bab ii tinjauan pustaka

advertisement
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Biogas
Biogas adalah proses fermentasi bahan organik secara anaerob (tertutup dari udara
bebas) untuk menghasilkan suatu gas yang sebagian besar berupa metan yang memiliki sifat
mudah
terbakar dan karbondioksida. Biogas merupakan campuran dari metana,
karbondioksida,
sedikit gas hidrogen, hidrogen sulfida atau nitrogen. Gas yang terbentuk
disebut gas rawa atau gas bio. Proses dekomposisi anaerob dibantu oleh sejumlah
mikroorganisme,
terutama bakteri metan. Disamping itu terdapat gas-gas lain yang
komposisinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 2.1 Tabel kisaran komposisi dan persentase biogas
Jenis Gas
Jumlah (%)
Methan (CH4)
54-70
Karbon Dioksida (CO2)
27-54
Nitrogen (N2)
0,5-2
Karbon Monoksida (CO)
0,1
Oksigen (O2)
0,1
Hydrogen Sulfida (H2S)
Sedikit sekali
Sumber : Hadi (1980)
Gas metana yang merupakan komponen yang paling dominan pada biogas memiliki
sifat tidak berbau, tidak berwarna dan tidak berasa. Berat jenis gas metana 0,554 kg/m 2,
kelarutannya dalam air bersuhu rendah, pada suhu 20˚C dan tekanan 1 atm. Gas metana
termasuk gas yang stabil (Buren, 1979). Nilai energi gas metana cukup tinggi sehingga dapat
dimanfatkan untuk berbagai kebutuhan, seperti penerangan, pengeringan, memasak, dan
kebutuhan lainnya (Fauziyah, 1996).
Seperti terlihat pada tabel 2.1 komposisi biogas berkisar antara 55-75% metana dan 2545% karbondioksida. Biogas mengandung gas lain seperti karbonmonoksida, hidrogen,
nitrogen, oksigen, hidrogen sulfida, kandungan gas tersebut tergantung dari bahan yang masuk
ke dalam digester. Biogas kira-kira memiliki berat 20% lebih ringan dibandingkan udara.
Biogas tidak berbau dan tidak berwarna dan apabila dibakar akan menghasilkan nyala api biru
seperti gas LPG.
5
Tabel 2.2 Kesetaraan Nilai Kalor Biogas Dengan Bahan Bakar yang Lain
Elpiji
0,46 kg
Minyak Tanah 0,62 liter
1m3 Biogas
Minyak Solar
0,52 liter
Bensin
0,80 liter
Sumber : Riyandi (2008)
Nilai kalor dari 1 m3 biogas setara dengan 0,6 – 0,8 liter minyak tanah. Untuk
menghasilkan listrik 1 kwh dibutuhkan 0,6 - 1 m3 biogas yang setara dengan 0,52 liter minyak
solar.
Disamping itu pupuk organik yang dihasilkan dari proses produksi biogas pun
memberikan keuntungan yang cukup besar.
Selain pemanfaatan kotoran ternak sebagai
sumber energi biogas, bahan lain yang dapat dimanfaatkan adalah sisa-sisa limbah pertanian.
2.2
Teknologi Biogas
2.2.1.
Sejarah Penemuan Biogas
Gas metana ini sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk
dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan, proses fermentasi lebih lanjut
untuk menghasilkan gas metaan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta (1776).
Hasil identifikasi gas yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806.
Dan Becham (1868), murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882), adalah orang pertama yang
memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan metan. (Harahap, 2007)
Adapun alat penghasil biogas secara anaerob pertama dibangun pada tahun 1900. Pada
akhir abad ke-19, riset untuk menjadikan gas methan sebagai biogas dilakukan oleh Jerman
dan Perancis pada masa antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Selama Perang Dunia II,
banyak petani di Inggris dan Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas kecil yang
