KEDUDUKAN ALAT BUKTI SHORT MESSAGE SERVICE (SMS

advertisement
KEDUDUKAN ALAT BUKTI SHORT MESSAGE SERVICE (SMS)
DALAM PEMBUKTIAN KASUS TINDAK PIDANA PERJUDIAN
(Tinjauan Yuridis Putusan No.247/PID.B/2013/PN.JKT.TIM)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
DANIEL VINCENT
E1A009123
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena dengan kasih karunia
dan berkatNya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul “KEDUDUKAN ALAT BUKTI SHORT MESSAGE SERVICE
(SMS) DALAM PEMBUKTIAN KASUS TINDAK PIDANA PERJUDIAN
(Tinjauan Yuridis Putusan No.247/PID.B/2013/PN.JKT.TIM)” tersebut dengan
baik.
Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai pihak,
oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I saya,
atas kesabaran beliau dalam membimbing serta memberikan masukan,
dorongan dan motivasi kepada penulis.
3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II saya,
yang telah memberikan saran, bimbingan, motivasi dan dorongan kepada
penulis selama proses penyelesaian penyusunan skripsi ini.
4. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Penilai Skripsi, yang telah memberikan
saran-saran serta evaluasi yang sangat berguna bagi penulis terkait dengan
penyusunan skripsi ini.
5. Kedua orang tua penulis (M.Silitonga dan M.br.Sianturi), serta kakak dan adik
penulis (Mirna Melly Olivia dan Dina Nancy) yang telah memberikan motivasi
serta dukungan doa dan materi selama ini.
iv
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, adanya saran yang membangun bagi penulis adalah hal yang
berarti guna penyempurnaan dalam penulisan skripsi ini untuk menjadi lebih baik.
Demikian, harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Terima kasih.
Purwokerto,
Februari 2014
Penulis
v
ABSTRAK
Pembuktian memegang peranan yang sangat penting, sebab melalui proses
pembuktianlah dapat ditentukan apakah seorang terdakwa benar telah melakukan
tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum, dan apakah terdakwa dapat
dipersalahkan atas perbuatan yang didakwakan tersebut. Short Message Service
(SMS) sebagai alat bukti memang tidak diatur secara jelas di dalam KUHAP, tetapi
pada Pasal 187 poin d dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan print-out SMS
sebagai sebuah “Surat Lain”. Hasil print-out SMS dapat di jadikan sebagai alat bukti
petunjuk apabila telah ada isyarat tentang suatu kejadian dimana isi dari SMS tersebut
mempunyai persesuaian antara kejadian yang satu dengan yang lain. Pasal 5 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
menjelaskan bahwa Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik dan atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah yang merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Adapun
tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaturan alat bukti SMS
dalam tindak pidana perjudian.
Dalam penelitian ini, SMS digunakan sebagai alat bukti petunjuk dalam
pembuktian tindak pidana perjudian judi togel. Berdasarkan hasil penelitian
terhadap
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Timur
No.247/PID.B/2013/PN.JKT.TIM menunjukkan bahwa perbuatan terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur Pasal 303 ayat (1) Ke2 KUHP. Oleh karena itu hakim menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap
terdakwa berupa pidana penjara selama 1 tahun.
Kata kunci : Pembuktian, Short Message Service, Tindak Pidana Perjudian
vi
ABSTRACT
Authentication have an important part, because through authentication
process, it can identify, are the defendant truthly doing the criminal action that
prosecutor accusated. is the defendant can be blame for an action that the
prosecutor accusated. Short Message Service (SMS) as evidence indeed not
regulated clearly in KUHAP, but in article 187 letter (d) can be used as reference
of print-out SMS as a “another letter”. Print-out SMS output can be a clue
evidence when a sign between sms content and the accident there’s have a
concurrence. Article 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 About Information
and Electronic Transaction explain about electronic information and or
electronic document and or print-out is a valid evidence that come from
expansion legal evidence concurrence to criminal procedur law in Indonesia. The
purpose in this research to know about regulation SMS as evidence in criminal
act of gambling.
In this research, SMS used as clue evidence in authentication criminal act
of gambling judi togel. According to this research towards the juridical review of
East Jakarta adjudication No.247/PID.B/2013/PN.JKT.TIM that show up about
the defendant action has proved certainly and convince that comply substance of
article 303 letter (1) point (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Therefore,
judge give a sentence judgement condemnation one year prison punishment to the
culprit.
Key words: Authentication, Short Message Service, Crime Gambling.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN .........................................................................iii
KATA PENGANTAR .....................................................................................iv
ABSTRAKSI ...................................................................................................vi
ABSTRACT ....................................................................................................vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1
B. Perumusan Masalah ..........................................................................4
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................5
D. Kegunaan Penelitian .........................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................6
A. Pengertian & Asas-Asas Hukum Acara Pidana ..................................6
1. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana ................................6
2. Asas-Asas Hukum Acara Pidana ...................................................10
B. Pembuktian .......................................................................................15
1. Pengertian Pembuktian .................................................................15
2. Sistem Pembuktian .......................................................................17
3. Alat Bukti .....................................................................................20
4. Alat Bukti Elektronik ...................................................................41
viii
C. Tindak Pidana Perjudian ...................................................................43
D. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Judi Togel Melalui Short
Message Service (SMS) .....................................................................46
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................51
A. Metode Pendekatan ...........................................................................51
B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................51
C. Sumber Data .....................................................................................51
D. Metode Pengumpulan Data ...............................................................53
E. Metode Pengolahan Data ..................................................................53
F. Metode Penyajian Data .....................................................................53
G. Metode Analisa Data ..........................................................................54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................55
A. Hasil Penelitian .................................................................................55
B. Pembahasan ......................................................................................72
BAB V PENUTUP ...........................................................................................91
A. Simpulan ...........................................................................................91
B. Saran .................................................................................................92
DAFTAR PUSTAKA
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kondisi perekonomian menjadi faktor yang melatarbelakangi seseorang
untuk melakukan suatu kejahatan yaitu salah satunya adalah perjudian. Menurut
Johanes Papu :
“faktor ekonomi amat berpengaruh dalam tindak pidana perjudian bagi
masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah perjudian
seringkali dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup
mereka.1
Perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama,
moral, kesusilaan maupun hukum. Perjudian merupakan tindak pidana umum
yang secara yuridis diatur dalam Pasal 303 KUHP, Pasal 303 bis KUHP, UndangUndang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian. Aturan
ini sebagai payung hukum dalam memberantas tindak pidana perjudian yang
terjadi di Indonesia.
Dalam hukum pidana berlaku asas, bahwa seorang tidak boleh
dianggap bersalah sebelum adanya putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan pada prinsipnya orang yang dianggap bersalah
harus dibuktikan apakah ia bersalah melalui proses persidangan. Proses
persidangan tersebut bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile
1
Johanes Papu, 2002, Sejarah & Jenis Perjudian. Jakarta, http://www.epsikologi.com/epsi/Sosial_detail.asp?id=279. (Diunduh pada tanggal 30 September 2013).
2
waarheid) yaitu kebenaran yang sesungguhnya. Salah satu proses yang paling
penting untuk mencari kebenaran materiil adalah pembuktian, karena dari hal
inilah tergantung apakah seseorang akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan.2
Pada proses pembuktian di persidangan harus dibuktikan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut ketentuan undang-undang dan adanya keyakinan hakim
yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah tersebut. Untuk menentukan
seseorang bersalah atau melanggar hukum, alat bukti yang diperlukan harus lebih
dari satu atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut undangundang. Seperti yang sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal
183 yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang melakukannya”.
Dalam
penjelasan
pasal
tersebut
disebutkan
bahwa
ketentuan
ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum bagi seseorang. Dengan demikian, hakim hanya dapat menjatuhkan
hukuman apabila sedikit-dikitnya terdapat dua alat bukti yang sah dalam
peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya dan adanya keyakinan hakim karena
walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin akan
kesalahan terdakwa maka terdakwa tidak dipidana. Adapun alat bukti yang sah
sebagaimana yang dimaksud diatas adalah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1)
KUHAP yaitu:
2
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2004 cetakan kedua, hal.419.
3
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Pada kasus Putusan No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM, perjudian yang
dilakukan yaitu judi togel oleh terdakwa F dilakukan dengan cara memanfaatkan
teknologi sebagai sarana melakukan kejahatan. Dimana F sebagai bandar judi
togel menggunakan Short Message Service (SMS) sebagai cara untuk bermain judi
togel tersebut. Berbeda dengan cara judi togel biasanya yang apabila pemain ingin
melakukan judi togel, pemain harus bertemu dengan Bandar dan nomor-nomor
yang diperataruhkan atau dipasang dicatat oleh Bandar dalam bentuk secarik
kertas. Akan tetapi pada kasus judi togel ini pemain tidak perlu bertemu dengan
Bandar melainkan cukup dengan mengirimkan SMS nomor yang akan dipasang
maka perjudian dianggap telah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut peran
Short Message Service (SMS) sebagai alat bukti pada proses pembuktian tindak
pidana perjudian melalui media teknologi sangatlah penting. Akan tetapi di dalam
KUHAP telah diatur secara limitatif alat bukti yang dapat dihadirkan pada proses
persidangan.3
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, ada penambahan mengenai alat bukti yang
dapat dijadikan dasar bagi pertimbangan hakim. Menurut ketentuan Pasal 5
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
3
Nur Ro’is, Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana, Jurnal Ilmiah
Dinamika
Vol.
3
No.
6
Desember
2010
ISSN:
1979–0899X,
http://jodfisipunbara.files.wordpress.com/2012/05/12-rois-oke-hal-90-96.pdf (diakses tanggal 14
November 2013).
4
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dari jenis-jenis alat
bukti yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.4
Dengan ketentuan tersebut dapat dikatakan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 dikatakan sebagai lex specialis sedangkan KUHAP sebagai aturan
yang bersifat umum (lex generalis). Sehingga dalam hal ini Short Message
Service (SMS) bisa dijadikan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana
perjudian. Berdasarkan uraian tersebut penulis terdorong untuk mengkaji tentang
peranan alat bukti Short Message Service (SMS) dengan menyusun skripsi dengan
judul : Kedudukan Alat Bukti Short Message Service (SMS) Dalam
Pembuktian Kasus Tindak Pidana Perjudian (Tinjauan Yuridis Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas,
maka dapat dirumuskan suatu perumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah Short Message Service (SMS) dapat dijadikan sebagai alat bukti
dalam pembuktian tindak pidana perjudian ?
2.
Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti Short Message Service (SMS)
dalam pembuktian tindak pidana perjudian dalam Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM ?
4
Syahdeini, Sutan Remy, Kejahatan Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2009, hal.263.
5
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui Short Message Service (SMS) dapat atau tidak dijadikan
sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana perjudian.
2.
Untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti Short Message Service
(SMS) dalam pembuktian tindak pidana perjudian dalam Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM ?
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberi
sumbangan
pengetahuan dan menambah kepustakaan hukum acara pidana.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai
kedudukan alat bukti Short Message Service (SMS) dalam pembuktian tindak
pidana perjudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian & Asas-Asas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
selanjutnya akan disebut dengan KUHAP, tidak memberikan definisi mengenai
pengertian dari hukum acara pidana. KUHAP hanya menjelaskan mengenai
batasan-batasan mengenai beberapa bagian hukum acara pidana serta tatacara
peradilan dalam tingkat peradilan umum pada semua tingkat peradilan.
KUHAP juga memberikan definisi mengenai proses-proses atau bagian dari
hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, praperadilan, putusan,
upaya hukum, penangkapan, penahanan, dan lain-lain dalam Pasal 1 KUHAP.5
Pengertian hukum acara pidana dapat dilihat dari pendapat para ahli
hukum, antara lain:
a.
b.
c.
5
D. Simons
Hukum pidana formil (hukum acara pidana) mengatur tentang
bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya
untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
A. Minkenhof
Hukum acara pidana mempunyai peraturan mengenai yang
terjadi antara saat timbulnya dugaan bahwa suatu delik telah
dilakukan dan dilaksanakannya pidana yang dijatuhkan kepada
terdakwa.
J.M. van Bemmelen
Makarao dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana (Dalam Teori dan Praktek). Bogor:
Ghalia Indonesia. Hal 1
7
d.
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan
yang diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaranpelanggaran pidana, yaitu sebagai berikut:
1. negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2. sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3. mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap
si pembuat dan kalau perlu menahannya;
4. mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang
telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna
dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke
depan hakim tersebut;
5. hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya
perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu
menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6. upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
7. akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan
tindakan tata tertib.6
Wirjono Prodjodikoro
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum
pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan
yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang
berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus
bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan
hukum pidana.7
Rangkaian proses panjang pelaksanaan penegakan hukum dari awal
penyidikan hingga eksekusi semua bermuara pada satu tujuan yaitu
menemukan dan mendapatkan kebenaran materiil, dengan demikian pada
setiap tahapan proses yang dijalankan harus dapat dilaksanakan dengan efisien,
cermat serta tidak bertentangan dengan KUHAP itu sendiri.8 Tentang ruang
lingkup Hukum Acara Pidana, P.A.F Lamintang berpendapat :
“bahwa wajarlah kiranya kita harus mengetahui terlebih dahulu sifat
dari perbuatan-perbuatan menyelidik, menyidik, dan menuntut
seseorang menurut hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan
hukum acara pidana pada dasarnya baru diberlakukan apabila terdapat
6
Ibid, Hal. 3
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Jakarta,
Sinar Grafika, 2008, hlm. 4-7.
8
Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta.
Media Prima Aksara, 2012. Hlm. 32.
7
8
sangkaan bahwa undang-undang pidana materiil telah dilangar oleh
seseorang.9
Setiap peraturan hukum yang dibentuk pasti memiliki suatu tujuan
tertentu yang akan dicapai. Hukum dan undang-undang yang tidak memiliki
tujuan akan tidak memiliki kegunaan, semakin realistis sesuatu tujuan yang
hendak dicapai maka semakin bernilai dan dekat pula tujuan yang diperoleh
anggota masyrakat sebagai pencari keadilan. Begitupun adanya hukum acara
pidana Indonesia yang dituangkan dalam KUHAP. Tujuan dari hukum acara
pidana dapat dilihat dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan
oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut:
“Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta memeriksa dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”.
