PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 185 TINJAUAN YURIDIS

advertisement
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
TINJAUAN YURIDIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI PEMBAGIAN
HARTA BERSAMA DALAM PUTUSAN NOMOR 301/PDT.G/2012/P.A.BTM
Dwi Afni Maelani
Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan
Batam, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK
Berdasarkan rumusan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa “Janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.” Pada putusan pengadilan Agama Nomor : 301/Pdt.G/2012/PA.Btm dengan isi putusan hakim
dalam perkara tersebut tidak mengabulkan gugatan penggugat atas harta bersama yang diperoleh dalam masa
perkawinan dalam artian tidak terjadi rumusan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Asumsi peneliti bahwa hasil
keputusan hakim Pengadilan Agama dalam putusannya sepertinya tidak memberikan keadilan atas perkara harta
bersama tersebut. Untuk itu Peneliti ingin mencari dasar pembenar pada dasar hukumnya mengapa dalam
gugatan Nomor register: 301/Pdt.G/2012/PA.Btm hakim memutuskan tidak mengabulkan gugatan sipenggugat.
Oleh karena itu dalam penelitian ini akan mengangkat judul “Tinjauan Yuridis Atas Pertimbangan Hakim
Mengenai Pembagian Harta Bersama Dalam Putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm”. Rumusan masalahnya
bagaimana dasar hukum Hakim Pengadilan Agama dalam Putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmtidak
dikabulkannya permohonan pembagian harta bersama dan Bagaimana analisis yuridis terhadap pertimbangan
hakim dalam putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmpembagian harta bersama.Penelitian ini termasuk jenis
penelitian hukum normatif. Penelitian ini dilakukan secara normatif oleh karena penelitian ini sifatnya
kepustakaan mengkaji suatu dokumen yang mana suatu putusan yang dibuat oleh hakim pengadilan agama
dalam hal ini putusan Nomor : 301/Pdt.G/2012/PA.Btm. sumber data yang digunakan yaitu data sekunder
dengan studi pustaka dan dianalisa secara kualitatif.Hasil penelitian mengenai dasar-dasar hukum Hakim
Pengadilan Agama dalam Putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmtidak dikabulkannya permohonan
pembagian harta bersama terdapat pada tidak dapat dibuktikan oleh penggugat harta yang didalilkan penggugat
merupakan sebagian haknya. Penggugat hanya mampu menunjukkan fotokopi akta kepemilikan harta tersebut
dan tidak dapat menunjukkan akta asli kepemilikan harta yang didalilkan penggugat sebagai harta bersama.
Dasar hukum hakim yang digunakan adalah Pasal 163 Het Herzience Indonesia Jo Pasal 283 Rechts Reglement
Voor de Buitengwesten Jo Pasal 1865 KUH Perdata “setiap orang yang mendalilkan bahwa dia mempunyai
suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri ataupun membatah hak orang lain diwajibkan membuktikan
haknya tersebut” dan Pasal 1888 KUH Perdata “kekuatan pembuktian suatu bukti tertulis adalah pada akta
aslinya” Secara analisis pertimbangan hakim pada putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmpembagian harta
bersama. Penggugat tidak dapat membuktikan harta yang didalilkan sebagaihartabersama dengan akta asli oleh
karena akta tersebut dikuasai oleh tergugat. Tentu setiap tergugat tidak akan mau membuktikan hal tersebut
dalam persidangan. Tidak ada peraturan yang mengharuskan tergugat harus turut serta membuktikan apa yang
didalilkan penggugat. Untuk itu hakim seharusnya proaktif untuk membuktikan kebenaran terhadap harta yang
didalilakan tergugat sebagai harta bersama.
Kata Kunci :Putusan, PembagianHartaBersama, Keadilan
A.
PENDAHULUAN
Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat
1. Berdasarkan penegasan ini, dibentuknya suatu keluarga harus berdasarkan perkawinan.
185
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang akan menimbulkan akibat-akibat
hukum. Dengan melakukan perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban dari suami maupun
istri dalam suatu rumah tangga. Pada umumnya suami mencari nafkah untuk kebutuhan
keluarga dan istri mengurus rumah tangga dan segala keperluan untuk anak dan suami.
Akibat hukum lain dari perkawinan salah satunya adalah adanya harta bersama. Yang
dimaksud dalam harta bersama dalam hal ini adalah Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan. Sesuai yang digariskan dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang selanjutnya disingkat UU Perkawinan.
Apabila tujuan dari perkawinan tidak tercapai kemungkinan putusnya perkawinan bisa
terjadi. Ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan
harus diputuskan ditengah jalan atau terputus dengan sendirinya.Sebab-sebab putusnya
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 38 oleh karena kematian, perceraian
dan atas keputusan pengadilan.
Melakukan perkawinan memiliki akibat hukum dan putusnya suatu perkawinan juga
memiliki akibat hukum. Putusnya perkawinan berakibat hukum terhadap hak asuh anak
apabila anak masih di bawah umur dan terhadap harta bersama yang dipeoleh selama masa
perkawinan.Dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai pembagian harta bersama
pada pihak-pihak yang telah melakukan perceraian perkawinan.
Harta perkawinan diatur dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, Bab VII, pasal 35-37. Harta perkawinan digolongkan menjadi dua bagian, yaitu
harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta bendayang diperoleh selama
perkawinan dan selama tidak ditentukan lain. Ditentukan lain disini mengandung artian
bahwa harta tersebut tidak diperoleh dari hadiah atau warisan.
Untuk itu perlu harus dipahami pengertian dari harta bersama. Menurut UUPerkawinan:
Pasal 35 ayat (1) : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”
186
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Pasal 35 ayat (2) : “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Dalam artian harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa
perkawinan dan apabila memiliki harta bawaan berupa hadiah dan warisan tidaklah harta
bersama. Sejak berlakunya Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama,
penyelesaian perkawinan bagi yang beragama Islam menjadi wewenang pengadilan agama,
diawali dengan pengajuan gugatan ke pengadilan agama setempat.
