BAB II PERSPEKTIF RUSIA TERHADAP

advertisement
BAB II
PERSPEKTIF RUSIA TERHADAP KONFLIK SURIAH
Penggunaan hak veto Rusia terhadap konflik Suriah seolah-olah menunjukkan
posisi Rusia yang cenderung melindungi Assad. Hal ini tidaklah tanpa alasan,
hubungan Rusia dan Suriah yang telah terjalin sejak lama bahkan sebelum Suriah
merdeka turut menjadi hal yang melatarbelakangi dukungan Rusia. Meski
mendapatkan kritik keras dari berbagai pihak namun Rusia memberikan respon dan
menegaskan posisinya dalam konflik Suriah tanpa rasa ragu. Dalam bab II ini,
penulis akan menjelaskan mengenai dinamika hubungan Rusia dan Suriah, posisi
Rusia dalam konflik Suriah dan respon Rusia terhadap konflik Suriah di bawah
Presiden Vladimir Putin.
A. Dinamika Hubungan Rusia dan Suriah
Sejak meletusnya konflik Suriah pada tahun 2011 lalu, hubungan
Rusia dan Suriah terlihat semakin intens. Hubungan kedua negara tersebut
menarik perhatian internasional, terlebih lagi dengan dilakukannya
intervensi oleh Rusia terhadap konflik Suriah yang terkesan melindungi
rezim Bashar Al-Assad. Hingga saat ini banyak analisis masih mencoba
mendalami motivasi Rusia terhadap konflik Suriah apakah karena latar
belakang sejarah hubungan kedua negara tersebut atau berdasarkan pada
kepentingan geostrategis yang melibatkan Suriah (Nizzamedin, 2012).
Hubungan sejarah antara Rusia dan Suriah hendaknya tidak lantas dilupakan
20
begitu saja, berdasarkan ikatan tersebut hubungan keduanya kini terjalin
semakin erat bahkan rasa simpati kemanusiaan dan kepentingan nasional
yang menjadi tujuan utamanya pun tidak dapat dengan mudah merubah
posisi Rusia (Gaub & Popescu, Russia and Syria-The Odd Couple, 2013).
Gambar 2.1. Peta Rusia dan Suriah
Kawasan regional Timur Tengah merupakan kawasan berharga
yang menjadi ladang pertempuran pengaruh bagi negara-negara besar
seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Ternyata Timur Tengah
juga memiliki nilai tersendiri di mata Rusia, negara beruang putih tersebut
sejak lama memiliki hubungan dengan negara Timur Tengah bahkan sejak
masih berbentuk Uni Soviet. Suriah yang secara geografis terletak di
kawasan Timur Tengah memiliki peran penting dalam regional tersebut,
bahkan Henry Kissinger menyebutkan “No war without Egypt, no peace
without Syria” (Totten, 2009). Suriah menjadi aliansi yang penting bagi
21
Moskow di Timur Tengah, hal ini tidak lepas dari pertimbangan bahwa
Suriah adalah negara yang relatif independen dari Barat, memiliki
pemerintahan yang sekuler, serta telah menjalin kerjasama bilateral dengan
Uni Soviet dan menyediakan akses ke Mediterania (Kreutz, Syria: Russia's
Best Asset in The Middle East, 2010).
Sejarah menyebutkan bahwa hubungan Rusia dan Suriah telah
terjalin sejak tahun 1944, bahkan sebelum Suriah diakui sebagai negara
merdeka pada tahun 1946 (Kreutz, Syria: Russia's Best Asset in The Middle
East, 2010). Hubungan kedua negara tersebut terus berlanjut dari tahun ke
tahun, bagi Rusia sendiri Suriah adalah ladang investasi yang luas dan alat
pertunjukkan politik sebagai negara penerima bantuan Uni Soviet serta lebih
menjanjikan daripada Mesir (Laquer, 1969). Pengaruh Suriah di kawasan
regionalnya membuat Uni Soviet meletakkannya pada urutan awal skala
prioritas di Timur Tengah, pada era Nikita Khrushchev (1953-1964) Uni
Soviet memberikan bantuan militer lebih dari $200 juta untuk
menghindarkan Suriah dari pengaruh Amerika Serikat dan sekutunya Israel
(The Syria-Soviet Alliance, 2009).
