Pendahuluan - Parameter Demografi

advertisement
BAB
1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim semakin nyata terjadi dan mempengaruhi berbagai sisi kehidupan, baik yang
bersifat individual atau domestik maupun sampai sektor pembangunan berskala global. Di sisi
lain, semakin disadari bahwa percepatan terjadinya perubahan iklim diawali oleh keputusan dan
perilaku manusia, khususnya yang berkonsekuensi pada perubahan tata guna tanah dan
pemanfaatan energi, yang kemudian terakumulasi secara massif hingga mengubah unsur-unsur
cuaca, terutama suhu, sehingga menyebabkan fenomena pemanasan global. Keputusan dan
perilaku manusia ini mulai dari keinginan mendasar untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik
dengan mengubah fungsi keseimbangan alami sampai dengan keinginan yang berorientasi pada
kepentingan politik ekonomi demi kepentingan kelompok atau komunitas tertentu secara luas
dan skala besar. Pada dasarnya, perubahan yang menyebabkan percepatan perubahan iklim ini
ditandai oleh berubahnya fungsi lahan ke arah lahan terbuka (open space) dan pemanfaatan
materi yang menghasilkan sumber-sumber pemicu peningkatan suhu udara, yaitu gas emisi
karbon dioksida dan metana. Secara sederhana perubahan iklim yang direfleksikan dalam
perubahan temperatur di dunia seperti dalam Gambar 1.1.
Sumber: CRU dan WWF Indonesia, 2007
Gambar 1.1. Perkiraan Perubahan Temperatur Global dan Indonesia (1880 - 2060)
1
Temperatur sebagai salah satu komponen utama iklim, selain tekanan, intensitas sinar matahari,
dan curah hujan secara fungsional merefleksikan adanya perubahan iklim. Perubahan komponenkomponen tersebut secara sistemik menimbulkan satu pola yang berbeda dengan masa
sebelumnya. Perubahan temperatur di atas berdasarkan sejumlah penelitian dapat terjadi karena
berubahnya kadar karbon dioksida sebagai konsekuensi dari perilaku dinamis anthropogenic dan
tergambar seperti Gambar 1.2 berikut
Gambar 1.2. Perilaku Anthropogenic dan Perubahan Temperatur
Kejadian perubahan iklim sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan antara kelompok
ilmuwan sampai dengan para pelaku ekonomi-politik di dunia. Namun dengan semakin
intensifnya temuan-temuan empiris pada lokasi-lokasi tertentu memperlihatkan adanya
kecenderungan yang semakin tinggi untuk dapat menerima fakta kejadian perubahan iklim ini,
terutama pada tingkat lokal atau regional. Sejalan dengan perkembangan temuan-temuan
empiris ini, juga semakin diyakini bahwa permasalahan perubahan iklim ini menjadi
permasalahan dinamis dan sistemik yang harus dicarikan solusi penyebab dan dampaknya secara
sistemik pula. Segala nilai eksternalitas dalam konsep dan teknis program pembangunan
sebelumnya telah didorong untuk diinternalisasikan secara lebih signifikan dalam konsep dan
program pembangunan dimasa yang akan datang. Kondisi ini dapat dijelaskan dalam konteks
Pembangunan Berkelanjutan yang berupa interaksi tiga pilar pembangunan yaitu ekonomi, sosial
dan lingkungan hidup, seperti yang terlihat dalam gambar berikut.
2
Gambar 1.3. Perubahan iklim dalam Konteks Pembangunan berkelanjutan
Dalam kontek konsep pembangunan berkelanjutan, pilar ekonomi, sosial, dan SDA/LH saling
terkait sesuai dengan karakteristik dinamika dalam entitas di suatu daerah tertentu. Keterkaitan
fungsional dan sistemik ini juga sangat relevan dikaitkan dengan adanya kecenderungan
perubahan iklim. Dalam perkembangannya perubahan-perubahan ini akan menciptakan suatu
tatanan atau pola baru yang secara iteratif akan terus mengalami penyesuaian pada masingmasing ketiga pilar tadi. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa sikap dan perilaku
masyarakat, para pelaku pembangunan, serta pemerintah, terutama kebijakan yang ditetapkan
adalah merupakan faktor pendorong (driving forces) dinamika ini. Lebih lanjut jika diuraikan
berdasarkan masing-masing ketiga pilar tadi maka tercatat sejumlah isu-isu yang konstektual
pada perkembangan saat ini sebagai berikut:
 Isu inti sosial: Ketimpangan kesejahteraan sosial, khususnya dalam hal pendidikan dan
kesehatan masyarakat, mata pencaharian, perubahan gaya hidup, distribusi dan dinamika
demografis, serta tingkat pelanggaran hukum masih tinggi (pidana dan perdata)
 Isu inti ekonomi: Disparitas pembangunan ekonomi regional, pembangunan sektor sekunder
(manufaktur/ industri) dan sektor tersier (jasa) semakin mendominasi, pembangunan
Infrastruktur terkonsentrasi di wilayah perkotaan (hilir), dan produk ramah LH masih sangat
terbatas
 Isu inti SDA/LH: sumber daya air menjadi sangat sensitif ketersediaannya dibandingkan
kebutuhan yang meningkat pesat (di sektor industri dan pemukiman baru di wilayah
perkotaan), cepatnya laju deplesi SDA akibat eksploitasi yang tak terkendali, bencana alam
akibat kesalahan pengelolaan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan hidup semakin
tinggi, khususnya di wilayah perkotaan, dan sumberdaya alam lainnya belum tergali optimal
(energi alternatif)
3
 Cross-cutting issues diantara ketiga pilar: Kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim masih tergolong lemah, masyarakat dan pelaku pembangunan belum
menyatu dalam proses pembangunan, upaya mencapai Civil Society / Masyarakat Madani –
permasalahan parisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan hingga tercipta institusi sosial
yang kondusif.
Secara keseluruhan adanya perubahan iklim ini ditengarai dapat mengubah banyak tatanan
kehidupan seperti yang diilustrasikan di bawah ini:
Gambar 1.4. Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Seluruh Aspek Kehidupan
Dari ilustrasi-ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya gejala perubahan iklim
dapat menjadi key-driving force yang bersifat sistemik dan iteratif bagi perubahan-perubahan
aspek-aspek pembangunan berkelanjutan (sosial-ekonomi-lingkungan hidup/sumber daya alam).
Dalam kasus yang lebih khusus, gejala dinamis dan sistemik ini pada permasalahan isu perubahan
iklim juga melibatkan konflik tradisional antara urusan kepentingan ekonomi dan lingkungan
hidup yang kemudian menimbulkan dampak terjadinya pergerakan penduduk, atau juga kondisi
kesehatan masyarakat yang variasi maupun intensitas percepatan serta difusi kejadian penyakit
semakin memicu untuk timbul, serta pembangunan infrastruktur (sarana dan prasarana)
pembangunan yang harus menyesuaikan dengan perubahan tatanan alam menjadi satu kesatuan
sistem atau pola yang baru.
Dari pendekatan-pendekatan atau cara pemahaman pragmatis linier atas fenomena sebab dan
akibat perubahan iklim tidaklah cukup memadai untuk menjelaskan satu fenomena sistemik ini,
apalagi jika digunakan untuk keperluan prediksi. Pemahaman sistemik ini dinilai lebih tepat untuk
memahami permasalahan yang memiliki tingkat kompleksitas tinggi dalam realita dinamika
kehidupan yang melibatkan kapasitas pengambilan keputusan untuk upaya adaptasi dan
penentuan mitigasi sebagaimana yang dibutuhkan untuk menghadapi dampak perubahan iklim ini
(Gambar 1.5).
4
Gambar 1.5. Contoh Penyederhanaan Model Sistem Lingkungan Hidup dengan Sistem Ekologi dan
Kebijakan Mitigasi – Adaptasi
Kompleksitas tadi akan menjadi semakin mudah dipahami mengingat dalam realitanya, baik di
tingkat regional maupun lokal, terdapat keragaman karakteristik fisik-sosio budaya-ekonomi.
Munculnya displacement area (tempat yang memiliki risiko/kerentanan tinggi bagi kehidupan,
termasuk dampak negatif akibat perubahan iklim, misalnya di wilayah pesisir pantai atau wilayah
pertanian yang mengalami kekeringan) dapat mempengaruhi tatanan kehidupan sosial-budayaekonomi masyarakat setempat dan juga unsur-unsur kekayaan aneka ragam hayati hingga
berpotensi menimbulkan gangguan keseimbangan ekosistem. Dalam beberapa tahun terakhir
telah tercatat semakin tingginya intensitas kejadian gangguan kesetimbangan ekosistem ini
hingga menjadi bencana yang merugikan masyarakat di displacement area tadi.
Dalam konteks inilah Indonesia menjadi unik dan penting sebagai bagian sistemik global dalam
fenomena perubahan iklim. Lebih dari itu dengan beragamnya sosial-budaya-ekonomi serta
bentang alam tempat tinggalnya maka kapasitas adaptasinyapun berbeda dari tempat lain di
dunia sehingga upaya adaptasi dan mitigasi yang dibutuhkan juga akan menyesuaikan pada
keunikan karakteristik tadi.
1.2 Tujuan dan Output
1. Melakukan kajian kritis terhadap keterkaitan fenomena perubahan iklim dan kependudukan,
khususnya terkait dengan ukuran keluarga (family size) dan karakteristik keluarga
5
2. Menyusun Policy Paper “Peran Kebijakan dan Program Keluarga Berencana Menghadapi
Perubahan Iklim”
1.3 Kerangka Pikir
1.4 Metode Pelaksanaan
1. Eksplorasi terhadap isu-isu pokok kependudukan dan perubahan iklim melalui studi literatur
(termasuk laporan-laporan terkait), content analysis media, dan analisis kecenderungan untuk
masalah kependudukan dan perubahan iklim
2. Membangun model keterkaitan kependudukan dan perubahan iklim dengan penekanan
perhatian pada tingkat keluarga
3. Membangun konsep “Kebijakan Peran Program Keluarga Berencana Bagi Mitigasi dan Adaptasi
Perubahan Iklim”
4. Workshop atau Diskusi Panel Konsep “Kebijakan Peran Program Keluarga Berencana Bagi
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim”
5. Menyusun Policy Paper
6
BAB
2
Perkembangan Perubahan Iklim di Indonesia
2.1 Kecenderungan Elemen Pokok Perubahan
Sebagai negara kepulauan di daerah tropis, Indonesia memiliki karakteristik yang unik
dibandingkan tempat lain di dunia. Indonesia merupakan bagian dari suatu kepulauan besar yang
boleh disebut sebagai “Nusantara Indo-Maleisia” (Indo-Maleisian Archipelago), yaitu suatu
kepulauan unik (tak ada duanya) di muka bumi ini, karena:
1. lokasinya di garis katulistiwa, hampir tepat dibelah dua sama besar oleh garis katulistiwa,
2. fisiografik terdiri atas lebih dari 25 000 pulau besar kecil (Indonesia sendiri: sekitar 17 000
pulau),
3. terletak di posisi silang diantara dua benua dan dua samudera (dua massa air) yaitu
samudera Indonesia dan samudera Pasiifik,
4. sebagian geologik vulkanik aktif, sebagian lagi non vulkanik,
5. ada tiga bagian daerah biogeografik akibat dua garis Wallace dan garis Weber
6. sekurang-kurangnya empat iklim yaitu
a) iklim hutan hujan tropik tanpa musim kering yang tegas,
b) iklim hutan hujan tropik dengan musim kering yang tegas,
c) iklim sabana, dan
d) iklim semi-arida.
Sebagai bagian dari sistem iklim dunia maka dinamika kehidupan di Indonesia akan secara
proporsional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari satu kesatuan sistem iklim dunia.
Demikian pula dengan elemen temperatur yang merupakan bagian sistemik dari perikliman dunia
adalah satu fenomena kontinum namun pola yang terbentuk tidak lepas dari karakteristik
setempat atau karakter lokalitas (lihat Gambar 2.1.).
Pola ini bervarisi karena faktor posisi lintang, komposisi daratan dan lautan, dan secara lebih
mikro juga tidak lepas dari ulah manusia yang merubah tatanan unsur-unsur pembentuk cuaca
akibat dari perubahan pemanfaatan lahan. Indonesia dengan keunikannya sebagai salah satu
negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan jumlah penduduk
yang banyak yang sebagian besar dari mereka hidup di wilayah pesisir tentu akan memiliki peran
atau kontribusi yang unik pula dalam konteks perubahan iklim. Dengan posisi indonesia yang
berada di wilayah khatulistiwa, dan wilayah bencana (dikenal dengan istilah “Ring of Fire”).
Indonesia yang berada di wilayah khatulistiwa atau ekuator relatif tidak mengalami kejadian
7
perubahan iklim yang tergolong ekstrim seperti di daerah lintang rendah tinggi atau daratan yang
luas (kontinen).
Catatan : Pemanasan kontinental melebihi bagian dunia yang lain
Gambar 2.1. Pemanasan Global pada Abad ke-21 (jika tidak ada perubahan perilaku/BAU/Business as
Usual)
Gambar 2.2. Siklus Hidrologi
Seperti yang terlihat dalam Gambar 2.1 di atas , negara maritim dan kepulauan di sekitar garis
khatulistiwa akan mengalami perubahan pemanasan tetapi tergolong sedang atau mild.