Dalam perkara dalam Pengadilan Agama Batam, yang terdaftar dalam Nomor
register:
301/Pdt.G/2012/PA.Btm
dengan
Penggugat
mengajukan
Gugatan
harta
bersama,sebelum mengajukan gugatan, Penggugat telah bercerai sebelumnya dengan akta
cerai Nomor: 071/AC/2012/PA/BTM dengan tertanggal 30 Januari 2012.
Dalam gugatan harta bersama tersebut di atas yang menjadi penggugat adalah mantan
suami dan tergugat adalah mantan istri.Masa perkawinan yang pernah mereka alami selama 7
(tujuh) tahundan tidak memiliki anak.Dalam perkawinan kehidupan perekenomian
digolongkan dalam perekeonomian menengah ke bawah oleh karena penggugat dan tergugat
dalam kehidupan keseharian hidup berkecukupan.
Gugatan harta bersama setelah mengalami proses persidangan dalam penyelesaian
perkara tersebut akan menghasilkan suatu putusan yang dibuat oleh hakim Pengadilan
Agama. Untuk perkara Nomor register: 301/Pdt.G/2012/PA.Btm, bahwa dalam putusan
hakim dalam perkara tersebut tidak mengabulkan gugatan harta bersama yang diperoleh
dalam masa perkawinan.
Pada dasarnya penggugat dan tergugat sama-sama memiliki hak atas harta bersama
walaupun akhir-akhir ini sitergugat yang menguasai.Hasil keputusan hakim Pengadilan
Agama dalam putusannya sepertinya tidak memberikan keadilan atas perkara harta bersama
tersebut.Peneliti merasa dalam perkara ini tidak adanya asas keadilan.
Untuk itu Peneliti ingin pembenar dasar hukumnya mengapa dalam gugatan Nomor
register:
301/Pdt.G/2012/PA.Btm
hakim
memutuskan
tidak
mengabulkan
gugatan
sipenggugat.Tidak hanya menemukan dasar hukumnya tetapi ditinjau secara yuridis dalam
penggunaan dasar hukum tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan mengangkat
187
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
judul “Tinjauan Yuridis Atas Pertimbangan Hakim Mengenai Pembagian Harta Bersama
Dalam Putusan Nomor:301/Pdt.G/2012/PA.Btm”
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka diidentifikasi permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini, yakni penelitian ini terfokus pada suatu rumusan masalah.
Untuk itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana dasar hukum Hakim
Pengadilan Agama dalam Putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btmtidak dikabulkannya
permohonan pembagian harta bersama?
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
telah melahirkan struktur baru dalam peradilan agama yang menambah praktek peradilan
yang lama.1Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah mengalami dua kali perubahan yaitu
Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang 50 tahun 2009 tentang Peradilan
Agama. Tujuan utama dari Undang-Undang Peradilan Agama adalah penataan organisasi dan
kerja pengadilan agama, sehingga menjadi pengadilan modern, sejajar dengan pengadilanpengadilan lain yang berlaku di Indonesia.
Adapun Kewenangan Peradilan Agama dijelaskan Pasal 49 Undang-undang Peradilan
Agama Nomor 7 Tahun 1989 yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, shadaqah dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam. Dalam perubahan kedua Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 kewenangan peradilan agama mengalami perubahan yaitu terdapatnya 9 (sembilan)
kewenangan Pengadilan Agama dari yang sebelumnya cuma 7 (tujuh).Kesembilan
kewenangan tersebut adalah kewenangan untuk menangani persoalan hukum umat Islam di
bidang (1) perkawinan, (2) waris, (3)wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8)
zakat dan (9) ekonomi syari’ah. Jadi ada tambahan 2 kewenangan Pengadilan Agama, yaitu
zakat dan ekonomi syari’ah.
Perkawinan adalah salah satu kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Perkawinan Nomor1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 yaitu seperti disebut dalam penjelasan Pasal 49 Undang-undang Peradilan
Agama Nomor7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.
1
Satjipto Raharjo, Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga, Jakarta PP IKAHI, 1994, hal.300
188
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Menurut Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan
bahwa apabila perkawinanputus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud “hukumnya masing-masing” adalah
hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1Tahun 1974 tidak memberikan
keseragaman hukum positif tentang pembagian harta bersama. Semula dengan keluarnya
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan dapat
terwujud unifikasi hukum harta perkawinan, namun mengenai harta bersama pengaturannya
dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum tegas, disebabkan
pengaturan tentang harta bersama masih bersifat pluralistik, maka diperlukan adanya suatu
peraturan hukum yang jelas untuk mewujudkan penegakan hukum yang adil.
Untuk memfasilitasi sarana hukum sesuai dengan Pasal 49 Undang-undang Peradilan
Agama Nomor 7 Tahun 1989 maka dirumuskanlah Kompilasi Hukum Islam yang dilegalisir
dengan instrumen hukum yakni Instruksi Presiden (Inpres Republik Indonesia Tahun 1991).
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 pada konsiderannya huruf (b) menyatakan dengan
tegas bahwa Kompilasi Hukum Islam dapat digunakan sebagai pedoman oleh instansi
pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dalam menyelesaikan sengketa di bidang
perkawinan, kewarisan, dan pewakafan.
Kompilasi Hukum Islam mengatur pokok-pokok materi hukum lembaga harta
bersama yang dimuat dalam Bab XIII terdiri dari 13 Pasal yakni Pasal 85 sampai dengan
Pasal 97diuraikan sebagai berikut:
a. Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing
1) Harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya
(suami atau istri)
2) Harta bersama menjadi milik bersama suami istri dan terpisah sepenuhnya dari harta
pribadi.
b.
Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan :
1) Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama
2) Tanpa mempersoalkan siapa yang mencari
3) Juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar
189
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
c.
Tanpa persetujuan bersama, suami atau istri tidak boleh mengasingkan atau
memindahkan.
d.
Hutang untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama.
e.
Dalam perkawinan serial atau poligami, wujud harta bersama, terpisah antar suami
masing-masing istri.
f.
g.
Apabila perkawinan pecah (mati, cerai);
1)
Harta bersama dibagi dua
2)
Masing-masing mendapat setengah (seperdua) bagian
3)
Apabila terjadi cerai mati, bagian bagi yang meninggal menjadi tirkah.
Sita marital atas dasar harta bersama diluar gugat cerai (Pasal 95)
1)
Ketentuan ini diperluas dari Pasal 24 ayat 2 huruf a dan c ; Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
2)
Suami istri dapat meminta sita marital kepada Pengadilan Agama apabila salah
satu pihak boros atau penjudi.2
Ruang lingkup harta bersama yaitu uraian yang memberikan penjelasan bagaimana
cara menentukan apakah suatu harta termasuk atau tidak dalam kategori sebagai objek harta
bersama antara suami istri dalam suatu perkawinan. Dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun yurisprudensi, memang telah menentukan segala
harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta
bersama, namun secara in-concrito tidaklah sesederhana itu dalam penerapannya.
Melalui pendekatan yurisprudensi dan putusan pengadilan, ada 5 (lima) hal atau
patokan yang menentukan, termasuk dalam lingkup harta bersama.3
a.
Harta yang dibeli selama perkawinan
Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk dalamkategori
objek harta bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan pembelian.4Jadi, setiap
pembelian suatu barang yang dilakukan selama dalam ikatan perkawinan, maka harta
atau barang tersebut menjadi
harta bersama. Hal
yang demikian tanpa
mempersoalkan, apakah istri atau suami yang membeli, apakah harta itu
2
M.Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Garuda, hal. 183.
Ibid, hal.302
4
Ibid,hal.303
3
190
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
tercatat/terdaftar atas nama suami atau istri. Dengan kata lain, apa saja yang
dibeliselama dalam ikatan perkawinan otomatis menjadi harta bersama. Perlu pula
ditegaskan, barang yang dibeli dengan menggunakan harta bawaan tidak termasuk
harta bersama.
b.
Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama. 5
Untuk menentukan sesuatu barang termasuk objek harta bersama adalah ditentukan
oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan,
meskipun sesudah terjadi perceraian bersama.
Gambaran tentang patokan kedua ini adalah misalnya suami istri mempunyai
simpanan di bank yang dikuasai suami atau istri sebagai harta bersama. Kemudian
terjadi perceraian, tapi tidak sempat dibagi harta bersama tersebut. Namun, suami atau
istri yang menguasai simpanan itu membeli barang atau bangunan dengan uang
simpanan tersebut, maka barang yang dibeli atau bangunan itu menjadi harta bersama
c.
Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan6
Patokan ketiga ini adalah sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni bahwa
semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan adalah harta bersama. Namun
patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang termasuk objek harta bersama atau
tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan melalui pembuktian. Sebab hak
kepemilikan biasa dialihkan berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah.
d.
Penghasilan harta bersama dan harta bawaan7
Patokan keempat ini menentukan bahwa baik penghasilan yang tumbuh dari harta
bersama, maupun penghasilan yang tumbuh dari hasil pribadi atau istri. Dengan
demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan ikut menopang dan meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di
bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari
kepentingan keluarga. Dengan kata lain, barang pokoknya memang tidak boleh
diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh daripadanya, jatuh menjadi harta bersama.
e.
Segala penghasilan pribadi suami istri8
5
Ibid,hal.304
Ibid, hal.305
7
Ibid, hal.306
6
191
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Patokan yang kelima ini menentukan bahwa sepanjang mengenai penghasilan pribadi
suami istri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadi penggabungan
ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi
menurut hukum sepanjang suami istri tidak menentukan lain yang didasarkan atas
perjanjian perkawinan.
Perceraian membawa akibat hukum pada status para pihak dalam perkawinan dan
harta perkawinan. Akibat hukum perceraian terhadapharta perkawinan dalam UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab VII mulai Pasal 35, 36 dan 37.
Apabila terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak dalam perkawinan, perlu ada
penentuan kepemilikan harta selama dalam hubungan perkawinan, sehingga mudah
ditentukan harta mana yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. Dalam hal perceraian
dapat segera ditentukan harta mana yang menjadi hak istri dan harta mana yang menjadi hak
suami.
Harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan merupakan harta bersama.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 khususnya Pasal 37 telah menentukan
bilamana perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukum masingmasing. Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan membuka peluang hukum lainnya
mengatur harta bersama tersebut. Pengaturan tersebut sangat abstrak dan umum serta tidak
bersifat rinci. Undang-undang bagaimana tentang harta bersama dan juga tidak menentukan
tata cara pembagiannya serta jumlah masing-masing.
