faktor – faktor yang berhubungan dengan status vitamin d serta

advertisement
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
STATUS VITAMIN D SERTA DAMPAKNYA TERHADAP
GEJALA STRES KERJA PADA PEKERJA
PEREMPUAN USIA SUBUR
ANWAR LUBIS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul faktor – faktor yang
berhubungan dengan status vitamin D serta dampaknya terhadap gejala stres kerja
pada pekerja perempuan usia subur adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Anwar Lubis
NIM I151130161
RINGKASAN
ANWAR LUBIS. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D serta
Dampaknya terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja Perempuan Usia Subur.
Dibimbing oleh DADANG SUKANDAR dan ALI KHOMSAN
Vitamin D diduga berhubungan dengan menurunnya kemampuan kognitif dan
kesehatan mental. Dugaannya adalah hipovitaminosis D mampu memperbesar
terjadinya stres kerja. Penelitian – penelitian pada manusia memperlihatkan adanya
Vitamin D Reseptor (VDR) dan 1α-hidroksilase mengkatalisis sintesa 1,25 –
dihidroksivitamin D (kalsitriol, bentuk bioaktif vitamin D) dalam struktur otak seperti
korteks prefrontal, amygdala dan hipocampus.
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis faktor – faktor yang
mempengaruhi status vitamin D dan dampaknya terhadap gejala stres kerja pada
pekerja perempuan usia subur. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1)
Mengidentifikasi karakteristik pekerja perempuan; 2) Menilai status gizi dan pola
konsumsi pangan pekerja perempuan; 3) Menganalisis faktor – faktor yang
berhubungan dengan status vitamin D dan gejala stres pekerja perempuan.
Desain yang digunakan pada penelitian adalah penelitian survei. Penelitian
ini telah mendapatkan Persetujuan Etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro No. 11/EC/FKM/2015. Total
subjek penelitian 65 wanita usia subur yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang
dikumpulkan adalah data primer, diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan
pengukuran analisis biokimia darah.
Analisis data tahap awal adalah analisis diskriptif terhadap beberapa
parameter diantaranya karakteristik sosio ekonomi demografi subjek (umur,
pendapatan, pengeluaran jumlah anggota keluarga). analisis diskriptif juga dilakukan
pada faktor – faktor yang mempengaruhi status vitamin D (paparan sinar matahari,
penggunaan jilbab, penggunaan tabir surya, dan konsumsi pangan sumber vitamin D),
variabel serum vitamin D dan gejala stres kerja. Model regresi linear berganda
digunakan untuk analisis faktor – faktor yang berhubungan dengan status serum
vitamin D dan faktor – faktor yang berhubungan dengan gejala stres kerja.
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata – rata pekerja berumur 29.7 tahun.
hampir separuh subjek tingkat pendidikannya hanya lulusan sekolah dasar (40.0%),
dengan rata – rata lama pendidikan 8.5 tahun. pabila dilihat pada kategori status
pernikahan, sebagian besar subjek statusnya menikah (80.0%) dan sebagian kecil
(20.0%) subjek status cerai. pada umumnya pekerja WUS memiliki keluarga yang
kecil (66.2%). pengeluaran non pangan subjek lebih besar (61.6%) daripada
pengeluaran pangan (38.4%) dengan rata – rata pengeluaran sebesar Rp 2 921 600
per bulan dengan standar deviasi Rp 796 150.
Berdasarkan status gizi, Rata rata lingkar pinggang subjek 78.8 cm yang
menunjukkan bahwa sebagian besar subjek tergolong dalam status gizi normal.
Menurut komposisi lemak tubuh (%LT), sebagian besar subjek (81.5%) memiliki
komposisi lemak tubuh sedang dan sebagian kecil (18.5%) memiliki komposisi lemak
tubuh lebih. Berdasarkan lemak viseral, sebagian besar subjek (89.2%) memilik
lemak viseral kurang dari 10 dan hanya sedikit dari subjek (10.2%) yang lebih dari
10. berdasarkan IMT, lebih dari separuh subjek tergolong normal (69.2%) dan
overweight (20.0%).
Berdasarkan gaya hidup, sebagian besar subjek terpapar sinar matahari kurang
dari 30 menit (76.9%), rata-rata subjek terpapar hanya 17.7 menit dengan simpangan
baku 15.3 menit. Berdasarkan penggunaan sunblock (tabir surya) sebagian besar
subjek selalu menggunakan Sunblock ( 80%) dan hanya 7% subjek yang tidak pernah
menggunakan sunblock. Berdasarkan penggunaan jilbab lebih dari separuh (66.2%)
pekerja perempuan menggunakan jilbab setiap hari kerja.
Pekerja perempuan di pabrik garmen berusia muda dan sebagian besar
memiliki masa kerja belum lama. Rata-rata pendapatan per bulan pekerja perempuan
cukup tinggi. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), pada umumnya status gizi
pekerja perempuan normal. Berdasarkan status serum 25(OH)D, diperoleh lebih dari
dua per tiga (90.2%) memiliki serum vitamin D tidak normal terbagi menjadi 46.2%
kategori defisiensi dan 44.6% kategori tidak cukup. Hanya 9.2% subjek yang
memiliki kadar serum vitamin D normal.
Berdasarkan analisis regresi linear berganda, penggunaan jilbab, lingkar
pinggang dan konsumsi susu berpengaruh signifikan (R2=0.623) terhadap status
serum vitamin D pada pekerja perempuan. Sedangkan gejala stres kerja dipengaruhi
secara signifikan oleh faktor pengeluaran non pangan. Status serum vitamin D
diketahui tidak berpengaruh signifikan terhadap timbulnya gejala stres kerja pada
pekerja perempuan usia subur.
Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang faktor risiko lain yang diketahui
mempengaruhi status serum vitamin D seperti aktifitas fisik,warna kulit, pengaruh
iklim, jenis kelamin dan genetik. Selain itu perlu dilakukan program perbaikan gizi
dan kesehatan terhadap pekerja perempuan dalam menunjang produktivitas mereka,
program suplementasi vitamin D atau program senam di pagi hari. Rekomendasi
program tersebut bisa dilaksanakan pada semua instansi perkantoran baik di
pemerintah maupun swasta, utamanya yang memiliki karyawan lebih banyak bekerja
dalam ruangan.
Kata kunci: paparan sinar matahari, pekerja perempuan usia subur, vitamin D,
stres kerja
SUMMARY
ANWAR LUBIS. Factors Related To The Status of Vitamin D and Impact on Work
Stress Symptoms in Working Female Of Childbearing Age. Supervised by DADANG
SUKANDAR and ALI KHOMSAN.
Vitamin D allegedly associated with decreased cognitive abilities and mental
health. Expectations were capability of hipovitaminosis D to enlarge the work stress.
Research - human studies showed that Vitamin D Receptor (VDR) and 1αhydroxylase catalyzed the synthesis of 1,25 - dihydroxyvitamin D (calcitriol,
bioactive form of vitamin D) in the structure of the brain such as the prefrontal
cortex, amygdala and hipocampus.
In general, this study aimed to analyze factors affecting the status of vitamin
D and the impact against the symptoms of job stress in women workers of
childbearing age . Specifically, this study aimed : 1) To identify the characteristics of
women workers ; 2) Assessing nutritional status and food consumption patterns of
women workers ; 3) Analyze the factors related to vitamin D status and symptoms of
stress working women of childbearing age .
The design used in the study was a survey study. This study has gained
approval from the Ethics Committee of Health Research Ethics School of Public
Health, University of Diponegoro No. 11 / EC / FKM / 2015. A total of research was
65 subjects female of childbearing age who met the inclusion criteria. The data
collected was of primary data, obtained using a questionnaire and measurement of the
biochemical analysis of blood.
Early stages of data analysis is descriptive analysis on several parameters
including characteristics of subjects (age, income, expenditure number of family
members). Descriptive analysis was also conducted on the factors - factors that
affected vitamin D status (exposure to sunlight, the use of the veil, use sunscreen, and
consumption of food sources of vitamin D), serum vitamin D variables and symptoms
of job stress. Multiple linear regression model was used for analysis of factors
associated with serum vitamin D status and factors associated with symptoms of job
stress.
This study showed the average 29.7 years old women workers. almost half
the level of education subject was only primary school graduates (40.0%), with the
average - average study period of 8.5 years. Sovereign, when seen in the categories of
marital status, most of the subjects status were married (80.0%) and a small
proportion (20.0%) subjects was divorce status. women workers generally had a
small family (66.2%). non-food expenditures subject was larger (61.6%) than food
expenditure (38.4%) with the average expenditure of Rp 2 9216 million per month
with a standard deviation of Rp 796 150.
Based on nutritional status, waist circumference Average 78.8 cm subjects
which showed that the majority of subjects classified in the normal nutritional status.
According to the composition of body fat (%BF), the majority of subjects (81.5%)
had moderate body fat composition and a fraction (18.5%) had more body fat
composition. Based on visceral fat, the majority of subjects (89.2%) having an
visceral fat is was less than 10 and only a few of the subjects (10.2%) were more than
10 based on BMI, more than half of the subjects classified as normal (69.2%) and
overweight (20.0%),
Based on the lifestyle, the majority of subjects exposed to the sun was for less
than 30 minutes (76.9%), the average subjects exposed were only 17.7 minutes with a
standard deviation of 15.3 minutes. Based on the use of sunblock (sunblock) largely
subject always used Sunblock (80%) and only 7% of the subjects who never used
sunblock. Based on the use of the hijab was more than half the women wear veils
workers every weekday (66.2%).
Women workers in the garment factory had a mean age - average 29.7 years
and most had a work of service ≤ 5 years . The average monthly income of female
workers was 1974 700 IDR. Based on Body Mass Index (BMI), was generally normal
nutritional status of women workers . Based on the status of serum 25 (OH) D ,
obtained more than two -thirds (90.2%) had normal serum vitamin D with categories
deficiencies 46.2 % and 44.6 % category were not enough. Only 9.2 % of the subjects
was who had normal vitamin D serum levels .
Based on the multiple linear regression analysis , the use of the veil , waist
circumference and milk consumption significantly influenced serum vitamin D status
on women workers. While work stress symptoms significantly influenced by factors
non-food expenditures . Serum vitamin D status was known no significant effect on
the onset of symptoms of job stress in women of childbearing age workers
Keywords: sun exposure, working female of childbearing age, vitamin D, work
stress
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
STATUS VITAMIN D SERTA DAMPAKNYA TERHADAP
GEJALA STRES KERJA PADA PEKERJA
PEREMPUAN USIA SUBUR
ANWAR LUBIS
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Faisal Anwar,MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang akan dilaksanakan sejak Januari hingga April 2015
adalah “Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D serta
Dampaknya terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja Perempuan Usia Subur”.
Ucapan terima kasih dengan penuh hormat penulis ucapkan kepada
Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc sebagai ketua komisi pembimbing yang selalu
bersedia berdiskusi dan memberikan solusi pada setiap masalah yang penulis hadapi.
Terima kasih dan penuh hormat penulis haturkan kepada Prof Dr Ir Ali Khomsan,
MS selaku anggota komisi pembimbing yang senantiasa membimbing, memberikan
saran, masukan, dan arahannya kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Penulis
sampaikan terimakasih juga kepada Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS. Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Neys-van Hoogstraten Foundation-The
Netherland, selaku pemberi dana penelitian ini.
Terima kasih sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada Bapak/Ibu dosen
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat FEMA IPB, yang telah bersabar dan ikhlas
berbagi ilmu dan inspirasi selama penulis menuntut ilmu di Kampus IPB, tidak lupa
kepada staf dan pengelola yang telah membantu dan memberikan layanan optimal
selama penulis menjadi mahasiswa.
Ungkapan terima kasih dengan penuh kebanggaan penulis haturkan kepada
teman – teman seperjuangan Pasca GMS 2013, atas kebaikan ketulusan dan
dukungannya selama penulis menimba ilmu di IPB.Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada teman-teman Mahasiswa Pascasarjana asal Sulawesi Selatan
(RUMANA IPB), atas kebersamaan selama di bogor. Terima kasih telah menjadi
saudara “sedaerah” yang selalu menghadirkan keceriaan dan obat rindu penulis ketika
kangen rumah di kampung.
Terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada bapak dan ibu saya
tercinta atas, doa, perhatian tulus, kasih sayang dan dukungan moril materil yang
diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan jenjang pendidikan magister.
Semoga ini menjadi bagian dari kebanggaan harapan bapak ibu yang di ijabah lewat
saya. Aamiin.
Penulis sangat menyadari tesis ini masih belum sempurna, saran dan masukan
dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini sangat diharapkan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Anwar Lubis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Tujuan khusus
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Vitamin D
Mekanisme Aktivitas Vitamin D
Penilaian Status Vitamin D
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres kerja
3. KERANGKA PEMIKIRAN
4. METODE
Desain, Lokasi, dan Waktu
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek
Teknik Pengumpulan Data
Pengukuran Serum Vitamin D
Pengukuran Gejala Stres kerja
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Subjek
Karakterstik berdasarkan Status Gizi
Gaya Hidup yang Berhubungan dengan Status Vitamin D
Pola Konsumsi Pangan
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D
Gejala Stres Kerja
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres Kerja
6. SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
i
ii
ii
1
1
3
3
3
3
3
3
4
4
5
6
7
10
13
13
13
13
14
14
16
17
18
18
20
22
24
25
29
29
32
32
33
53
ii
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Nilai standar status vitamin D berdasarkan konsentrasi 25(OH)D
6
Metode pengukuran dan pengumpulan data
14
Metode pengukuran dan pengumpulan data (lanjutan)
15
Statistik pekerja perempuan menurut status sosial demografi
18
Statistik pengeluaran rumah tangga pekerja perempuan (Rp/bulan)
19
Statistik pekerja perempuan berdasarkan pekerjaan
19
Sebaran pekerja perempuan berdasarkan status gizi
21
Sebaran pekerja perempuan status vitamin D
22
Gaya hidup yang berhubungan dengan status vitamin D
23
Sebaran pekerja perempuan berdasarkan pola konsumsi pangan
24
Analisis regresi linear berganda faktor – faktor yang berhubungan
dengan
status serum vitamin D
25
Sebaran pekerja perempuan berdasarkan gejala Stres kerja
29
Analisis linear berganda faktor faktor yang berhubungan dengan gejala stres
kerja pekerja perempan usia subur
30
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kuesioner
Ringkasan analisis data
Naskah penjelasan peneliti untuk mendapat informed consent dari subjek
penelitian
Surat Persetujuan untuk Penelitian (Informed consent)
Penjelasan Rinci Tentang Tata Cara Pengukuran Status Gizi
Prosedur Pengambilan Serum Vitamin D
Ethical Clearence
37
42
44
46
47
51
52
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Stres adalah masalah kesehatan masyarakat yang diprediksi menjadi
penyebab kedua kejadian disabilitas di dunia pada tahun 2020 nanti (Murray
dan Lopez 1997). Tren ini diikuti dengan makin melambungnya biaya
pengobatan dan menurunnya produktivitas kerja. Etiologi dan patofisiologi
stres kerja belum sepenuhnya diuraikan secara teoritis. Penelitian dasar dan
penelitian klinis terkini menjelaskan peran potensial faktor biologis terbaru
bahwa kondisi kejiwaan dipengaruhi oleh kimia saraf dan mekanisme neuro
endokrin. Berdasarkan riskesdas 2013 disebutkan bahwa prevalensi penderita
gangguan mental emosional di Indonesia 6,0%. Di Jawa Barat sendiri
prevalensi penderita gangguan mental emosional 9.3% yang melebihi
prevalensi nasional.
Vitamin D diduga berhubungan dengan menurunnya kemampuan
kognitif dan kesehatan mental. Dugaannya adalah hipovitaminosis D mampu
memperbesar terjadinya stres kerja. Penelitian - penelitian pada manusia
memperlihatkan adanya Vitamin D Reseptor (VDR) dan 1α-hidroksilase
mengkatalisis sintesa 1,25- dihidroksivitamin D (kalsitriol, bentuk bioaktif
vitamin D) dalam struktur otak seperti korteks prefrontal, amygdala dan
hipocampus (Eyles et al. 2005).
Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang fungsinya di dalam
tubuh cukup unik karena mirip dengan fungsi hormon. Fungsi biologis utama
dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum
dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk
menyerap mineral-mineral tersebut dari makanan. Salah satu dampak dari
kekurangan vitamin D dan kalsium meningkatkan risiko fraktur.
Hoang et al. (2011) menemukan bahwa rendahnya tingkat serum
vitamin D berhubungan dengan gejala stres kerja di Kota Dallas Amerika.
Selain itu pada penelitian Milaneschi et al. (2010) mengambil sampel lansia
531 wanita dan 423 pria, menemukan bahwa hipovitaminosis D adalah faktor
risiko yang tumbuhnya gejala stres kerja pada lansia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, pekerja di Indonesia
mencapai 100.316.007 orang dimana 64,63% pekerja laki-laki dan 35.37%
pekerja perempuan, dan mengalami peningkatan pada tahun 2015, pekerja
perempuan mencapai 36,03%. Peningkatan ini selain dipandang sebagai hal
positif karena bertambahnya tenaga produktif, juga merupakan tantangan
dilakukan perbaikan SDM pekerja tersebut. Terlebih, Sebagian besar pekerja
tersebut adalah Perempuan Usia Subur, yang berasal dari golongan ekonomi
menengah ke bawah, yang tidak terbebas dari masalah kesehatan. Kondisi
ekonomi keluarga yang lemah menyebabkan pekerja perempuan sulit
memenuhi kebutuhan zat gizi mikro. Dari data tersebut dapat diduga populasi
orang yang berpotensi terkena stres, terutama bagi perempuan yang bekerja
dengan variasi statusnya dalam keluarga.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap orang tidak dapat
menghindarkan diri dari stres. Pada suatu saat, peristiwa-peristiwa kehidupan
tertentu yang dialami orang mengakibatkan timbulnya stres. Setiap orang, baik
2
yang berasal dari kelas sosial atas, menengah, maupun bawah pernah
mengalami stres. Hanya jenis, tingkatan atau bobot stresnya berbeda-beda dan
kemampuan dalam mengelola stres pun berbeda-beda. Kondisi-kondisi yang
dapat menyebabkan stres, disebut stressor, dapat bersifat fisik (misalnya polusi
udara), fisiologis (seperti kekurangan oksigen), dan bersifat sosial (seperti
interaksi interpersonal). Berbagai peristiwa dalam kehidupan juga dapat
menimbulkan stres, seperti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pekerjaan
dan keluarga, termasuk yang berkaitan dengan kondisi ekonomi.
