Uji Provokasi Skuama pada Pitiriasis Versikolor

advertisement
TEKNIK
Uji Provokasi Skuama
pada Pitiriasis Versikolor
Sukmawati Tansil Tan, Gabriela Reginata
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi jamur superfisial kulit yang disebabkan oleh ragi lipofilik Malassezia furfur yang merupakan organisme
saprofit pada kulit normal. Aktivasi M. furfur terjadi akibat perubahan keseimbangan flora normal kulit; karena berbagai faktor, M.furfur
akan berkembang menjadi bentuk mycelial yang patogenik. Pitiriasis versikolor dapat didiagnosis melalui gambaran klinis, pemeriksaan
fluoresensi dengan lampu Wood, dan pemeriksaan KOH pada kerokan kulit. Pemeriksaan lain adalah uji provokasi skuama. Tes dilakukan
dengan meregangkan atau menggoreskan kuku jari tangan ke lesi, sehingga skuama terlihat jelas atau disebut evoked scale sign, suatu tanda
khas pitiriasis versikolor yang tidak didapatkan pada penyakit kulit lain. Cara ini mudah diaplikasikan dalam praktik sehari-hari.
Kata kunci: Evoked scale sign, pitiriasis versikolor, Malassezia furfur
ABSTRACT
Pityriasis versicolor ( PV ) is a superficial fungal skin infection caused by lipophilic yeast Malassezia furfur. M. furfur is a saprophytic organism
in normal skin. Activation of M. furfur is due to changes of normal flora of the skin; M.furfur will evolve into a pathogenic form of mycelia.
Pityriasis versicolor can be diagnosed by clinical signs, Wood’s lamp fluorescence, and KOH examination on skin scrapings. Other is scaling
provocation test carried out by stretching or scraping fingernails to the lesion to reveal scaling, known as scale evoked sign, a typical sign of
pityriasis versicolor. This method is easily applied in daily practice. Sukmawati Tansil Tan, Gabriela Reginata. Scaling Provocation Test for
Pityriasis Versicolor.
Keywords: Evoked scale sign, pityriasis versicolor, Malassezia furfur
PENDAHULUAN
Pitiriasis versikolor (PV) atau lebih dikenal
dengan panu adalah infeksi jamur superfisial
yang ditandai perubahan pigmen kulit
akibat kolonisasi stratum korneum oleh
jamur lipofilik dimorfik dari flora normal
kulit, Malassezia furfur.1,2
Pityrosporum
orbiculare dan Pityrosporum ovale dapat
menyebabkan penyakit jika bertransformasi
menjadi fase miselium sebagai Malassezia
furfur.3,4 Dari semua jenis Malassezia, hanya
M. pachydermatis yang membutuhkan
lingkungan kaya lipid, seperti kulit manusia
atau media kultur yang diperkaya lipid,
karena tidak mampu mensintesis asam
lemak jenuh rantai menengah-panjang.5
Malassezia menghasilkan berbagai senyawa
yang mengganggu melanisasi menyebabkan perubahan pigmentasi kulit.6,7
Lesi khas pitiriasis versikolor berupa makula,
plak, atau papul folikular dalam berbagai
Alamat korespondensi
warna, hipopigmentasi, hiperpigmentasi,
sampai eritematosa, berskuama halus di
atasnya, dikelilingi kulit normal.5,8 Skuama
sering sulit terlihat. Untuk membuktikan
skuama yang tidak tampak, dapat dilakukan
peregangan atau penggoresan lesi dengan
kuku jari tangan sehingga skuama tampak
lebih jelas,9 dikenal sebagai evoked scale
sign, finger nail sign, Besnier’s sign, scratch
sign, coup d’ongle sign atau stroke of the nail
sign.1,9-12 Peregangan atau penggoresan
lesi akan meningkatkan kerapuhan stratum
korneum kulit yang terinfeksi pitiriasis
versikolor,10 sehingga akan muncul tanda
klinis yang berguna untuk membantu
menegakkan diagnosis, terutama jika pemeriksaan mikologis tidak tersedia dan
diagnosis klinis tidak pasti.
