Transaksi Indosat Diduga Potensial Rugikan Negara Manajemen: Laporan Keuangan Telah Diaudit dan Diterima RUPS 05-06-07 Jakarta, Kompas - Perusahaan telekomunikasi PT Indosat Tbk diduga berpotensi merugikan negara akibat salah kelola atau mismanajemen dalam transaksi derivatif yang dilakukan pada tahun 2004- 2006. Dengan salah kelola tersebut, negara kehilangan potensi penerimaan pajak dan dividen sekitar Rp 323 miliar. Temuan itu disampaikan Anggota Komisi XI DPR yang juga Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad H Wibowo dalam rapat kerja Komisi XI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta, dan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Fuad Rahmany Senin (4/6) di Jakarta. Drajad meminta agar pandangannya tersebut ditindaklanjuti Komisi XI, Departemen Keuangan, Dirjen Pajak, Bapepam-LK, serta Kementerian BUMN. "Kasus kerugian transaksi derivatif yang luar biasa besar ini merupakan salah satu skandal keuangan yang sangat memprihatinkan. Apalagi kalau kita lihat kondisi makro membaik, pasar keuangan membaik, bagaimana mungkin perusahaan sebesar Indosat bisa mengalami kerugian transaksi derivatif yang sedemikain besar," katanya. Sudah diaudit Kepala Divisi Humas Indosat Adita Irawati mengatakan, laporan keuangan tahun 2004 sampai tahun 2006 telah diaudit oleh kantor akuntan publik Ernst & Young. "Laporan keuangan tersebut telah diaudit secara transparan dan sudah diterima oleh pemegang saham melalui mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS) di tahun-tahun yang bersangkutan," kata Adita. Untuk laporan keuangan tahun 2006, Indosat baru akan meminta persetujuan pemegang saham dalam RUPS hari ini. Agenda lain rapat mengenai pengangkatan direktur utama yang kosong. Adita mengatakan, Indosat memang memiliki utang dalam dollar AS. Untuk melindungi pinjaman tersebut, perusahaan memiliki kebijakan untuk melakukan hedging atau lindung nilai, tanpa melakukan spekulasi terhadap fluktuasi rupiah. "Dampak dari hedging ini sebagian besar adalah non tunai yang dibukukan dalam laporan keuangan," katanya. Skandal Dradjad memaparkan, neraca konsolidasi Indosat mencantumkan satu pos yakni pos loss on change in fair value of derivatives-net yang pada tahun 2004 kerugiannya Rp 170,45 miliar, lalu turun menjadi Rp 44,21 miliar pada tahun 2005. Namun, pada tahun 2006, kerugian transaksi derivatif diperkirakan meledak menjadi sekitar Rp 438 miliar. "Totalnya selama tiga tahun sekitar Rp 653 miliar. Itu memang masih angka awal yang belum diaudit, sehingga bisa berubah. Namun, tetap saja kerugian ini merupakan skandal keuangan yang tak bisa ditolerir," katanya. Akibatnya, kata dia, pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan, dividen karena pemerintah masih mempunyai 14,29 persen saham Indosat, dan PPh atas dividen dari pemegang saham minoritas. "Jika laporan hasil audit nanti tidak jauh beda dari angka di atas, potensi PPh Badan yang hilang adalah 30 persen dikali Rp 653 miliar yang hasilnya Rp 196 miliar," urai Drajad. Pemerintah juga kehilangan potensi penerimaan dari dividen sekitar yakni Rp 653 miliar dikurangi Rp 196 miliar yang hasilnya dikalikan 14,29 persen, sama dengan Rp 65 miliar. "Ini dengan asumsi semua potensi keuntungan yang hilang karena transaksi derivatif dibagikan dalam bentuk dividen," katanya. Kemudian dari PPh yang dikenakan terhadap dividen yang diterima pemegang saham minoritas selain pemerintah, negara kehilangan penerimaan PPh sebesar Rp 62 miliar. Dengan hitungan tersebut, total potensi penerimaan negara yang hilang sekitar Rp 323 miliar. Drajad menekankan dalam melakukan transaksi derivatif tersebut, Indosat tentunya memiliki pasangan. "Pihak yang berwenang hendaknya memeriksa ABN AMRO, Barcleys, Goldman Sachs, JP Morgan dan sebagainya yang merupakan pasangan Indosat dalam melakukan transaksi. Ini harus dilihat, apakah kerugian tersebut merupakan kesengajaan untuk menghindari pajak atau kelalaian," ujarnya. Ia mengungkapkan, sejak 2004 hingga November 2005, Indosat menandatangani kontrak pengalihan (swap) yang terdiri atas 11 kontrak cross-currency swap (mata uang) dan 6 kontrak interest rate swap (suku bunga). Dradjad menambahkan, Komisi XI hendaknya segera memanggil auditor terkait yang memeriksa laporan keuangan, juga Bapepam-LK, Dirjen Pajak, serta Kementerian BUMN. Bapepam akan periksa Fuad Rahmany mengatakan, Bapepam sudah mulai menalaah laporan keuangan Indosat yang baru saja diserahan kepada Bapepam-LK. "Kalau memang ada laporan dari whistle blower (pemberi informasi) tentang adanya ketidakberesan dalam laporan keuangan tersebut, maka akan kami periksa tentunya. Kami sangat menghargai laporan dari berbagai pihak tetang penyimpangan yang dilakukan emiten dan akan kami tindaklanjuti dengan pemeriksaan," ujar Fuad. Pengamat pasar modal Mirza Adityaswara mengatakan, kerugian besar akibat transaksi derivatif seperti yang dialami Indosat merupakan kejadian langka setelah krisis tahun 1997-1998. "Saat krisis memang banyak perusahaan yang rugi besar akibat transaksi derivatif," kata Mirza. Menurut dia, kerugian sebesar itu termasuk bersifat material. Berdasarkan aturan pasar modal, seharusnya dilaporkan ke publik dan Bapepam-LK. Ia juga mengaku heran mengapa kerugian yang cukup signifikan itu tidak ramai dibicarakan pada tahun 2004 atau 2005.(tav/faj/otw)