layanan KB, pelayanan
antenatal yang fokus pada terjaminnya ketersediaan, kelengkapan dan kualitas
fasilitas dan tenaga kesehatan, pemantauan berkelanjutan bagi ibu yang
mengalami komplikasi kehamilan dan peningkatan kualitas tenaga penolong
persalinan.
Kata kunci: Determinan, Kematian Neonatal, Rural, Indonesia
Daftar bacaan: 121 (1992-2014)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, August 29th 2014
Siti Malati Umah, NIM: 1110101000040
Determinants of Neonatal Mortality in Rural Indonesia Year 2008-2012
xviii + 156 pages, 27 tables, 6 pictures, 3 attachments
ABSTRACT
Background: Neonatal mortality accounts for almost 59% of infant mortality in
Indonesia. Neonatal mortality shows to be higher in rural area than in urban area.
An understanding of the factors related to neonatal mortality in rural setting is
needed to prevent neonatal death. This study aimed to identify the determinants of
neonatal deaths in rural Indonesia year 2008-2012.
Method: The data source for the analysis was the 2012 Indonesia Demographic
and Health Survey with cross sectional study design and statistic analysis was
performed using chi square test.
Results: The results indicated that maternal occupation status (p= 0,000),
maternal age (p=0,007), parity (0,033), antenatal care (p=0,001) and
complications during pregnancy (p=0,002) were associated with neonatal death.
While maternal education (p=0,311), household wealth index (0,375), sex of
neonatus (p=0,458), birth attendants (p=0,548), cesarean delivery (0,363) dan
place of delivery (0,674) were not associated with neonatal death in rural area of
Indonesia.
Conclusion: Strategies on improving maternal knowledge needed to be focus on
maternal age >20 and >35 years and maternal working group, provision of
adequate health facilities both of the availability of health professionals and the
completeness of equipments on family planning and antenatal care service,
sustained monitoring on maternal complication group and improving skilled birth
attendance towards providing quality service.
Keywords: Determinants, Neonatal Mortality, Rural, Indonesia
Reading list: 121 (1992-2014)
v
RIWAYAT HIDUP PENULIS
A. Identitas Pribadi
Nama Lengkap
: Siti Malati Umah
Tempat, Tanggal Lahir : Brebes, 26 Juli 1991
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Pasirpanjang RT 006/002, Kecamatan Salem,
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, 52275
Nomor telepon
: 0857 4784 2313
Email
: [email protected]
Website
: elummah35.wordpress.com
B. Pendidikan Formal
1. 1997 - 2003
: SDN 03 Pasirpanjang, Salem, Brebes
2. 2003 - 2006
: MTs As Salam Salem, Brebes
3. 2006 - 2010
: MAN 2 Ciamis
4. 2010 - sekarang
: S1-Peminatan Epidemiologi, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang,
atas limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Mata Kuliah
Skripsi. Salawat dan salam senantiasa tecurahkan kepada Rasul tercinta yang telah
menjadi suri tauladan bagi umatnya.
Dengan bekal pengetahuan, pengarahan serta bimbingan yang diperoleh
selama perkuliahan, penulis menyusun skripsi mengenai “Determinan Kematian
Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012”. Skripsi ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah skripsi sebagai tugas akhir mahasiswa.
Masalah kematian pada neonatal dipilih sebagai topik penelitian mengingat
kematian neonatal menempati proporsi tertinggi kematian yang terjadi pada bayi.
Angka Kematian Bayi masih jauh dari target MDGs 2015. Target MDGs untuk
menurunkan Angka Kematian Bayi akan tercapai apabila penurunan Angka
Kematian Neonatal bisa dicapai. Sehingga diharapkan penelitian ini nantinya bisa
berkontribusi terhadap upaya penurunan angka kematian bayi serta balita di
Indonesia khususnya untuk daerah rural Indonesia.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. (hc). Dr. M. K. Tajudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Ir. Febrianti, M.Si selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat serta
penanggungjawab Mata Kuliah Skripsi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013-2014.
3. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014-2015.
4. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes selaku penanggungjawab
Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing skripsi atas arahan dan
bimbingannya selama penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS selaku dosen pembimbing skripsi atas
konsultasi, arahan serta bimbingannya selama penyusunan skripsi.
6. Orang tua penulis, bagi Bapak (Ali Syamsuddin Alm) rasa terimakasih yang
sangat besar atas dukungan, do’a serta kepercayaannya yang diberikan
kepada penulis sehingga penulis semakin percaya diri dalam menghadapi
berbagai hal. Untuk Ibu (Syariah), dengan kelembutan dan kasih sayang serta
do’anya yang tak pernah berhenti dipanjatkan untuk penulis serta keteguhan
hati yang dicontohkannya sehingga semakin menguatkan penulis. Penulis
selalu mendo’akan, semoga Allah SWT menerima seluruh amal kebaikan
mereka dan mengampuni segala dosanya. Amiin.
7. A Irfan yang terus memberikan masukan, motivasi, semangat disaat penulis
menghadapi kesulitan-kesulitan. Ceu Ela, dengan kasih sayangnya yang
sangat tulus sehingga membuat penulis semakin semangat. Udin, adikku yang
paling santai menghadapi berbagai masalahnya. Ceu, A, Udin, semuanya
makasih atas dukungan semangat, motivasi dan do’anya. Buat Udin, Ayoo,
viii
segera menyusul 3.5 tahun selesai ya… Tidak lupa buat si bungsu Fuad yang
menjadi sponsor pulsa bagi penulis, makasih Uad bantuannya,, sangat
bermanfaat…
8. Buat Rizka sahabatku, teman sekosanku yang mau direpotkan, sering
dimintain tolong ini itu, De, makasih banget ya udah banyak ngebantu aku...
Buat Nida, Najah, Zata, makasih Nid, Jah, Ta, masukan dan do’a kalian saat
penyusunan proposal membuat semangatku bangkit kembali. Buat Wiwid,
kamu keren sis, aku banyak belajar dari kamu lho,,. Buat Luthfi, Fi.. makasih
ya, udah ngasih banyak masukan buat proposal dan skripsiku, skripsi kita
bener-bener mirip ya, tapi tetep berbeda. Buat Bebe, Tika, juga Karlin,
makasih ya kalian udah sering berbagi cerita, informasi, ngasih masukan,
saling nyemangatin, semoga ukhuwah kita tetap terjaga... Buat kalian
semuanya, makasih ya udah sering main ke kosan, refreshing banget buat
aku, skripsi jadi lebih menyenangkan (kapan lagi ya kita bisa kumpul di
kosan). Tidak lupa buat Ii, makasih ya udah ngasih semangat juga saat
proposal. Buat Putri, semangat selalu ya, semoga kita lulus tahun ini semua.
Terakhir buat dua cowok yang memang hanya dua cowok di peminatan
epidemiologi, Harun dan Bayu, Wong Palembang, cowok-cowok rajin yang
ngalahin cewek paling rajin di kelas, kalian bener-bener superrr, patut
dijadikan contoh. Peminatan Epidemiologi Pokoknya Tak Terlupakan (udah
kangen banget sama kalian...).
9. Teman-teman Kesehatan Masyarakat, Reka, Ifa, Bila, Nina, Angga, Anin,
Mawar, Sari, Nita terutama buat Eliza, Syifa, Qotrun, Dillah, Supri, Nia,
ix
makasih ya buat kalian, kalian seru banget, bikin skripsi lebih seru, sekilas
ketegangan hilang, thanks banget Guys...
10. Teman-teman program studi lain, Keperawatan, Shulcha, Hilma, Alung;
teman-teman Farmasi Nia, Lina, Farida; adik kelas peminatan epidemiologi
Rini, Iis, Ila, Karim; teman-teman CSS MoRA UIN Jakarta, serta kakak
kelasku (Teh Eci) dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa penulisan laporan penelitian pada
skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar penulis
dapat menyusun laporan penelitian yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Wassalamu‘alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
Jakarta, 28 Agustus 2014
Siti Malati Umah
x
MOTTO HIDUP
‫" َﺈ ِن ﱠﻣ َﻊ َ اﻟ ْﻌ ُﺴ ْﺮ ِ ﯾ ُﺴ ْﺮ ً ا‬
‫ﻓ‬
"..‫ن ﱠ ﻣإ َِ ﻊ َ اﻟ ْ ﻌ ُﺴ ْﺮ ِ ﯾ ُﺴ ْﺮ ًا‬
“…Karena
sesungguhnya
setelah
kesulitan
itu
ada
kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada
kemudahan…” (Q.S. Al Insyiroh: 5-6)
xi
LEMBAR PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk Bapak (Alm)
dan Ibu tercinta…
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i
PERNYATAAN PERSETUJUAN .................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................................................... iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP PENULIS ......................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xix
BAB
I
PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1
Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................. 4
1.3
Pertanyaan Penelitian......................................................................... 5
1.4
Tujuan Penelitian ............................................................................... 6
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................ 6
1.4.2 Tujuan Khusus ....................................................................... 6
1.5
Manfaat Penelitian ............................................................................. 8
1.5.1 Bagi Peneliti ........................................................................... 8
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ............................ 8
1.5.3 Bagi Pemerintah ..................................................................... 8
1.5.4 Bagi Masyarakat..................................................................... 9
1.6
Ruang Lingkup Masalah .................................................................... 9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 10
2.1
Kematian Neonatal .......................................................................... 10
2.2
Angka Kematian Neonatal ............................................................... 11
2.3
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal .......... 13
xiii
2.3.1 Faktor Sosial-ekonomi (Socioeconomic Factors) .................. 13
2.3.2 Determinan Terdekat (Proximate Determinants) .................. 20
2.3.2.1 Faktor Ibu (Maternal Factors) .................................. 20
2.3.2.2 Faktor Neonatal (Neonatal Factors) ......................... 24
2.3.2.3 Faktor Sebelum Melahirkan (Pre-Delivery Factors). 38
2.3.2.4 Faktor Saat Melahirkan (Delivery Factors) .............. 47
2.3.2.5 Faktor Setelah Melahirkan (Post Delivery Factors).. 61
2.4
Konsep Daerah Rural/Perdesaan ...................................................... 63
2.5
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI 2012) ....... 68
2.6
Kerangka Teori ................................................................................ 75
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ........ 77
3.1
Kerangka Konsep ............................................................................ 77
3.2
Definisi Operasional ........................................................................ 80
3.3
Hipotesis Penelitian ......................................................................... 83
BAB IV
METODE PENELITIAN .............................................................. 84
4.1
Desain Penelitian ............................................................................. 84
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................ 85
4.3
Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 85
4.3.1 Populasi Penelitian ............................................................... 85
4.3.2 Sampel Penelitian ................................................................. 85
4.4
Cara Pengambilan Sampel ............................................................... 86
4.5
Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 87
4.6
Pengolahan Data .............................................................................. 89
4.7
Analisis Data ................................................................................... 90
4.7.1 Analisis Univariat ................................................................. 91
4.7.2 Analisis Bivariat ................................................................... 91
BAB V
HASIL ............................................................................................ 92
5.1
Distribusi Kematian Neonatal .......................................................... 92
5.2
Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu .................................................... 92
5.3
Distribusi Status Pekerjaan Ibu ........................................................ 93
5.4
Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga ..................................... 93
xiv
5.5
Distribusi Umur Ibu ......................................................................... 94
5.6
Distribusi Jenis Kelamin Bayi .......................................................... 94
5.7
Distribusi Paritas ............................................................................. 95
5.8
Distribusi Kunjungan Antenatal ....................................................... 95
5.9
Distribusi Komplikasi Kehamilan .................................................... 95
5.10 Distribusi Penolong Persalinan ........................................................ 96
5.11 Distribusi Persalinan Caesar ............................................................ 96
5.12 Distribusi Tempat Persalinan ........................................................... 97
5.13 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kematian Neonatal ..................... 97
5.14 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kematian Neonatal ....................... 98
5.15 Hubungan Indeks Kekayaan Rumah Tangga dengan Kematian
Neonatal .......................................................................................... 99
5.16 Hubungan Umur Ibu dengan Kematian Neonatal ........................... 100
5.17 Hubungan Jenis Kelamin Bayi dengan Kematian Neonatal ............ 100
5.18 Hubungan Paritas dengan Kematian Neonatal ................................ 101
5.19 Hubungan Kunjungan Antenatal dengan Kematian Neonatal ......... 102
5.20 Hubungan Komplikasi Kehamilan dengan Kematian Neonatal....... 102
5.21 Hubungan Penolong Persalinan dengan Kematian Neonatal ........... 103
5.22 Hubungan Persalinan Caesar dengan Kematian Neonatal .............. 104
5.23 Hubungan Tempat Persalinan dengan Kematian Neonatal.............. 104
BAB VI
PEMBAHASAN ........................................................................... 106
6.1
Keterbatasan Penelitian .................................................................. 106
6.2
Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 .. 107
6.3
Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..................................... 111
6.3.1 Pendidikan Ibu ................................................................... 111
6.3.2 Pekerjaan Ibu ..................................................................... 115
6.3.3 Indeks Kekayaan Rumah Tangga........................................ 119
6.3.4 Umur Ibu ............................................................................ 123
6.3.5 Jenis Kelamin Bayi............................................................. 127
6.3.6 Paritas ................................................................................ 129
6.3.7 Kunjungan Antenatal .......................................................... 135
xv
6.3.8 Komplikasi Kehamilan ....................................................... 142
6.3.9 Penolong Persalinan ........................................................... 145
6.3.10 Persalinan Caesar............................................................... 152
6.3.11 Tempat Persalinan .............................................................. 154
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 161
7.1
Simpulan ....................................................................................... 161
7.2
Saran ............................................................................................. 162
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 164
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................. 175
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Kriteria Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia............................... 67
Tabel 3.1
Definisi Operasional ...................................................................... 80
Tabel 4.1
Variabel dan Kode Variabel Penelitian Pada SDKI 2012 ............... 89
Tabel 4.2
Hasil Cleaning Data Daerah Rural Indonesia SDKI 2012 .............. 90
Tabel 5.1
Distribusi Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun
2008-2012 ..................................................................................... 92
Tabel 5.2
Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Daerah Rural Indonesia Tahun
2008-2012 ..................................................................................... 92
Tabel 5.3
Distribusi Pekerjaan Ibu di Daerah Rural Indonesia Tahun 20082012 .............................................................................................. 93
Tabel 5.4
Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga di Daerah Rural
Indonesia Tahun 2008-2012 .......................................................... 93
Tabel 5.5
Distribusi Umur Ibu di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 . 94
Tabel 5.6
Distribusi Jenis Kelamin Bayi di Daerah Rural Indonesia Tahun
2008-2012 ..................................................................................... 94
Tabel 5.7
Distribusi Paritas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ..... 95
Tabel 5.8
Distribusi Kunjungan Antenatal di Daerah Rural Indonesia Tahun
2008-2012 ..................................................................................... 95
Tabel 5.9
Distribusi Komplikasi Kehamilan di Daerah Rural Indonesia Tahun
2008-2012 ..................................................................................... 96
Tabel 5.10 Distribusi Penolong Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun
2008-2012 ..................................................................................... 96
Tabel 5.11
Distribusi Persalinan Caesar di Daerah Rural Indonesia Tahun 20082012 .............................................................................................. 97
Tabel 5.12
Distribusi Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun
2008-2012 ..................................................................................... 97
xvii
Tabel 5.13
Analisis Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kematian
Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 .................. 98
Tabel 5.14
Analisis Hubungan antara Pekerjaan Ibu dengan Kematian Neonatal
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................................. 98
Tabel 5.15
Analisis Hubungan antara Indeks Kekayaan Rumah Tangga dengan
Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 .. 99
Tabel 5.16
Analisis Hubungan antara Umur Ibu dengan Kematian Neonatal di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................................... 100
Tabel 5.17 Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin Bayi dengan Kematian
Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 100
Tabel 5.18
Analisis Hubungan antara Paritas dengan Kematian Neonatal di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................................... 101
Tabel 5.19
Analisis Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Kematian
Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 102
Tabel 5.20
Analisis Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Kematian
Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 102
Tabel 5.21
Analisis Hubungan antara Penolong Persalinan dengan Kematian
Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 103
Tabel 5.22 Analisis Hubungan antara Persalinan Caesar dengan Kematian
Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 104
Tabel 5.23 Analisis Hubungan antara Tempat Persalinan dengan Kematian
Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012 ................ 105
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Neonatal di
Indonesia Tahun 2002-2012 ........................................................ 13
Gambar 2.2
Bagan Alur Pengambilan Sampel Rumah Tangga dan Individu ... 69
Gambar 2.3
Kerangka Teori ........................................................................... 76
Gambar 3.1
Kerangka Konsep ........................................................................ 79
Gambar 4.1
Bagan Alur Pengambilan Sampel Penelitian ................................ 87
Gambar 4.2
Proses Pengambilan Data Penelitian ............................................ 88
xix
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Berbagai laporan menunjukkan bahwa kematian neonatal menempati
proporsi kematian terbanyak yang terjadi pada bayi di dunia. Laporan
MDGs 2013 menunjukkan bahwa proporsi kematian neonatal pada kejadian
kematian balita di dunia mengalami peningkatan dari 36% pada tahun 1990
menjadi 43% pada tahun 2011 (United Nations, 2013). Data WHO juga
menunjukkan bahwa kematian neonatal memiliki proporsi sebesar 40%
kematian dari seluruh kematian yang terjadi pada balita di dunia (WHO,
2014).
Data SDKI 2012 menunjukkan kematian neonatal untuk periode 20082012 di Indonesia sebesar 19 kematian per 1000 kelahiran hidup (KH).
Angka Kematian Neonatal ini merupakan proporsi kematian terbesar yang
terjadi pada bayi (59%) di Indonesia. Angka Kematian Bayi di Indonesia
yaitu sebesar 32 per 1000 KH untuk periode 2008-2012. Angka Kematian
Bayi ini menunjukkan masih cukup jauh untuk bisa mencapai target MDGs
menurunkan Angka Kematian Bayi sebesar 23 per 1000 KH pada tahun
2015 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).
Angka Kematian Neonatal berdasarkan wilayah rural dan urban di
Indonesia menunjukkan bahwa Angka Kematian Neonatal lebih tinggi di
1
2
daerah rural (perdesaan) Indonesia dibandingkan di daerah urban
(perkotaan) Indonesia. Angka Kematian Neonatal di daerah urban Indonesia
sebesar 15 per 1.000 KH. Sedangkan Angka Kematian Neonatal di daerah
rural Indonesia berdasarkan SDKI 2012 yaitu sebesar 24 per 1.000 KH
untuk periode 2003-2012 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International,
2013). Angka Kematian Neonatal didaerah rural mengalami penurunan pada
hasil SDKI 2002-2003 (26 per 1000 KH) (BPS & ORC Macro, 2003),
namun Angka Kematian Neonatal di daerah rural Indonesia ini tetap konstan
berdasarkan hasil SDKI 2007 (24 per 1.000 KH) (BPS & Macro
International, 2008).
Angka Kematian Neonatal (AKN) merupakan kematian yang terjadi
pada dua puluh delapan hari pertama kehidupan dibagi jumlah bayi lahir
hidup. Pada SDKI 2012 AKN dihitung berdasarkan keterangan jumlah bayi
yang meninggal pada dua puluh delapan hari pertama kehidupan dibagi
dengan keterangan jumlah bayi yang bertahan hidup. Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 dilaksanakan untuk mengetahui
informasi mengenai masalah kependudukan serta masalah kesehatan yang
fokus pada kesehatan ibu dan anak di Indonesia (BPS, BKKBN, Kemenkes
& ICF International, 2013).
Masa neonatal merupakan masa empat minggu pertama kehidupan
pada bayi setelah dilahirkan (WHO, 2006). Masa neonatal merupakan waktu
yang paling rentan untuk kelangsungan hidup anak. Upaya menurunkan
angka kematian neonatal menjadi semakin penting, bukan hanya karena
proporsinya yang semakin meningkat tetapi karena intervensi kesehatan
3
yang diperlukan untuk mengatasi penyebab utama kematian berbeda dengan
intervensi pada kematian balita secara umum (WHO, 2014).
Hasil penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang berhubungan dengan kematian neonatal yaitu usia ibu (Prabamurti,
dkk., 2008), berat bayi lahir (Onwuanaku dkk., 2011), jarak kelahiran
(Mekonnen dkk., 2013), jenis kelamin bayi (Bashir dkk., 2013), paritas
(Singh dkk., 2013), pendidikan ibu (Upadhyay dkk., 2012), suntikan tetanus
toksoid pada ibu (Singh dkk., 2013), persalinan caesar (Chaman dkk.,
2009), umur kehamilan (Onwuanaku dkk., 2011), riwayat komplikasi
persalinan (Singh, dkk., 2013) dan fasilitas persalinan (Tura, dkk., 2013).
Penelitian yang dilakukan di beberapa daerah rural menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal yaitu
kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah, persalinan sesar, paritas, jarak
kelahiran, pendidikan ibu, usia ibu, pekerjaan ibu, komplikasi persalinan
(Mercer, dkk., 2006; Chaman, dkk., 2009; Upadhyay, dkk., 2012; Singh,
dkk., 2013). Penelitian lainnya menemukan bahwa penyebab utama
kematian pada neonatal di daerah rural yaitu asfiksia, infeksi (31%), lahir
prematur (26%), sepsis (45%) dan pneumonia (36%) (Baqui, dkk., 2006).
Penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa faktor risiko
yang paling berpengaruh adalah berat badan saat lahir (Efriza, 2007;
Fachlaeli, 2000). Penelitian lainnya yang menggunakan data SDKI 2003
menunjukkan bahwa status orang tua, status pekerjaan ayah, jarak
kelahiran, jenis kelamin bayi, ukuran bayi lahir dan riwayat komplikasi
persalinan memiliki hubungan dengan kematian neonatal di Indonesia
4
(Titaley, dkk., 2008). Umur ibu saat melahirkan dan umur kehamilan dapat
meningkatkan risiko terjadinya kematian neonatal (Fachlaeli, 2000). Pada
penelitian yang dilakukan (Yani & Duarsa, 2013) Yani dan Duarsa (2013)
menemukan bahwa pelayanan antenatal dan penolong persalinan memiliki
hubungan dengan kematian neonatal.
Target MDGs untuk menurunkan angka kematian bayi sebesar 23
kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015 cukup berat bagi
Indonesia. Penurunana angka kematian bayi ini membutuhkan berbagai
upaya yang perlu ditingkatkan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF
International, 2013) sedangkan waktu pencapaian hanya tersisa satu tahun.
Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap kasus kematian neonatal di Indonesia dengan fokus di
daerah rural karena memiliki angka kematian neonatal yang lebih tinggi
dibandingkan di daerah urban serta memiliki angka kematian neonatal yang
tetap konstan dari tahun sebelumnya. Penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi dalam upaya melakukan intervensi terkait faktor risiko
kematian neonatal sehingga bisa berdampak terhadap penurunan Angka
Kematian Neonatal di daerah rural Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan data SDKI 2012 untuk periode 2008-2012, diketahui
bahwa kematian neonatal menjadi penyumbang utama kematian yang terjadi
pada Bayi di Indonesia. Angka Kematian Bayi masih tinggi, sangat jauh
untuk bisa mencapai target MDGs. Angka Kematian Neonatal di daerah
rural Indonesia menunjukkan lebih tinggi dibandingkan di daerah urban
5
Indonesia. Kematian neonatal di daerah rural Indonesia tetap konstan
berdasarkan SDKI 2007 dan SDKI 2012. Sehingga perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kematian neonatal di daerah rural Indonesia agar bisa diketahui intervensi
yang diperlukan untuk menurunkan Angka Kematian Neonatal yang juga
diharapkan bisa berdampak pada penurunan Angka Kematian Bayi.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan pada penelitian ini sebagai berikut:
1) Bagaimana distribusi kematian neonatal, pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
indeks kekayaan rumah tangga, umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas,
kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan, penolong persalinan,
persalinan caesar dan tempat persalinan di daerah rural Indonesia tahun
2008-2012?
2) Bagaimana hubungan pendidikan ibu dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012?
3) Bagaimana hubungan pekerjaan ibu dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012?
4) Bagaimana hubungan indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012?
5) Bagaimana hubungan umur ibu dengan kematian neonatal di daerah
rural Indonesia tahun 2008-2012?
6) Bagaimana hubungan jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012?
6
7) Bagaimana hubungan paritas dengan kematian neonatal di daerah rural
Indonesia tahun 2008-2012?
8) Bagaimana hubungan kunjungan antenatal dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012?
9) Bagaimana hubungan komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal
di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012?
10) Bagaimana hubungan penolong persalinan dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012?
11) Bagaimana hubungan persalinan caesar dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012?
12) Bagaimana hubungan tempat persalinan dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus
sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini yaitu diketahuinya determinan
kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini sebagai berikut:
1) Diketahuinya distribusi kematian neonatal, pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga, umur ibu, jenis
kelamin bayi, paritas, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan,
7
penolong persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
2) Diketahuinya hubungan pendidikan ibu dengan kematian neonatal
di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
3) Diketahuinya hubungan pekerjaan ibu dengan kematian neonatal
di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
4) Diketahuinya hubungan indeks kekayaan rumah tangga dengan
kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
5) Diketahuinya hubungan umur ibu dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
6) Diketahuinya hubungan jenis kelamin bayi dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
7) Diketahuinya hubungan paritas dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
8) Diketahuinya hubungan kunjungan antenatal dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
9) Diketahuinya hubungan komplikasi kehamilan dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
10) Diketahuinya hubungan penolong persalinan dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
11) Diketahuinya hubungan persalinan caesar dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
12) Diketahuinya hubungan tempat persalinan dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
8
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1.5.1
Bagi Peneliti
Sebagai sarana menerapkan dan mengaplikasikan keilmuan
kesehatan masyarakat yang telah didapatkan di perkuliahan
mengenai metodologi penelitian, epidemiologi kesehatan reproduksi,
manajemen dan analisis data serta keilmuwan kesehatan masyarakat
lainnya yang digunakan dalam penelitian ini.
1.5.2
Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan bagi
kalangan
akademisi
sebagai
informasi
terhadap
penelitian
selanjutnya.
1.5.3
Bagi Pemerintah
Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia
bisa
mendapatkan hasil penelitian ini berupa Policy Brief mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal di daerah
rural Indonesia. Sehingga diharapkan Policy Brief tersebut
selanjutnya menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan upaya
penurunan Angka Kematian Neonatal di Indonesia terutama fokus di
daerah rural.
9
1.5.4
Bagi Masyarakat
Masyarakat bisa mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia setelah
membaca laporan hasil penelitian ini.
1.6 Ruang Lingkup Masalah
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kematian neonatal. Penelitian ini merupakan penelitian
epidemiologi analitik dengan variabel independen adalah pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga, umur ibu, jenis kelamin bayi,
paritas, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan, penolong persalinan,
persalinan caesar dan tempat persalinan. Sedangkan variabel dependennya
adalah kematian neonatal. Desain penelitian yang digunakan adalah cross
sectional
study,
dimana
variabel
dependen
maupun
independen
dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Instrumen pada penelitian
berupa Kuesioner Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012.
Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2014. Populasi penelitian yaitu semua
neonatal di daerah rural Indonesia pada periode 2008-2012 dengan sampel
penelitian berjumlah 7.138 orang.
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kematian Neonatal
Neonatus (bayi baru lahir) adalah bayi dari saat lahir sampai usia 4
minggu pertama kehidupan (Wong, 2004). Periode neonatal dimulai saat
bayi lahir sampai 28 hari setelah kelahiran (WHO, 2006). Periode neonatal
ini merupakan periode paling kritis untuk perkembangan dan pertumbuhan
bayi (Saifudin, dkk, 2009). Bayi sangat mudah terserang penyakit akibat
terjadi transisi dari kehidupan didalam kandungan ke kehidupan di luar
kandungan (ekstrauterus) yang memerlukan beberapa penyesuaian
fisiologi dan biokimia agar bayi bisa bertahan hidup. Pada masa transisi ini
sebagian besar masalah yang terjadi adalah lemahya adaptasi bayi akibat
aspiksia, kelahiran prematur dan efek yang terjadi akibat proses persalinan
(Kliegman, dkk., 2011).
Kematian neonatal menurut ICD10 adalah kematian yang terjadi
selama dua puluh delapan hari pertama kehidupan setelah bayi dilahirkan.
Kematian neonatal terbagi atas kematian neonatal dini dan kematian
neonatal lanjut. Kematian neonatal dini merupakan kematian seorang bayi
dari mulai setelah dilahirkan sampai 7 hari pertama kehidupan (0-6 hari).
Sedangkan kematian neonatal lanjut adalah kematian bayi setelah 7 hari
sampai sebelum 28 hari pertama kehidupan (7-27 hari) (WHO, 2006).
10
11
2.2
Angka Kematian Neonatal
Angka Kematian Neonatal merupakan jumlah kematian bayi
berumur kurang dari 28 hari pada periode tertentu biasanya pada periode
satu tahun (Timmreck, 1994). Walaupun Angka Kematian Balita di dunia
menunjukkan terjadi penurunan sebesar 41% dari 87 kematian per 1000
kelahiran hidup tahun 1990 menjadi 51 kematian per 1000 kelahiran hidup
tahun 2011, masih diperlukan upaya lebih serius untuk menurunkan dua
per tiga kematian balita pada tahun 2015. Selain itu, proporsi kematian
neonatal pada kematian balita di dunia justru mengalami peningkatan dari
36% pada tahun 1990 menjadi 43% pada tahun 2011 (United Nations,
2013).
Penurunan Angka Kematian Neonatal sangat penting untuk
mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 penurunan
Angka Kematian Balita. Target MDGs untuk penurunan Angka Kematian
Balita yaitu penurunan kematian sebesar dua per tiga kematian pada 2015
dari kematian balita yang terjadi pada tahun 1990 (United Nations, 2013).
Penurunan angka kematian balita ini secara lebih rinci yaitu dari 97
kematian per 1000 KH menjadi 32 kematian per 1000 KH pada tahun 2015
(Stalker, 2008). Angka Kematian Balita di Indonesia diketahui sebesar 40
per 1.000 KH pada periode 2008-2012, dimana kematian yang terjadi pada
bayi merupakan penyumbang kematian tertinggi (BPS, BKKBN,
Kemenkes & ICF International, 2013).
Angka Kematian Bayi di Indonesia yaitu sebesar 32 per 1000 KH
untuk periode 2008-2012. Sedangkan Angka Kematian Bayi di daerah
12
rural Indonesia sebesar 40 per 1000 KH untuk periode 2003-2012. Pada
kematian bayi tersebut diketahui kematian neonatal merupakan proporsi
kematian penyumbang paling banyak.
Angka Kematian Neonatal di Indonesia yaitu sebesar 19 per 1000
KH untuk periode 2008-2012. Angka kematian neonatal ini tidak
mengalami penurunan maupun peningkatan (konstan) dari hasil SDKI
sebelumnya (SDKI 2007). Namun, Proporsi kematian neonatal terhadap
kematian bayi mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke tahun 2012
(58% menjadi 59%) (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International,
2013).
Angka kematian neonatal di daerah rural Indonesia berdasarkan
SDKI 2012 didapatkan sebesar 24 per 1000 KH. Angka kematian neonatal
ini mengalami penurunan berdasarkan SDKI 2002-2003, namun tetap
konstan berdasarkan SDKI 2007. Angka kematian neonatal di daerah rural
Indonesia berdasarkan SDKI 2002-2003 sebesar 26 per 1000 KH (BPS &
ORC Macro, 2003). Sedangkan berdasarkan SDKI 2007, angka kematian
neonatal di daerah rural Indonesia yaitu sebesar 24 per 1000 KH (BPS &
Macro International, 2008).
13
Gambar 2.1
Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Neonatal
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2002-2012
Jumlah
60
52
45
40
40
26
24
24
20
0
SDKI 2002-2003
Kematian Bayi
SDKI 2007
SDKI 2012
Kematian Neonatal
Sumber: (BPS & ORC Macro, 2003; BPS & Macro International, 2008;
BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013)
2.3
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal
Determinan
atau
faktor-faktor
yang
berpengaruh
terhadap
kelangsungan hidup neonatal menurut Titaley, dkk (2008) terdiri dari
faktor sosial-ekonomi (socioeconomic determinants) dan faktor terdekat
(proximate determinants). Determinan terdekat tersebut terdiri dari faktor
ibu, faktor bayi dan faktor pelayanan kesehatan.
2.3.1 Faktor Sosial-ekonomi (Socioeconomic Factors)
Faktor
sosial-ekonomi
yang
berpengaruh
terhadap
kelangsungan hidup bayi terdiri dari pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
indeks kekayaan rumah tangga dan wilayah tempat tinggal (Titaley,
dkk, 2008; Mekonnen dkk., 2013; Singh, dkk., 2013; Upadhyay,
dkk., 2012; Yi, dkk., 2011).
1) Pendidikan Ibu
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20
tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
14
pendidikan
adalah
usaha
sadar
dan
terencana
untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Adapun jenjang pendidikan merupakan tahapan pendidikan
yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta
didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang
dikembangkan.
Jenjang pendidikan
formal
terdiri atas
pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
Semakin meningkatnya level pendidikan ibu dapat
meningkatkan kemampuan ibu untuk memperoleh, memproses
dan memahami informasi dasar kesehatan tentang manfaat
pelayanan sebelum melahirkan dan informasi pelayanan
kesehatan reproduksi yang dibutuhkan. Informasi sangat
penting bagi ibu untuk membuat keputusan yang tepat. Ibu
dengan tingkat pendidikan yang tinggi lebih percaya diri
bertanya mengenai pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh
dirinya (Karlsen, dkk., 2011).
