109 PENGARUH PENAMBAHAN MINYAK IKAN LEMURU (Sardinella longiceps) TERHADAP KUALITAS FISIK TELUR AYAM LOHMAN BROWN PERIODE LAYER Oleh : Amiluddin Indi1) ABSTRACT This research aim to identify the effect of lemuru cod feeding in ration, degree in eggs and produce good quality eggs. Research conducted in Balebat farm, Sukorejo Village, Kendal Regency. The materials used are 120 horn chickens, with age of 22 weeks and average early weight of 1.745,2 + 8,26 g. The ration used is arranged based on isoprotein. The experiment using complete random program (rancangan acak lengkap/ RAL) with 5 treatments consists of R0: ration without lemuru cod adding; R1: 1,5% of ration and lemuru cod; R2: 3% of ration and lemuru cod; R3: 4,5% of ration and lemuru cod; R4: 6% of ration and lemuru cod. Every treatment has repeated 4 times, and every repetition has filled by 6 layer period chickens. Data has processed statistically by variety analysis. If there are any treatment effect, it will be continued with Duncan doubled distance test. The result research shows that the lemuru cod feeding in ransum has bring tangible effect The analysis shows that the lemuru cod feeding in ration has bring tangible effect (P<0,05) to the egg physic quality. The egg yolk color score from R0 to R4: 6,750 to 10,080; the eggshell thickness from R0 to R4: 0,3466 to 0,658 mm; Haugh Unit from R0 to R4: 87,673 to 98,688; Egg Index from R0 to R4: 79,165 to 72,020; The egg yolk index from R0 to R4: 0,453 to 0,805 g. Conclusion of the research is that the lemuru cod feeding in ration has decrease eggs and increase the eggyolk color, eggshell thickness, haugh unit, egg yolk index with the lemuru cod feeding in ransom to 6% can be used for layer period chickens. Keywords: Quality Physic Eggs cod. PENDAHULUAN Pemerintah selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani secara layak dan cukup. Hal ini dapat dilihat dari usaha pengembangan peternakan di Indonesia dan ternyata bahwa produksi telur dari tahun ketahun terus meningkat, baik produksi telur ayam ras maupun telur ayam kampung. Telur adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang dikenal bernilai gizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti asam-asam amino yang lengkap dan seimbang, vitamin serta mempunyai daya cerna yang cukup tinggi. Adanya presepsi dan kekhawatiran masyarakat akan produk peternakan terhadap kandungan lemak dan kolesterol perlu menjadi perhatian dalam proses pemeliharaan ternak khususnya ayam untuk menghasilkan telur yang sesuai dengan 1 keinginan dan kesehatan manusia. Telur merupakan salah satu produk peternakan yang mengandung kolesterol cukup tinggi yaitu ± 213 mg/butir telur ayam (Sim, J. S. 2000). Kolesterol telur umumnya terdapat pada kuning telur yang diproduksi di hati dan ditransport lewat darah dalam bentuk lipoprotein dan dideposit dalam folikel yang sedang berkembang (Shim, J. S. 2002). Kualitas telur semula hanya diartikan untuk menilai gizinya, penilain dari luar dan sifat-sifat lain yang dapat menetukan bahwa telur lebih baik dari pada telur yang lain (Farrell, D. J. 2000). Kisaran yang luas antara sifat-sifat fisik dan kimia mentukan kualitas telur secara keseluruhan, yaitu kualitas kulit telur, sederajat atau kualitas putih telur, nilai gizi bagi konsumen, bebas kerusakan-kerusakan misalnya bintik darah, kualitas kuning telur termasuk pigmentasi dan besar telur (Scott et al. 1982). Einsminger (1969) yang disitasi oleh Harimurti (2002) menyatakan bahwa )Staf Pengajar Jurusan Peternakan Volume Fakultas Peternakan Universitas Oleo, Kendari AGRIPLUS, 23 Nomor : 02 MeiHalu 2013, ISSN 0854-0128 109 110 kualitas telur meliputi kualitas eksterior yaitu kebersihan dan ketebalan kerabang serta kualitas interior yang termasuk di dalamnya kuning telur, putih telur dan rongga udara. USDA (1972) yang disitasi oleh Acker (2000) mengklasifikasikan telur berdasarkan bobot telur menjadi enam kelas yaitu jumbo, ekstra besar, besar, medium, kecil dan peewee. Berdasarkan interior dan eksteriornya telur digolongkan menjadi tiga kelas yaitu kualitas AA, A dan B. Adapun komposisi telur menurut USDA (1972) yang disitasi oleh Acker (2000). Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Persentase Total telur 100 Putih telur 58 Kuning telur 31 Sumber : USDA, (1972) Bahan 34,5 12 52 Kualitas telur meliputi tekstur kerabang dan bentuknya, bobot dan warna kuning telur dipengaruhi oleh satu atau lebih faktor genetik dan lingkungan (Acker, 2000). Stadelman dan Contterill (2000) juga menyatakan bahwa komposisi dan kualitas telur dipengaruhi oleh ransum. Semua nutrien dalam ransum diperlukan untuk produksi telur tetapi terdapat beberapa nutrien yang diperlukan lebih dari yang lain seperti kalsium dan vitamin D untuk pembentukan kerabang, pigmen xanthophyll maupun karoten untuk pembentukan warna kuning telur dan lain-lain (Acker, 2000). Bobot telur disamping dipengaruhi oleh faktor genetik, tingkat dewasa kelamin, umur ayam, obat-obatan dan kandungan gizi pakan (Scott et al. 2005), juga dipengaruhi oleh lemak dalam ransumnya (Wahju, 1992). Sell et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan lemak dalam ransum akan meningkatkan bobot telur pada minggu ke 30 sampai 34 dengan penambahan lemak nabati dan hewani 3 sampai 6%. Reid dan Weber (2005) dalam penelitiannya menggunakan penambahan lemak 15% dapat meningkatkan bobot telur dari 58,6 sampai 60,7 g. March dan MacMillar (2004) menyatakan konsentrasi asam lemak linoleat (Omega-6) meningkatkan bobot telur, sedangkan Farrell (2000) menyatakan bahwa asam lemak linolenat (Omega-3) akan meningkatkan egg mass dan produksi telur. Kualitas dan warna kuning telur dipengaruhi kadar karoten (Scott et al. 2005). Nesheim et al. (1990) menyatakan kenaikan Persen % Protein 11,8 11,0 17,5 Lemak 11,0 0,2 32,5 Abu 11,7 0,8 2,0 kadar pigmen dalam ransum akan menaikkan konsumsi pigmen dan mempengaruhi proses pigmentasi. Marusich dan Bauernfeind (1981) disitasi oleh Tyczkowski dan Hamilton (1991) menyatakan bahwa Oxycarotenoid sebagai pigmen warna tidak dapat sintesis oleh unggas tetapi harus tersedia dalam pakan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kualitas kuning telur adalah kadar lemak (Sell et al. 2002). Penurunan bobot kuning telur dan warna kuning telur dipengaruhi oleh kadar asam lemak linolenat (Omega-3) dalam ransumnya (Caston dan Leeson, 1990; Elswyk, 1997). Penetuan mutu putih telur sebagian besar bergantung pada derajat kekentalan dan struktur gel putih telur. Protein telur dalam putih telur yang dihubungkan dengan struktur telur gel adalah ovomusin. Smith et al. (1974) yang disitasi oleh Scott et al. (2005) menyatakan fraksi protein dalam telur ini adalah heterogen terdiri dari dua atau lebih fraksi yang bervariasi dalam komposisi karbohidrat. Ada korelasi positif antara haugh unit dengan kandungan ovomusin. Telur dengan putih telur kental yang mempunyai nilai haugh unit tinggi mempunyai kualitas ovomusin yang lebih tinggi. Sell et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan lemak dalam ransum akan meningkatkan kualitas putih telur, hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan kecepatan aliran ingesta dalam saluran pencernaan sehingga nutrien yang diperlukan untuk pembentukan putih telur lebih tersedia. Acker (2000) menyatakan kualitas AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 02 Mei 2013, ISSN 0854-0128 111 telur juga meliputi flavornya. Flavor telur sangat dipengaruhi oleh pakan, musim, kondisi serta penanganan selama penyimpanan (Stadelman dan Cotterill, 2003). Ransum unggas pada umumnya menggunakan tepung ikan atau minyak ikan. Fishy flavors yang terjadi pada telur menurut Stansby (1990) tidak berhubungan dengan minyak ikan. Farrell (2000) menyatakan bahwa minyak ikan tidak berpengaruh terhadap flavor, cita rasa, tekstur dan warna kuning telur. Weiss (1995) menyatakan bahwa fishy flavors timbul bila terjadi oksidasi yang cepat dari asam lemak dalam minyak ikan. Disamping faktor lemak, pemasakan juga berpengaruh terhadap bau, flavor dan tekstur telur (Woodward, 1998). METODE PENELITIAN Penelitian tentang kualitas fisik telur ayam strain Lohman Brown akibat pemberian minyak ikan lemuru (Sardinella Longiceps), dilaksanakan bulan Juni sampai Oktober 2005 dengan mengambil tempat pelaksanaan di Balebat Farm, Desa Sukorejo, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal. Materi penelitian yang digunakan adalah ayam petelur strain Lohman Brown periode layer umur 22 minggu sebanyak 120 ekor dengan bobot badan awal rata-rata 1.745,2 ± 8,26 g yang dipelihara sampai umur 36 minggu. Bahan penyusun ransum terdiri dari bungkil kedele, jagung, dedak padi, kulit kerang, “meat bone meal”, “poultry meat meal”, dan premix diperoleh dari PT Kappo Semarang, sedangkan untuk minyak ikan lemuru diperoleh dari PT Pacific Harverst, Muncar, Banyuwangi Jawa Timur. Ransum yang digunakan selama penelitian adalah iso protein dengan energi yang berbeda (protein kasar dengan kisaran 21,09% - 21,40%) dan energi yang bervariasi dari 2.723 kkal/kg sampai 3.362 kkal/kg). Ransum yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari R0 (Ransum dasar tanpa penambahan minyak ikan lemuru), R1 (Ransum dasar + minyak ikan lemuru 1,5%), R2 (Ransum dasar + minyak ikan lemuru 3%), R3 (Ransum dasar + minyak ikan lemuru 4,5%) dan R4 (Ransum dasar + minyak ikan lemuru 6%). Pemberian ransum maupun air minum dilakukan ad’libitum. Penambahan pasir dalam komposisi ransum penelitian bertujuan sebagai bahan pengisi untuk melengkapi jumlah 100% pada masing-masing ransum perlakuan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan yang masingmasing 4 ulangan. Setiap unit percobaan terdiri dari 6 ekor ayam petelur periode layer. Sebagai perlakuan adalah taraf penggunaan minyak ikan lemuru yaitu 0%; 1,5%; 3%; 4,5%; 6% minyak ikan lemuru, masingmasing diberi notasi : R0, R1, R2, R3, R4. Hipotesis statistik yang diuji adalahsebagai berikut : Ho = τ1= …= τ5 = 0 (perlakuan pemberian minyak ikan lemuru dalam ransum tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati). H1 : τ1 ≠... ≠ τ5 = 0 (paling sedikit ada satu perlakuan dimana τ1 ≠ 0, artinya ada pengaruh pemberian minyak ikan lemuru dalam ransum terhadap respon yang diamati) Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam dengan uji F pada taraf signifikansi 5 persen apabila terdapat pengaruh yang nyata, kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. (Steel dan Torrie, 1993). Data diolah menggunakan program komputer aplikasi SAS (Statistical Analysis System). Kriteria pengujian berdasarkan prosedur analisis ragam uji F dengan taraf signifikansi 5 persen apabila Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima atau H1 ditolak, dan apabila Fhitung ≥ Ftabel maka H0 ditolak atau H1 diterima. HASIL DAN PEMBAHASAN Skor warna kuning telur ayam lohman brown, tebal kerabang telur, haugh unit, indeks telur, indeks kuning telur. Pada (Tabel 2), yang diperjelas dengan Tabel 3, 4, 5, 