8
Tergolong relatif sedang juga disebabkan oleh adanya luas lautan yang berfungsi sebagai carbon
sink (menyerap CO2), sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar2.2 butir (b).
Gambar di atas ini secara simultan berdasarkan pengamatan skala yang lebih mikro menjelaskan
bagaimana keterkaitan dari perubahan elemen-elemen cuaca oleh ulah manusia dalam satu area
yang bersifat sistemik dan terintegrasi dalam satu siklus hidrologi hingga kemudian terakumulasi
menjadi satu pola perubahan iklim. Dengan penjelasan ilustratif ini juga bisa sekaligus
menjelaskan gejala pola perubahan iklim dunia seperti yang dijelaskan sebelumnya di atas.
Penjelasan ini bukan bermaksud untuk tidak perlu dikhawatirkan dibandingkan dengan bagian
dunia lain di lintang tinggi dan berkarakter kontinen seperti Eropa Utara, Amerika Utara, Afrika,
dan Amerika Selatan bagian utara tetapi tetap harus jadi pertimbangan jika dibadingkan dengan
kondisi Indonesia sebelumnya. Peningkatan temperatur yang terjadi di Indonesia tetap akan
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks inilah Indonesia menjadi unik dan penting sebagai bagian sistemik global dalam
fenomena perubahan iklim. Lebih dari itu dengan beragamnya sosial-budaya-ekonomi serta
bentang alam tempat tinggalnya maka kapasitas adaptasinyapun berbeda dari tempat lain di
dunia sehingga upaya adaptasi dan mitigasi yang dibutuhkan juga akan menyesuaikan pada
keunikan karakteristik tadi.
Selain itu Indonesia yang memiliki keunikan geografis sebagai negara kepulauan yang luas di zona
iklim tropis dan masih tergolong negara berkembang, sampai saat ini masih memiliki
ketergantungan yang tinggi pada kegiatan primer yang lebih mengeksploitasi sumberdaya
alamnya demi kepentingan daya tahan ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakatnya. Kegiatan pertanian, kehutanan, dan pertambangan berikut dampak ikutannya
masih mendominasi kegiatan sebagian besar masyarakat dan tentunya menjadi ranah tekanan
pada kebijakan publik pembangunan nasional sampai dengan tingkat eksekusi di daerah.
Menyadari pentingnya menangani permasalahan perubahan iklim ini, pemerintah saat ini telah
membentuk satu komisi nasional yang menangani perubahan iklim, terutama dalam hal
mempersiapkan program mitigasi dan adaptasi. Sebagai ilustrasi besarnya perhatian yang harus
dicurahkan bagi antisipasi gejala perubahan iklim adalah besarnya emisi CO2 yang dihasilkan
Indonesia secara agregat, seperti yang disimulasikan oleh Slamet (2009) baik sebelum ada
kebijakan pengurangan pemanfaatan bahan bakar fosil (minyak tanah dan elpiji) maupun
sesudahnya dengan menggunakan instrument system dynamics yang hasilnya sebagai berikut:
9
Tabel 2.1. Perubahan Emisi CO2 Pra dan Pasca Kebijakan tentang Perubahan Iklim
Sumber: Slamet, 2009
Hasil simulasi di atas menunjukkan bahwa hasil dari kebijakan yang ada belum memberikan
kontribusi yang signifikan bagi upaya pengurangan gas CO2. Artinya, perlu ada upaya terobosan
kebijakan lain yang lebih memberikan kontribusi secara signifikan bagi pengurangan gas CO2.
Indonesia memang masih tergolong yang tertinggi pertumbuhan pemanfaatan bahan bakar fosil
dibandingkan sejumlah negara lain seperti yang terlihat dalam Gambar 2.3. berikut ini
Sumber: Population adn Sustainability Network, World Resources Institute searchable database (2008)
Gambar 2.3. Persentase Peningkatan Pemakaian Bahan Bakan Fosil 1990 - 2003
Lebih dari itu diperkirakan peningkatan emisi CO2 di Indonesia akan terus bertambah cukup besar
sampai tahun 2020 menjadi 2,95 Gt CO2 dari hanya 1.35 Gt CO2 pada tahun 2000 dimana
kontribusi terbesar emisi ini adalah adanya pemanfaatan tanah gambut dan bahan bakar fosil
untuk energi (lihat Gambar 2.4.)
10
Gambar 2.4. Perkiraan Peningkatan Emisi CO2 di Indonesia
2.1.1
Earth System
Indonesia sebagai Negara maritime-kepulauan di zona tropis tentu memiliki keunikan sistem
geografis yang tidak dimiliki Negara atau bagian dunia lainnya. Oleh karenanya pemahaman akan
karakteristik geografis ini harus benar-benar utuh agar segala upaya penjelasan melalui
pendekatan teoritis maupun interpretasi realita geografis dapat tidak mengurangi nilai dan
makna fakta eksisting. Sebagai contoh adalah satu isu tentang kenaikan tinggi permukaan laut
(TPL) dan perubahan suhu permukaan laut (SPL). Di dalam satu region seperti Indonesia yang
memiliki variasi karakteristik geografis atau bentang alam maka perilaku TPL daan SPL nya pun
akan beragam (lihat Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Penyebab dan Proyeksi Tinggi Muka Laut (TML) di Indonesia
Sumber: Bappenas, 2010
11
Tinggi Permukaan Laut Saat Terjadi Kondisi Ekstrim
Estimasi Daerah yang Terkena Terkena Permutihan Karang
Secara Masif
Sumber: Bappenas, 2010
Gambar 2.5. Suhu Permukaan Laut (SPL) mempengaruhi Pemutihan Karang secara Masif di Indonesia
Kemudian dari hasil penelitian Bappenas menunjukkan bahwa beberapa kota-kota besar di Jawa
akan mengalami terendam air sampai dengan ketinggian 1 meter dari permukaan air laut pada
tahun 2100 (lihat gambar di bawah)
Jakarta
Semarang
Surabaya
Sumber: Bappenas, 2010
Gambar 2.6. Tingkat Rendaman Air di Beberapa Kota Pantai Indonesia
12
Curah hujan sebagai salah satu unsur iklim utama di Indonesia secara garis besar menunjukkan
adanya pergeseran pola musim hujan dalam beberapa tahun terakhir ini, seperti yang terlihat
pada kasus di Jawa dan Bali berikut:
Sumber: Naylor et.al. dalam UNDP, 2007
Gambar 2.7. Pediksi Pola Curah Hujan di Jawa dan Bali
Kebutuhan pemahaman sistemik secara utuh menjadi tidak dapat dihindari lagi, apalagi jika
dikaitkan dengan pemahaman keterkaitan dalam cross cutting issues perubahan iklim ataupun
pemanasan global.
a. Sistem Iklim dan komponennya
Dari perspektif ilmiah model fisik alami dari sistem perubahan iklim terdiri dari dua komponen
yaitu komponen utama dan model aliran energi. Komponen utama mencakup atmosfir, lautan,
daratan dan biomasa kelautan, cryosphere, dan permukaan atau tutupan lahan. Secara ilustratif
jabaran dari komponen-komponen tadi terlihat dari gambar di bawah ini
Sumber: IPCC dalam Davies, 2004
Gambar 2.8. Komponen Utama Sistem Perubahan Iklim
13
Keterkaitan komponen-komponen perubahan iklim di atas tentu tidak lepas dari unsur-unsur
iklim yang terdeterminasi ke dalam sistem dan pola iklim. Diantara unsur iklim yang utama dan
menjadi banyak perhatian adalah presipitasi. Menarik untuk disimak adalah paper di Journal of
Climate no. 24 yang ditulis oleh Vecchi dan Knutson dan juga hasil-hasil penelitian Trenberth dan
Dai, yang menyimpulkan bahwa simulasi model presipitasi “occurs prematurely and too often,
and with insufficient intensity, resulting in recycling that is too large and a lifetime of moisture in
the atmosphere that is too short, which affects runoff and soil moisture," sementara itu dalam
teksnya disebutkan bahwa "all models contain large errors in precipitation simulations, both in
terms of mean fields and their annual cycle”. Lebih dari itu mengutip hasil penelitian Yang dan
Slingo (2001) serta Trenberth dan Dai (2004) ditegaskan pula bahwa "it appears that many,
perhaps all, global climate and numerical weather prediction models and even many highresolution regional models have a premature onset of convection and overly frequent
precipitation with insufficient intensity,".
Pernyataan-pernyataan di atas secara implisit menjelaskan bahwa faktor karakteristik regional
berikut dinamika perubahan bentang alamnya termasuk alih fungsi lahan menjadi sangat penting
untuk dipertimbangkan sebelum menetapkan atau mengeneralisir menjadi satu kesimpulan
fenomena global. Kondisi atau karakteristik daerah dengan lintang tinggi dan rendah tentu
berbeda pola perilaku iklimnya atau daerah dengan dominasi daratan (kontinen) dan lautan tentu
juga akan berbeda. Jika respon terhadap pemikiran regional ini semakin tinggi dan meluas tentu
akan muncul satu state of the art yang berbeda dengan studi-studi atau penelitian-penelitian
perubahan iklim dalam beberapa dekade terakhir. Dalam konteks permodelan maka modelmodel siklus hidrologis akan lebih menjadi relevan pada tingkat regional ketimbang model-model
iklim, sebagaimana yang dikatakan oleh Trenberth (2011): “major challenges remain to improve
model simulations of the hydrological cycle". Pernyataan Trenberth ini secara konseptual relevan
dengan konsep keterkaitan sistemik komponen-komponen perubahan iklim yang dikembangkan
oleh Davies-IPCC di atas. Namun perkembangan ini juga tentu berimplikasi pada kebutuhan
tenaga-tenaga periset yang memadai di tingkat regional.
b. Status Biodiversitas
Laporan WWF memperlihatkan bahwa Indonesia termasuk Negara yang dinilai rentan. Dengan
kombinasi tingginya intensitas bencana alam maupun akibat ulah manusia, kepadatan penduduk
terutama di sepanjang 80.000 km wilayah pesisir dan 17.500 gugusan pulau-pulau, perubahan
pola musim hujan baik dari sisi intensitas maupun sebarannya serta diperkirakan telah terjadi
penurunan intensitas curah hujan sampai 2 – 3 % per tahun, tingginya laju perubahan lahan dari
bervegetasi menjadi build up area tentu akan sangat mempengaruhi besarnya penurunan tingkat
biodiversitas.
Belum lagi tingginya overfishing di sejumlah perairan di Indonesia padahal migrasi ikan juga
terjadi sejalan dengan berubahnya iklim terutama terkait dengan perubahan suhu laut dan turun
naiknya tinggi permukaan laut. Pada akhirnya situasi ini juga dapat mempengaruhi totalitas
biodiversitas di Indonesia.
Diantara tantangan yang paling berat adalah laju deforestasi yang masih mencapai rata-rata 2
juta hektar per tahun dan tercatat sebagai hampir 85% penyumbang gas rumah kaca per tahun.
14
Belum lagi intervensi kegiatan tambang di kawasan hutan yang bahkan dilindungi, kemudian
kebakaran hutan, pemanfaatan lahan gambut untuk pantasi monokultur, terutama kelapa sawit
yang haus sumber daya air sehingga memicu potensi kebakaran di lahan gambut tersebut.
Diyakini oleh sejumlah pihak melalui penerapan program REDD+ maka diharapkan laju deforestasi
ini dapat dikurangi. Namun masih banyak hal yang harus dipersiapkan untuk menerapkan
program REDD+, terutama kesiapan kebijakan mekanisme keuangan berikut institusinya melalui
komitmen political will yang kuat dari kalangan pemerintah.
c. Status Lingkungan Hidup, Sumber Daya Alam dan Kehidupan Masyarakat
Sebagai Negara kepulauan (archipelago nation) dimana konsentrasi terbesar kegiatan
pembangunan dan penduduk ada di wilayah pesisir,sementara bagian pedalaman berbagai pulau
di Indonesia mendapat tekanan kuat sebagai hinterland pemasok kebutuhan pusat-pusat
pertumbuhan di wilayah pesisir maupun sebagai sumberdaya untuk kepentingan pertumbuhan
ekonomi, maka dengan demikian cukup luas sebaran daerah yang tergolong rentan (vulnerable).
Tidak hanya di wilayah pesisir tetapi juga di pedalaman.
Sudah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa kemiskinan sangat terkait erat dengan
kemampuan masyarakat golong tersebut mendapatkan akses dan kualitas sumber daya alam.
Kelompok masyarakat ini menjadi sangat rentan karena lemahnya kemampuan memanfaatkan
sumber daya alam ini. Sementara itu ketergantungan mereka sangat tinggi pada ketersediaan
sumber daya alam ini, terutama yang ada di lingkungannya. Bisa dikatakan sampai saat ini lebih
dari 50% penduduk Indonesia mempunyai mata pencaharian dari sektor primer yang sangat
tergantung dengan kekayaan dan kemurahan alamnya. Situasi ini sangat jelas terjadi pada
masyarakat yang hidup di pedesaan di sekitar kawasan hutan, pertambangan, dan wilayah pantai.
