this PDF file

advertisement
Pola Spasial Permukiman Tradisional Bali Aga
di Desa Sekardadi, Kintamani
Ni Ketut Agusintadewi
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana
[email protected]
ABSTRAK
Desa Sekardadi merupakan salah satu turunan Desa Bayung Gede yang memiliki
kekerabatan sangat kuat. Namun, tidak seperti desa induk, Desa Sekardadi belum
terdokumentasi secara baik sebagai desa tua di Kabupaten Bangli karena masih
sangat jarang digunakan sebagai objek penelitian. Desa Sekardadi memiliki keunikan
pada pembentukan pola spasial permukiman dan tata letak huniannya. Keunikan
pola spasial permukimannya menarik untuk diungkap lebih jauh, baik filosofi
maupun perwujudannya secara fisik. Dengan pendekatan deskriptif eksploratif
secara kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk menemukenali dan memaparkan
karakteristik Desa Sekardadi, fisik maupun nirfisik. Variabel penelitian ditentukan
berdasarkan teori housing pattern dari Habraken (1978) dan Turgut (2001),
sehingga didapatkan tiga variabel setting: 1) Budaya; 2) Perilaku; dan 3) Spasial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola ruang makro Desa Sekardadi dibagi
menjadi tiga zona: 1) Utama Mandala terletak pada sisi utara desa; 2) Madya
Mandala berada di tengah-tengah desa, dan 3) Nista Mandala pada sisi selatan desa.
Pola spasial mengikuti konsep hulu-teben (tinggi-rendah) atau pola linier dengan
jalan utama desa sebagai sumbu utama. Dataran lebih tinggi bernilai sakral
(parahyangan) yang ditandai dengan Pura Puseh dan dataran rendah memiliki nilai
profan (palemahan) dengan keberadaan kuburan, sedangkan di tengah adalah
permukiman penduduk sebagai area pawongan.
Kata kunci: pola spasial; permukiman tradisional; Desa Sekardadi
ABSTRACT
The Bayung Gede village has derived smaller traditional settlements around
Kintamani. Sekardadi is one of these settlements that has an inherent consociates
with the village of origin, or the Bayung Gede. Despite the fact that the Sekardadi has
a uniqueness on spatial pattern and house lay out, this village has not been welldocumented as an old village in Bali. These uniqueness are interesting to be indepth explored. It is not only on the basic philosophy of the house pattern, but also
how this pattern to be physical implemented. This study aims to describe some
characteristics of the village, both physical and nonphysical aspects, through the
way of descriptive exploratory qualitative approach. According to the theory
housing pattern of Habraken (1978) and Turgut (2001), research variables are
determined into three variables: 1) Cultural setting; 2) Behavioural setting; and 3)
Spatial setting. The result shows that macro spatial pattern of the Sekardadi village
is divided into three zones: 1) Utama Mandala locates in the north of the village; 2)
Madya Mandala is in the middle of the village, and 3) Nista Mandala in the south.
Spatial pattern follows the hulu-teben conception or linear pattern with the main
road as a cardinal orientation. Higher land means a sacred area (parahyangan) that
is characterized by the existence of Pura Puseh. Meanwhile, the opposite is defined
as a profane area (palemahan) with the presence of graves; and in the middle is the
settlement (pawongan).
Keywords: spatial pattern; traditional settlement; Sekardadi village
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
47
1. Pendahuluan
Bali memiliki tatanan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal
permukiman. Tidak hanya bentuk bangunannnya saja yang khas, tetapi demikian pula
halnya dengan pola desanya. Desa Sekardadi adalah salah satu Desa Bali Aga
(pegunungan) yang ada di Bali. Desa ini memiliki pola ruang makro yang khas seperti
desa-desa yang ada di Bali. Peruntukan lahan di Desa Sekardadi sebagian besar
digunakan sebagai lahan perkebunan, yang merupakan perkebunan rakyat dengan hasil
utama cengkeh dan kopi. Pola permukiman makro Desa Sekardadi dilandasi oleh konsep
Tri Hita Karana dan Tri Mandala, tata ruang makro dibagi menjadi tiga zona. Zona
Mandala Utama terletak pada sisi utara Desa yang dibatasi oleh batas Banjar Dauh Pura,
Zona Madya Mandala berada di tengah-tengah Desa dengan batas sisi utara dan selatan
merupakan batas Banjar Dauh Pura. Sedangkan yang terakhir adalah Zona Nista
Mandala yang berada pada sisi selatan Desa Sekardadi.
