Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum baru dapat dikatakan efektif bila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan bila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka di dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan. Mekanisme penegakan Hukum Humaniter Internasional (HHI) dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977 serta pada aturan-aturan lain yang mengatur mengenai mahkamah kejahatan perang baik yang bersifat ad hoc maupun permanen. 9.2 Mekanisme Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan 1977 Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa memberikan kewajiban bagi pihak peserta agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi. Menghormati berarti negara bersangkutan harus melaksanakan ketentuanketentuan yang ada di dalam Konvensi. Sedangkan menjamin penghormatan berarti negara harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi bila diperlukan (seperti Pasal 49 ayat (1)). Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-Undang nasional yang memberikan sanksi pidana efekti kepada setiap orang yang melakukan atau memerintah untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme dimana penegakan HHI yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, bila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan 60 dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan. Sejak awal ketika terjadi pelanggaran hukum humaniter atau ketika ada indikasi mengambil tindakan yang diperlukan. Contoh, bila seorang prajurit melakukan pelangaran HHI, maka Komandan atau atasannya harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran tersebut dan bila perlu menjatumping hkan hukuman kepada si pelaku. Dalam ketentuan pasal 87 dinyatakan bahwa adanya komandan untuk mencegah dan kalau perlu menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai pelanggaran terhadap konvensi dan protokol. Kemudia pasal ayat 3 bahkan ditekankan mengenai perlunya memberikan sanksi disiplin atau hukuman pidana kepada mereka yang melanggar Konvensi dan Protokol. Di lingkungan TNI bila ada seorang prajurit yang melakukan hukum humaniter maka komandan atau atasan yang berwenang untuk menghukum, berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud. Begitu seterusnya, sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, disamping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka tahapan berikutnya kasus yang bersangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen). Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol Tambahan 1977 antara lain mengenai mekanisme. Mekanisme yang dimaksud, yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta. Komisi pencari fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat dalam Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa62. 62 Arlina Permanasari, op.cit, hlm 184. 61 9.3. Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Perang Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat perang dunia II, yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat Jepang, sedangkan Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman. Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London. Sejak terbentuknya Mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Nuremberg yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity). Pada Mahkamah Nuremberg ada empat orang Hakim ditambah dengan empat hakim pengganti. Hakim-hakim tersebut berasal dari negara-negara yang menyusun Statuta Mahkamah yaitu: • Amerika Serikat : Francis Biddle, John Parker (pengganti) • Inggris : Lord Justice Geoffrey Lawrence, Justice Norman Birkitt (pengganti) • Perancis : Prof. Donnedieu de Vabres, Judge R Falco • Uni Sovyet : I.T. Niktchenko, Maj. Gen, A.F. Volchkof, Lt.Col (pengganti) Adapun mengenai penuntut atau prosecutor di Mahkamah Nuremberg ada empat chief prosecutor yang masing-masing berasal dari keempat negara tersebut di atas. Mahkamah penjahat perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari Mahkamah ini adalah International Military Tribunal for The Far East. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara. Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg. 62 Sama halnya dengan Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo juga mempunyai jurusdiksi terhadap tiga kejahatan, yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity). Di dalam Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggungjawab si pelaku, tetapi hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitanya sebagai pejabat resmi. Pada Mahkamah Tokyo ini ada seorang chief prosecutor yang berasal dari Amerika Serikat dan dibantu oleh sepuluh orang associate prosecutors. Setelah perang dunia II selesai, kemudian telah dibentuk dua Mahkamah ad hoc lainnya yaitu Mahkamah yang mengadili penjahat perang dieks- Yugoslavia serta di Rwanda. Perlu diketahui bahwa pembentukan Mahkamah-mahkamah semacam itu adalah bersifat ad hoc atau sementara, yang b erarti bahwa Mahkamah tersebut dibentuk untuk jangka waktu dan daerah tertentu saja. Mahkamah eks Yugoslavia dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 808 (22 Fabruari 1993) dan nomor 827 (25 Mei 1993). Perkembangan yang terakhir kemudian Statuta Mahkamah eks Yugoslavia yang dibentuk berdasarkan Resolusi DK-PBB No 827 tahun 1993 diamandemen oleh Resolusi DK PBB nomor 1166 tahun 1998. Pasal 1 sampai dengan pasal 5 dari Statuta Mahkamah eks yugoslavia mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi mahkamah yaitu: 1. pelanggaran serius terhadap hukum humaniter 2. pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 3. pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang 4. genocide 5. kejahatan terhadap kemanusiaan Penjelasan dari pelanggaran atau kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada Pasal-pasal yang mengaturnya. Misalnya, tentang pelanggaran berat. Statuta ini 63 mengambil rumusan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949. Begitu juga misalnya apa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) diuraikan pada ketentuan Pasal 5 Statuta. Mahkamah eks Yugoslavia terdiri dari dua kamar (chambers) yaitu Trial Chambers dan Appeals Chambers; Jaksa Penuntut Umum (Prosecutor) dan Panitera (Registry). Hakim pada Trial Chamber berjumlah 3 orang sedangkan pada Appeals Chamber hakimnya berjumlah 5 orang. Mahkamah ad hoc lainnya yang telah dibentuk adalah mahkamah peradilan kejahatan perang di Rwanda. Nama lengkap dari Mahkamah ini adalah International Criminal tribunal for Rwanda (ICTR). Mahkamah ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 955 tanggal 8 November 1994. Tujuan dari dibentuknya Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang yang melakukan genocide di Rwanda dan mengadili warga negara Rwanda yang melakukan genocide dan serupa lainnya di wilayah negara tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara 1 Januari 1994 sampai dengan tanggal 31 Desember 1994. Kompetensi Mahkamah Rwanda ditujukan untuk kejahatan-kejahatan sebagai berikut: 1. Genocide 2. Crimes Againts Humanity 3. Pelanggaran terhadap pasal 3 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977 Baik Mahkamah eks Yugoslavia maupun Mahkamah Rwanda menetapkan individual criminal responsibility terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Statuta. Adapun untuk hukum acaranya maka ICTY menggunakan sistem common law, sedangkan ICTR menggunakan campuran antara sistem civil law dan common law. 9.4 Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan penting, yakni ketika disepakatinya. Statuta mahkamah pidana internasional 64 (International Criminal Court selanjutnya ICC). Berbeda dengan Mahkamah ad hoc yang telah dibentuk sebelumnya (misalnya Mahkamah Nuremberg, Tokyo, ICTY, dan ICTR), maka ICC ini merupakan suatu mahkamah yang bersifat permanen. Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai kejahatan serius sebagaimana ditetapkan dalam Statuta ICC, Mahkamah ini juga dibentuk sebagai pelengkap (complementarity) dari mahkamah pidana nasional. Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya adalah bahwa ICC baru menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta dikatakan bahwa ICC akan bekerja bila mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Dengan cara ini berarti bila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Bila mahkamah nasional tidak mau dan atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka barulah ICC akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan. Yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan yaitu kejahatan yang dikategorikan sebgai the most serious crimes of concern to the international, yaitu64: 1. Genocide 2. Crimes againts humanity 3. War crimes 4. Crime of aggression Tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai genocide dijelaskan pada pasal 6 Statuta ICC, yaitu tindakan yang ditujukan untuk memusnahkan seluruhnya atau sebagian dari suatu bangsa, etnis, kelompok rasial atau agama tertentu. Yang termasuk dalam kategori genocide menurut ketentuan Pasal ini adalah: 1. Killing members of the group 2. Causing serious bodily or mental harm to members of the group 6 4 Mc.Cormack Timothy LH, and gerry J Simpson, The Law of War Crimes national and International Approaches, Kluwer Law International, The hague, 1997, hlm 143. 65 3. Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about it’s physical destruction in whole or in part 4. Imposing measures intended to prevent births within the group 5. Forcibly transferring children of the group to another group Kejahatan-kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai crimes againts humanity dirumuskan secara lengkap dan rinci pada Pasal 7 Statuta ICC. Selanjutnya pasal 8 Statuta ICC menjelaskan apa yang dimaksud dengan war crimes, yaitu mencakup pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa dan pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan perang yang diberlakukan pada sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan non internasional. Daftar dari kejahatan-kejahatan yang dimaksud secara lengkap diuraikan pada ketentuan Pasal 8 Statuta ICC. Mengenai crime of aggression belum dirumuskan secara lengkap di dalam Statuta. Hanya pada pasal 5 ayat (2) dikatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah terhadap kejahatan agresi ini akan dilaksanakan setelah diterimanya suatu ketentuan atau pasal yang menentukan apa yang dimaksud dengan kejahatan tersebut serta syarat-syarat apa yang diperlukan agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan agresi yang dimaksud. Agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya maka negara yang meratifikasi Statuta ICC menerima yurisdiksi Mahkamah. Ini berarti tindakan meratifikasi Statuta ICC oleh suatu negara belum berarti bahwa Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya di negara tersebut. Untuk itu masih diperlukan suatu tindakan dari negara yang bersangkutan yang menyatakan bahwa negara tersebut menerima yurisdiksi Mahkamah. Hal ini antara lain diatur dalam Pasal 12 Statuta ICC. Beberapa asas pokok hukum pidana diberlakukan menurut Statuta ini, misalnya tentang ne bis in idem, nullum crimen sine lege, bulla poena sine lege, dan non retroactive. 66 Seperti halnya dengan mahkamah yang lainnya, pada Statuta ICC ini juga ditegaskan tentang tanggungjawab pidana individual (individual criminal responsibility). Di samping itu pada Pasal 28 diatur mengenai tanggung jawab Komandan dan atasan terhadap tindakan yang dilakukan oleh anak buah atau bawahannya. 67