digunakan untuk menggerakkan traktor. Akibat kemudahan dalam memperoleh BBM dan
harganya yang murah pada tahun 1950-an, proses pemakaian biogas ini mulai ditinggalkan.
Tetapi, di negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu
tersedia selalu ada.
6
2.2.2.
Prinsip Teknologi Biogas
Teknologi
biogas pada dasarnya memanfaatkan proses pengolahan bahan organik yang
dilakukan
oleh bakteri methanogen yang produknya berupa gas metana (CH4). Gas metana
hasil pencernaan
bakteri tersebut bisa mencapai 60% dari keseluruhan gas hasil reaktor biogas,
sedangkan sisanya didominasi CO2. Bakteri ini bekerja dalam lingkungan yang tidak ada udara
(anaerob), sehingga proses ini juga disebut sebagai pencernaan anaerob (anaerob digestion).
Proses dekomposisi anaerob yang dibantu oleh bakteri bekerja secara optimal merombak
bahan-bahan
organik pada suhu 30-55° C. Bakteri methanogen akan secara alami berada dalam
limbah yang mengandung bahan organik, seperti sampah organik, limbah yang sebagian besar
terdiri dari kotoran,
dan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan
sebagainya
serta air yang cukup banyak (Munawaroh, 2010).
Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH4).
Semakin tinggi kandungan metana semakin besar kandungan energinya (kalor). Kualitas
biogas dapat ditingkatkan dengan memperlakukan beberapa parameter yaitu menghilangkan
hidrogen sulfur, kandungan air dan karbondioksida (CO2). Hidrogen sulfur mengandung racun
dan zat yang menyebabkan korosi, bila biogas mengandung senyawa ini maka akan
menyebabkan gas yang berbahaya sehingga konsentrasi yang diijinkan maksimal 5 ppm. Bila
gas dibakar maka hidrogen sufur akan lebih berbahaya karena akan membentuk senyawa baru
bersama-sama oksigen, yaitu sulphur dioksida/sulphur trioksida (SO2 / SO3), senyawa ini lebih
beracun. Pada saat yang sama akan membentuk Sulphur acid (H2SO3) suatu senyawa yang
lebih korosif. Proses kedua adalah menghilangkan kandungan karbondioksida yang memiliki
tujuan untuk meningkatkan kualitas, sehingga gas dapat digunakan untuk bahan bakar
kendaraan. Kandungan air dalam biogas akan menurunkan titik penyalaan biogas serta dapat
menimbulkan korosif.
Prinsip pembangkit biogas, yaitu menciptakan alat yang kedap udara (anaerob) yang
menyatu dengan saluran/pemasukan (input) serta saluran atau bak pengeluaran (output). Bak
pemasukan berfungsi untuk melakukan homogenisasi dari bahan baku limbah cair dan padat.
Bak penampungan berfungsi untuk menampung bahan sisa (sluge) hasil perombakan bahan
organik dari digester yang telah mengurai bahan organiknya, tetapi akan semakin meningkat
unsur haranya. Pada dasarnya kotoran ternak yang ditumpuk begitu saja dalam beberapa waktu
tertentu dengan sendirinya akan membentuk gas metana. Namun, karena tidak ditampung, gas
7
menguap ke udara. Oleh sebab itu, untuk menampung gas yang terbentuk dari
itu akan hilang
bahan organik
dapat dibuat dalam beberapa model konstruksi alat penghasil biogas.
Berdasarkan
cara pengisianya, ada dua jenis digester (pengolah gas), yaitu batch feeding dan
continues feeding.
2.3
Digester
Tipe Batch
Batch feeding adalah jenis digester yang pengisian bahan organik (campuran bahan
organik
dan air) dilakukan sekali sampai penuh, kemudian diproses secara anaerobik selama 2
– 6 bulan tergantung
pada jumlah bahan yang dimasukkan. Isi dari digester biasanya
dihangatkan dan dipertahankan temperaturnya. Selain itu kadangkala diaduk untuk melepaskan