Berdasarkan data sejarah, bersama-sama beberapa desa lainnya, Desa Sekardadi
merupakan salah satu turunan dari Desa Bayung Gede yang memiliki kekhasan pada
pola permukiman dan tata huniannya. Desa Bayung Gede merupakan desa bersejarah
yang telah berkembang menjadi banyak desa lain dengan tetap mempertahankan
sebagian besar budaya bermukimnya. Namun, dalam kurun waktu delapan dekade
(sejak 1930an, dimana untuk pertama kalinya desa ini berhasil diidentifikasi oleh
Margaret Mead, dkk), terakhir mengalami perubahan bentuk fisik utamanya yang
berkenaan dengan unit hunian. Fenomena perubahan yang dilakukan oleh penghuni
telah terbukti secara ilmiah didorong oleh adanya perubahan gaya hidup dan cara
pandang penghuni terhadap huniannya serta perubahan demografi (Manik, 2007:V).
Sebagaimana Desa Bayung Gede pada masa identifikasi Mead (tahun 1936), tata
letak hunian Desa Sekardadi juga mengikuti pola seperti pada desa induknya yaitu tiga
massa bangunan di dalam satu unit hunian (kavling). Ketiga massa bangunan tersebut
secara serentak berulang kembali di setiap unit hunian, yaitu(secara berurutan dari
pintu masuk utama pekarangan): (1) Jineng/lumbung, tempat menyimpan hasil
pertanian/perkebunan; (2) Bale Pegaman, tempat tidur anak-anak dan menyimpan
perlengkapan upacara; (3) Paon/Dapur, yang berfungsi untuk menyiapkan logistik
keluarga sekaligus ruang tidur orang tua. Beberapa aspek fisik unit lingkungan juga
memiliki kekhasan dan keseragaman yang menunjukkan dimasa lalu, pihak otoritas
desa telah menyiapkan semacam regulasi tradisional yang mengatur keteraturan di
dalam desa ini. Di masa kini, banyak dari sekian kesepakatan untuk teratur itu dapat kita
temui bentukannya di lingkungan desa.
Keunikan pada pola spasial permukiman tradisional ini menjadi menarik untuk
diungkap lebih jauh lagi. Bagaimana masyarakat Bali Aga di pegunungan membentuk
pola permukiman di Desa Sekardadi? Bagaimana perwujudan konsep Tri Hita Karana
dan Tri Mandala dalam pembentukan pola permukiman tersebut? Pertanyaanpertanyaan tersebut menjadi bahan ulasan dalam tulisan ini. Sebagaimana para
antropolog menyebutkan Desa Sekardadi sebagai Bali Muna atau Bali Kuna yang
bermakna orang Bali asli atau kuno karena masih mempertahankan tradisi budaya
sebelum munculnya kebudayaan Bali, maka desa ini menjadi menarik dan penting untuk
dieksplorasi lebih jauh.
Selain itu, tidak seperti Desa Bayung Gede dan Desa Penglipuran yang telah
sering diteliti oleh banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu, penelitian tentang Desa
Sekardadi masih sangat terbatas. Sejumlah penelitian pendahulu telah dilakukan,
namun masih dalam perspektif antropologi dan arkeologi. Sampai saat ini belum
ditemukan penelitian dari perspektif arsitektur, sehingga Desa Sekardadi dapat
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
48
dikategorikan sebagai desa tua di Kabupaten Bangli yang belum terdokumentasi dengan
baik.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, untuk menemukenali dan
menjelaskan perwujudan nilai-nilai filosofi pada pola spasial permukiman Desa
Sekardadi, maka analisis yang digunakan bersifat deskriptif eksploratif secara kualitatif.
Variabel penelitian ditentukan berdasarkan teori housing pattern dari Habraken (1978)
dan Turgut (2001), sehingga didapatkan tiga variabel setting: 1) Budaya; 2) Perilaku;
dan 3) Spasial. Pandangan masyarakat Bali Aga terhadap hunian dan permukimannya
dipelajari melalui studi pustaka sebagai sumber sekunder dikaitkan dengan wawancara
dengan para pemuka adat dan warga masyarakat dan nara sumber lainnya.
Penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilakukan oleh Penulis dalam
menjelajahi arsitektur tradisional Bali Aga di wilayah Kabupaten Bangli. Dengan adanya
penelitian ini, generasi mendatang diharapkan tetap dapat memiliki kesempatan untuk
mengetahui arsitektur rumah tradisional dan permukiman Bali Aga di Desa Sekardadi.
Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi dokumentasi yang inklusif secara lengkap
dan menyeluruh, sehingga memudahkan bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk
mengungkap lebih banyak lagi ‘rahasia-rahasia’ yang tersimpan dari kekhasan desa ini.