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
tingkat
pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian kematian
neonatal (Mekonnen dkk., 2013; Upadhyay, dkk., 2012).
Tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan dengan kejadian
15
kematian neonatal (Singh dkk., 2013). Semakin rendah tingkat
pendidikan ibu akan semakin besar peluang terjadinya kasus
kematian bayi (Ibu tidak pernah sekolah, OR: 2.48; ibu
berpendidikan rendah, OR: 1.57) (Faisal, 2010). Penelitian
lainnya juga menunjukkan terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan ibu dengan kematian bayi (Sugiharto, 2011).
Penelitian yang dilakukan Pertiwi (2010) juga menunjukkan
ada hubungan antara pendidikan dengan kematian neonatal.
Ibu yang tidak memiliki riwayat pendidikan lebih rentan
mengalami kejadian kematian pada neonatusnya (Manzar,
dkk., 2012).
Penelitian kualitatif pada masyarakat suku Dayak Siang
Murung Raya, menemukan bahwa terdapat remaja yang masih
duduk dibangku
sekolah
bahkan remaja
yang belum
mengalami menstruasi yang sudah menikah. Hal tersebut
terjadi karena diketahui sebagian besar pendidikan masyarakat
setempat yang masih rendah (Kemenkes RI, 2012). Penelitian
pada masyarakat suku Gorontalo Desa Imbodu menemukan
bahwa sebagian besar masyarakat berpendidikan rendah.
Informasi yang didapatkan secara informal juga jarang
ditemukan di daerah perdesaan. Sebagian besar masyarakat
mendapatkan pengetahuan kesehatan berdasarkan penuturanpenuturan orang tua. Para orang tua memiliki pengalaman
diobati oleh dukun saat mereka sakit. Selain itu, para remaja
16
sungkan
untuk
bertanya
mengenai
masalah
kesehatan
reproduksi kepada orangtuanya. Biasanya para remaja tersebut
mendapatkan informasi dari teman-temannya (Kemenkes RI,
2012).
Namun, pada penelitian yang dilakukan Wijayanti
(2013) menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu
dengan kejadian kematian neonatal.
2) Pekerjaan Ibu
Apabila ibu melakukan pekerjaan saat hamil, ibu
memiliki
kemungkinan
terkena
pajanan
terhadap
zat
fetotoksik, ketegangan fisik yang berlebihan, terlalu lelah serta
kesulitan yang berhubungan dengan keseimbangan tubuh. Ibu
yang sering beridiri di suatu tempat dalam jangka waktu lama
bisa berisiko mengalami varises vena, flebitis dan edema
(Ladewig, dkk., 2006).
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
terdapat
hubungan antara status pekerjaan ibu dengan kematian
neonatal (Singh, dkk., 2013). Status ibu bekerja memiliki
hubungan dengan kematian neonatal (Titaley, dkk., 2008). Ibu
yang bekerja mempunyai kecenderungan untuk mengalami
kejadian kematian bayi 1.52 kali lebih besar dibandingkan ibu
yang tidak bekerja (Faisal, 2010). Ada hubungan antara status
ibu bekerja dengan kematian neonatal dini (Nugraheni, 2013).
17
Ibu yang bekerja memiliki risiko 2.34 kali untuk mengalami
kematian neonatal dibandingkan ibu yang tidak bekerja (Dewi,
2010). Penelitian lainnya menunjukkan tidak ada hubungan
antara pekerjaan ibu dengan kejadian kematian neonatal
(Wijayanti, 2013).
Penelitian di daerah rural Etiopia menunjukkan bahwa
kematian bayi lebih tinggi terjadi pada ibu yang bekerja yang
merupakan usaha miliki sendiri. Bayi dari ibu tersebut
memiliki risiko 5.4 kali lebih besar untuk mengalami kematian
dibandingkan bayi dari ibu pada kelompok lainnya (petani,
IRT) (Andargie, dkk., 2013). Penelitian di daerah rural India
juga menemukan bahwa anak dari ibu yang tidak bekerja
(tinggal di rumah) memiliki risiko lebih rendah untuk
meninggal selama periode neonatal dibandingkan anak dari ibu
yang bekerja (Singh, dkk., 2013).
Penelitian kualitatif yang dilakukan di Desa Jrangoan
(Suku Madura) Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Jawa
Timur, menemukan bahwa remaja putri telah menikah
umumnya pada usia 17 tahun. Remaja putri tersebut yang
kemudian menjadi nyonya-nyonya kecil harus bisa membantu
suami mengurus ladang yang merupakan tempat mereka
mencari nafkah. Ibu hamil tetap bekerja ke sawah walaupun
dalam kondisi hamil karena ingin membantu suaminya
mencari nafkah untuk keluarga. Kegiatan bertani yang
18
dilakukan oleh ibu hamil tersebut adalah menanam berbagai
jenis tanaman seperti padi, kacang-kacangan, singkong, ketela,
cabai, bawang dan tembakau (Kemenkes RI, 2012).
Kebiasaan ibu tetap bekerja juga ditemukan pada
masyarakat Etnik Manggarai Desa Waicodi Kecamatan Cibal
Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ibu
hamil usia muda maupun usia kehamilan tujuh bulan masih
selalu bekerja membantu suaminya di ladang. Pada saat
menjelang persalinan, ibu juga dianjurkan untuk turut bekerja
di kebun agar janin dalam kandungan tidak diganggu roh jahat
(Kemenkes RI, 2012).
Pada masyarakat Etnik Ngalum Distrik Oksibil
Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua juga diemukan
bahwa kebiasaan ibu saat hamil pada etnik ini yaitu dari mulai
menyiapkan sarapan untuk keluarga, memetik hasil kebun dan
kemudian menjualnya ke pasar, dimana jarak rumah ke pasar
cukup jauh. Ibu hamil dan ibu-ibu lainnya kemudian
menggunakan hasil penjualan dagangannya untuk membeli
keperluan keluarga
yang telah habis. Selanjutnya ibu
menyiapkan makanan siang untuk keluarganya dan setelah
semua selesai ibu melakukan pekerjaan lain, mencuci pakaian,
mencuci piring, mengangkat air dan bahkan kembali lagi ke
kebun mengangkat kayu bakar untuk memasak di rumah.
Kebiasaan-kebiasaan melakukan pekerjaan berat ini berlaku
19
bagi seluruh ibu di Etnik Ngalum baik ibu tidak hamil maupun
tidak hamil (Kemenkes RI, 2012).
3) Indeks Kekayaan Rumah Tangga
Indeks kekayaan rumah tangga memiliki hubungan
dengan kejadian kematian neonatal. Rumah tangga dengan
indeks
kekayaan
rumah
tangga
terendah
memiliki
kemungkinan 1,6 kali untuk mengalami kematian neonatal
dibandingkan rumah tangga dengan indeks kekayaan tinggi
(Bashir, dkk., 2013). Neonatus yang berasal dari ibu dengan
status sosial ekonomi dibawah rata-rata lebih rentan terhadap
kematian pada periode neonatal (Manzar, dkk., 2012; Gizaw,
dkk., 2014).
Penelitian yang dilakukan Mekonnen, dkk (2013) juga
menunjukkan terdapat hubungan antara indeks kekayaan
rumah tangga dengan kematian neonatal. Rumah tangga
miskin yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan memiliki
risiko yang meningkat terhadap kematian neonatal (Målqvist,
dkk., 2010). Ibu dan anak yang berasal dari keluarga miskin
memiliki risiko meningkat terhadap kematian neonatal dan
memiliki tantangan untuk mengakses pelayanan tepat waktu
dibandingkan keluarga yang lebih kaya (Lawn, dkk., 2009).
20
2.3.2 Determinan Terdekat (Proximate Determinants)
Menurut Titaley, dkk (2008), determinan atau faktor
terdekat terhadap kematian neonatal terdiri dari faktor ibu, faktor
neonatal, faktor sebelum melahirkan, faktor saat melahirkan dan
faktor setelah melahirkan.
2.3.2.1 Faktor Ibu (Maternal Factors)
Faktor ibu yang berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup neonatal adalah umur ibu (Bashir, dkk., 2013;
Mekonnen, dkk., 2013; Upadhyay, dkk, 2012).
1) Umur Ibu
Pada umur dibawah 20 tahun, rahim dan panggul
sering kali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa.
Akibatnya, ibu hamil pada usia itu mungkin mengalami
persalinan lama/macet atau gangguan lainnya karena
ketidaksiapan
ibu
untuk
menerima
tugas
dan
tanggungjawabnya sebagai orang tua. Ibu dianjurkan
hamil pada usia antara 20-35 tahun. Pada usia ini ibu
lebih siap hamil secara jasmani dan kejiwaan. Pada umur
35 tahun atau lebih, kesehatan ibu sudah menurun,
akibatnya
ibu
hamil
pada
usia
itu
mempunyai
kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak cacat,
persalinan lama dan perdarahan (Kemenkes RI, 2011).
21
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa
51%
kematian neonatal terjadi pada pada ibu usia muda (1524 tahun) (Yego, dkk., 2013). Umur ibu merupakan
faktor tidak langsung dan merupakan faktor confounding.
Ibu yang memiliki umur lebih dari 30 tahun bisa
mengalami
kematian
neonatal
(Vandresse,
2008).
Terdapat hubungan antara variabel umur ibu saat
melahirkan dengan kejadian kematian bayi (Sugiharto,
2011) (Sugiharto, 2011; Mekonnen, dkk., 2013).
Penelitian
yang
dilakukan
Bashir,
dkk
(2013)
menunjukkan bahwa kematian neonatal dipengaruhi oleh
umur ibu dengan OR sebesar 2.4 (≥ 40 tahun). Pada
penelitian Markovitz, dkk (2005) menunjukkan risko
kematian neonatal lebih tinggi pada ibu usia muda (12–
17 tahun) dari pada ibu usia lebih tua (18–19 tahun)
menunjukkan tidak ada perbedaan risiko kematian
neonatal.
Umur ibu memiliki pengaruh terhadap kematian
neonatal dengan nilai (Yani & Duarsa, 2013). Ibu yang
melahirkan pada kelompok umur <20 tahun dan
kelompok umur >30 tahun memiliki peluang lebih besar
untuk terjadinya kasus kematian bayi dibandingkan ibu
melahirkan umur 20-30 tahun (<20 tahun = OR: 1.53;
>30 tahun = OR: 1.46) (Faisal, 2010). Penelitian lainnya
22
juga menunjukkan bahwa ibu kelompok umur <20 tahun
dan >35 tahun memiliki risiko terjadinya kematian lebih
tinggi (OR: 1.595) dibandingkan dengan kelompok umur
antara 20-35 tahun (Wijayanti, 2013).
Namun
hasil
penelitian
yang
dilakukan
Onwuanaku dkk (2011) dan August, dkk., (2011)
menunjukkan bahwa umur ibu tidak memiliki hubungan
dengan kematian neonatal. Penelitian yang dilakukan
Pertiwi (2010) juga menunjukkan tidak ada hubungan
antara variabel umur ibu dengan kematian neonatal.
Tidak ada hubungan antara umur ibu kurang dari 20
tahun dengan kematian neonatal dini serta tidak ada
hubungan antara umur ibu lebih dari 35 tahun terhadap
kematian neonatal dini (Nugraheni, 2013).
Hasil penelitian kualitatif di salah satu daerah
rural Indonesia, yaitu pada masyarakat Etnik Madura
Jawa Timur, menemukan bahwa umumnya remaja putri
menikah sebelum menyelesaikan pendidikan pesantren,
yaitu sekitar usia 17 tahun (Kemenkes RI, 2012).
Penelitian kualitatif pada Etnik Nias, Sumatera Utara
juga menemukan bahwa masyarakat di Desa Hilifadölö
secara umum mentaati peraturan mengenai usia boleh
menikah yaitu minimal 18 tahun bagi perempuan dan 20
tahun bagi laki-laki. Selain itu, masih ditemukan
23
beberapa pasangan
yang menikah sebelum umur
tersebut. Sebagian besar pasangan yang menikah
sebelum umur yang telah ditetapkan adalah pasangan
yang menikah di luar Pulau Nias (Kemenkes RI, 2012).
Bahkan hasil penelitian lainnya menemukan bahwa usia
perkawinan yang dianjurkan pada masyarakat Etnik
Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat yaitu minimal 16
tahun untuk perempuan dan minimal 18 tahun untuk
laki-laki (Kemenkes RI, 2012).
Pada masyarakat Etnik Ngalum, Provinsi Papua,
juga diketahui bahwa batasan usia boleh melakukan
pernikahan di Daerah Pegunungan Bintang adalah 18
tahun. Secara umum masyarakat yang benar-benar
memegang norma adat mematuhi aturan tersebut.
Namun, banyak juga masyarakat melanggar aturan
tersebut dengan melakukan perkawinan pada usia dini.
Diketahui, karena kurangnya pengetahuan para remaja
Etnik Ngalum mengenai kesehatan reproduksi, sehingga
banyak remaja yang hamil pada usia sangat muda yaitu
usia 13 tahun. Remaja tersebut melakukan aktivitas
belajar di sekolah dalam keadaan hamil dan pihak guru
tidak melarang mereka mengikuti kegiatan belajar karena
sudah memahami kondisi murid seperti itu di daerahnya.
Bahkan ada remaja yang telah memiliki anak, kemudian
24
menunggunya diluar kelas bersama ibunya. Selain itu,
para remaja tersebut cenderung tidak mengingat waktu
terakhir
mengalami haid,
mengetahui
berapa
umur
sehingga mereka
tidak
kandungannya.
Kasus
kehamilan tidak hanya ditemukan pada anak dan remaja
tetapi juga terjadi pada ibu usia lebih dari 45 tahun.
Padahal kehamilan pada usia tersebut sangat berisiko
terhadap terjadinya komplikasi kehamilan. Apalagi
diketahui kasus anemia pada ibu hamil di Suku Ngalum
merupakan kasus yang paling tinggi di Papua (Kemenkes
RI, 2012).
2.3.2.2 Faktor Neonatal (Neonatal Factors)
Faktor
neonatal
yang
berpengaruh
terhadap
kelangsungan hidup neonatal yaitu infeksi/penyakit, paritas,
jarak kelahiran, jenis kelamin bayi, berat badan lahir,
inisiasi menyusu dini (Titalley, dkk., 2008; Debes, dkk.,
2013; Carlsen, dkk., 2013).
1) Infeksi/Penyakit
Penyakit tertentu dilihat sebagai indikator
biologi
terhadap
peranan
determinan
langsung
kematian neonatal (Mosley & Chen, 2003). Aspiksia,
kelahiran prematur, kelainan kongenital merupakan
penyebab terbanyak yang mengakibatkan buruknya
adaptasi bayi terhadap lingkungan diluar rahim
25
(Kliegman, dkk., 2011). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penyebab utama kematian neonatal dini adalah
aspiksia (45%), infeksi (22%) dan kelainan kongenital
(11%) (Djaja, dkk., 2005).
Pada saat baru lahir, fungsi pernapasan yang
adekuat pada bayi sangat penting agar berhasil
beradaptasi dengan kehidupan diluar rahim. Pada janin,
organ pertukaran gas adalah plasenta sedangkan pada
saat lahir, paru-paru mengambil alih fungsi pernapasan.
Agar bayi bisa bertahan hidup, bayi harus mampu
mengembangkan fungsi paru-paru dengan udara,
melakukan
pernapasan
secara
kontinu,
dan
mempertahankan area kontak antara gas alveolus
dengan darah kapiler yang cukup besar agar efek
perpindahan gas dapat memenuhi kebutuhan metabolik
(Rudolph, dkk., 2007).
Infeksi yang relatif tidak membahayakan pada
orang dewasa bisa bersifat fatal jika terjadi pada bayi.
Gejala infeksi pada bayi sangat tidak jelas pada tingkat
awal kehidupan bayi, sehingga pengenalan terhadap
gejala infeksi pada bayi menjadi sangat penting. Pintu
masuk infeksi bisa melalui saluran pernapasan, saluran
pencernaan, saluran kemih, dan kulit (Price & Gwin,
2005).
26
Penelitian
lainnya
menunjukkan
bahwa
pneumonia merupakan salah satu dari tiga penyebab
utama kematian neonatal yang berkontribusi terhadap
perbedaan kematian antara area rural dan urban pada
kematian neonatal (Yanping, dkk., 2010). Aspiksia,
infeksi dan kelainan kongenital merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap kematian neonatal dini (Sriasih,
2012). Hasil penelitian Baqui, dkk (2006) menunjukkan
bahwa aspiksia, infeksi dan pneumonia merupakan
penyebab utama kematian pada neonatal selain.
Penelitian yang dilakukan Yego, dkk., (2013) juga
menunjukkan bahwa aspiksia merupakan salah satu
penyebab utama kematian neonatal.
Penelitian yang dilakukan Prabamurti, dkk
(2008) menunjukkan ada hubungan antara kondisi
usaha
napas
bayi
dengan
kematian
neonatal.
Manajemen infeksi pada bayi baru lahir merupakan
salah satu intervensi yang dapat menurunkan kematian
pada neonatal (Khan, dkk., 2013).
2) Jenis Kelamin Bayi
Jenis kelamin merupakan karakteristik fisik
seseorang sebagai pria atau wanita (Andrews, 2009).
Bayi laki-laki cenderung lebih rentan terhadap penyakit
dibandingkan dengan bayi perempuan. Secara biologis,
27
bayi perempuan mempunyai keunggulan fisiologi pada
tubuhnya jika dibandingkan dengan bayi laki-laki
(Wells, 2000).
Hasil
penelitian
menunjukkan
terdapat
hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian
neonatal (Pertiwi, 2010). Penelitian yang dilakukan
Rahmawati (2007) juga menunjukkan bahwa jenis
kelamin secara statistik berhubungan dengan kematian
neonatal. Bayi laki-laki berisiko mengalami kematian
neonatal sebesar 1.4 kali dibandingkan dengan bayi
perempuan.
Beberapa
penelitian
lainnya
juga
menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin
dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010).
Namun penelitian lainnya menunjukkan tidak
terdapat hubungan antara jenis kelamin bayi dengan
kematian pada bayi (Faisal, 2010; Wijayanti, 2013).
Terjadi penurunan absolut kematian bayi yang lebih
tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan bayi
perempuan (Carlsen, dkk., 2013). Penelitian yang
dilakukan Dewi (2010) juga menunjukkan tidak
terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan
kematian neonatal.
28
Menurut penelitian kualitatif pada suku Nias
diketahui bahwa anak laki-laki (ono matua) dianggap
lebih berharga dibandingkan dengan anak perempuan.
Hal ini disebabkan karena suku Nias menganut sistem
patrilinear, yakni garis keturunan yang diikuti adalah
dari pihak laki-laki sehingga anak laki-lakilah yang
akan meneruskan
keturunan/marga (ngaötö/mado)
keluarga dan juga mengurus harta atau warisan yang
dimiliki keluarga. Selain itu, sebagian besar anak lakilaki yang sudah menikah tinggal bersama dengan orang
tua sehingga kelak ketika orang tua sudah tidak bisa
bekerja lagi maka anak laki-laki inilah yang akan
mengurus orang tuanya. Sehingga para ibu terus hamil
sampai akhirnya berhasil mendapatkan anak laki-laki
(Kemenkes RI, 2012).
3) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi
baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari
2500 gram (Saifuddin, dkk., 2009). BBLR sangat
terkait dengan kelahiran prematur dimana terjadi fungsi
organ belum matang, komplikasi akibat terapi dan
gangguan-gangguan tertentu (Kliegman, dkk., 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian
menjadi lebih tinggi pada neonatus dengan berat lahir
29
kurang dari 2.5 kg (Onwuanaku dkk., 2011). Terdapat
hubungan antara berat bayi saat lahir dengan kematian
neonatal dini (Nugraheni, 2013). Anak lahir dengan
BBLR mempunyai kecenderungan untuk mengalami
kejadian kematian bayi sebesar 3.53 kali lebih besar
dibandingkan dengan ibu yang memiliki bayi lahir
BBLN (Faisal, 2010).
Pada
beberapa
penelitian
lainnya
juga
menunjukkan terdapat hubungan antara berat bayi lahir
dengan kematian neonatal (Schoeps, dkk., 2007;
Rahmawati,
2007;
Dewi,
2010;
Pertiwi,
2010;
Wijayanti, 2013). Namun, pada penelitian yang
dilakukan Sugiharto (2011) menunjukkan tidak terdapat
hubungan antara berat bayi lahir dengan kematian bayi.
2) Paritas
Menurut Kamus Saku Mosby (Kedokteran,
Keperawatan dan Kesehatan), paritas merupakan
klasifikasi perempuan berdasarkan jumlah bayi lahir
hidup dan lahir mati yang dilahirkannya pada umur
kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada masa kehamilan,
rahim ibu teregang oleh adanya janin. Apabila terlalu
sering melahirkan, rahim akan semakin lemah. Apabila
ibu telah melahirkan 3 anak atau lebih, perlu
30
diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan,
persalinan dan nifas (Kemenkes RI, 2011).
Paritas lebih dari 3 menunjukkan ada hubungan
dengan kematian neonatal (Chaman, dkk., 2009).
Penelitian
yang
dilakukan
menunjukkan
bahwa
berhubungan
dengan
penelitian
lainnya
Titaley,
jarak
dkk
kelahiran
kematian
menunjukkan
neonatal.
bahwa
(2008)
pendek
Hasil
terdapat
hubungan antara paritas dengan kematian neonatal
(Dewi, 2010). Penelitian yang dilakukan Sugiharto
(2011) menunjukan bahwa nomor urut kelahiran
memiliki hubungan dengan kematian bayi. Ibu yang
telah melahirkan lebih dari tiga anak mempunyai
kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian
bayi sebesar 1.66 kali dibandingkan ibu yang telah
melahirkan 1-3 anak (Faisal, 2010). Penelitian lainnya
juga menyebutkan bahwa ibu yang memiliki paritas
lebih dari empat memiliki hubungan dengan kematian
neonatal (Rahmawati, 2007).
Namun, pada penelitian Rahmawati (2007)
menunjukkan bahwa ibu yang memiliki paritas satu
tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kematian
neonatal. Penelitian lain yang dilakukan Nugraheni
(2013) juga menunjukkan tidak ada hubungan antara
31
urutan kelahiran pertama dengan kematian neonatal
dini. Pada penelitian yang dilakukan Wijayanti (2013)
menunjukkan tidak terdapat hubungan antara paritas
dengan kematian neonatal.
Hasil penelitian kualitatif lainnya menunjukkan
bahwa nilai anak bagi orang Toraja Sa’dan sangat
penting.
Memiliki banyak
anak masih menjadi
pandangan utama bagi sebagian besar penduduk
Sa’dan. Program Keluarga Berencana (KB) dari
pemerintah yang mengarahkan dua anak lebih baik
tidak berlaku bagi orang Toraja Sa’dan. Istilah KB bagi
orang Toraja Sa’dan diubah menjadi “keluarga besar”,
untuk menunjukkan banyaknya jumlah anak yang
mereka miliki. Bahkan seorang yang terpandang di
Toraja menceritakan bahwa dua bukan dua orang,
namun dua pasang (empat orang) untuk menunjukkan
anak yang beliau miliki. Ketiadaan seorang anak bagi
orang Toraja Sa’dan merupakan hal yang masiri’
(malu) dalam keluarga, dianggap lemah, dan dikasihani
oleh keluarga luas. Bahkan, sekalipun sudah memiliki
anak, tetapi baru satu, keluarga tersebut masih dianggap
belum lengkap (Kemenkes RI, 2012).
Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa
intervensi yang bisa dilakukan untuk mengontrol
32
jumlah
kelahiran
adalah
penggunaan
metode
kontrasepsi. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh,
menunjukkan bahwa penggunaan metode kontrasespi
berhubungan dengan kejadian kematian neonatal. Pada
ibu yang pernah menggunakan metode kontrasepsi
sekitar 39% lebih rendah terhadap kematian neonatal
dibandingkan ibu yang tidak pernah menggunakan
metode kontrasepsi (Chowdhury, dkk, 2013).
Pemakaian metode kontrasepsi (Contraceptive
Prevalence Rate) di Indonesia menurut hasil SDKI
2012 diketahui tidak ada perbedaan antara daerah
perdesaan dengan daerah perkotaan yaitu sebesar 62%.
Pemakaian kontrasepsi ini mengalami peningkatan dari
tahun 2007 sebelumnya yaitu sebesar 61%. Pemakaian
metode
kontrasepsi
modern
juga
mengalami
peningkatan dari 57% menjadi 58% (BPS, BKKBN,
Kemenkes & ICF International, 2013). Namun, angka
ini masih cukup jauh dari target MDGs 5 untuk
meningkatkan pemakaian metode kontrasepsi
modern
sebesar 65% pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2014).
Diantara metode KB modern, metode KB yang
paling banyak digunakan wanita berstatus kawin adalah
suntikan dan pil (masing-masing 32 dan 14%). Peserta
KB suntikan mengalami peningkatan dari 12% tahun
33
1991 menjadi 32% tahun 2012. Sedangkan peserta KB
IUD mengalami penurunan dari 13% tahun 1991
menjadi 4% tahun 2012. Wanita di daerah perdesaan
cenderung lebih banyak menggunakan metode suntik
dibanding daerah perkotaan (masing-masing sebesar
28%
dan
35%)
sedangkan
metode
IUD,
MOW/sterilisasi wanita dan kondom lebih banyak di
gunakan
di
daerah
perkotaan
(BPS,
BKKBN,
Kemenkes & ICF International, 2013).
Adapun total tingkat kebutuhan ber-KB yang
tidak terpenuhi (unmetneed) wanita berstatus kawin 1549 tahun pada SDKI 2012 sebesar 11% (7% untuk
membatasi kelahiran dan 4% untuk menjarangkan
kelahiran). Walaupun unmetneed ini telah turun dari
13% pada SDKI 2007 menjadi 11% pada SDKI 2012
(BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013),
namun angka ini masih belum mencapai target MDGs 5
untuk menurunkan unmetneed menjadi 5% pada tahun
2015 (Kemenkes RI, 2014).
Hasil penelitian kualitatif di daerah Kalimantan
Tengah menemukan bahwa ibu hamil Suku Dayak
Siang Murung terpaksa tidak melakukan KB karena
alat di fasilitas kesehatan tidak tersedia (Kemenkes RI,
2012). Pada masyarakat suku lainnya diketahui bahwa
34
ibu sudah mengetahui tentang manfaat KB, namun ibu
tetap ingin memiliki anak lebih dari dua. Falsafah hidup
Banyak Anak Banyak Rezeki masih diyakini beberapa
warga hingga saat ini (Kemenkes RI, 2012).
4) Jarak Kelahiran
Apabila
jarak
kelahiran
dengan
anak
sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim dan kesehatan
ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam
keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan
pertumbuhan janin kurang baik, mengalami persalinan
yang lama atau perdarahan (Kemenkes RI, 2011). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jarak kelahiran kurang
dari 24 bulan (2 tahun) menunjukkan ada hubungan
dengan kematian neonatal (Chaman, dkk.,, 2009). Hasil
penelitian Titaley, dkk., (2008) juga menunjukkan
bahwa jarak kelahiran berhubungan dengan kematian
neonatal.
Penelitian yang dilakukan Smith, dkk (2003)
menunjukkan bahwa ibu yang memiliki jarak yang
pendek (<6 bulan) diantara kehamilannya memiliki
peluang lebih besar untuk mengalami komplikasi
pertama.
Jarak
antar
kehamilan
yang
pendek
berhubungan peningkatan risiko kelahiran prematur dan
kematian neonatal. Penelitian lainnya menunjukkan
35
terdapat hubungan antara jarak antar kelahiran dengan
kematian bayi (Sugiharto, 2011). Namun, penelitian
lainnya menunjukkan tidak terdapat hubungan antara
jarak
kelahiran
(Nugraheni,
dengan
2013).
kematian
Jarak
antar
neonatal
kelahiran
dini
tidak
berhubungan dengan kematian neonatal (Wijayanti,
2013).
5) Kelahiran Prematur
Persalinan prematur adalah persalinan yang
terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (antara
20-37 minggu) (Saifuddin, dkk., 2009). Persalinan
prematur merupakan hal yang berbahaya karena
mempunyai
perinatal
dampak potensia
(Wiknjosastro,
dkk.,
terhadap
kematian
2002).
Persalinan
prematur pada bayi dengan BBLR sangat tergantung
dengan
usia
kehamilan.
Kelahiran
prematur
berhubungan dengan kondisi kesehatan dimana terjadi
ketidakmampuan uterus untuk menahan janin akibat
ketuban pecah dini, pemisahan dini plasenta, kehamilan
ganda atau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya
kontraksi uterus sebelum waktu persalinan (Kliegman,
dkk., 2011).
Hasil
penelitian
menunjukkan
terdapat
hubungan antara umur kehamilan saat melahirkan
36
dengan kematian pada neonatal. Bayi yang dilahirkan
pada umur kehamilan kurang dari 37
minggu
menunjukkan angka kematian neonatal yang tinggi
dibandingkan dengan ibu melahirkan dengan umur
kehamilan 37 minggu atau lebih (Onwuanaku dkk.,
2011). Penelitian yang dilakukan Schoeps, dkk (2007)
menunjukkan terdapat hubungan antara kelahiran
prematur dengan kematian neonatal. Penelitian lainnya
menemukan bahwa kelahiran prematur pada minggu ke
32-36 memiliki risiko yang rendah terhadap kematian
neonatal dibandingkan kelahiran prematur kurang dari
32 minggu (Lisonkova, dkk., 2012).
6) Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
ASI dapat memberikan keuntungan imunitas,
gizi, dan psikososial. Jika dibandingkan dengan susu
sapi, ASI lebih banyak mengandung zat besi, gula,
vitamin A, C dan Vitamin B3. ASI memiliki protein
dan kalsium yang lebih rendah daripada susu sapi, tapi
jumlah tersebut lebih baik bagi bayi. ASI lebih mudah
dicerna karena gelembung lemak berukuran kecil serta
terbebas dari bakteri. Sehingga, bayi menjadi lebih
kebal terhadap penyakit-penyakit tertentu pada anakanak. Bayi yang mendapatkan ASI lebih cenderung
tidak mengalami gangguan pencernaan (Price & Gwin,
37
2005). Jadi, manfaat selain menyediakan nilai gizi, ASI
juga
memberikan
perlindungan
dalam
melawan
sejumlah besar infeksi (Kliegman, dkk., 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inisiasi
menyusu dini memberikan risiko yang rendah terhadap
kejadian kematian neonatal pada bayi dengan BBLR
(RR=0.580 dan bayi dengan infeksi yang berhubungan
dengan kematian neonatal (RR = 0.55) (Debes, dkk.,
2013). Penelitian yang dilakukan Pertiwi (2010)
menunjukkan
berhubungan
bahwa
dengan
inisiasi
penurunan
menyusu
risiko
dini
kematian
neonatal. Inisiasi menyusu setelah satu jam pertama
memiliki risiko dua kali lipat terhadap kematian
neonatal.
Penelitian lainnya menemukan bahwa ibu yang
tidak memberikan ASI pada bayinya mempunyai
kecenderungan untuk mengalami kematian bayi sebesar
10.67 kali lebih besar dibandingkan ibu yang
memberikan ASI pada waktu <1 jam (Faisal, 2010).
Penelitian yang dilakukan Sugiharto (2011) juga
menunjukkan terdapat hubungan antara waktu pertama
bayi mendapatkan ASI dengan kejadian kematian bayi.
Namun, pada penelitian yang dilakukan Dewi (2010)
dan Rahmawati (2007) menunjukkan tidak terdapat
38
hubungan antara pemberian Air Susu Ibu (ASI) dengan
kematian neonatal.
2.3.2.3 Faktor Sebelum Melahirkan (Pre-Delivery Factors)
Faktor
sebelum
melahirkan
yang
berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup neonatal adalah kunjungan
antenatal dan komplikasi kehamilan (Singh, dkk., 2013,
Bashir, dkk., 2013; Singh, dkk 2014).
1) Kunjungan Antenatal
Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai
sebelum bayi dilahirkan melalui pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada ibu hamil. Berbagai bentuk upaya
pencegahan dan penanggulangan dini terhadap faktorfaktor yang memperlemah kondisi seorang ibu hamil
perlu diprioritaskan seperti gizi rendah, anemia dan jarak
antar kelahiran dekat (Saifudin, dkk, 2009). Asuhan
antenatal merupakan upaya preventif program pelayanan
kesehatan
obstetrik
untuk
optimalisasi
kesehatan
maternal dan neonatal melalui serangkaian kegiatan rutin
selama kehamilan (Saifuddin, dkk., 2010). Adanya
manajemen yang baik saat bayi masih dalam kandungan,
selama
persalinan,
segera
setelah dilahirkan
dan
pemantauan pertumbuhan dan perkembangan setelahnya
akan menghasilkan bayi yang sehat (Saifudin, dkk.,
2009).
39
Indikator yang digunakan untuk menggambarkan
akses ibu terhadap layanan antenatal adalah cakupan
kunjungan pertama (K1) dan cakupan kunjungan
minimal empat kali (K4) dengan tenaga kesehatan sesuai
standar. K1 sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada
trimester pertama sebelum minggu ke-8. Sedangkan K4
sebaiknya dilakukan minimal satu kali pada trimester
pertama (0-12 minggu), minimal satu kali pada trimester
ke-2 (≥12-24 minggu) dan minimal 2 kali pada trimester
ke-3 (≥24 minggu sampai kelahiran) (Kemenkes RI,
2012).
