03 Tesis Syaifuddin Zuhri Harahap Thn 2013

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka (Penelitian Terdahulu)
Untuk mendukung analisis data dan memperoleh hasil penelitian yang
maksimal maka perlu ditinjau beberapa penelitian terdahulu sebagai kajian pustaka
penulis. Adapun penelitian yang pernah dilakukan terhadap bahasa Angkola
Mandailing adalah sebagai berikut.
Nasution (2001) melakukan penelitian tentang ”Analisis Semantik Bahasa
Mandailing”. Penelitian ini membicarakan gambaran deskriptif analitik semantik
bahasa Mandailing, khususnya semantik leksikal dan semantik kalimat menurut teori
dan konsep semantik. Hasil penelitian ini menggunakan pendekatan semantik
struktural yang mendeskripsikan bahasa dengan kerangka teori analisis makna, yang
mencakup (1) leksem, (2) paduan leksem, (3) idiom, (4) ciri-ciri makna leksikal, (5)
hubungan makna leksikal, (6) ciri-ciri makna kalimat, (7) hubungan makna kalimat,
(8) konteks linguistik yang mempengaruhi ciri dan hubungan makna, khususnya pada
tingkat frasa, klausa, dan kalimat.
Lubis (2002) melalukan penelitian tentang ”Kalimat Tanya dalam Bahasa
Mandiling: Analisis Sintaksis”. Penelitian ini mengkaji ciri dan struktur sintaksis
kalimat tanya bahasa Mandailing. Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan jenis
kalimat tanya yang digunakan masyarakat Mandailing ketika berkomunikasi dan
menemukan struktur kalimat tanya yang digunakan dengan melihat fungsi sintaksis
dari unsur-unsur yang membentuk kalimat tanya, kalimat tanya berdasarkan fokus
kalimat dan kata tanya, kalimat tanya tanpa kata tanya, kalimat tanya alternatif,
29
Universitas Sumatera Utara
kalimat tanya negatif, dan kalimat tanya embelan. Struktur kalimat tanya ditentukan
oleh unsur pembentukan kalimat tanya itu sendiri.
Mascahaya (2004) melakukan penelitian tantang ”Tindak Bahasa Permohonan
dalam Bahasa Angkola”. Penelitian ini mengenai pendeskripsian tindak bahasa
permohonan bahasa Angkola, dengan cara melakukan tindak bahasa permohonan dan
kesantunan yang direfleksikan dalam tindak bahasa permohonan, dengan teori
pragmatik dan teori kesantunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara melakukan
tindak bahasa permohonan bahasa Angkola terdiri atas (1) tindak bahasa permohonan
langsung, (2) tindak bahasa permohonan tidak langsung, (3) tindak bahasa
permohonan literal, (4) tindak bahasa permohonan tidak literal, (5) tindak bahasa
permohonan langsung literal, (6) tindak bahasa permohonan tidak langsung literal, (7)
tindak bahasa permohonan langsung tidak literal, dan (8) tindak bahasa permohonan
tidak langsung tidak literal.
Irwan (2007) menulis karya ilmiah ”Proses Afiksasi Bahasa Angkola
Mandailing”. Karya ilmiah ini menganalisis afiksasi yang ada dalam bahasa Angkola
Mandailing, dengan pendeskripsian bentuk, distribusi, dan nosi. Pada hasil penelitian
tersebut disimpulkan bahwa bahasa Angkola Mandailing ditemukan proses afiksasi.
Adapun proses afiksasi yang terdapat dalam bahasa Angkola Mandailing
adalah:prefiks (awalan) terdiri dari sebelas buah, yaitu: /mar-/, /ma-/, /maN-/, /tar-/,
/pa-/, /di-/, /paN-/, /par-/, /sa-/, /saN-/, /um-/; infiks (sisipan) terdiri dari dua buah,
yaitu: /-in-/, dan /-um-/; sufiks (akhiran) terdiri dari empat buah, yaitu: /-i/, /-an/, /-on/,
/-hon/; konfiks terdiri dari empat buah, yaitu: /mar-hon/, /ha-an/, /paN-an/, /mar-an/.
Selanjutnya, Irwan (2009) juga menulis karya ilmiah tentang ”Kata Majemuk
Bahasa Batak Angkola Mandailing”. Tulisan tersebut mengulas bagaimana dua buah
30
Universitas Sumatera Utara
kata atau lebih digabungkan sehingga membentuk suatu arti tersendiri. Dalam tulisan
tersebut dianalisis ciri-ciri, tipe, bentuk, dan makna kata majemuk dalam bahasa Batak
Angkola Mandailing. Hasil penelitian tersebut adalah: (1) Ciri kata majemuk bahasa
Batak Angkola Mandailing pada umumnya kedua unsurnya adalah morfem bebas.
Unsur kata majemuk mempunyai hubungan dan susunan yang mantap dan kedua
unsurnya tidak dapat dibalik, misalnya bagas godang menjadi godang bagas. (2) Pada
umumnya unsur-unsur kata majemuk jenis kata nominal merupakan kata dasar,
misalnya solop kulit, ‘sandal kulit’, jambu horsik ‘jambu kelutuk.’ (3) Sebagian kata
majemuk berbentuk kata berimbuhan, misalnya manuk martahuak ‘ayam berkokok.’