2.
Bahan dan Metode
Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif secara kualitatif yang memaparkan
data lapangan secara menyeluruh atas kelompok data yang bersesuaian. Penelusuran
pustaka akan memperkuat hasil wawancara maupun observasi lapangan. Penelitian
bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi terkini lingkungan desa (berikut unit
huniannya), serta sistem kepercayaan dan sosial kemasyarakatannya.
Tabel 1. Variabel penelitian
Faktor Pembentukan Pola Permukiman
(housing pattern)
Variabel Penelitian
Habraken (1978)

Sistem Spasial (organisasi ruang yang termasuk hubungan antar ruang,
orientasi, pola hubungan antar ruang, dll.)

Sistem Fisik (penggunaan sistem konstruksi serta bahan bangunan)

Sistem Style (bentuk, fasade, bentuk pintu, bentuk jendela, serta unsurunsur ragam hias di dalam (interior) atau di luar bangunan (eksterior)
Turgut (2001)

Setting Spasial (organisasi ruang yang termasuk hubungan antar ruang,
orientasi, pola hubungan antar ruang, bentuk, fasade, bentuk pintu,
bentuk jendela, serta unsur-unsur ragam hias di dalam (interior) atau di
luar bangunan (eksterior), penggunaan sistem konstruksi serta bahan
bangunan, dll.)

Setting Perilaku (tradisi/kebiasaan, hubungan sosial dan kekerabatan
dalam keluarga, dll.)

Setting Budaya (sistem kepercayaan, sistem sosial kemasyarakatan, dll.)

Setting Sosial Ekonomi (mata pencaharian,sumber pendapatan desa,
tingkat penghasilan, dll.)
1. Setting budaya (sistem
kepercayaan, sistem sosial
kemasyarakatan, dll.)
2. Setting perilaku
(tradisi/kebiasaan, hubungan
sosial dan kekerabatan dalam
keluarga, dll.)
3. Setting spasial (pola spasial
permukiman)
Sumber: dikembangkan dari Habraken (1978) dan Turgut (2001)
Pengumpulan data dilakukan dengan menggabungkan pendapat Habraken
(1978) dan Turgut (2001) mengenai budaya permukiman, sehingga dapat ditentukan
variabel-variabel penelitian yang menjadi panduan dalam penelusuran data selama di
lapangan, lihat Tabel 1. Kedua teori ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari teori
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
49
Rapoport (1977) mengenai setting sebagai unsur utama pembentuk lingkungan. Setting
ini memperlihatkan pola kegiatan serta proses mewujudkan wadah aktifitas, baik secara
fisik maupun nirfisik (Rapoport, 1977). Tabel berikut merupakan modifikasi dari kedua
teori tersebut sebagai variabel pendukung pembentukan pola permukiman (housing
pattern). Variabel-variabel yang akan digunakan untuk melakukan identifikasi adalah:
(1) Setting spasial; (2) Setting perilaku; (3) Setting budaya; yang kesemuanya
membentuk housing pattern atau pola perumahan suatu permukiman. Variabel (1)
merupakan aspek fisik permukiman, sedangkan Variabel (2) dan (3) merupakan aspek
nirfisik desa.
3.
Hasil dan Diskusi
3.1
Sejarah Desa
Studi-studi antropologi terdahulu (Bateson, 1970; Geertz, 1959; Mead dkk, 1942)
menunjukkan bahwa Bali dan budayanya telah menjadi bahan permenungan bagi
penelitian etnografi dunia. Sebagaimana diungkap secara lugas oleh Reuter (2005:9-10)
wilayah-wilayah ritual di daratan tinggi Bali itu dipersatukan oleh orientasi bersama
dari asal-usul yang sama. Pengistilahan secara topografis penduduk Pegunungan Bali
mengacu pada jarak fisik yang memisahkan penduduk dataran tinggi dengan penduduk
di sekitar pusat-pusat politik dan perkotaan yang terletak di wilayah Bali Selatan. Istilah
Bali Aga didefinisikan secara harfiah sebagai bangsa yang jauh dan terpinggirkan.
Sebagian para ahli menyebutknya sebagai Bali Muna atau Bali Kuna yang bermakna
orang Bali asli atau kuno. Dengan demikian pemaknaan istilah Bali Aga kemudian
direpresentasikan sebagai penduduk asli yang masih mempertahankan suatu tradisi
budaya yang berasal dari sebelum munculnya kebudayaan Bali sebagaimana
didefinisikan oleh orang Bali Selatan
(Reuter, 2005). Kemudian Reuter juga
menegaskan bahwa terminologi Bali Aga dipertahankan karena pegunungan merupakan
tempat tinggal para dewa-dewi yang suci dalam kosmologi orang Bali, selain juga
sebagai sumber air.