Pekerja perempuan merupakan irisan dari kelompok Wanita Usia
Subur (WUS) yang dinilai perlu mendapatkan perhatian karena rentan
terhadap masalah gizi. Masalah gizi tersebut bisa disebabkan peran fisiologis
WUS menstruasi dan melahirkan. Pada beberapa hasil penelitian menunjukkan
walaupun sinar matahari yang melimpah, prevalensi hipovitaminosis D pada
WUS meningkat di negara – negara Asia dan telah menjadi epidemi. Studi
terbaru Arabi et al. (2010) tentang pengukuran konsentrasi serum 25(OH)D
pada wanita dewasa berusia di bawah 50 tahun menemukan prevalensi
kekurangan vitamin D yang tinggi di beberapa negara yaitu Tunisia (47.6%),
Maroko (91%) Yordania (62.3%), Chili (27%), dan Indonesia – Malaysia
(60%). Penyebabnya antara lain, pertama pekerja perempuan bekerja pada
ruangan tertutup sehingga jarang terpapar sinar matahari, kedua aktivitas luar
ruangan terbatas karena jam bekerja dimulai dari pagi sampai sore hari. Ketiga
pekerja perempuan menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh serta
kurangnya konsumsi sumber vitamin D dan kalsium (Islam et al. 2008; Looker
et al. 2008; Islam et al. 2010)
Defisiensi vitamin D mengakibatkan penurunan efisiensi penyerapan
kalsium dan posfor sehingga meningkatkan Paratiroid Hormon (PTH). Selain
itu, berdasarkan hasil studi terbaru, defisit vitamin D meningkatkan risiko
diabetes melitus tipe 2, gangguan kardiovaskular yang disebabkan hipertensi,
obesitas dan gangguang profil lipid. Defisiensi vitamin D juga berkaitan
dengan resistensi insulin, diabetes melitus, disfungsi sel beta, penyakit
outoimun, arthritis, multipel sclerosis, kanker kolon, kanker payudara , kanker
prostat, hipertensi dan penyakit kardiovaskular (Stroud et al. 2008). Penelitian
Forman et al. (2007) pada kelompok wanita berusia 40-43 tahun menemukan
dua pertiga wanita mengalami kekurangan vitamin D, dan proporsi kejadian
hipertensi pada wanita muda dapat dikaitkan dengan kekurangan vitamin D.
Pada penelitian Hanwell et al. (2010) menjelaskan pengaruh paparan sinar
matahari terhadap kadar serum vitamin D pada pekerja rumah sakit di Italia.
Hasilnya adalah rata – rata serum 25(OH)D lebih tinggi pada musim panas
daripada pada musim dingin dengan nilai serum masing – masing 58.6±16.5
nmol/ L dan 38.8±29.0 nmol/L (p = 0.003). Selain itu pada hasil penelitian Pilz
et al. (2012) pada penderita hipertensi berusia 34 – 64 tahun di Austria dengan
pemberian paparan sinar matahari pada musim panas dan musim dingin
menunjukkan bahwa ada peningkatan serum 25(OH)D yang lebih tinggi pada
musim panas dibandingkan dengan musim dingin disertai menurunnya
paratiroid hormon (PTH). Paparan sinar matahri menjadi penting dalam
menjaga fisiologi vitamin D dan status PTH.
Vitamin D banyak yang tertarik menghubungkannya dengan kesehatan
mental. Reseptor Vitamin D ditemukan pada beberapa jenis sel. Termasuk sel
3
saraf dan sel glial. (Eyles et al. 2005). Vitamin D sekarang ditemukan
berpengaruh pada aktivitas neurosteroid dan berdampak pada serotonin otak
(Bertone-Johnson 2009), vitamin D juga berperan dalam regulasi mood. Bukti
empiris menunjukkan bahwa rendahnya serum 25-hidroksivitamin D
(25(OH)D), berhubungan dengan gangguan kejiwaan , termasuk gangguan
stres kerja, gangguan afeksi , dan gangguan premenstruasi berat. (BertoneJohnson et al. 2011). Pada studi meta-analisis Anglin et al. (2013) menemukan
bahwa vitamin D konsentrasi rendah berhubungan dengan stres kerja (HR =
1.31).
Berdasarkan uraian di atas ditambah saat ini belum banyak penelitian
yang dilakukan terkait defisiensi vitamin D di Indonesia, maka perlu dilakukan
penelitian ini yang mengidentifikasi faktor – faktor yang berhubungan dengan
status vitamin D dan dampaknya terhadap gejala stres kerja pada pekerja
perempuan usia subur.
Perumusan Masalah
1. Faktor – faktor apakah yang mempengaruhi status serum vitamin D pada
pekerja perempuan usia subur?
2. Apakah ada hubungan defisiensi vitamin D dengan gejala stres kerja pada
pekerja perempuan usia subur?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi status vitamin D dan dampaknya terhadap gejala stres kerja
pada wanita usia subur.
Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik pekerja perempuan.
2. Menilai status gizi dan pola konsumsi pangan pekerja perempuan.
3. Menganalisis faktor – faktor yang berhubungan dengan status vitamin
D dan gejala stres pekerja WUS
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan signifikan status
vitamin D dengan gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
tambahan dalam rangka mencegah masalah kesehatan masyarakat khususnya
penyakit tidak menular terutama yang berkaitan dengan vitamin D. Selain itu
diharapkan hasil penelitian ini juga mampu memfasilitasi perbaikan dan
peningkatan sumber daya manusia baik yang diprogramkan oleh pemerintah
maupun perusahaan – perusahaan swasta.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
Vitamin D
Vitamin D merupakan secosteroid yang dibentuk di kulit melalui proses
fotosintesis oleh sinar matahari. Struktur vitamin D diturunkan dari senyawa
steroid
yang
memiliki
empat
cincin
senyawa
cyclo-pentanoperhydrophenanthrene (cincin A,B,C,D). Cincin A, C dan D merupakan
struktur cincin yang utuh, sedangkan struktur cincin B tidak utuh lagi. Dikenal
sebagai secosteroid karena cincin B telah lepas ikatan karbon-karbonnya.
Vitamin D secara biologik bersifat inert dan menjalani dua (2) kali proses
hidroksilasi berturut-turut di hati dan di ginjal sehingga terbentuk metabolit
aktif yaitu 1,25(OH)2D3 (Holick 1995). Efek biologik utama vitamin D3 aktif
ialah memelihara konsentrasi kalsium serum dalam rentang normal (Holick
2007). Kondisi tersebut dicapai dengan meningkatkan absorpsi usus terhadap
kalsium yang berasal dari makanan dan dengan memobilisasi cadangan
kalsium di tulang untuk masuk ke sirkulasi (Lips et al. 2001). Vitamin D
penting untuk pembentukan skeleton dan untuk hemostatis mineral, termasuk
untuk peningkatan absorpsi kalsium dan posfor.
Vitamin D3 berasal dari sintesis di kulit berdifusi ke pembuluh darah
menggunakan α 2 globulin vitamin D – binding protein (DBP). Cholecalciferol
ini akan diambil dan diangkut oleh DBP. Sekitar 60% Cholecalciferol yang
terikat dengan DBP akan diangkut ke jaringan tubuh terutama hati serta
jaringan lain seperti otot dan jaringan lemak.
Vitamin D2 dan vitamin D3 yang berasal dari makanan diabsopsi
dalam bentuk misel secara difusi pasif dan masuk ke dalam usus. Hanya sekitar
50% dari asupan vitamin D yang diabsorpsi. Saat berada dalam usus, vitamin
D2 dan vitamin D3 bergabung dengan kilomikron selanjutnya menuju sistem
limpatik dan dibawa ke sirkulasi pembuluh darah. Sejumlah vitamin D2 dan
D3 dipindahkan dari kilomikron ke DBP untuk diangkut kejaringan
ekstrahepatik, kilomikron remnan akan membawa vitamin D2 dan D3 ke hati
(Gropper dan Groff 2009).
Kolekalsiferol setelah mencapai hati akan dimetabolisme oleh enzim
hidrosilase hati untuk membentuk metabolit aktif. Hidroksilasi vitamin D3
dilakukan oelh enzim sitokrom P450 yakni 25 – hydroxylase , 1- hydroxylase,
24 – hydroxylase. Enzim 25 – hydroxylase , hati akan menghidrolisis karbon
25 kolekalsiferol menjadi kalsidiol, yang sangat tergantung dengan kandungan
vitamin D dan metabolitnya. Kerja 25 – hydroxylase lebih cepat ketika tubuh
kekurangan vitamin D (Channell et al 2008). Agar menjadi bentuk aktif,
vitamin D2 dan D3 memerlukan dua tahap hidrolisasi, pertama terjadi di hati
oleh enzim hidrosilase hati membentuk metabolit aktif. Hidroksilasi vitamin D
2 dan D3 dilakukan oleh enzim 25 – hydroxylase , menghasilkan 25(OH)D
atau kalsidol yang paling banyak bersirkulasi di dalam darah (Gallagher 2008;
Gropper dan Groff 2009). Karena vitamin D yang paling banyak bersirkulasi
waktu paruh 2 – 3 minggu, pengukuran konsentrasi 25(OH)D yang bersirkulasi
merupakan indikator klinik status vitamin D (Lips et al. 2001).
5
Adapun kalsidiol yang telah dihasilkan merupakan bentuk vitamin D
yang paling banyak bersirkulasi dalam darah, namun tidak aktif secara
biologis, mempunyai waktu paruh sekitar 10 hari sampai tiga minggu dalam
sirkulasi. Agar menjadi aktif senyawa kalsidiol dibawa ke korteks ginjal untuk
mengalami hidroksilasi tahap kedua oleh enzim α1 – hydroxylase menjadi
bentuk vitamin D aktif yaitu 1,25 dihidroksi vitamin D atau 1,25(OH) 2D3 atau
kalsitriol. Kadar kalsitriol mempunyai aktivitas 1 – hydroxylase, tingginya
kadar kalsitriol menghambat aktivitas 1- hydroxylase, sehingga kadar 1 –
hydroxylase menurun. Kerja 1 – hydroxylase ginjal yang menurun akan
digantikan oleh aktivitas enzim 24 – hydroxylase. Enzim ini berlawanan
kerjanya dengan 1 – hydroxylase, menurunkan kebutuhan dan pembentukan
kalsitriol di dalam tubuh agar tidak terjadi kelebihan dengan cara membentuk
metabolit. Enzim 24 – hydroxylase akan menghidrolisasi kalsidiol dan
kalsitriol menjadi 24,25(OH)2D3 dan 1,24,25(OH)2D3. Bentuk metabolit
24,25(OH)2D3 dan 1,24,25(OH)2D3. Bentuk metabolit 24,25(OH)2D3
dilepaskan di jaringan sirkulasi dan terikat dengan DBP untuk dibawa ke
jaringan target sedangkan 1,24,25(OH)2D3 dapat dibawa ke ginjal untuk diubah
menjadi senyawa yang dapat diekskresikan (Gropper dan Smith 2012).
Sebagian besar vitamin D akan diekskresikan dari tubuh di dalam feses,
melalui empedu; kurang dari 5% diekskresikan sebagai metabolit larut air di
dalam urin. Sekitar 2 – 3% vitamin D yang terdapat di empedu adalah
kolekalsiferol, 25(OH)D dan 1,25(OH)2D3 tetapi sebagian besar adalah
metabolit lain seperti 24 – oxo-deridative, 23-hydroxylation dan calcitroic acid
(Bender 2003).
Mekanisme Aktivitas Vitamin D
Kalsitriol sebagai bentuk aktif dari vitamin D mempunyai dua
mekanisme dalam menjalankan fungsinya, yaitu secara genomik dan non
genomik. Mekanisme genomik diawali dengan masuknya kalsitriol ke dalam
sel target selanjutnya berinteraksi dengan vitamin D receptors (VDRs) di
dalam inti sel. Ikatan VDRs – kalsitriol – inti sel akan mengalami fosforilasi,
kemudian terikat dengan Retinoid Acid X Receptor (RXR) membentuk
heterodimer yang akan berikatan dengan vitamin D responsive element
(VDRE) dalam DNA membentuk komplek nukleoprotein. Selanjutnya dikenali
sebagai specific site di dalam kromosom yang akan meregulasi terjadinya
transkripsi gen (transfer informasi dari DNA ke RNA untuk memulai
transkripsi gen) (Mertens dan Muller 2010).
Reseptor vitamin D
dijumpai di berbagai jaringan, sehingga
nukleoprotein tersebut akan memodulasi berbagai gen antara lain dengan
menghambat sintesis renin. Sintesis renin diawali dengan adanya sinyal dari
siklik adenosin monofosfat (cAMP). Sinyal ini merupakan sinyal intraseluler
utama dalam hal menstimulasi ekspresi gen renin dengan membentuk ikatan
pada sub unit katalitik protein kinase A (PKA) berikatan dengan cAMP respon
element (CRE) untuk memulai transkripsi gen menghambat prorenin. Prorenin
yang terbentuk diubah menjadi renin aktif ginjal dan waktu paruh dalam
sirkulasi sekitar 80 menit. Hal ini yang menyebabkan seseorang yang defisiensi
6
VDRs atau vitamin D akan mengalami hiperreninemia dan meningkatkan
tekanan tekanan darah ( Gropper dan Groff 2009).
Mekanisme non genomik vitamin D terjadi tanpa adanya transkripsi
gen misalnya homeostatis kalsium. Sintesis kalsitriol merupakan respon
terhadap perubahan kadar kalsium dalam darah dan pelepasan hormon
paratiroid. Hipokalsemia menstimulasi sekresi hormion tiroid. Hormon
paratiroid ini selanjutnya akan menstimulasi 1 – hidrosksilase di ginjal yang
akan mengubah kalsidiol menjadi kalsitriol . keberadaan kalsitriol dan hormon
paratiroid di jaringan target menyebabkan peningkatan kadar kalsium serum
(Gropper dan Smith 2012).
Penilaian Status Vitamin D
Kerja kalsitriol seratus kali lebih potensial dibandingkan kalsidiol,
namun konsentrasi kalsidiol di dalam darah seratus kali lebih banyak, hal
tersebut disebabkan lebih dari 99% kalsitriol terikat dengan DBP dan albumin
serta mempunyai paruh pendek yaitu 4-6 jam ; sehingga untuk menilai status
vitamin D seseorang digunakan pengukuran konsentrasi kalsidiol (Gropper
dan Smith 2012). Selain itu konsentrasi kalsitriol juga merupakan indikator
baik dalam mengukur status vitamin D, karena (1) penurunan mendadak
konsentrasi kalsium akibat defisiensi vitamin D menyebabkan hormon
paratiroid (PTH) meningkat kemudian menginduksi peningkatan aktivitas 1αhidroksilase, sehingga kadar konsentrasi 1,25(OH) 2D3 tersebut akan menjadi
normal atau bahkan akan meningkat. Jadi walaupun terjadi defisiensi vitamin
D , konsentrasi 1,25(OH)2D3 bisa tetap normal bahkan meningkat , dan (2)
konsentrasi 1,25(OH)2D3 yang beredar dalam darah 100 – 1000 kali lebih
rendah dibandingkan 25(OH)D (Grant dan Hollick 2005)
Metabolit yang digunakan untuk penelitian status vitamin D adalah
kadar kalsidiol, yang ketersediaannya dipengaruhi oleh asupan vitamin D 3 dan
paparan sinar matahari. Sebagian besar peneliti menyetujui penggunaan
kalsidiol sebagai indikator penilaian status vitamin D, oleh karena (1) enzim 25
hidroksilase tidak dapat dipengaruhi kerjanya sehingga kadar kalsidiol
merupakan indikator adekuat untuk kadar vitamin D yang berasal dari sintesis
di kulit dan asupan sehari – hari, (2) konsentrasi kalsidiol berkaitan dengan
banyak manifestasi klinis penyakit. Status vitamin D berdasarkan serum
25(OH)D dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Nilai standar status vitamin D berdasarkan konsentrasi 25(OH)D
25(OH)D (ng/mL)
25(OH)D (nmol/L)
Implikasi kesehatan
< 12
< 30
Defisiensi
12.0 – 19.9
30 – 49.9
Tidak cukup
≥ 20
≥ 50
Cukup
Ket : untuk mengkonversi 1 nmol/L menjadi 1 ng/mL dibagi 2.5 (Ross et al.
2011)
Berdasarkan Tabel 1, status serum vitamin 25(OH)D ditentukan dalam
satuan nmol/L atau dengan melakukan konversi dalam satuan ng/mL (Ross et
al. 2011). Seseorang dikatakan defisiensi jika memiliki konsentrasi serum
25(OH)D kurang dari 12 ng/mL, kategori tidak cukup jika memiliki kadar
7
serum 25(OH)D antara 12.0 sampai 19.9 ng/mL, dan dikatakan cukup jika
seseorang memiliki kadar serum 25(OH)D lebih dari atau sama dengan 20
ng/mL.
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres kerja
Stres berhubungan dengan respons yang tidak spesifik atau bersifat
umum dari tubuh terhadap suatu demand. Respons ini terjadi bila demand
tersebut muncul dalam tubuh, apakah merupakan tuntutan dari kondisi
lingkungan yang harus kita penuhi atau suatu demand yang kita buat sendiri
dalam rangka mencapai suatu tujuan pribadi (Seyle dalam Berry dan Houston,
1993). Selanjutnya Seyle membedakan dua bentuk stres: disteress dan eustress.
Distress merupakan respons terhadap peristiwa negatif, sedangkan eustress
merupakan respons terhadap peristiwa positif. Menurut Goldsmith (1996)
stress biasanya melibatkan tekanan/ketegangan (tension).
Pengukuran terhadap gejala stres kerja
dilakukan dengan
menggunakan Stress Assessment Questionairre (SAQ) yang dikembangkan
oleh Koeswara (2009), kemudian dimodifikasi dengan instrumen Life
Change Index Scale (Holmes dan Rahe 1967) dan diadaptasikan ke dalam
bahasa Indonesia. Instrumen ini memuat 15 pertanyaan dengan masing –
masing jawaban mendaapatkan skor 1 – 4 . Skor minimal untuk gejala stres ini
5 dan skor maksimal 25. Gejala stess yang termasuk kategori sangat tinggi 5 –
10, kategori tinggi pada skor 10 –15, kategori rendah pada skor 16 – 20,
kategori sangat rendah pada skor lebih dari 21.
Stress merupakan suatu proses dan bukan keadaan akhir. Proses yang
dimaksud adalah tahapan perubahan yang terjadi melalui waktu dan situasi
situasi yang berbeda. Seseorang yang terkena stress mengalami beberapa
tahapan atau tingkatan stress. Beberapa stress tidak dapat dihindarkan, tidak
mengenal waktu, dan terjadi pada semua masyarakat. Potensi stress muncul
ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain atau dengan lingkungan. Stress
juga dapat terjadi ketika seseorang merasa terancam atau takut. Bila potensi
yang merusak tinggi atau orang merasa kekurangan sumberdaya untuk
mereduksi ancaman, maka stres meningkat. Safarino dalam Smet (1994)
mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi
individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutantuntutan yang berasal dari situasi dengan sumberdaya sistem biologis,
psikologis, dan sosial seseorang.
McKinnon (1998) memandang stres sebagai pengalaman yang tidak
mengenakkan baik secara emosional, fisikal, mental, atau kombinasi dari
ketiganya. Ketidakenakkan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan orang
dalam memenuhi tuntutan (demands) tertentu atau ekspektasi dalam kehidupan
manusia, yang pada gilirannya membuat kita merasa terancam, tidak memadai
dan rawan. Alva (2003) mengklasifikasikan stres menjadi dua jenis, yaitu stres
akut (acute stress) dan stres kronis (chronic stress). Stres akut, yang berjangka
waktu tidak lama (short-term), adalah reaksi segera terhadap ancaman, yang
secara umum diketahui sebagai respons melawan (fight) atau menghindar
(flight). Ancaman tersebut dapat berupa setiap situasi yang dialami, bahkan di
bawah sadar, sebagai sesuatu yang berbahaya. Sumber stres akut pada
8
umumnya meliputi keributan, kerumunan, terisolasi, kelaparan, bahaya,
infeksi, dan membayangkan suatu ancaman atau mengingat peristiwa yang
berbahaya. Pada umumnya, bila ancaman berlalu, maka respons menjadi tidak
aktif dan tingkat stres hormonnya kembali normal. Kondisi tersebut disebut
relaxation response.
