4 TINJAUAN PUSTAKA Keawetan Alami Kayu Keawetan alami kayu adalah kemampuan kayu untuk menahan serangan terhadap mikroorganisme (Eaton dan Hale 1993). Keawetan kayu secara alami ditentukan oleh jenis dan banyaknya ekstraktif di dalam kayu yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu seperti tanin, alkaloid, saponin, fenol, quinone dan damar (Tsoumis 1991). Keawetan alami ini akan bervariasi sesuai dengan banyaknya serta jenis ekstraktifnya. Hal ini menyebabkan keawetan alami kayu berbeda-beda dalam menghadapi resiko pelapukan menurut jenis kayu, baik dalam jenis yang sama maupun dalam pohon yang sama. Sejumlah metabolit sekunder berperan sebagai fungisida atau antibiotik, melindungi tanaman dari jamur dan bakteri seperti pterocarpan, pisatin, sesquiterpenoid dan phytoalexin. Sedangkan metabolit sekunder lain bersifat toksik terhadap serangga antara lain alkaloid dan cyanogenik glikogen yang mencegah kerusakan tanaman dengan membunuh predator tersebut (Vickery dan Vickery 1981). Keawetan alami kayu salah satunya ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat di dalam kayu. Eaton dan Hale (1993) menyatakan bahwa zat ekstraktif diperkirakan berperan sebagai toksikan terhadap mikroorganisme juga berperan dalam mencegah serangan serangga. Pada umumnya jenis kayu yang awet secara alami memiliki warna yang lebih gelap pada kayu terasnya dibandingkan dengan jenis kayu yang kurang awet. Warna yang secara alami terdapat pada kayu teras sebagai akibat adanya ekstraktif yang diendapkan pada saat pembentukan kayu teras tersebut. Namun daya tahannya terhadap organisme sangat ditentukan oleh adanya zat ekstraktif yang bersifat racun meskipun kandungannya sedikit. Faktor utama yang menyebabkan keawetan alami kayu adalah adanya zat ekstraktif yang bersifat racun yang terdapat di dalam kayu teras yang terbentuk selama proses pembentukan kayu teras tersebut (Syafii 2001). Pada umumnya kayu teras lebih awet daripada kayu gubalnya, terutama disebabkan oleh 5 pengendapan unsur-unsur kimia tertentu yang terdapat di dalam kayu selama peralihan kayu gubal menjadi kayu teras (Pandit dan Ramdan 2002). Senyawa polifenol pinosilvin bertanggung jawab terhadap ketahanan kayu teras pinus dibandingkan dengan kayu gubalnya (Walker 1993). Sejumlah senyawa aromatik seperti fenol, stilbena, flavonoid, tanin, kuinon, tropolon, lignan dan substansi lainnya terdapat pada kayu teras dan kulit. Tidak ada jenis kayu yang awet yang berasal dari kayu gubal. Pada akhirnya penggolongan kayu akan didasarkan pada keawetan alami dari kayu teras berdasarkan lamanya pemakaian kayu tersebut (Tabel 1). Tabel 1 Klasifikasi tingkat keawetan alami kayu teras berdasarkan lamanya pemakaian kayu Kelas Awet Kayu Tingkat Keawetan I Sangat awet II Awet III Kurang awet IV Tidak awet V Sangat tidak awet Sumber : [BSN] (1999) Selain faktor zat ekstraktif, ketahanan alami dipengaruhi pula oleh jumlah dan tipe lignin (Zabel dan Morrel 1992). Lignin kayu daun lebar disusun oleh tipe siringil dan guaiasil, sedangkan kayu daun jarum disusun oleh tipe guaiasil. Kayu yang ligninnya didominasi oleh tipe guaiasil cenderung lebih tahan terhadap pelapukan dibandingkan tipe siringil. Syafii et al. (1987) menyatakan bahwa kayu ulin, kayu bengkirai, kayu kohi, dan kayu malas memiliki laju pelapukan oleh Coriolus versicolor yang lebih rendah dibandingkan kayu yang lainnya. Kayu tersebut memiliki lignin dengan tipe guaiasil yang lebih dominan dibandingkan dengan tipe siringil. Keawetan alami pada pohon beragam, khususnya pada jenis yang keawetannya tinggi. Keragaman terjadi di antara jenis yang berbeda maupun di antara individu pohon jenis yang sama. Pada sebagian besar jenis, keawetan alami bagian