6, 7 sebagai hasil analisis ragam. Warna kuning telur menandakan adanya vitamin A dalam kuning telur, Vitamin A di dalam telur ditentukan oleh tersedianya provitamin A di dalam ransum (Card, 1998) AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 02 Mei 2013, ISSN 0854-0128 112 Tabel 2. Rerata skor warna kuning telur, tebal kerabang telur, Haugh unit, indeks telur dan indeks kuning telur ayam penelitian Perlakuan Parameter R0 R1 d R2 c R3 bc R4 ab Warna Kuning Telur 6,750 8,000 8,750 9,750 10,080a e d c b Tebal Kerabang telur 0,346 0,451 0,542 0,638 0,658 a d c bc ab Haugh Unit 87,673 92,375 94,825 96,190 98,688 a a b bc bc Indeks Telur 79,165 75,680 74,210 73,493 72,020 c Indeks Kuning Telur 0,435 d 0,559c 0,632 bc 0,702 b 0,805 a abc Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna kuning telur ayam lohmann brown periode Skor warna kuning telur ayam lohman layer, dimana pemberian minyak ikan brown Pengukuran warna kuning telur lemuru tertinggi (6%) pada R4 kemudian dilakukan dengan cara memberikan diikuti oleh R3, R2, R1 dan R0 (Tabel 4) R4 berbeda nyata (P<0,05) dengan R0, R1 tetapi penilaian warna berdasarkan nilai warna tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan R2, R3. yang terdapat pada yolk colour fan, Hal ini kemungkinan disebabkan pada R2, R3 kemudian dihitung rerata skor warna kuning salah satunya mempunyai konsumsi ransum telur masing-masing replikasi dari enam kali yang rendah dibandingkan dengan pengukuran pada dua periode pengukuran. perlakuan lainnya. Hal ini sesuai dengan Warna kuning telur yang ada pada pendapat (Harimurti, 1987) bahwa bagian kuning telur merupakan faktor yang Pigmentasi telur bervariasi karena menetukan kualitas telur. Dimana skor dipengaruhi oleh kadar xantophil bahan warna kuning telur pada penelitian untuk R0, pakan, proses oksidasi selama penyimpanan, R1, R2, R3 dan R4 mempunyai rata-rata yaitu kesehatan dan kemampuan pigmentasi sebesar 6,750; 8,000; 8,750; 9,750; 10,080 individu itu sendiri. (Tabel 2), yang diperjelas dengan Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat pemberian minyak ikan lemuru Tabel 3. Hasil analisis Skor Warna Kuning Telur ayam lohman brown. Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 R3 1 7.00 6.67 9.00 10.00 2 7.50 8.33 7.83 8.17 3 6.50 8.50 9.67 10.00 4 6.00 8.50 8.50 10.83 Jumlah 27.00 32.00 35.00 39.00 Rataan 32.00 42.00 50.00 53.00 Dimana pemberian minyak ikan lemuru tertinggi dapat diperoleh pada perlakuan R4 dengan pemberian minyak ikan lemuru 6% dalam ransum sebesar 10,080, sedangkan skor warna kuning telur terendah terjadi pada perlakuan pemberian 1,5, 3, 4,5% (Tabel 2). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat pemberian minyak ikan lemuru berpengaruh nyata R4 9.77 10.00 10.67 9.88 40.32 60.00 (P<0,05) terhadap skor warna kuning telur pada ayam lohman brown. Romannof dan Romannof (1999) menyatakan bahwa pada ayam terdapat dua macam pigmen, yaitu 0,4 mg, sedangkan pada albumen hanya 0,03 mg. Selanjutnya dinyatakan bahwa pigmen dalam telur meliputi lipochrome dan lyochrome. Lipochrome mempunyai bagian yang disebut pigmen carotenoid. Pigmen AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 02 Mei 2013, ISSN 0854-0128 113 carotenoid kecuali terdapat dalam kuning telur juga banyak terdapat pada berbagai macam tumbuhan, oleh karena itu jika pigmen tersebut dimakan ayam akan di timbunan dalam kuning telur. Skor nilai tebal kerabang telur ayam lohman brown Pengukuran tebal kerabang telur dilakukan dengan cara mengukur tebal kerabang telur bagian ujung runcing, ujung tumpul dan bagian pinggir menggunakan micrometer, kemudian dihitung rerata tebal kerabang. Setelah semua telur diukur tebal kerabangnya kemudian dihitung rerata tebal kerabang telur dari masing-masing replikasi dari enam kali pengukuran pada dua periode pengukuran. Tebal kerabang dalam penelitian ini diperoleh nilai rata-rata R0, R1, R2, R3 dan R4 mempunyai rata-rata yaitu sebesar 0,346; 0,451; 0,542; 0,638; 0,658 g (Tabel 2), yang diperjelas dengan (Tabel 4) hasil analisis ragam. Interaksi antara kalsium dengan klorida sangat berpengaruh terhadap tebal kerabang (Austic dan Keshavarz, 1999). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat pemberian minyak ikan lemuru berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tebal kerabang telur ayam lohmann brown periode layer, dimana pemberian minyak ikan lemuru tertinggi (6%) pada R4 kemudian diikuti oleh R3, R2, R1 dan R0 (Tabel 4) R4 berbeda nyata (P<0,05) dengan R0, R1 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan R2, R3. Hal ini kemungkinan disebabkan pada R2, R3 salah satunya mempunyai konsumsi ransum yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sesuai dengan pendapat (Tyler dan Wilcox, 1942 disitasi oleh Keshavarz, 1999) bahwa kualitas kerabang sangat dipengaruhi oleh level mineral yaitu Ca dan vitamin D dalam ransum, dan peningkatan konsumsi Ca ini dapat dilakukan dengan substitusi kalsium sulfat atau kalsium karbonat. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kualitas kerabang adalah kadar asam lemak linolenat (Omega-3) (Scheideler dan Froning, 1996). Elswyk (1997) menyatakan bahwa penggunaan lemak dengan kadar asam lemak linolenat berpengaruh terhadap kualitas kerabang telur. Tabel 4. Hasil analisis tebal Kerabang Telur ayam lohman brown. Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 R3 1 0.353 0.454 0.553 0.633 2 0.344 0.454 0.530 0.644 3 0.351 0.455 0.542 0.655 4 0.336 0.444 0.543 0.622 Jumlah 1.384 1.807 2.168 2.554 Rataan 0.346 0.451 0.542 0.638 Nilai tebal kerabang telur terendah terdapat pada produksi telur ayam lohman brown dengan kandungan minyak ikan lemuru 1,5, 3% sebesar 0,451; 0,542 dan diikuti produksi telur ayam lohman brown dengan kandungan minyak ikan lemuru 4,5% sebesar 0,638 %. (Scott et al. 2005) Clunies et al, (1992) menyatakan bahwa metabolisme kalsium berpengaruh terhadap ketebalan dan bobot kerabang, kenaikan konsumsi Ca akan meningkatkan bobot kerabang. Kerabang telur yang baik kelihatannya bersih dan apabila diraba terasa licin. Tebal kerabang telur dipengaruhi oleh faktor genetik dan pada R4 0.662 0.655 0.663 0.655 2.635 0.658 masing-masing bangsa ayam berbeda-beda (Heuser et al, 1999). Di tambahkan oleh Farrell (2000) bahwa disamping faktor genetik ada juga faktor lain yang mempengaruhi tebal kerabang telur, yaitu pakan, umur dan kesehatan ayam. Skor Haugh Unit ayam lohman brown Nilai haugh unit diperoleh dengan cara mengukur bobot telur dan tinggi putih telur kental dengan menggunakan depth micrometer, kemudian dihitung berdasarkan persamaan dari Cure dan Nesheim (1973) HU = 100 log (H + 7,57 – 1,7 W0, 37) AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 02 Mei 2013, ISSN 0854-0128 114 H = Tinggi Putih telur kental (mm) W = Bobot telur utuh (g) Nilai haugh unit yang didapat dipergunakan dihitung rerata bobot kuning telur masing-masing replikasi dari enam kali pengukuran pada dua periode pengukuran. ”Haugh Unit” adalah ukuran kualitas telur bagian dalam yang didapat dari hubungan antara tinggi albumen dengan bobot telur (Ewing, 2006). yang diperjelas dengan Tabel 2, dari rataan nilai haugh unit berdasarkan perlakuan nilai terendah terdapat pada perlakuan R1, R2 dengan pemberian minyak ikan lemuru 1,5, 3% yaitu sebesar 92,375; 94,825 dan diikuti perlakuan