Sejarah Desa Sekardadi tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Desa Bayung Gede
sebagai desa induk dan 28 desa turunan lainnya, termasuk Desa Sekardadi. Dari tiga di
antaranya memiliki pertalian darah penghuni yang cukup erat. Tiga desa tersebut
terletak di Kabupaten Bangli, antara lain Desa Sekardadi, Penglipuran, dan Tiga Kawan.
Sejarah perkembangan 28 desa tersebut, khususnya yang terletak di Kecamatan
Kintamani, memiliki kegiatan-kegiatan adat yang hampir serupa dengan yang dimiliki
Desa Bayung Gede. Dalam beberapa kegiatan adatnya, Desa Bayung Gede mengundang
perwakilan dari ke-28 desa tersebut, demikian pula sebaliknya. Biasanya dalam
kegiatan-kegiatan tersebut mereka menampilkan atraksi kesenian/tari-tarian khas
desanya.
3.2
Sistem Pemerintahan
Secara umum, sistem pemerintahan desa yang dikenal oleh masyarakat Bali
adalah sistem pemerintahan desa dinas dan sistem pemerintahan desa adat. Keduanya
memiliki perbedaan secara substansial, struktur dan fungsi. Keterikatan masyarakat
maupun respon yang diberikan pada dua lembaga pemerintahan tersebut berbeda pula.
Sistem pemerintahan adat di pimpin oleh ulu apad yaitu sesepuh desa yang terdiri dari
delapan orang yaitu, 1 pasang kebaan, 1 pasang pasek, 1 pasang takin dan 1 pasang
pamurakan.
Secara turun–temurun kehidupan masyarakat Desa Sekardadi tidak pernah
terlepas dari adat. Begitu juga sistem organisasi sosial yang ada selalu mengacu pada
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
50
sistem adat dan awig–awig. Hal ini lah yang mendasari sistem organisasi sosial yang
kuat dan bertahan hingga kini. Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali
adalah desa, banjar, subak, dan sekehe. Konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu desa
adat dan desa dinas.
3.3
Sistem Kemasyarakatan
Sebagai desa yang masih tradisional dan selalu menjunjung tinggi awig–awig
desa, kehidupan masyarakat Desa Sekardadi selalu mengedepankan prinsip persatuan,
kesatuan dan kebersamaan. Hal ini dikarenakan setiap warga memiliki tanggung jawab
untuk menjaga kelestarian dan kesucian desa. Sebagai salah satu dari desa Bali Aga, desa
ini memiliki budaya, dialek bahasa, dan ritual yang berbeda dari desa-desa lain di Bali.
Dalam sistem sosialnya, desa ini menganut sistem ulunan atau prajuru. Sistem ulunan
berarti mengedepankan kedudukan dalam keluarga berdasarkan perkawinan. Begitu
seseorang menikah, maka namanya dimasukkan dalam karma adat. Selain krama desa
adat tersebut terdapat pula warda desa yang disebut dengan istilah pancer (panca datu),
yaitu: 1) Warga pasek bertugas untuk tetap melestarikan adat; 2) Juru gemblung yang
bertugas untuk memegang gamelan sakral ketika ada upacara di pura; 3) Juru gambuh
bertugas sebagai penari tari-tarian sakral; 4) Juru lawan bertugas sebagai penari saat
upacara Galungan dan Kuningan; dan 5) Juru Sudamala bertugas untuk melaksanakan
upacara pembersihan pada saat terjadi kematian atau upacara ngaben.
3.4
Sistem Kekerabatan
Sebagai salah satu desa tua di Kabupaten Bangli, keberadaan Desa Sekardadi
dapat terjaga hingga kini dikarenakan dalam setiap kehidupan masyarakat selalu
berpegang pada awig–awig desa. Begitu juga halnya dengan pemanfaatan wilayah desa
yang telah diatur dalam ketentuan desa adat. Jika ada masyarakat yang melanggar maka
akan mendapatkan sanksi, mulai dari pamindanda (denda) hingga dikeluarkan dari
keanggotaan krama desa adat. Hukum adat (awig–awig) adalah aturan yang dibuat oleh
warga (krama) desa adat yang dipakai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari
masyarakat Desa Sekardadi, baik dalam pelaksanaan tara ruang desa maupun dalam
pekarangan.