(4) Sebagian besar kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing terdiri atas dua
unsur (kata), sebagian terdiri dari tiga unsur (kata). Kata majemuk yang terdiri dari
tiga unsur kata dalam bahasa ini diserap dari bahasa Indonesia, misalnya dua puluh
tolu ‘dua puluh tiga’, naek kareta angin ‘naik sepeda dayung.’ (5) Kata majemuk
bahasa Batak Angkola Mandailing juga bisa dijadikan kata ulang, melalui perulangan
unsur pertamanya, misalnya guru sikola menjadi guru-guru sikola, mangan modom
‘makan tidur’ menjadi mangan-mangan modom ‘makan-makan tidur.’ Kemudian tipe
kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing ditentukan menurut jenis kata atau
kelas kata. Menurut kelas katanya, kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing
ini tergolong ke dalam nomina, verba, adjektiva, dan numeralia. Juga ditentukan tipe
konstruksinya; konstruksi endosentris dan eksosentris. Kata majemuk konstruksi
endosentris, misalnya amak pandan ‘tikar pandan’, tarup rumbia ‘atap rumbia’, kata
amak ‘tikar’, tarup ‘atap’ merupakan unsur inti.
Kemudian, kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing dibedakan atas
tiga macam. Pertama, kata majemuk dwanda, yaitu penggabungan dengan derajat
yang sama. Dengan kata lain, kedua-duanya merupakan sama derajatnya. Contoh:
31
Universitas Sumatera Utara
naposo bulung ‘muda mudi’, menek godang ‘kecil besar.’ Kedua, kata majemuk
tatpurasa, yaitu kata majemuk yang bagian yang kedua memberi penjelasan pada
bagian yang pertama. Contoh: amak pandan ‘tikar pandan’, kaco mata ‘kaca mata.’
Ketiga, kata majemuk kharmadaraya, yaitu bagian yang kedua menjelaskan bagian
yang pertama, tetapi bagian yang menjelaskan itu terdiri dari kata sifat. Contoh: bosi
barani ‘magnet’ dan aek milas ‘air panas.’
Kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing mempunyai makna sebagai
berikut. Pertama, makna struktural ditunjukkan oleh hubungan semantik di antara
unsur-unsurnya diterangkan dan menerangkan (DM). Misalnya, tukang topa ‘tukang
tempa’ yang artinya orang yang ahli dalam menempa besi, hudon bosi ‘periuk besi’
yang mempunyai arti periuk yang terbuat dari besi. Kedua, makna yang didukung oleh
kata majemuk yang berjenis nomina dapat dibedakan sebagai berikut.
1. Menyatakan sesuatu yang ada hubungannya dengan kekeluargaan/persahabatan,
2.
Menyatakan benda yang berhubungan dengan makanan dan tumbuh-tumbuhan,
3.
Menyatakan benda yang berhubungan dengan keperluan rumah tangga,
4.
Menyatakan suatu benda yang berhubungan dengan manusia,
5.
Menyatakan suatu benda yang berhubungan dengan nama binatang,
6.
Menyatakan suatu benda yang berhubungan dengan alam sekitar/lingkungan.
Ketiga, makna idiomatik (kiasan) kata majemuk dengan makna yang tidak
sebenarnya. Misalnya, bagas godang, pengertian yang sebenarnya adalah rumah
besar, makna idiomatiknya adalah rumah adat, dan ginjang roha pengertian yang
sebenarnya adalah panjang hati, makna idiomatiknya yaitu orang yang sombong.
Kemudian, Irwan (2009) menulis karya ilmiah ”Pola Kalimat Perintah dalam
Bahasa Angkola Mandailing”. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa (1) Pada umumnya
32
Universitas Sumatera Utara
pola kalimat perintah bahasa Mandailing memiliki kesamaan bentuk, yaitu predikat
mendahulukan subjek. Ada beberapa jenis kalimat perintah yang terdapat dalam
bahasa Angkola Mandailing, yaitu (a) kalimat perintah suruhan, (b) kalimat perintah
permintaan, (c) kalimat perintah larangan, (d) kalimat perintah nasihat, (e) kalimat
perintah ajakan, (f) kalimat perintah pertimbangan, (g) kalimat perintah paksaan, (h)
kalimat perintah harapan, (i) kalimat perintah bujukan, dan (j) kalimat perintah
desakan. (2) Ciri-ciri dalam bahasa Mandailing (a) pemakaian bentuk yang tidak
memakai awalan, yaitu bentuk yang memakai awalan /mar-/, (b) lebih banyak
menggunakan partikel /-ma/. Berdasarkan ciri formalnya kalimat ini dalam
penulisannya ditandai dengan tanda (!). Kalimat perintah adalah kalimat suruh atau
kalimat yang memerintahkan sesuatu dengan menggunakan intonasi walaupun hanya
terdapat salah satu unsur kalimat dan mengharapkan tanggapan berupa tindakan. (3)
Fungsi kalimat perintah yang dipakai pada bahasa Mandailing, yaitu sebagai
penyampaian maksud suruhan untuk memperoleh tanggapan dari orang yang disapa.