Dalam kehidupan modern, dimana orang sering mengalami situasisituasi yang bersifat stressful secara terus-menerus, tidak sebentar, dan
mendorong untuk bertindak (melawan atau menghindar), yang mestinya
menekan, maka stres menjadi kronis. Sumber stres kronis pada umumnya
meliputi pekerjaan yang sangat menekan secara terus menerus, masalahmasalah relasi jangka panjang, kesepian, dan kehawatiran finansial yang terusmenerus.
Stres dapat bersifat eksternal, yang disebabkan oleh perubahan atau
kurangnya/gagalnya kontrol, atau bersifat internal, berdasarkan persepsi dan
ekspektasi kita. Stres biasanya merupakan hasil dari faktor-faktor eksternal dan
internal, dan juga dapat disebabkan oleh peristiwa positif (seperti kawin,
memulai pekerjaan baru) dan perisitiwa negatif (seperti perceraian, berhenti
bekerja atau kena PHK).
Menurut Goldsmith (1996) situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan stres disebut stressors. Situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa
tersebut dikategorikan bersifat relasional atau lingkungan, seperti kebisingan,
polusi, pencahayaan dan ventilasi yang kurang, kerumunan, isolasi, vibrasi,
kurangnya tempat parkir yang memadai, gangguan udara, sampah/kotoran, bau
kendaraan, rumah yang buruk rancangannya dan tidak kedap suara, pabrik dan
kantor-kantor. Sekolah dan pekerjaan juga dapat mengakibatkan stres sebab
lingkungannya merupakan pusat kehidupan sebagian besar orang. Orang-orang
menganggap dirinya berhasil atau gagal dalam area lingkungan tersebut.
McCubbin dan Thompson (1987) mendefinisikan stressor sebagai suatu
peristiwa kehidupan atau suatu transisi, misalnya kematian, membeli rumah,
menjadi orangtua, dll yang memberikan dampak bagi atau dalam unit keluarga,
yang menghasilkan atau potensial menghasilkan perubahan dalam sistem sosial
keluarga. Perubahan-perubahan ini terjadi dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, seperti status kesehatan, pembatasan-pembatasan, tujuan-tujuan, pola
pola interaksi, atau nilai-nilai. Berat tidaknya suatu stressor atau transisi
ditentukan oleh tingkat mana peristiwa-peristiwa atau transisi-transisi
mengancam, atau merusak/mengacaukan stabilitas keluarga. Atau demand
yang terlalu tinggi dibanding sumberdaya dan kemampuan keluarga, yang
akibatnya juga dapat mengancam stabilitas keluarga.
Sumber stres berubah-ubah sesuai dengan perkembangan manusia,
sehingga kondisi stres dapat terjadi di setiap saat, sepanjang kehidupan
manusia. Safarino dalam Smet (1994) mengatakan bahwa stres dapat
bersumber dari dalam diri individu, keluarga, komunitas dan masyarakat. Stres
terjadi ketika seseorang mengalami sakit atau konflik dalam dirinya. Stres juga
bersumber dari interaksi di antara anggota keluarga, seperti perselisihan
keuangan, perasaan masa bodoh, tujuan yang saling berbeda, kematian salah
satu anggota keluarga, dll. Stres dapat bersumber juga dari interaksi antar
subjek di luar lingkungan keluarga, misalnya pengalaman stres anak di
sekolah, pengalaman stres orangtua di tempat kerja.
9
Allen (2001) juga mengemukakan hal yang sama mengenai tanda-tanda
atau gejala-gejala (symptoms) orang mengalami stres. Tanda-tanda orang
mengalami stres, meliputi:
1. Kelelahan, ketika pulang ke rumah pada akhir sebuah hari orang tidak
memiliki enerji untuk melakukan apapun dan tampak seperti sedikit
koma.
2. Pola tidur, banyak orang yang terpengaruh secara berbeda, tetapi ada
perubahan khusus bagi setiap individu dalam pola tidur.
3. Pola makan, hal ini juga menunjukkan ada pengaruh yang berbeda,
tetapi ada perubahan pola makan yang spesifik bagi setiap individual.
4. Keluh kesah, berkeluh kesah secara mendalam dan berat, demikian pula
dengan cara mengambil nafasnya, ini cenderung terjadi ketika orang
merasa kewalahan.
5. Kebosanan, ketika seseorang belum menguasai tugas kemudian harus
mengerjakannya, mereka dapat merasa sengsara.
Swarth (1993) menjelaskan bagaimana respons tubuh terhadap stres.
Epineprin (adrenalin), suatu hormon stres, dilepaskan dari kelenjar adrenal.
Hormon ini bersama hormon lainnya beredar dalam tubuh untuk meningkatkan
tekanan darah dan denyut jantung, kecepatan bernafas, dan mengubah proses
tubuh lainnya. Kadar gula darah juga meningkat. Sel-sel lemak melepaskan
lemak ke dalam aliran darah untuk meningkatkan persediaan enerji otot.
Kelainankelainan yang berkaitan dengan stres adalah penyakit jantung, tukak,
alergi, asma, ruam kulit, hipertensi (tekanan darah tinggi) dan kemungkinan
kanker. Stres juga dapat menyebabkan msalah psikologis, seperti stres kerja,
kecemasan, sikap masa bodoh, kelainan makan, dan penyalahgunaan alkohol
serta obat-obatan terlarang.
Menurut Swarth (1993) gizi yang baik merupakan cara penting untuk
mengatasi stres dalam kehidupan. Alasannya: 1) gizi dapat mempengaruhi
kemampuan individu mengatasi stres secara fisik dan mental, 2) gizi yang
buruk menyebabkan stres pada tubuh dan pikiran, dan 3) stres meningkatkan
kebutuhan akan zat-zat gizi.
Menurut Smet (1994) hampir semua orang mengalami stres sehubungan
dengan pekerjaannya. Michael (1998) menyebutnya sebagai stres pekerjaan
(job stress), yang didefinisikan sebagai the harmful physical and emotional
responses that occur when the requirements of the job do not match the
capabilities, resources, or needs of the workers. Mengacu pada pendapat
Michael tersebut
Stres Pekerjaan merupakan respons-respons fisikal dan emosional yang
berbahaya, yang terjadi bila persyaratan-persyaratan pekerjaan tidak cocok
dengan kemampuan-kemampuan, sumberdaya-sumberdaya, dan kebutuhankebutuhan pekerja. Allen (2001) mendefinisikan stres pekerjaan (job stress)
sebagai suatu situasi dimana faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan
berinteraksi dengan seorang pekerja merubah kondisi-kondisi psikologis
dan/atau fisiologis yang mendorong seseorang untuk menyimpang dari
keberfungsiannya secara normal. Menurut Smet (1994) faktor-faktor yang
membuat pekerjaan menjadi stressful adalah tuntutan pekerjaan (pekerjaan
terlalu banyak dan keharusan menyelesaikan pekerjaan dalam waktu tertentu),
10
jenis pekerjaan itu sendiri yang bersifat stressful, dan tanggungjawab bagi
kehidupan manusia, seperti pekerjaan dokter.
Michael (1998) memandang stres pekerjaan sebagai diakibatkan oleh
interaksi pekerjaan dengan kondisi-kondisi pekerjaan. Terdapat suatu
pandangan bahwa karakteristik-karakeristik pekerja versus kondisi-kondisi
pekerjaan merupakan penyebab utama stres pekerjaan. Perbedaan-perbedaan
karakteristik individual, seperti personality dan coping style merupakan hal
yang paling penting dalam memprediksi apakah kondisi pekerjaan tertentu
akan mengakibatkan stres. Dengan kata lain, sesuatu yang menyebabkan stres
bagi seseorang mungkin tidak menyebabkan stres bagi yang lain. Meskipun
demikian, bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa kondisi-kondisi pekerjaan
tertentu menyebabkan stres atau bersifat stressful bagi sebagian besar orang,
misalnya tuntutan beban kerja yang berlebihan dan konflik harapan.
Vitamin D memiliki fungsi penting pada otak manusia. Banyak peneliti
menilai Vitamin D sebagai neurosteroid pada sistem saraf manusia, dan
kemungkinan hal ini terkait dengan kejadian stres kerja (Garcion et al 2002).
Eyles menemukan bahwa Vitamin D Receptor (VDR) banyak ditemukan pada
hampir semua bagian otak
manusia, termasuk
korteks prefrontal,
hippocampus, thalamus, hypothalamus, gyrus cingulate , yang terkait dengan
patofisiologi stres kerja (Drevets et al 2008)
Pada daerah – daerah tersebut terjadi reaktivitas immuno sustansial
dimana ada enzim 1 alpha hydroxylase mampu melakukan metabolisme
25(OH)D menjadi 1,25 (OH)D (Eyles et al 2005 ; Zehnder et al 2001).
Wilayah otak yang memiliki 1,25 (OH)D kemungkinan terjadi aktivitas
autokrin dan parakrin, sehingga metabolisme vitamin D mampu melewati
barier darah dan otak ( eyles et al 2005). Penelitian pada hewan menunjukkan
bahwa pada proses metabolisme vitmamin D di bagian otak terjadi sedikit
penyerapan 1,25 (OH)D (Gascon – Barre et al 1983; Pardridge et al 1985).
Sejumlah penelitian penting terkait vitamin D memperkuat dugaan
adanya peran vitamin D pada perkembangan otak dan perilaku yang diperoleh
dari studi pada hewan yang melibatkan percobaan mencit yang dikondisikan
kekurangan vitamin D selama dalam kandungan atau setelah lahir agar
mengalami kekurangan fungsi VDR.
Pada penelitian tentang pengaruh defisiensi vitamin D
pada
perkembangan otak mencit, anak anjing dalam rahim yang sangat kekurangan
vitamin D, otak berkembang dengan kondisi neokorteks menipis,
perkembangbiakan sel lebih besar, bobot lebih berat, faktor pertumbuhan sel
saraf dengan GDNF (Glial cell line – Derived Neurotrophic Factor) menurun,
dibandingkan dengan kelompok kontrol cukup vitamin D (McGrath et al
2004). Hal ini menunjukkan bahwa bobot otak meningkat sebagai akibat dari
proses menurunnya apoptosis.
3. KERANGKA PEMIKIRAN
Menurut Smet dalam Koswara (2009) stressor pekerjaan meliputi
tuntutan pekerjaan dan waktu pekerjaan. Tuntutan pekerjaan terdiri dari aturan-
11
aturan bekerja, disiplin kerja, dan produktivitas kerja. Waktu pekerjaan
mencakup jam kerja dan batas waktu penyelesaian setiap pekerjaan. Beban
kerja, jarak ke tempat kerja dan cara mencapai tempat kerja juga sering
menimbulkan stres bagi para pekerja. Oleh karena itu, variabel-variabel
tersebut perlu diteliti.
Hampir semua orang mengalami stres sehubungan dengan
pekerjaannya. Michael dalam koswara (2009) menyebutnya sebagai stres
pekerjaan (job stress), yang didefinisikan sebagai the harmful physical and
emotional responses that occur when the requirements of the job do not match
the capabilities, resources, or needs of the workers. Mengacu pada pendapat
Michael tersebut Stres Pekerjaan merupakan respons-respons fisikal dan
emosional yang berbahaya, yang terjadi bila persyaratan-persyaratan pekerjaan
tidak cocok dengan kemampuan-kemampuan, sumberdaya-sumberdaya, dan
kebutuhan-kebutuhan pekerja.
Klitzman et al (1990) melakukan studi longitudinal tentang Work
Stress, Non-Work Stress and Health. Studi ini menguji hubungan di antara stres
pekerjaan, stres di luar pekerjaan dan kesehatan. Studi ini juga dilatarbelakangi
oleh adanya dua stressor di luar pekerjaan yang berperanan dalam proses
stress-illness, yaitu pertengkaran kronis sehari-hari di dalam keluarga (seperti
konflik finansial, konflik perkawinan, konflik keluarga, dsb) dan peristiwaperistiwa kehidupan yang besar (kematian orang-orang yang dicintai seperti
pasangan hidup, anak, keluarga sakit kronis, dan sebagainya). Klitzman et al
(1990) menemukan bahwa konflik pekerjaan dan konflik diluar pekerjaan
secara signifikan berhubungan dengan perasaan negatif dan gejala kesehatan
kurang baik.
Allen dalam Koswara (2009) mengidentifikasi gejala – gejala orang
mengalami stres, secara fisik, mental maupun psikologis. Gejala tersebut
paling berat adalah gejala stres kerja.
Kejadian stres kerja sendiri
menunjukkan hubungan terbalik dengan Defisiensi vitamin D (Lee et al. 2010;
Hoogendijk et al.2008). Reseptor serum 25(OH)D pada otak yang
mempengaruhi sistem saraf seperti korteks, serebellum, dan sistem limbik
memperkuat hipotesis bahwa defisiensi vitamin D berhubungan dengan
disfungsi neuropsikologi seperti stres kerja (Jaddou et al. 2012)
Bukti terkini melihat vitamin D kemungkinan besar memiliki fungsi
penting pada otak manusia dan banyak peneliti meyebut vitamin D sebagai
neurotsteroid . Vitamin D Reseptor (VDR) ditemukan pada hampir semua
jaringan tubuh, termasuk sel neuronal dan sel glial di sistem saraf pusat. Eyles
et al. (2005) menemukan banyaknya VDR di bagian otak manusia, termasuk
korteks prefrontal, hippocampus, cingulate gyrus, thalamus, hypothalamus, dan
substantia nigra, dan pada bagian lain yang mempengaruhi patofisiologi stres
kerja.
Metabolisme vitamin D bisa melewati batas antara darah dan otak.
Studi sebelumnya pada hewan menemukan bahwa ada 1,25(OH)D mudah
masuk di bagian otak. Eyles et al. (2005) menemukan Adanya VDR pada
jaringan otak
menunjukkan terjadinya metabolisme 25(OH)D menjadi
1,25(OH)2D dengan bantuan enzim α1- hidroksilase. Metabolisme ini
menunjukkan keterlibatan vitamin D dalam proses neurogenesis. Vitamin D
berperan melindungi proses integritas saraf melalui upregulasi faktor
12
neurotropis (perkembangan saraf, neurotrophin-3, neurotrophin-4) pada daerah
hippocampus dan neokorteks (Eyles et al. 2009).
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa stres kerja dipengaruhi oleh
faktor sosial ekonomi, pekerjaan dan status vitamin D. Metabolisme Vitamin D
sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya, faktor usia, jenis
kelamin, kadar melanin (warna kulit), pemakaian tabir surya, cuaca/musim
(tempat tinggal), aktivitas fisik serta lama dan waktu paparan sinar matahari
(Norman 1998; Norman 2008). Dalam usaha menganalisis hubungan gejala
stres kerja dengan masalah defisiensi vitamin D, maka dilakukanlah penelitian
ini.
Lingkungan
sosial
Kondisi keluarga
Status kesehatan
Konflik
Bencana alam
karakteristik sosial
ekonomi (umur,
pendidikan,
pendapatan, jumlah
anggota keluarga,
pengeluaran)
Riwayat pekerjaan
(lama bekerja, jumlah
hari kerja, jam
kerja,unit kerja, jarak
rumah)
Stres kerja
Status serum
vitamin D
(25(OH)D)
Paparan
sinar
matahari
Penggunaan tabir
surya
Pola konsumsi
pangan
Status Gizi
(lingkar pinggang,
persen lemak,
lemak viseral,
IMT)
Keterangan :
Variabel yang diamati
Variabel yang tidak diamati
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan
status vitamin D serta dampaknya terhadap gejala stres kerja pada
pekerja perempuan usia subur
13
4. METODE
Desain, Lokasi, dan Waktu
Penelitian ini menggunakan desain survey study. Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian Yosephin et al. (2014) yang berjudul
“Faktor- Faktor yang mempengaruhi Status Vitamin D pada Pekerja
perempuan Usia Subur“. Penelitian ini rencananya akan berlangsung dari
Januari hingga Mei 2015 dilaksanakan di Industri garmen PT Gunung Salak
Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian ini merupakan bagian
dari penelitian payung Yosephin, Anwar, Riyadi, Elly (2015) dengan judul
“Faktor faktor yang Mempengaruhi Status Vitamin D pada Pekerja perempuan
Usia Subur” yang disponsori oleh Neys-van Hoogstraten Foundation, The
Netherland.
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek
Subjek penelitian ini adalah pekerja perempuan Usia Subur , pada
pabrik garmen di Sukabumi, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dan sampel
penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu : pekerja perempuan
adalah kelompok usia subur yang berisiko mendapatkan paparan sinar
matahari sangat sedikit, jam bekerja pabrik mulai dari pukul 8 pagi sampai
pukul 6 sore, tingkat sosial ekonomi dan aktivitas fisik pekerja perempuan
relatif mirip, dan sebagian besar dari mereka sarapan dan makan siang dibeli
dari warung makan sekitar pabrik.
Populasi penelitian adalah responden penelitian utama, wanita usia
subur, berusia 18-40 tahun dan bekerja di pabrik garmen lebih dari 1 tahun.
Alasan pemilihan kelompok WUS adalah secara biologis rata – rata umur
tersebut periode produktif, sehingga nantinya pemberian intervensi gizi pada
umur tersebut akan memberikan keuntungan ganda, yaitu meningkatkan status
gizi pada wanita, juga meningkatkan status gizi janin jika mereka menikah
kemudian hamil.
Subjek penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi
dan dipilih secara sukarela. Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu,
wanita pekerja usia produktif, sehat, sudah menikah, tidak hamil dan
menyusui, tidak merokok dan minum alkohol, tidak sedang diet, masa kerja
lebih dari setahun dan bersedia menandatangani surat persetujuan penelitan.
Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah menderita infeksi kronis. Dari
proses sampling tersebut, diperoleh total sampel 65 orang.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer, diperoleh dengan
menggunakan kuesioner dan pengukuran analisis biokimia darah. Data yang
akan diambil dan teknik yang digunakan digambarkan pada gambar 1. Data
karakteristik reponden akan dikumpulkan pada tahap awal penelitian, meliputi
nama, tanggal lahir, suku, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengeluaran,
dan pendapatan). Selain itu dikumpulkan juga karakteristik pekerjaan meliputi,
14
lama bekerja, jumlah hari kerja, jam kerja/hari, jarak tempat tinggal ke tempat
kerja, dan lama waktu perjalanan dari tempat tinggal ke tempat kerja. Data
konsumsi pangan diambil dengan menggunakan metode Food Frecuency
Questionairy (FFQ). Pengumpulan data gejala stres kerja menggunakan
kuesioner terstruktur yang telah di uji validitas dan reabilitasnya dengan alfa
cronbarch (Sapp dan Jensen 1997).