Terdapat empat bentuk persekutuan dasar yang terkait dengan secara fungsional
struktural yang terdapat dalam kehidupan personal masyarakat Desa Sekardadi, yaitu
keluarga inti, dadia, banjar dan pakraman desa atau warga. Keempat persekutuan
tersebut sangat erat kaitanya dengan hak dan kewajiban sebagai warga desa. Semakin
terbukanya desa terhadap lingkungan luar menyebabkan semakin tingginya minat
terhadap pendidikan, terutama generasi mudanya. Arus globalisasi juga telah masuk ke
dalam desa ini, namun demikian Desa Sekardadi masih memiliki banyak keunikan dan
kearifan tradisional. Di antara keunikan unikan tersebut teletak pada bahasa keseharian
antar penduduk desa, sistem kepercayaan, ritual keagamaan, sistem kemasyarakatan,
dan pandangan hidup.
3.5
Analisis Karakteristik Pola Spasial Permukiman
Analisis karakteristik pola spasial permukiman Desa Sekardadi bertujuan untuk
mengetahui penerapan filosofi dan konsepsi tata ruang masyarakat tradisional Bali
Pegunungan, sehingga dapat diperoleh paparan mengenai wujud penerapan filosofi
tersebut secara fisik. Pengaturan tata ruang desa didasarkan pada hukum adat (awig-
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
51
awig), begitu juga dengan pemanfaatan wilayah desa yang telah diatur oleh ketentuan
desa adat. Sanksi dikenakan kepada masyarakat yang melanggar ketentuan tersebut.
3.5.1 Analisis Tata Ruang Desa
Menurut konsepsi masyarakat Bali pada umumnya, tata ruang yang dimaksudkan
adalah aturan penempatan ruang–ruang yang mengacu pada fungsi tertentu serta tata
nilai yang diberikan terhadap fungsi tersebut dengan berlandaskan pada ajaran agama
Hindu di Bali (Ganesha, dkk, 2012). Pada tataran pola desa adat, Gelebet (1982:12)
menyatakan bahwa desa adat di daerah Bali pegunungan, menempatkan zona sakral
dengan tata nilai utama pada arah gunung sebagai kaja dan Hulu desa serta arah laut
atau lawan dari gunung sebagai kelod/Teben bernilai rendah. Dengan konsep ini, desadesa pegunungan cenderung berpola linear dengan core desa sebagai penghubung zona
Hulu dan Teben Desa. Sementara itu, di desa dataran di samping berpedoman pada
konsep Hulu-Teben atau berdasarkan arah gunung-laut (kaja-kelod), juga menempatkan
zona Hulu pada arah matahari terbit sebagai kangin bernilai utama dan matahari
tenggelam sebagai zona Tebe sebagai Kauh yang bernilai nista/rendah. Dengan kedua
kiblat ini, Gelebet (1982:13) menambahkan bahwa pola desa dataran umumnya berpola
perempatan agung atau nyatur desa berupa dua jalan desa utama menyilang desa TimurBarat (kangin-kauh) dan Utara-Selatan (kaja-kauh) membentuk persilangan. Titik
persilangan merupakan pusat desa.
Konsep Hulu-Teben merupakan salah satu konsep pola ruang makro dalam
arsitektur tradisional Bali karena memiliki latar belakang atau dilatari oleh konsep
keluhuran, artinya penghormatan para leluhur dalam bentuk proses penanaman mayat,
kemudian pengabenan (ritual pembakaran jenazah) dan memukur atau nyekah (ritual
peningkatan status sang roh menjadi roh suci/sang pitara) dan terakhir dengan upacara
ngelinggihang Dewa Hyang atau dewa pitara atau meningkatkan sang pitara menjadi
leluhur dan ditempatkan di sanggah kemulan/tempat suci di karang umah/rumah
tinggal (Ardana, 1982:15).
Kepercayaan pada konsep Hulu-Teben (atas-bawah) yang ditampilkan dalam
wujud meletakkan arah kepala mayat ke arah bukit atau gunung, kepercayaan ini
merupakan keyakinan masyarakat Bali pada masa itu bahwa roh leluhur mereka berada
di tempat ketinggian atau gunung. Konsep ini masih berlaku hingga kini dalam
perencanaan lingkungan perumahan/perkampungan/desa di Bali. Parwata (2015:216)
menegaskan bahwa apresiasi pada para leluhur saat ini banyak ditemukan dalam
bentuk Sanggah/Pemerajan atau tempat suci keluarga untuk setiap rumah tinggal,
kemudian berkembang ke Pura Genealogi seperti Pura Dadia, Pura Paibon serta Merajan
Alit, dan pada akhirnya menyebar ke Pura Kahyangan Tiga (tiga buah tempat suci
sebagai indikator religius keberadaan sebuah desa adat di Bali).