Hutasuhut (2008) melakukan penelitian tentang ”Medan Makna Aktivitas
Tangan dalam Bahasa Mandailing”. Penelitian ini mengkaji medan makna aktivitas
tangan dalam bahasa Mandailing. Data penelitian berupa leksem verbal yang
menyatakan konsep aktivitas tangan yang lazim digunakan oleh masyarakat penutur
bahasa Mandailing. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semantik
yang bertalian dengan analisis komponen makna yang dikemukakan oleh Nida (1975)
dan Lehrer (1974). Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa aktivitas tangan
dalam bahasa Mandailing mempunyai dua puluh submedan, yaitu: (1) maniop
‘memegang’, (2) manjama ‘menyentuh’, (3) mambuat ‘mengambil’, (4) mangoban
‘membawa’, (5) mamayakkon ‘meletakkan’, (6) mangaramban ‘melempar’, (7)
33
Universitas Sumatera Utara
mangalehen ‘memberi’, (8) manarimo ‘menerima’, (9) mambuka ‘membuka’, (10)
manutup ‘menutup’, (11) manarik ‘menarik’, (12) mamisat ‘menekan’, (13)
manghanciti ‘menyakiti’, (14) mangalala ‘menghancurkan’, (15) manggulung
‘menggulung’, (16) mamio ‘memanggil’, (17) mangayak ‘mengusir’, (18) mangambat
‘menghambat’, (19) manjalang ‘menyalam’, dan (20) manudu ‘menunjuk.’
Nasution (2010) menulis karya ilmiah ”Pemajemukan dalam Bahasa
Mandailing”. Dari hasil karya ilmiah ini dapat disimpulkan bahwa pemajemukan
Bahasa Mandailing terdiri atas (1) kata majemuk dasar yang berupa gabungan: KB +
KB, KB + KK, KB + KS, KB + Kbil, KK + KK, KS + KS, KS + KB, dan Kbil + KB;
(2) kata majemuk berimbuhan yang terdiri dari imbuhan /mar-/, /marsi-/, /paN-/, /-an/,
/pa-/, dan /par-/; (3) kata majemuk berulang dengan pengulangan sebagian dan
pengulangan seluruhnya.
Ketiga jenis kata majemuk ini dapat berfungsi sebagai subjek, predikat, dan
objek. Adapun makna yang ditimbulkan akibat proses morfologis adalah ‘jamak’,
‘berulang kali’, ‘menyerupai’, ‘memakai’, ‘berusaha’, ‘memelihara’, ‘intensitas’, dan
‘kausatif.’ Gabungan bentuk dasar dengan bentuk-bentuk yang lain di dalam
pemajemukan Bahasa Mandailing dapat membentuk kata benda majemuk, kata kerja
majemuk, kata sifat majemuk, dan kata bilangan majemuk.
Bangun (2011) mengadakan penelitian tentang ”Reduplikasi Morfemis Bebas
Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo”. Penelitian tersebut bertujuan untuk
menggambarkan tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuk,
menggambarkan makna reduplikasi morfemis bebas konteks, dan menggambarkan
makna reduplikasi morfemis terikat konteks. Penelitian ini dilakukan untuk
menemukan norma umum reduplikasi morfemis dalam bahasa Karo. Reduplikasi
tersebut didefenisikan dan dibandingkan dengan melihat pola atau tipe.
34
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil yang diperoleh reduplikasi tidak terjadi dalam bentuk tetapi
dalam arti, yaitu dengan menggabungkan dua kata (atau bentuk) sinonim. Dalam
bahasa Karo, untuk menentukan makna reduplikasi diskriminasi diperlukan
reduplikasi bebas konteks dari makna reduplikasi terikat konteks. Ada membentuk
reduplikasi tertentu yang tidak selalu sama meskipun dasar mengenainya dengan kata
anggota kelas yang sama. Bentuk reduplikasi morfemis bahasa Karo adalah
pengulangan
penuh,
pengulangan
berimbuhan,
pengulangan
berubah
bunyi,
pengulangan sebagian, dan pengulangan semu. Arti reduplikasi terikat konteks bahasa
Karo ditentukan oleh konteksnya. Arti reduplikasi bebas konteks bahasa Karo sangat
banyak tanpa dipengaruhi oleh konteksnya.
2.2 Konsep Reduplikasi
2.2.1 Defenisi Reduplikasi
Reduplikasi merupakan proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik
secara keseluruhan, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. Proses
reduplikasi dapat bersifat paradigmatis (infleksional) dan dapat pula bersifat
derivasional. Reduplikasi yang paradigmatis tidak mengubah identitas leksikal tetapi
hanya memberi makna gramatikal. Reduplikasi yang bersifat derivasional membentuk
kata baru atau kata yang identitas leksikalnya berbeda dengan bentuk dasarnya.
Reduplikasi sebagai suatu peristiwa yang lazim terdapat dalam bahasa telah
banyak dibicarakan meski menggunakan berbagai istilah, misalnya;
The distinction between processes and morphemes is not always clear, and it is
sometimes hard to know when a changeis to be considered as independently
meaningful and hence as constituting a morpheme, (Nida, 1964),
(Verharr, 1977), mengatakan reduplikasi adalah proses morfemis yang
35
Universitas Sumatera Utara
mengubah bentuk kata yang dikenainya “bila bentuknya berbeda, maknanya berbeda”
Matthews (1978:127) menyatakan bahwa reduplikasi merupakan repetisi yang dapat
parsial tetapi dapat pula keseluruhan. Sejalan dengan Matthews, (Ramlan, 1979:38).
menyatakan proses pengulangan atau reduplikasi merupakan pengulangan bentuk, baik
seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Samsuri
(1988:14) menyatakan reduplikasi merupakan pengulangan bentuk kata, yang dapat
utuh atau sebagian disebut “perulangan bentuk kata”
Selanjutnya, Keraf (1991:149) menyatakan bahwa reduplikasi merupakan
sebuah bentuk gramatikal yang berwujud penggandaan sebagian atau seluruh bentuk
dasar sebuah kata disebut “bentuk ulang”. Dan (Chaer, 2008) juga menyatakan
reduplikasi adalah “pengulangan bentuk kata”
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa reduplikasi
ialah proses pengulangan bentuk, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan
variasi fonem maupun tidak, yang mengakibatkan terbentuknya kata ulang.