Sedangkan tujuan atau fungsi hukum acara pidana, menurut Hibnu
Nugroho adalah:
1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materiil dari suatu
tindak pidana yang terjadi;
2. Menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana;
3. Meminta pengadilan untuk memuutuskan bersalah atau tidaknya
tersangka; dan
4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan dari putusan
tersebut.10
Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
9
PAF Lamintang dan Theo Lamintang. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Sinar Grafika. Jakarta. 2010. Hlm. 26-28
10
Hibnu Nugroho, Op.cit. Hlm. 32.
9
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan sutau pelanggaran hukum,
dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan. 11
Tujuan tersebut diperoleh manakala penegak hukum mencari kebenaran
materiil yang dapat diperoleh dengan berbagai macam alat bukti yang
dihadirkan dipersidangan baik dari jaksa penuntut umum ataupun dari
penasehat hukum terdakwa. Pemeriksaan dipengadilan yang ditekankan pada
pembuktian yang dinilai oleh hakim mana yang lebih kuat sehingga
menimbulkan keyakinan hakim akan siapa yang benar dan siapa yang bersalah
dengan alat bukti tersebut.
Menurut Van Bemellen12, hukum acara pidana mempunyai tiga fungsi
yaitu:
1. Mencari dan menemukan kebenaran.
2. Pemberian keputusan oleh hakim
3. Pelaksanaan keputusan
Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi tumpuan
kedua fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan
kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim
11
Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian dalam Praktek Peradilan Pidana. Yogyakarta:
P3IH FH UMJ Total Media. 2009. Hlm 4.
12
Andi hamzah, Op., Cit. Hlm 8.
10
akan sampai kepada putusan (yang adil dan tepat), yang kemudian
dilaksanakan oleh jaksa.
Tujuan hukum pidana dan fungsi hukum acara pidana hampir sama dan
cenderung dicampur adukkan karena pada prinsipnya sama untuk mencari
kebenaran dan timbulnya perdamaian. Akan tetapi hakim dalam mencari
kebenaran materiil dibatasi oleh surat dakwaan jaksa, dan hakim tidak dapat
menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah
perbuatan yang didakwakan. Hakim hanya mengadili sejauh surat dakwaan
yang dikeluarkan oleh jaksa dan memutusnya dengan kebijakan hakim itu
sendiri dengan prinsip keadilan.
2. Asas-asas Hukum Acara Pidana
Asas-asas hukum merupakan suatu ungkapan hukum yang bersifat lebih
umum, oleh karenanya bersumber dari kesadaran dan keyakinan hukum
kelompok manusia. Dari asas-asas hukum tersebutlah selanjutnya dibentuk
hukum. Dengan demikian hukum atau undang-undang yang baik, harus sesuai
dengan asas-asas hukum pembentuknya.
Landasan asas atau prinsip, diartikan sebagai dasar patokan hukum
melandasi KUHAP dalam penerapan penegakan hukum. Asas-asas atau prinsip
hukum inilah tonggak pedoman bagi instansi jajaran penegak hukum dalam
menerapkan pasal-pasal KUHAP. Tidak hanya menjadi patokan dan landasan
bagi penegak hukum saja, melainkan asas-asas hukum dimaksudkan juga bagi
setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan
tindakan yang menyangkut KUHAP.
11
Asas-asas hukum yang dimaksud sebagai patokan atau pedoman dalam
melaksanakan hukum acara pidana, diantaranya sebagai berikut:
a. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif,
sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada
tersangka atau terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini
terumuskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya disebut dengan UndangUndang Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki agar setiap pelaksanaan
penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan serta tidak berbelit-belit. Apalagi jika kelambatan
penyelesaian suatu kasus peristiwa tindak pidana itu disengaja, maka
tentunya hal itu merupakan perkosaan terhadap hukum dan martabat
manusia.
Dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf e menyatakan bahwa:
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat sederhana, dan biaya
ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.”
Terkait dengan pengertian di atas, menurut Bambang Poernomo13,
yang dimaksud dengan:
a. Proses peradilan pidana yang dilaksanakan dengan cepat, diartikan
menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural agar
tercapai efisiensi kerja mulai dari kegiatan penyelidikan sampai
dengan pelaksanaan putusan akhir dapat selesai dalam waktu yang
relatif singkat.
b. Proses peradilan pidana yang sederhana, diartikan bahwa
penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar
13
Bambang Poernomo, Pole Dasar, Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan
Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1993, Hlm.66.
12
pemberkasan perkara dari masing-masing instansi yang berwenang,
berjaian dalam suatu kesatuan yang tidak memberikan peluang
saluran bekerja secara berbelit-belit (circuit court), dan dari dalam
berkas tersebut terungkap pertimbangan serta kesimpulan
penerapan hukum yang mudah dimengerti oleh pihak yang
berkepentingan.
c. Proses peradilan pidana dengan biaya murah (ringan), diartikan
menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme
bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi
yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak
sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dan hasil
yang diharapkan lebih kecil.
b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) di jumpai
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman jo Penjelasan Umum butir 3 huruf c KUHAP, yang dirumuskan
sebagai berikut:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
Menurut M. Yahya Harahap14, asas praduga tak bersalah ditinjau
dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator”. Prinsip akusator
menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat
pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan,
karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlukan dalam
kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. Yang
menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan
(tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Kearah itulah
pemeriksaan ditujukan.
c. Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka Hukum (Equality
Before the Law)
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum
ini tegas tercantum pula dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan
14
Makarao dan Suhasril, Op.Cit., Hlm 3-4.
13
Kehakiman bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang.
Begitu juga dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf a KUHAP
bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
d. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua siding membuka siding
dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”
Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini
mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum seperti telah
dirumuskan dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP.
Pengecualian untuk asas ini adalah terhadap kesusilaan dan anakanak, dimana alasannya karena kesusilaan dianggap sebagai masalah yang
sangat pribadi, tidak patut dungkapkan dan dipaparkan secara terbuka
dihadapan umum. Begitu juga apabila tindak pidana yang dilakukan oleh
anak, yang diaman melakukan kejahatan karena kenakalan.
Menurut Andi Hamzah 15,
“seharusnya hakim diberi kebebasan untuk menentukan sesuai situasi
dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Dapat
pula hakim menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruh atau
sebagian tertutup untuk umum, yang artinya persidangan dilakukan di
belakang pintu tertutup. Pertimbangan mana sepenuhnya diserahkan
kepada hakim, yang melakukan berdasarkan jabatannya atau atas
permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi juga dapat
15
Andi hamzah, Op., Cit. Hlm 20-21
14
mengajukan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi
nama baik keluarganya (misalnya dalam kasus perkosaan).”
Walau sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan
hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pasal 13
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 195 KUHAP dengan
tegas menyatakan: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
e. Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum.
Asas ini telah diterapkan dalam KUHAP, yakni pada Pasal 69 sampai
dengan Pasal 74 KUHAP yang mengatur tentang bantuan hukum yang
diperoleh oleh tersangka/terdakwa berupa kebebasan yang sangat luas.
Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:
1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap
atau ditahan;
2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;
3) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada
semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;
4) Pembicaraan antara penasihat hukum dengan tersangka tidak
didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik
yang menyangkut keamanan negara;
5) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat
hukum guna kepentingan pembelaan;
6) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka/terdakwa.16
Andi Hamzah17, memberikan pendapat bahwa ada pembatasan yang
dilakukan terhadap asas ini, dimana pembatasan-pembatasan hanya
dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut.
16
Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan
Masyarakat Jilid 2, Jakarta, Restu Agung, 2006, Hlm. 62.
17
Andi Hamzah, Op., Cit. Hlml 24.
15
f. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan (Pemeriksaan dengan
Hadirnya Terdakwa)
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan
pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara
hakim dan terdakwa.
Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dan Pasal 155 ayat (1)
KUHAP dan seterusnya.
Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP :
”hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan
yang dilakukan secara lisan dalam bahasa indonesia yang dimengerti
terdakwa dan saksi”
Pasal 155 ayat (1) KUHAP :
”pada permulaan sidang hakim ketua sidang menanyakan kepada
terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir,umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya
serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu
yang didengar dan dilihatnya di sidang”
Yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah kemungkinan
putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan in absentia.
Tetapi hal tersebut hanya merupakan pengecualian, yaitu dalam acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
g. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Asas ini diatur dalam Pasal 95-97 KUHAP, dimana tentang ganti
kerugian diatur dalam Pasal 95 dan 96 KUHAP, sedangkan tentang
rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 KUHAP.
Kerugian dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP adalah:
16
“kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan
dan penitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan
tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada putusan yang
dijatuhkan”.
Rehabilitasi diatur dalam Pasal 11 butir 23 KUHAP, yang dirumuskan
sebagai berikut:
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan
haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya yang
diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena
ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alas an yang
berdasarkan undang-undang ini”
Menurut M. Yahya Harahap18, alasan yang menjadi dasar tuntutan
ganti rugi dan rehabilitasi, mencakup :
a. Ganti rugi disebabkan penangkapan atau penahanan;
b. Ganti rugi akibat penggeledahan/penyitaan;
c. Tindakan aparat penyidik memasuki rumah yang tidak sah.
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses pemeriksaan
sidang pengadilan. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara
dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
18
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika.
Jakarta, 2001, Hlm. 45.
17
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan.
Pada proses pembuktian inilah hakim dengan mendasarkan pada alatalat bukti yang diajukan dihadapan persidangan. Dikatakan penting karena di
dalam proses pembuktian ini akan ditemukan suatu kebenaran dalam kasus
tersebut yang nantinya akan memberikan putusan bersalah atau tidaknya
terdakwa.
Leden Marpaung19, memberikan pendapat :
“Seseorang hanya dapat dikatakan “melanggar hukum” oleh Pengadilan
dan dalam hal melanggar hukum pidana oleh Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Sebelumnya seseorang diadili
oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini
dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence.
Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus
dapat menentukan “kebenaran” akan hal tersebut. Untuk menentukan
“kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk
menentukan “kebenaran.”
Pendapat-pendapat tersebut melahirkan pemikiran yang dapat ditarik dari
pengertian pembuktian, yaitu:
1. Pembuktian merupakan kegiatan ilmiah untuk menuyusun suatu
kebenaran secara hukum, atas suatu peristiwa pidana yang
diperkirakan sebagai peristiwa pidana yang terjadi di masa lampau;
2. Pembuktian merupakan kegiatan yang mencari dan menemukan
keterkaitan (relevansi) peristiwa pidana yang terjadi di masa lalu
dengan persangkaan perbuatan pidana;
3. Pembuktian merupakan upaya pengesahan terhadap sarana (alat) bukti
menurut ketentuan hukum yang berlaku;
4. Pembuktian merupakan upaya menumbuhkan keyakinan hakim secara
wajar atas dalil-dalil yang dikemukakan untuk mendukung kebenaran
atas suatu peristiwa pidana dan keterkaitan antara persangkaan atau
dakwa terhadap seseoarang yang dituduh melakukan tindak pidana;
5. Pembuktian merupakan alat bantu bagi hakim untuk menetapkan suatu
putusan dalam persidangan peradilan.20
19
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkarra Pidana (Penyelidikan & Penyidikan)
Bagian Pertama Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. 2009. Hlm. 22-23.
18
2. Sistem Pembuktian
Hukum acara pidana merupakan suatu upaya dari penegakan hukum
pidana.
Penegakan
hukum
adalah
mencakup
tugas
dan
wewenang
mempertahankan hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang yang
melanggar hukum atau melakukan perbuatan melawan hukum. Di dalam
penegakan hukum pada hakikatnya tidak terlepas dengan bagaimana negara
dapat menjamin atau memberikan ketentraman kepada warga masyarakat
apabila tersangkut masalah hukum. Penegakan hukum akan terwujud atau
tidak terwujud tergantung proses pemeriksaan di dalam persidangan, yaitu
melalui pembuktian. 21
Tujuan sistem pembuktian adalah untuk mengetahui, bagaimana cara
meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dalam
pemeriksaan, di mana kekuatan pembuktian yang di dapat di anggap cukup
memadai membuktikan kesalahan terdakwa melalui alat-alat bukti dan
keyakinan hakim, maka sistem pembuktian perlu diketahui dalam upaya
memahami sistem pembuktian sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.22
Menurut Andi Hamzah23, ada empat teori sistem pembuktian dalam
hukum acara pidana, yakni:
a. Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk bewijsleer)
20
Universitas
Pembangunan
Nasional
“Veteran”
Jakarta,
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/205711002/bab3.pdf, diakses pada tanggal 7 Mei
2013.
21
Hibnu Nugroho, “Merekonstruksi Sistem Penyidikan Dalam Peradilan Pidana (Studi
Tentang Kewenangan Penyidik Menuju Pluralisme Sistem Penyidikan di Indonesia)”, Jurnal
Hukum Pro Justitia, Januari 2008 Volume 26 No.1.
22
Andi Hamzah, Op.cit hlm.251-254
23
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika
2009, hlm. 27-28.
19
Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa
delik benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya;
b. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (bloot gemoedilijke
overtuiging; conviction in time)
Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana
kepada terdakwa berdasarkan keyakinannya melulu. Hal ini disebut
juga pembuktian bebas;
c. Pembuktian berdasarkan undang-undang melulu (positief wettelijke
bewijsleer)
Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana
kepada terdakwa berdasarkan alat bukti yang hanya ditentukan oleh
undang-undang tanpa perlu ada keyakinan hakim;
d. Pembuktian berdasarkan keyakinan yang rasional (berenderieerde
bewijsleer)
Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana
kepada terdakwa berdasarkan keyakinan, tetapi keyakinannya itu
didasarkan segala alat bukti yang ada dengan mempergunakan alasan
yang rasional.
