ANGKA KEJADIAN SINDROM STEVENS-JOHNSON

advertisement
Artikel Asli
ANGKA KEJADIAN SINDROM STEVENS-JOHNSON
DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK
DI RS Dr. MOEWARDI SURAKARTA
PERIODE AGUSTUS 2011-AGUSTUS 2013
Moerbono Mochtar, Wisuda Putra Negara, Alamanda Murasmita
Bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Sebelas Maret Surakarta/RSUD Dr. Moewardi Surakarta
ABSTRAK
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi
mukokutaneous akut yang dapat mengancam jiwa dengan karakteristik berupa nekrolisis dan
lepasnya ikatan antara sel yang luas pada epidermis. NET merupakan penyakit yang tidak
mudah ditemui. NET dilaporkan berhubungan dengan infeksi, dan obat-obatan. Tujuan penelitian
ini adalah mengetahui data epidemiologi, terapi dan hasilnya secara retrospektif, dengan
menggunakan data rekam medis pasien rawat inap di bangsal Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta, yang didiagnosis SSJ, SSJ overlap NET,
dan NET periode Agustus 2011-Agustus 2013. Hasil menunjukkan, bahwa terdapat 27 kasus SSJ,
SSJ overlap NET, dan NET dari 485 pasien yang dirawat. Dari 27 pasien, sebanyak 15 pasien
(3,09%) didiagnosis SSJ, 7 pasien (1,44%) dengan SSJ overlap NET, dan 5 pasien (1,030%)
didiagnosis sebagai NET. Pada penelitian ini didapatkan, bahwa angka kejadian SSJ lebih tinggi
dibandingkan dengan NET selama periode Agustus 2011-Agustus 2013. Penanganan NET yang
komprehensif, dapat membantu klinisi dalam menurunkan angka kematian pada pasien dengan
NET di rumah sakit.(MDVI 2015; 42/2:65 - 69)
Kata kunci : insidens, Sindroma Steven-Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik
ABSTRACT
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) and Stevens-Johnson Syndrome (SJS ) are acute life
threatening mucocutaneous reactions characterized by extensive necrolysis and detachment of the
epidermis. TEN is a disease that is not easily found. TEN reported to be associated with infection,
and drugs. The aim of this study was to document the epidemiological data, therapy and the
ou tco mes re tro spe ctively u sin g medical rec ord pa tie nt who ad mited and treated in
dermatovenerology ward of Dr. Moewardi General Hospital whose diagnosis with SJS, SJS-TEN
Overlap and TEN, from August 2011 until August 2013. The result show 27 cases patient with
SJS,SJS-TEN Overlap and TEN from 485 dermatovenorolgy departemen patient in Dr. Moewardi
General hospital. From 27 patients, there were 15(3,09%) diagnosed with SJS, 7 patient diagnosed
with SJS-TEN Overlap(1,44%), and 5 patien diagnosed with TEN(1,030%). These study shows
that incidenceof SJS is higher than TEN during period August 2011 until August 2013. Giving a
comprehensive therapy in TEN, help clinicians in reducing mortality in patients with TEN in the
hospital. (MDVI 2015; 42/2:65 - 69)
Korespondensi :
Jl. Kolonel Sutarto No. 132
Surakarta 57126
Telepon : (0271) 634848.