R3, R4 dengan pemberian minyak ikan lemuru 4,5%; 6% yaitu 96,190; 98.688 dan pemberian minyak ikan lemuru 0% (R0) yaitu sebesar 87,673%. Dalam penelitian ini didapat nilai haugh unit untuk R0, R1, R2, R3 dan R4 mempunyai rata-rata yaitu sebesar 87,673; 92,375; 94,825; 96,190; 98,688 (Tabel 5). Seperti dinyatakan oleh Harm dan Douglas (1999) bahwa untuk mendapatkan efektivitas produksi perlu diperhatikan keseimbangan asam-asam amino dan pemenuhan protein. Anggorodi (2008) bahwa ketidakseimbangan asam amino dan kelebihan protein menyebabkan pengurangan penyimpanan lemak, penurunan pertumbuhan dan strees. Tabel 5. Hasil analisis Haught Unit ayam lohman brown Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 1 83.89 93.27 90.95 2 90.96 90.24 95.32 3 85.49 95.06 97.09 4 90.35 90.93 95.94 R3 97.88 93.70 96.79 96.39 R4 97.07 99.06 99.63 98.99 Jumlah 350.69 369.50 379.30 384.73 394.75 Rataan 87.673 92.375 94.825 96.190 98.688 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat pemberian minyak ikan lemuru berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap haugh unit telur ayam lohmann brown periode layer, dimana pemberian minyak ikan lemuru tertinggi (6%) pada R4 kemudian diikuti oleh R3, R2, R1 dan R0 (Tabel 5) R4 berbeda nyata (P<0,05) dengan R0, R1 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan R2, R3. Hal ini kemungkinan disebabkan pada R2, R3 salah satunya mempunyai konsumsi ransum yang sangat rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sesuai dengan pendapat Card dan Nesheim (1998) dan standar USDA (1964) bahwa untuk nilai ”Haugh Unit” sebesar 73 sampai 100 tergolong dalam klas AA. Skor indeks telur utuh ayam lohman brown Pengukuran indeks telur dilakukan dengan cara mengukur lebar telur dan panjang telur utuh kemudian dihitung rerata indeks telur masing-masing replikasi dari enam kali pengukuran pada dua periode pengukuran menurut Romannof dan Romannof (1999) IT c 100% d c = Lebar telur d = Panjang telur Pengaruh pemberian minyak ikan lemuru 1.5%, 3%, 4,5% dan 6% dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai indeks telur ayam penelitian, hasil pengukuran indeks telur pada penelitian ini dari R1 sampai R4 hal ini dimungkinkan saat digunakan ransum penelitian sudah tercapai tingkat dewasa kelamin dari ayam tersebut. Diketahui bahwa indeks telur sangat dipengaruhi oleh oviduct atau saluran telur. Dalam penelitian ini nilai indeks telur utuh ayam lohman brown untuk R0, R1, R2, R3 dan R4 mempunyai rata-rata yaitu sebesar 79,165; 75,680; 74,210; 73,493; 72,020 (Tabel 2), yang diperjelas dengan Tabel 6 Seperti AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 02 Mei 2013, ISSN 0854-0128 115 dinyatakan oleh Soekardi et al, (2007) bahwa bentuk telur sangat dipengaruhi oleh bentuk dan besar kecilnya oviduct. Ayam yang mempunyai oviduct yang relatif sama akan menghasilkan telur yang mempunyai indeks telur yang relatif sama pula. Tabel 6. Hasil analisis indeks telur utuh ayam lohman brown Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 1 78.99 78.34 74.15 2 77.73 73.41 73.07 3 79.20 74.91 75.01 4 80.74 76.06 74.61 Jumlah 316.66 302.72 296.84 Rataan 79.165 75.680 74.210 Pengaruh pemberian minyak ikan lemuru 1.5%, 3%, 4,5% dan 6% dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai indeks telur ayam lohman brown, hasil pengukuran indeks telur pada penelitian ini dari R1 sampai R4 hal ini dimungkinkan saat digunakan ransum penelitian sudah tercapai tingkat dewasa kelamin dari ayam tersebut. Skor nilai indeks kuning telur ayam lohman brown Indeks kuning telur (IKT) menurut (Stewart et al. 1973) dan Sharp, 1963 di dalam buku Romannof dan Romannof, 