PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 TINJAUAN YURIDIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PUTUSAN NOMOR 301/PDT.G/2012/P.A.BTM Dwi Afni Maelani Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam, Indonesia [email protected] ABSTRAK Berdasarkan rumusan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Pada putusan pengadilan Agama Nomor : 301/Pdt.G/2012/PA.Btm dengan isi putusan hakim dalam perkara tersebut tidak mengabulkan gugatan penggugat atas harta bersama yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam artian tidak terjadi rumusan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Asumsi peneliti bahwa hasil keputusan hakim Pengadilan Agama dalam putusannya sepertinya tidak memberikan keadilan atas perkara harta bersama tersebut. Untuk itu Peneliti ingin mencari dasar pembenar pada dasar hukumnya mengapa dalam gugatan Nomor register: 301/Pdt.G/2012/PA.Btm hakim memutuskan tidak mengabulkan gugatan sipenggugat. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan mengangkat judul “Tinjauan Yuridis Atas Pertimbangan Hakim Mengenai Pembagian Harta Bersama Dalam Putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm”. Rumusan masalahnya bagaimana dasar hukum Hakim Pengadilan Agama dalam Putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmtidak dikabulkannya permohonan pembagian harta bersama dan Bagaimana analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim dalam putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmpembagian harta bersama.Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian ini dilakukan secara normatif oleh karena penelitian ini sifatnya kepustakaan mengkaji suatu dokumen yang mana suatu putusan yang dibuat oleh hakim pengadilan agama dalam hal ini putusan Nomor : 301/Pdt.G/2012/PA.Btm. sumber data yang digunakan yaitu data sekunder dengan studi pustaka dan dianalisa secara kualitatif.Hasil penelitian mengenai dasar-dasar hukum Hakim Pengadilan Agama dalam Putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmtidak dikabulkannya permohonan pembagian harta bersama terdapat pada tidak dapat dibuktikan oleh penggugat harta yang didalilkan penggugat merupakan sebagian haknya. Penggugat hanya mampu menunjukkan fotokopi akta kepemilikan harta tersebut dan tidak dapat menunjukkan akta asli kepemilikan harta yang didalilkan penggugat sebagai harta bersama. Dasar hukum hakim yang digunakan adalah Pasal 163 Het Herzience Indonesia Jo Pasal 283 Rechts Reglement Voor de Buitengwesten Jo Pasal 1865 KUH Perdata “setiap orang yang mendalilkan bahwa dia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri ataupun membatah hak orang lain diwajibkan membuktikan haknya tersebut” dan Pasal 1888 KUH Perdata “kekuatan pembuktian suatu bukti tertulis adalah pada akta aslinya” Secara analisis pertimbangan hakim pada putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmpembagian harta bersama. Penggugat tidak dapat membuktikan harta yang didalilkan sebagaihartabersama dengan akta asli oleh karena akta tersebut dikuasai oleh tergugat. Tentu setiap tergugat tidak akan mau membuktikan hal tersebut dalam persidangan. Tidak ada peraturan yang mengharuskan tergugat harus turut serta membuktikan apa yang didalilkan penggugat. Untuk itu hakim seharusnya proaktif untuk membuktikan kebenaran terhadap harta yang didalilakan tergugat sebagai harta bersama. Kata Kunci :Putusan, PembagianHartaBersama, Keadilan A. PENDAHULUAN Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat 1. Berdasarkan penegasan ini, dibentuknya suatu keluarga harus berdasarkan perkawinan. 185 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang akan menimbulkan akibat-akibat hukum. Dengan melakukan perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban dari suami maupun istri dalam suatu rumah tangga. Pada umumnya suami mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga dan istri mengurus rumah tangga dan segala keperluan untuk anak dan suami. Akibat hukum lain dari perkawinan salah satunya adalah adanya harta bersama. Yang dimaksud dalam harta bersama dalam hal ini adalah Harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Sesuai yang digariskan dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang selanjutnya disingkat UU Perkawinan. Apabila tujuan dari perkawinan tidak tercapai kemungkinan putusnya perkawinan bisa terjadi. Ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan harus diputuskan ditengah jalan atau terputus dengan sendirinya.Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 38 oleh karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Melakukan perkawinan memiliki akibat hukum dan putusnya suatu perkawinan juga memiliki akibat hukum. Putusnya perkawinan berakibat hukum terhadap hak asuh anak apabila anak masih di bawah umur dan terhadap harta bersama yang dipeoleh selama masa perkawinan.Dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai pembagian harta bersama pada pihak-pihak yang telah melakukan perceraian perkawinan. Harta perkawinan diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Bab VII, pasal 35-37. Harta perkawinan digolongkan menjadi dua bagian, yaitu harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta bendayang diperoleh selama perkawinan dan selama tidak ditentukan lain. Ditentukan lain disini mengandung artian bahwa harta tersebut tidak diperoleh dari hadiah atau warisan. Untuk itu perlu harus dipahami pengertian dari harta bersama. Menurut UUPerkawinan: Pasal 35 ayat (1) : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” 186 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Pasal 35 ayat (2) : “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Dalam artian harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan dan apabila memiliki harta bawaan berupa