Email:
moerbonomochta rmd@ya hoo.com
Key words : incidence, Stevens-Jhonson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis
65
MDVI
PENDAHULUAN
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrosis
epidermal toksik (NET) merupakan suatu kegawatdaruratan kulit yang ditandai dengan adanya nekrosis dan
pengelupasan epidermis yang luas dan dapat menyebabkan
kematian. 1 Keduanya diawali dengan makula eritema
terutama di batang tubuh dan ekstremitas superior,
kemudian meluas dengan cepat menjadi bula kendur diikuti
pengelupasan epidermis.2
SSJ dan NET adalah varian dari penyakit yang sama
dan dibedakan berdasarkan persentase luas permukaan
tubuh yang terlibat. Kedua penyakit ini dikelompokkan
sebagai nekrolisis epidermal (NE) yang kemudian
diklasifikasikan dalam 3 kelompok berdasarkan luas
permukaan kulit tubuh yang terlibat, yaitu: 1). sindrom
Stevens-Johnson (SSJ) dengan lesi epidermolisis pada <10%
luas seluruh permukaan kulit tubuh; 2). SSJ/NET overlap
lesi mengenai 10–30 %, 3). nekrosis epidermal toksik (NET)
ditandai dengan adanya epidermolisis lebih dari 30%.3
Angka kejadian SSJ di dunia diperkirakan sebanyak
1,2–6 kasus/juta penduduk/tahun dan NET 0,4–1,2 kasus/
juta penduduk/tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada
berbagai usia, tetapi lebih sering terjadi pada usia di atas 40
tahun. Valeyrie dan Roujeau (2008) melaporkan bahwa
perempuan lebih banyak daripada laki-laki dengan
perbandingan 5:3.1 Angka kematian lebih dari 30% pada
kasus NET dan pada SSJ 5–12%.1 Terdapat 5000 kasus rawat
inap di Amerika Serikat dengan diagnosis utama eritema
multiforme, sindrom Stevens-Johnson dan NET, dan 35%
dari kejadian ini berhubungan dengan penggunaan obat.4
Obat-obatan merupakan pencetus NET dan salah satu
yang tersering adalah alopurinol. Terdapat beberapa obat
Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 65 - 69
lain yang telah dilaporkan, di antaranya trimetroprimsulfametoksazol, antibiotik golongan sulfonamid,
aminopenisilin, sefalosporin, serta quinolon. Pada
penggunaan yang lama fenobarbital, karbamazepin, dan antiinflamasi non-steroid (NSAID) juga dapat merangsang
terjadinya NET.5
Suatu penelitian di sebuah rumah sakit umum di
Singapura pada Januari 2004– November 2010, didapatkan
kejadian NET sebanyak 3 kasus, SSJ 18 kasus dan 7 kasus
overlap SSJ–NET.6 Thaha (2009) melaporkan bahwa di Rumah
Sakit Umum Pusat Mohammad Husein (RSUP MH)
Palembang periode 2006-2008, didapatkan 43 pasien dengan
nekrolisis epidermal (NE) yang terdiri atas 35 orang (81,4%)
SSJ, diikuti SSJ/NET overlap 5 orang (11,6%) dan NET 3
orang (7%). Perhitungan angka kejadian SSJ di RSUP MH
Palembang adalah berkisar 0,096% sampai dengan 0,18%
antara tahun 2006-tahun 2008. Studi di RSUP MH Palembang
membandingkan SSJ-NET rawat inap dibandingkan dengan
seluruh kunjungan pasien antara 2006-2008 inap. Tidak ada
pasien NET yang meninggal di RSUP MH Palembang.
Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa kelompok usia
terbanyak pasien SSJ ialah 26–36 tahun, SSJ-NET Overlap
<37 tahun dan NET pada kelompok usia > 37tahun.7
Patofisiologi NE masih belum jelas. Obat diperkirakan
sebagai penyebab terbanyak, dan lebih dari 100 macam obat
telah diduga berperan sebagai penyebab. Penyebab lainnya
adalah infeksi, keganasan dan idiopatik. Patogenesis penyakit
ini di antaranya adalah cell mediated cytotoxic reaction
terhadap keratinosit yang mengakibatkan apoptosis masif
melalui perforin-granzyme B atau FasL. Kerentanan genetik
diduga berperan dalam NE, karena terdapat asosiasi yang
kuat antara HLA–B*1502 dengan NE akibat karbamazepin
dan HLA-B*5801 dengan NE akibat alopurinol.1
Tabel 1. Faktor prognosis berdasarkan SCORTEN
Faktor Prognostik
Nilai
Usia lebih dari 40 tahun
1
Nadi lebih dari 120 kali/menit
1
Kanker atau keganasan hematologik
1
Persentase pengelupasan epidermis pada inisiasi awal
1
lebih dari10%
Kadar serum urea > 10 mmol/L (BUN >27 mg/dL)
1
Kadar serum bicarbonat < 20 mEql/L
1
Kadar serum glukosa > 14 mM(<250 mg/dL)
1
SCORTEN
66
Mortality rate(%)
0-1
3,2
2
12,1
3
35,3
4
58,3
>5
90
M Mochtar, dkk
Sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik di RS dr. Moewardi Surakarta
Derajat keparahan NE dapat dinilai dengan Skala
SCORTEN (scoring system for patients with epidermal
Necrolysis),8 untuk memprediksi mortalitas kasus NE (tabel
1). Awalnya skala tersebut dikembangkan untuk NET, tetapi
kemudian dapat pula dipakai pada SSJ, luka bakar dan reaksi
obat. Nilai 1 diberikan untuk setiap kriteria yang terpenuhi
dengan skala.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui data
epidemiologi kasus dari SSJ, SSJ-NET overlap, dan NET di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi Surakarta, terapi
yang diberikan serta perkembangan pasien dari terapi
tersebut.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini merupakan studi retrospektif,
menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien kulit
dan kelamin yang menjalani rawat inap. Data yang
dikumpulkan adalah data pasien dengan diagnosis SSJ, SSJNET overlap, dan NET, serta data pasien rawat inap dengan
diagnosis penyakit kulit yang seluruhnya dirawat di bangsal
Kulit dan Kelamin, bangsal Penyakit Dalam, bangsal Anak
dan bangsal Bagian Paru RSUD Dr.Moewardi Surakarta
pada periode Agustus 2011–Agustus 2013. Data yang
dikumpulkan meliputi usia, jenis kelamin, diagnosis, dan
data jumlah kematian pasien.