terdalam kayu teras lebih rendah dibandingkan bagian terluar. Bagian terluar kayu teras semakin kurang awet dari bagian pangkal ke bagian ujung 6 pohon. Sedangkan pada kayu teras bagian terdalam akan semakin awet dari bagian pangkal ke bagian ujung pohon (Eaton dan Hale 1993). Zat Ekstraktif Batasan dan Ruang Lingkup Dinding sel kayu tersusun oleh tiga unsur utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang semuanya merupakan polimer. Selain ketiga komponen utama tersebut terdapat pula sejumlah unsur atau bahan yang disebut ekstraktif. Hillis (1987) mendefinisikan zat ekstraktif sebagai senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari kayu atau kulit dengan pelarut polar dan non polar. Zat ekstraktif ini bukan merupakan bagian struktural dinding sel kayu, tetapi sebagai zat pengisi rongga sel. Zat ekstraktif terdiri dari bermacam-macam bahan yang tidak termasuk bagian dari dinding sel. Komponen ini memiliki nilai yang penting karena menyebabkan kayu tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan warna pada kayu. Cara yang dapat digunakan untuk memisahkan zat ekstraktif ini antara lain dengan uap (dihasilkan kelompok dari hidrokarbon, asam-asam aldehid dan alkohol), dengan eter panas (dihasilkan asam-asam lemak, asam-asam damar, lemak, sterol dan bahan-bahan tak tersabunkan), dengan alkohol panas (dihasilkan tannin, zat-zat warna, fenol dan bahan-bahan larut air) dan dengan air (dihasilkan alkohol siklik, polisakarida, dengan berat molekul rendah, garam-garam). Sjostrom (1993) menyatakan bahwa kandungan dan komposisi zat ekstraktif sangat bervariasi antar jenis kayu, bahkan dalam batang yang sama pada satu jenis kayu pun dapat berbeda. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Eaton dan Hale (1993) bahwa substansi yang bersifat racun beragam di antara jenis dan marga dan beragam dalam sifat kimianya sehingga berbagai pelarut akan mengekstrak berbagai bahan toksik yang berbeda pada berbagai jenis. Kandungan ektraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Ia tidak hanya tergantung pada jenis tetapi juga pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang diekstraksi biasanya membutuhkan serangkaian ekstraksi, yang hasilnya memberikan ciri awal komposisinya. Ekstrak alkali 7 maupun ekstrak etanol mengandung polimer flavonoid yang lebih tinggi meliputi asam-asam polifenolat (Fengel dan Wegener 1995). Menurut Sjostrom (1993), kulit adalah lapisan luar kambium yang mengelilingi batang, cabang, dan akar, yang jumlahnya sekitar 10 – 15% dari berat pohon. Setelah kayu, kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang paling penting kedua. Kulit kayu merupakan sekitar 10 – 20% dari batang tergantung pada spesies dan kondisi pertumbuhan (Fengel dan Wegener 1995). Susunan kimia kulit kayu menentukan sifat-sifat yang penting dari segi penggunaannya. Kulit mempunyai sifat pembengkakan yang berbeda, kurang anisotropik, memiliki koefisien perambatan panas sedikit lebih rendah, dan jauh lebih lunak dalam semua sifat mekanik kayu (Martin 1969; Cassens 1974 dalam Fengel dan Wegener 1995). Penggolongan Zat Ekstraktif Menurut Fengel dan Wegener (1995) dalam ekstraktif terdapat beberapa senyawa-senyawa organik seperti terpena, lignan, stilbena, flavonoid, aromatik lain, lemak, lilin, asam lemak, alkohol, steroid dan hidrokarbon tinggi. Sjostrom (1993) menyatakan bahwa secara kimiawi ekstraktif kayu dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu : 1. Komponen-komponen alifatik Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti n-alkana, alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), suberin (poliestolida). Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun daun lebar. Ester dan alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid alami, yang dikenal sebagai lilin. 2. Terpena dan terpenoid Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena (C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut jumlah unit isoprena (n), terpena dikelompokkan lagi menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8). 8 Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil dan ester. Contoh dari terpenoid adalah poliprenol. Ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang tergolong sangat langka. Sedangkan di dalam kayu daun lebar mengandung terpena yang lebih tinggi, monoterpena ditemukan hanya pada beberapa kayu tropis saja (Fengel dan Wegener 1995). Terpena yang paling penting adalah α-pinena dan limonena yang terdapat pada semua kayu daun jarum. Beberapa monoterpena merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa kayu tropika. 3. Senyawaan fenolat Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima kelas, yaitu : 3.1 Tanin terhidrolisis : produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama. 3.2 Tanin terkondensasi (flavonoid) : polifenol yang mempunyai rantai karbon C6C3C6, contohnya krisin dan taksifolin. 3.3 Lignan : dimer dari dua unit fenilpropana (C6C3), contoh konidendrin, pinoresinol, dan asam plikatat. 3.4 Stilbena (1,2-difeniletilena) : mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif, contohnya pinosilvin. 3.5 Tropolon : mempunyai kekhasan berupa cincin karbon beranggota tujuh yang tidak jenuh, contoh α,β, dan τ-tujaplisin yang diisolasi dari Thuja plicata. Meskipun fenolat terkondensasi terdapat dalam jumlah sedikit di dalam kayu teras, kulit dan xilem, namun fenolat ini mempunyai fungsi sebagai fungisida dan secara efektif melindungi kayu dari serangan organisme perusak kayu. Selain itu juga meningkatkan pewarnaan pada kayu. Harborne (1974) dalam Rinawati et al. (1996) mengemukakan bahwa flavanoid merupakan kelompok fenol yang tersebar di alam. Hampir semua bagian tumbuhan yaitu daun, akar, kayu, tepung sari, nektar, bunga, buah, dan biji dapat mengandung flavanoid. Senyawa yang 9 tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker, antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurun tekanan darah tinggi. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Findlay (1978) menjelaskan bahwa zat ekstraktif memberikan karakteristik warna tersendiri dalam memberikan ketahanan alami pada kayu. Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa kayu dari hutan tropis mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun, seperti alkaloid yang secara tetap menyebabkan iritasi atau menyebabkan gatal-gatal bagi orang yang menyentuhnya. Hillis (1987) menyatakan bahwa zat ekstraktif pada kayu teras dapat memberikan berbagai bentuk ketahanan pohon hidup terhadap agen perusak meskipun sangat bervariasi pada berbagai habitat. Rowell (1984) menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan senyawa-senyawa organik yang meliputi lemak, lilin, alkaloid, protein, senyawa fenolik sederhana dan kompleks, gula sederhana, pektin, gum, resin, tepena, pati, glikosida, saponin dan minyak esensial. Beberapa di antaranya berfungsi sebagai cadangan energi atau sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme. Zat ekstraktif juga berperan terhadap sifat kayu seperti warna, bau dan ketahanan terhadap pelapukan. Sjostrom (1993) menyatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada kayu teras, kulit dan juga yang terdapat pada xilem, bersifat racun atau anti jamur. Oleh karenanya dapat melindungi pohon dari gangguan organisme perusak kayu. Sejumlah senyawa aktif telah didefinisikan sebagai anti rayap dan anti jamur. Eusiderin, sejenis neolignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) (Syafii et al. 1985) dan Angolensin diekstrak dari kayu Pterocarpus indicus (Pilotti et al. 1995) bersifat racun terhadap jamur Coriolus versicolor dan Tyromyces palustris. Sedangkan pada kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) diketahui terdapat senyawa latifolin dan neoflavonoid yang bersifat racun terhadap rayap Reticulitermes speratus (Syafii 2000b). Ohashi et al. (1994) melaporkan bahwa 3 jenis komponen bioaktif yaitu 8-acetoxyelemol, 8-hydroxyelemol dan hinociic acid yang diisolasi dari daun kayu Juniperus chinensis var pyramidalis terbukti dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur. Demikian juga ekstrak chloroform kayu Bruguiera gymnorrhiza yang mengandung senyawa bruguierol dan isobruguierol 10 bersifat anti rayap terutama rayap Coptotermes formosanus (Yaga et al. 1991). Sedangkan Hashimoto et al. (1997) melaporkan adanya sifat anti rayap kamper yang diisolasi dari kayu Cinnamomum camphora. Pada kayu Cunninghamii lanceolata berhasil diidentifikasi senyawa cedrol yang bersifat anti jamur (Shieh dan Sumimoto 1992). Zat ekstraktif kayu sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) dan kayu damar laut (Hopea spp.) juga dilaporkan mempunyai sifat anti rayap (Syafii 2000a dan 2000b). Zat ekstraktif flavonoid dari kayu Japanese larch (Larix leptolepis) memperlihatkan sifat penolak yang tinggi terhadap aktifitas makan rayap tanah Coptotermes formosanus pada kertas uji yang digunakan dalam bio-assay test. Hal ini karena ekstraktif kayu Japanese larch mengandung flavonoid dalam jumlah yang cukup besar yang berpotensi menghambat aktifitas makan rayap tanah (Chen et al. 2004). Aktifitas anti rayap minyak esensial dari daun yang berasal dari dua klon Cinnamomum osmophloeum (A dan B) dan kandungan kimianya terhadap Coptotermes formosanus Shiraki telah diteliti dengan aplikasi kontak langsung. Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa minyak esensial daun kayu manis lokal B memiliki aktifitas antirayap yang lebih efektif daripada minyak esensial daun kayu manis lokal A. Selanjutnya ketika cinnamaldehid, eugenol, dan α–terpineol diekstrak dari minyak esensial daun kayu manis lokal dan digunakan pada dosis kuat 1mg/g, efektifitas antirayapnya jauh lebih tinggi daripada ketika menggunakan minyak esensial daun kayu manis lokal. Di antara ketiga komponen yang diuji tersebut, cinnamaldehid memperlihatkan sifat antirayap yang paling kuat (Chang dan Cheng 2002). Tanaman memproduksi metabolit sekunder sebagai perlindungan terhadap serangan dari luar, misalnya dari serangan rayap. Menurut Mitsunaga (2007), beberapa aktifitas biologis dan fisiologis dari ekstraktif tanaman telah diteliti di laboratorium Department of Applied Life Science, Faculty of Applied Biological Science, Gifu Univesity, Japan, menunjukkan bahwa senyawa polyfenol dari kayu tropis mempunyai efek anti rayap, anti jamur dan anti bakteri. Anti rayap umumnya sebagai zat yang dapat menyebabkan kematian (mortality) rayap atau menolak (repellent) rayap, sedang sebagai anti jamur menghambat pertumbuhan 11 jamur perusak kayu. Sedang sebagai anti bakteri, zat ekstraktif bersifat sebagai bactericide terhadap bakteri yang menyerang kayu. Peranan zat ekstraktif sebagai insektisida selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis-jenis zat ekstraktif tumbuhan yang berperan sebagai insektisida pada serangga No Jenis zat ekstraktif tumbuhan 1. a. Rotenon b. Tropan, quinon, quinodin, senyawa nitro, imidazol, aldehida c. Glukosinolat, nitril, N-nitrosamin, cyanogenic, thiosianat 2. Diterpen, flavonoid, polyacetylen, phenol, asam aromatik, coumarin, asam lemak 3. a. Asam aminnonouprotein