hadiah dan warisan tidaklah harta bersama. Sejak berlakunya Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, penyelesaian perkawinan bagi yang beragama Islam menjadi wewenang pengadilan agama, diawali dengan pengajuan gugatan ke pengadilan agama setempat. Dalam perkara dalam Pengadilan Agama Batam, yang terdaftar dalam Nomor register: 301/Pdt.G/2012/PA.Btm dengan Penggugat mengajukan Gugatan harta bersama,sebelum mengajukan gugatan, Penggugat telah bercerai sebelumnya dengan akta cerai Nomor: 071/AC/2012/PA/BTM dengan tertanggal 30 Januari 2012. Dalam gugatan harta bersama tersebut di atas yang menjadi penggugat adalah mantan suami dan tergugat adalah mantan istri.Masa perkawinan yang pernah mereka alami selama 7 (tujuh) tahundan tidak memiliki anak.Dalam perkawinan kehidupan perekenomian digolongkan dalam perekeonomian menengah ke bawah oleh karena penggugat dan tergugat dalam kehidupan keseharian hidup berkecukupan. Gugatan harta bersama setelah mengalami proses persidangan dalam penyelesaian perkara tersebut akan menghasilkan suatu putusan yang dibuat oleh hakim Pengadilan Agama. Untuk perkara Nomor register: 301/Pdt.G/2012/PA.Btm, bahwa dalam putusan hakim dalam perkara tersebut tidak mengabulkan gugatan harta bersama yang diperoleh dalam masa perkawinan. Pada dasarnya penggugat dan tergugat sama-sama memiliki hak atas harta bersama walaupun akhir-akhir ini sitergugat yang menguasai.Hasil keputusan hakim Pengadilan Agama dalam putusannya sepertinya tidak memberikan keadilan atas perkara harta bersama tersebut.Peneliti merasa dalam perkara ini tidak adanya asas keadilan. Untuk itu Peneliti ingin pembenar dasar hukumnya mengapa dalam gugatan Nomor register: 301/Pdt.G/2012/PA.Btm hakim memutuskan tidak mengabulkan gugatan sipenggugat.Tidak hanya menemukan dasar hukumnya tetapi ditinjau secara yuridis dalam penggunaan dasar hukum tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan mengangkat 187 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 judul “Tinjauan Yuridis Atas Pertimbangan Hakim Mengenai Pembagian Harta Bersama Dalam Putusan Nomor:301/Pdt.G/2012/PA.Btm” Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka diidentifikasi permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni penelitian ini terfokus pada suatu rumusan masalah. Untuk itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana dasar hukum Hakim Pengadilan Agama dalam Putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmtidak dikabulkannya permohonan pembagian harta bersama? Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah melahirkan struktur baru dalam peradilan agama yang menambah praktek peradilan yang lama.1Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah mengalami dua kali perubahan yaitu Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Tujuan utama dari Undang-Undang Peradilan Agama adalah penataan organisasi dan kerja pengadilan agama, sehingga menjadi pengadilan modern, sejajar dengan pengadilanpengadilan lain yang berlaku di Indonesia. Adapun Kewenangan Peradilan Agama dijelaskan Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, shadaqah dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Dalam perubahan kedua Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 kewenangan peradilan agama mengalami perubahan yaitu terdapatnya 9 (sembilan) kewenangan Pengadilan Agama dari yang sebelumnya cuma 7 (tujuh).Kesembilan kewenangan tersebut adalah kewenangan untuk menangani persoalan hukum umat Islam di bidang (1) perkawinan, (2) waris, (3)wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8) zakat dan (9) ekonomi syari’ah. Jadi ada tambahan 2 kewenangan Pengadilan Agama, yaitu zakat dan ekonomi syari’ah. Perkawinan adalah salah satu kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nomor1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu seperti disebut dalam penjelasan Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama Nomor7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. 1 Satjipto Raharjo, Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga, Jakarta PP IKAHI, 1994, hal.300 188 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Menurut Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila perkawinanputus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1Tahun 1974 tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang pembagian harta bersama. Semula dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan dapat terwujud unifikasi hukum harta perkawinan, namun mengenai harta bersama pengaturannya dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum tegas, disebabkan pengaturan tentang harta bersama masih bersifat pluralistik, maka diperlukan adanya suatu peraturan hukum yang jelas untuk mewujudkan penegakan hukum yang adil. Untuk memfasilitasi sarana hukum sesuai dengan Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 maka dirumuskanlah Kompilasi Hukum Islam yang dilegalisir dengan instrumen hukum yakni Instruksi Presiden (Inpres Republik Indonesia Tahun 1991). Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 pada konsiderannya huruf (b) menyatakan dengan tegas bahwa Kompilasi Hukum Islam dapat digunakan sebagai pedoman oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dalam menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, kewarisan, dan pewakafan. Kompilasi Hukum Islam mengatur pokok-pokok materi hukum lembaga harta bersama yang dimuat dalam Bab XIII terdiri dari 13 Pasal yakni Pasal 85 sampai dengan Pasal 97diuraikan sebagai berikut: a. Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing 1) Harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya (suami atau istri) 2) Harta bersama menjadi milik bersama suami istri dan terpisah sepenuhnya dari harta pribadi. b. Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan : 1) Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama 2) Tanpa mempersoalkan siapa yang mencari 3) Juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar 189 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 c. Tanpa persetujuan bersama, suami atau istri tidak boleh mengasingkan atau memindahkan. d. Hutang untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama. e. Dalam perkawinan serial atau poligami, wujud harta bersama, terpisah antar suami masing-masing istri. f. g. Apabila perkawinan pecah (mati, cerai); 1) Harta bersama dibagi dua 2) Masing-masing mendapat setengah (seperdua) bagian 3) Apabila terjadi cerai mati, bagian bagi yang meninggal menjadi tirkah. Sita marital atas dasar harta bersama diluar gugat cerai (Pasal 95) 1) Ketentuan ini diperluas dari Pasal 24 ayat 2 huruf a dan c ; Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975; 2) Suami istri dapat meminta sita marital kepada Pengadilan Agama apabila salah satu pihak boros atau penjudi.2 Ruang lingkup harta bersama yaitu uraian yang memberikan penjelasan bagaimana cara menentukan apakah suatu harta termasuk atau tidak dalam kategori sebagai objek harta bersama antara suami istri dalam suatu perkawinan. Dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun yurisprudensi, memang telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama, namun secara in-concrito tidaklah sesederhana itu dalam penerapannya. Melalui pendekatan yurisprudensi dan putusan pengadilan, ada 5 (lima) hal atau patokan yang menentukan, termasuk dalam lingkup harta bersama.3 a. Harta yang dibeli selama perkawinan Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk dalamkategori objek harta bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan pembelian.4Jadi, setiap pembelian suatu barang yang dilakukan selama dalam ikatan perkawinan, maka harta atau barang tersebut menjadi harta bersama. Hal yang demikian tanpa mempersoalkan, apakah istri atau suami yang membeli, apakah harta itu 2 M.Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Garuda, hal. 183. Ibid, hal.302 4 Ibid,hal.303 3 190 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 tercatat/terdaftar atas nama suami atau istri. Dengan kata lain, apa saja yang dibeliselama dalam ikatan perkawinan otomatis menjadi harta bersama. Perlu pula ditegaskan, barang yang dibeli dengan menggunakan harta bawaan tidak termasuk harta bersama. b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama. 5 Untuk menentukan sesuatu barang termasuk objek harta bersama adalah ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun sesudah terjadi perceraian bersama. Gambaran tentang patokan kedua ini adalah misalnya suami istri mempunyai simpanan di bank yang dikuasai suami atau istri sebagai harta bersama. Kemudian terjadi perceraian, tapi tidak sempat dibagi harta bersama tersebut. Namun, suami atau istri yang menguasai simpanan itu membeli barang atau bangunan dengan uang simpanan tersebut, maka barang yang dibeli atau bangunan itu menjadi harta bersama c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan6 Patokan ketiga ini adalah sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni bahwa semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan adalah harta bersama. Namun patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang termasuk objek harta bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan melalui pembuktian. Sebab hak kepemilikan biasa dialihkan berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah. d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan7 Patokan keempat ini menentukan bahwa baik penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, maupun penghasilan yang tumbuh dari hasil pribadi atau istri. Dengan demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Dengan kata lain, barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh daripadanya, jatuh menjadi harta bersama. e. Segala penghasilan pribadi suami istri8 5 Ibid,hal.304 Ibid, hal.305 7 Ibid, hal.306 6 191 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Patokan yang kelima ini menentukan bahwa sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami istri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum sepanjang suami istri tidak menentukan lain yang didasarkan atas perjanjian perkawinan. Perceraian membawa akibat hukum pada status para pihak dalam perkawinan dan harta perkawinan. Akibat hukum perceraian terhadapharta perkawinan dalam UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab VII mulai Pasal 35, 36 dan 37. Apabila terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak dalam perkawinan, perlu ada penentuan kepemilikan harta selama dalam hubungan perkawinan, sehingga mudah ditentukan harta mana yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. Dalam hal perceraian dapat segera ditentukan harta mana yang menjadi hak istri dan harta mana yang menjadi hak suami. Harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan merupakan harta bersama. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 khususnya Pasal 37 telah menentukan bilamana perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukum masingmasing. Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan membuka peluang hukum lainnya mengatur harta bersama tersebut. Pengaturan tersebut sangat abstrak dan umum serta tidak bersifat rinci. Undang-undang bagaimana tentang harta bersama dan juga tidak menentukan tata cara pembagiannya serta jumlah masing-masing. Melalui putusan-putusannya, hakim menilai dan memberikan interpretasi pada ketentuan-ketentuan tersebut dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, walaupun undang-undang mengatur secara abstrak dan umum, nilai keadilan dalam masyarakat harus tetap diperhatikan. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga 8 Ibid,hal.171 192 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. 9 Jika demikian bagaimana pandangan keadilan menurut kaidah-kaidah atau aturanaturan yang berlaku umum yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat atau hukum positif (Indonesia).10 Secara konkrit hukum adalah perangkat asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat, baik yang merupakan kekerabatan, kekeluargaan dalam suatu wilayah negara. Dan masyarakat hukum itu mengatur kehidupannya menurut nilai-nilai sama dalam masyarakat itu sendiri (shared value) atau sama-sama mempunyai tujuan tertentu. 11 John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions).Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.12 Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness”.13 Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asali” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu. Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua 9 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal. 239. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 2000, hal. 4. 11 Ibid. 12 Ibid, hal.139-140. 13 Ibid, 10 193 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.14 Memberikan dan mencantumkan konsep keadilan dalam suatu putusan oleh hakim berdasarkan ketentuan hukum positif yang telah ditentukan seperti dalam perkara pembagian harta bersama dalam konsep Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Perceraian Perceraian harus diuraikan dalam bagian ini oleh karena perceraian yang membuat akibat dari pembagian harta bersama akan terjadi. Pengertian percerian dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan perngertian perceraian scara nyata. Sehingga pengertian perceraian diambil dari doktrin agama yang mana pengertian ataupun defenisi perceraian disebut dengan “Thalaq diambil dari kata “ithlaq” artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah syara’, thalaqadalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.15 Tetapi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinanmengatur mengenai perceraian yang mana dalam hal penyebab putusnya perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 38 jo Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : Perkawinan dapat putus karena : 1. Kematian 2. Perceraian 3. Putusan pengadilan Putusnya perkawinan karena perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dikenal ada 2 (dua) bentuk yaitu : 1. Cerai talak 2. Cerai Gugat 14 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006. 15 Sayyid Sabiq, Fiqh, Sunnah, Jilid II, Darul Turats, Qahirah, hal.206 194 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Cerai talak maksudnya, cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus.16 Cerai gugat sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 73 ayat(1) : Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat, mengenai substansi cerai gugat ialah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh istri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. 17 Undang-undang Perkawinan tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian, namun untuk terjadinya perceraian haruslah memenuhi ketentuan yaitu: 1) Adanya alasan-alasan yang secara limitatif telah ditentukan oleh Undangundang dan tidak dibenarkan perceraian tanpa alasan (persetujuan dua belah pihak/suami atau istri) dan 2) Perceraian baru dianggap sah, apabila dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang. Apabila telah sah terjadi perceraian maka menimbulkan akibat hukum bagi anak, istri, suami dan harta kekayaan(Pasal 41 dan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) Pengertian Harta Bersama Secara etimologi, harta bersama adalah dua kosakata yang terdiri dari kata harta dan kata bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua kata pengertian harta. Pertama,harta adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. Kedua, Harta adalah kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Harta bersama adalah hartayang diperoleh secara bersama di dalam perkawinan.18 Menurut terminologi, harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami istri selama perkawinan. Di Jawa, harta bersama disebut dengan istilah gono gini, di Sunda 16 Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Penyuluhan Hukum, Jakarta, Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992), hal.6 17 Ibid, hal.68 18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa ind, Jakarta, Balai Pustaka, 1988, hal.299 195 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 disebut guna kaya, di Bugis disebut cakara,atau bali reso, di Banjar disebut harta berpantangan, dan lain-lain.19 Pada tiap-tiap daerah masyarakat mengenal harta bersama dengan istilah yang berbeda, namun pada hakikatnya adalah sama. Kesamaan ini terletak pada harta benda suami istri yang dihibahkan menjadi harta bersama Disamping ketentuan yang telah disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 mengenai harta bersama, maka pengertian harta dalam perkawinan dapat dikembangkan menjadi 3 (tiga) macam harta dan dirinci sebagai berikut: 1) Harta bawaan, yang dimaksud ialah harta yang diperoleh suami istri pada saat atau sebelum melakukan perkawinan, dapat dikatakan bahwa harta tersebut sebagai pemilik asli dari suami atau istri. Pemilikan terhadap harta bawaan (harta pribadi) dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan. 2) Harta pribadi, yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau istri selama perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat, atau warisan yang diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan. 3) Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baik diperoleh lewat perantaraan istri maupun lewat perantaraan suami. Harta ini