1999). Adalah diperoleh dengan cara tinggi kuning telur dibagi dengan lebar kuning telur. IKT IKT a b a b = Indeks kuning telur = Tinggi kuning telur (mm) = Rata-rata lebar kuning telur (mm) Nilai indeks kuning telur barvariasi antara 0,30 sampai 0,50 dan 0,34 sampai 0,45 mm. Mengukur indeks kuning telur R3 74.70 74.95 74.31 70.01 293.97 73.493 R4 72.24 70.21 71.61 74.02 288.08 72.020 secara tidak langsung juga mengukur kekuatan membran dan bundarnya kuning telur, makin bundar kuning telur dan kekuatannya makin besar. Menurut Card et al (1998) apabila indeks kuning telur sama atau lebih rendah dari 0,25 maka membran kuning telurnya lemah, sehingga dalam pengukuran sulit juga dijaga agar tidak pecah. Nilai indeks kuning telur pada penelitian untuk R0, R1, R2, R3 dan R4 mempunyai rata-rata yaitu sebesar 0,435; 0,559; 0,632; 0,702; 0,805 (Tabel 2), yang diperjelas dengan (Tabel 7). Nilai rataan indeks kuning telur terendah terjadi pada pemberian minyak ikan lemuru 1,5% yaitu sebesar 0,559 kemudian diikuti pemberian 3% yaitu sebesar 0,632 indeks kuning telur tertinggi pada pemberian minyak ikan lemuru 4,5% sebesar 0,702 dan 6% sebesar 0,805 untuk pemberian minyak ikan lemuru 0% indeks kuning telurnya yaitu 0,435. Romannof dan Romannof (1999) mengutip pendapat Stewart et al (1933) dan Sharp (1929) melaporkan bahwa nilai indeks kuning telur dapat diperoleh dari hasil bagi antara tinggi dan diameter kuning. Tabel 7. Hasil analisis indeks kuning telur ayam lohman brown Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 1 0.434 0.568 0.643 2 0.434 0.544 0.650 3 0.433 0.533 0.566 4 0.442 0.592 0.668 Jumlah 1.743 2.237 2.527 Rataan 0.435 0.559 0.632 R3 0.760 0.757 0.637 0.655 2.809 0.702 AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 02 Mei 2013, ISSN 0854-0128 R4 0.819 0.755 0.749 0.897 3.220 0.805 116 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat pemberian minyak ikan lemuru berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap indeks kuning telur ayam lohmann brown periode layer, dimana pemberian minyak ikan lemuru tertinggi (6%) pada R4 kemudian diikuti oleh R3, R2, R1 dan R0 (Tabel 7) R4 berbeda nyata (P<0,05) dengan R0, R1 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan R2, R3. Hal ini kemungkinan disebabkan pada R2, R3 salah satunya. Hal ini jelas dikarenakan pembentukkan kuning telur sangat dipengaruhi besar kecilnya asam lemak yang terkonsumsi, semakin banyak asam lemak terkonsumsi maka semakin besar kuning telur yang terbentuk. Indeks kuning telur dipengaruhi oleh musim, pada musim dingin indeks kuning telur tinggi dibanding panas. Telur-telur dari ayam muda atau dewasa menjadi lebih rendah indeks kuning telurnya pada saat terjadi perubahan musim semi dan sampai musim pertengahan musim panas (Hunter et al, 1936 di dalam Romannof, 1999). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kepala Desa Sukorejo, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal, ibu Ir.Hj.R. Erna, M.Si. atas fasilitas penelitian yang diberikan. KESIMPULAN Penambahan minyak ikan lemuru dalam ransum ayam petelur strain lohman brown pada periode layer umur 22 minggu, diberikan sampai dengan 6% dapat meningkatkan kualitas fisik telur ayam lohman brown. Patronage of Universitas Diponegoro Semarang and The Universitas of Queensland. Hammad, S.M., H.S. Siegel and H.L. Marks, 1996. Dietary Cholesterol Effect on Plasma and Yolk Cholesterol Fractions in Selected Lines of Japanese Quail. Poultry Sci 75 : 933-942. DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R. 2008. Ilmu Makanan Ternak Umum. Edisi Kedua. PT Gramedia. Jakarta. Acker, D. 2000. Animal Science and Industry. 