Prinsip-prinsip dalam penghormatan terhadap para leluhur di atas menjadi
pedoman desain dalam arsitektur tradisional Bali yang diwarisi hingga kini, dimulai dari
arsitektur tradisional Bali pegunungan yang lebih tua berupa hulu/kaja (arah
gunung/ketinggian bernilai utama)-teben/kelod (arah laut bernilai nista. Ini termasuk
arsitektur Bali dataran dengan ditambahkan-nya arah hulu/kangin (arah matahari terbit
bernilai utama)-Teben/kauh (arah matahari tengelam bernilai nista).
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
52
Hulu
Teben
Kondisi topografi lebih
tinggi, penggunaan
lahan untuk bangunan
pura dan perkebunan
Kondisi topografi landai,
penggunaan lahan permukiman
penduduk dan fasilitas hunian
Kondisi topografi lebih
rendah, penggunaan lahan
untuk kuburan dan
perkebunan dan ladang
Gambar 1. Potongan melintang pola desa yang mengikuti
konsep hulu-teben (atas-bawah)
(Sumber: Ganesha, dkk, 2012:65)
3.5.2 Tipologi Desa Adat Sekardadi
Gelebet (1982) menyebutkan bahwa ciri utama fisik desa Bali Pegunungan adalah
ruang terbuka cukup luas yang memanjang (linier) dari arah utara menuju selatan (kajakelod), yang membagi desa menjadi dua bagian. Pada posisi yang diametral, yakni pada
ujung utara (kaja) terletak Pura Puseh, di tengah sebagai tempat Pura Bale Agung, dan
pada arah selatan (kelod) terletak Pura Dalem. Ketiga pura tersebut dikelompokkan
dalam Pura Kahyangan Tiga. Sementara itu, fasilitas umum atau infrastuktur berada di
tengah desa dan hunian penduduk berada pada sisi kiri dan kanan jalan utama desa.
Pura Kahyangan Tiga merupakan indikator religius atas keberadaan sebuah desa
adat di Bali, terdiri atas: (i) Pura Desa, terletak di hulu desa, didedikasikan untuk Dewa
Brahma, manifestasi Tuhan sebagai Pencipta Dunia. Sementara itu, Pardiman (1986:18)
menambahkan bahwa Pura Desa lebih dikenal dengan sebutan Pura Bale Agung: sebuah
tempat suci dimana para warga desa melakukan pertemuan dengan para leluhurnya
saat-saat upacara; (ii) Pura Puseh ditempatkan di Hulu desa/kaja, didedikasikan untuk
Sri Wisnu, Tuhan sendiri sebagai Sang Pemelihara Dunia. Unsur Pura Kahyangan Tiga
terakhir adalah (iii) Pura Dalem yang didedikasikan untuk Dewa Siwa, manifestasi
Tuhan sebagai Pelebur Dunia). Keberadaan Pura Dalem selalu dilengkapi dengan satu
kuburan (setra desa adat) di Teben desa/kelod.
Sebagai
konsep tata nilai dalam pembentukan pola permukiman Bali
Pegunungan yang sampai saat ini masih diaplikasikan secara turun-menurun dari
generasi ke generasi, maka arah gunung merupakan hulu atau kaja sebagai zona sakral
dengan hierarki tertinggi (utama). Sementara itu, arah laut merupakan teben atau kelod
dengan nilai paling profan dan lebih rendah (Adiputra, 2016; Rahayu, 2012; Pardiman,
1986; Gelebet, 1982). Dengan demikian, pada zona hulu dipergunakan untuk
menempatkan Pura Desa dan Pura Puseh, dua bagian dari Pura Kahyangan Tiga yang
merupakan penanda religiusitas dari keberadaan sebuah desa adat (Ngoerah Gde,
1981). Pada sisi yang berlawanan, Kertiyasa (1984) menyatakan bahwa zona teben
dimanfaatkan oleh desa adat sebagai tempat untuk Pura Dalem atau satu bagian dari
Pura Kahyangan Tiga, dan kuburan desa adat (setra). Berdasarkan paparan tersebut,
maka konsep hulu-teben merupakan pengetahuan dasar di dalam dialog pembentukan
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
53
pola Desa Sekardadi. Dengan demikian, Gunung Batur yang terletak di kaja (utara)
menjadi orientasi desa. Konsep hulu-teben membedakan ruang desa menjadi tiga zona:
1) zona hulu sebagai lokasi pura (zona parahyangan); 2) zona tengah untuk kawasan
perumahan (zona pawongan); dan 3) teben merupakan zona kuburan desa adat (zona
palemahan), lihat Gambar 2. Ketiga zona tersebut dilandasi oleh Konsep Tri Hita Karana
(Parwata, 2004).