Selanjutnya pada Perang Arab-Israel 1967,Uni Soviet kembali
memberikan bantuan pada Suriah. Hal ini dikutip berdasarkan pernyataan
Leonid Brezhnev yang menyebutkan bahwa Uni Soviet memberikan
bantuan dan terus mendukung Arab untuk melawan agresi Amerika Serikat
dan Israel. Bantuan yang diberikan Uni Soviet selama Perang Arab-Israel
(Juli 1967-Desember 1968) kepada Suriah tercatat senilai $2,5 miliar yang
22
digunakan untuk membentuk kekuatan militer guna membendung Israel
(The Syria-Soviet Alliance, 2009). Uni Soviet juga mengirim sebanyak
16.000 pasukan yang bertahan di Suriah selama Perang 6 hari tersebut.
Dukungan Uni Soviet kala itu tidak hanya berbentuk bantuan dan
kekuatan militer, namun diwujudkan pula dalam bidang politik ketika Israel
melanjutkan serangannya pada 9 dan 10 Juni 1967 lalu. Tindakaan yang
pertama dilakukan Uni Soviet pada 9 Juni 1967 adalah mengutus
diplomatnya untuk memperingatkan Israel agar menghentikan serangan dan
Uni Soviet tidak segan untuk melakukan intervensi apabila serangan tidak
dihentikan. Keesokan harinya berdasarkan pada CPSU document, Uni
Soviet mengirimkan pesan pada Presiden Johnson memperingatkan Israel
untuk menghentikan serangannya atau Uni Soviet melakukan intervensi
pada Perang Arab-Israel. Pada hari yang sama pula, Moscow memutuskan
hubungan diplomatik dengan Israel untuk mempertegas posisi Uni Soviet
dalam perang tersebut (Central Intelligence Agency, 1970).
Selain itu, pada akhir tahun 1960 sampai awal 1970 an, Uni Soviet
berkontribusi banyak dalam pembangunan industri nasional Suriah melalui
transfer engineer, ilmuwan maupun teknisi mesin. Uni Soviet juga menjalin
kerjasama dalam industri minyak yang kemudian hari menjadi komoditas
utama Suriah, dalam pembangunan jalan kereta api dan pertanian pun Uni
Soviet tidak absen turut berpartisipasi untuk Suriah. Keduanya juga
menjalin kerjasama melalui pembangunan mixed corporation dimana 10%
23
penduduk Suriah bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut (Vicente Caro,
2016).
Hubungan Uni Soviet dan Suriah semakin menguat pada tahun 1971
dimana saat itu Hafeez Al-Assad mulai memimpin Suriah setelah kudeta
yang dilakukannya berhasil. Kerjasama bilateral Uni Soviet dan Suriah
dilatarbelakangi oleh kebutuhan Suriah untuk mencari aliansi dan
persenjataan (Gaub & Popescu, Russia and Syria-The Odd Couple, 2013),
sementara Uni Soviet baru saja kehilangan aliansinya di Timur Tengah yaitu
Mesir. Hafeez Al-Assad membangun hubungan yang kuat dengan Moskow,
pada Februari 1972 Rusia dan Suriah menandatangani perjanjian
perdamaian dan keamanan untuk memperkuat kekuatan militer Suriah. Di
bawah kepemimpinan Brezhnev, Suriah menjadi penerima sumbangan
militer terbesar Uni Soviet di dunia Arab yang nilainya mencapai $1,9
miliar (Nizameddin, 1999).
Di bawah kepemimpinan Gorbachev, hubungan Uni Soviet dan
Suriah menjadi flexible (Freedman). Berdasarkan kebijakan Perestroika,
Gorbachev merasa tidak tertarik untuk memberikan bantuan militer pada
negara dunia ketiga. Dalam perspektifnya, pemberian bantuan militer
tersebut seperti ‘unproductive military project’ (Fleron). Akan tetapi
berbeda kasus dengan Suriah, semasa kepemimpinan Gorbachev dengan
pertimbangan kepentingan geostrategis, Uni Soviet tetap menggulirkan
bantuan militer pada Suriah hal in semakin menegaskan bahwa terdapat
hubungan yang spesial antar kedua negara tersebut. Pada fase berikutnya
24
ketika Uni Soviet runtuh, hubungan Rusia dan Suriah belum terintegrasi
meskipun begitu tetap berkembang dari waktu ke waktu (Rahaman, 2016).
Hubungan Rusia dan Suriah juga tidak berjalan mulus begitu saja,
keduanya juga pernah mengalami dinamika naik turun sebuah hubungan.
