BAB II HUKUM HARTA PERKAWINAN A. Pengertian Hukum Harta

advertisement
BAB II
HUKUM HARTA PERKAWINAN
A. Pengertian Hukum Harta Perkawinan
Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan memberi pengertian tentang suatu perkawinan. Dari ketentuan
pasal ini dapat diketahui ada dua unsur utama dari definisi perkawinan.
Pertama, perkawinan adalah merupakan ikatan secara lahir dan batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Kedua, tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Unsur pertama berkaitan
dengan bagaimana terciptanya suatu perkawinan dan unsur kedua berkenaan
dengan tujuan perkawinan yang berkaitan dengan kesejahteraan perkawinan.
Unsur kedua dari pengertian perkawinan tersebut di atas pada intinya
berkenaan dengan tujuan perkawinan untuk menciptakan keluarga sejahtera.
Upaya meciptakan keluarga sejahtera ini sesungguhnya berkaitan dengan
fungsi keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Secara sosiologi, dalam setiap masyarakat, keluarga adalah suatu
struktur kelembagaan yang berkembang melalui upaya masyarakat untuk
menyelesaikan tugas-tugas terentu. Menurut Paul B. Horton dan Chester L.
Hunt fungsi keluarga adalah:
1. Fungsi Pengaturan Seksual.
Keluarga adalah lembaga pokok, yang merupakan wahana bagi
masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan
keinginan seksual.
2. Fungsi Reproduksi
Untuk urusan memproduksi anak setiap masyarakat terutama
tergantung pada keluarga.
3. Fungsi Sosialisasi
Semua masyarakat tergantung terutama pada keluarga bagi
sosialisasi anak-anak ke dalam alam dewasa yang dapat
berfungsi dengan baik di dalam masyarakat itu.
4. Fungsi Afeksi
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih
sayang atau rasa dicintai.
5. Fungsi Penentuan Status
Dalam memasuki keluarga seseorang mewarisi suatu rangkaian
status. Seseorang diserahi/menerima beberapa status dalam
keluarga berdasarkan umur, jenis kelamin, urutan kelahiran dan
lain-lain.
6. Fungsi Perlindungan
Dalam setiap masyarakat, keluarga memberikan perlindungan
fisik, ekonomis dan psikologis bagi seluruh anggotannya.
7. Fungsi Ekonomis.
Keluarga merupakan unit ekonomi dasar dalam sebagaian besar
masyarakat primitif. Para anggota keluarga bekerja sama sebagai
tim untuk menghasilkan sesuatu.11
Beranjak dari fungsi keluarga tersebut, maka tidak dapat dihindari
bahwa kesejahteraan keluarga haruslah menjadi prioritas utama agar
11
Paul B. Horton, Chester L. Hunt, Sociology, terjemahan, (Jakarta: Erlangga, 1984) hal.
274-278.
Universitas Sumatera Utara
terpenuhinya kebutuhan materil dan sprituil. Terkait dengan keluarga
sejahtera, pada tahun 1992 diterbitkan undang-undang tentang keluarga
sejahtera. Dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang
Perkembangan
Kependudukan
dan
Pembangunan
Keluarga
Sejahtera
mengatakan:
“Setiap orang sebagai pribadi berhak untuk membentuk keluarga.
Setiap Penduduk sebagai anggota keluarga mempunyai hak untuk membangun
keluarga sejahtera dengan mempunyai anak yang jumlahnya ideal, atau
mengangkat anak atau memberi pendidikan kehidupan berkeluarga kepada
anak-anak serta hal lain guna mewujudkan keluarga sejahtera. Mampu
mengembangkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan
harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir
dan kebahagiaan batin.”
Sejanjutnya menurut Muhammad Djumhana :
“Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual, dan
materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki
hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara anggota, dan antar
keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya, dengan jumlah anak yang
ideal untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin.” 12
Upaya untuk mewujudkan keluarga sejahtera ini menjadi kewajiban
dari suatu keluarga yang dibentuk. Apabila dihubungkan antara ketentuan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk
seterusnya disebut UU Perkawinan, dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera maka tidak dapat dipungkiri untuk kelangsungan hidup
suatu keluarga dibutuhkan harta kekayaan guna mewujudkan keluarga
12
Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 1994), hlm. 111
Universitas Sumatera Utara
sejahtera. Kebutuhan akan harta benda dalam keluarga tidak saja untuk
pengembangan diri pribadi suami dan atau isteri tetapi juga demi kebutuhan
dan kepentingan anak-anak.
Kesejahteraan dalam keluarga merupakan suatu hak yang paling
mendasar atau merupakan hak asasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang
mengatakan :
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya,
keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.”
Berdasarkan pernyataan di atas, terlihat bahwa kekayaan atau harta
benda sangat dibutuhkan dalam suatu perkawinan. Mengingat pentingnya
kekayaan yang harus dipunyai oleh suatu keluarga demi kelangsungan
keluarga itu sen-diri dan demi terwujudnya suatu keluarga sejahtera, maka
keharusan adanya suatu harta perkawinan merupakan hal yang amat
diperlukan.