Melalui putusan-putusannya, hakim menilai dan memberikan interpretasi pada
ketentuan-ketentuan tersebut dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dalam
masyarakat. Dengan demikian, walaupun undang-undang mengatur secara abstrak dan
umum, nilai keadilan dalam masyarakat harus tetap diperhatikan.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak
diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut
merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga
8
Ibid,hal.171
192
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik
untuk mengaktualisasikannya. 9
Jika demikian bagaimana pandangan keadilan menurut kaidah-kaidah atau aturanaturan yang berlaku umum yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat atau hukum
positif (Indonesia).10 Secara konkrit hukum adalah perangkat asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat, baik yang merupakan kekerabatan,
kekeluargaan dalam suatu wilayah negara. Dan masyarakat hukum itu mengatur
kehidupannya menurut nilai-nilai sama dalam masyarakat itu sendiri (shared value) atau
sama-sama mempunyai tujuan tertentu. 11
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”,
berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial
(social
institutions).Akan tetapi, kebajikan bagi
seluruh masyarakat
tidak dapat
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh
rasa keadilan.Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.12
Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa
setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri,
termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep
atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.Dengan konsep itu Rawls
menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya
disebut sebagai “Justice as fairness”.13
Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asali” terdapat prinsip-prinsip
keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan
yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial,
ekonomi pada diri masing-masing individu.
Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa
program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua
9
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal. 239.
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang
Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 2000, hal. 4.
11
Ibid.
12
Ibid, hal.139-140.
13
Ibid,
10
193
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan
dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu
mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik.14
Memberikan dan mencantumkan konsep keadilan dalam suatu putusan oleh hakim
berdasarkan ketentuan hukum positif yang telah ditentukan seperti dalam perkara pembagian
harta bersama dalam konsep Kompilasi Hukum Islam Indonesia.
Perceraian
Perceraian harus diuraikan dalam bagian ini oleh karena perceraian yang membuat
akibat dari pembagian harta bersama akan terjadi. Pengertian percerian dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan perngertian perceraian
scara nyata. Sehingga pengertian perceraian diambil dari doktrin
agama yang mana
pengertian ataupun defenisi perceraian disebut dengan “Thalaq diambil dari kata “ithlaq”
artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah syara’, thalaqadalah melepaskan ikatan
perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.15
Tetapi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinanmengatur
mengenai perceraian yang mana dalam hal penyebab putusnya perkawinan sebagaimana
disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 38 jo Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan : Perkawinan dapat putus karena :
1.
Kematian
2.
Perceraian
3.
Putusan pengadilan
Putusnya perkawinan karena perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dikenal ada
2 (dua) bentuk yaitu :
1.
Cerai talak
2.
Cerai Gugat
14
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
15
Sayyid Sabiq, Fiqh, Sunnah, Jilid II, Darul Turats, Qahirah, hal.206
194
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Cerai talak maksudnya, cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, sehingga
perkawinan mereka menjadi putus.16
Cerai gugat sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Peradilan Agama Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 73 ayat(1) : Gugatan perceraian diajukan oleh
istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin tergugat, mengenai substansi cerai gugat ialah cerai yang didasarkan atas
adanya gugatan yang diajukan oleh istri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. 17
Undang-undang Perkawinan tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian,
namun untuk terjadinya perceraian haruslah memenuhi ketentuan yaitu:
1)
Adanya alasan-alasan yang secara limitatif telah ditentukan oleh Undangundang dan tidak dibenarkan perceraian tanpa alasan (persetujuan dua belah
pihak/suami atau istri) dan
2)
Perceraian baru dianggap sah, apabila dilakukan di depan sidang pengadilan
yang berwenang. Apabila telah sah terjadi perceraian maka menimbulkan
akibat hukum bagi anak, istri, suami dan harta kekayaan(Pasal 41 dan Pasal 37
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
Pengertian Harta Bersama
Secara etimologi, harta bersama adalah dua kosakata yang terdiri dari kata harta dan
kata bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua kata pengertian harta.
Pertama,harta adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. Kedua,
Harta adalah kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum
dimiliki perusahaan. Harta bersama adalah hartayang diperoleh secara bersama di dalam
perkawinan.18
Menurut terminologi, harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami istri
selama perkawinan. Di Jawa, harta bersama disebut dengan istilah gono gini, di Sunda
16
Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Penyuluhan Hukum, Jakarta, Dirjen Binbaga Islam,
1991/1992), hal.6
17
Ibid, hal.68
18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa ind, Jakarta, Balai Pustaka, 1988, hal.299
195
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
disebut guna kaya, di Bugis disebut cakara,atau bali reso, di Banjar disebut harta
berpantangan, dan lain-lain.19
Pada tiap-tiap daerah masyarakat mengenal harta bersama dengan istilah yang
berbeda, namun pada hakikatnya adalah sama. Kesamaan ini terletak pada harta benda suami
istri yang dihibahkan menjadi harta bersama
Disamping ketentuan yang telah disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan Pasal
35 sampai dengan Pasal 37 mengenai harta bersama, maka pengertian harta dalam
perkawinan dapat dikembangkan menjadi 3 (tiga) macam harta dan dirinci sebagai berikut:
1)
Harta bawaan, yang dimaksud ialah harta yang diperoleh suami istri pada saat atau
sebelum melakukan perkawinan, dapat dikatakan bahwa harta tersebut sebagai
pemilik asli dari suami atau istri. Pemilikan terhadap harta bawaan (harta pribadi)
dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan.
2)
Harta pribadi, yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau istri selama perkawinan
berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat, atau warisan yang diperoleh secara pribadi
terlepas dari soal perkawinan.