Janin yang melakukan aktivitas secara aktif
menununjukkan janin berada dalam kondisi baik.
Adanya penurunan aktivitas janin menunjukkan janin
dalam kondisi bahaya dan membutuhkan penanganan
secepatnya (Ladewig, dkk., 2006). Kondisi seperti ini
bisa diketahui apabila
ibu melakukan kunjungan
antenatal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian
neonatal (<4, ≥4). Kunjungan ANC merupakan faktor
protektif yang berhubungan dengan kematian neonatal
pada minggu pertama (OR: 0.65) dan pada hari pertama
kehidupan (OR: 0.71) (Singh, dkk., 2014). Beberapa
40
penelitian lainnya yang dilakukan di Indonesia juga
menunjukkan terdapat hubungan antara kunjungan
antenatal dengan kematian neonatal (Rahmawati, 2007;
Dewi, 2010; Sukamti, 2011; Sugiharto, 2011).
Pelayanan kesehatan yang berkualitas dapat
mencegah kematian neonatal (Sukamti, 2011). Ibu yang
tidak pernah melakukan kunjungan ANC mempunyai
kecenderungan untuk mengalami kematian bayi sebesar
.3.09 kali lebih besar dibandingkan ibu yang melakukan
kunjungan ANC sesuai standar minimal (Faisal, 2010).
Penelitian lainnya
menemukan bahwa bayi
yang
dilahirkan dari ibu dengan pelayanan antenatal tidak
lengkap berisiko mengalami kematian neonatal sebesar
16.32 lebih besar daripada bayi yang dilahirkan ibu
dengan pelayanan antenatal lengkap (Yani & Duarsa,
2013).
Ibu yang melakukan kunjungan ke fasilitas
kesehatan
selama
kehamilannya
akan
menerima
pemeriksaan dan pengidentifikasian kondisi-kondisi
yang
berkaitan
dengan
komplikasi serta
edukasi
mengenai tanda bahaya, potensi komplikasi dan tempat
untuk mencari pertolongan (Mahmood, 2002). Penelitian
lainnya oleh Hinderaker, dkk (2003) di wilayah rural
Tanzania
menegaskan
bahwa
sekitar
62% kasus
41
kematian neonatal sebetulnya dapat dicegah melalui
kegiatan layanan antenatal di fasilitas layanan kesehatan.
Penyedia layanan kesehatan bertanggungjawab terhadap
lebih dari setengah dari faktor-faktor terhadap kematian
neonatal yang dapat dicegah, baik dari faktor kegagalan
klinik antenatal untuk merujuk ke fasilitas layanan
kesehatan yang lebih tinggi maupun kelalaian yang
terjadi di tingkat rumah sakit itu sendiri. Hal ini
mengindikasikan adanya potensi untuk melakukan
peningkatan layanan antenatal dan konsultasi rutin
termasuk layanan kehamilan di rumah sakit.
Kunjungan
antenatal
yang
terlambat
kemungkinan menghambat ibu untuk mendapatkan
manfaat sepenuhnya dari strategi pencegahan pada
layanan antenatal misalnya suplementasi zat besi, asam
folat, pengobatan untuk infeksi cacing dan pengobatan
untuk pencegahan malaria pada kehamilan (Eijk, dkk.,
2006).
Penelitian yang dilakukan Titaley, dkk (2010) di
Indonesia menemukan bahwa yang berhubugan sangat
kuat dengan rendahnya kunjungan antenatal yaitu bayi
dari ibu yang tinggal di daerah rural, memiliki tingkat
indeks kekayaan rumah tangga rendah, berasal dari ibu
dengan berpendidikan rendah, jumlah kelahiran tinggi
42
dan jarak kelahiran kurang dari 2 tahun. Penelitian
kualitatif yang dilakukan di beberapa daerah rural
Indonesia menemukan bahwa ibu hamil suku Alifuru di
Provinsi Maluku baru akan memeriksakan kehamilannya
saat terlihat perubahan yang nyata pada tubuh ibu
(terlihat jelas ibu hamil). Kunjungan saat terakhir
menstruasi (K1) dan kunjungan pada trimester kedua
relatif kecil (Kemenkes RI, 2012).
Penelitian kualitatif lainnya menemukan bahwa
alasan ibu Etnik Dayak Siang Murung di Kalimantan
Tengah tidak melakukan pemeriksaan kehamilan yaitu
karena Puskesmas Pembantu yang ada di desa tidak
menyediakan fasilitas kesehatan yang lengkap seperti
obat-obatan, wilayah puskesmas pembantu cukup sulit
dijangkau oleh masyarakat di RT lain dan tenaga
kesehatan yang ditugaskan sering tidak berada di tempat
sehingga
membuat
masyarakat
kesulitan
saat
membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, sebagian
masyarakat memilih langsung melakukan pemeriksaan di
Rumah Sakit yang ada di Kabupaten. Rumah sakit
berada sangat jauh dari desa dan harus melewati jalan
yang cukup sulit terutama apabila terjadi hujan
disamping memerlukan biaya
yang cukup
besar.
Sehingga beberapa ibu hamil lainnya memilih tidak
43
memeriksakan kehamilannya dengan alasan petugas
kesehatan sering tidak ada di tempat (Kemenkes RI,
2012).
Penelitian
Gorontalo
lainnya
pada
Provinsi Gorontalo
ibu
hamil
menemukan
Etnik
bahwa
sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan
kehamilan kepada bidan tidak memakan vitamin yang
diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat
minum obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah
darah dengan alasan vitamin rasanya pahit (Kemenkes
RI, 2012).
Namun, penelitian lainnya menunjukkan tidak
ada hubungan antara variabel antenatal dengan kematian
neonatal (Pertiwi, 2010). Penelitian yang dilakukan
Nugraheni (2013) juga menunjukkan tidak terdapat
hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian
neonatal dini (Nugraheni, 2013). Penelitian lainnya juga
menunjukkan tidak ada hubungan antara ANC dengan
kematian neonatal (Wijayanti, 2013).
2) Komplikasi Kehamilan
Menurut McCarthy & Maine (1992), komplikasi
kehamilan
terdiri
dari
perdarahan,
infeksi,
pre-
eklampsia/eklampsia, persalinan lama/macet dan abortus.
44
Komplikasi kehamilan merupakan masalah kesehatan
yang sering terjadi selama kehamilan dan persalinan.
Masalah kesehatan ibu bisa saja terjadi sebelum
kehamilan yang pada akhirnya berdampak komplikasi
pada masa kehamilan. Komplikasi ini dapat berdampak
pada kesehatan ibu, kesehatan bayi ketika dilahirkan,
atau keduanya (Wiknjosastro, dkk., 2002).
Perdarahan yang terjadi pada kehamilan harus
selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya.
Perdarahan setelah kehamilan dua minggu biasanya lebih
banyak dan lebih berbahaya daripada sebelum 22 minggu
sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda.
Perdarahan yang berbahaya umumnya bersumber pada
kelainan plasenta. Kejang merupakan salah satu gejala
pada wanita penderita eklampsia yang biasanya juga
diikuti dengan koma. Biasanya eklampsia terjadi
didahului pre-eklampsia, sehingga pengawasan antenatal
yang teliti dan teratur merupakan salah satu upaya untuk
mencegah timbulnya eklampsia (Wiknjosastro, dkk.,
2002).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian
neonatal dini. Prevalensi kematian neonatal dini lebih
besar
pada
kelompok
komplikasi
kehamilan
45
dibandingkan tidak mengalami komplikasi kehamilan
(Nugraheni, 2013). Penelitian lainnya menunjukkan ada
hubungan antara komplikasi selama kehamilan dengan
kejadian kematian neonatal (95% CI, 1.690-3.897)
(Wijayanti, 2013). Ibu yang mengalami komplikasi
kehamilan memiliki risiko 1.8 kali dibandingkan ibu
yang
tidak
mengalami
komplikasi
kehamilan
(Rahmawati, 2007). Hasil penelitian (Schoeps, dkk.,
2007) juga menunjukkan terdapat hubungan antara
komplikasi saat kehamilan dengan kematian neonatal.
Penelitian lainnya yang dilakukan di daerah rural
Bangladesh
mengalami
juga
menunjukkan
pendarahan
bahwa
selama
ibu
yang
kehamilannya
berhubungan kuat dengan adanya peningkatan risiko
terhadap kematian neonatal (Owais, dkk., 2013).
Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil Etnik
Ngalum Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang
hamil tetap mengalami komplikasi walaupun telah
melakukan pemeriksaan kehamilan karena hamil pada
usia lebih dari 45 tahun dan memiliki anak rata-rata11-14
anak dengan jarak kelahiran yang berdekatan. Tingkat
anemia
ibu hamil pada suku ini paling tinggi
dibandingkan
etnik
lainnya.
Kondisi
seperti
ini
menyebabkan tingginya kejadian retensio plasenta saat
46
melahirkan.
Padahal
petugas
kesehatan
telah
memberikan tablet penambah darah yang seharusnya
diberikan tiga bulan sekali menjadi satu bulan sekali
karena
tingginya
kasus anemia.
Namun,
petugas
kesehatan tidak bisa memastikan apakah obat yang
diberikan rutin diminum oleh ibu hamil setiap hari
(Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian pada ibu hamil
Etnik
Gorontalo
Provinsi
Gorontalo
menemukan
sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan
kehamilan tidak memakan vitamin yang diberikan
dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum
obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah
dengan alasan rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012).
Anemia atau kadar Hb <11 g/dl yang salah
satunya bisa disebabkan karena defisiensi besi sehingga
perlu diberi obat penambah zat besi. Kondisi anemia
pada ibu hamil sangat berbahaya bisa menyebabkan
terjadinya
perdarahan
pasca
persalinan
(WHO;
Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Perdarahan merupakan
penyebab terbanyak kematian pada ibu (Zakariah, dkk.,
2009). Berdasarkan hasil review bahwa dampak anemia
pada ibu hamil terhadap bayinya bervariasi sesuai tingkat
defisiensi Hb yang dialami oleh ibu. Defisiensi Hb <11
gr/dl berhubungan dengan peningkatan kematian pada
47
perinatal. Peningkatan 2-3 kali kematian perinatal pada
ibu dengan Hb <8.0 gr/dl dan peningkatan 8-10 kali
ketika kadar Hb <5.0 gr/dl. Selain itu, penurunan
terhadap berat bayi lahir dan lambatnya pertumbuhan
janin terjadi ketika kadar Hb ibu <8.0 gr/dl (Kalaivani,
2009).
Penelitian lainnya yang dilakukan Dewi (2010)
menunjukkan tidak ada hubungan antara komplikasi
kehamilan dengan kematian neonatal.
2.3.2.4 Faktor Saat Melahirkan (Delivery Factors)
Faktor saat melahirkan yang berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup neonatal adalah penolong persalinan,
komplikasi persalinan, persalinan cesario dan tempat
persalinan (Titalley, dkk., 2008; Singh, dkk., 2013; Bashir,
dkk., 2013; Chaman, dkk 2009; Singh, dkk., 2014).
1) Penolong Persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
merupakan pelayanan persalinan yang aman yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (Depkes
RI, 2009). Penolong persalinan memiliki tugas untuk
mengawasi ibu yang sedang berada pada proses
persalinan dan mengecek apakah semua persiapan untuk
persalinan sudah lengkap serta member obat kepada ibu
jika terdapat indikasi bagi ibu maupun anaknya
48
(Wiknjosastro, dkk., 2002). Penanganan medis yang
tepat dan memadai selama melahirkan dapat menurunkan
risiko komplikasi yang bisa menyebabkan kesakitan
serius pada ibu dan bayinya (BPS, BKKBN, Kemenkes
& ICF International, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara penolong persalinan dengan kematian
neonatal. Penolong persalinan memiliki hubungan
dengan
kematian neonatal pada minggu pertama
kehidupan yang terjadi di Asia (Singh, dkk., 2014).
Penelitian
yang
menunjukkan
dilakukan
terdapat
di
hubungan
Indonesia
antara
juga
penolong
persalinan dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010;
Wijayanti, 2013). Ibu yang melahirkan dengan bantuan
tenaga bukan kesehatan mempunyai kecenderungan
untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 2.01
kali lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan bayi
dengan bantuan tenaga kesehatan (Faisal, 2010).
Penelitian yang dilakukan Yani & Duarsa (2013) juga
menemukan bahwa penolong persalinan berhubungan
dengan kejadian kematian neonatal.
Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa 83%
persalinan pada kurun waktu 2008-2012 ditolong oleh
tenaga kesehatan profesional (62% perawat/bidan/bidan
49
desa, 20% dokter kandungan dan 1% dokter). Proporsi
ini mengalami peningkatan dari hasil SDKI 2007 sebesar
73%
persalinan
profesional
yang
(BPS,
ditolong
BKKBN,
tenaga
Kemenkes
kesehatan
&
ICF
International, 2013).
Menurut Yego, dkk (2013) akses terhadap
penolong persalinan terampil termasuk dokter maupun
bidan penting untuk mencegah kematian maternal dan
neonatal. Penolong persalinan yang sebagian besar
dilakukan oleh penolong persalinan dengan keterampilan
yang rendah dapat berkontribusi terhadap kejadian
kematian
neonatal
dan
kematian
maternal.
Pada
penelitian lainnya juga menemukan bahwa perlunya
pelatihan bagi penolong persalinan agar penolong
persalinan mampu menangani kasus infeksi yang
diketahui
merupakan
penyebab
terbanyak
kasus
kematian neonatal (Turnbull, dkk., 2011).
Pada penelitian yang dilakukan Kusiako, dkk
(2000) menunjukkan bahwa komplikasi pada saat
melahirkan merupakan penyebab sepertiga kematian
pada perinatal. Padahal peningkatan layanan persalinan
oleh tenaga kesehatan yang terkualifikasi dan layanan
neonatus yang lebih baik seharusnya dapat menurunkan
kematian pada perinatal. Penelitian yang dilakukan di
50
Jawa Barat menemukan bahwa ibu yang mengakses
penolong persalinan terlatih atau melakukan persalinan
di fasilitas layanan kesehatan sebagian besar dilakukan
ketika ibu mengalami komplikasi kehamilan (Titaley,
dkk., 2010). Hasil penelitian kualitatif pada masyarakat
Suku Nias juga menemukan bahwa terkadang keluarga
alot dalam memutuskan merujuk ke rumah sakit atau
puskesmas. Hal tersebut menyebabkan ibu terlambat
mendapatkan pertolongan dari petugas kesehatan. Ibu
yang melakukan persalinan di rumah sakit biasanya ibu
yang sudah mengalami masalah pada persalinannya
(Kemenkes RI, 2012).
Review yang dilakukan Upadhyay, dkk (2012)
juga menunjukkan bahwa kurangnya sumber daya yang
terampil merupakan salah satu penyebab kematian
neonatal yang terjadi di daerah rural India. Kurangnya
sumber daya manusia yang terampil berdampak pada
rendahnya kualitas pelayanan yang diterima oleh
neonatus. Sehingga penyediaan tenaga kesehatan yang
terkualifikasi ke daerah rural merupakan tantangan yang
harus dilakukan untuk menghindari kematian pada
neonatal.
Pada
menemukan
penelitian
bahwa
Zimba,
walaupun
dkk
Malawi
(2012)
juga
mengalami
51
peningkatan jumlah penolong persalinan terampil, tetapi
sebagian besar ibu dan bayi baru lahir yang mengalami
komplikasi masih belum mendapatkan penanganan
kesehatan yang diperlukan. Pada penelitian lainnya
diketahui bahwa peralatan dan kualitas layanan yang
tidak memadai juga merupakan tantangan di wilayah
Afrika dan Asia (Harvey, dkk., 2007). Menurut Singh,
dkk (2014) definisi tenaga penolong persalinan yang ada
saat ini, tidak mencakup unsur layanan yang memadai.
Walaupun sebagian besar negara di Afrika dan Asia
mengalami
peningkatan
jumlah
tenaga
penolong
persalinan terampil, sebagian besar setiap individu yang
disebut sebagai tenaga kesehatan terampil tidak memiliki
kompetensi
yang diperlukan atau peralatan yang
dibutuhkan untuk mengatasi komplikasi pada ibu dan
bayi baru lahir. Berdasarkan tingginya kematian pada
minggu pertama kehidupan, pelatihan intervensi pada
masa intrapartum harus ditekankan.
Adapun penyebab masih tingginya kematian
neonatal pada penolong pesalinan non tenaga kesehatan
di daerah rural Indonesia kemungkinan terjadi karena
masih rendahnya akses ibu hamil terhadap tenaga
keseahatan.menurut. Seperti diketahui hasil penelitian
Titaley, dkk (2010) bahwa di beberapa daerah terpencil
52
di Indonesia, bidan desa yang pada beberapa wilayah
merupakan satu-satunya tenaga kesehatan penolong
persalinan yang tersedia, terkadang pergi keluar desa
(Titaley, dkk., 2010).
Masih
tingginya
kematian
pada
penolong
persalinan non tenaga kesehatan kemungkinan besar
karena
pengetahuan
dan
keterampilan
penolong
persalinan bukan tenaga kesehatan yang sangat kurang
tentang penanganan persalinan pada ibu bersalin,
maupun tentang penanganan bayi baru lahir. Apalagi
penanganan ibu dengan gejala eklampsia, akan sangat
sulit bagi penolong bukan tenaga kesehatan untuk dapat
melakukan tindakan yang tepat. Pengetahuan penolong
yang kurang tentang bagaimana melakukan upaya
pencegahan terhadap kemungkinan bayi aman dari risiko
terjadinya gangguan thermoregulasi, gangguan respirasi,
dan risiko lainnya yang biasa melekat pada bayi baru
lahir, sangat berpengaruh besar terhadap status kesehatan
neonatus. Jika penanganannya kurang tepat maka
kecenderungan terjadinya risiko kematian akan semakin
besar (Astuti, dkk., 2010).
Namun,
pada
beberapa
penelitian
lainnya
menunjukkan tidak ada hubungan antara penolong
persalinan dengan kematian bayi (Sugiharto, 2011;
53
Dewi, 2010). Penelitian yang dilakukan Nugraheni
(2013) juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara
penolong persalinan dengan kematian neonatal dini.
2) Komplikasi Persalinan
Komplikasi persalinan merupakan tanda bahaya
yang terjadi pada saat persalinan. Komplikasi yang
terjadi
pada
saat
persalinan
diantaranya
adalah
perdarahan, ketuban pecah sebelum waktunya dan
persalinan lama (Kemenkes RI, 2011). Perdarahan yang
banyak segera atau dalam satu jam setelah melahirkan
sangat berbahaya dan merupakan penyebab kematian ibu
paling
banyak.
Ibu
harus
segera
mendapatkan
pertolongan agar bisa diselamatkan (Kemenkes RI,
2011). Ketuban pecah dini merupakan keadaan pecahnya
selaput ketuban sebelum persalinan (WHO; Kemenkes
RI; POGI; IBI, 2013). Biasanya ketuban pecah saat
menjelang persalinan, setelah ada tanda awal persalinan
seperti mulas dan keluarnya lendir bercampur sedikit
darah. Bila ketuban pecah dan cairan ketuban keluar
sebelum ibu mengalami tanda-tanda persalinan, janin dan
ibu akan mudah terinfeksi (Kemenkes RI, 2011).
Kemudian, persalinan lama merupakan waktu
persalinan yang memanjang akibat kemajuan persalinan
yang terhambat (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013).
54
Biasanya persalinan berlangsung kurang dari 12 jam.
Apabila persalinan lebih dari 12 jam perlu ibu harus
segera mendapatkan pertolongan di rumah sakit untuk
menyelamatkan janin serta mencegah perdarahan dan
infeksi pada ibu (Kemenkes RI, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
antara komplikasi kelahiran dengan kematian neonatal
(Dewi, 2010). Ibu yang memiliki komplikasi persalinan
meningkatkan risiko kematian neonatal sebesar 1.5 kali
dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi
persalinan (Rahmawati, 2007). Penelitian lainnya yang
dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
komplikasi saat persalinan dengan kematian neonatal
(Schoeps, dkk., 2007). Penelitian lainnya yang dilakukan
di daerah rural Bangladesh juga menunjukkan bahwa ibu
yang mengalami pendarahan selama kehamilannya
berhubungan kuat dengan adanya peningkatan risiko
terhadap kematian neonatal (Owais, dkk., 2013).
Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil Etnik
Ngalum Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang
hamil tetap mengalami komplikasi walaupun telah
melakukan pemeriksaan kehamilan karena hamil pada
usia lebih dari 45 tahun dan memiliki anak rata-rata11-14
anak dengan jarak kelahiran yang berdekatan. Tingkat
55
anemia
ibu hamil pada suku ini paling tinggi
dibandingkan
etnik
lainnya.
Kondisi
seperti
ini
menyebabkan tingginya kejadian retensio plasenta saat
melahirkan.
Padahal
petugas
kesehatan
telah
memberikan tablet penambah darah yang seharusnya
diberikan tiga bulan sekali menjadi satu bulan sekali
karena
tingginya
kasus anemia.
Namun,
petugas
kesehatan tidak bisa memastikan apakah obat yang
diberikan rutin diminum oleh ibu hamil setiap hari
(Kemenkes RI, 2012).
Hasil penelitian pada ibu hamil Etnik Gorontalo
Provinsi Gorontalo menemukan sebagian ibu hamil yang
melakukan pemeriksaan kehamilan tidak memakan
vitamin yang diberikan dengan alasan tidak diberi
penjelasan manfaat minum obat. Ibu juga tidak
meminum vitamin penambah darah dengan alasan
rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012).
Anemia atau kadar Hb <11 g/dl yang salah
satunya bisa disebabkan karena defisiensi besi sehingga
perlu diberi obat penambah zat besi. Kondisi anemia
pada ibu hamil sangat berbahaya bisa menyebabkan
terjadinya
perdarahan
pasca
persalinan
(WHO;
Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Perdarahan merupakan
penyebab terbanyak kematian pada ibu (Zakariah, dkk.,
56
2009). Berdasarkan hasil review bahwa dampak anemia
pada ibu hamil terhadap bayinya bervariasi sesuai tingkat
defisiensi Hb yang dialami oleh ibu. Defisiensi Hb <11
gr/dl berhubungan dengan peningkatan kematian pada
perinatal. Peningkatan 2-3 kali kematian perinatal pada
ibu dengan Hb <8.0 gr/dl dan peningkatan 8-10 kali
ketika kadar Hb <5.0 gr/dl. Selain itu, penurunan
terhadap berat bayi lahir dan lambatnya pertumbuhan
janin terjadi ketika kadar Hb ibu <8.0 gr/dl (Kalaivani,
2009).
Penelitian
lainnya
menunjukkan
tidak
ada
hubungan antara komplikasi selama persalinan dengan
kematian neonatal (Wijayanti, 2013).
3) Persalinan Caesar
Persalinan caesar merupakan tindakan untuk
melahirkan bayi melalui sayatan pada dinding uterus
yang masih utuh (Saifuddin, dkk., 2009). Persalinan
caesar merupakan operasi besar yang dilakukan pada
saat terdapat alasan kesehatan tertentu (Whalley, dkk.,
2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persalinan
dengan cara bedah caesar memiliki hubungan dengan
kematian neonatal (Bashir, dkk., 2013). Bayi dari ibu
yang kembali melakukan persalinan dengan cara caesar
57
memiliki angka kesakitan (penyakit pernapasan) lebih
tinggi
dan
tinggal
di
rumah
sakit
lebih
lama
dibandingkan ibu yang melakukan persalinan per
vaginam yang sebelumnya melakukan persalinan caesar
(Kamath, dkk., 2009). Kematian neonatal meningkat
sejalan dengan tingginya persalinan caesar yang
dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan. Selain itu
secara
keseluruhan,
kegawatdaruratan
persalinan
maupun
non
caesar
(kondisi
kegawatdaruratan)
berhubungan dengan meningkatnya kesakitan pada
neonatal (Shah, dkk., 2009).
Hasil review
literatur
menyebutkan bahwa
persalinan caesar tanpa adanya alasan kesehatan
(kegawatdaruratan) juga bisa membahayakan kondisi ibu
dan janinnya baik dari segi pendek maupun lamanya
waktu yang diperlukan prosedur persalinan caesar
dibandingkan persalinan normal (Wiklund, dkk., 2012).
Penelitian lainnya menunjukkan tidak terdapat
hubungan antara persalinan caesar terhadap kematian
neonatal dini (Nugraheni, 2013). Penelitian yang
dilakukan Wijayanti (2013) juga menunjukkan tidak ada
hubungan antara riwayat operasi caesar dengan kejadian
kematian neonatal.
58
4) Tempat Persalinan
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap
kematian ibu dan anak adalah terbatasnya tempat
persalinan yang memadai. Upaya untuk mengurangi
risiko kematian ibu dan anak adalah sangat penting
dengan cara meningkatkan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang profesional yang dilakukan di fasilitas
kesehatan
(BPS,
BKKBN,
Kemenkes
&
ICF
International, 2013). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ibu yang melahirkan di fasilitas non kesehatan
mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian
kematian bayi sebesar 1.35 kali lebih besar dibandingkan
ibu yang melahirkan bayi di fasilitas kesehatan (Faisal,
2010). Melahirkan diluar fasilitas layanan kesehatan
lebih
memungkinkan
untuk
mengalami
kematian
neonatal dibandingkan melahirkan dilakukan di fasilitas
layanan kesehatan (Ajaari, dkk., 2012).
Penelitian
kualitatif
pada
Suku
Mamasa,
Sulawesi Barat menemukan bahwa walaupun telah
terdapat program Jampersal (Jaminan Persalinan) namun
belum diketahui oleh ibu-ibu di wilayah tersebut. Selain
itu, mereka belum mempercayai sepenuhnya bahwa
bersalin
di
fasilitas
kesehatan
tidak
dikenakan
biaya/gratis. Apalagi jika mereka harus di rujuk ke
59
Rumah Sakit, akan membutuhkan biaya yang lebih besar.
Selain itu, permasalahan juga terdapat pada tenaga
kesehatan dimana belum keluarnya pembayaran (klaim)
terhitung sejak 2011-2012. Padahal semua catatan dan
bukti telah terkumpul dengan rapi. Kejadian tersebut
terjadi pada semua bidan di desa dan kecamatan di
Kabupaten Mamasa. Meskipun demikian, bidan desa
tetap melayani dan menggratiskan persalinan yang
ditolong di fasilitas persalinan (Kemenkes RI, 2012).
Penelitian lainnya pada suku Toraja Sa’dan
menunjukkan
bahwa
terdapat
pertimbangan
lain,
pertimbangan ekonomi untuk memenuhi biaya-biaya di
luar cakupan Jampersal, seperti transportasi, uang makan
keluarga yang menungguinya di sarana kesehatan, anakanak kecil yang ditinggalkan, hewan-hewan ternak
(pemeliharaan babi) yang menjadi tanggung jawab ibu.
Pendapatan sehari-hari menjadi pertimbangan lain
mengapa ibu memutuskan untuk melahirkan sendiri di
rumahnya. Selain itu, beberapa wilayah Toraja Sa’dan
memang berada jauh dari sarana pelayanan kesehatan.
Selain jarak yang jauh, akses warga terhadap pelayanan
kesehatan dipersulit dengan kondisi jalan yang rusak.
Sarana transportasi menjadi sulit dan mahal karena
kondisi jalan yang rusak parah (Kemenkes RI, 2012).
60
Hasil penelitian lainnya menunjukkan tidak ada
hubungan antara tempat persalinan dengan kematian bayi
(Sugiharto, 2011). Beberapa penelitian lainnya juga
menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis tempat
persalinan dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010;
Nugraheni, 2013; Wijayanti, 2013). Penelitian yang
dilakukan di daerah rural Burkina Faso bahwa kematian
bayi lebih tinggi terjadi di fasilitas layanan kesehatan.
Adanya fasilitas pelayanan kesehatan tidak akan
memberikan perbedaan yang berarti jika fasilitas tersebut
tidak memiliki kelengkapan alat atau tenaga kesehatan
yang cukup terlatih (Diallo, dkk., 2012).
Menurut penelitian Singh, dkk (2012) juga
menunjukkan
bahwa
setelah
adanya
peningkatan
penggunaan rumah sakit bersalin di India berdampak
pada terjadinya penurunan kematian neonatal sebesar
2.5% namun penurunan kematian neonatal ini tidak
signifikan dimungkinkan terjadi karena masih rendahnya
kualitas layanan kesehatan. Seperti ditemukan juga pada
penelitian lainnya bahwa persalinan yang dilakukan di
rumah di daerah rural sebagian besar ditolong oleh
dokter atau bidan desa dengan tingkat pengetahuan dan
keterampilan masih tergolong cukup rendah (Yanping,
dkk., 2010).
61
2.3.2.5 Faktor Setelah Melahirkan (Post Delivery Factors)
Faktor
setelah
melahirkan
yang
berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup neonatal adalah kunjungan
neonatal (Titalley, dkk., 2008; Kayode, dkk, 2014; Bashir,
dkk., 2013).
1) Kunjungan Neonatal
Pelayanan pada bayi baru lahir sangat penting
dilakukan untuk mengurangi kematian neonatal dan
mencegah komplikasi segera setelah ibu melahirkan
(BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).
Sekitar dua per tiga bayi meninggal pada 4 minggu
pertama setelah kelahirannya (Pinem, 2009). Sehingga
untuk mencegah terjadinya kematian tersebut semua
bayi baru lahir harus mendapatkan pemeriksaan klinis
dalam 24 jam pertama kehidupan (Meadow & Newell,
2002).
Pada saat kelahiran, tubuh bayi baru lahir mulai
melakukan sejumlah adaptasi psikologik. Adanya
perubahan lingkungan yang dramastis menyebabkan
bayi memerlukan pemantauan ketat untuk menentukan
bagaimana bayi tersebut membuat suatu transisi yang
baik terhadap kehidupannya diluar rahim (Ladewig,
dkk, 2006). Pemeriksaan bayi baru lahir memiliki
tujuan untuk mendeteksi masalah penting sedini
62
mungkin
sehingga
dapat
diobati
secara
tepat,
mempermudah adaptasi pada kehidupan ekstrauterus
dan melindungi bayi baru lahir dari proses berbahaya
seperti hipotermia dan infeksi (Rudolph, dkk., 2006).
Standar pelayanan kesehatan bagi neonatus
menetapkan bahwa setiap bayi baru lahir harus
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar oleh
tenaga kesehatan minimal tiga kali selama periode 0
sampai dengan 28 hari setelah lahir baik, di fasilitas
kesehatan maupun melalui kunjungan rumah. Adapun
kunjungan
neonatus
pertama
(KN1)
merupakan
pelayanan kesehatan terhadap neonatus sesuai standar
pada 6-48 jam setelah lahir. Kunjungan neonatal ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
akses
neoantus
terhadap pelayanan kesehatan dasar dan mengetahui
sedini mungkin kelainan/masalah kesehatan yang
terjadi pada neonatus (Depkes RI, 2009).
Hasil
penelitian
menunjukkan
terdapat
hubungan antara pemeriksaan bayi setelah melahirkan
dengan kejadian kematian neonatal (Pertiwi, 2010).
Kematian bayi lebih rendah pada bayi yang menerima
kunjungan pada hari pertama dibandingkan mereka
yang tidak menerima kunjungan. Bayi yang bertahan
hidup pada dua hari pertama dan menerima kunjungan
63
pertama pada hari kedua berhubungan dengan sebesar
64%
kematian
neonatal
yang
lebih
rendah
dibandingkan mereka yang tidak menerima kunjungan.
Namun,
kunjungan pertama
setelah
hari
kedua
kehidupan pertama bayi tidak berhubungan dengan
penurunan kematian neonatal (Baqui, dkk., 2009).
Namun,
Nugraheni
pada
(2013)
penelitian
menunjukkan
yang
tidak
dilakukan
terdapat
hubungan antara kunjungan neonatal pertama dengan
kematian neonatal dini. Penelitian yang dilakukan
Singh, dkk (2012) juga menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara pemeriksaan bayi pada 24 jam setelah
kelahiran dengan kematian neonatal.
2.4
Konsep Daerah Rural/Perdesaan
Menurut Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun
2010 tentang klasifikasi perkotaan dan perdesaan di Indonesia. Perkotaan
merupakan status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan
yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Sedangkan
perdesaan
adalah
status
suatu
wilayah
administrasi
setingkat
desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria klasifikasi wilayah
perkotaan. Desa/Kelurahan merupakan wilayah administrasi terendah
dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah
kecamatan (BPS, 2010).
64
Adapun kriteria suatu desa/kelurahan dikategorikan sebagai
perkotaan atau perdesaan yaitu apabila suatu desa/kelurahan memiliki
persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah
tangga pertanian dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan (BPS,
2010). Fasilitas perkotaan tersebut yaitu (BPS, 2010):
1) Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)
2) Sekolah Menengah Pertama
3) Sekolah Menengah Umum
4) Pasar
5) Pertokoan
6) Bioskop
7) Rumah Sakit
8) Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon
9) Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Telepon
10) Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Listrik
Penentuan nilai/skor untuk menetapkan sebagai wilayah perkotaan
dan perdesaan atas desa/kelurahan yaitu sebagai berikut (BPS, 2010):
a. Wilayah perkotaan, apabila dari kepadatan penduduk, persentase
rumah tangga, pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas
perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor 10 (sepuluh)
atau lebih.
b. Wilayah
perdesaan,
apabila
dari
kepadatan
penduduk,
persentase rumah tangga, pertanian, dan keberadaan/akses pada
65
fasilitas perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor
dibawah 10 (sepuluh).
