98251-savid haikal qurafsy-fisip

advertisement
DAMPAK KEBANGKITAN EKONOMI CINA
TERHADAP KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
AMERIKA SERIKAT
SKRIPSI
Disusun Oleh :
Sayid Haikal Quraisy
(106083003552)
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2010
1
DAMPAK KEBANGKITAN EKONOMI CINA
TERHADAP KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
AMERIKA SERIKAT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Meraih Gelar Sarjana Sosial
Oleh :
Sayid Haikal Quraisy
106083003552
Dibawah Bimbingan :
Pembimbing Skripsi
Pembimbing Akademik
Arisman, M.Si
Nazaruddin Nasution, SH, MA
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
2
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Oktober 2010
Sayid Haikal Quraisy
106083003552
3
ABSTRAK
Hubungan perdagangan antara Cina dan Amerika Serikat (AS) telah
menjadi semakin penting untuk ekonomi kedua negara. Konflik perdagangan
baru-baru ini dan gesekan antara Cina dan AS merupakan hambatan dalam jalan
hubungan pembangunan perdagangan bilateral Cina-AS yang menjadi perhatian
besar bagi kedua negara. Tulisan ini bersifat dekriftif yaitu dengan metode
penulisan penelitian yang dilakukan dengan cara menggambarkan, menyusun dan
menganalisa suatu pembahasan melalui kepustakaan.
Diharapkan dengan metode yang digunakan akan dapat menganalisis secara
mendalam kebijakan perdagangan politik AS terhadap Cina, mengidentifikasi
faktor-faktor kebangkitan ekonomi Cina, kebijakan perdagangan Cina dan
kebijakan perdagangan AS terhadap Cina, Serta Pengaruh kebangkitan ekonomi
Cina dan perubahan kebijakan perdagangan AS pada hubungan perdagangan
antara AS dan Cina dan implikasi untuk hubungan perdagangan antara AS dan
Cina pada masa depan.
Kata kunci: kebijakan perdagangan, perdagangan internasional, ekonomi politik
internasional
4
KATA PENGANTAR
Bismillahirrrahmanirrahim, Assalamuaaikum Wr.Wb
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga tulisan ini dapat terwujud menjadi sebuah skripsi yang
diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademisi. Penulisan skripsi ini adalah
merupakan suatu bentuk untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna mencapai
gelar sarjana sosial di Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berdasarkan ketertarikan penulis terhadap kebangkitan ekonomi Cina
yang begitu cepat dan mencengangkan dunia, maka penulis menuangkannya
kedalam sebuah tulisan yang diajukan sebagai skripsi, dalam tulisan ini, penulis
menganalisis bagaimana kebangkitan ekonomi Cina ini akan mempengaruhi
kebijakan perdagangan internasional Amerika Serikat sebagai negara super power
dan bagaimana hubungan kedua negara di masa depan, akankah menimbulkan
perselisihan ataukah akan terjadi kerja sama yang baik diantara kedua negara
tersebut.
Dikarenakan masalah ini sangat rumit, tentu saja penulis banyak dibantu
oleh beberapa pihak yang membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Dengan
kaitan ini, saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggitingginya kepada seluruh pihak yang dengan berbagai cara telah membantu
penyusunan skripsi ini, diantaranya :
1. Keluarga yang senantiasa memberi dorongan dan do’a dalam segala
bentuk yang tak mungkin pernah penulis dapatkan dari siapapun.
5
2. Farah Zesa Ayuningtyas.SE yang telah memberikan masukan-masukan
positif, doa, motivasi, pemberi semangat dan segala sesuatu yang tak
mungkin bisa terbalas.
3. Bpk.Arisman,M.Si selaku dosen pembimbing dalam penullisan skripsi ini,
yang dengan sabar membimbing terciptanya tulisan ini.
4. Bpk.Armein Daulay,Drs.M.Si yang telah banyak memberikan motivasi
dan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini dan dalam berbagai
bidang selama dalam masa perkuliahan.
5. Ibu Rahmi,M.Si yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini dan
selama masa perkuliahan.
6. Bpk. Nazaruddin Nasution,SH.MA selaku ketua jurusan yang dari awal
terbentuknya jurusan Hubungan Internasional pada tahun 2006 hingga kini
terus berusaha untuk memajukan jurusan yang tercinta ini.
7. Segenap staff pengajar ahi jurusan hubungan internasional, Bpk. Adian
Firnas,S.sos, M.si. Bpk. Aiyub Mohsin,MA.MM, Bpk.Abdul Hadi
Adnan,Dr,MA,
Bpk.
Amiruddin
Noer,MA,
Bpk.
Badrus
Sholeh,S.Ag,M.A, Bpk. Kiki Rizky,M.Si dan Bpk. Agus Nilmada
Azmi,M.Si dan seluruh staff pengajar yang tak tertulis.
8. Teman-teman kos yang senantiasa memberikan masukan dalam penulisan
skripsi dan teman-teman HI 2006 khususnya teman-teman HI B.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, dengan segala kerendahan hati penulis memohon maaf dan
6
mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi penulis dan bermanfaat
bagi semua kalangan.
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb
Jakarta, Desember 2010
Sayid Haikal Quraisy
106083003552
7
DAFTAR ISI
Abstrak......................................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan.................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................8
C. Kerangka Teori..........................................................................................9
I. Teori Liberalisme....................................................................................9
II. Teori Globalisasi.................................................................................19
III. Teori Perdagangan Internasional.......................................................25
a. Comparative Advantage...............................................................29
b. Competitive Advantage................................................................32
D. Metode Penelitian....................................................................................34
E. Tujuan dan Manfaat Penulisan.................................................................35
F. Sistematika Penulisan..............................................................................36
Bab II Tinjauan Pustaka.....................................................................................38
A. Konsep Dasar..........................................................................................38
A.1. Konsep Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth).......................38
A.2. Konsep Kebijakan (Policy)..............................................................41
A.3. Konsep perdagangan Internasional (International trade)................42
B. Penelitian Sebelumnya............................................................................49
8
Bab III Kondisi Riil Ekonomi Cina....................................................................57
A. Perekonomian Cina Pra dan Pasca Diberlakukannya
Open Door Policy....................................................................................57
A.1. Budaya Bisnis Cina dan Perekonomian Cina Pra
Diberlakukannya Open Door Policy..............................................57
A.2. Perekonomian Cina Pasca Diberlakukannya Open Door Policy.....66
A.3. Masuknya Cina ke dalam World Trade Organizations (WTO).......73
A.3.a. Latar Belakang dan Tujuan Masuknya Cina ke
dalam WTO.......................................................................74
A.3.b. Keuntungan Masuknya Cina kedalam WTO......................81
B. Kebijakan Perdagangan Amerika Serikat................................................83
B.1. Sejarah Diskriminasi Kebijakan Perdagangan AS...........................83
B.2. Kebijakan Perdagangan AS Terhadap Cina.....................................86
Bab IV Analisis Dampak Kemajuan Ekonomi Cina Terhadap
Amerika Serikat.....................................................................................97
A.
Indikator Kemajuan Ekonomi Cina Sebagai Pesaing Amerika
Serikat...........................................................................................102
B.
Prediksi Hubungan Dagang Cina - Amerika Serikat....................110
BAB V Kesimpulan............................................................................................118
Daftar Pustaka......................................................................................................123
9
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Pandangan Dasar Tradisi Liberalisme Dalam Teori Hubungan Internasional......77
Tabel 2
Reduksi Tarif (%) Setelah Cina Masuk WTO.......................................................81
Tabel 3
Kebijakan AS Terhadap Cina.................................................................................96
Tabel 4
Faktor-Faktor Kebangkitan Ekonomi Cina............................................................98
Tabel 5
Matriks Kebijakan Cina.........................................................................................99
Tabel 6
Pertumbuhan GDP Cina 1955-2009.....................................................................106
Tabel 7
Perdagangan AS Dengan Cina : 1980-2009($ Dalam Miliar).............................108
Tabel 8
Saldo Perdagangan AS Major Trading 2009 ($ Dalam Miliar)...........................109
Tabel 9
Persentase Produksi Cina Terhadap Output Dunia..............................................109
Tabel 10
Impor Barang Konsumsi Pasar AS Dari Cina......................................................110
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cina merupakan nama sebuah negara yang menarik untuk dicermati,
karena pertumbuhan ekonominya yang mengagumkan, sehingga sering disebutsebut dengan berbagai julukan seperti keajaiban Cina (Cina’s miracle),
kebangkitan sang naga (rise of the dragon), dan lain-lain. Masyarakat
internasional beranggapan bahwa abad ke-21 adalah abadnya Cina (the Chinese
century) yang menggantikan abadnya AS (the American century) pada abad ke20. Pertumbuhan ekonomi yang pesat, kemampuan militer yang semakin kuat,
solidnya politik domestik, populasi yang sangat besar, akan menjadi akar dari
pesatnya pertumbuhan ekonomi dan politik Cina.
Pertumbuhan luar biasa ini tidak terlepas dari perkembangan Cina sejak
meninggalnya Mao Zedong pada tahun 1976 serta masa pancaroba politik Cina,
sampai munculnya Deng Xiaoping sebagai pemimpin baru Cina. Deng Xiaoping
mempunyai visi baru mengenai komunisme Cina. Sekalipun tetap menjunjung
tinggi ideologi komunisme dengan tetap memegang penuh kekuasaan partai, Deng
Xiaoping menyadari bahwa ia harus mendistribusikan satu hal yaitu “kemiskinan
atau kekayaan”, dan pilihan yang kedua hanya mungkin tercapai dengan
memberikan kebebasan kepada rakyatnya. Maka pada Desember 1978 Deng
Xiaoping memulai proses liberalisasi dan modernisasi di Cina. (Norberg, 2001 :
33)
11
Pada era sebelumnya yaitu pada masa kepemimpinan Mao Zedong yang
konservatif dan terlalu tertutup, Cina seakan terasingkan dari dunia internasional.
Perekonomian yang semakin terpuruk, bahkan kebijakan “lompatan jauh ke
depan” (the great leap forward) yang dicetuskan oleh Mao Zedong pada tahun
1958 yaitu berupa program industrialisasi yang radikal mengalami kegagalan.
Dalam Konferensi Lushan 1959, Mao Zedong pun dikecam akibat kegagalan
kebijakan tersebut yang berimbas pada pengunduran dirinya sebagai presiden
yang hanya bertahan lima tahun. (Wibowo, 2000 : 64) Namun, setelah rezim Mao
Zedong berakhir dan digantikan oleh Deng Xiaoping, Cina mulai mengalami
kemajuan di berbagai bidang termasuk dalam bidang ekonomi.
Konsep pintu terbuka (open door policy) dan ekonomi pasar muncul
karena bentuk sebelumnya dianggap tidak mampu memberikan lapangan
pekerjaan dan kesejahteraan. Seperti dalam lompatan jauh kedepan (de yue jin)
yang dilaksanakan pada masa Mao Zedong pada tahun 1956. Dalam masa
pemerintahannya, Deng Xiaoping memasukan unsur investasi asing selain unsur
pertanian, industri dan politik yang sudah ada pada masa pemerintahan
sebelumnya. Investasi di Cina di buka dengan luas sementara pemerintah
memiliki peran sebagai penjamin keamanan, stabilitas politik memotong jalur
birokrasi serta menjamin perlindungan lainnya. Semua kebijakan yang diterapkan
Deng Xiaoping bertujuan untuk mendukung tumbuhnya industri dan memacu
ekspor. Masuknya invetasi di Cina membuat Cina tidak lagi hanya mengandalkan
sektor agrikultur tapi juga sektor industri yang maju pesat. Konsep pintu terbuka
terus dijalankan hingga kepemimpinan Jiang Zemin dan Hu Jintao.
12
Kebijakan open door policy sendiri
di latar belakangi oleh adanya
perimbangan kekuatan baru di Asia timur khususnya di Cina. open door policy
pertama kali ditandai dengan pengiriman nota diplomatik oleh Jhon Hay (Menlu
AS) yang berisi ajakan untuk melaksanakan nilai persamaan dalam perdagangan
dan nota yang kedua yang berisi mengenai ajakan AS untuk mengakui kesatuan
wilayah dan administrasi Cina. Nota tersebut mendapat berbagai respon dari
negara yang menerimanya. AS yang pada saat itu dipimpin oleh seorang ekonom
yaitu McKinley yang memilki pandangan mengenai perjuangan terhadap kaum
petani dan golongan industri. Melihat situasi ekonomi Cina yang semakin
memburuk, maka pada masa itu Cina memilih kebijakan tersebut sebagai lagkah
yang diambil. Dengan menambahkan unsur insentif dan pasar bebas yang
dijadikan stimulus bagi semangat produksi para pengusaha daerah dan petani
diharapkan dapat memperbaiki kondisi ekonomi negaranya.(Siswanto, 1997 : 72)
Pada masa kepemimpinannya, Deng Xiaoping secara bertahap mulai
membuka Cina terhadap persaingan dengan dunia luar, menyesuaikan ideologi,
memodifikasi komunisme dengan sosialisme tahap awal, menerapkan sistem
ekonomi pasar sosialis, sampai akhirnya Cina terjun dalam arus liberalisasi dan
globalisasi. Sekalipun Deng Xiaoping menerapkan sistem ekonomi liberal,
intervensi negara tetap dipertahankan. Pemerintah pusat tetap melakukan
intervensi dan kontrol terhadap perekonomian negara, kemudian faham komunis
tetap dipertahankan sebagai ideologi negara meski tidak diterapkan secara kaku.
Cina menggunakan Sistem ekonomi Pasar Sosialis, yaitu suatu sistem
ekonomi yang berorientasi pasar, namun tetap berada dalam bingkai sistem politik
yang digariskan oleh Partai Komunis Cina. Tidak mudah untuk menjelaskan
13
sistem baru yang digunakan oleh Cina, seperti halnya seperti organisasi lain yang
berkembang, perlu waktu sampai sebuah sistem baru menemukan sebuah nama.
Para pemimpin Cina lebih sering menyebutnya Sistem “Sosialis dengan
karakteristik Cina”. Sistem ini telah menggantikan model ekonomi perencanaan
terpusat yang umumnya dianut negara-negara dengan sistem komunis.
Para pemimpin Cina menyadari agar dapat berhasil memodernisasi Cina,
harus beralih dari ekonomi terencana ke ekonomi pasar dan mereka harus
menerapkan desentralisasi. Namun, definisi desentralisasi disini adalah memberi
kekuasaan lebih besar ketangan rakyat, yang sering dianggap sebagai sebuah
monolit, pada kenyataannya melakukan modernisasi kekuasaan lebih daripada
negara manapun. Tujuan utamanya adalah menciptakan masyarakat dan
pemerintahan yang harmonis berdasarkan kepercayaan, yaitu rakyat memberi
kepercayaan kepada pemimpin untuk menciptakan kesempatan bagi kehidupan
yang lebih baik, dan pemimpin memberi kepercayaan kepada rakyat untuk
menjadi tenaga penggerak dalam prosesnya. Model baru Cina didasarkan pada
keseimbangan antara kekuatan top-down dan bottom-up, yang dengan upaya
terpadu meningkatkan taraf hidup serta menciptakan kemakmuran rakyat.(John &
Doris.2010:xx)
Pada tahun 1987, Cina mengeluarkan sasaran dan strategi pembangunan
ekonomi nasional Cina yang dikenal dengan nama Strategi Pembangunan Tiga
Tahap (The Three-Steps Development Strategy). Strategi ini menetapkan 3 (tiga)
tahap pembangunan ekonomi nasional Cina yaitu: (Kustia, 2009 : 45)
14
1. Melipatgandakan produk domestik bruto (PDB) di 1980 dan menjamin
rakyat Cina cukup makan dan pakaian, yang diharapkan dapat dicapai
pada akhir 1980.
2. Pada akhir abad ke-20 mentargetkan peningkatan PDB menjadi empat
kali lipat PDB di 1980.
3. Meningkatkan PDB per-kapita setingkat negara-negara maju, dengan
sasaran pencapaian pada pertengahan abad 21.
Langkah selanjutnya, pada tahun 1992, Cina menggariskan prinsip-prinsip
utama dalam restrukturisasi ekonomi Cina yaitu: (Kustia, 2009 : 46-47)
1) Mendorong pembangunan dari berbagai unsur ekonomi sambil tetap
mengedepankan sektor publik.
2) Mengembangkan sistem perusahaan yang modern agar dapat memenuhi
tuntutan ekonomi pasar.
3) Sistem pasar terbuka dan menyatu di seluruh wilayah Cina, mentautkan
pasar domestik dengan pasar internasional, meningkatkan optimalisasi
sumber daya.
4)
Melakukan
transformasi
manajemen
ekonomi
pemerintah
untuk
membangun sistem pengawasan makro yang lengkap.
5) Mendorong kelompok unggulan dan wilayah tertentu untuk mencapai
keberhasilan dan kemakmuran lebih dulu, sehingga dapat membantu
kelompok dan wilayah lain mencapai keberhasilan dan kemakmuran yang
sama.
6) Merumuskan sistem pengaman sosial yang cocok untuk Cina, baik untuk
masyarakat
perkotaan
maupun
15
pedesaan,
untuk
meningkatkan
pembangunan ekonomi secara menyeluruh dan untuk menjamin stabilitas
sosial.
Langkah besar lain yang dilakukan yaitu pada 1997 ketika Cina mulai
memusatkan perhatian kepada pentingnya pembangunan di luar sektor publik
yang dapat memberikan sumbangan terhadap pembangunan ekonomi nasional,
merupakan unsur lain yang memperoleh keuntungan sebagai salah satu faktor
produksi yang penting, di samping modal dan teknologi dalam mengembangkan
usaha terus didorong.(Kustia, 2009 : 57)
Kemajuan-kemajuan di bidang ekonomi segera tampak akibat dari proses
liberalisasi dan modernisasi yang dilakukan Cina di atas. Sejak 1978 hingga 2005,
perdagangan internasional meningkat 69 kali dalam angka nominal (dalam USD),
dengan pertumbuhan per-tahun sebesar 17%. Pada tahun 2005 Cina menjadi
negara dagang terbesar ketiga di dunia. Rasio angka impor dibandingkan ekspor
dalam PDB adalah 63% pada tahun 2005. Hal ini menjadikan Cina masuk dalam
jajaran negara-negara yang terintegrasi kedalam perekonomian dunia. Sementara
itu perolehan devisa melonjak ke angka US$ 1 triliun pada akhir tahun 2006.
Selama 23 tahun terakhir, modal asing telah masuk ke Cina sebesar US$ 620
milyar. Standar hidup rakyat Cina meningkat tajam selama 27 tahun terakhir.
Pendapatan per kapita di kota dan per-rumah tangga di pedesaan, tumbuh dengan
angka 15%. (Wibowo, 2007 : 50)
Catatan statistik di atas adalah gambaran bagaimana Cina berkembang
sedemikian pesatnya dalam pertumbuhan ekonomi sehingga berimbas pula pada
taraf sosial ekonomi rakyat Cina yang semakin meningkat. walaupun sempat
terjadi penurunan pada tahun 1989 dan 1990, namun di tahun-tahun berikutnya
16
pertumbuhan ekonomi Cina menunjukkan kenaikan dan cenderung stabil. Model
perekonomian Cina dirancang dengan pengerahan kapital secara besar-besaran.
Birokrasi pemerintah dari Beijing turun ke kota-kota kecil yang bertujuan
membangun kawasan industri dengan mendorong investasi, terutama investasi
dari luar negeri. Sebagai konsekuensi atas tingginya investasi asing, Cina
menikmati pembangunan di seluruh bagian negaranya. (Wigrantoro, 2007)
Dalam empat tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Cina bertahan di dua
digit dengan kecenderungan terus naik di atas 10%. Tidak satu negara pun yang
disebut sebagai Macan Asia (Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan)
mampu menyamai rekor pertumbuhan tersebut. (Damayanti, 2007) Banyak
pengamat ekonomi meramalkan bahwa tidak lama lagi GDP Cina akan sanggup
menyaingi GDP AS. GDP Cina pada tahun 2005 angka pertumbuhan ekonomi
Cina sebesar US$ 2.259 milyar dan GDP per kapita sebesar US$ 1.725 menjadi
indikator bagaimana Cina adalah ancaman nyata bagi AS. (Wibowo, 2007 : 50)
Masuknya Cina kedalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada
tahun 2001 memicu peningkatan besar-besaran akan industrialisasi dalam negeri
dan volume perdagangannya.
Dampak keanggotaan Cina di WTO adalah
terintegrasinya kegiatan perekonomian, perdagangan dan industri Cina dengan
pasar global yang menyebabkan terjadinya ekspansi besar-besaran dari industri
manufaktur Cina ke seluruh dunia. Dengan demikian keanggotaan Cina di WTO
turut mendorong terbukanya berbagai kegiatan industri di berbagai sektor di
tingkat domestik, mulai dari industri manufaktur dan kendaraan bermotor ke retail
domestik dan menciptakan kompetisi usaha yang lebih kompetitif. (Wong, 2008 :
8)
17
Setelah AS meyadari bahwa Cina akan menjadi negara yang kuat pada
masa depan, maka AS mulai menjalin hubungan baik dengan Cina, yaitu dengan
kunjungan presiden Richard Nixon pada tahun 1972, yang dianggap sebagai
terobosan baru hubungan bilateral AS dengan Cina, setelah berakhirya hubungan
Cina dan Uni Soviet pada pertengahan 1960-an Cina sepertinya sudah enggan
untuk menjalin persekutuan, oleh sebab itulah Nixon mencoba masuk untuk
menjalin hubungann yang baik dengan Cina yang diharapkan akan terjalin
hubungan yang baik antara keduanya dalam jangka panjang, selain itu misi
perdamaian yang diusung Nixon terhadap Cina juga merupakan sebuah usaha
untuk mendorong terjadinya perdamaian antara AS dan Vietnam yang merupakan
sekutu Cina saat itu. Hal ini mengejutkan dunia karena AS sangat anti dengan
Komunisme tetapi Nixon menjalin hubungan baik dengan Cina. Dalam hal ini
Nixon mencoba menerapkan apa yang disebutnya realpolitics yang membuka
jalan untuk hubungan baik antara AS dan Cina pada masa mendatang.
Cina mencari komprominya sendiri dan bahkan mengizinkan beberapa
bentuk dari sebuah masyarakat majemuk dan akan menjadi tantangan yang
menakutkan bagi peran AS sebagai penjaga moral luhur dunia. Pembukaan diri
Cina tidak hanya memperluas pengaruh kepemimpinan Cina, tetapi juga
mengguncang tatanan elit politik, AS menghadapi pemain baru yang kuat secara
ekonomi, stabil secara politik dan tidak prnah ragu menunjukan nilai-nilai
luhurnya pada dunia. Hal ini nyata sebagai ancaman bagi AS.(John &
Doris,op.cit:xxii)
18
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Apakah faktor- faktor dan Kebijakan apa saja yang mendorong
kebangkitan ekonomi Cina?
2. Bagaimanakah dampak kemajuan perekonomian Cina terhadap kebijakan
perdagangan AS?
3. Bagaimanakah hubungan bilateral dalam perdagangan AS dan Cina
dimasa depan?
C. Kerangka Teori
Untuk
menganalisa
suatu
permasalahan
dalam
ilmu
hubungan
internasional membutuhkan teori, yang merupakan penjelasan paling umum
mengapa sesuatu itu terjadi dan kapan peristiwa tersebut akan terjadi lagi. Dengan
kata lain, teori dapat dipergunakan sebagai alat eksplanasi dan alat prediksi.
(Mohtar, 1990 : 217) Atau lebih jelasnya dipaparkan bahwa, teori berfungsi untuk
memahami, memberikan kerangka pemikiran secara logis, disamping menjelaskan
maksud terhadap berbagai fenomena-fenomena yang ada. Tanpa menggunakan
teori, maka fenomena-fenomena serta data-data yang ada akan sulit dimengerti.
Dan di sisi lain teori juga dapat berupa sebuah bentuk pernyataan yang
menghubungkan beberapa konsep secara logis dan sistematis. (Plano, 1992 : 7)
Teori yang digunakan untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan yang
ada pada rumusan masalah yaitu teori liberalisme, teori globalisasi dan teori
perdagangan internasional.
19
I.
Teori Liberalisme
Setelah era Mao Zedong berakhir dan digantikan oleh era Deng Xiaoping,
Cina
mulai
mengalami
kemajuan
di
berbagai
bidang.
Pada
masa
kepemimpinannya, Deng Xiaoping secara bertahap mulai membuka Cina terhadap
persaingan dengan dunia luar, menyesuaikan ideologi, Memodifikasi komunisme
dengan sosialisme tahap awal, menerapkan sistem ekonomi pasar sosialis, sampai
akhirnya Cina menceburkan diri terhadap arus liberalisasi dan globalisasi.
Liberalisme berangkat dari kesejatian, di mana esensi hidup manusia
menjadi sangat dihormati. Kebebasan, pembebasan, kemerdekaan, keadilan dan
hak asasi menjadi pemersatu. Dalam perkembangannya teori liberalisme lebih
banyak menekankan pada hal lain, selain perebutan pengaruh di bidang hard
power, yaitu pengalihan perhatian orang pada teori ekonomi-ekonomi barat.
Orang liberal tidak memperumit bagaimana perdamaian akan tercapai atau
bagaimana kesejahteraan yang seutuhnya, namun lebih menaruh fokus akan
prosesnya.
Liberalisme menitik beratkan perhatiannya pada kebebasan individu yang
harus diimplementasikan dalam tingkat domestik, dan hubungan antar negara.
Stanley Hoffman menuliskan, “Esensi dari liberalisme adalah self-restrain,
moderasi, kompromi, dan perdamaian, dimana esensi politik internasional adalah
berkebalikan yaitu perdamaian yang selalu terusik, atau lebih buruk lagi, state of
war”. Peran negara adalah sebagai penjaga terwujudnya kebebasan tersebut,
sebagai pelayan kemauan kebijakan seluruh individu. Di sinilah peran krusial
demokrasi sebagai sebuah sistem untuk mewujudkan angan-angan liberalisme
20
sebagai te ori pemerintahan yang menginginkan kerukunan antara keamanan dan
persamaan dalam suatu komunitas. (Jill, 2001 : 98)
Di sekitar abad ke-18, ahli ekonomi dan falsafah dari Scotland, Adam
Smith (1723-1790) memperkenalkan satu teori yang mengatakan seseorang
individu boleh membina kehidupan bermoral dan berekonomi tanpa bimbingan
atau arahan dari negara. Tambahan lagi, sesuatu negara itu akan menjadi kuat
apabila rakyatnya bebas. Smith mengetengahkan ide tersebut untuk mengakhiri
sistem feodal, polisi-polisi merkantilisme, monopoli negara dan memperkenalkan
kerajaan "laissez-faire", yaitu satu kerajaan berasaskan pasar bebas. Di dalam The
Theory of Moral Sentiments (1759), Smith menulis tentang teori motivasi yang
menekankan kepentingan sendiri serta ketidakaturan sosial.
Terdapat beberapa prinsip liberalisme yang telah disetujui oleh kalangan
liberal:
a. Liberalisme politik adalah aliran di mana seseorang itu adalah asas
undang-undang dan masyarakat. Masyarakat dan institusi-institusi
kerajaan berada di dalam masyarakat yang berfungsi untuk
memperjuangkan hak-hak pribadi tanpa memihak kepada siapapun,
baik yang mempunyai taraf sosial yang tinggi ataupun yang rendah.
Magna Carta adalah satu contoh di mana dokumen politik meletakkan
hak-hak pribadi lebih tinggi daripada kekuasaan raja. Liberalisme
politik menekankan perjanjian sosial dimana rakyat merangkai
undang-undang dan bersedia untuk mematuhi undang-undang tersebut.
b. Liberalisme budaya menekankan hak-hak pribadi yang berkaitan
dengan cara hidup dan perasaan hati termasuk kebebasan seksual,
21
kebebasan beragama, kebebasan pemahaman dan pelindungan dari
campur tangan kerajaan di dalam kehidupan peribadi.
c. Liberalisme ekonomi yang juga dikenali sebagai liberalisme klasikal
atau liberalisme Manchester adalah satu ideologi mengenai hak-hak
peribadi atas harta benda dan kebebasan perjanjian tertulis. Ia
memperjuangkan kapitalisme laissez-faire yang ingin membuang
semua halangan terhadap perdagangan dan pemberhentian kemudahan
yang diberi oleh kerajaan seperti subsidi dan monopoli. Liberalisme
ekonomi menyatakan bahwa harga barang harus ditentukan oleh pasar
yang sebenarnya ditentukan oleh tindakan-tindakan konsumen.
Liberalisme ekonomi menerima ketidak samarataan sebagai hasil dari
persaingan yang tidak melibatkan dan merugikan hak-hak peribadi.
Aliran liberalisme ini dipengaruhi oleh liberalisme Inggris yang
merebak di pertengahan abad ke-19.
d. Liberalisme sosial atau liberalisme baru, mulai terlihat di kalangan
masyarakat negara-negara maju pada akhir abad ke-19. Dipengaruhi
oleh utilitarianisme yang diasaskan oleh Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill. Teori ini berkembang dari teori penyalahgunaan Sosialis
dan Marxis dan anggapan-anggapan terhadap "tujuan keuntungan" dan
membuat kesimpulan bahwa kerajaan seharusnya menggunakan
kuasanya untuk menyelesaikan masalah itu. Melihat dari faham
tersebut, semua individu perlu diberi kebebasan seperti pelajaran,
peluang ekonomik dan pelindungan daripada kejadian makro yang
tidak ditentukan oleh mereka, seperti yang ditulis oleh John Dewey
22
dan Mortimer Adler pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Menurut liberalisme sosial, kemudahan-kemudahan ini dianggap
sebagai hak yaitu hak-hak positif yang berbeda secara kualitatif dari
apa yang disebutkan dari segi klasikal, serta hak-hak negatif yang
hanya menuntut seseorang untuk mengambil hak-hak orang lain.
Menurut ahli-ahli liberalisme sosial, hak-hak positif ini perlu dibuat
dan diberikan kepada semua manusia. Menurut mereka, hak-hak
positif adalah objektif yang secara asasnya melindungi kebebasan.