gelembung gelembung gas dari sludge.
Tipe digester ini tidak membutuhkan banyak perhatian selama proses. Meskipun
demikian hampir semua bahan organik tetap akan diproses. Efisiensi maksimal dari proses
hanya dapat diharapkan bila digester diisi dengan hati-hati. Ruang yang terbuang dan udara
yang terjebak didalam sludge harus dihindarkan karena akan menghambat pembentukan gas
metana. pH harus dikontrol dengan baik pada awal proses, karena sulit untuk memperbaiki bila
digester sudah mulai memproses. Tipe Batch digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan
yang diproses sebelum unit yang besar dibangun.
Gambar 2.1 Digester tipe batch untuk percobaan
Digester ini memiliki volume 10 liter dan cocok digunakan sebagai percobaan di
sekolah dan laboratorium.Tipe batch memiliki keuntungan lain yaitu dapat digunakan ketika
bahan tersedia pada waktu – waktu tertentu dan bila memiliki kandungan padatan tinggi (25%).
Bila bahan berserat atau sulit untuk diproses, tipe batch akan lebih cocok dibanding tipe aliran
8
kontinyu (continuos
flow), karena lama proses dapat ditingkatkan dengan mudah. Bila proses
terjadi kesalahan,
misalnya karena bahan beracun, proses dapat dihentikan dan dimulai dengan
yang
baru (Latif, 2010).
2.4
Pembentukan Biogas
Prinsip
Biogas dihasilkan apabila bahan-bahan organik terdegradasi senyawa-senyawa
pembentuknya
dalam keadaan tanpa oksigen atau biasa disebut kondisi anaerob. Dekomposisi
anaerob
ini biasa terjadi secara alami di tanah yang basah, seperti dasar danau dan di dalam
tanah pada kedalaman
tertentu. Proses fermentasi ini dilakukan oleh bakteri-bakteri dan
mikroorganisme yang hidup di dalam tanah.
Fermentasi secara anaerob dapat menghasilkan gas yang mengandung sedikitnya 60%
metana. Gas inilah yang biasa disebut dengan biogas dengan nilai kalor sebesar 39 MJ/m 3
kotoran. (Latif, 2010). Biogas dapat dihasilkan dari dekomposisi sampah organik seperti
sampah pasar, daun-daunan, dan kotoran hewan yang berasal dari sapi, babi, kambing, kuda,
atau yang lainnya, bahkan kotoran manusia sekalipun. Proses dekomposisi anaerob pada
dasarnya adalah proses yang terdiri atas tiga tahap, yaitu hidrolisis, asidifikasi (pengasaman)
dan pembentukan gas metana.
Gambar 2.2 Proses pembentukan biogas
9
Dari proses pembentukan biogas tersebut menggunakan mikroorganisme yang
berpengaruh pada hasil produksi gas. Kelompok mikroorganisme yang dapat menghasilkan
produk
biogas seperti gas CH4, H2, dan CO2 terdapat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Karakteristik Fisiologis Beberapa Mikroorganisme yang Terlibat Pada Proses Dekomposisi Anaerob
Kelompok
Organisme
Nutrisi
Hidrolitik
Clostridium
thermocellum
Heterotrof
Substrat
Cellulose
Cellobiose
Acetogen
Homo
Acetogen
S-isolate
Heterotrof
Acetobacter woodii
Mixotrof
Produk
H2/CO2,
ethanol,
acetat, laktat
Pyruvate
H2/CO2,
Ethanol
etanol, asetat
Fruktosa, laktat,
CO2/H2
Asetat
Methanobacterium
Methanogen
thermoautotrophicu
Autotrof
H2/CO2
CH4
m
Methanogen
Methanosarcina
barkeri
Mixotrof
H2/CO2,CH3OH
CH3NH2,asetat
CH4
(Latif, 2010)
Keempat kelompok bakteri tersebut mempunyai fungsi yang berbeda satu sama lain dan
proses pembentukan biogas sangat bergantung dari keseimbangan antara keempat kelompok
bakteri tersebut. Dibawah ini merupakan bagan tahapan pembentukan biogas. Kondisi yang
diperlukan pada proses produksi metana antara lain:

Tersedianya bahan organik yang terdegradasi.

Tersedianya nutrien yang sesuai.

Tersedianya air yang cukup untuk melarutkan bahan organik dan komponen terlarut
lainnya agar tingkat peracunan menurun.

Tersedianya jenis bakteri yang sesuai.

Kondisi proses yang sesuai (pH, temperatur , persentase asam volatil, dan sebagainya).
10
Tahap Hidrolisis
2.4.1
Pada tahap hidrolisis, bahan organik didegradasi secara eksternal oleh enzim
ekstraselular (selulose, amilase, protease dan lipase) mikroorganisme. Bakteri memutuskan
rantai panjang karbohidrat komplek, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek.
Sebagai contoh polisakarida diubah menjadi monosakarida sedangkan protein diubah menjadi
peptida dan asam amino.
2.4.2
Tahap Asidifikasi
Pada tahap ini, bakteri menghasilkan asam mengubah senyawa rantai pendek hasil
proses pada tahap
hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen (H2) dan karbon dioksida. Bakteri
tersebut merupakan
bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang dalam keadaan
asam.
Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang
diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan. Pembentukan asam pada kondisi anaerob
tersebut penting untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya.
Selain itu, bakteri tersebut juga mengubah senyawa bermolekul rendah menjadi alkohol, asam
organik, asam amino, karbon dioksida, H2S dan sedikit gas metana.
2.4.3
Tahap Pembentukan Gas Metana
Sisa atau buangan senyawa organik yang berasal dari tanaman ataupun hewan secara
alami akan berurai, baik akibat pengaruh lingkungan fisik (seperti panas matahari), lingkungan
kimia (seperti dengan adanya senyawa lain) atau yang paling umum dengan adanya jasad renik
yang disebut mikroba, baik bakteri ataupun jamur. Akibat penguraian bahan organik yang
dilakukan jasad renik tersebut, maka akan terbentuk zat atau senyawa lain yang lebih
sederhana (kecil), serta salah satu di antaranya berbentuk CH4 atau gas metana.
2.5
Bahan penghasil biogas
Semua bahan organik yang terdapat dalam tanaman, karbohidrat, selulosa adalah salah
satu bahan untuk dicerna. Selulosa secara normal mudah dicerna oleh bakteri, tetapi selulosa
dari beberapa tanaman sedikit sulit didegradasikan bila dikombinasikan dengan lignin. Lignin
adalah molekul komplek yang memiliki bentuk rigid dan struktur berkayu dari tanaman dan
bakteri hampir tidak dapat mencernanya. Sebagian besar sampah organik alami dapat diproses
menjadi biogas kecuali lignin. Digester anaerob dapat menggunakan bahan organik dalam
jumlah yang besar sebagai bahan masukan, seperti kotoran manusia, kotoran hewan, sisa-sisa
11
tanaman, sisa proses makanan dan sampah lainnya atau dapat mencampurkan dari satu atau
lebih sampah tersebut.
Kotoran hewan merupakan bahan pembuat biogas yang sering digunakan karena
ketersediannya
yang sangat besar di seluruh dunia. Bahan ini memiliki keseimbangan nutrisi,
mudah diencerkan dan relatif dapat diproses secara biologi. Kisaran pemrosesan secara biologi
antara 28-70% dari bahan organik tergantung dari pakannya. Kotoran hewan juga selain
banyak tersedia juga mempunyaikemampuan untuk menghasilkan gas metana yang tinggi serta
sisa
dari proses pembuatan biogas bias digunakan sebagai pupuk yang mempunyai kualitas
yang baik. Selain
kotoran,hewan bahan yang dapat digunakan untuk menghasilkan biogas
diantaranya, jerami, eceng gondok, limbah cair tahu, dan salah satu bahan yang dianggap
sebagai
pencemaran lingkungan yaitu bungkil biji jarak yang mampu menghasilkan energi
alternatif pengganti bahan bakar.
2.5.1
Eceng Gondok
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air yang
pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan yang bernama Karl Von
Mortius pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungan Amazon Brazilia.
Ecenng gondok dianggap sebagai gulma karena kerapatan pertumbuhan eceng gondok yang
tinggi yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar
melalui saluran air ke badan lainnya. Klasifikasinya adalah sebagai berikut :
Divisi
: Spematophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Suku
: Pontederiacceae
Marga
: Eichhornia
Jenis
: EichhrniacrassiapesSolms
12
Gambar 2.3 Eceng Gondok
Pertumbuhan masal eceng gondok akan terjadi bila perairan mengalami penyuburan
oleh pencemaran. Keadaan ini akan terjadi bila kemampuan asimilasi zat yang masuk ke
perairan mengalami
penurunan. Kondisi merugikan yang timbul sebagai dampak pertumbuhan
eceng
gondok yang tidak terkendali di antaranya adalah :

Meningkatnya evapotranspirasi.