Nilai/skor
kepadatan
penduduk,
persentase
rumah
tangga
pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki
dapat dilihat pada Tabel 2.1 (BPS, 2010).
Angka Kematian Neonatal di daerah rural berdasarkan SDKI 2012
menunjukkan kematian lebih tinggi di daerah rural dibandingkan di daerah
urban (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Penelitian
yang dilakukan di Bangladesh juga menemukan bahwa risiko kematian
neonatal di daerah rural menunjukkan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan daerah urban (Chowdhury, dkk., 2013). Perbedaan antara wilayah
rural dan urban tersebut menggambarkan adanya perbedaan wilayah yang
mengalami
perkembangan
dan
wilayah
yang
tidak
mengalami
perkembangan (Yanping, dkk., 2010).
Penyebab kematian yang perlu mendapatkan perhatian serius di
daerah rural Indonesia yaitu masih tingginya pengaruh dari unsur budaya.
Hasil penelitian kualitatif pada ibu hamil Etnik Ngalum di Distrik Oksibil
Provinsi Papua menemukan bahwa terdapat adat dimana pihak perempuan
harus membalas mas kawin kepada pihak laki-laki sebesar yang
dibayarkan kepada pihak perempuan. Apabila terjadi pelanggaran adat, ibu
tidak membayar mas kawin kepada pihak laki-laki, maka akan terdapat
korban dari keluarga tersebut. Salah satu kasus yang ditemukan, Ibu Tuti
seorang ibu hamil belum bisa membayar mas kawin sampai usia
kehamilannya 9 bulan. Pada saat melahirkan, bayi yang dilahirkan berada
66
dalam kondisi sehat namun keesokan harinya ditemukan bayi telah
meninggal. Keluarga menyadari betul, bahwa hal itu terjadi karena mereka
belum menyelesaikan pembayaran kembali mas kawin. Sehingga mereka
harus tunduk pada adat yang telah ada/turun-temurun dari nenek moyang
mereka (Kemenkes RI, 2012). Diketahui hasil SDKI 2012 menunjukkan
bahwa Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi dengan Angka
Kematian Neonatal yang tinggi di Indonesia yaitu sebesar 27 per 1.000
KH (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).
Selain itu, kasus kematian bayi baru lahir yang masih tinggi pada
Etnik Ngalum Papua juga disebabkan karena bayi mengalami infeksi
pneumonia. Hasil pengamatan menemukan, ternyata pada beberapa
keluarga dapur perapian bukan hanya digunakan untuk memasak makanan
tetapi juga digunakan untuk menghangatkan badan pada saat malam hari
karena suhu yang cukup dingin (19-200C). Namun, perapian tersebut tidak
dilengkapi dengan cerobong asap, sehingga asap hasil pembakaran hanya
berputar didalam dapur (Kemenkes RI, 2012).
67
Tabel 2.1 Kriteria Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia
Kriteria
Kepadatan
Nilai/Skor
Penduduk per Km2
>500
500-1249
1250-2499
2500-3999
4000-5999
6000-7499
7500-8499
>8500
1
Persentase
Rumah Tangga
Pertanian
>70.00
Keberadaan/Akses Pada Fasilitas Perkotaan
Nilai/Skor
Fasilitas Perkotaan
Kriteria
a. Sekolah Taman KanakKanak
1) Ada, atau ≤ 2.5 Km *)
2
50.00-69.99
2
b. Sekolah Menengah Pertama
2) > 2.5 Km *)
3
40.00-49.99
3
c. Sekolah Menengah Umum
4
20.00-30.99
4
d. Pasar
1) Ada, atau ≤ 2 Km *)
5
15-19.99
5
e. Pertokoan
2) > 2 Km *)
6
10-14.99
6
f. Bioskop
1) Ada, atau ≤ 5 Km *)
7
5.00-9.99
7
g. Rumah Sakit
2) > 5 Km *)
8
<5.00
8
h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti
1) Ada
Pijat/Salon
2) Tidak ada
i. Persentase RT Telepon
1) ≥ 8.00
2) < 8.00
j. Persentase RT listrik
1) ≥ 90.00
2) < 90.00
*) Jarak tempuh diukur dari Kantor Desa/Kelurahan
Nilai/Skor
1
67
1
0
0
1
0
1
1
0
0
1
0
1
68
2.5
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI 2012)
Survei demografi adalah survei yang menggambarkan rumah
tangga secara nasional. Survei ini menyediakan data dengan cakupan luas
terkait indikator monitoring dan evaluasi populasi, kesehatan dan gizi (ICF
International). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012
merupakan survei ketujuh yang dilakukan sebagai bagian dari proyek
internasional Demographic and Health Survey (DHS). Survei sebelumnya
dilakukan pada tahun 1987, 1991, 1994, 1997, 2002-2003, dan 2007.
SDKI 2012 dirancang bersama-sama oleh Badan Pusat Statistik (BPS),
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan
Kementerian Kesehatan (Kemenkes). SDKI 2012 bertujuan untuk
menyediakan informasi secara rinci tentang penduduk, keluarga berencana
dan bidang kesehatan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International,
2013).
Pengambilan sampel yang dilakukan pada SDKI 2012 mengunakan
metode sampel tiga tahap. Pada tahap pertama dilakukan pemilihan
sejumlah Primary Sampling Unit (PSU) dari kerangka sampel PSU secara
Probability Proportional to Size (PPS). PSU adalah kelompok blok sensus
berdekatan yang menjadi wilayah tugas koordinator tim Sensus Penduduk
2010. Pada tahap kedua dilakukan pemilihan satu blok sensus secara PPS
disetiap PSU terpilih. Selanjutnya pada tahap ketiga dilakukan pemilihan
25 rumah tangga biasa di setiap blok sensus terpilih secara sistematik.
Rangkaian pengambilan sampel SDKI 2012 digambarkan pada Gambar
2.2 (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).
69
Gambar 2.2
Bagan Alur Pengambilan Sampel Rumah Tangga dan Individu
Pemilihan Blok Sensus (Primary Sampling
Unit) berdasarkan Daftar Blok Sensus
Penduduk 2010
Pemilihan 25 rumah tangga pada setiap Blok
Sensus secara sistematis
Pemilihan wanita usia 15-49 yang memenuhi
syarat di setiap rumah tangga
Wawancara wanita usia 15-49 yang
memenuhi syarat
Sumber: (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013) BPS,
BKKBN, Kemenkes & ICF International (2013)
Sampel SDKI 2012 bertujuan untuk memberikan estimasi
karakteristik bagi perempuan usia 15-49 tahun dan laki-laki menikah usia
15-54 tahun di Indonesia baik di daerah perkotaan maupun pedesaan di
setiap provinsi. Sehingga untuk mencapai tujuan ini, sebanyak 1.840 blok
sensus (874 di daerah perkotaan dan 966 di daerah pedesaaan) dipilih dari
daftar Blok sensus pada Primary Sampling Unit (PSU) yang terbentuk saat
sensus penduduk 2010. Pada setiap blok sensus, pemutakhiran dan
pemetaan daftar rumah tangga secara lengkap dilakukan pada bulan April
2012. Daftar lengkap rumah tangga dimasing-masing blok sensus
dijadikan dasar untuk pengambilan sampel tahap kedua. Sebanyak 25
rumah tangga dipilih secara sistematis dari setiap blok sensus. Semua
wanita usia 15-49 yang memenuhi syarat diwawancarai dalam komponen
70
Remaja dari SDKI. Data wanita dan laki yang tidak pernah menikah usia
15-24 tahun merupakan dasar laporan ini. Selanjutnya 8 rumah tangga
dipilih secara sistematis dari 25 rumah tangga untuk mendapatkan
responden pria menikah usai 15-54 tahun (BPS, BKKBN, Kemenkes &
ICF International, 2013).
Hasil pendataan sampel rumah tangga didapatkan total rumah
tangga sebesar 46.024 untuk Indonesia dimana sebanyak 47.533 wanita
memenuhi syarat untuk diwawancarai. Total rumah tangga hasil pendataan
sampel untuk Provinsi Maluku adalah sebesar 1.077 rumah tangga.
Sedangkan total sampel wanita usia subur yang memenuhi syarat untuk
Indonesia didapatkan sebesar 1.291 wanita (BPS, BKKBN, Kemenkes &
ICF International, 2013).
SDKI 2012 menggunakan empat macam kuesioner yaitu kuesioner
rumah tangga, kuesioner wanita usia subur, kuesioner pria kawin dan
kuesioner remaja pria belum pernah kawin. Adanya perubahan cakupan
sampel individu wanita dari wanita pernah kawin (WPK) umur 15-49
tahun dalam SDKI 2007 menjadi wanita umur subur (WUS) 15-49 tahun
pada SDKI 2012, maka kuesioner WUS ditambahkan pertanyaanpertanyaan untuk remaja wanita belum pernah kawin umur 15-24 tahun.
Tambahan pertanyaan ini merupakan bagian dari kuesioner Survei
Kesehatan Reproduksi Remaja tahun 2007 (BPS, BKKBN, Kemenkes &
ICF International, 2013).
71
Kuesioner rumah tangga maupun kuesioner WUS SDKI 2012
sebagian besar mengacu pada versi terbaru (Maret 2011) kuesioner standar
yang digunakan program DHS VI. Model kuesioner tersebut disesuaikan
dengan kebutuhan di Indonesia. Beberapa pertanyaan di kuesioner standar
DHS tidak dicakup dalam SDKI 2012 karena kurang sesuai dengan
kondisi di Indonesia. Selain itu, kategori jawaban serta tambahan
pertanyaan disesuaikan dengan muatan lokal terkait program di bidang
kesehatan dan keluarga berencana di Indonesia (BPS, BKKBN, Kemenkes
& ICF International, 2013).
Kuesioner rumah tangga digunakan untuk mencatat seluruh
anggota rumah tangga dan tamu yang menginap di rumah tangga terpilih
sampel malam sebelum wawancara, dan keadaan tempat tinggal rumah
tangga terpilih. Pertanyaan dasar anggota rumah tangga yang dikumpulkan
adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan hubungan
dengan kepala rumah tangga. Keterangan mengenai tempat tinggal yang
dikumpulkan meliputi sumber air minum, jenis kakus, jenis lantai, jenis
atap, jenis dinding, dan kepemilikan aset rumah tangga. Informasi
mengenai kepemilikan aset menggambarkan status sosialekonomi rumah
tangga tersebut. Kegunaan utama kuesioner rumah tangga adalah untuk
menentukan responden wanita dan pria yang memenuhi syarat untuk
wawancara perseorangan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International,
2013).
Kuesioner WUS digunakan untuk mengumpulkan informasi dari
wanita umur 15-49 tahun. Topik yang ditanyakan kepada wanita tersebut
72
adalah latar belakang responden (status perkawinan, pendidikan, akses
terhadap media massa, dan lain-lain), riwayat kelahiran, pengetahuan dan
pemakaian kontrasepsi, perawatan kehamilan, persalinan, dan pemeriksaan
setelah melahirkan, pemberian air susu ibu dan makanan anak, kematian
anak, imunisasi dan kesakitan anak, perkawinan dan kegiatan seksual,
preferensi fertilitas, latar belakang suami/pasangan dan pekerjaan
responden, pengetahuan tentang HIV-AIDS dan infeksi seksual lain,
kematian saudara kandung, termasuk kematian ibu dan isu kesehatan
lainnya (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).
Selanjutnya pada kuesioner wanita umur 15-24 tahun yang belum
pernah kawin, ditanyakan mengenai latar belakang tambahan yaitu
pengetahuan mengenai sistem reproduksi manusia, sikap tentang
perkawinan dan anak, peran keluarga, sekolah, masyarakat dan media,
rokok, minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang, pacaran dan
perilaku seksual. Pada kuesioner pria kawin (PK), informasi yang
dikumpulkan dalam kuesioner PK hampir sama dengan kuesioner WUS
namun lebih pendek karena tidak mencakup riwayat kelahiran, dan
kesehatan ibu dan anak. Pada kuesioner untuk pria berstatus kawin juga
dikumpulkan informasi mengenai pengetahuan dan partisipasi mereka
dalam perawatan kesehatan anak. Kuesioner remaja pria (RP) mencakup
pertanyaan yang sama dengan kuesioner remaja wanita belum pernah
kawin umur 15-24 tahun (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International,
2013).
73
Sebelum memulai kegiatan di lapangan, kuesioner SDKI 2012
diujicobakan di Provinsi Riau dan Nusa Tenggara Timur untuk
memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan sudah jelas dan dapat dipahami
oleh responden. Uji coba penting dilakukan terkait dengan cakupan sampel
yang berbeda dengan SDKI sebelumnya. Pada SDKI sebelumnya
responden perempuan merupakan wanita yang pernah kawin umur 15-49
tahun berubah menjadi semua wanita umur 15-49 tahun terlepas dari status
perkawinan. Selain itu, terdapat pertanyaan baru dan format pertanyaan
yang disesuaikan dengan kuesioner standar DHS. Dua tim direkrut di
setiap provinsi. Uji coba dilakukan pada pertengahan Juli hingga
pertengahan Agustus 2011 di empat kabupaten terpilih, yang mencakup 4
blok sensus perkotaan dan empat blok sensus perdesaan. Kabupaten yang
dipilih untuk uji coba adalah Pekanbaru dan Kabupaten Kampar (Provinsi
Riau), serta Kota Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (Provinsi
Nusa Tenggara Timur). Berdasarkan temuan uji coba, dilakukan
penyempurnaan terhadap kuesioner rumah tangga dan individu (BPS,
BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).
Kemudian dilakukan pelatihan kepada seluruh enumerator sebelum
survei dilakukan. Sebanyak 922 orang (376 pria dan 546 wanita) dilatih
sebagai pewawancara. Pelatihan berlangsung selama 12 hari pada bulan
Mei 2012 di sembilan pusat pelatihan yaitu Batam, Bukit Tinggi, Banten,
Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Makasar, Manokwari dan Jayapura.
Pelatihan mencakup pembelajaran materi di kelas, latihan wawancara dan
tes. Pelatihan dibedakan menjadi tiga kelas yaitu kelas wanita (WUS),
74
kelas pria kawin (PK), dan kelas remaja pria (RP). Seluruh peserta dilatih
menggunakan kuesioner rumah tangga dan kuesioner perseorangan sesuai
jenis kelasnya. Pengumpulan data yang dilakukan pada SDKI 2012 yaitu
menggunakan
metode
wawancara
terhadap
responden
penelitian
menggunakan kuesioner penelitian (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF
International, 2013).
Pengumpulan data SDKI 2012 dilakukan oleh 119 tim petugas.
Setiap tim terdiri dari delapan orang yaitu 1 orang pengawas pria, 1 orang
editor wanita untuk WUS dan PK, 4 orang wanita pewawancara WUS, 1
orang pria pewawancara PK yang merangkap sebagai editor RP, dan 1
orang pria pewawancara RP. Sedangkan untuk Provinsi Papua dan Papua
Barat setiap tim pengumpul terdiri dari dari lima orang, 1 orang pengawas
pria yang merangkap sebagai editor PK dan RP, 1 orang wanita editor
WUS, 2 orang wanita pewawancara WUS dan 1 orang pria pewawancara
PK dan RP. Kegiatan pengumpulan data SDKI 2012 di lapangan
berlangsung dari 7 Mei sampai 31 Juli 2012 (BPS, BKKBN, Kemenkes &
ICF International, 2013).
Hasil pengumpulan data dilapangan didapatkan sebesar 99%
sampel rumah tangga yang berhasil diwawancarai. Selanjutnya, sampel
wanita usia subur yang memenuhi syarat yang berhasil diwawancarai yaitu
sebesar 22.898 wanita (96%). Adapun rumah tangga yang berhasil
diwawancarai untuk Indonesia yaitu sebesar 97.4% (1.077 rumah tangga)
dan sampel wanita usia subur yang memenuhi syarat yang berhasil
75
diwawancarai sebesar 89% (1.149 wanita) (BPS, BKKBN, Kemenkes &
ICF International, 2013).
2.6
Kerangka Teori
Berdasarkan model faktor-faktor yang berhubungan dengan
kematian pada neonatal dari Titaley (2008) dapat diilustrasikan model
kerangka teori faktor-faktor yang mempengaruhi kematian neonatal pada
Gambar 2.3.
76
Gambar 2.3 Kerangka Teori
Determinan Sosial-ekonomi:
Pendidikan Ibu3,5,6
Pekerjaan Ibu1,3
Indeks Kekayaan Rumah Tangga4
Determinan Terdekat (Proximate Determinants)
Faktor Ibu:
Umur Ibu4,5,6
Faktor Neonatal:
Infeksi/Penyakit12,13
Jenis Kelamin Bayi1,3,4,5,10
Berat Bayi Lahir2,7,8
Paritas2,3,8
Jarak Kelahiran1,2,5,8
Kelahiran Prematur7
Inisiasi Menyusu Dini11
Faktor Sebelum
Melahirkan:
Kunjungan Antenatal3,9
Komplikasi Kehamilan4
Hidup
Faktor Saat Melahirkan:
Penolong Persalinan9
Komplikasi Persalinan1,3,4
Persalinan Caesar4,8
Tempat Persalinan1
Faktor Setelah
Melahirkan:
Kunjungan
Neonatal1,2,4
Meninggal
Sumber: Modifikasi Determinan Kelangsungan Hidup Bayi Titaley, dkk (1), 2008, Kayode, dkk, 2014 (2), Singh, dkk, 2013 (3), Bashir, dkk.
2013 (4), Mekonnen, dkk, 2013 (5), Upadhyay, dkk, 2012 (6), Onwuanaku, dkk 2011 (7), Chaman, dkk 2009 (8), Singh, dkk 2014
(9), Carlsen, dkk 2013 (10), Debes, dkk 2013 (11), Yego, dkk, 2013 (12), Yanping, dkk, 2010 (13)
3 BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1
Kerangka Konsep
Berdasarkan teori penyebab kematian neonatal dari Titaley (2008),
faktor yang mempengaruhi kematian neonatal yaitu terdiri dari faktor
sosial ekonomi dan faktor terdekat (proximate determinants). Determinan
sosial-ekonomi tidak mempengaruhi secara langsung kematian neonatal,
namun hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat
pendidikan ibu, semakin besar peluang terjadinya kasus kematian bayi. Ibu
yang bekerja mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian
kematian bayi lebih besar dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Ibu dan
anak yang berasal dari keluarga miskin memiliki risiko meningkat
terhadap kematian neonatal. Sehingga peneliti ingin meneliti secara
langsung pengaruh faktor sosial-ekonomi tersebut terhadap kematian
neonatal.
Variabel berat bayi lahir, jarak kelahiran, kelahiran prematur,
inisiasi menyusu dini, komplikasi persalinan dan kunjungan neonatal tidak
dijadikan variabel penelitian karena sebagian besar data variabel missing
serta variabel infeksi/penyakit tidak dijadikan variabel penelitian karena
data tidak tersedia pada SDKI 2012. Adapun variabel lainnya yang dipilih
sebagai variabel penelitian adalah faktor terdekat yang terdiri dari variabel
77
78
umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas, jarak kelahiran, kelahiran prematur,
kunjungan antenatal,
komplikasi
kehamilan,
penolong
persalinan,
persalinan caesar dan tempat persalinan.
Semakin tua umur ibu maka organ reproduksi ibu semakin
mengalami penurunan serta semakin muda umur ibu, organ reproduksi
yang ada belum cukup matang untuk menjalani proses kehamilan.
Sehingga pada umur terlalu muda dan terlalu tua kehamilan memiliki
risiko tinggi mengalami kematian bayi. Selain itu, apabila ibu terlalu
sering melahirkan rahim akan semakin lemah. Bayi pada ibu yang
mengalami komplikasi pada saat kehamilan memiliki kemungkinan untuk
mengalami komplikasi pada saat persalinan (perdarahan, persalinan sulit
atau lama) yang bisa menyebabkan terjadinya kematian pada bayi terutama
pada masa 28 hari pertama kehidupan.
Persalinan caesar dilakukan apabila terdapat indikasi kesehatan
tertentu, sehingga ibu lebih memiliki risiko kematian pada bayinya.
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terampil akan membantu ibu
dan bayi tetap berada pada kondisi yang baik. Petugas kesehatan memiliki
keterampilan lebih baik dalam menghadapi kondisi-kondisi yang mungkin
terjadi selama persalinan. Apabila ibu melangsungkan persalinan di
fasilitas kesehatan, kondisi yang memerlukan tindakan lebih lanjut bisa
dilakukan lebih cepat karena telah tersedianya alat-alat yang dibutuhkan.
79
Berikut kerangka konsep pada penelitian ini:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Pendidikan Ibu
Pekerjaan Ibu
Indeks Kekayaan Rumah Tangga
Umur Ibu
Jenis Kelamin Bayi
Paritas
Kunjungan Antenatal
Komplikasi Kehamilan
Penolong Persalinan
Persalinan Caesar
Tempat Persalinan
Kematian Neonatal
80
3.2
Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Kematian yang terjadi selama dua
puluh delapan hari pertama kehidupan
setelah bayi dilahirkan di Indonesia
pada periode 2008-2012.
Observasi
Data SDKI
2012
Kuesioner SDKI
2012-WUS Bagian
2 No. 216, 220,
Bagian 4 No. 404
Jenjang pendidikan tertinggi
pernah dijalani ibu.
yang
Observasi
Data SDKI
2012
Kuesioner SDKI
2012-WUS Bagian
1 No 105, 106
Status pekerjaan yang dilakukan ibu
baik dirumah maupun diluar rumah
yang mendapat imbalan/penghasilan.
Indeks
kekayaan Indeks kekayaan rumah tangga, yang
rumah tangga
didapatkan
dengan
mengukur
karakteristik latar belakang rumah
tangga (mengukur standar hidup
rumah tangga dalam jangka panjang).
Umur Ibu
Ulang tahun terakhir ibu saat
dilakukan wawancara dikurangi umur
Observasi
Data SDKI
2012
Observasi
Data SDKI
2012
Variabel
Hasil Ukur
Skala
Ukur
Variabel Dependen
1.
Kematian Neonatal
0 = meninggal
1 = tidak meninggal
(WHO, 2006)
Ordinal
Variabel Independen
2.
Pendidikan Ibu
3.
Pekerjaan Ibu
4.
5.
Observasi
Data SDKI
0 = rendah (SD atau SMP)
1 = tinggi (SMA, Diploma
atau Perguruan Tinggi)
(Singh, dkk., 2013)
Kuesioner SDKI
0 = bekerja
2012-WUS Bagian 1 = tidak bekerja
8 No. 807-814
(Titaley, dkk., 2008)
Kuesioner SDKI
1 = rendah
2012-RT Bagian III 2 = menengah
dan IV
3 = tinggi
(Bashir, dkk., 2013)
Ordinal
Kuesioner SDKI
2012-WUS Bagian
Ordinal
0 = < 20 atau > 35 tahun
1 = 20-35 tahun
Ordinal
Ordinal
81
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
anak terakhir pada periode 5 tahun
sebelum survei (2008-2012).
2012
1 No. 102, 103
(Wijayanti, 2013)
Observasi
Data SDKI
2012
Observasi
Data SDKI
2012
Observasi
Data SDKI
2012
Kuesioner SDKI
2012-RT Bagian 2
No. 213
Kuesioner SDKI
2012-WUS Bagian
2 No. 224
Kuesioner SDKI
2012-Bagian 4 No.
408-412C
6.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin anak terakhir yang
meninggal pada periode 2008-2012.
7.
Paritas
Jumlah bayi yang pernah dilahirkan
ibu baik lahir hidup maupun lahir mati.
8.
Kunjungan
Antenatal
Jumlah kunjungan ibu memeriksakan
kehamilan untuk anak terakhir pada
periode 5 tahun sebelum survei (20082012).
9.
Komplikasi
kehamilan
10.
Penolong Persalinan
Riwayat terjadinya komplikasi pada
kehamilan untuk kehamilan anak
terakhir dengan tanda komplikasi
mulas sebelum 9 bulan, perdarahan,
demam yang tinggi, kejang-kejang dan
pingsan.
Tenaga yang menjadi penolong
persalinan untuk anak terakhir pada
periode 5 tahun sebelum survei (2008-
Observasi
Data SDKI
2012
Observasi
Data SDKI
2012
0 = laki-laki
1 = perempuan
(Titaley, dkk., 2008)
0=≥4
1 = 1-3
(Titaley, dkk., 2008)
0 = tidak melakukan
kunjungan
atau
kunjungan kurang dari
empat kali
1 = kunjungan antenatal
minimal empat kali
(Yani & Duarsa, 2013)
Kuesioner SDKI- 0 = komplikasi (minimal
WUS Bagian 4 No.
terdapat satu tanda
414 C, 414 D
komplikasi)
1 = tidak komplikasi
(Nugraheni, 2013)
Kuesioner SDKI
2012-WUS Bagian
4 No. 433
0 = non tenaga kesehatan
1 = tenaga kesehatan
(Titaley, dkk., 2008)
Skala
Ukur
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
82
No
Variabel
11.
Persalinan caesar
12.
Tempat persalinan
Definisi
2012).
Anak terakhir pada periode 5 tahun
sebelum survei (2008-2012) dilahirkan
dengan cara perut dibedah untuk
mengeluarkan bayi.
Tempat ibu melangsungkan proses
persalinan untuk anak terakhir pada
periode 5 tahun sebelum survei (20082012).
Hasil Ukur
Skala
Ukur
Cara Ukur
Alat Ukur
Observasi
Data SDKI
2012
Kuesioner SDKI
2012-WUS Bagian
4 No. 435
0 = caesar
1 = tidak caesar
(Bashir, dkk., 2013)
Observasi
Data SDKI
2012
Kuesioner SDKI
2012-WUS Bagian
4 No. 434
0 = non fasilitas layanan Ordinal
kesehatan
1 = fasilitas layanan
kesehatan
(Titaley, dkk., 2008)
Ordinal
83
3.3
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kematian neonatal.
2. Ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kematian neonatal.
3. Ada hubungan antara indeks kekayaan rumah tangga dengan kematian
neonatal.
4. Ada hubungan antara umur ibu dengan kematian neonatal.
5. Ada hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal.
6. Ada hubungan antara paritas dengan kematian neonatal.
7. Ada hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal.
8. Ada hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal.
9. Ada hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal.
10. Ada hubungan antara persalinan caesar dengan kematian neonatal.
11. Ada hubungan antara tempat persalinan dengan kematian neonatal.
4 BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1
Desain Penelitian
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
epidemiologi
dengan
menggunakan desain cross sectional study dimana status paparan dan status
penyakit dikumpulkan dalam satu waktu (Gordis, 2004). Desain ini adalah
desain penelitian dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2012 yang merupakan sumber data pada penelitian ini. Desain studi cross
sectional merupakan desain penelitian yang mudah dilakukan karena tidak
membutuhkan waktu follow up (Murti, 1997). Namun, desain cross sectional
memiliki kelemahan dimana tidak bisa membedakan antara faktor penyebab
dan akibat, karena pengumpulan data paparan dan efek dilakukan secara
bersamaan (Gerstman, 2003).
SDKI 2012 merupakan survei ketujuh yang dilakukan sejak tahun
1987 sebagai bagian dari proyek internasional Demographic and Health
Survey (DHS). Survei ini bertujuan untuk menyediakan informasi secara rinci
tentang penduduk, keluarga berencana dan kesehatan. Survei ini dirancang
oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
(BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).
84
85
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2014 dengan lokasi
penelitian adalah wilayah rural Indonesia. Adapun analisis data penelitian
dilakukan di wilayah Ciputat, Tangerang Selatan.
4.3
Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1
Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya
akan diduga (Hastono & Sabri, 2010). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh neonatal di daerah rural Indonesia pada periode 20082012 berdasarkan sampel SDKI 2012.
4.3.2
Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang ciri-cirinya akan
diteliti atau diukur (Hastono & Sabri, 2010). Sampel yang digunakan
pada penelitian ini yaitu wanita usia subur (15-49 tahun) di daerah
rural Indonesia dan pernah memiliki bayi pada rentang periode 20082012. Besar sampel minimal pada penelitian ini ditentukan
berdasarkan rumus berikut (Dahlan, 2010):
2
Z1-α/2 2P(1-P)+Z1-β P1 (1-P1 )+ P2 (1-P2 )
xDeff
n=
(P1 - P2 )2
Keterangan:
n1
= jumlah sampel minimal
Z1-α/2
= 1.96 (Nilai Z pada derajat kemakanaan α sebesar 5%
(0.05)
86
= 0.84 (Nilai Z pada kekuatan uji 1-β dengan β sebesar
Z1-β
20%)
P
= Proporsi total = (P1+P2)/2
P1
= proporsi kematian neonatal pada kelompok yang nilainya
merupakan judgement peneliti
P2
= proporsi kematian neonatal pada kelompok yang
bersumber dari kepustakaan
Deff
= Desain efek
Berdasarkan nilai P2 hasil penelitian terdahulu sebesar 0.43
(Chaman, dkk., 2009), α = 5% (Z1-α/2 = 1.96); β = 20% (Zβ = 0.84), P1P2 = 3.5% dan Deff = 2 didapatkan jumlah sampel minimal yang
diperlukan untuk penelitian sebesar 6.327 sampel. Jumlah WUS yang
memililiki bayi pada periode 2008-2012 di daerah rural Indonesia
setelah proses cleaning data didapatkan sebesar 7.138 sampel.
Sehingga peneliti mengambil seluruh sampel tersebut (7.138 sampel)
karena telah memenuhi besar sampel minimal penelitian (6.327
sampel).
4.4
Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan memilih sampel WUS yang
memenui syarat dan berhasil diwawancarai di Indonesia. Jumlah sampel WUS
yang memenuhi syarat yang berhasil diwawancarai yaitu sebesar 45.607
wanita. Selanjutnya dipilih sampel WUS yang memiliki bayi pada periode
2008-2012. Jumlah sampel WUS yang memenuhi syarat dan berhasil
diwawancarai serta memiliki bayi pada periode 2008-2012 di Indonesia yaitu
87
sebesar 16.198 sampel. Selanjutnya dipilih WUS berdasarkan wilayah tempat
tinggal didaerah rural (perdesaan) yaitu sebesar 8.848 sampel. Kemudian
dilakukan proses cleaning data sehingga didapatkan jumlah sampel WUS
yang memiliki bayi pada periode 2008-2012 yaitu sebesar 7.138 sampel.
Berikut alur pengambilan sampel pada penelitian ini.
Gambar 4.1 Bagan Alur Pengambilan Sampel Penelitian
Pemilihan sampel wanita usia 15-49 yang di
wawancarai di Indonesia yaitu sebesar
45.607 sampel
Pemilihan sampel wanita usia 15-49 yang di
wawancarai yang memiliki bayi di Indonesia
Tahun 2008-2012 yaitu sebesar 16.198 sampel
Pemilihan sampel wanita usia 15-49 yang di
wawancarai yang memiliki bayi di daerah
rural Indonesia Tahun 2008-2012 yaitu
sebesar 8.848 sampel
Pemilihan sampel hasil cleaning data wanita
usia 15-49 yang di wawancarai yang memiliki
bayi di daerah rural Indonesia Tahun 20082012 yaitu sebesar 7.138 sampel
4.5
Teknik Pengumpulan Data
Sumber data pada penelitian ini adalah data hasil Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Data yang dikumpulkan pada
88
penelitian ini yaitu data hasil Kuesioner Wanita Usia Subur (WUS) dan
Kuesioner Rumah Tangga SDKI 2012 untuk Indonesia. Data hasil kuesioner
WUS yang dikumpulkan terdiri dari kematian neonatal, pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah tangga, wilayah tempat tinggal, umur
ibu, jenis kelamin bayi, paritas, kunjungan antenatal, komplikasi kehamilan,
penolong persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan analisis terlebih
dahulu terhadap Kuesioner WUS dan Kuesioner Rumah Tangga SDKI 2012.
Kemudian memilih variabel-variabel yang akan dijadikan sebagai variabel
penelitian
berdasarkan
penelitian-penelitian
yang
telah
dilakukan.
Selanjutnya, peneliti meminta data mentah (row data) hasil Kuesioner WUS
dan Rumah Tangga ke Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) sebagai pemegang data SDKI 2012. Berikut ini gambaran
proses pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini:
Gambar 4.2 Proses Pengambilan Data Penelitian
Analisis Kuesioner Wanita Usia Subur (WUS)
dan Kuesioner Rumah Tangga (RT), SDKI
2012
Pemilihan Variabel Penelitian Berdasarkan
Penelitian-Penelitian Sebelumnya
Permintaan Data Mentah (Row Data) Hasil
Kuesioner WUS dan RT, SDKI 2012 ke
BKKBN
89
4.6
Pengolahan Data
Adapun proses pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini
sebagai berikut:
1) Filter (Penyaringan), menyaring data yang tidak dibutuhkan dalam
penelitian. Peneliti sebelumnya mengidentifikasi pertanyaan pada
Kuesioner SDKI 2012 yang dianggap berkaitan dengan kematian
neonatal berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya. Berikut kode
variabel penelitian pada row data SDKI 2012:
Tabel 4.1 Variabel dan Kode Variabel Penelitian Pada SDKI 2012
Variabel
No.
Variabel Dependen
1.
Kematian neonatal
Variabel Independen
2.
Pendidikan ibu
3.
