Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Keawetan Alami Kayu
Keawetan alami kayu adalah kemampuan kayu untuk menahan serangan
terhadap mikroorganisme (Eaton dan Hale 1993). Keawetan kayu secara alami
ditentukan oleh jenis dan banyaknya ekstraktif di dalam kayu yang bersifat racun
terhadap organisme perusak kayu seperti tanin, alkaloid, saponin, fenol, quinone
dan damar (Tsoumis 1991). Keawetan alami ini akan bervariasi sesuai dengan
banyaknya serta jenis ekstraktifnya. Hal ini menyebabkan keawetan alami kayu
berbeda-beda dalam menghadapi resiko pelapukan menurut jenis kayu, baik
dalam jenis yang sama maupun dalam pohon yang sama.
Sejumlah metabolit sekunder berperan sebagai fungisida atau antibiotik,
melindungi tanaman dari jamur dan bakteri seperti pterocarpan, pisatin,
sesquiterpenoid dan phytoalexin. Sedangkan metabolit sekunder lain bersifat
toksik terhadap serangga antara lain alkaloid dan cyanogenik glikogen yang
mencegah kerusakan tanaman dengan membunuh predator tersebut (Vickery dan
Vickery 1981).
Keawetan alami kayu salah satunya ditentukan oleh jenis dan banyaknya
zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat
di dalam kayu. Eaton dan Hale (1993) menyatakan bahwa zat ekstraktif
diperkirakan berperan sebagai toksikan terhadap mikroorganisme juga berperan
dalam mencegah serangan serangga.
Pada umumnya jenis kayu yang awet secara alami memiliki warna yang
lebih gelap pada kayu terasnya dibandingkan dengan jenis kayu yang kurang
awet. Warna yang secara alami terdapat pada kayu teras sebagai akibat adanya
ekstraktif yang diendapkan pada saat pembentukan kayu teras tersebut. Namun
daya tahannya terhadap organisme sangat ditentukan oleh adanya zat ekstraktif
yang bersifat racun meskipun kandungannya sedikit.
Faktor utama yang menyebabkan keawetan alami kayu adalah adanya zat
ekstraktif yang bersifat racun yang terdapat di dalam kayu teras yang terbentuk
selama proses pembentukan kayu teras tersebut (Syafii 2001). Pada umumnya
kayu teras lebih awet daripada kayu gubalnya, terutama disebabkan oleh
5
pengendapan unsur-unsur kimia tertentu yang terdapat di dalam kayu selama
peralihan kayu gubal menjadi kayu teras (Pandit dan Ramdan 2002). Senyawa
polifenol pinosilvin bertanggung jawab terhadap ketahanan kayu teras pinus
dibandingkan dengan kayu gubalnya (Walker 1993). Sejumlah senyawa aromatik
seperti fenol, stilbena, flavonoid, tanin, kuinon, tropolon, lignan dan substansi
lainnya terdapat pada kayu teras dan kulit. Tidak ada jenis kayu yang awet yang
berasal dari kayu gubal. Pada akhirnya penggolongan kayu akan didasarkan pada
keawetan alami dari kayu teras berdasarkan lamanya pemakaian kayu tersebut
(Tabel 1).
Tabel 1 Klasifikasi tingkat keawetan alami kayu teras berdasarkan lamanya
pemakaian kayu
Kelas Awet Kayu
Tingkat Keawetan
I
Sangat awet
II
Awet
III
Kurang awet
IV
Tidak awet
V
Sangat tidak awet
Sumber : [BSN] (1999)
Selain faktor zat ekstraktif, ketahanan alami dipengaruhi pula oleh jumlah
dan tipe lignin (Zabel dan Morrel 1992). Lignin kayu daun lebar disusun oleh tipe
siringil dan guaiasil, sedangkan kayu daun jarum disusun oleh tipe guaiasil. Kayu
yang ligninnya didominasi oleh tipe guaiasil cenderung lebih tahan terhadap
pelapukan dibandingkan tipe siringil. Syafii et al. (1987) menyatakan bahwa kayu
ulin, kayu bengkirai, kayu kohi, dan kayu malas memiliki laju pelapukan oleh
Coriolus versicolor yang lebih rendah dibandingkan kayu yang lainnya. Kayu
tersebut memiliki lignin dengan tipe guaiasil yang lebih dominan dibandingkan
dengan tipe siringil.