Masalah harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar
pengaruhnya dalam kehidupan suami istri, utamanya apabila mereka bercerai,
sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang
penting dalam kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan
mulus.
Untuk itulah, dalam Bab VII Pasal 35 UU Perkawinan diatur tentang
Harta Benda Dalam Perkawinan. Ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan terdiri
dari dua ayat, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
Ayat (1) menentukan : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”, dan
Ayat (2) menentukan : “Harta bawaan dari masing-masing suami dan
istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain”.
Apabila dicermati secara seksama, isi dari ketentuan Pasal 35 UU
Perkawinan tersebut di atas selaras dengan ketentuan Pasal 36 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan pasal yang disebutkan terakhir di dalamnya ditemukan
ketentuan tentang hak milik pribadi dan hak milik bersama sebagai hak asasi
manusia. Mengingat bahwa hak milik baik secara pribadi maupun secara
bersama-sama merupakan hak asasi maka perlu dipertegas luas lingkup hak
milik pribadi dan hak milik bersama dalam suatu perkawinan. Karena
perkawinan sesungguhnya adalah berkaitan dengan hak milik pribadi suami
atau isteri, juga berkaitan dengan hak milik bersama antara suami dan isteri
selama dalam perkawinan.
Itulah sebabnya, ayat (1) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang
harta bersama selama perkawinan dan ayat (2) Pasal 35 UU Perkawinan
mengatur tentang harta pribadi dari masing-masing suami atau isteri.
Tegasnya hak milik pribadi sebagai hak asasi dan hak milik bersama sebagai
hak asasi harus diatur secara tegas tentang luas ruang lingkupnya agar tidak
terjadi kerancuan dan benturan hak milik antara keduanya.
Universitas Sumatera Utara
Benturan hak milik pribadi dengan hak milik bersama perkawinan
kelihatannya dapat saja terjadi sejak awal terjadinya perkawinan sampai
terjadinya perpecahan perkawinan baik karena kematian maupun karena
perceraian. Jadi konflik benturan antara hak milik pribadi dan hak milik
bersama dalam perkawinan dapat terjadi setiap saat.
Pada kenyataannya pembahasan mengenai harta bersama dalam
perkawinan ini seringnya tidak menjadi suatu hal yang dianggap penting.
Mungkin orang berpikir bahwa pembagian harta perkawinan bukan
merupakan suatu hal yang penting seperti yang dikatakan oleh G. W. Paton
dalam bukunya “A Textbook of Jurisprudence” (1946) yang disadur oleh J.
Satrio : “In marriage, so long as love persist, there is a little need of law to
rule the relation between husband and wife – but the solicitor comes in
through the door as love flies out of the window.” 13
Secara harfiah, kalimat di atas dapat diartikan bahwa selama cinta
masih ada, hanya dibutuhkan sedikit hukum untuk menjalankan hubungan
antara suami dan istri, tapi sang pengacara datang lewat pintu saat cinta itu
terbang melalui jendela. Dengan kalimat lain, selama perkawinan itu masih
berlangsung, maka Hukum Harta Perkawinan tidak diperlukan. Pembatasan
mengenai apa yang menjadi milik suami, apa yang menjadi milik istri, dan apa
yang menjadi milik mereka bersama belum menarik perhatian mereka. Namun
pada saat akan bercerai, barulah kedua belah pihak merasa bahwa Hukum
13
J. Satrio, Loc.Cit
Universitas Sumatera Utara
Harta Perkawinan itu merupakan hal yang penting. Sebagaimana ditulis oleh
Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Jafizham, yang mengatakan :
“Justru campuran kekayaan inilah yang sering mengakibatkan
kesulitan dan maka dari itu membutuhkan peraturan khusus untuk mengatasi
kesulitan itu.” 14
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pengaturan tentang harta benda
dalam perkawinan diatur di dalam Pasal 35 UU Perkawinan. Dari bunyinya
ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tersebut sesungguhnya
telah terdapat ketentuan hukum yang mengatur tentang harta dalam
perkawinan. Kendatipun telah terdapat ketentuan hukum mengenai harta
dalam perkawinan, namun seringkali Hukum Harta Perkawinan itu kurang
mendapat perhatian, bahkan dari para praktisi hukum yang semestinya
memperhatikan hal ini secara serius.
Perlu diperhatikan tentang apa yang dimaksud dengan hukum harta
perkawinan. J. Satrio dalam bukunya menyebutkan : “Hukum Harta
Perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap harta kekayaan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan.” 15
Selain penggunaan istilah “Hukum Harta Perkawinan”, juga sering digunakan
istilah “Hukum Harta Benda Perkawinan” untuk menyebutkan peraturan yang
mengatur tentang harta kekayaan suami-isteri.
14
T.Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam.
(Medan: CV. Percetakan Mestika, 1977), hal. 170.