Setelah hubungan yang kurang terintegrasi sejak era Gorbachev, pada tahun
2003 hubungan Rusia dan Suriah sempat menegang terutama pada bidang
ekonomi dimana Damaskus diperkirakan memiliki hutang sebesar $13
miliar pada Moskow (Vicente Caro, 2016). Namun pada tahun 2005
tercapai kesepakatan dimana Rusia memberikan keringanan terhadap
hutang Suriah sebesar 80% dari seluruh hutang Suriah dan kedua negara
sepakat untuk menghilangkan segala hambatan dalam kerjasama bilateral
kedua negara.
Pada 24 Januari 2005 Presiden Bashar Al-Assad melakukan
kunjungan ke Moskow untuk bertemu dengan Presiden Putin. Seusai
pertemuan, Putin menjelaskan bahwa pertemuannya dengan Presiden
Suriah merupakan tonggak sejarah dalam hubungan bilateral kedua negara,
Rusia dan Suriah (Kreut, 2007). Pertemuan antara Vladimir Putin dan
Bashar Al-Assad menjadi dimensi terbaru di abad ke 21 ini. Dimensi
tersebut tentunya memberikan keuntungan bagi Suriah seperti kerjasama
yang saling menguntungkan, persenjataan militer, pemberian bantuan,
transfer teknologi dll dari Rusia (Rahaman, 2016).
B. Posisi Rusia terhadap Konflik Suriah
25
Revolusi yang dilakukan oleh rakyat Suriah ternyata tidak berjalan
mulus seperti Revolusi Mesir, Libya dan Tunisia yang berhasil memukul
mundur pemimpinnya. Bashar Al- Assad yang terkenal otoriter tidak segan
menggunakan upaya kekerasan untuk menghadapi apapun yang dapat
mengancam kekuasaannya. Hal ini tentunya semakin membuat konflik yang
berlangsung di Suriah kian membesar dan menjatuhkan banyak korban.
Apabila dibandingkan dengan kasus yang serupa, konflik Suriah
menjatuhkan paling banyak korban dan hal tersebut menarik perhatian dunia
internasional.
Sejak berlangsungnya konflik Suriah tahun 2011 lalu, berbagai
upaya perdamaian telah dilakukan namun belum ada satu upaya pun yang
berhasil meredakan konflik tersebut. PBB sebagai organisasi internasional
pun mencoba untuk mengambil langkah dalam upaya penyelesaian konflik
Suriah, salah satunya dengan memasukkan konflik Suriah sebagai agenda
pembahasan dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Beberapa draft resolusi
pun telah diajukan dalam sidang Dewan Keamanan PBB namun
kenyataannya konflik di Suriah pun masih terus berlangsung dan rancangan
draft resolusi PBB tidak dapat disahkan, hal ini dikarenakan penggunaan
empat kali double veto oleh Rusia dan China selama tahun 2011-2015.
Rusia sebagai teman lama Suriah memiliki pandangan yang berbeda
mengenai konflik tersebut bahkan banyak pihak menduga bahwa Rusia
melindungi rezim Bashar Al Assad. Pada Oktober 2011 konflik Suriah yang
diawali dengan aksi demonstrasi pada pertengahan Maret pada tahun yang
26
sama telah menjatuhkan 2.700 korban jiwa berdasarkan data yang diperoleh
PBB. Mengingat jumlah korban yang terus berjatuhan, Dewan Keamanan
PBB mengadakan sidang pada 4 Oktober 2011 yang membahas konflik
Suriah. Draft resolusi PBB S/2011/612 yang berisi pemberlakuan sanksi
pada pemerintah Suriah, perintah pemberhentian penggunaan kekerasan
terhadap warga sipil dan melaksanakan kebebasan berpendapat tersebut
mendapat penolakan oleh Rusia dan China melalui penggunaan hak vetonya
(UN Security Council, 2011).
Draft resolusi yang diusulkan tersebut mendapat persetujuan dari
sembilan negara terutama negara-negara Barat, empat negara yaitu India,
Afrika Selatan, Brazil dan Lebanon memilih abstain serta penolakan dua
anggota tetap Dewan Keamanan yaitu China dan Rusia (Associated Press,
2011). Menurut Rusia, draft resolusi yang disponsori oleh Prancis, Jerman,
Portugal dan Inggris tersebut bukan merupakan pendekatan politik yang
tepat dalam mengakhiri sebuah konflik. Rusia secara tegas menolak
intervensi militer yang menurutnya telah dipertimbangkan oleh Dewan
Keamanan sebagai salah satu model action masa depan dalam melakukan
intervensi dengan melibatkan North Atlantic Treaty Organization (NATO)
di dalamnya seperti halnya yang terjadi di Libya.
