FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS VITAMIN D SERTA DAMPAKNYA TERHADAP GEJALA STRES KERJA PADA PEKERJA PEREMPUAN USIA SUBUR ANWAR LUBIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul faktor – faktor yang berhubungan dengan status vitamin D serta dampaknya terhadap gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Anwar Lubis NIM I151130161 RINGKASAN ANWAR LUBIS. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D serta Dampaknya terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja Perempuan Usia Subur. Dibimbing oleh DADANG SUKANDAR dan ALI KHOMSAN Vitamin D diduga berhubungan dengan menurunnya kemampuan kognitif dan kesehatan mental. Dugaannya adalah hipovitaminosis D mampu memperbesar terjadinya stres kerja. Penelitian – penelitian pada manusia memperlihatkan adanya Vitamin D Reseptor (VDR) dan 1α-hidroksilase mengkatalisis sintesa 1,25 – dihidroksivitamin D (kalsitriol, bentuk bioaktif vitamin D) dalam struktur otak seperti korteks prefrontal, amygdala dan hipocampus. Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi status vitamin D dan dampaknya terhadap gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) Mengidentifikasi karakteristik pekerja perempuan; 2) Menilai status gizi dan pola konsumsi pangan pekerja perempuan; 3) Menganalisis faktor – faktor yang berhubungan dengan status vitamin D dan gejala stres pekerja perempuan. Desain yang digunakan pada penelitian adalah penelitian survei. Penelitian ini telah mendapatkan Persetujuan Etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro No. 11/EC/FKM/2015. Total subjek penelitian 65 wanita usia subur yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang dikumpulkan adalah data primer, diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran analisis biokimia darah. Analisis data tahap awal adalah analisis diskriptif terhadap beberapa parameter diantaranya karakteristik sosio ekonomi demografi subjek (umur, pendapatan, pengeluaran jumlah anggota keluarga). analisis diskriptif juga dilakukan pada faktor – faktor yang mempengaruhi status vitamin D (paparan sinar matahari, penggunaan jilbab, penggunaan tabir surya, dan konsumsi pangan sumber vitamin D), variabel serum vitamin D dan gejala stres kerja. Model regresi linear berganda digunakan untuk analisis faktor – faktor yang berhubungan dengan status serum vitamin D dan faktor – faktor yang berhubungan dengan gejala stres kerja. Penelitian ini menunjukkan bahwa rata – rata pekerja berumur 29.7 tahun. hampir separuh subjek tingkat pendidikannya hanya lulusan sekolah dasar (40.0%), dengan rata – rata lama pendidikan 8.5 tahun. pabila dilihat pada kategori status pernikahan, sebagian besar subjek statusnya menikah (80.0%) dan sebagian kecil (20.0%) subjek status cerai. pada umumnya pekerja WUS memiliki keluarga yang kecil (66.2%). pengeluaran non pangan subjek lebih besar (61.6%) daripada pengeluaran pangan (38.4%) dengan rata – rata pengeluaran sebesar Rp 2 921 600 per bulan dengan standar deviasi Rp 796 150. Berdasarkan status gizi, Rata rata lingkar pinggang subjek 78.8 cm yang menunjukkan bahwa sebagian besar subjek tergolong dalam status gizi normal. Menurut komposisi lemak tubuh (%LT), sebagian besar subjek (81.5%) memiliki komposisi lemak tubuh sedang dan sebagian kecil (18.5%) memiliki komposisi lemak tubuh lebih. Berdasarkan lemak viseral, sebagian besar subjek (89.2%) memilik lemak viseral kurang dari 10 dan hanya sedikit dari subjek (10.2%) yang lebih dari 10. berdasarkan IMT, lebih dari separuh subjek tergolong normal (69.2%) dan overweight (20.0%). Berdasarkan gaya hidup, sebagian besar subjek terpapar sinar matahari kurang dari 30 menit (76.9%), rata-rata subjek terpapar hanya 17.7 menit dengan simpangan baku 15.3 menit. Berdasarkan penggunaan sunblock (tabir surya) sebagian besar subjek selalu menggunakan Sunblock ( 80%) dan hanya 7% subjek yang tidak pernah menggunakan sunblock. Berdasarkan penggunaan jilbab lebih dari separuh (66.2%) pekerja perempuan menggunakan jilbab setiap hari kerja. Pekerja perempuan di pabrik garmen berusia muda dan sebagian besar memiliki masa kerja belum lama. Rata-rata pendapatan per bulan pekerja perempuan cukup tinggi. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), pada umumnya status gizi pekerja perempuan normal. Berdasarkan status serum 25(OH)D, diperoleh lebih dari dua per tiga (90.2%) memiliki serum vitamin D tidak normal terbagi menjadi 46.2% kategori defisiensi dan 44.6% kategori tidak cukup. Hanya 9.2% subjek yang memiliki kadar serum vitamin D normal. Berdasarkan analisis regresi linear berganda, penggunaan jilbab, lingkar pinggang dan konsumsi susu berpengaruh signifikan (R2=0.623) terhadap status serum vitamin D pada pekerja perempuan. Sedangkan gejala stres kerja dipengaruhi secara signifikan oleh faktor pengeluaran non pangan. Status serum vitamin D diketahui tidak berpengaruh signifikan terhadap timbulnya gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur. Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang faktor risiko lain yang diketahui mempengaruhi status serum vitamin D seperti aktifitas fisik,warna kulit, pengaruh iklim, jenis kelamin dan genetik. Selain itu perlu dilakukan program perbaikan gizi dan kesehatan terhadap pekerja perempuan dalam menunjang produktivitas mereka, program suplementasi vitamin D atau program senam di pagi hari. Rekomendasi program tersebut bisa dilaksanakan pada semua instansi perkantoran baik di pemerintah maupun swasta, utamanya yang memiliki karyawan lebih banyak bekerja dalam ruangan. Kata kunci: paparan sinar matahari, pekerja perempuan usia subur, vitamin D, stres kerja SUMMARY ANWAR LUBIS. Factors Related To The Status of Vitamin D and Impact on Work Stress Symptoms in Working Female Of Childbearing Age. Supervised by DADANG SUKANDAR and ALI KHOMSAN. Vitamin D allegedly associated with decreased cognitive abilities and mental health. Expectations were capability of hipovitaminosis D to enlarge the work stress. Research - human studies showed that Vitamin D Receptor (VDR) and 1αhydroxylase catalyzed the synthesis of 1,25 - dihydroxyvitamin D (calcitriol, bioactive form of vitamin D) in the structure of the brain such as the prefrontal cortex, amygdala and hipocampus. In general, this study aimed to analyze factors affecting the status of vitamin D and the impact against the symptoms of job stress in women workers of childbearing age . Specifically, this study aimed : 1) To identify the characteristics of women workers ; 2) Assessing nutritional status and food consumption patterns of women workers ; 3) Analyze the factors related to vitamin D status and symptoms of stress working women of childbearing age . The design used in the study was a survey study. This study has gained approval from the Ethics Committee of Health Research Ethics School of Public Health, University of Diponegoro No. 11 / EC / FKM / 2015. A total of research was 65 subjects female of childbearing age who met the inclusion criteria. The data collected was of primary data, obtained using a questionnaire and measurement of the biochemical analysis of blood. Early stages of data analysis is descriptive analysis on several parameters including characteristics of subjects (age, income, expenditure number of family members). Descriptive analysis was also conducted on the factors - factors that affected vitamin D status (exposure to sunlight, the use of the veil, use sunscreen, and consumption of food sources of vitamin D), serum vitamin D variables and symptoms of job stress. Multiple linear regression model was used for analysis of factors associated with serum vitamin D status and factors associated with symptoms of job stress. This study showed the average 29.7 years old women workers. almost half the level of education subject was only primary school graduates (40.0%), with the average - average study period of 8.5 years. Sovereign, when seen in the categories of marital status, most of the subjects status were married (80.0%) and a small proportion (20.0%) subjects was divorce status. women workers generally had a small family (66.2%). non-food expenditures subject was larger (61.6%) than food expenditure (38.4%) with the average expenditure of Rp 2 9216 million per month with a standard deviation of Rp 796 150. Based on nutritional status, waist circumference Average 78.8 cm subjects which showed that the majority of subjects classified in the normal nutritional status. According to the composition of body fat (%BF), the majority of subjects (81.5%) had moderate body fat composition and a fraction (18.5%) had more body fat composition. Based on visceral fat, the majority of subjects (89.2%) having an visceral fat is was less than 10 and only a few of the subjects (10.2%) were more than 10 based on BMI, more than half of the subjects classified as normal (69.2%) and overweight (20.0%), Based on the lifestyle, the majority of subjects exposed to the sun was for less than 30 minutes (76.9%), the average subjects exposed were only 17.7 minutes with a standard deviation of 15.3 minutes. Based on the use of sunblock (sunblock) largely subject always used Sunblock (80%) and only 7% of the subjects who never used sunblock. Based on the use of the hijab was more than half the women wear veils workers every weekday (66.2%). Women workers in the garment factory had a mean age - average 29.7 years and most had a work of service ≤ 5 years . The average monthly income of female workers was 1974 700 IDR. Based on Body Mass Index (BMI), was generally normal nutritional status of women workers . Based on the status of serum 25 (OH) D , obtained more than two -thirds (90.2%) had normal serum vitamin D with categories deficiencies 46.2 % and 44.6 % category were not enough. Only 9.2 % of the subjects was who had normal vitamin D serum levels . Based on the multiple linear regression analysis , the use of the veil , waist circumference and milk consumption significantly influenced serum vitamin D status on women workers. While work stress symptoms significantly influenced by factors non-food expenditures . Serum vitamin D status was known no significant effect on the onset of symptoms of job stress in women of childbearing age workers Keywords: sun exposure, working female of childbearing age, vitamin D, work stress © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS VITAMIN D SERTA DAMPAKNYA TERHADAP GEJALA STRES KERJA PADA PEKERJA PEREMPUAN USIA SUBUR ANWAR LUBIS Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Faisal Anwar,MS PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang akan dilaksanakan sejak Januari hingga April 2015 adalah “Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D serta Dampaknya terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja Perempuan Usia Subur”. Ucapan terima kasih dengan penuh hormat penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc sebagai ketua komisi pembimbing yang selalu bersedia berdiskusi dan memberikan solusi pada setiap masalah yang penulis hadapi. Terima kasih dan penuh hormat penulis haturkan kepada Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku anggota komisi pembimbing yang senantiasa membimbing, memberikan saran, masukan, dan arahannya kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Penulis sampaikan terimakasih juga kepada Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Neys-van Hoogstraten Foundation-The Netherland, selaku pemberi dana penelitian ini. Terima kasih sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada Bapak/Ibu dosen Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat FEMA IPB, yang telah bersabar dan ikhlas berbagi ilmu dan inspirasi selama penulis menuntut ilmu di Kampus IPB, tidak lupa kepada staf dan pengelola yang telah membantu dan memberikan layanan optimal selama penulis menjadi mahasiswa. Ungkapan terima kasih dengan penuh kebanggaan penulis haturkan kepada teman – teman seperjuangan Pasca GMS 2013, atas kebaikan ketulusan dan dukungannya selama penulis menimba ilmu di IPB.Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman Mahasiswa Pascasarjana asal Sulawesi Selatan (RUMANA IPB), atas kebersamaan selama di bogor. Terima kasih telah menjadi saudara “sedaerah” yang selalu menghadirkan keceriaan dan obat rindu penulis ketika kangen rumah di kampung. Terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada bapak dan ibu saya tercinta atas, doa, perhatian tulus, kasih sayang dan dukungan moril materil yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan jenjang pendidikan magister. Semoga ini menjadi bagian dari kebanggaan harapan bapak ibu yang di ijabah lewat saya. Aamiin. Penulis sangat menyadari tesis ini masih belum sempurna, saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2015 Anwar Lubis DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan umum Tujuan khusus Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA Vitamin D Mekanisme Aktivitas Vitamin D Penilaian Status Vitamin D Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres kerja 3. KERANGKA PEMIKIRAN 4. METODE Desain, Lokasi, dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek Teknik Pengumpulan Data Pengukuran Serum Vitamin D Pengukuran Gejala Stres kerja Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Subjek Karakterstik berdasarkan Status Gizi Gaya Hidup yang Berhubungan dengan Status Vitamin D Pola Konsumsi Pangan Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D Gejala Stres Kerja Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres Kerja 6. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP i ii ii 1 1 3 3 3 3 3 3 4 4 5 6 7 10 13 13 13 13 14 14 16 17 18 18 20 22 24 25 29 29 32 32 33 53 ii DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Nilai standar status vitamin D berdasarkan konsentrasi 25(OH)D 6 Metode pengukuran dan pengumpulan data 14 Metode pengukuran dan pengumpulan data (lanjutan) 15 Statistik pekerja perempuan menurut status sosial demografi 18 Statistik pengeluaran rumah tangga pekerja perempuan (Rp/bulan) 19 Statistik pekerja perempuan berdasarkan pekerjaan 19 Sebaran pekerja perempuan berdasarkan status gizi 21 Sebaran pekerja perempuan status vitamin D 22 Gaya hidup yang berhubungan dengan status vitamin D 23 Sebaran pekerja perempuan berdasarkan pola konsumsi pangan 24 Analisis regresi linear berganda faktor – faktor yang berhubungan dengan status serum vitamin D 25 Sebaran pekerja perempuan berdasarkan gejala Stres kerja 29 Analisis linear berganda faktor faktor yang berhubungan dengan gejala stres kerja pekerja perempan usia subur 30 DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kuesioner Ringkasan analisis data Naskah penjelasan peneliti untuk mendapat informed consent dari subjek penelitian Surat Persetujuan untuk Penelitian (Informed consent) Penjelasan Rinci Tentang Tata Cara Pengukuran Status Gizi Prosedur Pengambilan Serum Vitamin D Ethical Clearence 37 42 44 46 47 51 52 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Stres adalah masalah kesehatan masyarakat yang diprediksi menjadi penyebab kedua kejadian disabilitas di dunia pada tahun 2020 nanti (Murray dan Lopez 1997). Tren ini diikuti dengan makin melambungnya biaya pengobatan dan menurunnya produktivitas kerja. Etiologi dan patofisiologi stres kerja belum sepenuhnya diuraikan secara teoritis. Penelitian dasar dan penelitian klinis terkini menjelaskan peran potensial faktor biologis terbaru bahwa kondisi kejiwaan dipengaruhi oleh kimia saraf dan mekanisme neuro endokrin. Berdasarkan riskesdas 2013 disebutkan bahwa prevalensi penderita gangguan mental emosional di Indonesia 6,0%. Di Jawa Barat sendiri prevalensi penderita gangguan mental emosional 9.3% yang melebihi prevalensi nasional. Vitamin D diduga berhubungan dengan menurunnya kemampuan kognitif dan kesehatan mental. Dugaannya adalah hipovitaminosis D mampu memperbesar terjadinya stres kerja. Penelitian - penelitian pada manusia memperlihatkan adanya Vitamin D Reseptor (VDR) dan 1α-hidroksilase mengkatalisis sintesa 1,25- dihidroksivitamin D (kalsitriol, bentuk bioaktif vitamin D) dalam struktur otak seperti korteks prefrontal, amygdala dan hipocampus (Eyles et al. 2005). Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang fungsinya di dalam tubuh cukup unik karena mirip dengan fungsi hormon. Fungsi biologis utama dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk menyerap mineral-mineral tersebut dari makanan. Salah satu dampak dari kekurangan vitamin D dan kalsium meningkatkan risiko fraktur. Hoang et al. (2011) menemukan bahwa rendahnya tingkat serum vitamin D berhubungan dengan gejala stres kerja di Kota Dallas Amerika. Selain itu pada penelitian Milaneschi et al. (2010) mengambil sampel lansia 531 wanita dan 423 pria, menemukan bahwa hipovitaminosis D adalah faktor risiko yang tumbuhnya gejala stres kerja pada lansia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, pekerja di Indonesia mencapai 100.316.007 orang dimana 64,63% pekerja laki-laki dan 35.37% pekerja perempuan, dan mengalami peningkatan pada tahun 2015, pekerja perempuan mencapai 36,03%. Peningkatan ini selain dipandang sebagai hal positif karena bertambahnya tenaga produktif, juga merupakan tantangan dilakukan perbaikan SDM pekerja tersebut. Terlebih, Sebagian besar pekerja tersebut adalah Perempuan Usia Subur, yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah, yang tidak terbebas dari masalah kesehatan. Kondisi ekonomi keluarga yang lemah menyebabkan pekerja perempuan sulit memenuhi kebutuhan zat gizi mikro. Dari data tersebut dapat diduga populasi orang yang berpotensi terkena stres, terutama bagi perempuan yang bekerja dengan variasi statusnya dalam keluarga. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap orang tidak dapat menghindarkan diri dari stres. Pada suatu saat, peristiwa-peristiwa kehidupan tertentu yang dialami orang mengakibatkan timbulnya stres. Setiap orang, baik 2 yang berasal dari kelas sosial atas, menengah, maupun bawah pernah mengalami stres. Hanya jenis, tingkatan atau bobot stresnya berbeda-beda dan kemampuan dalam mengelola stres pun berbeda-beda. Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan stres, disebut stressor, dapat bersifat fisik (misalnya polusi udara), fisiologis (seperti kekurangan oksigen), dan bersifat sosial (seperti interaksi interpersonal). Berbagai peristiwa dalam kehidupan juga dapat menimbulkan stres, seperti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pekerjaan dan keluarga, termasuk yang berkaitan dengan kondisi ekonomi. Pekerja perempuan merupakan irisan dari kelompok Wanita Usia Subur (WUS) yang dinilai perlu mendapatkan perhatian karena rentan terhadap masalah gizi. Masalah gizi tersebut bisa disebabkan peran fisiologis WUS menstruasi dan melahirkan. Pada beberapa hasil penelitian menunjukkan walaupun sinar matahari yang melimpah, prevalensi hipovitaminosis D pada WUS meningkat di negara – negara Asia dan telah menjadi epidemi. Studi terbaru Arabi et al. (2010) tentang pengukuran konsentrasi serum 25(OH)D pada wanita dewasa berusia di bawah 50 tahun menemukan prevalensi kekurangan vitamin D yang tinggi di beberapa negara yaitu Tunisia (47.6%), Maroko (91%) Yordania (62.3%), Chili (27%), dan Indonesia – Malaysia (60%). Penyebabnya antara lain, pertama pekerja perempuan bekerja pada ruangan tertutup sehingga jarang terpapar sinar matahari, kedua aktivitas luar ruangan terbatas karena jam bekerja dimulai dari pagi sampai sore hari. Ketiga pekerja perempuan menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh serta kurangnya konsumsi sumber vitamin D dan kalsium (Islam et al. 2008; Looker et al. 2008; Islam et al. 2010) Defisiensi vitamin D mengakibatkan penurunan efisiensi penyerapan kalsium dan posfor sehingga meningkatkan Paratiroid Hormon (PTH). Selain itu, berdasarkan hasil studi terbaru, defisit vitamin D meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2, gangguan kardiovaskular yang disebabkan hipertensi, obesitas dan gangguang profil lipid. Defisiensi vitamin D juga berkaitan dengan resistensi insulin, diabetes melitus, disfungsi sel beta, penyakit outoimun, arthritis, multipel sclerosis, kanker kolon, kanker payudara , kanker prostat, hipertensi dan penyakit kardiovaskular (Stroud et al. 2008). Penelitian Forman et al. (2007) pada kelompok wanita berusia 40-43 tahun menemukan dua pertiga wanita mengalami kekurangan vitamin D, dan proporsi kejadian hipertensi pada wanita muda dapat dikaitkan dengan kekurangan vitamin D. Pada penelitian Hanwell et al. (2010) menjelaskan pengaruh paparan sinar matahari terhadap kadar serum vitamin D pada pekerja rumah sakit di Italia. Hasilnya adalah rata – rata serum 25(OH)D lebih tinggi pada musim panas daripada pada musim dingin dengan nilai serum masing – masing 58.6±16.5 nmol/ L dan 38.8±29.0 nmol/L (p = 0.003). Selain itu pada hasil penelitian Pilz et al. (2012) pada penderita hipertensi berusia 34 – 64 tahun di Austria dengan pemberian paparan sinar matahari pada musim panas dan musim dingin menunjukkan bahwa ada peningkatan serum 25(OH)D yang lebih tinggi pada musim panas dibandingkan dengan musim dingin disertai menurunnya paratiroid hormon (PTH). Paparan sinar matahri menjadi penting dalam menjaga fisiologi vitamin D dan status PTH. Vitamin D banyak yang tertarik menghubungkannya dengan kesehatan mental. Reseptor Vitamin D ditemukan pada beberapa jenis sel. Termasuk sel 3 saraf dan sel glial. (Eyles et al. 2005). Vitamin D sekarang ditemukan berpengaruh pada aktivitas neurosteroid dan berdampak pada serotonin otak (Bertone-Johnson 2009), vitamin D juga berperan dalam regulasi mood. Bukti empiris menunjukkan bahwa rendahnya serum 25-hidroksivitamin D (25(OH)D), berhubungan dengan gangguan kejiwaan , termasuk gangguan stres kerja, gangguan afeksi , dan gangguan premenstruasi berat. (BertoneJohnson et al. 2011). Pada studi meta-analisis Anglin et al. (2013) menemukan bahwa vitamin D konsentrasi rendah berhubungan dengan stres kerja (HR = 1.31). Berdasarkan uraian di atas ditambah saat ini belum banyak penelitian yang dilakukan terkait defisiensi vitamin D di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian ini yang mengidentifikasi faktor – faktor yang berhubungan dengan status vitamin D dan dampaknya terhadap gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur. Perumusan Masalah 1. Faktor – faktor apakah yang mempengaruhi status serum vitamin D pada pekerja perempuan usia subur? 2. Apakah ada hubungan defisiensi vitamin D dengan gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur? Tujuan Penelitian Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status vitamin D dan dampaknya terhadap gejala stres kerja pada wanita usia subur. Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik pekerja perempuan. 2. Menilai status gizi dan pola konsumsi pangan pekerja perempuan. 3. Menganalisis faktor – faktor yang berhubungan dengan status vitamin D dan gejala stres pekerja WUS Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan signifikan status vitamin D dengan gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tambahan dalam rangka mencegah masalah kesehatan masyarakat khususnya penyakit tidak menular terutama yang berkaitan dengan vitamin D. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini juga mampu memfasilitasi perbaikan dan peningkatan sumber daya manusia baik yang diprogramkan oleh pemerintah maupun perusahaan – perusahaan swasta. 4 2. TINJAUAN PUSTAKA Vitamin D Vitamin D merupakan secosteroid yang dibentuk di kulit melalui proses fotosintesis oleh sinar matahari. Struktur vitamin D diturunkan dari senyawa steroid yang memiliki empat cincin senyawa cyclo-pentanoperhydrophenanthrene (cincin A,B,C,D). Cincin A, C dan D merupakan struktur cincin yang utuh, sedangkan struktur cincin B tidak utuh lagi. Dikenal sebagai secosteroid karena cincin B telah lepas ikatan karbon-karbonnya. Vitamin D secara biologik bersifat inert dan menjalani dua (2) kali proses hidroksilasi berturut-turut di hati dan di ginjal sehingga terbentuk metabolit aktif yaitu 1,25(OH)2D3 (Holick 1995). Efek biologik utama vitamin D3 aktif ialah memelihara konsentrasi kalsium serum dalam rentang normal (Holick 2007). Kondisi tersebut dicapai dengan meningkatkan absorpsi usus terhadap kalsium yang berasal dari makanan dan dengan memobilisasi cadangan kalsium di tulang untuk masuk ke sirkulasi (Lips et al. 2001). Vitamin D penting untuk pembentukan skeleton dan untuk hemostatis mineral, termasuk untuk peningkatan absorpsi kalsium dan posfor. Vitamin D3 berasal dari sintesis di kulit berdifusi ke pembuluh darah menggunakan α 2 globulin vitamin D – binding protein (DBP). Cholecalciferol ini akan diambil dan diangkut oleh DBP. Sekitar 60% Cholecalciferol yang terikat dengan DBP akan diangkut ke jaringan tubuh terutama hati serta jaringan lain seperti otot dan jaringan lemak. Vitamin D2 dan vitamin D3 yang berasal dari makanan diabsopsi dalam bentuk misel secara difusi pasif dan masuk ke dalam usus. Hanya sekitar 50% dari asupan vitamin D yang diabsorpsi. Saat berada dalam usus, vitamin D2 dan vitamin D3 bergabung dengan kilomikron selanjutnya menuju sistem limpatik dan dibawa ke sirkulasi pembuluh darah. Sejumlah vitamin D2 dan D3 dipindahkan dari kilomikron ke DBP untuk diangkut kejaringan ekstrahepatik, kilomikron remnan akan membawa vitamin D2 dan D3 ke hati (Gropper dan Groff 2009). Kolekalsiferol setelah mencapai hati akan dimetabolisme oleh enzim hidrosilase hati untuk membentuk metabolit aktif. Hidroksilasi vitamin D3 dilakukan oelh enzim sitokrom P450 yakni 25 – hydroxylase , 1- hydroxylase, 24 – hydroxylase. Enzim 25 – hydroxylase , hati akan menghidrolisis karbon 25 kolekalsiferol menjadi kalsidiol, yang sangat tergantung dengan kandungan vitamin D dan metabolitnya. Kerja 25 – hydroxylase lebih cepat ketika tubuh kekurangan vitamin D (Channell et al 2008). Agar menjadi bentuk aktif, vitamin D2 dan D3 memerlukan dua tahap hidrolisasi, pertama terjadi di hati oleh enzim hidrosilase hati membentuk metabolit aktif. Hidroksilasi vitamin D 2 dan D3 dilakukan oleh enzim 25 – hydroxylase , menghasilkan 25(OH)D atau kalsidol yang paling banyak bersirkulasi di dalam darah (Gallagher 2008; Gropper dan Groff 2009). Karena vitamin D yang paling banyak bersirkulasi waktu paruh 2 – 3 minggu, pengukuran konsentrasi 25(OH)D yang bersirkulasi merupakan indikator klinik status vitamin D (Lips et al. 2001). 5 Adapun kalsidiol yang telah dihasilkan merupakan bentuk vitamin D yang paling banyak bersirkulasi dalam darah, namun tidak aktif secara biologis, mempunyai waktu paruh sekitar 10 hari sampai tiga minggu dalam sirkulasi. Agar menjadi aktif senyawa kalsidiol dibawa ke korteks ginjal untuk mengalami hidroksilasi tahap kedua oleh enzim α1 – hydroxylase menjadi bentuk vitamin D aktif yaitu 1,25 dihidroksi vitamin D atau 1,25(OH) 2D3 atau kalsitriol. Kadar kalsitriol mempunyai aktivitas 1 – hydroxylase, tingginya kadar kalsitriol menghambat aktivitas 1- hydroxylase, sehingga kadar 1 – hydroxylase menurun. Kerja 1 – hydroxylase ginjal yang menurun akan digantikan oleh aktivitas enzim 24 – hydroxylase. Enzim ini berlawanan kerjanya dengan 1 – hydroxylase, menurunkan kebutuhan dan pembentukan kalsitriol di dalam tubuh agar tidak terjadi kelebihan dengan cara membentuk metabolit. Enzim 24 – hydroxylase akan menghidrolisasi kalsidiol dan kalsitriol menjadi 24,25(OH)2D3 dan 1,24,25(OH)2D3. Bentuk metabolit 24,25(OH)2D3 dan 1,24,25(OH)2D3. Bentuk metabolit 24,25(OH)2D3 dilepaskan di jaringan sirkulasi dan terikat dengan DBP untuk dibawa ke jaringan target sedangkan 1,24,25(OH)2D3 dapat dibawa ke ginjal untuk diubah menjadi senyawa yang dapat diekskresikan (Gropper dan Smith 2012). Sebagian besar vitamin D akan diekskresikan dari tubuh di dalam feses, melalui empedu; kurang dari 5% diekskresikan sebagai metabolit larut air di dalam urin. Sekitar 2 – 3% vitamin D yang terdapat di empedu adalah kolekalsiferol, 25(OH)D dan 1,25(OH)2D3 tetapi sebagian besar adalah metabolit lain seperti 24 – oxo-deridative, 23-hydroxylation dan calcitroic acid (Bender 2003). Mekanisme Aktivitas Vitamin D Kalsitriol sebagai bentuk aktif dari vitamin D mempunyai dua mekanisme dalam menjalankan fungsinya, yaitu secara genomik dan non genomik. Mekanisme genomik diawali dengan masuknya kalsitriol ke dalam sel target selanjutnya berinteraksi dengan vitamin D receptors (VDRs) di dalam inti sel. Ikatan VDRs – kalsitriol – inti sel akan mengalami fosforilasi, kemudian terikat dengan Retinoid Acid X Receptor (RXR) membentuk heterodimer yang akan berikatan dengan vitamin D responsive element (VDRE) dalam DNA membentuk komplek nukleoprotein. Selanjutnya dikenali sebagai specific site di dalam kromosom yang akan meregulasi terjadinya transkripsi gen (transfer informasi dari DNA ke RNA untuk memulai transkripsi gen) (Mertens dan Muller 2010). Reseptor vitamin D dijumpai di berbagai jaringan, sehingga nukleoprotein tersebut akan memodulasi berbagai gen antara lain dengan menghambat sintesis renin. Sintesis renin diawali dengan adanya sinyal dari siklik adenosin monofosfat (cAMP). Sinyal ini merupakan sinyal intraseluler utama dalam hal menstimulasi ekspresi gen renin dengan membentuk ikatan pada sub unit katalitik protein kinase A (PKA) berikatan dengan cAMP respon element (CRE) untuk memulai transkripsi gen menghambat prorenin. Prorenin yang terbentuk diubah menjadi renin aktif ginjal dan waktu paruh dalam sirkulasi sekitar 80 menit. Hal ini yang menyebabkan seseorang yang defisiensi 6 VDRs atau vitamin D akan mengalami hiperreninemia dan meningkatkan tekanan tekanan darah ( Gropper dan Groff 2009). Mekanisme non genomik vitamin D terjadi tanpa adanya transkripsi gen misalnya homeostatis kalsium. Sintesis kalsitriol merupakan respon terhadap perubahan kadar kalsium dalam darah dan pelepasan hormon paratiroid. Hipokalsemia menstimulasi sekresi hormion tiroid. Hormon paratiroid ini selanjutnya akan menstimulasi 1 – hidrosksilase di ginjal yang akan mengubah kalsidiol menjadi kalsitriol . keberadaan kalsitriol dan hormon paratiroid di jaringan target menyebabkan peningkatan kadar kalsium serum (Gropper dan Smith 2012). Penilaian Status Vitamin D Kerja kalsitriol seratus kali lebih potensial dibandingkan kalsidiol, namun konsentrasi kalsidiol di dalam darah seratus kali lebih banyak, hal tersebut disebabkan lebih dari 99% kalsitriol terikat dengan DBP dan albumin serta mempunyai paruh pendek yaitu 4-6 jam ; sehingga untuk menilai status vitamin D seseorang digunakan pengukuran konsentrasi kalsidiol (Gropper dan Smith 2012). Selain itu konsentrasi kalsitriol juga merupakan indikator baik dalam mengukur status vitamin D, karena (1) penurunan mendadak konsentrasi kalsium akibat defisiensi vitamin D menyebabkan hormon paratiroid (PTH) meningkat kemudian menginduksi peningkatan aktivitas 1αhidroksilase, sehingga kadar konsentrasi 1,25(OH) 2D3 tersebut akan menjadi normal atau bahkan akan meningkat. Jadi walaupun terjadi defisiensi vitamin D , konsentrasi 1,25(OH)2D3 bisa tetap normal bahkan meningkat , dan (2) konsentrasi 1,25(OH)2D3 yang beredar dalam darah 100 – 1000 kali lebih rendah dibandingkan 25(OH)D (Grant dan Hollick 2005) Metabolit yang digunakan untuk penelitian status vitamin D adalah kadar kalsidiol, yang ketersediaannya dipengaruhi oleh asupan vitamin D 3 dan paparan sinar matahari. Sebagian besar peneliti menyetujui penggunaan kalsidiol sebagai indikator penilaian status vitamin D, oleh karena (1) enzim 25 hidroksilase tidak dapat dipengaruhi kerjanya sehingga kadar kalsidiol merupakan indikator adekuat untuk kadar vitamin D yang berasal dari sintesis di kulit dan asupan sehari – hari, (2) konsentrasi kalsidiol berkaitan dengan banyak manifestasi klinis penyakit. Status vitamin D berdasarkan serum 25(OH)D dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1 Nilai standar status vitamin D berdasarkan konsentrasi 25(OH)D 25(OH)D (ng/mL) 25(OH)D (nmol/L) Implikasi kesehatan < 12 < 30 Defisiensi 12.0 – 19.9 30 – 49.9 Tidak cukup ≥ 20 ≥ 50 Cukup Ket : untuk mengkonversi 1 nmol/L menjadi 1 ng/mL dibagi 2.5 (Ross et al. 2011) Berdasarkan Tabel 1, status serum vitamin 25(OH)D ditentukan dalam satuan nmol/L atau dengan melakukan konversi dalam satuan ng/mL (Ross et al. 2011). Seseorang dikatakan defisiensi jika memiliki konsentrasi serum 25(OH)D kurang dari 12 ng/mL, kategori tidak cukup jika memiliki kadar 7 serum 25(OH)D antara 12.0 sampai 19.9 ng/mL, dan dikatakan cukup jika seseorang memiliki kadar serum 25(OH)D lebih dari atau sama dengan 20 ng/mL. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres kerja Stres berhubungan dengan respons yang tidak spesifik atau bersifat umum dari tubuh terhadap suatu demand. Respons ini terjadi bila demand tersebut muncul dalam tubuh, apakah merupakan tuntutan dari kondisi lingkungan yang harus kita penuhi atau suatu demand yang kita buat sendiri dalam rangka mencapai suatu tujuan pribadi (Seyle dalam Berry dan Houston, 1993). Selanjutnya Seyle membedakan dua bentuk stres: disteress dan eustress. Distress merupakan respons terhadap peristiwa negatif, sedangkan eustress merupakan respons terhadap peristiwa positif. Menurut Goldsmith (1996) stress biasanya melibatkan tekanan/ketegangan (tension). Pengukuran terhadap gejala stres kerja dilakukan dengan menggunakan Stress Assessment Questionairre (SAQ) yang dikembangkan oleh Koeswara (2009), kemudian dimodifikasi dengan instrumen Life Change Index Scale (Holmes dan Rahe 1967) dan diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia. Instrumen ini memuat 15 pertanyaan dengan masing – masing jawaban mendaapatkan skor 1 – 4 . Skor minimal untuk gejala stres ini 5 dan skor maksimal 25. Gejala stess yang termasuk kategori sangat tinggi 5 – 10, kategori tinggi pada skor 10 –15, kategori rendah pada skor 16 – 20, kategori sangat rendah pada skor lebih dari 21. Stress merupakan suatu proses dan bukan keadaan akhir. Proses yang dimaksud adalah tahapan perubahan yang terjadi melalui waktu dan situasi situasi yang berbeda. Seseorang yang terkena stress mengalami beberapa tahapan atau tingkatan stress. Beberapa stress tidak dapat dihindarkan, tidak mengenal waktu, dan terjadi pada semua masyarakat. Potensi stress muncul ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain atau dengan lingkungan. Stress juga dapat terjadi ketika seseorang merasa terancam atau takut. Bila potensi yang merusak tinggi atau orang merasa kekurangan sumberdaya untuk mereduksi ancaman, maka stres meningkat. Safarino dalam Smet (1994) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutantuntutan yang berasal dari situasi dengan sumberdaya sistem biologis, psikologis, dan sosial seseorang. McKinnon (1998) memandang stres sebagai pengalaman yang tidak mengenakkan baik secara emosional, fisikal, mental, atau kombinasi dari ketiganya. Ketidakenakkan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan orang dalam memenuhi tuntutan (demands) tertentu atau ekspektasi dalam kehidupan manusia, yang pada gilirannya membuat kita merasa terancam, tidak memadai dan rawan. Alva (2003) mengklasifikasikan stres menjadi dua jenis, yaitu stres akut (acute stress) dan stres kronis (chronic stress). Stres akut, yang berjangka waktu tidak lama (short-term), adalah reaksi segera terhadap ancaman, yang secara umum diketahui sebagai respons melawan (fight) atau menghindar (flight). Ancaman tersebut dapat berupa setiap situasi yang dialami, bahkan di bawah sadar, sebagai sesuatu yang berbahaya. Sumber stres akut pada 8 umumnya meliputi keributan, kerumunan, terisolasi, kelaparan, bahaya, infeksi, dan membayangkan suatu ancaman atau mengingat peristiwa yang berbahaya. Pada umumnya, bila ancaman berlalu, maka respons menjadi tidak aktif dan tingkat stres hormonnya kembali normal. Kondisi tersebut disebut relaxation response. Dalam kehidupan modern, dimana orang sering mengalami situasisituasi yang bersifat stressful secara terus-menerus, tidak sebentar, dan mendorong untuk bertindak (melawan atau menghindar), yang mestinya menekan, maka stres menjadi kronis. Sumber stres kronis pada umumnya meliputi pekerjaan yang sangat menekan secara terus menerus, masalahmasalah relasi jangka panjang, kesepian, dan kehawatiran finansial yang terusmenerus. Stres dapat bersifat eksternal, yang disebabkan oleh perubahan atau kurangnya/gagalnya kontrol, atau bersifat internal, berdasarkan persepsi dan ekspektasi kita. Stres biasanya merupakan hasil dari faktor-faktor eksternal dan internal, dan juga dapat disebabkan oleh peristiwa positif (seperti kawin, memulai pekerjaan baru) dan perisitiwa negatif (seperti perceraian, berhenti bekerja atau kena PHK). Menurut Goldsmith (1996) situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa yang menyebabkan stres disebut stressors. Situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa tersebut dikategorikan bersifat relasional atau lingkungan, seperti kebisingan, polusi, pencahayaan dan ventilasi yang kurang, kerumunan, isolasi, vibrasi, kurangnya tempat parkir yang memadai, gangguan udara, sampah/kotoran, bau kendaraan, rumah yang buruk rancangannya dan tidak kedap suara, pabrik dan kantor-kantor. Sekolah dan pekerjaan juga dapat mengakibatkan stres sebab lingkungannya merupakan pusat kehidupan sebagian besar orang. Orang-orang menganggap dirinya berhasil atau gagal dalam area lingkungan tersebut. McCubbin dan Thompson (1987) mendefinisikan stressor sebagai suatu peristiwa kehidupan atau suatu transisi, misalnya kematian, membeli rumah, menjadi orangtua, dll yang memberikan dampak bagi atau dalam unit keluarga, yang menghasilkan atau potensial menghasilkan perubahan dalam sistem sosial keluarga. Perubahan-perubahan ini terjadi dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, seperti status kesehatan, pembatasan-pembatasan, tujuan-tujuan, pola pola interaksi, atau nilai-nilai. Berat tidaknya suatu stressor atau transisi ditentukan oleh tingkat mana peristiwa-peristiwa atau transisi-transisi mengancam, atau merusak/mengacaukan stabilitas keluarga. Atau demand yang terlalu tinggi dibanding sumberdaya dan kemampuan keluarga, yang akibatnya juga dapat mengancam stabilitas keluarga. Sumber stres berubah-ubah sesuai dengan perkembangan manusia, sehingga kondisi stres dapat terjadi di setiap saat, sepanjang kehidupan manusia. Safarino dalam Smet (1994) mengatakan bahwa stres dapat bersumber dari dalam diri individu, keluarga, komunitas dan masyarakat. Stres terjadi ketika seseorang mengalami sakit atau konflik dalam dirinya. Stres juga bersumber dari interaksi di antara anggota keluarga, seperti perselisihan keuangan, perasaan masa bodoh, tujuan yang saling berbeda, kematian salah satu anggota keluarga, dll. Stres dapat bersumber juga dari interaksi antar subjek di luar lingkungan keluarga, misalnya pengalaman stres anak di sekolah, pengalaman stres orangtua di tempat kerja. 9 Allen (2001) juga mengemukakan hal yang sama mengenai tanda-tanda atau gejala-gejala (symptoms) orang mengalami stres. Tanda-tanda orang mengalami stres, meliputi: 1. Kelelahan, ketika pulang ke rumah pada akhir sebuah hari orang tidak memiliki enerji untuk melakukan apapun dan tampak seperti sedikit koma. 2. Pola tidur, banyak orang yang terpengaruh secara berbeda, tetapi ada perubahan khusus bagi setiap individu dalam pola tidur. 3. Pola makan, hal ini juga menunjukkan ada pengaruh yang berbeda, tetapi ada perubahan pola makan yang spesifik bagi setiap individual. 4. Keluh kesah, berkeluh kesah secara mendalam dan berat, demikian pula dengan cara mengambil nafasnya, ini cenderung terjadi ketika orang merasa kewalahan. 5. Kebosanan, ketika seseorang belum menguasai tugas kemudian harus mengerjakannya, mereka dapat merasa sengsara. Swarth (1993) menjelaskan bagaimana respons tubuh terhadap stres. Epineprin (adrenalin), suatu hormon stres, dilepaskan dari kelenjar adrenal. Hormon ini bersama hormon lainnya beredar dalam tubuh untuk meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung, kecepatan bernafas, dan mengubah proses tubuh lainnya. Kadar gula darah juga meningkat. Sel-sel lemak melepaskan lemak ke dalam aliran darah untuk meningkatkan persediaan enerji otot. Kelainankelainan yang berkaitan dengan stres adalah penyakit jantung, tukak, alergi, asma, ruam kulit, hipertensi (tekanan darah tinggi) dan kemungkinan kanker. Stres juga dapat menyebabkan msalah psikologis, seperti stres kerja, kecemasan, sikap masa bodoh, kelainan makan, dan penyalahgunaan alkohol serta obat-obatan terlarang. Menurut Swarth (1993) gizi yang baik merupakan cara penting untuk mengatasi stres dalam kehidupan. Alasannya: 1) gizi dapat mempengaruhi kemampuan individu mengatasi stres secara fisik dan mental, 2) gizi yang buruk menyebabkan stres pada tubuh dan pikiran, dan 3) stres meningkatkan kebutuhan akan zat-zat gizi. Menurut Smet (1994) hampir semua orang mengalami stres sehubungan dengan pekerjaannya. Michael (1998) menyebutnya sebagai stres pekerjaan (job stress), yang didefinisikan sebagai the harmful physical and emotional responses that occur when the requirements of the job do not match the capabilities, resources, or needs of the workers. Mengacu pada pendapat Michael tersebut Stres Pekerjaan merupakan respons-respons fisikal dan emosional yang berbahaya, yang terjadi bila persyaratan-persyaratan pekerjaan tidak cocok dengan kemampuan-kemampuan, sumberdaya-sumberdaya, dan kebutuhankebutuhan pekerja. Allen (2001) mendefinisikan stres pekerjaan (job stress) sebagai suatu situasi dimana faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan berinteraksi dengan seorang pekerja merubah kondisi-kondisi psikologis dan/atau fisiologis yang mendorong seseorang untuk menyimpang dari keberfungsiannya secara normal. Menurut Smet (1994) faktor-faktor yang membuat pekerjaan menjadi stressful adalah tuntutan pekerjaan (pekerjaan terlalu banyak dan keharusan menyelesaikan pekerjaan dalam waktu tertentu), 10 jenis pekerjaan itu sendiri yang bersifat stressful, dan tanggungjawab bagi kehidupan manusia, seperti pekerjaan dokter. Michael (1998) memandang stres pekerjaan sebagai diakibatkan oleh interaksi pekerjaan dengan kondisi-kondisi pekerjaan. Terdapat suatu pandangan bahwa karakteristik-karakeristik pekerja versus kondisi-kondisi pekerjaan merupakan penyebab utama stres pekerjaan. Perbedaan-perbedaan karakteristik individual, seperti personality dan coping style merupakan hal yang paling penting dalam memprediksi apakah kondisi pekerjaan tertentu akan mengakibatkan stres. Dengan kata lain, sesuatu yang menyebabkan stres bagi seseorang mungkin tidak menyebabkan stres bagi yang lain. Meskipun demikian, bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa kondisi-kondisi pekerjaan tertentu menyebabkan stres atau bersifat stressful bagi sebagian besar orang, misalnya tuntutan beban kerja yang berlebihan dan konflik harapan. Vitamin D memiliki fungsi penting pada otak manusia. Banyak peneliti menilai Vitamin D sebagai neurosteroid pada sistem saraf manusia, dan kemungkinan hal ini terkait dengan kejadian stres kerja (Garcion et al 2002). Eyles menemukan bahwa Vitamin D Receptor (VDR) banyak ditemukan pada hampir semua bagian otak manusia, termasuk korteks prefrontal, hippocampus, thalamus, hypothalamus, gyrus cingulate , yang terkait dengan patofisiologi stres kerja (Drevets et al 2008) Pada daerah – daerah tersebut terjadi reaktivitas immuno sustansial dimana ada enzim 1 alpha hydroxylase mampu melakukan metabolisme 25(OH)D menjadi 1,25 (OH)D (Eyles et al 2005 ; Zehnder et al 2001). Wilayah otak yang memiliki 1,25 (OH)D kemungkinan terjadi aktivitas autokrin dan parakrin, sehingga metabolisme vitamin D mampu melewati barier darah dan otak ( eyles et al 2005). Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pada proses metabolisme vitmamin D di bagian otak terjadi sedikit penyerapan 1,25 (OH)D (Gascon – Barre et al 1983; Pardridge et al 1985). Sejumlah penelitian penting terkait vitamin D memperkuat dugaan adanya peran vitamin D pada perkembangan otak dan perilaku yang diperoleh dari studi pada hewan yang melibatkan percobaan mencit yang dikondisikan kekurangan vitamin D selama dalam kandungan atau setelah lahir agar mengalami kekurangan fungsi VDR. Pada penelitian tentang pengaruh defisiensi vitamin D pada perkembangan otak mencit, anak anjing dalam rahim yang sangat kekurangan vitamin D, otak berkembang dengan kondisi neokorteks menipis, perkembangbiakan sel lebih besar, bobot lebih berat, faktor pertumbuhan sel saraf dengan GDNF (Glial cell line – Derived Neurotrophic Factor) menurun, dibandingkan dengan kelompok kontrol cukup vitamin D (McGrath et al 2004). Hal ini menunjukkan bahwa bobot otak meningkat sebagai akibat dari proses menurunnya apoptosis. 3. KERANGKA PEMIKIRAN Menurut Smet dalam Koswara (2009) stressor pekerjaan meliputi tuntutan pekerjaan dan waktu pekerjaan. Tuntutan pekerjaan terdiri dari aturan- 11 aturan bekerja, disiplin kerja, dan produktivitas kerja. Waktu pekerjaan mencakup jam kerja dan batas waktu penyelesaian setiap pekerjaan. Beban kerja, jarak ke tempat kerja dan cara mencapai tempat kerja juga sering menimbulkan stres bagi para pekerja. Oleh karena itu, variabel-variabel tersebut perlu diteliti. Hampir semua orang mengalami stres sehubungan dengan pekerjaannya. Michael dalam koswara (2009) menyebutnya sebagai stres pekerjaan (job stress), yang didefinisikan sebagai the harmful physical and emotional responses that occur when the requirements of the job do not match the capabilities, resources, or needs of the workers. Mengacu pada pendapat Michael tersebut Stres Pekerjaan merupakan respons-respons fisikal dan emosional yang berbahaya, yang terjadi bila persyaratan-persyaratan pekerjaan tidak cocok dengan kemampuan-kemampuan, sumberdaya-sumberdaya, dan kebutuhan-kebutuhan pekerja. Klitzman et al (1990) melakukan studi longitudinal tentang Work Stress, Non-Work Stress and Health. Studi ini menguji hubungan di antara stres pekerjaan, stres di luar pekerjaan dan kesehatan. Studi ini juga dilatarbelakangi oleh adanya dua stressor di luar pekerjaan yang berperanan dalam proses stress-illness, yaitu pertengkaran kronis sehari-hari di dalam keluarga (seperti konflik finansial, konflik perkawinan, konflik keluarga, dsb) dan peristiwaperistiwa kehidupan yang besar (kematian orang-orang yang dicintai seperti pasangan hidup, anak, keluarga sakit kronis, dan sebagainya). Klitzman et al (1990) menemukan bahwa konflik pekerjaan dan konflik diluar pekerjaan secara signifikan berhubungan dengan perasaan negatif dan gejala kesehatan kurang baik. Allen dalam Koswara (2009) mengidentifikasi gejala – gejala orang mengalami stres, secara fisik, mental maupun psikologis. Gejala tersebut paling berat adalah gejala stres kerja. Kejadian stres kerja sendiri menunjukkan hubungan terbalik dengan Defisiensi vitamin D (Lee et al. 2010; Hoogendijk et al.2008). Reseptor serum 25(OH)D pada otak yang mempengaruhi sistem saraf seperti korteks, serebellum, dan sistem limbik memperkuat hipotesis bahwa defisiensi vitamin D berhubungan dengan disfungsi neuropsikologi seperti stres kerja (Jaddou et al. 2012) Bukti terkini melihat vitamin D kemungkinan besar memiliki fungsi penting pada otak manusia dan banyak peneliti meyebut vitamin D sebagai neurotsteroid . Vitamin D Reseptor (VDR) ditemukan pada hampir semua jaringan tubuh, termasuk sel neuronal dan sel glial di sistem saraf pusat. Eyles et al. (2005) menemukan banyaknya VDR di bagian otak manusia, termasuk korteks prefrontal, hippocampus, cingulate gyrus, thalamus, hypothalamus, dan substantia nigra, dan pada bagian lain yang mempengaruhi patofisiologi stres kerja. Metabolisme vitamin D bisa melewati batas antara darah dan otak. Studi sebelumnya pada hewan menemukan bahwa ada 1,25(OH)D mudah masuk di bagian otak. Eyles et al. (2005) menemukan Adanya VDR pada jaringan otak menunjukkan terjadinya metabolisme 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D dengan bantuan enzim α1- hidroksilase. Metabolisme ini menunjukkan keterlibatan vitamin D dalam proses neurogenesis. Vitamin D berperan melindungi proses integritas saraf melalui upregulasi faktor 12 neurotropis (perkembangan saraf, neurotrophin-3, neurotrophin-4) pada daerah hippocampus dan neokorteks (Eyles et al. 2009). Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa stres kerja dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, pekerjaan dan status vitamin D. Metabolisme Vitamin D sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya, faktor usia, jenis kelamin, kadar melanin (warna kulit), pemakaian tabir surya, cuaca/musim (tempat tinggal), aktivitas fisik serta lama dan waktu paparan sinar matahari (Norman 1998; Norman 2008). Dalam usaha menganalisis hubungan gejala stres kerja dengan masalah defisiensi vitamin D, maka dilakukanlah penelitian ini. Lingkungan sosial Kondisi keluarga Status kesehatan Konflik Bencana alam karakteristik sosial ekonomi (umur, pendidikan, pendapatan, jumlah anggota keluarga, pengeluaran) Riwayat pekerjaan (lama bekerja, jumlah hari kerja, jam kerja,unit kerja, jarak rumah) Stres kerja Status serum vitamin D (25(OH)D) Paparan sinar matahari Penggunaan tabir surya Pola konsumsi pangan Status Gizi (lingkar pinggang, persen lemak, lemak viseral, IMT) Keterangan : Variabel yang diamati Variabel yang tidak diamati Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan status vitamin D serta dampaknya terhadap gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur 13 4. METODE Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain survey study. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Yosephin et al. (2014) yang berjudul “Faktor- Faktor yang mempengaruhi Status Vitamin D pada Pekerja perempuan Usia Subur“. Penelitian ini rencananya akan berlangsung dari Januari hingga Mei 2015 dilaksanakan di Industri garmen PT Gunung Salak Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung Yosephin, Anwar, Riyadi, Elly (2015) dengan judul “Faktor faktor yang Mempengaruhi Status Vitamin D pada Pekerja perempuan Usia Subur” yang disponsori oleh Neys-van Hoogstraten Foundation, The Netherland. Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek Subjek penelitian ini adalah pekerja perempuan Usia Subur , pada pabrik garmen di Sukabumi, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dan sampel penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu : pekerja perempuan adalah kelompok usia subur yang berisiko mendapatkan paparan sinar matahari sangat sedikit, jam bekerja pabrik mulai dari pukul 8 pagi sampai pukul 6 sore, tingkat sosial ekonomi dan aktivitas fisik pekerja perempuan relatif mirip, dan sebagian besar dari mereka sarapan dan makan siang dibeli dari warung makan sekitar pabrik. Populasi penelitian adalah responden penelitian utama, wanita usia subur, berusia 18-40 tahun dan bekerja di pabrik garmen lebih dari 1 tahun. Alasan pemilihan kelompok WUS adalah secara biologis rata – rata umur tersebut periode produktif, sehingga nantinya pemberian intervensi gizi pada umur tersebut akan memberikan keuntungan ganda, yaitu meningkatkan status gizi pada wanita, juga meningkatkan status gizi janin jika mereka menikah kemudian hamil. Subjek penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan dipilih secara sukarela. Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu, wanita pekerja usia produktif, sehat, sudah menikah, tidak hamil dan menyusui, tidak merokok dan minum alkohol, tidak sedang diet, masa kerja lebih dari setahun dan bersedia menandatangani surat persetujuan penelitan. Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah menderita infeksi kronis. Dari proses sampling tersebut, diperoleh total sampel 65 orang. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer, diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran analisis biokimia darah. Data yang akan diambil dan teknik yang digunakan digambarkan pada gambar 1. Data karakteristik reponden akan dikumpulkan pada tahap awal penelitian, meliputi nama, tanggal lahir, suku, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengeluaran, dan pendapatan). Selain itu dikumpulkan juga karakteristik pekerjaan meliputi, 14 lama bekerja, jumlah hari kerja, jam kerja/hari, jarak tempat tinggal ke tempat kerja, dan lama waktu perjalanan dari tempat tinggal ke tempat kerja. Data konsumsi pangan diambil dengan menggunakan metode Food Frecuency Questionairy (FFQ). Pengumpulan data gejala stres kerja menggunakan kuesioner terstruktur yang telah di uji validitas dan reabilitasnya dengan alfa cronbarch (Sapp dan Jensen 1997). Data berat badan (kg) diperoleh dengan menggunakan timbangan digital dengan kapasitas 200 kg dan ketelitian 0.1 kg. Data tinggi badan (cm) diukur dengan microtoise dengan kapasitas 200 cm dan ketelitian 0.1 cm. Data komposisi lemak tubuh dan lemak viseral dengan mengunakan BIA (Bioelectrical Impedance Analysis). Pengukuran Serum Vitamin D Data biokimia darah yang diambil adalah serum 25(OH)D. Darah diambil sebanyak 5 mL dari vena mediana cubiti dan dilakukan pemisahan serum. Pengukuran konsentrasi serum 25(OH)D menggunakan metode Chemiluminiscence (CLIA). Pengukuran Gejala Stres kerja Pengukuran terhadap gejala stres kerja dilakukan dengan menggunakan Stress Assessment Questionairre (SAQ) yang dikembangkan oleh Koeswara (2009), kemudian dimodifikasi dengan instrumen Life Change Index Scale (Holmes & Rahe 1967) dan diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia. Instrumen ini memuat 15 pertanyaan dengan masing – masing jawaban mendaapatkan skor 1 – 4 . skor minimal untuk gejala stess ini 5 dan skor maksimal 25. Tabel 2 Metode pengukuran dan pengumpulan data Variabel Umur Alat ukur Kuesioner Cara ukur Wawancara Pendidikan Kuesioner Wawancara Jumlah keluarga Kuesioner Wawancara Pendapatan Kuesioner Wawancara Pengeluaran RT Kuesioner Wawancara Paparan sinar matahari Penggunaan tabir surya Kuesioner Wawancara Kuesioner Wawancara Kategori 1 = < 30 tahun 2 = ≥ 30 tahun 1 = tidak sekolah 2 = SD (≤ 6tahun) 3 = SMP (7-9 tahun) 4 = SMA (10-12 tahun) 5 = PT (> 12 tahun 1 = Kecil (≤ 4 orang) 2 = Sedang (5-6 orang) 3 = Besar (≥7 orang) < UMR Rp.1 969 000 ≥ UMR Rp.1 969 000 1 =< 100 000 2 =100 000 - < 300 000 3 = 300 000 - <500 000 4 = 500 000 – 750 000 5 = >750 000 Kurang = < 30 menit Cukup = ≥ 30 menit 0 = jarang 1= selalu Sumber Islam et al. 2008 Kemendikbud BKKBN 1998 BPS 2014 Justifikasi Yoesphin et al (2014) Islam et al. (2008) 15 Tabel 3 Metode pengukuran dan pengumpulan data (lanjutan) Variabel Penggunaan suplemen Penggunaan jilbab sehari – hari Konsumsi ikan segar Konsumsi ikan air tawar (lele) Konsumsi ikan segar Konsumsi ikan air tawar (lele) Konsumsi daging (daging sapi) Konsumsi jeroan (hati sapi) Konsumsi telur Alat ukur Kuesioner Cara ukur Wawancara Kategori 0 = ya 1 = tidak 0 = ya 1 = tidak Sumber Burgaz et al. (2007) Setiati 2008 Kuesioner Wawancara Kuesioner Wawancara 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) Kemenkes 2008 Kemenkes 2008 Kemenkes 2008 Kemenkes 2008 Kemenkes 2008 Kuesioner Wawancara Kuesioner Wawancara Kuesioner Wawancara Kuesioner Wawancara Kuesioner Wawancara 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) Kemenkes 2008 Kuesioner Wawancara Konsumsi produk susu Konsumsi buah Kuesioner Wawancara Kuesioner Wawancara Konsumsi sayur Kuesioner Wawancara Konsumsi mentega/margar ine Indeks massa tubuh (IMT) Kuesioner Wawancara 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) 1 : Sering (≥1kali/hari) 2 : Jarang (<1kali/hari) Kemenkes 2008 Kemenkes 2008 Kemenkes 2008 Kemenkes 2008 Kemenkes 2008 Depkes 2008 Lingkar pinggang Pita ukur Komposisi lemak tubuh BIA Lemak visceral BIA Serum 25 (OH)D Analisis laboratorium Metode Chemillumin iscence (CLIA) 1: Kurus (< 18.5 kg/m2) 2: Normal (18.5 - < 25.0 kg/m2) 3: Overweight (25.0<27.0 kg/m2) 4 : Obesitas (≥ 27.0 kg/m2) Wanita 1 : < 80 cm 2 : ≥ 80 cm 1 = Ringan(<21%) 2 = Sedang (21% - <35) 3 = Lebih (≥35) Pria/Wanita 1 : <10 2 : ≥10 Defisiensi : < 12 ng/mL Tidak cukup:12-19.9 ng/mL Cukup : ≥ 20 ng/mL Tingkat stres kerja Kuesioner Wawancara Sangat tinggi : skor 5-10 Tinggi : skor 11-15 Rendah : skor 16- 20 Sangat rendah : skor ≥ 21 Koswara (2009) BIA Perkeni 2011 Mahan LK dan Stump S 2008 Unno et al. 2012 Ross et al. (2011) 16 Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan semuanya merupakan data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner), observasi dan pengukuran variabel. Pengolahan data dilakukan secara bertahap, dimulai dari data yang terkumpul dilapangan hingga data siap di analisis. Data yang telah dikumpulkan akan melewati proses pemeriksaan oleh peneliti. Setiap jawaban pertanyaan akan dikoding oleh pewawancara agar mempermudah proses penginputan data dalam komputer. Selanjutnya dilakukan data cleaning (pembersihan data) caranya dengan mengamati sebaran data semua variabel penelitian. Hasil cleaning selanjutnya akan dianalisis secara diskriptif, meliputi minimal, maksimal, rata – rata dan standar deviasi. Proses analisis menggunakan Statistical Progam for Social Science (SPSS) for windows dan SAS 9.1.3 dengan tingkat kepercayaan 90% (α=0.1). Analisis data tahap awal adalah analisis diskriptif terhadap beberapa parameter diantaranya karakteristik subjek (umur, pendapatan, pengeluaran jumlah anggota keluarga). analisis diskriptif juga dilakukan pada faktor – faktor yang mempengaruhi status vitamin D (paparan sinar matahari, penggunaan jilbab, penggunaan tabir surya, dan konsumsi pangan sumber vitamin D), variabel status vitamin D dan gejala stres kerja. Analisis selanjutnya adalah analisis hubungan antar variabel (bivariat), yaitu menguji hubungan faktor - faktor yang mempengaruhi status serum vitamin D dan gejala stres kerja dengan menggunakan uji regresi linear berganda. Model regresi linear berganda digunakan untuk analisis tujuan ketiga sebagai berikut: Model pertama untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan status serum vitamin D Y1= β0 + β1X1 + β2X2+ β3X3+ β4X4+……..+ β20X20 + ϵ Keterangan: 1. Y1= status serum vitamin D (ng/mL) 2. X1 = umur subjek (tahun) X2 = lama pendidikan (tahun) X3 = pendapatan perbulan perkapita (Rp) X4 = paparan sinar matahari (menit) X5 = penggunaan jilbab (0=ya; 1=tidak) X6 = konsumsi suplemen (0=ya;1=tidak) X7 = lingkar perut (cm) X8 = lemak viseral (skala lemak) X9 = persen lemak tubuh (%) X10 = Indeks Massa Tubuh (Kg/m2) X11 = konsumsi ikan segar (frekuensi/hari) X12 = konsumsi ikan air tawar/lele (frekuensi/hari) X13 = konsumsi daging/daging sapi (frekuensi/hari) X14 = konsumsi jeroan/hati sapi (frekuensi/hari) 17 X15 = konsumsi daging olahan/sosis (frekuensi/hari) X16 = konsumsi telur (frekuensi/hari) X17 = konsumsi produk susu (frekuensi/hari) X18 = konsumsi buah (frekuensi/hari) X19 = konsumsi sayur (frekuensi/hari) X20 = konsumsi mentega/margarin (frekuensi/hari) 3. β0= Parameter intercept 4. β1, β2, β3 ...... βi = Parameter koefisien regresi 5. ϵ = Galat (error) Model kedua untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan gejala stres kerja : Y2= β0 + β1X1 + β2X2+ β3X3+ β4X4+ ϵ Keterangan: 1. Y2 = Gejala stres kerja (1=sangat tertekan; 2=tertekan; 3=agak tertekan; 4=tidak tertekan) 2. X1 = Pengeluaran nonpangan/bulan (Rp) X2 = lama bekerja (tahun) X3 = lingkar pinggang (cm) X4 = serum vitamin 25(OH)D (ng/mL) 3. β0= Parameter intercept 4. β1, β2, β3 ...... βi = Parameter koefisien regresi 5. ϵ = Galat (error) Definisi Operasional Pekerja perempuan usia subur adalah pekerja perempuan berusia 18 sampai 40 tahun yang bekerja di pabrik garmen. Vitamin D adalah yang larut dalam lemak yang sumber utamanya adalah paparansinar matahari yang akan mensintesis vitamin D3 (kolekalsiferol) dari kuli manusia. Tabir surya adalah produk yang diformulasikan khusus untuk menyerap atau membelokkan sinar ultraviolet dan dilihat dari nilai SPF (Sun Protector Factor) yang terdapat pada kemasan. Konsumsi Suplemen adalah jumlah, jenis dan frekuensi mengonsumsi suplemen. Paparan sinar matahari adalah seberapa lama responden terkena sinar matahari dalam sehari. Tingkat pendidikan adalah lama waktu menempuh pendidikan formal yang pernah diikuti dalam satuan tahun. Pendapatan rumah tangga adalah total penghasilan yang diperoleh seluruh anggota rumah tangga baik dari pekerjaan utama maupun pekerjaan 18 tambahan atau lainnya (pemberian hadiah) selama satu bulan terakhir dinyatakan dalam rupiah/bulan. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih tinggal dalam satu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi pangan adalah konsumsi pangan dalam hal jenis dan jumlah yang dimakan dikumpulkan dengan cara Food Frecuency Questionnairy (FFQ) Gejala Stres kerja adalah gejala yang mengidikasikan ketidaknyamanan pekerja dengan adanya tekanan terhadap pekerjaan dan lingkungan keluarganya. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Subjek Pada penelitian ini, subjek merupakan pekerja perempuan pada salah satu pabrik garmen di Kabupaten Sukabumi. Data karakteristik subjek dapat dilihat pada Tabel 3 sekitar separuh (50.8%) subjek berusia ≥ 30 tahun. Secara keseluruhan rata – rata usia subjek adalah 29.7 tahun dengan simpangan baku 5.5 tahun. Hasil ini sejalan dengan penelitian Briawan et al 2013 dimana pekerjan garmen berusia rata – rata 41 tahun atau diatas 30 tahun. Berdasarkan kategori pendidikan, hampir separuh subjek tingkat pendidikannya hanya lulusan sekolah dasar (40.0%), dengan rata – rata lama pendidikan 8.5 tahun dan simpangan baku 2.5 tahun. hal ini hampir sama hasilnya dari penelitian Solechah et al 2014 bahwa sebagian besar (81.4%) pekerja WUS garmen memiliki tingkat pendidikan rendah. Apabila dilihat pada kategori status pernikahan, sebagian besar subjek statusnya menikah (80.0%) dan sebagian kecil (20.0%) subjek status cerai. Tabel 4 Statistik pekerja perempuan menurut status sosial demografi Karakteristik Rerata±SD n % Usia (tahun) 29.7 ± 5.5 < 30 32 ≥ 30 33 Pendidikan (tahun) 8.5±2.5 SD 26 SMP 24 SMA 15 Status pernikahan Nikah 52 Cerai 13 Besar keluarga (orang) 4.14±1.75 Kecil (≤4 orang) 43 Sedang (5-6 orang) 16 Besar (≥7 orang) 6 49.2 50.8 40.0 36.9 23.1 80.0 20.0 66.2 24.6 9.2 19 Menurut Hurlock (1998), besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-6 orang) dan besar (≥7 orang). Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada umumnya pekerja memiliki keluarga yang kecil (66.2%). Jumlah anggota keluarga yang kecil menjadi pilihan bagi sebagian besar pekerja dikarenakan kehidupan ekonomi yang semakin berat. Besar keluarga akan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga pekerja dan pengeluaran untuk konsumsi pangan (Martianto dan Ariani 2004). Kemudian berdasarkan besar keluarga lebih dari separuh subjek (66.2%) tergolong keluarga kecil. Secara keseluruhan rata-rata besar keluarga dari subjek adalah 4,14 orang dengan simpangan baku 1.75 orang. Hal ini sesuai dari penelitian Solechah et al 2014, bahwa besar keluarga pekerja WUS garmen hampir semua (86.4%) adalah keluarga kecil. Kostakis (2014) menyatakan bahwa pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, jenis kelamin, usia, status perkawinan, tempat tinggal, dan status pekerjaan. Salah satu kemampuan ekonomi subjek dilihat dari pengeluran, baik pengeluaran pangan maupun non pangan. Berdasarkan Tabel 4, pengeluaran non pangan subjek lebih besar (61.6%) daripada pengeluaran pangan (38.4%) dengan rata – rata pengeluaran sebesar Rp 2 921 600 per bulan dengan standar deviasi Rp 796 150. Tabel 5 Statistik pengeluaran rumah tangga pekerja perempuan (Rp/bulan) Statistik mean±sd(Rp) % Pengeluaran 2 921 600±796 150 100.0 a. Pangan 1 120 800±631.020 38.4 b. Non pangan 1 800 800±961.280 61.6 Berdasarkan hasil tersebut pengeluaran non pangan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pangan. Hasil ini sejalan dengan pendapat Upadhayay dan Pathania (2013) yang menyatakan bahwa pengeluaran non pangan pada masyarakat perdesaan lebih tinggi dari pada pengeluaran masyarakat di perkotaan. Pengeluaran non pangan pada penelitian ini yaitu kesehatan, rokok, kebersihan, bahan bakar, pendidikan anak, pakaian, pulsa, dan cicilan (kredit atau arisan). Pengeluaran pangan berupa makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah, dan jajan. Menurut Jacobson (2009) pengeluaran pangan pada rumah tangga miskin berhubungan dengan kepentingan tertentu, seperti ukuran keluarga, dipengaruhi oleh budaya dan faktor sosial lain. Tabel 6 Statistik pekerja perempuan berdasarkan pekerjaan Karakteristik Rerata±SD n Unit kerja Administrasi 7 Produksi 58 Lama Kerja 5±1.73 ≤ 5 tahun 45 > 5 tahun 20 Pendapatan (Rp) 1 974 700±375.800 < UMR (1969000) 31 ≥ UMR (1969000) 34 % 10.8 89.2 69.2 30.8 47.7 52.3 20 Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa sebaran pekerja perempuan menurut unit kerja, hampir seluruh (89.2%) subjek bekerja pada unit produksi, dan hanya 10,2% subjek yang bekerja pada bagian administrasi Pada umumnya, subjek pada penelitian ini telah bekerja relatif belum lama atau kurang dari lima tahun di pabrik yakni 69.2% (Tabel 5). Secara tidak langsung, masa kerja yang sebentar tersebut belum menjadi jaminan mereka akan mendapat gaji sesuai dengan upah minimum regional (UMR). Berdasarkan UMR Provinsi Jawa Barat (Rp 1 969 000), diketahui bahwa hampir separuh dari subjek (47.7%) masih menerima gaji di bawah UMR. Rata-rata pendapatan per bulan pekerja perempuan Rp.1 974 700. Hasil ini sejalan dengan Solechah et al. (2014) yang menemukan bahwa sebagian besar dari pekerja pabrik di bogor masih menerima gaji dibawah UMR pemerintah. Masalah ini perlu menjadi perhatian karena pendapatan menjadi salah satu faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Pendapatan yang tinggi memungkinkan seseorang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik (Madanijah 2004). Pendapatan adalah salah satu karakteristik ekonomi seorang pekerja, yang akan menentukan daya belinya. Pendapatan juga merupakan salah satu indikator kelas sosial. Bahkan pendapatan juga menentukan tingkat kesejahteraan sebuah keluarga, karena tinggi-rendahnya pemilikan pribadi (private properties) yang merupakan salah satu indikator kesejahteraan keluarga ditentukan oleh tingkat pendapatan. Akan tetapi, pendapatan juga dapat menjadi sumber masalah atau menjadi stressor bagi pekerja ketika pendapatan tidak sesuai dengan yang diharapkan, terutama jika tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. Salah satu penyebab kemiskinan adalah rendahnya tingkat pendapatan. Ini merupakan masalah sosial yang dapat menyebabkan masalah sosial lainnya. Upah yang tinggi tidak menjamin seseorang untuk dapat memilih dan mengonsumsi pangan yang berkualitas karena selain upah, pemilihan pangan juga ditentukan oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang untuk dapat menerima informasi, khususnya yang terkait gizi dan kesehatan, dan mempraktekkannya dalam kehidupan seharihari (Atmarita dan Fallah 2004). Karakterstik berdasarkan Status Gizi Status gizi subjek pada penelitian ini dinilai dengan melakukan pengukuran antropometri yang terdiri dari pengukuran berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar pinggang (LP), komposisi lemak tubuh (LT), lemak viseral (LV). Selanjutnya, dilakukan penghitungan dan pengkategorian indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang, lemak tubuh dan lemak viseral. Tabel 6 menyajikan sebaran subjek berdasarkan indikator status gizi. Lingkar pinggang merupakan dasar penentuan obesitas sentral yang menjadi salah satu faktor dari sirkulasi vitamin D (Jacobs et al. 2011). Rata – rata lingkar pinggang subjek 78.8 cm yang menunjukkan bahwa sebagian besar subjek tergolong dalam status gizi normal.Sementara itu, prevalensi obesitas sentral subjek ditemukan hampir separuh dari total subjek (49.2%) berdasarkan lingkar pinggang (LP ≥ 80 cm). Hasil ini sesuai dengan penelitian 21 Solechah et al. (2014) yang menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral berdasarkan lingkar pinggang hampir setengahnya diamali oleh pekerja garmen di Bogor. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena prevalensi dari defisiensi vitamin D akan meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi obesitas sentral. Berdasarkan komposisi lemak tubuh (% LT), sebagian besar subjek (81.5%) memiliki komposisi lemak tubuh sedang dan sebagian kecil (18.5%) memiliki komposisi lemak tubuh lebih. Komposisi lemak tubuh erat kaitannya dengan status obesitas individu. Obesitas berkaitan dengan defisiensi vitamin D. Hal ini bisa terjadi karena vitamin D terperangkap di dalam lemak dan tidak dapat dengan mudah untuk dimetabolisme dalam tubuh. Akibatnya, seseorang yang mengalami obesitas memerlukan setidaknya dua kali lebih banyak vitamin D dibandingkan dengan individu tidak obesitas untuk mempertahankan serum 25(OH)D antara 30-60 ng/mL (Wortsman et al. 2000). Tabel 7 Sebaran pekerja perempuan berdasarkan status gizi Variabel Rerata±SD n Lingkar pinggang 78.8 ± 7.9 Normal < 80 cm 33 Gemuk ≥ 80 cm 32 Komposisi lemak tubuh 30.5 ± 3.9 Ringan (<21%) 0 Sedang (21≤%<35) 53 Lebih (P≥35%) 12 Lemak viseral 5.2 ± 2.6 <10 58 ≥10 7 Indeks massa tubuh 23.4 ± 3 Kurus (IMT < 18.5) 1 Normal (≤ 18.5 sampai < 25.0) 45 Overweight (≤25.0 sampai < 27.0) 13 Obesitas (IMT ≥ 27.0) 6 % 50.8 49.2 0 81.5 18.5 89.2 10.8 1.5 69.2 20.0 9.2 Selain komposisi lemak tubuh, diambil juga lemak viseral sebagai indikator tumpukan lemak subjek. Berdasarkan lemak viseral, sebagian besar subjek (89.2%) memilik lemak viseral kurang dari 10 dan hanya sedikit dari subjek (10.2%) yang lebih dari 10. Kemudian indikator status gizi selanjutnya adalah indeks massa tubuh (IMT). IMT rata – rata subjek adalah 23.4 kg/m2yang berarti bahwa sebagian besar subjek termasuk dalam kategori normal (Depkes 2008).berdasarkan IMT, lebih dari separuh (69.2%) subjek tergolong normal dan 20.0% overweight. Status Vitamin D Pekerja WUS Selain menilai status gizi subjek secara antropometri, juga dilakukan pengambilan serum darah subjek untuk menilai status serum 25(OH)D sebagai indikator status vitamin D pada subjek. Sebagian besar peneliti menyetujui penggunaan 25(OH)D sebagai indikator penilaian status vitamin D karena (1) 22 enzim 25 hidroksilase tidak dapat dipengaruhi sehingga kadar 25(OH)D merupakan indikator adekuat untuk kadar vitamin D yang berasal dari sintesis di kulit dan asupan sehari – hari ,(2) konsentrasi kalsidiol berkaitan dengan banyak manifestasi klinis penyakit. Dalam melakukan kategori status vitamin D berdasarkan konsentrasi serum 25(OH)D, digunakan nilai standar Ross et al (2011) dikatakan defisiensi jika 25(OH)D kurang dari 12 ng/mL, tidak cukup jika 25(OH)D 12.0 – 19.9 ng/mL dan cukup jika 25(OH)D lebih dari atau sama dengan 20 ng/mL. Berdasarkan Tabel 7, diperoleh bahwa hampir separuh subjek (46.2%) memiliki kadar serum 25(OH)D kurang dari 12 ngl/mL (defisiensi) dan 53.8% memiliki kadar serum lebih dari atau sama dengan 12ng/mL. Sebagian besar subjek (90.8%) menderita ketidakcukupan vitamin D dan hanya 9.2% subjek status serum vitamin D kategori cukup. Rata – rata status serum vitamin 13.2 ng/mL dengan standar deviasi 4.4 ng/mL. Hasil ini sejalan dengan Briawan et al. (2014) yang mengemukakan bahwa sekitar 88.1% pekerja mengalami ketidakcukupan vitamin D. Green et al. (2008) meenemukan bahwa 63% WUS di Jakarta mengalami defisiensi vitamin D dengan rata – rata kosentrasi serum 25(OH)D adalah 19.2 ng/mL. Tabel 8 Sebaran pekerja perempuan status vitamin D Status serum 25(OH)D n % Defisiensi (<12 ng/mL) 30 46.2 Tidak cukup (12 – 19.9 ng/mL) 29 44.6 Cukup (≥ 20 ng/mL) 6 9.2 Total 65 100 Rerata±SD 13.2 ± 4.4 Peran utama vitamin D yang selama ini paling banyak diketahui adalah menjaga mineralisasi tulang disebut sebagai efek kalsiotropik, mengatur metabolisme kalsium dan fosfat di usus kecil, osteoblast, ginjal dan kelenjar paratiroid. Studi terbaru diketahui bahwa VDR juga ditemukan pada hampir seluruh sel dan jaringan tubuh seperti otak, jantung, kulit, pankreas, payudara, kolon dan sel imun dan sekaligus diketahui juga adanya produksi 1,25(OH)2D3 ekstrarenal di sel-sel tersebut (Holick 2003). Penurunan vitamin D merusak homeostasis kalsium dan posfor dalam tubuh. Vitamin D terutama bertanggung jawab untuk mengatur efisiensi penyerapan kalsium di usus. Defisiensi vitamin D menurunkan penyerapan kalsium dari usus kecil. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi dan pelepasan PTH ke dalam sirkulasi, sehingga mengembalikan homeostasis kalsium dengan meningkatkan reabsorpsi tubular kalsium di dalam ginjal, meningkatkan mobilisasi kalsium tulang dari tulang, dan meningkatkan produksi 1,25(OH)2D3. Ligan 1,25(OH)2D3 berikatan dengan reseptor vitamin D (VDR) dan memicu peningkatan penyerapan kalsium dan fosfor di usus. Gaya Hidup yang Berhubungan dengan Status Vitamin D Gaya hidup subjek yang diambil meliputi kebiasaan terpapar sinar matahari tanpa sunblock, penggunaan jilbab sehari hari, dan kebiasaan 23 konsumsi suplemen, dan status serum 25(OH)D. Sebaran gaya hidup subjek disajikan pada Tabel 8. Menurut Hollick (2008) paparan sinar matahari merupakan sumber vitamin D yang paling baik dan tidak terdapat kasus intoksikasi vitamin D akibat paparan sinar matahri berlebihan Berdasarkan paparan sinar matahari, sebagian besar subjek (76.9%) terpapar sinar matahari kurang dari 30 menit, rata – rata subjek terpapar hanya 17.7 menit dengan simpangan baku 15.3 menit. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Looker et al. (2008) bahwa pekerja perempuan sering kali jarang terpapar sinar matahari karena terkait dengan jam bekerja dimulai dari pagi hingga sore hari. Selain itu pekerja perempuan juga bekerja diruangan sehingga berisiko terjadinya kekurangan vitamin D yang didapatkan dari sinar matahari. Tabel 9 Gaya hidup yang berhubungan dengan status vitamin D Gaya hidup Rerata±SD n % Paparan sinar matahari 17.7 ± 15.3 < 30 menit 50 76.9 ≥ 30 menit 15 23.1 Penggunaan sunblock Jarang 13 20.0 Sering 52 80.0 Penggunaan jilbab Ya 43 66.2 Tidak 22 33.8 Konsumsi suplemen Ya 26 40 Tidak 39 60 Dengan meningkatnya jumlah WUS yang bekerja di dalam ruangan, dan penggunaan tabir surya telah membatasi waktu kegiatan diluar ruangan diperkirakan angka defisiensi vitamin D di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan penggunaan sunblock (tabir surya) sebagian besar ( 80%) subjek selalu menggunakan sunblock dan hanya 20% subjek yang jarang menggunakan sunblock. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Briawan et al. (2014) bahwa lebih dari separuh pekerja WUS terbiasa menggunakan tabir surya. Selain penggunaan sunblock, yang mempengaruhi penyerapan vitamin D adalah penggunaan jilbab. Pemakaian jilbab menjadi gaya hidup tersendiri buat pekerja perempuan yang ada di Indoensia yang erat kaitannya dengan keyakinan agama. Berdasarkan penggunaan jilbab lebih dari separuh (66.2%) pekerja perempuan menggunakan jilbab setiap hari kerja. Hasil ini seiring dengan penelitian setiati (2008) bahwa hampir separuh wanita menggunakan jilbab yang melindungi tubuh dari paparan langsung sinar matahari. Selain dari paparan sinar matahari, kebutuhan usumber vitamin D dapat diperoleh dari asupan sumber bahan makanan. Namun jumlah bahan makanan yang mengandung sumber vitamin D sangat sedikit. Di samping suplemen vitamin D belum cukup memenuhi kebutuhan tubuh (Hollick dan Chen 2008).Berdasarkan pola konsumsi suplemen, lebih dari separuh subjek 24 tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi suplemen (60%).Hasil ini sejalan dengan studi Green et al (2008) yang menyatakan bahwa sebagian besar perempuan di Jakarta dan Kuala Lumpur kurang mengkonsumsi suplemen. Pola Konsumsi Pangan Bioavailabilitas vitamin D dipengaruhi oleh bentuk vitamin D. Menurut Holick (2006), kolekalsiferol (vitamin D3) lebih berperan menyebabkan peningkatan konsentrasi sirkulasi kalsidiol dibandingkan dengan ergokalsiferol (vitamin D2). Vitamin D baik vitamin D2 atau vitamin D3 jarang terdapat pada makanan. Sumber utama vitamin D alamiah adalah ikan berlemak, seperti salmon, mackerel, ikan tuna, jamur, kuning telur. Vitamin D juga dapat diperoleh dari makanan yang diperkaya dengan vitamin D, diantaranya produk sereal, produk roti, makanan bayi, susu, mentega, keju, margarin (Holick 2007). Ada sepuluh kelompok pangan yang dipilih berdasarkan sumber vitamin D Berdasarkan frekuensi pola konsumsi subjek, dibagi menjadi dua kategori, yaitu pola konsumsi pangan jarang meliputi ikan segar, ikan air tawar (lele), daging (daging sapi). Jeroan (hati sapi), olahan (sosis sapi), produk susu dan mentega margarin. Kategori kedua yaitu konsumsi pangan sering, meliputi telur, buah dan sayur. Tabel 10 Sebaran pekerja perempuan berdasarkan pola konsumsi pangan 1 kali/bulan 2 – 4 kali/ bulan Konsumsi Pangan n % n % Konsumsi pangan jarang Ikan segar 36 55.4 29 44.6 Ikan air tawar (lele) 56 86.2 9 13.8 Daging (daging sapi) 47 72.3 18 27.7 Jeroan (hati sapi) 58 89.2 7 10.8 Olahan (sosis sapi) 43 66.2 22 33.8 Susu 33 50.8 32 49.2 Mentega/margarine 44 67.7 21 32.3 Konsumsi pangan sering Telur Buah Sayur 1 kali/ minggu n % 2 3.1 16 24.6 21 32.3 2 - 4 kali/minggu n % 63 96.9 49 75.4 44 67.7 Berdasarkan Tabel 9,lebih dari separuh (55.4%) subjek mengkonsumsi ikan segar hanya 1 kali /bulan. Kelompok ikan segar yang ditanyakan dalam bentuk produk sardin, udang, ikan kembung dan tuna. Pola konsumsi ikan air tawar (lele), sebagian besar subjek (86.2% ) hanya mengkonsumsinya 1 kali/ bulan. Kemudian ditemukan sekitar separuh subjek (72.3%), hanya mengkonsumsi 1 kali per bulan jenis daging sapi. Selanjutnya adalah jeroan (hati sapi), ada 89.2% atau sebagian besar subjek hanya mengkonsumsi jeroan 25 1 kali/ bulan. Begitu pula pangan olahan (sosis sapi), produk susu dan mentega/ margarin masing-masing dikonsumsi kali/ bulan oleh lebih dari separuh subjek. Berdasarkan kategori kelompok konsumsi pangan sering, kelompok telur, buah dan sayur dikonsumsi rutin 2-4 kali per minggu. Kelompok telur yang ditanyakan adalah telur ayam dan telur puyuh, hanya 3,1% subjek yang jarang mengkonsumsi telur, dan hampir semua (96.9%) subjek mengkonsumsi telur 2 – 4 kali/ minggu. Kelompok selanjutnya adalah buah. Buah yang dimasukkan dalam kelompok ini adalah yang diketahui memiliki kandungan sumber vitamin D tinggi yaitu jeruk, pisang, pepaya, dan jambu biji. Berdasarkan kelompok buah, diketahui bahwa sebagian besar (75.4%) subjek mengkonsumsi buah 2-4 kali/ minggu. Kelompok pangan lain yang masuk kategori sering adalah kelompok sayur. Jenis sayur yang dimasukkan adalah jamur, buncis, kacang panjang, brokoli, bayam dan kangkung. Berdasarkan Tabel 9, ditemukan bahwa lebih dari separuh subjek (67.7%) mengkonsumsi sayur 2 – 4 kali/ minggu. Asupan vitamin D yang berlebihan akan menyebabkan hiperkalsemia dan hiperkalsiurea yang berakibat kurang nafsu makan, haus berlebihan, kencing terus, mual, muntah, lemas, diare dan pertumbuhan terlambat. Toksisitas akan terjadi apabila kadar kalsidiol (25(OH)D) >160 ng/mL. Tolerable upper intake level untuk orang dewasa sekitar 50 mcg atau 2000 IU per hari (Gallagher 2008; Gropper dan Groff 2009; Kulie et al. 2009). Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D Terdapat beberapa faktor yg diduga menjadi faktor risiko yang berhubungan dengan status serum, antara lain umur,lama pendidikan, pendapatan ibu per bulan, paparan sinar matahari, penggunaan jilbab dan konsumsi suplemen, lingkar perut, lemak viseral, persen lemak tubuh, indeks massa tubuh (IMT), konsumsi sumber vitamin D ( ikan segar, ikan air tawar, daging, jeroan, daging olahan, telur, produk susu, vuah, sayur, dan margarin). Hasil uji regresi linear berganda antara variabel diatas terhadap status serum vitamin D disajikan pada Tabel 10. Tabel 11 Analisis regresi linear berganda faktor – faktor yang berhubungan dengan status serum vitamin D Peubah Β T Sig Intercept -15.161 -0.908 0.369 Penggunaan jilbab 3.337 2.632 0.012* Lingkar pinggang 0.221 2.061 0.044* Persen lemak tubuh 0.522 2.238 0.029* Konsumsi susu -0.090 -2.157 0.035* R Square 0.623 Keterangan: *signifikan pada α ≤ 0.05 Uji regresi linear berganda dilakukan terhadap semua variabel penelitian sehingga diperoleh nilai R square 0.623. Artinya sebanyak 62.3% status serum vitamin D dipengaruhi oleh variabel yang diteliti, sedangkan 26 sisanya (47.8%) dipengaruhi oleh variabel-variabel diluar penelitian. Berdasarkan hasil uji koefisien regresi, penggunaan jilbab (p = 0.012), lingkar perut (p = 0.044), persen lemak tubuh ( p = 0.029) dan konsumsi susu (p = 0.035) berpengaruh signifikan terhadap status serum vitamin D. Penggunaan jilbab subjek berpengaruh positif (B=3.337) dengan status serum vitamin D (P<0.05). Artinya, pekerja perempuan yang tidak menggunakan jilbab cenderung memiliki serum vitamin D lebih tinggi 3.337 dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan jilbab. Pemilihan pakaian termasuk jilbab memberikan perlindungan terhadap spektrum sinar mahatahari. Hasil ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan Robson dan Diffey (1990) menunjukkan bahwa pakaian yang terbuat dari polyester memberikan perlindungan yang lebih rendah terhadap radiasi, sedangkan kapas dan jeans akan memberikan perlindungan yang lebih banyak terhadap sinar matahari. Matsuoka et al. (1992) mengemukakan bahwa pakaian dapat mengganggu pembentukan vitamin D3. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Tsiaras dan Weinstok (2011) yang menemukan bahwa wanita muslim yang memakai cadar memiliki risiko 2.5 kali mengalami defisiensi vitamin D dibandingkan perempuan Eropa. Lingkar pinggang subjek berpengaruh positif (B = 0.221) dengan status serum vitamin D (α<0.05). Artinya pekerja perempuan dengan lingkar pinggang normal cenderung memiliki serum vitamin D lebih tinggi 0.221 dibandingkan dengan pekerja perempuan dengan lingkar pinggang lebih. Persen lemak tubuh memiliki pengaruh positif (B=0.522) dengan status serum 25(OH)D (α<0.05). Artinya, pekerja perempuan dengan persen lemak normal cenderung memiliki serum vitamin D lebih tinggi 0.522 dibandingkan dengan pekerja perempuan dengan persen lemak berlebihan. Lingkar pinggang dan persen lemak tubuh merupakan indikator lemak dalam tubuh individu. pekerja perempuan yang memiliki komposisi lemak lebih cenderung mengalami defisiensi vitamin D akibat penurunan bioavaibilitas vitamin D3 dari kulit dan adanya deposisi lemak hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Wortsman et al. (2000) dan Arunabh et al.(2003) yang menemukan bahwa seseorang yang obesitas memerlukan setidaknya dua kali lebih banyak vitamin D dibandingkan dengan individu yang tidak obesitas untuk mempertahankan status vitamin D yang normal dengan 25(OH)D 30 – 60 ng/mL. Konsumsi susu berpengaruh negatif (B = -0.090) dengan status serum vitamin 25(OH)D (P<0.05). Artinya pekerja perempuan yang rutin mengkonsumsi susu akan cenderung memiliki serum vitamin D lebih rendah 0.090 dibandingkan dengan pekerja perempuan yang jarang mengkonsumsi susu. Hal ini sejalan dengan penelitian Holick (2004) yang menemukan bahwa tingginya prevalensi kekurangan vitamin D salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin D seperti susu dan makanan yang difortifikasi. Pada lampiran 2 diketahui bahwa faktor umur tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian defisiensi vitamin D (α>0.05). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Islam et al. (2008) yang menemukan tidak ada hubungan umur pekerja garmen WUS di Afganistan dengan status serum vitamin D. 27 Paparan sinar matahari juga tidak berpengaruh signifikan dengan status serum vitamin D (α>0.05). Hasil ini sejalan dengan Hekimsoy et al. (2010) yang mengemukakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara pajanan sinar matahari dengan status serum vitamin D pada orang dewasa di Turki. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Yosephin et al. (2014) bahwa paparan sinar matahari 30 menit pada jam 09.00 – 09.30 tiga kali seminggu selama 12 minggu memiliki efek meningkatkan serum 25(OH)D sebesar 15.9%.Hasil berbeda juga dikemukakan oleh Nurbazlin et al. (2013) bahwa konsentrasi serum 25(OH)D mempunyai hubungan positif dengan lamanya terpapar sinar matahri. Sebagian besar subjek (80%) memiliki kadar serum kurang dari 30 nmol/L. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Islam et al. (2008) yang menunjukkan bahwa wanita yang bekerja 14-16 jam setiap hari di perusahaan garmen mempunyai serum 25(OH)D rendah. Studi Setiati et al. (2007) pada kelompok usia lanjut di Bekasi dan Jakarta menunjukkan paparan matahari 25 menit tiga kali seminggu pada pukul 09.00 WIB dapat memperbaiki status vitamin D. Menurut Holick (2004) cara yang sederhana mendapatkan UVB dengan membiarkan wajah, telapak tangan, dan lengan terkena sinar matahari. Sintesis vitamin D di kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kadar melanin, usia, penggunaan tabir surya, musim serta posisi lintang suatu tempat. Melanin sangat kuat dalam mengabsorpsi radiasi UVB, sehingga terjadinya pigmentasi kulit dapat menurunkan sintesis vitamin D. Pigmentasi kulit dianggap sebagai tabir surya alami tubuh, karenanya pada individu yang sering memakai tabir surya dapat mengalami penurunan sintesis vitamin D (Cannell et al. 2008). Orang putih yang terpapar sinar matahari dalam waktu lama selama musim panas tidak mengalami intoksikasi vitamin D. Hal ini dikarenakan berapapun banyaknya pigmen di kulit, jumlah maksimum previtamin D yang dapat difotosintesis di kulit. Hal ini dikarenakan berapapun banyaknya pigmen di kulit, jumlah maksimum previtamin D yang dapat difotosintesis di kulit dalam sehari adalah sekitar 15% dari konsentrasi provitamin D3 awal. Keterpajanan dengan sinar matahari selanjutnya hanya akan menyebabkan previtamin D3 berisomerisasi menjadi dua fotoproduk inaktif secara biologik yaitu lumisterol dan takisterol (Webb dan Holick 1988). Menurut Holick (1995) produksi vitamin D endogen memerlukan paparan kulit terhadap radiasi UVB dengan panjang gelombang 290-315 nm, yang mungkin didapat sepanjang tahun di negara tropis.Banyak faktor yang dapat membatasi kulit sintesis vitamin D, termasuk kondisi lingkungan seperti polusi, waktu yang dihabiskan di dalam ruangan dan kondisi kerja, kebiasaan berpakaian (cuaca, budaya dan agama), pigmentasi kulit dan penggunaan tabir surya. Sinar ultraviolet (UVB) yang berasal dari matahari akan diserap oleh kulit dan akan mengubah 7-dehidrokolesterol di kulit menjadi previtamin D3, yang selanjutnya secara spontan akan dikonversikan menjadi vitamin D3 dan seterusnya akan menjalani metabolisme di hati menjadi 25(OH)D dan di ginjal menjadi 1,25(OH)2D3. Konsumsi suplemen tidak berpengaruh signifikan dengan status serum 25(OH)D (α>0.05). Hasil ini sejalan dengan Burgaz et al. (2007) yang mengemukakan bawa tidak ada perbedaan signifikan status serum vitamin D antara wanita paruh baya yang mengkonsumsi suplemen maupun yang tidak 28 mengkonsumsi suplemen. Hasil ini berbeda dengan penelitian Pfeifer et al (2001) yang menemukan bahwa konsumsi suplemen selama 8 minggu akan meningkatkan serum 25OH)D. Pada penelitian Zittermann et al. (2009) yang memberikan suplemen vitamin D 83µg(3320 IU)/hari selama 12 bulan terhadap 200 subjek berusia 18-70 tahun, menemukan bahwa konsumsi suplemen mampu meningkatkan serum 25(OH)D hingga 55.5 nmol/L. Pencegahan defisiensi vitamin D pada usia 19-50 tahun dilakukan dengan mengonsumsi suplemen vitamin D sedikitnya 600 IU/hari sehingga mampu mencegah penyakit tulang dan fungsi otot. Untuk meningkatkan serum 25(OH)D hingga diatas 30 ng/mL direkomendasikan mengonsumsi suplemen vitamin D 1500 – 2000 IU/hari (Hollick et al. 2011). Indeks massa tubuh (IMT) tidak berpengaruh signifikan dengan status serum 25(OH)D (α>0.05). Hasil ini berbeda dengan Lenders et al(2009) yang menemukan bahwa konsentrasi 25(OH)D lebih rendah (<30 ng/mL) cenderung pada kelompok IMT yang lebih besar dan terdapat hubungan terbalik antara serum 25(OH)D dengan kejadian obesitas. Hal ini ada kaitannya dengan penyimpanan atau degradasi vitamin D dalam jaringan adiposa. Tidak ada pengaruh signifikan antara konsumsi daging (sapi), jeroan (hati sapi), daging olahan (sosis sapi) dan mentega terhadap status serum vitamin D (α>0.05). Kelompok – kelompok pangan tersebut diketahui sebagai pangan sumber lemak. Terlihat pada Tabel 9, frekuensi konsumsi pangan hewani sumber lemak tersebut terhitung jarang. Lebih dari separuh subjek mengkonsumsinya 1 kali per bulan. Hasil ini didukung dengan temuan Riskesdas 2010 yang melaporkan bahwa pola asupan lemak penduduk Indonesia masih sedikit dari ( 24 – 36% dari total energi). Tidak ada pengaruh signifikan antara konsumsi sayur dan buah dengan status serum vitamin D (α>0.05). sayur dan buah dikenal sebagai pangan sumber vitamin dan mineral. Konsumsi sayuran tidak hanya dilihat dari jumlah dan frekuensinya saja, akan tetapi juga dari kualitasnya. Sayuran berwarna mengandung lebih banyak fitokimia yang bermanfaat bagi tubuh dibandingkan sayuran tidak berwarna. Kandungan fitokimia yang terdapat dalam sayur dan buah dapat berfungsi sebagai antioksidan. Karotenoid, flavonoid, fitoestrogen, fenol, capsaisin, resveritrol, dan antosianin dapat menjadi prekursor vitamin A, menghambat proliferasi sel, membantu diferensiasi sel epitel normal, meningkatkan kerja vitamin C, menghambat penyumbatan darah, antiinflamatori, menghambat pertumbuhan sel kanker, menurunkan tingkat kolesterol darah, dan mencegah zat karsinogenik berikatan dengan DNA. Kandungan fitokimia lainnya seperti sulfida dapat menstimulasi enzim anti kanker dan detoksifikasi karsinogenik. Isothiosianat dan fenol dapat meningkatkan aktifitas enzim detoksifikasi glutation tranferase (Van Duyn dan Pivonka 2000). Kepuasan terutama rasa merupakan faktor penting yang mempengaruhi konsumsi sayur dan buah. Selain itu, musim, ketersediaan, kebiasaan, kesadaran mengenai pentingnya konsumsi sayur dan buah untuk kesehatan, pengaruh sosial (pengaruh anggota rumah tangga), efikasi diri, kemampuan/keahlian dan waktu untuk menyiapkan dan mengolah sayur dan buah merupakan faktor yang mempengaruhi konsumsi sayur dan buah orang dewasa (Brug et al. 1995) 29 Baranowski et al. (2006) menyatakan bahwa pola pembelian pangan mempengaruhi ketersediaan dan akses sayur dan buah di rumah. Harga buah yang mahal, penyajian sayuran yang membosankan, sedikitnya kandungan zat gizi (hilang pada saat pemasakan), kurang disukai rumah tangga, kurang berguna dalam menurunkan berat badan dan lebih sulit mempersiapkannya merupakan beberapa alasan yang menjadi penghambat asupan sayur dan buah. Selain itu, Maclellan et al. (2004) menyatakan bahwa penghambat utama konsumsi sayur dan buah adalah rendahnya usaha, kurangnya pengetahuan, faktor sosio-psikologis (preferensi, kebiasaan, mood), faktor lingkungan sosial (pengaruh anggota rumah tangga, pengalaman masa kecil) dan ketersediaan. Meningkatkan ketersediaan dan akses pangan merupakan dua cara untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah rumah tangga. Sebuah review mengenai sayur dan buah menunjukkan bahwa konsumsi anak-anak, remaja, dan dewasa berhubungan dengan ketersediaan di rumah dan hubungan tersebut berlaku sepanjang waktu (Jago et al. 2007). Pengeluaran pangan merupakan salah satu faktor tidak langsung yang mempengaruhi konsumsi sayur buah rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga yang rendah mengakibatkan tingginya konsumsi sayur buah. Hal ini dapat terjadi karena produksi sayur dari pekarangan meningkatkan ketersediaan dan akses sayuran rumah tangga. Rumah tangga tidak perlu membeli sayuran, karena sayuran dapat langsung di konsumsi dari pekarangan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Gejala Stres Kerja Pengukuran gejala stres kerja menggunakan kuesioner modifikasi dari Koswara (2009) yang mengacu pada instrumen Stress Assesssment Questionarre (SAQ). Instrumen ini menggunakan skala Likert. Pertanyaan yang dijadikan indikator meliputi kondisi fisik tempat kerja, beban tugas, hubungan dengan atasan/pimpinan, kondisi keuangan dan beban anak. Tabel 12 Sebaran pekerja perempuan berdasarkan gejala Stres kerja Gejala stres kerja Skor n % Stres kerja ringan 16 – 20 11 16.9 Tidak stres kerja >20 54 83.1 Berdasarkan Tabel 11 sebaran subjek menurut gejala stres kerja, tidak ditemukan pekerja WUS yang memiliki gejala stres berat dan sedang. Lebih dari separuh subjek (83.1%) tidak memiliki gejala stres kerja sama sekali, dan hanya sedikit subjek (16.9%) termasuk dalam kategori stres kerja ringan. Hasil ini sejalan dengan Pan et al. (2009) yang menemukan prevalensi orang dewasa dan lansia di Cina sekitar 14.9%. selain itu Hoogendijk et al. (2008) menemukan bahwa hampir separuh lansia wanita tidak ditemukan gejala depresi. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres Kerja Terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi faktor yang berhubungan dengan gejala stres kerja pada pekerja WUS, diantaranya adalah 30 faktor pengeluaran non pangan per bulan, lama bekerja, lingkar perut, dan status serum 25(OH)D. Hasil uji regresi linear berganda antara variabel diatas terhadap gejala stres kerja disajikan pada Tabel 12. Uji regresi linear berganda dilakukan terhadap semua variabel penelitian sehingga diperoleh nilai R square 0.148. Artinya sebanyak 14.8% variabel gejala stres kerja dipengaruhi oleh variabel yang diteliti, sedangkan sisanya (85.2%) dipengaruhi oleh variabel-variabel diluar penelitian. Berdasarkan hasil uji koefisien regresi, pengeluaran non pangan (p = 0.023) berpengaruh nyata terhadap gejala stres kerja. Tabel 13 Analisis linear berganda faktor faktor yang berhubungan dengan gejala stres kerja pekerja perempan usia subur Peubah Β T Sig Intercept 17.707 Pengeluaran nonpangan/bulan -6.991 -2.40 0.023* R Square 0.148 Keterangan: *signifikan pada α ≤ 0.05 Berdasarkan Tabel 12, pengeluaran non pangan per bulanan berpengaruh negatif (B= -6.991) terhadap gejala stres kerja pekerja perempuan (α<0.05). artinya pekerja perempuan yang memiliki pengeluaran non pangan yang besar cenderung memiliki skor stres kerja lebih kecil -6.991 dibandingkan dengan pekerja perempuan yang memiliki pengeluaran non pangan kecil. Berdasarkan lampiran 2, diketahui bahwa nilai partial correlation antara pengeluaran nonpangan dengan gejala stres kerja sebesar 0.295. Artinya ada pengaruh dari pengeluaran pada pekerja perempuan terhadap timbulnya gejala stres kerja, dengan derajat kekuatan hubungan lemah. Pengeluaran non pangan yang di ukur disini meliputi, biaya pengobatan, pendidikan, rokok, kontrakan, listrik, air dan kendaraan. Pengeluaran non pangan erat kaitannya dengan kondisi keuangan pekerja tiap bulanan. Hasil ini sesuai dengan Safrano dalam Smet (2004), bahwa stres dapat bersumber dari interaksi anggota keluarga yang berhubungan dengan keuangan, perasaan masa bodoh, tujuan yang saling berbeda, kematian salah satu anggota keluarga dan lain – lain. Koswara (2009) menemukan bahwa tingkat stres pekerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, dan dukungan sosial. Jika seseorang mendapat promosi sehingga meningkat statusnya dan pendapatannya, maka gaya hidupnya pun berubah. Jabatan baru akan menuntut penampilan yang berbeda, selera yang berbeda, pakaian yang berbeda, pola makan yang berbeda. Perubahan gaya hidup pada intinya akan mengubah pola konsumsi seseorang. Pertanyaannya bagaimana jika seseorang mengalami stres, karena jabatan baru kemungkinan meningkatkan beban kerja, waktu kerja, deadline pekerjaan, dan lain-lain. (Sumarwan 2003) Michael (1998) mengatakan bahwa penyebab utama stres pekerjaan adalah karakteristik pekerja versus kondisi pekerjaan. Karakteristik pekerja yang meliputi karakteristik-karakteristik individu pekerja, seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan dapat menjadi penyebab stres pekerja. Demikian pula kondisi pekerjaan dapat menimbulkan stres. 31 Berdasarkan Lampiran 2, Lingkar pinggang tidak berpengaruh signifikan terhadap gejala stres kerja subjek (α> 0.05). Artinya, pekerja perempuan dengan lingkar perut berlebih belum tentu cenderung merasakan gejala stres kerja. Lingkar pinggang menjadi salah satu indikator berat badan seseorang. Hal ini tidak sejalan studi Heraclides et al.(2011) yang menemukan bahwa stres kerja pada pekerja perempuan berpengaruh positif pada wanita obesitas. Jenis kelamin dan berat badan memiliki peran penting yang berhubungan langsung dengan kejadian psikososial stres dan DM tipe 2. Swarth (1993) menjelaskan bagaimana respon tubuh terhadap stres. Epineprin (adrenalin), suatu hormon stres, dilepaskan dari kelenjar adrenal. Hormon ini bersama hormon lainnya beredar dalam tubuh untuk meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung, kecepatan bernafas, dan mengubah proses tubuh lainnya. Kadar gula darah juga meningkat. Sel-sel lemak melepaskan lemak ke dalam aliran darah untuk meningkatkan persediaan enerji otot. Kelainan kelainan yang berkaitan dengan stres adalah penyakit jantung, tukak, alergi, asma, ruam kulit, hipertensi (tekanan darah tinggi) dan kemungkinan kanker. Stres juga dapat menyebabkan msalah psikologis, seperti stres kerja, kecemasan, sikap masa bodoh, kelainan makan, dan penyalahgunaan alkohol serta obat-obatan terlarang. Status serum vitamin D tidak berpengaruh signifikan dengan gejala stres kerja (α>0.05). hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Pan et al. (2009) yang melakukan peneliitan di Beijing Utara dan Shanghai Selatan bahwa tidak ada hubungan antara gejala depresi dengan konsentrasi serum 25 (OH)D pada orang dewasa dan lanjut usia. Vitamin D adalah hormon sekosteroid terstruktur diproduksi di kulit setelah terpapar UVB-radiasi atau diperoleh dari produk makanan tertentu (misalnya, hati) (Holick, 2007). Metabolit aktif vitamin D memainkan peranan penting dalam homeostasis kalsium dan fosfat (Holick, 2007). Beberapa hasil penelitian tebaru telah menyelidiki hubungan antara gejala stres (depresi ringan) dengan status vitamin D. Tetapi hasil penelitian tesebut belum konsisten ((Armstrong et al. 2007; Jorde et al. 2006; Schneider et al. 2000; Wilkins et al, 2006). Hal tersebut bisa jadi disebabkan studi dilakukan pada subjek minimal (n<100), tidak mengendalikan faktor perancu dan dilaksanakan pada institusi sosial yang bersifat homogen (misalnya penderita skixofenia, pecandu alkohol). Tidak ditemukannya hubungan signifikan antara serum vitamin D dengan gejala stres kerja, berbeda dengan hasil temuan Hoogendijk et al. (2008) yang melaporkan adanya gejala depresi (dengan instrumen CES-D) berkaitan dengan penurunan kadar serum 25(OH)D pada 1282 orang dewasa tua berusia 65 – 95 tahun di beberapa daerah Belanda. Walaupun hasil tersebut belum menyebutkan apakah ada perbedaan prevalensi penderita gejala stres berdasarkan letak geografis subjeknya. Pada percobaan klinis, juga menghasilkan hasil yang beragam terkait suplemen vitamin D dengan gejala depresi ((Dumville et al. 2006; Jorde et al. 2008). Walaupun ada bukti biologis yang cukup meyakinkan yang menunjukkan peran penting vitamin D dalam perkembangan dan fungsi otak (McCann dan Ames, 2008). Pengaruh langsung defisiensi vitamin D pada depresi pada manusia masih lemah. 32 6. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pekerja perempuan di pabrik garmen rata-rata berusia kategori muda dan sebagian besar memiliki masa kerja belum lama. Rerata pendapatan per bulan pekerja perempuan cukup tinggi. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), pada umumnya status gizi pekerja perempuan normal. Berdasarkan status serum 25(OH)D, diperoleh lebih dari dua per tiga (90.2%) memiliki serum vitamin D tidak normal terbagi menjadi 46.2% kategori defisiensi dan 44.6% kategori tidak cukup. Hanya 9.2% subjek yang memiliki kadar serum vitamin D normal. Berdasarkan analisis regresi linear berganda, penggunaan jilbab, lingkar pinggang dan konsumsi susu berpengaruh signifikan terhadap status serum vitamin D pada pekerja perempuan. Sedangkan gejala stres kerja dipengaruhi secara signifikan oleh faktor pengeluaran non pangan. Status serum vitamin D diketahui tidak berpengaruh signifikan terhadap timbulnya gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang faktor risiko lain yang diketahui mempengaruhi status serum vitamin D seperti aktifitas fisik,warna kulit, pengaruh iklim, jenis kelamin dan genetik. Selain itu perlu dilakukan program perbaikan gizi dan kesehatan terhadap pekerja perempuan dalam menunjang produktivitas mereka, program suplementasi vitamin D atau program senam di pagi hari. Rekomendasi program tersebut bisa dilaksanakan pada semua instansi perkantoran baik di pemerintah maupun swasta, utamanya yang memiliki karyawan lebih banyak bekerja dalam ruangan. 