(Jill, 2001 : 98)
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa paham liberalisme berkonotasi
luas, sebagaimana yang disimpulkan oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia:
Liberalisme mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, bahkan agama. Dalam sistem
politik, liberalisasi politik dipergunakan sebagai strategi untuk menghindari
konflik sosial. Yakni dengan menyuguhkan (liberalisme) pada si miskin dan kaum
pekerja sebagai hal yang progresif ketimbang kaum konservatif atau Kaum
Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda lagi, Politisi-politisi konservatif, yang
mengatakan bahwa mereka membenci kata “liberal” dalam arti tipe politik tak
memiliki keberatan apapun dengan liberalisme ekonomi. (Martinez & Garcia,
1997 : 34)
Liberalisme dengan demikian mempunyai makna yang berbeda dari satu
tempat ke tempat yang lain. Liberalisme asal mulanya merupakan bentuk
perjuangan kaum borjuasi menghadapi kaum konservatif, Sehingga bisa dikatakan
bahwa liberalisme sebelumnya merupakan ideologi kaum borjuis kota. Dalam arti
luas, liberalisme adalah paham yang mempertahankan otonomi individu melawan
23
intervensi komunitas, Tapi memang ada liberalisme ekonomi juga “civic
liberalism” atau liberalisme otonomi individual.
Teori yang kemudian menjadi acuan terhadap doktrin pasar bebas ini lahir
pada saat borjuasi di Inggris pada abad ke-19 berhasil merebut kekuasaan dari
tangan bangsawan penguasa masyarakat feodal yang disimbolkan melalui
Revolusi Industri. Doktrin ini pulalah yang menjadi pengabsah bagi para borjuasi
tersebut dalam melapangkan jalannya untuk menguasai dunia. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia yaitu Sistem
perdagangan bebas, perusahaan bebas dan ekonomi yang berbasiskan pasar,
sebenarnya telah muncul sejak 200 tahun yang lalu, sebagai satu mesin penggerak
utama dalam pembangunan revolusi industri. Namun, pada akarnya adalah
merkantilisme yang terbentuk selama abad pertengahan beberapa ratus tahun
sebelumnya. Dan juga memiliki akar serta paralel dengan berbagai metode yang
digunakan imperium sepanjang sejarahnya (dan saat ini masih digunakan) untuk
menguasai tempat-tempat yang lebih lemah disekitarnya serta untuk merampas
kekayaannya. (Martinez & Garcia, 1997 : 34)
Ekonomi liberalisme klasik yang mulanya dibangkitkan oleh ekonom
Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nations (1776). Adam Smith yang
dianggap beberapa orang sebagai bapak kapitalisme pasar bebas, menganjurkan
bahwa untuk mencapai efisiensi maksimum, semua bentuk campur tangan
pemerintah dalam masalah ekonomi sebaiknya ditanggalkan, dan seharusnya tak
ada pembatasan atau tarif dalam manufaktur serta perdagangan satu bangsa agar
bangsa tersebut bisa berkembang.
24
Sepanjang sejarahnya, sistem ekonomi kapitalisme memang telah
mengalami krisis yang mengharuskan para penganutnya untuk menemukan solusi
untuk menyelesaikan krisis-krisis tersebut. Lahirnya liberalisme pun merupakan
evolusi dalam sistem kapitalisme untuk menjawab krisis yang menimpanya.
(Yaffe, 2001 : 2)
Akan tetapi sejarah liberalisme pasar ala Adam Smith pun harus berujung
pada krisis ekonomi. Dipandu oleh doktrin liberal, komoditas diproduksi tidak
untuk memenuhi kebutuhan pasar yang abstrak. Akibatnya jumlah komoditas
yang diproduksi menjadi tidak terbatas jumlahnya, tergantung pada fluktuasi (naik
turunnya) permintaan pasar yang tidak bisa diramalkan sehingga terjadi produksi
masal. Tapi, bagaimana memasarkan produksi masal itu, Inilah yang tak sanggup
dipecahkan oleh sistem kapitalisme, sehingga terjadi kelebihan produksi (over
production).
Disaat malaise (krisis yang disebabkan oleh kelebihan produksi) itu,
keadaan ekonomi mengalami kontraksi (pengetatan) yang sangat hebat di semua
sektor (pertanian dan industri) sehingga terjadi pengangguran masal dimanamana. Kapasitas produksi menjadi mubazir karena sebagian besar tak bisa
dimanfaatkan. Karena depresi besar pada tahun 1930-an tersebut, seorang
ekonom, John Maynard Keynes, menganjurkan bahwa regulasi dan campur
tangan pemerintah sebenarnya dibutuhkan untuk memberi keadilan yang lebih
besar dalam pembangunan. Selain itu, tugas Keynes adalah bagaimana memacu
kembali dinamika kapitalisme tanpa memotong sepeser pun keuntungan kelas
pemilik modal. Keynes berteori, liberalisme bukanlah cara terbaik bagi
pertumbuhan kapitalisme. Inti pendapatnya, full employment (keadaan tanpa
25
pengangguran) adalah hal yang mutlak perlu untuk pertumbuhan kapitalisme.
Dalam bukunya yang terkenal ditahun 1926, berjudul The End of Laissez Faire,
Keynes mengatakan “Sama sekali tidak akurat untuk menarik kesimpulan dari
prinsip-prinsip ekonomi politik, bahwa kepentingan perorangan yang paling
pintar sekalipun akan selalu berkesesuaian dengan kepentingan umum, keadaan
tanpa pengangguran hanya bisa dicapai jika negara dan bank sentral campur
tangan dalam menurunkan tingkat pengangguran”. (Setiawan, 2001 : 2)
Disini Keynes berpendapat, negara tidak hanya diharapkan menjaga
ketertiban umum berdasarkan perangkat hukum, menyediakan prasarana ekonomi
dan sosial yang memadai, melaksanakan program pemberantasan kemiskinan dan
ketimpangan sosial, tetapi juga secara aktif terlibat langsung dalam investasi di
bidang perhotelan dan barang-barang konsumsi. Keynes juga berpendapat bahwa
dalam
perekonomian
yang
sedang
menurun,
pemerintah
sebaiknya
memberlakukan deficits pending dalam waktu singkat untuk menciptakan
lapangan kerja guna menghambat pelarian modal-modal ke luar negeri dan
memperketat
kontrol
terhadap
pertukaran
mata
uang.
(Lorimer,
http://www.jinx.sistm.unsw.edu.au diakses tanggal 12 Desember 2009)
Jadi, dalam konsepsi Keynes, negara tidak hanya menjadi parasit tapi
investor sekaligus. Dengan campur tangan negara, diasumsikan sirkulasi ekonomi
kembali bergerak keluar dari jebakan krisis. Kepercayaan bahwa negara harus
memajukan kesejahteraan bersama akhirnya diterima dimana-mana. Ide tersebut
mempengaruhi presiden AS, Roosevelt, untuk membuat program New Deal di
tahun 1935, program yang ditujukan untuk “meningkatkan kesejahteraan banyak
orang”, meningkatkan daya beli.
26
Ekonomi
kapitalis
membutuhkan
intervensi
negara,
bila
hanya
mengandalkan mekanisme pasar semata, maka ia akan hancur, hanya negara yang
sanggup melanggengkan kapitalisme. Sebagai contoh, krisis tahun 1930-an di AS
dipicu oleh kelebihan produksi, maka salah satu wujud intervensi negara adalah
membuka pasar negara lain bagi produksi komoditas negara industri maju jalan
terampuh dan efektif untuk membuka pasar tak lain dengan perang. Persis, seperti
yang dikatakan Keynes dalam tulisannya The General Theory of Employment,
Interest, and Money bahwa perang telah menjadi satu-satunya bentuk
pembelanjaan dalam skala besar (berbentuk hutang pemerintah) yang harus
disetujui, diabsahkan oleh negarawan. (koran pembebasan partai rakyat
demokratik, 2002)
Pasca perang dunia II, pertumbuhan ekonomi sangat luar biasa, Periode
pasca perang hingga pertengahan tahun 1970-an disebut sebagai “Zaman
Keemasan Kapitalisme” (Capitalist Golden Age), yang ditandai dengan
berkembangnya negara-negara kesejahteraan dan berkembangnya pertumbuhan
ekonomi saat itu. Meski demikian kondisi ini tidak terjadi akibat pengadopsian
kebijakan Keynesian akan tetapi restorasi tingkat keuntungan (dalam investasi
produksi) lah yang menyelamatkannya, yaitu melalui :
1) Rendahnya upah riil (karena tingkat pengangguran tahun 1930-an)
2) Hancurnya kompetisi bisnis, dan terjadinya konsentrasi modal secara
masif
3) Anggaran defisit negara yang dibelanjakan untuk membeli barangbarang kebutuhan perang sejak awal 1940-an. (koran pembebasan
rakyat demokratik, 2002)
27
Karena tetap berjalan diatas fondasi hukum ekonomi kapitalis,
pertumbuhan ekonomi yang begitu mengagumkan saat itu juga tak bertahan lama.
Menjelang akhir tahun 1960-an dan dekade 1970-an kapitalisme kembali jatuh
dalam krisis. Tingkat pertumbuhan dan investasi mulai jatuh di awal masa
tersebut (sampai setengah dari tingkat sebelumnya). Pengangguran merajalela,
sementara eksploitasi terhadap sumber-sumber daya semakin tak terkendali.
(Amin, 2001 : 42)
Berbeda dengan krisis 1930-an, yang dianggap lahir karena pemusatan
terhadap pasar, krisis kali ini dianggap sebagai akibat intervensi negara terhadap
pasar. Keynesian dipersalahkan, karena intervensi negara telah menyebabkan
kelas kapitalis gagal dalam melipatgandakan akumulasi kapital. Secara teoritis,
ada dua penjelasan mengapa Keynesian gagal dalam mempertahankan momentum
pertumbuhan ekonomi.
Pertama, kebijakan intervensi negara yang dianjurkan Keynes guna
merangsang dan menggerakkan roda perekonomian yang macet akibat depresi
besar, sekaligus mencegah berulang kembalinya krisis ekonomi, hanya bisa
dipenuhi jika terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi terus menerus dan
berkesinambungan. Kenyataannya, pertumbuhan ekonomi tinggi pasca-malaise
terjadi karena dikobarkannya perang dunia II yang dimenangkan oleh negaranegara imperialis.
Kedua, pertumbuhan tinggi hanya bisa terjadi jika kebebasan pasar dan
upah buruh murah. Disini letak kegagalan teori Keynes, karena ia menderita
kontradiksi didalam dirinya sendiri. Di satu sisi dia menganjurkan intervensi
negara secara aktif dalam pasar, tapi disisi lain, intervensi itu menyebabkan pasar
28
terdistorsi sehingga
momentum pertumbuhan ekonomi, sebagai
sumber
pendapatan negara dalam negara kesejahteraan mengalami perlambatan.
Bagaimana mungkin mewujudkan distribusi kemakmuran tanpa menggerogoti
keuntungan kelas kapitalis. (Pontoh, 2003 : 48-49)
Cara-cara Keynes hanya akan mendorong suatu inflasi harga barangbarang dan jasa-jasa saja bila para investor yang menguasai bisnis (oligarki
finasial) tidak bisa memperluas pasar bagi peningkatan produksinya. Selama
depresi besar tersebut tidak ada perluasan pasar seperti yang diharapkan, itulah
mengapa keampuhan kebijakan Keynesian sangat terbatas.
Dikaitkan dengan ekonomi Cina, Meskipun dalam hal ini Deng Xiaoping
menerapkan sistem ekonomi liberal, intervensi negara tetap dipertahankan.
Pemerintah pusat tetap melakukan intervensi dan kontrol terhadap perekonomian
negara, kemudian faham komunis tetap dipertahankan sebagai ideologi negara
meski tidak diterapkan secara kaku. Cina menggunakan Sistem ekonomi Pasar
Sosialis, yaitu suatu sistem ekonomi yang berorientasi pasar, namun tetap berada
dalam bingkai sistem politik yang digariskan oleh Partai Komunis Cina sehingga
sistem ini sering juga disebut dengan Sistem Sosialis dengan karakteristik Cina.
Sistem ini telah menggantikan model ekonomi perencanaan terpusat yang
umumnya dianut negara-negara dengan sistem komunis. (Wibowo, 2000 : 64)
II.
Teori Globalisasi
Istilah "globalisasi" diberi beberapa pengertian dan dipahami di dalam
berbagai konteks sesuai penggunaannya. Menurut Princeton N.
Lyman, dari
Institut Keamanan Amerika Serikat dan mantan Duta negara di Afrika Selatan,
29
globalisasi biasanya
merujuk kepada "rapid growth of interdependency and
connection in the world of trade and finance " (Lyman, 2000:90)
Tetapi dia sendiri berpendapat bahwa globalisasi tidak dapat dibatasi
hanya sebagai fenomena perdagangan dan sirkulasi keuangan yang berkembang
dan kian meluas. Karena menurutnya, "there are other Trends Driven by the same
explosion of technological capability that have facilitated the financial changes.
Globalization from communications is one such trend ". ( Lyman, Ibid)
Pusat Kajian Globalisasi dan Regionalisasi (CSGR), Universitas Warwick
Inggris, juga menolak pengertian globalisasi yang yang terbatas pada fenomena
ekonomi. Di samping itu, dia tidak dapat menerima pandangan yang mengatakan
bahwa apa yang disebut globalisasi hanyalah merupakan fenomena Amerika
Utara, bukannya fenomena Eropa. Insitut itu menekankan pendiriannya bahwa
pemahaman pada globalisasi melaksanakan berbagai dimensi, yaitu politik,
ideologi,
ekonomi
dan
budaya.
Banyak
benda
dapat
diglobalisasikan.
Diantaranya, "goods, services, money, people, information, effects on the
international order and less tangible things such as IDEAS, behavioural norms
and cultural practices ".(Loy,1998:63)
Selaras dengan cakupan luas fenomena globalisasi ini, CSGR memiliki
dua pandangan terhadap fenomena itu. Pertama, globalisasi dipandang sebagai
satu kumpulan proses. Globalization is the emergence of a set of sequences and
processes that are increasingly
unhindered by territorial or jurisdictional
barriers and that indeed enhance the spread of
trans-border practices in
economic, political, cultural and social domains. Kedua, globalisasi dilihat
sebagai satu wacana. Globalization is a Discourse of political and economic
30
knowledge ordered one view of how to make the postmodern world manageable.
David Loy, seorang dosen dari Universitas Bunkyo Jepang dan salah seorang
pembentang kertas di Konferensi Globalisasi anjuran melihat globalisasi sebagai
"a complex set of developments: economic, political, technological and cultural
". (Loy, Ibid)
Deklarasi yang dikeluarkan di akhir Konferensi yang sama telah membuat
kesimpulan berikut:
"Globalization refers to the interconnectedness of human activity on a
global scale, to the unprecendented flows of capital and labour, technology skills,
IDEAS and Values across state and national boundaries, but in ways which
neither states nor Nations can adequately control ". (Loy,Ibid)
Variasi dimensi globalisasi juga ditegaskan oleh Leonor Briones, Ketua
Focus on the Global South, sebuah badan regional non-pemerintah (NGO) yang
berkantor pusat di Bangkok. Menurutnya, bukan saja terdapat globalisasi bisnis
dan ekonomi tetapi sejalan dengannya
juga terdapat "globalization of the
Democratic institusi, social development and human rights and the women's
movement ".(Briones, http://www.elibrary.com diakses pada 20, Februari, 2010)
Akhirnya, karena bahwa globalisasi ekonomi pada umumnya dianggap
sebagai inti fenomena yang dinamakan globalisasi, maka ingin dijelaskan di sini
satu definisinya yang dihitung dapat membantu kita merumuskan arti dan ciri-ciri
globalisasi secara komprehensif. "Economic globalisation is a deepening process
from interdependence from world economies in any fields, including production
and market, which optimize the distribution of
any production factors and
resources by Mållag cross-border flows of human
31
resources, capital,
Commodities, services, technology and information". (http://www.elibrary.com
diakses pada tanggal 20 Februari 2010)
Berdasarkan
beberapa
definisi
dan
penjelasan
diatas,
dapat
diidentifikasikan ide-ide kunci yang terkandung dalam konsep globalisasi.
Dengan mengambil ide-ide ini kita dapat mengajukan makna komprehensif
globalisasi seperti berikut. Globalisasi adalah suatu himpunan proses pengaliran
global berbagai jenis objek yang melibatkan berbagai bidang aktivitas manusia.
Objek yang diglobalisasikan bisa jadi fisik atau bukan fisik. Bisa jadi dalam
bentuk informasi, ide, nilai, institusi, atau sistem. Himpunan proses pengaliran
global ini dan bidang aktivitas manusia yang terlibat kian kait mengait, saling
tergantung dan kompleks sifatnya. Dengan bersandarkan definisi dan penjelasan
fitur-fitur utama globalisasi yang disebutkan di atas, kita dapati adalah wajar
untuk membelah fenomena dan proses globalisasi ke berbagai dimensi.
Globalisasi yang diberi arti luas ini adalah suatu hakikat yang tidak dapat
dipertentangkan. Kita juga mengambil pendirian di sini bahwa hakikat yang
dinamakan globalisasi itu sudah ada sebelum istilah globalisasi diperkenalkan
lagi. Globalisasi sudah ada dalam era penjajahan dan imperialisme Barat yang
dimulai di sekitar tahun 1500, Pada sifatnya, imperialisme adalah suatu bentuk
globalisasi.
Paling tidaknya, bisa dianggap sebagai agen globalisasi. Semua
imperialisme memiliki kecenderungan untuk menglobalisasikan objek tertentu.
Dalam membuat pernyataan bahwa globalisasi adalah suatu kenyataan sebelum
zaman kontemporer, tidak berarti tidak ada perbedaan langsung antara globalisasi
zaman sekarang dengan globalisasi zaman dahulu.
Memang ada perbedaan
mencolok antara globalisasi dalam satu era dangan globalisasi dalam era yang
32
lain. Namun demikian, perbedaan itu bukan dari segi sifat tetapi dari segi ciricirinya. Selama kita berbicara tentang hakikat yang sama, yaitu globalisasi, maka
selama itu sifatnya tetap sama tanpa melihat zamannya.
Waltz berpendapat bahwa globalisasi merupakan interdependensi, bahwa
adannya saling ketergantungan antara perorangan, perusahaan, dan pasar, negara
kurang peduli, karena ekonomi yang mendorong negara-negara untuk membuat
sebuah kebijakan. Seperti menjadi lebih saling bergantung antara satu sama lain,
keputusan dibuat secara keseluruhan kolektif di bidang ekonomi, bukan secara
independen. (Waltz,1999:693-700)
Waltz berpendapat bahwa negara yang ingin bergabung dengan pasar
dunia harus memakai straight jacket, paket kebijakan termasuk anggaran yang
seimbang, deregulasi ekonomi, keterbukaan terhadap investasi dan perdagangan,
dan mata uang yang stabil. Oleh Karena itu, globalisasi ekonomi sangat prihatin
dengan hal tersebut, bukan keputusan politik oleh satu negara atau orang, bukan
suatu kawanan investor dan pemberi pinjaman yang memutuskan kapan suatu
negara akan menerima investasi dan menjadi pemain ekonomi dunia. Karena
merupakan kawanan yang memutuskan keberhasilan suatu negara, mereka tidak
peduli tentang siapa yang di pemerintahan, bukan memiliki negara apakah
stabilitas, prediktabilitas, transparansi, dan kemampuan untuk mentransfer dan
melindungi hak milik pribadi. (Walz,Ibid)
Untuk Waltz, globalisasi juga berarti homogenitas harga, produk, tingkat
kepentingan, dan lain-lain. Sebuah ekonomi yang kuat di bawah globalisasi
mensyaratkan transparansi, tapi kemudian bahwa transparansi akan mentransfer
ideologi ke alam sosial dan politik. Waltz berpendapat bahwa ini ditunjukkan
33
bahwa terlambat meniru dan mengadopsi praktik institusi negara yang telah
menunjukkan jalan. Negara-negara dibedakan dari satu sama lain bukan dengan
fungsi, tetapi terutama oleh kemampuan Kapasitas. untuk mengubah, mengadopsi,
menjaga kekuasaan, perdagangan, beradaptasi. Jika mereka tidak bisa beradaptasi,
kemudian Waltz berpendapat bahwa kegagalan mereka akan diterima di
komunitas global akan memimpin ke jurang kemiskinan yang lebih besar,
investasi kurang, teknologi yang kurang: ekonomi stagnan. Apa globalisasi telah
membawa dunia, akhirnya Waltz berpendapat, bukan saling ketergantungan
meningkat, tapi ketimpangan tumbuh antara negara Utara dan Selatan.
Robinson berfokus pada ekonomi juga, tetapi lebih jauh berpendapat
bahwa globalisasi adalah penyebaran kapitalisme di seluruh dunia. Sebelum
globalisasi relevan, kekuasaan militer dan berjuang melalui kekuatan fisik, seperti
contoh melalui konflik. AS mengambil tempat kolonialisme, intervensi baik
secara politik dan militer di Amerika Latin, Timur Tengah dan di tempat lain.
Setelah Perang dunia II, ini meninggalkan AS dengan tanggung jawab stabilitas,
dan mereka sering memilih rezim otoriter. ( Robinson: 1996: 615-665)
Ketika ekonomi global menjadi lebih relevan dan didefinisikan, sebuah elit
yang baru muncul berdasarkan kekuatan kapitalis uang di pasar bebas dan modal
perseroan. Robinson menunjukkan bahwa ini terjadi pada pertengahan 1980-an
sebelum berakhirnya perang dingin. Ini adalah poin penting, karena hal tersebut
menunjukkan bahwa AS prihatin dengan globalisasi ekonomi dan faktor-faktor
politik. Apa yang dihasilkan dari perubahan untuk
mendukung rezim-rezim
otoriter adalah dukungan dari elit polyarchy. "Polyarchy mengacu pada sebuah
sistem di mana sekelompok kecil yang sebenarnya merupakan aturan masa dan
34
partisipasi dalam pengambilan keputusan terbatas, asumsi polyarchy adalah
bahwa elit akan merespon kehendak mayoritas.
Di Timur Tengah, gerakan penduduk sedang mencari perubahan sosial
yang mendasar, tidak hanya sekadar perubahan dalam proses pemilu. Populer
Perbedaan antara demokrasi dan polyarchy penting untuk dicatat demokrasi
Populer berarti bahwa mayoritas pemilih memutuskan kebijakan dan hasil
representatif, sementara polyarchy menyiratkan bahwa elite akan memutuskan apa
yang terbaik bagi mayoritas elit. Transisi dari otoriterisme ke polyarchy tidak
menghilangkan koersif aparat tetapi aparat sipil untuk mensubordinasi . Dengan
kata lain, siapa pun yang dipilih tidak harus mewakili semua orang, hanya elit
ekonomi yang berkuasa.
Istilah globalisasi menggambarkan dua proses yaitu produksi kapitalis dan
perdagangan menggantikan ekonomi proteksionis melalui spesialisasi dan
globalisasi dari proses produksi, dan pasar yang terintegrasi, ini telah
menyebabkan integrasi ekonomi nasional, tidak hanya ekonomi, tetapi juga sosial.
Aturan ekonomi berbasis di AS, bersama dengan Eropa dan elit penguasa lainnya.
Praktek transnasional globalisasi ada tiga tingkat yaitu ekonomi, politik
dan budaya. Ekonomi itu adalah modal transnasional yang paling penting bagi elit
global. Secara politis, itu adalah keberhasilan elite ekonomi, dan budaya,
globalisasi adalah sistem konsumerisme.
III.
Teori Perdagangan Internasional
Thomas Mun adalah seorang cendekiawan Inggris dan putera seorang
pedagang di London. Mun berhasil mengeluarkan hasil pemikirannya dalam
35
bukunya yang berjudul England’s Treasure by Foreign Trade yang memberikan
sumbangan yang sangat besar terhadap teori perdagangan internasional. Mun
berpendapat bahwa untuk meningkatkan kekayaan negara, cara yang biasa
dilakukan adalah melalui jalur perdagangan dan karena itu pedoman yang harus
dipegang teguh oleh suatu negara adalah mengusahakan agar nilai ekspor ke luar
negeri harus lebih besar dibandingkan dengan yang di impor oleh negara itu.
Keuntungan bersih menurutnya akan diperoleh melalui selisih dari hasil penjualan
yaitu ekspor dengan pembelian yaitu impor dan dengan demikian jumlah uang
emas dan perak yang akan diterima akan semakin besar tiap tahunnya. Mun juga
berpendapat jika suatu negara melalui jalur perdagangan memperoleh banyak
uang, jangan sampai modal itu hilang justru karena uang itu tidak dipergunakan
untuk berdagang lagi. (http//www.brookesnews.com diakses pada 18, April, 2010)
Dari argumen Mun dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa bahkan
dalam suatu tata ekonomi perdagangan, uang baru merupakan kekayaan yang
berarti hanya bila uang tersebut digunakan sebagai alat tukar menukar, dan uang
akan menjadi beban suatu negara jika uang hanya disimpan saja. Sumbangan Mun
yang tidak kalah pentingnya adalah terciptanya suatu kerangka dasar neraca
pembayaran suatu negara pada tahun tertentu. Walaupun neraca pembayaran pada
saat itu angka-angka itu memang tidak disusun teliti, namun yang terpenting Mun
telah menunjukkan kerangka dasar neraca pembayaran dengan baik sekali.
Julukan merkantilisme pada dasarnya diberikan kepada aliran atau paham
ini oleh para kritikus ekonomi khususnya Adam Smith. Sebutan merkantilisme
mengandung makna menyamakan suatu bangsa atau negara dengan kebijakan
seorang pedagang, yang berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar pada waktu
36
menjual dibandingkan dengan apa yang dikeluarkannya ketika membeli dan
dengan demikian meningkatkan kekayaan perusahaannya. (Ibid)
Ekonomi klasik resmi berdiri ketika Adam Smith mengeluarkan bukunya
yang berjudul An Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nation s, yang
biasa disingkat dengan Wealth of Nations. Dalam bukunya, Adam Smith
menjelaskan apa yang
merupakan pokok masalah ekonomi modern yakni
bagaimana meningkatkan kekayaan suatu negara dan bagaimana kekayaan
tersebut didistribusikan. (Krugman, 2003:31)
Menurut Adam Smith, kekayaan suatu negara akan bertambah searah
dengan peningkatan keterampilan dan efisiensi para tenaga kerja, dan sejalan
dengan persentase penduduk yang terlibat dalam proses produksi. Kesejahteraan
ekonomi setiap individu tergantung pada perbandingan antara produksi total
dengan jumlah penduduk. Smith juga menganjurkan adanya spesialisasi kerja dan
penggunaan mesin-mesin sebagai sarana utama untuk peningkatan produksi. Dia
juga memperkenalkan konsep invisible hand-nya di mana setiap orang yang
melakukan kegiatan di dalam perekonomian dituntun oleh sebuah “tangan yang
tidak terlihat” sehingga dia dengan mengejar kepentingannya sendiri dia kerap
justru lebih efektif memajukan kepentingan masyarakat.
Adam Smith mengajukan teori perdagangan internasional yang dikenal
dengan teori keunggulan absolute. Dia berpendapat bahwa jika suatu negara
menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di dalam
negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antar bangsa.
Karena hal itu dia mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara lebih baik
berspesialisasi dalam komoditi-komoditi di mana dia mempunyai keunggulan
37
yang absolute dan mengimpor saja komoditi-komoditi lainnya.( (Krugman, Ibid)
Apa yang dimaksud dengan keunggulan yang absolute? Maksudnya seperti ini,
jika negara A dapat memproduksi kentang untuk 8 unit per tenaga kerja
sedangkan negara B untuk komoditi yang sama hanya dapat memproduksi 4 unit
per tenaga kerja, sedangkan untuk komoditi lain misalnya gandum, negara A
hanya dapat memproduksi 6 unit per tenaga kerja sedangkan untuk negara B dapat
memproduksi 12 unit per tenaga kerja, maka dapat disimpulkan bahwa negara A
mempunyai keunggulan absolute dalam produksi kentang dibandingkan dengan
negara B, sedangkan negara B dapat dikatakan mempunyai keunggulan absolut
dalam produksi gandum dibandingkan negara A. Perdagangan internasional yang
saling menguntungkan antara kedua negara tersebut jika negara A mengekspor
kentang dan mengimpor gandum dari negara B, dan sebaliknya negara B
mengekspor gandum dan mengimpor kentang dari negara A.
Teori perdagangan internasional yang lain diperkenalkan oleh David
Ricardo (Anwar,1997:88). Teorinya dikenal dengan nama teori keunggulan
komparatif. Berbeda dengan teori keunggulan absolute yang mengutamakan
keunggulan absolute dalam produksi tertentu yang dimiliki oleh suatu negara
dibandingkan dengan negara lain, teori ini berpendapat bahwa perdagangan
internasional dapat terjadi walaupun satu negara tidak mempunyai keunggulan
absolute, asalkan harga komparatif di kedua negara berbeda. Ricardo berpendapat
sebaiknya semua negara lebih baik berspesialisasi dalam komoditi-komoditi di
mana dia mempunyai keunggulan komparatif dan mengimpor saja komoditikomoditi lainnya. Teori ini menekankan bahwa perdagangan internasional dapat
saling menguntungkan jika salah satu negara tidak usah memiliki keunggulan
38
absolute atas suatu komoditi seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith, namun
cukup memiliki keunggulan komparatif di mana harga untuk suatu komoditi di
negara yang satu dengan yang lainnya relative berbeda.
Walaupun
ada
beberapa perbedaan pandangan mengenai perdagangan internasional, namun pada
dasarnya keberadaan pandangan ekonomi klasik ini merupakan oposisi terhadap
teori-teori yang beraliran merkantilistik abad ke-17 dan 18. Kaum merkantilis
pada pokoknya mengutamakan perdagangan luar negeri, di mana mereka berpikir
tipikal kapitalis yang keuntungannya datang dari membeli murah dan menjual
mahal. Sedangkan tema pokok dalam ekonomi klasik adalah pembahasan tentang
laba dan sewa dalam dalam pengertian surplus yang datang dari produksi. Surplus
itu sendiri nantinya akan masuk ke tangan para kapitalis atau pemilik tanah
sebagai tambahan untuk akumulasi modalnya.