Sementara itu, ancaman sanksi bagi Suriah yang disebutkan dalam
draft resolusi tersebut merujuk pada Article 41 Chapter VII Charter of The
United Nations “Action with respect to threats to the peace, breaches of the
peace and acts of aggression” yang menyatakan bahwa “ The Security
27
Council may decided what measures not involving the use of armed force
are to be employed to give effects to its decision, and it may call upon the
Member of the United Nations to apply such measures. These may include
complete or partial interruption of economic relations and of rail, sea,
postal, telegraphic, radio and other means communication and the
severance of diplomatic relations. ”
Bagi Rusia yang tidak mendukung draft resolusi tersebut hal utama
yang perlu diperhatikan oleh Dewan Keamanan bukanlah pemberian sanksi
sebagai efek jera namun dialog politik antar pihak yang berkonflik termasuk
kelompok oposisi. Selain itu Rusia juga beralasan menekankan prinsip non
intervensi dalam urusan dalam negeri negara lain serta menghormati
kedaulatan dan integritas negara Suriah (UN Security Council, 2011).
Kegagalan PBB dalam mengadopsi draft resolution terkait konflik
Suriah kembali terulang pada sidang Dewan Keamanan 4 Februari 2012.
Sidang ini dilatarbelakangi terjadinya penyerangan oleh pemerintah Suriah
terhadap pangkalan militer dan tentara oposisi yang terletak di pusat Suriah,
Kota Homs. Draft resolusi S/2012/77 yang mendukung outline proposal
Liga Arab tersebut meminta kedua belah pihak baik pemerintah Suriah dan
kelompok oposisi militer untuk menghentikan semua kekerasan dan
pembalasan serta mengakhirinya dengan negosiasi.
Dalam text tersebut pemerintah Suriah diminta untuk menghentikan
semua kekerasan dan wajib melindungi warga sipilnya, membebaskan
semua orang yang ditahan, menarik kekuatan militer dan menjamin hak
28
kebebasan termasuk memperbolehkan aksi demonstrasi (UN Security
Council, 2012). Selain itu draft resolusi Liga Arab tersebut menghimbau
agar Suriah melakukan transformasi politik menuju sistem demokrasi serta
melakukan pergantian pemimpin melalui pemilihan umum (BBC, 2012).
Namun meski menolak, Rusia menyatakan bahwa kekerasan dan
tumpah darah harus segera dihentikan dan Rusia mengambil langkah
dengan mengirimkan representatif resmi untuk bertemu Presiden Bashar AlAssad pada 7 Februari 2012. Meski begitu, negara-negara besar lain
memandang bahwa upaya perdamaian dengan mengadvokasi perubahan
rezim yang diusahan Rusia tersebut tidak akan berhasil. Sementara Rusia
dan China kembali menggunakan hak vetonya, 13 negara yang lain
mendukung draft resolusi tersebut. Sejak penolakan Rusia dan China atas
draft resolusi pada Oktober tahun lalu diestimasikan korban konflik Suriah
telah bertambah 2000 jiwa lagi dan 260 diantaranya merupakan warga sipil.
Meski penggunaan vetonya menyulut kemarahan publik namun
Rusia tetap kukuh dan terdapat ketakutan bahwa draft resolusi tersebut akan
berlanjut menjadi intervensi militer yang kemudian digunakan untuk
menggulingkan rezim berkuasa seperti yang terjadi di Libya (Associated
Press, 2012).
Setelah kedua kali penggunaan hak vetonya, Rusia kembali
menggunakan hak veto terkait konflik Suriah. Hal ini seakan menegaskan
pada dunia internasional bahwa kekuatan Rusia telah kembali dan tidak
29
gentar terhadap ancaman maupun respon dari negara lain. Dalam sidang
Dewan Keamanan yang diadakan tanggal 19 Juli 2012 tersebut, Rusia dan
China kembali menolak draft resolusi yang diajukan oleh Inggris sementara
dua negara, Afrika Selatan dan Pakistan memilih abstain. Penggunaan hak
veto Rusia ini adalah ketiga kalinya dalam kurun waktu sembilan bulan
terakhir sejak konflik Suriah.