Pekerjaan ibu
4.
Indeks kekayaan rumah tangga
5.
Umur ibu
6.
Jenis kelamin bayi
7.
Paritas
8.
Kunjungan pelayanan antenatal
9.
10.
Komplikasi kehamilan
Penolong persalinan
11.
12.
Persalinan Caesar
Tempat persalinan
Kode Data
B5, B6, B7
V106, V149
V714, V716, V731
V190, V191
V012
B4
V201
M13, M14, S412BAS412BC
S632HA-S632HX
M3A$1, M3B$1, M3C$1,
M3D$1, M3E$1, M3G$1,
M3H$1, M3K$1, M3N$1
V401, M17
M15
2) Cleaning (Pembersihan data), memeriksa kembali kemungkinan
adanya data tidak konsisten dan missing data dengan analisis frekuensi
90
terhadap masing-masing variabel penelitian. Berikut hasil cleaning
data pada penelitian ini:
Tabel 4.2 Hasil Cleaning Data Daerah Rural Indonesia SDKI 2012
No.
Variabel
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Kategori anak hidup
Umur saat meninggal
Pendidikan ibu
Pekerjaan ibu
Indeks kekayaan rumah tangga
Wilayah tempat tinggal
Umur ibu
Jenis kelamin bayi
Paritas
Jarak kelahiran
IMD
Kunjungan antenatal
Komplikasi kehamilan
Penolong persalinan
Komplikasi persalinan
Berat bayi lahir
Kelahiran prematur
Persalinan Caesar
Tempat persalinan
Kunjungan neonatal pertama
Jumlah Akhir Sampel
Data
Jumlah
Awal
Valid Missing
8.848
8.848
0
8.848
8.848
0
8.848
8.368
480
8.848
8.834
14
8.848
8.848
0
8.848
8.848
0
8.848
8.848
0
8.848
8.848
0
8.848
8.848
0
8.848
5.722
3.126
8.848
7.226
1.622
8.848
8.848
0
8.848
8.810
38
8.848
8.784
64
8.848
6.718
2130
8.848
6.652
2.196
8.848
585
8.263
8.848
8.769
79
8.848
8.783
65
8.848
4.464
4.384
7.138 sampel
3) Recoding (pengkodean ulang), memberikan kode baru untuk setiap
variabel penelitian yang perlu diubah.
4.7
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari analisis
univariat dan analisis bivariat.
91
4.7.1
Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi variabelvariabel yang akan diteliti. Variabel-variabel tersebut adalah kematian
neonatal, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, indeks kekayaan rumah
tangga, umur ibu, jenis kelamin bayi, paritas, kunjungan antenatal,
komplikasi kehamilan, penolong persalinan, persalinan caesar dan
tempat persalinan.
4.7.2
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji statistik
chi square untuk menguji hipotesis penelitian, yaitu adanya hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen penelitian.
Variabel independen penelitian terdiri dari pendidikan ibu, pekerjaan
ibu, indeks kekayaan rumah tangga, umur ibu, jenis kelamin bayi,
paritas,
kunjungan antenatal,
komplikasi
kehamilan,
penolong
persalinan, persalinan caesar dan tempat persalinan. Sedangkan
variabel dependennya adalah kematian neonatal.
Derajat signifikansi (α) pada penelitian ini ditetapkan sebesar
5% (0.05). Terdapat hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen apabila hasil perhitungan didapatkan nilai p lebih
kecil dari nilai α (P < α). Sebaliknya apabila nilai p didapatkan lebih
besar dari nilai α (P > α), maka tidak terdapat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
5
5.1
BAB V
HASIL
Distribusi Kematian Neonatal
Distribusi kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 5.1 berikut ini:
Tabel 5.1
Distribusi Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Kematian Neonatal
Meninggal
Tidak meninggal
Total
n
79
7059
7138
%
1,1
98,9
100
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa dari 7.138 ibu yang memiliki
bayi, terdapat 1,1% (79 kasus) kematian neonatal yang terjadi pada bayi di
daerah rural Indonesia Tahun 2008-2012.
5.2
Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu
Distribusi pendidikan ibu di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 5.2 berikut ini:
Tabel 5.2
Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Pendidikan Ibu
Rendah
Tinggi
Total
n
4911
2227
7138
92
%
68,8
31,2
100
93
Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki
tingkat pendidikan rendah (68,8%).
5.3
Distribusi Status Pekerjaan Ibu
Distribusi status pekerjaan ibu di daerah rural Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 5.3 berikut ini:
Tabel 5.3
Distribusi Pekerjaan Ibu di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Status Pekerjaan Ibu
Bekerja
Tidak bekerja
Total
n
3903
3235
7138
%
54,7
45,3
100
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa ibu yang memiliki status
bekerja yaitu sebesar 54,7% (3.903 orang).
5.4
Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga
Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga di daerah rural Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 5.4 berikut ini:
Tabel 5.4
Distribusi Indeks Kekayaan Rumah Tangga di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Indeks Kekayaan
Rumah Tangga
Rendah
Menengah
Tinggi
Total
n
%
4756
1196
1186
7138
66,6
16,8
16,6
100
Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki
indeks kekayaan rumah tangga rendah yaitu sebesar 66,6% (4.756 orang).
94
5.5
Distribusi Umur Ibu
Distribusi umur ibu di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel
5.5 berikut ini:
Tabel 5.5
Distribusi Umur Ibu di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Umur Ibu
<20 tahun dan >35 tahun
20-35 tahun
Total
n
1980
5158
7138
%
27,7
72,3
100
Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki
umur 20-35 tahun yaitu sebesar 72,3% (5.158 orang).
5.6
Distribusi Jenis Kelamin Bayi
Distribusi jenis kelamin bayi di daerah rural Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 5.6 berikut ini:
Tabel 5.6
Distribusi Jenis Kelamin Bayi di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
n
3725
3413
7138
%
52,2
47,8
100
Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa bayi yang berjenis kelamin
perempuan lebih sedikit dibandingkan bayi berjenis kelamin laki-laki yaitu
sebesar 47,8% (3.413 bayi).
95
5.7
Distribusi Paritas
Distribusi paritas di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.7
berikut ini:
Tabel 5.7
Distribusi Paritas di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Paritas
>=4
1-3
Total
n
1368
5778
7138
%
19,1
80,9
100
Berdasarkan Tabel 5.7 diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki
paritas 1-3 yaitu sebesar 80,9% (5.778 orang).
5.8
Distribusi Kunjungan Antenatal
Distribusi kunjungan antenatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 5.8 berikut ini:
Tabel 5.8
Distribusi Kunjungan Antenatal di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Kunjungan Antenatal
Tidak ANC
ANC
Total
n
2688
4450
7138
%
37,7
62,3
100
Berdasarkan Tabel 5.8 diketahui bahwa ibu yang telah melakukan
kunjungan antenatal selama kehamilannya yaitu sebesar 62,3% (4.450 orang).
5.9
Distribusi Komplikasi Kehamilan
Distribusi komplikasi kehamilan di daerah rural Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 5.9 berikut ini:
96
Tabel 5.9
Distribusi Komplikasi Kehamilan di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Komplikasi Kehamilan
Komplikasi
Tidak komplikasi
Total
n
427
6711
7138
%
6,0
94,0
100
Berdasarkan Tabel 5.9 diketahui bahwa sebagian besar ibu tidak
mengalami komplikasi pada saat kehamilannya yaitu sebedar 94,0% (6.711
orang).
5.10 Distribusi Penolong Persalinan
Distribusi penolong persalinan di daerah rural Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 5.10 berikut ini:
Tabel 5.10
Distribusi Penolong Persalinan di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Penolong Persalinan
Non Nakes
Nakes
Total
n
1911
5227
7138
%
26,8
73,2
100
Berdasarkan Tabel 5.10 diketahui bahwa sebagian besar persalinan pada
ibu ditolong oleh tenaga kesehatan yaitu sebesar 73,2% (5.227 orang).
5.11 Distribusi Persalinan Caesar
Distribusi persalinan caesar di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 5.11 berikut ini:
97
Tabel 5.11
Distribusi Persalinan Caesar di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Persalinan Caesar
Caesar
Tidak Caesar
Total
n
571
6567
7138
%
8,0
92,0
100
Berdasarkan Tabel 5.11 diketahui bahwa sebesar 8,0% (571 orang) ibu
yang melakukan persalinan caesar pada persalinannya.
5.12 Distribusi Tempat Persalinan
Distribusi tempat persalinan di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 5.12 berikut ini:
Tabel 5.12
Distribusi Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2008-2012
Tempat Persalinan
Non Fasyankes
Fasyankes
Total
n
4276
2862
7138
%
59,9
40,1
100
Berdasarkan Tabel 5.12 diketahui bahwa ibu yang melakukan
persalinan di non fasilitas pelayanan kesehatan pada saat persalinannya yaitu
sebesar 59,9% (4.276 orang).
5.13 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara pendidikan ibu dengan kematian neonatal
di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.13 berikut ini:
98
Tabel 5.13
Analisis Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kematian Neonatal di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Pendidikan Ibu
Rendah
Tinggi
Kematian Neonatal
Meninggal
Tidak meninggal
n
%
n
%
59
1,2
4852
98,8
20
0,9
2207
99,1
Total
n
4911
2227
%
100
100
P
Value
0,311
Berdasarkan Tabel 5.13 diketahui bahwa dari 4.911 ibu yang
berpendidikan rendah terdapat 59 kematian neonatal (1,2%), sedangkan dari
2.227 ibu berpendidikan tinggi terdapat 20 kematian neonatal (0,9%).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,311 sehingga dapat diartikan
bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara
pendidikan ibu dengan kematian neonatal.
5.14 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara pekerjaan ibu dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia dapat dilihat pada tabel 5.14 berikut ini:
Tabel 5.14
Analisis Hubungan antara Pekerjaan Ibu dengan Kematian Neonatal di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Status
Pekerjaan Ibu
Bekerja
Tidak Bekerja
Kematian Neonatal
Meninggal
Tidak meninggal
n
%
n
%
62
1,6
3841
98,4
17
0,5
3218
99,5
Total
n
3903
3235
%
100
100
P
Value
0,000
Berdasarkan Tabel 5.14 diketahui bahwa dari 3.903 ibu yang bekerja
terdapat 62 kematian neonatal (1,6%), sedangkan dari 3.235 ibu yang tidak
bekerja terdapat 17 kematian neonatal (0,5%). Berdasarkan hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,000 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat
99
kepercayaan 95% terdapat hubungan antara status pekerjaan ibu dengan
kematian neonatal.
5.15 Hubungan Indeks Kekayaan Rumah Tangga dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara indeks kekayaan rumah tangga dengan
kematian neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.15
berikut ini:
Tabel 5.15
Analisis Hubungan antara Indeks Kekayaan Rumah Tangga dengan
Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Indeks
Kekayaan
Rumah Tangga
Rendah
Menengah
Tinggi
Kematian Neonatal
Meninggal
Tidak meninggal
n
%
n
%
47
1,0
4709
99,0
17
1,4
1179
98,6
15
1,3
1171
98,7
Total
n
4756
1196
1186
%
100
100
100
P
Value
0,375
Berdasarkan Tabel 5.15 diketahui bahwa dari 4.756 ibu dengan status
indeks kekayaan rumah tangga rendah terdapat 47 kematian neonatal (1,0%),
dari 1.196 ibu dengan status indeks kekayaan rumah tangga menengah terdapat
17 kematian neonatal (1,4%) serta dari 1.186 ibu dengan status indeks
kekayaan rumah tangga tinggi terdapat 15 kematian neonatal (1,3%).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,375 sehingga dapat diartikan
bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara indeks
kekayaan rumah tangga dengan kematian neonatal.
100
5.16 Hubungan Umur Ibu dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara umur ibu dengan kematian neonatal di
daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.16 berikut ini:
Tabel 5.16
Analisis Hubungan antara Umur Ibu dengan Kematian Neonatal di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Umur Ibu
<20 tahun dan >35
tahun
20-35 tahun
Kematian Neonatal
Meninggal Tidak meninggal
n
%
n
%
Total
n
%
33
1,7
1947
98,3
1980
100
46
0,9
5112
99,1
5158
100
P
Value
0,007
Berdasarkan Tabel 5.16 diketahui bahwa dari 1.980 ibu yang berusia
<20 tahun dan >35 tahun terdapat 33 kematian neonatal (1,.7%), sedangkan dari
5.158 ibu yang berusia 20-35 tahun terdapat 46 kematian neonatal (0,9%).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,007 sehingga dapat diartikan
bahwa pada tingkat kepercayaan 95% terdapat hubungan antara umur ibu
dengan kematian neonatal.
5.17 Hubungan Jenis Kelamin Bayi dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin bayi dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.17 berikut ini:
Tabel 5.17
Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin Bayi dengan Kematian Neonatal
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Jenis Kelamin
Bayi
Laki-laki
Perempuan
Kematian Neonatal
Meninggal Tidak meninggal
n
%
n
%
45
1,2
3680
98,8
34
1,0
3379
99,0
Total
n
3725
3413
%
100
100
P
Value
0,458
101
Berdasarkan Tabel 5.17 diketahui bahwa dari 3.725 ibu dengan bayi
berjenis kelamin laki-laki terdapat 45 kematian neonatal (1,2%), sedangkan dari
3.413 ibu dengan bayi berjenis kelamin perempuan terdapat 34 kematian
neonatal (1,0%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,458
sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat
hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal.
5.18 Hubungan Paritas dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara paritas dengan kematian neonatal di daerah
rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.18 berikut ini:
Tabel 5.18
Analisis Hubungan antara Paritas dengan Kematian Neonatal
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Kematian Neonatal
Paritas Meninggal Tidak meninggal
n
%
n
%
≥4
23
1,7
1342
98,3
1-3
56
1,0
5717
99,0
Total
n
1365
5773
%
100
100
P
Value
0,033
Berdasarkan Tabel 5.18 diketahui bahwa dari 1.365 ibu yang memiliki
paritas lebih dari empat terdapat 23 kematian neonatal (1,7%), sedangkan dari
5.773 ibu yang memiliki paritas 1-3 terdapat 56 kematian neonatal (1,0%).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,033 sehingga dapat diartikan
bahwa pada tingkat kepercayaan 95% terdapat hubungan antara paritas dengan
kematian neonatal.
102
5.19 Hubungan Kunjungan Antenatal dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara kunjungan antenatal dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.19 berikut ini:
Tabel 5.19
Analisis Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Kematian Neonatal
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Kunjungan
Antenatal
Tidak ANC
ANC
Kematian Neonatal
Meninggal Tidak meninggal
n
%
n
%
45
1,7
2643
98,3
34
0,8
4416
99,2
Total
n
2688
4416
%
100
100
P
Value
0,001
Berdasarkan Tabel 5.19 diketahui bahwa dari 2.688 ibu yang tidak
melakukan kunjungan antenatal terdapat 45 kematian neonatal (1,7%),
sedangkan dari 4.416 ibu yang melakukan kunjungan antenatal terdapat 34
kematian neonatal (0,8%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p =
0,001 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% terdapat
hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal.
5.20 Hubungan Komplikasi Kehamilan dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara komplikasi kehamilan dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.20 berikut ini:
Tabel 5.20
Analisis Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Kematian Neonatal
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Komplikasi
Kehamilan
Komplikasi
Tidak komplikasi
Kematian Neonatal
Meninggal Tidak meninggal
n
%
n
%
12
2,8
415
97,2
67
1,0
6644
99,0
Total
n
427
6711
%
100
100
P
Value
0,002
103
Berdasarkan Tabel 5.20 diketahui bahwa dari 427 ibu yang mengalami
komplikasi kehamilan terdapat 12 kematian neonatal (2,8%), sedangkan dari
6.711 ibu yang melakukan kunjungan antenatal terdapat 67 kematian neonatal
(1,0%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002 sehingga dapat
diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% terdapat hubungan antara
komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal.
5.21 Hubungan Penolong Persalinan dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara penolong persalinan dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.21 berikut ini:
Tabel 5.21
Analisis Hubungan antara Penolong Persalinan dengan Kematian Neonatal di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Penolong
Persalinan
Non Nakes
Nakes
Kematian Neonatal
Meninggal Tidak meninggal
n
%
n
%
24
1,3
1887
98,7
55
1,1
5172
98,9
Total
n
1911
5227
%
100
100
P
Value
0,548
Berdasarkan Tabel 5.21 diketahui bahwa dari 1.911 ibu dengan
penolong persalinan bukan tenaga kesehatan terdapat 24 kematian neonatal
(1,3%), sedangkan dari 5.227 ibu dengan penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan terdapat 55 kematian neonatal (1,1%). Berdasarkan hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,548 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat
kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan
kematian neonatal.
104
5.22 Hubungan Persalinan Caesar dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara persalinan caesar dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.22 berikut ini:
Tabel 5.22
Analisis Hubungan antara Persalinan Caesar dengan Kematian Neonatal
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Persalinan
Caesar
Caesar
Tidak Caesar
Kematian Neonatal
Total
Meninggal Tidak meninggal
n
%
n
%
n
%
9
1,6
562
98,4
571 100
70
1,1
6497
98,9
6567 100
P
Value
0,363
Berdasarkan Tabel 5.22 diketahui bahwa dari 571 ibu yang melakukan
persalinan caesar pada persalinannya terdapat 9 kematian neonatal (1,6%),
sedangkan dari 6.567 ibu yang tidak melakukan persalinan caesar pada
persalinannya terdapat 70 kematian neonatal (1,1%). Berdasarkan hasil uji
statistik diperoleh nilai p = 0,363 sehingga dapat diartikan bahwa pada tingkat
kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar dengan
kematian neonatal.
5.23 Hubungan Tempat Persalinan dengan Kematian Neonatal
Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin bayi dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.23 berikut ini:
105
Tabel 5.23
Analisis Hubungan antara Tempat Persalinan dengan Kematian Neonatal
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Tempat
Persalinan
Non Fasyankes
Fasyankes
Kematian Neonatal
Meninggal Tidak meninggal
n
%
n
%
45
1,1
4231
98,9
34
1,2
2828
98,8
Total
n
4276
2862
%
100
100
P
Value
0,674
Berdasarkan Tabel 5.23 diketahui bahwa dari 4.276 ibu dengan
persalinan dilakukan bukan di fasilitas pelayanan kesehatan terdapat 45
kematian neonatal (1,1%), sedangkan dari 2.862 ibu dengan persalinan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan terdapat 34 kematian neonatal
(1,2%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,674 sehingga dapat
diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat hubungan antara
tempat persalinan dengan kematian neonatal.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya faktor-faktor yang
berhubungan dengan kematian neonatal di daerah rural Indonesia.
Keterbatasan pada penelitian ini termasuk merupakan keterbatasan pada SDKI
2012 sebagai sumber data pada penelitian ini. Pertama, pelaporan kematian
terbatas pada wanita umur 15-49 tahun yang masih hidup. Oleh karena itu,
pelaporan anak yang meninggal dari wanita yang telah meninggal tidak
tersampaikan. Sehingga akan menghasilkan bias terhadap estimasi mortalitas
neonatal. Estimasi mortalitas akan berbeda dengan kenyataan sesungguhnya
di lapangan.
Kedua, responden cenderung kurang mengingat kejadian di masa
lampau, sehingga kemungkinan terjadi pelaporan tanggal kelahiran dan umur
saat meninggal yang berbeda yang bisa menghasilkan angka kematian yang
bias. Ketiga, kematian hanya dikumpulkan dari wanita usia 15-49 tahun,
sehingga wanita usia 50 tahun tidak dapat melaporkan kelangsungan hidup
anaknya pada periode survei yang dimaksud. Keempat, SDKI 2012 tidak
meneliti seluruh faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal,
106
107
sehingga variabel pada penelitian terbatas pada variabel yang diteliti SDKI
2012. Kelima, terdapat hingga ribuan data yang missing pada variabel jarak
kelahiran, inisiasi menyusu dini, komplikasi persalinan, berat bayi lahir,
kelahiran prematur dan kunjungan neonatal pertama sehingga variabel
tersebut tidak bisa dianalisis.
6.2
Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Menurut WHO (2006) kematian neonatal adalah kematian yang terjadi
selama dua puluh delapan hari pertama kehidupan setelah bayi dilahirkan.
Kematian neonatal dibedakan menjadi kematian neonatal dini dan kematian
neonatal lanjut. Kematian neonatal dini yaitu kematian saat setelah bayi
dilahirkan sampai 7 hari pertama kehidupannya (0-6 hari) sedangkan kematian
neonatal lanjut yaitu kematian setelah hari ke tujuh sampai sebelum dua puluh
delapan hari (7-27 hari).
Pada penelitian ini ditemukan kematian neonatal sebesar 0.8% dari
total 7.138 bayi yang dilahirkan selama periode 2008-2012. Walaupun jumlah
kematian neonatal pada penelitian ini terlihat sangat kecil, tetapi hasil
perhitungan secara keseluruhan kasus kematian neonatal di daerah rural
Indonesia pada SDKI 2012 menghasilkan angka kematian neonatal di daerah
rural Indonesia sebesar 24 per 1000 KH. Adanya perbedaan yang cukup rumit
antara kematian neonatal dini dan lahir mati, sehingga SDKI menyarankan
untuk menggabungkannya pada penghitungan angka kematian. Angka
kematian neonatal di daerah rural tersebut tetap konstan berdasarkan hasil
108
SDKI pada periode sebelumnya. (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF
International, 2013).
Pada penelitian ini, didapatkan Angka Kematian Neonatal di daerah
rural Indonesia sebesar 11,19 per 1000 KH. Angka kematian neonatal di
daerah rural pada penelitian ini menunjukkan lebih kecil dari hasil SDKI 2012
sebelumnya dikarenakan pada penelitian ini terdapat ratusan variabel yang
tidak dianalisis sehubungan adanya missing data. Oleh karena itu, terdapat
beberapa kasus kematian neonatal yang tidak bisa masuk ke dalam penelitian
ini. Angka Kematian Neonatal di daerah rural berdasarkan SDKI 2012
menunjukkan kematian lebih tinggi di daerah rural dibandingkan di daerah
urban (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Hasil angka
kematian neonatal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Bangladesh
bahwa risiko kematian neonatal di daerah rural menunjukkan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan daerah urban (Chowdhury, dkk., 2013). Perbedaan
antara wilayah rural dan urban tersebut menggambarkan adanya perbedaan
wilayah yang mengalami perkembangan dan wilayah yang tidak mengalami
perkembangan (Yanping, dkk., 2010).
Periode neonatal merupakan periode paling kritis untuk perkembangan
dan pertumbuhan bayi (Saifudin, dkk., 2009). Bayi pada periode ini sangat
mudah terserang penyakit akibat terjadi transisi dari kehidupan didalam
kandungan ke kehidupan di luar kandungan (ekstrauterus) yang memerlukan
beberapa penyesuaian baik fisiologi maupun biokimia sehingga bayi dapat
109
bertahan hidup. Asfiksia, kelahiran prematur, dan efek persalinan merupakan
salah satu penyebab lemahnya adaptasi bayi terhadap lingkungan barunya
(Kliegman, dkk., 2011). Penyebab langsung kematian neonatal pada
penelitian belum diketahui karena data tidak tersedia pada SDKI 2012.
Penelitian-penelitian di daerah rural yang telah dilakukan sebelumnya
menunjukkan bahwa penyebab langsung kematian neonatal adalah infeksi,
berat bayi lahir rendah, meningitis/sepsis, kelahiran prematur, asfiksia dan
pneumonia (Hinderaker, dkk., 2003; Baqui, dkk., 2006; Chowdhury, dkk.,
2010; Yanping, dkk., 2010; Turnbull, dkk., 2011; Owais, dkk., 2013).
Sebanyak 65% kasus kematian neonatal berdasarkan hasil identifikasi
terhadap penyedia pelayanan kesehatan sebetulnya dapat dicegah dan 51%
kasus dapat dicegah dari faktor pasien itu sendiri. Sebagian besar ibu yang
memiliki risiko terhadap kematian neonatal tidak menyadari keberadaan
faktor risiko tersebut. Kemudian sebagian besar pasien gagal untuk mencari
layanan kesehatan ketika mereka mengetahui tanda bahaya pada kehamilan.
Padahal sebetulnya apabila ibu mendapatkan pencegahan terhadap komplikasi
dan bayi mendapatkan pengobatan yang adekuat bisa mencegah terjadinya
kematian pada neonatal (Hinderaker, dkk., 2003).
Penyebab lain kematian yang perlu mendapatkan perhatian serius di
daerah rural Indonesia yaitu masih tingginya pengaruh dari unsur budaya.
Hasil penelitian kualitatif pada ibu hamil Etnik Ngalum di Distrik Oksibil
Provinsi Papua menemukan bahwa terdapat adat dimana pihak perempuan
110
harus membalas mas kawin kepada pihak laki-laki sebesar yang dibayarkan
kepada pihak perempuan. Apabila terjadi pelanggaran adat, ibu tidak
membayar mas kawin kepada pihak laki-laki, maka akan terdapat korban dari
keluarga tersebut. Salah satu kasus yang ditemukan, Ibu Tuti seorang ibu
hamil belum bisa membayar mas kawin sampai usia kehamilannya 9 bulan.
Pada saat melahirkan, bayi yang dilahirkan berada dalam kondisi sehat namun
keesokan harinya ditemukan bayi telah meninggal. Keluarga menyadari betul,
bahwa hal itu terjadi karena mereka belum menyelesaikan pembayaran
kembali mas kawin. Sehingga mereka harus tunduk pada adat yang telah
ada/turun-temurun dari nenek moyang mereka (Kemenkes RI, 2012).
Diketahui hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa Provinsi Papua merupakan
salah satu provinsi dengan Angka Kematian Neonatal yang tinggi di Indonesia
yaitu sebesar 27 per 1000 KH (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International,
2013).
Selain itu, kasus kematian bayi baru lahir yang masih tinggi pada
Etnik Ngalum Papua juga disebabkan karena bayi mengalami infeksi
pneumonia. Hasil pengamatan menemukan, ternyata pada beberapa keluarga
dapur perapian bukan hanya digunakan untuk memasak makanan tetapi juga
digunakan untuk menghangatkan badan pada saat malam hari karena suhu
yang cukup dingin (19-200C). Namun, perapian tersebut tidak dilengkapi
dengan cerobong asap, sehingga asap hasil pembakaran hanya berputar di
dalam dapur (Kemenkes RI, 2012).
111
Penurunan Angka Kematian Neonatal sangat penting agar bisa
mencapai target MDGs 4 penurunan angka kematian bayi sebesar 23 per 1000
KH pada tahun 2015. Namun penurunan angka kematian bayi menjadi cukup
berat mengingat waktu pencapaian target hanya tersisa satu tahun. Sehingga
perlu dilakukan upaya-upaya lebih giat lagi dalam melakukan intervensi
terhadap penurunan Angka Kematian Bayi.
6.3
Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal di Daerah
Rural Indonesia Tahun 2008-2012
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian neonatal pada
penelitian ini diuraikan pada bagian-bagian berikut:
6.3.1
Pendidikan Ibu
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (UU RI No. 20 tahun 2003).
Pendidikan dapat mempengaruhi ibu dalam memperoleh, memproses
dan memahami informasi. Informasi sangat penting bagi ibu untuk
membuat keputusan yang tepat. Selanjutnya ibu dengan tingkat
pendidikan tinggi akan lebih percaya diri untuk bertanya mengenai
112
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan bagi dirinya (Karlsen, dkk.,
2011).
Pada penelitian ini, pendidikan ibu dikategorikan menjadi
pendidikan rendah dan pendidikan tinggi. Pendidikan rendah terdiri
dari SD dan SMP. Ibu yang tidak sekolah tidak termasuk pendidikan
rendah karena data tidak ditemukan pada penelitian ini. Sedangkan
pendidikan tinggi terdiri dari SMA, diploma, atau perguruan tinggi.
Pengkategorian ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan
sebelumnya (Singh, dkk., 2013).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki
tingkat pendidikan rendah lebih banyak dibandingkan ibu yang
berpendidikan tinggi (68,8%). Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan
kematian neonatal. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan Wijayanti (2013) namun berbeda dengan hasil penelitian
Mahmood, dkk (2002) bahwa pendidikan ibu berpengaruh terhadap
penurunan kematian bayi pada daerah rural Pakistan. Pendidikan
berhubungan dengan kematian neonatal dimana semakin rendah
tingkat pendidikan ibu semakin besar peluang terjadinya kematian
pada neonatal (Faisal, 2010).
Walaupun
secara
statistik
hasil
penelitian
ini
tidak
menunjukkan adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan
113
kematian neonatal, pada penelitian ini ditemukan bahwa jumlah
kematian neonatal lebih tinggi pada ibu dengan pendidikan rendah.
Hal ini sejalan dengan hasil Singh, dkk (2013) pada penelitiannya
bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu yang sekolah lebih dari 10 tahun,
lebih sedikit
bayi yang mengalami kematian neonatal (40%) jika
dibandingkan ibu yang buta huruf. Ibu dengan pendidikan rendah
merupakan kelompok berisiko dimana rendahnya tingkat pendidikan
dapat menurunkan kemampuan ibu untuk memahami informasi yang
diberikan (Karlsen, dkk., 2011).
Hasil penelitian ini juga konsisten dengan hasil penelitian yang
dilakukan Andargie, dkk (2013) bahwa kematian bayi lebih tinggi
pada kelompok ibu pendidikan rendah (buta huruf). Sehingga ibu
dengan pendidikan tinggi merupakan harapan yang bisa memberikan
banyak manfaat dan peluang lebih baik untuk menurunkan kemiskinan
serta masalah kemiskinan yang berkaitan dengan masalah kesehatan.
Pada penelitian lainnya diketahui ibu yang tidak mengalami
pendidikan cenderung lebih banyak tinggal di daerah dengan waktu
tempuh lebih dari 1,5 jam ke fasilitas pelayanan kesehatan
dibandingkan ibu dengan pendidikan (Okwaraj, dkk., 2012). Hal ini
mengindikasikan bahwa kematian neonatal akan diperparah dengan
masalah waktu tempuh ke pelayanan kesehatan pada ibu dengan
pendidikan rendah.
114
Penelitian
kualitatif
lainnya
menemukan
bahwa
pada
masyarakat suku Dayak Siang Murung Raya, terdapat remaja yang
masih duduk di bangku sekolah yang sudah menikah bahkan remaja
yang belum mengalami menstruasi. Hal tersebut terjadi karena
diketahui sebagian besar pendidikan masyarakat setempat yang masih
rendah (Kemenkes RI, 2012). Hal ini juga ditemukan bahwa sebagian
besar masyarakat suku Gorontalo Desa Imbodu berpendidikan rendah.
Selain itu, informasi yang didapatkan secara informal juga jarang
ditemukan
di
mendapatkan
daerah
perdesaan.
pengetahuan
Sebagian
kesehatan
besar
masyarakat
berdasarkan
penuturan-
penuturan orang tua. Para orang tua memiliki pengalaman diobati oleh
dukun saat mereka sakit. Selain itu, para remaja sungkan untuk
bertanya mengenai masalah kesehatan reproduksi kepada orangtuanya.
Biasanya para remaja tersebut mendapatkan informasi dari temantemannya (Kemenkes RI, 2012).
Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian informasi
tentang kesehatan ibu dan anak perlu lebih ditingkatkan pada
kelompok ibu dengan tingkat pendidikan rendah. Peningkatan
pemberian informasi juga harus didukung oleh ketersediaan akses
yang memadai terhadap informasi tersebut.
115
6.3.2
Pekerjaan Ibu
Ibu yang melakukan pekerjaan pada saat hamil memiliki
kemungkinan terkena pajanan zat fetotoksik, ketegangan fisik
berlebihan, kelelahan serta kesulitan yang berhubungan dengan
keseimbangan tubuh. Kondisi lain, seperti ibu sering berdiri di suatu
tempat dalam jangka waktu lama juga bisa berisiko terhadap varises
vena, flebitis dan edema yang bisa membahayakan ibu (Ladewig, dkk.,
2006).
Pada penelitian ini, status pekerjaan ibu dibedakan menjadi
bekerja dan tidak bekerja. Ibu dikatakan bekerja apabila ibu berprofesi
sebagai tenaga ahli/teknisi, pemimpin, pejabat, industri, jasa, pertanian
dan tenaga produksi. Sedangkan ibu dikatakan tidak bekerja apabila
ibu mengatakan tidak memiliki profesi-profesi tertentu.
Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah ibu yang bekerja
lebih banyak dibandingkan ibu yang tidak bekerja (54,7%). Ibu lebih
banyak bekerja pada bidang pertanian (19,5%), tenaga usaha jasa dan
penjualan (14%), dan pekerja industri (12,1%). Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status pekerjaan dengan
kematian neonatal. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian
sebelumnya oleh Titaley, dkk (2008) bahwa status ibu bekerja
memiliki hubungan dengan kematian pada neonatal. Penelitian lainnya
yang dilakukan Faisal (2010) juga menunjukkan bahwa ibu yang
116
bekerja mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian
kematian bayi 1,52 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak
bekerja. Penelitian lainnya di wilayah rural India menunjukkan terjadi
penurunan risiko kematian neonatal sebesar 10% pada neonatus yang
dilahirkan dari ibu yang tidak bekerja dibandingkan neonatus yang
dilahirkan dari ibu yang bekerja (Singh, dkk., 2013).
Penelitian di daerah rural Etiopia juga menunjukkan bahwa
kematian bayi lebih tinggi terjadi pada ibu yang bekerja yang
merupakan usaha miliki sendiri. Bayi dari ibu tersebut memiliki risiko
5,4 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan bayi dari
ibu pada kelompok lainnya (petani, IRT) (Andargie, dkk., 2013).