Data berat badan (kg) diperoleh dengan menggunakan timbangan
digital dengan kapasitas 200 kg dan ketelitian 0.1 kg. Data tinggi badan (cm)
diukur dengan microtoise dengan kapasitas 200 cm dan ketelitian 0.1 cm. Data
komposisi lemak tubuh dan lemak viseral dengan mengunakan BIA
(Bioelectrical Impedance Analysis).
Pengukuran Serum Vitamin D
Data biokimia darah yang diambil adalah serum 25(OH)D. Darah
diambil sebanyak 5 mL dari vena mediana cubiti dan dilakukan pemisahan
serum. Pengukuran konsentrasi serum 25(OH)D menggunakan metode
Chemiluminiscence (CLIA).
Pengukuran Gejala Stres kerja
Pengukuran terhadap gejala stres kerja
dilakukan dengan
menggunakan Stress Assessment Questionairre (SAQ) yang dikembangkan
oleh Koeswara (2009), kemudian dimodifikasi dengan instrumen Life
Change Index Scale (Holmes & Rahe 1967) dan diadaptasikan ke dalam
bahasa Indonesia. Instrumen ini memuat 15 pertanyaan dengan masing –
masing jawaban mendaapatkan skor 1 – 4 . skor minimal untuk gejala stess ini
5 dan skor maksimal 25.
Tabel 2 Metode pengukuran dan pengumpulan data
Variabel
Umur
Alat ukur
Kuesioner
Cara ukur
Wawancara
Pendidikan
Kuesioner
Wawancara
Jumlah keluarga
Kuesioner
Wawancara
Pendapatan
Kuesioner
Wawancara
Pengeluaran RT
Kuesioner
Wawancara
Paparan sinar
matahari
Penggunaan
tabir surya
Kuesioner
Wawancara
Kuesioner
Wawancara
Kategori
1 = < 30 tahun
2 = ≥ 30 tahun
1 = tidak sekolah
2 = SD (≤ 6tahun)
3 = SMP (7-9 tahun)
4 = SMA (10-12 tahun)
5 = PT (> 12 tahun
1 = Kecil (≤ 4 orang)
2 = Sedang (5-6 orang)
3 = Besar (≥7 orang)
< UMR Rp.1 969 000
≥ UMR Rp.1 969 000
1 =< 100 000
2 =100 000 - < 300 000
3 = 300 000 - <500 000
4 = 500 000 – 750 000
5 = >750 000
Kurang = < 30 menit
Cukup = ≥ 30 menit
0 = jarang
1= selalu
Sumber
Islam et al.
2008
Kemendikbud
BKKBN 1998
BPS 2014
Justifikasi
Yoesphin et al
(2014)
Islam et al.
(2008)
15
Tabel 3 Metode pengukuran dan pengumpulan data (lanjutan)
Variabel
Penggunaan
suplemen
Penggunaan
jilbab sehari –
hari
Konsumsi ikan
segar
Konsumsi ikan
air tawar (lele)
Konsumsi ikan
segar
Konsumsi ikan
air tawar (lele)
Konsumsi
daging (daging
sapi)
Konsumsi
jeroan (hati
sapi)
Konsumsi telur
Alat ukur
Kuesioner
Cara ukur
Wawancara
Kategori
0 = ya
1 = tidak
0 = ya
1 = tidak
Sumber
Burgaz et al.
(2007)
Setiati 2008
Kuesioner
Wawancara
Kuesioner
Wawancara
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
Kemenkes
2008
Kemenkes
2008
Kemenkes
2008
Kemenkes
2008
Kemenkes
2008
Kuesioner
Wawancara
Kuesioner
Wawancara
Kuesioner
Wawancara
Kuesioner
Wawancara
Kuesioner
Wawancara
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
Kemenkes
2008
Kuesioner
Wawancara
Konsumsi
produk susu
Konsumsi buah
Kuesioner
Wawancara
Kuesioner
Wawancara
Konsumsi sayur
Kuesioner
Wawancara
Konsumsi
mentega/margar
ine
Indeks massa
tubuh (IMT)
Kuesioner
Wawancara
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
1 : Sering (≥1kali/hari)
2 : Jarang (<1kali/hari)
Kemenkes
2008
Kemenkes
2008
Kemenkes
2008
Kemenkes
2008
Kemenkes
2008
Depkes 2008
Lingkar
pinggang
Pita ukur
Komposisi
lemak tubuh
BIA
Lemak visceral
BIA
Serum 25
(OH)D
Analisis
laboratorium
Metode
Chemillumin
iscence
(CLIA)
1: Kurus (< 18.5 kg/m2)
2: Normal (18.5 - < 25.0
kg/m2)
3: Overweight (25.0<27.0
kg/m2)
4 : Obesitas (≥ 27.0
kg/m2)
Wanita
1 : < 80 cm
2 : ≥ 80 cm
1 = Ringan(<21%)
2 = Sedang (21% - <35)
3 = Lebih (≥35)
Pria/Wanita
1 : <10
2 : ≥10
Defisiensi : < 12 ng/mL
Tidak cukup:12-19.9
ng/mL
Cukup : ≥ 20 ng/mL
Tingkat stres
kerja
Kuesioner
Wawancara
Sangat tinggi : skor 5-10
Tinggi : skor 11-15
Rendah : skor 16- 20
Sangat rendah : skor ≥ 21
Koswara
(2009)
BIA
Perkeni
2011
Mahan LK
dan Stump S
2008
Unno et al.
2012
Ross et al.
(2011)
16
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan semuanya merupakan data primer yang
dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner), observasi
dan pengukuran variabel. Pengolahan data dilakukan secara bertahap, dimulai
dari data yang terkumpul dilapangan hingga data siap di analisis. Data yang
telah dikumpulkan akan melewati proses pemeriksaan oleh peneliti. Setiap
jawaban pertanyaan akan dikoding oleh pewawancara agar mempermudah
proses penginputan data dalam komputer. Selanjutnya dilakukan data cleaning
(pembersihan data) caranya dengan mengamati sebaran data semua variabel
penelitian. Hasil cleaning selanjutnya akan dianalisis secara diskriptif, meliputi
minimal, maksimal, rata – rata dan standar deviasi. Proses analisis
menggunakan Statistical Progam for Social Science (SPSS) for windows dan
SAS 9.1.3 dengan tingkat kepercayaan 90% (α=0.1).
Analisis data tahap awal adalah analisis diskriptif terhadap beberapa
parameter diantaranya karakteristik subjek (umur, pendapatan, pengeluaran
jumlah anggota keluarga). analisis diskriptif juga dilakukan pada faktor –
faktor yang mempengaruhi status vitamin D (paparan sinar matahari,
penggunaan jilbab, penggunaan tabir surya, dan konsumsi pangan sumber
vitamin D), variabel status vitamin D dan gejala stres kerja. Analisis
selanjutnya adalah analisis hubungan antar variabel (bivariat), yaitu menguji
hubungan faktor - faktor yang mempengaruhi status serum vitamin D dan
gejala stres kerja dengan menggunakan uji regresi linear berganda. Model
regresi linear berganda digunakan untuk analisis tujuan ketiga sebagai berikut:
Model pertama untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan
dengan status serum vitamin D
Y1= β0 + β1X1 + β2X2+ β3X3+ β4X4+……..+ β20X20 + ϵ
Keterangan:
1. Y1= status serum vitamin D (ng/mL)
2. X1
= umur subjek (tahun)
X2
= lama pendidikan (tahun)
X3
= pendapatan perbulan perkapita (Rp)
X4
= paparan sinar matahari (menit)
X5
= penggunaan jilbab (0=ya; 1=tidak)
X6
= konsumsi suplemen (0=ya;1=tidak)
X7
= lingkar perut (cm)
X8
= lemak viseral (skala lemak)
X9
= persen lemak tubuh (%)
X10
= Indeks Massa Tubuh (Kg/m2)
X11
= konsumsi ikan segar (frekuensi/hari)
X12
= konsumsi ikan air tawar/lele (frekuensi/hari)
X13
= konsumsi daging/daging sapi (frekuensi/hari)
X14
= konsumsi jeroan/hati sapi (frekuensi/hari)
17
X15
= konsumsi daging olahan/sosis (frekuensi/hari)
X16
= konsumsi telur (frekuensi/hari)
X17
= konsumsi produk susu (frekuensi/hari)
X18
= konsumsi buah (frekuensi/hari)
X19
= konsumsi sayur (frekuensi/hari)
X20
= konsumsi mentega/margarin (frekuensi/hari)
3. β0= Parameter intercept
4. β1, β2, β3 ...... βi = Parameter koefisien regresi
5. ϵ = Galat (error)
Model kedua untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan
dengan gejala stres kerja :
Y2= β0 + β1X1 + β2X2+ β3X3+ β4X4+ ϵ
Keterangan:
1. Y2
= Gejala stres kerja (1=sangat tertekan; 2=tertekan; 3=agak
tertekan; 4=tidak tertekan)
2. X1
= Pengeluaran nonpangan/bulan (Rp)
X2
= lama bekerja (tahun)
X3
= lingkar pinggang (cm)
X4
= serum vitamin 25(OH)D (ng/mL)
3. β0= Parameter intercept
4. β1, β2, β3 ...... βi = Parameter koefisien regresi
5. ϵ = Galat (error)
Definisi Operasional
Pekerja perempuan usia subur adalah pekerja perempuan berusia 18 sampai
40 tahun yang bekerja di pabrik garmen.
Vitamin D adalah yang larut dalam lemak yang sumber utamanya adalah
paparansinar matahari yang akan mensintesis vitamin D3 (kolekalsiferol)
dari kuli manusia.
Tabir surya adalah produk yang diformulasikan khusus untuk menyerap atau
membelokkan sinar ultraviolet dan dilihat dari nilai SPF (Sun Protector
Factor) yang terdapat pada kemasan.
Konsumsi Suplemen adalah jumlah, jenis dan frekuensi mengonsumsi
suplemen.
Paparan sinar matahari adalah seberapa lama responden terkena sinar
matahari dalam sehari.
Tingkat pendidikan adalah lama waktu menempuh pendidikan formal yang
pernah diikuti dalam satuan tahun.
Pendapatan rumah tangga adalah total penghasilan yang diperoleh seluruh
anggota rumah tangga baik dari pekerjaan utama maupun pekerjaan
18
tambahan atau lainnya (pemberian hadiah) selama satu bulan terakhir
dinyatakan dalam rupiah/bulan.
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih tinggal dalam
satu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan orang tua dalam
memenuhi kebutuhan hidup.
Konsumsi pangan adalah konsumsi pangan dalam hal jenis dan jumlah yang
dimakan dikumpulkan dengan cara Food Frecuency Questionnairy
(FFQ)
Gejala Stres kerja adalah gejala yang mengidikasikan ketidaknyamanan
pekerja dengan adanya tekanan terhadap pekerjaan dan lingkungan
keluarganya.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Subjek
Pada penelitian ini, subjek merupakan pekerja perempuan pada salah satu
pabrik garmen di Kabupaten Sukabumi. Data karakteristik subjek dapat dilihat
pada Tabel 3 sekitar separuh (50.8%) subjek berusia ≥ 30 tahun. Secara
keseluruhan rata – rata usia subjek adalah 29.7 tahun dengan simpangan baku
5.5 tahun. Hasil ini sejalan dengan penelitian Briawan et al 2013 dimana
pekerjan garmen berusia rata – rata 41 tahun atau diatas 30 tahun.
Berdasarkan kategori pendidikan, hampir separuh subjek tingkat
pendidikannya hanya lulusan sekolah dasar (40.0%), dengan rata – rata lama
pendidikan 8.5 tahun dan simpangan baku 2.5 tahun. hal ini hampir sama
hasilnya dari penelitian Solechah et al 2014 bahwa sebagian besar (81.4%)
pekerja WUS garmen memiliki tingkat pendidikan rendah. Apabila dilihat
pada kategori status pernikahan, sebagian besar subjek statusnya menikah
(80.0%) dan sebagian kecil (20.0%) subjek status cerai.
Tabel 4 Statistik pekerja perempuan menurut status sosial demografi
Karakteristik
Rerata±SD
n
%
Usia (tahun)
29.7 ± 5.5
< 30
32
≥ 30
33
Pendidikan (tahun)
8.5±2.5
SD
26
SMP
24
SMA
15
Status pernikahan
Nikah
52
Cerai
13
Besar keluarga (orang)
4.14±1.75
Kecil (≤4 orang)
43
Sedang (5-6 orang)
16
Besar (≥7 orang)
6
49.2
50.8
40.0
36.9
23.1
80.0
20.0
66.2
24.6
9.2
19
Menurut Hurlock (1998), besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga
yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-6 orang) dan besar (≥7 orang). Tabel 3
memperlihatkan bahwa pada umumnya pekerja memiliki keluarga yang kecil
(66.2%). Jumlah anggota keluarga yang kecil menjadi pilihan bagi sebagian
besar pekerja dikarenakan kehidupan ekonomi yang semakin berat. Besar
keluarga akan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga pekerja dan
pengeluaran untuk konsumsi pangan (Martianto dan Ariani 2004). Kemudian
berdasarkan besar keluarga lebih dari separuh subjek (66.2%) tergolong
keluarga kecil. Secara keseluruhan rata-rata besar keluarga dari subjek adalah
4,14 orang dengan simpangan baku 1.75 orang. Hal ini sesuai dari penelitian
Solechah et al 2014, bahwa besar keluarga pekerja WUS garmen hampir
semua (86.4%) adalah keluarga kecil.
Kostakis (2014) menyatakan bahwa pengeluaran rumah tangga
dipengaruhi oleh pendapatan, jenis kelamin, usia, status perkawinan, tempat
tinggal, dan status pekerjaan. Salah satu kemampuan ekonomi subjek dilihat
dari pengeluran, baik pengeluaran pangan maupun non pangan. Berdasarkan
Tabel 4, pengeluaran non pangan subjek lebih besar (61.6%) daripada
pengeluaran pangan (38.4%) dengan rata – rata pengeluaran sebesar Rp 2 921
600 per bulan dengan standar deviasi Rp 796 150.
Tabel 5 Statistik pengeluaran rumah tangga pekerja perempuan (Rp/bulan)
Statistik
mean±sd(Rp)
%
Pengeluaran
2 921 600±796 150
100.0
a. Pangan
1 120 800±631.020
38.4
b. Non pangan
1 800 800±961.280
61.6
Berdasarkan hasil tersebut pengeluaran non pangan lebih besar
dibandingkan dengan pengeluaran pangan. Hasil ini sejalan dengan pendapat
Upadhayay dan Pathania (2013) yang menyatakan bahwa pengeluaran non
pangan pada masyarakat perdesaan lebih tinggi dari pada pengeluaran
masyarakat di perkotaan. Pengeluaran non pangan pada penelitian ini yaitu
kesehatan, rokok, kebersihan, bahan bakar, pendidikan anak, pakaian, pulsa,
dan cicilan (kredit atau arisan). Pengeluaran pangan berupa makanan pokok,
lauk pauk, sayur, buah, dan jajan. Menurut Jacobson (2009) pengeluaran
pangan pada rumah tangga miskin berhubungan dengan kepentingan tertentu,
seperti ukuran keluarga, dipengaruhi oleh budaya dan faktor sosial lain.
Tabel 6 Statistik pekerja perempuan berdasarkan pekerjaan
Karakteristik
Rerata±SD
n
Unit kerja
Administrasi
7
Produksi
58
Lama Kerja
5±1.73
≤ 5 tahun
45
> 5 tahun
20
Pendapatan (Rp)
1 974 700±375.800
< UMR (1969000)
31
≥ UMR (1969000)
34
%
10.8
89.2
69.2
30.8
47.7
52.3
20
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa sebaran pekerja perempuan
menurut unit kerja, hampir seluruh (89.2%) subjek bekerja pada unit produksi,
dan hanya 10,2% subjek yang bekerja pada bagian administrasi Pada
umumnya, subjek pada penelitian ini telah bekerja relatif belum lama atau
kurang dari lima tahun di pabrik yakni 69.2% (Tabel 5). Secara tidak langsung,
masa kerja yang sebentar tersebut belum menjadi jaminan mereka akan
mendapat gaji sesuai dengan upah minimum regional (UMR). Berdasarkan
UMR Provinsi Jawa Barat (Rp 1 969 000), diketahui bahwa hampir separuh
dari subjek (47.7%) masih menerima gaji di bawah UMR. Rata-rata
pendapatan per bulan pekerja perempuan Rp.1 974 700. Hasil ini sejalan
dengan Solechah et al. (2014) yang menemukan bahwa sebagian besar dari
pekerja pabrik di bogor masih menerima gaji dibawah UMR pemerintah.
Masalah ini perlu menjadi perhatian karena pendapatan menjadi salah satu
faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh
seseorang. Pendapatan yang tinggi memungkinkan seseorang untuk membeli
pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik (Madanijah 2004).
Pendapatan adalah salah satu karakteristik ekonomi seorang pekerja,
yang akan menentukan daya belinya. Pendapatan juga merupakan salah satu
indikator kelas sosial. Bahkan pendapatan juga menentukan tingkat
kesejahteraan sebuah keluarga, karena tinggi-rendahnya pemilikan pribadi
(private properties) yang merupakan salah satu indikator kesejahteraan
keluarga ditentukan oleh tingkat pendapatan. Akan tetapi, pendapatan juga
dapat menjadi sumber masalah atau menjadi stressor bagi pekerja ketika
pendapatan tidak sesuai dengan yang diharapkan, terutama jika tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasar. Salah satu penyebab kemiskinan adalah rendahnya
tingkat pendapatan. Ini merupakan masalah sosial yang dapat menyebabkan
masalah sosial lainnya.
Upah yang tinggi tidak menjamin seseorang untuk dapat memilih dan
mengonsumsi pangan yang berkualitas karena selain upah, pemilihan pangan
juga ditentukan oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang tinggi
memungkinkan seseorang untuk dapat menerima informasi, khususnya yang
terkait gizi dan kesehatan, dan mempraktekkannya dalam kehidupan seharihari (Atmarita dan Fallah 2004).
Karakterstik berdasarkan Status Gizi
Status gizi subjek pada penelitian ini dinilai dengan melakukan
pengukuran antropometri yang terdiri dari pengukuran berat badan (BB), tinggi
badan (TB), lingkar pinggang (LP), komposisi lemak tubuh (LT), lemak viseral
(LV). Selanjutnya, dilakukan penghitungan dan pengkategorian indeks massa
tubuh (IMT), lingkar pinggang, lemak tubuh dan lemak viseral. Tabel 6
menyajikan sebaran subjek berdasarkan indikator status gizi.
Lingkar pinggang merupakan dasar penentuan obesitas sentral yang
menjadi salah satu faktor dari sirkulasi vitamin D (Jacobs et al. 2011). Rata –
rata lingkar pinggang subjek 78.8 cm yang menunjukkan bahwa sebagian
besar subjek tergolong dalam status gizi normal.Sementara itu, prevalensi
obesitas sentral subjek ditemukan hampir separuh dari total subjek (49.2%)
berdasarkan lingkar pinggang (LP ≥ 80 cm). Hasil ini sesuai dengan penelitian
21
Solechah et al. (2014) yang menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral
berdasarkan lingkar pinggang hampir setengahnya diamali oleh pekerja
garmen di Bogor. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena prevalensi dari
defisiensi vitamin D akan meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi
obesitas sentral.