Keawetan alami pada pohon beragam, khususnya pada jenis yang
keawetannya tinggi. Keragaman terjadi di antara jenis yang berbeda maupun di
antara individu pohon jenis yang sama. Pada sebagian besar jenis, keawetan alami
bagian terdalam kayu teras lebih rendah dibandingkan bagian terluar. Bagian
terluar kayu teras semakin kurang awet dari bagian pangkal ke bagian ujung
6
pohon. Sedangkan pada kayu teras bagian terdalam akan semakin awet dari
bagian pangkal ke bagian ujung pohon (Eaton dan Hale 1993).
Zat Ekstraktif
Batasan dan Ruang Lingkup
Dinding sel kayu tersusun oleh tiga unsur utama yaitu selulosa,
hemiselulosa dan lignin, yang semuanya merupakan polimer. Selain ketiga
komponen utama tersebut terdapat pula sejumlah unsur atau bahan yang disebut
ekstraktif.
Hillis (1987) mendefinisikan zat ekstraktif sebagai senyawa-senyawa yang
dapat diekstrak dari kayu atau kulit dengan pelarut polar dan non polar. Zat
ekstraktif ini bukan merupakan bagian struktural dinding sel kayu, tetapi sebagai
zat pengisi rongga sel. Zat ekstraktif terdiri dari bermacam-macam bahan yang
tidak termasuk bagian dari dinding sel. Komponen ini memiliki nilai yang penting
karena menyebabkan kayu tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi
bau, rasa dan warna pada kayu. Cara yang dapat digunakan untuk memisahkan zat
ekstraktif ini antara lain dengan uap (dihasilkan kelompok dari hidrokarbon,
asam-asam aldehid dan alkohol), dengan eter panas (dihasilkan asam-asam lemak,
asam-asam damar, lemak, sterol dan bahan-bahan tak tersabunkan), dengan
alkohol panas (dihasilkan tannin, zat-zat warna, fenol dan bahan-bahan larut air)
dan dengan air (dihasilkan alkohol siklik, polisakarida, dengan berat molekul
rendah, garam-garam).
Sjostrom (1993) menyatakan bahwa kandungan dan komposisi zat
ekstraktif sangat bervariasi antar jenis kayu, bahkan dalam batang yang sama pada
satu jenis kayu pun dapat berbeda. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Eaton dan Hale (1993) bahwa substansi yang bersifat racun beragam di antara
jenis dan marga dan beragam dalam sifat kimianya sehingga berbagai pelarut akan
mengekstrak berbagai bahan toksik yang berbeda pada berbagai jenis.
Kandungan ektraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Ia tidak
hanya tergantung pada jenis tetapi juga pada pelarut yang digunakan.
Keanekaragaman senyawa yang diekstraksi biasanya membutuhkan serangkaian
ekstraksi, yang hasilnya memberikan ciri awal komposisinya. Ekstrak alkali
7
maupun ekstrak etanol mengandung polimer flavonoid yang lebih tinggi meliputi
asam-asam polifenolat (Fengel dan Wegener 1995).
Menurut Sjostrom (1993), kulit adalah lapisan luar kambium yang
mengelilingi batang, cabang, dan akar, yang jumlahnya sekitar 10 – 15% dari
berat pohon. Setelah kayu, kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang
paling penting kedua. Kulit kayu merupakan sekitar 10 – 20% dari batang
tergantung pada spesies dan kondisi pertumbuhan (Fengel dan Wegener 1995).
Susunan kimia kulit kayu menentukan sifat-sifat yang penting dari segi
penggunaannya. Kulit mempunyai sifat pembengkakan yang berbeda, kurang
anisotropik, memiliki koefisien perambatan panas sedikit lebih rendah, dan jauh
lebih lunak dalam semua sifat mekanik kayu (Martin 1969; Cassens 1974 dalam
Fengel dan Wegener 1995).
Penggolongan Zat Ekstraktif
Menurut Fengel dan Wegener (1995) dalam ekstraktif terdapat beberapa
senyawa-senyawa organik seperti terpena, lignan, stilbena, flavonoid, aromatik
lain, lemak, lilin, asam lemak, alkohol, steroid dan hidrokarbon tinggi. Sjostrom
(1993) menyatakan bahwa secara kimiawi ekstraktif kayu dapat digolongkan ke
dalam tiga bagian, yaitu :
1. Komponen-komponen alifatik
Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti n-alkana,
alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol),
suberin (poliestolida). Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan
merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum
maupun daun lebar. Ester dan alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol
alifatik atau terpenoid alami, yang dikenal sebagai lilin.