HASIL PENELITIAN
Dari hasil penelitian didapatkan 485 pasien kulit dan
kelamin yang dirawat inap di RSUD Dr.Moewardi periode
Agustus 2011 sampai dengan Agustus 2013. Sebanyak 212
pasien rawat inap pada periode Agustus 2011– Agustus
2012 di antaranya terdapat 7 kasus SSJ (3,30%), 3 kasus
SSJ-NET overlap (1,41%) dan NET 1 kasus (0,47%). Pada
periode Agustus 2012–Agustus 2013 didapatkan 273 kasus
pasien rawat inap dan di antaranya terdapat 8 kasus SSJ
(2,93%), 4 kasus SSJ-NET overlap (1,46%) dan 4 kasus
NET (1,46%). (Gambar 1)
Berdasarkan data tersebut diketahui didapatkan 27
kasus pasien rawat inap dengan diagnosis SSJ, SSJ-NET
overlap dan NET selama periode Agustus 2011–Agustus
2012. Dari 27 kasus didapatkan 16 kasus pasien perempuan
dan 11 kasus pada laki-laki. (Gambar 2)
Berdasarkan data pasien rawat inap di bangsal kulit
dan kelamin dengan diagnosis SJS, SSJ-NET overlap dan
NET, didapatkan usia terbanyak adalah 51-60 tahun
sebanyak 9 kasus, diikuti dengan usia 41-50 tahun sebanyak
6 kasus, 4 kasus usia 31-40 tahun, 3 kasus pada usia 21-30
tahun, dan 1 kasus pada usia < 5tahun.
Pada periode Agustus 2011 sampai dengan Agustus
2012, dari 14 kasus kematian pada pasien rawat inap di
bangsal kulit dan kelamin dijumpai 1 kasus kematian yang
Gambar 1. Angka kejadian SSJ, SSJ-NET overlap, NET pada rawat inap kulit dan kelamin
RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Agustus 2011- Agustus 2012
67
MDVI
Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 65 - 69
Tabel 2. Obat penyebab SSJ,SSJ – NET overlap dan NET
pada pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
periode Agustus 2011-Agustus 2013
Penyebab
Jumlah Pasien
Neviral
10 (37,03 %)
Sefalosporin
3 (11,11 %)
Karbamazepin
2 (7,40 %)
Ibuprofen
1 (3,70 %)
Alopurinol
1 (3,70 %)
Aspilet
1 (3,70 %)
Siprofloksasin
1 (3,70 %)
Obat Sinse
2 (7,40 %)
Asam mefenamat
1 (3,70 %)
Tidak diketahui
5 (18,51 %)
Total
27 (100 %)
disebabkan oleh NET sedangkan pada periode Agustus
2012–Agustus 2013, dari total sebanyak 17 kasus pasien
rawat inap yang meninggal, tidak dijumpai kematian pada
pasien dengan diagnosis SSJ, SSJ-NET overlap ataupun
NET. Sehingga dari jumlah total pasien meninggal pada
periode Agustus 2011–Agustus 2013, yaitu sebanyak 31
orang (3,22%), Hal ini merupakan indikator keberhasilan
yang dinyatakan dengan angka mortalitas, yaitu 3,22%.