15
Ibid., hal. 27
Universitas Sumatera Utara
Meminjam istilah yang dikemukakan oleh J. Satrio dapat diketahui
bahwa hukum harta perkawinan adalah hukum yang mengatur tentang harta
benda perkawinan akibat adanya perkawinan, yaitu berkaitan dengan harta
bersama maupun harta pribadi atau harta bawaan masing-masing suami isteri.
J. Satrio menyebutkan bahwa Hukum Harta Perkawinan merupakan
terjemahan dari kata “huwelijksvermogensrecht”, sedangkan Hukum Harta
Benda Perkawinan adalah terjemahan dari kata “huwelijksgoderenrecht”. 16
Lebih lanjut J. Satrio menjelaskan bahwa perkawinan adalah unsur pokok
daripada Hukum Keluarga, maka terhadap harta perkawainan lebih tepat
apabila dipergunakan istilah “Hukum Harta Perkawinan” karena antara
Hukum Harta Perkawinan dengan Hukum Keluarga memiliki kaitan yang erat.
Istilah harta perkawinan yang dipergunakan J. Satrio ini sama dengan
istilah yang dipergunakan Subekti untuk menjelaskan tentang harta benda
perkawinan dimana beliau menggunakan istilah hukum harta kawin dengan
menterjemahkan istilah “algehele gemeenschap” yang ditemui di dalam
KUHPerdata. Kelihatannya J. Satrio dan Subekti menganut istilah hukum
harta perkawinan sama dengan istilah yang ditemui di dalam judul Bab XIII
Kompilasi Hukum Islam yaitu Harta Kekayaan Dalam Perkawinan. Dan
istilah untuk hal yang sama, berbeda dengan istilah yang ditentukan di dalam
UU Perkawinan yang menggunakan istilah Harta Benda Dalam Perkawinan.
Terkait istilah “Hukum Harta Perkawinan” dan “Hukum Harta Benda
Perkawinan” ini, penggunaan istilah “Hukum Harta Perkawinan” yang
16
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
digunakan oleh J. Satrio dirasa kurang tepat. Karena apabila menilik pada UU
Perkawinan yang dijadikan acuan mengenai harta perkawinan ini, maka istilah
yang digunakan adalah “Harta Benda” seperti bunyi Bab VII yang
menyebutkan ”Harta Benda Dalam Perkawinan” dan bukan “Harta Dalam
Perkawinan”. Sehingga dengan merujuk pada UU Perkawinan maka adalah
lebih tepat penggunaan istilah “Hukum Harta Benda Perkawinan” dari pada
istilah “Hukum Harta Perkawinan”.
Pengertian hukum harta benda perkawinan adalah pengertian otentik
berdasarkan undang-undang, dan pengertian inilah yang mengikat secara
yuridis, sedangkan pendapat J. Satrio merupakan pendapat sarjana tidak
mempunyai daya ikat, terkecuali pendapat itu diterapkan atau digunakan di
dalam putusan pengadilan. Pada sisi lain bila istilah yang ditentukan di dalam
Bab XIII Kompilasi Hukum Islam di konfrontir dengan ketentuan yang
termuat di dalam Bab VII UU Perkawinan maka yang harus dimenangkan
adalah ketentuan yang termuat di dalam UU Perkawinan bukan yang
ditentukan di dalam KHI, karena secara hierarki, undang-undang lebih tinggi
kedudukannya daripada Instruksi Presiden sebagai landasan berlakunya KHI.
Istilah harta benda dalam perkawinan yang dipergunakan di dalam
UU Perkawinan sesungguhnya mempertegas pemikiran tentang pembedaan
hukum benda dengan hukum orang yang dianut di dalam KUHPerdata. Karena
aturan-aturan hukum tentang benda berkaitan dengan hak kebendaan,
sedangkan perkawinan merupakan hukum pribadi atau hukum orang. Hal ini
diperkuat dengan cara memperoleh hak milik melalui pewarisan dimasukkan
Universitas Sumatera Utara
dalam ketentuan hukum benda bukan dalam hukum orang atau hukum
keluarga. Jadi titik tekan pembahasannya adalah benda sebagai objek hukum.
Atau dengan kata lain berkaitan dengan cara memperoleh atau peralihan hak
milik atas benda yang ada dalam perkawinan.
B. Jenis-Jenis Harta Perkawinan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas bahwa dalam suatu
keluarga diperlukan harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan demi
kelangsungan suatu perkawinan yang dibentuk. Kebutuhan akan harta
kekayaan dalam suatu perkawinan merupakan salah satu usaha untuk
menciptakan suatu keluarga yang sejahtera lahir dan batin. Akan sulit
dimengerti bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam
perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya harta kekayaan.
Ilmu hukum perdata mengenal adanya pemilikan atas suatu benda
secara individu atau pribadi dan pemilikan benda secara bersama-sama antar
para individu. Pemilikan benda secara individu/pribadi disebut dengan hak
milik pribadi, sedangkan pemilikan atas suatu benda secara bersama-sama
disebut dengan istilah hak milik bersama.
Hak milik bersama atas suatu benda dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok, yaitu:
a. Hak milik bersama terikat (geboden mede-eigendom). Di sini
tiap-tiap bagian benda diliputi oleh peraturan yang berlaku bagi
seluruh kumpulan benda.