3rd Ed. Prentice-Hall, Inc., Englewood, New Jersey. Austic, R.E., dan K. Keshavarz. 1999. Interaction of dietary calcium and chloride and the influence of monovalent minerals on eggstell quality. J. Poultry. Sci. 67 : 750759. Caston, L. dan S. Leeson. 1990. Dietary flax and egg composition. J. Poultry. Sci. 69 : 1617-1620. Card, L.E. and N.C. Malden, 1972. Poultry Production, Lea Febiger. Philadelpia. Clunies, M., D. Parks, dan S. Leeson. 1992. Calcium and phosphorus metabolism and eggshell thickness in laying hens producing thick or thin shells. J. Poultry. Sci. 71 : 490498. Ewing, W.R., 2006. Poultry Nutrition. 5th Ed. The Ray Ewing Co., Pasadena, California. Elswyk, M.E.V. 1997. Nutritional and physiologycal effects of flax seed in diets for laying fowl. World’s Poultry. Sci. J. 53 : 253-264. Farrell, D.J. 2000. The Heart Smart Egg: Why It is Good for you. Proceedings The 2nd poultry Science Symposium of Thr World’s Poultry Science Association (WPSA) Indonesian Branch. Under The Herimurti, S. 2002. Pengaruh Tingkat Lemak Hewani (Tallow) dalam Ransum terhadap Performans Produksi, Kualitas Telur, dan Kadar Kolesterol Telur pada Dua Umur Ayam Petelur. Tesis: Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 02 Mei 2013, ISSN 0854-0128 117 Harm, R.H. and C.R. Douglas, 1999. Relation Ship of Rate of Egg Production as Effected by Feed to Haugh Unit of Eggs. Poultry Sci. 39 : 75 – 80. Keshavarz, K. 1999. The effect of calcium sulfate (gypsum) in combination with different sources and forms of calcium carbonate on acis-base balance and eggshell quality. J. Poultry. Sci. 70 : 1727-1731. Heuser, G.F., G.O. Halls and J.H. Brickes, 1999. Poultry managemen. J.B. Lippincott Co. Chicago March, B.E. dan C. MacMillar. 1990. Linoleic acid as a mediator of egg size. J. Poultry. Sci. 69 : 634-639. Rammanof, A.L. and A.J. Rammanof, 1999. The Avian Egg. Jhon Willey and Sons. New York. Reid, B.L.dan C.W. Weber. 2005. Supplemental dietary fat and laying hen performance. J. Poultry. Sci. 54 : 422-428. Soekardi dan M. Mufti, 2007. Penampilan prestasi Ayam Buras di Kabupaten Banyumas dan pengembangannya. Proceeding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Semarang. Stadelman, W.J. dan O.J. Cottrill. 2003. Egg Science and Technology. 2nd Ed. Avi Publishing Company, Inc., westport, Connecticut. Sell, J.L., C.R. Angel dan F. Escribano. 2002. Influence of supplemental fat on weights of eggs and yolks during early egg production. J. poult. Sci. 66 : 1807-1812. Stansby, M.E. 1990. Fish Oils in Nutrition. An Avi Book Publishing by van Nostrand Reinhold, New York. Scott, M.L., M.C. Nesheim dan R.J. Young. 2005. Nutrition of The Chicken. 3rd Ed. M.L. Scott dan Associates Ithaca, New York. Scheideler, S.E. dan G.W. Froning. 1996. The combined influnce of dietary flax seed Variety level, form, and storage conditions on egg production and composition among vitamin E-suplemented hens. J. Poultry. Sci. 75 : 1221-1226. Tyczkowski, J.K. dan P.B. Hamilton. 1991. Altered metabolism of carotenoids during pale-bird syndrome in chickens infected with Eimeria acervulina. J. Poultry. Sci 70 : 2074-2081. USDA, 1964. Egg Granding Manual Agriculture. Hand Book no. 75. Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi unggas. Cetakan ke-3. Gadjah Mada Universitas press, Yogyakarta. Weiss, T.J. 1995. Food oils and Their Uses. 2nd Ed. Avi Publishing Company, Inc. westport, Connecticut. Woodward, S.A. 1998. Texture of cooked yolk as influenced by physical manipulation of raw egg yolk and salt brining of shell eggs. J. poultry. Sci. 67 : 1264-1268. AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 02 Mei 2013, ISSN 0854-0128