Menurunnya jumlah cahaya yang masuk ke dalam perairan sehingga menyebabkan
menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO : Dissoveld Oxygen).

Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang
kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan
beberapa daerah lainnya.

Meningkatkannya habitat bagi vektor penyakit pada manusia.
Dampak negatif tersebut perlu diimbangi dengan usaha penanggulangannya. Salah satu
upaya penanggulangannya yang umum dilakukan oleh masyarakat di antaranya :

Menggunakan herbisida.

Mengangkat eceng gondok tersebut dari lingkungan perairan.

Menggunakan predator (hewan sebagai pemakan eceng gondok).

Memanfaatkan eceng gondok tersebut, misalnya sebagai bahan pembuat kertas,
kompos, biogas, kerajinan tangan, sebagai media pertumbuhan bagi jamur merang,
dsb.
Gulma air eceng gondok umumnya terdapat hampir di semua perairan umum di
Indonesia dan sebenarnya tidak hanya menimbulkan dampak negatif bagi perairan umum.
Sepanjang masih bisa dikendalikan, pertumbuhannya mampu mengurangi pengaruh
13
terutama akibat limbah industri. Selain itu, tanaman tersebut mempunyai nilai
pencemaran air,
untuk perikanan, biogas, maupun industri. Pemanfaatan eceng gondok untuk
ekonomis, baik
produksi
tertentu merupakan cara yang lebih bijak jika dibandingkan dengan cara-cara lain
sebab resiko yang ditimbulkan lebih kecil. Eceng gondok mampu menyerap logam berat
dalam jumlah banyak sehingga dimanfaatkan sebagai filter biologis untuk mengurangi kadar
logam dalam periran/limbah (aquafilter). Kecepatan penyerapan zat pencemar dari dalam air
limbah oleh eceng gondok dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya komposisi dan kadar zat
yang
terkandung dalam air limbah, kerapatan eceng gondok, dan waktu tinggal eceng gondok
dalam air limbah.
Dari hasil percoaan laboratorium diperoleh simpulan, kecepatan penyerapan
Nitrogen (N2)
yang maksimal dipengaruhi oleh kandungan Phosphat di dalam air dan
kerapatan
eceng gondok, tetapi dipengaruhi pula oleh kadar Phosphat dalam jaringan. Faktor
penunjuk lainnya yang memengaruhi penyerapan senyawa Nitrogen dan Phosphat adalah
waktu detensi zat tersebut di dalam limbah yang ditumbuhi oleh eceng gondok. Eceng gondok
mengandung kadar air yang besar di dalam tubuhnya yaitu sekitar 90%, hal ini merupakan
keuntungan dan memanfaatkan sebagai sumber biogas melaluli proses fermentasi karena
bahan yang memiliki kadar air tinggi lebih mudah untuk dicerna, sehingga eceng gondok akan
lebih cepat menghasilkan gas (Harahap, 2007). Eceng gondok lebih mudah diurai oleh
mikroorganisme pembusuk (Cholik, 2003)
2.5.2
Kotoran Sapi
Peternak sapi di Indonesia rata-rata memiliki 2-5 ekor sapi dengan lokasi sapi yang
berbeda tempat satu sama lainnya. Kondisi tersebut menyebabkan penanganan limbah kotoran
ternak tersebut menjadi sulit. Seekor sapi perah dengan berat badan 450 kg menghasilkan
limbah berupa kotoran dan urine kurang lebih 25 kg per ekor setiap harinya (Wahyuni, 2009).
Menurut data United Nations pada tahun 1984 sapi potong dengan bobot badan 520 kg
menghasilkan kotoran 29 kg/hari dengan kandungan bahan keringnya sebesar 12%. Pada jenis
sapi perah dengan bobot badan 640 kg akan menghasilkan kotoran sebesar 50 kg/hari dengan
kandungan bahan kering sebesar 14%. Besarnya produksi limbah jika tidak ditangani dengan
baik akan menimbulkan pencemaran pada lingkungan, seperti polusi tanah, air, udara, dan
penyebaran penyakit menular (Raliby, 2006).