Universitas Sumatera Utara
b. Hak milik bersama bebas (vrije mede- eigendom). Dalam hal ini
ikatan hukum hanya terdapat dalam turut serta memiliki. Di sini
masing-masing mempunyai bagian yang tetap dari benda itu
umpamanya ½, 1/3 dan sebagiannya. 17
Meninjau dari dua golongan hak milik bersama atas suatu benda
tersebut, harta bersama perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal
35 ayat (1) UU Perkawinan termasuk dalam golongan atau kelompok harta
bersama terikat (geboden mede-eigendom), sama halnya dengan hak milik
bersama pesero dalam Perseroan Terbatas. Pengelompokan harta benda
bersama sebagai hak milik bersama terikat karena semua benda yang
diperoleh selama perkawinan diliputi oleh peraturan yang berlaku bagi
sekumpulan benda. Peraturan yang berlaku bagi harta benda bersama selama
perkawinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 UU
Perkawinan, dan khusus bagi orang yang beragama Islam ketentuan peraturan
yang berlaku atas harta bersama ditentukan di dalam Pasal 85 sampai dengan
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.
Demi mempertahankan hak atas harta bersama apabila perkawinan
putus terdapat dua pendapat dalam UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal
35 disebutkan apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur
menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37 UU Perkawinan secara eksplisit
menyebutkan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing.” Pada penjelasan Pasal 37
17
Ahmad Ichsan, Hukum Perdata, I A, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa 1969), hal. 156-
157.
Universitas Sumatera Utara
dijelaskan yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum
agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Penjelasan Pasal 35 dengan Pasal 37 UU Perkawinan ini apabila
dipersandingkan satu sama lain membedakan antara putusnya perkawinan
dalam penjelasan Pasal 35 dengan putusnya perkawinan dalam Pasal 37 UU
Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 35 putusnya perkawinan diartikan dalam
arti yang umum, sedangkan putusnya perkawinan dalam Pasal 37 UU
Perkawinan adalah putusnya perkawinan secara khusus yaitu karena
perceraian. Jadi apabila kedua hal tersebut dipersatukan terlihat suatu
kontradiktif di dalamnya. Namun kalau dilihat dari isi norma hukum yang
terkandung di dalam Pasal 35 dan Pasal 37 UU Perkawinan, dapat dipahami
apa yang dimaksud oleh pembuat undang-undang mengatur demikian, kaidah
hukum yang terkandung di dalam Pasal 35 UU Perkawinan bersifat umum.
Dan secara praktis dapat saja perkawinan itu putus karena kematian dan atau
karena perceraian atau putusnya perkawinan karena ketidakhadiran salah satu
pihak dan keberadaannya tidak diketahui biasanya, hal demikian ini putusnya
pekawinan karena keputusan pengadilan. Sedangkan ditentukannya secara
khusus tentang harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing
karena dalam praktek orang yang melaksanakan perkawinan dapat saja
berdasarkan hukum adat, hukum perdata BW atau HOCI, atau hukum Islam di
mana masing-masing ketentuan hukumnya berbeda satu dengan yang lain, dan
mungkin juga tidak mengatur tentang harta bersama karena adanya perceraian.
Universitas Sumatera Utara
Sudarsono berpendapat dan memberikan usulannya atas polemik
tersebut :
“Saya berkeyakinan bahwa Pasal 37 itu merupakan suatu kontradiksi
dalam struktur Hukum Perkawinan Nasional ini. Sambil lalu saya tambahkan
bahwa penjelasan Pasal 35 sekali-kali tidak berguna dengan adanya pasal 37
serta penjelasannya. Sebaliknya menurut hemat saya ialah mengatur hal
tersebut di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sendiri. Untuk itu
hendaklah Pasal 37 UU No, 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diubah menjadi
: Jika perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama dibagi dua
antara bekas suami isteri.” 18
Ditentukannya harta bersama selama perkawinan di dalam Pasal 35
ayat (1) UU Perkawinan adalah sebagai bentuk persamaan hak laki-laki
dengan hak perempuan. Dalam sejarah diketahui bahwa hak atas benda atau
kekayaan didominasi oleh laki-laki. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis
oleh Yahya Harahap :
“Hal ini sudah dikenal dan dijumpai dalam sejarah masyarakat
Yunani dan Romawi, tetapi juga mewarnai pandangan Yahudi, yang
melembagakan kebiasaan Levirate. Anak laki-laki bukan sekedar mewarisi
harta kekayaan orang tua. Bahkan meliputi hak untuk mewarisi janda saudara
laki-laki, karena janda sebagai wanita tergolong sebagai warisan dari saudara
laki-laki, oleh karena itu, secara paksa dapat dikawini saudara laki-laki
mendiang suami, sekiranya dia tidak ingin mengawini, berhak
mengawinkannya kepada laki-laki di luar keluarga, dan untuk itu ia mendapat
imbalan mahar dari laki-laki dimaksud.” 19
Ada perbedaan kriteria harta bersama dalam KUHPerdata dengan
yang ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, perbedaan kriteria
ini dipengaruhi oleh pandangan hidup antara Barat (individualistis/liberal) dan
Timur (kekeluargaan) menemukan refleksinya di berbagai bidang kehidupan
hukum perdata.