Ada cukup banyak kontroversi tentang model dari perbandingan
keuntungan dan penerapan untuk bisnis internasional, khususnya sebagai panduan
untuk negara sukses dan atau perusahaan di pasar internasional. Persepsi ini dari
ketidak bergunaan model keunggulan komparatif telah mengakibatkan pakar
bisnis internasional untuk mengembangkan model baru, atau apa yang disebut
kerangka kerja, untuk menganalisis potensi keberhasilan perusahaan dan atau
negara di pasar internasional. Kerangka kerja yang dikenal sebagai model dari
"keunggulan kompetitif.
a)
Comparative Advantage
Literatur tentang perdagangan internasional dan kebijakan berisi sejumlah
alasan mengapa negara mungkin memiliki keuntungan dalam mengekspor
komoditas ke negara lain. Untuk kenyamanan, sebagian besar alasan ini dapat
39
diklasifikasikan menjadi : (1) teknologi superior, (2) sumbangan sumber daya, (3)
pola permintaan, dan (4) kebijakan komersial. Teknologi Unggulan Adam Smith,
prinsip "keuntungan absolut" dan Ricardo prinsip Keunggulan komparatif", pada
umumnya, didasarkan pada keunggulan teknologi dari satu negara atas negara lain
dalam memproduksi komoditas. keuntungan absolut mengacu pada negara yang
memiliki produktivitas lebih tinggi (mutlak) atau menurunkan jumlah biaya dalam
memproduksi komoditas dibandingkan dengan negara lain. Namun, keuntungan
mutlak dalam produksi sebuah komoditas adalah tidak perlu dan tidak cukup
untuk perdagangan yang saling menguntungkan. Sebagai contoh, negara mungkin
mengalami kerugian mutlak dalam produksi semua komoditas dibandingkan
dengan negara lain, namun negara bisa memperoleh manfaat dengan terlibat
dalam perdagangan internasional dengan negara-negara lain, karena relatif
(komparatif) keuntungan dalam produksi beberapa komoditas vis-a-vis negaranegara lain. Demikian pula, keunggulan absolut dalam produksi komoditi tidak
cukup, karena negara mungkin tidak relatif (komparatif) keuntungan dalam
produksi komoditas itu.
Menurut Ricardo prinsip keunggulan komparatif tidak memerlukan
produktivitas mutlak lebih tinggi tetapi hanya produktivitas relatif lebih tinggi
dalam memproduksi komoditas perdagangan. Model Ricardian mengasumsikan
produktivitas konstan, karena hanya ada satu faktor produksi (buruh), dan karena
itu konstan biaya yang mengarah untuk menyelesaikan spesialisasi.
Sedangkan prinsip keunggulan komparatif David Ricardo menguraikan itu
dikemas dalam hal keunggulan teknologi, dengan prinsip, ketika diungkapkan
dalam istilah membandingkan biaya peluang atau relatif harga barang dan jasa
40
antara negara cukup umum untuk mencakup berbagai situasi. Selanjutnya,
meskipun penjelasan Ricardo keunggulan komparatif itu dalam hal statis,
keunggulan komparatif merupakan konsep dinamis. Keuntungan komparatif
sebuah negara dalam produk dapat berubah dari waktu ke waktu karena perubahan
salah satu faktor penentu keuntungan komparatif termasuk sumbangan sumber
daya, teknologi, pola permintaan, spesialisasi, praktek bisnis, dan kebijakan
pemerintah.
kemampuan manusia juga dapat dianggap sebagai sumber daya. Negaranegara dengan keterampilan manusia berlimpah relatif akan memiliki keunggulan
komparatif lebih intensif dalam produk yang menggunakan keterampilan manusia.
Beberapa produk seperti elektronik memerlukan tenaga kerja terampil (seperti
teknisi, programer, desainer, dan profesional lainnya). produk tersebut dapat
memperoleh keuntungan komparatif di negara-negara (seperti Taiwan, Singapura,
Hong Kong) mempuyai tenaga kerja yang relatif lebih baik dan terampil.
(Keesing, 1966:54).
Selain itu, Skala ekonomi dapat memberikan keunggulan komparatif
dengan menurunkan biaya produksi. Eksternal ekonomi yang beroperasi dengan
menggeser biaya rata-rata perusahaan, sebenarnya dapat terjadi karena kebijakan
industri atau peran proaktif dari pemerintah dalam menyediakan infrastruktur
yang lebih baik dan tenaga kerja terdidik atau terlatih. Skala ekonomi tersebut
sejalan dengan model Ricardian dan faktor proporsi model. Skala ekonomi
(internal) dicapai melalui adanya sebuah pasar dan beberapa kebijakan
aksesibilitas terhadap pasar yang lebih besar di luar negeri juga berarti biaya
produksi yang lebih rendah. Hal ini dapat meningkatkan atau menciptakan
41
keunggulan komparatif untuk industri.(Venon,1966:81) Hipotesis Siklus Produk
menekankan pentingnya sifat dan ukuran permintaan produk baru di negaranegara industri.
Perdagangan internasional, melalui alokasi sumber daya yang lebih baik,
meningkatkan pendapatan, tabungan, dan investasi, sehingga memungkinkan
negara untuk mewujudkan pertumbuhan yang lebih tinggi. Selain itu, untuk
negara-negara berkembang, perdagangan dapat memungkinkan mereka untuk
mentransformasi barang konsumsi dan bahan baku menjadi barang modal serta
keuntungan teknologi tahu bagaimana teknologi negara-negara maju.
b) Competitive Advantage
Dalam sebuah artikel (Neary,2003:4), berusaha untuk memajukan teori
keunggulan komparatif dengan adanya ketidak sempurnaan pasar untuk
pemahaman umum keunggulan kompetitif dalam ekonomi.
Perbandingan keuntungan secara luas diyakini untuk menjadi kunci
penentu produksi dan pola perdagangan internasional, tapi biasanya non-ekonom
berpikir sebaliknya. Sesuatu yang harus dilakukan dengan pasar yang kompetitif
lebih kepada hambatan lebih rendah atau hanya sejumlah besar perusahaan dapat
memberikan suatu industri keuntungan dalam bersaing dengan pesaing asing.
Berlainan dengan itu keunggulan kompetitif adalah sinonim untuk keuntungan
absolute, beberapa kebijakan superioritas (seperti pajak yang lebih rendah atau
fleksibilitas pasar tenaga kerja lebih besar) yang mengurangi biaya untuk semua
sektor. Sebuah pendekatan yang berbeda untuk memahami keuntungan
kompetitif, dicontohkan oleh Porter pada tahun 1990, adalah dengan
42
menggunakan studi kasus untuk mengidentifikasi faktor, yang mendorong
perusahaan negara untuk mencapai pasar saham dunia yang tinggi di industri
mereka. Untuk sebagian besar, ekonom mengabaikan pendekatan Porter atau
menganggapnya sebagai sekadar penyajian kembali keunggulan komparatif
(Warr, 1994:14)
Setelah pembangunan Porter dari konsep keunggulan kompetitif, litelatur
produktif telah menjamur pada subjek (Hoffman, 2000:4) dan referensi di
dalamnya untuk dikutip. Namun, tidak ada suara bulat pada makna dan sumber
keunggulan kompetitif. (Porter,1985:96) Porter menekankan daya saing di tingkat
perusahaan dalam hal kompetitif sebagai strategi biaya rendah dan diferensiasi
produk. Namun, dia mendeskripsikan daya saing tidak memerlukan definisi
konseptual formal. Seperti yang dicatat oleh Cho (Cho,1998:1)
Mengembangkan
sebuah
definisi
keuntungan
kompetitif
yang
berkelanjutan berdasarkan Barney bersama-sama dengan arti masing-masing
kamus
istilah
sebagai
sebuah
keuntungan
kompetitif
adalah
manfaat
berkepanjangan menerapkan beberapa nilai untuk menciptakan strategi tidak
secara simultan dilaksanakan oleh setiap atau potensi pesaing saat ini sepanjang
dengan
ketidakmampuan
untuk
menduplikasi
manfaat
dari
strategi.
(Barney,1991:17)
Definisi ini menekankan daya saing dari suatu perusahaan berdasarkan
faktor-faktor spesifik perusahaan dan dengan demikian mengabaikan aspek makro
keunggulan komparatif. Sejumlah penulis pada keunggulan kompetitif yang telah
difokuskan pada penentu atau sumber keunggulan kompetitif seperti atribut
penting dari perusahaan yaitu nilai, ketidakmampuan untuk ditiru, dan
43
ketidakmampuan untuk diganti (Barney,Ibid) potensi sumber daya penting
diklasifikasikan sebagai keuangan, fisik, hukum, manusia, organisasi, informasi,
dan rasional (Hunt dan Morgan, 1995:59)
Kerangka Pemikiran
Ekonomi Cina
Perdagangan
GDP
Kebijakan
Internasional
Ekonomi Amerika
Serikat
Dalam bagan kerangka pemikiran diatas bisa dilihat korelasi antara
ekonomi Cina dan ekonomi AS yang bersaing dalam perdagangan internasional,
sehingga melalui perdagangan internasional itu bisa dilihat gross domestic
product(GDP) dari masing-masing negara, AS melihat bahwa GDP Cina
mengalami peningkatan secara konstan dan bahkan menigkata dalam setiap
tahunnya, sehingga AS merasa khawatir jika peningkatan ekonomi Cina ini terus
dibiarkan meningkat maka akan mengancam legitimasi AS sebagai negara super
power dunia, oleh sebab itu AS mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk
menghambat laju pertumbuhan ekonomi Cina.
D. Metode Penelitian
Penulisan penelitian memerlukan cara pemecahan bagi masalah-masalah
yang dihadapi. Adapun arti dari metode itu sendiri diambil dari bahasa Yunani
yaitu metodos adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah maka
44
metode menyangkut mengenai cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami
objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1973 :
15)
Adapun teknik pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini penulis
menggunakan data kualitatif, dimana penulis akan menjelaskan permasalahan
berdasarkan fakta-fakta dan data yang diperoleh. Angka-angka statistik hanya
digunakan sebagai penunjang dari fakta-fakta yang dipaparkan yang diperoleh
melalui kepustakaan, dimana konsep-konsep data yang relevan dengan pokok
masalah dimbil dari sumber-sumber kepustakaan, seperti buku-buku, majalah,
jurnal-jurnal berkala, koran, media elektronik serta laporan–laporan lainnya.
Karena penulisan ini bersifat deskriftif, yaitu dengan metode penulisan
penelitian yang dilakukan dengan cara menggambarkan, menyusun menganalisa
suatu pembahasan melalui kepustakaan, maka penelitian bermula dari hal-hal
yang bersifat umum
disarikan dengan
mengumpulkan, menyusun dan
menginterpresentasikan data yang ada. Data yang telah ada tersebut di
klasifikasikan sesuai dengan pembahasan skripsi ini.
Dengan metode seperti ini diharapkan dapat dipelajari lebih dalam
mengenai Kebijakan “Open Door Policy” yang dijalankan di Cina sejak tahun
1979 sampai saat ini yang membawa keberhasilan Cina dalam bidang ekonomi
dan diharapkan dapat menganalisa pengaruh yang ditimbulkan terhadap
perubahan kebijakan politik luar negeri AS, dan melihat bagaimana hubungan
kedua negara dimasa yang akan datang.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
45
a.
Dapat menggambarkan strategi yang dijalankan dalam Open Door
Policy dan mengidentifikasi kebijakan perdagangan AS untuk
mengatasi Cina.
b.
Melihat hubungan perdagangan antara AS dan Cina dimasa depan.
c.
Sebagai prasyarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial.
2. Manfaat Penelitian :
Hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
a. Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sarana untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh diperguruan tinggi serta
menambah wawasan.
b. Civitas Akademika dan pihak-pihak lain
Diharapkan dapat menjadi sumber informasi ilmiah dan sebagai
bahan kajian lebih lanjut dalam studi hubungan internasional dan Menjadi
masukan dan informasi serta bisa dijadikan bahan perbandingan bagi
penelitian selanjutnya.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembaca dapat mengetahui alur logika penulis dengan mudah, maka
dalam penulisan ini penulis akan membagi pembahasan dalam lima bab, yaitu :
Bab I Pendahuluan
G.
Latar Belakang Masalah
H.
Rumusan Masalah
I.Kerangka Teoritis
46
J.
Metode Penelitian
K.
Tujuan Penulisan
L.
Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
C.
Konsep Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth)
D.
Konsep Kebijakan (policy)
E.
Konsep perdagangan Internasional (International trade)
Bab III Kondisi Riil Prekonomian Cina
A.
Perekonomian Cina Pra dan Pasca Diberlakukannya Open Door
Policy
1.
Perekonomian Cina Pra Diberlakukannya Open Door Policy
2.
Perekonomian Cina Pasca Diberlakukannya Open Door Policy
3.
Masuknya Cina kedalam World Trade Organizations (WTO)
3.a. Latar Belakang Masuknya Cina Kedalam WTO
3.b. Tujuan Masuknya Cina Kedalam WTO
3.c. Keuntungan Masuknya Cina Kedalam WTO
B.
Kebijakan Perdagangan Amerika Serikat
1.
Sejarah diskriminasi kebijakan perdagangan AS
2.
Kebijakan perdagangan AS terhadap Cina
Bab IV Analisis Dampak Kemajuan Ekonomi Cina Terhadap Amerika Serikat
1.
Indikator Kemajuan Ekonomi Cina
2.
Prediksi Hubungan Dagang Cina- Amerika Serikat
Bab V Kesimpulan
47
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar
A.1. Konsep Economic Growth (Pertumbuhan Ekonomi)
Pada awal tahun 1960 negara di dunia dikategorikan kedalam beberapa
kategori yaitu pertama negara maju, seperti negara-negara Eropa, Amerika Utara,
Jepang, Australia, dan New Zealand. Kedua Negara berkembang yang termasuk
the rest of the word, biasanya negara berkembang mengacu kepada negara dunia
ketiga (the third world) yang membedakan mereka dari negara-negara industri
barat (the first world) dan yang dulu disebut sebagai blok sosialis yaitu negaranegara Eropa barat (the second world) namun pada tahun 2006, negara dunia tidak
hanya terbagi menjadi tiga bagian, ada negara yang berada dalam posisi antara
negara berkembang dan negara maju, seperti negara Korea dan Argentina yang
disebut sebagai new industrialized country. Para ekonom mencoba memahami
pertumbuhan ekonomi dan perkembangannya sejak Adam Smith
dan David
Ricado pada abad ke 18 dan 19. Biasanya general theory perkembangan ekonomi
bisa di gunakan di seluruh negara. terdapat beberapa faktor dasar terbatasnya
pertumbuhan ekonomi negara miskin yaitu kurangnya pembentukan modal,
terbatasnya sumberdaya manusia dan kemampuan perusahaan dan kurangnya
modal sosial. (Case & Fair,2007: 764)
Pada dasarnya Pertumbuhan ekonomi terjadi ketika
perekonomian
mengalami kenaikan jumlah output, pertumbuhan ekonomi dapat memperbaiki
48
standar hidup dan membawa perubahan. Kenaikan dalam output rill dimulai di
dunia barat dengan revolusi industri dan sampai saat ini masih berlanjut dan
dengan cepat mengacu pada periode pertumbuhan ekonomi modern. Pertumbuhan
ekonomi memperbaiki satandar hidup tapi juga membawa perubahan dalam cara
berfikir. Beberpa berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi mengikis nilai-nilai
tradisional dan mengakibatkan eksploitasi, perusakan lingkungan, dan banyak
terjadi korupsi.(Case & Fair, Ibid : 663) Seperti yang diungkapkan oleh Munir
bahwa Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan output agregat atau
pendapatan riil, khususnya output atau pendapatan riil per kapita, selama jangka
waktu yang cukup panjang sebagai akibat peningkatan penggunaan input (dalam
arti peningkatan jumlah atau efisiensi).( Munir,2008:3) Menurut Kuznets
pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari suatu
negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekomoni kepada
penduduknya, kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau di mungkinkan oleh
adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi institusional dan
ideologis terhadap berbagai keadaan yang ada. (Todaro,2000:144)
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa suatu proses
prekonomian dikatakan mengalami suatu perubahan atau pertumbuhan apabila
tingkat kegiatan ekonomi adalah lebih tinggi daripada yang telah dicapai pada
waktu sebelumnya.
Menurut Case dan Fair Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan proses yang
berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan
ekonomi, pertumbuhan ekonomi terjadi apabila :
1.
Masyarakat memperoleh lebih banyak sumber daya.
49
2.
Masyarakat mengetahui cara untuk menggunakan sumber daya
yang tersedia secara lebih efisien.
Untuk menaikan standar hidup maka angka pertumbuhaan ekonomi harus
lebih besar dibandingkan dengan angka pertumbuhan populasi.
Pada dasarnya
kebangkitan ekonomi berarti pertumbuhan ekonomi, sedangkan Pertumbuhan
ekonomi (Economic Growth) secara umum mempunyai definisi sebagai
pertumbuhan GDP riil perkapita. Dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan
ekonomi adalah penambahan GDP atau peningkatan output agregat yang berarti
juga penambahan pendapatan nasional.(Case & Fair, Opcit : 665)
Case dan fair menjelaskan apabila kita melihat pertumbuhan GDP sebagai
fungsi dari tenaga kerja maupun modal, maka Pertumbuhan GDP bisa muncul
melalui :
1. Kenaikan penawaran tenaga kerja
2. Kenaikan modal fisik atau SDM
3. Pertumbuhan produktivitas (jumlah produk yang diproduksi oleh masingmasing unit modal atau tenaga kerja)(Case & Fair, Ibid)
Pertumbuhan ekonomi merupakan keseimbangan antara sisi agregat
permintaan dan sisi agregat penawaran yang menghasilkan suatu jumlah agregat
keluaran tertentu (GDP) dengan tingkat harga umum tertentu. Selanjutnya agregat
keluaran yang dihasilkan di dalam suatu negara akan membentuk pendapatan
nasional (Tambunan, 2001:37)
50
A.2. Konsep Policy (Kebijakan)
Secara harifah kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy,
beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee
Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy
analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau
kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan
keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau
kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani
kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian publik itu sendiri dalam bahasa
Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. (Zainal, 2004:67)
Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan
kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai
keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada
masyarakat umum. Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari
keinginan untuk membedakan istilah policy sebagai keputusan pemerintah yang
bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah
discretion (kebijaksanaan), yang dapat diartikan sebagai keputusan yang bersifat
kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Keputusan yang bersifat
kausitis (hubungan sebab akibat) sering terjadi dalam pergaulan. Seseorang
meminta “kebijaksanaan” seorang pejabat untuk diperlakukan secara “istimewa”
atau tidak diperlakukan secara “istimewa”, ketentuan-ketentuan yang ada, yang
biasanya justru ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah (public policy).
Jones merumuskan kebijakan sebagai “behavioral consistency and
repeatitiveness associated with efforts in and through government to resolve
51
public problems” (perilaku yang tetap dan berulang dalam hubungan dengan
usaha yang ada di dalam dan melalui pemerintah untuk memecahkan masalah
umum). Definisi ini memberi makna bahwa kebijakan itu bersifat dinamis dalam
hubungan dengan sifat dari kebijakan.(Zainal, 2004 :12 )
Sejalan dengan perkembangan studi yang makin maju, William Dunn
mengaitkan pengertian kebijakan dengan analisis kebijakan yang merupakan sisi
baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh sebab itu dia mendefinisikan analisis kebijakan sebagai ”ilmu
sosial terapan yang menggunakan berbagai metode untuk menghasilkan dan
mentransformasikan informasi yang relevan yang dipakai dalam memecahkan
persoalan dalam kehidupan sehari-hari”. Di sini dia melihat ilmu kebijakan sebgai
perkembangan lebih lanjut dari ilmu-ilmu sosial yang sudah ada. Metodologi yang
dipakai bersifat multidisiplin. Hal ini berhubungan dengan kondisi masyarakat
yang bersifat kompleks dan tidak memungkinkan pemisahan satu aspek dengan
aspek lain. (Dunn, 2003 :23)
A.3. Konsep International Trade (Perdagangan Internasional)
Perdagangan internasional merupakan bagian dari struktur ekonomi politik
internasional, sebagai tinjauan, struktur produksi merupakan suatu hubungan
antara suatu negara dan aktor-aktor lain. seperti bisnis internasional yang
menentukan apa yang harus diproduksi, dimana, oleh siapa, bagaimana, untuk
siapa dan berapa harganya. Bersamaan dengan keuangan internasional, teknologi,
struktur keamanan, perdagangan yang menghubungkan negara bangsa dan aktoraktor lain, yang mencerminkan saling ketergantungan dan kerjasama yang saling
52
menguntungkan tapi juga bisa memunculkan ketegangan antara negara dan
kelompok yang berbeda. (Ballam & Veseth, 2005:117)
Perdagangan selalu bersifat politik, begitulah kata Robert Kuttner,
perdagangan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari aspek politik. Faktanya, banyak
teoritis ekonomi politik internasional yang mengatakan bahwa tidak ada topik
yang lebih esensial dibandingkan perdagangan, dan hal itu tidak mengherankan
karena sudah dalam ratusan tahun banyak praktisi yang fokus pada masalah
perdagangan. Kuttner mengaris bawahi permasalahan bahwa perdagangan saat ini
lebih politis dibandingkan dengan yang pernah terjadi.(Balaam & Veseth,
Ibid:118)
Dalam Sistem perdagangan internasional terdapat konsensus yang besar
yang diinginkan oleh sistem perdagangan internasional yang liberal, diantara
struktur yang liberal tersebut bagaimanapun, individu negara bangsa dan aktoraktor yang berbeda dalam kebijakan-kebijakan ekonomi merkantilis, dihawatirkan
akan menjadi mandiri dan di ekploitasi oleh negara lain, walaupun hal itu sangat
mungkin didukung oleh pemimpin negara dan dukungan dari perfektif ekonomi
politik internasional, sebuah sistem global dari perdagangan bebas tetapi tetap
menerapkan proteksi bagi perdagangan domestik dan pekerja-pekerja yang
mendapatkan gaji yang tinggi, tanpa melakukan perusakan lingkungan disekitar
pasilitas produksi. Maka dari itu tidak heran
jika kebijakan perdagangan
internasional menjadi sangat kontroversial. (Balaam & Veseth, Ibid:119)
Apabila
negeri,
dibandingkan dengan pelaksanaan
maka perdagangan
internasional
perdagangan
sangatlah
rumit
di
dalam
dan kompleks.
Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan
53
kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea,
tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena
adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan dan
hukum dalam perdagangan. (Apridar, 2007:116)
Ada beberapa manfaat yang dihasilkan dalam perdagangan internasional
diantaranya yaitu pertama, memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di
negeri sendiri. Banyak
faktor-faktor
yang mempengaruhi perbedaan hasil
produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu Kondisi
geografi, iklim, tingkat
penguasaan
iptek
dan
lain-lain.
Dengan adanya
perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang
tidak diproduksi sendiri. Kedua, memperoleh
keuntungan
dari spesialisasi.
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh
keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat
memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh
negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor
barang tersebut dari luar negeri. Ketiga, memperluas pasar dan menambah
keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya
(alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi
kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka.
Dengan
adanya perdagangan
internasional,
pengusaha
dapat menjalankan
mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar
negeri. Keempat, Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri
memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih
efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern. (Apridar,Ibid:117)
54
Disamping manfaat-manfaat tersebut diatas, terdapat banyak faktor yang
mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya
sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri.
2. Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan
negara.
3. Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi.
4. Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk
menjual produk tersebut.
5. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga
kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya
perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.
6. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
7. Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari
negara lain.
8. Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia
dapat hidup sendiri.( Apridar,Ibid:118)
Terdapat perbedaan antara perdagangan domestik dan internasional, yaitu
bahwa faktor-faktor produksi seperti modal dan tenaga kerja biasanya lebih
mobile dalam sebuah negara dibandingkan di seluruh negara. Dengan demikian
perdagangan internasional banyak terbatas untuk perdagangan barang dan jasa,
dan hanya sebagian kecil untuk perdagangan modal, tenaga kerja atau faktor
produksi lainnya. Kemudian perdagangan barang dan jasa dapat berfungsi sebagai
55
pengganti perdagangan faktor-faktor produksi. Daripada mengimpor faktor
produksi, negara bisa mengimpor barang yang intensif menggunakan faktor
produksi dan dengan demikian mewujudkan faktor masing-masing. Contohnya
adalah impor barang padat karya oleh AS dari Cina. mengimpor tenaga kerja Cina
ke AS, mengimpor barang dari Cina yang diproduksi dengan buruh di Cina.
Perdagangan internasional juga merupakan cabang ilmu ekonomi , yang
bersama-sama dengan keuangan internasional, membentuk cabang yang lebih
besar dari ekonomi internasional. Beberapa model yang berbeda telah diajukan
untuk memprediksi pola-pola perdagangan dan untuk menganalisis dampak
kebijakan perdagangan seperti tarif dan lain-lain, seperti :
1. Model Ricardian
Model Ricardian berfokus pada keunggulan komparatif dan mungkin
merupakan konsep paling penting dalam teori perdagangan internasional. Dalam
model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka
hasilkan yang terbaik. Tidak seperti model lain, kerangka Ricardian memprediksi
bahwa negara-negara akan sepenuhnya memproduksi barang. Model Ricardian
tidak langsung mempertimbangkan faktor pendukung seperti jumlah relatif dari
tenaga kerja dan modal dalam suatu negara. Kelebihan utama model Ricardin
adalah bahwa menganggap perbedaan teknologi antara negara-negara.
Model Ricardian membuat asumsi sebagai berikut:
a. Tenaga Kerja hanya merupakan masukan utama untuk produksi
(tenaga kerja dianggap sebagai sumber utama dari nilai).
b. Produk Marjinal Konstan Tenaga Kerja (MPL) (produktivitas tenaga
kerja adalah konstan, skala hasil konstan, dan teknologi sederhana.)
56
c. Jumlah tenaga kerja yang terbatas dalam perekonomian
d. Tenaga kerja antar sektor sangat mobile tapi tidak internasional.
e. Pasar persaingan sempurna (price-taker). (Samuelson, 2001:204)
Langkah-langkah model Ricardian dalam jangka pendek, sehingga
teknologi berbeda. Hal ini mendukung fakta bahwa negara-negara mengikuti
keunggulan komparatif mereka dan memungkinkan untuk spesialisasi. Model
perdagangan Ricardian dipelajari oleh Graham, Jones, McKenzie dan lain-lain.
Semua teori tidak termasuk barang setengah jadi, atau diperdagangkan barang in
put seperti bahan dan barang modal. McKenzie, Jones dan Samuelson
menekankan bahwa keuntungan besar dari perdagangan akan hilang begitu barang
setengah jadi dikeluarkan dari perdagangan. (Samuelson, Ibid)
Baru-baru ini, teori ini telah diperpanjang yang mencakup intermediet
perdagangan. Dengan demikian, tenaga kerja hanya asumsi yang telah dihapus
dalam teori tersebut. Jadi teori baru Ricardian, atau model Ricardo-Sraffa, secara
teoritis mencakup barang-barang modal seperti mesin dan bahan, yang
diperdagangkan di seluruh negara. Pada masa perdagangan global, asumsi ini jauh
lebih realistis daripada model Ohlin Heckscgher, yang mengasumsikan bahwa
modal adalah tetap di dalam negeri dan tidak bergerak secara internasional.
(Shiozawa, 2007:141-187)
Pada awal 1900 teori perdagangan internasional disebut faktor proporsi,
teori muncul oleh dua ekonom Swedia, Eli Heckscgher dan Bertil Ohlin. Teori ini
juga disebut teori Heckscgher-Ohlin. Teori Heckscgher-Ohlin menekankan bahwa
negara harus memproduksi dan ekspor barang-barang yang membutuhkan sumber
daya (faktor) yang berlimpah dan barang-barang impor yang membutuhkan
57
sumber daya dalam pasokan pendek. Teori ini berbeda dengan teori keunggulan
komparatif dan keunggulan mutlak karena teori ini berfokus pada produktivitas
proses produksi untuk barang tertentu. Sebaliknya, negara-negara yang
menggunakan teori Heckscgher-Ohlin bahwa negara harus spesialisasi produksi
dan ekspor dengan menggunakan faktor yang paling banyak, dan dengan
demikian yang termurah. Bukan untuk memproduksi, seperti teori sebelumnya
yang menyatakan, menghasilkan barang-barang yang paling efisien. (Samuelson,
Opcit)
Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif model Ricardian dasar
keunggulan komparatif. Meskipun kompleksitas yang lebih besar ini tidak
membuktikan prediksi yang lebih akurat. Namun dari sudut pandangan teoritis
model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme
harga neoklasik ke dalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional
ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung . Model ini memperkirakan
bahwa negara-negara akan mengekspor barang yang menggunakan faktor intensif
berlimpah lokal dan akan mengimpor barang yang intensif menggunakan faktor
lokal yang langka. Masalah empiris dengan model Heckscgher-Ohlin, dikenal
sebagai paradoks Leontief, dipaparkan dalam uji empiris oleh Wassily Leontief
yang menemukan bahwa AS cenderung untuk mengekspor barang padat karya
walaupun memiliki banyak modal.
2. Model Heckscgher-Ohlin membuat asumsi inti berikut:
a. Tenaga kerja dan arus modal bebas antar sektor
58
b. Produksi sepatu yang padat karya dan produksi komputer adalah
padat modal
c. Jumlah tenaga kerja dan modal di dua negara berbeda
d. Perdagangan bebas
e. Teknologi sama di seluruh negara (jangka panjang)
f. Selera yang sama.(Samuelson, Ibid)
Masalah dengan teori Heckscgher-Ohlin adalah bahwa ia tidak termasuk
perdagangan barang modal (termasuk bahan dan bahan bakar). Dalam teori
Heckscgher-Ohlin, tenaga kerja dan modal tetap entitas dikaruniai untuk setiap
negara. Dalam ekonomi modern, barang modal yang tetap diperdagangkan secara
internasional. Keuntungan dari perdagangan barang setengah jadi cukup besar.