Daerah yang rentan ini sering diistilahkan sebagai displacement. Namun dengan terjadinya
migrasi dari pedesaan ke perkotaan maka terjadi pergeseran proporsi penduduk miskin menjadi
bertambah di daerah perkotaan. Oleh karenanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup berikut sumber daya alam menjadi sangat penting dan mendesak terutama bagi
pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan. Ironisnya Indonesia secara keseluruhan memiliki
kekayaan sumber daya alam termasuk juga biodiversitas yang sangat besar bahkan relatif
dibandingkan dengan banyak Negara lain di dunia.
2.1.2
Human System
a. Keterkaitan Ekonomi dan Dinamika Penduduk
Pertumbuhan dan dinamika penduduk sangat terkait dengan pertumbuhan dan dinamika
ekonomi. Bahkan di beberapa Negara membuktikan bahwa struktur kualitas penduduknya akan
mempengaruhi kekuatan struktur ekonominya, seperti contoh di Negara Korea Selatan. Selaras
dengan pembahasan di atas adalah kemampuan mitigasi yang memerlukan tingkat kesadaran
tinggi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dengan meminimalisir kemungkinan resiko
terhadap aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup atau sumber daya alamnya. Kesejahteraan
masyarakat akan lebih banyak memberi peluang bagi pengelolaan dampak kejadian alam seperti
perubahan iklim. Di Indonesia ketimpangan atau kesenjangan pembangunan ekonomi dan
dinamika populasi termasuk kualitasnya masih sangat kuat. Kesenjangan ini dapat dipahami
15
sebagai rangkaian dikotomi situasi yang cukup kontras, seperti perkotaan vs pedesaan, pesisir vs
pedalaman, Indonesia Barat vs Indonesia Timur, jasa/industri vs pertanian, dan seterusnya.
Sementara itu dengan menggunakan skenario optimis, dalam studi persiapan konsep kebijakan
MP3EI diproyeksikan bahwa kapasitas terbaik dan sekaligus peluang terbaik bagi pembangunan
ekonomi di Indonesia ditinjau dari kualitas penduduknya ada di kurun waktu tahun 2010 sampai
dengan tahun 2020 yang disebut sebagai “bonus demografi”.
Sumber: Menkoekuin, 2011
Gambar 2.9. Kondisi Demografi Indonesia
Model keterkaitan perubahan iklim dengan ekonomi diilustrasikan dalam gambar di bawah ini
yang dikembangkan oleh Fiddaman (dalam Davies, 2004).
Feedback – Rich Energy – Economic (Free) Model Component
Sumber: Fiddaman dalam Davies, 2004
Gambar 2.10. Model Keterkaitan Perubahan Iklim Dengan Ekonomi
16
Model di atas menjelaskan hubungan antara (perubahan) iklim dan ekonomi merupakan
hubungan iteratif yang saling mempengaruhi yang jembatani oleh kesejahteraan dan konsumsi
energi. Realita di Indonesia menunjukkan bahwa distribusi energi masih belum merata dan dapat
diakses oleh seluruh masyarakat. Sebagian besar sumber daya alam penghasil energi di Indonesia
diekspor. Sebagai contoh, hampir 80% produksi batu bara adalah untuk memenuhi ekspor. Belum
lagi pertumbuhan pesat bidang pertambangan batu bara yang memanfaatkan kawasan hutan
serta dampak berantai (multiplier effects) yang ditimbulkan menyebabkan proses alih fungsi lahan
yang menimbulkan dampak besar bagi lingkungan hidup dan juga tingkat biodiversitas. Lebih dari
itu hasil penelitian Cifor menunjukkan bahwa pergantian fungsi hutan menjadi tambang
menimbulkan penurunan kapasitas karbon tidak kurang dari 70% di area yang bersangkutan.
Sementara itu di sisi lain secara praktis bahan bakar minyak masih disubsidi dan dinikmati oleh
sebagain kalangan masyarakat yang tidak lagi perlu mendapat keringanan subsidi. Secara spesifik
dalam kasus pemanfaatan atau konsumsi energi bahan bakar minyak juga menjelaskan adanya
keterkaitan fungsional antara jumlah dan kapasitas (daya beli) masyarakat dengan produksi gas
emisi. Ilustrasi di bawah ini menjelaskan keterkaitan yang dimaksud:
Sumber: Siddiqi et.al., 1991
Gambar 2.11 Hubungan Sebab Akibat Pemanfaatan Bahan Bakar Minyak dan Produksi CO2
Masyarakat kurang mampu yang tidak memiliki akses bagi fasilitas energi ini secara langsung
menerima dampaknya atas tingkat konsumsi energi yang menimbulkan gejala perubahan iklim.
Melalui pemahaman kasus sektor energi, adanya alih fungsi lahan yang cepat (terutama kawasan
hutan dan lahan gambut: deforestasi dan degradasi) dan dinamika gejala perubahan iklim ini pada
dasarnya ada satu kesimpulan bahwa Indonesia adalah korban dari gejala perubahan iklim dan
terutama kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi yang terbebani. Dengan kata lain
17
masyarakat kurang mampu (miskin) menjadi kelompok yang semakin terbebani oleh gejala
perubahan iklim. Hal yang mirip juga terjadi pada masyarakat miskin pada bidang primer lainnya
(misalnya pertanian) maupun mereka yang hidup di perkotaan (terutama di daerah-daerah
displacement di tepi pantai). Berikut adalah beberapa contoh ancaman utama bagi masyarakat
kurang mampu dilihat dari perspektif perubahan iklim:
a. Penghidupan; terutama bagi masyarakat yang bekerja pada bidang pertanian dan perikanan
yang sensitive terhadap perubahan iklim, serta juga masyarakat di perkotaan yang hidup di
daerah displacement
b. Kesehatan; terjadinya difusi media penyakit akibat perubahan rata-rata suhu daerah
sehingga peluang atau potensi timbulnya penyakit seperti malaria dan demam berdarah
semakin meluas
c. Ketahanan pangan; daerah-daerah atau kantong-kantong miskin akan menjadi tempat yang
paling sulit mengatasi ketahanan pangan yang diakibatkan oleh perubahan pola musim
penghujan. Hal ini disebabkan ketidaksiapan mereka menghadapi ketidakpastian iklim ini
sehingga banyak terjadi kegagalan panen (puso). Lebih jauh lagi adalah stok pangannya akan
banyak menurun sehingga akan muncul masalah mal-nutrisi di daerah yang bersangkutan.
d. Ketersediaan air; perubahan pola atau variasi curah hujan tentu akan merubah neraca
sumber daya air di wilayah yang bersangkutan. Ketersediaan air yang tergantung curah hujan
ini akan menjadi semakin sensitif bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan akses
terhadap fasilitas jasa sumber daya air. Ketersediaan sumber daya air ini tidak saja untuk
keperluan domestik, namun juga untuk keperluan irigasi pertanian dan pendukung usaha
perindustrian.
Selain upaya mitigasi maka secara parallel juga perlu disiapkan adaptasi. Diantara adaptasi
terhadap perubahan iklim yang perlu disiapkan adalah





Adaptasi dalam hal kegiatan pertanian
Adaptasi dalam hal kegiatan pasokan sumber daya air
Adaptasi dalam hal kesehatan
Adaptasi untuk daerah perkotaan, dan
Adaptasi dalam hal pengelolaan bencana
b. Perkembangan Profil Budaya dan Sosial
Profil budaya dan sosial ini lebih menekankan pada kelompok masyarakat asli (indigeneous
people). Hal ini karena keunikan kelompok masyarakat ini bila ditinjau dari kapasitas adaptasinya.
Kelompok masyarakat ini dikenal memiliki daya tahan (resilience) yang tinggi, terutama untuk
kejadian alam (event) yang berubah secara konsisten, seperti musiman. Namun dinilai cukup
rentan untuk kejadian alam yang tergolong ekstrim dan sulit diramalkan sebelumnya atau
tingginya ketidakpastian (uncertainty). Yang terakhir ini umumnya terjadi karena intervensi
kehidupan kelompok masyarakat tertentu pada sistem alam. Komunitas ini umumnya hidup di
daerah marjinal yang kehidupannya masih sangat tergantung pada sumber daya alam yang
tersedia di lingkungannya. Tidak sedikit komunitas tradisional dan /atau masyarakat asli ini
karena konsekuensi sejarah politis atau ekonomi tergeser ke arah lahan yang semakin tidak
produktif dan juga rentan terhadap bencana. Artinya, mereka hidup di daerah dengan tingkat
18
kerentanan yang relatif tinggi (vunerable areas), apalagi jika dikaitkan dengan kapasitas adaptasi
terbatas bagi kejadian alam yang tidak biasa dialaminya. Gejala perubahan iklim yang relatif
belum terlalu dikenal oleh mereka tentu berpotensi menimbulkan implikasi yang serius terhadap
pola kehidupannya berikut budaya dan tradisi mereka. Walaupun secara inisiatif mereka sendiri
berupaya membangun kapasitas adaptasi namun mengingat gejala perubahan iklim berskala
pengaruh yang relatif terlampau amat besar dibandingkan kapasitas adaptasi mereka maka
diperlukan intervensi bantuan segera bagi komunitas ini. Tentu setiap budaya atau tradisi
masyarakat adat ini berbeda satu sama lainnya serta karakteristik lingkungan hidupnyapun
berbeda sehingga diperlukan upaya bantuan peningkatan adaptasi yang bersifat ‘customized’.
Secara spesifik rancangan bantuan peningkatan kapasitas adaptasi ini dipengaruhi oleh modal
budaya, modal sosial, jejaring sosial, modal organisasi, dan juga kemampuan nilai-nilai yang
berlaku untuk menerima sesuatu yang baru yang dimiliki oleh komunitas tradisional
bersangkutan.
Berikut adalah beberapa contoh strategi adaptasi yang berpotensi untuk dikembangkan di
kalangan komunitas tradisional:
 Difersifikasi pertanian
 Merubah atau menyesuaikan lingkungan tempat tinggal dengan mengantisipasi
kemungkinan gejala perubahan iklim
 Perubahan periode atau jadwal berburu atau mengumpulkan bahan-bahan pokok
mengikuti perubahan pola iklim
 Perubahan jenis spesies yang lebih tahan terhadap perubahan iklim
 Perubahan metode mengatasi kelangkaan sumber pangan (pengeringan, pengasapan,
penggaraman, dll.)
 Perubahan kebiasaan makan
 Hutan sebagai tempat untuk mencari aternatif sumber pangan
 Perubahan lingkungan hidup
 Munculnya material-material baru dari hasil industry (sumber pangan, energi, peralatan
utilitas, dan lainnya)
2.2 Cross-cutting issues perubahan iklim
Perkembangan perhatian pada isu perubahan iklim beberapa tahun terakhir di Indonesia semakin
meningkat yang ditandai oleh diselenggarakannya Pertemuan Puncak Dunia tentang Perubahan
Iklim di Bali pada tahun 2007 yang lalu telah banyak sedikitnya menggeser kerangka perhatian
publik dan pemerintah pada isu pengelolaan sebab dan akibat perubahan iklim yaitu menjadi
sebagai berikut:
 Peningkatan pemahaman ilmiah atas isu multidisiplin tentang perubahan iklim
 Promosi dan transfer hasil riset dan pengembangan serta teknologi
 Peningkatan pengetahuan dan pendidikan
19
 Pengarus-utamaan potensi perubahan iklim dalam proses pengambilan keputusan pada
strategi pengembangan pengurangan tingkat emisi (karbon): energi pembaruan, health
prevention, irigasi, transportasi, dll.
 Internalisasi biaya lingkungan ke dalam biaya ekonomi, seperti penetapan harga karbon,
dll.
 Kekuatan kebijakan publik mengenai perubahan iklim akan memberikan pengaruh jangka
panjang sebagai kelanjutan pertemuan di Bali kemudian diadakan pertemuan COP-15 di
Copenhagen pada akhir tahun 2009.
Perubahan Iklim sudah menjadi gejala yang menjadi perhatian besar bagi pemerintah Indonesia
walau belum sepenuhnya dipahami secara utuh oleh sebagai besar bangsa Indonesia. Padahal
gejala perubahan iklim sendiri terus bergerak sejalan dengan perubahan dari komponenkomponen iklim yang juga secara sistemik dipengaruhi oleh dinamika kegiatan penduduk berikut
kegiatan-kegiatan sektor pembangunannya (kegiatan antropogenik). Perubahan gejala perubahan
iklim ini cenderung menjadi fluktuatif sejalan dengan dinamika gejala antropogenik tadi. Oleh
karenanya untuk dapat mengantisipasi gejala perubahan ini dengan baik diperlukan kebijakan dan
kapasitas kelembagaan. Di Indonesia, dibentuk DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) untuk
menjalankan peran pengarah perumusan kebijakan dan penguatan kapasitas kelembagaan.
Secara keseluruhan sebenarnya pemahaman akan gejala perubahan iklim sebagai suatu
fenomena sistemik juga masih ada keterbatasan. Permasalahan masih terbatasnya pemahaman
ini ditengarai sejak merumuskan mental model dari gejala perubahan iklim. Umumnya lebih
memahami perubahan secara pragmatis sebagai peristiwa iklim saja dan inipun juga terbatas.