Permukiman tersebut dikelilingi oleh kawasan perkebunan dan tegalan dan
perkembangannya yang menyebar pada lokasi pertanian yang berada pada luar desa.
Kawasan perkebunan dan tegalan tersebut disebut dengan kubu yang merupakan rumah
tinggal di luar pusat permukiman di ladang, di perkebunan atau tempat tempat
kehidupan lainya. Lokasi kubu tersebar tanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan
permukiman, menempati unit-unit perkebunan atau ladang-ladang yang berjauhan,
tanpa penyediaan sarana utilitas. Pola ruang kubu sebagai rumah tempat tinggal serupa
pola dengan rumah/umah (Gelebet, dkk. 1985:39).
3.5.3 Analisis Pengaturan Ruang Budaya Desa Sekardadi
Pengaturan pola spasial desa yang dilandasi oleh konsep Hulu-Teben dan Tri Hita
Karana, memungkinkan Desa Sekardadi memiliki pola linier (linear pattern). Jalan
utama desa yang membentang dari utara ke selatan merupakan pusat yang tidak hanya
berfungsi sebagai sirkulasi umum, tetapi juga berfungsi sebagai ruang terbuka yang
menghubungkan pintu masuk pekarangan setiap rumah. Posisi jalan lebih rendah dari
unit hunian yang mengapit jalan desa, lihat Gambar 3. Selain itu, pusat juga memiliki
makna sebagai orientasi ruang publik saat melaksanakan upacara adat (Manik, 2007).
Pintu-pintu pekarangan dari setiap unit hunian mengarah atau beriorientasi ke jalan
utama desa. Pekarangan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal untuk mengadakan
upacara dan berhubungan dengan keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
penduduk mengusahakan kebun/ladang (pategalan) di luar desa atau di luar kawasan
perumahan. Keterbatasan lahan dan keinginan untuk berinteraksi dengan jalan utama
menyebabkan terjadi pengembangan perumahan ke arah luanan/hulu, tetapi tetap
mempertahankan untuk tidak membangun di luanan Pura.
Gambar 3. Suasana permukiman Desa Sekardadi (searah jarum jam)
(1)
(2)
(3)
Gunung Batur sebagai pusat orientasi desa.
Jalan utama desa sebagai sumbu utama dari pola spasial pemukiman desa.
Pura Puseh yang terletak pada hulu desa dengan hierarki tertinggi sebagai kawasan paling sakral
(parahyangan) terletak pada Zona Utama Mandala.
(4) Deretan rumah di sepanjang jalan utama membentuk pola linier. Posisi permukiman di sepanjang jalan
tersebut terletak lebih tinggi dari jalan desa.
(Sumber: Hasil observasi lapangan, September 2016, hak cipta pada penulis)
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
54
Pura Bale Agung
HULU
(Parahyangan)
Pura Puseh
ZONA UTAMA MANDALA
Permukiman Penduduk
(Pawongan)
ZONA MADYA MANDALA
Pura Dalem
TEBEN (Palemahan)
ZONA NISTA MANDALA
Gambar 2. Pola linier desa merupakan perwujudan dari konsep hulu-teben
(Sumber: Hasil pemetaan di lapangan, September 2016, hak cipta pada penulis)
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
55
4.
Simpulan
Pembentukan pola spasial permukiman Desa Sekardadi mengikuti Konsepsi Tri
Kita Karana (Parahyangan, palemahan, dan pawongan), Tri Mandala (Utama, Madya, dan
Nista), konsepsi hulu-teben (atas-bawah) sebagai bentuk penghormatan terhadap
leluhur. Gunung Batur yang terletak di sebelah utara/kaja merupakan pusat orientasi
desa. Kemudian konsepsi tata nilai tersebut diterjemahkan secara fisik ke dalam pola
spasial permukiman dengan jalan utama desa sebagai ruang terbuka yang memanjang
(linier) dari arah utara menuju selatan (kaja-kelod), yang membagi desa menjadi tiga
zona: 1) Zona hulu/kaja sebagai lokasi pura (zona parahyangan). Zona ini memiliki
kondisi topografi lebih tinggi, sehingga memiliki hierarki tertinggi dan paling sakral
(Zona Utama Mandala) yang ditandai dengan penempatan Pura Puseh (tempat pemujaan
untuk Dewa Brahma, yaitu Dewa Penciptaan; 2) Zona tengah untuk kawasan
permukiman dan fasilitas huniannya (zona pawongan) dengan kondisi topografi lebih
landai sebagai Zona Madya Mandala untuk meletakkan Pura Bale Agung (tempat
pemujaan untuk Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara); dan 3) Zona Teben pada ujung
selatan (kelod) yang memiliki kondisi topografi lebih rendah untuk menempatkan Pura
Dalem (tempat pemujaan untuk Dewa Siwa sebagai Dewa Pelebur) dan setra atau
kuburan desa adat (zona palemahan). Zona ini memiliki nilai hierarki paling rendah
dibandingkan dua zona lainnya (Zona Nista Mandala).