3)
Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitannya
dengan hukum perkawinan, baik diperoleh lewat perantaraan istri maupun lewat
perantaraan suami. Harta ini diperoleh sebagai “hasil karya” dari suami istri dalam
kaitan dalam perkawinan
Pada harta bersama terdapat pengertian yang menonjol yaitu “bahwa perolehannya
atas hasil karya mereka dan dalam masa perkawinan”. Dua syarat ini adalah pengertian secara
kumulatif dalam harta bersama. Berbeda dengan harta bawaan, yaitu harta tersebut telah ada
sebelum berlangsungnya perkawinan dan harta pribadi diperoleh secara pribadi yang tidak
ada hubungannya dengan perkawinan. Pengertian harta perkawinan ini disebutkan juga dalam
Kompilasi Hukum Islam pada Bab I Ketentuan Hukum butir (f), sebagai berikut : “Harta
kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya
disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun
19
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia, 1986, hal.232
196
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Pernyataan di atas mempertegas klausula, karya suami istri dalam masa
perkawinanuntuk terwujudnya harta bersama tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta
(benda) itu didaftarkan dalam kata lain bukanlah nama orang yang terdaftar terhadap benda
itu saja yang mempunyai hak tapi suami istri mempunyai hak yang sama
Dalam literatur lama fikih Islam bidang perkawinan tidak dijumpai pembahasan
mengenai harta bersama. M.Yahya Harahap mengatakan bahwa doktrin hukum fiqih tidak
ada membahasmasalah harta bersama suami istri dalam perkawinan. Hal ini diakui oleh para
Ulama Indonesia pada saat mereka diwawancarai dalam rangka penyusunan Kompilasi
Hukum
Islam.Namun mereka
setuju mengambil
syarikat
‘badansebagai landasan
merumuskan kaidah-kaidah hukum yang berkenaan dengan harta bersama.20
Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 35 Undang-undangPerkawinanNomor1 Tahun 1974 ayat (1) : “Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka metodologi penelitian dengan menggunakan metode penelitian hukum
yuridis normative, yang mengacu pada kepustakaan. Artinya penelitian yuridis normatif yang
menitikberatkan pada penelitian peraturan perundang-undangan, yang sumber datanya study
pustaka.Objek kajian dalam penelitian ini putusan Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm dalam
perkara pembagian harta bersama. Penelitian ini tidak melakukan studi lapangan.Bahan
hukum primer adalah sebagai berikut, Undang-Undang Dasar 1945, Het Inlandsch
Reglement(aturan-aturan Hukum Acara Perdata), Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No 3 Tahun 2006
dan Undang-Undang 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama,Kompilasi Hukum Islam, dan
Putusan Pengadilan Agama Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm. Sedangkan bahan hukum
sekunder berupa buku ilmu hukum, dan hasil karya ilmiah yang berhubungan dengan hukum
perdata khususnya dalam hukum acara perdata.Dan bahan hukum tersier, berupa pencarian
20
M.Yahya Harahap,Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,Op.Cit,hal.297
197
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
data melalui internet dan surat kabar yang berhubungan dengan penegakan hukum perdata
dan hukum hukum acara perdata
C. PEMBAHASAN
Pengertian Harta Bersama
Pengertian yang dikemukakan di atas, hampir sama dengan pengertian yang diberikan
B. ter Haar, yang mengatakan bahwa dalam arti umum harta bersama adalah barang-barang
yang diperoleh suami isteri selama perkawinan.21
Sesuai dengan pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan
bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Ini berarti
terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan
sampai ikatan perkawinan bubar. Kalau begitu harta bersama yang diperoleh terhitung sejak
saat dilangsungkan akad nikah, sampai saat perkawinan pecah baik oleh karena salah satu
pihak meninggal atau oleh karena perceraian, maka seluruh harta-harta tersebut dengan
sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.
Menurut Yahya Harahap, hal-hal yang termasuk harta bersama antara lain;22
1).
Harta yang dibeli selama perkawinan,
2).
Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama,
3).
Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan di luar hibah dan warisan,
4).
Penghasilan harta bersama dan harta bawaan,
5).
Segala penghasilan pribadi suami istri.
Pembagian Harta Bersama Karena Perceraian Hidup
Berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dinyatakan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama di atur menurut
hukumnya masing-masing”. Yang dimaksud “hukumnya masing-masing” dalam penjelasan
UU No. 1 Ttahun 1974 tersebut, adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum
lainnya.
21
22
B. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta, Negara Pradnya Pramita, 1960, hal 193
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Pustaka kartini, 1993, hal..
302-306
198
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Istilah hukumnya masing-masing, salah satunya adalah menunjukkan kepada hukum
agama yang dianut oleh orang yang bersengketa tersebut. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, melalui Pasal 49 dan
penjelasannya ayat 2 angka 10 bahwa : “yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah
penyelesaian harta bersama”. Berdasarkan demikian, sengketa harta bersama di kalangan
orang yang beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama, karena termasuk dalam
bidang perkawinan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan
Agama yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tidak
mengatur secara tegas pembagian harta bersama bila terjadi perceraian diantara suami istri.
Ketentuan mengenai pembagian dan besarnya porsi perolehan masing-masing suami
istri dari harta bersama apabila terjadi perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, atau
istri hilang, dapat kita jumpai di dalam ketentuan Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum
Islam. Pasal 96 mengatakan :
a.
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasanganyang hidup lebih lama.
b.
Pembagian harta bersama bagi suami atau istri yang istri atau suaminya hilang
harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau
matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 ditegaskan bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Kekuasaaan Hakim Dalam Melakukan PutusanPengadilanAgama
Peradilan Agama dalam bentuk sekarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989, merupakan lembaga peradilan yang utuh. 23 Sebagai sub sistem dari pelaksana
kekuasaan kehakiman, Peradilan agama menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan
dalam perkara tertentu bagi orang yang beragama Islam.
Kekuasaan Hakim Pada Peradilan Agama
23
H.A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hal. 8
199
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Pengertian tentang kekuasaan kehakiman dikemukakan dalam UU No.4 Tahun 2004
yang selanjutnya disebut sebagai UU Kehakiman.Disebutkan melalui Pasal 1 UU
Kehakimantersebut, kekuasaan kehakiman adalah “Kekuasaan Negara yang merdeka
untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.”