Reduplikasi dapat dikelompokkan menjadi reduplikasi morfemis, reduplikasi
fonologis, reduplikasi sintaktis, dan reduplikasi semantis. Reduplikasi morfemis
merupakan reduplikasi yang paling banyak dibicarakan oleh para ahli bahasa.
Reduplikasi merupakan suatu proses dan hasil pengulangan satuan bahasa
sebagai alat fonologis atau gramatikal, sehingga pada hakikatnya dapat ditemui
reduplikasi fonologis dan reduplikasi gramatikal. Reduplikasi gramatikal mencakup
reduplikasi morfemis (reduplikasi morfologis) dan reduplikasi sintaktis. Kadangkadang ada yang mengelompokkan begitu saja reduplikasi menjadi reduplikasi
fonologis, reduplikasi morfologis, dan reduplikasi sintaktis (lihat Kridalaksana,
1982:13—14; 1989:88; Simatupang, 1983).
36
Universitas Sumatera Utara
Bentuk ulang berbeda dengan bentuk yang diulang. Bentuk ulang dapat
mengubah makna tunggal menjadi tak tunggal/jamak sedangkan bentuk yang diulang
tidak menghasilkan perubahan makna. Contoh: sate! sate! sate! dan maling! maling!
maling!.
2.2.2 Reduplikasi Fonologis
Reduplikasi fonologis merupakan peristiwa reduplikasi yang dapat berupa
perulangan suku atau suku-suku kata sebagai bagian kata. Bentuk dasar dan
reduplikasi fonologis ini secara deskriptif sinkronik tidak dapat ditemukan dalam
bahasa yang bersangkutan. Contoh reduplikasi fonologis dalam bahasa Indonesia,
antara lain, susu, pipi, kuku, sisi, kupu-kupu, kura-kura, biri-biri, betutu, dan
cecunguk. Reduplikasi seperti ini oleh para ahli bahasa Indonesia sering disebut
perulangan semu, kata ulang semu, atau reduplikasi semu (Alisyahbana, 1953:55−−56;
Samsuri, 1988:91; Keraf, 1991:153;). Kelompok lain menyatakan bahwa reduplikasi
seperti itu tidak dapat dimasukkan sebagai kata ulang atau bentuk ulang karena secara
deskriptif, baik secara struktural maupun semantis, tidak dapat dikembalikan bentuk
dasarnya (Ramlan, 1979:38; Keraf, 1984:123; Parera, 1988:58). Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia (1988:168) tidak memberikan sikap, hanya menampilkannya
sebagai catatan bahwa dalam bahasa Indonesia dijumpai bentuk yang seperti itu.
2.2.3 Reduplikasi Morfologis
Reduplikasi morfologis (reduplikasi morfemis) merupakan reduplikasi yang
paling banyak dibicarakan oleh pakar tata bahasa Indonesia. Reduplikasi morfemis
mengacu pada persoalan bahan (input) yang berupa morfem, sedangkan reduplikasi
37
Universitas Sumatera Utara
morfologis mengacu pada cakupan bidangnya, yaitu pada tataran morfologi. Hasil
(output) reduplikasi ini berupa kata, yaitu kata kompleks. Reduplikasi morfologis ini
merupakan salah satu proses morfologis yang lazim dijumpai pada sebagian besar
bahasa di dunia terutama bahasa yang bertipe aglutinatif.
Reduplikasi morfologis dalam bahasa-bahasa tertentu dimungkinkan memiliki
bentuk dasar yang serupa dengan bentuk turunan atau bentuk kompleks. Artinya,
bentuk dasar reduplikasi itu sebelumnya telah memiliki status sebagai kata kompleks,
kemudian menjadi unsur proses morfologis lagi untuk membentuk kata ‘baru’ yang
lain sehingga terjadi rekursi. Kembalinya kata menjadi unsur leksikal itu disebut
leksikalisasi (Kridalaksana, 1989:14), dan sebaliknya, berubahnya leksem menjadi
kata disebut gramatikalisasi.
Sebagai contoh, bentuk berjalan-jalan (diasumsikan bentuk dasarnya berjalan)
dapat ditunjukkan prosesnya:
(1) Proses 1 : prefiksasi /ber-/ terhadap bentuk jalan menjadi berjalan.
(2) Proses 2 : leksikalisasi berjalan menjadi unsur leksikal yang biasanya disebut
leksem.
(3) Proses 3 : reduplikasi bentuk berjalan menjadi berjalan-jalan.
Bentuk orang-orang dapat ditunjukkan prosesnya:
(1) Proses 1 : gramatikalisasi leksem orang menjadi kata orang.
(2) Proses 2 : leksikalisasi orang menjadi leksem orang.
(3) Proses 3 : reduplikasi orang menjadi orang-orang.
Kadang-kadang bentuk orang-orang dan sejenisnya diasumsikan dibentuk dari
leksem (ada pula yang menyebut morfem bebas) yang langsung mengalami proses
reduplikasi, tanpa melalui pemunculan menjadi kata lebih dahulu. Dengan demikian,
bila asumsinya demikian pada bentuk orang-orang tidak dijumpai proses leksikalisasi.
Namun, bila diterima adanya fakta orang dan sejenisnya pernah muncul sebagai kata,
38
Universitas Sumatera Utara
analisis seperti di atas dapat diterima.