PITIRIASIS VERSIKOLOR
Infeksi jamur (mikosis) digolongkan dalam
tiga kelompok, yaitu mikosis superfisialis,
mikosis intermediate, dan mikosis profunda.
Pitiriasis versikolor merupakan salah satu infeksi
jamur nondermatofitosis mikosis superfisialis.3
Sejarah
Pada tahun 1846, Eichstedt melaporkan
penyakit jamur kulit ini untuk pertama
kalinya. Tahun 1853, Robin mengisolasi
elemen jamur yang diambil dari lesi kulit
dan diberi nama Microsporum furfur. Hence
menyebutnya sebagai tinea versikolor.
Malassez berhasil mengisolasi sel ragi dari
skuama ketombe manusia pada tahun 1874.
Studi selanjutnya dilakukan oleh Baillon tahun
1889 yang menggolongkan ragi ini ke dalam
genus Malassezia. Sabouraud membuktikan
organisme penyebab ketombe yang disebut
Pityrosporum malassezii pada tahun 1904.
Beberapa dekade setelahnya, Castellani
dan Chalmers (1913) mengidentifikasi
Pityrosporum ovale dan Gordon (1951) mengidentifikasi Pityrosporum orbiculare.4,10,13
email: [email protected]
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
471
TEKNIK
Epidemiologi
Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia
(kosmopolit), terutama di daerah tropis
yang beriklim panas dan lembap,10 termasuk
Indonesia. Prevalensinya mencapai 50%
di negara tropis.14 Penyakit ini menyerang
semua ras,10 angka kejadian pada laki-laki
lebih banyak daripada perempuan, dan
mungkin terkait pekerjaan dan aktivitas yang
lebih tinggi.14 Pitiriasis versikolor lebih sering
menginfeksi dewasa muda usia 15-24 tahun,
saat aktivitas kelenjar lemak lebih tinggi.15,16
Faktor predisposisi infeksi jamur ini terdiri
dari faktor endogen seperti malnutrisi,
immunocompromised,
penggunaan
kontrasepsi oral, hamil, luka bakar, terapi
kortikosteroid,
adrenalektomi,
Cushing
syndrome, atau faktor eksogen seperti
kelembapan udara, oklusi oleh pakaian,
penggunaan krim atau lotion, dan rawat
inap.2,11
Etiopatogenesis
Adanya faktor predisposisi menyebabkan
ragi saprofit Pityrosporum orbiculare dan
Pityrosporum ovale berubah menjadi bentuk
miselium parasitik yang dapat menimbulkan
gejala klinis.6,17 Sebelumnya, hanya terdapat
tiga spesies berasal dari genus Malassezia,
yaitu M. furfur, M. pachydermatis, dan M.
sympodialis. Pada tahun 1996, klasifikasi
taksonomi menambah empat spesies
berdasarkan morfologi, ultrastruktur, dan
biologi molekuler, terdiri dari M. globosa, M.
obtusa, M. restrica, dan M. slooffiae.6,10 Pada
tahun 2004, spesies baru M. dermatis dan
M. japonica berhasil diidentifikasi, diikuti
dengan M. yamatoensis, M. nana, M. caprae, M.