33 DAFTAR PUSTAKA Anglin RES, Samaan Z, Walter SD, Mcdonald SD. 2013. Vitamin D deficiency and depression in adults: systematic review and metaanalysis. The British Journal of Psychiatry 202,100-107.doi: 10.1192/bjp.bp.111.106666. Arabi A, El Rassi R, Fuleihan GE. 2010. Hypovitaminosis D in developing countries – prevalence, risk factors and outcomes. Nat.Rev.Endocrinol.6.550-561. doi : 10.1038/nrendo.2010.146 . Atmarita SF, Fallah T. 2004. Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta. Baranowski T, Watson K, Missaghian M, Broadfoot A, Baranowski J, Cullen K, Nicklas T, Fisher J, O’Donnell S. 2006. Parent outcome expectancies for purchasing fruit and vegetables: a validation. Public Health nutrition: 10(3):280-291.doi: 10.1017/S1368980007382499. Bertone-Johnson ER.2009. Vitamin D and the occurrence of depression : causal association or circumstantial evidence?.Nutrition Reviews Vol.67(8): 481-492 Bender DA. 2003. Nutritional Biochemistry of the Vitamins: Cambridge university press. Bertone-Johnson ER, Powers SI, Spangler L, Brunner RL, Michael YL, Larson JC, Millen AE, Bueche MN, Samoirago-Blotcher E, Liu S.et al. 2011. Vitamin D intake from foods and suplements and depressive symptoms in a diverse population of older women. Am J Clin Nutr;94:110412.doi: 10.3945/ajcn.111.017384. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Statistik Indonesia. http://www.datastatistikindonesia.com/ . [21 Desember 2014]. Brug J, Debie S, van Assema P, Weijts W. 1995. Psychosocial determinants of fruit and vegetable consumption among adults: Results of focus group interviews. Food Qualily and Preference. 6 \:99-107. Burgaz A, Orsini N, Larsson SC, Wolk A. 2011. Blood 25-hydroxyvitamin D concentration and hypertension: a meta-analysis. Journal of Hypertension 29(4): 636-645. Cannell JJ, Hollis BW. 2008. Use of vitamin D in clinical practice. Alternative Medicine Review 13(1). Eyles DW, Smith S, Kinobe R, Hewison M, Mcgranth. 2005. Distribution of the vitamin D receptor and 1 alpha-hydroxylase in human brain. J Chem Neuroanat;29:21-30 Eyles DW, Feron F, Cui X, Kesby JP, Harms LH, Ko P, McGranth JJ, Burne THJ. 2009. Developmental vitamin D deficiency causes abnormal brain development. Psychoneuroendocrinology 34S,S247-S257. doi: 10.1016/j.psyneuen.2009.04.015. Gallagher M. 2008. The nutrients and their metabolism in Krause’s Food & Nutrition Therapy. Saunders: Philadelphia. Goldsmith, E. B. 1996. Resource Management for Individuals and Families: Management Stress and Fatigue. USA: West Publishing Company. Gropper S, Groff J. 2009. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Canada: Wadsworth, Cengage Learning 34 Gropper SS, Smith JL. 2012. Advanced nutrition and human metabolism: Cengage Learning Forman JP, Giovannucci E, Holmes MD, Bischoff-Ferrari HA, Tworoger SS, Willet, Walter C, Curhan, C G . 2007. Plasma 25 – hydroxyvitamin D levels and risk of incident hypertension. Hypertension 49(5) : 1063 – 1069. Hanwell H, Vieth R, Cole D, Scillitani A, Modoni S, Frusciante V, Ritrovato G, Chiodini I, Minisola S, Carnevale V. 2010. Sun exposure questionnaire predicts circulating 25-hydroxyvitamin D concentrations in Caucasian hospital workers in Southern Italy. The Journal of Steroid Biochemistry and Molecular Biology 121(1): 334-337. Hekimsoy Z, Dinc G, Kafesciler S, Onur E, Guvenc Y, Pala T, Guclu F, Ozmen B. 2010. Vitamin D status among adults in the Aegean region of Turkey. BMC Public Health.10:782. Hoang MT, Defina LF, Willis BL, Leonard DS, Weiner MF, Brown ES. 2011. Association between low serum 25-Hydroxyvitamin D and depression in a large sample of healthy adults: the cooper center longitudinal study. Mayo Clin Proc;86(11):1050-1055. Hoogendijk WJG, Lips P, Dik MG, Deeg DJH, Beekman ATF, Penninx BWJH. 2008. Depression is associated with decreased 25Hydroxyvitamin D and increased parathyroid hormone levels in older adults. Arch Gen Psychiatry;65(5):508-512. Islam MZ, Shamim AA, Kemi V, Nevanlinna A, Akhtaruzzaman M, Laaksonen M, Jehan AH, Jahan K, Khan HU, Lamberg –Allardt C. 2008. Vitamin D deficiency and low bone status in adult female garment factory workers in Bangladesh. British Journal of Nutrition 99 (06): 1322-1329. Islam MZ, Shamim AA, Viljakainen HT, Akhtaruzzaman M, Jehan AH, Khan HU, Al-Arif FA, Lamberg –Allardt C. 2010. Effect of vitamin D, Calsium and multiple micronutrient suplementation on vitamin D and bone status in Bangladeshi premenopausal garment factory workers with hypovitaminosis D: a double-blinded, randomised, placebocontrolled 1-year intervention. British Journal of Nutrition 104(02): 241 – 247. Jacobson D, Mavrikiou PM, Minas C. 2010. Household size, income and expenditure on food: The case of Cyprus. The Journal of SocioEconomics.39: 319–328. doi:10.1016/j.socec.2009.12.009 Jaddou HY, Batieha AM, Khader YS, Kanaan SH, El-Khateeb MS, Ajlouni KM. 2012. Depression is associated with low levels of 25hydroxyvitamin D among Jordanian adults: results from national population survey. Eur Arch Psychiatry Clin Neurosci 262:321-327. Doi:10.1007/s00406-011-0265-8. Jago R, Baranowski T, Baranowski JC. 2007. Fruit and vegetable availability: a micro environmental mediating variable?. Public Health Nutrition. 10(7): 681–689.doi: 10.1017/S1368980007441441 Ju SY, Lee YJ, Jeong SN. 2013. Serum 25-hydroxyvitamin D levels and the risk of depression: A systematic review and meta-analysis. The Journal of Nutrition,Health & Aging 17(5) 35 [Kemenskes] Kementerian Kesehatan. 2008. Laporan hasil riset kesehatan dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Klitzman S, House JS, Israel BA, Mero RP. 1990. Work stress, Nonwork stress, and health. Journal of Behavioral Medicine,Vol.3,No.3. Kostakis I. 2014. The determinants of households’ food consumption in Greece. International Journal of Food and Agricultural Economics. 2(2) : 17-28 Koswara H. 2009. Pengaruh Stress Pekerjaan Terhadap Keberfungsian Keluarga Pekerja di Kota Bandung [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lapid MI, Cha SS, Takahashi PY. 2013. Vitamin D and depression in geriatric primary care patients. Clinical Interventions in Aging: 8 509-514. Lips P, Duong T, Oleksik A, Black D, Cummings S, Cox D, Nickelsen T. 2001. A global study of vitamin D status and parathyroid function in postmenopausal women with osteoporosis: baseline data from the multiple outcomes of raloxifene evaluation clinical trial. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 86(3): 1212-1221. Maclellan DL, Gottschall-Pass K, Larsen R. 2004. Fruit and vegetable consumption: benefits and barriers. Canadian Journal of Dietetic Practice & Research. 65(3):101-5. Madanijah S. 2004. Pola Konsumsi Pangan dalam Y.F. Baliwati, A. Khomsan & C. M. Dwiriani. Pengantar Pangan dan Gizi (Hal 69-77). Jakarta: Penebar Swadaya McCubbin HI, Thompson AI. 1987. Family Assessment Inventory: Research and Practice. Madison-Wiscousin: The University of WiscousinMadison. McCubbin HI, McCubbin MA, Thompson AI, Han SY, Allen CT. 2001. Family Under Stress: what makes them resilient. File://B:\Families Under Stress What Makes Them Resillient.html Mertens P, Muller R. 2010. Vitamin D and cardiovascular risk. International Urology and Nephrology 42(1): 165-171. Milaneschi Y, Shardell M, Corsi AM, Vazzana R, Bandinelli S, Guralnik JM, Ferucci L. 2010. Serum 25-Hydroxyvitamin D and depression symptoms in older women and men. J Clin Endocrinol Metab 95: 32253233. Milaneschi Y, Hoogendijk W, Lips P, Heijboer AC, Schoevers R, van Hemert AM, Beekman ATF, Smit JH, Penninx BWJH. 2013. The association between low vitamin D and depressive disorders. Molecular Psychiatry.doi: 10.1038/mp.2013.36. Murray CJL, Lopez AD. 1997. Global mortality, disability, and the contribution of risk factor: global burden of disease study. Lancet; 349:1436-42. Norman AW. 1998. Sunlight, season, skin pigmentation, vitamin D, and 25hydroxyvitamin D: integral components of the vitamin D endocrine system. The American Journal of Clinical Nutrition 67(6): 1108-1110. Norman AW. 2008. A vitamin D nutritional cornucopia: new insights concerning the serum 25-hydroxyvitamin D status of the US 36 population. Am J Clin Nutr 88(6): 1455-1456. doi: 10.3945/ajcn.2008.27049. Novliadi F. 2007. Intensitas Turnover Ditinjau dari Budaya Perusahaan. Medan (ID): USU Repository Pfeifer M, Begerow B, Minne HW, Nachtigall D, Hansen C. 2001. Effects of a Short-Term Vitamin D3 and Calcium Supplementation on Blood Pressure and Parathyroid Hormone Levels in Elderly Women 1. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 86(4): 1633-1637. Pilz S, Kienreich K, Stuckler D, Meinitzer A, Tomaschitz A. 2012. Associations of sun exposure with 25-hydroxyvitamin D and parathyroid hormone levels in a cohort of hypertensive patients: the Graz Endocrine Causes of hypertension (GECOH) study. International Journal of Endocrinology. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Laporan Nasional. Jakarta (ID) : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Ross AC, Manson JE, Abrams SA, Aloia JF, Brannon PM, Clinton SK, Durazo Arvizu RA, Gallagher JC, Gallo RL, Jones G. 2011. The 2011 report on dietary reference intakes for calcium and vitamin D from the Institute of Medicine: what clinicians need to know. Journal of Clinical Endocrinology &Metabolism 96(1):53-58. Sapp SG, Jensen HH. 1997. Reliability and validity of nutrition knowledge and diet-health awareness tests developed from the 1989-1991 diet and health knowledge surveys. JNE. 29 : 63 – 72. Setiati S. 2008. Vitamin D status among Indonesian elderly women living in institutionalized care units. Population 40(2). Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Stroud ML, Stilgoe S, Stott VE, Alhabian O, Salman K. 2008. Vitamin D-a Review. Australian Family Physician 37(12): 1002 – 1005. Upadhyay H, Pathania R. Consumer expenditure behavior in India: a case of rural and urban consumer. International Journal of Business and Management Invention. 2(2): 68 – 73. Van Duyn MA, Pivonka E. 2000. Overview of the health benefits of fruit and vegetable consumption for the dietetics professional: Selected literature [review]. J Am Diet Assoc. 100:1511-1521 Yosephin B. 2014. Paparan sinar matahari dan suplementasi vitamin D-kalsium serta pengaruhnya terhadap serum 25-hidroksivitamin D, tekanan darah dan profil lipid pekerja perempuan usia subur[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zittermann A, Frisch S, Berthold HK, Götting C, Kuhn J, Kleesiek K, Stehle P, Koertke H, Koerfer R. 2009. Vitamin D supplementation enhances the beneficial effects of weight loss on cardiovascular disease risk markers. The American Journal of Clinical Nutrition 89(5): 1321-1327. 37 Lampiran 1 Kuesioner FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS VITAMIN D DAN DAMPAKNYA TERHADAP GEJALA STRES KERJA PADA PEKERJA PEREMPUAN USIA SUBUR Kode Responden : ________________________________________ Nama Lengkap : ________________________________________ Alamat Rumah : ________________________________________ ________________________________________ No. Telepon/HP : ________________________________________ Tanggal Pengisian : ________________________________________ Nama Enumerator : ________________________________________ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 38 A. DATA KARAKTERISTIK SOSIO-EKONOMI-DEMOGRAFI 1. Tanggal Lahir A11 Tanggal :____________ A12 Bulan : ______________ Umur A13 A2 Tahun : ______________ 2 3. Suku A3 4. Status pernikahan A4 _________________ 1. Menikah 2. Janda 5. Lama Pendidikan A5 6. Pendidikan (berdasarkan ijazah terakhir) A6 7. A7 ____________ orang 8. Jumlah anggota keluarga yang tinggal di rumah Pendapatan ibu per bulan A8 Rp. _________________________/bulan 9. Pendapatan keluarga per bulan A9 Rp. _________________________/bulan 10. Pengeluaran pangan per bulan A10 Rp. _________________________/bulan 11. Pengeluaran nonpangan per bulan A11 Rp. _________________________/bulan B1 B2 B3 B11___________ tahun B12 ________ bulan _______________ hari/minggu ________________ jam/hari B4 B5 ______________________ ___________ km B. RIWAYAT PEKERJAAN 1. Lama bekerja di pabrik 2. Jumlah hari kerja di garmen 3. Lama waktu (jam) kerja di garmen/hari 4. Unit kerja 5. Jarak dari tempat tinggal (rumah) ke tempat kerja ________________ tahun ________________ tahun 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. Diploma 5. Perguruan tinggi 6. Lama waktu perjalanan dari tempat tinggal (rumah) ke tempat kerja B6 ___________ menit 7. Cara pergi kerja (yang paling sering) B7 8. Cara Pulang kerja (yang paling sering) B8 9. Bila menggunakan sepeda motor, apakah ibu menggunakan: B91 B92 1. Jalan kaki 2. Motor 3. Angkot 4. Mobil Pribadi 1. Jalan kaki 2. Motor 3. Angkot 4. Mobil Pribadi Sarung tangan: 1. Ya 2. Tidak Jaket: 1. Ya 2. Tidak 39 C. PAPARAN SINAR MATAHARI, PENGGUNAAN SUNBLOCK & KONSUMSI SUPLEMEN 1. Apakah ibu selalu menggunakan kosmetik yang C1 1. Jarang mengandung tabir surya (sunblock/SPF) ketika 2. Selalu berada di luar ruangan? 3. Tidak pernah 2. Sebutkan merk kosmetika apa yang ibu gunakan C21 Pelembab: __________________ (yang paling sering digunakan)? Hand body: _________________ C22 C23 C3 3. Menurut ibu apakah paparan sinar matahari itu berdampak buruk bagi kesehatan? 4. Dalam sehari kira-kira berapa lama kulit ibu C4 terpapar sinar matahari tanpa kosmetik? Bagian tubuh mana yang paling sering terkena C51 C52 sinar matahari (sebutkan, bisa lebih dari satu) C53 5. 6. 7. 8. Apakah ibu selalu menggunakan jilbab sehari- C6 hari? Warna jilbab yang sering digunakan: C7 Bedak: _____________________ 1. Ya 2. Tidak __________ menit Wajah: 1. Ya 2. Tidak Tangan: 1. Ya 2. Tidak Kaki: 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak 1. Gelap (hitam, biru dongker, abu-abu) 2. Cerah 9. Selain pakaian seragam, bahan pakaian yang C8 sering ibu gunakan terbuat dari (katun, polyester, jeans, dll)? Apakah Ibu biasa minum suplemen? C9 10. Frekuensi minum suplemen per minggu C10 ___________ kali/minggu 11. Jumlah suplemen yang dikonsumsi per kali minum C11 ___________ tablet/kapsul ___________________________ 1. Ya, C9L Sebutkan merk: ________________________ 2. Tidak 40 D. FREKUENSI KONSUMSI PANGAN (FFQ) DALAM SATU BULAN TERAKHIR D1 D2 D3 D4 D5 Frekuensi Pangan (Kali per)1) No. Jenis Pangan Hari Minggu Bulan Tahun 1. IKAN SEGAR 1. Sardin 2. Udang 3. Ikan kembung 4. Tuna 2. IKAN AIR TAWAR (Lele) 3. DAGING (Daging Sapi) 4. JEROAN (Hati Sapi) 5. DAGING OLAHAN (Sosis) 6. TELUR 1. Telur ayam 2. Telur puyuh 7. PRODUK SUSU 1. Yoghurt 2. Susu 3. Es krim 4. Susu kedelai 5. Susu skim 6. Keju 8. BUAH 1. Jeruk 2. Pisang 3. Pepaya 4. Jambu biji 9. SAYUR 1. Jamur 2. Buncis 3. Kacang panjang 4. Brokoli 5. Bayam 6. Kangkung 10. MENTEGA/MARGARINE 1. Mentega 2. Margarine Keterangan: 1) = Pilih salah satu 41 E. PENGUKURAN STRESS PEKERJAAN Nama Lengkap : __________________________________ No Responden : __________________________________ E1 Jawaban No Pertanyaan 1 Bagaimana kondisi lingkungan fisik tempat ibu bekerja, seperti luas ruangan, pertukaran udara, pencahayaan , kebersihan, dll ? 2 Bagaimana beban tugas pekerjaan yang harus ibu laksanakan 3 Bagaimana hubungan ibu dengan pimpinan? 4 Bagaimana kondisi keuangan (pendapatan dan pengeluaran) ibu (dalam setahun terakhir)? 