Kegagalan
dalam
mengadopsi
draft
resolusi
S/2012/538
menandakan tidak berhasilnya Dewan Keamanan memperpanjangan
mandat United Nations Supervision Mission in Syria (UNSMIS) dan
menjatuhkan sanksi pada Suriah (UN Security Council, 2012). UNSMIS
yang dibentuk pada April lalu terdiri dari 300 militer tanpa senjata yang
berperan sebagai observer dan memiliki jangka waktu bertugas selama tiga
bulan yang akan berakhir pada 20 Juli 2012. UNSMIS ditujukan untuk
memantau penggunaan kekerasan di Suriah serta untuk mendukung dan
mengimplementasikan enam poin perdamaian. Berdasarkan pemantauan
yang dilakukan, UNSMIS menyatakan bahwa adanya eskalasi penggunaan
kekerasan pada pertengahan Juni 2012 lalu.
Bagi Rusia, draft resolusi tersebut sudah tentu akan ditolaknya
karena Rusia menilai bahwa maksud draft resolusi tersebut akan membuka
jalan selanjutnya ke intervensi militer. Meski dalam teks tersebut tidak
tertulis mengenai intervensi, akan tetapi hal tersebut akan mengobarkan api
konfrontasi. Draft resolusi tersebut menyiratkan penyerangan terhadap
pemerintah Suriah sementara pihak lain yang juga melakukan penyerangan
30
tidak ditindak tegas, realitanya seperti penyerangan yang dilakukan di
Damaskus beberapa waktu lalu. (UN Security Council, 2012).
Menurut negara Barat, pemberian sanksi kepada pemerintah Suriah
merupakan hal mendesak yang harus dilakukan. Rencana pemberian sanksi
ini merujuk pada Chapter VII Charter of United Nations dan ditujukan untuk
menekan rezim Bashar Al-Assad agar meminimalisasi penggunaan
kekerasan dan meredakan konflik yang berlangsung di Suriah. Meskipun
dalam draft resolusi yang diajukan oleh Barat tersebut berisi penekanan
terhadap pemberian sanksi, akan tetapi perspektif Rusia menyatakan bahwa
hal tersebut membuka jalan untuk dilakukan intervensi militer pada
kemudian hari seperti skenario Libya yang akan terulang kembali (RT
News, 2012).
Sementara Rusia menolak draft resolusi yang diajukan oleh Barat,
Rusia
mengajukan
ide
alternatif
terkait
konflik
Suriah
yakni
memperpanjang misi UNSMIS selama tiga bulan akan tetapi pemberian
sanksi tidak dikenakan. Meski begitu, draft resolusi Rusia tersebut
dipresentasikan dalam Sidang Dewan Keamanan karena negara Barat
beranggapan bahwa resolusi Rusia tersebut tidak mendapat dukungan
banyak dalam sidang (Nichols, Russia, China Veto UN Security Council
Resolution on Syria, 2012). Akan tetapi setelah draft resolusi Barat ditolak
melalui veto oleh Rusia dan China, dua draft resolusi oleh Inggris dan
Pakistan yang didukung Rusia akan kembali divote pada hari esok.
31
Kegagalan Dewan Keamanan mengadopsi draft resolusi untuk
konflik Suriah berlanjut lagi, begitu juga konflik Suriah belum kunjung usai
dan menemui kata perdamaian. Untuk keempat kalinya pada Sidang Dewan
Keamanan tanggal 22 Mei 2014, Dewan Keamanan kembali gagal
mengesahkan draft resolusi karena penggunaan hak veto Rusia dan China.
Seperti halnya rutinitas yang dilakukan berulang kali, Rusia dan China
kembali memveto draft resolusi sehingga PBB tidak dapat bertindak banyak
dalam konflik Suriah sementara semakin banyak korban yang berjatuhan
sejak Maret 2011 lalu.
Draft resolusi S/2014/348 yang disponsori oleh Prancis tersebut
mendapatkan dukungan dari 13 negara anggota Dewan Keamanan
sementara anggota tetap Dewan Keamanan, Rusia dan China menolak draft
resolusi tersebut. Draft tersebut berisi penyerahan konflik Suriah pada
International Criminal Court (ICC) mengingat konflik Suriah yang terus
berlanjut dan makin banyak korban bahkan termasuk warga sipil. ICC tidak
dapat melakukan investigasi terhadap konflik Suriah tanpa persetujuan ke15 negara anggota Dewan Keamanan karena Suriah bukanlah anggota dari
Rome Statute1 yang menerbitkan The-Hague Court (Nichols &
Charbonneau, Russia, China Veto UN Bid to Refer Syria to International
Court, 2014).