diperoleh sebagai “hasil karya” dari suami istri dalam kaitan dalam perkawinan Pada harta bersama terdapat pengertian yang menonjol yaitu “bahwa perolehannya atas hasil karya mereka dan dalam masa perkawinan”. Dua syarat ini adalah pengertian secara kumulatif dalam harta bersama. Berbeda dengan harta bawaan, yaitu harta tersebut telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan dan harta pribadi diperoleh secara pribadi yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan. Pengertian harta perkawinan ini disebutkan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab I Ketentuan Hukum butir (f), sebagai berikut : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun 19 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia, 1986, hal.232 196 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Pernyataan di atas mempertegas klausula, karya suami istri dalam masa perkawinanuntuk terwujudnya harta bersama tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta (benda) itu didaftarkan dalam kata lain bukanlah nama orang yang terdaftar terhadap benda itu saja yang mempunyai hak tapi suami istri mempunyai hak yang sama Dalam literatur lama fikih Islam bidang perkawinan tidak dijumpai pembahasan mengenai harta bersama. M.Yahya Harahap mengatakan bahwa doktrin hukum fiqih tidak ada membahasmasalah harta bersama suami istri dalam perkawinan. Hal ini diakui oleh para Ulama Indonesia pada saat mereka diwawancarai dalam rangka penyusunan Kompilasi Hukum Islam.Namun mereka setuju mengambil syarikat ‘badansebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah hukum yang berkenaan dengan harta bersama.20 Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 Undang-undangPerkawinanNomor1 Tahun 1974 ayat (1) : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normative, yang mengacu pada kepustakaan. Artinya penelitian yuridis normatif yang menitikberatkan pada penelitian peraturan perundang-undangan, yang sumber datanya study pustaka.Objek kajian dalam penelitian ini putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm dalam perkara pembagian harta bersama. Penelitian ini tidak melakukan studi lapangan.Bahan hukum primer adalah sebagai berikut, Undang-Undang Dasar 1945, Het Inlandsch Reglement(aturan-aturan Hukum Acara Perdata), Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama,Kompilasi Hukum Islam, dan Putusan Pengadilan Agama Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa buku ilmu hukum, dan hasil karya ilmiah yang berhubungan dengan hukum perdata khususnya dalam hukum acara perdata.Dan bahan hukum tersier, berupa pencarian 20 M.Yahya Harahap,Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,Op.Cit,hal.297 197 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 data melalui internet dan surat kabar yang berhubungan dengan penegakan hukum perdata dan hukum hukum acara perdata C. PEMBAHASAN Pengertian Harta Bersama Pengertian yang dikemukakan di atas, hampir sama dengan pengertian yang diberikan B. ter Haar, yang mengatakan bahwa dalam arti umum harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh suami isteri selama perkawinan.21 Sesuai dengan pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan bubar. Kalau begitu harta bersama yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah, sampai saat perkawinan pecah baik oleh karena salah satu pihak meninggal atau oleh karena perceraian, maka seluruh harta-harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Menurut Yahya Harahap, hal-hal yang termasuk harta bersama antara lain;22 1). Harta yang dibeli selama perkawinan, 2). Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama, 3). Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan di luar hibah dan warisan, 4). Penghasilan harta bersama dan harta bawaan, 5). Segala penghasilan pribadi suami istri. Pembagian Harta Bersama Karena Perceraian Hidup Berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama di atur menurut hukumnya masing-masing”. Yang dimaksud “hukumnya masing-masing” dalam penjelasan UU No. 1 Ttahun 1974 tersebut, adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. 21 22 B. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta, Negara Pradnya Pramita, 1960, hal 193 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Pustaka kartini, 1993, hal.. 302-306 198 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Istilah hukumnya masing-masing, salah satunya adalah menunjukkan kepada hukum agama yang dianut oleh orang yang bersengketa tersebut. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, melalui Pasal 49 dan penjelasannya ayat 2 angka 10 bahwa : “yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah penyelesaian harta bersama”. Berdasarkan demikian, sengketa harta bersama di kalangan orang yang beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama, karena termasuk dalam bidang perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tidak mengatur secara tegas pembagian harta bersama bila terjadi perceraian diantara suami istri. Ketentuan mengenai pembagian dan besarnya porsi perolehan masing-masing suami istri dari harta bersama apabila terjadi perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, atau istri hilang, dapat kita jumpai di dalam ketentuan Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 96 mengatakan : a. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasanganyang hidup lebih lama. b. Pembagian harta bersama bagi suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 ditegaskan bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Kekuasaaan Hakim Dalam Melakukan PutusanPengadilanAgama Peradilan Agama dalam bentuk sekarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, merupakan lembaga peradilan yang utuh. 23 Sebagai sub sistem dari pelaksana kekuasaan kehakiman, Peradilan agama menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan dalam perkara tertentu bagi orang yang beragama Islam. Kekuasaan Hakim Pada Peradilan Agama 23 H.A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hal. 8 199 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Pengertian tentang kekuasaan kehakiman dikemukakan dalam UU No.4 Tahun 2004 yang selanjutnya disebut sebagai UU Kehakiman.Disebutkan melalui Pasal 1 UU Kehakimantersebut, kekuasaan kehakiman adalah “Kekuasaan Negara yang merdeka untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.” Penyelenggaraan dari kekuasaan kehakiman diserahkan kepada mahkamah agung dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi untuk menerima, memeriksa, dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya dan tugas lain yang diberikan. Hakim di dalam menjalankan tugasnya dituntut memiliki keberanian untuk menegakkan hukum dan keadilan tanpa pamrih dan tanpa pandang bulu, sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU Kehakiman yang berbunyi “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” Menurut Paul Scholten, pentingnyaintegritas moral adalah: “Bahwa keputusan hukum seorang yuris, bukan saja seorang hakim adalah suatu keputusan berdasarkan hati nurani”. Semuanya itu menunjuk kepada pendapat bahwa keputusan hakim bukanlah semata-mata soal teknis formalitas belaka, melainkan erat bertahan dengan moral dan kesusilaan. 24 Putusan Pengadilan Agama Produk hakim dari hasil pemeriksaan dalam persidangan ada 3 (tiga) macam, yaitu (1) Putusan; (2) penetapan; dan (3) akta perdamaian. Begitu juga dalam peradilan agama akan menghasilkan ketiga produk tersebut. Dalam pembahasan skripsi ini akan membahas dalam produk hakim dalam putusan pengadilan agama. Penjelasan pasal 60 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agamamemberi definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.” Sedangkan Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap putusan, bahwa “Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk 24 Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara Pidana, Jakarta, Aksara Persada Indonesia, 1987, hal 35-36 200 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan.”25 Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., putusan hakim adalah “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”.26 Setelah hakim mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, maka pemeriksaan pada perkara dinyatakan selesai kemudian dijatuhkan putusan.27 Menurut Ahmad Ali, semua putusan hakim yang telah memunyai kekuatan yang pasti (inkracht van gewijsde) dan yang merupakan hasil produk penemuan hukum hakim, maka dapat dibedakan sebagai berikut.28 1) Penemuan hukum oleh hakim yang hanya sekedar menjadi jalan bagi hakim untuk menerapkan hukum dalam kasus konkret, tetapi sama sekali tidak mempunyai efek terhadap penyesuaian hukum pada perubahan masyarakat maupun efek melakukan perekayasaan masyarakat. 2) Penemuan hukum oleh hakim yang merupakan karya hakim untuk menyesuaikan hukum yang dianggap sudah using atau ketinggalan terhadap perubahan masyarakat atau masyarakat yang telah mengalami perubahan. 3) Penemuan hukum oleh hakim yang merupakan karya hakim untuk memerankan hukum sebagai a tool of social engineering. Didalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana putusan hakim harus dibuat. Hanyalah apa yang harus dimuat dalam putusan diatur dalam Pasal 183, 184, 187 HIR (Pasal 194, 195, 198 RBG), UU No. 4 Tahun 2004, 27 RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het belied der Justitie in Indonesie: Reglemen tentang Organisasi Kehakiman), 61 Rv. 29 Identitas dan Kedudukan Para Pihak Produk hakim berbentuk putusan harus menerangkan identitas para pihak.sebagaimanagugatan. Ketentuan harus memuat identitas para pihak tertuang dalam Pasal 8 Nomor 3 Reglement Op de Burgerlijke Rechts Vordering (RV) menyatakan bahwa gugtan harus memuat (1) identitas para pihak; (2) dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan 25 Dewi, Gemala, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta, kencana, 2005, hal48 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1993,Hal. 174 27 Ibid, hal. 209. 28 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2008, hal. 160. 29 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 220. 26 201 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 yang merupakan dasar alasan-alasan tuntutan (fundamentum petendi); dan (3) tuntutan (petitum). Gugatan memunyai sekurang-kurangnya dua pihak, maka dalam putusan harus dimuat identitas para pihak. Identitas yang dimaksud sekurang-kurangnya memuatnama, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal, kuasa hukum, alamat kantor kuasa hukum, dan kedudukan dari para pihak serta nama dari pengacaranya (jika ada). Duduk Perkara Dalam duduk perkara tercantum konvensi, jawaban, replik, duplik, intervensi, vrijwaring, hasil pemeriksaan setempat, alat bukti penggugat, alat bukti tergugat, dan kesimpulan tergugat dan tergugat. Pertimbangan Hukum Considerans atau pertimbangan hukum hakim memuat: pertimbangan eksepsi, pertimbangan pokok perkara, pertimbangan rekonvensi, dan pertimbangan intervensi. Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah alasanalasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan demikian, sehingga oleh karenanya memunyai nilai obyektif. Alasan dan dasar putusan harus dimuat dalam pertimbangan putusan (Pasal 184 HIR, 195 Rbg, dan 23 UU 14/1970).Dalam peraturan tersebut mengharuskan setiap putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban, alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak pada waktu putusan diucapkan oleh hakim. Sebagai dasar putusan, maka gugatan dan jawaban harus dimuat dalam putusan.Pasal 184 HIR (Pasal 195 Rbg) menentukan bahwa tuntutan atau gugatan dan jawaban cukup dimuat secara ringkas saja dalam putusan.Di dalam praktek tidak jarang terjadi seluruh gugatan dimuat dalam putusan. Adanya alasan sebagai dasar putusan menyebabkan putusan mempunyai nilai obyektif. Maka oleh karena itu Pasal 178 ayat 1 HIR (Pasal 189 ayat 1 Rbg) dan 50 Rv mewajibkan hakim karena jabatannya melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak. Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan yang tidak 202 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (Onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan kasasi dan harus dibatalkan. Dasar hukum yang terdapat pada pertimbangan hakim Pengadilan Agama terdiri dari Peraturan Perundang-undangan Negara dan hukum syara’ 30.Peraturan perundang-undangan Negara disusun urutan derajatnya, misalnya Undang-Undang didahulukan dari Peraturan Pemerintah, lalu urutan tahun terbitnya. Dasar hukum syara’ diusahakan mencarinya dari al-Qur’an, baru hadits, baru Qaul Fuqaha’, yang diterjemahkan juga menurut bahasa hukum mengutip al-Qur’an harus menyebut nomor surat, nama surat, dan nomor ayat. Mengutip hadits harus menyebut siapa sanadnya, bunyi matannya, siapa pentakhrijnya dan disebutkan pula dikutip dari kitab apa. Kitab ini harus disebutkan juga siapa pengarang, nama kitab, penerbit, kota tempat diterbitkan, tahun terbit, jilid dan halamannya. Mengutip qaul fuqaha’ juga harus menyebut kitabnya selengkapnya seperti di atas, apalagi bukan tidak ada kitab yang sama judulnya tapi beda pengarangnya. Amar Putusan Amar atau dictum memuat: kata “Mengadili”, provisi, konvensi, intervensi tentang pokok perkara, dalam konvensi, rekonvensi, dan intervensi tentang biaya perkara.Amar merupakan jawaban terhadap petitum (tuntutan) daripada gugatan. Ini berarti bahwa diktum merupakan tanggapan terhadap petitum. Hal ini tersebut terkait dengan adanya suatu asas, bahwa: “Hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut”. (Pasal 178 ayat (2) dan (3), pasal 189 ayat (2) dan (3) Rbg). Amar dibagi menjadi apa yang disebut deklaratif dan apa yang disebut diktum atau dispositif. Bagian yang disebut deklaratif merupakan penetapan daripada hubungan hukum yang menjadi sengketa.Adapun bagian yang disebut dispositif ialah yang memberi hukum atau hukumannya; yang menolak atau mengabulkan gugatannya.31 Kasus Posisi Perkara Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm Perkara Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm merupakan perkara pembagian harta bersama antara Ibnu Walid Bin Aang Rasyid dan Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oe. Mereka berdua dulunyaadalah pasangan suami istri yang sah, telah melakukan 30 http://pompsyaiful.com/tsaqofah/pengertian-hukum-syara-sebuah-pendahuluan-ushul-fiqh.html. Jumat, 20 Juni 2014, 12:00 WIB 31 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Kencana, 2011, hal. 84. 203 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 perkawinan pada tanggal, 13 Juni 2007, sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akta Nikah, Nomor: 0692/62/VI/2007, yang diterbitkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kota Batam pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Nongsa, Kota Batam tanggal, 13 Juni 2007. Diantara Ibnu Walid Bin Aang Rasyid dan Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oeterjadi percekcokan dalam rumah tangganya. Ibnu Walid Bin Aang Rasyidmerasa kerukunan rumah tangganya tidak dapat dipertahankan lagi maka mengajukan permohonan talak ke Pengadilan Agama Batam. Pada tanggal 30 Januari 2012, Ibnu Walid Bin Aang Rasyid mengucapkan Ikrar Talak kepadaMerry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oe. Sejak diucapkan ikrar talak kepada Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oe maka mereka syah berpisah (Cerai). Berdasarkan catatan di Pengadilan Agama Batam permohonan Izin Cerai Talak di Pengadilan Agama Batam sesuai dengan AKTA CERAI, No. 071 / AC / 2012 / PA / BTM, tanggal, 30 Januari 2012. Perkara pembagian harta bersama merupakan perkara perdata yang diselesaikan dalam Pengadilan Agama, sehingga penyelesaian dalam perkara ini dilakukan dengan hukum acara perdata.Baik itu pihak-pihak yang layak dalam berperkara dan tata aturan dalam berperkara diatur sesuai dengan hukum acara perdata. Pihak pihak yang berperkara dalam perkara nomor register 301/Pdt.G/2012/PA.Btm adalah Ibnu Walid Bin Aang Rasyid dan Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oe. Sebagai penggugat Ibnu Walid Bin Aang Rasyid dengan identitas beragama Islam, bertempat tinggal di Taman Sentosa Indah, Blok. E, No. 11, RT/RW : 005/001, Kelurahan. Sungai Panas, Kecamatan Batam Kota, Kota Batam. Menggugat Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oe, beragama Islam, bertempat tinggal di Taman Sentosa Indah, Blok. E, No. 11, RT/RW : 005/001, Kelurahan. Sungai Panas, Kecamatan Batam Kota, Kota Batam, yang kemudian dalam perkara nomor register 301/Pdt.G/2012/PA.Btm. Pasal 22 A.B (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Indonesie) berbunyi:“Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”. Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan 204 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Gugatan diajukan ke pengadilan agama batam maka hakim yang ditunjuk dalam perkara Nomor 301/Pdt.G/2012/PA.Btm di pengadilan agama tidak dapat menolak untuk mengadili kecuali para pihak yang berperkata tersebut memiliki hubungan keluarga atau hubungan darah dengan para pihak yang berperkara. Dasar hukum hakim dalam mengadili perkara Nomor 301/Pdt.G/2012/PA.Btm dalam beracara dan menyelesaikan permasalahan menggunakan hukum positif yang berlaku bagi negara Indonesia, seperti pada Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 163 Het Herzience Indonesia atau Pasal 283 Rechts Reglement Voor de Buitengwesten, Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan dasar hukum yang diuraikan majelis hakim maka tidak dapatlah dilakukan suatu pembagian harta menurut Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam.Peneliti menganalisis bahwa hukum yang berlaku dalam pembagian harta bersama belum mencerminkan keadilan dalam menyelesaikan suatu permasalahan disamping hakim yang kurang aktif dalam menyelesaikan perkara perselisihan harta bersama.Seharusnya boleh saja hakim secara aktif menanyakan kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional) tentang keaslian dari sertifikat yang ditunjukkan fotokopi dari harta yang didalilkan oleh penggugat. Dalam proses beracara tidak diwajibkan penggugat untuk membuktikan kebenaran yang didalilkan oleh penggugat. D. KESIMPULAN Dasar hukum Hakim Pengadilan Agama dalam Putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmtidak dikabulkannya permohonan pembagian harta bersama terdapat pada tidak dapat dibuktikan oleh penggugat harta yang didalilkan penggugat merupakan sebagian haknya. Penggugat hanya mampu menunjukkan fotokopi akta kepemilikan harta tersebut dan tidak dapat menunjukkan akta asli kepemilikan harta yang didalilkan penggugat sebagai harta bersama. Secara analisis yuridis dalam pertimbangan hakim pada putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmpembagian harta bersama.Penggugat tidak dapat membuktikan harta yang didalilkan penggugat dengan akta asli oleh karena akta tersebut 205 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 dikuasai oleh tergugat. Tentu setiap tergugat tidak akan mau membuktikan hal tersebut dalam persidangan. Ini menunjukkan hukum yang dimiliki oleh negara Indonesia belum mencerminkan keadilan yang mana pada dasarnya setiap hukum yang berlaku dan dijadikan suatu acuan yang mana diyakini menjadi peraturan yang adil. Tidak ada peraturan yang mengharuskan tergugat harus turut serta membuktikan apa yang didalilkan penggugat. Untuk itu hakim seharusnya proaktif untuk membuktikan kebenaran terhadap harta yang didalilkan tergugat sebagai harta bersama. Para hakim telah mempergunakan dasar hukum yang ada untuk acuan sebagai hukum positif (hukum yang berlaku di indonesia) dalam mengadili perkara khususnya perkara pembagian harta bersama. Pada dasarnya setiap hukum yang berlaku dan dijadikan dasar hukum dianggap adil bagi yang memberlakukanya. Perkara pembagian harta bersama tersebut diatas disesuaikan dengan dasar-dasar hukum yang ada menjadi cerminan dalam suatu konsep keadilan, tetapi dalam perkara ini dasar-dasar hukum tersebut tidak mencerminkan keadilan. Saran saya terhadap dasar hukum yang dipergunakan dalam pembuktian seharusnya mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak.Secara analisis tidaklah mungkin secara sukarela tergugat turut serta dalam pembuktian yang didalilkan oleh penggugat sebagai harta bersama, dalam posisi seperti ini peneliti menyarankan bahwa hakim harus melakukan tugasnya dengan baik sebagai hakim yang proaktif dalam mencari kebenaran. DAFTAR PUSTAKA Buku Ali, Ahmad,Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2008 Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2011 Arto, H.A.Mukti,Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003 Dewantara, Nanda Agung, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara Pidana, Jakarta, Aksara Persada Indonesia, 1987 Dewi, Gemala, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta, kencana, 2005 206 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Fauzan,Uzair dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006. Friedrich, Carl Joachim , Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004 Haar, B. Ter, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta, Negara Pradnya Pramita, 1960 Harahap, M.Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Pustaka kartini, 1993 Kusumaatmadja, Mochtardan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 2000 Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung,Mandar Maju,1994 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006 Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung,Citra Aditya Bakti, 1993 Muhammad, Abdulkadir, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003 _________________, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004 Raharjo, Satjipto Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga, Jakarta PP IKAHI, 1994 Sabiq, Sayyid, Fiqh, Sunnah, Jilid II, Darul Turats, Qahirah Snelbecker, Lexy J.Moleong, Rosdakarya, 2002 Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung,Remaja Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali, 1985 _______________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986 _______________, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995 Sugeng, Bambang dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Kencana, 2011 Suryabrata, Samadi, Metodelogi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998 207 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Thalib, Sayuthi,Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, UI Press, 1986 Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Het Inlandsch Reglement(Hukum Acara Perdata) Kompilasi Hukum Islam Putusan Pengadilan Agama Kota Batam NOMOR:301/Pdt.G/2012/PA.Btm Kamus : Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Penyuluhan Hukum, Jakarta, Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa ind, Jakarta, Balai Pustaka, 1988 Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia, 1986 Internet : http://advokatku.blogspot.com/2010, diakses Jumat, tanggal 2 Mei 2014, Pukul 14:00 WIB. http://pompsyaiful.com/tsaqofah/pengertian-hukum-syara-sebuah-pendahuluan-ushulfiqh.html. Jumat, 20 Juni 2014 208