Berdasarkan komposisi lemak tubuh (% LT), sebagian besar subjek
(81.5%) memiliki komposisi lemak tubuh sedang dan sebagian kecil (18.5%)
memiliki komposisi lemak tubuh lebih. Komposisi lemak tubuh erat kaitannya
dengan status obesitas individu. Obesitas berkaitan dengan defisiensi vitamin
D. Hal ini bisa terjadi karena vitamin D terperangkap di dalam lemak dan
tidak dapat dengan mudah untuk dimetabolisme dalam tubuh. Akibatnya,
seseorang yang mengalami obesitas memerlukan setidaknya dua kali lebih
banyak vitamin D dibandingkan dengan individu tidak obesitas untuk
mempertahankan serum 25(OH)D antara 30-60 ng/mL (Wortsman et al. 2000).
Tabel 7 Sebaran pekerja perempuan berdasarkan status gizi
Variabel
Rerata±SD
n
Lingkar pinggang
78.8 ± 7.9
Normal < 80 cm
33
Gemuk ≥ 80 cm
32
Komposisi lemak tubuh
30.5 ± 3.9
Ringan (<21%)
0
Sedang (21≤%<35)
53
Lebih (P≥35%)
12
Lemak viseral
5.2 ± 2.6
<10
58
≥10
7
Indeks massa tubuh
23.4 ± 3
Kurus (IMT < 18.5)
1
Normal (≤ 18.5 sampai < 25.0)
45
Overweight (≤25.0 sampai < 27.0)
13
Obesitas (IMT ≥ 27.0)
6
%
50.8
49.2
0
81.5
18.5
89.2
10.8
1.5
69.2
20.0
9.2
Selain komposisi lemak tubuh, diambil juga lemak viseral sebagai
indikator tumpukan lemak subjek. Berdasarkan lemak viseral, sebagian besar
subjek (89.2%) memilik lemak viseral kurang dari 10 dan hanya sedikit dari
subjek (10.2%) yang lebih dari 10. Kemudian indikator status gizi selanjutnya
adalah indeks massa tubuh (IMT). IMT rata – rata subjek adalah 23.4
kg/m2yang berarti bahwa sebagian besar subjek termasuk dalam kategori
normal (Depkes 2008).berdasarkan IMT, lebih dari separuh (69.2%) subjek
tergolong normal dan 20.0% overweight.
Status Vitamin D Pekerja WUS
Selain menilai status gizi subjek secara antropometri, juga dilakukan
pengambilan serum darah subjek untuk menilai status serum 25(OH)D sebagai
indikator status vitamin D pada subjek. Sebagian besar peneliti menyetujui
penggunaan 25(OH)D sebagai indikator penilaian status vitamin D karena (1)
22
enzim 25 hidroksilase tidak dapat dipengaruhi sehingga kadar 25(OH)D
merupakan indikator adekuat untuk kadar vitamin D yang berasal dari sintesis
di kulit dan asupan sehari – hari ,(2) konsentrasi kalsidiol berkaitan dengan
banyak manifestasi klinis penyakit. Dalam melakukan kategori status vitamin
D berdasarkan konsentrasi serum 25(OH)D, digunakan nilai standar Ross et al
(2011) dikatakan defisiensi jika 25(OH)D kurang dari 12 ng/mL, tidak cukup
jika 25(OH)D 12.0 – 19.9 ng/mL dan cukup jika 25(OH)D lebih dari atau sama
dengan 20 ng/mL.
Berdasarkan Tabel 7, diperoleh bahwa hampir separuh subjek (46.2%)
memiliki kadar serum 25(OH)D kurang dari 12 ngl/mL (defisiensi) dan 53.8%
memiliki kadar serum lebih dari atau sama dengan 12ng/mL. Sebagian besar
subjek (90.8%) menderita ketidakcukupan vitamin D dan hanya 9.2% subjek
status serum vitamin D kategori cukup. Rata – rata status serum vitamin 13.2
ng/mL dengan standar deviasi 4.4 ng/mL. Hasil ini sejalan dengan Briawan et
al. (2014) yang mengemukakan bahwa sekitar 88.1% pekerja mengalami
ketidakcukupan vitamin D. Green et al. (2008) meenemukan bahwa 63% WUS
di Jakarta mengalami defisiensi vitamin D dengan rata – rata kosentrasi serum
25(OH)D adalah 19.2 ng/mL.
Tabel 8 Sebaran pekerja perempuan status vitamin D
Status serum 25(OH)D
n
%
Defisiensi (<12 ng/mL)
30
46.2
Tidak cukup (12 – 19.9 ng/mL)
29
44.6
Cukup (≥ 20 ng/mL)
6
9.2
Total
65
100
Rerata±SD
13.2 ± 4.4
Peran utama vitamin D yang selama ini paling banyak diketahui adalah
menjaga mineralisasi tulang disebut sebagai efek kalsiotropik, mengatur
metabolisme kalsium dan fosfat di usus kecil, osteoblast, ginjal dan kelenjar
paratiroid. Studi terbaru diketahui bahwa VDR juga ditemukan pada hampir
seluruh sel dan jaringan tubuh seperti otak, jantung, kulit, pankreas, payudara,
kolon dan sel imun dan sekaligus diketahui juga adanya produksi
1,25(OH)2D3 ekstrarenal di sel-sel tersebut (Holick 2003).
Penurunan vitamin D merusak homeostasis kalsium dan posfor dalam
tubuh. Vitamin D terutama bertanggung jawab untuk mengatur efisiensi
penyerapan kalsium di usus. Defisiensi vitamin D menurunkan penyerapan
kalsium dari usus kecil. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi dan
pelepasan PTH ke dalam sirkulasi, sehingga mengembalikan homeostasis
kalsium dengan meningkatkan reabsorpsi tubular kalsium di dalam ginjal,
meningkatkan mobilisasi kalsium tulang dari tulang, dan meningkatkan
produksi 1,25(OH)2D3. Ligan 1,25(OH)2D3 berikatan dengan reseptor vitamin
D (VDR) dan memicu peningkatan penyerapan kalsium dan fosfor di usus.
Gaya Hidup yang Berhubungan dengan Status Vitamin D
Gaya hidup subjek yang diambil meliputi kebiasaan terpapar sinar
matahari tanpa sunblock, penggunaan jilbab sehari hari, dan kebiasaan
23
konsumsi suplemen, dan status serum 25(OH)D. Sebaran gaya hidup subjek
disajikan pada Tabel 8.
Menurut Hollick (2008) paparan sinar matahari merupakan sumber
vitamin D yang paling baik dan tidak terdapat kasus intoksikasi vitamin D
akibat paparan sinar matahri berlebihan Berdasarkan paparan sinar matahari,
sebagian besar subjek (76.9%) terpapar sinar matahari kurang dari 30 menit,
rata – rata subjek terpapar hanya 17.7 menit dengan simpangan baku 15.3
menit. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Looker et al. (2008) bahwa
pekerja perempuan sering kali jarang terpapar sinar matahari karena terkait
dengan jam bekerja dimulai dari pagi hingga sore hari. Selain itu pekerja
perempuan juga bekerja diruangan sehingga berisiko terjadinya kekurangan
vitamin D yang didapatkan dari sinar matahari.
Tabel 9 Gaya hidup yang berhubungan dengan status vitamin D
Gaya hidup
Rerata±SD
n
%
Paparan sinar matahari
17.7 ± 15.3
< 30 menit
50
76.9
≥ 30 menit
15
23.1
Penggunaan sunblock
Jarang
13
20.0
Sering
52
80.0
Penggunaan jilbab
Ya
43
66.2
Tidak
22
33.8
Konsumsi suplemen
Ya
26
40
Tidak
39
60
Dengan meningkatnya jumlah WUS yang bekerja di dalam ruangan,
dan penggunaan tabir surya telah membatasi waktu kegiatan diluar ruangan
diperkirakan angka defisiensi vitamin D di Indonesia semakin meningkat.
Berdasarkan penggunaan sunblock (tabir surya) sebagian besar ( 80%) subjek
selalu menggunakan sunblock
dan hanya 20% subjek yang jarang
menggunakan sunblock. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Briawan et al.
(2014) bahwa lebih dari separuh pekerja WUS terbiasa menggunakan tabir
surya.
Selain penggunaan sunblock, yang mempengaruhi penyerapan vitamin
D adalah penggunaan jilbab. Pemakaian jilbab menjadi gaya hidup tersendiri
buat pekerja perempuan yang ada di Indoensia yang erat kaitannya dengan
keyakinan agama. Berdasarkan penggunaan jilbab lebih dari separuh (66.2%)
pekerja perempuan menggunakan jilbab setiap hari kerja. Hasil ini seiring
dengan penelitian setiati (2008) bahwa hampir separuh wanita menggunakan
jilbab yang melindungi tubuh dari paparan langsung sinar matahari.
Selain dari paparan sinar matahari, kebutuhan usumber vitamin D
dapat diperoleh dari asupan sumber bahan makanan. Namun jumlah bahan
makanan yang mengandung sumber vitamin D sangat sedikit. Di samping
suplemen vitamin D belum cukup memenuhi kebutuhan tubuh (Hollick dan
Chen 2008).Berdasarkan pola konsumsi suplemen, lebih dari separuh subjek
24
tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi suplemen (60%).Hasil ini sejalan
dengan studi Green et al (2008) yang menyatakan bahwa sebagian besar
perempuan di Jakarta dan Kuala Lumpur kurang mengkonsumsi suplemen.
Pola Konsumsi Pangan
Bioavailabilitas vitamin D dipengaruhi oleh bentuk vitamin D.
Menurut Holick (2006), kolekalsiferol (vitamin D3) lebih berperan
menyebabkan peningkatan konsentrasi sirkulasi kalsidiol dibandingkan dengan
ergokalsiferol (vitamin D2). Vitamin D baik vitamin D2 atau vitamin D3
jarang terdapat pada makanan. Sumber utama vitamin D alamiah adalah ikan
berlemak, seperti salmon, mackerel, ikan tuna, jamur, kuning telur. Vitamin D
juga dapat diperoleh dari makanan yang diperkaya dengan vitamin D,
diantaranya produk sereal, produk roti, makanan bayi, susu, mentega, keju,
margarin (Holick 2007).
Ada sepuluh kelompok pangan yang dipilih berdasarkan sumber
vitamin D Berdasarkan frekuensi pola konsumsi subjek, dibagi menjadi dua
kategori, yaitu pola konsumsi pangan jarang meliputi ikan segar, ikan air tawar
(lele), daging (daging sapi). Jeroan (hati sapi), olahan (sosis sapi), produk susu
dan mentega margarin. Kategori kedua yaitu konsumsi pangan sering, meliputi
telur, buah dan sayur.
Tabel 10 Sebaran pekerja perempuan berdasarkan pola konsumsi pangan
1 kali/bulan
2 – 4 kali/ bulan
Konsumsi Pangan
n
%
n
%
Konsumsi pangan jarang
Ikan segar
36
55.4
29
44.6
Ikan air tawar (lele)
56
86.2
9
13.8
Daging (daging sapi)
47
72.3
18
27.7
Jeroan (hati sapi)
58
89.2
7
10.8
Olahan (sosis sapi)
43
66.2
22
33.8
Susu
33
50.8
32
49.2
Mentega/margarine
44
67.7
21
32.3
Konsumsi pangan sering
Telur
Buah
Sayur
1 kali/ minggu
n
%
2
3.1
16
24.6
21
32.3
2 - 4 kali/minggu
n
%
63
96.9
49
75.4
44
67.7
Berdasarkan Tabel 9,lebih dari separuh (55.4%) subjek mengkonsumsi
ikan segar hanya 1 kali /bulan. Kelompok ikan segar yang ditanyakan dalam
bentuk produk sardin, udang, ikan kembung dan tuna. Pola konsumsi ikan air
tawar (lele), sebagian besar subjek (86.2% ) hanya mengkonsumsinya 1 kali/
bulan.
Kemudian ditemukan sekitar separuh subjek (72.3%), hanya
mengkonsumsi 1 kali per bulan jenis daging sapi. Selanjutnya adalah jeroan
(hati sapi), ada 89.2% atau sebagian besar subjek hanya mengkonsumsi jeroan
25
1 kali/ bulan. Begitu pula pangan olahan (sosis sapi), produk susu dan
mentega/ margarin masing-masing dikonsumsi kali/ bulan oleh lebih dari
separuh subjek.
Berdasarkan kategori kelompok konsumsi pangan sering, kelompok
telur, buah dan sayur dikonsumsi rutin 2-4 kali per minggu. Kelompok telur
yang ditanyakan adalah telur ayam dan telur puyuh, hanya 3,1% subjek yang
jarang mengkonsumsi telur, dan hampir semua (96.9%) subjek mengkonsumsi
telur 2 – 4 kali/ minggu. Kelompok selanjutnya adalah buah. Buah yang
dimasukkan dalam kelompok ini adalah yang diketahui memiliki kandungan
sumber vitamin D tinggi yaitu jeruk, pisang, pepaya, dan jambu biji.
Berdasarkan kelompok buah, diketahui bahwa sebagian besar (75.4%) subjek
mengkonsumsi buah 2-4 kali/ minggu.
Kelompok pangan lain yang masuk kategori sering adalah kelompok
sayur. Jenis sayur yang dimasukkan adalah jamur, buncis, kacang panjang,
brokoli, bayam dan kangkung. Berdasarkan Tabel 9, ditemukan bahwa lebih
dari separuh subjek (67.7%) mengkonsumsi sayur 2 – 4 kali/ minggu.
Asupan vitamin D yang berlebihan akan menyebabkan hiperkalsemia
dan hiperkalsiurea yang berakibat kurang nafsu makan, haus berlebihan,
kencing terus, mual, muntah, lemas, diare dan pertumbuhan terlambat.
Toksisitas akan terjadi apabila kadar kalsidiol (25(OH)D) >160 ng/mL.
Tolerable upper intake level untuk orang dewasa sekitar 50 mcg atau 2000 IU
per hari (Gallagher 2008; Gropper dan Groff 2009; Kulie et al. 2009).
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D
Terdapat beberapa faktor yg diduga menjadi faktor risiko yang
berhubungan dengan status serum, antara lain umur,lama pendidikan,
pendapatan ibu per bulan, paparan sinar matahari, penggunaan jilbab dan
konsumsi suplemen, lingkar perut, lemak viseral, persen lemak tubuh, indeks
massa tubuh (IMT), konsumsi sumber vitamin D ( ikan segar, ikan air tawar,
daging, jeroan, daging olahan, telur, produk susu, vuah, sayur, dan margarin).
Hasil uji regresi linear berganda antara variabel diatas terhadap status serum
vitamin D disajikan pada Tabel 10.
Tabel 11 Analisis regresi linear berganda faktor – faktor yang berhubungan
dengan status serum vitamin D
Peubah
Β
T
Sig
Intercept
-15.161
-0.908
0.369
Penggunaan jilbab
3.337
2.632
0.012*
Lingkar pinggang
0.221
2.061
0.044*
Persen lemak tubuh
0.522
2.238
0.029*
Konsumsi susu
-0.090
-2.157
0.035*
R Square
0.623
Keterangan: *signifikan pada α ≤ 0.05
Uji regresi linear berganda dilakukan terhadap semua variabel
penelitian sehingga diperoleh nilai R square 0.623. Artinya sebanyak 62.3%
status serum vitamin D dipengaruhi oleh variabel yang diteliti, sedangkan
26
sisanya (47.8%) dipengaruhi oleh variabel-variabel diluar penelitian.
Berdasarkan hasil uji koefisien regresi, penggunaan jilbab (p = 0.012), lingkar
perut (p = 0.044), persen lemak tubuh ( p = 0.029) dan konsumsi susu (p =
0.035) berpengaruh signifikan terhadap status serum vitamin D.
Penggunaan jilbab subjek berpengaruh positif (B=3.337) dengan status
serum vitamin D (P<0.05). Artinya, pekerja perempuan yang tidak
menggunakan jilbab cenderung memiliki serum vitamin D lebih tinggi 3.337
dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan jilbab. Pemilihan pakaian
termasuk jilbab memberikan perlindungan terhadap spektrum sinar mahatahari.
Hasil ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan Robson dan Diffey (1990)
menunjukkan bahwa pakaian yang terbuat dari polyester memberikan
perlindungan yang lebih rendah terhadap radiasi, sedangkan kapas dan jeans
akan memberikan perlindungan yang lebih banyak terhadap sinar matahari.
Matsuoka et al. (1992) mengemukakan bahwa pakaian dapat mengganggu
pembentukan vitamin D3.
Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Tsiaras dan Weinstok (2011)
yang menemukan bahwa wanita muslim yang memakai cadar memiliki risiko
2.5 kali mengalami defisiensi vitamin D dibandingkan perempuan Eropa.
Lingkar pinggang subjek berpengaruh positif (B = 0.221) dengan status serum
vitamin D (α<0.05). Artinya pekerja perempuan dengan lingkar pinggang
normal cenderung memiliki serum vitamin D lebih tinggi 0.221 dibandingkan
dengan pekerja perempuan dengan lingkar pinggang lebih. Persen lemak tubuh
memiliki pengaruh positif (B=0.522) dengan status serum 25(OH)D (α<0.05).
Artinya, pekerja perempuan dengan persen lemak normal cenderung memiliki
serum vitamin D lebih tinggi 0.522 dibandingkan dengan pekerja perempuan
dengan persen lemak berlebihan.
Lingkar pinggang dan persen lemak tubuh merupakan indikator lemak
dalam tubuh individu. pekerja perempuan yang memiliki komposisi lemak
lebih cenderung mengalami defisiensi vitamin D akibat penurunan
bioavaibilitas vitamin D3 dari kulit dan adanya deposisi lemak hasil ini sejalan
dengan hasil penelitian Wortsman et al. (2000) dan Arunabh et al.(2003) yang
menemukan bahwa seseorang yang obesitas memerlukan setidaknya dua kali
lebih banyak vitamin D dibandingkan dengan individu yang tidak obesitas
untuk mempertahankan status vitamin D yang normal dengan 25(OH)D 30 –
60 ng/mL.
Konsumsi susu berpengaruh negatif (B = -0.090) dengan status serum
vitamin 25(OH)D (P<0.05). Artinya pekerja perempuan yang rutin
mengkonsumsi susu akan cenderung memiliki serum vitamin D lebih rendah
0.090 dibandingkan dengan pekerja perempuan yang jarang mengkonsumsi
susu. Hal ini sejalan dengan penelitian Holick (2004) yang menemukan bahwa
tingginya prevalensi kekurangan vitamin D salah satu faktor penyebabnya
adalah rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin D seperti susu
dan makanan yang difortifikasi.
Pada lampiran 2 diketahui bahwa faktor umur tidak berpengaruh
signifikan terhadap kejadian defisiensi vitamin D (α>0.05). Hasil ini sejalan
dengan hasil penelitian Islam et al. (2008) yang menemukan tidak ada
hubungan umur pekerja garmen WUS di Afganistan dengan status serum
vitamin D.
27
Paparan sinar matahari juga tidak berpengaruh signifikan dengan status
serum vitamin D (α>0.05). Hasil ini sejalan dengan Hekimsoy et al. (2010)
yang mengemukakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara pajanan
sinar matahari dengan status serum vitamin D pada orang dewasa di Turki.
Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Yosephin et al. (2014) bahwa paparan
sinar matahari 30 menit pada jam 09.00 – 09.30 tiga kali seminggu selama 12
minggu memiliki efek meningkatkan serum 25(OH)D sebesar 15.9%.Hasil
berbeda juga dikemukakan oleh Nurbazlin et al. (2013) bahwa konsentrasi
serum 25(OH)D mempunyai hubungan positif dengan lamanya terpapar sinar
matahri. Sebagian besar subjek (80%) memiliki kadar serum kurang dari 30
nmol/L. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Islam et al. (2008)
yang menunjukkan bahwa wanita yang bekerja 14-16 jam setiap hari di
perusahaan garmen mempunyai serum 25(OH)D rendah. Studi Setiati et al.
(2007) pada kelompok usia lanjut di Bekasi dan Jakarta menunjukkan paparan
matahari 25 menit tiga kali seminggu pada pukul 09.00 WIB dapat
memperbaiki status vitamin D. Menurut Holick (2004) cara yang sederhana
mendapatkan UVB dengan membiarkan wajah, telapak tangan, dan lengan
terkena sinar matahari.
Sintesis vitamin D di kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kadar
melanin, usia, penggunaan tabir surya, musim serta posisi lintang suatu tempat.
Melanin sangat kuat dalam mengabsorpsi radiasi UVB, sehingga terjadinya
pigmentasi kulit dapat menurunkan sintesis vitamin D. Pigmentasi kulit
dianggap sebagai tabir surya alami tubuh, karenanya pada individu yang sering
memakai tabir surya dapat mengalami penurunan sintesis vitamin D (Cannell
et al. 2008). Orang putih yang terpapar sinar matahari dalam waktu lama
selama musim panas tidak mengalami intoksikasi vitamin D. Hal ini
dikarenakan berapapun banyaknya pigmen di kulit, jumlah maksimum
previtamin D yang dapat difotosintesis di kulit. Hal ini dikarenakan berapapun
banyaknya pigmen di kulit, jumlah maksimum previtamin D yang dapat
difotosintesis di kulit dalam sehari adalah sekitar 15% dari konsentrasi
provitamin D3 awal. Keterpajanan dengan sinar matahari selanjutnya hanya
akan menyebabkan previtamin D3 berisomerisasi menjadi dua fotoproduk
inaktif secara biologik yaitu lumisterol dan takisterol (Webb dan Holick 1988).
Menurut Holick (1995) produksi vitamin D endogen memerlukan
paparan kulit terhadap radiasi UVB dengan panjang gelombang 290-315 nm,
yang mungkin didapat sepanjang tahun di negara tropis.Banyak faktor yang
dapat membatasi kulit sintesis vitamin D, termasuk kondisi lingkungan seperti
polusi, waktu yang dihabiskan di dalam ruangan dan kondisi kerja, kebiasaan
berpakaian (cuaca, budaya dan agama), pigmentasi kulit dan penggunaan tabir
surya. Sinar ultraviolet (UVB) yang berasal dari matahari akan diserap oleh
kulit dan akan mengubah 7-dehidrokolesterol di kulit menjadi previtamin D3,
yang selanjutnya secara spontan akan dikonversikan menjadi vitamin D3 dan
seterusnya akan menjalani metabolisme di hati menjadi 25(OH)D dan di ginjal
menjadi 1,25(OH)2D3.
Konsumsi suplemen tidak berpengaruh signifikan dengan status serum
25(OH)D (α>0.05). Hasil ini sejalan dengan Burgaz et al. (2007) yang
mengemukakan bawa tidak ada perbedaan signifikan status serum vitamin D
antara wanita paruh baya yang mengkonsumsi suplemen maupun yang tidak
28
mengkonsumsi suplemen. Hasil ini berbeda dengan penelitian Pfeifer et al
(2001) yang menemukan bahwa konsumsi suplemen selama 8 minggu akan
meningkatkan serum 25OH)D. Pada penelitian Zittermann et al. (2009) yang
memberikan suplemen vitamin D 83µg(3320 IU)/hari selama 12 bulan
terhadap 200 subjek berusia 18-70 tahun, menemukan bahwa konsumsi
suplemen mampu meningkatkan serum 25(OH)D hingga 55.5 nmol/L.
Pencegahan defisiensi vitamin D pada usia 19-50 tahun dilakukan dengan
mengonsumsi suplemen vitamin D sedikitnya 600 IU/hari sehingga mampu
mencegah penyakit tulang dan fungsi otot. Untuk meningkatkan serum
25(OH)D hingga diatas 30 ng/mL direkomendasikan mengonsumsi suplemen
vitamin D 1500 – 2000 IU/hari (Hollick et al. 2011).
Indeks massa tubuh (IMT) tidak berpengaruh signifikan dengan status
serum 25(OH)D (α>0.05). Hasil ini berbeda dengan Lenders et al(2009) yang
menemukan bahwa konsentrasi 25(OH)D lebih rendah (<30 ng/mL) cenderung
pada kelompok IMT yang lebih besar dan terdapat hubungan terbalik antara
serum 25(OH)D dengan kejadian obesitas. Hal ini ada kaitannya dengan
penyimpanan atau degradasi vitamin D dalam jaringan adiposa.
Tidak ada pengaruh signifikan antara konsumsi daging (sapi), jeroan
(hati sapi), daging olahan (sosis sapi) dan mentega terhadap status serum
vitamin D (α>0.05). Kelompok – kelompok pangan tersebut diketahui sebagai
pangan sumber lemak. Terlihat pada Tabel 9, frekuensi konsumsi pangan
hewani sumber lemak tersebut terhitung jarang. Lebih dari separuh subjek
mengkonsumsinya 1 kali per bulan. Hasil ini didukung dengan temuan
Riskesdas 2010 yang melaporkan bahwa pola asupan lemak penduduk
Indonesia masih sedikit dari ( 24 – 36% dari total energi).
Tidak ada pengaruh signifikan antara konsumsi sayur dan buah dengan
status serum vitamin D (α>0.05). sayur dan buah dikenal sebagai pangan
sumber vitamin dan mineral. Konsumsi sayuran tidak hanya dilihat dari jumlah
dan frekuensinya saja, akan tetapi juga dari kualitasnya. Sayuran berwarna
mengandung lebih banyak fitokimia yang bermanfaat bagi tubuh dibandingkan
sayuran tidak berwarna. Kandungan fitokimia yang terdapat dalam sayur dan
buah dapat berfungsi sebagai antioksidan. Karotenoid, flavonoid, fitoestrogen,
fenol, capsaisin, resveritrol, dan antosianin dapat menjadi prekursor vitamin A,
menghambat proliferasi sel, membantu diferensiasi sel epitel normal,
meningkatkan kerja vitamin C, menghambat penyumbatan darah,
antiinflamatori, menghambat pertumbuhan sel kanker, menurunkan tingkat
kolesterol darah, dan mencegah zat karsinogenik berikatan dengan DNA.
Kandungan fitokimia lainnya seperti sulfida dapat menstimulasi enzim anti
kanker dan detoksifikasi karsinogenik. Isothiosianat dan fenol dapat
meningkatkan aktifitas enzim detoksifikasi glutation tranferase (Van Duyn dan
Pivonka 2000).
Kepuasan terutama rasa merupakan faktor penting yang mempengaruhi
konsumsi sayur dan buah. Selain itu, musim, ketersediaan, kebiasaan,
kesadaran mengenai pentingnya konsumsi sayur dan buah untuk kesehatan,
pengaruh sosial (pengaruh anggota rumah tangga), efikasi diri,
kemampuan/keahlian dan waktu untuk menyiapkan dan mengolah sayur dan
buah merupakan faktor yang mempengaruhi konsumsi sayur dan buah orang
dewasa (Brug et al. 1995)
29
Baranowski et al. (2006) menyatakan bahwa pola pembelian pangan
mempengaruhi ketersediaan dan akses sayur dan buah di rumah. Harga buah
yang mahal, penyajian sayuran yang membosankan, sedikitnya kandungan zat
gizi (hilang pada saat pemasakan), kurang disukai rumah tangga, kurang
berguna dalam menurunkan berat badan dan lebih sulit mempersiapkannya
merupakan beberapa alasan yang menjadi penghambat asupan sayur dan buah.
Selain itu, Maclellan et al. (2004) menyatakan bahwa penghambat utama
konsumsi sayur dan buah adalah rendahnya usaha, kurangnya pengetahuan,
faktor sosio-psikologis (preferensi, kebiasaan, mood), faktor lingkungan sosial
(pengaruh anggota rumah tangga, pengalaman masa kecil) dan ketersediaan.
Meningkatkan ketersediaan dan akses pangan merupakan dua cara
untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah rumah tangga. Sebuah review
mengenai sayur dan buah menunjukkan bahwa konsumsi anak-anak, remaja,
dan dewasa berhubungan dengan ketersediaan di rumah dan hubungan tersebut
berlaku sepanjang waktu (Jago et al. 2007).
Pengeluaran pangan merupakan salah satu faktor tidak langsung yang
mempengaruhi konsumsi sayur buah rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga
yang rendah mengakibatkan tingginya konsumsi sayur buah. Hal ini dapat
terjadi karena produksi sayur dari pekarangan meningkatkan ketersediaan dan
akses sayuran rumah tangga. Rumah tangga tidak perlu membeli sayuran,
karena sayuran dapat langsung di konsumsi dari pekarangan sesuai dengan
jumlah yang dibutuhkan.
Gejala Stres Kerja
Pengukuran gejala stres kerja menggunakan kuesioner modifikasi dari
Koswara (2009) yang mengacu pada instrumen Stress Assesssment
Questionarre (SAQ). Instrumen ini menggunakan skala Likert. Pertanyaan
yang dijadikan indikator meliputi kondisi fisik tempat kerja, beban tugas,
hubungan dengan atasan/pimpinan, kondisi keuangan dan beban anak.
Tabel 12 Sebaran pekerja perempuan berdasarkan gejala Stres kerja
Gejala stres kerja
Skor
n
%
Stres kerja ringan
16 – 20
11
16.9
Tidak stres kerja
>20
54
83.1
Berdasarkan Tabel 11 sebaran subjek menurut gejala stres kerja, tidak
ditemukan pekerja WUS yang memiliki gejala stres berat dan sedang. Lebih
dari separuh subjek (83.1%) tidak memiliki gejala stres kerja sama sekali, dan
hanya sedikit subjek (16.9%) termasuk dalam kategori stres kerja ringan.
Hasil ini sejalan dengan Pan et al. (2009) yang menemukan prevalensi orang
dewasa dan lansia di Cina sekitar 14.9%. selain itu Hoogendijk et al. (2008)
menemukan bahwa hampir separuh lansia wanita tidak ditemukan gejala
depresi.
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres Kerja
Terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi faktor yang
berhubungan dengan gejala stres kerja pada pekerja WUS, diantaranya adalah
30
faktor pengeluaran non pangan per bulan, lama bekerja, lingkar perut, dan
status serum 25(OH)D. Hasil uji regresi linear berganda antara variabel diatas
terhadap gejala stres kerja disajikan pada Tabel 12.
Uji regresi linear berganda dilakukan terhadap semua variabel
penelitian sehingga diperoleh nilai R square 0.148. Artinya sebanyak 14.8%
variabel gejala stres kerja dipengaruhi oleh variabel yang diteliti, sedangkan
sisanya (85.2%) dipengaruhi oleh variabel-variabel diluar penelitian.
Berdasarkan hasil uji koefisien regresi, pengeluaran non pangan (p = 0.023)
berpengaruh nyata terhadap gejala stres kerja.
Tabel 13 Analisis linear berganda faktor faktor yang berhubungan dengan
gejala stres kerja pekerja perempan usia subur
Peubah
Β
T
Sig
Intercept
17.707
Pengeluaran nonpangan/bulan
-6.991
-2.40
0.023*
R Square
0.148
Keterangan: *signifikan pada α ≤ 0.05
Berdasarkan Tabel 12, pengeluaran non pangan per bulanan
berpengaruh negatif (B= -6.991) terhadap gejala stres kerja pekerja perempuan
(α<0.05). artinya pekerja perempuan yang memiliki pengeluaran non pangan
yang besar cenderung memiliki skor stres kerja lebih kecil -6.991 dibandingkan
dengan pekerja perempuan yang memiliki pengeluaran non pangan kecil.
Berdasarkan lampiran 2, diketahui bahwa nilai partial correlation antara
pengeluaran nonpangan dengan gejala stres kerja sebesar 0.295. Artinya ada
pengaruh dari pengeluaran pada pekerja perempuan terhadap timbulnya gejala
stres kerja, dengan derajat kekuatan hubungan lemah.
Pengeluaran non pangan yang di ukur disini meliputi, biaya pengobatan,
pendidikan, rokok, kontrakan, listrik, air dan kendaraan. Pengeluaran non
pangan erat kaitannya dengan kondisi keuangan pekerja tiap bulanan. Hasil ini
sesuai dengan Safrano dalam Smet (2004), bahwa stres dapat bersumber dari
interaksi anggota keluarga yang berhubungan dengan keuangan, perasaan masa
bodoh, tujuan yang saling berbeda, kematian salah satu anggota keluarga dan
lain – lain. Koswara (2009) menemukan bahwa tingkat stres pekerja
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendapatan, jenis pekerjaan,
pendidikan, jenis kelamin, dan dukungan sosial.
Jika seseorang mendapat promosi sehingga meningkat statusnya dan
pendapatannya, maka gaya hidupnya pun berubah. Jabatan baru akan menuntut
penampilan yang berbeda, selera yang berbeda, pakaian yang berbeda, pola
makan yang berbeda. Perubahan gaya hidup pada intinya akan mengubah pola
konsumsi seseorang. Pertanyaannya bagaimana jika seseorang mengalami
stres, karena jabatan baru kemungkinan meningkatkan beban kerja, waktu
kerja, deadline pekerjaan, dan lain-lain. (Sumarwan 2003)
Michael (1998) mengatakan bahwa penyebab utama stres pekerjaan
adalah karakteristik pekerja versus kondisi pekerjaan. Karakteristik pekerja
yang meliputi karakteristik-karakteristik individu pekerja, seperti usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan dapat menjadi penyebab
stres pekerja. Demikian pula kondisi pekerjaan dapat menimbulkan stres.
31
Berdasarkan Lampiran 2, Lingkar pinggang tidak berpengaruh
signifikan terhadap gejala stres kerja subjek (α> 0.05). Artinya, pekerja
perempuan dengan lingkar perut berlebih belum tentu cenderung merasakan
gejala stres kerja. Lingkar pinggang menjadi salah satu indikator berat badan
seseorang. Hal ini tidak sejalan
studi Heraclides et al.(2011) yang
menemukan bahwa stres kerja pada pekerja perempuan berpengaruh positif
pada wanita obesitas. Jenis kelamin dan berat badan memiliki peran penting
yang berhubungan langsung dengan kejadian psikososial stres dan DM tipe 2.
Swarth (1993) menjelaskan bagaimana respon tubuh terhadap stres.
Epineprin (adrenalin), suatu hormon stres, dilepaskan dari kelenjar adrenal.
Hormon ini bersama hormon lainnya beredar dalam tubuh untuk meningkatkan
tekanan darah dan denyut jantung, kecepatan bernafas, dan mengubah proses
tubuh lainnya. Kadar gula darah juga meningkat. Sel-sel lemak melepaskan
lemak ke dalam aliran darah untuk meningkatkan persediaan enerji otot.
Kelainan kelainan yang berkaitan dengan stres adalah penyakit jantung, tukak,
alergi, asma, ruam kulit, hipertensi (tekanan darah tinggi) dan kemungkinan
kanker. Stres juga dapat menyebabkan msalah psikologis, seperti stres kerja,
kecemasan, sikap masa bodoh, kelainan makan, dan penyalahgunaan alkohol
serta obat-obatan terlarang.
Status serum vitamin D tidak berpengaruh signifikan dengan gejala
stres kerja (α>0.05). hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Pan et al. (2009)
yang melakukan peneliitan di Beijing Utara dan Shanghai Selatan bahwa tidak
ada hubungan antara gejala depresi dengan konsentrasi serum 25 (OH)D pada
orang dewasa dan lanjut usia.
Vitamin D adalah hormon sekosteroid terstruktur diproduksi di kulit
setelah terpapar UVB-radiasi atau diperoleh dari produk makanan tertentu
(misalnya, hati) (Holick, 2007). Metabolit aktif vitamin D memainkan peranan
penting dalam homeostasis kalsium dan fosfat (Holick, 2007). Beberapa hasil
penelitian tebaru telah menyelidiki hubungan antara gejala stres (depresi
ringan) dengan status vitamin D. Tetapi hasil penelitian tesebut belum
konsisten ((Armstrong et al. 2007; Jorde et al. 2006; Schneider et al. 2000;
Wilkins et al, 2006). Hal tersebut bisa jadi disebabkan studi dilakukan pada
subjek minimal (n<100), tidak mengendalikan faktor perancu dan dilaksanakan
pada institusi sosial yang bersifat homogen (misalnya penderita skixofenia,
pecandu alkohol).
Tidak ditemukannya hubungan signifikan antara serum vitamin D
dengan gejala stres kerja, berbeda dengan hasil temuan Hoogendijk et al.
(2008) yang melaporkan adanya gejala depresi (dengan instrumen CES-D)
berkaitan dengan penurunan kadar serum 25(OH)D pada 1282 orang dewasa
tua berusia 65 – 95 tahun di beberapa daerah Belanda. Walaupun hasil tersebut
belum menyebutkan apakah ada perbedaan prevalensi penderita gejala stres
berdasarkan letak geografis subjeknya. Pada percobaan klinis, juga
menghasilkan hasil yang beragam terkait suplemen vitamin D dengan gejala
depresi ((Dumville et al. 2006; Jorde et al. 2008). Walaupun ada bukti biologis
yang cukup meyakinkan yang menunjukkan peran penting vitamin D dalam
perkembangan dan fungsi otak (McCann dan Ames, 2008). Pengaruh langsung
defisiensi vitamin D pada depresi pada manusia masih lemah.
32
6. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pekerja perempuan di pabrik garmen rata-rata berusia kategori muda
dan sebagian besar memiliki masa kerja belum lama. Rerata pendapatan per
bulan pekerja perempuan cukup tinggi. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh
(IMT), pada umumnya status gizi pekerja perempuan normal. Berdasarkan
status serum 25(OH)D, diperoleh lebih dari dua per tiga (90.2%) memiliki
serum vitamin D tidak normal terbagi menjadi 46.2% kategori defisiensi dan
44.6% kategori tidak cukup. Hanya 9.2% subjek yang memiliki kadar serum
vitamin D normal.
Berdasarkan analisis regresi linear berganda, penggunaan jilbab, lingkar
pinggang dan konsumsi susu berpengaruh signifikan terhadap status serum
vitamin D pada pekerja perempuan. Sedangkan gejala stres kerja dipengaruhi
secara signifikan oleh faktor pengeluaran non pangan. Status serum vitamin D
diketahui tidak berpengaruh signifikan terhadap timbulnya gejala stres kerja
pada pekerja perempuan usia subur.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang faktor risiko lain yang
diketahui mempengaruhi status serum vitamin D seperti aktifitas fisik,warna
kulit, pengaruh iklim, jenis kelamin dan genetik. Selain itu perlu dilakukan
program perbaikan gizi dan kesehatan terhadap pekerja perempuan dalam
menunjang produktivitas mereka, program suplementasi vitamin D atau
program senam di pagi hari. Rekomendasi program tersebut bisa dilaksanakan
pada semua instansi perkantoran baik di pemerintah maupun swasta, utamanya
yang memiliki karyawan lebih banyak bekerja dalam ruangan.