Seluruh pasien rawat inap di bangsal Kulit dan Kelamin
mendapatkan terapi metil prednisolon. Bila di telusuri obat
penyebab didapatkan 22 dari 27 pasien yang terlacak
penyebabnya, sedangkan 5 pasien lainnya tidak dapat
dilacak. (Tabel 2)
PEMBAHASAN
Tatalaksana SSJ, SSJ–NET overlap dan NET yang
diberikan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta meliputi
mengenali dan menghentikan obat penyebab, pemberian
terapi sistemik dan terapi topikal. Terapi sistemik yang
diberikan adalah injeksi steroid dengan dosis setara
prednison 1–2 mg/KgBB/24 jam dan tapering off.
Kortikosteroid yang digunakan adalah metilprednisolon dan
deksametason, namun karena efek samping
metilprednisolon lebih sedikit maka jenis obat ini lebih sering
digunakan. Antibiotik yang sering dipakai adalah injeksi
gentamisin atas indikasi atau sesuai hasil kultur darah.
Terapi topikal yang digunakan adalah kenalog in orabase
pada mukosa mulut yang terkena salep mata, Gentamisin
pada konjungtiva, kompres luka dengan NaCl 0,9% dan
salep Gentamisin pada luka erosi. Pasien diberi alas tidur
daun pisang untuk mencegah menempelnya kulit ke kasur
yang akan memperberat erosi. Infus NaCl atau Ringer laktat
68
diberikan untuk mencegah dehidrasi dan mengatur
keseimbangan cairan. Selain itu terapi suportif lain yang
diberikan adalah diet tinggi kalori dan tinggi protein dengan
ekstra putih telur.
Angka kejadian SSJ selama periode Agustus 2012–
Agustus 2013 : 2,93 % lebih rendah bila dibandingkan
dengan periode Agustus 2011–Agustus 2012 : 3,30%. Pada
pasien dengan SSJ-NET overlap dijumpai tidak ada
peningkatan yang signifikan, yaitu sebanyak 1,41% pada
Agustus 2011–Agustus 2012 dan 1,465% pada Agustus
2012–Agustus 2013, dan pada pasien yang didiagnosis NET
angka kejadian mengalami peningkatan, yaitu 0,47% pada
Agustus 2011– 2012 menjadi 1,465% pada Agustus 2012–
Agustus 2013. Dari data ini juga dapat diketahui bahwa
angka kejadian SSJ lebih tinggi bila dibandingkan dengan
NET di Rumah Sakit Dr. Moewardi periode Agustus 2011–
Agustus 2013, yaitu berkisar antara 2,93%–3,30% pada SJS
dan 0,47%– 1,46% pada NET. Hal ini sesuai dengan studi
kasus di RSUP MH Palembang periode 2006–2008 dimana
SSJ menduduki peringkat tertinggi, yaitu 35 kasus,
menyusul SSJ/NET overlap sebanyak 5 kasus dan NET 3
kasus.7 Penulis memperkirakan tingginya angka kejadian
diakibatkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit nekrolisis epidermal, kemudahan akses memperoleh
obat di toko obat terutama tingginya penggunaan obat tanpa
menggunakan resep dokter terutama di kota-kota besar.
Dari penelitian ini didapatkan jenis kelamin perempuan
lebih banyak menderita SJS dan NET dibandingkan dengan
laki-laki, yaitu 16 orang (59,25%) perempuan dan 11 orang
(40,74%) laki-laki dengan rasio perempuan dibanding lakilaki yaitu 1,45:1. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan
Valerye dan Roujeau (2008), yaitu perempuan lebih banyak
menderita NE dibanding laki laki (3:5). Usia terbanyak
menderita SSJ, SJS-NET overlap dan NET adalah 51-60
tahun. Tidak terdapat pasien SSJ/ NET pada golongan usia
antara 5-20 tahun pada bangsal rawat inap Rumah Sakit
Umum Dr. Moewardi. SSJ dan NET dapat terjadi pada usia
berapapun, dengan risiko meningkat terutama setelah dekade
ke empat atau lebih, dan penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada perempuan dengan rasio 0,6 dibanding laki-laki.
Pasien dengan human imunodefisiensi virus (AIDS)
memiliki risiko lebih tinggi, dimana terdapat 14 dari 80 kasus
NET pada pasien-pasien di Paris memiliki penyakit AIDS9.