2. Terpena dan terpenoid
Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena
(C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut
jumlah unit isoprena (n), terpena dikelompokkan lagi menjadi monoterpena
(n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena
(n=8) dan politerpena (n>8).
8
Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus
fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil dan ester. Contoh dari terpenoid
adalah poliprenol. Ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis
terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena
yang tergolong sangat langka. Sedangkan di dalam kayu daun lebar
mengandung terpena yang lebih tinggi, monoterpena ditemukan hanya pada
beberapa kayu tropis saja (Fengel dan Wegener 1995). Terpena yang paling
penting adalah α-pinena dan limonena yang terdapat pada semua kayu daun
jarum. Beberapa monoterpena merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa
kayu tropika.
3. Senyawaan fenolat
Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima kelas,
yaitu :
3.1 Tanin terhidrolisis : produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat
serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama.
3.2 Tanin terkondensasi (flavonoid) : polifenol yang mempunyai rantai
karbon C6C3C6, contohnya krisin dan taksifolin.
3.3 Lignan : dimer dari dua unit fenilpropana (C6C3), contoh konidendrin,
pinoresinol, dan asam plikatat.
3.4 Stilbena (1,2-difeniletilena) : mempunyai ikatan ganda terkonjugasi
sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif, contohnya
pinosilvin.
3.5 Tropolon : mempunyai kekhasan berupa cincin karbon beranggota tujuh
yang tidak jenuh, contoh α,β, dan τ-tujaplisin yang diisolasi dari Thuja
plicata.
Meskipun fenolat terkondensasi terdapat dalam jumlah sedikit di dalam kayu
teras, kulit dan xilem, namun fenolat ini mempunyai fungsi sebagai fungisida dan
secara efektif melindungi kayu dari serangan organisme perusak kayu. Selain itu
juga meningkatkan pewarnaan pada kayu. Harborne (1974) dalam Rinawati et al.
(1996) mengemukakan bahwa flavanoid merupakan kelompok fenol yang tersebar
di alam. Hampir semua bagian tumbuhan yaitu daun, akar, kayu, tepung sari,
nektar, bunga, buah, dan biji dapat mengandung flavanoid. Senyawa yang
9
tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker,
antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurun tekanan darah tinggi.
Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif
Findlay (1978) menjelaskan bahwa zat ekstraktif memberikan karakteristik
warna tersendiri dalam memberikan ketahanan alami pada kayu. Lebih lanjut
dikatakan bahwa beberapa kayu dari hutan tropis mengandung zat ekstraktif yang
bersifat racun, seperti alkaloid yang secara tetap menyebabkan iritasi atau
menyebabkan gatal-gatal bagi orang yang menyentuhnya. Hillis (1987)
menyatakan bahwa zat ekstraktif pada kayu teras dapat memberikan berbagai
bentuk ketahanan pohon hidup terhadap agen perusak meskipun sangat bervariasi
pada berbagai habitat. Rowell (1984) menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan
senyawa-senyawa organik yang meliputi lemak, lilin, alkaloid, protein, senyawa
fenolik sederhana dan kompleks, gula sederhana, pektin, gum, resin, tepena, pati,
glikosida, saponin dan minyak esensial. Beberapa di antaranya berfungsi sebagai
cadangan energi atau sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon
terhadap serangan mikroorganisme. Zat ekstraktif juga berperan terhadap sifat
kayu seperti warna, bau dan ketahanan terhadap pelapukan.
Sjostrom (1993) menyatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada
kayu teras, kulit dan juga yang terdapat pada xilem, bersifat racun atau anti jamur.
Oleh karenanya dapat melindungi pohon dari gangguan organisme perusak kayu.
Sejumlah senyawa aktif telah didefinisikan sebagai anti rayap dan anti
jamur. Eusiderin, sejenis neolignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) (Syafii
et al. 1985) dan Angolensin diekstrak dari kayu Pterocarpus indicus (Pilotti et al.
1995) bersifat racun terhadap jamur Coriolus versicolor dan Tyromyces palustris.