33
DAFTAR PUSTAKA
Anglin RES, Samaan Z, Walter SD, Mcdonald SD. 2013. Vitamin D
deficiency and depression in adults: systematic review and metaanalysis. The British Journal of Psychiatry 202,100-107.doi:
10.1192/bjp.bp.111.106666.
Arabi A, El Rassi R, Fuleihan GE. 2010. Hypovitaminosis D in developing
countries
–
prevalence,
risk
factors
and
outcomes.
Nat.Rev.Endocrinol.6.550-561. doi : 10.1038/nrendo.2010.146 .
Atmarita SF, Fallah T. 2004. Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta.
Baranowski T, Watson K, Missaghian M, Broadfoot A, Baranowski J, Cullen
K, Nicklas T, Fisher J, O’Donnell S. 2006. Parent outcome
expectancies for purchasing fruit and vegetables: a validation. Public
Health nutrition: 10(3):280-291.doi: 10.1017/S1368980007382499.
Bertone-Johnson ER.2009. Vitamin D and the occurrence of depression :
causal association or circumstantial evidence?.Nutrition Reviews
Vol.67(8): 481-492
Bender DA. 2003. Nutritional Biochemistry of the Vitamins: Cambridge
university press.
Bertone-Johnson ER, Powers SI, Spangler L, Brunner RL, Michael YL, Larson
JC, Millen AE, Bueche MN, Samoirago-Blotcher E, Liu S.et al. 2011.
Vitamin D intake from foods and suplements and depressive symptoms
in a diverse population of older women. Am J Clin Nutr;94:110412.doi: 10.3945/ajcn.111.017384.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Statistik Indonesia.
http://www.datastatistikindonesia.com/ . [21 Desember 2014].
Brug J, Debie S, van Assema P, Weijts W. 1995. Psychosocial determinants of
fruit and vegetable consumption among adults: Results of focus group
interviews. Food Qualily and Preference. 6 \:99-107.
Burgaz A, Orsini N, Larsson SC, Wolk A. 2011. Blood 25-hydroxyvitamin D
concentration and hypertension: a meta-analysis. Journal of
Hypertension 29(4): 636-645.
Cannell JJ, Hollis BW. 2008. Use of vitamin D in clinical practice. Alternative
Medicine Review 13(1).
Eyles DW, Smith S, Kinobe R, Hewison M, Mcgranth. 2005. Distribution of
the vitamin D receptor and 1 alpha-hydroxylase in human brain. J
Chem Neuroanat;29:21-30
Eyles DW, Feron F, Cui X, Kesby JP, Harms LH, Ko P, McGranth JJ, Burne
THJ. 2009. Developmental vitamin D deficiency causes abnormal
brain development. Psychoneuroendocrinology 34S,S247-S257. doi:
10.1016/j.psyneuen.2009.04.015.
Gallagher M. 2008. The nutrients and their metabolism in Krause’s Food &
Nutrition Therapy. Saunders: Philadelphia.
Goldsmith, E. B. 1996. Resource Management for Individuals and Families:
Management Stress and Fatigue. USA: West Publishing Company.
Gropper S, Groff J. 2009. Advanced Nutrition and Human Metabolism.
Canada: Wadsworth, Cengage Learning
34
Gropper SS, Smith JL. 2012. Advanced nutrition and human metabolism:
Cengage Learning
Forman JP, Giovannucci E, Holmes MD, Bischoff-Ferrari HA, Tworoger SS,
Willet, Walter C, Curhan, C G . 2007. Plasma 25 – hydroxyvitamin D
levels and risk of incident hypertension. Hypertension 49(5) : 1063 –
1069.
Hanwell H, Vieth R, Cole D, Scillitani A, Modoni S, Frusciante V, Ritrovato
G, Chiodini I, Minisola S, Carnevale V. 2010. Sun exposure
questionnaire predicts circulating 25-hydroxyvitamin D concentrations
in Caucasian hospital workers in Southern Italy. The Journal of Steroid
Biochemistry and Molecular Biology 121(1): 334-337.
Hekimsoy Z, Dinc G, Kafesciler S, Onur E, Guvenc Y, Pala T, Guclu F,
Ozmen B. 2010. Vitamin D status among adults in the Aegean region of
Turkey. BMC Public Health.10:782.
Hoang MT, Defina LF, Willis BL, Leonard DS, Weiner MF, Brown ES. 2011.
Association between low serum 25-Hydroxyvitamin D and depression
in a large sample of healthy adults: the cooper center longitudinal study.
Mayo Clin Proc;86(11):1050-1055.
Hoogendijk WJG, Lips P, Dik MG, Deeg DJH, Beekman ATF, Penninx
BWJH. 2008. Depression is associated with decreased 25Hydroxyvitamin D and increased parathyroid hormone levels in older
adults. Arch Gen Psychiatry;65(5):508-512.
Islam MZ, Shamim AA, Kemi V, Nevanlinna A, Akhtaruzzaman M,
Laaksonen M, Jehan AH, Jahan K, Khan HU, Lamberg –Allardt C.
2008. Vitamin D deficiency and low bone status in adult female
garment factory workers in Bangladesh. British Journal of Nutrition 99
(06): 1322-1329.
Islam MZ, Shamim AA, Viljakainen HT, Akhtaruzzaman M, Jehan AH, Khan
HU, Al-Arif FA, Lamberg –Allardt C. 2010. Effect of vitamin D,
Calsium and multiple micronutrient suplementation on vitamin D and
bone status in Bangladeshi premenopausal garment factory workers
with hypovitaminosis D: a double-blinded, randomised, placebocontrolled 1-year intervention. British Journal of Nutrition 104(02):
241 – 247.
Jacobson D, Mavrikiou PM, Minas C. 2010. Household size, income and
expenditure on food: The case of Cyprus. The Journal of
SocioEconomics.39: 319–328. doi:10.1016/j.socec.2009.12.009
Jaddou HY, Batieha AM, Khader YS, Kanaan SH, El-Khateeb MS, Ajlouni
KM. 2012. Depression is associated with low levels of 25hydroxyvitamin D among Jordanian adults: results from national
population survey. Eur Arch Psychiatry Clin Neurosci 262:321-327.
Doi:10.1007/s00406-011-0265-8.
Jago R, Baranowski T, Baranowski JC. 2007. Fruit and vegetable availability:
a micro environmental mediating variable?. Public Health Nutrition.
10(7): 681–689.doi: 10.1017/S1368980007441441
Ju SY, Lee YJ, Jeong SN. 2013. Serum 25-hydroxyvitamin D levels and the
risk of depression: A systematic review and meta-analysis. The Journal
of Nutrition,Health & Aging 17(5)
35
[Kemenskes] Kementerian Kesehatan. 2008. Laporan hasil riset kesehatan dasar
Indonesia Tahun 2007. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Klitzman S, House JS, Israel BA, Mero RP. 1990. Work stress, Nonwork
stress, and health. Journal of Behavioral Medicine,Vol.3,No.3.
Kostakis I. 2014. The determinants of households’ food consumption in
Greece. International Journal of Food and Agricultural Economics.
2(2) : 17-28
Koswara H. 2009. Pengaruh Stress Pekerjaan Terhadap Keberfungsian
Keluarga Pekerja di Kota Bandung [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Lapid MI, Cha SS, Takahashi PY. 2013. Vitamin D and depression in geriatric
primary care patients. Clinical Interventions in Aging: 8 509-514.
Lips P, Duong T, Oleksik A, Black D, Cummings S, Cox D, Nickelsen T.
2001. A global study of vitamin D status and parathyroid function in
postmenopausal women with osteoporosis: baseline data from the
multiple outcomes of raloxifene evaluation clinical trial. Journal of
Clinical Endocrinology & Metabolism 86(3): 1212-1221.
Maclellan DL, Gottschall-Pass K, Larsen R. 2004. Fruit and vegetable
consumption: benefits and barriers. Canadian Journal of Dietetic
Practice & Research. 65(3):101-5.
Madanijah S. 2004. Pola Konsumsi Pangan dalam Y.F. Baliwati, A. Khomsan
& C. M. Dwiriani. Pengantar Pangan dan Gizi (Hal 69-77). Jakarta:
Penebar Swadaya
McCubbin HI, Thompson AI. 1987. Family Assessment Inventory: Research
and Practice. Madison-Wiscousin: The University of WiscousinMadison.
McCubbin HI, McCubbin MA, Thompson AI, Han SY, Allen CT. 2001.
Family Under Stress: what makes them resilient. File://B:\Families
Under Stress What Makes Them Resillient.html
Mertens P, Muller R. 2010. Vitamin D and cardiovascular risk. International
Urology and Nephrology 42(1): 165-171.
Milaneschi Y, Shardell M, Corsi AM, Vazzana R, Bandinelli S, Guralnik JM,
Ferucci L. 2010. Serum 25-Hydroxyvitamin D and depression
symptoms in older women and men. J Clin Endocrinol Metab 95: 32253233.
Milaneschi Y, Hoogendijk W, Lips P, Heijboer AC, Schoevers R, van Hemert
AM, Beekman ATF, Smit JH, Penninx BWJH. 2013. The association
between low vitamin D and depressive disorders. Molecular
Psychiatry.doi: 10.1038/mp.2013.36.
Murray CJL, Lopez AD. 1997. Global mortality, disability, and the
contribution of risk factor: global burden of disease study. Lancet;
349:1436-42.
Norman AW. 1998. Sunlight, season, skin pigmentation, vitamin D, and 25hydroxyvitamin D: integral components of the vitamin D endocrine
system. The American Journal of Clinical Nutrition 67(6): 1108-1110.
Norman AW. 2008. A vitamin D nutritional cornucopia: new insights
concerning the serum 25-hydroxyvitamin D status of the US
36
population.
Am J Clin Nutr
88(6): 1455-1456.
doi:
10.3945/ajcn.2008.27049.
Novliadi F. 2007. Intensitas Turnover Ditinjau dari Budaya Perusahaan. Medan
(ID): USU Repository
Pfeifer M, Begerow B, Minne HW, Nachtigall D, Hansen C. 2001. Effects of a
Short-Term Vitamin D3 and Calcium Supplementation on Blood
Pressure and Parathyroid Hormone Levels in Elderly Women 1.
Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 86(4): 1633-1637.
Pilz S, Kienreich K, Stuckler D, Meinitzer A, Tomaschitz A. 2012.
Associations of sun exposure with 25-hydroxyvitamin D and
parathyroid hormone levels in a cohort of hypertensive patients: the
Graz Endocrine Causes of hypertension (GECOH) study. International
Journal of Endocrinology.
[Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Laporan Nasional. Jakarta (ID) :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan RI.
Ross AC, Manson JE, Abrams SA, Aloia JF, Brannon PM, Clinton SK, Durazo
Arvizu RA, Gallagher JC, Gallo RL, Jones G. 2011. The 2011 report on
dietary reference intakes for calcium and vitamin D from the Institute of
Medicine: what clinicians need to know. Journal of Clinical
Endocrinology &Metabolism 96(1):53-58.
Sapp SG, Jensen HH. 1997. Reliability and validity of nutrition knowledge and
diet-health awareness tests developed from the 1989-1991 diet and
health knowledge surveys. JNE. 29 : 63 – 72.
Setiati S. 2008. Vitamin D status among Indonesian elderly women living in
institutionalized care units. Population 40(2).
Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Stroud ML, Stilgoe S, Stott VE, Alhabian O, Salman K. 2008. Vitamin D-a
Review. Australian Family Physician 37(12): 1002 – 1005.
Upadhyay H, Pathania R. Consumer expenditure behavior in India: a case of
rural and urban consumer. International Journal of Business and
Management Invention. 2(2): 68 – 73.
Van Duyn MA, Pivonka E. 2000. Overview of the health benefits of fruit and
vegetable consumption for the dietetics professional: Selected literature
[review]. J Am Diet Assoc. 100:1511-1521
Yosephin B. 2014. Paparan sinar matahari dan suplementasi vitamin D-kalsium
serta pengaruhnya terhadap serum 25-hidroksivitamin D, tekanan darah
dan profil lipid pekerja perempuan usia subur[Disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Zittermann A, Frisch S, Berthold HK, Götting C, Kuhn J, Kleesiek K, Stehle P,
Koertke H, Koerfer R. 2009. Vitamin D supplementation enhances the
beneficial effects of weight loss on cardiovascular disease risk markers.
The American Journal of Clinical Nutrition 89(5): 1321-1327.
37
Lampiran 1 Kuesioner
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS
VITAMIN D DAN DAMPAKNYA TERHADAP GEJALA STRES
KERJA PADA PEKERJA PEREMPUAN USIA SUBUR
Kode Responden
: ________________________________________
Nama Lengkap
: ________________________________________
Alamat Rumah
: ________________________________________
________________________________________
No. Telepon/HP
: ________________________________________
Tanggal Pengisian
: ________________________________________
Nama Enumerator
: ________________________________________
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
38
A. DATA KARAKTERISTIK SOSIO-EKONOMI-DEMOGRAFI
1.
Tanggal Lahir
A11
Tanggal :____________
A12
Bulan : ______________
Umur
A13
A2
Tahun : ______________
2
3.
Suku
A3
4.
Status pernikahan
A4
_________________
1. Menikah
2. Janda
5.
Lama Pendidikan
A5
6.
Pendidikan (berdasarkan ijazah
terakhir)
A6
7.
A7
____________ orang
8.
Jumlah anggota keluarga yang
tinggal di rumah
Pendapatan ibu per bulan
A8
Rp. _________________________/bulan
9.
Pendapatan keluarga per bulan
A9
Rp. _________________________/bulan
10.
Pengeluaran pangan per bulan
A10
Rp. _________________________/bulan
11.
Pengeluaran nonpangan per bulan
A11
Rp. _________________________/bulan
B1
B2
B3
B11___________ tahun B12 ________ bulan
_______________ hari/minggu
________________ jam/hari
B4
B5
______________________
___________ km
B. RIWAYAT PEKERJAAN
1.
Lama bekerja di pabrik
2.
Jumlah hari kerja di garmen
3.
Lama waktu (jam) kerja di
garmen/hari
4.
Unit kerja
5.
Jarak dari tempat tinggal (rumah) ke
tempat kerja
________________ tahun
________________ tahun
1. SD
2. SMP
3. SMA
4. Diploma
5. Perguruan tinggi
6.
Lama waktu perjalanan dari tempat
tinggal (rumah) ke tempat kerja
B6
___________ menit
7.
Cara pergi kerja (yang paling sering)
B7
8.
Cara Pulang kerja (yang paling
sering)
B8
9.
Bila menggunakan sepeda motor,
apakah ibu menggunakan:
B91
B92
1. Jalan kaki
2. Motor
3. Angkot
4. Mobil Pribadi
1. Jalan kaki
2. Motor
3. Angkot
4. Mobil Pribadi
Sarung tangan:
1. Ya 2. Tidak
Jaket:
1. Ya 2. Tidak
39
C. PAPARAN SINAR MATAHARI, PENGGUNAAN SUNBLOCK &
KONSUMSI SUPLEMEN
1.
Apakah ibu selalu menggunakan kosmetik yang C1
1. Jarang
mengandung tabir surya (sunblock/SPF) ketika
2. Selalu
berada di luar ruangan?
3. Tidak pernah
2.
Sebutkan merk kosmetika apa yang ibu gunakan C21
Pelembab: __________________
(yang paling sering digunakan)?
Hand body: _________________
C22
C23
C3
3.
Menurut ibu apakah paparan sinar matahari itu
berdampak buruk bagi kesehatan?
4.
Dalam sehari kira-kira berapa lama kulit ibu C4
terpapar sinar matahari tanpa kosmetik?
Bagian tubuh mana yang paling sering terkena C51
C52
sinar matahari (sebutkan, bisa lebih dari satu)
C53
5.
6.
7.
8.
Apakah ibu selalu menggunakan jilbab sehari- C6
hari?
Warna jilbab yang sering digunakan:
C7
Bedak: _____________________
1. Ya
2. Tidak
__________ menit
Wajah: 1. Ya 2. Tidak
Tangan: 1. Ya 2. Tidak
Kaki:
1. Ya 2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
1. Gelap (hitam, biru dongker,
abu-abu)
2. Cerah
9.
Selain pakaian seragam, bahan pakaian yang C8
sering ibu gunakan terbuat dari (katun,
polyester, jeans, dll)?
Apakah Ibu biasa minum suplemen?
C9
10.
Frekuensi minum suplemen per minggu
C10
___________ kali/minggu
11.
Jumlah suplemen yang dikonsumsi per kali
minum
C11
___________ tablet/kapsul
___________________________
1. Ya, C9L Sebutkan merk:
________________________
2. Tidak
40
D. FREKUENSI KONSUMSI PANGAN (FFQ) DALAM SATU BULAN
TERAKHIR
D1
D2
D3
D4
D5
Frekuensi Pangan (Kali per)1)
No.
Jenis Pangan
Hari Minggu Bulan Tahun
1. IKAN SEGAR
1. Sardin
2. Udang
3. Ikan kembung
4. Tuna
2. IKAN AIR TAWAR (Lele)
3. DAGING (Daging Sapi)
4. JEROAN (Hati Sapi)
5. DAGING OLAHAN (Sosis)
6. TELUR
1. Telur ayam
2. Telur puyuh
7. PRODUK SUSU
1. Yoghurt
2. Susu
3. Es krim
4. Susu kedelai
5. Susu skim
6. Keju
8. BUAH
1. Jeruk
2. Pisang
3. Pepaya
4. Jambu biji
9. SAYUR
1. Jamur
2. Buncis
3. Kacang panjang
4. Brokoli
5. Bayam
6. Kangkung
10. MENTEGA/MARGARINE
1. Mentega
2. Margarine
Keterangan: 1) = Pilih salah satu
41
E.
PENGUKURAN STRESS PEKERJAAN
Nama Lengkap
: __________________________________
No Responden
: __________________________________
E1
Jawaban
No
Pertanyaan
1
Bagaimana kondisi
lingkungan fisik tempat ibu
bekerja, seperti luas
ruangan, pertukaran udara,
pencahayaan , kebersihan,
dll ?
2
Bagaimana beban tugas
pekerjaan yang harus ibu
laksanakan
3
Bagaimana hubungan ibu
dengan pimpinan?
4
Bagaimana kondisi
keuangan (pendapatan dan
pengeluaran) ibu (dalam
setahun terakhir)?