Penelitian di daerah rural India juga menemukan bahwa anak dari ibu
yang tidak bekerja (tinggal di rumah) memiliki risiko lebih rendah
untuk meninggal selama periode neonatal dibandingkan anak dari ibu
yang bekerja (Singh, dkk., 2013).
Pada penelitian ini menunjukkan ibu sebagian besar bekerja
sebagai petani. Hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Pusat
Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Balitbangkes Kemenkes RI, di salah satu daerah rural Indonesia, Desa
Jrangoan (Suku Madura) Kecamatan Omben Kabupaten Sampang
Jawa Timur, menemukan bahwa remaja putri telah menikah umumnya
pada usia 17 tahun. Remaja putri tersebut yang kemudian menjadi
117
nyonya-nyonya kecil harus bisa membantu suami mengurus ladang
yang merupakan tempat mereka mencari nafkah. Ibu hamil tetap
bekerja ke sawah walaupun dalam kondisi hamil karena ingin
membantu suaminya mencari nafkah untuk keluarga. Kegiatan bertani
yang dilakukan oleh ibu hamil tersebut adalah menanam berbagai jenis
tanaman seperti padi, kacang-kacangan, singkong, ketela, cabai,
bawang dan tembakau (Kemenkes RI, 2012).
Ibu-ibu muda tersebut akan istirahat hanya saat menjelang
persalinan. Setelah melahirkan, ibu juga hanya diminta untuk duduk
sementara pekerjaan lain yang biasanya dikerjakan seperti memasak,
mencuci pakaian dan membersihkan rumah dilakukan oleh sang
suami. Namun, hal ini terjadi jika sang suami tidak pergi ke luar kota
untuk bekerja. Bagi ibu yang suaminya bekerja di luar kota, ibu tetap
harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti biasa. Selain itu,
mereka akan mulai bekerja setelah 35 hari dari persalinan dengan
alasan masa nifas telah selesai dan sudah mampu bekerja di ladang.
Pekerjaan di ladang yang dilakukan masyarakat suku madura ini
memang biasanya dilakukan oleh perempuan/ibu (Kemenkes RI,
2012). Kebiasaan ibu tetap bekerja juga ditemukan di Etnik Manggarai
Desa Waicodi Kecamatan Cibal Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa
Tenggara Timur, ibu hamil usia muda maupun usia kehamilan tujuh
bulan masih selalu bekerja membantu suaminya di ladang. Pada saat
118
menjelang persalinan, ibu juga dianjurkan untuk turut bekerja di kebun
agar janin dalam kandungan tidak diganggu roh jahat (Kemenkes RI,
2012).
Penelitian kualitatif lainnya pada masyarakat Etnik Ngalum
Distrik Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua
menemukan bahwa kebiasaan ibu saat hamil pada etnik ini yaitu dari
mulai menyiapkan sarapan untuk keluarga, memetik hasil kebun dan
kemudian menjualnya ke pasar, dimana jarak rumah ke pasar cukup
jauh. Ibu hamil dan ibu-ibu lainnya kemudian menggunakan hasil
penjualan dagangannya untuk membeli keperluan keluarga yang telah
habis. Selanjutnya ibu menyiapkan makanan siang untuk keluarganya
dan setelah semua selesai ibu melakukan pekerjaan lain, mencuci
pakaian, mencuci piring, mengangkat air dan bahkan kembali lagi ke
kebun mengangkat kayu bakar untuk memasak di rumah. Kebiasaankebiasaan melakukan pekerjaan berat ini berlaku bagi seluruh ibu di
Etnik Ngalum baik ibu tidak hamil maupun tidak hamil (Kemenkes
RI, 2012).
Kebiasaan bekerja pada ibu hamil juga ditemukan pada Etnik
Dayak Siang Murung di Kalimantan Tengah, ibu hamil tetap memilih
bekerja walaupun keluarga dan suami menganjurkan tidak bekerja. Ibu
hamil tetap melakukan mantat (menyadap karet) sebagai mata
pencaharian mereka bersama suaminya di ladang (Kemenkes RI,
119
2012). Kebiasaan tetap bekerja juga ditemukan pada ibu hamil Etnik
Alifuru di Provinsi Maluku, ibu tidak pernah berhenti melakukan
kegiatan yang harus dilakukannya sehari-hari walaupun usia
kehamilannya sekitar enam bulan. Ibu tetap pergi ke hutan, mencari
air, serta mengurus rumah dan anak-anak seperti biasanya. Ibu
menganggap bahwa kehamilan tidak boleh menghalanginya dari tugas
dan kewajiban sehari-hari (Kemenkes RI, 2012).
Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian ini dianjurkan
agar ibu hamil di daerah rural Indonesia menghindari pekerjaan yang
terlalu berat seperti melakukan pekerjaan tanpa jeda dari mulai pagi
sampai sore hari terutama pekerjaan berat seperti mengambil kayu di
hutan, menyadap getah karet dan membawa air dari hutan. Hal ini bisa
menyebabkan ibu hamil mengalami ketegangan atau kelelahan yang
bisa
membahayakan
kondisi
kesehatannya
serta
janin
yang
dikandungnya. Seperti diketahui hasil pada penelitian ini menunjukkan
bahwa ibu yang bekerja berhubungan dengan kejadian kematian
neonatal di daerah rural Indonesia.
6.3.3
Indeks Kekayaan Rumah Tangga
Indeks kekayaan rumah tangga pada SDKI 2012 dihitung
berdasarkan kepemilikan rumah tangga terhadap sejumlah aset yang
digunakan di rumah tangga seperti fasilitas sanitasi, sumber air minum,
barang tahan lama, bahan lantai rumah dan lain lain. Berdasarkan
120
keterangan kepemilikan atas sejumlah aset tersebut kemudian dihitung
menggunakan prinsip analisis komponen untuk mendapatkan skor
indeks kekayaan. Skor indeks kekayaan dibagi kedalam lima kuintil
kekayaan dari mulai skor indeks kekayaan terendah sampai tertinggi
yang terdiri dari 20% penduduk pada setiap kuintil. Lima kuintil
tersebut yaitu kuintil terendah, kedua, menengah, keempat dan
tertinggi. Hasil dari kepemilikan rumah tangga atas barang-barang
tertentu yang dibedakan kedalam lima kuintil tersebut digunakan untuk
mengukur status sosial ekonomi keluarga (BPS, BKKBN, Kemenkes
& ICF International, 2013).
Pada penelitian ini, indeks kekayaan rumah tangga dibedakan
menjadi tiga kategori yaitu rendah, menengah dan tinggi. Kategori
rendah terdiri dari kuintil terendah dan kuintil kedua, kategori
menengah terdiri dari kuintil menengah serta ketegori tinggi terdiri
dari kuintil keempat dan kuintil tertinggi. Pengelompokan ini
dilakukan karena jumlah kematian neonatal pada kuintil ke-2 dan ke-4
sangat kecil. Hal ini juga dilakukan pada penelitian sebelumnya
Bashir, dkk (2013) dimana kategori dibedakan menjadi rendah,
menengah dan tinggi karena jumlah kematian neonatal pada kuintil ke2 dan ke-4 sangat kecil.
Ibu dan anak yang berasal dari keluarga miskin memiliki risiko
meningkat terhadap kematian neonatal karena memiliki tantangan
121
untuk mengakses pelayanan tepat waktu dibandingkan keluarga yang
lebih kaya (Lawn, dkk., 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan ibu
yang memiliki indeks kekayaan rumah tangga rendah lebih banyak
dibandingkan ibu dengan indeks kekayaan menengah dan tinggi
(66,6%). Analisis statistik yang dilakukan pada penelitian ini
menemukan tidak terdapat hubungan antara indeks kekayaan rumah
tangga dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian Bashir, dkk (2013) bahwa indeks kekayaan
rumah tangga memiliki hubungan dengan kejadian kematian neonatal.
Pada penelitian Manzar, dkk (2012) dan Gizaw, dkk (2014) juga
menemukan bahwa neonatus yang berasal dari ibu dengan status sosial
ekonomi dibawah rata-rata lebih rentan mengalami kematian pada
periode neonatal.
Pada penelitian ini, jumlah ibu dengan indeks kekayaan rumah
tangga rendah lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Penelitian
kualitatif di salah satu daerah rural Indonesia juga menunjukkan bahwa
proporsi masyarakat kelompok miskin pada masyarakat Suku Mamasa
masih cukup besar (27,5%) (Kemenkes RI, 2012). Namun, pada
penelitian ini proporsi kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok
lainnya. Kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok indeks
kekayaan rumah tangga menengah dan tinggi. Hasil ini tidak konsisten
dengan hasil penelitian yang dilakukan di daerah rural Nepal bahwa
122
terjadi pengaruh faktor sosial-ekonomi yang lebih besar dibandingkan
pengaruh faktor biologi terhadap kelangsungan hidup bayi pada ibu
dengan usia muda (Sharma, dkk., 2009).
Sehingga kemungkinan penyebab kematian neonatal lebih
tinggi pada kelompok indeks kekayaan menengah dan tinggi karena
kelompok ibu usia berisiko lebih tinggi pada kelompok ini. Namun,
pada penelitian ini ditemukan bahwa ibu dengan usia berisiko, lebih
tinggi pada kelompok indeks kekayaan rendah. Kemungkinan faktor
lainnya berkontribusi terhadap hasil penelitian ini seperti status
pekerjaan ibu dan persalinan caesar. Pada penelitian ini diketahui
status ibu bekerja lebih tinggi pada kelompok ibu dengan indeks
kekayaan rendah dibandingkan kelompok lainnya. Hasil ini sesuai
dengan penelitian oleh Singh, dkk (2013) di daerah rural India bahwa
pada ibu yang bekerja menunjukkan ibu memiliki tingkat ekonomi
lebih rendah. Kemungkinan penyebab lainnya adalah tingginya
persalinan caesar, namun ternyata persalinan caesar menunjukkan
lebih tinggi pada ibu dengan indeks kekayaan rumah tangga rendah.
Penyebab lain tingginya kematian pada kedua kelompok
tersebut yaitu jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan. Namun, menurut
Okwaraj, dkk (2012) efek dari jarak terhadap fasilitas layanan
kesehatan lebih berpengaruh di daerah dengan tingkat kemiskinan
tinggi dimana mereka tidak memiliki biaya untuk membayar
123
transportasi ke fasilitas layanan kesehatan dibandingkan keluarga yang
kaya. Pada penelitian ini diketahui kematian neonatal lebih tinggi pada
kelompok ibu dengan indeks kekayaan rumah tangga menengah dan
tinggi. Sehingga, masalah biaya untuk transportasi kemungkinan tidak
menjadi kendala bagi kedua kelompok ini. Sehingga perlu adanya
penelitian untuk mengetahui faktor apa yang berpengaruh terhadap
tingginya angka kematian neonatal pada kelompok indeks kekayaan
menengah dan atas.
6.3.4
Umur Ibu
Pada umur dibawah 20 tahun, rahim dan panggul sering kali
belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya, ibu hamil pada
usia itu mungkin mengalami persalinan lama/macet atau gangguan
lainnya karena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan
tanggungjawabnya sebagai orang tua. Ibu dianjurkan hamil pada usia
antara 20-35 tahun. Pada usia ini ibu lebih siap hamil secara jasmani
dan kejiwaan. Pada umur 35 tahun atau lebih, kesehatan ibu sudah
menurun, akibatnya ibu hamil pada usia itu mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk mempunyai anak cacat, persalinan lama dan
perdarahan (Kemenkes RI, 2011).
Pada penelitian ini, ibu dikategorikan kedalam kelompok ibu
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dan kelompok ibu usia
20-35 tahun. Pengelompokkan ini didasarkan pada hasil penelitian
124
sebelumnya yang dilakukan oleh Wijayanti (2013). Penelitian ini
menunjukkan, ibu yang memiliki umur kurang dari 20 tahun dan lebih
dari 35 tahun yaitu sebesar 27,7%. Hasil uji statistik umur ibu dengan
kematian neonatal diketahui terdapat hubungan antara umur ibu
dengan kematian neonatal.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Yego, dkk
(2013) bahwa sebagian besar kematian neonatal terjadi pada ibu usia
muda. Umur ibu memiliki pengaruh terhadap kematian neonatal,
dimana semakin muda dan semakin tua umur ibu, maka semakin
tinggi juga kematian pada neonatal (Mekonnen, dkk., 2013; Bashir,
dkk., 2013; Markovitz, dkk., 2005). Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa kematian neonatal lebih tinggi pada kelompok umur kurang
dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Penelitian oleh Sharma, dkk
(2009) juga menemukan bahwa kejadian yang merugikan bayi baru
lahir lebih tinggi pada kelompok ibu usia 12-15 dibandingkan ibu usia
20-24. Sekitar 51% bayi mengalami BBLR, 24% lahir prematur dan
73,5% usia kehamilan kecil. Bayi yang dilahirkan dari ibu usia 12-15
tahun memiliki risiko 2,24 kali lebih tinggi terhadap kematian neonatal
dibandingkan bayi yang dilahirkan dari ibu usia 20-24 tahun.
Penelitian lainnya berbasis rumah sakit di Nepal menemukan
bahwa kejadian BBLR, komplikasi pada neonatal dan komplikasi pada
ibu, lebih tinggi ditemukan pada ibu usia 15-19 tahun dibandingkan
125
ibu usia 20-24 tahun (Pun & Chauhan, 2011). Hasil ini juga didukung
oleh Chen, dkk (2007) bahwa kehamilan yang terjadi pada remaja
berhubungan dengan kejadian peningkatan risiko kematian pada
neonatal.
Hasil penelitian kualitatif di salah satu daerah rural Indonesia,
yaitu pada masyarakat Etnik Madura Jawa Timur, menemukan bahwa
umumnya remaja putri di daerah tersebut menikah sebelum
menyelesaikan pendidikan pesantren, yaitu sekitar usia 17 tahun
(Kemenkes RI, 2012). Penelitian kualitatif lainnya pada Etnik Nias,
Sumatera Utara juga menemukan bahwa masyarakat di Desa
Hilifadölö secara umum mentaati peraturan mengenai usia boleh
menikah yaitu minimal 18 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi
laki-laki. Selain itu, masih ditemukan beberapa pasangan yang
menikah sebelum umur tersebut. Sebagian besar pasangan yang
menikah sebelum umur yang telah ditetapkan adalah pasangan yang
menikah di luar Pulau Nias (Kemenkes RI, 2012). Bahkan hasil
penelitian lainnya menemukan bahwa usia perkawinan
yang
dianjurkan pada masyarakat Etnik Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat
yaitu minimal 16 tahun untuk perempuan dan minimal 18 tahun untuk
laki-laki (Kemenkes RI, 2012).
Pada masyarakat Etnik Ngalum, Provinsi Papua, juga diketahui
bahwa batasan usia boleh melakukan pernikahan di Daerah
126
Pegunungan Bintang adalah 18 tahun. Secara umum masyarakat yang
benar-benar memegang norma adat mematuhi aturan tersebut. Namun,
diektahui masih banyak masyarakat yang melanggar aturan tersebut
dengan
melakukan
perkawinan
pada
usia
dini.
Kurangnya
pengetahuan para remaja Etnik Ngalum mengenai kesehatan
reproduksi, sehingga banyak remaja yang hamil pada usia sangat muda
yaitu usia 13 tahun (Kemenkes RI, 2012).
Remaja tersebut melakukan aktivitas belajar di sekolah dalam
keadaan hamil dan pihak guru tidak melarang mereka mengikuti
kegiatan belajar karena sudah memahami kondisi murid seperti itu di
daerahnya. Bahkan ada remaja yang telah memiliki anak, kemudian
menunggunya diluar kelas bersama ibunya. Selain itu, para remaja
tersebut cenderung tidak mengingat waktu terakhir mengalami haid,
sehingga mereka tidak mengetahui berapa umur kandungannya. Kasus
kehamilan tidak hanya ditemukan pada anak dan remaja tetapi juga
terjadi pada ibu usia lebih dari 45 tahun. Padahal kehamilan pada usia
tersebut sangat berisiko terhadap terjadinya komplikasi kehamilan.
Apalagi diketahui kasus anemia pada ibu hamil di Suku Ngalum
merupakan kasus yang paling tinggi di Papua (Kemenkes RI, 2012).
Sehingga berdasarkan hasil pada penelitian ini, maka perlu
adanya peningkatan pengetahuan mengenai kesehatan ibu dan anak
bagi kelompok ibu usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun.
127
Peningkatan
pengetahuan
dan
kesadaran
ibu
tersebut
harus
ditingkatkan lebih serius di daerah rural Indonesia baik melalui
layanan antenatal di fasilitas layanan kesehatan maupun kegiatan yang
telah ada di masyarakat.
6.3.5
Jenis Kelamin Bayi
Jenis kelamin merupakan karakteristik fisik seseorang sebagai
laki-laki atau perempuan (Andrews, 2009). Bayi laki-laki cenderung
lebih rentan terhadap penyakit jika dibandingkan dengan bayi
perempuan. Secara biologis, bayi perempuan mempunyai fungsi
fisiologi tubuh lebih baik jika dibandingkan dengan bayi laki-laki
(Wells, 2000).
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa bayi berjenis kelamin
laki-laki lebih banyak dibandingkan bayi berjenis kelamin perempuan
(52,2%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal. Hasil
penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
Titaley (2008) dan Pertiwi (2010) yang menemukan bahwa terdapat
hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian neonatal. Bayi
berjenis kelamin laki-laki memiliki risiko 1,49 kali lebih besar
terhadap kematian neonatal dibandingkan bayi perempuan (Titaley,
dkk., 2008). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian-
128
penelitian lainnya yang dilakukan sebelumnya (Dewi, 2010; Faisal,
2010; Wijayanti, 2013).
Namun, pada penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi
kematian neonatal lebih tinggi pada bayi berjenis kelamin laki-laki
dibandingkan bayi jenis kelamin perempuan. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan di daerah rural Bangladesh yang
menunjukkan bahwa proporsi kematian neonatal lebih tinggi pada bayi
jenis kelamin laki-laki (60%) dibandingkan bayi jenis kelamin
perempuan (Owais, dkk., 2013). Keuntungan biologis yang dimiliki
bayi perempuan kemungkinan menyebabkan bayi perempuan lebih
mampu untuk bertahan hidup dibandingkan bayi laki-laki (Wells,
2000).
Seleksi alam diprediksi dapat meningkatkan kerentanan bayi
laki-laki terhadap kondisi-kondisi seperti penyakit infeksi, luka atau
gizi buruk. Fungsi fisiologi bayi laki-laki pada awal kehidupan tidak
sebaik fungsi fisiologi pada bayi perempuan. Perbedaan tersebut
diasumsikan semakin berkembang dengan munculnya masalah gizi
pada anak. Gizi memegang peranan penting sebagai etiologi penyakit
yang berkaitan dengan paru-paru pada neonatal. Bayi perempuan lebih
terlindungi karena memiliki tingkat kematangan paru-paru lebih baik
dibandingkan bayi laki-laki. Adanya interaksi antara penyakit infeksi
dengan
masalah
gizi
menyebabkan
kondisi
yang
semakin
129
membayakan bayi laki-laki. Selanjutnya, adanya pengaruh lingkungan
pada semua status gizi merupakan faktor yang lebih memperberat
kondisi laki-laki terhadap kasus kematian (Wells, 2000).
Selain itu, menurut penelitian kualitatif diketahui bahwa anak
laki-laki (ono matua) dianggap lebih berharga dibandingkan dengan
anak perempuan pada suku Nias. Hal ini disebabkan karena suku Nias
menganut sistem patrilinear, yakni garis keturunan yang diikuti adalah
dari pihak laki-laki sehingga anak laki-lakilah yang akan meneruskan
keturunan/marga (ngaötö/mado) keluarga dan juga mengurus harta
atau warisan yang dimiliki keluarga. Selain itu, sebagian besar anak
laki-laki yang sudah menikah tinggal bersama dengan orang tua
sehingga kelak ketika orang tua sudah tidak bisa bekerja lagi maka
anak laki-laki inilah yang akan mengurus orang tuanya. Sehingga para
ibu terus hamil sampai akhirnya berhasil mendapatkan anak laki-laki
(Kemenkes RI, 2012).
6.3.6
Paritas
Menurut Kamus Saku Mosby, paritas merupakan klasifikasi
perempuan berdasarkan jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati yang
dilahirkannya pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada saat
hamil, rahim ibu teregang karena adanya janin. Apabila terlalu sering
melahirkan, rahim ibu akan semakin lemah. Jika ibu telah melahirkan
130
3 anak atau lebih, perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu
kehamilan, persalinan dan nifas (Kemenkes RI, 2011).
Pada penelitian ini, paritas dibedakan menjadi kelompok
paritas 1-3 dan paritas lebih dari 3. Pengkategorian ini didasarkan pada
hasil penelitian sebelumnya (Titaley, dkk., 2008) yang membagi
paritas kedalam dua kelompok. Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa ibu yang telah melahirkan lebih dari tiga anak sebesar 19,1%.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
paritas dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Titaley, dkk (2008) bahwa paritas lebih dari tiga memiliki
hubungan dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan Wijayanti (2013) yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara paritas dengan
kematian neonatal.
Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian
neonatal lebih tinggi pada ibu dengan paritas lebih dari tiga. Hasil ini
konsisten dengan penelitian Titaley (2008) di Indonesia yang
menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi terjadi pada bayi
dengan urutan kelahiran lebih dari empat dengan jarak kelahiran
kurang atau sama dengan dua tahun. Bayi dengan urutan kelahiran
lebih dari tiga merupakan faktor risiko potensial terhadap kematian
neonatal (Chaman, dkk., 2009). Tingginya paritas berkaitan dengan
131
semakin melemahnya rahim ibu akibat terjadinya peregangan rahim
karena keberadaan janin (Kemenkes RI, 2011).
Hasil peneilitian Faisal (2010) juga menunjukkan bahwa ibu
yang telah melahirkan lebih dari tiga anak mempunyai kecenderungan
untuk mengalami kejadian kematian bayi
sebesar 1,66 kali
dibandingkan ibu yang telah melahirkan 1-3 anak. Pada penelitian
lainnya juga menunjukkan bahwa kematian neonatal semakin
meningkat pada ibu dengan paritas lebih dari tiga (Kozuki, dkk.,
2013). Kozuki, dkk (2013) juga menemukan bahwa kelahiran pertama
(nulipara) menunjukkan risiko kematian neonatal yang lebih tinggi.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa ibu dengan kelahiran pertama
memiliki risiko yang meningkat terhadap hipertensi, BBLR dan
persalinan caesar. Ibu dengan paritas tinggi namun tidak memiliki
riwayat komplikasi sebelumnya memiliki risiko yang rendah terhadap
terjadinya komplikasi (Majoko, dkk., 2004).
Pada penelitian ini, peneliti memasukan paritas satu kedalam
kelompok
tidak
berisiko
berdasarkan
pertimbangan
terhadap
penelitian-penelitian yang telah dilakukan di Indonesia. Penelitian
tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara paritas satu dengan
kematian neonatal (Rahmawati, 2007; Nugraheni, 2013). Selain itu,
penelitian lainnya menunjukkan ada hubungan antara paritas lebih dari
tiga dengan kematian neonatal (Faisal, 2010). Penelitian yang
132
dilakukan di daerah rural Iran juga menunjukkan paritas lebih dari tiga
memiliki hubungan dengan kejadian kematian pada neonatal (Chaman,
dkk., 2009).
Hasil penelitian kualitatif pada Suku Ngalum Provinsi Papua
menemukan bahwa ibu yang hamil pada usia lebih dari 45 tahun
memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang
berdekatan. Namun, dengan jumlah anak yang banyak dan tingkat
anemia tinggi/gizi kurang sehingga banyak ditemukan kasus retensio
plasenta (plasenta tertahan di dalam rahim tidak keluar bersama bayi).
Sehingga, ditemukan tingkat kematian ibu yang sangat tinggi pada
Suku Ngalum (Kemenkes RI, 2012).
Hasil penelitian kualitatif lainnya menunjukkan bahwa nilai
anak bagi orang Toraja Sa’dan sangat penting. Memiliki banyak anak
masih menjadi pandangan utama bagi sebagian besar penduduk
Sa’dan. Program Keluarga Berencana (KB) dari pemerintah yang
mengarahkan dua anak lebih baik tidak berlaku bagi orang Toraja
Sa’dan. Istilah KB bagi orang Toraja Sa’dan diubah menjadi “keluarga
besar”, untuk menunjukkan banyaknya jumlah anak yang mereka
miliki. Bahkan seorang yang terpandang di Toraja menceritakan
bahwa dua bukan dua orang, namun dua pasang (empat orang) untuk
menunjukkan anak yang beliau miliki. Ketiadaan seorang anak bagi
orang Toraja Sa’dan merupakan hal yang masiri’ (malu) dalam
133
keluarga, dianggap lemah, dan dikasihani oleh keluarga luas. Bahkan,
sekalipun sudah memiliki anak, tetapi baru satu, keluarga tersebut
masih dianggap belum lengkap (Kemenkes RI, 2012).
Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang
bisa dilakukan untuk mengontrol jumlah kelahiran adalah penggunaan
metode kontrasepsi. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh,
menunjukkan bahwa penggunaan metode kontrasespi berhubungan
dengan
kejadian
kematian
neonatal.
Pada ibu
yang pernah
menggunakan metode kontrasepsi sekitar 39% lebih rendah terhadap
kematian neonatal dibandingkan ibu yang tidak pernah menggunakan
metode kontrasepsi (Chowdhury, dkk, 2013).
Pemakaian metode kontrasepsi (Contraceptive Prevalence
Rate) di Indonesia menurut hasil SDKI 2012 diketahui tidak ada
perbedaan antara daerah perdesaan dengan daerah perkotaan yaitu
sebesar 62%. Pemakaian kontrasepsi ini mengalami peningkatan dari
tahun 2007 sebelumnya yaitu sebesar 61%. Pemakaian metode
kontrasepsi modern juga mengalami peningkatan dari 57% menjadi
58% (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Namun,
angka ini masih cukup jauh dari target MDGs 5 untuk meningkatkan
pemakaian metode kontrasepsi modern sebesar 65% pada tahun 2015
(Kemenkes RI, 2014).
134
Diantara metode KB modern, metode KB yang paling banyak
digunakan wanita berstatus kawin adalah suntikan dan pil (masingmasing 32 dan 14%). Peserta KB suntikan mengalami peningkatan
dari 12% tahun 1991 menjadi 32% tahun 2012. Sedangkan peserta KB
IUD mengalami penurunan dari 13% tahun 1991 menjadi 4% tahun
2012. Wanita di daerah perdesaan cenderung lebih banyak
menggunakan metode suntik dibanding daerah perkotaan (masingmasing
sebesar
28%
dan
35%)
sedangkan
metode
IUD,
MOW/sterilisasi wanita dan kondom lebih banyak di gunakan di
daerah perkotaan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International,
2013).
Adapun total tingkat kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi
(unmetneed) wanita berstatus kawin 15-49 tahun pada SDKI 2012
sebesar 11% (7% untuk membatasi kelahiran dan 4% untuk
menjarangkan kelahiran). Walaupun unmetneed ini telah turun dari
13% pada SDKI 2007 menjadi 11% pada SDKI 2012 (BPS, BKKBN,
Kemenkes & ICF International, 2013), namun angka ini masih belum
mencapai target MDGs 5 untuk menurunkan unmetneed menjadi 5%
pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2014).
Hasil penelitian kualitatif di daerah Kalimantan Tengah
menemukan bahwa ibu hamil Suku Dayak Siang Murung terpaksa
tidak melakukan KB karena alat di fasilitas kesehatan tidak tersedia
(Kemenkes RI, 2012). Pada masyarakat suku lainnya diketahui bahwa
135
ibu sudah mengetahui tentang manfaat KB, namun ibu tetap ingin
memiliki anak lebih dari dua. Falsafah hidup Banyak Anak Banyak
Rezeki masih diyakini beberapa warga hingga saat ini (Kemenkes RI,
2012).
Sehingga upaya penurunan angka kematian neonatal dengan
mengunakan strategi peningkatan pemakaian metode kontrasepsi perlu
dilakukan.
Startegi
pemakaian
metode
kontrasepsi
selain
memperhatikan aspek kelengkapan fasilitas yang dibutuhkan juga
memperhatikan aspek budaya/adat masyarakat setempat.
6.3.7
Kunjungan Antenatal
Kunjungan antenatal merupakan pemeriksaan kesehatan yang
dilakukan ibu hamil selama masa kehamilannya minimal empat kali
yaitu minimal satu kali pada trimester pertama (0-12 minggu),
minimal satu kali pada trimester ke-2 (≥12-24 minggu) dan minimal 2
kali pada trimester ke-3 (≥24 minggu sampai kelahiran) (Kemenkes
RI, 2012). Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum bayi
dilahirkan melalui pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu
hamil. Manajemen yang baik yang diperoleh bayi saat masih dalam
kandungan akan menghasilkan bayi yang sehat (Saifudin, dkk., 2009).
Pada penelitian ini, kunjungan antenatal dikategorikan menjadi
melakukan kunjungan antenatal dan tidak melakukan kunjungan
antenatal. Ibu dikategorikan melakukan kunjungan antenatal apabila
136
ibu melakukan kunjungan minimal satu kali pada trimester pertama,
minimal satu kali pada trimester kedua dan minimal dua kali pada
trimester ketiga. Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan kriteria
kunjungan antenatal yang di rekomendasikan di Indonesia (Kemenkes
RI, 2012). Selain itu, pengkategorian ini juga didasarkan pada hasil
penelitian-penelitian sebelumnya (Yani & Duarsa, 2013; Singh, dkk.,
2014).
Pada penelitian ini diketahui bahwa tiga provinsi paling tinggi
yang telah melakukan kunjungan antenatal sesuai dengan rekomendasi
Kemenkes RI (1-1-2) di daerah rural Indonesia yaitu Provinsi DIY
(87,2%), Provinsi Bali (84%) dan Provinsi Jawa Tengah (82,6%).
Adapun tiga provinsi dengan jumlah kunjungan antenatal paling
rendah yaitu Provinsi Papua (31,7%), Provinsi Sulawesi Barat (33,8%)
dan Provinsi Gorontalo (43,4%). Angka cakupan tertinggi kunjungan
antenatal pada penelitian ini masih belum mencapai target rencana
strategis Kementerian Kesehatan RI yaitu sebesar 93% untuk target
kunjungan antenatal K4.
Pada penelitian ini, ibu yang tidak melakukan kunjungan
antenatal selama kehamilannya adalah sebesar 37,7%. Hasil uji
statistik didapatkan bahwa terdapat hubungan antara kunjungan
antenatal dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan Singh, dkk (2014) bahwa terdapat
137
hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal.
Penelitian lainnya menemukan bahwa ibu yang tidak melakukan
kunjungan antenatal memiliki risiko mengalami kematian neonatal
lebih tinggi dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan antenatal
(Faisal, 2010; Yani & Duarsa, 2013). Namun, hasil ini tidak sesuai
dengan hasil pada penelitian-penelitian lainnya di Indonesia (Pertiwi,
2010; Nugraheni, 2013; Wijayanti, 2013).
Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian
neonatal lebih tinggi pada kelompok ibu yang tidak melakukan
kunjungan antenatal dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan
antenatal. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menerima pemeriksaan
kesehatan selama kehamilan di daerah rural menunjukkan memiliki
peluang yang lebih tinggi untuk bertahan selama periode neonatal
(Mahmood, 2002).
Kondisi janin salah satunya dipengaruhi oleh adanya
komplikasi kehamilan, biasanya merupakan masalah yang sering
terjadi selama kehamilan. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya
perdarahan, pre-eklampsia dan eklampsia. Eklampsia biasanya terjadi
didahului pre-eklampsia, sehingga pemeriksaan antenatal yang rutin
dan teliti merupakan salah satu upaya untuk mencegah eklampsia yang
bisa membahayakan kondisi ibu dan janin yang dikandungnya
(Wiknjosastro, dkk., 2002). Ibu yang melakukan kunjungan ke fasilitas
138
kesehatan selama kehamilannya akan menerima pemeriksaan dan
pengidentifikasian kondisi-kondisi yang berkaitan dengan komplikasi
serta edukasi mengenai tanda bahaya, potensi komplikasi dan tempat
untuk mencari pertolongan (Mahmood, 2002).
Penelitian lainnya oleh Hinderaker, dkk (2003) di wilayah rural
Tanzania menegaskan bahwa sekitar 62% kasus kematian neonatal
sebetulnya dapat dicegah melalui kegiatan layanan antenatal di
fasilitas
layanan
kesehatan.
Penyedia
layanan
kesehatan
bertanggungjawab terhadap lebih dari setengah dari faktor-faktor
terhadap kematian neonatal yang dapat dicegah, baik dari faktor
kegagalan klinik antenatal untuk merujuk ke fasilitas layanan
kesehatan yang lebih tinggi maupun kelalaian yang terjadi di tingkat
rumah sakit itu sendiri. Hal ini mengindikasikan adanya potensi untuk
melakukan peningkatan layanan antenatal dan konsultasi rutin
termasuk layanan kehamilan di rumah sakit.