Sedangkan pada kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) diketahui terdapat senyawa
latifolin dan neoflavonoid yang bersifat racun terhadap rayap Reticulitermes
speratus (Syafii 2000b). Ohashi et al. (1994) melaporkan bahwa 3 jenis komponen
bioaktif yaitu 8-acetoxyelemol, 8-hydroxyelemol dan hinociic acid yang diisolasi
dari daun kayu Juniperus chinensis var pyramidalis terbukti dapat menghambat
pertumbuhan beberapa jenis jamur. Demikian juga ekstrak chloroform kayu
Bruguiera gymnorrhiza yang mengandung senyawa bruguierol dan isobruguierol
10
bersifat anti rayap terutama rayap Coptotermes formosanus (Yaga et al. 1991).
Sedangkan Hashimoto et al. (1997) melaporkan adanya sifat anti rayap kamper
yang diisolasi dari kayu Cinnamomum camphora. Pada kayu Cunninghamii
lanceolata berhasil diidentifikasi senyawa cedrol yang bersifat anti jamur (Shieh
dan Sumimoto 1992). Zat ekstraktif kayu sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.)
dan kayu damar laut (Hopea spp.) juga dilaporkan mempunyai sifat anti rayap
(Syafii 2000a dan 2000b).
Zat ekstraktif flavonoid dari kayu Japanese larch (Larix leptolepis)
memperlihatkan sifat penolak yang tinggi terhadap aktifitas makan rayap tanah
Coptotermes formosanus pada kertas uji yang digunakan dalam bio-assay test.
Hal ini karena ekstraktif kayu Japanese larch mengandung flavonoid dalam
jumlah yang cukup besar yang berpotensi menghambat aktifitas makan rayap
tanah (Chen et al. 2004).
Aktifitas anti rayap minyak esensial dari daun yang berasal dari dua klon
Cinnamomum osmophloeum (A dan B) dan kandungan kimianya terhadap
Coptotermes formosanus Shiraki telah diteliti dengan aplikasi kontak langsung.
Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa minyak esensial daun kayu manis
lokal B memiliki aktifitas antirayap yang lebih efektif daripada minyak esensial
daun kayu manis lokal A.
Selanjutnya ketika cinnamaldehid, eugenol, dan
α–terpineol diekstrak dari minyak esensial daun kayu manis lokal dan digunakan
pada dosis kuat 1mg/g, efektifitas antirayapnya jauh lebih tinggi daripada ketika
menggunakan minyak esensial daun kayu manis lokal.
Di antara ketiga
komponen yang diuji tersebut, cinnamaldehid memperlihatkan sifat antirayap
yang paling kuat (Chang dan Cheng 2002).
Tanaman memproduksi metabolit sekunder sebagai perlindungan terhadap
serangan dari luar, misalnya dari serangan rayap. Menurut Mitsunaga (2007),
beberapa aktifitas biologis dan fisiologis dari ekstraktif tanaman telah diteliti di
laboratorium Department of Applied Life Science, Faculty of Applied Biological
Science, Gifu Univesity, Japan, menunjukkan bahwa senyawa polyfenol dari kayu
tropis mempunyai efek anti rayap, anti jamur dan anti bakteri.
Anti rayap
umumnya sebagai zat yang dapat menyebabkan kematian (mortality) rayap atau
menolak (repellent) rayap, sedang sebagai anti jamur menghambat pertumbuhan
11
jamur perusak kayu. Sedang sebagai anti bakteri, zat ekstraktif bersifat sebagai
bactericide terhadap bakteri yang menyerang kayu. Peranan zat ekstraktif sebagai
insektisida selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis-jenis zat ekstraktif tumbuhan yang berperan sebagai insektisida
pada serangga
No
Jenis zat ekstraktif tumbuhan
1. a. Rotenon
b. Tropan, quinon, quinodin, senyawa
nitro, imidazol, aldehida
c. Glukosinolat, nitril, N-nitrosamin,
cyanogenic, thiosianat
2. Diterpen,
flavonoid,
polyacetylen,
phenol, asam aromatik, coumarin, asam
lemak
3. a. Asam aminnonouprotein
b. Tanin, stilben, resin, quinon
c. Protein toksis (ricin), basa purin
d. Alkaloid indol
4. a. Basa analog (5-metil sitosin)
b. Kinin, Colchicin, alkaloida Veratum, alkaloida diaminos-teroid,
furanocoumarin, coumarinHydrazin
5. Asam fluoroacetat
6.