B. Penelitian Sebelumnya
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh John dan Doris Naisbitt
dalam bukunya yang berjudul China mega trend yang diterbitkan pada tahun 2010
oleh PT. Graamedia Pustaka Utama, John dan Doris mengindentifikasi delapan
pilar yang menjadi unsur kebangkitan ekonomi Cina yaitu emansipasi fikiran,
penyeimbang top-down dan bottom-up, membingkai hutan dan membiarkan
pepohonan tumbuh, menyeberangi sungai dan merasakan bebatuan, persemaian
artistik dan intelektual, bergabung dengan dunia, kebebasan dan keadilan dan
yang terakhir dari medali emas olimpiade menuju hadiah nobel. John Naisbitt
merupakan mantan seorang dosen dari Nanjig Uiversity dan sekarang menjadi
dosen Nankai University serta Tianjin University of Finance and Economic,
beliau telah mempelajari dan mengunjungi Cina selama 42 tahun, yang dimulai
59
pada tahun 1967. Sedangkan Doris Naisbitt adalah seorang direktur Naisbitt
China Institue di Tianjin serta dosen di Yunan University dan beliau mengawali
studinya pada tahun 2000, keduanya merupakan pengamat Cina, yang dalam
penelitiannya memberikan penelitian mendalam tentang perubahan fundamental
dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi Cina, serta dampaknya terhadap
negara barat.
Pilar pertama yaitu emansipasi fikiran, pilar pertama ini dijelaskan oleh
John dan Doris berawal dari seruan Deng Xiaoping kepada rakyat Cina “enyahkan
belenggu yang mengikat jiwamu”, seruan ini telah membebaskan fikiran rakyat
Cina sehingga dapat melakukan autokritik, emansipasi fikiran melonggarkan
kendali dan memberi lebih banyak kebebasan individu, emansipasi pikiran
menembus jenjang sosial hingga kelas terbawah, menigkatkan citra diri rakyat
Cina, memungkinkan mereka melihat nilai kontribusi mereka terhadap
keseluruhan dan mendorong mereka megambil peran di masyarakat. Dalam
penelitian John dan Doris menganilisis apa yang sebenarnya terjadi di Cina,
kedelapan pilar adalah struktur yang mendukung reformasi Cina, dan semua
berawal dari pilar pertama ini, yaitu emansipasi fikiran, tanpa pembebasan bagi
rakyat untuk membuat kontribusi individu terhadap keseluruhan, maka struktur
tersebut akan runtuh dan hanya rakyat yang dapat melakukannya. Sebagai contoh,
Dari seniman kewirausaha, rakyat dibebaskan untuk berfikir dan bertindak
sendiri, menentukan langkah mereka sendiri menuju modernisasi Cina.
Indoktrinasi dibangun diatas ketakutan, sedangkan emansipasi dibangun diatas
kepercayaan. Pemerintah Cina terus mendorong proses emansipasi dalam sistem
60
yang baru sehingga mereka dan rakyatnya dapat berkontribusi terhadap masa
depan Cina.
Pilar ke dua yaitu penyeimbang top-down dan bottom-up, dalam pilar
kedua ini John dan Doris melihat munculnya demokrasi vertikal yang timbul dari
rasa saling percaya antara masyarakat dan pemerintah, demokrasi vertikal Cina
didasarkan pada keselarasan top down dengan bottom up. Masalah dalam
memahami cara demokrasi yang berjalan di Cina timbul karena di negara barat
tidak pernah mendengar kekuatan bottom up dan daya yang dimilikinya dalam
sistem. Setiap orang di Cina tau bagaimana delapan belas petani di desa terpencil
mengubah kebijakan bangsa yang luas hanya dalam seketika, dari langkah
pertama dipertanian ini kekuatan bottom up meningkatdan akan terus meningkat
secara bertahap. Arah hubungan antara kekuatan top down dan bottom up
ditetapkan untuk menciptakan sistem yang dibangun berdasarkan kepercayaan :
pemerintah percaya kepada rakyatnya dan rakyat percaya kepada pemerintahnya.
Ini adalah model yang cocok dengan sejarah Cina, pemikiran Cina dan dambaan
masyarakat Cina akan masyarakat yang harmonis dan stabil. Demokrasi barat
tidak dibangun dalam satu generasi, proses pematangannya memakan waktu
ratusan tahun sedangkan Cina mengambil langkah-langkah besar hanya dalam
satu generasi, John dan Doris yakin bahwa dunia dan rakyat Cina akan menjadi
baik apabila barat mendukung evolusi bertahap demokrasi vertikal serta
pembanguna ekonomi di Cina.
Pada pilar ke tiga yaitu membingkai hutan dan membiarkan pepohonan
tumbuh, dalam demokrasi vertikal yang diciptakan Cina visi dan sasarannya
dibentuk melalui proses top down dan bottom up, pemerintah memberi kerangka
61
kebijakan dan perioritas, tempat rakyat dapat menciptakan aturan dan kontribusi
mereka sendiri terhadap keseluruhan, membentuk struktur yang memungkinkan
serta mengambil manfaat dari keberagaman.
Dalam pilar ke tiga ini John dan Doris membahas beberapa bingkai
diantaranya, pertama, bingkai politik : pematangan demokrasi vertikal di Cina
akan berlangsung secara pararel dengan demokratisasi di PKC. Kuncinya
mengembangkan, memperkuat, dan memperluas peraturan pemilihan tanpa
menimbulkan disrupsi serta perpecahan karena prilaku parrtisipan. Jika sistem
satu parrtai sudah cukup menawarkan pluralisme bagi rakyat Cina. Kedua, bingkai
militer : Cina tidak pernah menjadi kekuatan kolonial dan tidak menunjukan
tanda-tanda ambisi teritorial. Dalam pidatonya di kongres partai, Presiden Hu
Jintao menjelaskan tugas utama pertahanan nasional adalah menjaga kedaulatan,
keamanan dan keutuhan wilayah Cina serta membantu menjaga perdamaian
dunia. Dengan perubahahan politik Taiwan , peluang unifikasi nasional tampanya
lebih mungkin daripada sebelumnya. Cina terlalu pintar untuk tidak menggunakan
sinergi: satu negara dua sistem”. Yang ketiga adalah bingkai ekonomi : sasaran
abad ke 21 sudah ditetapkan, mengubah Cina dari bengkel kerja dunia menjadi
inovator dunia. Tantangan terbesarnya selain mempertahankan pertumbuhan
adalah melaksanakan pertimbangan lingkungan yang telah dicanangkan. Dan
yang keempat adalah bingkai budaya dalam bingkai ini tedapat apresiasi terhadap
yang lama dan kesadaran yang kuat terhadap yang baru, dalam dunia seni, setiap
orang mengekspresikan perasaan mereka sendiri dan perasaan itu didasarkan pada
kesadaran diri baru yang sering kali berbeda dengan kerangka sosial yang
62
mempersatukan. Seniman mengambil jarak dari aturan-aturan dan nilai-nilai lama
serta terbuka terhadap fantasi dan imajinasi dalam bingkai emansipasi pikiran.
Pilar ke empat John dan Doris menyebutnya menyebrangi sungai dan
merasakan bebatuan, istilah ini mencerminkan prilaku pemimpin Cina pada awal
perjalanan menuju Cina baru. Sebagai pengganti arah dan tujuan yang kaku, pola
fikir ini memungkinkan Cina merasakan jalannya, memungkinkan trial and eror,
tidak takut resiko, melakukan eksperimen dan menentukan cara terbaik dengan
mencari kebenaran dari fakta-fakta. Mega trend ditulis dari 25 tahun yang lalu,
mengatakan tentang AS sebagai masyarakat, kita bergerak dari yang lama ke yang
baru. Kita masih bergerak dan mengalami gejolak namun ditengah era yang tak
pasti ini, restrukturisasi AS terus bejalan tanpa henti, masyarakat AS baru belum
sepenuhnya terbentuk namun restrukturisasi AS sudah mengubah kehidupan kita.
China mega trand menggambarkan transformasi Cina. menyebrangi sungai dan
merasakan bebatuan itu bermakna untuk meraih kesuksesan, bayaknya rintangan,
gejolak dan bebatuan yang menghadang namun Cina terus berjuang untuk
melewati rintangan tersebut sampai akhirnya bisa menyebrang dan Cina berhasil
menggapai kesuksesan.
Pilar ke lima persemaian artistik dan intelektual, istilah ini bemakna tidak
ada masyarakat yang berubah lebih baik tanpa seniman dan intelektual dibarisan
depan. Dalam Cina baru terdapat batas-batas serta peningkatan ambisi sehingga
keterampilan dan bakat orang Cina bebas berkembang. Seniman dan cendikiawan
adalah yang pertama melepaskan diri dari aturan serta pembatasan. Membuka
fikiran mereka untuk berimajinasi dan berfantasi. Pada awal 1990 John
menyaksikan bagaimana ambisi awal bakat artistik dan semangat kewirausahaan
63
ditampilkan ketika mengunjungi sekolah eksperimental di Beijing, itu merupakan
kelas anak berusia 6 tahun yang akan naik ke kelas satu, ketika John selesai
mengunjungi sekolah tersebut anak-anak tersebut memberikan kartu perpisahan
yang dibuat oleh sang anak, mengagetkan John mendapatkan sekitar 25 kartu
nama lengkap dengan nomor telepon yang mereka sebut kartu nama untuk
berbisnis. Dari hal tersebut bisa terlihat bahwa jiwa bisnis Cina sudah muncul
sejak dini pada diri masyarakat Cina.
Pilar ke enam, bergabung dengan dunia, keterlibatan ekonomi, politik dan
budaya Cina yang agresif dengan seluruh dunia adalah penegasan bahwa Cina
adalah anggota masyarakat global sesuai taraf kemajuannya sendiri. Ketika Cina
memasuki panggung dunia sebagai pemain serius, para aktor mapan menugasinya
sebagai aktor pembantu, namun Cina terlalu bagus untuk sebagai pemain
pembantu, Cina berhasil mendapatkan jalannya kepusat perhatian dan bukan
hanya bergabung dalam organisasi tetapi juga mempunyai pengaruh dalam
menentukan keputusan kebijakan. Pada abad ke 20 panggung dunia didominasi
oleh AS dan Soviet, peran yang mereka mainkan adalah sebagai lawan, ketika
Unisoviet pecah maka AS menjadi satu-satunya negara adikuasa secara ekonomi
dan militer. AS menetapkan standar yang menjadi patokan bagi bangsa-bangsa
lain. Masuknya Cina kedalam dunia internasional meningkatkan taraf ekonomi
Cina sehingga Cina Cina dapat menjadi pemain
yang paling penting dalam
tatanan dunia.
Pilar ke tujuh, kebebasan dan keadilan, pilar berisi mengenai perjuangan
untuk menyeimbangkan apa yang mungkin secara ekonomis dengan apa yang
diinginkan secara sosial, kebebasan seseorang untuk meraih kesuksesan finansial
64
dengan kebutuhan banyak orang atas layanan sosial. Dalam upaya menemukan
keseimbangan antara kebebasan dan keadilan, model demokrasi vertikal Cina
memiliki keuntungan, kontinuitas partai politik yang berkuasa memungkinkan
perencanaan jangka panjang tanpa gangguan dan perubahan politik berfikir serta
bertindak yang berfokus kepada pemilihan. Model Cina dapat menciptakan
mekanisme lokal dan nasional untuk mengurangi jumlah parasit sosial sehingga
tersedia lebih banyak dana bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Bingkai
besar kesejahtraan sosial dapat disediakan pemerintah pusat, memberi ruang
kepada pemerintah dan otoritas daerah agar lebih dekat pada inti masalah untuk
mencari solusi melalui partisipasi bottom-up. Namun pendidikan merupakan
kunci untuk mempermudah merubah nasib, pendidikan dapat menjadikan
masyarakat yang pandai dalam mencari solusi dalam situasi yang sulit dan kecil
kemungkinan untuk terus bergantung kepada pemerintah.
Pilar ke delapan, dari medali emas olimpiade menuju hadiah nobel, John
dan Doris mengatakan dalam dekade mendatang saksikanlah bagaimana Cina
menduplikasi kesuksesan olimpiade kedalam kinerja ekonomi dan daya saing,
keberlanjutan ekonomi Cina sekarang lebih terkait erat dengan peralihan dari
imitasi ke inovasi, dari manufaktur bagi merek ke menciptakan merek. Cina
sedang mengambil langkah-langkah untuk menjadi negara inovasi dunia. Cina
melakukan upaya sukses dalam memobilissi sumber daya manusia untuk
meningkatkan standar teknologi perekonomian, presideh Hu Jintao menegaskan
ilmu pengetahuan Cina untuk menjadikan Cina negara inovatif, kita harus
memiliki program wajib belajar gratis dalam sistem pendidikan nasional modern.
Mungkin saja dengan sistem dan rancangan Cina ini, Cina bukan hanya akan
65
memenangkan hadiah nobel tetapi juga meluncurkan sistem sosioekonomi yang
secara keseluruhan baru yang dapat mengentaskan kemiskinan. Serta menatang
AS sebagai bangsa yang inovatif.
Dari penelitian yang dilakukan Oleh John dan Doris Naisbitt,
terindentifikasi 8 pilar yang menjadi faktor kebangkitan ekonomi Cina, dalam
penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini ditemukan 10 faktor yang
menjadi faktor kebagkitan ekonomi Cina, dalam penelitian John dan Doris
Naisbitt menganalisa bahwa akan adanya persaingan yang ketat antara Cina dan
AS walaupun tidak dibahas lebih lanjut mengenai masa depan hubungan kedua
negara tersebut, sedangkan dalam penelitian penulis di dapatkan hasil bahwa
antara Cina Dan AS dimasa depan akan terjalin kerjasama yang baik diantara
keduannya.
66
BAB III
KONDISI RIL EKONOMI CINA DAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN AS
A. Perekonomian Cina Pra dan Pasca Diberlakukannya Open Door Policy
A.1. Budaya Bisnis Cina Tradisional dan Perekonomian Cina Pra
Diberlakukannya Open Door Policy
Pembahasan mengenai prekonomian Cina pada masa modern tidak dapat
dilepaskan dari kaitannya dengan kebudayaan masyarakat Cina tradisional.
Pembahasan aspek ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan
sistematis. Momentum kebangkitan para kaum bisnis Cina sudah dimulai pada
akhir abad kesembilan belas, tepatnya pada era awal keruntuhan dinasti Qing.
Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa sebelum masa ini kaum bisnis Cina tidak
atau belum pernah ada. Golongan pedagang sudah dikenal di Cina sejak
runtuhnya feodalisme dinasti Zhou (1122-246 SM). Saat itu dan hingga
seterusnya, golongan ini eksis di masyarakat Cina, namun menempati posisi sosial
yang paling rendah. Masyarakat Cina tradisional menggunakan sistem hierarkis
dalam memandang nilai pekerjaan seseorang.
Penekanannya kepada nilai tenaga kerja. Berikut adalah empat lapisan
sosial yang terdapat pada masyarakat Cina tradisional, dari strata yang paling
rendah hingga yang paling tinggi :
1. Kaum pedagang, pemain teater, tentara.
2. Kaum pengrajin (tukang batu, tukang kayu, dan lain-lain)
3. Kaum petani
4. Kaum elit pemerintahan
67
Fungsi kaum pedagang pada masyarakat Cina tradisional dalam
hubungannya dengan sistem strata sosial tersebut hanyalah sebatas sebagai
pengelola pasar, pelatihan magang dan ritual pemujaan.(Morse, 1932:23) Mereka
tidak pernah menentang sistem sosial yang sudah berjalan seperti itu, dan
berharap dapat meningkatkan status sosial keluarganya dengan mendidik anakanaknya agar dapat menjadi bagian dari kaum terpelajar.
Sistem masyarakat Cina tradisional sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
lama seperti Konfusianisme. Ajaran yang muncul pada dinasti Zhou timur ini
mengajarkan suatu ide tentang bagaimana suatu negara seharusnya dijalankan,
dengan menekankan kepada pendidikan moral berdasarkan suatu sistem yang
hierarkis.
Konfusianisme mengajarkan bahwa negara (Cina) harus dijalankan secara
hierarkis, yaitu Cina dibangun berdasarkan negara keluarga, satu organisasi sosial
yang otokratis, hierarkis, dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai dari
hasil-hasil pertanian. Kesetabilan suatu negara dapat dijamin dengan hierarki yang
jelas. Dengan kata lain, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, dan yang
lebih tinggi menunjukkan kemurahan hati sebagai balasan terhadap kesetiaan
tersebut.
Dalam konvensi moralnya Konfusianisme juga mengajarkan tentang
paham kolektivisme. Menurutnya, kolektivisme ini menentukan status individu
yang ditentukan oleh hubungannya dengan sistem hierarki. Oleh karena itu, orang
yang beretika Konfusianisme akan bertindak sesuai dengan harapan orang lain
daripada keinginannya pribadi, sehingga mereka selalu bersedia bekerjasama.
Individu tidak terpisah dari struktur sosial, melainkan sebagai komponen etis dari
68
suatu bangunan sosial yang lebih besar. Semua hal yang disebut inilah yang
mendasari atas berjalannya sistem sosial pada masyarakat Cina tradisional.
Telah diketahui bahwa kaum pedagang menempati posisi terbawah dari
strata sosial masyarakat Cina tradisional. Kaum yang dianggap berkemampuan
lebih, atau lihai, dan selalu bernafsu mengejar keuntungan sendiri oleh masyarakat
Cina tradisional, jelas-jelas diposisikan sebagai golongan inferior pada
masyarakat, sama seperti yang dikemukakan oleh Guo Hengshi pada sebuah
esainya yang berjudul The Early Development of The Modern Chinese Business
Class : “Treacherous Merchant was the usual phrase for traders or middlemen.
All material innovation and prosperity was renounced by the great teaching of
Confucius and his followers. From time to time, merchants were actually
suppressed, especially when they appeared to mount in power.” ( Levy &
Hengshi, 1949 : 19)
Konsep pembagian tenaga kerja pada masyarakat Cina tradisional sematamata berdasar atas dikotomi yaitu literati dan petani. Literati berperan dalam
menjalankan pemerintahan, petani diperintah dan memproduksi hasil bumi untuk
mendukung para super ordinatnya. Akibatnya, prestise kaum literati pada strata
sosial lebih tinggi dibanding golongan lainnya, karena mereka dikatakan bekerja
dengan pikiran, dan petani yang menggunakan tangannya menempati posisi di
bawahnya. Semua aktivitas penghidupan selain pengolahan tanah dianggap tidak
lazim dan tanpa dukungan moral.
Sistem ekonomi pasar sosialis yang dilakukan di Cina sejak tahun 1992
memberikan banyak sekali kemajuan bagi masyarakat Cina moderen. (Wibowo,
2004 : 38) Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa sistem ekonomi
69
Cina yang baru memiliki keunikan yang tidak pernah ada di negara manapun di
dunia, sistem ini pun memiliki beberapa elemen-elemen penting yang lahir dari
setiap aktivitas budaya (melalui bisnis). Berikut beberapa elemen tersebut :
guanxi, ganqing dan xinyong.
a). Guanxi
Secara harafiah, guanxi berarti hubungan, makna ini dapat digunakan
untuk setiap jenis hubungan. Dalam budaya bisnis Cina guanxi dapat diartikan
sebagai koneksi. Koneksi di sini bermakna sebagai suatu jaringan hubungan di
antara bermacam-macam personal, kelompok
atau badan yang saling
bekerjasama dan mendukung satu sama lain. Mental para pembisnis Cina sangat
dekat maknanya dengan sebuah idiom dari Barat, “You scratch my back, I’ll
scratch yours.” Di mana pun, kapan pun, dalam mengurus segala hal, orang Cina
selalu “kao guanxi”, artinya pakai koneksi.(Wibowo, ibid : 177) Tanpa
memperhitungkan pengalaman seseorang atau sebuah badan di negara asalnya,
guanxi adalah jaminan akan kelancaran berbisnis di Cina. Guanxi dapat
meminimalisir kemungkinan gagal suatu badan dalam berbisnis di Cina dan
hambatan-hambatan lainnya seperti prosedur bayangan, dan lain-lain. Jika
didapatkan secara tepat, Seringkali guanxi yang benar-benat tepat dihubungkan
dengan pihak yang berwenang (pejabat setempat atau pemerintah) yang nantinya
akan sangat menentukan eksistensi badan (perusahaan) tersebut di Cina dalam
jangka panjang.
70
b). Ganqing
Secara harafiah ganqing berarti perasaan. Dalam budaya bisnis Cina
konsep ganqing masih berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing merefleksikan
suasana umum dari hubungan sosial dari dua orang atau dua badan yang saling
berinteraksi. Seseorang dapat dikatakan memiliki ganqing yang baik jika
hubungannya dengan orang lain tersebut baik, selain track-record hubungan yang
baik di antara keduanya. Sedangkan ganqing yang mendalam adalah terdapatnya
ikatan perasaan atau hubungan batin yang dalam pada hubungan sosial itu sendiri.
Contoh dari ganqing sering ditemukan pada pernyataan-pernyataan
pemerintah Cina dan seringkali salah diterjemahkan ketika diaplikasikan pada
konteks ini. Perkataan atau tindakan yang dapat melukai perasaan orang Cina
sepatutnya dihindari jika ingin terus bekerjasama (berbisnis) dengan mereka.
Konsep ganqing juga dekat sekali maknanya dengan konsep muka dalam budaya
Cina.
Konsep muka dalam kebudayaan Cina mengacu kepada dua hal yang
berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi dan lianzi. Lian adalah kepercayaan
masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi merepresentasikan
persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep menjaga muka sangat penting
halnya dalam hubungan sosial masyarakat Cina karena muka mewakili kekuasaan
dan pengaruh. Kehilangan lian berakibat pada hilangnya kepercayaan sosial
terhadap seseorang. Dan kehilangan mianzi berakibat pada kehilangan wibawa
dan wewenang seseorang.
Orang Cina berusaha sebisa mungkin menghindari suatu konflik dalam
melanggengkan hubungan dengan sesamanya. Ketika mereka menghindari konflik
71
biasanya orang Cina akan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang
kehilangan mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan
yang memalukan ke hadapan publik. Sebaliknya, ketika mereka ingin menantang
suatu wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, orang Cina akan
berusaha menyebabkan orang tersebut kehilangan lian atau mianzi. Satu contoh
publik akan hal ini yaitu saat Tragedi Tian’anmen 1989 di mana Wu’er Kaixi
mencemooh PM Li Peng karena datang terlambat untuk bertemu dengan para
demonstran. Akibatnya, Li Peng kehilangan mianzi karena dia terlihat datang
terlambat dan menjadi figur pemerintah yang sangat tidak populer di mata
kalangan publik Cina, khususnya menyangkut peristiwa Tian’anmen. ( Wibowo,
ibid : 180)
c). Xinyong
Dalam istilah bahasa Inggris, xinyong disebut sebagai gentlemen’s
agreement (Cheng, 1985). Xinyong dalam budaya bisnis Cina bermakna sebagai
sebuah jaringan antar pribadi. Bagi orang Cina kepercayaan antar pribadi
merupakan hal yang terpenting. Para pengusaha etnis Cina biasanya hanya
berhubungan komersial dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu,
reputasi seseorang penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pembisnis
Cina secara pribadi akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya,
karena hal ini akan meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap
menjaga reputasinya sebagai pemilik perusahaan.
Fenomena serupa terjadi hingga kini di perusahaan-perusahaan milik etnis
Cina di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya,
72
fenomena di Cina Daratan menunjukkan bahwa kehadiran seorang pemimpin
perusahaan dalam sebuah pertemuan bisnis tidak selalu signifikan, karena
keputusan final tetap dipegang oleh dewan eksekutif yang belum tentu hadir di
pertemuan tersebut, yang bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan
tema yang sama dapat terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak
asing yang masuk ke dalam lingkaran mereka. (Wang, Goodfellow dan Zhang, op
cit) Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis.
Angin perubahan pada Cina moderen secara kebudayaan dapat dikatakan
dimulai sejak kejatuhan dinasti Qing, yaitu saat pengaruh asing masuk secara
masif ke daratan Cina dan mempengaruhi segala aspek kehidupan secara
signifikan. Salah satu contohnya adalah dengan diberlakukannya Perjanjian
Nanking yang sangat memberatkan bangsa Cina dan mengharuskan Cina untuk
membuka diri terhadap dunia luar. Tercatat pada era ini dasar bagi perekonomian
dan kebudayaan Cina moderen telah mengalami perubahan yang berarti.
Kebudayaan lama mulai ditanggalkan dan nilai-nilai yang dianggap sudah tidak
relevan lagi dienyahkan. Salah satu buktinya adalah wusi yundong (peristiwa 4
Mei 1919), yang berusaha menghapuskan Konfusianisme di Cina serta merubah
dunia kesusastraan dan sosial-kebudayaan masyarakat Cina.
Cina sejak dahulu penuh dengan nilai-nilai revolusioner. Budaya bisnis
Cina moderen sendiri mengalami perubahan yang signifikan. Secara garis besar,
gejolak di Cina pada awal abad kedua puluh memunculkan kelas baru di
masyarakat Cina yang disebut dengan kelas komprador(kelas baru yang timbul
dari pertentangan kelas proletar dan borjuis). Golongan ini bertugas mewakili
hubungan dagang antara pemerintah Cina (saat itu masih dipegang Dinasti Qing)
73
dan pihak Barat atau negara asing lainnya. Saat itu, di tengah-tengah masyarakat
sendiri pertentangan konsep antara bisnis dan nilai-nilai patriotisme (bukan lagi
nilai
moral),
masih
hangat
sekali.
Sebagian
masyarakat
Cina
masih
mengharamkan bisnis (apalagi) dengan pihak asing, sebagian lagi marah karena
diinjak-injak martabatnya oleh bangsa asing sehingga mereka mencari alternatifalternatif dalam mengatasi penghinaan semacam ini. Selama tiga dekade pertama
Cina memiki sistem terencana yang sentralistis dalam tradisi komunis, walaupun
tidak sekaku komunis Soviet, sistem itu berubah-ubah dan perubahan itu
seringkali belangsung seara dramatis.
Periode pertama tahun 1949 sampai 1956, adalah suatu periode
rekonstruksi dan transisi. Kelompok pejabat ahli seperti dibidang keuangan dan
logistik pada kenyataannya merupakan ahli waris dari era republik, sebagai mana
kaum republikan mewarisi segalanya dari pejabat kerajaan ketika mereka
memerintah, melestarikan sebuah era yang berkesinambungan. Perusahaan lain
tetap beroprasi, meskipun oprasi mereka tidak dapat berjalan denga lancar serta
dikontrol. Periode kedua yang disebut management tunggal (one man
management), berlangsung dari tahun 1956- 1959. Itu merupakan replika model
Soviet yang kaku, dibarengi mengimpor produk berteknologi soviet dan
pemikiran Soviet yang menyalahkan pendidikan Cina. Saat soviet menarik diri,
Cina segera sadar bahwa Cina bisa mengoprasikan mesin sendiri, tetapi kurang
mampuh meningkatkan teknlogi melalui inovasi. Periode ketiga dikenal dengan
lompatan jauh kedepan (great leap forward) 1958-1960, periode ini menjalankan
ideologi Mao Zedong yang dianggap gagal, saat produksi didorong kepedesaan
dengan konsekuensi merugikan bahkan mengakibatkan kelaparan masal. Setelah
74
itu Mao mengeluarkan kebijakan baru untuk menanggulangi kegagalannya dan
lompatan jauh kedepan Mao meluncurkan revolusi kebudayaan pada tahun 1966,
ketika Mao membebaskan pasukan merahnya untuk menindak kaum intelektual
dan pejabat senior, menghancurkan sistem pendidikan dan sebagian besar
perekonomian yang telah terorganisasi. Cara-cara itu terus berlangsung sampai
tahun 1968, tetapi konsekuensnya bertahan sampai 1975. (Shenkar,2007: 51-52)
Revolusi Kebudayaan dianggap sebagai salah satu bencana terbesar yang
pernah terjadi di Cina. keterlibatan Mao Zedong dan kelompok pemuda, yang
dikenal sebagai tentara merah, sering menindak para pejabat pemerintah, dan
kemudian mengambil alih kota-kota dan provinsi.
Revolusi ini dimulai di
Shanghai dan dengan cepat menyebar ke seluruh negara. Perekonomian turun
sekitar 30% selama tiga tahun, dan mengalami stagnasi selama sisa periode itu.
Selain
itu,
seluruh
generasi
kehilangan
pendidikan
dan
menghambat
perkembangan Cina selama bertahun-tahun kedepan. (Joseph, Wong dan Zweig,
1991:9)
Pada perkembangannya ketika kaum komunis mutlak menguasai
pemerintahan Cina daratan, dunia bisnis Cina (dalam konteks ini individu maupun
badan swasta) untuk sekali lagi kembali ditekan. Segala individu maupun badan
swasta yang melakukan bisnis tanpa otorisasi elit kaum komunis pasti akan dicap
sebagai antek-antek kapitalis atau dengan kata lain bertentangan dengan nilai-nilai
kaum revolusioner. Begitu ekstremnya tindakan kaum revolusioner Cina hingga
kesusastraan Cina pun dijadikan alat propaganda untuk mendukung komunisme,
salah satunya dengan menyerang para kapitalis atau individu yang dianggap
sebagai oposisi. Sejak merdeka 1949 hingga sebelum diberlakukannya gaige
75
kaifang 1979, Cina memeluk ekonomi terencana secara pusat, yang menempatkan
negara pada posisi sentral. Selama 30 tahun itulah dunia bisnis Cina stagnan. Baru
pada Desember 1978, yaitu ketika Kongres XI Partai Komunis Cina mengesahkan
rumusan gaige kaifang atau kebijakan reformasi dan keterbukaan, bisnis Cina
kembali menggeliat. Cina masuk pada tahap baru, jauh berbeda dibanding
sebelumnya. Bahkan seorang Deng Xiaoping sekalipun menegaskan dalam
evaluasinya yang dikeluarkan pada September 1982
“Kemiskinan bukan
sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemisikinan”.