b. Tanin, stilben, resin, quinon c. Protein toksis (ricin), basa purin d. Alkaloid indol 4. a. Basa analog (5-metil sitosin) b. Kinin, Colchicin, alkaloida Veratum, alkaloida diaminos-teroid, furanocoumarin, coumarinHydrazin 5. Asam fluoroacetat 6. Target biokimiawi pada serangga Penghambat transport elektron a. Antara NAD+ dengan Co Q b. Oksidasi Suksinat c. Cytokrome oksidase Uncouler dari phosphorilasi oksidase Penghambat sintetis protein a. Pengaktifan asam amino b. Fungsi protein c. Komplek inisiasi ribosom Penghambat sintetis DNA a. Mutasi transsisional b. Replikasi Penghambat transfer energi glycolisis dan oksidasi asam lemak Polyacetylen, sesquiterpen, triterpen, Perusak fungsi sel (integritas alkaloid, steroid membran sel) Sumber : Sastrodihardjo (1999) Metode Pengujian Sifat Anti Rayap Metode pengujian sifat anti rayap biasa dilakukan dengan menggunakan metode anti-feedant bio-assay test seperti yang digunakan oleh Ohmura et al. (1997) dalam Syafii (2000a) dengan beberapa modifikasi. Dari metode ini akan didapatkan mortalitas rayap yang beragam bergantung pada jenis kayu, jenis fraksi dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji. Sebagian besar jenis kayu dan jenis fraksi memberikan pola yang sama yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka mortalitas rayap semakin meningkat pula. Pola ini memberikan indikasi umum bahwa ekstrak yang ditambahkan tersebut mempunyai daya racun terhadap kehidupan rayap. 12 Selain mortalitas rayap, indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat daya racun zat ekstraktif adalah penilaian laju konsumsi terhadap contoh uji oleh rayap. Laju konsumsi ditunjukkan dengan besarnya kehilangan berat contoh uji setelah diumpankan. Laju konsumsi rayap setelah pengumpanan selama 4 minggu pada kertas uji yang telah diberi ekstrak pada berbagai konsentrasi berkisar antara 1% sampai 23%. Kehilangan berat contoh uji sangat bervariasi bergantung pada jenis kayu, jenis fraksi, dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji. Dari hasil pengujian ini secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka kehilangan berat kertas uji tersebut semakin kecil. Hal ini memberikan indikasi bahwa ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji tersebut mempunyai daya racun terhadap perkembangan rayap, yang ditunjukkan oleh hilangnya kemampuan rayap dalam mengonsumsi kertas uji tersebut (Syafii 2000b). Park dan Shin (2005) telah melakukan suatu percobaan mengenai aktifitas anti rayap dengan menggunakan bioassay fumigasi. Kertas saring (Whatman no. 2 dengan diameter 4,5 cm) diberi perlakuan dengan minyak esensial kemudian diletakkan di penutup bagian bawah silinder gelas (diameter 5 cm x 10 cm) dengan saringan kawat tepat 3,5 cm di atas dasar, kemudian penutup tersebut disegel. Sepuluh rayap pekerja dan seekor prajurit diletakkan di atas kawat. Ini mencegah kontak langsung rayap dengan minyak tanaman yang diuji dan senyawanya. Rayap diekspos selama 1- 3 hari. Kertas saring dibasahi dengan air untuk mensuplai makanan. Perlakuan rayap dilakukan pada suhu 25±1oC dan kelembaban relatif 80%. Akumulasi mortalitas rayap dicatat setelah 1, 2 dan 3 hari perlakuan. Semua perlakuan diulangi sebanyak 3 kali. Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif Isolasi ekstraktif dilakukan melalui ekstraksi dengan campuran pelarut netral atau dengan campuran pelarut tunggal. Fraksi atsiri seperti terpena dalam kayu daun jarum, umumnya diisolasi dengan penyulingan uap. Ekstraksi pelarut dapat dikerjakan dengan berbagai pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting yang dapat diekstraksi 13 dengan pelarut organik. Komponen utama yang larut air terdiri atas karbohidrat, protein dan garam-garam organik. Dalam kasus manapun tidak ada perbedaan yang tegas antara komponen ekstraktif yang dipisahkan dengan pelarut berbeda. Misalnya tanin larut dalam air panas tetapi juga ditemukan dalam ekstrak alkohol (Adijuwana dan Nur 1989). Pengisolasian ekstraktif umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut. Urutan polaritas beberapa jenis pelarut tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Titik didih, titik beku, dan konstanta dielektrik beberapa jenis pelarut Jenis pelarut Air Etanol Aseton Etil asetat Dietil eter CCl4 Benzena n-Heksan Titik didih (oC) Titik beku (oC) 100 0 78 -117 56 -95 -84 35 -116 61 -64 80 5,5 - Konstanta dielektrik (D) 75,5 24,3 20,7 6,0 4,3 4,8 2,3 1,89 Sumber : Adijuwana dan Nur (1989) Tidak ada satupun pelarut yang dapat mengeluarkan atau mengekstraksi semua ekstraktif yang ada dalam kayu. Umumnya dipakai dua atau lebih pelarut untuk mengeluarkan ekstraktif tersebut. Untuk mengekstraksi dengan baik dipakai pelarut organik dan air (TAPPI 1991). Ekstraksi juga dapat dilakukan pada suhu ruangan di dalam suatu alat penapis atau melalui pengadukan bahan. Waktu ekstraksi dengan menggunakan soxhlet atau dengan metode suhu ruangan biasanya minimum 6 jam. Metode ekstraksi tersebut diperlukan untuk mengeluarkan sebagian besar atau semua pelarut dari ekstrak melalui evaporasi, yang biasanya dilakukan di dalam alat extraction apparatus atau alat sejenisnya pada tekanan rendah untuk menghindari kemungkinan terjadinya oksidasi dan degradasi ekstrak, dan pada suhu tidak lebih dari 50oC (TAPPI 1991). 14 Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) Rayap merupakan serangga sosial dengan ukuran tubuh kecil sampai sedang. Rayap termasuk filum Arthropoda, kelas Insecta dan ordo Isoptera yang dalam perkembangan hidupnya mengalami metamorfosa bertahap. Kelompok binatang ini pertumbuhannya melalui tiga tahap yaitu tahap telur, tahap nimfa, dan tahap dewasa. Setelah menetas dari telur, nimfa akan menjadi dewasa dengan melalui beberapa instar yaitu bentuk di antara dua masa perubahan. Perubahan ini berlangsung secara bertahap menyebabkan bentuk badan pada umumnya, cara hidup maupun makanan pokok di antara nimfa dan dewasa adalah serupa (Hasan 1983). Rayap hidup dalam koloni-koloni dan membagi kegiatan-kegiatan utamanya di dalam bentuk kasta yang sudah berkembang. Berdasarkan perbedaan morfologis dan fisiologisnya, rayap dibagi menjadi tiga kasta, yaitu kasta reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja. a. Kasta Reproduktif Kasta reproduktif terdiri atas reproduktif primer dan sekunder. Reproduktif primer merupakan sepasang imago (raja dan ratu) yang semasa hidupnya bertugas untuk menghasilkan telur. Apabila reproduktif primer tersebut mati, sepasang reproduktif sekunder menggantikannya. Pada masa bersilangan (swarming), reproduktif sekunder akan terbang keluar sarang dalam jumlah besar. Masa bersilangan ini merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago (jantan dan betina) bertemu dan segera menanggalkan sayapnya serta mencari tempat baru yang sesuai untuk perluasan koloni. Kasta reproduksi memiliki panjang badan 7,5-8 mm, sedangkan yang bersayap memiliki rentang sayap 15-16 mm(Tambunan dan Nandika 1989). b. Kasta Prajurit Kasta prajurit mudah dikenali dari bentuk kepalanya yang besar dan mengalami penebalan yang nyata. Kasta ini sering dijumpai dengan ukuran yang berbeda (polimorfisme). Karakter seksual pada kasta prajurit dari beberapa spesies rayap hampir tidak tampak secara genetik. Kasta prajurit dapat berkelamin jantan atau betina. Dalam koloni, rayap bertugas untuk 15 melindungi koloninya dari gangguan yang mungkin timbul selama siklus hidup koloni. Kasta prajurit