Penyelenggaraan dari kekuasaan kehakiman diserahkan kepada mahkamah agung dan
badan-badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi untuk menerima, memeriksa, dan mengadili
setiap perkara yang diajukan kepadanya dan tugas lain yang diberikan.
Hakim di dalam menjalankan tugasnya dituntut memiliki keberanian untuk
menegakkan hukum dan keadilan tanpa pamrih dan tanpa pandang bulu, sesuai dengan Pasal
5 ayat (1) UU Kehakiman yang berbunyi “pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”
Menurut Paul Scholten, pentingnyaintegritas moral adalah: “Bahwa keputusan hukum
seorang yuris, bukan saja seorang hakim adalah suatu keputusan berdasarkan hati nurani”.
Semuanya itu menunjuk kepada pendapat bahwa keputusan hakim bukanlah semata-mata
soal teknis formalitas belaka, melainkan erat bertahan dengan moral dan kesusilaan. 24
Putusan Pengadilan Agama
Produk hakim dari hasil pemeriksaan dalam persidangan ada 3 (tiga) macam, yaitu (1)
Putusan; (2) penetapan; dan (3) akta perdamaian. Begitu juga dalam peradilan agama akan
menghasilkan ketiga produk tersebut. Dalam pembahasan skripsi ini akan membahas dalam
produk hakim dalam putusan pengadilan agama.
Penjelasan pasal 60 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agamamemberi definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan
pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.” Sedangkan Drs. H.A.
Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap putusan, bahwa “Putusan ialah pernyataan Hakim
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
24
Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara Pidana, Jakarta,
Aksara Persada Indonesia, 1987, hal 35-36
200
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan.”25 Menurut Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, S.H., putusan hakim adalah “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai
pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”.26
Setelah hakim mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, maka pemeriksaan pada
perkara dinyatakan selesai kemudian dijatuhkan putusan.27 Menurut Ahmad Ali, semua
putusan hakim yang telah memunyai kekuatan yang pasti (inkracht van gewijsde) dan yang
merupakan hasil produk penemuan hukum hakim, maka dapat dibedakan sebagai berikut.28
1) Penemuan hukum oleh hakim yang hanya sekedar menjadi jalan bagi hakim untuk
menerapkan hukum dalam kasus konkret, tetapi sama sekali tidak mempunyai efek
terhadap penyesuaian hukum pada perubahan masyarakat maupun efek melakukan
perekayasaan masyarakat.
2) Penemuan hukum oleh hakim yang merupakan karya hakim untuk menyesuaikan
hukum yang dianggap sudah using atau ketinggalan terhadap perubahan masyarakat
atau masyarakat yang telah mengalami perubahan.
3) Penemuan hukum oleh hakim yang merupakan karya hakim untuk memerankan
hukum sebagai a tool of social engineering.
Didalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana putusan hakim
harus dibuat. Hanyalah apa yang harus dimuat dalam putusan diatur dalam Pasal 183, 184,
187 HIR (Pasal 194, 195, 198 RBG), UU No. 4 Tahun 2004, 27 RO (Reglement op de
Rechterlijke Organisatie in het belied der Justitie in Indonesie: Reglemen tentang Organisasi
Kehakiman), 61 Rv. 29
Identitas dan Kedudukan Para Pihak
Produk
hakim
berbentuk
putusan
harus
menerangkan
identitas
para
pihak.sebagaimanagugatan. Ketentuan harus memuat identitas para pihak tertuang dalam
Pasal 8 Nomor 3 Reglement Op de Burgerlijke Rechts Vordering (RV) menyatakan bahwa
gugtan harus memuat (1) identitas para pihak; (2) dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan
25
Dewi, Gemala, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta, kencana, 2005, hal48
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1993,Hal. 174
27
Ibid, hal. 209.
28
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2008, hal. 160.
29
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 220.
26
201
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
yang merupakan dasar alasan-alasan tuntutan (fundamentum petendi); dan (3) tuntutan
(petitum).
Gugatan memunyai sekurang-kurangnya dua pihak, maka dalam putusan harus dimuat
identitas para pihak. Identitas yang dimaksud sekurang-kurangnya memuatnama, umur,
agama, pekerjaan, tempat tinggal, kuasa hukum, alamat kantor kuasa hukum, dan kedudukan
dari para pihak serta nama dari pengacaranya (jika ada).
Duduk Perkara
Dalam duduk perkara tercantum konvensi, jawaban, replik, duplik, intervensi,
vrijwaring, hasil pemeriksaan setempat, alat bukti penggugat, alat bukti tergugat, dan
kesimpulan tergugat dan tergugat.
Pertimbangan Hukum
Considerans atau pertimbangan hukum hakim memuat: pertimbangan eksepsi,
pertimbangan pokok perkara, pertimbangan rekonvensi, dan pertimbangan intervensi.
Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah alasanalasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai
mengambil keputusan demikian, sehingga oleh karenanya memunyai nilai obyektif. Alasan
dan dasar putusan harus dimuat dalam pertimbangan putusan (Pasal 184 HIR, 195 Rbg, dan
23 UU 14/1970).Dalam peraturan tersebut mengharuskan setiap putusan memuat ringkasan
yang jelas dari tuntutan dan jawaban, alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal serta hukum
tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak pada waktu putusan
diucapkan oleh hakim.
Sebagai dasar putusan, maka gugatan dan jawaban harus dimuat dalam putusan.Pasal
184 HIR (Pasal 195 Rbg) menentukan bahwa tuntutan atau gugatan dan jawaban cukup
dimuat secara ringkas saja dalam putusan.Di dalam praktek tidak jarang terjadi seluruh
gugatan dimuat dalam putusan.