equina, dan M. cuniculi, sehingga seluruhnya
berjumlah 14 spesies.10,18 M. pachydermatis
bersifat nonlipid-dependent,6 sedangkan 13
spesies lainnya lipid-dependent.10 M. furfur,
M. sympodialis, dan M. globosa merupakan
penyebab
tersering
infeksi
pitiriasis
versikolor.11
Malassezia memproduksi berbagai metabolit
yang dapat menyebabkan perubahan warna
pada lesi.2,11 Hipopigmentasi terjadi akibat:
(1) pitiriasitrin dan pitirialakton yang mampu
menyerap sinar UV;10 (2) asam azaleat,
asam dekarboksilat yang menurunkan
produksi melanosit dengan menghambat
enzim tirosinase;6,19 (3) malassezin yang
menginduksi apoptosis melanosit;10 (4)
472
malassezindole A, aktivitasnya menghambat
kerja tirosinase dan mengganggu sintesis
tirosinase; (5) keto-malassezin sebagai
inhibitor tirosinase dengan menghambat
reaksi
DOPA
(3,4-dihidroksifenilalanin)
melanosit; (6) metabolit lain seperti
indirubin, ICZ, pitiriarubin, dan triptanthrin.10
Lesi hiperpigmentasi mungkin berhubungan dengan variasi respons inflamasi
terhadap infeksi.20 Tampak peningkatan
ukuran melanosom (makromelanosom)
dan penebalan pada stratum korneum.
Walaupun in vitro membuktikan bahwa
L-3,4-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) pada
Malassezia mampu menginduksi sintesis
melanin, namun secara in vivo belum dapat
dibuktikan.10
Diagnosis
Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran lesi yang sesuai dengan
karakteristik pitiriasis versikolor, pemeriksaan
fluoresensi kulit dengan lampu Wood,
dan sediaan langsung kerokan kulit.6,11
Pasien pitiriasis versikolor umumnya hanya
mengeluh bercak-bercak putih, kecokelatan,
atau merah muda, tidak gatal atau sedikit
gatal saat berkeringat.19 Pada orang kulit
putih atau terang, lesi berwarna lebih gelap
dibandingkan kulit normal,21 sedangkan
pada orang berkulit hitam atau gelap, lesi
cenderung putih.20 Hal ini sesuai dengan
pitiriasis yang berarti penyakit dengan
skuama halus seperti tepung dan versicolor
yang berarti bermacam warna. Bentuk dan
ukuran lesi bervariasi, dapat berupa makula
hingga patch atau papul hingga plak hipo/
hiperpigmentasi, berbatas tegas atau difus,
tertutup skuama halus di sekitarnya. Bentuk
folikular juga dapat ditemukan.22 Lesi dapat
meluas, berkonfluens, atau tersebar.16 Tempat
predileksinya terutama daerah yang ditutupi
pakaian, seperti dada, punggung, perut,
lengan atas, paha, leher.2,14
Fluoresensi lesi kulit pada pemeriksaan lampu
Wood berwarna kuning keemasan dan pada
pemeriksaan KOH 20% tampak gambaran
spora dan miselium yang sering dilukiskan
sebagai spaghetti and meatball appearance.16
Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan
kerokan kulit menggunakan skalpel atau
selotip yang dilekatkan ke lesi.1 Biopsi kulit
jarang dilakukan.2,16 Pembiakan M. furfur pada
media kultur tidak bernilai diagnostik karena
merupakan flora normal kulit.19
Evoked Scale Sign
Tanda ini disebut coup d’ongle sign, pertama kali dicetuskan oleh Besnier (18311909), seorang dermatologist asal Perancis.
Selanjutnya Balzer (1849-1929) menyebutnya
le signe du copeau (“shaving”, “as of wood”) atau
dalam bahasa Jerman Hobelspanphänomen.