14
Tabel 2.4 Produksi kotoran terhadap bobot ternak dan jenisnya.
Jenis ternak
Sapi potong
Sapi perah
520
640
Bobot ternak
[kg]
Produksi kotoran
[kg/hari] 29
Bahan kering [%]
12
50
14
Sumber : Sri wahyuni (2006)
Salah satu penanganan untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dapat diatasi
dengan memanfaatkannya menjadi bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar biogas.
Kotoran ternak sapi sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas.
Kotoran sapi memliki potensi produksi gas yang lebih besar dibandingkan dengan kotoran
ternak lainnya, karena setiap 1 kg kotoran sapi dapat menghasilkan gas sebesar 0.023-0.040
[m3](Sri Wahyuni, 2006). Menurut penelitian Simamorsa (1989), Kotoran sapi mengandung
30 % bahan organik yang terdiri dari senyawa organik seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, asam nukleat dan asam organik. Senyawa–senyawa tersebut baik untuk digunakan
sebagai bahan dasar biogas.
2.6
Faktor Yang Berpengaruh Pada Proses Pembuatan Biogas
Lingkungan besar pengaruhnya pada laju pertumbuhan mikroorganisme baik pada proses
aerob maupun anaerob. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerob antara lain:
temperatur, ketersediaan unsur hara, derajat keasaman (pH), rasio karbon nitrogen dan kadar
air.
2.6.1 Rasio C/N
Rasio C/N dari bahan organik sangat menentukan aktivitas mikroba dan biogas. Kebutuhan
unsur karbon dapat dipenuhi dari karbohidrat, lemak, dan asam–asam organik. Sedangkan
kebutuhan nitrogen dapat dipenuhi dari protein, amoniak dan nitrat (Fry, 1974). Jika C/N
terlalu tinggi, nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri metanogen untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhanya dan hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon
akibatnya gas yang dihasilkan menjadi rendah Sebaliknya jika C/N rendah, nitrogen akan
15
dibebaskan dan
berakumulasi dalam bentuk ammonia (NH4) yang dapat meningkatkan pH.
Perbandingan C/N yang terlalu rendah akan menghasilkan CH4 rendah dan kadar CO2 tinggi
dengan
H2 rendah dan N2 tinggi, sedangkan rasio C/N yang terlalu tinggi akan menghasilkan
CH4 rendah dan
CO2 tinggi dengan H2 yang tinggi dan N2 rendah. Dengan demikian pada
pembuatan biogas perlu diperhatikan rasio C/N dari bahan yang akan digunakan.
2.6.2
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran keasaman atau kebasaan dari suatu bahan.
Bakteri metanogen sensitif terhadap perubahan pH. Bakteri anaerob termasuk bakteri
pembentuk metana bekerja pada pH 6,8-7,2 dan sangat baik pada pH 7,0-7,2. Bila pH berada
di bawah 6,0 dan di atas 8,0 bakteri pembentukan metana akan mengalami keracunan. Kondisi
awal
bahan tidak boleh terlalu rendah karena pada tahap awal akan terjadi proses asidifikasi
yang menyebabkan pH turun karena terbentuknya asam volatil, namun setelah penyimpanan
selama 5 hari bakteri pembentukan metana akan memakan asam volatil dengan cepat dan
memproduksi metana (Gerardi, 2003). Untuk mencegah penurunan pH pada awal pencernaan
dan menjaga pH pada kisaran yang diizinkan, makan perlu ditambahkan larutan kapur
(Ca(OH)2) atau kapur (CaCO3) sebagai buffer (Mahida, 1993)
Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi biologi dan mempertahankan pH
agar stabil, penting untuk semua kehidupan. Nilai pH yang dibutuhkan untuk digester 7-8,5.
Bila proses tidak dimulai dengan membibitkan bakteri metana, seperti memasukkan kotoran