2.2.4 Reduplikasi Sintaksis
Reduplikasi sintaksis merupakan reduplikasi gramatikal yang bahannya berupa
leksem (ada yang menyebut morfem), dan hasilnya berupa klausa. Jadi, reduplikasi ini
menghasilkan klausa, bukan lagi kata. Persoalannya, klausa di sini bukan dalam arti
bentuk, melainkan dalam semantik. Perhatikan kalimat contoh berikut ini.
(1) Tua-tua masih mampu naik sepeda orang itu.
Bentuk tua-tua dalam konteks itu dapat diparafrasekan menjadi meskipun tua,
walaupun tua, dan sebagainya sehingga bentuk lengkapnya adalah orang itu (sudah)
tua, yang merupakan klausa dengan tua sebagai predikat inti. Untuk jelasnya, bahwa
tua-tua merupakan reduplikasi sintaksis, dapat dilihat parafrase dibawah ini.
(2) Meskipun orang itu sudah tua, ia masih mampu naik sepeda.
Dari penjelasan ini dapat dibuktikan bahwa reduplikasi tua-tua adalah
reduplikasi sintaksis.
2.2.5 Reduplikasi Semantis
Reduplikasi semantis adalah perulangan makna yang sama dari dua buah kata
yang bersinonim. Misalnya, ilmu pengetahuan, alim ulama, cerdik pandai, segar
bugar, muda belia, tua renta, dan gelap gulita. Kata ilmu dan pengetahuan memiliki
makna yang sama; kata alim dan ulama juga memiliki makna yang sama; dan
seterusnya. Namun, bentuk-bentuk seperti ini dalam berbagai buku tata bahasa
dimasukkan dalam kelompok reduplikasi berubah bunyi (dwilingga salin suara).
Memang bentuk segar bugar perubahan bunyinya masih bisa dikenali, tetapi bentuk
39
Universitas Sumatera Utara
muda belia tidak tampak sama sekali bahwa unsur pertama berasal dari unsur kedua
atau sebaliknya.
2.2.6 Hakikat Reduplikasi
Batasan-batasan yang disebutkan di atas secara tegas memperkuat hakikat
reduplikasi yang tidak lain merupakan gejala repetisi atau perulangan bentuk. Bentuk
yang diulang itu ternyata disebut dengan bermacam-macam sebutan dan cara
pengulangannya dapat secara utuh dapat pula hanya sebagian. Bentuk yang diulang
ada yang menggunakan istilah kata, bentuk kata, bentuk dasar, bahkan ada yang
menyebut leksem (lihat Parera, 1988:48; Kridalaksana, 1989:12).
Bila persoalan bentuk yang menjadi dasar perulangan timbul permasalahan
istilah, persoalan hasil reduplikasi semuanya menunjukkan kesamaan persepsi, yaitu
harus berupa kata, dan kata yang dihasilkan dari proses reduplikasi termasuk kata
turunan atau kata kompleks. Dengan demikian, bila digambarkan akan tampak sebagai
berikut.
Gambar-1. Proses Reduplikasi
Dari gambar di atas jelaslah bahwa reduplikasi harus dibedakan dari kata yang
berulang. Kata yang berulang tidak akan menghasilkan kata, tetapi menghasilkan katakata. Kata yang berulang muncul sebagai repetisi itu biasa dijumpai pada peristiwa
berbahasa yang dilakukan oleh penjual atau penjaja makanan dan sebagainya, orang
yang sedang sakit atau ketakutan, orang yang sedang menjadi suporter olah raga, dan
40
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. Bentuk tuturan seperti itu tidak termasuk ke dalam reduplikasi meski
terjadi peristiwa perulangan atau repetisi bentuk lingual. Misalnya, sate, sate, sate!
tolong, tolong! kebakaran, kebakaran! dan sebagainya (konteksnya sengaja tidak
ditampilkan secara formal).
2.2.7 Jenis-jenis Reduplikasi
Reduplikasi atau pengulangan kata dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
pengulangan
secara
keseluruhan,
pengulangan
sebagian,
pengulangan
yang
berkombinasi dengan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem (Ramlan,
2001:69).
2.2.7.1 Pengulangan Seluruh
Pengulangan seluruh adalah pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa
perubahan fonem, dan tidak berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks. Contoh:
(1) buku
(2) sekali
(3) pengertian
→ buku-buku
→ sekali-sekali
→ pengertian-pengertian
2.2.7.2 Pengulangan Sebagian
Pengulangan sebagaian ialah pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya. Di
sini bentuk dasar tidak diulang seluruhnya. Hampir semua bentuk dasar pengulangan
golongan ini berupa bentuk kompleks. Apabila bentuk dasar itu berupa bentuk
kompleks, kemungkinan-kemungkinan bentuknya sebagai berikut.