Keterbatasan pengetahuan ini juga tidak lepas dari pemahaman akan keterkaitan fungsional
antara sistem iklim dengan karakteristik geografis berikut aktifitas penduduk di daerah yang
bersangkutan.
Sampai dengan saat ini Indonesia menjadi salah satu Negara yang banyak menyita perhatian
dunia dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Perhatian dan debat pada kasus Indonesia
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
 Indonesia tercatat sebagai negara nomor empat terbesar di dunia penyumbang emisi gas
rumah kaca
 Indonesia tercatat sebagai Negara non-Annex I yang berjanji mengupayakan secara
sukarela dan signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nasional sampai dengan
26% (secara mandiri) dan/atau 41% dengan bantuan Negara-negara lain pada tahun
2020.
 Peran aktif Indonesia sebagai anggota Negara-negara yang tergabung dalam kelompok
G-20. Sebagai Negara yang tergolong tingkat ekonomi menengah, Indonesia memiliki
tanggung jawab yang kuat untuk memprioritaskan pengimbangan upaya pembangunan
dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
 Indonesia telah menerima sejumlah bantuan dana (financial pledges) dan berkomitmen
untuk mengantisipasi segala kemungkinan kejadian perubahan iklim. Batuan pendanaan
ini diterima Indonesia baik secara bilateral maupun multilateral serta bantaun
20
pendanaan dari berbagai sumber lembanga keuangan dunia atau regional, seperti the
World Bank dan Asian Development Bank.
 Kondisi Indonesia yang khusus dengan karakteristik bentang alam, gejala bencana alam,
intervensi manusia terhadap alam yang banyak dipengaruhi oleh dinamika kependuduk
sebagai konsekuensi hasil serta proses pembangunan.
Hal-hal di atas mengantarkan pada pemahaman bahwa penanganan perubahan iklim di Indonesia
bersifat unik dan spesifik. Walaupun sudah ada sejumlah penelitian perubahan iklim di dunia
tetapi tetap dan akan menjadi sangat relevan dengan kebutuhan Indonesia sendiri jika lebih
banyak penelitian perubahan iklim tentang Indonesia. Dengan kata lain hasil sejumlah penelitian
perubahan di berbagai belahan dunia tidak dapat begitu saja diterapkan di Indonesia. Penelitian
Perubahan iklim Indonesia secara mandiri sangat diperlukan untuk memperkaya pengetahuan
pemahaman yang mendasar bagi perubahan iklim Indonesia.
Lebih dari itu juga masih ada kontroversi dalam pelaporan yang disusun oleh IPCC sehingga
kebenaran isi laporan menjadi dipertanyakan oleh sekelompok ahli ataupun pemerhati. Sebagai
contoh adalah Special Report on Renewable Energy Sources and Climate Change Mitigation
(SRREN) yang diterbitkan pada tanggal 14 Juni 2011. Kontroversi dipicu oleh adanya beberapa
penulis yang terafiliasi dengan kepentingan tertentu sehingga menimbulkan konflik kepentingan.
Dalam laporan ini diantaranya mengatakan bahwa skenario sampai dengan tahun 2050 akan
dicapai 77% dari kebutuhan energi global akan dapat dipenuhi oleh sumber renewable energy.
Data ini bersumber dari studi yang dilakukan oleh German Aerospace Center (DLR) yang
disponsori oleh Greenpeace. Hal ini ditulis oleh Sven Teske anggota Greenpeace yang menjadi
penulis utama Bab 10 dalam laporan SRENN tadi. Kontroversi ini tentu memicu para peneliti
untuk dapat lebih hati-hati dan memperhatikan ketepatan dalam penyampaian hasil
penelitiannya.
Dengan demikian semakin penting untuk melakukan penelitian yang seksama terhadap gejala
perubahan iklim termasuk sub topiknya mengenai pemanasan global. Perhatian terhadap situasi
ini tentu juga relevan dalam konteks penelitian dan pelaporan mengenai perubahan iklim di
Indonesia. Menjadi sangat relevan dalam perkembangan studi-studi dan juga sikap serta
kebijakan pemerinah Indonesia terhadap gejala perubahan iklim untuk diketahui sudah sampai
‘state of the art’ yang mana sehingga dapat menjad modal dasar bagi pengembangan studi-studi
konseptual, stratejik dan operasional terkait perubahan iklim di Indonesia ini.
Faktor-faktor penyebab langsung dan tidak langsung terjadinya perubahan iklim sangat bervariasi
per waktu per region iklim. Temperatur adalah salah satu komponen iklim yang paling sering
dibahas terkait dengan gejala perubanahn iklim kemudian menyusul curah hujan. Komponen
iklim tersebut secara hakekat merupakan satu sistem dengan demikian masing-masing komponen
saling terkait dalam sifatnya atau perilakunya masing-masing. Gas Rumah Kaca (GRK) yang
menjelaskan terjadinya pemanasan global hingga perubahan iklim sendiri tidak hanya karena
adanya kontribusi gas CO2. Dalam tabel 2.3menjelaskan gas lain yang terakumulasi dalam GRK.
21
Tabel 2.3. Kontribusi Berbagai Gas Pada Total Pemanasan
Sumber: Sidiqqi et.al., 1991
Secara keseluruhan walaupun sudah ada tambahan sejumlah hasil penelitian yang menegaskan
eksistensi gejala perubahan iklim namun tingkat ketidakpastian akan kejadian gejala perubahan
iklim ini masih tetap ada. Ketidakpastian ini umumnya terkait dengan waktu, besaran dan pola
regional, terutama curah hujan. Sebagaimana yang telah disampaikan dalam IPCC Working Group
I tahun 1990 bahwa ketidakpastian ini terjadi karena ketidaklengkapannya pemahaman kita akan
sumber dan penumpukan gas-gas penyebab gejala “rumah kaca” berikut konsekuensi imbal
baliknya terhadap awan, lautan, dan lapis es kutub dalam merubah kekuatan radiatif yang
terkonsentrasi sebagai gas rumah kaca. Hal lain yang juga terkait dengan ketidakpastian ini adalah
bahwa dengan pemahaman terbatas ini dan sadar akan ketidakpastian ini dapat dikurangi melalui
hasil-hasil penelitian berikutnya. Lebih jauh hasil uji laboratorium sistem dinamik terhadap 251
mahasiswa/I Harvard Unversity dan MIT pada tahun 2001 menunjukkan bahwa mereka tidak
sepenuhnya mengerti keterkaitan sistemik komponen-kompenen perubahan iklim (Moxnes dan
Ali, 2002). Kelemahan ini tergambar saat mereka diminta untuk merumuskan mental model
perubahan iklim. Bahkan ditemui adanya persepsi yang keliru, terutama antara jumlah akumulasi
emisi dan besaran absorbsi gas emisi. Hal ini teridentifikasi dari perbedaan parameter antara
emisi yang muncul dan emisi yang diserap/absorbsi tadi. Seharusnya keduanya mempunyai
parameternya yang sama karena obyeknya praktis adalah sama. Diskrepansi inipun tidak pernah
didiskusikan dalam berbagai laporan yang diterbitkan IPCC. Bagaimanapun kompleksitas sistem
ini menjadikan kita tidak dapat begitu saja memberikan hasil penelitian yang luar biasa
menyebabkan sejumlah kejutan-kejutan.
Pada tahun 2010, IPCC menyusun Assessment Report 5 (AR5) yang terbagi atas 9 cross-cutting
issues dan kemudian dikelompokkan dalam dua klaster cross cutting issues yaitu
a.
Cross cutting issues Methodologies (CCMs), yang terdiri dari
 Aspek-aspek regional
 Analisis ekonomi dan pembiayaan
 Skenario-skenario
22
b.
 Konsistensi evaluasi dan komunikasi tentang resiko dan ketidakpastian
Cross cutting issues Themes (CCTs), yang terdiri dari
 Earth System dan sumber daya air: perubahan, dampak, dan responsinya
 Siklus karbon termasuk ocean acidification
 Lapisan es dan naiknya permukaan air laut
 Mitigasi, adaptasi, dan Pembangunan Berkelanjutan
 Isu-isu yang terkait dengan ayat 2 UNFCCC
Secara lebih rinci, cross cutting issues ini dapat dilihat refleksinya pada rencana laporan AR5-IPCC
terlampir.
2.3 State of the art Perubahan Iklim di indonesia
Berdasarkan catatan di atas maka dapat dikatakan bahwa state of the art dari perkembangan
pemahaman tentang perubahan iklim dan menjadikannya sebagai bagian dari paradigma
kebijakan maupun sikap perilaku masyarakat masih dalam tahapan pengenalan (awareness). Hal
ini terindikasi dari belum lengkapnya database yang kemudian bisa dikembangkan sebagai
baseline bagi tatanan konseptual perubahan iklim Indonesia. Sebagian besar dari informasi
mengenai perubahan iklim di Indonesia masih berbasis atau mengadopsi pada hasil-hasil studi di
luar Indonesia. Padahal, diketahui bahwa bentang fisik (physical landscape) dan bentang kultursosial (socio-cultural landscape) yang tersintesis sebagai geographical setting Indonesia memiliki
keunikan yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan situasi di luar baik dari posisi
kelintangannya maupun sifat geografisnya tadi. Keunikan ini serta merta dapat mengarahkan
pada spesifikasi model atau pola perubahan iklim Indonesia berikut konsekuensi atau turununan
modelnya yang berimplikasi pada konsep mitigasi ataupun adaptasi, apalagi jika dikaitkan dengan
adanya pergeseran orientasi perhatian kajian-kajian perubahan iklim dari terfokus pada kajian
atmofirik menjadi yang lebih dinilai realistis yaitu dengan pendekatan siklus hidrologi. Pendekatan
siklus hidrologis ini secara konsep akan mengkaitkan secara sistemik fungsional dengan sistem
interaksi makhluk hidup, termasuk manusia, dengan sistem alam lingkungannya. Dapat dikatakan
bahwa posisi kajian perubahan iklim di Indonesia masih terfokus pada identifikasi yang bersifat
indikatif terhadap gejala dan unsur-unsur penting sebagai key driving forces perubahan iklim
termasuk pemanasan regional-global dalam konteks Indonesia. Situasi ini dengan sendirinya juga
berpengaruh pada kapasitas dan kualitas perumusan kebijakan beserta peraturan perundangan
yang berkaitan dengan gejala perubahan iklim.
23
BAB
3
Kebijakan Pembangunan Perubahan Iklim
3.1 Perkembangan kebijakan Pembangunan Perubahan iklim
Untuk memahami skenario proses pembangunan dan upaya untuk merancang mitigasi serta
adaptasi dapat dilakukan pendekatan secara berurutan atau parallel, seperti yang digambarkan di
bawah ini:
Pendekatan Sekuensial
Skenario Emisi dan
Sosio-Ekonomik
Pendekatan Paralel
Representative Consentration Pathways
(RCPs) dan tingkatan kekuatan radiatif
Kekuatan Radiatif
Iklim, atmosfir, dan
proyeksi Siklus Iklim
(1)
Skenario Emisi dan
Sosio-Ekonomik
(2)
Proyeksi Iklim
Dampak, adaptasi
dan kerentanan
Dampak Adaptasi Kerentanan
(vulnerabillity) dan analisis mitigasi
Sumber: AR5, IPCC, 2010
Gambar 3.1. Proses Skenario Pembangunan yang Baru – Pendekatan Paralel dan Sekuensial
Diantara kedua pilihan pendekatan skenario pembangunan di atas, dalam kasus Indonesia lebih
tepat dilakukan dengan cara parallel. Hal ini mengingat komitmen Indonesia untuk mengurangi
gas emisi yang cukup tinggi dalam waktu yang cukup singkat (tersisa 10 tahun). Untuk mengatasi
masalah ini diperlukan pemahaman yang sama diantara stakeholders perubahan iklim Indonesia,
khususnya kalangan institusi pemerintah. Kesadaran pentingnya peran pemerintah telah dimulai
pada tahun 2007 dan tonggaknya pada saat Indonesia menjadi tuan rumah COP13 di Bali, seperti
yang tergambar dalam ilustrasi di bawah ini:
24
Sumber: Jessica Brown and Leo Peskett, 2011
Gambar 3.2. Perkembangan Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia
Keseriusan pemerintah Indonesia merespons terhadap gejala perubahan iklim ditunjukkan
dengan diresmikannya Dewan Nasional Perubahan Iklim pada tahun 2008. Kemudian berturutturut diikuti oleh ditetapkannya komisi REDD dibawah koordinasi kementerian Kehutanan dan
memasukannya urusan perubahan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2009-2014. Tonggak penting berikutnya adalah komitmen Indonesia
yang disampaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G-20 tahun 2009
yang menyatakan komitmen Indonesia untuk mengurangi gas emisi rumah kaca hingga 26% tanpa
bantuan asing dan 41% jika ada bantuan asing sampai dengan tahun 2020.