Saat ini, tanda ini lebih dikenal dengan
evoked scale sign. Balzar menyatakan bahwa
coup d’ongle hanya ditemukan pada infeksi
PV.24 Terjadi perubahan struktural lapisan
kulit akibat peningkatan kerapuhan stratum
korneum, mungkin disebabkan gangguan
parsial fungsi sawar kulit dan peningkatan
transepidermal waterloss.25 Keratinase yang
diproduksi fase hifa dari spesies ini mampu
menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur di stratum korneum. Jika
diregang, stratum korneum akan mengendur,
skuama akan terlihat.1,9,10
Uji provokasi skuama sangat sederhana
dan mudah. Pemeriksa menggunakan ibu
jari dan telunjuk atau kedua jari tangan
meregangkan kulit searah 1800 (Gambar
1-3), lesi kering dapat digores dengan
ujung kuku untuk memunculkan skuama
yang melapisi daerah lesi. Sel-sel abnormal
akan terangsang untuk membentuk lapisan
deskuamasi yang patognomonik untuk
infeksi pitiriasis versikolor, dalam hal ini
evoked scale sign dinilai positif.1,9
Sukma’s PV sign
Banyak pasien pitiriasis versikolor datang
dengan keluhan hanya gatal ringan dengan
bercak warna gelap pada daerah tubuh. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan bercak lebih
gelap dibandingkan kulit normal sekitarnya,
berbatas jelas, umumnya lebih dari satu lesi,
ukuran dari milier sampai numuler, kadang
sampai plakat. Bila lesi diregang, akan muncul
sisik putih berbatas jelas. Skuama hanya
sebatas lesi dengan susunan rapi, teratur,
sejajar dengan garis kulit. Penulis memberi
nama “Sukma’s PV sign”. Tanda ini dapat digunakan untuk membedakan lesi pitiriasis
versikolor dari pitiriasis alba dan skuama
akibat kulit kering. Pada pitiriasis alba, lesi
berupa bercak hipopigmentasi dengan batas
tidak jelas, kadang terlihat kulit kering tanpa
sisik. Demikian juga pada kulit kering, skuama
yang terlihat tanpa ada sisik yang tersusun
rapi sejajar. Perbedaan Sukma’s PV sign
dengan penemuan evoked scale sign hanya
menggambarkan skuama akibat regangan
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
TEKNIK
tanpa memperhatikan sisik yang tersusun
rapi, sejajar dengan kulit, dan berbatas pada
lesi, karena skuama halus juga kadang dapat
ditemukan pada pitiriasis alba dan kulit kering.
Pemeriksaan ini mudah, sederhana, dan
dapat dilakukan saat praktik dokter umum
sehari-hari.
Pitiriasis Versikolor vs Pitiriasis Alba
Penyakit kulit lain yang memiliki gambaran
lesi hipopigmentasi menyerupai pitiriasis
versikolor adalah pitiriasis alba, salah satu
bentuk dermatitis non-spesifik, asimptomatik,
dan belum diketahui etiologinya.26,27 Pitiriasis
versikolor dan pitiriasis alba dapat dibedakan
secara klinis dan melalui pemeriksaan
penunjang.
bulat, oval, kadang ireguler, awalnya
berwarna merah muda, ditutupi skuama
halus, kemudian menjadi lesi hipopigmentasi
dalam beberapa minggu. Seiring perjalanan
penyakitnya, skuama berangsur hilang,
tersisa lesi hipopigmentasi yang menetap
beberapa bulan hingga tahun. Predileksi
tersering adalah wajah, ditemukan juga di
lokasi lain seperti leher, bahu, punggung,
ekstremitas, dan bokong.14,30 Pitiriasis alba
ekstensif yang menyerang orang dewasa,
lesinya simetris, berbatas tegas, berwarna
putih, cenderung merusak permukaan kulit
tungkai. Selain itu, pitiriasis alba dapat disertai
infeksi jamur superfisial dengan gambaran
lesi hiperpigmentasi kebiruan dikelilingi area
hipopigmentasi, sering menyerang wajah.31,32
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak
hingga dewasa muda, usia 3-16 tahun,
merupakan bentuk ringan dermatitis
atopi.28,29 Lesi berupa makula berbentuk
Jika evoked scale sign maupun Sukma’s PV sign
negatif, maka diagnosis pitiriasis versikolor
dapat disingkirkan. Hal ini dapat dikonfirmasi
melalui pemeriksaan lampu Wood ataupun
1A
1B
3A
2
3B
Gambar. Uji Provokasi Skuama
1a. Lesi pitiriasis versikolor yang tidak tampak jelas skuamanya.
1b. Skuama terlihat jelas setelah diregang (evoked scale sign positif ).
2.