(1) Bentuk dasar dengan prefiks /meN-/, misalnya:
membaca
→ membaca-baca
melambaikan
→ melambai-lambaikan
(2) Bentuk dasar dengan konfiks /ber-an/, misalnya:
41
Universitas Sumatera Utara
berlarian
berjauhan
→ berlari-larian
→ berjauh-jauhan
(3) Bentuk dasar dengan sufiks /-an/, misalnya:
tumbuhan
→ tumbuh-tumbuhan
nyanyian
→ nyanyi-nyanyian
2.2.7.3 Pengulangan yang Berkombinasi dengan Pembubuhan Afiks
Pengulangan yang berkombinasi dengan pembubuhan afiks ialah pengulangan
bentuk dasar disertai dengan penambahan afiks secara bersama-sama dan bersamasama pula mendukung satu arti. Contoh: kereta-keretaan, kuda-kudaan, mobilmobilan. Berdasarkan petunjuk penentuan bentuk dasar selalu berupa satuan yang
terdapat dalam penggunaan bahasa. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa bentuk
dasar bagi kata ulang kereta-keretaan adalah kereta dan bukan keretaan, bentuk dasar
kuda-kudaan adalah kuda dan bukan kudaan, dan mobil-mobilan adalah mobil dan
bukan mobilan. Jadi, bentuk dasar kereta, kuda, dan mobil diulang menjadi keretakereta, kuda-kuda, mobil-mobil lalu mendapat bubuhan afiks /-an/. Prosesnya adalah
sebagai berikut:
(1) kereta
(2) kuda
(3) mobil
→ kereta-kereta + -an → kereta-keretaan,
→ kuda-kuda + -an
→ kuda-kudaan,
→ mobil-mobil + -an → mobil-mobilan.
2.2.7.4 Pengulangan dengan Perubahan Fonem (variasi)
Pengulangan dengan perubahan fonem ialah pengulangan bentuk dasar dengan
disertai perubahan fonem (vokal atau konsonan), misalnya bolak-balik, gerak-gerik,
ramah-tamah, warna-warni, lauk-pauk, beras-petas, dan carut-marut. Oleh Parera
(1988) reduplikasi jenis ini disebut bentuk ulang konsonan dan bentuk ulang vokal.
42
Universitas Sumatera Utara
2.2.8 Bentuk Dasar Reduplikasi
Setiap kata ulang memiliki satuan yang diulang. Sebagian kata ulang dengan
mudah dapat ditentukan bentuk dasarnya. Namun, sebagian kata ulang tidak mudah
untuk menentukan bentuk dasarnya. Ramlan (2001:65), mengemukakan bahwa ada
dua petunjuk dalam menentukan bentuk dasar kata ulang.
1. Pengulangan pada umumnya tidak dapat mengubah golongan kata. Dengan
petunjuk ini dapat ditentukan bahwa bentuk dasar bagi kata ulang yang termasuk
golongan kata nominal berupa kata nominal, bentuk kata ulang yang termasuk
golongan verbal berupa kata verbal, dan bentuk dasar bagi kata ulang yang
termasuk golongan kata numeralia juga berupa kata numeralia. Contoh:
a.
b.
c.
d.
makan-makanan (kata nominal) : bentuk dasarnya makanan (kata nominal)
berkata-kata (kata kerja)
: bentuk dasarnya berkata (kata kerja)
cepat-cepat (kata sifat)
: bentuk dasarnya cepat (kata sifat)
sepuluh-sepuluh (kata bilangan) : bentuk dasarnya sepuluh (kata bilangan)
2. Bentuk dasar selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa.
Contoh:
a. mempertahan-tahankan
b. mengata-ngatakan
c. minum-minuman
d. minum-minuman
: bentuk dasarnya mempertahankan, bukan
mempertahan.
: bentuk dasarnya mengatakan, bukan
mengata.
: jika bentuk dasarnya minum maka
pengulangan terbentuk dengan proses
pembubuhan afiks.
: jika bentuk dasarnya minuman maka
pengulangan terbentuk dengan pengulangan
sebagian.
2.2.9 Makna Reduplikasi
Proses perulangan menyatakan beberapa makna. Untuk memudahkan peneliti
mengetahui makna reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing, penelitian ini
43
Universitas Sumatera Utara
mengacu pada pendapat Ramlan (2001:176) mengemukakan bahwa makna reduplikasi
atau pengulangan kata sebagai berikut.
1.
Reduplikasi menyatakan makna ‘banyak’ yang berhubungan dengan bentuk dasar
(D) .’ Contoh: mahasiswa-mahasiswa, miskin-miskin, mahal-mahal, dan rumahrumah
2.
Reduplikasi menyatakan makna ‘banyak’ yang tidak berhubungan bentuk dasar
(D)’, melainkan berhubungan dengan kata yang diterangkan. Kata yang
diterangkan itu pada tataran frase menduduki fungsi sebagai unsur pusat. Contoh:
a.
Mahasiswa yang pandai-pandai mendapatkan beasiswa (mahasiswa itu
pandai).
b. Pohon di tepi jalan itu rindang-rindang.
3.
Reduplikasi menyatakan makna ‘tak bersyarat’ atau ‘konsesif ‘ dalam kalimat.
Contoh: jambu-jambu mentah dimakannya.
Pengulangan pada kata jambu dapat digantikan dengan kata meskipun, menjadi
meskipun jambu mentah, dimakannya.
4.
Reduplikasi menyatakan makna ‘yang menyerupai apa yang tersebut pada bentuk
dasar (D).’ Contoh:
a. Serupa ( D + R)
(1) kuda-kuda
(2) langit-langit
(3) mata-mata
‘yang meyerupai kuda.’
‘yang meyerupai langit.’
‘yang meyerupai mata.’
b. Dalam hal ini proses pengulangan berkombinasi dengan proses pembubuhan
afiks /-an/. Contoh:
(1) anak-anakaan
‘yang meyerupai mobil.’
(2) mobil-mobilan
‘yang meyerupai mobil.’
(3) gunung-gunungan ‘yang menyerupai gunung.’
44
Universitas Sumatera Utara
5.