A.2. Perekonomian Cina Pasca Diberlakukannya Open Door Policy
Kemajuan ekonomi Cina berawal pada reformasi ekonomi yang dijalankan
oleh Deng Xiaoping yaitu pada tahun 1978, keberhasilan ini merupakan buah dari
reformasi ekonomi yang dirancang rapi dan konsisten serta dikembangkan oleh
generasi seterusnya. Dengan cadangan devisa 1,2 triliyun USD, Cina sekarang
mampu memberi subsidi ekspor, pendapatan perkapita Cina mencapai 1.740 USD
juga pertumbuhan ekonomi diatas 7% sejak tahun 1978. ( Taufik, 2008: 21)
Jika dilihat lebih dalam sesungguhnya usaha untuk meningkatkan ekonomi
Cina sudah dilakukan pada era Mao Zedong, yaitu menjalankan politik lompatan
jauh kedepan pada tahun 1958 yang dilanjutkan dengan revolusi kebudayaan (the
great proletarian cultural revolution) pada tahun 1966-1976, saat itu Cina
diramaikan dengan gerakan anti kapitalisme, tentara merah menyerang para
dosen, dokter, seniman, novelis dan mereka yang dianggap tidak mewakili kaum
proletar. Revolusi kebudayaan yangn dicetuskan tidak membuat Cina menjadi
lebih baik, tetapi malah membuat Cina semain terpuruk dan dikucilkan oleh
76
dunia internasional, bahkan termasuk oleh Uni Soviet, namun pengucilan ini tidak
berlangsung terlalu lama setelah Cina
berpihak kepada NAM (non aligned
movevement) atau gerakan non blok. (Taufik, Ibid : 24)
Pada tahun 1972 presiden AS Richard Nixon mengusulkan Cina menjadi
anggota tetap PBB yang mempunyai hak veto untuk menggantikan Taiwan,
Dengan masuknya Cina dalam keanggotaan PBB Cina mulai terbuka terhadap
dunia barat dan satu persatu negara-negara di dunia mengadakan hubungan
diplolmatik dengan Cina. (Taufik, Ibid : 24) Semenjak Cina membuka diri
terhadap dunia internasional, negara-negara di dunia mulai menanamkan investasi
dari luar negeri walaupun cakupannya masih terbatas.
Setelah era Mao Zedong berakhir dan digantikan oleh Deng Xiaoping pada
tahun 1978, Cina menjadi sebuah bangsa yang terbuka terhadap dunia barat tidak
seperti Cina pada era Mao Zedong yang tertutup terhadap duina barat. Sejak
berkuasanya Deng Xiaoping Cina menjalankan dual sistem yaitu secara politik
tetap komunis secara ekonomi Cina menjalankan sistem kapitalis atau sistem
sosialisme pasar. Walaupun pada masa pemerintahan Deng Xiaoping muncul
demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan masyarakat pro demokrasi yang
berjumlah sekitar 10.000 sehingga meletusnya tragedi Tian’anmen, Indikator
prekonomian Cina memang berubah derastis setelah reformasi ekonomi Cina,
reformasi ini merujuk pada program ekonomi dengan karakteristik khas Cina.
Program reformasi Cina yang diluncurkan oleh Deng Xiaoping terdiri dari
dua unsur utama, pertama, mengubah sistem insentif dan kepemilikan dimana
milik pribadi menjadi lebih dominan daripada milik negara. Kedua, membuka
pintu artinya liberalisasi perdagangan luar negeri, investasi asing dan domestik.
77
Kebijakan investasi asing yang liberal dilengkapi peraturan ketat, yang
mewajibkan berbagai perusahaan asing untuk melakukan transfer technology
kepada berbagai perusahaan domestik, sebagai imbalan di bukanya pasar
domestik Cina yang besar bagi berbagai perusahaan asing. (Wee, kompas, 2009)
Sejak Deng Xiaoping meluncurkan program reformasi ekonomi tahun 1979,
ekonomi Cina mengalami pertumbuhan. Akibat pertumbuhan ekonomi rata-rata
sebesar 10% pertahun dan berlangsung hampir 30 tahun, menurut perkiraan Bank
Dunia, persentase penduduk Cina yang hidup di bawah garis kemiskinan telah
menurun dari 60% pada 1978 menjadi 7,0% pada 2007. Ini berarti sejak 1979
kesejahteraan ratusan juta penduduk Cina yang miskin dapat ditingkatkan, suatu
kinerja yang tiada taranya dalam sejarah ekonomi dunia. (Wee, kompas, 2009)
Jika banyak pendapat bahwa SDM Cina sangat murah, sebenarnya SDM
Cina bukanlah yang termurah jika dibandingkan dengan para pekerja di negaranegara miskin di Asia Tenggara atau Afrika. Namun, Cina memiliki tenaga kerja
yang handal dan patuh yang tertanam dari ajaran Konfusinisme. Tenaga kerja
yang tersedia di Cina juga tidak hanya buruh rendahan tapi sejumlah sarjana dan
ilmuan yang jumlahnya sangat banyak. Cina sangat mencolok dalam tingkatan
doktoral. Pada tahun 2002 menurut National Science Foundation (NSF), 2.395
Siswa Cina meraih gelar Doktor dibidang sains dan rancang bangun. Sebagai
pembanding, India hanya memiliki 678 lulusan yang sama saat itu.
Jumlah penduduk yang besar ini juga bukan hanya berarti tenaga kerja
yang melimpah tapi juga pasar yang besar. Kenyataan di atas menarik banyak
investor asing untuk berinvestasi di Cina. Investasi asing telah menyebabkan
pertumbuhan industri yang kian pesat juga alih teknologi yang sangat
78
menguntungkan. Investasi asing ini merupakan modal yang membuat Cina terus
tumbuh.
Secara keseluruhan kebangkitan Cina disokong oleh kebijkan-kebijakan
ekonomi yang mampu memacu industri-industri strategis dan memacu ekspor.
Kebijakan-kebijakan inilah yang seringkali menjadi konflik bagi Cina dan AS.
Selama seperempat abad AS mengalami defisit perdagangan yang kini mencapai
0,5 triliun Dollar AS per-tahun, ini merupakan defisit perdagangan terbesar di
dunia dan Cina merupakan penyebab defisit terbesar bagi AS.
GDP (gros domestic product) Cina meningkat empat kali lipat. Cina
menggunakan sistem ekonomi yang sentrakistik untuk mengatasi masalah
kemiskinan yang terjadi akibat kegagalan sistem ekonomi di periode sebelumnya.
Sebelumnya pendapatan orang Cina yang tergolong miskin hanyalah $1/hari
sebanyak 643 juta orang di tahun 1981 menjadi 212 juta di tahun 2002.
Pemerintah Cina menjamin hak milik pribadi serta menerapkan sisitem harga
tetap terhadap barang hasil produksi serta memberikan stimulus berupa insentif
kepada pengusaha daerah dan petani. Karena selama ini angka kemisknan banyak
terjadi di wilayah pedesaan. Dengan diberikannya stimulus tersebut maka
semangat para petani serta pemerintahan daerah menjadi lebih tinggi. Semangat
tersebut tentunya akan memicu produksi tinggi dan memicu pertumbuhan
ekonomi di Cina. Namun Cina tetap berusaha mempertahankan badan umum
milik negara (BUMN) yang mereka miliki padahal itu dapat menjadi hambatan
dalam perekonomian Cina sendiri. BUMN yang bermasalah dengan keuangannya
akan menyedot hasil penghasilan yang diperoleh, namun jika pertumbuhan
79
ekonomi Cina terus meningkat dan stabil maka hal itu tidak menjadi masalah yang
begitu besar.
Reformasi ekonomi ini memiliki tujuan peningkatan ekonomi bagi kaum
miskin dengan cara memaksimalkan kemampuan serta apapun yang dimiliki oleh
masyarakat miskin tersebut agar berguna bagi kehidupan masing-masing. Para
pengusaha daerah dan petani yang dikenal dengan sebutan (township and village
enterprises) TVEs memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak adaya
kewenangan
bagi
mereka
atas
pemasukan
maka
mereka
tidak
dapat
menyelamatkan TVEs yang memilki kinerja buruk. (Todaro dan Smith, 2006 : 23)
Kebijakan open door policy sukses menarik investor datang ke Cina.
Padahal pada saat itu Cina terus dibayangi oleh kemajuan ekonomi negara
disekitarnya seperti Korea selatan dan Taiwan. (Siswanto, 1997 : 72) Dapat dilihat
akibat dari open door policy memang membawa angin perubahan yang sangat
fantastis terhadap perekonomian.
Hal ini di mulai pada akhir perang dingin, Cina memperoleh kesempatan
untuk fokus terhadap satu tujuan yaitu pertumbuhan ekonomi. Sistem ekonomi
yang terbentuk kembali dengan keterbukaan Cina terhadap investasi asing juga
menjadi lebih terintegrasi dengan komunitas internasional.
Sebelumnya Cina hanya dikenal dengan pembangunan ekonomi model
new industrialized countries (NIC) sampai pertengahan 1970, Cina masih di
pengaruhi
akibat
revolusi
kebudayaan
dan
baru
bangkit
kembali
perekonomiannya, Deng Xiaoping yang pada tahun 1978 menjabat sebagai
pemimpin Cina melaksanakan “gaige kaifang” atau reformasi atau membuka diri
(open door policy), disinilah awal mula kebangkitan ekonomi Cina. Hal ini terus
80
berlanjut, sampai dengan tahun 1998 memang reformasi di Cina belum sukses
secara total dan tidak membuat Cina untuk mengalihkan planed ekonomi ke
sistem free market karena melihat berkuasanya invisible hand, dan akhirnya Cina
menyiasatinya dengan memprivatisasi perusahaan pemerintah kepada swasta ,
Cina menerapkan new deal yang hampir sama dengan apa yang dijalankan oleh
Roosevelt di AS sehingga pada era krisis moneter 1998 yang melanda Asia, Cina
tidak terkena dampaknya. (Clyde, Paul and Beers, 2001 : 10)
Dalam masa pemerintahannya, Deng Xiaoping memasukan unsur investasi
asing selain unsur pertanian, industri dan politik yang sudah ada pada masa
pemerintahan sebelumnya. Investasi di Cina di buka dengan luas sementara
pemerintah memiliki peran sebagai penjamin keamanan, stabilitas politik,
memotong jalur birokrasi serta menjamin perlindungan lainnya. Semua kebijakan
yang diterapkan Deng Xiaoping bertujuan untuk mendukung tumbuhnya industri
dan memacu ekspor. Masuknya invetasi di Cina membuat Cina tidak lagi hanya
mengandalkan sektor agrikultur tapi juga sektor industri yang maju pesat. Konsep
pintu terbuka terus dijalankan hingga kepemimpinan Jiang Zemin dan Hu Jintao.
Open door policy ditandai dengan pengiriman nota diplomatik oleh Jhon
Hay (Menlu AS) yang berisi ajakan untuk melaksanakan nilai persamaan dalam
perdagangan dan nota yang kedua yang berisi mengenai ajakan AS untuk
mengakui kesatuan wilayah dan administrasi Cina. Nota tersebut medapat
berbagai respon dari negara yang menerimanya. Jerman, dan Rusia menolak nota
tersebut sedangkan Perancis dan Jepang tidak konsisten. AS yang pada saat itu
dipimpin oleh seorang ekonom yaitu Mckinley yang memilki pandangan
mengenai perjuangan terhadap kaum petani dan golongan industri. Melihat situasi
81
ekonomi Cina yang semakin memburuk, maka pada masa itu Cina memilih
kebijakan tersebut sebagai langkah yang diambil. Dengan menambahkan unsur
insentif dan pasar bebas yang dijadikan stimulus bagi semangat produksi para
pengusaha daerah dan petani diharapkan dapat memperbaiki kondisi ekonomi
negaranya. (Siswanto, opcit)
Kebijakan ekonomi Cina adalah pragmatis yang didasarkan atas evaluasi
pengalaman dalam pelaksanaan berbagai eksperimen program pembangunan yang
mereka sebut mencari kebenaran dari kenyataan konkrit, seperti sistem tanggung
jawab rumah tangga yang pada akhir 1970-an telah meninggalkan sistem
pertanian kolektif dan mengembalikan usaha tani kepada para petani. Hasilnya,
kenaikan pesat dalam produktivitas, hasil produksi, dan pendapatan petani tanpa
memerlukan pengeluaran besar dari Pemerintah Cina.
Kebijakan ekonomi yang pragmatis juga tercermin pada kebijakan pintu
terbuka bagi investasi asing. Meski dari tahun ke tahun sistem insentif dan
peraturan mengenai investasi asing terus disempurnakan, insentif dan peraturan
tentang investasi asing tetap menarik bagi investor asing. Dengan demikian, Cina
menerima investasi asing dalam jumlah amat besar, jauh melebihi investasi asing
ke negara-negara kawasan Asia-Pasifik lainnya (di luar Jepang). Semula,
Pemerintah Cina juga memberi prioritas pada pembangunan industri-industri
manufaktur ringan dan menengah yang padat karya dan berorientasi ekspor yang
hanya memerlukan jumlah investasi kecil tetapi dalam waktu singkat
menghasilkan lonjakan jumlah produksi, seperti tekstil, garmen, alas kaki, mainan
anak, dan barang elektronik konsumsi.
82
Kenyataannya, industri ini telah mempekerjakan puluhan juta orang yang
datang dari pedesaan. Namun, setelah krisis finansial global juga melanda Cina,
puluhan juta pekerja ini kembali ke pedesaan karena pasar ekspor mereka
mengalami kontraksi. Program reformasi ekonomi Cina yang diluncurkan Deng
Xiaoping disebut Gai Ge Kai Feng, terdiri dari dua unsur utama. Pertama,
mengubah sistem insentif dan kepemilikan di mana milik pribadi menjadi lebih
dominan daripada milik negara. Kedua, membuka pintu, artinya liberalisasi
perdagangan luar negara, investasi asing dan domestik. Kebijakan investasi asing
yang liberal dilengkapi peraturan ketat, yang mewajibkan berbagai perusahaan
asing untuk mengalihkan teknologinya ke berbagai perusahaan domestik, sebagai
imbalan dibukanya pasar domestik Cina yang besar bagi berbagai perusahaan
asing.
Selain itu, Pemerintah Cina berhasil membangun jaringan prasarana fisik,
terutama sistem transportasi yang luas dan efisien, yang implementasinya
didasarkan atas pemulihan ekonomi total. Artinya, penghasilan dari pengenaan
tarif yang dibayar para pengguna prasarana ini harus menutupi semua biaya yang
diperlukan untuk operasi dan pemeliharaan prasarana.
Program reformasi ini juga memberi prioritas tinggi pada pertanian dan
pembangunan pedesaan. Kenyataan menunjukkan hal ini belum begitu berhasil,
yang juga diakui Presiden Hu Jintao. Presiden Jintao menyerukan perwujudan
suatu masyarakat yang serasi yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan
antara daerah perkotaan dan pedesaan.
83
A.3. Masuknya Cina Kedalam World Trade Organizations (WTO)
A.3.a. Latar Belakang dan Tujuan Cina Menjadi Anggota World
Trade Organizations (WTO)
Pada era Perang Dingin, rivalitas antara blok barat dan blok timur dalam
berbagai bidang begitu kuat. Contohnya saat AS bersama sekutu-sekutunya
berusaha memblokade dunia dari bahaya komunis yang saat itu dipimpin Uni
Soviet. Dalam tingkat internasional, terlihat dari berbagai doktrin AS seperti
Marshall Plan (1947), maupun rezim internasional seperti Bretton Woods (1944)
yang kemudian melahirkan International Monetary Fund (1945) dan World Bank
(1944), General Agreement on Trade and Tariff/ (GATT) (sekarang World Trade
Organization/WTO) pada tahun 1948, Washington Consensus (1989), hingga
pakta pertahanan seperti NATO (1949). Pada dasarnya, metode-metode politis
tersebut berfungsi untuk mengamankan kepentingan AS dan sekutunya, sekaligus
menghadang meluasnya doktrin komunisme ke dunia itu. Salah satu buktinya
terlihat dalam bidang ekonomi di mana rezim WTO (berdiri 1 Januari 1995) yang
kini beranggotakan atas 128 negara anggota jelas merupakan kelompok eksklusif
masyarakat internasional yang memberikan hak-hak istimewa kepada negaranegara anggotanya seperti pembukaan hubungan dagang antar negara anggota,
penghapusan atau peminimalisiran bea masuk impor, beserta kewajiban negara
anggota berupa syarat-syarat keanggotaan yang tentunya tidak mudah (Griffiths &
O’ Callaghan, 2002:338-341)
Pada awalnya, pertimbangan dan tujuan Cina menjadi anggota WTO
adalah alasan ekonomis semata, yakni sebagai wahana untuk mencapai akselerasi
84
industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Cina menginginkan pembukaan pasar
global sehingga produk-produk ekspornya bisa masuk dan sekaligus investasi
asing bisa menggairahkan perekonomian negara yang dikatakan berada pada tahap
awal sosialisme itu. Beberapa tujuan konkrit Cina atas keanggotaannya di WTO,
antara lain:
1. Mempermudah ekspor Cina ke negara-negara anggota WTO lainnya,
terutama pasar AS dan Uni Eropa;
2. Menghapus batasan perdagangan dan memperluas akses pasar bagi barangbarang domestik dan luar negeri;
3. Mencapai industrialisasi secara cepat (revolusi industri) dan alih teknologi
negara maju;
4. Meningkatkan pendapatan dalam negeri dari sektor ekspor dan investasi
asing (Foreign Direct Investment/FDI); dan
5. Memperoleh prestise di mata dunia internasional. Khusus mengenai poin
kelima ini, meminjam istilah yang dikemukakan sinolog I. Wibowo, Cina
juga akan menikmati “keuntungan kasat mata/intangible benefits” melalui
jalur keanggotaan WTO. (Wibowo, opcit : 63)
Berikut beberapa keuntungan konkrit yang sudah dinikmati Cina setelah
bergabung dengan WTO, antara lain: (Brahm, 2002:65)
1. Hingga tahun 2002, Cina memiliki hubungan dagang bebas dengan 127
negara anggota WTO lainnya;
2. Peningkatan industrialisasi Cina dan alih teknologi tingkat tinggi berhubung
semakin terbukanya investasi asing;
85
3. Penghargaan yang semakin tinggi terhadap hak kekayaan intelektual
(HAKI), hak paten produk/trademark sehingga rakyat Cina bisa lebih
kreatif, inovatif, dan berkompetisi secara sehat dalam sistem yang
melindungi karyanya;
4. Otoritas dan rakyat Cina di satu sisi diuntungkan oleh pemasukan berbagai
jenis pajak baru dan arus investasi asing yang masuk;
5. Semakin meningkatkan sumber daya manusia (SDM) rakyat Cina, dan lainlain.
Mengkaji Kesuksesan Cina dalam Rezim Internasional WTO merupakan
salah satu rezim internasional yang dituding negatif oleh banyak pihak karena
terlalu menguntungkan kepentingan negara-negara maju, dan merugikan negaranegara berkembang yang mayoritas gagal berkompetisi karena kalah bersaing
dalam hal modal, teknologi, arus informasi, lintas jasa, SDM, dan lain-lain.
(Jhamtani, 2005:45) Tidak hanya itu, pada pandangan ekstrim rezim-rezim global
seperti IMF dan World Bank dianggap sebagai ‘serigala berbulu domba’ yang
cenderung membuka dunia ketiga demi kepentingan negara-negara maju, daripada
tujuan dasarnya mengurangi tingkat kemiskinan global. (Griffiths dan
O’Callaghan : 334) Namun, kartu ini ternyata berhasil dimainkan Cina, dan
Maksud dari pernyataan ini adalah Cina percaya bahwa prestise negaranya akan
naik di mata internasional dan memperkuat legitimasinya baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, terutama dalam kerangka persaingannya dengan Taiwan
dan dengan kubu konservatif di dalam pemerintahan internalnya.
Pada dasarnya, keberhasilan Cina dalam memanfaatkan tantangan
globalisasi setidaknya dapat dipandang dalam dua pendekatan, yaitu:
86
1. Menurut pendekatan liberalis; dan
2. Peran kubu reformis dalam decision-making Partai Komunis Cina.
Definisi rezim, antara lain Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang
dimaksud dengan “rezim” adalah tata pemerintahan negara atau pemerintahan yg
berkuasa. (Alwi, 2002 : 954) Sedangkan, dalam bidang politik rezim berarti
bentuk pemerintahan atau seperangkat aturan, norma-norma sosial atau
kebudayaan yang mengatur jalannya suatu pemerintahan dan interaksinya dengan
masyarakat. Dalam studi Hubungan Internasional ada satu pendekatan utama
terkait rezim ini, yakni pendekatan liberalis. Menurut tradisi liberalis, contohnya
seperti yang dikemukakan Robert Keohane, rezim yang dilandasi oleh kerja sama
adalah “Institutions possesing norms, decision rules, and decision making
procedures which facilitate a convergence of expectations.” ( Keohane, 1984 : 59)
Tabel 1
Pandangan dasar tradisi liberalisme dalam Teori Hubungan Internasional
No
1
Dasar asumsi Perspektif Liberalisme
Unit analisis aktor negara dan aktor non-negara sama pentingnya
2
Cara pandang aktor-aktor negara dipecah ke dalam beberapa komponen, beberapa di antaranya
dapat bertindak secara transnasional
3
Dinamika perilaku aktor pembuatan kebijakan luar negeri dan proses-proses transnasional
melibatkan konflik, tawar-menawar, koalisi, dan kompromi
4
Isu utama Sosial ekonomi, tingkat kesejahteraan yang dianggap lebih penting daripada isu
keamanan nasional semata
Sumber: Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism,
(New York: Macmillan Publishing Company, 1993)
Seperti yang dijabarkan Keohane, pendekatan liberalis dalam memandang
rezim menekankan tentang pentingnya keberadaan rezim (di luar aktor negara)
yang dapat mempengaruhi aktor negara/aktor-aktor internasional lainnya
(perspektif negara sebagai non-satu-kesatuan aktor unit yang bisa dipecah).
Asumsi dasarnya adalah bahwa bentuk kerja sama antar negara merupakan
norma/etika/value yang mendasari pencapaian kepentingannya.
87
Dapat dikatakan, rezim menurut perspektif liberalis adalah bentuk kerja
sama internasional. Sesuai dengan definisi dasarnya, rezim mencakup berbagai
bentuk isu internasional, dan biasanya satu rezim terfokus pada satu isu tertentu
dengan anggota-anggota yang tidak hanya terdiri dari negara. Berangkat dari
pendekatan interest-based liberalis, dalam konteks ini dikatakan bahwa WTO bisa
berjalan tanpa satu kekuatan hegemoni tertentu sebab terdapat “convergence of
expectations” atau yang diinterpretasikan sebagai “ekspektasi/harapan dari
masing-masing konstituen rezim yang terkumpul dalam satu wadah pertemuan”.
WTO sebagai rezim memfasilitasi kerja sama dengan menciptakan standarstandar tertentu bagi para anggotanya. Ketika semua anggota negara berharap agar
partisipan lain bekerja sama maka kemungkinan melangsungkan kerja sama
secara konstan dapat terus meningkat. Jadi, tidak sepenuhnya benar dikatakan
bahwa konflik adalah dasar dari sistem anarki dunia.
Terkhusus mengenai kesuksesan Cina dalam rezim internasional,
pendekatan
liberalis
merupakan
salah
satu
kunci
dalam
menjelaskan
kepragmatisan Cina. Cina sebagai aktor negara tidak menyangkal adanya bentuk
kerja sama internasional, terutama dalam bidang ekonomi, bahkan dengan rezim
terdiktator di dunia sekalipun, seperti beberapa negara di Afrika. (Navarro, 2008 :
95-110) Hal ini yang tidak akan dilanggar oleh perusahaan multinasional (MNC)
AS atau Uni Eropa ‘seliberal’ apa pun. Negara-negara barat, terutama AS sangat
khawatir dengan politik luar negeri nasionalis-pragmatis Cina itu. Berkali-kali
presiden
Hu
Jintao
mengelak
dari
tudingan-tudingan
negatif
dengan
mengeluarkan jargon-jargon seperti “Tanpa syarat politik apa pun, murni
kepentingan bisnis” hingga jargon “hexie shijie atau hexie shehui (masyarakat
88
dunia yang harmonis)”. Agen-agen pembangun ekonomi Cina tersebar ke seluruh
dunia, seringkali tanpa pandang bulu latar belakang mitra bisnisnya. Mereka tidak
terlalu ambil pusing dengan embel-embel seperti “demokrasi” yang diusung AS
selama ini. Semangat pragmatis Cina dalam mengejar kekayaan dan kemuliaan
(termasuk prestise di mata internasional) tertanam dalam-dalam di hati rakyat
Cina.
Sebenarnya, pengadopsian ideologi dan sistem yang serba baru ini sudah
tercermin dari tiga ujaran populer oleh Deng Xiaoping sejak dua dekade lalu,
yaitu “sosialisme tidak berarti kemiskinan, sosialisme justru melenyapkan
kemiskinan”, “tidak peduli kucing hitam atau putih, selama dia bisa menangkap
tikus”, dan “zhi fu shi guangrong (menjadi kaya itu mulia)”. Dengan dasar-dasar
fundamental itu, arah politik domestik dan internasional Cina kemudian berubah
total, khususnya setelah tahun 1978. Dalam dinamikanya, di satu sisi pemerintah
Cina tetap memegang kontrol makro (hongguan tiaokong) dan membangun kerja
sama internasional dengan siapa saja yang penting bagi national interest-nya, dan
di satu sisi menghalalkan praktik kapitalisme di negaranya. (Wibowo, op.cit)
Akan tetapi, pendekatan liberalis dalam konteks ini bukan tanpa
kelemahan. Pemerintah Cina adalah aktor Negara (state actor) yang sangat
dominan dalam hampir semua aspek. Bahkan semua perusahaan multinasional
(mayoritas adalah BUMN) yang menjadi ujung tombak dan agen pembangunan
ekonomi bukan milik swasta (dikendalikan secara ketat oleh negara). Pendekatan
liberalis
dan
cara
memandang
kesuksesan
Cina
hanya
terletak
pada
kemampuannya untuk menjelaskan indikator kepragmatisan Cina dalam
memperjuangkan kepentingan nasionalnya, serta variabel penjelas dalam
89
perspektif liberalis yang memecah otoritas Cina menjadi beberapa unit yang dapat
dipengaruhi pihak-pihak lain. Dalam konteks kesejarahannya, ada tendensi bahwa
Cina melawan kekuatan barat dengan ala barat juga, sesuatu yang sudah lazim
terjadi bahkan sejak sistem dinasti Cina tumbang.
Apabila ditanyakan, apakah benar bahwa rezim itu (WTO) memengaruhi
otoritas Cina? Jawabannya adalah ya. Tapi hingga sejauh mana? Perlu
digarisbawahi bahwa terdapat derajat kepentingan tertentu antara rezim
internasional dan negara ini. Bagi Cina, seperti yang telah kemukakan
sebelumnya, WTO hanya sebatas kendaraan yang memfasilitasi politik luar negeri
dan kepentigan nasionalnya. Cina mungkin bersedia tunduk pada standar-standar
yang ditetapkan WTO, tapi Cina yang hingga saat ini dianggap tidak patuh penuh
kepada WTO (uneven and incomplete), ternyata memiliki ambisi sendiri untuk
mengubah rezim WTO dari dalam sesuai dengan kepentingan Cina. Cina yang
ditekan oleh anggota WTO lain, terutama AS, tidak akan-akan terburu-buru taat
pada tekanan AS atau negara mana pun. Bukan tidak mungkin, Cina yang
kekuatan ekonominya semakin meraksasa dari waktu ke waktu dapat merapatkan
barisan negara-negara berkembang dalam memengaruhi pembuatan pasal-pasal
WTO yang selama ini selalu didikte oleh negara-negara maju. (Wibowo, op.cit :
76-78)
Sedangkan bagi WTO yang dengan catatan didominasi oleh negara-negara
maju (AS, Uni Eropa, dan Jepang), Dari segi politis, pemerintah asing memiliki
motif tersendiri atas keanggotaan Cina di WTO. Mereka berharap bahwa dengan
mengintegrasikan Cina ke dalam rezim perdagangan secara formal dan juga rezim
investasi, Cina akan duduk pada landasan yang sama sehingga aneka pertikaian
90
dapat diselesaikan dengan mudah. Cina akan didorong untuk menjalankan sistem
undang-undang ekonomi yang lebih transparan.
AS, secara khusus berharap
bahwa dengan integrasi Cina ke dalam ekonomi dunia, Cina juga akan mengalami
perubahan dalam sistem politiknya, keterbukaan ekonomi akan mendukung
lahirnya demokrasi. (Pearson, 1999 : 166)
Disamping itu, dengan masuknya Cina sebagai anggota WTO, pasar Cina
semakin terbuka bagi kegiatan perdagangan international. Hal tersebut dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2
Reduksi Tarif (%) setelah Cina masuk WTO
Sector
Automobile
Wine
Cigarettes
Citrus
Auto parts
Barley malt
Textiles and apparel
Electronics
IT Products
Chemicals
Construction equipment
Agricultural equipment
Pharmaceutical
Steel
Tarif terkini
70-80
65
65
40
35
30
25,4
13,3
13
16
13,6
11,5
9,6
10,3
Tarif 2005
25
20
25
12
10
10
11.7
0
0
6
6,4
5,7
4,2
6,1
Sumber: US State Department, US-China Business Council, 2006.