hewan ke dalam kolam, kondisi buffer tidak akan tercipta dan perubahan yang terjadi adalah
selama tahap awal dari proses sekitar dua minggu, pH akan turun hingga 6, atau lebih rendah,
ketika sejumlah CO2 diberikan. Hal ini akan terjadi selama 3 bulan dengan penurunan
keasaman yang lambat (6 bulan pada cuaca yang dingin) selama waktu itu ikatan asam volatil
dan nitrogen terbentuk (Fry, 1974). Seperti pada pencernaan, karbondioksida dan metana
diproduksi dan pH perlahan meningkat hingga 7. Ketika campuran menjadi berkurang
keasamannya maka fermentasi metanalah yang mengambil alih proses pencernaan. Sehingga
nilai pH meningkat diatas netral 7,5-8,5. setelah itu campuran menjadi buffer yang mantap
(well buffered), dimana bila dimasukkan asam/basa dalam jumlah yang banyak, campuran
akan stabil dengan sendirinya pada pH 7,5-8,5 (Fry, 1974). Bila bahan tidak dimasukkan
secara teratur (digester tipe batch), enzim akan terakumulasi sehingga padatan organik
menjadi jelek dan produksi metana terhenti (Fry, 1974).
16
Pertumbuhan
bakteri penghasil gas metana akan baik bila pH bahannya pada keadaan
alkali (basa). Bila derajat keasaman lebih kecil atau lebih besar dari batas, maka bahan
tersebut
akan mempunyai sifat toksik terhadap bakteri metanogenik (Fry, 1974). Akumulasi
asam-asam organik
akan membentuk buffer asam lemah yang akan menyebabkan pH semakin
turun. Apabila kondisi ini berlangsung dalam waktu yang lama maka bakteri penghasil metan
yang sangat sensitive terhadap lingkungan akan mati sehingga proses fermentasi akan
berhenti.
Nilai pH yang tinggi akan menyebabkan proksi ammonium yang cukup banyak.
Ammonium dalam konsentrasi tinggi akan bersifat racun yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme dalam fermentasi. Kestabilan pH fermentasi dapat dijaga
dengan
menggunakan kapasitas penyangga (Sidik, 2008).
2.6.3
Temperatur
Kebanyakan bakteri pembentuk metana aktif pada dua jarak temperatur yang berbeda.
Kedua jarak tersebut adalah jarak mesophilic dengan jarak temperatur 30-35°C dan jarak
thermophilic dengan jarak temperatur 50-60°C, sedangkan pada jarak temperatur 40-50°C
tidak terdapat bakteri pembentuk metana (Gerardi, 2003). Pada jarak temperatur mesophilic
juga terdapat kondisi yang paling optimum untuk pembentukan metana yang ditunjukkan Tabel
2.3.
Tabel 2.5 Jarak Temperatur Untuk Produksi Metana pada Digester Anaerobik
Temperature (°C)
Produksi Metana
2.6.4
35
32-34
21-31
<21
Optimim Minimum Sangat Sedikit Tidak ada
Kadar Air
Agar dapat beraktivitas secara normal, mikroba penghasil biogas harus berada pada
kondisi dengan kadar air yang optimal. Bila air terlalu sedikit, asam asetat terakumulasi
sehingga menghambat proses fermentasi, dan juga akan terbentuk lapisan kerak (scum) yang
tebal dipermukaan, terutama jika bahan isian berserat. Scum ini akan menghambat gas yang
terbentuk ke permukaan. Kadar air yang optimal adalah 90% dan kadar padatan 8-10%
(Fairus, 2011).
17
2.6.5
Kebutuhan
Nutrisi
Bakteri
fermentasi membutuhkan beberapa bahan gizi tertentu dan sedikit logam.
Kekurangan salah satu nutrisi atau bahan logam yang dibutuhkan dapat memperkecil proses
produksi metana. Nutrisi yang diperlukan antara lain nitrogen, Sulfur, Fosfor, Potasium,
Kalsium, Magnesium dan sejumlah logam seperti Besi, Mangan, Seng, Kobalt, Selenium,
Nikel, dan lainnya. Nutrisi ini dapat menghambat proses pembentukan biogas apabila
konsentrasi
di dalam bahan terlalu banyak (Prasetyo, 2010).
18
19
Download