Perhatian pemerintah pada urusan perubahan iklimpun semakin intensif. Hal ini ditunjukkan
bahwa kebijakan perubahan iklim telah menjadi konsideran dalam Master Plan Perluasan dan
Percepatan Ekonomi Indonesia (MP3EI) melalui penetapan Perpres (Peraturan Presiden) No. 32
Tahun 2011 pada bulan Mei 2011, seperti yang terlihat berikut ini:
Sumber: Menkoekuin, 2011
Gambar 3.3. Konstruksi Kebijakan Pembangunan Ekonomi Nasional dan Perubahan Iklim
Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK) berikut
REDD menjadi pertimbangan dalam perumusan dan pelaksanaan Master Plan Pembangunan
Ekonomi Indonesia. Namun tantangan praktis yang perlu menjadi perhatian dalam
25
implementasinya adalah pada keserasian dan sinergi antar lembaga serta kapasitas pendanaan
dalam mengupayakan penurunan atau pengurangan tingkat emisi gas rumah kaca.
3.2 Pendanaan Program Perubahan Iklim
Sampai dengan saat ini Indonesia telah memperoleh cukup banyak dana bantuan (financial
pledges) dan komitmen bagi upaya merespons gejala perubahan iklim. Dana tersebut diberikan
oleh donor bilateral, multilateral, dan berbagai bank pembangunan di dunia (lihat Tabel 3.1).
Tabel 3.1. Ringkasan Komitmen Finansial untuk Perubahan Iklim
Sumber: Jessica Brown and Leo Peskett, 2011
Ada mekanisme pendanaan baru yang dikembangkan untuk menangani isu-isu perubahan iklim.
Salah satunya yang utama adalah dikembangkannya Indonesian Climate Change Trust Fund
(ICCTF). Model pendanaan ini merupakan model potensial pendanaan nasional dalam era
paradigm baru kerjasama global dalam konteks perubahan iklim yang terfokus pada devolusi
keputusan pendanaan dan kepemilikan nasional. Pengembangan ini tentu sejalan dengan
semakin besarnya perhatian internasional terhadap situasi Indonesia seperti yang ditunjukkan
oleh pemerintah Norwegia. Pada tahun 2010, pemerintah Indonesia dan Norwegia telah
menandatangani LoI (Letter of Intent) dalam rangka mendukung upaya Indonesia untuk
mengurangi gas emisi rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan serta tanah
gambut (REDD+). Dalam LoI disebutkan bahwa pemerintah Norwegia telah menyepakati untuk
memberikan bantuan dana sebesar US$ 1 milyar tergantung dari performa Indonesia dalam 7-8
tahun ke depan.
26
Melalui suatu debat internasional dan dengan memperhatikan prinsip UNFCCC “responsibility and
capability to pay” bagi skema pendanaan perubahan iklim, maka secara keseluruhan formasi
bantuan dana bagi rensponsi perubahan iklim di Indonesia tergambar dalam ilustrasi di bawah ini
Sumber: Jessica Brown and Leo Peskett, 2011
Gambar. 3.4. Formasi Bantuan Dana Bagi Rensponsi Perubahan Iklim Di Indonesia
Secara umum aliran dana tersebut dapat dikelompokkan pada lima program pendanaan, yaitu (1)
The Climate Change Programme Loan (CCPL), (2) The Indonesia Climate Change Trust Fund
(ICCTF), (3) The Indonesia Green Investment Fund (IGIF), (4) Norway-Indonesia Letter of Intent
(LOI), dan (5) Bilateral and Multilateral Project/Programme Support. Rincian mengenai
pendanaan tersebut terdapat pada tabel berikut.
27
Tabel 3.2. Rincian Pendanaan Bagi Rensponsi Perubahan Iklim Di Indonesia
Financial Modality
Pendukung
Manager Keuangan/
Adminstratur
Tingkat Investasi
Jenis Dukungan
The Climate Change
Programme Loan
(CCPL)
The Indonesia
Climate Change
Trust Fund (ICCTF)
World
Bank/JICA/AFD
Kementrian
Keuangan
Kementrian
Keuangan
Pinjaman
konsesional
Pemerintah
RI/DFID/AusAID
Dana
Nasional/Bappenas
Grants
The Indonesia Green
Investment Fund
(IGIF)
Pemerintah
RI/DFID/AFD/dll.
Interm Trustee:
UNDP; diputuskan
oleh komite
pengarah
PIP dikelola oleh
KementrianKeuangan
Sektor Swasta/bank
komersial
Norway-Indonesia
Letter of Intent (LOI)
Bilateral and
Multilateral
Project/Programme
Support
Norway
UNDP
Presiden melalui UP4
Berbagai Donor
Bergantung projek
dan program
Bergantung projek
dan program
Ekuitas, grants,
pinjaman
konsesional,
penjamin
Grants, performance
based grants
Terutama berupa
grants
Sumber: Jessica Brown and Leo Peskett, 2011
Untuk mengantisipasi besarnya kebutuhan dan dukungan pihak-pihak bilateral, multilateral, serta
sejumlah lembaga keuangan dalam mengupayakan pengendaliaan serat penurunan emisi gas
rumah kaca di Indonesia, Kementerian Keuangan melakukan studi dalam menyusun strategi
kebijakan fiskal. Studi ini didorong oleh pernyataan Presiden Indonesia sebagai komitmen
nasional bagi penanganan gas Rumah Kaca pada pertemuan tingkat tinggi G-20. Hasil studi ini
tertuang dalam Green Paper yang dikeluarkan Kementerian Keuangan pada tahun 2009
disebutkan fokus strategi penanganan perubahan iklim di Indonesia adalah sebagai berikut:
Strategi untuk sektor Energi:

Mengupayakan implementasi pajak karbon setiap pemanfaatan bahan bakar minyak parallel
dengan pengurangan subsidi bahan bakar minyak. Sejalan dengan kebijakan ini memperkuat
akses pasar karbon melalui negosiasi target “no lose” dengan parameter yang tepat

Memperkenalkan ukuran komplemen (complementary measures) untuk mengintensifkan
pemanfaatan teknologi rendah-emisi, yang ditunjukkan dengan strategi kebijakan
geothermal.
Strategi untuk sektor kehutanan dan alih fungsi lahan:

Mendukung dan mengintensifkan batas layak karbon yang dirumuskan oleh pemerintah
daerah melalui sistem fiskal lintas pemerintah, hingga terbentuk Mekanisme Insentif Daerah
(Regional Incentive Mechanism-RIM) untuk perubahan iklim.

Bekerjasama dengan kementerian terkait untuk membangun kebijakan fiskal yang berlaku
menjadi selaras dengan tujuan pengurangan karbon.
28
Strategi untuk pendanaan karbon internasional:

Mendukung terciptanya mekanisme pasar broad-base karbon baru seperti target sektoral
lainnya. Mendukung sumber-sumber pendanaan tambahan dan baru dari berbagai sumber
keuangan public internasional. Memastikan manfaat yang memadai bagi upaya pegurangan
emisi Indonesia.
Strategi untuk pengembangan institusi:

Memperkuat kapasitas analisis kebijakan iklim pada Kementerian Keuangan untuk
mendukung proses koordinasi kebijakan lintas kementerian terutama diantara kementerian di
bawah Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan. Selain itu juga untuk mengadvokasi
kajian terhadap kerangka kebijakan yang lebih luas terkait kebijakan perubahan iklim.
Berbagai upaya yang masih dilakukan secara pragmatis oleh beberapa institusi pemerintah dalam
upaya menginternalisasi urusan perubahan iklim dalam kebijakan masing-masing. Dalam UU no
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap
rencana pembangunan dan penataan ruang, baik tingkat nasional maupun daerah, serta sektorsektor pembangunan lain yang diindikasikan akan memberikan dampak terhadap lingkungan
hidup yang luas wajib melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang di dalamnya
mengharuskan mempertimbangkan urusan perubahan iklim. Di bawah koordinasi Menkoekuin
telah dirumuskan MasterPlan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(Perpres no. 32 tahun 2011) yang juga telah memperhatikan kepentingan urusan perubahan
iklim. Sejalan dengan perkembangan ini, saat ini DNPI sedang memproses penyusunan rumusan
Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN PI) sebagai revisi dokumen yang pernah disusun
pada tahun 2007. RAN PI ini terdiri dari 4 tema utama yaitu RAN Mitigasi dan Adaptasi, RAN Alih
Teknologi, RAN Gas Rumah Kaca, dan RAN Finansial. Diharapkan rangkaian RAN ini dapat
memaduserasikan berbagai kebijakan pembangunan dan bahkan mensinergikannya dalam satu
rencana aksi nasional.
29
BAB
4
Dinamika Kependudukan Dan Daerah Rentan
Perubahan Iklim
4.1 Tren Dinamika Kependudukan Indonesia
4.1.1
Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk Indonesia
Jumlah penduduk Indonesia menurut perhitungan Sensus Penduduk Tahun 2010 adalah lebih dari
230 juta jiwa (BPS, 2011), menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk ke empat
terbanyak di dunia. Walaupun demikian, menurut hasil proyeksi yang dikeluarkan oleh Bappenas,
pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 2005-2025 menunjukkan
kecenderungan terus menurun. Dalam periode 2005-2010 dan 2020-2025, penduduk Indonesia
turun dengan kecepatan 1,27 persen menjadi 0,82 persen per tahun. Dengan penurunan ini
diperkirakan pada Tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia menjadi 270,5 juta
Salah satu ciri penduduk Indonesia adalah persebaran antar pulau dan provinsi yang tidak merata.
Sejak tahun 1930, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, padahal luas pulau
itu kurang dari tujuh persen dari luas total wilayah daratan Indonesia. Namun secara perlahan,
persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa terus menurun dari sekitar 58,6
persen pada tahun 2005 menjadi 55,7 persen pada tahun 2025. Sebaliknya Kepulauan Maluku,
Papua, serta Pulau Kalimantan yang luasnya hampir empat kali dan lima kali luas Pulau jawa,
hanya dihuni satu persen dan lima persen dari total penduduk Indonesia. Namun demikian,
persentase penduduk yang tinggal di luar pulau jawa meningkat seperti, Pulau Sumatera naik dari
21,1 persen menjadi 22,8 persen, Kalimantan naik dari 5,5 persen menjadi 6,0 persen pada
periode yang sama. Selain pertumbuhan alami di pulau-pulau tersebut memang lebih tinggi dari
pertumbuhan alami di Jawa, faktor arus perpindahan yang mulai menyebar ke pulau-pulau
tersebut juga menentukan distribusi penduduk. Berikut disajikan proporsi penduduk per pulau di
Indonesia.
30
Gambar 4.1. Persentase Persebaran Penduduk Indonesia Menurut Pulau Utama Tahun 2010
4.1.2
Urbanisasi di Indonesia
Isu kependudukan dunia tidak lagi berfokus terhadap penurunan tingkat fertilitas saja, tetapi juga
pada tingginya laju urbanisasi. Hal ini disebabkan karena pertambahan dan proporsi penduduk
sedang mengarah kepada penduduk urban dengan kecepatan yang tinggi. Pertambahan
penduduk urban itu bukan hanya karena adanya migrasi penduduk perdesaan ke kota, tetapi juga
karena desa-desa bertambah maju dan penduduk desa tersebut, siap atau tidak, karena
“desanya” berubah menjadi “kota”, dengan otomatis dan secara bersama-sama berubah menjadi
“penduduk kota” atau “penduduk urban”.
Menurut Sensus Penduduk 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia
telah mencapai lebih dari 85 juta jiwa sedangkan pada Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk
perkotaan meningkat menjadi 118 juta jiwa. Walaupun laju pertumbuhannya telah mengalami
penurunan, karena pada kurun waktu 1990-2000 dengan laju kenaikan sebesar 4,40% sedangkan
di kurun waktu 2000-2010 laju kenaikannya hanya 3,88%, namun proporsinya meningkat dari
42% di Tahun 2000 menjadi 49,79% di Tahun 2010.
Gambar 4.2. Persentase Penduduk Perkotaan – Perdesaan Indonesia Menurut Pulau Utama Tahun 2010
31
Dapat diketahui bahwa penduduk di Pulau Jawa dan Bali lebih dari separuhnya terdapat di
perkotaan yaitu sebesar 58,57%. Kemudian diikuti oleh penduduk di pulau Kalimantan dan
Sumatera sebesar 42% dan 39%. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan, karena Pulau Jawa dan Bali
yang dikenal pulau yang paling subur dan cocok untuk kegiatan pertanian ternyata proporsi
wilayah perkotaannya relatif besar.
Proyeksi penduduk terhadap urbanisasi juga dilakukan oleh Bappenas, berdasarkan perbedaan
laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Urban Rural Growth
Difference/URGD). Namun begitu, asumsi URGD tersebut juga mempertimbangkan tiga faktor
yaitu pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah
perkotaan, dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan. Urbanisasi diproyeksikan
sudah mencapai 68% pada tahun 2025. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan
Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di
empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat,
DI Yogyakarta, dan Banten.
4.1.3
Pola Migrasi di Indonesia
Migrasi merupakan salah satu dari tiga faktor yang dasar yang mempengaruhi pertumbuhan
penduduk, selain faktor lainnya, yaitu kelahiran dan kematian. Di Indonesia data migrasi secara
nasional diketahui dari data sensus penduduk setiap 10 tahun sekali dan data SUPAS yang
dilakukan diantara dua sensus. Data tersebut terdiri dari dua jenis data, yaitu data migran risen
dan migran semasa hidup. Namun data yang lebih penting disajikan adalah data migrasi masuk
risen, karena lebih menggambarkan kondisi/pola migrasi yang terkini. Oleh sebab itu, dalam
penghitungan proyeksi, angka migrasi risen yang dipakai sebagai penentuan asumsi perpindahan
di masa mendatang.
Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, Jumlah penduduk yang merupakan migran risen terus
meningkat dari waktu ke waktu. Hasil SP2010 mencatat 5,3 Juta Jiwa atau 2,5% penduduk
merupakan migran masuk risen antar provinsi. Persentase migran risen di daerah perkotaan tiga
kali lipat lebih besar migran risen di daerah perdesaan, masing-masing sebesar 3,8% dan 1,2%.
Menurut gender, Seks rasio migran risen adalah 110,3, yang berarti jumlah migran laki-laki lebih
banyak daripada migran perempuan. Gambar berikut menunjukkan banyaknya migran masuk di
Indonesia pada Tahun 2010.
Gambar 4.3. Migran Masuk di Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2010
32
Data-data tersebut menunjang teori, bahwa migran lebih banyak di daerah perkotaan dan lakilaki lebih banyak yang melakukan perpindahan. Beberapa provinsi merupakan daerah tujuan
migran, seperti: Kepulauan Riau, Papua Barat, dan DI Yogyakarta. Daerah-daerah ini mempunyai
daya tarik tersendiri bagi migran. Pada umumnya alasan utama pindah para migran ini adalah
karena pekerjaan, mencari pekerjaan, atau sekolah.
4.2 Daerah Rentan Perubahan Iklim dan Potensi Migrasi
Dampak perubahan iklim di Asia yang erat kaitannya dengan pemanasan global, kondisi ini
ditunjukkan dengan adanya peningkatan intensitas atau frekuensi pada skala regional sepanjang
abad ke-20. Laporan ke tiga yang dikeluarkan oleh The Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) memperkirakan bahwa rata-rata pemanasan tahunan regional Asia akan menjadi
sekitar 3°C pada era 2050-an dan sekitar 5°C pada era 2080-an sebagai akibat tingginya
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (Lal et al., 2001). Sehingga, suhu permukaan
diproyeksikan meningkat tajam di semua musim kenaikan selama boreal Asia.
Kenaikan suhu permukaan ini akan memicu perubahan fisik dan sosial yang sangat besar. Efek
fisik yang nyata tercipta adalah tingginya suhu rata-rata permukaan (laut dan daratan) serta
naiknya tinggi muka laut. Perubahan fisik ini akan memicu dampak sosial-ekonomi seperti
kelaparan dan kekeringan, pergeseran dalam output ekonomi dan pola migrasi. Indonesia yang
merupakan negara kepulauan yang terletak di ekuator, menyebabkan pengaruh perubahan iklim
berupa naiknya suhu rata-rata permukaan (laut dan daratan) serta naiknya tinggi muka laut tidak
dapat dihindari.
Dampak perubahan iklim di Indonesia dapat dilihat dari multi-dimensi. Penggundulan hutan
secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa, serta hilangnya serapan
karbondioksida – yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang utama pemanasan global,
hanya merupakan sebagian dampak perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Namun, yang
lebih mengkhawatirkan adalah: (1) kenaikan muka air laut yang dapat menggenangi ratusan pulau
dan menenggelamkan batas wilayah negara Indonesia; (2) musim tanam dan panen yang tidak
menentu diselingi oleh kemarau panjang yang menyengsarakan; (3) banjir melanda sebagian
besar jalan raya di berbagai kota besar di pesisir; (4) Air laut menyusup ke delta sungai,
menghancurkan sumber nafkah pengusaha ikan; atau (5) anak-anak menderita kurang gizi akut.
Dampak perubahan iklim tadi pengaruhnya dapat dirasakan lebih parah oleh masyarakat miskin,
mereka yang hidup di wilayah paling pinggiran yang, antara lain, rentan terhadap banjir, atau
banjir dan longsor, karena mereka kebanyakan mencari nafkah dengan bertani dan menjadi
nelayan. Selain sumber nafkah yang amat rentan terhadap perubahan iklim, mereka juga hanya
memiliki sumber daya terbatas untuk menanggung bencana sehingga bencana apapun yang
menimpa, akan membuat mereka melalui masa-masa sulit yang mungkin menyebabkan mereka
terpaksa menjual harta benda yang akan membuat mereka makin kesulitan untuk
mempertahankan sumber penghidupan mereka. Kondisi ini menghambat pencapaian
Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) di Indonesia. Berikut merupakan
potensi dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap pencapaian MDGs
33
Tabel 4.1. Potensi Penghambat Pencapaian Pembangunan Milenium (MDGs) karena Perubahan Iklim di
Indonesia
Tujuan MDGs
Potensi Dampak Perubahan Iklim
1
Menanggulangi kemiskinan
dan kelaparan ekstrem
Perubahan iklim diperkirakan akan:
 Menghancurkan hutan,populasi ikan,padang rumput,dan lahan
bertanam yang diandalkan oleh keluarga miskin sebagai
sumber makanan dan penghasilan.
 Merusak perumahan rakyat miskin, sumber air dan kesehatan,
yang akan melemahkan kemampuan mereka mencari nafkah.
 Meningkatkan ketegangan sosial soal penggunaan sumbersumber yang dapat menimbulkan konflik,mengganggu sumber
nafkah dan memaksa masyarakat berpindah.
2
Mencapai pendidikan Dasar
Secara Universal
Perubahan iklim dapat melemahkan kemampuan anak untuk
belajar di sekolah :
 Lebih banyak anak (terutama anak perempuan) kemungkinan
akan mesti keluar sekolah untuk mengangkut air,merawat
keluarga,dan membantu mencari nafkah.
 Kurang gizi dan penyakit di kalangan anak-anak dapat
mengurangi kehadiran mereka di sekolah, dan mempengaruhi
proses pembelajaran mereka di kelas.
 Banjir dan angin kencang merubuhkan bangunan sekolah,dan
menyebabkan pengungsian.
3
Meningkatkan kesetaraan
gender dan memberdayakan
perempuan
4
Menurunkan
kematian anak
5
Memperbaiki kesehatan ibu
6
Mengatasi
penyakit
 Perempuan cenderung untuk bergantung pada lingkungan
alam sebagai sumber penghidupan mereka ketimbang laki-laki,
dan karena itu lebih rentan ketimbang laki-laki terhadap
ketidakmenentuan dan perubahan iklim.
 Perempuan dan anak perempuan biasanya ditugaskan
mengangkut air, mencari makanan ternak, kayu bakar, dan
juga makanan. Di masa-masa iklim yang sulit mereka harus
menghadapi sumber daya alam yang makin terbatas dan
beban yang lebih berat.
 Rumah tangga yang dikepalai perempuan dengan harta benda
yang seadanya juga umumnya terkena dampak parah bencanabencana yang berkaitan dengan iklim.
 Perubahan iklim akan menyebabkan lebih banyak kematian
dan penyakit akibat gelombang panas, banjir, kemarau
panjang, dan angin kencang.
 Dapat meningkatkan kejadian berbagai penyakit yang
ditularkan melalui nyamuk (malaria dan demam berdarah
dengue) atau yang tersebar melalui air (kolera dan disentri).
Anak-anak dan ibu hamil terutama rentan terhadap berbagai
penyakit ini.
 Diperkirakan akan mengurangi kualitas dan kuantitas air
minum, dan memperparah kurang gizi di kalangan anak-anak
angka
berbagai
Tabel bersambung..
34
Sambungan Tabel 4.1.
Tujuan MDGs
Potensi Dampak Perubahan Iklim
7
Menjamin kelestarian lingkungan
8
Mengembangkan
kemitraan global
suatu
Perubahan iklim akan mengubah kualitas dan kuantitas sumber
daya alam dan ekosistem, sebagian di antaranya mungkin tidak
dapat dipulihkan.
Mungkin
menurunkan
keanekaragaman
hayati
dan
memperparah kerusakan lingkungan yang sedang berlangsung
Perubahan iklim merupakan tantangan global, dan untuk
menghadapinya dibutuhkan kerja sama global, terutama dalam
menguatkan negara-negara berkembang menangani kemiskinan
dan ketidaksetaraan.
Perubahan iklim mendesak perlunya negara donor meningkatkan
komitmen bantuan resmi pembangunan mereka dan
memberikan sumber daya tambahan untuk adaptasi.
Sumber: Oxfam, 2007. Nota ringkas. Beradaptasi terhadap perubahan iklim. Apa yang dibutuhkan oleh negara miskin
dan siapa yang harus membiayai
Sebagian besar perhatian terhadap perubahan iklim di negara berkembang adalah untuk
mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dari potensi-potensi yang telah disebutkan
sebelumnya. Untuk Indonesia, rincian berikut merupakan perhatian utama dampak perubahan
iklim:
4.2.1
Masyarakat dan Infrastruktur Pesisir
Sebagai sebuah kepulauan amat luas yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 80.000 kilometer
garis pantai, Indonesia amat rentan terhadap kenaikan muka air laut. Kenaikan 1 meter saja dapat
menenggelamkan 405.000 hektar wilayah pesisir dan menenggelamkan 2.000 pulau yang terletak
dekat permukaan laut beserta kawasan terumbu karang. Hal ini berpengaruh pada batas-batas
negara kita: penelitian mutakhir mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92 pulau-pulau kecil
terluar yang merupakan perbatasan perairan Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan muka
air laut.
Banyak bagian di wilayah pesisir sudah makin direntankan oleh erosi – yang juga sudah
diperparah oleh aktivitas manusia seperti pembangunan dermaga dan tanggul di laut,
pembendungan sungai, penambangan pasir dan batu, dan perusakan hutan mangrove. Saat ini,
sebagian besar penduduk Indonesia, industri, infrastruktur, dan lahan pertanian yang paling
subur terkonsentrasi di daerah dataran rendah. Sekitar 42 juta penduduk Indonesia mendiami
wilayah yang terletak 10 meter di atas permukaan laut.
Masyarakat pesisir bergantung pada ekosistem yang amat rentan yang dengan perubahan kecil
saja sudah berdampak besar: perubahan suhu air yang merusak terumbu karang, misalnya, akan
memperparah kondisi buruk yang dilakukan manusia seperti polusi dan penangkapan ikan besarbesaran sehingga menurunkan populasi ikan. Perahu-perahu penangkap ikan juga mesti mesti
menghadapi cuaca yang tidak menentu dan gelombang tinggi. Perubahan iklim juga sudah
mengganggu mata pencaharian di banyak pulau. Di Maluku, misalnya nelayan mengatakan
35
mereka tidak lagi dapat memperkirakan waktu dan lokasi yang pas untuk menangkap ikan karena
pola iklim yang sudah berubah. Kenaikan muka air laut juga dapat menggenangi tambak-tambak
ikan dan udang di Jawa, Aceh, dan Sulawesi.
4.2.2
Menurunnya Produktivitas Pertanian dan Pendapatan Petani
Perbahan iklim akan mempengaruhi siklus curah hujan yang menyebabkan tidak tepat waktunya
musim tanam dan musim panen yang sering menyebabkan turunnya produktivitas pertanian atau
bahkan gagal panen. Di Indonesia, perubahan siklus hujan ini bervariasi bergantung pada lokasi.
Namun, petani yang paling merasakan hal ini adalah petani di wilayah dataran tinggi yang dapat
mengalami kehilangan lapisan tanah akibat erosi. Untuk pasokan air, petani yang bertani di
wilayah paling ujung saluran irigasi lah yang paling sering mengalami kelangkaan air karena tidak
mendapatkan jatah air karena sudah lebih dulu digunakan oleh para petani di daerah hulu irigasi.
Keterlambatan dalam musim hujan dan kenaikan suhu melebihi 2,5°C akan menyebabkan
turunnya produktivitas padi dan menyebabkan petani mengalami kerugian dengan berkurangnya
pendapatan bersih dari 9 sampai 25%. Tanaman pangan dataran tinggi seperti kedelai dan jagung
bisa menurun 20 hingga 40%. Berbagai beban ini memiliki implikasi besar pada ketahanan pangan
nasional. Laboratorium Iklim di Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa selama kurun waktu
1981-1990, setiap kabupaten di Indonesia setiap tahunnya rata-rata mengalami penurunan
produksi padi 100.000 ton; dan pada kurun waktu 1992-2000, jumlah penurunan ini meningkat
menjadi 300.000 ton.
4.2.3
Menurunnya Kualitas Perkotaan
Tingginya laju urbanisasi di Indonesia membentuk wajah kota yang relatif rentan terhadap bahaya
lingkungan. Tingginya harga tanah karena tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah,
menyebabkan penduduk yang tidak mampu akan meninggali wilayah-wilayah marginal yang
umumnya memiliki kondisi lingkungan yang buruk, misalnya berada pada bantaran sungai atau
pinggir pantai yang rentan terhadap bahaya banjir.
Sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia berkembang sebagai wilayah perkotaan seperti yang
terjadi di kota-kota besar di pesisir Pulau Jawa seperti Jakarta dan Surabaya. Adanya perubahan
iklim yang menyebabkan kenaikan muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter, akan
memperburuk kondisi kota-kota pesisir seperti yang akan makin rentan terhadap banjir dan
limpasan badai.