Reduplikasi menyatakan makna ‘perbuatan tersebut pada bentuk dasar dilakukan
berulang-ulang/terus menerus atau (iteratif).’ Contoh:
a.
b.
c.
d.
e.
6.
berteriak-teriak
memukul-mukul
terapung-apung
turun-temurun
terus-menerus
‘berteriak berkali-kali.’
‘memukul berkali-kali.’
‘terapung terus menerus’
‘berkelanjutan turun temurun’
‘tanpa berhenti’
Reduplikasi menyatakan makna ‘tindakan melakukan sesuatu tanpa tujuan yang
sebenarnya’ atau mengatakan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar
dilakukan dengan enaknya, atau dengan santainya, atau dengan senangnya.’
Contoh:
a.
b.
c.
d.
e.
7.
berenang-renang
menari-nari
mencoba-coba
berjalan-jalan
makan-makan
‘tanpa tujuan sebenarnya’
‘tanpa tujuan sebenarnya.’
‘tanpa tujuan sebenarnya’
‘berjalan dengan santainya.’
‘makan dengan santainya.’
Reduplikasi menyatakan makna ‘perbuatan pada bentuk ini dilakukan oleh dua
pihak dan saling mengenai atau berbalasan.’ Dengan kata lain, pengulangan ini
menyatakan makna ‘saling (resiprokatif).’Contoh:
a.
b.
c.
d.
e.
8.
pukul-memukul
pandang-memandang
hormat-menghormati
ganti-bergantian
bersembur-semburan
‘saling memukul.’
‘saling memandang.’
‘saling menghormati’
‘saling bergantian.’
‘saling menyembur.’
Reduplikasi menyatakan makna ‘hal-hal yang berhubungan dengan perkejaan
yang tersebut pada bentuk dasar (D).’ Contoh:
a. cetak-mencetak ‘hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan mencetak.’
b. jilid-menjilid
‘hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan menjilid.’
9.
Reduplikasi menyatakan makna ‘agak.’ Contoh:
a. Agak ( D + R)
(1) samar-samar
(2) kabur-kabur
‘agak samar’
‘agak kabur’
45
Universitas Sumatera Utara
b. Agak (( D + R) + ke -/-an)
(1) keibu-ibuan
‘agak keibuan.’
(2) keanak-anakan
‘agak kekanak-kanakan.’
(3) kemerah-merahan ‘agak merah.’
(4) kebiru-biruan
‘agak biru.’
10. Reduplikasi menyatakan makna ‘tingkat yang paling tinggi yang dapat dicapai.’
Dalam hal ini pengulangan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks /senya/. Contoh:
a. sepenuh-penuhnya
b. serajin-rajinnya
‘tingkat penuh yang paling tinggi yang dapat dicapai;
sepenuh mungkin.’
‘tingkat rajin yang paling tinggi yang dapat dicapai;
serajin mungkin.’
11. Selain dari makna yang tersebut di atas, terdapat juga proses pengulangan yang
sebenarnya tidak mengubah arti bentuk dasarnya, melainkan hanya menyatakan
intensitas perasaan. Contoh:
a. mengharapkan bandingkan dengan kata mengharap-harapkan
b. membedakan bandingkan dengan kata membeda-bedakan.
2.2.10 Bahasa Angkola Mandailing
Bahasa Angkola dan Mandailing sebenarnya tidak terpisahkan karena
kedekatan kultural dan geografis. Berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan
oleh Tim Pemetaan Bahasa, Balai Bahasa Medan, Pusat Bahasa, tahun 2007
menunjukkan bahwa antara bahasa Angkola dan Mandailing tidak mempunyai
perbedaan yang signifikan.
Penggunaan nama bahasa Angkola dan bahasa Mandailing tidak bisa diterima
sebab masing-masing masyarakat pengguna bahasa tersebut masih dapat melakukan
komunikasi dengan baik, walaupun pada beberapa makna tertentu mereka saling tidak
memahami. Setelah dilakukan penghitungan dialektometri terhadap kedua bahasa
46
Universitas Sumatera Utara
tersebut, maka dapat dibuktikan bahwa penggunaan nama atau istilah bahasa untuk
bahasa Angkola dan Mandailing tidak bisa digunakan sebab persentase perbedaannya
hanya 48,75%. Ini berarti istilah yang cocok digunakan untuk bahasa-bahasa tersebut
adalah Angkola Mandailing karena perbedaannya hanya pada subdialek. Jadi, bahasa
Angkola dan Mandailing merupakan satu bahasa yang sama.
2.3 Landasan Teori
Teori sebagai landasan kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
morfologi yang bertalian dengan reduplikasi dan menggunakan analisis struktur
bahasa berdasarkan teori linguistik deskriptif struktural seperti yang dikemukanan oleh
Nida (1964), Verhaar (1977), Matthews (1978:127), Simatupang (1983), Keraf (1984),
Samsuri (1988), Ramlan (2001), dan Chaer (2008). Untuk mengetahui tipe reduplikasi
dalam bahasa Angkola Mandailing, penelitian ini mengacu pada pendapat M.D.S,
Simatupang (1983:57) sebagai berikut.
1.
Tipe R-1 : (D + R)
2.
Tipe R-2 : (D + Rpf)
3.
Tipe R-3 : ((D + R) + ber-)
4.
Tipe R-4 : ((D + R) + ber-/-an)
5.
Tipe R-5 : (D + (R + ber-))
6.
Tipe R-6 : ((D + R) + meN-)
7.