Tes provokasi dengan meregangkan lesi kulit. Skuama jelas terlihat setelah dilakukan peregangan.
3a. Lesi pitiriasis versikolor merah muda hingga kecoklatan yang tidak tampak skuama.
3b. Setelah dilakukan peregangan, skuama jelas terlihat.
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
pemeriksaan KOH. Pada pitiriasis alba, lesi
tidak berpendar seperti pitiriasis versikolor
yang berwarna kuning keemasan di bawah
lampu Wood, sedangkan pada pemeriksaan
KOH tidak ditemukan hifa dan spora.
Terapi
Pengobatan pitiriasis versikolor dapat topikal
maupun sistemik. Lesi minimal dapat diobati
dengan preparat topikal, seperti shampo
selenium sulfida 2,5% digunakan 2-3 minggu
sekali atau shampo ketokonazol 2% selama 3
hari berturut-turut.6 Terbinafin topikal 1% dua
kali per hari selama seminggu cukup efektif.2
Preparat azol seperti mikonazol, ketokonazol,
klotrimazol, ekonazol juga dapat digunakan.2
Untuk lesi luas, dapat diberi pengobatan oral
seperti ketokonazol 200 mg/hari selama 7 hari.
Itrakonazol dosis 200-400 mg/hari selama
3-7 hari dapat diberikan untuk infeksi yang
sulit sembuh atau sering kambuh. Flukonazol
400 mg juga efektif diberikan dalam dosis
tunggal.6
Prognosis
Perjalanan penyakit berlangsung kronik,
namun umumnya memiliki prognosis
baik. Lesi dapat meluas jika tidak diobati
dengan benar dan faktor predisposisi tidak
dieliminasi. Masalah lain adalah menetapnya
hipopigmentasi, diperlukan waktu yang
cukup lama untuk repigmentasi kembali
seperti kulit normal. Hal itu bukan kegagalan
terapi, sehingga penting untuk memberikan
edukasi pada pasien bahwa bercak putih
tersebut akan menetap beberapa bulan
setelah terapi dan akan menghilang secara
perlahan.19
PENUTUP
Malazzesia furfur yang menyerang stratum
korneum merupakan penyebab infeksi
jamur kulit pitiriasis versikolor. Lesi berupa
bercak putih, cokelat, hingga merah muda
yang tidak gatal, terkadang gatal ringan saat
berkeringat. Awalnya berupa makula berbatas
tegas, tertutup skuama halus yang kadang
tidak tampak jelas. Lesi dapat meluas,
berkonfluens, atau menyebar. Skuama
dapat dibuktikan dengan uji provokasi
melalui goresan atau regangan, sehingga
batas lesi tampak lebih jelas, disebut dengan
evoked scale sign. Tanda ini khas pada pitiriasis
versikolor. Pengobatan dapat topikal ataupun sistemik. Prognosis baik jika tatalaksana
menyeluruh dengan kepatuhan tinggi.
473
TEKNIK
DAFTAR PUSTAKA
1.
Han A, Calcara DA, Stoecker WV, Daly J, Siegel DM, Shell A. Evoked scale sign of tinea versicolor. Arch Dermatol. 2009;145(9):1078.
2.
Habif TP. Clinical dermatology, a color guide to diagnosis and therapy. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2010.p.537-40.
3.
Budimulja U. Pitiriasis versikolor. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, eds. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.100-1.
4.
Rai MK, Wankhade S. Tinea versicolor-an epidemiology. J Microbial Biochem Technol. 2009; 1(1):51-6.
5.
Levin NA, Delano S. Evaluation and treatment of Malassezia-related skin disorders. Cosmetic Dermatology 2011;24(3):137-45.
6.
Janik MP, Heffernan MP. Yeast infections: Candidiasis and tinea (pityriasis) versicolor. In: Wolff K, Goldsmith LS, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008.p.1828-30.
7.