Target biokimiawi pada serangga
Penghambat transport elektron
a. Antara NAD+ dengan Co Q
b. Oksidasi Suksinat
c. Cytokrome oksidase
Uncouler dari phosphorilasi oksidase
Penghambat sintetis protein
a. Pengaktifan asam amino
b. Fungsi protein
c. Komplek inisiasi ribosom
Penghambat sintetis DNA
a. Mutasi transsisional
b. Replikasi
Penghambat
transfer
energi
glycolisis dan oksidasi asam lemak
Polyacetylen, sesquiterpen, triterpen, Perusak fungsi sel (integritas
alkaloid, steroid
membran sel)
Sumber : Sastrodihardjo (1999)
Metode Pengujian Sifat Anti Rayap
Metode pengujian sifat anti rayap biasa dilakukan dengan menggunakan
metode anti-feedant bio-assay test seperti yang digunakan oleh Ohmura et al.
(1997) dalam Syafii (2000a) dengan beberapa modifikasi. Dari metode ini akan
didapatkan mortalitas rayap yang beragam bergantung pada jenis kayu, jenis
fraksi dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji. Sebagian besar
jenis kayu dan jenis fraksi memberikan pola yang sama yaitu semakin tinggi
konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka mortalitas rayap semakin
meningkat pula. Pola ini memberikan indikasi umum bahwa ekstrak yang
ditambahkan tersebut mempunyai daya racun terhadap kehidupan rayap.
12
Selain mortalitas rayap, indikator lain yang dapat digunakan untuk
melihat daya racun zat ekstraktif adalah penilaian laju konsumsi terhadap contoh
uji oleh rayap. Laju konsumsi ditunjukkan dengan besarnya kehilangan berat
contoh uji setelah diumpankan. Laju konsumsi rayap setelah pengumpanan selama
4 minggu pada kertas uji yang telah diberi ekstrak pada berbagai konsentrasi
berkisar antara 1% sampai 23%. Kehilangan berat contoh uji sangat bervariasi
bergantung pada jenis kayu, jenis fraksi, dan konsentrasi ekstrak yang
ditambahkan pada kertas uji. Dari hasil pengujian ini secara umum dapat
dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas
uji, maka kehilangan berat kertas uji tersebut semakin kecil. Hal ini memberikan
indikasi bahwa ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji tersebut mempunyai
daya racun terhadap perkembangan rayap, yang ditunjukkan oleh hilangnya
kemampuan rayap dalam mengonsumsi kertas uji tersebut (Syafii 2000b).
Park dan Shin (2005) telah melakukan suatu percobaan mengenai aktifitas
anti rayap dengan menggunakan bioassay fumigasi. Kertas saring (Whatman no.
2 dengan diameter 4,5 cm) diberi perlakuan dengan minyak esensial kemudian
diletakkan di penutup bagian bawah silinder gelas (diameter 5 cm x 10 cm)
dengan saringan kawat tepat 3,5 cm di atas dasar, kemudian penutup tersebut
disegel. Sepuluh rayap pekerja dan seekor prajurit diletakkan di atas kawat. Ini
mencegah kontak langsung rayap dengan minyak tanaman yang diuji dan
senyawanya. Rayap diekspos selama 1- 3 hari. Kertas saring dibasahi dengan air
untuk mensuplai makanan. Perlakuan rayap dilakukan pada suhu 25±1oC dan
kelembaban relatif 80%. Akumulasi mortalitas rayap dicatat setelah 1, 2 dan 3
hari perlakuan. Semua perlakuan diulangi sebanyak 3 kali.
Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif
Isolasi ekstraktif dilakukan melalui ekstraksi dengan campuran pelarut
netral atau dengan campuran pelarut tunggal. Fraksi atsiri seperti terpena dalam
kayu daun jarum, umumnya diisolasi dengan penyulingan uap. Ekstraksi pelarut
dapat dikerjakan dengan berbagai pelarut organik seperti eter, aseton, benzena,
etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin,
lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting yang dapat diekstraksi
13
dengan pelarut organik. Komponen utama yang larut air terdiri atas karbohidrat,
protein dan garam-garam organik. Dalam kasus manapun tidak ada perbedaan
yang tegas antara komponen ekstraktif yang dipisahkan dengan pelarut berbeda.
Misalnya tanin larut dalam air panas tetapi juga ditemukan dalam ekstrak alkohol
(Adijuwana dan Nur 1989).