Teori-teori sistem pembuktian yang diuraikan di atas memiliki peran
dalam hal penentuan teori manakah yang digunakan dalam KUHAP. Tepatnya
mengenai sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang
terumuskan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP di atas, bahwa
adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi hakim untuk
menjatuhkan pidana bagi seseorang, tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu
hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benarbenar telah terjadi, dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak
pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada hakim saja adalah juga
20
tidak cukup, apabila keyakinan tersebut telah tidak ditimbulkan oleh sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah.24
Wirjono
Prodjodikoro25,
berpendapat
mengenai
alasan
tetap
digunakannya sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif di
dalam buku Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil sebagai berikut:
“Bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif
(negatief wetteljke) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua
alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan
hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu
hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang,
sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua
adalah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam
menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang
harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.
M. Yahya Harahap26, berpendapat lain di dalam buku Mohammad
Taufik Makarao dan Suharsil sebagai berikut:
“Bahwa sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum
akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif, sedangkan mengenai keyakinan
hakim, hanya bersifat unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai
unsur formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim dalam
praktek dapat saja dikesampingkan apabila keyakinan itu tidak
dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin
dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu
dapat saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi
dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan
terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalai
mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan
batalnya putusan.
Beberapa pendapat para ahli hukum di atas mengenai sistem
pembuktian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian di
24
P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, Hlm.
408.
25
Mohammad Taufik Makarao & Suharsil, Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan
Praktek, Cetakan pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004, Hlm. 106.
26
Loc. cit.
21
Indonesia dengan mengacu pada Pasal 183 KUHAP jelas sekali terlihat bahwa
hukum acara pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif atau negatief wettelijk bewijsleer. Artinya seseorang
baru boleh dipidana apabila hakim yakin akan kesalahan terdakwa yang
dibuktikan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang.
3. Alat Bukti
Setiap pemeriksaan proses beracara pidana diperlukan ketentuanketentuan dalam KUHAP yang akan terlihat dalam acara pemeriksaan biasa
yang terkesan sulit dalam pembuktiannya dan membutuhkan penerapan hukum
yang benar dan pembuktian yang obyektif dan terhindar dari rekayasa-rekayasa
para pelaksana persidangan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya
bahwa pembuktian dalam persidangan adalah untuk mencari kebenaran
materiil ataupun kebenaran yang sebenar-benarnya.
Untuk menemukan suatu kebenaran yang sebenar-benarnya diperlukan
suatu pembuktian yang obyektif yang dimana salah satunya dengan
menggunakan alat bukti. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan
alat bukti yang sah untuk membantu hakim dalam mengambil keputusan, alat
bukti itu antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
Keterangan Saksi;
Keterangan Ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan Terdakwa.
Dari alat bukti diatas hakim dapat memperoleh kebenaran materiil dari
kejadian yang terjadi dan pembuktian dengan menggunakan alat bukti tersebut
22
digunakan tergantung keadaan, tergantung alat bukti yang disediakan oleh
jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, selain itu hakim juga dapat
menentukan alat bukti apa yang perlu dihadirkan di persidangan yang
bersangkutan.
Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1)
KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan
untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut
umum, terdakwa dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya
diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak
leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat
bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat
bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya
terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar
jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai
serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.27
Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat(2)
KUHAP yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally
known) yang disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui, hal-hal yang
bersifat umum yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu
dibuktikan. Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap
manusia secara umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi
kebiasaan sehari-hari. Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2) KUHAP diterapkan :
a. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu
kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi;
b. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak
bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan
oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri
notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak
tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana
disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Hal yang
27
Yahya Harahap. 2009. Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar
Grafika. Hal.285.
23
secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap
sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang
dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.28
Berikut penjelasan mengenai alat-alat bukti sesuai dengan Pasal 184
KUHAP:
a) Keterangan Saksi
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP, yang dimaksud dengan
saksi adalah:
“orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”
Sedangkan pengertian keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 27
KUHAP yang rumusannya sebagai berikut:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Pengertian saksi dan keterangan saksi sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP tersebut diatas, dijabarkan lebih lanjut dalam
Pasal 185 ayat (1) KUHAP sampai dengan ayat (7) KUHAP
Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih
dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang
saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa
terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya
(unus testis nullus testis).
28
Ibid, Hal.276.
24
Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan
yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal
itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence
yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185
ayat (2) KUHAP adalah:
a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi;
b. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka
kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu
alat bukti yang lain.29
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
pemeriksaan perkara pidana. Dalam pasal 185 ayat (6) KUHAP untuk menilai
kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan:
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar
mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam
Pasal 160 ayat (3) KUHAP bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam
setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya
masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa
29
Ibid, Hal.288.
25
saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari
yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya
dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan
sumpah atau
janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan
keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4) KUHAP. Jika saksi yang
dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain
tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan berpihak
pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan,
akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang
lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan
tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim
akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena
menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa
sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan.
Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan
pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka
saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua
sidang paling lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 KUHAP).
Tidak setiap keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti,
berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP mengatur bahwa yang dapat menjadi
saksi adalah yang mengetahui mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat
sendiri,
dengar,
alami sendiri dan dapat menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu. Berdasarkan ketentuan tersebut maka testimonium de
auditu atau lebih dikenal dengan keterangan yang diperoleh sebagai hasil
26
mendengar dari orang lain tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti
dikarenakan tujuan acara pidana adalah mencari kebenaran materiil sehingga
keterangan yang didengar dari orang lain tidak menjamin kebenaran
keterangannya. Meskipun demikian testimonium de auditu dapat digunakan
untuk memperkuat keyakinan hakim yang bersumber dari dua alat bukti yang
lain yang dihadirkan dipersidangan.
Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain
karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama
karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak
bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga;
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa;
d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undangundang.
Kemudian dalam Pasal 171 KUHAP ditentukan saksi yang tidak
disumpah yaitu :
a.
b.
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik
kembali.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum
berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa,
sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa
27
disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau
janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya
dipakai sebagai petunjuk saja.
b) Keterangan Ahli
Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam KUHAP terdapat
dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal
186 KUHAP. Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua
pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan
berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan
sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP
menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, selain itu dalam Pasal 1
angka 28 KUHAP menerangkan lebih lanjut mengenai keterangan ahli yaitu:
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Pada Pasal 184 (1) KUHAP pembentuk undang-undang meletakkan
keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan
perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan
teknologi telah berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa
para penegak hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode
pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan keahlian.
Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap
tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap
penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas
28
keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan
pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat
menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim
dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas
keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah
tentu, masiih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak
pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan
pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang
pengadilan.30
Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu
persidangan yang terbuka untuk umum. Keterangan ahli disini
disumpah
dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuan
yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka
dapat memberikan keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan
disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli.
Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
Pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Menurut penjelasan dari Pasal 186 KUHAP:
a. Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk
laporan dan dibuat dengan mengikat sumpah diwaktu ia menerima
jabatan atau pekerjaan.
b. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik atau
penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, diminta
untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam Berita Acara
Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan persidangan) Pasal 179 ayat (1)
dan (2) KUHAP.
Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120
KUHAP yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli
mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan
dimuka
30
penyidik
bahwa
ahli
akan
memberi
keterangan
menurut
R. Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum
acara pidana. Bandung : Mandar Maju, Hal. 3.
29
pengetahuannya sebaik-baiknya. Akan tetapi dalam suatu hal karena pekerjaan
atau jabatan, harkat dan martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia
dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Ahli dalam Pasal 133 KUHAP menekankan kepada ahli dalam
kedokteran forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati
yang diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian
diperlukan tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik,
ilmu kimia forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu
penyidikan dalam mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi
korban, tersangka ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana.
Tindakan yang dilakukan oleh tim ahli disini harus dijalankan dengan baik dan
penuh tanggungjawab berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang
diembannya.
Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam
kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang
berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 KUHAP
bisa dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli
dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat
hukum dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang
dapat diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus
dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan
pemeriksaan ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang
dihadapi. Sifat dari keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadan tertentu atau
30
suatu hal dan belum menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan
dalam suatu perkara tindak pidana yang bersangkutan.
Hal yang dapat diperoleh dari Pasal 1 angka 28 KUHAP, dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 KUHAP, agar
keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah :
1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang
mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya
dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai
keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan
perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.31
Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap
penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam
Pasal 133 KUHAP dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang
pengadilan berdasarkan Pasal 179 dan 186 KUHAP menimbulkan dualisme,
terutama yang berasal dari laporan atau visum et repertum yaitu :
1. Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum
et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli;
2. Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga
menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c
KUHAP.32
Untuk menjawab dualisme diatas maka yang dapat dijadikan pedoman
adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan
diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang
bebas dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan
membenarkan alat bukti tersebut atau malah akan menolaknya.
31
32
Yahya Harahap. 2009. Op.Cit., Hal.299.
Ibid, hal. 303.
31
Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda
dengan keterangan saksi yaitu :
1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij
bewijskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan
menerima keterangan dari ahli tersebut atau akan menolaknya.
2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti
yang lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau
bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat
digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus
disertai dengan alat bukti yang lain.33
Dalam suatu kasus maka akan sering terdapat dua keterangan ahli yang
digunakan yaitu keterangn ahli yang berasal dari laporan dan juga berasal dari
keterangan yang diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli
tersebut menjelaskan hal yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih
bernilai satu alat bukti, akan tetapi jika keterangan ahli ini yang berasal dari
laporan dan juga dari keterangan lisan di sidang pengadilan menunjukkan suatu
keadaan yang berbeda dan menunjukan hal yang berkesesuaian antara satu
dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan bahwa keterangan ahli tersebut
ada dua alat bukti keterangan ahli yang sah yang masing-masing berdiri sendiri
dan telah memenuhi batas minimum pembuktian berdasarkan Pasal 183
KUHAP
c) Surat
Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang menurut
ketentuan ini surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan
menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau
surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-
33
http://minsatu.blogspot.com/2011/02/pembuktian-dalam-hukum-pidana.html (diakses
tanggal 5 Desember 2013)
32
Anema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat
dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.34
Berdasarkan bunyi Pasal 187 KUHAP:
a.
b.
c.
d.
“Surat sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangan itu;
Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk
dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya;
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dan alat pembuktian yang lain”.
Rumusan dalam Pasal 187 huruf d KUHAP berbeda dengan ketentuan
Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP. Hal ini karena dalam huruf d menunjukkan
surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di
sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi.
Penjelasan selanjutnya juga menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat
lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti yang lain agar mempunyai
kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri
secara utuh.
Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika
isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai
berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu
34
Andi Hamzah, Op.cit, Hal. 276.
33
atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan, barulah surat
itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.35
Berdasarkan Pasal diatas KUHAP tidak mengatur tentang kekuatan
pembuktian dari surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti
hanya mengatur surat-surat resmi saja. penerapan surat lain sebagai bentuk alat
bukti surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti surat digantungkan
dengan alat bukti yang lain yaitu jika mempunyai hubungan isinya dengan alat
bukti yang lain sehingga terkesan tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan
cenderung menjadi alat bukti petunjuk yang intinya saling menghubungkan
antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga tercipta suatu urutan suatu
peristiwa yang terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di sidang
pengadilan.
Sebagai syarat mutlak dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu
surat itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa
surat-surat itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP berbentuk berita
acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang mempunyai hubungan
dengan perkara yang diadili.
Pasal 187 KUHAP dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai
wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap
sendiri dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap
mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan
sendiri secara lisan dihadapan persidangan pengadilan.
35
Yahya Harahap, Op.cit, Hal.309
34
Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya berasal
dari kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat
kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti dimana barang bukti mati
kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan
bagi hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena
barang bukti mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa
mengelak jika barang bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa
terdakwalah yang telah melakukan tindak pidana yang dituntutkan kepadanya.
Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap36 , jika
dinilai dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam
KUHAP dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Ditinjau dari segi formal
Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat
bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi
menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat
bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna
dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :
i. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang
lain;
ii. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
pembuatannya;
iii. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang
dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi
keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti
yang lain;
iv. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang
tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti
36
Ibid, Hal.309-312.
35
lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau
keterangan terdakwa.
2. Ditinjau dari segi materiil
Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan
alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian
yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan
hakim. Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan
pada beberapa asas, antara lain :
1) Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari
kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid),
bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan
kesempurnaan formal dapat disingkrkan demi untuk mencapai
dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang
digariskan oleh penjelasan Pasal 183 KUHAP yang memikul
kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan, kepastian hukum bagi seseorang.
2) Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183
KUHAP yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus
harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan
bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi kebebasan
untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan tetap
memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi atas
landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati.
3) Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183
KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan
minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim
memperoleh
keyakinan
untuk
memberikan
keputusan
dipersidangan.
d) Petunjuk
Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) KUHAP.
Didalam ayat (1) petunjuk diartikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan
yang karena penyesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun
36
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.
Dari rumusan Pasal 188 ayat (1) KUHAP ditemui kata-kata
“menandakan” yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak
mungkin dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh
kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara pasti, maka
dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti, maka
dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian banyak
petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau
keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada kesesuaian
antara satu dengan yang lain, karena justru pada persesuaian itulah letak
kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai sebagai alat bukti. Dan
dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa diantara petunjukpetunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa
sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti
yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu
satu perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu,
ditambah dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian
keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa
menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti.37
Pasal 188 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh
dari keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara
ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara
perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana
atau tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka
belum bisa ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan
penilaian itu merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah
hakim, dimana harus melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat
berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 188 ayat (3) KUHAP menerangkan bahwa:
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
37
I Ketut Martika, SH & Djoko Prakoso, SH., Op.cit, Hal.44.