5
Bagaimana beban tuntutan
sekolah anak ibu
Keterangan :
Nilai 5 – 10 : stres berat
Nilai 11 – 15 : stres sedang
Nilai 16 – 20 : stes ringan
Nilai > 20 : tidak stres
Membuat saya
sangat tertekan
(nilai 1)
Membuat saya
tertekan
(nilai 2)
Membuat
saya agak
tertekan
(nilai 3)
Tidak
membuat
saya
tertekan
(nilai 4)
42
Lampiran 2 Ringkasan analisis data
Faktor – faktor yang berhubungan dengan status serum vitamin D (Y1)
Variable
Β
Intercept
-15.161
-0.044
Umur
Lama pendidikan
0.315
Pendapatan ibu per bulan
-9.965
Paparan UVB
0.008
Penggunaan jilbab
3.337
Konsumsi suplemen
-0.271
Lingkar perut
0.221
Lemak viseral
-0.807
Persen lemak tubuh
0.522
IMT
0.372
0.075
Ikan segar
0.010
Ikan air tawar (lele)
-0.050
Daging (daging sapi)
0.436
Jeroan (hati sapi)
-0.099
Daging olahan (sosis)
0.029
Telur
Produk susu
-0.090
Buah
-0.195
Sayur
0.164
Mentega/margarin
-0.049
Adjusted R Square
F (p)
Keterangan: *signifikan pada p<0.05
T
-0.908
0.318
1.156
-0.062
0.209
2.632
-0.203
2.061
-0.831
2.238
0.453
0.208
0.034
-0.427
-1.284
-0.663
0.771
-2.157
-1.334
0.902
0.519
Sig
0.369
0.752
0.254
0.951
0.836
0.012*
0.840
0.044*
0.410
0.029*
0.653
0.836
0.973
0.671
0.206
0.511
0.445
0.035*
0.189
0.372
0.606
43
Lampiran 2 Ringkasan analisis data (lanjutan)
Data stres
The REG Procedure
Model: MODEL1
Dependent Variable: J_TOTAL5 skor depresi
Number of Observations Read
Number of Observations Used
65
65
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
60
64
45.60965
273.83651
319.44615
11.40241
4.56394
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
2.13634
17.70769
12.06447
R-Square
Adj R-Sq
F Value
Pr > F
2.50
0.0520
0.1428
0.0856
Parameter Estimates
Variable
Label
Intercept
A2
A11_A
VD
LILA
Intercept
umur
pengeluaran nonpangan/bulan
VD
lingkar perut (cm)
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
t Value
Pr > |t|
1
1
1
1
1
21.43121
0.05980
-6.99145E-7
-0.07290
-0.04162
2.80960
0.05483
2.916378E-7
0.06458
0.03881
7.63
1.09
-2.40
-1.13
-1.07
<.0001
0.2798
0.0196
0.2634
0.2879
Pearson Partial Correlation Coefficients, N = 65
Prob > |r| under H0: Partial Rho=0
J_TOTAL5
skor depresi
A11_A
pengeluaran nonpangan/bulan
J_TOTAL5
A11_A
1.00000
-0.29565
0.0196
-0.29565
0.0196
1.00000
44
Lampiran 3 Naskah penjelasan peneliti untuk mendapat informed consent dari
subjek penelitian
JUDUL PENELITIAN
INSTANSI PELAKSANA
: FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN STATUS
VITAMIN D DAN DAMPAKNYA
TERHADAP GEJALA STRES KERJA
PADA PEKERJA PUS
: DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT,
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA, IPB
PENJELASAN SEBELUM PERSETUJUAN
Bapak/Ibu Yth,
Kami adalah mahasiswa pascasarjana Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, IPB akan melakukan kegiatan penelitian mengenai
” Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Status Vitamin D dan Dampaknya
Terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja PUS”.
Pekerja usia subur di industri garmen PT Gunung Salak Cicurug,
Sukabumi merupakan salah satu kelompok produktif dalam masyarakat yang
rentan terkena kekurangan vitamin D. Hal ini disebabkan karena pekerja
melakukan kegiatan dalam ruangan, cara berpakaian yang menutupi seluruh
tubuh dan wajah, sering menggunakan tabir surya, serta perilaku menghindari
sinar matahari. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi status vitamin D pada pekerja perempuan
usia subur.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan
dalam melaksanakan program peningkatan kualitas sumberdaya manusia
(SDM) baik oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan yang banyak
mempekerjakan WUS sehingga dapat membantu mengatasi masalah defisiensi
vitamin D yang dihadapi pekerja WUS di perusahaan.
Oleh karena itu, kami mengundang Ibu untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini.
Tujuan penelitian
Menganalisis prevalensi defisiensi vitamin D dan faktor-faktor yang
mempengaruhi defisiensi vitamin D pekerja WUS.
Perlakuan/hal-hal yang akan dialami peserta
Penelitian ini akan dilakukan dengan mengumpulkan data melalui:
Wawancara
- Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data tentang karakteristik sosial
45
ekonomi rumahtangga, riwayat kesehatan, konsumsi pangan dan suplemen,
serta penggunaan sunblock. Data yang dikumpulkan akan diperlakukan
secara rahasia sehingga tidak merugikan subjek.
Pengukuran
- Berat badan, tinggi badan, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh diukur
oleh sarjana gizi yang sudah terlatih.
- Serum Vitamin D dikumpulkan oleh tenaga laboratorium terakreditasi di
bawah pengawasan dokter medis.
Manfaat bagi peserta
Bila Ibu menjadi peserta kegiatan ini, maka akan mendapatkan manfaat
yaitu tambahan informasi mengenai status gizi dan status serum Vitamin D.
Risiko yang mungkin timbul
Risiko yang mungkin timbul minimal seperti pengambilan darah pada
umumnya. Risiko tersebut meliputi adanya hematome/memar pada tempat
pengambilan darah yang akan hilang tanpa pengobatan selama 3-7 hari. Risiko
lain juga dimungkinkan terjadi infeksi pada luka tusukan, namun hal ini dapat
dihindari dengan penanganan oleh tenaga profesional yang berpengalaman dan
penggunaan peralatan steril dan sekali pakai (disposable).
Kerahasiaan data
Data yang diperoleh dari kegiatan ini akan diperlakukan secara rahasia,
hanya peneliti yang bertanggungjawab atas kegiatan ini yang dapat
memperoleh dan menggunakan informasi yang didapatkan dari kegiatan ini.
Hak untuk menolak atau menarik diri dari kegiatan
Ibu dapat menolak untuk berpartisipasi dari kegiatan ini dan
mempunyai hak mengundurkan diri setiap saat bila dirasakan ada hal-hal yang
kurang berkenan bagi Ibu tanpa ada sanksi apapun dari kami.
Insentif yang diberikan
Peserta akan diberikan uang sebesar Rp 50.000 setelah wawancara dan
Rp. 50.000 dan snack setelah pengambilan sampel darah.
Peneliti yang dapat dihubungi
Bila ada hal-hal yang ingin ditanyakan dan timbul masalah setelah
pengambilan sampel darah terkait penelitian ini, Ibu dapat menghubungi ketua
peneliti sekaligus penanggungjawab, yaitu Dr. Betty Yosephin, di nomor:
0852-732-86-858 atau 0857-5833-9363.
Atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.
46
Lampiran 4 Surat Persetujuan untuk Penelitian (Informed consent)
INFORMED CONSENT
Judul penelitian: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin
D dan Dampaknya terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja PUS”
Bersama ini, kami yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: .........................................................................................
Tanggal lahir/umur
: ......................................................... /..................... tahun
Alamat
: ...........................................................................................
...........................................................................................
...........................................................................................
...........................................................................................
Telpon/HP
: ...........................................................................................
Telah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian: ” Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan Status Vitamin D dan Dampaknya terhadap
Gejala Stres Kerja pada Pekerja PUS” dan setuju untuk ikut serta dalam
penelitian ini, dengan catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam
bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan persetujuan ini.
Sukabumi,................2015
Menyaksikan,
Yang menyetujui:
(...................................)
(...................................)
47
Lampiran 5 Penjelasan Rinci Tentang Tata Cara Pengukuran Status Gizi
1. PENGUKURAN BERAT BADAN
Pengukuran berat badan (kg) ditujukan untuk mendapatkan data berat badan
sampel untuk menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) agar dapat diketahui
status gizinya.
SASARAN:
Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 18-40 tahun.
ALAT:
Timbangan berat badan digital dengan kapasitas 200 kg dan ketelitian 0,1 kg;
menggunakan baterai alkaline.
PERSIAPAN:
1. Ambil timbangan dari kotak karton dan keluarkan dari bungkus plastiknya.
2. Pasang baterai pada bagian bawah alat timbang (PERHATIKAN POSISI
BATERAI).
3. Perhatikan 4 (empat) kaki timbangan pada bagian bawah alat timbang
harus lengkap (KAKI TIMBANGAN HARUS TERPASANG DAN
TIDAK BOLEH HILANG).
4. Letakan alat timbang pada lantai yang datar.
5. Sampel yang akan ditimbang diminta membuka alas kaki dan jaket serta
mengeluarkan isi kantong yang berat seperti kunci.
PROSEDUR PENIMBANGAN SAMPEL:
1. Aktifkan alat timbang dengan cara menekan TOMBOL ON, dan tunggu
sampai muncul angka 0,00 dan timbangan siap digunakan.
2. Sampel diminta naik ke alat timbang dengan posisi kaki tepat di tengah alat
timbang tetapi tidak menutupi jendela baca.
3. Perhatikan posisi kaki sampel tepat di tengah alat timbang, sikap tenang
(JANGAN BERGERAK-GERAK) dan kepala tidak menunduk
(memandang lurus kedepan).
4. Angka di kaca jendela alat timbang akan muncul, dan tunggu sampai angka
tidak berubah (STATIS).
5. Catat angka yang terakhir dan isikan pada kolom berat badan (kg) pada
kuesioner.
6. Minta sampel turun dari alat timbang.
48
7. Alat timbang akan OFF secara otomatis.
Untuk menimbang sampel berikutnya, ulangi prosedur 1 s/d 7. Demikian pula
untuk sampel berikutnya.
2. PENGUKURAN TINGGI BADAN
Pengukuran tinggi badan (cm) ditujukan untuk mendapatkan data tinggi badan
sampel untuk menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) agar dapat diketahui
status gizinya.
SASARAN:
Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 18-40 tahun
ALAT:
Pengukur tinggi badan: MICROTOISE dengan kapasitas ukur 2 meter dan
ketelitian 0,1 cm.
PERSIAPAN (CARA MEMASANG MICROTOISE):
1. Gantungkan bandul benang untuk membantu memasang microtoise di
dinding agar tegak lurus.
2. Letakan alat pengukur di lantai yang DATAR tidak jauh dari bandul
tersebut dan menempel pada dinding. Dinding jangan ada lekukan atau
tonjolan (rata).
3. Tarik papan penggeser tegak lurus ke atas, sejajar dengan benang
berbandul yang tergantung dan tarik sampai angka pada jendela baca
menunjukkan angka 0 (NOL). Kemudian dipaku atau direkat dengan
lakban pada bagian atas microtoise.
4. Untuk menghindari terjadi perubahan posisi pita, beri lagi perekat pada
posisi sekitar 10 cm dari bagian atas microtoise.
PROSEDUR PENGUKURAN TINGGI BADAN:
1. Minta sampel melepaskan alas kaki (sandal/sepatu), topi (penutup kepala).
2. Pastikan alat geser berada di posisi atas.
3. Reponden diminta berdiri tegak, persis di bawah alat geser.
4. Posisi kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat dan tumit
menempel pada dinding tempat microtoise dipasang.
5. Pandangan lurus ke depan, dan tangan dalam posisi tergantung bebas.
6. Gerakkan alat geser sampai menyentuh bagian atas kepala sampel. Pastikan
alat geser berada tepat di tengah kepala sampel. Dalam keadaan ini bagian
belakang alat geser harus tetap menempel pada dinding.
7. Baca angka tinggi badan pada jendela baca ke arah angka yang lebih besar
49
(ke bawah). Pembacaan dilakukan tepat di depan angka (skala) pada garis
merah, sejajar dengan mata petugas.
8. Apabila pengukur lebih rendah dari yang diukur, pengukur harus berdiri di
atas bangku agar hasil pembacaannya benar.
9. Pencatatan dilakukan dengan ketelitian sampai satu angka di belakang
koma (0,1 cm). Contoh 157,3 cm; 160,0 cm; 163,9 cm. Isikan pada kolom
Tinggi Badan pada kuesioner.
10. Untuk mengukur tinggi badan sampel berikutnya, ulangi prosedur 1 s/d 9.
Demikian pula untuk sampel berikutnya.
3. PENGUKURAN LINGKAR PERUT
Pengukuran lingkar perut ditujukan untuk mengetahui ada tidaknya obesitas
sentral.
SASARAN:
Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 18-40 tahun
ALAT:
- Pengukur lingkar perut dengan meteran kain dengan kapasitas 150 cm,
ketelitian 0.1 cm. dan spidol
PERSIAPAN:
Memberikan penjelasan pada sampel tujuan dari pengukuran lingkar perut dan
tindakan apa saja yang akan dilakukan dalam pengukuran
PROSEDUR PENGUKURAN LINGKAR PERUT:
1. Minta sampel untuk membuka pakaian bagian atas atau menyingkap
pakaian bagian atas. Jika sampel tidak mau maka, boleh menggunakan
pakaian yang sangat tipis (kain nilon, silk, dll)
2. Raba tulang rusuk terakhir sampel untuk menetapkan titik pengukuran.
3. Tetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah
4. Tetapkan titik tengah di antara titik tulang rusuk terakhir dengan titik ujung
lengkung tulang pangkal paha/panggul dan tandai titik tengah tersebut
dengan alat tuli.
5. Sampel diminta untuk berdiri tegak dan bernapas dengan normal (ekspirasi
normal)
6. Lakukan pengukuran lingkar perut dengan dimulai/diambil dari titik tengah
kemudian secara sejajar horizontal melingkari pinggang dan perut kembali
menuju titik tengah diawal pengukuran.
7. Jika sampel memliki perut yang besar/gendut ke bawah, pengukuran
50
mengambil bagian yang paling buncit lalu berakhir pada titik tengah
tersebut lagi.
8. Pita pengulur tidak boleh melipat dan ukur lingkar pinggang/perut
mendekati angka 0.1 cm.
4. PENGUKURAN KOMPOSISI LEMAK TUBUH
Pengukuran komposisi lemak tubuh dimaksudkan untuk mengetahui komposisi
lemak dalam tubuh.
SASARAN :
Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 18-40 tahun
ALAT :
- Komposisi lemak tubuh dengan Bioelectrical Impedence Analysis (BIA)
monitor.
PROSEDUR PENGUKURAN LEMAK TUBUH :
1. Pastikan alat BIA berada di posisi yang benar, layar menghadap pada
sampel.
2. Masukkan data berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, dan usia sampel
pada BIA
3. Reponden diminta berdiri tegak dengan kaki agak terpisah/renggang.
4. Tangan memegang pegangan elektroda BIA. Bungkus jari tengah di sekitar
alur dalam menangani. Telapak tangan berada di atas dan bawah elektroda.
Letakkan thumps up bersandar pada unit.
5. Pegang lurus ke arah sudut 90 derajat ke tubuh anda. Jangan bergerak
selama pengukuran.
6. Konfirmasi siap untuk mengukur layar. The ready indikator akan menyala
7. Unit secara otomatis mendeteksi dimulainya pengukuran.
8. Penilaian persentase lemak tubuh akan muncul dan penilaian BMI akan
muncul setelahnya.
9. Baca angka komposisi lemak pada jendela baca BIA.
10. Catat angka yang muncul dilayar.
Untuk mengukur komposisi lemak sampel berikutnya, ulangi prosedur 1 s/d 6.
Demikian pula untuk sampel berikutnya.
51
Lampiran 6 Prosedur Pengambilan Serum Vitamin D
PENJELASAN RINCI TENTANG TATA CARA
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH SERTA TUJUANNYA
_______________________________________________________________
Tujuan
Pengambilan darah dilakukan untuk mengukur konsentrasi serum 25(OH)D
dalam darah sampel.
Tata Cara Pengambilan Sampel Darah
1. Pengambilan darah dilakukan di tempat pemeriksaan yang telah ditentukan.
2. Pengambilan darah sampel dilakukan sekitar pukul 08.00 – 12.00. Tim
medik/paramedik sudah siap di tempat sebelum kegiatan dilaksanakan.
Sampel diminta datang 30 menit sebelum waktu pemeriksaan.
3. Sampel diminta untuk duduk dengan posisi tegak dengan posisi senyaman
mungkin. Letakkan salah satu tangan di atas meja dan diluruskan, pilih
lengan yang banyak melakukan aktivitas atau lengan dengan pembuluh
vena teraba/kelihatan.
4. Tahapan yang dilakukan paramedik saat mengambil darah adalah
menggunakan alat dan bahan sebagai berikut: kapas, alkohol 70%, tabung
darah, spuit dengan jarum G23, air untuk cuci tangan setelah selesai
pengambilan darah, sabun cuci dan lap bersih.
5. Darah diambil sebanyak 5 ml dari vena mediana cubiti dan langsung
dilakukan pemisahan serum. Pengukuran konsentrasi serum 25(OH)D
menggunakan metode
Chemiluminiscence (CLIA).
6. Setelah selesai, bagian lengan bekas pengambilan darah ditutup dengan
kapas beralkohol dan plester.
7. Kepada sampel yang diambil darahnya, diinformasikan bila ada sesuatu
yang diduga akibat pengambilan darah (misalnya pusing, pingsan dan lainlain) akan segera mendapatkan pengobatan dari paramedik.
8. Setelah dilakukan pengambilan darah, sampel akan diberikan sarapan
berupa roti atau snack dan minuman.
52
Lampiran 7 Ethical Clearence
53
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah bungsu dari enam bersaudara keluarga Bapak Haji Mangkala
dan Ibu Mari yang dilahirkan di Jeneponto, 13 Agustus 1989. Penulis melewati masa
pendidikannya mulai dari TK sampai SMA di Kabupaten yang sama di Jeneponto.
Tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin, Kota Makassar. Tahun 2010 penulis
menamatkan pendidikan strata satu sebagai sarjana kesehatan masyarakat (S.KM).
Setelah lulus sarjana, penulis pernah bekerja sebagai Program Director di
salah satu radio swasta di Kota Makassar. September 2011 sampai Maret 2013,
penulis mengikuti program Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa. Tahun 2013,
penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana di Departemen Ilmu Gizi
Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah,
penulis juga pernah mengajar di Pondok Pesantren Husnayain, Sukabumi (Januari –
Juni 2014) dan Home Schooling Keluarga Muslim (September 2014 – Februari 2015).
September 2014, Penulis pernah meraih juara 3 lomba menulis Essay bertemakan
“Bangga Menjadi Indonesia” yang diadakan oleh Metro TV Road to Campus. Selain
mengikuti perkuliahan formal, penulis juga aktif sebagai pengurus Forum Mahasiswa
Pascasarjana (RUMANA) IPB asal Sulawesi Selatan.
Selama mengikuti pendidikan
program magister, penulis pernah
berpartisipasi sebagai Oral Presenter pada International Conference on Quality
Improvement and Development of Food Product (QID-Food 2015), dengan judul
makalah “Vitamin D status among Women Workers at Textile Factory” yang
diadakan pada tanggal 18 April 2015, di Kota Bukittinggi – Sumatera Barat. Sebuah
artikel berjudul “Hubungan paparan sinar matahari dan status gizi terhadap status gizi
pekerja perempuan” telah diterima dan sedang proses review pada jurnal Media
Kesehatan Masyarakat Indonesia Universitas Hasanuddin (terakreditasi DIKTI).
Download