Pengisolasian ekstraktif umumnya diawali dengan pelarut yang kurang
polar dan dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut
dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut. Urutan polaritas beberapa
jenis pelarut tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Titik didih, titik beku, dan konstanta dielektrik beberapa jenis pelarut
Jenis pelarut
Air
Etanol
Aseton
Etil asetat
Dietil eter
CCl4
Benzena
n-Heksan
Titik didih (oC) Titik beku (oC)
100
0
78
-117
56
-95
-84
35
-116
61
-64
80
5,5
-
Konstanta dielektrik (D)
75,5
24,3
20,7
6,0
4,3
4,8
2,3
1,89
Sumber : Adijuwana dan Nur (1989)
Tidak ada satupun pelarut yang dapat mengeluarkan atau mengekstraksi
semua ekstraktif yang ada dalam kayu. Umumnya dipakai dua atau lebih pelarut
untuk mengeluarkan ekstraktif tersebut. Untuk mengekstraksi dengan baik dipakai
pelarut organik dan air (TAPPI 1991).
Ekstraksi juga dapat dilakukan pada suhu ruangan di dalam suatu alat
penapis atau melalui pengadukan bahan. Waktu ekstraksi dengan menggunakan
soxhlet atau dengan metode suhu ruangan biasanya minimum 6 jam. Metode
ekstraksi tersebut diperlukan untuk mengeluarkan sebagian besar atau semua
pelarut dari ekstrak melalui evaporasi, yang biasanya dilakukan di dalam alat
extraction apparatus atau alat sejenisnya pada tekanan rendah untuk menghindari
kemungkinan terjadinya oksidasi dan degradasi ekstrak, dan pada suhu tidak lebih
dari 50oC (TAPPI 1991).
14
Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren)
Rayap merupakan serangga sosial dengan ukuran tubuh kecil sampai
sedang. Rayap termasuk filum Arthropoda, kelas Insecta dan ordo Isoptera yang
dalam perkembangan hidupnya mengalami metamorfosa bertahap. Kelompok
binatang ini pertumbuhannya melalui tiga tahap yaitu tahap telur, tahap nimfa, dan
tahap dewasa. Setelah menetas dari telur, nimfa akan menjadi dewasa dengan
melalui beberapa instar yaitu bentuk di antara dua masa perubahan. Perubahan ini
berlangsung secara bertahap menyebabkan bentuk badan pada umumnya, cara
hidup maupun makanan pokok di antara nimfa dan dewasa adalah serupa (Hasan
1983).
Rayap hidup dalam koloni-koloni dan membagi kegiatan-kegiatan
utamanya di dalam bentuk kasta yang sudah berkembang. Berdasarkan perbedaan
morfologis dan fisiologisnya, rayap dibagi menjadi tiga kasta, yaitu kasta
reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja.
a. Kasta Reproduktif
Kasta reproduktif terdiri atas reproduktif primer dan sekunder. Reproduktif
primer merupakan sepasang imago (raja dan ratu) yang semasa hidupnya
bertugas untuk menghasilkan telur. Apabila reproduktif primer tersebut mati,
sepasang reproduktif sekunder menggantikannya. Pada masa bersilangan
(swarming), reproduktif sekunder akan terbang keluar sarang dalam jumlah
besar. Masa bersilangan ini merupakan masa perkawinan dimana sepasang
imago (jantan dan betina) bertemu dan segera menanggalkan sayapnya serta
mencari tempat baru yang sesuai untuk perluasan koloni. Kasta reproduksi
memiliki panjang badan 7,5-8 mm, sedangkan yang bersayap memiliki
rentang sayap 15-16 mm(Tambunan dan Nandika 1989).
b. Kasta Prajurit
Kasta prajurit mudah dikenali dari bentuk kepalanya yang besar dan
mengalami penebalan yang nyata. Kasta ini sering dijumpai dengan ukuran
yang berbeda (polimorfisme). Karakter seksual pada kasta prajurit dari
beberapa spesies rayap hampir tidak tampak secara genetik. Kasta prajurit
dapat berkelamin jantan atau betina. Dalam koloni, rayap bertugas untuk
15
melindungi koloninya dari gangguan yang mungkin timbul selama siklus
hidup koloni. Kasta prajurit memiliki panjang badan 5-5,5 mm.
c. Kasta Pekerja
Kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni
rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni rayap merupakan
individu-individu kasta pekerja. Kasta ini umumnya berwarna pucat dengan
kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai
nimfa. Karakter seksual kasta ini sulit untuk ditentukan dengan jelas.