Penyakit kolagen dan pembuluh darah serta pasien dengan
kanker memiliki risiko yang lebih tinggi. Usia lanjut, faktor
komorbiditas, dan semakin luasnya area kulit yang
mengalami epidermolisis berkorelasi dengan prognosis
yang buruk. Pada data kematian pasien kulit dan kelamin
yang dirawat inap di bangsal RSUD Dr. Moewardi antara
periode Agustus 2011 sampai dengan Agustus 2013,
didapati 1 kasus kematian akibat NET (7,13%) akibat sepsis
pada pasien NET dengan HIV-AIDS, dan tidak didapatkan
kasus kematian pasien dengan SJS. Keadaan ini sesuai
dengan kepustakaan, bahwa pasien dengan NET memiliki
M Mochtar, dkk
Sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik di RS dr. Moewardi Surakarta
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan SJS, yaitu
>30%. Pada studi di RSUP MH Palembang tidak dijumpai
kasus kematian akibat nekrolisis epidermal. Hal ini mungkin
disebabkan perbedaan skala SCORTEN pasien, maupun
tatalaksana. Dari penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa
angka kejadian SSJ lebih tinggi daripada NET di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta pada periode Agustus 2011 sampai
dengan Agustus 2013. Kasus kematian akibat NET sebanyak
1 kasus pada periode Agustus 2011- Agustus 2012 dan 0
kasus kematian pada periode 2012–2013 di RSUD Dr.
Moewardi. Dengan angka kematian 3,22%. Hal ini tidak
berbeda jauh bila dibandingkan dengan studi di RSUP MH
Palembang dengan 0 kasus kematian, dan angka kematian
ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka mortalitas
keseluruhan yang dilaporkan Valerye-Allanore L, Roujeau
J-C, yaitu sebesar 5–12% untuk SSJ dan >30% untuk NET.
KESIMPULAN
Diagnosis yang cepat, identifikasi awal dari penyebat
NET, penanganan yang cepat, optimal serta mengenali dan
menghentikan obat yang diduga penyebab merupakan kunci
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas tinggi (30%)
akibat penyakit ini9-11 Pada penelitian ini terdapat 27 kasus
NET dari 485 total kasus rawat inap di Rumah Sakit Dr.
Moewardi Surakarta selama 2 tahun. Penulis memperkirakan
kemudahan memperoleh obat tanpa menggunakan resep
dokter menjadi salah satu faktor yang berperan dalam angka
kejadian nekrolisis epidermal toksik di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta
2. Barankin B, Freiman A. Derm's Notes: Stevens Johnson
syndrome (EM major) and toxic epidermal necrolysis (TEN).
Philadelphia: Davis's Company; 2006.h.153 - 4.
3. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Stevens-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Fitzpatrick's Color
Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. Edisi ke-5. New
York: McGraw-Hill; 2005.h.145-56.
4. Stern RS. Utilization of hospital and outpatient care for adverse
cutaneous reactions to medications. Pharmacoepidermiol Drug
Saf. 2005; 14: 677-84.
5. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and StevensJohnson syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2010;
5: 39-48.
6. Tan SK, Tay YK. Profile and pattern of Stevens-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis in a General Hospital
in Singapore : treatment outcomes. Acta Derm Venereol. 2012;
92: 62-6.
7. Thaha MA. Sindroma Steven Johnson dan Nekrosis Epidermal
Toksis di RSUP MH Palembang Periode 2006 - 2008. Media
Medika Indonesiana.2009; 43: 234-9.
8. Guegan S, Bastujin, Garin S, Roujeau JC, Revuz J. Perfomance
of the SCORTEN during the first five days of hospitalization
to predict the prognosis of epidermal necrolysis. J Invest
Dermatol. 2006; 126: 272-6.
9. Breatnach SM. Erythema multiforme, Steven Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Burns T,
Breathnach S, Cox N, dan Griffiths C. penyunting. Rooks
Textbook of Dermatology. Edisi ke-8 Volume ke-4. Chapter
76. Oxford: Blackwell; 2010.h.1-22.
10. French LE, Prins C. Erythema multiforme, Steven-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Bolognia J,
Jorizzo JL, Rapini RP, penyunting. Dermatology. Edinburgh:
Mosby; 2008.h.287-300.
11. Lee HY, Martanto W,Thirumoorthy T. Epidemiology of
Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in
Southeast Asia. Dermatologica Sinisa. 2013; 31:217-20.
DAFTAR PUSTAKA
1. Valeyrie AL, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (StevensJohnson syndrome and toxic epidermal necrolysis). Dalam:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
Wolff K, dkk. penyunting. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.
h.439-45.
69
Download