A. Keuntungan Masuknya Cina kedalam WTO
Pada awalnya Cina mengejar keuntungan yang bersifat ekonomi semata
yaitu sebagai sarana untuk mencapai industrialisasi yang cepat untuk
meningkatkan pendapatan lewat ekspor yang tinggi serta modal dari luar, selain
itu Cina juga akan mendapatkan keuntungan yang tak dapat disentuh (intangible),
dengan mengikut sertakan Cina kedalam organisasi internasional, pemerintah
91
Cina akan memperoleh prestise internasional dan dengan demikian memperkuat
legitimasinya baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dari sudut ekonomi keuntungan yang dapat diraih Cina dapat ditafsirkan
dari beberapa tolak ukur, menurut bank dunia, diperkirakan pada tahun 2020
share Cina pada perdagangan akan naik tiga kali lipat dari sekarang, itu berarti
mencapai 10%. Cina akan mengimpor dalam jumlah yang lebih besar dari beras
sampai alat semi konduktor. Pada saat yang sama, Cina akan mengekspor dalam
jumlah yang berlipat-lipat barang yang diproduksi dengan padat karya. Menurut
perhitungan ini pula Cina akan menjadi trading nation nomor dua terbesar didunia
setelah AS dengan share 12% dan mendahului Jepang dengan share 5%.
Sedangkan menurut direktur jenderal dari WTO 2002, Supachai Panitchpakdi,
buruh Cina juga akan menarik keuntungan, bank dunia memperkirakan bahwa
upah buruh tak berkeahlian tiga setengah kali lipat pada tahun 1992 sampai 2020.
Buruh berkeahlian juga akan menikmati keuntungan yang sejajar dengan kenaikan
upah di dunia. Para pengusaha pengusaha domestik juga akan memetik
keuntungan.(Wibowo,2007:65)
Cina terkenal dengan proteksionisme lokal yang diterapkan oleh pejabat
daerah. mereka sering kalah bersaing dengan perusahaan asing yang memperoleh
tax breaks dan perlakuan istimewa lain dari WTO, karena setelah masuk WTO
sumber daya harus dialokasikan sesuai dengan hukum pasar dan peraturanperaturan harus diubah sesuai dengan situasi baru itu. Selain itu Cina diramalkan
akan mereformasi dalam sistem perbankan yang saat ini masih amat lemah dan
rentan, dengan non performing loans yang mencapai 25-40 dari seluruh pinjaman
maka tidak ada jalan lain selain reformasi, dengan menjadi anggota WTO Cina
92
akan didorong kuat untuk mengubah sistem perbankannya sesuai dengan standar
internasional.
B. Kebijakan Perdagangan Amerika Serikat
B.1. Sejarah Diskriminasi Kebijakan Perdagangan AS
Pasca perang dunia II AS telah memainkan peran paradoks dalam
perkembangan sistem perdagangan internasional, AS memperjuangkan prinsip
tanpa diskriminasi dalam perdagangan dunia, namun tetap diterapkan dalam
sistem perdagangannya. Sementara itu AS terus mempromosikan prinsip the most
favored nation (MFN) dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT),
perdagangan AS juga memelopori penggunaan langkah perdagangan bilateral,
termasuk voluntary export restraints (VERs) dan orderly marketing agreements
(OMAs), untuk melindungi industri dalam negeri yang terpengaruh oleh impor
yang tumbuh pesat.
Secara eksplisit tindakan diskriminatif AS, pertama kali diterapkan kepada
Jepang dan kemudian ke negara eksportir lain, sebagian besar eksportir negara
Asia Timur ke pasar AS, jelas hal itu melanggar prinsip GATT. Selain itu, AS
memilih langkah-langkah di atas non-diskriminatif, namun tindakan perlindungan
diperbolehkan sesuai Pasal XIX dari GATT. Perdagangan diskriminasi juga
dipupuk melalui dinegosiasikannya VIEs dengan Jepang dan mitra dagang
lainnya. diskriminasi kebijakan perdagangan AS tetrhadap Jepang sebenarnya
dimulai bahkan sebelum Perang dunia II dengan negosiasi di tahun 1930-an dari
VERs Jepang ke AS dalam beberapa jenis tekstil katun (Metzger 1971, 170-1).
93
Meskipun impor dari Jepang yang relatif kecil terhadap pasar AS, mereka
tetap dianggap ancaman karena volume meningkat pesat dan terkonsentrasi dalam
beberapa kategori produk. perjanjian VERs didorong oleh ancaman tindakan
sepihak AS. Tapi di awal periode sesudah perang dunia II, dengan ekonomi yang
kacau balau, Jepang hampir tidak muncul menjadi suatu ancaman kompetitif bagi
industri AS, bahkan AS membantu dalam rekonstruksi industri tekstil Jepang dan
juga pada tahun 1955 memperjuangkan Jepang masuk ke dalam GATT yang
selanjutnya disebut WTO.
Tentu saja, tindakan diskriminasi perdagangan, baik ekspor-impor yang
membatasi, memiliki efek eksternal penting pada sektor-sektor lain. Apa yang
dimulai dengan VERs Jepang yang membatasi ekspor tekstil katun ke AS
akhirnya memuncak pada Pengaturan Multi Fibre global (MFA), sebagai produk
tidak terbatas dan kemudian negara-negara pengekspor terbatas mengisi
kesenjangan impor.
Diskriminasi terhadap Cina juga telah tergambar dalam aplikasi AS dalam
konsisten undang-undang WTO tentang perdagangan yang tidak adil seperti anti
dumping. kriteria elastis telah membuat instrumen hukum dumping, kebijakan
yang paling populer untuk industri AS yang mencari perlindungan dari persaingan
impor, terutama impor dari transisi ekonomi dikategorikan sebagai pasar nonekonomi pertahun. Akhir-akhir ini Cina telah menjadi target besar tindakan anti
dumping AS dan di seluruh dunia. (Messerlin 2004:56)
Karena margin dumping untuk Cina dihitung secara berbeda dibandingkan
kebanyakan negara lain dan mengakibatkan tugas antidumping adalah biasanya
jauh lebih besar, statistik ini dapat mengecilkan dampak tindakan antidumping
94
ekspor Cina ke AS. Bentuk lain dari praktek sanksi WTO yaitu menawarkan
pilihan akses pasar ke beberapa negara. sebagian besar preferensi khususnya
kekaisaran Inggris mendukung negara-negara Persemakmuran (Dam 1970, 14).
Respon terhadap tekanan dari penerima manfaat potensial dan United
Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), sebagai pengabaian
WTO pada tahun 1971 memprakarsai Generalized System of Preferences (GSP).
Berdasarkan GSP, diproduksi ekspor dari less-developed countries (LDCs)
terbatas memperoleh akses khusus ke pasar negara-negara industri maju (Pearson
2004, 105). AS awalnya menentang GSP, dengan alasan bahwa itu melemahkan
prinsip WTO, dan juga dari praktis kekhawatiran bahwa impor lebih murah dari
negara-negara berkembang yang akan membanjiri pasar AS. Sistem versi AS
akhirnya diterapkan pada tahun 1976, termasuk sektor sensitif LDC, tidak hanya
tekstil dan pakaian tapi juga sepatu dan baja, di mana persaingan eksportir dari
negara-negara berkembang sudah memasuki penjualan domestik.
Mungkin yang paling penting bagi lingkungan perdagangan saat ini adalah
perkembangan di seluruh dunia, yaitu diskriminatif perjanjian perdagangan.
Dimulai
pada
pertengahan
tahun
1980-an,
Amerika
secara
agresif
mempromosikan free trade area (FTA) dengan berbagai mitra, yang anggotanya
tidak hanya dari negara-negara barat. Meskipun FTA awalnya mucul dari prustasi
AS dengan lambatnya upaya multilateral dalam WTO, upaya terus berlanjut
selama dan bahkan setelah negosiasi multilateral Putaran Uruguay. perjanjian
perdagangan tersebut telah disetujui berdasarkan Pasal XXIV WTO, awalnya
dimaksudkan untuk memfasilitasi serikat ekonomi di Eropa tetapi yang muncul
adalah sebagai jalan utama dengan prinsip WTO.
95
AS saja telah banyak melakukan negosiasi mengenai FTA, di samping
Perdagangan Bebas Amerika Utara dan juga berpartisipasi dalam berbagai
perjanjian. Setiap negara dikecualikan dari akses khusus adalah jelas merugikan.
Memang, perjanjian khusus telah menjadi penentu keberhasilan ekspor pasar
utama. Mitra dagang AS, termasuk Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN), saat ini FTA ASEAN denga AS mulai merasa stagnan dan kurang
untuk memperluas akses pasar daripada mempertahankan akses mereka saat ini
(Naya dan Plummer, 2005:87).
B.2. Kebijakan Perdagangan AS Terhadap Cina
Banyak faktor yang terlibat dalam penentuan kebijakan perdagangan AS
terhadap Cina, Tujuan Utama dari bagian ini adalah untuk menggambarkan
pengaruh dari beberapa faktor penting dalam penentuan kebijakan perdagangan
AS terhadap Cina.
Dalam hal ekonometrik, faktor-faktor tersebut menanggung variabel yang
lebih besar daripada yang lain. Sebagian besar mengusulkan model yang ada
variabel-variabel berikut sebagai penentu utama trade policy : industry size,
employment, concentration ratio, level sof imports, and changes in import level
(Gawande dan Krishna, 2001:78). Bahkan, variabel tersebut sangat penting bagi
faktor-faktor penentu kebijakan perdagangan, tetapi hanya di level industri.
Seperti model teoritis yang mencoba untuk menghubungkan variabel-variabel
tertentu untuk penentuan kebijakan perdagangan di tingkat industri, tanpa
pertimbangan untuk melakukan kerja sama, ketika merujuk kepada determinasi
kebijakan perdagangan AS terhadap Cina pada tingkat industri atau tingkat
96
nasional, ada beberapa variabel baru yang harus dipertimbangkan. Variabel ini
sebagian besar diabaikan dalam model yang ada yaitu :
1. Strategi Politik
Meskipun tidak dapat diklaim dengan pasti bahwa strategi politik mutlak
atas pertimbangan ketika memutuskan sebuah kebijakan perdagangan AS
terhadap Cina, namun cukup jelas bahwa faktor politik sering dianggap lebih
penting daripada masalah ekonomi. Kebijakan Perdagangan AS terhadap Cina
berkonsentrasi pada beberapa tujuan, tidak semua dari hal tersebut kompatibel,
sering ada konflik antara tujuan-tujuan tersebut, tujuan politik diletakkan di daftar
atas dengan mengorbankan tujuan ekonomi dan kepentingan lainnya. Contoh khas
politik yang berorientasi dalam memutuskan kebijakan perdagangan terhadap
Cina, seperti Cina mengakuisisi perusahaan AS, Untuk bebrapa pembuat
kebijakan di AS, usaha-usaha perusahaan dengan kepemilikan Cina yang besar,
membuat tawaran untuk mengambil alih perusahaan utama AS merupakan risiko
untuk kepentingan keamanan nasional AS. Mereka percaya bahwa Pemerintah
Cina memiliki rencana untuk menjadikan perusahaan dibawah kontrolnya,
makadari itu pembelian perusahaan internasional besar oleh Cina dengan tujuan
untuk memperoleh nama dan merek mereka sehingga menjadi perusahaan global.
(Liang, 2007 : 56)
Kekhawatiran lain AS adalah Cina sebagai pengguna energi yang dimiliki
perusahaan negara mendapatkan suplai energi melalui akuisisi perusahaan AS
bisa menyebabkan pembatasan akses ke energi dan menaikkan harga. Sebagai
akibat dari kekhawatiran pembuat kebijakan AS, akuisisi tersebut telah dikenakan
beberapa hambatan, meskipun banyak orang percaya, dari perspektif ekonomi,
97
bahwa kedua belah pihak bisa menimbulkan manfaat langsung dari akuisisi
tersebut. Akuisisi perusahaan AS oleh perusahaan Cina akan terus menjadi
masalah sensitif selama orientasi tujuan politik yang berlaku. Selama perang
teluk, pembatasan perdagangan AS dengan Cina sedikit dikurangi untuk
mendapatkan dukungan dari Cina dalam perang melawan Irak, Dengan
menjanjikan untuk melaksanakan perdagangan yang lebih aktif. (Liang, Ibid : 57)
2. Pengaruh Kelompok Kepentingan
Mekanisme dan logika pengaruh kelompok-kelompok kepentingan khusus
pada kebijakan perdagangan AS sangat berpengaruh (Gawande dan Krishna,
op.cit). Kadang-kadang kebijakan perdagangan AS terhadap Cina disebut-sebut
sebagai orientasi kelompok kepentingan, menunjukan bahwa sebenarnya
kebijakan perdagangan AS terhadap Cina adalah hasil implementasi dari
perjuangan dan tawar-menawar antara kepentingan yang berbeda.
Byall
mengidentifikasi
bahwa
partisipasi
kelompok-kelompok
kepentingan dalam proses kebijakan perdagangan telah berkembang pesat di AS,
Jumlah organisasi yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan di AS telah
berkembang. sebagaimana jumlah sumbangan kampanye oleh Komite Aksi politik
media iklan politik tampaknya akan meningkat, dan media Laporan yang lebih
sering pada pengaruh dugaan kelompok-kelompok kepentingan khusus dan
perlunya reformasi kampanye. ekonom dan ilmuan politik memahami peran yang
lebih baik bahwa kelompok-kelompok kepentingan bermain dalam proses
pembuatan kebijakan (Grossman and Helpman, 2002:98).
Selama bertahun-tahun, Boeing Corporation dan General Electricals telah
stabil untuk mendukung perdagangan yang lebih aktif dengan Cina, Boeing
98
Corporation memperkirakan bahwa Cina akan menjadi pasar terbesar untuk
perjalanan udara komersial luar AS untuk tahun berikutnya, selama periode ini,
Cina akan membeli pesawat sebesar 2300 US$ (Morrison, 2005:67). Jika boeing
coorperation tidak komitmen dengan perjanjiannya dengan Cina, Cina bisa
berbelok ke Eropa Airbus Corporation untuk transaksi yang sama. Tentu saja,
masih
ada
cukup
banyak
perusahaan
AS
yang
menguntungkan
dari
diperpanjangnya perdagangan dengan Cina, namun peran penting dalam proses
kebijakan perdagangan yang berbeda dari perusahaan ke perusahaan (seperti
industri manufaktur) yang menyatakan bahwa industri mereka sangat sulit dari
Cina atas logika dalam arah yang berlawanan, dan meningkatkan hambatan untuk
impor Cina.
3. Kendala Eksternal Kebijakan Perdagangan AS terhadap Cina
Selama bertahun-tahun, model teoritis menekankan variabel internal
(endogen variabel sebagaimana disebut dalam ekonometrik) sambil menerapkan
variabel eksternal (Variabel eksogen dalam hal ekonometrik) dalam hal penentuan
kebijakan perdagangan (Ball, 1967:183-187)
Pada dasarnya, terdapat tiga jenis kendala eksternal dalam kebijakan
perdagangan AS terhadap Cina, yaitu ketidak leluasaan rezim perdagangan
multilateral, ketidak leluasaan rezim regional dan hubungan perdagangan
bilateral, kendala perdagangan multilateral yang mengacu pada sistem
perdagangan multilateral dan kerangka negara yang berbeda di bawah prinsipprinsip tersebut yaitu WTO.
Kendala
eksternal
selanjutnya,
yang signifikan
dalam
kebijakan
perdagangan AS terhadap Cina adalah mekanisme Asia-Pacific Economic
99
Cooperation (APEC). Dalam prakteknya, AS telah berusaha untuk mendorong
APEC menjadi organisasi regional ekonomi formal yang menuntut semua
perusahaan menaati hukum obligasi, tapi Cina dan beberapa negara berkembang
memilih untuk mempertahankan status APEC yang sekarang untuk saat ini,
sehingga mereka dapat memiliki perode yang lebih lama dalam pemulihan
ekonomi sehingga mereka memiliki kapabilitas yang sama dengan negara maju
dalam APEC sebelum perubahan substansial APEC. (Liang, Ibid : 58)
Kendala eksternal terakhir terhadap kebijakan perdagangan AS terhadap
Cina merupakan kendala bilateral, terutama terdiri dari serangkaian kontrak dan
perjanjian perdagangan ditandatangani antara Cina dan AS. Ternyata, kendala ini
lebih keras daripada yang sebelumnya, tetapi AS dapat membuat perubahan
penting bagi kontrak dan perjanjian dalam tempo waktu sesuai dengan situasi
yang dinamis.
4. Pengaruh Tindakan Strategis dari Cina
Kebijakan Perdagangan, sampai batas tertentu, keseimbangan antara
permainan antara dua negara atau lebih. Oleh karena itu, tindakan strategis Cina
terikat untuk mempengaruhi penentuan perdagangan AS. Ketika kita mengatakan
bahwa kebijakan perdagangan suatu negara di bawah rezim demokrasi maka
perwakilan adalah akibat atau hasil dari perjuangan dan negosiasi antara
kelompok-kelompok yang berbeda dan cabang pemerintah, kita benar-benar
mengabaikan pengaruh tindakan tersebut yang strategis dari mitra dagang Sejak
masuknya Cina kedalam WTO, AS telah menempatkan lebih banyak tekanan
pada Cina untuk memastikan segala sesuatunya sesuai dengan aturan perdagangan
internasional (USTR, 2006, http://www.ustr.gov diakses tanggal 23 April 2010),
100
tapi sangat jelas terhadap kebijakan perdagangan AS bahwa ada batas untuk
pendekatan ini. kebijakan Perdagangan AS sebenarnya sangat berhati-hati ketika
menerapkan kebijakan terhadap Cina, yang telah terbukti berhasil di masa lalu.
Secara khusus, AS harus memastikan bahwa apa yang dilakukannya tidak
akan totally break mengikat dengan Cina. Ketika AS menekankan ketergantungan
besar impor Cina di pasar AS, Cina juga menekankan kepercayaan konsumen AS
pada produk-produk buatan Cina.
Sebagai fakta, terdapat sebuah saling ketergantungan ekonomi antara
kedua negara, meskipun beberapa anggota Kongres AS enggan untuk mengakui
kenyataan ini. Dalam Laporan tahun 2006 oleh USTR, itu ditekankan dalam hal
pentingnya interaksi politik dan ekonomi antara Cina dan AS bahwa: " integrasi
Cina ke dalam ekonomi global mengalami progresif dari prinsip-prinsip pasar
yang telah didorong oleh lebih dari 25 tahun, politik AS dan keterlibatan ekonomi,
mengejar pada dasar partisan sebagian besar di pemerintahan. Perkembangan ini
telah membantu memperluas dan memperdalam hubungan antara AS dan Cina di
semua tingkatan, untuk kepentingan kedua negara. Hubungan perdagangan antara
kedua negara telah menjadi semakin penting untuk ekonomi kedua negara.
"(Liang, Ibid : 57)
Sejarah singkat negosiasi perdagangan antara kedua negara sejak 1979
menunjukkan bahwa keseimbangan kerjasama lebih stabil daripada konfrontasi,
menunjukkan bahwa kerjasama adalah pilihan yang disukai kedua belah pihak di
akhir pertandingan dalam banyak kasus. Implikasi dari game balancing juga
menunjukkan bahwa kerjasama kedua negara mengarah ke banyak manfaat bagi
kedua negara sedangkan hasil konfrontasi menghasilakn kerugian bagi keduanya.
101
5. Siklus Bisnis dan Siklus Politik terhadap Kebijakan Perdagangan AS
terhadap Cina
Ada hubungan kuat antara siklus bisnis dan kebijakan perdagangan AS
terhadap Cina, istilah siklus bisnis mengacu pada perilaku rentan waktu bersama
dari berbagai ekonomi seperti harga, output, kesempatan kerja, konsumsi dan
investasi. Keseimbangan modal perdagangan kemungkinan akan berbeda di
seluruh siklus bisnis. Dalam memimpin pertumbuhan ekspor, dalam modal
perdagangan akan meningkatkan selama ekspansi ekonomi.
Namun, dengan pertumbuhan permintaan domestik, neraca perdagangan
akan memburuk pada saat yang sama dalam tahap siklus bisnis. Dinamika neraca
perdagangan AS sesuai dengan kasus terakhir, yang menunjukkan bahwa ekonomi
AS dengan volume perdagangan untuk akuntansi persentase sangat kecil dari total
PDB, pengaruh siklus bisnis pada neraca perdagangan AS sejak 1970-an sangant
dramatis. Dalam setiap periode resesi, neraca perdagangan meningkat dan
permintaan impor berkurang. Setiap kali merecovery ekonomi, neraca
perdagangan memburuk lagi. Ketika pemulihan ekonomi dimulai pada 19921993, impor meningkat dan neraca perdagangan dengan cepat memburuk.
Kemudian, ketika AS menjadi pertumbuhan ekonomi tercepat selama periode
1995-2000, ia mengalami rekor defisit perdagangan melebihi US$ 452 b.( Cohen,
2003:82-83).
Sementara meningkatkan neraca perdagangan AS, resesi ekonomi juga
mengurangi permintaannya untuk produk asing dengan penurunan konsumsi dan
pertumbuhan Tingkat pengangguran. Selama resesi ekonomi, konflik antara
102
serikat buruh dan administrasi mengintensifkan perusahaan, sebagai penyebab
konflik antara eksekutif dan legislatif AS.
Kebijakan perdagangan AS terhadap Cina berfluktuasi seiring dengan
fluktuasi siklus bisnis, karakteristik friksi fluktuasi yang lebih tinggi dari
perdagangan dengan Cina selama periode resesi, Sebagai tanggapan terhadap
siklus bisnis, frekuensi friksi perdagangan antara AS dan Cina menjadi lebih
rendah bila ekonomi AS mengalami buming.
Menariknya, sebagian besar perjanjian perdagangan antara Cina dan AS
Telah ditandatangani pada periode buming ekonomi AS, yang menjelaskan
banyak fluktuasi dalam Kebijakan perdagangan AS terhadap Cina oleh Karena
itu, ada positif dan negatif dampak dari resesi ekonomi di AS terhadap kebijakan
perdagangan dengan Cina. Ketika defisit perdagangan AS dengan Cina
mengalami perbaikan karena resesi ekonomi, efek negatif dari resesi ekonomi
pada kebijakan perdagangan AS terhadap Cina berkurang. (Liang, Ibid : 59)
perdagangan AS dengan Cina sangat memungkinkan hanya merupakan
bagian dari strategi AS dan merupakan Alasan di balik ajakan kerjasama dengan
Cina dibidang ekonomi, diplomatik, informasi, dan militer untuk membantu AS
mencapai tujuan-tujuan keamanan nasional seperti mencegah nuklir, memberantas
terorisme, konflik regional, pembinaan pertumbuhan ekonomi global, dan
memperjuangkan aspirasi untuk HAM. tujuan untuk mencapai kepentingan
nasional AS dan memproyeksikan nilai-nilai AS di luar negeri.(http://www.
whitehouse.gov diakses pada tanggal 23 April 2010)
103
Kebijakan Perdagangan AS terhadap Cina didasarkan pada asumsi bahwa
perdagangan antara kedua negara telah memberikan manfaat dalam segi ekonomi
dan politik, yaitu sebagai berikut :
1. secara umum, manfaat perdagangan AS dengan Cina yaitu kedua belah
pihak memungkinkan tersedianya daya untuk alokasi lebih yang efisien.
2. Cepatnya perkembangan ekonomi Cina merupakan sebuah kesempatan
langka dalam bisnis AS, Cina bisa menjadi bagian dari pasar yang besar.
3. Keanggotaan Cina di WTO memaksa RRC untuk memenuhi peraturan
perdagangan internasional dan memacu pengembangan kekuatan pasar
dalam negara.
4. Perdagangan asing dan investasi menciptakan ketergantungan pada ekspor,
impor, dan investasi asing dan interaksi lainnya dengan dunia luar Cina,
yang pada gilirannya memperkuat hubungan dengan dunia Barat,
menciptakan sentral-sentral kekuasaan di luar Partai Komunis Cina, dan
membina ekonomi dan tekanan sosial untuk demokrasi.
5. negara yang signifikan seperti Cina dengan akuntansi seperempat
penduduk dunia, dipersenjatai dengan senjata nuklir, dan anggota dewan
keamanan PBB merupakan alasan untuk Cina tidak bisa diabaikan atau
terisolasi. Menurut beberapa ahli, globalisasi dan kepentingan ekonomi
dapat menanamkan pengaruh yang moderat di Beijing yang menerapkan
kebijakan terhadap keamanan nasional yang melindungi kepentingan Cina,
Namun, Partai Komunis Cina yang bertekad untuk mempertahankan
legitimasi politik melalui pertumbuhan ekonomi juga menciptakan
104
ketegangan dengan negara-negara lain dan dengan aktor-non Partai
politik.(Lum & Nato, 2007:7)
Kemungkinan masalah atau tantangan yang diajukan oleh strategi ekonomi
AS
terhadap Cina termasuk menyesuaikan diri dengan persaingan di sektor
ekonomi di mana Cina memiliki keunggulan komparatif, menanggapi praktek
perdagangan tidak adil RRC, dan China economically powerful akan menjadi
lebih tegas dalam urusan global seperti :
1. Impor dari Cina mungkin akan memasuki pasar AS dan hal tersebut adalah
penyebab penting dari ancaman serius, untuk bersaing dalam industri AS.
2. Impor dari Cina mungkin disubsidi, oleh pemerintah di Cina, yang masih
punya pengaruh yang cukup besar dalam ekonomi.
3. Menurut beberapa ekonom dan politsi defisit perdagangan AS dengan
Cina sebagian besar berasal dari kebijakan Beijing mempertahankan mata
uangnya.
4. Cina memiliki catatan buruk mengadopsi atau menegakkan standar yang
diakui secara internasional untuk kondisi kerja dan peraturan kepedulian
terhadap lingkungan.
5. AS dapat menyediakan perusahaan-perusahaan Cina dengan keunggulan
kompetitif yang tidak adil, dan kerjasama ekonomi dengan Cina dapat
dikatakan memberikan kontribusi legitimasi pemerintah.(Lum & Nato,
Ibid)
Sebagai tanggapan perdagangan Cina yang dianggap tidak adil, AS
mengambil langkah-langkah untuk menanggulanginya, dapat dilihat dalam tabel
berikut ini :
105
Tabel 3
Kebijakan AS terhadap Cina
No
1
Tahun
Desember
2006
2
13
Januari
2006
3
8 November
2005
4
21 Juli 2005
5
May 2005
6
7
Desember
2004
April 2004
8
Maret 2004
Kebijakan
Dalam pertemuan Strategis Dialog Ekonomi pertama Cina-AS dipimpin oleh
Sekretaris AS Treasury Henry Paulson dan Cina Wu Yi. Pembicaraan diarahkan
pada kegiatan masalah: Tingkat fleksibilitas tukar Cina, ketidak seimbangan
perdagangan bilateral RRC, pelanggaran hak kekayaan intelektual, energi, dan
lingkungan.
pemerintahan Bush mengumumkan bahwa akan menerapkan yang disebut military
catch sehingga merangkap semua item pada Daftar Commodity Control yang
memerlukan lisensi untuk ekspor barang ke Cina yang dapat digunakan untuk
memperkuat militer Cina.
Perwakilan Perdagangan AS (USTR) mengumumkan bahwa AS dan Cina, setelah
tiga bulan perundingan intensif, mencapai kesepakatan luas mengenai tekstil
perdagangan. Perjanjian ini berlangsung melalui WTO, Tekstil Cina pada tahun
2008, mencakup lebih dari 30 individu produk, dan berisi kuota yang dimulai pada
tingkat rendah.
berdasarkan tekanan dari AS pemerintah RRC mengumumkan bahwa mata uang,
akan direvaluasi (dari 8,3 yuan menjadi 8,11 yuan dan nilai pada masa depan akan
direferensikan.
pemerintahan Bush menerapkan kuota pengamanan pada 16 kategori pakaian Cina
dalam menanggapi gelombang impor setelah pencabutan kuota tekstil dan pakaian
menjadi keseluruh dunia pada bulan Januari 2005.
pemerintah AS menerapkan anti-dumping perdagangan Cina. Kasus ini, merupakan
tindakan anti-dumping yang terbesar terhadap Cina.
pemerintahan Bush menolak Bagian 301 permohonan yang diajukan oleh AFL-CIO
dugaan praktek perdagangan yang tidak adil berdasarkan pada eksploitasi buruh di
RRC dan menyerukan tarif sampai 77% pada barang-barang yang diimpor dari
Cina.
pemerintahan Bush mengajukan keluhan AS terhadap Cina penyelesaian sengketa
dibawah mekanisme WTO, yang berisi bahwa RRC tidak adil dikenakan pajak
impor semi konduktor. Yang pada akhirnya Pada bulan Juli 2004, Cina dieliminasi
dari keringanan pajak untuk diproduksi di dalam negeri semi konduktor.
Sumber : Palmer, 2004 dan Buckley, 2004 (diolah oleh penulis)
106
BAB IV
ANALISIS DAMPAK KEMAJUAN EKONOMI CINA TERHADAP
AMERIKA SERIKAT
Hubungan diplomatik antara AS dan Cina sudah terjalin selama 30 tahun,
kedua belah pemerintah belum pernah terlibat dalam kerjasama bilateral tingkat
tinggi khususnya untuk membicarakan masalah domestik dan global. Selama ini
hubungan
AS-Cina
selalu
dideskripsikan
dengan
terminologi
yang
menggambarkan persaingan. Khususnya ketika hubungan kedua negara
diperburuk pasca kejadian Pembantaian Tiananmen 1989 dan friksi Cina-Taiwan.
Pada tahap perkembangan politik internasional, Cina juga terlihat semakin jauh
dari AS, dan lebih memilih untuk menjalin kemitraan strategis dengan Rusia
dalam forum Shanghai Cooperation Organization maupun memberikan bantuan
pembangungan kepada berbagai negara di Afrika yang bebas persyaratan politik.
Sebelum dibahas lebih lanjut ada baiknya apabila mengetahui faktor-faktor
yang menyebabkan kebangkitan ekonomi Cina dan kebijakan apa saja yang
mempengaruhi kebangkitan ekonomi Cina.