Walaupun kasta ini tidak terlibat dalam proses perkembangbiakan koloni dan
pertahanan, namun hampir semua tugas lainnya dikerjakan oleh kasta ini,
antara lain bertugas memberi makan kepada seluruh anggota koloni dan
membangun atau memperbesar liang-liang untuk menampung koloni. Kasta
pekerja memiliki panjang badan 4,5-5 mm.
Beberapa sifat-sifat penting rayap menurut Nandika (1991) adalah sebagai
berikut:
a. Sifat trofalaksis, yaitu rayap berkumpul saling menjilat dan mengadakan
pertukaran bahan makanan melalui mulut dan anus.
b. Sifat kriptobiotik, yaitu sifat rayap menjauhi cahaya.
c. Sifat kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk makan sesamanya yang lemah atau
sakit. Sifat ini menonjol dalam keadaan kekurangan makanan
d. Sifat polimorfisme atau polimorfik, yaitu bentuk-bentuk rayap yang berbeda
antara pekerja, prajurit dan rayap reproduktif.
e. Sifat nekrofagi, yaitu sifat rayap memakan bangkai sesamanya.
Berdasarkan habitat atau perilaku bersarang, rayap digolongkan ke dalam
tipe-tipe:
a. Rayap pohon, yaitu jenis-jenis rayap yang menyerang pohon yang masih
hidup, bersarang dalam pohon dan tak berhubungan dengan tanah. Contoh
khas rayap ini adalah Neotermes tectonae (famili Kalotermitidae), hama
pohon jati.
b. Rayap kayu lembab, menyerang kayu mati dan lembab, bersarang dalam kayu
dan tak berhubungan dengan tanah. Contohnya Glyoptermes spp. (famili
Kalotermitidae).
16
c. Rayap kayu kering, seperti Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae), hidup
dalam kayu yang telah kering. Hama ini umum terdapat di rumah-rumah dan
perabot-perabot seperti kursi, meja dan sebagainya. Tanda serangannya adalah
terdapatnya butir-butir eksremen kecil berwarna kecoklatan yang sering
berjatuhan di lantai atau di sekitar kayu yang diserang. Rayap ini juga tidak
berhubungan dengan tanah karena habitatnya kering.
d. Rayap tanah atau subteran, umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung
banyak bahan kayu yang telah mati atau membusuk, atau bahan organik
lainnya yang mengandung selulosa seperti serasah dan humus. Di Indonesia,
dua famili rayap perusak kayu masuk dalam kategori rayap subteran, yaitu
Termitidae dan Rhinotermitidae. Contoh famili Termitidae yang paling umum
menyerang bangunan adalah Macrotermes spp. (terutama M. gilvus),
Odontermes spp., dan Microtermes spp. Jenis-jenis rayap ini sangat ganas,
dapat menyerang obyek-obyek berjarak sampai 200 m dari sarangnya.
Coptotermes spp. termasuk ke dalam famili Rhinotermitidae, rayap ini banyak
menyerang bangunan. Perilaku rayap ini mirip Macrotermes, namun
perbedaan utama adalah kemampuan Coptotermes untuk bersarang di dalam
kayu yang diserangnya, walaupun tidak ada hubungan dengan tanah, asal saja
sarang tersebut dalam keadaan lembab (Tarumingkeng 1993).
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), rayap tanah C. curvignathus
Holmgren termasuk rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Nandika et
al. (2003) menyatakan bahwa jenis rayap ini termasuk ke dalam famili
Rhinotermitidae sub famili Coptotermitinae, yang banyak digunakan dalam
penelitian karena rayap tersebut sangat ganas penyerangannya terhadap material
kayu atau bahan lain yang mengandung selulosa.
Ciri-ciri rayap C. curvignathus, menurut Nandika et al. (2003),
mempunyai sebuah fontanel (ubun-ubun) yang merupakan tempat yang pucat,
kecil dan cekung pada bagian depan kepala antara dua mata, pada bagian
mesonotum dan matanotum terdapat sayap dengan tipe reticulate tanpa bulu-bulu.