1
Rome Statute atau yang dikenal dengan The International Criminal Court Statute adalah
perjanjian yang ditetapkan oleh ICC dan diadopsi pada konferensi diplomasi 17 Juli 1998 di Roma.
The Rome Statute mengkategorikan kejahatan kriminal ke dalam empat bagian yaitu genosida,
kejahatan kemanusian, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
32
Sebanyak 65 negara telah bersedia mensponsori draft resolusi yang
disusun oleh Prancis dengan mempertimbangkan korban yang terus
berjatuhan, sejak aksi demonstrasi 2011 lalu sampai penggunaan hak veto
keempat kali ini korban telah mencapai lebih dari 160.000 jiwa. Selain
korban jiwa, konflik Suriah juga telah menyebabkan 7,6 juta orang
kehilangan tempat tinggal dan 3 juta diantaranya mengungsi ke negara lain.
Lebih dari 100 organisasi non governmental juga mendukung draft resolusi
Prancis tersebut.
Memasuki tahun keempat, konflik Suriah perlu dilimpahkan pada
ICC untuk menginvestigasi kemungkinan tindakan kejahatan perang dan
kejahatan kemanusiaan, tanpa menargetkan secara spesifik baik pemerintah
maupun pihak oposisi (Associated Press, 2014). Penolakan Rusia terhadap
draft resolusi konflik Suriah untuk kali keempatnya dinilai keterlaluan oleh
negara-negara Barat. Rusia memandang bahwa penyelesaian terbaik konflik
Suriah adalah melalui upaya perdamaian secara politik, melimpahkan
konflik pada ICC hanya akan memperumit dan melukai upaya perdamaian
yang dilakukan.
Melalui penggunaan empat kali hak vetonya dan pemberian bantuan
kepada Suriah seakan menegaskan posisi Rusia yang berdiri bersama
aliansinya di Timur Tengah yaitu Suriah. Bagi Rusia, pemerintahan yang
legal di Suriah masih berada di tangan Bashar Al-Assad, jadi upaya apapun
dilakukan oleh Rusia untuk mendukung Bashar dalam mempertahankan
rezimnya. Meskipun posisi Rusia dalam konflik Suriah ini bertentangan
33
dengan negara-negara Barat, akan tetapi negara beruang putih tersebut tetap
gigih dan ta.k gentar meski mendapatkan ancaman atas pilihannya. Ikatan
hubungan yang sejak lama dimiliki oleh Damaskus dan Moskow tersebut
semakin mendorong Rusia untuk mempertahankan posisinya dalam konflik
yang berlangsung di Suriah.
C. Respon Rusia terhadap Konflik Suriah di Bawah Presiden Vladimir
Putin
Negara-negara Barat benar-benar dibuat frustasi oleh penggunaan
keempat kali double veto yang dilakukan Rusia dan China, hal ini tidak
hanya menandakan bahwa Dewan Keamanan belum mampu mencapai
kekompakan dalam menyelesaikan problematika internasional akan tetapi
mengisyaratkan bahwa Rusia telah kembali dalam arena politik
internasional. Terlebih lagi dibawah kepemimpinan Putin, Rusia mengalami
kenaikan tingkat ekonomi sehingga mampu melakukan lebih banyak hal
dengan kebijakan luar negerinya.
Pemimpin Rusia dan pembuat kebijakan Rusia seringkali
mengkategorikan kebijakan luar negeri Rusia dalam dua poin yaitu
meningkatkan pengaruh Rusia pada dunia internasional dan melanjutkan
perkembangan ekonomi Rusia (Oliker, Crane, Schwartz, & Yusupov,
2009). Seperti landasan orientasi Rusia dalam kebijakan luar negerinya
yaitu great power dan domestic order, kebijakan luar negeri Rusia harus
mencerminkan domestic order Rusia serta bertujuan untuk mengembalikan
34
kejayaan Rusia dahulu. Hal ini juga ditegaskan oleh Presiden Vladimir Putin
dalam pidatonya di Munich Security Conference yang menyatakan bahwa
Rusia telah kembali ke arena internasional dan memberikan peringatan pada
Amerika Serikat untuk tidak menganggap bahwa dunia ini unipolar dan
merasa dirinya sebagai pemegang kekuasaan tunggal serta berhenti
mencampuri urusan dalam negeri Rusia (Putin, Speech at Munich
Conference of Security Policy, 2007).