Pada penelitian Hinderaker, dkk (2003) juga ditemukan lebih
dari sepertiga kasus kematian neonatal tidak memiliki faktor risiko dan
kemungkinan tidak teridentifikasi pada layanan antenatal rutin. Hal ini
menjadi lebih membahayakan bagi ibu yang tidak menyadari adanya
faktor risiko pada dirinya. Sehingga ditegaskan bahwa setiap ibu hamil
merupakan kelompok yang berisiko. Pelayanan antenatal seharusnya
dapat berperan dalam melakukan skrining dan merujuk ibu hamil
139
dengan risiko atau komplikasi ke fasilitas pelayanan yang lebih tinggi.
Pelayanan antenatal harus fokus untuk mempersiapkan ibu untuk
persalinannya dan mengedukasi suaminya sehingga telah siap ketika
terjadi komplikasi yang tak terduga. Komunikasi yang baik antara
petugas kesehatan dan ibu hamil pada saat layanan antenatal perlu
ditekankan, harus dipastikan pesan yang disampaikan dimengerti oleh
ibu hamil maupun suaminya.
Kunjungan
antenatal
yang
terlambat
kemungkinan
menghambat ibu untuk mendapatkan manfaat sepenuhnya dari strategi
pencegahan pada layanan antenatal misalnya suplementasi zat besi,
asam folat, pengobatan untuk infeksi cacing dan pengobatan untuk
pencegahan malaria pada kehamilan (Eijk, dkk., 2006). Adapun, hasil
pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 63,7% dari ibu yang
tidak melakukan kunjungan antenatal pada trimester pertama
melakukan kunjungan antenatal pada trimester ketiga. Sehingga,
kemungkinan hal ini menyebabkan ibu tidak menerima seluruh
manfaat layanan antenatal, dimana salah satunya dilakukan upaya
deteksi dini terhadap
adanya
komplikasi
kehamilan maupun
persalinan.
Perilaku penggunaan layanan antenatal dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Hasil penelitian di daerah rural Kenya menunjukkan
bahwa ibu dengan status pernah mendapatkan pendidikan selama lebih
140
dari 8 tahun dan merupakan kelompok dengan tingkat sosial ekonomi
tinggi merupakan faktor paling berpengaruh terhadap kunjungan
antenatal. Walaupun terkadang persepsi mahalnya biaya yang
diperlukan untuk melakukan kunjungan antenatal dapat menghalangi
ibu untuk melakukan kunjungan. Biaya untuk transportasi, jarak ke
fasilitas layanan antenatal yang jauh bisa menjadi hambatan bagi ibu
untuk melakukan kunjungan antenatal begitu juga persepsi rendahnya
kualitas layanan antenatal menjadi salah satu hambatan ibu melakukan
kunjungan (Eijk, dkk. 2006).
Penelitian yang dilakukan Titaley, dkk (2010) di Indonesia
menemukan bahwa yang berhubugan sangat kuat dengan rendahnya
kunjungan antenatal yaitu bayi dari ibu yang tinggal di daerah rural,
memiliki tingkat indeks kekayaan rumah tangga rendah, berasal dari
ibu dengan berpendidikan rendah, jumlah kelahiran tinggi dan jarak
kelahiran kurang dari 2 tahun. Penelitian kualitatif yang dilakukan di
beberapa daerah rural Indonesia menemukan bahwa ibu hamil suku
Alifuru di Provinsi Maluku baru akan memeriksakan kehamilannya
saat terlihat perubahan yang nyata pada tubuh ibu (terlihat jelas ibu
hamil). Kunjungan saat terakhir menstruasi (K1) dan kunjungan pada
trimester kedua relatif kecil (Kemenkes RI, 2012).
Penelitian kualitatif lainnya menemukan bahwa alasan ibu
Etnik Dayak Siang Murung di Kalimantan Tengah tidak melakukan
141
pemeriksaan kehamilan yaitu karena Puskesmas Pembantu yang ada di
desa tidak menyediakan fasilitas kesehatan yang lengkap seperti obatobatan, wilayah puskesmas pembantu cukup sulit dijangkau oleh
masyarakat di RT lain dan tenaga kesehatan yang ditugaskan sering
tidak berada di tempat sehingga membuat masyarakat kesulitan saat
membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat
memilih langsung melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit yang ada
di Kabupaten. Rumah sakit berada sangat jauh dari desa dan harus
melewati jalan yang cukup sulit terutama apabila terjadi hujan
disamping memerlukan biaya yang cukup besar. Sehingga beberapa
ibu hamil lainnya memilih tidak memeriksakan kehamilannya dengan
alasan petugas kesehatan sering tidak ada di tempat (Kemenkes RI,
2012).
Penelitian lainnya pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi
Gorontalo menemukan bahwa sebagian ibu hamil yang melakukan
pemeriksaan kehamilan kepada bidan tidak memakan vitamin yang
diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat.
Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan
vitamin rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012).
Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini bahwa ada hubungan
antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal di daerah rural
Indonesia, maka perlu memperhatikan aspek yang mempengaruhi
142
kunjungan antenatal tersebut. Seperti telah dijelaskan berbagai
penelitian, beberapa alasan ibu hamil tidak melakukan kunjungan
antenatal baik dari segi budaya, kurangnya ketersediaan fasilitas
kesehatan maupun kurangnya tenaga kesehatan. Pelayanan antenatal
perlu ditingkatkan dengan lebih mengutamakan kelengkapan fasilitas
kesehatan, ketersediaan tenaga kesehatan serta tetap menjamin kualitas
dari fasilitas dan tenaga kesehatan.
6.3.8
Komplikasi Kehamilan
Komplikasi kehamilan yaitu terdiri dari perdarahan, infeksi,
pre-eklampsia/eklampsia,
persalinan
lama/macet
dan
abortus
(McCarthy & Main, 1992). Komplikasi kehamilan merupakan masalah
kesehatan yang sering terjadi selama kehamilan dan persalinan.
Komplikasi kehamilan dapat berdampak pada kesehatan ibu, kesehatan
bayi ketika dilahirkan, atau pada keduanya (Wiknjosastro, dkk., 2002).
Pada penelitian ini, komplikasi kehamilan dikategorikan
menjadi komplikasi dan tidak komplikasi. Ibu masuk kedalam
kelompok komplikasi jika mengalami minimal satu bentuk komplikasi
(mulas sebelum 9 bulan, pendarahan, demam tinggi, kejang-kejang dan
pingsan). Sedangkan ibu masuk kedalam kelompok tidak komplikasi
jika ibu tidak mengalami satu pun bentuk komplikasi kehamilan.
Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
(Nugraheni, 2013).
143
Pada penelitian ini diketahui ibu yang mengalami komplikasi
pada saat kehamilannya yaitu sebesar 6%. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan
dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil
penelitian yang dilakukan Nugraheni (2013) dan Wijayanti (2013)
bahwa ada hubungan antara komplikasi selama kehamilan dengan
kejadian kematian neonatal. Ibu yang mengalami komplikasi
kehamilan memiliki risiko lebih tinggi terhadap kematian neonatal
dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan
(Rahmawati, 2007).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian
neonatal lebih tinggi terjadi pada kelompok ibu dengan komplikasi
kehamilan. Bayi dari ibu yang mengalami komplikasi kehamilan
memiliki risiko 1,8 kali lebih tinggi terhadap kematian neonatal
dibandingkan bayi dari ibu yang tidak mengalami komplikasi selama
kehamilannya (Rahmawati, 2007). Penelitian lainnya yang dilakukan
di daerah rural Bangladesh juga menunjukkan bahwa ibu yang
mengalami pendarahan selama kehamilannya berhubungan kuat
dengan adanya peningkatan risiko terhadap kematian neonatal (Owais,
dkk., 2013).
Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil Etnik Ngalum
Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang hamil tetap mengalami
144
komplikasi walaupun telah melakukan pemeriksaan kehamilan. Ibu
tersebut mengalami kehamilan pada usia lebih dari 45 tahun dan
memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang
berdekatan. Tingkat anemia ibu hamil pada suku ini paling tinggi
dibandingkan suku lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan tingginya
kejadian retensio plasenta saat melahirkan. Padahal petugas kesehatan
telah memberikan tablet penambah darah yang seharusnya diberikan
tiga bulan sekali menjadi satu bulan sekali karena sangat tingginya
kasus anemia. Namun, petugas kesehatan tidak bisa memastikan
apakah obat yang diberikan rutin diminum oleh ibu hamil setiap hari
(Kemenkes RI, 2012).
Hasil penelitian pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi
Gorontalo juga menemukan bahwa sebagian ibu hamil yang
melakukan pemeriksaan kehamilan tidak meminum vitamin yang
diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat.
Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan
karena rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012).
Anemia atau kadar Hb <11 g/dl yang salah satunya bisa
disebabkan karena defisiensi besi sehingga perlu diberi obat penambah
zat besi. Kondisi anemia pada ibu hamil sangat berbahaya bisa
menyebabkan
terjadinya
perdarahan
pasca
persalinan
(WHO;
Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Perdarahan merupakan penyebab
145
terbanyak kematian pada ibu (Zakariah, dkk., 2009). Berdasarkan hasil
review bahwa dampak anemia pada ibu hamil terhadap bayinya
bervariasi sesuai tingkat defisiensi Hb yang dialami oleh ibu.
Defisiensi Hb <11 gr/dl berhubungan dengan peningkatan kematian
pada perinatal. Peningkatan 2-3 kali kematian perinatal pada ibu
dengan Hb <8,0 gr/dl dan peningkatan 8-10 kali ketika kadar Hb <5,0
gr/dl. Selain itu, penurunan terhadap berat bayi lahir dan lambatnya
pertumbuhan janin terjadi ketika kadar Hb ibu <8,0 gr/dl (Kalaivani,
2009).
Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa terdapat
hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal
maka perlu dilakukan peningkatan upaya deteksi dini di tingkat
layanan antenatal disertai pemantauan yang ketat terhadap kepatuhan
kelompok ibu yang dideteksi mengalami komplikasi kehamilan
(anemia, hipertensi, dan lain-lain) terhadap saran yang diberikan oleh
petugas kesehatan seperti dianjurkan mengonsumsi tablet penambah
darah.
6.3.9
Penolong Persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan
pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang kompeten (Depkes RI, 2009). Penanganan medis yang tepat dan
memadai saat ibu melahirkan dapat menurunkan risiko komplikasi
146
yang bisa menyebabkan kesakitan serius pada ibu dan bayinya (BPS,
BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).
Pada penelitian ini, penolong persalinan dikategorikan menjadi
tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan. Penolong persalinan
dikategorikan sebagai tenaga kesehatan jika merupakan dokter, dokter
kandungan, perawat, bidan, atau bidan desa. Sedangkan penolong
persalinan dikategorikan sebagai non tenaga kesehatan jika penolong
persalinan adalah dukun, tetangga atau tanpa penolong persalinan.
Pengkategorian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan Titaley, dkk (2008) di Indonesia.
Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa 83% persalinan pada
kurun waktu 2008-2012 ditolong oleh tenaga kesehatan profesional
(62% perawat/bidan/bidan desa, 20% dokter kandungan dan 1%
dokter). Proporsi ini mengalami peningkatan dari hasil SDKI 2007
sebesar 73% persalinan yang ditolong tenaga kesehatan profesional
(BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Pada
penelitian ini diketahui ibu yang ditolong oleh tenaga kesehatan
profesional pada persalinannya di daerah rural Indonesia yaitu sebesar
73,2% (30,7% bidan, 24,1% bidan desa, 5,5% dokter kandungan, 1,3%
perawat, 0,4% dokter dan 11,2% lebih dari satu penolong tenaga
kesehatan). Angka ini masih cukup jauh dari target MDGs 5 tahun
147
2015, peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan
profesional menjadi 90% (Kemenkes RI, 2014).
Persalinan yang dilakukan oleh bukan tenaga kesehatan pada
penelitian ini yaitu sebesar 26,8%. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan
kematian neonatal. Artinya, tidak ada perbedaan antara penolong
persalinan oleh tenaga kesehatan maupun oleh non tenaga kesehatan.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Singh, dkk
(2014), Pertiwi, (2010) dan Wijayanti, (2013) yang menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian
neonatal. Namun, hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan Sugiharto (2011), Dewi (2010) dan Nugraheni (2013)
yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara penolong
persalinan dengan kematian neonatal.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu
ditolong oleh tenaga kesehatan pada persalinannya, namun proporsi
kematian neonatal pada kedua kelompok tidak menunjukkan
perbedaan proporsi yang cukup jauh sehingga analisis statistik
menunjukkan tidak ada hubungan. Bahkan pada penelitian Titaley,
dkk (2011) yang dilakukan di Indonesia ditemukan kematian neonatal
dini justru lebih tinggi pada ibu yang bersalin di rumah yang ditolong
oleh tenaga yang terlatih. Penelitian lainnya menemukan bahwa
148
kematian neonatal lebih tinggi pada ibu tanpa penolong persalinan
(Neupane & Doku, 2014). Namun, pada penelitian ini hanya 0,4% ibu
yang melakukan persalinan tanpa adanya penolong persalinan.
Kemungkinan penyebab masih tingginya angka kematian
neonatal pada kelompok ibu dengan penolong persalinan tenaga
kesehatan adalah masih rendahnya kualitas penolong persalinan
tersebut. Seperti diketahui pada penelitian Yego, dkk (2013) bahwa
akses terhadap penolong persalinan terampil termasuk dokter maupun
bidan penting untuk mencegah kematian maternal dan neonatal.
Penolong persalinan yang sebagian besar dilakukan oleh penolong
persalinan dengan keterampilan yang rendah dapat berkontribusi
terhadap kejadian kematian neonatal dan kematian maternal (Yego,
dkk., 2013). Pada penelitian lainnya juga menemukan bahwa perlunya
pelatihan bagi penolong persalinan agar penolong persalinan mampu
menangani kasus infeksi yang diketahui merupakan penyebab
terbanyak kasus kematian neonatal (Turnbull, dkk., 2011).
Pada penelitian
yang dilakukan Kusiako, dkk (2000)
menunjukkan bahwa komplikasi pada saat melahirkan merupakan
penyebab sepertiga kematian pada perinatal. Padahal peningkatan
layanan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terkualifikasi dan
layanan neonatus yang lebih baik seharusnya dapat menurunkan
kematian pada perinatal. Pada penelitian ini, kemungkinan penyebab
149
lain masih tingginya kematian neonatal pada kelompok ibu dengan
persalinan oleh tenaga kesehatan adalah ibu memilih bersalin oleh
tenaga kesehatan ketika terjadi masalah serius pada persalinannya.
Seperti ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Jawa Barat
bahwa ibu yang mengakses penolong persalinan terlatih atau
melakukan persalinan di fasilitas layanan kesehatan sebagian besar
dilakukan ketika ibu mengalami komplikasi kehamilan (Titaley, dkk.,
2010).
Review
menunjukkan
yang
dilakukan
Upadhyay,
dkk
bahwa
kurangnya
sumber daya
(2012)
yang
juga
terampil
merupakan salah satu penyebab kematian neonatal yang terjadi di
daerah rural India. Kurangnya sumber daya manusia yang terampil
berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan yang diterima oleh
neonatus. Sehingga penyediaan tenaga kesehatan yang terkualifikasi
ke daerah rural merupakan tantangan yang harus dilakukan untuk
menghindari kematian pada neonatal.
Pada penelitian Zimba, dkk (2012) menemukan bahwa
walaupun Malawi mengalami peningkatan jumlah penolong persalinan
terampil, tetapi sebagian besar ibu dan bayi baru lahir yang mengalami
komplikasi masih belum mendapatkan penanganan kesehatan yang
diperlukan. Pada penelitian lainnya diketahui bahwa peralatan dan
kualitas layanan yang tidak memadai juga merupakan tantangan di
150
wilayah Afrika dan Asia (Harvey, dkk., 2007). Menurut Singh, dkk
(2014) definisi tenaga penolong persalinan yang ada saat ini, tidak
mencakup unsur layanan yang memadai. Walaupun sebagian besar
negara di Afrika dan Asia mengalami peningkatan jumlah tenaga
penolong persalinan terampil, sebagian besar setiap individu yang
disebut sebagai tenaga kesehatan terampil tidak memiliki kompetensi
yang diperlukan atau peralatan yang dibutuhkan untuk mengatasi
komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir.
Adapun penyebab masih tingginya kematian neonatal pada
penolong pesalinan non tenaga kesehatan di daerah rural Indonesia
kemungkinan terjadi karena masih rendahnya akses ibu hamil terhadap
tenaga keseahatan.menurut. Hasil penelitian Titaley, dkk (2010) di
beberapa daerah terpencil di Indonesia menunjukkan bahwa bidan
desa yang pada beberapa wilayah merupakan satu-satunya tenaga
kesehatan penolong persalinan yang tersedia, terkadang pergi keluar
desa (Titaley, dkk., 2010). Hal ini semakin mempersulit akses ibu
terhadap tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan.
Masih tingginya kematian pada penolong persalinan non
tenaga kesehatan kemungkinan besar juga karena pengetahuan dan
keterampilan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yang sangat
kurang tentang penanganan persalinan pada ibu bersalin, maupun
tentang penanganan bayi baru lahir. Apalagi penanganan ibu dengan
151
gejala eklamsia, akan sangat sulit bagi penolong bukan tenaga
kesehatan untuk dapat melakukan tindakan yang tepat. Pengetahuan
penolong
yang
kurang tentang bagaimana
melakukan upaya
pencegahan terhadap kemungkinan bayi aman dari risiko terjadinya
gangguan thermoregulasi, gangguan respirasi, dan risiko lainnya yang
biasa melekat pada bayi baru lahir, sangat berpengaruh besar terhadap
status kesehatan neonatus. Jika penanganannya kurang tepat maka
kecenderungan terjadinya risiko kematian akan semakin besar (Astuti,
dkk., 2010).
Hasil penelitian kualitatif pada masyarakat Suku Nias
menemukan bahwa terkadang keluarga alot dalam memutuskan
merujuk ke rumah sakit atau puskesmas. Hal tersebut menyebabkan
ibu terlambat mendapatkan pertolongan dari petugas kesehatan. Ibu
yang melakukan persalinan di rumah sakit biasanya ibu yang sudah
mengalami masalah pada persalinannya (Kemenkes RI, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian ini diperlukan upaya untuk
meningkatkan keterampilan penolong persalinan baik bagi tenaga
penolong persalinan. Peningkatan kualitas tenaga penolong persalinan
dilakukan dari mulai calon tenaga penolong persalinan di tingkat
akademik/universitas maupun bagi mereka yang telah berprofesi
sebagai tenaga penolong persalinan. Peningkatan kualitas tenaga
152
penolong
persalinan
ini
terutama
pada
masalah
penanganan
komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir.
6.3.10 Persalinan Caesar
Persalinan caesar merupakan tindakan untuk melahirkan bayi
melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (Saifuddin, dkk.,
2009). Persalinan caesar merupakan operasi besar yang dilakukan
pada saat terdapat indikasi kesehatan tertentu (Whalley, dkk., 2008).
Pada penelitian ini, cara persalinan dibedakan menjadi persalinan
caesar dan bukan persalinan caesar. Ibu dikategorikan melakukan
persalinan caesar apabila ibu melakukan persalinan dengan cara perut
dibedah untuk mengeluarkan bayi. Sedangkan ibu dikategorikan tidak
melakukan persalinan caesar apabila ibu melakukan persalinan dengan
cara per vaginam/normal. Pengkategorian ini didasarkan pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan Bashir, dkk (2013).
Pada penelitian ini diketahui ibu yang melakukan persalinan
caesar pada persalinannya yaitu sebesar 8%. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar
dengan kematian neonatal. Hasil pada penelitian ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan Bashir, dkk (2013) yang
menunjukkan bahwa persalinan dengan cara bedah caesar memiliki
hubungan dengan kematian neonatal. Ibu dengan persalinan caesar
memiliki kemungkinan 1,6 kali lebih besar terhadap kematian neonatal
153
dibandingkan ibu yang melahirkan per vaginam. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Nugraheni (2013) dan
Wijayanti (2013) bahwa tidak ada hubungan antara persalinan caesar
dengan kematian neonatal. Namun, penelitian Owais, dkk (2013) di
daerah rural Bangladesh justru menemukan bahwa persalinan dengan
cara caesar menjadi faktor protektif terhadap kematian neonatal.
Walaupun uji statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan
antara persalinan caesar dengan kematian neonatal, pada penelitian ini
menunjukkan bahwa proporsi kematian neonatal lebih tinggi pada
kelompok ibu dengan persalinan caesar. Kemungkinan hal ini terjadi
karena persalinan caesar sebagian besar dilakukan karena ditemukan
adanya indikasi kesehatan tertentu pada ibu seperti ditunjukkan pada
hasil penelitian (Shah, dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan di
daerah urban Ibadan Nigeria menunjukkan bahwa dari 21% ibu yang
melakukan persalinan caesar sebanyak 89% merupakan kasus
kegawatdaruratan (Adetola, dkk., 2011). Namun, pada penelitian
lainnya yang dilakukan di daerah Iran menemukan bahwa sebagian
besar persalinan caesar dilakukan bukan karena adanya indikasi
kesehatan (Bahadori, dkk., 2013).
Bayi dari ibu yang kembali melakukan persalinan dengan cara
caesar memiliki angka kesakitan (penyakit pernapasan) lebih tinggi
dan tinggal di rumah sakit lebih lama dibandingkan ibu yang
154
melakukan persalinan per vaginam yang sebelumnya melakukan
persalinan caesar (Kamath, dkk., 2009). Kematian neonatal meningkat
sejalan dengan tingginya persalinan caesar yang dilakukan pada
kondisi kegawatdaruratan. Selain itu secara keseluruhan, persalinan
caesar (kondisi kegawatdaruratan maupun non kegawatdaruratan)
berhubungan dengan meningkatnya kesakitan pada neonatal (Shah,
dkk., 2009).
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa dari 571 persalinan
yang dilakukan secara caesar, 90,2% tidak mengalami komplikasi
selama kehamilannya. Sehingga, kemungkinan sebagian besar
persalinan caesar pada penelitian ini dilakukan bukan karena adanya
indikasi kesehatan. Hasil review literatur menyebutkan bahwa
persalinan caesar tanpa adanya alasan kesehatan (kegawatdaruratan)
juga bisa membahayakan kondisi ibu dan janinnya baik dari segi
pendek maupun lamanya waktu yang diperlukan prosedur persalinan
caesar dibandingkan persalinan normal (Wiklund, dkk., 2012).
6.3.11 Tempat Persalinan
Upaya untuk mengurangi risiko kematian ibu dan anak sangat
penting dengan cara meningkatkan persalinan oleh tenaga kesehatan
yang profesional yang dilakukan di fasilitas kesehatan (BPS, BKKBN,
Kemenkes & ICF International, 2013). Pada penelitian ini, tempat
persalinan dikategorikan menjadi non fasilitas layanan kesehatan dan
155
fasilitas layanan kesehatan. Ibu melakukan persalinan di fasilitas
layanan kesehatan jika persalinan dilakukan di rumah sakit, klinik,
dokter/perawat/bidan praktek, dan bidan desa. Sedangkan ibu
dikategorikan melakukan persalinan di non fasilitas layanan kesehatan
apabila ibu melakukan persalinan di rumahnya sendiri maupun rumah
dukun/tetangga. Pengkategorian ini didasarkan pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan Titaley, dkk (2008).
Pada penelitian ini diketahui bahwa ibu yang melakukan
persalinan di non fasilitas pelayanan kesehatan yaitu sebesar 59,9%.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
tempat persalinan dengan kematian neonatal. Hasil ini berbeda dengan
hasil penelitian yang dilakukan Faisal (2010) menunjukkan bahwa ibu
yang melahirkan di fasilitas non kesehatan mempunyai kecenderungan
untuk mengalami kejadian kematian bayi lebih besar dibandingkan ibu
yang melahirkan di fasilitas kesehatan. Namun, hasil penelitian ini
sama dengan penelitian yang dilakukan Sugiharto (2011), Pertiwi
(2010), Nugraheni (2013) dan Wijayanti (2013) bahwa tidak terdapat
hubungan antara tempat persalinan dengan kematian neonatal.
Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa kematian
neonatal lebih tinggi terjadi di non fasilitas layanan kesehatan. Ibu
yang melakukan persalinan diluar fasilitas pelayanan kesehatan
memiliki risiko 1,85 kali lebih tinggi untuk mengalami kematian
neonatal dibandingkan ibu yang melahirkan di fasilitas layanan
156
kesehatan. Melahirkan diluar fasilitas layanan kesehatan lebih
memungkinkan untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan
melahirkan dilakukan di fasilitas layanan kesehatan (Ajaari, dkk.,
2012).
Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa jumlah ibu yang
melahirkan di non fasilitas pelayanan kesehatan lebih tinggi
dibandingkan di fasilitas pelayanan kesehatan konsisten dengan hasil
penelitian Owais, dkk (2013). Namun, diketahui kematian neonatal
justru ditemukan lebih tinggi terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan.
Artinya, kasus kematian neonatal lebih tinggi terjadi di fasilitas
pelayanan kesehatan padahal penolong persalinan di fasilitas
pelayanan merupakan tenaga kesehatan. Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian Titaley (2011) bahwa terjadinya peningkatan risiko
kematian neonatal dini yang signifikan berhubungan dengan
persalinan yang dilakukan di rumah sakit di daerah rural Indonesia.
Hasil ini juga konsisten dengan penelitian lainnya yang
dilakukan di daerah rural Burkina Faso bahwa kematian bayi lebih
tinggi terjadi di fasilitas layanan kesehatan. Adanya fasilitas pelayanan
kesehatan tidak akan memberikan perbedaan yang berarti jika fasilitas
tersebut tidak memiliki kelengkapan alat atau tenaga kesehatan yang
cukup terlatih (Diallo, dkk., 2012). Hasil ini juga sejalan dengan hasil
penelitian Singh, dkk (2012) bahwa setelah adanya peningkatan
penggunaan rumah sakit bersalin di India terjadi penurunan kematian
157
neonatal sebesar 2,5% namun penurunan kematian neonatal ini tidak
signifikan dimungkinkan terjadi karena masih rendahnya kualitas
layanan kesehatan. Seperti ditemukan juga pada penelitian lainnya
bahwa persalinan yang dilakukan di rumah di daerah rural sebagian
besar ditolong oleh dokter atau bidan desa dengan tingkat pengetahuan
dan keterampilan masih tergolong cukup rendah (Yanping, dkk.,
2010).
Kemungkinan alasan lainnya yaitu sebagian besar persalinan
yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan persalinan
dengan komplikasi yang bisa berakibat pada kematian neonatal. Hal
ini terjadi karena perilaku mencari pelayanan kesehatan dilakukan
setelah awalnya persalinan akan dilakukan di rumah. Penolong
persalinan di rumah tidak akan merujuk ibu ke fasilitas layanan
kesehatan kecuali ibu telah mengalami komplikasi. Sehingga
lemahnya sistem layanan kesehatan juga akan berkontribusi terhadap
tingginya angka kematian neonatal di fasilitas layanan kesehatan
(Ajaari, dkk., 2012).
Pada penelitian ini didapatkan, hasil analisis antara komplikasi
kehamilan dengan tempat persalinan menunjukkan adanya hubungan.
Sebesar 49,2% persalinan yang dilakukan di fasilitas layanan
kesehatan merupakan
kasus komplikasi
kehamilan.
Penelitian
kualitatif yang dilakukan pada masyarakat suku Mamasa Sulawesi
Barat juga menunjukkan bahwa beberapa kejadian kematian ibu dan
158
bayi saat bersalin di rumah sakit rujukan. Ibu hamil datang ke rumah
sakit tersebut dengan keadaan sangat parah (sakit berat) atau umur
kehamilan sudah terlalu tua (Kemenkes RI, 2012).
Penggunaan layanan kesehatan kemungkinan juga dipengaruhi
oleh jarak terhadap layanan kesehatan tersebut. Hasil penelitian di
daerah rural Etiophia ditemukan bahwa sekitar 90% anak tinggal di
wilayah dengan waktu tempuh lebih dari 1,5 jam ke fasilitas
kesehatan. Anak tersebut memiliki risiko 2 kali lebih besar terhadap
kematian dibandingkan anak yang tinggal dengan waktu tempuh 1,5
jam ke fasilitas kesehatan (Okwaraj, dkk., 2012). Penelitian lain di
daerah rural Burkina Faso menemukan bahwa terjadi 33% peningkatan
kematian bayi yang signifikan jika ibu tinggal dengan lokasi pusat
layanan kesehatan yang terdekat lebih dari 10 km (Becher, dkk.,
2004). Penelitian yang dilakukan di Jawa Barat menemukan bahwa
jarak dan keterbatasan biaya merupakan dua penyebab utama ibu tidak
mengakses penolong persalinan terlatih dan fasilitas layanan kesehatan
pada saat persalinannya (Titaley, dkk., 2010).
Walaupun 90% ibu telah melakukan kunjungan antenatal
namun hanya 2 dari 10 ibu yang melakukan persalinan di fasilitas
layanan antenatal. Hasil pengamatan diketahui bahwa persalinan
dilakukan di rumah berkaitan dengan adanya perkembangan persalinan
yang cepat, jarak, kesulitan transportasi pada malam hari dan biaya.
Jarak merupakan hambatan terhadap persalinan di fasilitas layanan
159
kesehatan bukan terhadap kunjungan antenatal. Hal ini dikarenakan
tidak semua fasilitas yang menyediakan layanan antenatal memiliki
layanan persalinan 24 jam. Sehingga jarak untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan
dengan
layanan
persalinan
lebih
sulit
didapatkan
dibandingkan dengan layanan antenatal. Persalinan alami pada kondisi
gawat mungkin menjadi lebih baik untuk menyelesaikan masalah jarak
ke fasilitas layanan persalinan. Selain itu, ibu memilih tenaga
penolong persalinan tradisional karena lebih fleksibel dalam masalah
biaya. Bahkan masih ditemukan ibu tanpa tenaga penolong persalinan,
padahal ibu tanpa penolong persalinan akan kesulitan mendapatkan
penolong ketika terjadi komplikasi pada persalinannya (Eijk, dkk.,
2006).
Penelitian kualitatif pada Suku Mamasa, Sulawesi Barat
menemukan bahwa walaupun telah terdapat program Jampersal
(Jaminan Persalinan) namun belum diketahui oleh ibu-ibu di wilayah
tersebut. Selain itu, mereka belum mempercayai sepenuhnya bahwa
bersalin di fasilitas kesehatan tidak dikenakan biaya/gratis. Apalagi
jika mereka harus di rujuk ke Rumah Sakit, akan membutuhkan biaya
yang lebih besar. Selain itu, permasalahan juga terdapat pada tenaga
kesehatan dimana belum keluarnya pembayaran (klaim) terhitung
sejak 2011-2012. Padahal semua catatan dan bukti telah terkumpul
dengan rapi. Kejadian tersebut terjadi pada semua bidan di desa dan
kecamatan di Kabupaten Mamasa. Meskipun demikian, bidan desa
160
tetap melayani dan menggratiskan persalinan yang ditolong di fasilitas
persalinan (Kemenkes RI, 2012).
Penelitian lainnya pada suku Toraja Sa’dan menunjukkan
bahwa terdapat pertimbangan lain, pertimbangan ekonomi untuk
memenuhi biaya-biaya di luar cakupan Jampersal, seperti transportasi,
uang makan keluarga yang menungguinya di sarana kesehatan, anakanak kecil yang ditinggalkan, hewan-hewan ternak (pemeliharaan
babi) yang menjadi tanggung jawab ibu. Pendapatan sehari-hari
menjadi pertimbangan lain mengapa ibu memutuskan untuk
melahirkan sendiri di rumahnya. Selain itu, beberapa wilayah Toraja
Sa’dan memang berada jauh dari sarana pelayanan kesehatan. Selain
jarak yang jauh, akses warga terhadap pelayanan kesehatan dipersulit
dengan kondisi jalan yang rusak. Sarana transportasi menjadi sulit dan
mahal karena kondisi jalan yang rusak parah (Kemenkes RI, 2012).
Berdasarkan hasil pada penelitian ini, maka perlu dilakukan
upaya peningkatan kualitas fasilitas layanan kesehatan baik dari segi
akses maupun kelengkapan alat dan ketersediaan tenaga kesehatan
profesional. Pemerintah Daerah sebaiknya melakukan peningkatan
perbaikan infrastruktur di wilayahnya agar akses terhadap fasilitas
kesehatan semakin meningkat.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan rendah (55,1%), berstatus
kerja (53,1%), memiliki indeks kekayaan rumah tangga rendah (47,7%),
tinggal diwilayah perdesaan (53,1%), memiliki umur antara 20-35 tahun
(74,3%), berjenis kelamin laki-laki (51,6%), memiliki paritas 1-3 (83,6%),
melakukan kunjungan antenatal (68,8%), mengalami komplikasi kehamilan
(93,5%), melakukan persalinan oleh tenaga kesehatan (82,5%), melakukan
persalinan bukan caesar (87,3%) dan melakukan persalinan di fasilitas
pelayanan kesehatan (57,9%).
2) Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
3) Terdapat hubungan antara status pekerjaan ibu dengan kematian neonatal
di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
4) Tidak terdapat hubungan antara indeks kekayaan rumah tangga dengan
kematian neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
5) Terdapat hubungan antara umur ibu dengan kematian neonatal di daerah
rural Indonesia tahun 2008-2012.
161
162
6) Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
7) Terdapat hubungan antara paritas dengan kematian neonatal di daerah rural
Indonesia tahun 2008-2012.
8) Terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal
di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
9) Terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal
di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
10) Tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
11) Tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
12) Tidak terdapat hubungan antara tempat persalinan dengan kematian
neonatal di daerah rural Indonesia tahun 2008-2012.
7.2
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka peneliti memberikan saran
sebagai berikut:
7.2.1
Bagi Kementerian Kesehatan RI
1) Strategi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait
peningkatan pengetahuan ibu mengenai kesehatan ibu dan anak
perlu difokuskan pada kelompok ibu umur kurang dari 20 tahun
163
dan lebih dari 35 tahun dan kelompok ibu yang bekerja untuk
daerah rural Indonesia.
2) Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan penggunaan metode
keluarga berencana yang didukung oleh ketersediaan dan
kelengkapan
fasilitas
dan
tenaga
yang
perlukan
serta
memperhatikan aspek budaya/adat masyarakat setempat.
3) Pelayanan antenatal perlu ditingkatkan dengan fokus pada
terjaminnya ketersediaan, kelengkapan dan kualitas dari fasilitas
serta tenaga kesehatan di daerah rural Indonesia.
4) Upaya deteksi dini terhadap komplikasi pada kehamilan di daerah
rural
Indonesia
perlu
diikuti
dengan
pemantauan
yang
berkelanjutan pada kepatuhan ibu terhadap anjuran dari petugas
kesehatan.
5) Penyediaan tenaga penolong persalinan perlu difokuskan pada
peningkatan kualitas tenaga penolong persalinan terutama terkait
penanganan komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir.
7.2.2
Bagi Pemerintah Daerah
Bagi Pemerintah Daerah yang memiliki daerah dengan
karakteristik rural/perdesaan disarankan untuk melakukan peningkatan
ketersediaan, akses, kapasitas dan kualitas tenaga penolong persalinan
dan fasilitas persalinan di wilayahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adetola, A. O., Tongo, O. O., Orimadegun, A. E., & Osinusi, K. (2011). Neonatal
Mortality in an Urban Population in Ibadan, Nigeria. Pediatrics and
Neonatology , 244.
Ajaari, J., Masanja, H., Weiner, R., Abokyi, S. A., & Owusu-Agyei, S. (2012).
Impact of Place of Delivery on Neonatal Mortality in Rural Tanzania.
International Journal of MCH and AIDS , 52,.
Andargie, G., Berhane, Y., Worku, A., & Kebede, Y. (2013). Predictors of Perinatal
Mortality in Rural Population of Northwest Ethiopia: A Prospective
Longitudinal Study. BMC Public Health , 4.
Andrews, G. (2009). Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Wanita Terjemahan Sari
Kurnianingsih. Jakarta: EGC.
Astuti, W. D., Sholikhah, H. H., & Angkasawati, T. J. (2010). Estimasi Risiko
Penyebab Kematian Neonatal di Indonesia Tahun 2007. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan , 306.
August, E., Salihu, H., Weldeselasse, H., Biroscak, B., Mbah, A., & Alio, A. (2011).
Infant Mortality and Subsequent Risk of Stillbirth: a Retrospective Cohort
Study. BJOG An International Journal of Obstetrics and Gynaecology ,
1636-1645.
Bahadori, F., Hakimi, S., & Heidarzade, M. (2013). The Trend of Caesarean Delivery
in The Islamic Republic of Iran. Eastern Mediterranean Health Journal ,
S69.
Baqui, A. H., Ahmed, S., Arifeen, S. E., Darmstadt, G. L., Rosecrans, A. M.,
Mannan, I., et al. (2009). Effect of Timing of First Postnatal Care Home
Visit on Neonatal Mortality in Bangladesh: A Prospective Cohort Study.
BMJ , 445-448.
Baqui, A., Darmstadt, G., Williams, E., Kumar, V., Kiran, T., Panwar, D., et al.
(2006). Rates, Timing and Cause of Neontal Deaths in Rural India:
Implication for Neonatal Health Programmes. Bulletin of The World Health
Organization , 706-711.
164
Bashir, A. O., Ibrahim, G. H., Bashier, I. A., & Adam, I. (2013). Neonatal Mortality
in Sudan: Analysis of the Sudan Household Survey, 2010. BMC Public
Health , 1-9.
Becher, H., Muller, O., Jahn, A., Gbango, A., Kynast-Wolf, G., & Kouyate, B.
(2004). Risk Factors of Infant and Child Mortality in Rural Burkina Faso.
Bulletin of The World Health Organization , 270.
BPS & Macro International. (2008). Indonesia Demograhic and Health Survey 2007.
Jakarta: BPS & Macro International.
BPS & ORC Macro. (2003). Indonesia Demographic and Health Survey. Jakarta:
BPS & ORC Macro.
BPS. (2010). Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang
Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia. Jakarta: BPS.
BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International. (2013). Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF
International.
Carlsen, F., Grytten, J., & Eskild, A. (2013). Changes in Fetal and Neonatal Mortality
during 40 Years by Offspring Sex: A National Registry-Based Study in
Norway. BMC Pregnancy and Childbirth , 1-7.
Chaman, R., Naieni, K. H., Golestan, B., Nabavizadeh, H., & Yunesian, M. (2009).
Neonatal Mortality Risk Factors in a Rural Part of Iran: A Nested CaseControl Study. Iranian Journal of Public Health , 48-52.
Chen, X.-K., Wen, S. W., Fleming, N., Demissie, K., Rhoads, G. G., & Walker, M.
(2007). Teenage Pregnancy and Adverse Birth Outcomes: A Large
Population Based Retrospective Cohort Study. International Journal of
Epidemiology , 371.
Chowdhury, A. H., Islam, S. S., & Karim, A. (2013). Covariates of Neonatal and
Post-Neonatal Mortality in Bangladesh. Global Journal of Human Social
Science .
Chowdhury, H. R., Thompson, S., Ali, M., Alam, N., Yunus, M., & Streatfield, P. K.
(2010). Causes of Neonatal Deaths in a Rural Subdistrict of Bangladesh
Implications for Intervention. J. HEALTH POPUL NUTR , 375.
165
Dahlan, S. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Debes, A. K., Kohli, A., Walker, N., Edmond, K., & Mullany, L. C. (2013). Time to
Initiation of Breastfeeding and Neonatal Mortality and Morbidity A
Systematic Review. BMC Public Health , 1-14.
Depkes RI. (2009). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan
Anak (PWS KIA). Jakarta: Depkes RI.
Dewi, R. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal di
Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.
Diallo, A. H., Meda, N., Sommerfelt, H., Traore, G. S., Cousens, S., & Tylleskar, T.
(2012). The High Burden of Infant Deaths in Rural Burkina Faso A
Prospective Community-Based Cohort Study. BMC Public Health , 12.
Djaja, S., Kosen, S., Fel, l. P., & Ariawan, I. (2005). Survei Kematian Neonatal
(Studi Autopsi Verbal) di Kabupaten Cirebon, 2004. Buletin Penelitian
Kesehatan , 41-52.
Efriza. (2007). Determinan Kematian Neonatal Dini Di RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional , 104.
Eijk, A. M., Bles, H. M., Odhiambo, F., Ayisi, J. G., Blokland, I. E., Rosen, D. H., et
al. (2006). Use of Antenatal Services and Delivery Care Among Women in
Rural Western Kenya A Community Based Survey. Reproductive Health , 6.
Fachlaeli, E. (2000). Hubungan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dengan Kematian
Neonatal Di Kabupaten DT II Majalengka Jawa Barat Tahun 1998.
Universitas Indonesia .
Faisal, A. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Bayi di
Indonesia Tahun 2003-2007 (Analisis Data SDKI 2007). Depok: Universitas
Indonesia.
Gerstman, B. B. (2003). Epidemiology Kept Simple. New Jersey: Canada.
Gizaw, M., Molla, M., & Mekonnen, W. (2014). Trends and Risk Factors for
Neonatal Mortality in Butajira District, South Central Ethiopia, (1987-2008):
A Prospective Cohort Study. BMC Pregnancy and Childbirth , 1-6.
Gordis, L. (2004). Epidemiology Third Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders.
166
Harvey, S. A., Blandón, Y. C., McCaw-Binns, A., Sandino, I., Urbina, L., Rodríguez,
C., et al. (2007). Are skilled Birth Attendants Really Skilled? A
Measurement Method, Some Disturbing Results and A Potential Way
Forward. Bulletin of the World Health Organization .
Hastono, S. P., & Sabri, L. (2010). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers.
Hinderaker, S. G., Olsen, B. E., Bergsjø, P. B., Gasheka, P., Lie, R. T., Havnen, J., et
al. (2003). Avoidable Stillbirths and Neonatal Deaths in Rural Tanzania.
BJOG: an International Journal of Obstetrics and Gynaecology , 616.
ICF International. (n.d.). DHS Overview. Retrieved Juny 27, 2014, from The DHS
Program (Demographic and Health Surveys): http://dhsprogram.com/WhatWe-Do/Survey-Types/DHS.cfm
Kalaivani, K. (2009). Prevalence & Consequences of Anaemia in Pregnancy. Indian J
Med Res , 630.
Kamath, B. D., Todd, J. K., Glazner, J. E., Lezotte, D., & Lynch, A. M. (2009).
Neonatal Outcomes After Elective Cesarean Delivery. The American
College of Obstetricians and Gynecologists , 1231.
Karlsen, S., Say, L., Souza, J.-P., Hogue, C. J., Calles, D. L., Gülmezoglu, A. M., et
al. (2011). The Relationship Between Maternal Education and Mortality
Among Women Giving Birth in Health Care Institutions: Analysis of the
Cross Sectional WHO Global Survey on Maternal and Perinatal Health.
BMC Public Health , 1.
Kayode, G. A., Ansah, E., Agyepong, I. A., Amoakoh-Coleman, M., Grobbee, D. E.,
& Klipstein-Grobusch, K. (2014). Individual and Community Determinants
of Neonatal Mortality in Ghana: A Multilevel Analysis. BMC Pregnancy
and Childbirth , 1-12.
Kemenkes RI. (2011). Buku Pedoman Pengenalan Tanda Bahaya pada Kehamilan,
Persalinan dan Nifas Bagi Kader. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik
Alifuru Seram Desa Waru Kecamatan Bula Kabupaten Seram Bagian Timur
Provinsi Maluku. Kemenkes RI , 59.
Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik
Dayak Siang Murung Desa Dirung Bakung Kecamatan Tanah Siang
167
Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah. Kemenkes RI , 7980.
Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik
Gorontalo Desa Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwoto
Provinsi Gorontalo. Kemenkes RI , 88.
Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik
Madura Desa Jrangoan Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Provinsi
Jawa Timur. Kemenkes RI , 14.
Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik
Mamasa Desa Makuang Kecamatan Messawa Kabupaten Mamasa Provinsi
Sulawesi Barat . Kemenkes RI , 45.
Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik
Ngalum Distrik Oksibil Kabupaten Penggunungan Bintang Provinsi Papua .
Kemenkes RI , 77-78.
Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Nias
Desa Hilifadölö Kecamatan Lölöwa'u Kabupaten Nias Selatan Provinsi
Sumatera Utara . Kemenkes RI , 20.
Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik
Toraja Sa'dan Desa Sa'dan Malimbong Kecamatan Toraja Utara, Provinsi
Sulawesi Selatan. Kemenkes RI , 2.
Kemenkes RI. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak: Etnik
Manggarai Desa Waicodi Kecamatan Cibal Kabupaten Manggarai Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Kemenkes RI , 64.
Kemenkes RI. (2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Bina Kesehatan Ibu
Tahun Anggaran 2013. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI. (2012). Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu Edisi Kedua. Jakarta:
Kemenkes RI.
Khan, A. A., Zahidie, A., & Rabbani, F. (2013). Interventions to Reduce Neonatal
Mortality from Neonatal Tetanus in Low and Middle Income Countries - A
Systematic Review. BMC Public Health , 1-7.
168
Kliegman, R. M., Stanton, B. F., Schor, N. F., II, J. W., & Behrman, R. E. (2011).
Nelson Text Book of Pediatrics 19th Edition International Edition.
Philadelphia: Elsevier.
Kozuki, N., Lee, A. C., Silveira, M. F., Sania, A., Vogel, J. P., Adair, L., et al. (2013).
The Associations of Parity and Maternal Age With Small-For-GestationalAge, Preterm, and Neonatal and Infant Mortality A Meta-Analysis. BMC
Public Health , 5.
Kusiako, T., Ronsman, C., & Paal, L. V. (2000). Perinatal Mortality Atributable to
Complications of Childbirth in Matlab, Bangladesh. Bulletin of The World
Health Organization , 623.
Ladewig, P. W., London, M. L., & Olds, S. B. (2006). Buku Saku Asuhan Ibu dan
Bayi baru Lahir Terjemahan Salmiyatun. Jakarta: EGC.
Lawn, J., Kerber, K., Enweronu-Laryea, C., & Bateman, O. M. (2009). Newborn
Survival in Low Resource Settings are We Delivering. BJOG An
International Journal of Obstetrics and Gynaecology , 50.
Lisonkova, S., Sabr, Y., Butler, B., & Joseph, K. (2012). International Comparisons
of Preterm Birth Higher Rates of Late Preterm Birth are Associated with
Lower Rates of Stillbirth and Neonatal Death. BJOG An International
Journal of Obstetrics and Gynaecology , 1630-1637.
Mahmood, M. A. (2002). Determinants of Neonatal and Post-neonatal Mortality in
Pakistan. The Pakistan Development Review , 735, 739.
Majoko, F., LNyström, Munjanja, S., Mason, E., & Lindmark, G. (2004). Relation of
Parity to Pregnancy Outcome in a Rural Community in Zimbabwe. African
Journal of Reproductive Health , 205.
Målqvist, M., Sohel, N., Do, T. T., Eriksson, L., & Persson, L. Å. (2010). Distance
Decay in Delivery Care Utilization Associated With Neonatal Mortality. A
Case Referent Study in Northern Vietnam. BMC Public Health , 1-9.
Manzar, N., Manzar, B., Yaqoob, A., Ahmed, M., & Kumar, J. (2012). The Study of
Etiological and Demographic Characteristics of Neonatal Mortality and
Morbidity-A Consecutive Case Series Study from Pakistan. BMC Pediatrics
, 1-6.
169
Markovitz, B. P., Cook, R., Flick, L. H., & Leet, T. L. (2005). Socioeconomic Factors
and Adolescent Pregnancy Outcomes: Distinctions Between Neonatal and
Post-Neonatal Deaths? BMC Public Health , 1-7.
McCarthy, J., & Maine, D. (1992). A Framework for Analyzing the Determinants of
Maternal Mortality. Studies in Family Planning , 26.
Meadow, R., & Newell, S. (2002). Lectures Notes: Pediatrika. Terjemahan Kripti
Hartini dan Asri Dwi Rachmawati. Jakarta: Erlangga.
Mekonnen, Y., Tensou, B., Telake, D. S., Degefie, T., & Bekele, A. (2013). Neonatal
Mortality in Ethiopia: Trends and Determinants. BMC Public Health , 1-14.
Mercer, A., Haseen, F., Huq, N. L., Uddin, N., Khan, M. H., & Larson, C. P. (2006).
Risk Factors for Neonatal Mortality in Rural Areas of Bangladesh Served by
A Large NGO Programme. Oxford University Press , 432.
Mosley, W. H., & Chen, L. C. (2003). An Analytical Framework for The Study of
Child Survival in Developing Countries. Geneva: World Health
Organization.
Murti, B. (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: UGM Press.
Neupane, S., & Doku, D. T. (2014). Neonatal Mortality in Nepal A Multilevel
Analysis of A Nationally Representative. Journal of Epidemiology and
Global Health , 218.
Nugraheni, A. (2013). Pengaruh Komplikasi Kehamilan Terhadap Kematian
Neonatal Dini di Indonesia (Analisis Data SDKI 2007). Depok: Universitas
Indonesia.
Okwaraj, Y. B., Cousens, S., Berhane, Y., Mulholland, K., & Edmond, K. (2012).
Effect of Geographical Access to Health Facilities on Child Mortality in
Rural Ethiopia A Community Based Cross Sectional Study. Plos One , 3.
Onwuanaku, C. A., Okolo, S. N., Ige, K. O., Okpe, S. E., & Toma, B. O. (2011). The
Effects of Birth Weight and Gender on Neonatal Mortality in North Central
Nigeria. BMC Research Notes , 1-5.
Owais, A., Faruque, A. S., Das, S. K., Ahmed, S., Rahman, S., & Stein, A. D. (2013).
Maternal and Antenatal Risk Factors for Stillbirths and Neonatal Mortality
in Rural Bangladesh: A Case-Control Study. Plos One , 3.
170
Pertiwi, I. (2010). Hubungan Kematian Neonatal dengan Kunjungan ANC dan
Perawatan Postnatal di Indonesia Menurut SDKI 2007-2008. Depok:
Universitas Indonesia.
Pinem, S. (2009). Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: CV. Trans Info
Media.
Prabamurti, P. N., Purnami, C. T., Widagdo, L., & Setyono, S. (2008). Analisis
Faktor Risiko Status Kematian Neonatal Studi Kasus Kontrol di Kecamatan
Losari Kabupaten Brebes Tahun 2006. Semarang: Jurnal Promosi Kesehatan
Indonesia.
Price, D. L., & Gwin, J. F. (2005). Thompson's Pediatric Nursing An Introductory
Text. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Pun, K. D., & Chauhan, M. (2011). Outcomes of Adolescent Pregnancy at
Kathmandu University Hospital, Dhulikhel, Kavre. Kathmandu University
Medical Journal , 50.
Rahmawati, H. K. (2007). Hubungan Karakteristik Ibu, Karakteristik Bayi,
Pelayanan Antenatal, dan Perawatan Persalinan dengan Kematian
Neonatal di Indonesia Tahun 2003-2003 (Analisis Data SDKI 2002-2003).
Depok: Universitas Indonesia.
Rudolph, A. M., Hoffman, J. I., & Rudolph, C. D. (2006). Buku Ajar Pediatri
Rudolph Volume 1 Terjemahan A. Samik Wahab. Jakarta: EGC.
Rudolph, A., Hoffman, J. I., & Rudolph, C. D. (2007). Buku Ajar Pediatri Rudolph
Volume 3 Terjemahan A. Samik Wahab. Jakarta: EGC.
Saifuddin, A. B., Rachimhadi, T., & Wiknjosastro, G. H. (2010). Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawiroharjo. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifudin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G. H., & Waspodo, D. (2009). Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono Prawirodiharjo.
Schoeps, D., Almeida, M. F., Alenca, G. P., Jr., I. F., Novaes, H. M., Siqueira, A. A.,
et al. (2007). Risk Factors for Early Neonatal Mortality. Rev Saúde Pública ,
1-8.
Shah, A., Fawole, B., M'Imunya, J. M., Amokrane, F., Nafiou, I., Wolomby, J.-J., et
al. (2009). Cesarean Delivery Outcomes from The WHO Global Survey on
171
Maternal and Perinatal Health in Africa. International Journal of
Gynecology and Obstetrics , 5.
Sharma, V., Katz, J., Mullany, L. C., Khatry, S. K., LeClerq, S. C., Shrestha, S. R., et
al. (2009). Young Maternal Age and the Risk of Neonatal Mortality in Rural
Nepal. Arch Pediatr Adolesc Med , 5.
Singh, A., Kumar, A., & Kumar, A. (2013). Determinants of Neonatal Mortality in
Rural India, 2007–2008. PeerJ , 1-26.
Singh, A., Yadav, A., & Singh, A. (2012). Utilization of Postnatal Care for Newborns
and Its Association with Neonatal Mortality in India: An Analytical
Appraisal. BMC Pregnancy and Childbirth , 1-6.
Singh, K., Brodish, P., & Suchindran, C. (2014). A Regional Multilevel Analysis:
Can Skilled Birth Attendants Uniformly Decrease Neonatal Mortality?
Maternal Child Health Journal , 242-248.
Smith, G. C., Pell, J. P., & Dobbie, R. (2003). Interpregnancy Interval and Risk of
Preterm Birth and Neonatal Death Retrospective Cohort Study. British
Medical Journal , 313-315.
Sriasih, N. G. (2012). Determinan Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap
Kematian Neonatal Dini. Jurnal Skala Husada , 129.
Stalker, P. (2008). Millenium Development Goals. New York: Bappenas dan UNDP.
Sugiharto, J. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Bayi di
Indonesia Tahun 2007 (Analisis Data Sekunder SDKI 2007). Depok:
Universitas Indonesia.
Sukamti, S. (2011). Pengaruh Pelayanan Kesehatan Terhadap Kematian Neonatal
Anak Terakhir di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2010). Depok:
Universitas Indonesia.
Timmreck, T. C. (1994). An Introduction to Epidemiology. London: Jones and
Bartlett Publishers.
Titaley, C. R., Dibley, M. J., & Roberts, C. L. (2010). Factors Associated with
Underutilization of Antenatal Care Services in Indonesia Results of
Indonesia Demographic and Health Survey 2002 2003 and 2007. BMC
Public Health , 9.
172
Titaley, C. R., Dibley, M. J., & Roberts, C. L. (2011). Type of Delivery Attendant,
Place of Delivery and Risk of Early Neonatal Mortality Analyses of the
1994–2007 Indonesia Demographic and Health Surveys. Health Policy and
Planning , 8, 9.
Titaley, C. R., Dibley, M. J., Agho, K., Roberts, C. L., & Hall, J. (2008).
Determinants of Neonatal Mortality in Indonesia. BMC Public Health , 1-15.
Tura, G., Fantahun, M., & Worku, A. (2013). The Effect of Health Facility Delivery
on Neonatal Mortality: Systematic Review and Meta-Analysis. BMC
Pregnancy and Childbirth , 1-9.
Turnbull, E., Lembalemba, M. K., Guffey, M. B., Bolton-Moore, C., MubianaMbewe, M., Chintu, N., et al. (2011). Causes of Stillbirth, Neonatal Death
and Early Childhood Death in Rural Zambia by Verbal Autopsy
Assessments. Tropical Medicine and International Health , 897.
United Nations. (2013). The Millennium Development Goals Report 2013. New
York: United Nations.
Upadhyay, R., Dwivedi, P., Rai, S., Misra, P., Kalaivani, M., & Krishnan, A. (2012).
Determinants of Neonatal Mortality in Rural Haryana: A Retrospective
Population Based Study. Indian Pediatric , 291-294.
Vandresse, M. (2008). Estimation of a Structural Model of the Determinants of
Neonatal Mortality in Hungary, 1984-88 and 1994-98. Population Studies ,
85-111.
Wells, J. C. (2000). Natural Selection and Sex Differences in Morbidity and Mortality
in Early Life. J. Theor. Biol. , 70, 71.
Whalley, J., Simkin, P., & Keppler, A. (2008). Panduan Praktis Bagi Calon Ibu:
Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: BIP.
WHO. (2014). Global Health Observatory (GHO): Neonatal Mortality. Retrieved
Februari
5,
2014,
from
World
Health
Organization:
http://www.who.int/gho/child_health/mortality/neonatal_text/en/index.html
WHO. (2006). Neonatal and Perinatal Mortality Country, Regional and Global
Estimates. Geneva: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data.
WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan dan Rujukan. Jakarta: Kemenkes RI.
173
Wijayanti, A. C. (2013). Hubungan Jumlah Anak yang Dilahirkan Terhadap
Kejadian Kematian Neonatal (Analisis Data SDKI 2007). Depok:
Universitas Indonesia.
Wiklund, I., Andolf, E., Lilja, H., & Hildingsson, I. (2012). Indications for Cesarean
Section on Maternal Request-Guidelines for Counseling and Treatment.
Sexual & Reproductive Healthcare , 104.
Wiknjosastro, H., Saifuddin, A. B., & Rachimhadhi, T. (2002). Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wong, D. L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Terjemahan Monica
Ester. Jakarta: EGC.
Yani, D. F., & Duarsa, A. B. (2013). Pelayanan Kesehatan Ibu dan Kematian
Neonatal. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional , 373.
Yanping, W., Lei, M., Li, D., Chunhua, H., Xiaohong, L., Mingrong, L., et al. (2010).
A Study on Rural-Urban Differences in Neonatal Mortality Rate in China,
1996-2006. Journal Epidemiology Community Health , 935-936.
Yego, F., Williams, J. S., Byles, J., Nyongesa, P., Aruasa, W., & D'Este, C. (2013). A
Retrospective Analysis of Maternal and Neonatal Mortality at A Teaching
and Referral Hospital in Kenya. Reproductive Health , 1-8.
Yi, B., Wu, L., Liu, H., Fang, W., Hu, Y., & Wang, Y. (2011). Rural-Urban
Differences of Neonatal Mortality in A Poorly Developed Province of China.
BMC Public Health , 1-6.
Zakariah, A. Y., Alexander, S., Roosmalen, J. v., Buekens, P., Kwawukume, E. Y., &
Frimpong, P. (2009). Reproductive Age Mortality Survey (RAMOS) in
Accra, Ghana. Reproductive Health , 1-5.
Zimba, E., Kinney, M. V., Kachale, F., Waltensperger, K. Z., Blencowe, H.,
Colbourn, T., et al. (2012). Newborn Survival in Malawi: A Decade of
Change and Future Implications. Oxford University Press , iii96.
174
LAMPIRAN-LAMPIRAN
175
KUESIONER
176
Pertanyaan Terkait Umur dan Pendidikan Ibu
177
Pertanyaan Terkait Status Pekerjaan Ibu
178
Pertanyaan Terkait Indeks Kekayaan Rumah Tangga
179
180
181
182
Pertanyaan Terkait Kematian Neonatal dan Jenis Kelamin Bayi
Pertanyaan Terkait Paritas
183
Pertanyaan Terkait Kunjungan Antenatal
184
Pertanyaan Terkait Komplikasi Kehamilan
185
Pertanyaan Terkait Penolong Persalinan
Pertanyaan Terkait Cara Persalinan
Pertanyaan Terkait Tempat Persalinan
186
HASIL UJI STATISTIK
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Tingkat Pendidikan Ibu *
Kematian Neonatal
Missing
Percent
7138
N
Total
Percent
100.0%
0
.0%
N
Percent
7138
100.0%
Tingkat Pendidikan Ibu * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Tingkat
Pendidikan Ibu
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
59
4852
4911
% within Tingkat Pendidikan
Ibu
1.2%
98.8%
100.0%
Count
20
2207
2227
% within Tingkat Pendidikan
Ibu
.9%
99.1%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Tingkat Pendidikan
Ibu
1.1%
98.9%
100.0%
Rendah
Tinggi
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp.
Sig. (2sided)
1.288a
1
.256
Continuity Correction
1.026
1
.311
Likelihood Ratio
1.338
1
.247
Pearson Chi-Square
b
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.274
.155
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
b
1.288
1
.256
7138
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.65.
b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary
Cases
Valid
Pekerjaan Ibu * Kematian
Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
187
Pekerjaan Ibu * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Pekerjaan Ibu
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
62
3841
3903
% within Pekerjaan Ibu
1.6%
98.4%
100.0%
Count
17
3218
3235
% within Pekerjaan Ibu
.5%
99.5%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Pekerjaan Ibu
1.1%
98.9%
100.0%
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.000
.000
Bekerja
Tidak bekerja
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
18.263a
1
.000
Continuity Correctionb
17.304
1
.000
Likelihood Ratio
19.688
1
.000
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
b
N of Valid Cases
18.260
1
.000
7138
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 35.80.
b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary
Cases
Valid
Indeks Kekayaan Rumah
Tangga * Kematian Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
Indeks Kekayaan Rumah Tangga * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Indeks Kekayaan Rumah
Tangga
Rendah
Menengah
Tinggi
Total
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
47
4709
4756
% within Indeks Kekayaan
Rumah Tangga
1.0%
99.0%
100.0%
Count
17
1179
1196
% within Indeks Kekayaan
Rumah Tangga
1.4%
98.6%
100.0%
Count
15
1171
1186
% within Indeks Kekayaan
Rumah Tangga
1.3%
98.7%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Indeks Kekayaan
Rumah Tangga
1.1%
98.9%
100.0%
188
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
a
2
2
1
.375
.390
.265
1.963
1.885
1.240
7138
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 13.13.
Case Processing Summary
Cases
Valid
Umur Ibu * Kematian
Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
Umur Ibu * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Umur Ibu
0
1
Total
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
33
1947
1980
% within Umur Ibu
1.7%
98.3%
100.0%
Count
46
5112
5158
% within Umur Ibu
.9%
99.1%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Umur Ibu
1.1%
98.9%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
7.848
a
1
.005
Continuity Correction
7.157
1
.007
Likelihood Ratio
7.242
1
.007
Pearson Chi-Square
b
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
b
N of Valid Cases
7.847
1
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1-sided)
.008
.005
.005
7138
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21.91.
b. Computed only for a 2x2 table
189
Case Processing Summary
Cases
Valid
Jenis Kelamin * Kematian
Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
Jenis Kelamin * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Meninggal
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Tidak meninggal
Total
Count
45
3680
3725
% within Jenis Kelamin
1.2%
98.8%
100.0%
Count
34
3379
3413
% within Jenis Kelamin
1.0%
99.0%
100.0%
Perempuan
Total
Count
79
7059
7138
% within Jenis Kelamin
1.1%
98.9%
100.0%
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.429
.230
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
.730a
1
.393
Continuity Correction
.550
1
.458
Likelihood Ratio
.734
1
.392
Pearson Chi-Square
b
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
b
N of Valid Cases
.730
1
.393
7138
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 37.77.
b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary
Cases
Valid
Paritas * Kematian Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
190
Paritas * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Paritas
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
23
1342
1365
% within Paritas
1.7%
98.3%
100.0%
Count
56
5717
5773
% within Paritas
1.0%
99.0%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Paritas
1.1%
98.9%
100.0%
>=4
1-3
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
5.156
a
1
.023
Continuity Correction
4.523
1
.033
Likelihood Ratio
4.624
1
.032
Pearson Chi-Square
b
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.030
.020
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
5.155
N of Valid Casesb
7138
1
.023
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.11.
b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary
Cases
Valid
Kunjungan Antenatal *
Kematian Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
Kunjungan Antenatal * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Kunjungan Antenatal
Tidak
Iya
Total
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
45
2643
2688
% within Kunjungan
Antenatal
1.7%
98.3%
100.0%
Count
34
4416
4450
% within Kunjungan
Antenatal
.8%
99.2%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Kunjungan
Antenatal
1.1%
98.9%
100.0%
191
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
12.681a
1
.000
Continuity Correction
11.863
1
.001
Likelihood Ratio
12.189
1
.000
Pearson Chi-Square
b
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.001
.000
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
b
N of Valid Cases
12.679
1
.000
7138
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 29.75.
b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary
Cases
Valid
Komplikasi Kehamilan *
Kematian Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
Komplikasi Kehamilan * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Komplikasi Kehamilan
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
12
415
427
% within Komplikasi
Kehamilan
2.8%
97.2%
100.0%
Count
67
6644
6711
% within Komplikasi
Kehamilan
1.0%
99.0%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Komplikasi
Kehamilan
1.1%
98.9%
100.0%
Komplikasi
Tidak komplikasi
Total
Chi-Square Tests
df
Asymp. Sig. (2sided)
12.042
a
1
.001
Continuity Correction
10.444
1
.001
Likelihood Ratio
8.687
1
.003
Value
Pearson Chi-Square
b
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
b
N of Valid Cases
12.041
1
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.002
.002
.001
7138
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.73.
b. Computed only for a 2x2 table
192
Case Processing Summary
Cases
Valid
Penolong Persalinan *
Kematian Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
Penolong Persalinan * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Penolong Persalinan
Non Nakes
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
24
1887
1911
% within Penolong
Persalinan
1.3%
98.7%
100.0%
Count
55
5172
5227
% within Penolong
Persalinan
1.1%
98.9%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Penolong
Persalinan
1.1%
98.9%
100.0%
Nakes
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
.530a
1
.466
Continuity Correction
.361
1
.548
Likelihood Ratio
.516
1
.472
Pearson Chi-Square
b
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.446
.270
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
b
N of Valid Cases
.530
1
.467
7138
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21.15.
b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary
Cases
Valid
Persalinan Caesar *
Kematian Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
193
Persalinan Caesar * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Persalinan Caesar
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
9
562
571
% within Persalinan Caesar
1.6%
98.4%
100.0%
Count
70
6497
6567
% within Persalinan Caesar
1.1%
98.9%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Persalinan Caesar
1.1%
98.9%
100.0%
Caesar
Tidak caesar
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
1.250
a
1
.264
Continuity Correction
.827
1
.363
Likelihood Ratio
1.117
1
.290
Pearson Chi-Square
b
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.291
.178
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
1.249
N of Valid Casesb
7138
1
.264
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.32.
b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary
Cases
Valid
Tempat Persalinan *
Kematian Neonatal
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
7138
100.0%
0
.0%
7138
100.0%
Tempat Persalinan * Kematian Neonatal Crosstabulation
Kematian Neonatal
Tempat Persalinan
Non Fasyankes
Fasyankes
Total
Meninggal
Tidak meninggal
Total
Count
45
4231
4276
% within Tempat Persalinan
1.1%
98.9%
100.0%
Count
34
2828
2862
% within Tempat Persalinan
1.2%
98.8%
100.0%
Count
79
7059
7138
% within Tempat Persalinan
1.1%
98.9%
100.0%
194
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
.288a
1
.592
Continuity Correction
.177
1
.674
Likelihood Ratio
.286
1
.593
Pearson Chi-Square
b
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
b
N of Valid Cases
.288
1
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.645
.335
.592
7138
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31.68.
b. Computed only for a 2x2 table
195
Download