Pekerja C. curvignathus yang berwarna putih pucat mampu memperluas
serangannya karena kelompok pekerja ini mampu membentuk saluran-saluran
yang ditutupi oleh tanah yang melekat pada tembok atau kayu. Disamping sebagai
17
tempat perlindungan dari predator dan sinar matahari, tanah tersebut berfungsi
untuk mempertahankan suhu dan kelembaban sehingga keadaan seperti habitat
aslinya yang jauh di dalam tanah tetap terkendali.
Rayap secara umum memakan kayu atau bahan berlignoselulosa. Selulosa
dalam makanan dicerna oleh berbagai protozoa yang sangat banyak jumlahnya
yang hidup dalam saluran pencernaannya. Hubungan ini adalah mutualisme.
Beberapa rayap jenis lain mengandung bakteri dan protozoa pada pencernaannya.
Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
Acacia auriculiformis yang bernama daerah akor atau ori akor penyebaran
alaminya meliputi Australia, Maluku, dan Irian Jaya. Dapat tumbuh pada tanah
yang kurang subur dengan curah hujan tahunan 1.080-2.100 mm. Ketinggian
tempat yang ideal untuk tanaman ini berkisar antara 0-400 m dpl.
Akasia berasal dari Australia, Papua New Guinea dan Indonesia. Tanaman
ini tumbuh pada dataran rendah yang lembab dan panas, curah hujan tahunan ratarata 800-2500 mm dan suhu rata-rata 20-30°C dan sering dijumpai di tepi-tepi
sungai dan pantai. Akasia dibudidayakan luas di daerah tropis pada ketinggian 01000 mdpl, masih tahan terhadap salju ringan, walaupun salju tidak cocok dengan
sebaran alamnya. Akasia dapat tumbuh di tempat asam dan bekas tambang dengan
pH 3 hingga pantai ber-pasir basa dengan pH 8-9. Akasia tidak tahan di tempat
teduh atau angin kencang. Analisa isoenzim memperlihatkan variasi marka
genetik yang sangat mencolok diantara 3 lokasi penyebaran Papua New Guinea,
Queensland dan Northern Territory. Uji coba lapang menunjukkan bahwa Papua
New Guinea produksinya paling tinggi, dari Queensland proporsi batang tunggal
besar. Dari Northern Territory jelek baik pertumbuhan maupun bentuknya. Hibrid
A. Auriculiformis dan A. mangium menunjukkan sifat-sifat yang baik (Joker
2001).
Pada umumnya jenis ini dapat mencapai tinggi 15 m dengan diameter
batang ± 50 cm. Pada waktu muda pertumbuhannya sangat cepat. Sehingga umur
4 tahun saja dapat mencapai tinggi 10 m dengan diameter batang 6,6 cm. Bentuk
batangnya kurang baik dengan percabangan yang rendah dan banyak. Tajuknya
18
lebar agak rapat dengan ukuran panjang daun 150-400 mm dan lebar 100-180
mm. Musim berbuahnya pada bulan Juli-November (New Forest Project 2007).
Kingdom:
Plantae
Divisi
:
Magnoliophyta
Class
:
Magnoliopsida
Ordo
:
Fabales
Family
:
Fabaceae / Leguminosae
Genus
:
Acacia
Species :
A. auriculiformis
A. auriculiformis
memiliki
berat
jenis
rata-rata
0,6 – 0,75 dan
merupakan sumber kayu bakar utama, kayunya yang padat dan nilai energi tinggi
yang mendukungnya. Kayunya menyediakan arang yang berpijar sangat baik
dengan asap sedikit dan tidak mengeluarkan percikan. Nilai energi kayunya
adalah 4.800-4.900kcal/kg (Hanum and Van Der Maesen 1997).
Akasia dapat tumbuh bahkan pada kondisi yang sangat jelek di daerah
tropis. Pertumbuhan awal tinggi, mampu memproduksi nitrogen, toleran terhadap
tanah yang tidak subur, asam, basa bergaram atau tergenang, musim kering, dan
sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis. Mampu bersaing dengan alang-alang
(Imperata cylindrica) dan mengurangi rumput yang menutup seluruh permukaan
lahan. Kayunya sangat baik untuk kayu bakar, arang, pulp dan konstuksi ringan.
Karena penyebaran akarnya tidak terlalu melebar, banyak digunakan dalam
agroforestry dan ditumpangsarikan dengan kacang tanah, padi dan kacangkacangan (Joker 2001).
Download