Kondisi lebih memprihatinkan terjadi di Jakarta, karena bersamaan dengan kenaikan muka air
laut, permukaan tanah turun: pendirian bangunan bertingkat dan meningkatnya pengurasan air
tanah telah menyebabkan tanah turun. Suatu penelitian memperkirakan bahwa paduan kenaikan
muka air laut setinggi 0,5 meter dan turunnya tanah yang terus berlanjut dapat menyebabkan
enam lokasi terendam secara permanen dengan total populasi sekitar 270,000 jiwa, yakni: tiga di
Jakarta – Kosambi, Penjaringan dan Cilincing; dan tiga di Bekasi – Muaragembong, Babelan dan
Tarumajaya (Khalik, A., 2007).
36
4.2.4
Penurunan Kualitas Kesehatan
Pemanasan global juga akan berdampak parah pada masalah kesehatan, dan masyarakat miskin
yang merasakan dampak paling parah. Curah hujan tinggi dan banjir akan menimbulkan dampak
amat parah bagi sistem sanitasi yang masih buruk di wilayah-wilayah kumuh di berbagai daerah
dan kota, menyebarkan penyakit-penyakit yang menular lewat air seperti diare dan kolera. Suhu
panas berkepanjangan yang disertai oleh kelembapan tinggi juga dapat menyebabkan kelelahan
karena kepanasan terutama pada masyarakat miskin kota dan para lansia.
Keluarga miskin juga umumnya tinggal di lingkungan yang rawan terhadap perkembangbiakan
nyamuk. Masyarakat di Indonesia secara tradisional menganggap peralihan musim dari musim
panas ke musim hujan, yaitu musim pancaroba, sebagai musim yang berbahaya dan orang-orang
tua mengingatkan yang muda agar lebih berhati-hati pada musim itu.
Perubahan iklim ini akan meningkatkan risiko baik bagi yang muda maupun para lansia dengan
memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru. Hal itu sudah terjadi di tahun El Niño
1997 ketika nyamuk berpindah ke dataran tinggi di Papua. Suhu lebih tinggi juga menyebabkan
beberapa virus bermutasi – yang tampaknya sudah terjadi pada virus penyebab demam berdarah
dengue, yang membuat penyakit ini makin sulit diatasi. Kasus demam berdarah dengue di
Indonesia juga sudah ditemukan meningkat secara tajam di tahun-tahun La Niña
Catatan: 1973, 1988 dan 1998 adalah tahun-tahun La Niña.
Sumber: Data,Departemen Kesehatan, diagram dari www.tempointeraktif.com.
Gambar 4.4. Grafik Perbandingan Angka Kejadian DBD Tahun 1968 - 2003
Masalah kesehatan lainnya muncul akibat kabut asap tebal yang menyebabkan infeksi
pernapasan akut, serta iritasi mata dan kulit.Tahun 1997 berbagai kebakaran di delapan provinsi
telah menimbulkan sekitar 9 juta kasus infeksi pernapasan
37
4.2.5
Kekeringan dan Kelangkaan Sumberdaya Air
Kekeringan diartikan sebagai berkurangnya persediaan air sampai di bawah normal yang bersifat
sementara, baik di atmosfer maupun di permukaan tanah. Penyebab kekeringan adalah
menurunnya curah hujan pada periode yang lama yang disebabkan oleh interaksi atmosfer dan
laut serta akibat ketidakteraturan suhu permukaan laut seperti yang ditimbulkan oleh fenomena
El Niño. Kekeringan mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan air bagi kegiatan manusia.
Kekeringan membawa akibat serius pada pola tanam, pola pengairan, pola pengoperasian irigasi
serta pengelolaan sumber daya air di permukaan lainnya. Gangguan pola tanam yang serius pada
gilirannya akan mengancam keamanan pangan masyarakat.
Perubahan pola curah hujan juga menurunkan ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air
bersih. Di pulau Lombok dan Sumbawa antara tahun 1985 dan 2006, jumlah titik air menurun dari
580 menjadi hanya 180 titik.11 Sementara itu, kepulauan ini juga mengalami ‘jeda musim’kekeringan panjang selama musim penghujan – yang kini menjadi makin sering,menimbulkan
gagal panen. Di seluruh negeri, kini makin banyak saja sungai yang makin dangkal seperti Sungai
Ular (Sumatra Utara), Tondano (Sulawesi Utara), Citarum (Jawa Barat), Brantas (Jawa Timur),
Ciliwung-Katulampa (Jawa Barat), Barito-Muara Teweh (Kalimantan Tengah), serta Larona-Warau
(Sulawesi Selatan).12 Di wilayah pesisir, berkurangnya air tanah disertai kenaikan muka air laut
juga telah memicu intrusi air laut ke daratan – mencemari sumber-sumber air untuk keperluan air
bersih dan irigasi.
4.2.6
Meningkatnya Kasus Kurang Gizi
Wilayah-wilayah paling tertinggal juga adalah wilayah yang cenderung mengalami kelangkaan
pangan. Di Nusa Tenggara Timur, Timor Barat, Sumba Timur, dan pulau-pulau di sebelah timur
Flores banyak masyarakat yang sudah merasakan dampak parah berubah-ubahnya iklim – dengan
menurunnya kesuburan tanah di sana oleh curah hujan yang tidak menentu dan kemarau panjang
di tahun-tahun El Niño. Lebih dari sepertiga populasi di berbagai pelosok wilayah ini hidup di
bawah garis kemiskinan. Di tahun-tahun El Niño 2002 dan 2005, sekitar 25% anak balita
mengalami kurang gizi akut. Di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, misalnya, yang mendapat
curah hujan paling rendah di Indonesia, kemarau panjang yang diikuti oleh kegagalan panen,
telah menimbulkan dampak parah dan kasus kurang gizi merebak di seluruh provinsi ini – antara
32 hingga 50% (Kieft, J. & D. Soekarjo, 2007).
4.2.7
Tingginya Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh
kegiatan manusia dalam rangka membuka lahan, baik untuk usaha pertanian, kehutanan maupun
perkebunan dan ditunjang oleh adanya fenomena alam El Niño Southern Oscillation (ENSO) yang
menimbulkan kekeringan.
Di Kalimantan Tengah, misalnya, Proyek Lahan Gambut di tahun 1990 an semula dimaksudkan
untuk mengkonversi sejuta hektar lahan gambut menjadi perkebunan sawit. Proyek ini bukan saja
gagal, tetapi juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang luar biasa sekaligus juga
menghancurkan sumber penghidupan masyarakat di wilayah sekitarnya yang bergantung pada
kebun karet sebagai sumber utama nafkah mereka. Banyak pohon karet mereka ikut terbakar
38
ketika lahan gambut terbakar. Sejak itu kebakaran menjadi sulit dikendalikan, terutama pada
tahun-tahun El Niño dan terutama akibat pembangunan kanal-kanal untuk mengeringkan rawa
dan penggunaan api untuk membuka lahan. Di tahun El-Niño 1997 total luas lahan gambut yang
rusak karena kebakaran di Indonesia diperkirakan sekitar 6,8 juta hektar.
Kebakaran yang terjadi berulang kali itu tidak saja menimbulkan masalah kesehatan tetapi juga
menghancurkan sumber-sumber nafkah rakyat – meningkatkan angka kemiskinan hingga 30
persen atau lebih.14 Kebakaran pada tahun-tahun El Niño juga menimbulkan berbagai kerusakan
di Indonesia.
4.3 Mitigasi dan adaptasi dalam konteks perubahan iklim
Untuk dapat mengurangi resiko dapak perubahan iklim sekaligus juga isu pemanasan global maka
diperlukan upya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah mengurangi laju atau besaran dampak
negative bagi mahluk hidup, sedangkan adaptasi adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
dalam penyesuain terhadap konsekuensi adanya perubahan, diantara perubahan iklim, yang
dapat menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan atau daya tahan hidup. Sementara itu
apabila tidak ada perlakukan mitigasi atau kemampuan adaptasi yang terbatas maka akan terjadi
suffering (mengalami beban kehidupan yang berat). Terkait dengan konsekuensi gejala
perubahan iklim, hasil kajian Mayhew (2010) dari London School of Hygiene and Tropical
Medicine yang disampaikan dalam Simposium Kependudukan dan Perubahan Iklim di London
bulan Maret tahun 2010 tentang permasalahan mitigasi dan kapasitas adaptasi menunjukan satu
sikap dan pemikiran yang lebih proposional secara global. Pemahaman Mayhew tentang
permasalahan mitigasi dan adaptasi berikut solusinya dapat diikuti pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.2. Masalah dan Solusi bagi Mitigasi dan Adaptasi
Mitigasi
Adaptasi
Permasalahan
 Perubahan Iklim disebabkan oleh
konsumen bukan seluruh penduduk
 Adanya hak untuk menghasilkan
produk konsumtif
 Sebagai bagian dari komunitas
internasional
yang
bertanggung
jawab, menjadi satu keharusan untuk
menjaga
dan
melestarikan
lingkungan. Oleh karenanya tidak bisa
begitu saja meminta pertanggung
jawaban terhadap terjadinya gejala
perubahan iklim pada negara-negara
berkembang atau miskin saja
 Pertumbuhan penduduk yang tinggi
impedes
menghambat
upaya
pengurangan angka kemiskinan –
sebagai
faktor
kritis
dalam
menghadapi
kerentanan
akibat
perubahan iklim
 Pertumbuhan penduduk yang tinggi
Solusi ?
 Pola konsumsi dan GRK secara global
di’pimpin’ oleh dunia barat
 Pola reproduksi dan dinamika
penduduk di negara-negara maju dan
berkembang dikendalikan
 Pengembangan teknologi hijau
 Mengkaji
ulang
kebijakan
kependudukan
dan
mekanisme
pendanaan
bagi
peningkatan
kapasitas adaptasi dengan melibatkan
pertimbangan
sektor
sosial
(penanganan
pertumbuhan
penduduk sebagai bagian dari strategi
39
juga dapat melemahkan upaya-upaya
peningkatan kapasitas adaptasi)
adaptasi
 Mengatasi penurunan investasi pada
program Keluarga Berencana
 Meningkatkan skala dukungan bagi
inisiatif
adaptif
komunitas-akar
seluruh sektor kehidupan
Sumber: Mayhew, 2010
Jika suatu daerah tidak melakukan upaya-upaya mitigasi dan atau adaptasi maka ada
kemungkinan tempat tersebut menjadi rentan untuk aktifitas kehidupan sehingga bisa memicu
terjadi arus migrasi, baik sementara ataupun permanen. Tempat tersebut dapat menjadi faktor
pendorong terjadinya migrasi dan secara teknis lingkungan disebut sebagai displacement area.
Mayhew pun kemudian juga memperhatikan situasi ini dan merumuskan konsekuensi timbulnya
migrasi dan urbanisasi dari gejala perubahan iklim sebagai berikut:
 Permasalahan migrasi dan Urbanisasi:
 Naiknya tinggi permukaan air laut akan berdampak pada sekitar sepertiga
penduduk dunia yang hidup di daerah pesisir atau wilayah 60 mil dari garis pantai
di daratan dimana sebagian besar kota-kota besar di dunia berada di wilayah
tersebut. Kondisi berakibat pada timbulnya tekanan pada ketersediaan sumber
daya air dan sebagai konsekuensinya dapat memicu migrasi (environmental
refugees), khususnya di daerah pedesaan
 Terjadinya peningkatan urbanisasi; diperkirakan pada tahun 2050 80% penduduk
dunia berada di wilayah pesisir/perkotaan. Hal ini berarti akan tingginya tingkat
resiko akibat kenaikan permukaan air laut, meningkatnya tingkat konsumsi, dan
daerah kumuh semakin sulit untuk beradaptasi
 Solusi migrasi:
 Mengatasinya dengan mitigasi dan adaptasi termasuk mengurangi tingkat
fertilitas
 Mengkaji ulang strategi pembangunan daerah perkotaan di wilayah pesisir
 Membangun perencanaan global dan nasional untuk mengatasi potensi migrasi
masal
Namun masih banyak kalangan ilmuwan, pemerintah, tokoh masyarakat, dan pengamat yang
berdebat tentang keterkaitan antara gejala perubahan iklim dan migrasi, terutama oleh
pemahaman sifat peristiwa atau events gejala perubahan iklim. Perdebatan ini menghasilkan satu
rumusan kategori dan klasifikasi keterkaitan gejala perubahan iklim dan migrasi atau mobilitas
penduduk sebagai berikut:
40
Tabel 4.3. Tipologi Pergerakan penduduk dan Pola Perubahan iklim
Direct Climate
Changes
Indirect Climate
Changes
Type of Movement
Time Span
Gradual
change
climate Chronic
disasters, Seasonal
labour Seasonal
such as drought, migration. Temporary
degradation
circulation
Gradual
change
climate Chronic
disasters Contract
drought/ degradation migration
Sudden or gradual Natural
disasters/ Forced/
climate change
severe
drought/ migration
famine/ floods
Sudden or gradual Extreme
climate change
temperatures/
level rise
labour Yearly
distress Temporary
Permanent migration
Lifetime
sea
Source: Raleigh, et. al, dalam Nurlambang, 2010
Memahami karakteristik geografis, termasuk letaknya di seputar garis khatulistiwa yang tidak
menimbulkan gejala ekstrim maka diperkirakan Indonesia ada diantara klasifikasi kedua kelompok
“gradual climate change”. Pergerakan penduduk yang mungkin terjadi akan memiliki pola migrasi
temporal/musimam atau tipikal migrasi yang terkait kontrak kerja. Dengan kata lain gejala
perubahan iklim yang berlangsung bertahap (gradual) ini diasumsikan akan memungkinkan untuk
menerapkan mitigasi dan beradaptasi dengan perubahan ini sehingga pola migrasinya bukan
bersifat masal dalam jumlah yang besar serta serentak. Walaupun kantung-kantung kegiatan di
perkotaan sepanjang pesisir akan semakin besar jumlah penduduknya dengan tingkat Livability
yang masih relative rendah namun dengan perubahan yang bersifat ‘gradual’ ini dimungkinkan
untuk melakukan upaya-upaya mitigasi dan persiapan adapatasi sehingga masyarakat di wlayahwilayah tersebut (displacement areas) lebih memiliki persapan membangun daya tahannya
(resiliency). Berikut adalah perkiraan jumlah penduduk di perkotaan dan livability index di
beberapa kota besar di Indonesia.