37
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Bunyi pasal 188 ayat (3) KUHAP sangat berpengaruh dalam setiap
penggunaan alat bukti petunjuk sebagai dasar penilaian pembuktian kesalahan
terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap tanggung jawab sebagai
seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar
penjauhan hukuman. Dalam praktek penggunaan alat bukti petunjuk dalam
persidangan sangat dihindari bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya
kecuali jika dalam keadaan yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti
petunjuk dapat digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk
digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum
pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 KUHAP.
Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara
alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran
mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak
pidana.
Sumber
dari alat
bukti petunjuk
diperoleh
hakim
dengan
memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh persesuaian antara
perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya. Pada Pasal 188 ayat (2)
KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari bukti petunjuk yaitu
diperoleh dari :
a. Keterangan saksi
b. Surat
c. Keterangan terdakwa
Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena
keterangan ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan
38
yang terkait yang bersifat subyektif dari pengetahuan masing-masing ahli dan
dalam hal ini kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai
budaya, keyakinan, latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan
cenderung akan selalu membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai
obyektif.
Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain
sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”.
Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika jika alat bukti
lain. Nilai kekuatan pembuktian petunjuk dilihat dari :
a. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh
petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan
mempergunakannya sebagai upaya pembuktian,
b. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan
kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas pembuktian.
Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti
yang lain.38
e) Keterangan terdakwa
Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193
KUHAP, dalam Pasal 189 ayat (1) mengartikan mengenai keterangan
terdakwa:
“keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri.”
Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada
dalam HIR. Akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang
merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari
perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan
38
Yahya Harahap, Op.cit, Hal.317.
39
terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan
terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan
atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti
lain merupakan alat bukti.
Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat
bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun
pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim
mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian
menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59.
sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut.
a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan
b. Mengaku ia bersalah. 39
Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa
atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah,
hal ini lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa
sehingga hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari
terdakwa.
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti
alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus
memenuhi Pasal 183 KUHAP yaitu paling tidak harus memenuhi batas
minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal
189 (4) KUHAP juga menjelaskan:
39
Andi Hamzah, Op.cit, Hal.278.
40
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.”
Keterangan terdakwa hanya untuk menerangkan keadaan diri sendiri
bukan untuk orang lain dan tidak dapat berdiri sendiri, kecuali dibarengi
dengan alat bukti lain.40 Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain
keterangan terdakwa harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga
hakim dapat mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul
keyakinan hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau
tidak atas dakwaan yang ditujukan padanya. Kemudian sifat nilai kekuatan
pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada nilai
kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan kebenaran
yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus ada alasan yang
logis yang bisa diterima oleh hakim.
Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP tersebut dapat dihadirkan
oleh terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh
terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering
disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh
jaksa terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi
tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan
adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada
kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif.
Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa
perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan
40
Suharto R.M., Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Cetakan kedua, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004, hlm.158.
41
tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan
keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk
membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Dalam pemeriksaan perkara
pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa
diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut pautnya
dengan dirinya dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain
yang tak bersalah.
4. Alat Bukti Elektronik
Perkembangan teknologi yang sangat maju menimbulkan kejahatankejahatan baru di masyarakat dengan menggunakan teknologi. Setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik maka terjadi perluasan mengenai pembuktian khususnya
mengenai pembuktian elektronik. Pemakaian data elektronik sebagai alat bukti
merupakan hal yang baru menyangkut bidang hukum di Indonesia. Dalam
Pasal 184 KUHAP tidak diatur mengenai penggunaan alat bukti elektronik.
Selama ini alat bukti yang diakui dalam persidangan sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, dan ketrangan terdakwa.
Kesulitan mendasar penggunaan bukti elektronik dalam proses
pembuktian perkara pidana, khususnya mengenai tindak pidana yang
menggunakan alat telekomunikasi yaitu tidak adanya patokan atau dasar
penggunaan bukti elektronik ini dalam perundang-undangan. Padahal dalam
kejahatan menggunakan alat telekomunikasi, buktinya berupa data-data
42
elektronik yang akan mengarahkan pada suatu peristiwa pidana. Keberadaan
alat bukti elektronik menjadi pokok perhatian atau bahan pertimbangan bagi
hakim dalam memutus perkara, yang jadi masalah hanya kekuatan pembuktian
dari alat bukti elektronik merujuk pada “penyitaan” yang dilakukan guna
keperluan pembuktian.
Ada dua hal yang dapat dijadikan panduan untuk menggunakan alat
bukti elektronik dalam mengungkap kejahatan melalui telepon selular, yaitu :
a. Adanya pola (modus operandi) yang relative sama dalam melakukan
tindak pidana dengan menggunakan telepon selular.
b. Adanya persesuaian antara satu peristiwa dengan peristiwa lain.41
Penggunaan alat bukti elektronik dalam sistem hukum pembuktian
didasari atas asas-asas sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
Asas kepastian hukum;
Asas manfaat;
Asas kehati-hatian;
Asas itikad baik; dan
Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.42
Bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri
sendiri (real evidence), tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu
rekaman/salinan data berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku sehingga
hasil print out suatu data dapat diterima dalam pembuktian suatu tindak
pidana. Pada prinsip pembuktian alat bukti yang dihadirkan haruslah alat bukti
yang memiliki relevansi terhadap tindak pidana yang terjadi atau fakta yang
akan dibuktikan. Dapat dikatakan bahwa alat bukti yang ada harus otentik yang
41
Edmon Makarim, Op.cit. hlm. 424.
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung, PT. Citra
Aditya, 2012, hlm. 169.
42
43
berarti alat bukti tersebut benar-benar asli. Menurut Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, alat bukti
elektronik yang dihadirkan pada persidangan harus terjamin keutuhannya
sehingga
alat
bukti
elektronik
dapat
diakses,
ditampilkan,
dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan yang dapat menerangkan
suatu keadaan. Alasan perlunya alat bukti yang dihadirkan dalam suatu proses
pembuktian di pengadilan bersifat otentik, yaitu:
1. Agar dapat dipastikan bahwa tidak terdapat perubahan/perbedaan
terhadap alat bukti tersebut. Perbedaan dengan alat bukti yang
sesungguhnya dapat memberikan nilai dan arah pembuktian yang
berbeda.
2. Agar terhindar dari pembuktian terhadap objek yang berbeda dengan
seharusnya yang dibuktikan. 43
Dengan demikian pembuktian menggunakan alat bukti elekronik yang
dihasilkan adalah pembuktian untuk mencapai kebenaran materiil yaitu
kebenaran yang sebenar-benarnya.
C. Tindak Pidana Perjudian
Pengertian tindak pidana atau perbuatan pidana yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam bahasa Belanda dikenal
dengan istilah “strafbaar feit”. Ada beberapa terjemahan dari istilah strafbaar
feit, yaitu :
1.
2.
3.
4.
Perbuatan yang dapat/boleh dihukum
Peristiwa pidana
Perbuatan pidana
Tindak pidana.44
43
Ibid., hlm.189.
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum
Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002, hlm.204.
44
Pidana Di
Indonesia dan
44
Menurut Wirjono Prodjodikoro, 45 merumuskan tindak pidana berarti
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu
perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsurunsur sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Subjek;
Kesalahan;
Bersifat melawan hukum (dari tindakan);
Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam
dengan pidana;
Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).46
Kelima unsur tersebut haruslah ada dalam suatu tindak pidana, hal ini
sebenarnya dapat membedakan antara tindak pidana dan peristiwa pidana.
Berbicara mengenai tindak pidana pada dasarnya harus ada subjek dan orang
itu melakukannya dengan kesalahan atau dengan perkatakan lain jika
dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, berarti ada orang sebagai subjeknya
dan pada orang itu terdapat kesalahan. Sebaliknya, jika seseorang telah
melakukan suatu tindakan yang memenuhi unsur sifat melawan hukum,
tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang dan
faktor-faktor objektif lainnya, tanpa adanya unsur kesalahan, berarti tidak telah
terjadi suatu tindak pidana, melainkan yang terjadi hanya suatu peristiwa
pidana.
Perjudian merupakan salah satu dari macam-macam tindak pidana yang
diatur dalam KUHP. Pengertian judi ditetapkan oleh Pasal 303 ayat (3) KUHP
sebagai berikut:
45
Universitas
Pembangunan
Nasional
“Veteran”
Jakarta,
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/206711050/bab2.pdf, diakses pada tanggal 8
Desember 2013.
46
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 211.
45
“Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada
umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada
peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih
mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan
perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara
mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala
pertaruhan lainnya.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, judi diartikan sebagai
permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan atau
suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu
pertandingan, permainan atau kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga
sebelumnya.
Unsur-unsur tindak pidana perjudian menurut pasal 303 ayat (3) adalah
sebagai berikut:
a) Ada perbuatan
Yang dimaksud perbuatan disini adalah setiap perbuatan dalam suatu
permainan baik secara langsung dilakukan sendiri, seperti main domino,
dadu, kodok ulo maupun permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka
yang turut bermain atau berlomba, seperti sepak bola.
b) Bersifat untung-untungan
Untung-untungan disini maksudnya adalah pengharapan untuk menang pada
umumnya tergantung pada untung-untungan atau hanya menggantungkan
pada nasib saja dan juga kalo kemenangan itu dapat diperoleh karena
kepintaran dan kebiasaan pemain.
c) Dengan mempertaruhkan uang atau barang
46
Setiap permainan baik yang dilakukan sendiri maupun yang tidak diadakan
oleh mereka yang turut bermain atau berlomba, yang dipakai sarana guna
mempertaruhkan uang atau barang
d) Melawan hukum
Setiap permainan judi harus mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat yang
berwenang dan apabila suatu permainan telah mendapatkan ijin, permainan
judi tersebut bukan suatu tindak pidana. Dan sebaliknya apabila permainan
judi tanpa adanya ijin dari pejabat yang berwenang, maka permainan ini
termasuk tindak pidana, karena merupakan suatu pelanggaran atas hukum
pidana atau dengan kata lain adalah perbuatan yang melawan hukum.
Dari ketentuan KUHP tersebut dapat kita lihat bahwa dalam permainan
judi, terdapat unsur keuntungan (untung) yang bergantung pada peruntungan
(untung-untungan) atau kemahiran/kepintaran pemain. Selain itu, dalam
permainan judi juga melibatkan adanya pertaruhan.
D. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Judi Togel Melalui Short Message
Service (SMS)
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah pola
hidup masyarakat dan berkembang dalam tatanan kehidupan baru dan mendorong
terjadinya perubahan sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan dan
penegakan hukum. Perbuatan melawan hukum di dunia maya merupakan
fenomena yang sangat mengkhawatirkan, mengingat tindakan carding, hacking,
penipuan, terorisme dan penyebaran informasi destruktif telah menjadi bagian dari
aktivitas pelaku kejahatan di dunia maya. Kemajuan teknologi dan informasi telah
47
melahirkan berabagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negative,
karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan,
kemajuan dan peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif
perbuatan melanggar hukum.
Kejahatan Mayantara atau Cyber crime diartikan sebagai kegiatan illegal
dengan perantara computer yang dapat dilakukan melalui jaringan elektronik.
Cyber crime dalam arti sempit disebut computer crime, sedangkan cyber crime
dalam arti luas disebut computer related crime.47 Dengan demikian cyber crime
meliputi kejahatan, yaitu yang dilakukan dengan (1). menggunakan sarana-sarana dari
sistem atau jaringan komputer (by means of acomputer system or network); (2). Di
dalam sistem atau jaringan komputer (in a computer system or network); dan (3).
Terhadap sistem atau jaringan komputer (against a computer system or network).
Perbedaanya dengan kejahatan konvensional dapat dilihat dari kemampuan
serbaguna yang ditampilkan akibat perkembangan informasi dan teknologi
komunikasi
yang
semakin
canggih.
Faktor
yang
dominan mendorong
berkembangnya cybercrime adalah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi
seperti telepon, handphone, dan telekomunikasi lainnya dipadukan dengan
perkembangan teknologi computer. Perkembangan teknologi dan informasi
berdampak pula pada revolusi kejahatan yang konvensional menuju lebih modern,
jenis kejahatannya mungkin sama, namun dengan media yang berbeda yaitu
dalam hal ini adalah perjudian toto gelap yang mana kejahatan ini menggunakan
media internet (internet gambling) dalam melakukan tindak pidananya.
47
Santi Indriani, Tinjauan Yuridis Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Dunia Maya
(Cyber Crime). Volume 1, Nomor 2, Desember 2008
ISSN: 1979 – 0899XX
http://jodfisipunbara.files.wordpress.com/2012/05/11-santi-oke-hal-81-89.pdf, Hal. 60. (diakses
tanggal 14 November 2013).
48
Pengertian Togel sendiri adalah permainan judi dengan cara mengundi
angka yang pemenangnya memiliki angka yang keluar sama dengan angka yang
dibeli. Pada prakteknya Togel bisa dilakukan dengan dua cara yaitu togel
konvensional dan non konvensional. Togel konvensional adalah togel yang dijual
secara langsung kepada pembeli dimana penjual bertatap muka langsung dengan
pembeli nomor togel tersebut, sedangkan togel non konvensional adalah togel
yang dijual secara online melalui media pendukung teknologi internet ataupun
sarana teknologi komunikasi lainnya seperti handphone dan media lainnya.
Adapun pengertian SMS antara lain sebagai berikut :
Short Message Service (SMS) adalah suatu fasilitas untuk mengirim dan
menerima suatu pesan singkat berupa teks melalui perangkat nirkabel, yaitu
perangkat komunikasi telepon selular, dalam hal ini perangkat nirkabel yang
digunakan adalah telepon selular.