memiliki panjang badan 5-5,5 mm. c. Kasta Pekerja Kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni rayap merupakan individu-individu kasta pekerja. Kasta ini umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa. Karakter seksual kasta ini sulit untuk ditentukan dengan jelas. Walaupun kasta ini tidak terlibat dalam proses perkembangbiakan koloni dan pertahanan, namun hampir semua tugas lainnya dikerjakan oleh kasta ini, antara lain bertugas memberi makan kepada seluruh anggota koloni dan membangun atau memperbesar liang-liang untuk menampung koloni. Kasta pekerja memiliki panjang badan 4,5-5 mm. Beberapa sifat-sifat penting rayap menurut Nandika (1991) adalah sebagai berikut: a. Sifat trofalaksis, yaitu rayap berkumpul saling menjilat dan mengadakan pertukaran bahan makanan melalui mulut dan anus. b. Sifat kriptobiotik, yaitu sifat rayap menjauhi cahaya. c. Sifat kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk makan sesamanya yang lemah atau sakit. Sifat ini menonjol dalam keadaan kekurangan makanan d. Sifat polimorfisme atau polimorfik, yaitu bentuk-bentuk rayap yang berbeda antara pekerja, prajurit dan rayap reproduktif. e. Sifat nekrofagi, yaitu sifat rayap memakan bangkai sesamanya. Berdasarkan habitat atau perilaku bersarang, rayap digolongkan ke dalam tipe-tipe: a. Rayap pohon, yaitu jenis-jenis rayap yang menyerang pohon yang masih hidup, bersarang dalam pohon dan tak berhubungan dengan tanah. Contoh khas rayap ini adalah Neotermes tectonae (famili Kalotermitidae), hama pohon jati. b. Rayap kayu lembab, menyerang kayu mati dan lembab, bersarang dalam kayu dan tak berhubungan dengan tanah. Contohnya Glyoptermes spp. (famili Kalotermitidae). 16 c. Rayap kayu kering, seperti Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae), hidup dalam kayu yang telah kering. Hama ini umum terdapat di rumah-rumah dan perabot-perabot seperti kursi, meja dan sebagainya. Tanda serangannya adalah terdapatnya butir-butir eksremen kecil berwarna kecoklatan yang sering berjatuhan di lantai atau di sekitar kayu yang diserang. Rayap ini juga tidak berhubungan dengan tanah karena habitatnya kering. d. Rayap tanah atau subteran, umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung banyak bahan kayu yang telah mati atau membusuk, atau bahan organik lainnya yang mengandung selulosa seperti serasah dan humus. Di Indonesia, dua famili rayap perusak kayu masuk dalam kategori rayap subteran, yaitu Termitidae dan Rhinotermitidae. Contoh famili Termitidae yang paling umum menyerang bangunan adalah Macrotermes spp. (terutama M. gilvus), Odontermes spp., dan Microtermes spp. Jenis-jenis rayap ini sangat ganas, dapat menyerang obyek-obyek berjarak sampai 200 m dari sarangnya. Coptotermes spp. termasuk ke dalam famili Rhinotermitidae, rayap ini banyak menyerang bangunan. Perilaku rayap ini mirip Macrotermes, namun perbedaan utama adalah kemampuan Coptotermes untuk bersarang di dalam kayu yang diserangnya, walaupun tidak ada hubungan dengan tanah, asal saja sarang tersebut dalam keadaan lembab (Tarumingkeng 1993). Menurut Tambunan dan Nandika (1989), rayap tanah C. curvignathus Holmgren termasuk rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Nandika et al. (2003) menyatakan bahwa jenis rayap ini termasuk ke dalam famili Rhinotermitidae sub famili Coptotermitinae, yang banyak digunakan dalam penelitian karena rayap tersebut sangat ganas penyerangannya terhadap material kayu atau bahan lain yang mengandung selulosa. Ciri-ciri rayap C. curvignathus, menurut Nandika et al. (2003), mempunyai sebuah fontanel (ubun-ubun) yang merupakan tempat yang pucat, kecil dan cekung pada bagian depan kepala antara dua mata, pada bagian mesonotum dan matanotum