Machowinski A, Kramer HJ, Hort W, Mayser P. Pityriacitrin-a potent UV filter produced by Malassezia furfur and its effect on human skin microflora. Mycoses 2006;49(5):388-92.
8.
Good PH. Goodheart’s photoguide to common skin disorder, diagnosis and management. 3rd ed. New York: Lippinkott William and Wilkins; 2008.p.190-1.
9.
Shi VS, Lio PA. Diagnosis of pityriasis versicolor in paediatrics: The evoked scale sign. Arch Dis Child. 2011;96(4):392-3.
10. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID, Valegraki A. The Malassezia genus in skin and systemic disease. Clin Microbiol Rev. 2012;25(1):106-41.
11. Burkhart CN, Burkhart CG, Morell DS. Treatment of tinea versicolor. In: Maimbach H, Gorohi F, eds. Evidence based dermatology. 2nd ed. New York: McGraw Hill Companies; 2009.p.36571.
12. James WD, Berger TG, Elston D. Andrew’s disease of the skin clinical dermatology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.p.302-3.
13. Gaitains G, Valergaki A, Mayser P, Bassukas ID. Skin disease associated with Malassezia yeast: Fact and controversies. Clinics in Dermatology 2013;31(4):455-63.
14. Usatine RP. Tinea versicolor. In: Usatine RP, Smith MA, Mayeaux EJ, Chumley H, Tysinger J, eds. The color atlas of family medicine. New York: McGraw Hill Companies; 2009.p.566-9.
15. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. 6th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2009.p.732-4.
16. Schalock PC, Hsu JT, Arndt KA. Lippincott’s primary care dermatology. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2011.p.132-4.
17. Lehman D. Agents of superficial mycoses. In: Mahon CR, Lehman D, Manuselis G, eds. Textbook of diagnostic microbiology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014.p. 594-5.
18. Lyakhovitsky A, Shemer A, Amichai B. Molecular analysis of Malassezia species isolated from Israeli patients with pityriasis versicolor. Int J Dermatol. 2013;52:231-3.
19. Weller R, Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical dermatology. 4th ed. New Jersey: Blackwell Publishing; 2008.p.254-7.
20. Keller RA. Superficial fungal infections. In: Fitzpatrick JE, Moreelli JG, eds. Dermatology secrets in color. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2007.p.252-72.
21. Patel AB, Kubba R, Kubba A. Clinicopathological correlation of acquired hypopigmentary disorders. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2013;79(3):376-82.
22. Craft N, Fox LP. Visual diagnosis essential adult dermatology. Philadelphia: Lippincott Williams and Walkins; 2010.p.355-7.
23. Varada S, Dabade T, Loo DS. Uncommon presentations of tinea versicolor. Dermatol Pract Concept. 2014;4(3):93-8.
24. Satyajeet K, Sangeeta A, Sawant S. Scaly sign in dermatology. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2006;72(2):161-4.
25. Lee WJ, Kim JY, Song CH, Lee SH, Lee SJ, Kim DW. Disruption of barrier function in dermatophytosis and pityriasis versicolor. The Journal of Dermatology 2011;38(11):1049-53.
26. Soepardiman L. Pitiriasis alba. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, eds. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.333-4.
27. Elshafey WS, Fiala LA, Mohamed RW, Ismael NA. The distribution and determinants of pityriasis alba among elementary school students in Ismailia City. Journal of American Science
2012;8(12): 444-9.
28. Burkhart CG, Burkhart CN. Pityriasis alba: A condition with possibly multiple etiologies. The Open Dermatology Journal 2009;3:7-8.
29. Rook A, Burns T. Rook’s text book of dermatology. Oxford: Blackwell Publishing; 2004.p.37-8.
30. Lio PA. Little white spots: An approach to hypopigmented macules. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2008; 93:98-102.
31. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. 6th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2009.p.623-5.
32. Di LV, Ricci C. Progressive and extensive hypomelanosis and extensive pityriasis alba: Same disease, different names. J Eur Dermatol Venereol. 2005;19(3):370-2.
474
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
Download