18
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 128.
M.Yahya Harahap I, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, (Bandung :
PT. Citra Adytia Bakti, 1997), hal. 116-117
19
Universitas Sumatera Utara
Hukum harta kawin menurut BW yang berasaskan “algele
gemeenschap” (persatuan atau percampuran harta secara bulat) yang
nampaknya sepintas lalu sangat ideal bagai sepasang manusia yang telah
berikrar sehidup semati, sama-sama kaya dan sama-sama melarat, harus kita
lihat sebagai suatu repleksi dari pandangan hidup individualistis/liberal, di
mana anak yang sudah dewasa atau kawin sudah harus lepas sama sekali dari
keluarga atau famili, sedangkan hukum harta kawin menurut hukum adat yang
berasaskan perbedaan antara barang asal dan gono gini, merupakan refleksi
pula dari alam pikiran kekeluargaan di mana anak, meskipun sudah kawin,
tidak atau belum lepas dari pengawasan atau campur tangan orang
tua/keluarganya. 20
Kompilasi Hukum Islam juga dibahas mengenai jenis-jenis harta
kekayaan perkawinan dalam Islam. Seperti yang tercantum dalam Pasal 86
yang menyebutkan bahwa :
“(1). Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan
istri karena perkawinan;
(2). Harta Istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh
olehnya.”
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum
Islam tidak mengenal adanya persatuan harta kekayaan kawin. Harta benda
milik masing-masing pihak pada waktu perjanjian dimulai (berjalan) tetap
menjadi milik masing-masing suami maupun isteri. Demikian juga dengan
segala barang-barang mereka masing-masing yang didapat atau diperoleh
selama perkawinan berlangsung, tidak dicampur melainkan terpisah satu sama
lain. Artinya atas harta milik suami, si isteri tidak mempunyak hak, dan
terhadap barang-barang milik isteri, suami juga tidak mempunyai hak. Akan
tetapi, bukan berarti suami tidak diperbolehkan memakai barang-barang yang
20
R.Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : Prandya Paramita, 1985), hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
merupakan hak milik isteri ataupun sebaliknya. Pemakaian atas barang-barang
ini berdasarkan atas perjanjian pinjam-meminjam yang dibuat secara diamdiam antara suami dan isteri.
Menurut Abdul Manan, di dalam kitab-kitab fikih tradisional, harta
bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami isteri
selama mereka diikat oleh tali perkawinan. Atau dengan kata lain harta
bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami
isteri sehingga terjadi pencampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak
dapat dibeda-bedakan lagi. Dari segi istilah yang dimaksud dengan syirkah
adalah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh
kesadaran untuk meraih keuntungan. Ini sesuai dengan yang tertera di dalam
Al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 32 di mana dikemukakan bahwa bagi semua
laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita ada
bagian dari apa yang mereka usahakan pula. 21
Terjadi perdebatan di antara para pakar hukum Islam mengenai hal
tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan
bahwa agama Islam tidak
mengatur tentang harta bersama dalam Al-Qur’an, oleh karena itu masalah
harta bersama ini sepenuhnya berada di tangan suami isteri untuk
mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono, dan
Andoerraoef serta diikuti oleh murid-muridnya. Pengaturan harta bersama di
dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut menurut Hazairin tergolong hak
otonomi setiap masyarakat Islam untuk mengaturnya secara syura bainahum
21
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana
Prenada Media Grup, 2006), hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
(Surah 42 : 38). Argumentasi Hazairin tentang hal ini dapat dikutip sebagai
berikut:
“Qur’an tidak mengandung ketentuan tentang harta bersama
dalam perkawinan. Q.4 : 32 hanya menegaskan bahwa perempuan dan lakilaki sama-sama berhak untuk berusaha dan untuk memperoleh rezeki dari
usahanya masing-masing, sedangkan laki-laki dan perempuan dalam ayat
tersebut tidak dapat semata-mata diartikan sebagai suami isteri. Ringkasnya
laki-laki dan setiap perempuan dalam ayat itu dipakai dalam arti setiap lakilaki dan setiap perempuan atau dalam arti setiap orang. Kesimpulan ialah
bahwa Qur’an tidak mengatur lembaga harta bersama dalam perkawinan, yaitu
bahwa setiap sesuatu yang diperoleh oleh suami atau isteri secara usaha
masing-masing atau secara usaha bersama menjadi harta bersama dalam
perkawinan. Segala sesuatu yang tidak diatur di dalam Al-Qur’an dan juga
tidak diatur oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pelaksana lebih lanjut
mengenai sesuatu Al-Qur’an yang belum cukup jelas bagi umat, menjadi hak
otonomi setiap masyarakat Islam untuk mengaturnya secara syura bainahum
(Q. 42: 38). Maka Pasal 35 dan Pasal 36 telah dapat saya pandang sebagai
permulaan pelaksanaan hak otonomi tersebut.” 22
Pakar hukum Islam lainnya mengatakan bahwa hal ini sudah pasti
diatur di dalam agama Islam, jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maka
ketentuan ini diatur di dalam Al-Hadist yang juga merupakan sumber hukum
Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh T. Jafizham.