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Udayana (LPPM Unud) yang telah membiayai penelitian ini
melalui Hibah Unggulan Program Studi (HUPS) Program Studi Arsitektur di Fakultas
Teknik Universitas Udayana pada Tahun Anggaran 2016. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Kepala Desa Sekardadi, Kelihan Desa Adat Sekardadi, dan beberapa
warga Desa Sekardadi yang bersedia menjadi narasumber penelitian ini.
Daftar Pustaka
Adiputra, I.G.N.T. dkk. (2016). Konsep Hulu-Teben pada Permukiman Tradisional Bali
Pegunungan/Bali Aga di Desa Adat Bayung Gede Kecamatan Kintamani Kabupaten
Bangli, Bali, dalam Forum Teknik 37(1), Januari 2016, pp. 14-31.
Alexander, C. (1987). A New Theory of Urban Design. New York.
Ardana, I.G.N.G., dkk. (1982). Sejarah Perkembangan Hinduisme di Bali. Denpasar: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Bali, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Dati I Bali.
Depdagri (2016). Profil Desa Sekardadi Tahun 2015. Denpasar: Dirjen Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa.
Bateson, G. (1970). ‘An Old Temple and a New Myth’ dalam J. Belo (Ed.) Traditional
Balinese Culture. New York: Columbia University Press.
Ganesha, W.; Antariksa, Wardhani, D.K. (2012). Pola Ruang Permukiman dan Rumah
Tradisional Bali Aga Banjar Dauh Pura Tigawasa dalam arsitektur e-Journal 5(2),
November 2012, pp. 60-73.
Geertz, C. (1959). ‘Form and Variation in Balinese Village Structure’ dalam American
Anthropologist 61(6), pp. 991-1012
Gelebet, I.N. dkk. (1985). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Habraken, N.J. (1978). Variations: The Systematic Design of Supports. MIT Cambridge;
Massachusetts.
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
56
Kertiyasa, I.M. (1984). Rumusan Arsitektur Bali: Hasil Sabha Arsitektur Tradisional Bali.
Denpasar: Pemda Tingkat I Bali.
Manik, I.W.Y. (2007). Pengaruh Demografi, Gaya Hidup, dan Aktifitas terhadap
Transformasi Tipo-Morfologi Hunian Tradisional di Desa Bayung Gede, Bali. Tesis.
Bandung: Program Pascasarjana Magister Arsitektur, ITBBandung.
Mead, M. dkk. (1942). Balinese Character: A Photographic Analysis. New York: Academy
of Sciences.
Ngoerah, I G.N.G. 1981. Laporan Penelitian Inventarisasi Pola-Pola Dasar Arsitektur
Traditional Bali. Ujung Pandang: Dirjen Pembinaan dan P3M Dirjen Dikti,
Depdikbud, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Pardiman, A. (1986). Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village:
Environmental Study Hierarchy of Sacred-Profane Concept in Bali, PhD Thesis. Kyoto:
Kyoto University.
Parwata, I.W. 2004. Dinamika Permukiman Perdesaan Pada Masyarakat Bali. Denpasar:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Rahayu, N.M.S. (2012). Konsep Hirarkhi Ruang pada Rumah Tinggal Tradisional di Desa
Adat Sembiran, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali, Tesis. Denpasar:
Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana.
Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. University of Winconsin, Milwaukee.
Rapoport, A. (1977). Human Aspects of Urban Form: Towards a Man-Environment
Approach to Urban Form and Design. University of Winconsin, Milwaukee.
Rapoport, A. (1983). Development, Culture Change, and Supportive Design. University of
Winconsin, Milwaukee.
Reuter, T.A. (2005). Custodians of the Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di
Pegunungan Bali. I Nyoman Dharma Putra (Penyunting). A. Rahman Zainuddin (Alih
Bahasa). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Turgut, H. (2001). ‘Culture, Continuity and Change: Structural Analysis of Housing
Pattern in Squatter Settlement’ dalam GBER (1).
Zeizel, J. (1981). Inquiry by Design. California.
Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702
57
Download