Kebangkitan
ekonomi
Cina
disebabkan
oleh
faktor
keterbukaan
pemerintah dan rakyatnya sejak reformasi tahun 1978, sistem kendali terpusat
yang merupakan dasar kemajuan negara tersebut serta sukses reformasi Cina yang
ditunjang oleh 5 proses yaitu: desentralisasi, marketissasi, diversivikasi
kepemilikan, liberalisasi, dan internasionalisasi. Selain dalam lima hal diatas
faktor lain yang mempengaruhi kebangkitan Cina juga ditopang oleh faktor
107
budaya, politik, sumber daya manusia, sinergi greater Cina dan Penyeimbang topdown dan bottom-up. Lebih jelas lagi dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4
Faktor-fakor kebangkitan ekonomi Cina
No
1
2
Faktor-Faktor Kebangkitan Ekonomi
Cina
Desentralisasi
Marketisasi
3
4
5
Diversifikasi Kepemilikan
Liberalisasi
Internasionalisasi
6
Budaya
7
Politik
8
Sumber Daya Manusia
9
Sinergi Greather China
10
Penyeimbang top-down dan bottom-up
Contoh Kongkrit
Lahirnya proses top down dan bottom up
Promosi pemasaran Cina yang gencar dan riil menarik
dunia luar, seperti promosi TVEs yang menarik
investor asing.
Diberikannya hak kepemilikan pribadi kepada swasta
Diberlakukannya open door policy
Bergabungnya Cina dengan organisasi internasional
lain yang tidak memandang ideologi, terutama
bergabungnya Cina dengan WTO
Budaya bisnis Cina yang khas seperti Guanxi, ganqing
dan xinyong
Solidnya politik Cina yang berubah menjadi fleksibel
dan tidak kaku denga sistem sosialis yang dianutnya
menjadikan Cina lebih bisa melaju dengan
pembangunan ekonominya karena tidak terlalu
disangkut pautkan dengan permasalahan politik.
Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas
Hongkong kota otonomi khusus untuk mrnjalankan
perdagangannya sendiri beserta yuridiksi investasi
lainnya, Taiwan, kepulauan berteknologi maju dengan
sikap politik “tidak sudi sejajarnya yang semakin lama
semakin terintegrasi dalam ekonomi Cina, mungkin
pula Cina singapura yang unggul, pusat industrialisasi
teknologi tinggi dan perusahaan MNC, serta Cina
prantauan yang menempati sebagian besar elit bisnis
Di Asia tenggara yang secara aktif menjalankan
lingkaran bisnis di seluruh dunia seperti Hutchison
Whampoa yang berbasis dihongkong yang beroprasi di
lebih 40 negara.
Terjalinnya kepercayaan antara masyarakat dan
pemerintahan, sehingga terjadi sinergi yang
menguntungkan bagi masyarakat dan pemerintah.
(Diolah oleh penulis, 2010)
Secara luas diakui bahwa kebudayaan Cina mempuyai etos kerja tinggi
yang menekankan pada keuletan dan kerajinan, setidaknya ada tiga penjelasan
untuk menopang argumen tersebut yaitu, pertama, orang Cina di besarkan dengan
nilai-nilai yang berbeda yaitu nilai positif kerja keras secara kuat ditanamkan
sejak dini, kedua etos kerja orang Cina mempunyai orientasi kelompok, individu
tidak semata-mata bekerja untuk kepentingan sendiri tapi untuk kepentingan
keluarga, dan yang ketiga, orang Cina bekerja keras untuk mendapatkan imbalan
108
materi, mereka beranggapan kemakmuran, perasaan nyaman dan aman di usia
lanjut menduduki posisi sentral jadi untuk mendapatkan itu semua harus bekerja
dengan keras.
Faktor politik yang tidak dicampur adukan dengan permasalahan ekonomi
membuat Cina bisa lebih terbuka, hal ini disebabkan karena pada dasarnya politik
Cina yang berhaluan sosialis kurang diterima dalam dunia internasional terutama
negara-negara barat, oleh karena itu Cina memisahkan urusan politik dengan
urusan Ekonomi.
Sumber daya manusia yang cukup besar dan bukan hanya itu
bertambahnya tenaga ahli yang setiap tahun meningkat membuat para investor
asing tertarik untuk menamkan investasinya, dan dalam rangka meningkatkan
kulitas pendidikannya Cina mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk belajar di
barat dan negara-negara lainnya.
Dalam persfektif sinergi greater Cina dalam ukuran budaya, ekonomi, dan
geopolitik, Cina tidak hanya terdiri dari RRC, tetapi juga Hongkong, Taiwan dan
Singapura.
Sementara itu dari faktor-faktor diatas Cina memperkuatnya dengan
beberapa kebijakan penting, secara umum kebijakan yang mempengaruhi
kebangkitan ekonomi Cina dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 5
Matriks Kebijakan Cina
NO
1
Tahun
1960
Kebijakan
Output
Cina mulai menerapkan a world-wide
revolution, Cina mulai memainkan peran
sebagai pemimpin sosialis yang terlepas dari
aturan UniSoviet.
Retaknya hubungan Cina dengan uni
soviet, Cina memainkan peran tunggal
pemimpin kubu sosialis Asia, Cina
menempatkan dirinya sebagai a self
styled third world leaader yang
berbeda dengan US da AS.
109
8
2
1978
Pada kongres nasional kesebelas Deng
Xiaoping menerapkan kebijakan baru
reformasi keterbukaan dan membuat rencanarencana untuk memodernisasi Cina(open door
policy) dan perogram peningkatan TVEs
(township and village enterprises)
3
1980
Cina menjadikan dirinya an independent
player dalam peta politik dan ekonomi dunia
dan penerapan Beijing Consensus yang
dimodifikasi dari washington Consensus
(John Williamson 1989)dan penerapan
kebijakan alih teknologi
4
1984
Sidang paripurna ketiga kongres partai kedua
belas mengumumkan
mereformasi
sistem ekonomi dengan pendekatan wilayah
perkotaan
5
1992
Cina merumuskan dirinya sebagai agent of
development and peace,
6
1997
Privatisasi BUMN
7
2001
Cina memutuskan untuk masuk menjadi
anggota WTO
2002
Cina mengeluarkan kebijakan kepemilikan
swasta
Melahirkan selogan baru “ beba skan
fikiran kita dan temukan keneran dari
fakta-fakta”
dan
Meningkatkan
perekonomian Cina dengan masuknya
infestor-investor asing dari luar yang
tertarik dengan Zona ekonomi yang
ditawarkan oleh Cina, sehingga
membuat investor asing betah dan
nyaman berinvestasi di Cina dan
investasi terus bertambah.
Meningkatnya kontribusi perdaga
ngan internasilnal dan mendorong
pertumbuhan ekonomi secara pesat di
Cina, menyisakan ruang terbatas bagi
kebebasan politik demi stabilitas
pemerintahan agar tidak mengancam
keamanan negara dan meningkatnya
penjualan berteknologi tinggi dari cina
Penambahan 14 daerah TVEs selain
Guandong dan Fujian, sehingga
memperbesar jumlah investor asing
dengan dibukanya zona investasi di
Cina.
kebijakan ini menitik beratkan pada
kebijakan luar negeri yang akan
mendukung modernisasi Cina.
Perusahaan yang sehat menolong
perusahaan yang sakit, pemerintah
Cina menarik diri dari sektor-sektor
tertentu,
tetapi
tetapi
tetap
mempertahankan kendali terhadap
industri-industri kunci.
Terbukanya pasar internasional bagi
cina untuk menyakurkan produkproduk Cina dengan berbagai
keuntungan yang diberikan oleh
peraturan dalam WTO
Yang berakibat semakin giatnya
masyarakat Cina dalam berbisnis dan
investasi asing semakin meningkat.
Sumber: Chen guidi & Wu Chuntao.2007, Shengkar.2007,Taufik. 2008, Backman. 2008, John &
Doris.2010 (data di olah oleh penulis)
Seperti pernyataan diatas, kemajuan ekonomi Cina dan stance politik Cina
telah memberikan sinyal ancaman kepada kepentingan ekonomi dan keamanan
AS. Dua pendapat berbeda menyatakan bahwa fenomena ini bisa dilihat sebagai
tantangan ataupun peluang bagi AS. Maka dari itu AS mengeluarkan kebijakankebijakan perdagangan baru terhadap Cina, bisa dilihat pada bab sebelumnya
yang menjelaskan kebijakan-kebijakan perdagangan AS terhadap Cina. Namun
sejak pemerintahan Bush Jr, AS lebih melihat Cina sebagai mitra dialog seperti
110
yang diindikasikan pada proyek hasil inisiatif Presiden George Bush dan Menteri
Keuangan, Henry M. Paulson yang mengajak Cina untuk duduk bersama,
menyelesaikan permasalahan yang sepertinya mengganjal kepentingan nasional
kedua negara terutama dalam isu ekonomi. Pertemuan tahunan ini bersifat
eksklusif yang dihadiri oleh petinggi negara dan bersifat tertutup untuk Cina dan
AS saja. Wajah baru diplomasi AS terhadap Cina ini bernama Strategic Economic
Dialogue.
Karakter dialog ekslusif ini akhirnya mengalami perluasan lingkup topik
di bawah kepemimpinan Presiden Obama yang tidak hanya membicarakan
masalah ekonomi antara negara, namun juga masalah strategis dan geopolitik
yang merupakan kepentingan kedua negara. Pertemuan ini sejak Februari 2009
diubah namanya menjadi Strategic & Economic Dialogue. Dialog ini menjadi
unik, karena dialog ini adalah pionir komunikasi bilateral tingkat tinggi AS dan
Cina sejak terakhir kali dialog dilakukan untuk mengadakan perjanjian antara ASCina supaya AS mengurangi perdagangan senjata kepada Taiwan dan supaya Cina
menjaga keharmonisan dengan Taiwan. Meski hubungan Cina dan AS terlihat
konfliktual di permukaan, pendekatan Presiden Barack Obama kepada Cina
bukanlah koersif, melainkan sangat diplomatis dan cenderung akomodatif.
Bagi Obama, kedua negara sangat bergantung satu sama lain. Dialog ini
juga menjawab tantangan aktual mengenai krisis keuangan AS. Sementara, Cina
tidak terkena imbas krisis finansial global dan bahkan sedang menguasai
simpanan yang merupakan surat hutang AS sebanyak USD 800 milyar.(Joffe,
2009: 24 ) AS juga mendapati bahwa Cina telah melakukan manipulasi
perdagangan internasionalnya dengan AS, dimana Cina dengan ukuran ekonomi
111
aktualnya bersikeras tidak ingin merevaluasi mata uang Renminbinya (Yuan)
supaya bisa menciptakan keseimbangan pada neraca perdagangan kedua Negara
(Bergsten, 2009:59 )
Selain
itu,
Obama
melihat
bahwa
ada
sebuah
wacana
untuk
mempertahankan US Leadership dan membangun citra AS yang baru di muka
petinggi dan publik Cina, maka AS harus menjadi AS yang lebih ”mendengar
sesama” dan menjadikan Cina sebagai mitra dialog dan kerja sama, khususnya
bila menyadari perkembangan politik dunia akhir-akhir ini. Respon ini bisa
bervariasi menyesuaikan pada kondisinya. Gejala perubahan tata dunia
kontemporer misalnya, melahirkan banyak new emerging powers yang
menggoncang kedudukan AS sebagai hegemoni tunggal. Di lain pihak, politik
domestik akan terlihat bahwa konsep dialog bilateral eksklusif AS terhadap Cina
adalah bentuk preservasi kepemimpinannya di kawasan Asia Timur maupun
global dan juga sebuah bentuk kerjasama untuk meraih kepentingan nasionalnya
yang hanya bisa dilakukan dengan keterlibatan Cina.
A.1. Indikator Kemajuan Ekonomi Cina sebagai Pesaing Amerika Serikat
Dalam konstelasi politik dan ekonomi internasional, hingga kini AS masih
memegang posisi dominan. Akan tetapi, akhir-akhir ini muncul beberapa pesaing,
yang menyebabkan pengaruh AS mulai sedikit berkurang. Pesaing yang disebutsebut paling memiliki kesempatan besar untuk menjadi pemain dominan dalam
politik dan ekonomi internasional adalah Cina, Perkembangan pesat Cina terjadi
dari sisi perdagangan, manufaktur, investasi, tingkat tabungan, dan berbagai
perkembangan lain.
112
Peran dominan dari pemerintah Cina yang berhasil menjadikan Cina
sebagai negara yang maju secara ekonomi. Pemerintah Cina, yang menjalankan
prinsip pragmatisme dan kompetensi, telah berhasil membawa Cina ke dalam
suatu bentuk kapitalisme dengan karakteristik Cina, kapitalisme yang memberikan
peran besar pada pemerintah, melalui besarnya peran state-owned enterprises
dalam mengelola perekonomiannya. Dominannya pemerintah Cina ini juga
ternyata memberikan dampak negatif berupa terciptanya gap antara pemerintah
dan rakyat Cina, yang kemudian menyebabkan munculnya tekanan sosial di
mana-mana. Masalah ini dinamakan sebagai desentralisasi spiral (spiraling
decentralization). Dalam memecahkan masalah desentralisasi spiral ini, Cina telah
menuju ke arah yang benar, reformasi ekonomi telah membawa Cina ke arah
keterbukaan dan akuntabilitas, kebebasan individu juga kini mulai diakui. Terlalu
dini mungkin untuk memprediksi apakah Cina akan menjadi demokratis di masa
depan, yang jelas kini Cina semakin menunjukkan tanda-tanda yang semakin
positif, dengan mengkombinasikan partisipasi masyarakat dengan hirarki dan
kontrol rejim elit yang dinamakan sebagai mixed regim, langkah yang positif
menuju reformasi politik Cina.
Berbicara masalah kondisi domestiknya, Cina memang kini sedang
berbenah memperbaiki kondisi domestiknya. Fokus strategi politik internasional
Cina lebih diarahkan untuk memaksimalkan pertumbuhannya, bukan untuk
memperluas pengaruh Cina dalam dunia internasional, tetapi Untuk mencapai
pertumbuhan ekonominya, Cina terus membangun hubungan baik dengan negaranegara dunia, Cina juga cenderung menghindari konflik dengan negara-negara
dunia, dan karenanya permasalahan politik luar negeri merupakan hal yang agak
113
sensitif bagi Cina. Cina lebih suka menjalankan prinsip-prinsip non-intervensi dan
non-konfrontasi. Prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi Cina ini diwujudkan
melalui terminologi peaceful rise, yang kemudian dijadikan salah satu bentuk
politik luar negeri Cina. Bentuk politik luar negeri Cina yang lain adalah
Christian Confucians, yang mengacu pada bagaimana Cina menjalankan pola
pemikiran Barat dalam menjalankan perekonomiannya, yaitu secara modern dan
rasional, dengan tetap memegang prinsip-prinsip Konfusianisme yang mengacu
pada etika, moralitas, dan keadilan dalam kehidupan politiknya.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Cina menganut prinsip peaceful rise
dan Confucians, yang berarti seharusnya Cina tidak akan berusaha untuk
memperluas kekuasaannya. Akan tetapi, berbagai usaha yang telah dilakukan
Cina dalam pencarian sumber energi dan sumber bahan mentah, pada akhirnya
akan membawa Cina semakin ke arah ekspansionis. Hal ini ditunjukan melalui
hubungan yang semakin solid antara Cina dan negara-negara di Benua Afrika, di
mana Cina banyak memberikan pinjaman finansial pada negara-negara Afrika
seperti Zimbabwe, Sudan, dan Afrika Selatan yang lantas menimbulkan friksi
antara Cina dengan great power lain yang juga ingin mendekati Afrika. Bantuan
finansial itu pun terkadang diberikan dengan cuma-cuma, yang membuat motif
netralitas Cina dipertanyakan. Walaupun pemeberian pinjaman secara cuma-cuma
yang diberikan oleh Cina kepada negara-negara Afrika mempunyai sebuah tujuan
yang tidak lain untuk melancarkan investasi yang akan ditanamkan di Afrika,
dengan bantuan Cina secara tidak langsung membuat negara-negara Afrika
enggan menolak Cina untuk menanamkan investasi di Afrika. Kerjasama juga
dilakukan Cina pada negara-negara Asia, di mana Cina semakin aktif melancarkan
114
diplomasi dan soft power-nya. Cina yang tadinya dinilai sebagai tetangga yang
bermasalah, mulai menjadi lebih bersahabat, sabar, berprospek jangka panjang,
lebih akomodatif, dan lebih mau terlibat dalam kerja sama regional, perubahan
positif yang membuat Cina semakin disambut di Asia.
Dampak kebangkitan ekonomi Cina ini terlihat jelas ketika AS
mendominasi wilayah regional di awal abad ini, perang Afghanistan, Iraq, dan
krisis ekonomi global membuat AS tidak mampu mendominasi Cina. Ini terlihat
dalam fakta berikut: AS merupakan konsumen terbesar dunia dimana mayoritas
barang yang di konsumsi berasal dari dan diproduksi oleh Cina. Akibatnya, AS
memilki defisit perdagangan dengan Cina. Cadangan dolar yang sangat besar
yang dimiliki Cina membuat Cina memiliki kemampuan untuk membeli saham
keuangan AS, yang digunakan AS untuk membiayai defisit perdagangannya. Hal
ini berakibat kepada ekspansi perindustrian Cina, dimana industri tersebut
membutuhkan pasokan minyak dan energi yang lebih besar lagi. Berikutnya,
pengangguran di sektor industri AS pun meningkat karena kalah bersaing dengan
kualitas produksi Cina yang lebih superior.
Perkembangan Cina yang semakin pesat, baik dari segi ekonomi maupun
dari segi politik melalui soft power diplomacy-nya yang semakin akomodatif,
menjadikan Cina sebagai lawan yang berdiri sejajar dengan AS dalam konstelasi
politik internasional. Kemajuan pesat Cina tersebut lantas melahirkan
kekhawatiran pada beberapa kalangan AS, yang mulai melihat Cina sebagai
ancaman terhadap kepentingan nasional AS. Keberadaan Cina sebagai ancaman
ini, lebih merupakan ancaman yang sifatnya asymmetrical superpower, di mana
Cina akan menunjukkan kekuatannya bukan dalam hal militer, melainkan lebih ke
115
kekuatan ekonomi dan kekuatan non-militer lain. Kekuatan Cina dalam hal-hal
non-militer inilah yang sulit diatasi AS, yang selama ini cenderung menggunakan
kapabilitas militernya untuk mengalahkan lawan-lawannya. Pergerakan Cina yang
pelan namun pasti dalam menarik simpati dari berbagai negara dunia melalui
kekuatan ekonomi dan kekuatan non-militernya, mau tidak mau merupakan
ancaman besar bagi dominasi AS di dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dari
tabel dibawah ini:
Tabel 6
Pertumbuhan GDP Cina, 1955-2009
Tahun
1955
1960
1965
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2007
2009
GDP
Tukar dolar AS
91.000
145.700
171.600
225.300
299.700
460.906
896.440
1.854.790
6.079.400
9.921.500
18.308.500
25.730.600
27.969.162
2,46
2,46
2,46
2,46
1,86
1,49
2,93
4,78
8,35
8,27
8,19
7,62
6,83
Inflasi indeks
(2000 = 100)
19,2
20,0
21,6
21,3
22,4
25,0
30,0
49,0
91,0
100,0
106,0
112,6
114,7
Sumber : diolah dari data dalam jhon Wong dan Antaranews.com diakses tanggal 8 September
2010
Jika dilihat dari struktur ekspornya, Cina juga bukan lagi pengekspor
produk primer atau hasil pertanian seperti negara-negara berkembang lainnya.
Pada awal tahun 1980 ekspor barang-barang manufaktur masih dibawah ekspor
hasil pertanian, tetapi memasuki awal tahun 1990 perbandingan hasil menjadi
terbalik. Pada tahun 2000 struktur ekspor Cina hanya mencapai 10% yang terdiri
dari hasil pertanian selebihnya adalah barang-barang manufaktur. Apabila dilihat
lebih dalam dari produk manufaktur itu nampak bahwa ekspor TCF (textile,
clothing and footwear) menunjukan penurunan, demikian juga mainan dan alat116
alat olah raga, yang mengalami kenaikan cepat adalah alat-alat elektronik dan
mesin. Dari sekitar 12 milyar USD (1980) menjadi lebih dari 40 miliar USD pada
akhir 2000. (Wibowo, Op.cit: 30)
Perdagangan AS dengan Cina meningkat dengan cepat setelah dua negara
menjalin kembali hubungan diplomatik (pada bulan Januari 1979), dengan
menandatangani perjanjian perdagangan bilateral (Juli 1979), dan diberikan nama
most-favored-nation (MFN) dimulai pada tahun 1980. total perdagangan AS
dengan Cina Pada tahun 1978 (sebelum reformasi Cina dimulai) ekspor plus
impor sebesar $1 milyar, Cina menempati peringkat 32 pasar ekspor terbesar dan
ke 57 sumber terbesar impor AS. Pada tahun 2008, perdagangan bilateral
mencapai $ 409.000.000.000, membuat Cina menjadi terbesar kedua mitra dagang
AS (setelah Kanada), pasar ekspor terbesar ketiga AS, dan sumber terbesar impor
AS. Dalam beberapa tahun terakhir, Cina telah menjadi salah satu yang paling
cepat berkembang, pasar ekspor AS dan pentingnya pasar ini diharapkan tumbuh
lebih jauh sebagai standar hidup terus meningkatkan dan muncul kelas menengah
Cina yang cukup besar.
Perdagangan AS dengan Cina telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir sebagai barang impor dari Cina telah tumbuh jauh lebih cepat dari ekspor
AS ke Cina (meskipun tumbuh dengan hanya $ 10 miliar pada tahun 2008). Naik
dari $ 34.000.000.000 pada tahun 1995 menjadi $ 266.000.000.000 pada tahun
2008 (lihat Tabel dibawah melainkan secara signifikan lebih besar dari itu dengan
mitra dagang AS lainnya dan beberapa kelompok perdagangan. Misalnya, hampir
sama dengan defisit AS dikombinasikan dengan negara-negara yang membentuk
Organisasi Negara Ekspor Minyak (OPEC) dan 27 negara yang membentuk Uni
117
Eropa (EU 27), dan itu lebih dari tiga kali lebih besar dari defisit perdagangan
dengan Jepang (Lihat Tabel selanjutnya) Beberapa analis melihat besarnya defisit
perdagangan AS dengan Cina sebagai indikator yang dan perdagangan kebijakan
ekonomi Cina yang terbatas atau tidak adil, sementara yang lain berpendapat
bahwa defisit tumbuh mencerminkan perubahan dalam produksi berorientasi
ekspor dari negara-negara lain (terutama di Asia)
AS menangguhkan status MFN Cina pada tahun 1951, yang memotong
perdagangan bilateral. Status MFN Cina (yang ditunjuk kembali di bawah
Perdagangan hukum AS seperti status normal hubungan dagang, atau normal
trade relations/ NTR) diperbaharui setiap tahun hingga Januari 2002, ketika NTR
permanen diperpanjang ke Cina (setelah bergabung dengan WTO). Krisis
keuangan global telah berdampak signifikan terhadap arus perdagangan AS dan
Cina. Selama tiga bulan pertama tahun 2009, ekspor AS dan impor dari Cina
turun 20% dan 11%, pada periode yang sama tahun 2008, dan defisit perdagangan
AS dengan Cina turun hampir 8%. Pada tingkat ini, defisit perdagangan AS
dengan Cina bisa mencapai $ 244.000.000.000 pada tahun 2009.
Tabel 7
Perdagangan AS dengan Cina :1980-2009 ($ Dalam miliar)
Tahun
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
* 2009 proyeksi *
Ekspor AS
3,8
3,9
4,8
11,7
16,3
19,2
22,1
28,4
34,7
41,8
55,2
65,2
71,5
57,3
Impor AS
1,1
3,9
15,2
45,6
100,1
102,3
125,2
152,4
196,7
243,5
287,8
321,5
337,8
301,1
Neraca Perdagangan AS
2,7
0,0
-10,4
-33,8
-83,8
-83,1
-103,1
-124,0
-162,0
-201,6
232,5
-256,3
-266,3
-243,7
Sumber: http:// www.crs.gov /pdf/other/RL33536.pdf diakses tanggal 8 september 2010.
118
Tabel 8
Saldo perdagangan AS dengan Major Trading 2009 ($ Dalam miliar)
Negara atau Group Trading
Dunia
Cina
Organization of Petroleum
Exporting Countries (OPEC)
European Union (EU)
Canada
Jepang
Mexico Meksiko
Association of Southeast
Asian Nations (ASEAN)
Neraca Perdagangan AS
-800,0
-266,3
-175,6
-93,4
-74,6
-72,7
-64,4
-50,6
Sumber: http//www.USITC.gov. diakses tanggal 8 september 2010
Memang apabila dilihat dari data-data yang tersedia sampai tahun 2008
saja, Cina saat ini telah menjadi produsen dari banyak hal yang sudah mencapai
tingkat dunia, sejak tahun 1990 misalnya, Cina telah berhasil menjadi penghasil
TV terbesar di dunia, kemudian lima tahun kemudian penghasil semen terbesar di
dunia. Pada tahun 1998, Cina telah menduduki tempat tertinggi di dunia sebagai
produsen pupuk buatan dan baja. Sementara itu secara perlahan Cina telah
menjdai penghasil banyak barang elektronik, termasuk komputer, yang memasuki
peringkat atas dunia. Dan Cina telah menjadi mitra perdagangan yang besar bagi
AS, Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 9
Persentase Barang Produksi Cina Untuk Output Dunia
46% of the world’s motorcycle
40% of the world’s DVD players
23% of the world’s the VCRs
13% of the world’s cell phones
12% of the world’s dekstop PCs
7% of the world’s hardisk drive
Sumber : diolah dari data dalam Jhon Wong dan antaranews.com diakses tanggal 8 september
2010
119
Tabel 10
Impor Barang Konsumsi Pasar AS dari Cina
Jenis Barang konsumsi
Toys
Footwear
TV and video receivers
Consumer electronics
Furniture
Household and kitchen appliances
Apparel
Persen (%)
81
52
46
44
34
30
10
Sumber: Trade Partnership Worldwide, LLC
http//www.tradepartnership.com/pdf_file/2005_china_imports.pdf. Diakses pada tanggal 25
November 2010
B.2. Prediksi Hubungan Cina-Amerika Serikat
Hubungan kedua negara biasanya dijelaskan dalam deskripsi yang
kompleks dan penuh dengan persaingan. Kebanyakan dari persaingan ini adalah
produk dari persepsi dan image mereka terhadap satu sama lain. Karakter
hubungan keduanya bisa diidentifikasikan sebagai dialektika antara bukan aliansi,
namun juga bukan musuh. Secara umum, Pemerintah AS tidak melihat Cina
sebagai musuh, melainkan sebagai kompetitor di beberapa isu dan teman di
beberapa isu tertentu lainnya. Saat ini ekonomi AS adalah yang terkuat di dunia,
sedangkan Cina menempati posisi kedua, dengan menggantikan posisi Jepang.
Keduanya merupakan konsumen energi fosil, batu bara dan minyak bumi, yang
terbesar di dunia.
Kedua negara juga merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar sehingga
memiliki beban dan tanggung jawab yang besar dalam menanggulangi efek
perubahan iklim. Sesungguhnya hubungan AS-Cina sudah relatif stabil, kendati
mendapati dinamika fluktuatif dalam beberapa kesempatan seperti pencobaan
intervensi AS terhadap isu pelanggaran HAM pemerintah Cina kepada rakyat di
Tibet, Xinjiang, keterbatasan dalam akses terhadap informasi,tidak adanya
120
kebebasan pers, minimnya pertumbuhan masyarakat sipil maupun status politik
Taiwan.
Hubungan antara keduanya diperburuk setelah kejadian di Tiananmen,
Beijing.
Dimana
peristiwa
tersebut
merupakan
noda
terhadap
konsep
perlindungan rakyat oleh Cina, dan dianggap sebagai kesalahan fatal di mata AS
karena kontradiktif terhadap kepentingan dan nilai yang di bela oleh AS. Pasca
Pembantaian Tiananmen, hubungan AS dan Cina bagai berada di ujung tanduk.
Respon pemerintah AS, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Ronald Reagan
dan awal pemerintahan Presiden George Bush I adalah konfrontasi terhadap Cina
dalam berbagai bidang. Konfrontasi pertama yang dijatuhkan AS kepada Cina
adalah skorsing berupa moratorium terhadap hubungan dagang, investasi Cina ke
AS, dan pembekuan perusahaan asuransi swasta Cina pada tanggal 5 Juni 1989.
(Levine, 1994 : 90) Moratorium ini akhirnya dicabut oleh Presiden Bill Clinton
pada tahun 2001.
Presiden George Bush I juga membebankan embargo ekspor persenjataan
AS kepada Cina dari tahun 1990-1994. AS juga secara eksplisit menolak proposal
donasi Cina terhadap World Bank dan kredit IMF yang ditujukan untuk proyekproyek pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, karena bagi AS, Cina telah
gagal memberikan kesejahteraan bahkan bagi rakyat di dalam negerinya
sekalipun. Hubungan antara AS-Cina semakin diperburuk ketika NATO
meledakkan kedutaan Cina di Belgrade, Serbia pada tahun 1999. NATO
mengkonfirmasi bahwa unsur kesalahan intelijen mereka, namun Cina tidak
menerima alasan ini dan menuduh bahwa pengeboman tersebut dilakukan secara
sengaja dan atas dasar prakarsa AS. (www.globalpolicy.org diakses pada tanggal
121
15 september 2010) Pasca serangan 9/11, mulai terlihat hawa segar normalisasi
hubungan internasional Cina dan AS terutama setelah Cina menawarkan
dukungan publiknya dan juga dukungan Cina di Dewan Keamanan PBB dalam
resolusi 1373 mengenai penggelaran pasukan koalisi ke Afghanistan dalam misi
War on Terrorism. (http://www.time.com diakses pada tanggal 15 september
2010) Cina bukan saja mendukung inisiatif AS, namun juga mendonasika USD
150 juta untuk proyek rekonstruksi Afghanistan pasca jatuhnya Taliban Banyak
klaim dilontarkan bahwa kebijakan luar negeri AS sudah semakin oportunis.