Cara pengiriman pesan-pesan SMS dikirim dari sebuah telepon genggam
ke pusat pesan, disini pesan disimpan dan mencoba mengirimnya selama beberapa
kali. Perkembangan teknologi informasi dengan adanya teknologi elektronik
menimbulkan bentuk kejahatan baru dalam perjudian yakni perjudian diantaranya
yaitu internet (internet gambling) dan Togel melalui media Short Message
Service. Tindak pidana perjudian melalui sarana elektronik dilakukan melalui
sistem elektronik, informasi elektronik dan dokumen elektronik yang dapat
dijadikan sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:
(1)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari
49
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
Sedangkan bunyi Pasal 6 Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang berbunyi:
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4)
yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau
asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah
sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga menerangkan suatu keadaan.
Di samping itu alat bukti elektronik di atas dianggap sebagai perluasan alat
bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, karena disetarakan
sebagai alat bukti surat, sehingga pelaku perjudian melalui alat elektronik dapat
dikenakan sanksi hukum pidana. Sesuai dengan Penjelasan pada Pasal 1 ayat (1),
(2), (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
Penjelasan mengenai alat bukti pada Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik diatur dalam Pasal 44 yang berbunyi:
50
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;
dan
b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Pada praktiknya tindak pidana toto gelap, ada yang menggunakan sistem
online dan ada pula yang menjual langsung ke masyarakat. Adapun pda toto gelap
yang langsung di jual ke masyarakat biasanya para pengepul dan pengecer
menggunakan media elektronik SMS. Karena melalui media SMS ini dianggap
lebih aman, efisien dan sangat sulit di usut, diproses dan diadili dalam
persidangannya. Walaupun saat ini telah lahir Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik, yang mana di dalamnya mengatur berbagai aktifitas tindak
pidana yang dilakukan dan terjadi di dunia maya (cyberspace), termasuk di
dalamnya pelanggaran tentang judi yang memakai media elektronik. Akan tetapi
dalam Praktek biasanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini
jarang dipakai dalam penanganan tindak pidananya.
51
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 48
Penelitian yuridis normatif disebut juga penelitian hukum doctrinal.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah spesifikasi penelitian
perskriptif, yaitu suatu penelitian yang hanya menjelaskan keadaan objek
yang akan diteliti melalui kacamata disiplin hukum.49 Dalam hal ini peneliti
mencoba menguraikan, mengungkap dan mengkaji penerapan sistem
pembuktian hakim dalam pemeriksaan kasus perjudian Togel di Pengadilan
Negeri Jakarta Timur berdasarkan perspektif hukum semata.
3. Sumber Data
Pada penelitian ini menggunakan sumber data sekunder. Karena pada
penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian hukum normatif maka lebih
difokuskan pada pencarian data sekunder. Data Sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain :
48
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang :
Banyumedia, 2005, hal. 295.
49
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali
Pers, 2004, hal. 118.
52
c. Bahan – bahan hukum Primer
Data yang bersumber bahan - bahan hukum primer berupa norma dasar
Pancasila, batang tubuh UUD 1945, peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat. Kemudian bahan hukum sekunder yang berhubungan erat
dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisis dan memahami
bahan hukum primer seperti rancangan peraturan perundang-undangan,
hasil karya ilmiah para sarjana (buku-buku kepustakaan) dan hasil-hasil
penelitian dan yang terakhir bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan
yang memberikan informasi tentang bahan huk primer dan bahan
hukum sekunder seperti bibliografi dan indeks kumulatif.
Bahan hukum yang digunakan peneliti ini diambi bahan hukum yang
telah mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu diperoleh dari salah
satu putusan hakim mengenai perkara tindak pidana perjudian di
Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM.
d. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang
digunakan oleh peneliti dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer, seperti :
- Buku-buku hasil karya ilmiah para sarjana
- Hasil-hasil penelitian
e. Bahan hukum tersier
53
Bahan-bahan yang memberi petunjuk, informasi maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder, contohnya adalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh
dengan
cara
melakukan
inventarisasi
terhadap
peraturan
perundang-undangan, buku literature, dokumen dan arsip atau hasil penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian dan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM.
5. Metode Pengolahan Data
Bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagaimana telah
disebutkan dalam point di atas akan diinventarisir kemudian dicatat sesuai
dengan relevansinya dengan masalah yag akan diteliti, kemudian dikaji
sebagai satu kesatuan yang utuh. Bahan hukum yang berhubungan dengan
masaah yang akan dibahas dipaparkan, disistematiskan, kemudian dianalisis
untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.
6. Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam
bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti
keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya
54
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan
suatu kesatuan yang utuh.
7. Metode Analisis Data
Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara kualitatif yakni
dengan membahas dan menjabarkan bahan hukum yang digunakan dengan
berlandaskan pada norma hukum yang digunakan, teori-teori serta doktrin
yang berkaitan dengan materti yang diteliti, dengan menggunakan logika
deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Identitas Terdakwa
Nama Lengkap
:
FIRDAUS Als OBER Als BUYUNG BIN
HASAN BASRI
Tempat Lahir
:
Padang
Umur/Tgl. Lahir
:
49 tahun/05 Oktober 1963
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Kebangsaan
:
Indonesia
Tempat Tinggal
:
Jl. Kol. Sutomo III No.68 RT.007/006 Kel.
Kebon Pala Kec. Makasar Jakarta Timur dan Jl.
Wisma Harun Kel. Kebon Pala Kec. Makasar
Jakarta Timur
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
-
Pendidikan
:
SMP
2. Kasus Posisi
Berawal dari adanya kerja sama antara terdakwa I. FIRDAUS alias
OBER alias BUYUNG bin HASAN BASRI dengan terdakwa II.
SITUMEANG (DPO) turut menyelenggarakan judi togel yang mengikuti
(mendompleng) permainan judi dari Singapura tanpa mendapat izin dari pihak
yang berwenang menegeluarkan izin, dimana terdakwa II. SITUMEANG
56
(DPO) dalam hal ini sebagai pengepul atau orang yang menerima nomornomor yang dipasang oleh para pemain dan menerima uang taruhan pasangan
dari para pemain untuk diserahkan kepada Bandar judi togel dan
memberitahukan nomor togel yang keluar pada hari itu, sedangkan terdakwa
I. FIRDAUS alias OBER alias BUYUNG bin HASAN BASRI dalam hal ini
mencari pemain atau penebak nomor-nomor judi togel, pengecer atau penulis
nomor-nomor yang dipasang oleh para pemain dan menerima uang taruhan
untuk disetorkan kepada terdakwa II. SITUMEANG (DPO), serta merekap
nomor-nomor pasangan tersebut baik melalui tulisan langsung dikertas
maupun nomor-nomor yang dipasang melalui sms dari nomor-nomor
Handphone para pemain, keseluruhannya itu disetorkan atau diserahkan
kepada terdakwa II. SITUMEANG dan memberitahukan kepada para
pemasang untuk nomor judi togel yang keluar pada hari itu atas informasi dari
terdakwa II. SITUMEANG.
Bahwa permainan judi togel yang mengikuti (mendompleng) dari
permainan judi Singapura tersebut, dibuka atau dikeluarkan pada setiap hari
Senin, Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu pada pukul 17.30 WIB dan cara
permainannya adalah sebagai berikut: Para pemain menebak atau memasang
nomor-nomor yang akan dibuka terdiri dari 2 angka (dua digit), 3 angka (tiga
digit), dan 4 angka (empat digit) dengan nilai pasangan paling sedikit sebesar
Rp 1.000,- (seribu rupiah) per nomor tebakan.
Bahwa cara untuk menentukan pemenangnya adalah apabila nomor
yang dikeluarkan sama dengan nomor yang ditebak atau dipasang terdiri dari
57
2 angka (dua digit) dari belakang maka pemenangnya akan dibayarkan 60
(enam puluh) kali lipat dari jumlah taruhan, 3 angka (tiga digit) dari belakang
akan dibayarkan 350 (tiga ratus lima puluh) kali lipat dari jumlah taruhan, dan
4 angka (empat digit) akan dibayarkan 2500 (dua ribu lima ratus) kali lipat
dari jumlah taruhan, dan dari penjualan nomor judi togel tersebut terdakwa
mendapat omzet satu kali putaran sebesar 20 (dua puluh) persen.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 6 Desember 2012 sekira pukul 10.30
WIB bertempat di sebuah warung di Jl. Wisma Harun, Kelurahan Kebon Pala
Kecamatan Makasar Jakarta Timur, terdakwa melakukan penjualan nomor
togel, selanjutnya para pemain atau penebak datang menghampiri dan
memasang nomor-nomor tebakan dengan rincian rekapan sebagai berikut :
1. Sdr. SUSILO nomor pasangan 03-51 masing-masing dengan jumlah
taruhan sebesar Rp 5000,- (lima ribu rupiah) dan nomor 30, 53, 38, 23, 18,
01, 12, 15, 35, 83, 31, 32, 81, 10, 21 dengan jumlah taruhan masingmasing sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah).
2. Sdr. MANULANG nomor pasangan 50 dengan jumlah taruhan sebesar Rp
10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
3. Sdr. ONO nomor pasangan 473 dengan taruhan sebesar Rp 4.000,- (empat
ribu rupiah), nomor 73 dengan taruhan sebesar Rp 5.000,- (lima ribu
rupiah), nomor 256 dengan taruhan sebesar Rp 6.000,- (enam ribu rupiah),
nomor 56 dengan taruhan sebesar Rp 7.000 (tujuh ribu rupiah), nomor 47
dengan taruhan sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) dan nomor
25 dengan taruhan sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
58
4. Sdr. BUTAR-BUTAR nomor pasangan 082 dengan taruhan sebesar Rp
10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dan nomor 82 dengan taruhan sebesar Rp
100.000,- (seratus ribu rupiah).
5. Sdr. ATANG nomor pasangan 628, 709, 256, 365, 096, 658, 346, 968
masing-masing dengan taruhan sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) dan
nomor 72 dengan taruhan sebesar Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah).
6. Sdr. UDI nomor pasangan 29, dengan taruhan sebesar Rp 8.000,- (delapan
ribu rupiah), nomor 24, 25, 27, 20 masing-masing dengan taruhan sebesar
Rp 2.000,-(dua ribu rupiah).
7. Sdr. JUNADI nomor pasangan 39, 35 masing-masing dengan taruhan
sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah), nomor 35, 32 masing-masing
dengan taruhan sebesar Rp 5.000,- (lima puluh ribu rupiah), nomor 72
dengan taruhan sebesar Rp 4.000,- (empat ribu rupiah) dan nomor 82
dengan taruhan sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Total uang tebakan judi togel tersebut sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima
puluh ribu rupiah). Sedangkan Sdr. SAIFUL, Sdr. SUGI, Sdr. OPAH, Sdr.
ANJAS, Sdr. SOLIHIN, Sdr. ADNAN, Sdr. ZUKI, Sdr. OFAN, Sdr.
KANCIL, Sdr. BUTET, Sdr. LAJAR, Sdr. PANGARIBUAN, Sdr. UYUN,
Sdr. ROSI, Sdr. HERMAN, Sdr. BOTAK, Sdr. BOLOT, Sdr. NASGOR, Sdr.
ACONG, Sdr. UDIN, Sdr. UCOK, Sdr. GETAMEN, Sdr. DEWI, Sdr. ABAH,
Sdr. OYOK, Sdr. FERI, Sdr. BROTHER, Sdr. TUKANG MARTABAK, Sdr.
GONDRONG, Sdr. DANA, Sdr. DOLI, Sdr. SIHOMBING, Sdr. ACO dan
Sdr. ATIN adalah yang memasang dengan mengirimkan nomor tebakan
59
melalui SMS kepada terdakwa, dimana nomor dan besarnya jumlah tebakan
masih tersimpan dalam memori card milik terdakwa dan pada saat terdakwa
sedang menulis dan merekap nomor-nomor judi togel datang petugas
kepolisian menangkap terdakwa berikut barang buktinya.
Bahwa terdakwa dalam menawarkan atau memberikan kesempatan
kepada khalayak umum untuk melakukan permainan judi dan menjadikannya
sebagai pencarian atau dengan sengaja turut serta dalam permainan judi togel.
3. Dakwaan Penuntut Umum
Penuntut Umum dalam persidangan menghadapkan terdakwa dengan
dakwaan subsidair dan perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 303 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 303 ayat (1) ke-2
KUHP.
4. Pembuktian
a. Alat-alat bukti di persidangan
Keterangan saksi
Penuntut umum mengajukan saksi-saksi ke persidangan yang didengar
keterangannya di bawah sumpah, dan saksi-saksi yang keterangannya
dibacakan sesuai dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) di kepolisian
yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Saksi BAKRI NOOR, Saksi YANUAR SAHYADI, Saksi
TONI SUHENDAR, dan Saksi SUHIRTO bin. WITO
ATMOJO (Anggota Polisi)
60
Bahwa benar para saksi tidak kenal dengan terdakwa dan tidak
mempunyai hubungan keluarga dengan terdakwa.
Bahwa benar terjadinya tindak pidana judi togel terjadi pada
hari Kamis tanggal 6 Desember 2012 sekitar jam 10.30 WIB di Jl.
Wisma Harun Kelurahan Kebon Pala Kecamatan Makasar Jakarta
Timur yang dilakukan oleh terdakwa.
Bahwa benar terdakwa melakukan perjudian jenis togel dengan
cara terdakwa menulis nomor-nomor pasangan pemain dalam buku
rekapan yang sudah disediakan sebelumnya, selanjutnya orang-orang
yang memasang menyerahkan uang taruhannya kepada terdakwa dan
ada sebagian pemain yang mengirimkan melalui SMS ke nomor HP
terdakwa, selanjutnya ditulis di buku rekapan kemudian sekitar jam
15.30 WIB nomor-nomor pasangan pemain yang sudah direkap dan
uang taruhan atau uang pasangan pemain diantar kepada Sdr.
SITUMEANG (DPO) Jl. Kampung Makassar Kelurahan Kramat Jati
Kecamatan Makasar Jakarta Timur (di depan pasar rio) yang
merupakan pengepul judi togel yang diselenggarakan oleh terdakwa.