Adanya alasan sebagai dasar putusan menyebabkan putusan mempunyai nilai
obyektif. Maka oleh karena itu Pasal 178 ayat 1 HIR (Pasal 189 ayat 1 Rbg) dan 50 Rv
mewajibkan hakim karena jabatannya melengkapi segala alasan hukum yang tidak
dikemukakan oleh para pihak. Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan yang tidak
202
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (Onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan
kasasi dan harus dibatalkan.
Dasar hukum yang terdapat pada pertimbangan hakim Pengadilan Agama terdiri dari
Peraturan Perundang-undangan Negara dan hukum syara’ 30.Peraturan perundang-undangan
Negara disusun urutan derajatnya, misalnya Undang-Undang didahulukan dari Peraturan
Pemerintah, lalu urutan tahun terbitnya.
Dasar hukum syara’ diusahakan mencarinya dari al-Qur’an, baru hadits, baru Qaul
Fuqaha’, yang diterjemahkan juga menurut bahasa hukum mengutip al-Qur’an harus
menyebut nomor surat, nama surat, dan nomor ayat. Mengutip hadits harus menyebut siapa
sanadnya, bunyi matannya, siapa pentakhrijnya dan disebutkan pula dikutip dari kitab apa.
Kitab ini harus disebutkan juga siapa pengarang, nama kitab, penerbit, kota tempat
diterbitkan, tahun terbit, jilid dan halamannya. Mengutip qaul fuqaha’ juga harus menyebut
kitabnya selengkapnya seperti di atas, apalagi bukan tidak ada kitab yang sama judulnya tapi
beda pengarangnya.
Amar Putusan
Amar atau dictum memuat: kata “Mengadili”, provisi, konvensi, intervensi tentang
pokok perkara, dalam konvensi, rekonvensi, dan intervensi tentang biaya perkara.Amar
merupakan jawaban terhadap petitum (tuntutan) daripada gugatan. Ini berarti bahwa diktum
merupakan tanggapan terhadap petitum. Hal ini tersebut terkait dengan adanya suatu asas,
bahwa: “Hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan
atas perkara yang tidak dituntut”. (Pasal 178 ayat (2) dan (3), pasal 189 ayat (2) dan (3) Rbg).
Amar dibagi menjadi apa yang disebut deklaratif dan apa yang disebut diktum atau
dispositif. Bagian yang disebut deklaratif merupakan penetapan daripada hubungan hukum
yang menjadi sengketa.Adapun bagian yang disebut dispositif ialah yang memberi hukum
atau hukumannya; yang menolak atau mengabulkan gugatannya.31
Kasus Posisi Perkara Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm
Perkara Nomor :301/Pdt.G/2012/PA.Btm merupakan perkara pembagian harta
bersama antara Ibnu Walid Bin Aang Rasyid dan Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie
Cobi Oe. Mereka berdua dulunyaadalah pasangan suami istri yang sah, telah melakukan
30
http://pompsyaiful.com/tsaqofah/pengertian-hukum-syara-sebuah-pendahuluan-ushul-fiqh.html. Jumat, 20
Juni 2014, 12:00 WIB
31
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Kencana, 2011, hal. 84.
203
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
perkawinan pada tanggal, 13 Juni 2007, sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akta Nikah,
Nomor: 0692/62/VI/2007, yang diterbitkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kota Batam pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan Nongsa, Kota Batam tanggal, 13 Juni 2007.
Diantara Ibnu Walid Bin Aang Rasyid dan Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie
Cobi Oeterjadi percekcokan dalam rumah tangganya. Ibnu Walid Bin Aang Rasyidmerasa
kerukunan rumah tangganya tidak dapat dipertahankan lagi maka mengajukan permohonan
talak ke Pengadilan Agama Batam. Pada tanggal 30 Januari 2012, Ibnu Walid Bin Aang
Rasyid mengucapkan Ikrar Talak kepadaMerry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oe.
Sejak diucapkan ikrar talak kepada Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oe maka
mereka syah berpisah (Cerai). Berdasarkan catatan di Pengadilan Agama Batam permohonan
Izin Cerai Talak di Pengadilan Agama Batam sesuai dengan AKTA CERAI, No. 071 / AC /
2012 / PA / BTM, tanggal, 30 Januari 2012.
Perkara pembagian harta bersama merupakan perkara perdata yang diselesaikan
dalam Pengadilan Agama, sehingga penyelesaian dalam perkara ini dilakukan dengan hukum
acara perdata.Baik itu pihak-pihak yang layak dalam berperkara dan tata aturan dalam
berperkara diatur sesuai dengan hukum acara perdata.
Pihak pihak yang berperkara dalam perkara nomor register 301/Pdt.G/2012/PA.Btm
adalah Ibnu Walid Bin Aang Rasyid dan Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oe.
Sebagai penggugat Ibnu Walid Bin Aang Rasyid dengan identitas beragama Islam, bertempat
tinggal di Taman Sentosa Indah, Blok. E, No. 11, RT/RW : 005/001, Kelurahan. Sungai
Panas, Kecamatan Batam Kota, Kota Batam.
Menggugat Merry Kierana Alias Mariana Binti Kie Cobi Oe, beragama Islam,
bertempat tinggal di Taman Sentosa Indah, Blok. E, No. 11, RT/RW : 005/001, Kelurahan.
Sungai Panas, Kecamatan Batam Kota, Kota Batam, yang kemudian dalam perkara nomor
register 301/Pdt.G/2012/PA.Btm.
Pasal
22
A.B
(Algemene
Bepalingen
Van
Wetgeving
voor
Indonesie)
berbunyi:“Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan
bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau
tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
204
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya”.
Gugatan diajukan ke pengadilan agama batam maka hakim yang ditunjuk dalam
perkara Nomor 301/Pdt.G/2012/PA.Btm di pengadilan agama tidak dapat menolak untuk
mengadili kecuali para pihak yang berperkata tersebut memiliki hubungan keluarga atau
hubungan darah dengan para pihak yang berperkara.