terdapat sayap dengan tipe reticulate tanpa bulu-bulu. Pekerja C. curvignathus yang berwarna putih pucat mampu memperluas serangannya karena kelompok pekerja ini mampu membentuk saluran-saluran yang ditutupi oleh tanah yang melekat pada tembok atau kayu. Disamping sebagai 17 tempat perlindungan dari predator dan sinar matahari, tanah tersebut berfungsi untuk mempertahankan suhu dan kelembaban sehingga keadaan seperti habitat aslinya yang jauh di dalam tanah tetap terkendali. Rayap secara umum memakan kayu atau bahan berlignoselulosa. Selulosa dalam makanan dicerna oleh berbagai protozoa yang sangat banyak jumlahnya yang hidup dalam saluran pencernaannya. Hubungan ini adalah mutualisme. Beberapa rayap jenis lain mengandung bakteri dan protozoa pada pencernaannya. Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Acacia auriculiformis yang bernama daerah akor atau ori akor penyebaran alaminya meliputi Australia, Maluku, dan Irian Jaya. Dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur dengan curah hujan tahunan 1.080-2.100 mm. Ketinggian tempat yang ideal untuk tanaman ini berkisar antara 0-400 m dpl. Akasia berasal dari Australia, Papua New Guinea dan Indonesia. Tanaman ini tumbuh pada dataran rendah yang lembab dan panas, curah hujan tahunan ratarata 800-2500 mm dan suhu rata-rata 20-30°C dan sering dijumpai di tepi-tepi sungai dan pantai. Akasia dibudidayakan luas di daerah tropis pada ketinggian 01000 mdpl, masih tahan terhadap salju ringan, walaupun salju tidak cocok dengan sebaran alamnya. Akasia dapat tumbuh di tempat asam dan bekas tambang dengan pH 3 hingga pantai ber-pasir basa dengan pH 8-9. Akasia tidak tahan di tempat teduh atau angin kencang. Analisa isoenzim memperlihatkan variasi marka genetik yang sangat mencolok diantara 3 lokasi penyebaran Papua New Guinea, Queensland dan Northern Territory. Uji coba lapang menunjukkan bahwa Papua New Guinea produksinya paling tinggi, dari Queensland proporsi batang tunggal besar. Dari Northern Territory jelek baik pertumbuhan maupun bentuknya. Hibrid A. Auriculiformis dan A. mangium menunjukkan sifat-sifat yang baik (Joker 2001). Pada umumnya jenis ini dapat mencapai tinggi 15 m dengan diameter batang ± 50 cm. Pada waktu muda pertumbuhannya sangat cepat. Sehingga umur 4 tahun saja dapat mencapai tinggi 10 m dengan diameter batang 6,6 cm. Bentuk batangnya kurang baik dengan percabangan yang rendah dan banyak. Tajuknya 18 lebar agak rapat dengan ukuran panjang daun 150-400 mm dan lebar 100-180 mm. Musim berbuahnya pada bulan Juli-November (New Forest Project 2007). Kingdom: Plantae Divisi : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Fabales Family : Fabaceae / Leguminosae Genus : Acacia Species : A. auriculiformis A. auriculiformis memiliki berat jenis rata-rata 0,6 – 0,75 dan merupakan sumber kayu bakar utama, kayunya yang padat dan nilai energi tinggi yang mendukungnya. Kayunya menyediakan arang yang berpijar sangat baik dengan asap sedikit dan tidak mengeluarkan percikan. Nilai energi kayunya adalah 4.800-4.900kcal/kg (Hanum and Van Der Maesen 1997). Akasia dapat tumbuh bahkan pada kondisi yang sangat jelek di daerah tropis. Pertumbuhan awal tinggi, mampu memproduksi nitrogen, toleran terhadap tanah yang tidak subur, asam, basa bergaram atau tergenang, musim kering, dan sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis. Mampu bersaing dengan alang-alang (Imperata cylindrica) dan mengurangi rumput yang menutup seluruh permukaan lahan. Kayunya sangat baik untuk kayu bakar, arang, pulp dan konstuksi ringan. Karena penyebaran akarnya tidak terlalu melebar, banyak digunakan dalam agroforestry dan ditumpangsarikan dengan kacang tanah, padi dan kacangkacangan (Joker 2001).