Selanjutnya sekitar jam 17.30 WIB SITUMEANG selaku pengepul
mengirimkan SMS kepada terdakwa yang berisi nomor yang
dikeluarkan
oleh
bandar
selanjutnya
terdakwa
mendatangi
SITUMEANG untuk mengambil hadiah atau uang hadiah atau uang
yang harus dibayarkan kepada pemain atas kemenangannya lalu
terdakwa menyerahkan uang yang harus dibayarkan kepada pemain
61
atas kemenangannya lalu terdakwa menyerahkan uang kepada pemain
yang nomor tebakannya keluar.
Bahwa benar terdakwa melakukan perjudian togel tersebut
agar terdakwa mendapatkan uang komisi sebesar 20% dari total omset
yang berhasil dikumpulkan oleh terdakwa setiap harinya dari Sdr.
SITUMEANG (DPO) selaku pengepul sebesar Rp 160.000,- (seratus
enam puluh ribu rupiah) s/d Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan
kalau pemain yang menang terdakwa juga mendapatkan komisi.
Terdakwa melakukan perjudian jenis togel tersebut tidak
memiliki ijin dari pihak berwenang.
Bahwa benar barang bukti yang disita dari tangan terdakwa
berupa 1 (satu) buah rekapan nomor-nomor judi togel, 1 (satu) buah
HP Asiafone dan uang tunai sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima
puluh empat ribu rupiah) adalah uang pasangan dari pemain.
Alat bukti surat berupa
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan surat-surat lainnya yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang
Petunjuk
Keterangan saksi-saksi dan terdakwa serta adanya alat bukti
surat dimana satu dengan yang lainnya saling bersesuaian, yang
menandakan telah terjadi tindak pidana perjudian yang dilakukan oleh
terdakwa FIRDAUS Als OBER Als BUYUNG BIN HASAN BASRI
62
Keterangan Terdakwa
Pemeriksaan terhadap terdakwa dilakukan setelah seluruh saksi
yang diajukan penuntut umum diperiksa oleh hakim di sidang pengadilan,
dan terdakwa memberikan keterangan di persidangan yang pada pokoknya
sebagai berikut:
Terdakwa ditangkap oleh Polisi berpakaian preman dari Polda
Metro Jaya pada hari Kamis tanggal 06 Desember 2012 sekitar jam 10.30
WIB di Jl. Wisma Harun Kelurahan Kebon Pala Kecamatan Makassar
Jakarta Timur karena melakukan perjudian judi togel.
Barang bukti yang disita dari tangan terdakwa berupa 1 (satu) buah
rekapan nomor-nomor judi togel, 1 (satu) buah HP Asiafone dan uang
tunai sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah)
adalah uang pasangan dari pemain.Terdakwa melakukan perjudian jenis
togel dengan cara terdakwa menulis nomor-nomor pasangan pemain
dalam buku rekapan yang sudah disediakan sebelumnya, selanjutnya
orang-orang yang memasang menyerahkan uang taruhannya kepada
terdakwa dan ada sebagian pemain yang mengirimkan melalui SMS ke
nomor handphone terdakwa. Terdakwa selanjutnya menulis di buku
rekapan, kemudian sekitar jam 15.30 WIB nomor-nomor pasangan pemain
yang sudah direkap dan uang taruhan atau uang pasangan pemain diantar
kepada Sdr.SITUMEANG (DPO) di Jl. Kampung Makassar Kelurahan
Kramat Jati Kecamatan Makasar Jakarta Timur (di depan pasar rio) yang
merupakan pengepul judi togel yang diselenggarakan oleh terdakwa.
63
Selanjutnya sekitar jam 17.30 WIB SITUMEANG selaku pengepul
mengirimkan SMS kepada terdakwa yang berisi nomor yang dikeluarkan
oleh bandar selanjutnya terdakwa mendatangi SITUMEANG untuk
mengambil hadiah atau uang hadiah atau uang yang harus dibayarkan
kepada pemain atas kemenangannya lalu terdakwa menyerahkan uang
yang harus dibayarkan kepada pemain atas kemenangannya lalu terdakwa
menyerahkan uang kepada pemain yang nomor tebakannya keluar.
Terdakwa melakukan perjudian togel tersebut agar terdakwa
mendapatkan uang komisi sebesar 20% dari total omset yang berhasil
dikumpulkan oleh terdakwa setiap harinya dari Sdr. SITUMEANG (DPO)
selaku pengepul sebesar Rp 160.000,- (seratus enam puluh ribu rupiah) s/d
Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan kalau pemain yang menang
terdakwa juga mendapatkan komisi.
Omset taruhan yang bisa terdakwa kumpulkan setiap harinya
adalah sekitar Rp 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) s/d 1.000.000,(satu juta rupiah).
Untuk para pemain mengeluarkan uang taruhan paling kecil
sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) untuk tiap nomor yang dipasang oleh
pemain sedangkan taruhan yang paling besar tidak dibatasi sesuai dengan
keinginan pemain.
Terdakwa melakukan perjudian jenis togel tersebut tidak memiliki
ijin dari pihak berwenang.
64
b. Barang-barang bukti
Di persidangan penuntut umum juga telah mengajukan barang
bukti dalam perkara ini yaitu berupa:
-
1 (satu) lembar rekapan togel;
-
5 (lima) lembar print out SMS;
-
1 (satu) unit HP Merk Asiafone berikut simcardnya nomor
089658501828 dan 081319026973;
-
Uang tunai sebesar Rp 354.000( tiga ratus lima puluh empat
ribu rupiah);
5. Tuntutan Penuntut Umum
Tuntutan pidana penuntut umum bahwa perbuatan terdakwa telah
memenuhi seluruh unsur Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP dan mohon agar
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memeriksa dan
mengadili perkara ini memutuskan:
1) Menyatakan Terdakwa FIRDAUS als OBER als BUYUNG Bin. HASAN
BASRI terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP, sebagaimana dalam
dakwaan Kedua.
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa FIRDAUS als OBER als
BUYUNG Bin. HASAN BASRI dengan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun dan 6 (enam) bulan, dikurangi masa tahanan sementara dengan
perintah terdakwa tetap ditahan.
3) Menyatakan barang bukti berupa :
65
- 1 (satu) lembar rekapan togel;
- 5 (lima) lembar print out SMS;
- 1 (satu) unit HP Merk Asiafone berikut simcardnya nomor
089658501828 dan 081319026973;
- Uang tunai sebesar Rp 354.000( tiga ratus lima puluh empat ribu
rupiah);
4) Menyatakan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).
6. Putusan Pengadilan
a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum
disusun secara subsidairitas, oleh karenanya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan dakwaan Kesatu terlebih dahulu, apabila dakwaan
Kesatu tidak terbukti, maka akan dipertimbangkan dakwaan selanjutnya.
Menimbang, bahwa dakwaan kesatu melanggar Pasal 303 ayat (1)
ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk
permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan
sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan
keterangan terdakwa, serat dihubungkan dengan barang bukti yang
diajukan dipersidangan, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh
66
karena salah satu unsur dari dakwaan Kesatu tidak terbukti, maka unsur
lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi, dan terdakwa harus dibebaskan
dari dakwaan Kesatu tersebut;
Menimbang,
bahwa
selanjutnya
Majelis
Hakim
akan
mempertimbangkan unsur dakwaan Kedua yaitu melanggar Pasal 303 ayat
(1) ke-2 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada
khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta
dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk
menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya
sesuatu tata-cara;
Ad.1. Unsur Barang Siapa
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah
setiap orang selaku subyek hukum yang diduga atau disangka telah
melakukan perbuatan yang dapat di hukum atas perbuatannya dan orang
tersebut harus mampu bertanggung jawab atas perbuatannya ;
Bahwa dalam hukum pidana rumusan kata barang siapa atau setiap
orang adalah menunjuk kepada subyek hukum. Bahwa setiap subyek
hukum melekat erat kemampuan bertanggung jawab yaitu hal – hal atau
keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu
yang tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang –Undang
yang dapat dihukum, sehingga seseorang sebagai subyek hukum untuk
67
dapat dihukum harus memiliki kemampuan bertanggung jawab atas
perbuatannya ;
Bahwa memperhatikan pengertian tersebut diatas dihubungkan
dengan fakta –fakta yang terungkap dalam persidangan, berdasarkan
keterangan saksi – saksi dan Terdakwa telah membenarkan identitasnya,
dan selama persidangan Terdakwa FIRDAUS Als OBER Als BUYUNG
BIN HASAN BASRI mampu bertanggung jawab secara hukum dan
dalam diri Terdakwa tidak ditemukan alasan yang dapat menghapus
pertanggung jawaban pidana;
Maka dengan demikian unsur ke satu terpenuhi
Ad.2. Unsur Tanpa mendapat ijin dengan sengaja menawarkan atau
memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain
judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu
dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan
adanya suatu syarat atau dipenuhinya suatu tata cara ;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan
keterangan terdakwa, serta dihubungkan dengan barang bukti yang
diajukan dipersidangan, maka didapat fakta hukum yaitu :
Bahwa benar terdakwa ditangkap oleh Polisi berpakaian preman
dari Polda Metro Jaya pada hari Kamis tanggal 06 Desember 2012 sekitar
jam 10.30 WIB di Jl. Wisma Harun Kelurahan Kebon Pala Kecamatan
Makassar Jakarta Timur karena melakukan perjudian judi togel.
68
Bahwa benar barang bukti yang disita dari tangan terdakwa berupa
1 (satu) buah rekapan nomor-nomor judi togel, 1 (satu) buah HP Asiafone
dan uang tunai sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima puluh empat ribu
rupiah) adalah uang pasangan dari pemain.Terdakwa melakukan perjudian
jenis togel dengan cara terdakwa menulis nomor-nomor pasangan pemain
dalam buku rekapan yang sudah disediakan sebelumnya, selanjutnya
orang-orang yang memasang menyerahkan uang taruhannya kepada
terdakwa dan ada sebagian pemain yang mengirimkan melalui SMS ke
nomor handphone terdakwa. Terdakwa selanjutnya menulis di buku
rekapan, kemudian sekitar jam 15.30 WIB nomor-nomor pasangan pemain
yang sudah direkap dan uang taruhan atau uang pasangan pemain diantar
kepada Sdr.SITUMEANG (DPO) di Jl. Kampung Makassar Kelurahan
Kramat Jati Kecamatan Makasar Jakarta Timur (di depan pasar rio) yang
merupakan pengepul judi togel yang diselenggarakan oleh terdakwa.
Selanjutnya sekitar jam 17.30 WIB SITUMEANG selaku pengepul
mengirimkan SMS kepada terdakwa yang berisi nomor yang dikeluarkan
oleh bandar selanjutnya terdakwa mendatangi SITUMEANG untuk
mengambil hadiah atau uang hadiah atau uang yang harus dibayarkan
kepada pemain atas kemenangannya lalu terdakwa menyerahkan uang
yang harus dibayarkan kepada pemain atas kemenangannya lalu terdakwa
menyerahkan uang kepada pemain yang nomor tebakannya keluar.
Bahwa benar terdakwa melakukan perjudian togel tersebut agar
terdakwa mendapatkan uang komisi sebesar 20% dari total omset yang
69
berhasil
dikumpulkan
oleh
terdakwa
setiap
harinya
dari
Sdr.
SITUMEANG (DPO) selaku pengepul sebesar Rp 160.000,- (seratus
enam puluh ribu rupiah) s/d Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan kalau
pemain yang menang terdakwa juga mendapatkan komisi.
Bahwa benar omset taruhan yang bisa terdakwa kumpulkan setiap
harinya adalah sekitar Rp 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) s/d
1.000.000,- (satu juta rupiah).
Bahwa benar untuk para pemain mengeluarkan uang taruhan
paling kecil sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) untuk tiap nomor yang
dipasang oleh pemain sedangkan taruhan yang paling besar tidak dibatasi
sesuai dengan keinginan pemain.
Bahwa benar terdakwa melakukan perjudian jenis togel tersebut
tidak memiliki ijin dari pihak berwenang. Maka dengan demikian unsur ke
dua telah terpenuhi ;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan
keterangan terdakwa, serta dihubungkan dengan barang bukti yang
diajukan dipersidangan, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa
terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsur dari
Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP, dalam Dakwaan Kedua;
Menimbang, bahwa karena itu terdakwa dinyatakan terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Ikut serta main
judi di jalan umum, atau dipinggir jalan umum, atau ditempat yang dapat
dikunjungi umum”;
70
Menimbang, bahwa Majelis Hakim dalam persidangan tidak
menemukan adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar dan terdakwa
dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan,
karena itu terdakwa harus dijatuhi pidana;
Menimbang, bahwa karena terdakwa berada dalam tahanan, maka
masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan dan memerintahkan pula agar terdakwa tetap
berada dalam tahanan;
Menimbang, bahwa mengenai barang bukti yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum dipersidangan akan ditetapkan dalam amar putusan
dibawah ini;
Menimbang, bahwa karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka
terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara ini;
Menimbang, bahwa sebelum terdakwa dijatuhi pidana perlu
dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan:
Hal-hal yang memberatkan:
-
Perbuatan terdakwa bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
-
Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;
Hal-hal yang meringankan:
-
Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya
serta terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya;
-
Terdakwa belum pernah dihukum;
71
Menimbang, bahwa mempertimbangkan segala sesuatu yang
termuat dalam Berita Acara Sidang perkara ini dianggap merupakan
bagian yang tidak terlepas dari putusan ini;
Mengingat, Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP serta pasal-pasal dari
peraturan lainnya yang bersangkutan;
b. Amar putusan Pengadilan
1. Menyatakan Terdakwa FIRDAUS Als OBER Als BUYUNG BIN
HASAN BASRI tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Perjudian”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1
(satu) tahun;
3. Menyatakan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan;
5. Menyatakan bukti berupa:
- 1 (satu) lembar rekapan togel;
- 5 (lima) lembar print out SMS;
- 1 (satu) unit HP Merk Asiafone berikut simcardnya nomor
089658501828 dan 081319026973;
“Dirampas untuk dimusnahkan”
- Uang tunai sebesar Rp 354.000( tiga ratus lima puluh empat ribu
rupiah);
“Dirampas untuk Negara”
72
6. Menyatakan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara
sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).