Hal ini terlihat pada penerapan kebijakan luar negeri AS ke Cina, dimana
kendati politik domestik Cina adalah ancaman bagi mosi demokratisasi AS,
namun
ada
beberapa
kepentingan
AS
dan
Cina
yang
menciptakan
interdependensi, sehingga memungkinkan kedua belah pihak untuk menjadi mitra
dialog dan kerja sama. Pertumbuhan pesat Cina secara ekonomi, sayangnya
paradoks terhadap proteksi pemerintah terhadap HAM warga sipil sehingga cukup
untuk menyatakan bahwa secara gagasan dan implementasi, merupakan ancaman
kepada dominasi AS.
Lebih penting lagi, kita harus melihat dimensi bahwa kedua negara adalah
mitra dagang terbesar bagi satu sama lain dan memiliki kepentingan yang sama
dalam mencegah dan memberantas terorisme dan proliferasi senjata pemusnah
masal. Cina memiliki 2 triliun USD, dalam bentuk surat hutang AS, yang
merupakan konsumsi Cina untuk mendanai paket stimulus AS bagi perusahaan di
dalam negeri dalam rangka memperbaiki keadaan perekonomian domestik AS
pada masa krisis.
122
Menteri
Keuangan
AS
sebelumnya,
Henry
M.Paulson
pernah
mengindikasikan bahwa ketidakseimbangan struktural ini juga harus diperbaiki
guna membantu AS keluar krisis finansial. Pada tanggal 23 Februari 2009,
Menteri Luar Negeri, Hillary Rodham Clinton berhasil mengunjungi Cina dan
meyakinkan para petinggi Cina untuk memastikan bahwa pangsa pasar AS di
Cina masih merupakan tempat aman bagi Cina untuk menanamkan investasi dan
kedua belah pihak setuju untuk menggalakkan investasi dari negara masingmasing ke negara satu sama lain (Cohen dan Greenberg, http://ics.leeds.ac.uk
diakses pada tanggal 15 september 2010). Meskipun Cina adalah pemegang
hutang AS terbanyak saat ini, Cina dianggap sebagai juru selamat untuk memecah
kebuntuan di dalam menyelesaikan krisis finansial global.
AS mengidentifikasi bahwa Cina memang tengah bangkit sebagai
kekuatan ekonomi yang baru dan mengidentifikasi kemunduran kekuatan
ekonomi AS khususnya di bawah diskursus krisis finansial global. Di lain pihak,
AS menyadari bahwa dirinya memiliki permasalahan dalam konteks perdagangan
dengan Cina, dimana AS mengalami defisit perdagangan ke Cina sementara Cina
mengalami surplus perdagangan ke AS. Menurut AS, hal ini terjadi karena
manipulasi nilai mata uang Renminbi Yuan terhadap perdagangan internasional.
Karena secara logika, kenaikan ekspor berbanding dengan jumlah impor
mengindikasikan lebih banyaknya mata uang beredar di luar dan dalam negeri.
Ketika suatu mata uang lebih banyak beredar, Pemerintah Cina memiliki obligasi
untuk merevaluasi nilai Renminbi Yuan, terutama ketika nilai mata uang rendah
ini menjadi daya tarik tersendiri (comparative advantage) untuk menjadikan
123
produk Cina lebih laku di pasar internasional, AS sesungguhnya melihat ini
sebagai ancaman terhadap pasar domestiknya.
kerjasama antara Cina-AS di masa depan akan berlandaskan pada tiga
faktor utama yang saling bergantung satu sama lain, yaitu adanya ketergantungan
ekonomi, keanggotaan dalam institusi internasional, serta demokratisasi. Faktor
utama yang melandasi pemikiran akan adanya hubungan kerjasama yang baik
antara Cina dan AS di masa depan adalah adanya ketergantungan ekonomi antar
keduanya, tidak dapat disangkal bahwa di antara Cina dan AS terdapat saling
ketergantungan ekonomi yang dalam. Ketergantungan ekonomi inilah yang
menurut penulis, akan memaksa baik Cina maupun AS untuk terus bekerja sama
dan karenanya menghindari konflik di masa depan. Adanya ketergantungan
ekonomi antara Cina-AS dan tendensi untuk bekerja sama di masa depan juga
disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Cina Yang Jiechi, Jiechi mengatakan
bahwa fondasi strategis bagi hubungan Cina-AS terletak pada kepentingan Cina
dan AS yang sama dalam mengusahakan pembangunan ekonomi yang stabil,
terutama untuk menghindari krisis di masa depan.
Kalaupun tidak terjadi krisis di masa depan, baik Cina maupun AS harus
tetap membangun kerjasama yang baik dan berkelanjutan, lanjut Yang Jiechi.
Lebih lanjut lagi, kerjasama ekonomi antara Cina-AS sebenarnya sudah
berlangsung sejak 1978. Ketika itu, volume perdagangan Cina-AS yang tadinya
hanya berjumlah 1 bilyum Dollar AS mencapai angka 120 bilyun Dollar AS,
(U.S. Government Printing Office, 2002 : 38–39) dan pada tahun 2004, angka
tersebut mencapai 245 bilyun Dollar AS. (http://www.uschina.org diakses pada
tanggal 15 september 2010)
124
Di masa depan, Cina dan AS juga akan melanjutkan pemembangunan
sebuah dialog ekonomi, yang semakin akan memperdalam kerjasama antar
keduanya dan memang sudah terbentuk. Cina juga telah berkomitmen untuk
membantu menstabilkan pasar finansial dan menstimulasi perbaikan ekonomi di
AS, dengan harapan perekonomian AS akan kembali tumbuh dalam waktu dekat.
Faktor kedua yang berperan penting dalam pembentukan kerjasama antara
Cina-AS di masa depan adalah peran institusi internasional dalam mendorong
terjadinya kerjasama antar keduanya. Di sini penulis, setuju dengan pandangan
kaum liberal, percaya bahwa adanya institusi internasional akan meningkatkan
komunikasi Cina dan AS, yang kemudian akan memperkecil kecurigaan antar
kedua negara mengenai intensi masing-masing, dan pada akhirnya akan
menghasilkan komitmen kerjasama antar keduanya. Institusi internasional juga
dapat mencegah efek-efek negatif dari anarki internasional, dengan mewujudkan
kerjasama dan kepercayaan antar negara-negara anggotanya.
Sejak perang dingin berakhir, Cina telah bergabung dalam berbagai
institusi internasional, mulai dari yang sifatnya regional seperti APEC (AsiaPacific Economic Cooperation), ARF (the ASEAN Regional Forum), hingga yang
sifatnya internasional seperti masuknya Cina dalam WTO (World Trade
Organization). Cina juga telah bermain semakin aktif dalam wadah PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa). Dari tahun 1977 hingga tahun 1997, tercatat Cina
telah bergabung dalam 52 institusi internasional formal, (Lampton, 2001 : 163) di
mana AS merupakan negara yang dominan pada institusi internasional tersebut.
Meningkatnya jumlah institusi baik regional maupun internasional yang
dimasuki Cina, dan besarnya peran AS pada berbagai institusi tersebut akan
125
menghasilkan ikatan yang kuat antara kedua negara, ikatan yang dipercaya oleh
kaum liberal optimis akan meningkatkan komunikasi dan kontak, yang kemudian
akan menghasilkan general mutual understanding dan kepercayaan antar
keduanya. Keinginan Cina untuk terus menikmati manfaat dari keanggotaannya
dalam institusi internasional tersebut akan mendorong Cina untuk tidak
mengambil langkah yang dapat merusak status quo, sehingga akhirnya akan
mengurangi kemungkinan konflik antara Cina dan AS yang merupakan perencana
sekaligus pelindung sistem internasional.
Faktor ketiga yang juga akan mendorong terciptanya hubungan kerjasama
antara Cina-AS adalah faktor demokratisasi. Cina sekarang telah menunjukan
berbagai tanda positif menuju demokratisasi melalui pembentukan mixed regime
di negaranya. Bila Cina benar-benar menjadi demokratis, maka sesuai pandangan
kaum liberal, optimisme hubungan Cina dan AS akan menjadi stabil karena
keduanya akan memasuki democratic zone of peace.
Adapun kaum liberal optimis percaya bahwa demokrasi adalah alat untuk
menciptakan perdamaian. Rezim yang meletakkan kekuasaan dan legitimasi pada
consent of the governed cenderung tidak akan terlibat dalam perang, yang tujuan
akhirnya adalah untuk memuaskan ambisi pemimpinnya. Kaum liberal optimis
juga percaya bahwa negara yang demokratis tidak akan saling berperang dengan
negara demokratis lainnya sehingga kaum liberal optimis melihat korelasi antara
meningkatnya negara demokratis dengan menurunnya konflik internasional. Cina
yang kini semakin menuju ke arah demokratisasi, kemudian akan memiliki
hubungan yang cenderung stabil dan tanpa konflik dengan AS di masa depan.
126
Memprediksi mengenai hubungan Cina-AS di masa depan memang
bukanlah hal yang mudah. Memang timbul asumsi dari masyarakat internasional
akan adanya konflik besar antar keduanya, sementara dilain pihak ada pula yang
berasumsi akan terciptanya kerjasama yang semakin dalam antara keduanya.
Melihat akan adanya saling ketergantungan antara keduanya, maka yang lebih
dominan adalah prediksi kedua, yaitu akan terciptanya suatu hubungan kerjasama
antara Cina-AS dengan berlandaskan pada faktor utama, yaitu ketergantungan
ekonomi antar keduanya yang semakin dalam, faktor institusi internasional yang
akan semakin menyatukan keduanya.
127
BAB V
KESIMPULAN
Cina adalah salah satu aktor kuat dengan kekuatan ekonomi yang dianggap
mampu menyaingi kapabilitas AS. Pemerintah Cina memiliki cadangan USD 800
milyar dalam bentuk simpanan yang merupakan hutang AS kepada Cina. Tingkat
pendapatan domestik (GDP) Cina di tahun 2007 tumbuh dari $3.3 triliun menjadi
$8-9 triliun.
Peningkatan ekonomi Cina ini seperti yang telah dijelaskan penulis diatas
berawal dari dibukanya pintu selebar-lebarnya untuk pihak asing untuk
menanamkan investasinya di Cina sejak tahun 1978 tanpa melihat ideologi negara
tersebut, keterbukaan Cina ini menunjukan bahwa Cina sudah mulai menerapkan
sistem liberalis dalam sistem ekonominya, bisa dilihat dari tatacara penerapan
sistem ekonomi Cina pada masa sebelumnya yaitu Mao Zedong yang sangat
tertutup dan pilih-pilih untuk menjalin kerja sama dengan pihak luar, pergeseran
sistem ini sangatlah kontras dengan apa yang diterapkan oleh Deng Xiaoping.
Secara garis besar, kemajuan ekonomi Cina diakibatkan dari dengung
keterbukaan pemerintah dan rakyatnya sejak reformasi tahun 1978, sistem kendali
terpusat yang merupakan dasar kemajuan negara tersebut serta sukses reformasi
Cina yang ditunjang oleh 5 proses yaitu: desentralisasi, marketissasi, diversivikasi
kepemilikan, liberalisasi, dan internasionalisasi.
Walaupun Cina membuka diri terhadap pihak luar dan mulai menerapkan
sisitem liberalis namun Cina tetap menganggap dirinya sebagai negara komunis,
karena pada dasarnya masyarakat Cina sangat plural, Cina tetap menerapkan
128
komando terpusat dimana kontrol utama tetap ada ditangan pemerintah walaupun
sistem liberalis diterapkan Cina, hal ini juga membuktikan asumsi Cina yang
melahirkan sebuah idiom baru yaitu sosialisme dengan warna Cina (you zhongguo
tese de shehuizhuyi).
Dalam kebijakan luar negerinya, Cina kerap melakukan penghapusan
hutang negara berkembang dan sering memberikan asistensi politik maupun
ekonomi yang bebas dan jauh dari prasyarat ekonomi maupun politis. Bagi
negara-negara miskin dan berkembang, pengaruh Cina kepada pembangunan
mereka dilihat sebagai alternatif untuk mencari perlindungan dan bantuan.
Persepsi ini merupakan substitusi relatif terhadap mundurnya kepeminpinan AS
secara relatif.
Selama ini hubungan AS - Cina selalu dideskripsikan dengan terminologi
yang menggambarkan persaingan dan kesalahpahaman. Khususnya ketika
hubungan kedua negara diperburuk pasca kejadian Pembantaian Tiananmen 1989
dan friksi Cina-Taiwan. Pada tahap perkembangan politik internasional dewasa
ini, Cina juga terlihat semakin jauh dari jangkauan AS, dan lebih memilih untuk
menjalin kemitraan strategis dengan Rusia dalam forum Shanghai Cooperation
Organization maupun memberikan bantuan pembangungan kepada berbagai
negara di Afrika yang bebas persyaratan politik.
Kemajuan ekonomi Cina telah memberikan sinyal ancaman kepada
kepentingan ekonomi AS. Dua pendapat berlawanan menyatakan bahwa
fenomena ini bisa dilihat sebagai tantangan ataupun peluang bagi AS. Sejak
pemerintahan Bush Jr, AS lebih melihat Cina sebagai mitra dialog seperti yang
diindikasikan pada proyek hasil inisiatif Presiden George Bush dan Menteri
129
Keuangan, Henry M. Paulson yang mengajak Cina untuk duduk bersama,
menyelesaikan permasalahan yang menghalangi terlaksananya kepentingan
nasional kedua negara terutama dalam isu ekonomi. Pertemuan tahunan ini
bersifat eksklusif dan dihadiri oleh para petinggi negara dan bersifat tertutup
untuk Cina dan AS saja. Wajah baru diplomasi AS terhadap Cina ini bernama
Strategic Economic Dialogue.
Karakter dialog ekslusif ini akhirnya mengalami perluasan lingkup topik
di bawah kepemimpinan Presiden Obama yang tidak hanya membicarakan
masalah ekonomi antara negara, namun juga masalah strategis dan geopolitik
yang merupakan kepentingan kedua negara. Pertemuan ini sejak Februari 2009
diubah namanya menjadi Strategic & Economic Dialogue. Dialog ini menjadi
menarik karena dialog ini adalah pionir komunikasi bilateral tingkat tinggi AS dan
Cina sejak terakhir kali dialog dilakukan untuk mengadakan perjanjian antara ASCina supaya AS mengurangi perdagangan senjata kepada Taiwan dan supaya Cina
menjaga keharmonisan dengan Taiwan.
Meski hubungan Cina dan AS terlihat konfliktual di permukaan,
pendekatan Presiden Barack Obama kepada Cina bukanlah koersif, melainkan
sangat diplomatis dan cenderung akomodatif. Bagi Obama, kedua negara sangat
bergantung satu sama lain. Dialog ini juga menjawab tantangan aktual mengenai
krisis keuangan AS.
Selain
itu,
Obama
melihat
bahwa
ada
sebuah
wacana
untuk
mempertahankan US Leadership dan membangun citra AS yang baru di muka
petinggi dan publik Cina, maka AS harus menjadi AS yang lebih mendengar
130
sesama dan menjadikan Cina sebagai mitra dialog dan kerja sama, khususnya bila
menyadari perkembangan politik dunia akhir-akhir ini.
Respon ini bisa bervariasi menyesuaikan pada kondisinya. Gejala
perubahan tata dunia kontemporer misalnya, melahirkan banyak new emerging
powers yang menggoncang kedudukan AS sebagai hegemoni tunggal. kita akan
melihat bahwa konsep kebijakan dialog bilateral eksklusif AS terhadap Cina
adalah bentuk preservasi kepemimpinannya di kawasan Asia
Timur maupun
global dan juga sebuah bentuk kerjasama untuk meraih kepentingan nasionalnya
yang hanya bisa dilakukan dengan keterlibatan Cina.
Strategic & Economic Dialogue (S&ED) yang diprakarsai oleh
Pemerintahan Bush dan ditegaskan melalui perluasan ruang lingkup topik
pembicaraan oleh Pemerintahan Obama merupakan wajah baru hubungan
internasional AS dan Cina. S&ED adalah bentuk preservasi atas normalisasi
hubungan AS-Cina. AS dan Cina adalah dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia
saat ini dan kerjasama di antara keduanya dianggap krusial terhadap
perkembangan politik internasional dewasa ini.
Elaborasi penulis menunjukkan bahwa persepsi negatif antara kedua
negara masih melekat, perdebatan dan ketidaksetujuan AS terhadap pelaksanaan
politik dalam negeri Cina yang meremehkan isu perlindungan HAM dan juga
bagaimana Cina melihat bahwa dunia internasional tidak seharusnya dikuasai oleh
sebuah kekuatan hegemoni, seperti yang selama ini dipraktekkan oleh AS. Namun
dialog di antara keduanya mengindikasikan tantangan yang dihadapi dunia lebih
penting dan hanya kedua negara yang bisa menyelesaikannya.
131
Selanjutnya kita melihat bahwa dialog yang dilaksanakan oleh keduanya
ternyata berfungsi menjadi sebuah celah untuk mengejar beberapa agenda
kepentingan AS, khususnya beberapa isu seperti restrukturisasi ketidak
seimbangan neraca perdagangan antara AS-Cina dan beberapa isu yang
mempertaruhkan kepemimpinan AS dalam hal politik seperti isu penyesuaian
kapabilitas diri dalam isu perubahan iklim dan peralihan kepada seumber energi
yang sesungguhnya memang membutuhkan Cina.
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh AS dalam
perdagangan internasional seperti yang telah di jelaskan pada bab-bab
sebelumnya, semata-mata hanya untuk melinduungi kepentingan dan keamanan
dalam negeri AS, tidak hanya itu penerapan kebijakan AS dalam dunia
internasional merupakan serangkaian konsep untuk mempertahankan status
hegemoninya dalam dunia internasional, sehingga tidak mengherankan apabila
pada bab-bab sebelumnya dijelaskan bahwa AS banyak melakukan tekanan
terhadap negara dunia termasuk Cina seperti salah satu bentuk penekanannya
terhadap Cina yaitu memaksa Cina untuk merefaluasi nilai tukar RMB (Yuan),
dengan tujuan produksi barang AS bisa bersaing dengan produk Cina.
Meskipun demikian penulis yakin di masa depan antara Cina dan AS akan
terjalin sebuah kerja sama yang saling menguntungkan, hal ini disebabkan oleh
kedua belah fihak akan memilih jalan untuk saling menguntungkan daripada
saling merugikan, karena akan terjadinya interdependensi antara keduanya
berdasarkan ekonomi kedua negara yang kuat.
132
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku :
Adi, Taufik Susilo, China Connection, Yogyakarta: Garasi, 2008
Anwar, Ma, Widjojo Nitisastro 70 Tahun Pembangunan Nasional: Teori
Kebijakan dan Pelaksanaan, Jakarta, 1997.
Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Bakri, Suryadi, “Pasca Deng Xiopeng, Cina Quo Vadis”, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996.
C. Jack, Plano & Roy Olton. The International Relation Dictionary, Sanata
Barbara: California Press, 1992
Clyde, Paul & Beers, “The Far East : A History Of Westr Impacts Entry”,
Singpore: Burthon, 2001.
Coulombis, Theodore A, “International Relations:Powers & Justice”,
Terjemahan, Drs. Marsedes Marbun, Jakarta: CV. Abardin, 1990.
Dunn, William N, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.
E. Karl Case & Ray C. Fair, Principles Of Economics, 8th Edition, Pearson
Education Inc.2007.
Frankel, J,” Hubungan Internasional”, Jakarta: ANS Sungguh Barsaudara,
1990.
Friedman & Barrett L. Mc. cormick (Ed.), “What If China Doesn’t
Democratize? Implications For War & Peace”, New York: M.E.
Sharpe, 2000.
133
Holsti, K.J, “Politik Internasional : Kerangka Analisis Pedoman Ilmu”,
Jakarta, 1987.
Husain, Coen Pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju
Gerakan Massa, Jakarta: C-Books, 2003.
I.Levine, Steven, Sino-American Relations : Testing The Limits Of Discord,
Dalam Samuel S.Kim, China & The World: Chinese Foreign
Relations In The Post Cold War Era, Oxford: Westview Press, 1994.
J. Laurence, Brahm, China After Wto, Beijing: Intercontinental Press, 2002.
Jhamtani, Hira, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, Yogyakarta:
Insist press, 2005.
Jill, Steans. International Relations Perspectives & Themes, Inggris: Pearson
Education Limited, 2001.
Naisbitt, John & Dorris. China Mega Trend, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
Koentjaraningrat (Ed), “Metode Penelitian Masyarakat”, Jakarta: LIPI, 1973.
Krugman, Paul R. & Maurice Obstfeld, Teori dan Kebijakan. Ekonomi
Internasional, Ed 2, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2003.
Kusumuhamidjojo, Budiono, “Hubungan Internasional: Kerangka Studi
Analisis”, Jakarta: Bina Cipta, 1987.
Kustia, Aa Sukarnaprawira, “Cina, Peluang Atau Ancaman”, Jakarta: Restu
Agung, 2009.
L. Marion, Levy & Guo Hengshi, The Riseof The Modern Chinese Business
Class, New York: Institute of Pacifiic Relation, 1949.
134
Lampton, David M. “Same Bed, Different Dreams: Managing U.S.-China
Relations”, 1989–2000, Berkeley: University of California Press,
2001.
Levine, Steven.I.Sino American Relations : Testing The Limits Of Discord,
Dalam Samuel S.Kim, China & The World: Chinese Foreign
Relations In The Post Cold War Era, Oxford: Westview Press, 1994.
M, Margaret. Pearson, “China’s Integration Into The International Trade &
Invesment Regime”, Dalam Elizabeth Economy dan Michel
Oksenberg (Eds.), China Joins The World , New York: Council On
Foreign Relations Press, 1999.
Martinez, Elizabeth & Arnoldo Garcia, What Is “Neoliberalism”? National
Network For Immigrant & Refugees Rights, 1997.
Michael Todaro dan Stephen C Smith, “Pembangunan Ekonomi” Edisi Ke-9,
Jakarta: PT. Erlangga, 2006.
Moechtar, Mas’oed, “Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan
Metodologi Dictionary”, Jakarta: LP3S, 1990.
Moechtar,
Mas’oed,
“Ilmu
Hubungan
Internasional:Disiplin
dan
Metodologi”, Jakarta: PT. Pustaka LP3S, 1994.
Morse, H.B. The Guilds Of China, New York: Longmans, Green &
Company, 1932.
Navarro, Peter, Letupan-Letupan Perang China Mendatang, Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2008.
135
O, Robert, Keohane, After Hegemony: Cooperation & Discord In The World
Political Economy, United Kingdom: Princeton University Press,
1984.
Olton, Roy & Jack C. Plano, “Kamus Hubungan Internasional”, Terjemahan,
Wawan, Bandung: Cv. Ardin, 1990.
Michael, Todaro & Stephen C Smith, Pembangunan Ekonomi Edisi Ke-9,
Jakarta: Pt.Erlangga, 2006.
Porter, Michael E. Competitive Advantage: Creating & Sustaining Superior.
New York: The Free Press. 1985.
Saputra, Sumpena Prawira, “Politik Luar Negeri Indonesia”, Jakarta: Remaja
Karya Offset, 1985.
Setiawan, Bonnie, Menggugat Globalisasi, Jakarta: Infid & Igj, 2001.
Steans, Jill. “International Relations Perspectives & Themes”, England:
Pearson Education Limited, 2001.
Wang, Yuan & Rob Goodfellow & Xin Shengzhang, Menembus Pasar Cina,
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000.
Wibowo, I, “Negara dan Masyarakat”, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama,
2000.
Wibowo, I. “Cina’s Rise, Dinamika Asia Pasifik”, Jakarta: Program
Pascasarjana FISIP UI, 2007.
Wong, John, “Cina’s Economy In Search of New Development Strategies”,
Dalam Saw Swee- Hock, “Asean-Cina Economic Relations”, Dalam
Zainuddin Djafar, “Indonesia, Asean & Dinamika Asia Timur: Kajian
Perspektif Ekonomi-Politik”, Jakarta: Pustaka Jaya, 2008.
136
Yaffe, David, Globalisasi Dalam Perspektif Sosialis, Jakarta: Cubuc, 2001.
Yusuf, Sufri, “Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri, Sebuah
Analisis Teoritis dan Uraian Pelaksanaannya”, Jakarta: Pustaka
Sinar, 1989.
Zakaria, Fareed, “The Challenger, Dalam The Post American World”. New
York: W. Norton & Co, 2008.
Zainal, Said Abidin, Kebijakan Publik, Edisi Revisi: Jakarta: Yayasan Pancur
Siwah, 2004.
Zainun, Buchari & Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Edisi Pertama,
Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 1988.
Referensi Jurnal :
Amin, Samir, Ekonomi Politik Abad Ke-20, Buletin Diponegoro 74, No.
9/2001.
Barney, Jb. Firm Resources & Sustained Competitive Advantage, Journal of
Management, 1991.
Bergsten. C. Fred, A Partnership of Equals: How Washington Should
Respond to China’s Economic Challenge, dalam Foreign Affairs, Vol.
88, Mei/Juni 2009.
Cho, Ds. From National Competitiveness to Block & Global Competitiveness
Review, V 8. 1998.
Dwi, Siswanto, Konvergensi Antara Liberalisme dan Kolektivisme Sebagai
Dasar Etika Politik Di Indonesia, dalam Jurnal Filsafat Jilid 38
Nomor 3. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 2004.
137
F. Carolina, Sembiring, Nenny Anggaraini, “Cina: Globalisasi dan Kehebatan
Ekonomi; Sebuah Pembelajaran Serta Peluang Bisnis, Jurnal Ekonomi
Vol. XV No. 40. Jakarta. Nopember/Desember 2005.
Fred, C. Bergsten, A Partnership of Equals: How Washington Should
Respond To China’s Economic Challenge, Dalam Foreign Affairs,
Vol. 88, May/Juni 2009.
Hoffman, Nicole P. An Examination of The “Sustainable Competitive
Advantage” Concept: Past, Present, & Future, Academy of
Marketing Science Review, 2000.
Hunt, Shelby D. & Robert M. Morgan. "The Comparative Advantage Theory
of Competition, Journal of Marketing, April, 1995.
Joffe, Josef. The Default Power, dalam Foreign Affairs, Vol. 88, Issue 5.
September-Oktober, 2009.
Kenneth, Waltz. Globalisasi & Tata PS: Ilmu Politik dan Politik, Vol. 32,
No.4, Desember. 1999.
Keesing, D. Labour Skills & Comparative Advantage, American Economic
Review, May 1966.
Links, No. 12, Mei-Agustus, 1999.
Loy, David, "Can Corporations Become Enlightened? Buddhist Reflections
on TNCS, "Joseph A.
Camilleri & Chandra Musaffar, Eds.,
Globalization: The Perspectives & Pengalaman of The Religious
Traditions of Asia Pacific, International Movement For A Just World,
Jakarta. 1998.
138
Lyman, Princeton N, "Globalization & The Demands of Governance,"
Georgetown Journal Of International Affairs, Winter / Spring, 2000.
Neary, J. Peter. Competitive Versus Comparative Advantage, World
Economy, Vol. 26 April, 2003.
Siswanto, “Oreintasi Politik Amerika Terhadap Perimbanagn Kekuatan Cina
Dalam Kasus Open Door Policy”, Program Pasca Sarjana UI,1997.
Warr, PG. Comparative & Competitive Advantage. Asian Pacific Economic
Literature, Vol 8, 1994.
William, Robinson, Globalisasi Sistem Dunia, dan "Promosi Demokrasi"
Dalam Kebijakan Luar Negeri AS. Teori dan Masyarakat, Vol. 25,
No. 5 Oktober 1996.
Referensi Koran:
Damayanti, Doty, “Cina Memaksa Semua Negara Untuk Siaga”, Kompas, 10
Mei 2007.
Mas, Wigrantoro Roes Setyadi, “Kekuatan Ekonomi Dunia Bergeser Ke
Asia”, Kompas, 20 Mei 2007.
Koran Pembebasan Partai Rakyat Demokratik, Kejahatan Badan-Badan
Keuangan/ Perdagangan Dunia dan Agen-Agen Lokalnya, 2002.
Thee Kian Wie, Ekonomi Cina Setelah Pertumbuhan 30 Tahun. Harian
Kompas, Kamis 01 Oktober 2009.
Referensi Internet:
A Special Report on China & America: A Message from Confucius, diakses
dari http://www.economist. Com.
139
China Daily, “US, China Should Foster Win-Win Relationship in the 21st
Century”. http://www. chinadaily.com.
Cohen, William & Maurice R.Greenberg, Smart Power in US-China
Relations: A Report of the CSIS Commission in China,diakses dari
http://ics.leeds.ac.uk.
Dennis Wilder,The U.S-China Strategic & Economic Dialogue: Continuity &
Change in Obama’s China Policy, http://www.jamestown.org
Doug
Lorimer,
Welfare
Capitalism
&
Neoliberal
Globalization,
http://jnx.sistm.unsw.edu.au.
Friedberg, Aaron L, “The Future of US-China Relations: Is Conflict
Inevitable?” http: //belfercente.ksg.harvard.edu.
Henry M.Paulson. Strategic Economic Development: A Brief Report, diakses
dari http://www.foreignaffairs.com
Hilary
Roadham
Clinton,
Pernyataan
resmi
Menteri
Luar
Negeri
http://www.ustreas.gov.
Joint Press Release, on the First Round of the U.S.-China Strategic &
Economic Dialogue, http://www.ustreas.gov.
Thomas Wilkins, The New Equlibrium of From US & China, http:
//www.chinastakes.com
U.S.-China Business Council, “U.S.-China Trade Statistics & China’s World
Trade Statistics”. http://www.uschina.org.
US
Bombing
Of
Chinese
Embassy:
Implausible
Blunder?
globalpolicy.org.
Trade Partnership Worldwide LLC.http//www.tradepartnership.com.
140
www.
What Obama & China Disagree On, diakses dari http://www.time.com.
William Cohen & Maurice R.Greenberg, Smart Power in U.S-China
Relations: A Report of the CSIS Commision on China, diakses dari
http:// www.fas.org.
WM Morrisson,China’s Economic Outlook,diakses dari http://www.as.org.
141
Download