Berdasarkan uraian di atas tentang pengertian hukum harta benda
perkawinan, pengaturan hukum harta benda perkawinan yang ditentukan di
dalam UU Perkawinan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu
kelompok perjanjian kawin dan kelompok harta bersama, harta pribadi, dan
kedudukan atau status harta perkawinan akibat putusnya perkawinan dan
perjanjian
perkawinan.
Pengaturan
tentang
perjanjian
kawin
adalah
pengaturan tentang harta benda yang akan terjadi setelah perkawinan. Atau
22
Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta :
Tintramas, 1986), hal. 28
Universitas Sumatera Utara
dengan kalimat lain, pengaturan tentang perjanjian kawin adalah pengaturan
tentang kehendak suami atau isteri berkaitan dengan harta benda perkawinan
yang akan ada kemudian sebelum perkawinan dilaksanakan.
Pada penjelasan di atas telah dipaparkan mengenai bunyi dari Pasal
35 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan yaitu bahwa harta benda dalam
perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang
menjadi harta bersama, harta bawaan masing-masing suami istri, dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang
menjadi hak masing-masing suami dan istri dan berada di bawah penguasaan
masing-masing pihak, kecuali tidak ada ketentuan lain. Ketentuan lain yang
dimaksud adalah perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa UU Perkawinan
membagi harta perkawinan menjadi tiga bagian, yakni harta bersama, harta
bawaan, dan harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan.
Pakar hukum memiliki pendapat mereka masing-masing, ada yang
membagi harta perkawinan hanya menjadi dua bagian dan ada yang membagi
menjadi empat bagian. Pakar hukum yang membagi menjadi dua bagian, di
antaranya M. Yahya Harahap, yang mengklasifikasikan harta perkawinan
menjadi 23 :
1. Harta bersama.
2. Harta masing-masing suami istri.
23
M. Yahya Harahap II, Hukum Perkawinan Nasional (Medan : CV. ZAHIR Trading Co,
1975), hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut M. Yahya menjelaskan bahwa yang disebut harta
bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami istri.
Asas harta bersama ini pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh
selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya
menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat. Maka
dalam arti yang umum, harta bersama itu ialah barang-barang yang diperoleh
selama perkawinan di mana suami istri berusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarga. Sedangkan harta bawaan atau harta masing-masing suami istri
yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai harta
pribadi ini, suami istri masing-masing dapat melakukan perbuatan hukum
tanpa persetujuan bersama terlebih dahulu.
Abdulkadir Muhammad membagi harta-harta perkawinan menjadi 3
(tiga), yaitu 24 :
1. Harta bersama, yaitu harta benda yang dikuasai bersama oleh suami dan
istri dan diperoleh selama perkawinan. Suami maupun istri dapat bertindak
terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak.
Apabila perceraian terjadi, maka harta bersama ini akan dibagi
berdasarkan hukum yang telah berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu
hukum Agama, hukum Adat, hukum Perdata, dan lain-lain. Ketentuan
semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti dari penguasaan harta
24
Abdulkadir Muhammad I, Hukum Perdata Indonesia (Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 2000), hal.102.
Universitas Sumatera Utara
bersama, karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, yang akan
mengecilkan hak istri atas harta tersebut.
2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami
dan istri ketika terjadi perkawinan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing
pemiliknya, yaitu suami atau istri, dengan tidak boleh diganggu gugat oleh
pihak lain kecuali suami dan istri menentukan lain dengan membuat
perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.
Demikian pula halnya apabila terjadi perceraian. Maka harta ini dikuasai
dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali ada perjanjian kawin
yang menentukan lain.
3. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami
dan istri sebagai hadiah atau warisan. Harta perolehan ini pada dasarnya
sama seperti harta bawaan. Masing-masing suami istri berhak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya. Apabila
pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan membuat
perjanjian kawin, maka penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai
dengan isi perjanjian. Demikian pula halnya apabila terjadi perceraian,
harta perolehan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pihak kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Abdul Manan berpendapat bahwa apa yang disebut dalam Pasal 3537 UU Perkawinan sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di
Indonesia, di mana prinsip bahwa masing-masing suami istri berhak
menguasai harta bendanya sendiri. Akan tetapi dalam hukum adat perlu
Universitas Sumatera Utara
adanya komunikasi yang terbuka dalam pengelolaan dan penguasaan harta
pribadi tersebut sehingga keabsahan menguasai harta pribadi masing-masing
pihak itu jangan sampai merusak tatanan kedudukan suami sebagai kepala
keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
Mengacu kepada dua ketentuan tersebut, maka beliau membagi
empat macam harta perkawinan, yaitu 25 :
1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum perkawinan
maupun setelah melangsungkan perkawinan.