B. Pembahasan
1. Short Message Service (SMS) dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam
pembuktian tindak pidana perjudian
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan
pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil
terhadap perkara tersebut. Proses pencarian kebenaran materiil tersebut
melalui tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari tindakan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk
menentukan lebih lanjut putusan apa yang akan diambil.Putusan yang akan
diambil oleh hakim itu sendiri didasarkan pada kebenaran materiil yang
tepat dan berlaku menurut ketentuan perundang-undangan. Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana
dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan
pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal
6 ayat (2) yang menyatakan :
“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut UndangUndang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap
dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya”.
73
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan tersebut, maka
dalam proses penyelesaian perkara pidana, penegak hukum wajib
mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana
yang ditangani dengan selengkap mungkin. Oleh karena itu, diperlukanlah
proses pembuktian.
Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting pada
pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan, dikarenakan pembuktian
berisi ketentuan-ketentuan berupa pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
M.
Yahya
Harahap50,
mengemukakan
pendapatnya
mengenai
pembuktian sebagai berikut:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan
hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.”
Pendapat di atas menjelaskan bahwa pembuktian merupakan proses
yang terjadi di dalam sidang pengadilan untuk menentukan bersalah atau
tidaknya terdakwa berdasarkan dakwaan yang diajukan penuntut umum.
Hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk mengadili segala perkara
tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya mempertimbangkan
hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya tindak pidana tersebut,
sehingga hakim secara arif dan bijaksana menentukan alat-alat bukti yang
secara limitatif telah ditentukan oleh undang-undang yang dengan alat-alat
50
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 273.
74
bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Sedangkan tujuan atau fungsi hukum acara pidana, menurut Hibnu
Nugroho adalah:
1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materiil dari suatu
tindak pidana yang terjadi;
2. Menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana;
3. Meminta pengadilan untuk memuutuskan bersalah atau tidaknya
tersangka; dan
4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan dari putusan
tersebut.51
Dalam pembuktian, agar dapat tercapai kebenaran materiil
diharuskan adanya syarat kebenaran materiil untuk dapat menghukum
seseorang. Suatu tindak pidana benar-benar dapat dibuktikan, dengan
adanya bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan menyakinkan. Alat
bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam pasal 184
KUHAP. Yang dimaksud dengan alat bukti adalah :
“segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,
dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai
bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan
terdakwa.”52
Berdasarkan sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia yaitu
Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif (negatief
wettelijk bewijstheorie) yang dipertegas dalam ketentuan Pasal 183
KUHAP yang dirumuskan :
51
Hibnu Nugroho, Op.cit. Hlm. 32.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm.11.
52
75
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dengan demikian, untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa
hakim harus memenuhi hal-hal yaitu minimal dua alat bukti yang sah dan
adanya keyakinan hakim akan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah
yang bersalah melakukannya.
Perkembangan teknologi informasi membawa manusia kepada era
globalisasi yang memberikan kebebasan setiap orang di dunia untuk saling
bersosialisasi dengan siapapun dan di manapun mereka berada. Kemajuan
teknologi dan informasi telah melahirkan berbagai dampak, baik dampak
positif ataupun dampak negative, karena di satu sisi memberikan
kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban
manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melanggar
hukum. Teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengubah
perilaku dan pola hidup masyarakat secara global dan menyebabkan dunia
tanpa batas (borderless). Serta menimbulkan perubahan di berbagai
kehidupan khususnya tentang tindak pidana.
Pada
kasus
tindak
pidana
perjudian
pada
Putusan
No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM obyek penelitian adalah alat bukti
berupa SMS yang digunakan sebagai sarana oleh terdakwa untuk
melakukan tindak pidana perjudian. Bukti SMS tidak diatur sebagai alat
bukti dalam pembuktian suatu tindak pidana, karena Pasal 184 KUHAP
76
tidak mengatur mengenai alat bukti elektronik untuk dapat dijadikan
sebagai alat bukti dalam proses persidangan.
Pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menjelaskan tentang
apa saja yang menjadi alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana
yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa.
Pengertian surat menurut Asser-Anema 53, surat-surat ialah segala
sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti,
dimaksud untuk mengeluarkan pikiran. Sedangkan dalam KUHAP, surat
dijelaskan pada Pasal 187 KUHAP sebagaimana pada Pasal 184 ayat (1)
huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya
dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dan alat pembuktian yang lain”.
Dari ketentuan pasal diatas, SMS bisa di kategorikan sebagai surat
pada poin d yaitu sebagai “Surat Lain”. Pada poin tersebut dijelaskan
53
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 276.
77
bahwa surat tersebut harus mempunyai hubungan dengan alat pembuktian
lain sehingga dalam hal ini hasil cetak SMS bernilai sebagai alat bukti
penunjang saja. Alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan
alat bukti lain agar mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang artinya
alat bukti surat lain harus didukung oleh alat bukti lainnya sehingga isi
dari surat lain mempunyai hubungan dengan alat bukti lain. Dengan
demikian barulah dikatakan surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti
surat.54 Kekuatan pembuktian alat bukti surat memiliki “bukan alat bukti
yang mempunyai kekuatan mengikat”, sehingga alat bukti surat itu tidak
melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian
alat bukti surat, sama halnya dengan nilai pembuktian keterangan saksi
dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai pembuktian
yang bersifat bebas.
SMS juga bisa dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. Adapun
mengenai alat bukti petunjuk, sebagaimana diatur dalam Pasal 188
KUHAP di jelaskan bahwa :
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari :
1. Keterangan saksi;
2. Surat;
3. Keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilaksanakan oleh hakim dengan arif
54
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 309
78
lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian
antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh
gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab
terjadinya tindak pidana. Sumber dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim
dengan memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh persesuaian
antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya sehingga
menimbulkan suatu akibat-akibat hukum. Oleh karena itu alat bukti
petunjuk dapat diketahui adanya suatu pemikiran tentang adanya suatu
persesuaian antara kenyataan satu dengan kenyataan yang lain atau antara
suatu kenyataan dengan tindak pidananya sendiri.
Dalam hal ini SMS dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk
apabila memberikan suatu isyarat tentang suatu kejadian dimana isi dari
SMS tersebut mempunyai persesuaian antara kejadian yang satu dengan
yang lain dimana isyarat yang tersebut melahirkan suatu petunjuk yang
membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah
pelakunya. Petunjuk merupakan alat bukti yang tidak langsung
(Circumtantial evidence) yang sifatnya untuk melengkapi yang artinya
petunjuk bukanlah alat bukti yang mandiri karena petunjuk didapat dari
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Hakim dalam menilai
alat bukti petunjuk harus menghubungkan suatu alat bukti dengan alat
bukti yang lainnya dan harus melihat persesuaian dengan alat bukti yang
lain sehingga hakim dapat mengambil suatu kesimpulan.
79
SMS bisa juga dijadikan sebagai alat bukti berupa Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Setelah berlakunya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, ada perluasan mengenai alat bukti dalam hukum acara yang
berlaku di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik :
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.
Melihat isi dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, SMS dalam hal ini dapat
dikatakan sebagai sebuah informasi elektronik. SMS bisa dijadikan
sebagai alat bukti di dalam persidangan sepanjang SMS itu ada keterkaitan
hubungan dengan bukti-bukti yang lain, sehingga dapat berfungsi sebagai
alat bukti. SMS bisa dijadikan sebagai alat bukti surat yaitu dengan cara
SMS tersebut di print out-kan (hasil cetaknya) dari provider yang
bersangkutan.
Pengertian Informasi Elektronik termuat pada Pasal 1 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik :
“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
80
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.”
Agar Informasi Elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah.
Maka harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil suatu alat bukti.
Alat bukti elektronik yang dihadirkan pada persidangan harus terjamin
keutuhannya sehingga alat bukti elektronik dapat diakses, ditampilkan,
dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan yang dapat
menerangkan suatu keadaan. Alasan perlunya alat bukti yang dihadirkan
dalam suatu proses pembuktian di pengadilan bersifat otentik, yaitu:
1. Agar dapat dipastikan bahwa tidak terdapat perubahan/perbedaan
terhadap alat bukti tersebut. Perbedaan dengan alat bukti yang
sesungguhnya dapat memberikan nilai dan arah pembuktian yang
berbeda.
2. Agar terhindar dari pembuktian terhadap objek yang berbeda dengan
seharusnya yang dibuktikan. 55
Alat bukti SMS termasuk dalam bukti demonstratif. Alat bukti
demonstratif agar dapat diterima sebagai suatu bukti hukum harus harus
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harus Ada Alat Bukti Lain
Alat bukti demonstratif lebih merupakan peragaan diruang pengadilan
terhadap bukti tertentu sehingga alat bukti lain, yaitu alat bukti yang
diperagakan/ditiru tersebut harrus tersedia. Contoh: Jika seseorang
menunjukkan sebuah foto mobil di pengadilan sebagai bukti
demonstratif, mobil tersebut harus ada atau pernah ada.
2. Keakuratan yang Representatif
Bukti demonstratif yang dipertunjukkan di pengadilan harus akurat
dengan alat bukti yang diwakilinya. Akurat artinya harus sama besarnya
atau akurat skalanya, sama dimensinya, dan sama bentuknya.
Pembesaran yang berlebih-lebihan atau bentuknya yang diubah
sehingga berbeda dengan objek yang direpresentasikan tanpa suatu
maksud khusus, dapat menimbulkan misleading dan menimbulkan
55
Munir Fuady, Op.cit., hlm.189.
81
3.
4.
5.
6.
kesan yang berlebih-lebihan sehingga harus ditolak sebagai bukti
demonstratif.
Otentikasi
Bukti demonstratif harus otentik dengan alat bukti yang
direpresentasikan. Otentik di sini adalah bahwa alat bukti yang
diperagakan di pengadilan harus menunjukkan/menggambarkan alat
bukti yang sebenarnya yang direpresentasikan.
Identifikasi
Yang diperagakan di pengadilan sebagai alat bukti demonstratif harus
sama persis (matching) dengan alat bukti sebenarnya yang
direpresentasikan.
Admisability
Suatu bukti demonstratif harus memenuhi syarat admission sebagai alat
bukti di pengadilan. Dalam ilmu hukum pembuktian diajarkan bahwa
agar suatu alat bukti dapat lulus dalam admission test, harus dipenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Relevancy
b. Materiality (siginificant)
c. Competency
Keseimbangan (balancing)
Alat bukti demonstratif mempunyai efek positif di samping efek
negatif. Efek positif yang paling penting tentu saja memperjelas yang
akan dibuktikan tersebut. Adapun efek negatifnya akan menimbulkan
misleading, lebih memancing emosional daripada rasional, membuangbuang waktu, dan lain-lain.
Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data elektronik juga
menyangkut aspek validitas yang dijadikan alat bukti, karena bukti
elektronik mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti nonelektronik, karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan
dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan
mudah direkayasa sehingga sering diragukan validitasnya.56
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, suatu informasi
elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti
dalam pembuktian perkara pidana apabila menggunakan sistem elektronik
56
Yudhistira, dkk, Kekuatan Surat Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan
Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana, http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/
download/4347/3302 (diakses 14 November 2013), hlm. 3.
82
yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tersebut, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman,
serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang
ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
Dapat
melindungi
ketersediaan,
keutuhan,
keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh
pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut;
Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. 57
Jadi dalam hal ini menurut analisa tersebut, SMS bisa dijadikan
sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana dimana SMS bisa
dikategorikan sebagai alat bukti surat atau alat bukti petunjuk atau juga
dapat digunakan sebagai alat bukti informasi elektronik. Untuk
menentukan termasuk alat bukti yang mana SMS tersebut, hal itu
tergantung dari peranan hakim dalam memberikan keyakinannya
(Conviction-Raisonee) tentang suatu perkara dalam persidangan.Untuk
menjadikannya sebagai alat bukti petunjuk, maka disini dituntut peranan
Hakim untuk dapat menggunakan suatu metode penafsiran (interpretasi)
57
Ivan Giovani Sembiring, Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan dan Kedudukan
Internet Protokol Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber Crime),
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/viewFile/3782/1789, (diakses 14 November 2013),
hlm. 6-7.
83
terhadap
ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
yaitu
dengan
menggunakan Interpretasi ekstensif (perluasan).58
2.
Kekuatan pembuktian alat bukti Short Message Service (SMS) dalam
pembuktian tindak pidana perjudian dalam Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam
pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman pada sistem
pembuktian yang tuliskan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pembuktian merupakan proses yang terjadi di sidang pengadilan
untuk menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan
dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Yang dimaksud
dengan pembuktian Menurut Edmon Makarim 59, adalah :
“Pada hakekatnya pembuktian di mulai sejak diketahui adanya
suatu peristiwa hukum. Namun perlu di ketahui bahwa tidak semua
peristiwa hukum terdapat unsur-unsur pidana (bukti awal telah
terjadi tindak pidana) maka barulah proses tersebut di mulai dengan
mengadakan penyelidikan, penuntutan, dan persidangan dan
seterusnya. Pembuktian merupakan suatu upaya untuk
membuktikan kebenaran dari isi surat dakwaan yang disampaikan
58
Liga Sabina Luntungan, Keabsahan Alat Bukti Short Message Service (SMS) dan Surat
Elektronik
Dalam
Kasus
Pidana,
2013,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/download/1572/1264, Hal. 136.
59
Edmon Makarim, Op.cit, hal.419
84
oleh jaksa penuntut umum, yang gunanya
memperoleh kebenaran sejati (materiil).”
adalah untuk
Tindak pidana benar-benar dapat dibuktikan, dengan adanya bukti
yang sah dan menyakinkan. Dan membuktikan sesuatu menurut hukum
pidana berarti menunjukkan hal-hal
yang dapat ditangkap
oleh
pancaindera, mengutarakan hal-hal tersebut dan berpikir secara logika, hal
ini karena hukum pidana hanya mengenal pembuktian yang dapat diterima
oleh akal sehat berdasarkan peristiwa yang konkrit. Beberapa ketentuan
hukum acara pidana telah mengatur mengenai beberapa alat bukti yang sah
dan meyakinkan seperti dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
menyatakan bahwa :
“Alat bukti yang sah ialah:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa”.