5 Bagaimana beban tuntutan sekolah anak ibu Keterangan : Nilai 5 – 10 : stres berat Nilai 11 – 15 : stres sedang Nilai 16 – 20 : stes ringan Nilai > 20 : tidak stres Membuat saya sangat tertekan (nilai 1) Membuat saya tertekan (nilai 2) Membuat saya agak tertekan (nilai 3) Tidak membuat saya tertekan (nilai 4) 42 Lampiran 2 Ringkasan analisis data Faktor – faktor yang berhubungan dengan status serum vitamin D (Y1) Variable Β Intercept -15.161 -0.044 Umur Lama pendidikan 0.315 Pendapatan ibu per bulan -9.965 Paparan UVB 0.008 Penggunaan jilbab 3.337 Konsumsi suplemen -0.271 Lingkar perut 0.221 Lemak viseral -0.807 Persen lemak tubuh 0.522 IMT 0.372 0.075 Ikan segar 0.010 Ikan air tawar (lele) -0.050 Daging (daging sapi) 0.436 Jeroan (hati sapi) -0.099 Daging olahan (sosis) 0.029 Telur Produk susu -0.090 Buah -0.195 Sayur 0.164 Mentega/margarin -0.049 Adjusted R Square F (p) Keterangan: *signifikan pada p<0.05 T -0.908 0.318 1.156 -0.062 0.209 2.632 -0.203 2.061 -0.831 2.238 0.453 0.208 0.034 -0.427 -1.284 -0.663 0.771 -2.157 -1.334 0.902 0.519 Sig 0.369 0.752 0.254 0.951 0.836 0.012* 0.840 0.044* 0.410 0.029* 0.653 0.836 0.973 0.671 0.206 0.511 0.445 0.035* 0.189 0.372 0.606 43 Lampiran 2 Ringkasan analisis data (lanjutan) Data stres The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: J_TOTAL5 skor depresi Number of Observations Read Number of Observations Used 65 65 Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 4 60 64 45.60965 273.83651 319.44615 11.40241 4.56394 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 2.13634 17.70769 12.06447 R-Square Adj R-Sq F Value Pr > F 2.50 0.0520 0.1428 0.0856 Parameter Estimates Variable Label Intercept A2 A11_A VD LILA Intercept umur pengeluaran nonpangan/bulan VD lingkar perut (cm) DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| 1 1 1 1 1 21.43121 0.05980 -6.99145E-7 -0.07290 -0.04162 2.80960 0.05483 2.916378E-7 0.06458 0.03881 7.63 1.09 -2.40 -1.13 -1.07 <.0001 0.2798 0.0196 0.2634 0.2879 Pearson Partial Correlation Coefficients, N = 65 Prob > |r| under H0: Partial Rho=0 J_TOTAL5 skor depresi A11_A pengeluaran nonpangan/bulan J_TOTAL5 A11_A 1.00000 -0.29565 0.0196 -0.29565 0.0196 1.00000 44 Lampiran 3 Naskah penjelasan peneliti untuk mendapat informed consent dari subjek penelitian JUDUL PENELITIAN INSTANSI PELAKSANA : FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS VITAMIN D DAN DAMPAKNYA TERHADAP GEJALA STRES KERJA PADA PEKERJA PUS : DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT, FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA, IPB PENJELASAN SEBELUM PERSETUJUAN Bapak/Ibu Yth, Kami adalah mahasiswa pascasarjana Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB akan melakukan kegiatan penelitian mengenai ” Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Status Vitamin D dan Dampaknya Terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja PUS”. Pekerja usia subur di industri garmen PT Gunung Salak Cicurug, Sukabumi merupakan salah satu kelompok produktif dalam masyarakat yang rentan terkena kekurangan vitamin D. Hal ini disebabkan karena pekerja melakukan kegiatan dalam ruangan, cara berpakaian yang menutupi seluruh tubuh dan wajah, sering menggunakan tabir surya, serta perilaku menghindari sinar matahari. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status vitamin D pada pekerja perempuan usia subur. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam melaksanakan program peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) baik oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan yang banyak mempekerjakan WUS sehingga dapat membantu mengatasi masalah defisiensi vitamin D yang dihadapi pekerja WUS di perusahaan. Oleh karena itu, kami mengundang Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Tujuan penelitian Menganalisis prevalensi defisiensi vitamin D dan faktor-faktor yang mempengaruhi defisiensi vitamin D pekerja WUS. Perlakuan/hal-hal yang akan dialami peserta Penelitian ini akan dilakukan dengan mengumpulkan data melalui: Wawancara - Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data tentang karakteristik sosial 45 ekonomi rumahtangga, riwayat kesehatan, konsumsi pangan dan suplemen, serta penggunaan sunblock. Data yang dikumpulkan akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak merugikan subjek. Pengukuran - Berat badan, tinggi badan, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh diukur oleh sarjana gizi yang sudah terlatih. - Serum Vitamin D dikumpulkan oleh tenaga laboratorium terakreditasi di bawah pengawasan dokter medis. Manfaat bagi peserta Bila Ibu menjadi peserta kegiatan ini, maka akan mendapatkan manfaat yaitu tambahan informasi mengenai status gizi dan status serum Vitamin D. Risiko yang mungkin timbul Risiko yang mungkin timbul minimal seperti pengambilan darah pada umumnya. Risiko tersebut meliputi adanya hematome/memar pada tempat pengambilan darah yang akan hilang tanpa pengobatan selama 3-7 hari. Risiko lain juga dimungkinkan terjadi infeksi pada luka tusukan, namun hal ini dapat dihindari dengan penanganan oleh tenaga profesional yang berpengalaman dan penggunaan peralatan steril dan sekali pakai (disposable). Kerahasiaan data Data yang diperoleh dari kegiatan ini akan diperlakukan secara rahasia, hanya peneliti yang bertanggungjawab atas kegiatan ini yang dapat memperoleh dan menggunakan informasi yang didapatkan dari kegiatan ini. Hak untuk menolak atau menarik diri dari kegiatan Ibu dapat menolak untuk berpartisipasi dari kegiatan ini dan mempunyai hak mengundurkan diri setiap saat bila dirasakan ada hal-hal yang kurang berkenan bagi Ibu tanpa ada sanksi apapun dari kami. Insentif yang diberikan Peserta akan diberikan uang sebesar Rp 50.000 setelah wawancara dan Rp. 50.000 dan snack setelah pengambilan sampel darah. Peneliti yang dapat dihubungi Bila ada hal-hal yang ingin ditanyakan dan timbul masalah setelah pengambilan sampel darah terkait penelitian ini, Ibu dapat menghubungi ketua peneliti sekaligus penanggungjawab, yaitu Dr. Betty Yosephin, di nomor: 0852-732-86-858 atau 0857-5833-9363. Atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih. 46 Lampiran 4 Surat Persetujuan untuk Penelitian (Informed consent) INFORMED CONSENT Judul penelitian: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D dan Dampaknya terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja PUS” Bersama ini, kami yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : ......................................................................................... Tanggal lahir/umur : ......................................................... /..................... tahun Alamat : ........................................................................................... ........................................................................................... ........................................................................................... ........................................................................................... Telpon/HP : ........................................................................................... Telah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian: ” Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D dan Dampaknya terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja PUS” dan setuju untuk ikut serta dalam penelitian ini, dengan catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan persetujuan ini. Sukabumi,................2015 Menyaksikan, Yang menyetujui: (...................................) (...................................) 47 Lampiran 5 Penjelasan Rinci Tentang Tata Cara Pengukuran Status Gizi 1. PENGUKURAN BERAT BADAN Pengukuran berat badan (kg) ditujukan untuk mendapatkan data berat badan sampel untuk menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) agar dapat diketahui status gizinya. SASARAN: Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 18-40 tahun. ALAT: Timbangan berat badan digital dengan kapasitas 200 kg dan ketelitian 0,1 kg; menggunakan baterai alkaline. PERSIAPAN: 1. Ambil timbangan dari kotak karton dan keluarkan dari bungkus plastiknya. 2. Pasang baterai pada bagian bawah alat timbang (PERHATIKAN POSISI BATERAI). 3. Perhatikan 4 (empat) kaki timbangan pada bagian bawah alat timbang harus lengkap (KAKI TIMBANGAN HARUS TERPASANG DAN TIDAK BOLEH HILANG). 4. Letakan alat timbang pada lantai yang datar. 5. Sampel yang akan ditimbang diminta membuka alas kaki dan jaket serta mengeluarkan isi kantong yang berat seperti kunci. PROSEDUR PENIMBANGAN SAMPEL: 1. Aktifkan alat timbang dengan cara menekan TOMBOL ON, dan tunggu sampai muncul angka 0,00 dan timbangan siap digunakan. 2. Sampel diminta naik ke alat timbang dengan posisi kaki tepat di tengah alat timbang tetapi tidak menutupi jendela baca. 3. Perhatikan posisi kaki sampel tepat di tengah alat timbang, sikap tenang (JANGAN BERGERAK-GERAK) dan kepala tidak menunduk (memandang lurus kedepan). 4. Angka di kaca jendela alat timbang akan muncul, dan tunggu sampai angka tidak berubah (STATIS). 5. Catat angka yang terakhir dan isikan pada kolom berat badan (kg) pada kuesioner. 6. Minta sampel turun dari alat timbang. 48 7. Alat timbang akan OFF secara otomatis. Untuk menimbang sampel berikutnya, ulangi prosedur 1 s/d 7. Demikian pula untuk sampel berikutnya. 2. PENGUKURAN TINGGI BADAN Pengukuran tinggi badan (cm) ditujukan untuk mendapatkan data tinggi badan sampel untuk menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) agar dapat diketahui status gizinya. SASARAN: Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 18-40 tahun ALAT: Pengukur tinggi badan: MICROTOISE dengan kapasitas ukur 2 meter dan ketelitian 0,1 cm. PERSIAPAN (CARA MEMASANG MICROTOISE): 1. Gantungkan bandul benang untuk membantu memasang microtoise di dinding agar tegak lurus. 2. Letakan alat pengukur di lantai yang DATAR tidak jauh dari bandul tersebut dan menempel pada dinding. Dinding jangan ada lekukan atau tonjolan (rata). 3. Tarik papan penggeser tegak lurus ke atas, sejajar dengan benang berbandul yang tergantung dan tarik sampai angka pada jendela baca menunjukkan angka 0 (NOL). Kemudian dipaku atau direkat dengan lakban pada bagian atas microtoise. 4. Untuk menghindari terjadi perubahan posisi pita, beri lagi perekat pada posisi sekitar 10 cm dari bagian atas microtoise. PROSEDUR PENGUKURAN TINGGI BADAN: 1. Minta sampel melepaskan alas kaki (sandal/sepatu), topi (penutup kepala). 2. Pastikan alat geser berada di posisi atas. 3. Reponden diminta berdiri tegak, persis di bawah alat geser. 4. Posisi kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat dan tumit menempel pada dinding tempat microtoise dipasang. 5. Pandangan lurus ke depan, dan tangan dalam posisi tergantung bebas. 6. Gerakkan alat geser sampai menyentuh bagian atas kepala sampel. Pastikan alat geser berada tepat di tengah kepala sampel. Dalam keadaan ini bagian belakang alat geser harus tetap menempel pada dinding. 7. Baca angka tinggi badan pada jendela baca ke arah angka yang lebih besar 49 (ke bawah). Pembacaan dilakukan tepat di depan angka (skala) pada garis merah, sejajar dengan mata petugas. 8. Apabila pengukur lebih rendah dari yang diukur, pengukur harus berdiri di atas bangku agar hasil pembacaannya benar. 9. Pencatatan dilakukan dengan ketelitian sampai satu angka di belakang koma (0,1 cm). Contoh 157,3 cm; 160,0 cm; 163,9 cm. Isikan pada kolom Tinggi Badan pada kuesioner. 10. Untuk mengukur tinggi badan sampel berikutnya, ulangi prosedur 1 s/d 9. Demikian pula untuk sampel berikutnya. 3. PENGUKURAN LINGKAR PERUT Pengukuran lingkar perut ditujukan untuk mengetahui ada tidaknya obesitas sentral. SASARAN: Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 18-40 tahun ALAT: - Pengukur lingkar perut dengan meteran kain dengan kapasitas 150 cm, ketelitian 0.1 cm. dan spidol PERSIAPAN: Memberikan penjelasan pada sampel tujuan dari pengukuran lingkar perut dan tindakan apa saja yang akan dilakukan dalam pengukuran PROSEDUR PENGUKURAN LINGKAR PERUT: 1. Minta sampel untuk membuka pakaian bagian atas atau menyingkap pakaian bagian atas. Jika sampel tidak mau maka, boleh menggunakan pakaian yang sangat tipis (kain nilon, silk, dll) 2. Raba tulang rusuk terakhir sampel untuk menetapkan titik pengukuran. 3. Tetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah 4. Tetapkan titik tengah di antara titik tulang rusuk terakhir dengan titik ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul dan tandai titik tengah tersebut dengan alat tuli. 5. Sampel diminta untuk berdiri tegak dan bernapas dengan normal (ekspirasi normal) 6. Lakukan pengukuran lingkar perut dengan dimulai/diambil dari titik tengah kemudian secara sejajar horizontal melingkari pinggang dan perut kembali menuju titik tengah diawal pengukuran. 7. Jika sampel memliki perut yang besar/gendut ke bawah, pengukuran 50 mengambil bagian yang paling buncit lalu berakhir pada titik tengah tersebut lagi. 8. Pita pengulur tidak boleh melipat dan ukur lingkar pinggang/perut mendekati angka 0.1 cm. 4. PENGUKURAN KOMPOSISI LEMAK TUBUH Pengukuran komposisi lemak tubuh dimaksudkan untuk mengetahui komposisi lemak dalam tubuh. SASARAN : Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 18-40 tahun ALAT : - Komposisi lemak tubuh dengan Bioelectrical Impedence Analysis (BIA) monitor. PROSEDUR PENGUKURAN LEMAK TUBUH : 1. Pastikan alat BIA berada di posisi yang benar, layar menghadap pada sampel. 2. Masukkan data berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, dan usia sampel pada BIA 3. Reponden diminta berdiri tegak dengan kaki agak terpisah/renggang. 4. Tangan memegang pegangan elektroda BIA. Bungkus jari tengah di sekitar alur dalam menangani. Telapak tangan berada di atas dan bawah elektroda. Letakkan thumps up bersandar pada unit. 5. Pegang lurus ke arah sudut 90 derajat ke tubuh anda. Jangan bergerak selama pengukuran. 6. Konfirmasi siap untuk mengukur layar. The ready indikator akan menyala 7. Unit secara otomatis mendeteksi dimulainya pengukuran. 8. Penilaian persentase lemak tubuh akan muncul dan penilaian BMI akan muncul setelahnya. 9. Baca angka komposisi lemak pada jendela baca BIA. 10. Catat angka yang muncul dilayar. Untuk mengukur komposisi lemak sampel berikutnya, ulangi prosedur 1 s/d 6. Demikian pula untuk sampel berikutnya. 51 Lampiran 6 Prosedur Pengambilan Serum Vitamin D PENJELASAN RINCI TENTANG TATA CARA PENGAMBILAN SAMPEL DARAH SERTA TUJUANNYA _______________________________________________________________ Tujuan Pengambilan darah dilakukan untuk mengukur konsentrasi serum 25(OH)D dalam darah sampel. Tata Cara Pengambilan Sampel Darah 1. Pengambilan darah dilakukan di tempat pemeriksaan yang telah ditentukan. 2. Pengambilan darah sampel dilakukan sekitar pukul 08.00 – 12.00. Tim medik/paramedik sudah siap di tempat sebelum kegiatan dilaksanakan. Sampel diminta datang 30 menit sebelum waktu pemeriksaan. 3. Sampel diminta untuk duduk dengan posisi tegak dengan posisi senyaman mungkin. Letakkan salah satu tangan di atas meja dan diluruskan, pilih lengan yang banyak melakukan aktivitas atau lengan dengan pembuluh vena teraba/kelihatan. 4. Tahapan yang dilakukan paramedik saat mengambil darah adalah menggunakan alat dan bahan sebagai berikut: kapas, alkohol 70%, tabung darah, spuit dengan jarum G23, air untuk cuci tangan setelah selesai pengambilan darah, sabun cuci dan lap bersih. 5. Darah diambil sebanyak 5 ml dari vena mediana cubiti dan langsung dilakukan pemisahan serum. Pengukuran konsentrasi serum 25(OH)D menggunakan metode Chemiluminiscence (CLIA). 6. Setelah selesai, bagian lengan bekas pengambilan darah ditutup dengan kapas beralkohol dan plester. 7. Kepada sampel yang diambil darahnya, diinformasikan bila ada sesuatu yang diduga akibat pengambilan darah (misalnya pusing, pingsan dan lainlain) akan segera mendapatkan pengobatan dari paramedik. 8. Setelah dilakukan pengambilan darah, sampel akan diberikan sarapan berupa roti atau snack dan minuman. 52 Lampiran 7 Ethical Clearence 53 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah bungsu dari enam bersaudara keluarga Bapak Haji Mangkala dan Ibu Mari yang dilahirkan di Jeneponto, 13 Agustus 1989. Penulis melewati masa pendidikannya mulai dari TK sampai SMA di Kabupaten yang sama di Jeneponto. Tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Kota Makassar. Tahun 2010 penulis menamatkan pendidikan strata satu sebagai sarjana kesehatan masyarakat (S.KM). Setelah lulus sarjana, penulis pernah bekerja sebagai Program Director di salah satu radio swasta di Kota Makassar. September 2011 sampai Maret 2013, penulis mengikuti program Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa. Tahun 2013, penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana di Departemen Ilmu Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis juga pernah mengajar di Pondok Pesantren Husnayain, Sukabumi (Januari – Juni 2014) dan Home Schooling Keluarga Muslim (September 2014 – Februari 2015). September 2014, Penulis pernah meraih juara 3 lomba menulis Essay bertemakan “Bangga Menjadi Indonesia” yang diadakan oleh Metro TV Road to Campus. Selain mengikuti perkuliahan formal, penulis juga aktif sebagai pengurus Forum Mahasiswa Pascasarjana (RUMANA) IPB asal Sulawesi Selatan. Selama mengikuti pendidikan program magister, penulis pernah berpartisipasi sebagai Oral Presenter pada International Conference on Quality Improvement and Development of Food Product (QID-Food 2015), dengan judul makalah “Vitamin D status among Women Workers at Textile Factory” yang diadakan pada tanggal 18 April 2015, di Kota Bukittinggi – Sumatera Barat. Sebuah artikel berjudul “Hubungan paparan sinar matahari dan status gizi terhadap status gizi pekerja perempuan” telah diterima dan sedang proses review pada jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Universitas Hasanuddin (terakreditasi DIKTI).