Dasar hukum hakim dalam mengadili perkara Nomor 301/Pdt.G/2012/PA.Btm dalam
beracara dan menyelesaikan permasalahan menggunakan hukum positif yang berlaku bagi
negara Indonesia, seperti pada Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 37 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 163 Het Herzience Indonesia atau Pasal 283 Rechts Reglement
Voor de Buitengwesten, Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1865 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Berdasarkan ketentuan dasar hukum yang diuraikan majelis hakim maka tidak
dapatlah dilakukan suatu pembagian harta menurut Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam.Peneliti
menganalisis bahwa hukum yang berlaku dalam pembagian harta bersama belum
mencerminkan keadilan dalam menyelesaikan suatu permasalahan disamping hakim yang
kurang aktif dalam menyelesaikan perkara perselisihan harta bersama.Seharusnya boleh saja
hakim secara aktif menanyakan kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional) tentang keaslian
dari sertifikat yang ditunjukkan fotokopi dari harta yang didalilkan oleh penggugat. Dalam
proses beracara tidak diwajibkan penggugat untuk membuktikan kebenaran yang didalilkan
oleh penggugat.
D. KESIMPULAN
Dasar
hukum
Hakim
Pengadilan
Agama
dalam
Putusan
Nomor
:301/Pdt.G/2012/PA.Btmtidak dikabulkannya permohonan pembagian harta bersama terdapat
pada tidak dapat dibuktikan oleh penggugat harta yang didalilkan penggugat merupakan
sebagian haknya. Penggugat hanya mampu menunjukkan fotokopi akta kepemilikan harta
tersebut dan tidak dapat menunjukkan akta asli kepemilikan harta yang didalilkan penggugat
sebagai harta bersama. Secara analisis yuridis dalam pertimbangan hakim pada putusan
Nomor
:301/Pdt.G/2012/PA.Btmpembagian
harta
bersama.Penggugat
tidak
dapat
membuktikan harta yang didalilkan penggugat dengan akta asli oleh karena akta tersebut
205
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
dikuasai oleh tergugat. Tentu setiap tergugat tidak akan mau membuktikan hal tersebut dalam
persidangan. Ini menunjukkan hukum yang dimiliki oleh negara Indonesia belum
mencerminkan keadilan yang mana pada dasarnya setiap hukum yang berlaku dan dijadikan
suatu acuan yang mana diyakini menjadi peraturan yang adil. Tidak ada peraturan yang
mengharuskan tergugat harus turut serta membuktikan apa yang didalilkan penggugat. Untuk
itu hakim seharusnya proaktif untuk membuktikan kebenaran terhadap harta yang didalilkan
tergugat sebagai harta bersama.
Para hakim telah mempergunakan dasar hukum yang ada untuk acuan sebagai hukum positif
(hukum yang berlaku di indonesia) dalam mengadili perkara khususnya perkara pembagian
harta bersama. Pada dasarnya setiap hukum yang berlaku dan dijadikan dasar hukum
dianggap adil bagi yang memberlakukanya. Perkara pembagian harta bersama tersebut diatas
disesuaikan dengan dasar-dasar hukum yang ada menjadi cerminan dalam suatu konsep
keadilan, tetapi dalam perkara ini dasar-dasar hukum tersebut tidak mencerminkan keadilan.
Saran saya terhadap dasar hukum yang dipergunakan dalam pembuktian seharusnya
mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak.Secara analisis tidaklah mungkin secara
sukarela tergugat turut serta dalam pembuktian yang didalilkan oleh penggugat sebagai harta
bersama, dalam posisi seperti ini peneliti menyarankan bahwa hakim harus melakukan
tugasnya dengan baik sebagai hakim yang proaktif dalam mencari kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Ahmad,Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2008
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2011
Arto, H.A.Mukti,Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2003
Dewantara, Nanda Agung, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara
Pidana, Jakarta, Aksara Persada Indonesia, 1987
Dewi, Gemala, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta, kencana, 2005
206
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Fauzan,Uzair dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
Friedrich, Carl Joachim , Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan
Nusamedia, 2004
Haar, B. Ter, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta, Negara Pradnya Pramita, 1960
Harahap, M.Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Pustaka
kartini, 1993
Kusumaatmadja, Mochtardan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 2000
Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung,Mandar Maju,1994
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006
Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung,Citra Aditya Bakti,
1993
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2003
_________________, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004
Raharjo, Satjipto Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga, Jakarta PP IKAHI, 1994
Sabiq, Sayyid, Fiqh, Sunnah, Jilid II, Darul Turats, Qahirah
Snelbecker, Lexy J.Moleong,
Rosdakarya, 2002
Metodologi
Penelitian
Kualitatif,
Bandung,Remaja
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali,
1985
_______________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986
_______________, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995
Sugeng, Bambang dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Kencana, 2011
Suryabrata, Samadi, Metodelogi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998
207
PETITA, VOL 1 No.2
Desember 2014
Thalib, Sayuthi,Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, UI Press, 1986
Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang No 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Het Inlandsch Reglement(Hukum Acara Perdata)
Kompilasi Hukum Islam
Putusan Pengadilan Agama Kota Batam NOMOR:301/Pdt.G/2012/PA.Btm
Kamus :
Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Penyuluhan Hukum, Jakarta, Dirjen
Binbaga Islam, 1991/1992
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa ind, Jakarta, Balai Pustaka,
1988
Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia, 1986
Internet :
http://advokatku.blogspot.com/2010, diakses Jumat, tanggal 2 Mei 2014, Pukul 14:00 WIB.
http://pompsyaiful.com/tsaqofah/pengertian-hukum-syara-sebuah-pendahuluan-ushulfiqh.html. Jumat, 20 Juni 2014
208
Download