Tujuan dari kebijakan luar negeri Rusia adalah meningkatkan
perekonomian Rusia dan berusaha membuiat Rusia menjadi modern great
power atau normal great power. Rusia tidak hanya menginginkan dirinya
kuat secara politik dan militer saja, namun juga secara ekonomi,
perkembangan teknologi, memperkuat pengaruh budaya dan menegaskan
moral kewibawaan (Lo, Evolution or Regression? Russia Foreign Policy in
Putin's Second Term, 2006). Selain itu Rusia juga berusaha untuk
mengembalikan prestige internasional yang dimilikinya dulu dan
mengeliminasi pengaruh negara Barat yang melakukan ekspansi ketika Uni
Soviet kolapse (Yasmann, 2006). Dalam kebijakan luar negerinya, Rusia
juga dapat dikatakan bahwa memiliki tujuan prestige seeking yang menurut
Morgenthau adalah mendemonstrasikan power yang dimiliki dan memiliki
tujuan baik jangka waktu pendek maupun panjang (Knopf, 1954).
Dengan kebijakan luar negeri yang kuat pada masa Putin, Rusia
cenderung agresive dalam merespon hal-hal yang berkaitan dengan konflik
Suriah. Bahkan Presiden Vladimir Putin sendiri menjawab jurnalis
35
mengenai keterkaitan Rusia dengan konflik Suriah melalui pernyataan
bahwa
Rusia
dan
Suriah
telah
memiliki
kesepakatan
dengan
menandatangani kontrak kerjasama sekitar 5-7 tahun yang lalu dan
keduanya telah bersepakat untuk memenuhinya. Rusia akan melakukan
konsultasi dengan pihaknya yang berada di Suriah serta negara-negara
tetangga di kawasan Timur Tengah (Rahaman, 2016).
Bahkan dalam penggunaan hak vetonya, Rusia tak jarang menuai
kontroversi dan kritik pedas dari pihak Barat namun Rusia tetap
memberikan respon percaya diri dengan apa yang menjadi perspektifnya.
Seperti halnya ketika penolakan draft resolusi S/2011/612 pada sidang DK
PBB 4 Oktober 2011 lalu, Vitaly Churkin, Duta Besar Rusia untuk PPB
menyatakan bahwa negaranya tidak bertujuan mendukung rezim Assad
akan tetapi draft resolusi yang memuat ancaman sanksi tersebut akan
menciderai upaya perdamaian konflik Suriah. Selain itu dalam resolusi
tersebut tidak tertera bahwa pihak oposisi diharuskan memisahkan diri
sebagai ekstrimis dan turut serta dalam dialog (Associated Press, 2011).
Churkin menyatakan bahwa mayoritas rakyat Suriah menginginkan
perubahan politik secara gradual daripada perubahan rezim yang cepat dan
dalam draft resolusi tersebut tidak cukup tegas dalam menindaklanjuti
perilaku kelompok ekstrimis yang tergabung sebagai pihak oposisi di Suriah
(United Nations, 2011).
Seperti halnya yang terjadi pada penggunaan hak veto Rusia terkait
konflik Suriah kali kedua, Susan Rice, Duta Besar Amerika Serikat untuk
36
PBB melakukan aksi walked out setelah voting berlangsung dan
menyatakan kesedihannya atas kegagalan
sidang tersebut
dalam
memecahkan tantangan darurat moral yang menumbuhkan ancaman bagi
perdamaian serta keamanan dunia internasional. Selain itu Susan juga
memberi pernyataan bahwa rakyat Suriah dapat menilai sendiri pihak yang
mendukung terciptanya kebebasan serta menghargai HAM dan pihak yang
sebaliknya (BBC, 2011). Rusia merespon hal tersebut dengan menekankan
untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Suriah, karena secara
legitimasi Bashar Al-Assad masih berkedudukan sebagai rezim yang
berkuasa di Suriah.
Meski menuai kritik tajam dan kegeraman dalam penggunaan hak
vetonya, Rusia kembali memberikan respon yang sama pada kegagalan
draft resolusi S/2012/77 Dewan Keamanan yang ketiga kalinya. Vitaly
Churkin menjelaskan penolakan Rusia terhadap draft resolusi tersebut
karena itu dinilai tidak seimbang bagi pihak pemerintah Suriah, tidak
ditekankan bagi kelompok oposisi untuk menghentikan kekerasan dan
kerjasamanya dengan ekstrimis. Selain itu Menteri Luar Negeri Rusia,
Sergey Lavrov memberi pernyataan bahwa Moskow memiliki dua
keberatan yaitu draft resolusi yang memberatkan pemerintah Suriah
sedangkan kurangnya penekanan pada pihak oposisi dan permintaan
penarikan kekuatan militer pemerintah Suriah yang dinilai tidak realistis
(McFarquhar & Shadid, 2012).