2. Harta yang diperoleh dengan keringat sendiri sebelum mereka
menjadi suami istri.
3. Harta dihasilkan bersama oleh suami istri selama berlangsungnya
perkawinan.
4. Harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan
dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami istri selama
perkawinan.
Ketiga pendapat sarjana di atas memiliki pendapat yang berbeda
mengenai pembagian harta benda dalam perkawinan. Namun demikian, tidak
ada yang salah dari pendapat-pendapat tersebut apabila merujuk pada Pasal 35
Undang-Undang Perkawinan karena pada dasarnya doktrin-doktrin para
sarjana mengenai pembagian harta benda perkawinan ini berpedoman kepada
UU Perkawinan.
C. Pengertian Hadiah-Hadiah Dalam Perkawinan
25
Abdul Manan, Op.Cit ., hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
UU Perkawinan Pasal 35 yang membahas mengenai harta benda
perkawinan, tidak secara rinci menyebutkan mengenai jenis-jenis hadiah yang
termasuk ke dalam harta benda perkawinan. Hanya disebutkan bahwa harta
yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah atau warisan,
sedangkan yang termasuk ke dalam ruang lingkup hadiah atau warisan
tersebut tidak dijelaskan baik dalam pasal tersebut maupun dalam penjelasan
pasal.
Dikarenakan tidak adanya penjelasan mengenai pengertian hadiah
dalam perkawinan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada, maka
pengertian atau definisi daripada hadiah dalam perkawinan terlebih dahulu
dirujuk pada arti hadiah dalam kamus bahasa Indonesia yaitu :
hadiah : 1 pemberian sebagai penghargaan, penghormatan, atau
kenang-kenangan.
2
ganjaran
karena
memenangkan
suatu
pertandingan. 3 (perpisahan) tanda mata, cendera mata 26.
Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan adalah
Perkawinan : pernikahan ; hal-hal yang berhubungan dengan
kawin 27.
Abdul Manan mengutip Sayyid Sabiq dalam bukunya menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan hadiah dalam perkawinan adalah pemberian
yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi imbalan 28.
26
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta :
MODERN ENGLISH PRESS, 1995), hal. 498
27
Ibid., hal. 676.
28
Abdul Manan, Op. Cit. Hal. 131
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertian hadiah menurut Sayyid Sabiq tersebut, dapat
dipahami bahwa hadiah tidak sama dengan sedekah, karena si penerima
sedekah secara psikologis tidak terbebani moralnya untuk memberikan
imbalan kepada si pemberi sedekah sebagai balasan atas sedekah yang
diterimanya. Sedangkan si penerima hadiah secara psikologis memiliki beban
moral untuk memberikan imbalan kepada si pemberi hadiah sebagai balasan
atas hadiah yang diterimanya.
Terlepas dari perbedaan hadiah dengan sedekah, berdasarkan
pengertian menurut kamus Bahasa Indonesia dan doktrin Sayyid Sabiq yang
dikutip oleh Abdul Manan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang
dimaksud dengan hadiah-hadiah dalam perkawinan adalah :
1. Harta benda yang diberikan sebagai penghargaan, penghormatan,
kenang-kenangan oleh seseorang atau suatu badan kepada suami
dan/atau istri dalam perkawinan.
2. Harta benda yang suami dan/atau istri dalam perkawinan sebagai
ganjaran karena memenangkan suatu pertandingan.
3. Harta benda yang diberikan sebagai cendera mata atau tanda
mata oleh seseorang atau suatu badan kepada suami dan/atau istri
dalam perkawinan.
D. Kedudukan Hukum Dari Hadiah-Hadiah Dalam Perkawinan
Pasal 35 UU Perkawinan berbunyi sebagai berikut :
(1). Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
Universitas Sumatera Utara
(2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Mengacu pada bunyi Pasal 35 UU Perkawinan di atas, maka hadiah
bukanlah merupakan harta benda yang menjadi harta bersama, dan berada di
bawah penguasaan masing-masing suami istri yang memperolehnya sepanjang
kedua belah pihak tidak menentukan lain.
Lebih lanjut Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan menentukan bahwa
harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Merujuk pada bunyi dari ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 ayat (2) UU
Perkawinan maka tidak dapat ditafsirkan lain kecuali bahwa hak penuh
masing-masing suami dan istri untuk melakukan perbuatan hukum adalah
hanya sebatas terhadap harta bawaan masing-masing, dan tidak termasuk
hadiah atau warisan yang diperoleh dalam perkawinan. Dikatakan demikian
karena, Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan membedakan harta bawaan dengan
hadiah atau warisan yang diperoleh dalam perkawinan, sebab dalam Pasal 35
ayat (2) tersebut terdapat frase “dan” sebagai penghubung kata “harta bawaan”
dengan harta benda berupa “hadiah” dan “warisan”.
Uraian di atas sejalan dengan doktrin yang dikemukakan oleh M.