Tipe R-7 : (D + (R + meN-))
8.
Tipe R-8 : (D + (R + meN-/-i))
: rumah-rumah, pohon-pohon, perdebatanperdebatan.
: bolak-balik, kelap-kelip, desas-desus, tekateki.
: berlari-lari, berteriak-teriak, bercakapcakap.
: bersalam-salaman (salam-salaman),
berpacar-pacaran (pacar-pacaran).
: anak-beranak, adik-beradik, kait-berkait,
ganti-berganti.
: melompat-lompat, membawa-bawa,
melihat-lihat, membaca-baca, termasuk
juga dalam tipe ini: terbatuk-batuk, terbiritbirit.
: pukul-memukul, tolong-menolong, bantumembantu, kait-mengait.
: hormat-menghormati, cinta-mencintai,
dahulu-mendahului.
47
Universitas Sumatera Utara
9.
Tipe R-9 : ((D + R) + meN-/-kan):
10. Tipe R-10 : ((D + R) + meN-/-i)
:
11. Tipe R-11 : ((D + R) + se-/-nya)
:
12. Tipe R-12 : ((D + R) + ke-/-(-nya)) :
13. Tipe R-13 : ((D + R) + ke-/-an)
:
14. Tipe R-14 : ((D + R) + -an)
:
15. Tipe R-15 : (D + (R + -em-))
:
16. Tipe R-16 : (D + Rp)
:
menggerak-gerakan, melambai-lambaikan,
membagi-bagikan.
menghalang-halangi, menakut-nakuti,
menutup-nutupi.
setinggi-tingginya, sekuat-kuatnya,
seberat-beratnya.
ketiga-tiga(-nya), keenam-enam(-nya),
kedua-dua(-nya).
kehitam-hitaman, kehijau-hijauan, keputihputihan. Bentuk ini hanya terbatas pada
kata sifat yang tidak memiliki antonim.
(tidak ditemukan bentuk kekering-keringan,
kebaru-baruan).
rumah-rumahan, kapal-kapalan, untunguntungan, koboi-koboian.
kilau-kemilau, taram-temaram, tali-temali,
turun-temurun.
tetangga, lelaki, leluhur, seseorang,
beberapa, sesuatu, sesekali.
17. Reduplikasi semantik, yaitu proses pengulangan arti melalui penggabungan dua
bentuk yang bersinonim: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata, ilmupengetahuan, semak-belukar.
18. Bentuk-bentuk residu (bentuk yang sangat terbatas): hal-ihwal, adat-istiadat,
alim-ulama, sebab-musabab, warta-berita.
Meskipun bentuk reduplikasi yang dikemukakan Simatupang tersebut
tampaknya cukup banyak, pada dasarnya ia menggolongkan reduplikasi atas tiga
macam juga, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi
berimbuhan. Proses perulangan menyatakan beberapa makna. Simatupang (1983)
mengatakan bahwa makna reduplikasi atau pengulangan kata terbagi dua, yaitu makna
leksikal dan makna gramatikal. Ada kalanya proses reduplikasi morfemis tidak
menimbulkan perubahan arti leksikal. Ada pula proses reduplikasi morfemis yang
mengakibatkan
perubahan
arti
leksikal
tanpa
diikuti
oleh
perubahan
arti
48
Universitas Sumatera Utara
gramatikalnya. Sebaliknya, ada yang mengakibatkan perubahan arti gramatikal tanpa
diikuti oleh perubahan arti leksikalnya.
Ada reduplikasi yang artinya dapat segera ditentukan tanpa harus
memperlihatkan konteks kata ulang yang bersangkutan, misalnya rumah-rumah dari
kata dasar rumah. Reduplikasi yang demikian disebut reduplikasi bebas konteks. Di
pihak lain, ada reduplikasi yang artinya bergantung pada konteksnya. Misalnya, arti
reduplikasi tidur-tidur pada kalimat (1) Sudah dua hari dua malam dia tidak tidurtidur (- tidur) dan kalimat (2) Dia tidak tidur, hanya tidur-tidur (- tidur). Reduplikasi
yang demikian disebut reduplikasi terikat konteks.
Selain itu, ada yang menunjukkan bahwa arti yang dapat dihubungkan dengan
reduplikasi tertentu bergantung pada ciri semantis bentuk yang dikenainya. Misalnya,
arti yang terdapat pada ketik-mengetik, berbeda dengan arti yang terdapat pada pukulmemukul. Perbedaan arti yang demikian berdasarkan pada ciri semantis masingmasing dasar yang bersangkutan: mengetik berciri (-resiprokatif) dan memukul berciri
( + resiprokatif).
Sehubungan dengan arti yang dapat dihubungkan dengan bentuk-bentuk
reduplikasi tertentu ialah diperlukannya konteks tertentu untuk mengetahui arti yang
dikandung oleh bentuk-bentuk reduplikasi yang bersangkutan. Misalnya, kata neneknenek dalam kalimat (1) Sudah nenek-nenek, dia masih suka bersolek (+ tua, +
tunggal), dan (2) Saya melihat nenek-nenek duduk-duduk di depan rumah (+ tua, banyak). Makna pada kalimat (1) ‘konsetif’ dan pada kalimat (2) ‘serupa dasar.’ Oleh
karena itu, kalimat tersebut dapat digolongkan reduplikasi terikat konteks (lihat Chaer,
2008). Untuk mengetahui makna reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing,
penelitian ini mengacu pada pendapat Simatupang (1983).
49
Universitas Sumatera Utara
Download