37
Sebelum berlangsungnya voting, Presiden Obama memberikan
pernyataan bahwa Presiden Bashar Al-Assad harus segera mundur
menyusul pertumpahan darah yang terjadi, selain itu Assad juga telah
kehilangan legitimasi sehingga tidak memiliki power untuk bertindak
sebagai pemimpin. Kebijakan pemberlakuan teror merupakan indikasi
lemahnya Assad dan tanda-tanda akan kolapsenya rezim tersebut (Harris,
Chulov, Batty, & Pearse, 2012). Selain menuai komentar negatif dari
berbagai negara Eropa dan Amerika Serikat khususnya, penggunaan hak
veto Rusia dan China juga mendapat kritik dari organisasi internasional.
Salil Shetty, Sekretaris Umum Amnesty Internasional mengatakan
bahwa penggunaan hak veto Rusia dan China merupakan tindakan yang
tidak bertanggung jawab dan mengejutkan terlebih menolak draft resolusi
setelah melihat kejadian Homs. Amnesty Internasional berusaha menekan
Dewan Keamanan untuk melaporkan Konflik Suriah kepada International
Criminal Court agar menjatuhkan embargo militer pada Suriah dan
membekukan aset Bashar Al-Assad (Amnesty International, 2012). Rusia
hanya merespon dingin pada komentar-komentar yang diberikan atas
sikapnya terhadap konflik Suriah, bagi Rusia dirinya melihat konflik Suriah
melalui perspektif yang berbeda.
Rusia kembali menuai kritik keras dari berbagai pihak terkait
penggunaan hak veto ketiga kalinya dalam pembahasan konflik Suriah.
Duta Besar Inggris untuk PBB, Sir Mar Lyall Grant menyatakan bahwa
Rusia dan China kehilangan tanggungjawabnya sebagai Dewan Keamanan
38
Tetap PBB. Sementara Gerard Araud, Duta Besar Paris untuk PBB
memberikan statement bahwa Rusia ingin memenangkan waktu untuk
rezim Bashar Al-Assad dan memukul mundur oposisi (Gabbat, 2012). Li
Baodong, representasi China di PBB juga mengungkapkan kemarahannya
atas penolakan Barat terhadap negosiasi amandamen yang ingin dilakukan
oleh China dan beberapa negara lain terhadap draft resolusi mereka, Barat
dianggap terlalu kaku dan arogan (Lynch, 2012). Kofi Annan yang berperan
sebagai mediator internasional merasa kecewa dengan sidang Dewan
Keamanan dimana tidak ada persatuan antar negara dan tidak mampu
mencapai persetujuan bersama.
Perbedaan posisi antara Rusia dan Barat membuat sidang Dewan
Keamanan menghasilkan keputusan nihil. Pada sidang 22 Mei 2014 lalu,
draft resolusi S/2014/348 yang menuntut Suriah agar diinvestigasi oleh ICC
kembali ditolak oleh Rusia dan China. Penolakan Rusia terhadap draft
resolusi konflik Suriah untuk kali keempatnya dinilai keterlaluan oleh
negara-negara Barat. Akan tetapi Rusia melalui Duta Besar untuk PBB,
Vitaly Churkin kukuh akan pendiriannya dan menebak bahwa dengan
dibawanya konflik Suriah pada ICC maka skenario Libya akan terulang
kembali dimana intervensi militer akan diterjunkan dan jatuhnya korban
adalah hasil dari intervensi militer tentara NATO (UN Security Council,
2014).
Meski banyak menuai kritik dan protes dengan apa yang telah
menjadi keputusan Rusia dalam konflik Suriah, Rusia tidak mau sedikitpun
39
merendahkan bargainingnya. Bagi Rusia, melihat konflik Suriah melalui
perspektif yang berbeda dan keterkaitan sejarah serta menyangkut
kepentingan nasionalnya membuat negara beruang putih tersebut berjuang
mati-matian untuk mempertahankan argumennya. Sebagai aliansi yang
loyal, Rusia menunjukkan komitmennya dalam memperjuangkan konflik
Suriah melalui perspektif yang lain.
40
Download