Yahya Harahap yang menyebutkan sebagai berikut bahwa apa yang diatur
oleh ayat (2) Pasal 35 dihubungkan dengan ayat (2) Pasal 36 UU Perkawinan,
Universitas Sumatera Utara
nampaknya mengikuti aliran yang terdapat dalam hukum adat tersebut.
Adanya perbedaan antara harta bawaan dan pusaka warisan yang diperoleh
salah satu pihak dan harta yang diperoleh karena hibah atau berdasar usaha
sendiri pada lain pihak. Akan tetapi barang siapa yang dengan teliti membaca
ayat (2) Pasal 36 akan melihat UU Perkawinan ini seolah-olah membuat
perbedaan antara barang-barang milik masing-masing pribadi dalam
pengertian harta bawaan dari masing-masing suami suami isteri dan harta
benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan sesudah perkawinan.
Barang-barang ini berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Ayat (2) Pasal 36 membuat pengkhususan, yaitu mengenai harta
bawaan, masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Apabila dipertegas,
maka mengenai harta bawaan masing-masing para pihak mempunyai hak
sepenuhnya dan hak untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bawaan
tersebut.
Ini merupakan hal yang mengherankan. Karena pada ayat (2) Pasal
35 sudah dijelaskan tentang apa yang disebut harta benda kekayaan masingmasing suami dan isteri, yaitu harta bawaan masing-masing suami dan isteri
dan harta yang diperoleh sesudah perkawinan termasuk harta penghibahan,
hadiah, dan harta warisan. Dan semua harta ini, baik harta bawaan, hibah,
hadiah dan perolehan karena warisan berada dibawah “penguasaan masingmasing”;
Universitas Sumatera Utara
Ayat (2) Pasal 36 memiliki perbedaan, bunyinya hanya menyebut
atas harta bawaan, masing-masing suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya dan hak untuk melakukan segala perbuatan hukum atas harta
bendanya.
Maka atas dasar ketentuan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan
yang kurang jelas mengenai hubungan kedua ketentuan di atas. Ketidakjelasan
itu menyangkut harta benda yang diperoleh secara pribadi di dalam
perkawinan, seperti mendapat hibah, hadiah, atau warisan. Sebab mengenai
harta bawaan sudah tidak ada keraguan lagi, yaitu masing-masing mempunyai
hak mutlak yang penuh dan bebas bertindak berbuat apa saja pun terhadap
harta bawaan itu, sepanjang perbuatan yang dibenarkan hukum. Tetapi
bagaimana nasib harta milik pribadi yang lain tersebut (hibah, hadiah,
warisan) berada di bawah penguasaan masing-masing. Akan tetapi apabila
mengacu pada ayat (2) Pasal 36, hanya harta bawaan saja yang dikuasai dan
dimiliki sepenuhnya. Dalam hal ini rasanya terjadi teka teki yang sulit
dipecahkan. Sebab hibah, hadiah atau warisan itu tidak dapat digolongkan ke
dalam harta benda bersama. Karena harta benda bersama sudah diatur secara
terpisah pada ayat (1) Pasal 35. Sedang hibah, hadiah, dan warisan
dikategorikan sebagai milik masing-masing yang berada dibawah penguasaan
masing-masing seperti yang ditentukan pada ayat (2). 29
29
M. Yahya Harahap II, Op.Cit., hal. 129.
Universitas Sumatera Utara
Doktrin Hilman Hadikusuma dan Abdul Manan memiliki pandangan
yang berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh M. Yahya Harahap di
atas.
Hilman Hadikusuma berpendapat sebagai berikut :
“Menurut UU no. 1 Tahun 1974 harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri
masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan
masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1)
dan ayat (2)).”30
Abdul Manan memiliki pendapat yang sama dengan Hilman
Hadikusuma. Beliau mengemukakan bahwa :
“Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menentukan
terhadap harta benda tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk
menjualnya, dihibahkan, atau mengagunkan”. 31
Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa mengenai wujud dari harta
pribadi itu sejalan dengan apa yang telah dijelaskan dalam Pasal 35 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ketentuan ini
sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan
(hewelijke voorwaarden) sebelum akad nikah dilaksanakan. Adapun harta
30
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung : CV. Mandar Maju,
1990), hal. 122.
31
Abdul Manan, Op.Cit., hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
yang menjadi milik pribadi suami istri adalah (1) harta bawaan, yaitu harta
yang sudah ada sebelum perkawinan dilaksanakan, (2) harta yang diperoleh
masing-masing selama perkawinan tetapi terbatas pada perolehan yang
berbentuk hadiah, hibah, dan warisan. Di luar jenis ini, semua harta langsung
masuk menjadi harta bersama dalam perkawinan. 32
Baik doktrin Hilman Hadikusuma maupun doktrin Abdul Manan
tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam yang berbunyi sebagai berikut :
“(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
(2) suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah, atau
lainnya.”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan
hukum dari hadiah-hadiah dalam perkawinan adalah sama dengan kedudukan
hukum harta bawaan yaitu berada di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perkawinan, dan pemilik
masing-masing dari harta bawaan tersebut yakni suami maupun istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing tersebut.
32
Ibid, hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
Download