Pembuktian dalam perkara pidana memerlukan adanya alat bukti
yang sah sesuai dengan isi dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dan Hakim
dalam menjatuhkan putusan pidana harus berdasarkan pada Pasal 183
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang intinya mendasarkan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah yang dapat membentuk keyakinan hakim tentang
kesalahan
terdakwa.
Dan
terbentuknya
keyakinan
hakim
dalam
85
menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat
bukti yang dikemumakakan pada proses persidangan.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, ada perluasan mengenai alat bukti
dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 5
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(4) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.
Dalam kasus ini kekuatan pembuktian alat bukti SMS merupakan
sebagai alat bukti yang sah pada Putusan No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.
TIM. Pada prinsipnya dalam melakukan penilaian terhadap alat bukti yang
dihadirkan di persidangan, hakim tidak terikat pada nilai kekuatan alat
bukti yang ada artinya bahwa hakim dalam memeriksa alat bukti, bebas
dalam menilai kebenaran dari alat bukti tersebut dan hakim juga dapat
menerima atau menyingkirkan alat bukti yang dihadirkan dalam
persidangan. Penilaian alat bukti yang dilakukan oleh hakim haruslah
sesuai dengan asas minimum pembuktian dan keyakinan hakim sesuai
dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Dari ketetentuan pasal diatas harus ada minimal dua alat bukti yang
sah dan hakim memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa. Alat
bukti yang dihadirkan pada persidangan ini ialah keterangan saksi, surat,
86
petunjuk dan keterangan terdakwa. Mengenai pembuktian dengan alat
bukti SMS, proses pembuktian yang melibatkan berbagai hal terkait
teknologi informasi seperti informasi dan atau dokumen elektronik tetap
mendasarkan pada ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam
KUHAP serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Alat-alat bukti tersebut merupakan perluasan dari alat-alat
bukti sebagaimana diatur dan berlaku dalam hukum acara, khususnya
hukum acara pidana, yakni sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP.
Pada
kasus
perjudian
ini
pada
Putusan
No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM dari fakta persidangan yang ada yaitu
pada hari Kamis tanggal 06 Desember 2012 sekitar jam 10.30 WIB di Jl.
Wisma Harun Kelurahan Kebon Pala Kecamatan Makassar Jakarta Timur
karena melakukan perjudian judi togel. Terdakwa melakukan perjudian
jenis togel dengan cara terdakwa menulis nomor-nomor pasangan pemain
dalam buku rekapan yang sudah disediakan sebelumnya yang berarti
pemain secara langsung bertemu dengan terdakwa untuk membeli nomor
togel. Lalu didapat juga fakta bahwa dalam melakukan perjudian togel
tersebut pemain juga dapat tidak bertemu secara langsung dengan
terdakwa melainkan sebagian pemain mengirimkan pesan melalui SMS ke
nomor handphone terdakwa untuk membeli nomor togel yang dijual oleh
terdakwa. Barang bukti yang disita dari tangan terdakwa berupa 1 (satu)
buah rekapan nomor-nomor judi togel, 1 (satu) buah HP Asiafone dan
87
uang tunai sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah)
adalah uang pasangan dari pemain.
Berdasarkan
Putusan
No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM
telah
diajukan barang bukti berupa 1 (satu) lembar rekapan togel, 5 (lima)
lembar print out SMS, 1 (satu) unit HP Merk Asiafone berikut simcardnya
nomor 089658501828 dan 081319026973, Uang tunai sebesar Rp
354.000( tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah). Akan tetapi hasil print
out SMS tersebut hanya berkedudukan sebagai alat bukti petunjuk. Dalam
Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa petunjuk diartikan sebagai
perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Alat bukti petunjuk di dapat apabila ada persesuaian dengan (a)
perbuatan, (b) kejadian, (c) keadaan, (d) delik, dan (e) subjek persona
pelaku delik. 60 Petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam
Pasal 184 KUHAP. Petunjuk dalam KUHAP sebagai alat bukti yaitu harus
diperoleh melalui keterangan saksi, surat maupun keterangan terdakwa,
dan petunjuk tersebut merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan yang
memiliki persesuaian dan persesuaian dengan dengan tindak pidana itu
sendiri yang menunjukkan adanya tindak pidana dan pelakunya.
Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk mempunyai sifat
kekuatan pembuktian yang bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran
60
Nikolas Simanjuntak, Op.cit, hal.271
88
persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas
menilainya dan mempergunakanya sebagai upaya pembuktian. Akan tetapi
yang membedakan petunjuk dengan alat bukti lainnya adalah bahwa alat
bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan
terdakwa karena berdasarkan Pasal 188 ayat (2) KUHAP alat bukti
petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa. Oleh sebab itu dalam setiap penilaian atas kekuatan
pembuktian dari suatu petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif dan
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.61
Namun untuk menentukan apakah bukti petunjuk berupa SMS ini
dapat digunakan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana, perlu
dilihat penegasan Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang menegaskan bahwa,
“penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan
berdasarkan hati nuraninya.” Dengan demikian untuk menentukan bahwa
bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian dalam menyelesaikan suatu
kasus tindak pidana maka faktor penilaian hakim menjadi penentu atas hal
tersebut.
Pembuktian di dalam petunjuk ini tidak dapat di kesampingkan
begitu saja, karena alat bukti petunjuk ini sangat berperan dalam
61
Andi Hamzah, Op.cit, hal. 277.
89
memberikan gambaran pada hakim untuk memutuskan suatu perkara, di
saat ala bukti yang ada tidak mampu membuat suatu perbuatan menjadi
terang.62
Pada
kasus
perjudian
ini
pada
Putusan
No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM, alat bukti SMS ini digunakan sebagai
sebuah petunjuk sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur
dalam Pasal 184 KUHAP, karena alat bukti petunjuk dianggap sah apabila
diperoleh dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa, maka
SMS ini merupakan alat bukti petunjuk sehingga terlihat jelas keabsahan
dari alat bukti elektronik tersebut dan dapat diajukan sebagai alat bukti
pada proses pembuktian sebuah perkara pidana. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa SMS merupakan alat bukti yang sah dalam
menjatuhkan pidana bagi terdakwa, akan tetapi dalam penjatuhan pidana
tersebut harus sesuai dengan ketentuan minimum pembuktian sehingga
alat bukti yang lain sangat diperlukan untuk memperkuat keyakinan
hakim.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setala
ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya. Dari pernyataan tersebut maka dapat
dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung
(Circumtantial evidence) yang berarti alat bukti petunjuk sebagai alat
62
Edmon Makarim, Op.cit, Hlm. 442.
90
pelengkap saja yang dapat diartikan petunjuk bukanlah alat bukti yang
dapat berdiri sendiri karena didapat dari alat bukti lain yaitu keterangan
saksi, surat dan keterangan terdakwa. Maka dalam penilaian dibutuhkan
kebijaksanaan hakim dalam menilai alat bukti petunjuk dengan alat bukti
lain ada suatu persesuaian satu sama lain. Keterangan para saksi-saksi dan
terdakwa dan dari barang bukti yang disita oleh penyidik telah
menunjukkan bahwa telah terjadi tindak pidana perjudian dengan cara
menjual nomor Togel dengan sarana media elektronik berupa SMS.
Dimana perjudian tersebut dilakukan tanpa mendapat ijin dari pihak yang
berwenang dan dalam sidang pembuktian terdakwa mengaku telah
melakukan perjudian menggunakan SMS dalam menjual nomor Togel
yang dikuatkan juga berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada di
persidangan.
Jadi kekuatan alat bukti SMS dalam tindak pidana perjudian
Putusan No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM sebagai alat bukti petunjuk
dimana alat bukti tersebut bukanlah alat bukti yang mandiri melainkan
sebagai alat bukti pelengkap saja yang digunakan untuk memenuhi asas
minimum pembuktian. Penilaian alat bukti petunjuk diserahkan kepada
hakim secara arif dan bijaksana dalam menilai alat bukti tersebut.
91
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM
maka penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut :
1.
Alat Bukti berupa Short Message Service (SMS) dapat dijadikan
sebagai alat bukti :
a. SMS dapat berfungsi sebagai alat bukti “surat” dan atau alat bukti
“petunjuk” serta dapat juga digunakan sebagai alat bukti informasi
elektronik dalam pembuktian suatu tindak pidana.
b. Dalam penilaian alat bukti Short Message Service (SMS)
dikategorikan sebagai alat bukti yang mana hal tersebut tergantung
dari
keyakinan
hakim
(Conviction-Raisonee)
dengan
menggunakan suatu penafsiran Interpretasi ekstensif (perluasan)
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
2.
Kekuatan alat bukti Short Message Service (SMS) dalam Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM
merupakan alat bukti yang sah, yang mana alat bukti Short Message
Service (SMS) tersebut hanya sebagai alat bukti petunjuk yang berarti
alat bukti tersebut bukan alat bukti yang bersifat mandiri atau dapat
berdiri sendiri melainkan harus di dukung adanya alat bukti lain untuk
menguatkannya. Pada prinsipnya penilaian atas nilai kekuatan
92
pembuktian alat bukti petunjuk di serahkan pada hakim dengan penuh
kecermatan dan keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dan
hakim haruslah arif dan bijakasana dalam menilai alat bukti petunjuk
berdasarkan hati nuraninya.
B. Saran
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, banyak
kejahatan baru yang menggunakan pemanfaatan teknologi sebagai sarananya.
Sebaiknya hal ini disertai dengan pengetahuan yang maju akan teknologi bagi
aparat penegak hukum. Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai tonggak awal diakuinya
alat bukti elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan. Sehingga
seharusnya dalam penegakan hukum pada tindak pidana yang menggunakan
teknologi sebagai sarananya, aparat penegak hukum bersedia menggunakan
alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang utama untuk mengungkap dan
membuktikan suatu tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Rajawali
Pers. Jakarta. 2004.
Arief, Barda Nawawi. Tindak Pidana Mayantara. PT RajaGrafindo Persada.
Jakarta. 2006.
Chazawi, Adam. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Bakhri, Syaiful. Hukum Pembuktian dalam Praktek Peradilan Pidana. P3IH FH
UMJ Total Media. Yogyakarta. 2009.
Fuady, Munir. Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata. PT. Citra Aditya.
Bandung. 2012.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2008.
______.2009. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2001.
______. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar
Grafika. Jakarta. 2002.
______. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. 2004.
______. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi
Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 2006.
Ibrahim, Jhony. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Banyumedia.
Malang. 2005.
Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2004.
Makarao, Mohammad Taufik & Suharsil. Hukum Acara Pidana: Dalam Teori
dan Praktek. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2004.
Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan &
Penyidikan) Bagian Pertama: Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 2009.
Poernomo, Bambang. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku.
Yogyakarta. 1984.
Prinst, Darwan. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Djambatan. Jakarta. 2002.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003.
R.M., Suharto. Penuntutan Dalam Praktek Peradilan. Sinar Grafika. Jakarta.
2004.
Salam, Moch.Faisal. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Mandar
Maju. Bandung. 2001.
Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.
Mandar Maju. Bandung. 2003.
Simanjuntak, Nikolas. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Ghalia
Indonesia. Bogor. 2009.
Soeparmono, R. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum
Acara Pidana. Mandar Maju. Bandung. 2002.
Syahdeini, Sutan Remy. Kejahatan Tindak Pidana Komputer. Pustaka Utama
Grafiti. Jakarta. 2009.
Peraturan Perundang-Undangan :
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
________, Undang-Undang Nomor Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209).
________, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 58)
________, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Sumber lain :
http://dokumenku-coretanku.blogspot.com/2011/05/alat-bukti-dan-kekuatanpembuktian.html (diakses hari Rabu, tanggal 17 September 2013, pukul
11.45).
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/article/download/1015/1036
(diakses hari Senin, 15 September 2013)
Indriani, Santi. Tinjauan Yuridis Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Dunia
Maya (Cyber Crime). Vol. 1 No. 2 Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899XX
http://jodfisipunbara.files.wordpress.com/2012/05/11-santi-oke-hal-8189.pdf, Hal. 60. (diakses tanggal 14 November 2013).
Luntungan, Liga Sabina. Keabsahan Alat Bukti Short Message Service (SMS) dan
Surat
Elektronik
Dalam
Kasus
Pidana.
2013.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/download/1572/126
4 (diakses hari Senin, 15 September 2013)
Papu, Johanes. 2002. Sejarah & Jenis Perjudian. Jakarta. Dalam http://www.epsikologi.com/epsi/Sosial_detail.asp?id=279. (Diunduh pada tanggal 30
September 2013).
Ro’is, Nur. Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana. Jurnal
Ilmiah Dinamika Vol. 3 No. 6 Desember 2010 ISSN: 1979–0899X.
http://jodfisipunbara.files.wordpress.com/2012/05/12-rois-oke-hal-90-96.pdf
(diakses tanggal 14 November 2013).
Sembiring, Ivan Giovani. Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan dan Kedudukan
Internet Protokol Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Kejahatan
Mayantara
(Cyber
Crime).
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/viewFile/3782/1789, (diakses
tanggal 14 November 2013).
Universitas
Pembangunan
Nasional
“Veteran”
Jakarta.
(on-line).
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/205711002/bab3.pdf, diakses
pada tanggal 7 Mei 2013.
Witanto, D.Y. Problematika Penanganan Cyber Crime Dalam Perspektif Asas
Teritorial di Indonesia. Jurnal Varia Peradilan No.321 Agustus 2012.
Yudhistira, dkk. Kekuatan Surat Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam
Persidangan
Ditinjau
Dari
Hukum
Acara
Pidana.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/download/4347/3302
(diakses 14 November 2013).
Download