41
Gambar 4.5. Pertumbuhan Jumlah Penduduk Perkotaan di Indonesia
Sumber: IAP, 2011
Gambar 4.6. Livability Index Kota di Indonesia tahun 2011
Dari angka Livability Index kota-kota di Indonesia tahun 2011 di atas, pada dasarnya menunjukkan
bahwa kemampuan kota untuk memberikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakatnya relative masih rendah. Diantara kota-kota tersebut hanya kota
Yogyakarta yang mempunyai nilai cukup tinggi livability indexnya yaitu sekitar 65%.
42
4.4 Pengaruh budaya dan gaya hidup bagi mitigasi dan adaptasi
Banyak penelitian dan juga seperti yang dilaporkan oleh IPCC dalam AR5 mengatakan bahwa
perilaku masyarakat sebagai penyebab dan juga sebaliknya yang terkena dampak langsung gejala
perubahan iklim tidak lepas dari pola gaya hidup yang semakin tinggi tingkat konsumtifnya yang
tidak menghiraukan konsekuensi terhadap lingkungannya. Perkembangan ini juga sejalan dengan
semakin tingginya kelompok masyarakat kelas menengah yang sebagain besar hidup di perkotaan
dengan daya beli yang semakin tinggi. Menurut Bank Dunia, saat ini sebanyak 56,5 persen dari
total 237 juta penduduk Indonesia atau 134 juta orang masuk kategori kelas menengah. Kelas
menengah yang dimaksud adalah mereka yang membelanjakan uangnya USD 2 (Rp 18.000)
sampai USD 20 (Rp 180.000) perhari. Masih menurut Bank Dunia kelas menengah ini
membelanjakan untuk pakaian dan alas kaki sebanyak Rp 113,4 triliun; belanja barang rumah
tangga dan jasa Rp194,4 triliun; belanja di luar negeri Rp 59 triliun dan biaya transportasi Rp
238,6 triliun. (Kompas, 19/12). Bahkan menurut surey on-line tahun 2011 yang dilakukan oleh
lembaga riset pasar swasta Nielsen terhitung sebanyak 29 juta warga kelas menengah premium
(SES/Social Economic Status A). Perkembangan pertumbuhan kelas menengah ini akan terus
berlanjut seiring dengan angka pertumbuhan ekonomi positif di Indonesia. Di Indonesia gejala
seperti ini sudah semakin nyata di daerah perkotaan, terutama di ibukota propinsi dan kota-kota
besar lainnya. Tentu perkembangan ini ditambah dengan dorongan media massa elektronik dapat
merambah pengaruhnya sampai ke luar daerah perkotaan. Gejala ini tidak lepas dari sikap
hedonisme yang berkembang pesat di kota-kota besar tersebut. Keterkaitan antara gaya hidup
sebagai factor penyebab gejala perubahan iklim dalam konteks kapasitas adaptasi terlihat dalam
ilustrasi di bawah ini:
“Mind Mapping” Adaptasi;
Refleksi Gaya Hidup dan Perubahan Iklim
Sumber: Tilaar et.al, 2011
Gambar 4.7. Mind Mapping Adaptasi
43
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa tidak seluruh gaya hidup yang berkembang menimbulkan
dampak negatif. Diantara gaya hidup yang positif adalah kesadaran untuk mengkonsumsi bahan
makanan yang sehat atau higienis, berolahraga, dan penggunaan alat transportasi non-motor
serta transportasi publik. Namun sikap dan perilaku positif ini relatif masih kalah dominasinya
ketimbang yang menimbulkan dampak negatif.
Sementara itu kelompok masyarakat lain yaitu masyarakat tradisional juga harus menjadi
perhatian yang serius. Hal ini mengingat mereka melakukan kegiatan mata pencaharian yang
bertumpu pada kegiatan primer maupun kehidupan sehari-harinya tergantung pada kondisi alam
termasuk iklim, khususnya curah hujan. Mereka ini tersebar di daerah-daerah yang tergolong
tidak cukup terfasilitasi oleh berbagai macam layanan public. Gejala hegemoni masyarakat kelas
menengah-atas secara bertahap dan pasti menggeser masyarakat tradisional ini ke area marjinal,
seperti tepi pantai, daerah yang lebih tinggi (bukit/pegunungan) ataupun area di perkotaan yang
belum terfasilitasi layanan umum yang baik. Untuk ini maka perlu dipertimbangkan pengelolaan
upaya-upaya peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat tradisional ini, diantaranya adalah

Difersifikasi pertanian, termasuk mencari atau menemukan spesies bibit yang memiliki daya
tahan lebih baik terhadap perubahan iklim

Merubah atau menyesuaikan pola waktu kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan atau
perikanan menyesuaikan kemungkinan perubahan pola iklim.

Difersifikasi pola pangan atau teknik pengawetan sumber pangan untuk meningkatkan daya
tahan pangan (food security)

Perubahan kondisi/karakristik lingkungan hidup sejalan dengan konsekuensi perubahan iklim
dan desakan atau tekanan penduduk.

Mengantisipasi kesiapan akan munculnya material-material baru dari hasil industry yang
berpotensi member dampak negatif, seperti limbah cair ataupun polusi udara yang
mempengaruhi kualitas kondisi alam yang selama ini menjadi andalan pendukung kehidupan
masyarakat tradisional, seperti sumberdaya air dan energi
44
BAB
5
Peran Kebijakan Kependudukan Dan Institusi BKKBN
dalam Konteks Perubahan Iklim
5.1 Kebijakan Kependudukan dan Kebijakan Pembangunan Nasional
5.1.1
Kebijakan Kependudukan dan Pembangunan
Berdasarkan arahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 diketahui
bahwa untuk mencapai tujuan negara yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945,
visi pembangunan Indonesia adalah terciptanya bangsa yang mandiri, maju, adil, dan makmur.
Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8 (delapan) misi
pembangunan nasional, berupa (1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila, (2) Mewujudkan bangsa yang berdayasaing, (3) Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum, (4) Mewujudkan Indonesia
aman, damai, dan bersatu, (5) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, (6)
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, (7) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan
yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, dan (8) Mewujudkan Indonesia
berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
Berdasarkan delapan misi tersebut, dua misi pertama merupakan misi yang berkaitan dengan
pembangunan sumberdaya manusia, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila serta mewujudkan bangsa yang
berdaya-saing. Sasaran pokok dan arahan pembangunan kedua misi tersebut terlihat pada tabel
berikut.
45
Tabel 5.1. Arah Pembangunan Dua Misi dalam RPJPN 2005–2025
Misi
Sasaran Pokok
Arah pembangunan
Mewujudkan
masyarakat
berakhlak
mulia,
bermoral,
beretika,
berbudaya,
beradab
Karakter Bangsa:
 Tangguh
 Kompetitif
 Akhlak Mulia
 Bermoral
Mantapnya budaya
bangsa:
 Peradaban
 Harkat
 Martabat
 Jati diri
 Kepribadian
Pembangunan Agama:
 Agama sebagai landasan moral & etika
 Membina akhlak mulia, etos kerja, menghargai
prestasi
 Meningkatkan kerukunan hidup, saling percaya
dan harmonisasi
Pembangunan & Pemantapan Jati Diri Bangsa:
 Karakter bangsa & sistem sosial berakar, unik,
modern, unggul
 Pembangunan olahraga: peningkatan budaya
dan prestasi olahraga
Pengembangan budaya inovatif berorientasi
Iptek:
 Penghargaan masyarakat terhadap Iptek
 Pengembangan tradisi iptek
 Pengungkapan kreativitas melalui kesenian
Mewujudkan
bangsa yang
berdaya saing
Kualitas SDM
 IPM
 IPG
 Penduduk tumbuh
seimbang
Pengendalian jumlah & laju pertumbuhan
penduduk:
 Pelayanan KB & kesehatan reproduksi
 Penataan persebaran dan mobilitas penduduk
 Sistem administrasi kependudukan
Pendidikan:
 Peningkatan kualitas SDM yang bermartabat,
berharkat, barakhlak mulia, dan menghargai
keberagaman sehingga mampu bersaing di era
global
 Mencakup semua jenjang dan jenis pendidikan
 Menumbuhkan kebanggaan kebangsaaan,
akhlak mulia, kemampuan hidup bersama
 Pelayanan pendidikan sepanjang hayat
Pembangunan manusia mencakup seluruh siklus hidup manusia – sebagai insan yang berharkat,
bermartabat, bermoral, dan memiliki jati diri maupun sebagai sumberdaya pembangunan yang
sehat, berpendidikan, kompetitif, tangguh, berkepribadian, dan tumbuh seimbang – sejak dalam
kandungan hingga akhir hayat . Berdasarkan misi pembangunan manusia yang tertuang di RPJPN
2005 – 2025, pembangunan manusia berinteraksi dengan pembangunan lintas sektor dan
melibatkan banyak faktor lainnya. Bentuk interaksi yang tercipta dapat digambarkan pada gambar
berikut
46
Faktor lain yang berpengaruh
Kelembagaan
Agama
Budaya
Pendidikan
Globalisasi
Pembangunan
Manusia
Demokratisasi
Insan
Good Governance
Kesehatan
Gizi
Perumbuhan Penduduk
Sumberdaya
Olahraga
Desentralisasi
Penguatan Kelembagaan
Kesetaraan Gender
Dll.
Ekonomi
Hukum & HAM
SDA - LH
Infrastruktur
Dll.
Gambar 5.1. Interaksi Pembangunan Manusia dengan Pembangunan di Bidang Lain
Berdasarkan beberapa ilustrasi di atas dapatlah diketahui bahwa pembangunan manusia
merupakan kunci suksesnya pembangunan. Dari informasi diatas dapatlah diketahui bahwa
pembangunan manusia bukan merupakan tugas satu lembaga saja, melainkan kerjasama sinergis
antara berbagai lembaga dan sektor di Indonesia. BKKBN sebagai salah satu lembaga di Indonesia
mempunyai tugas di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana,
yang merupakan salah satu arahan kependudukan yang tertuang di RPJPN 2005 – 2025.
Persoalan kependudukan di Indonesia sangat kompleks dan memerlukan penanganan secara
komprehensif, permasalahan utama kependudukan di Indonesia adalah tingginya jumlah
penduduk dengan memiliki pertumbuhan tinggi, kualitas rendah, dan persebarannya yang tidak
merata. Pembangunan kependudukan diarahkan kepada penduduk sebagai subyek pembangunan
(people centered development) dimana penduduk berperan baik sebagai pelaku maupun sebagai
pemanfaat hasil pembangunan. Pendekatan kependudukan diarahkan dengan pembangunan
keluarga yang memiliki isu-isu yang luas, mencakup aspek kuantitas, kualitas dan mobilitas, yang
terkait dengan pembangunan ekonomi, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, sosial, agama,
keamanan, tata ruang, kemampuan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan, eksploitasi
SDA yang menjamin kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan penduduk .
Perubahan pendekatan dimana penduduk merupakan subjek pembangunan menyebabkan
timbulnya amandemen terhadap UU No. 10 Tahun 1992 menjadi UU No. 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Tujuan dari perkembangan
kependudukan adalah mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas,
kualitas, dan persebaran penduduk dengan lingkungan hidup, sedangkan tujuan dari
pembangunan keluarga adalah meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman,
tenteram, dan harapan masa depan yg lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan
kebahagiaan batin. Dalam kebijakan kependudukan, undang-undang ini memiliki fungsi sebagai:
47
1. Merupakan
rancangan induk (grand design) pembangunan kependudukan untuk
mewujudkan penduduk yang berkualitas, manusia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa,
berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai iptek,
serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin.
2. Memiliki kemampuan untuk mengakomodir perubahan isu strategis dari perubahan global di
bidang kependudukan dan pembangunan, yang telah disepakati Indonesia dalam
International Conference on Population and Development (ICPD) dan Millenium Development
Goals (MDGs) yang disesuaikan dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tertuang di
dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
3. Mampu mereorientasi pembangunan yang berwawasan kependudukan yang menekankan
pada kualitas SDM dalam pembangunan daerah berbasis kompetensi, karena Undangundang ini telah disesuaikan dengan perubahan sistem pemerintahan desentralisasi
4. Mampu menjawab dan menyelesaikan masalah- masalah yang lebih spesifik seperti
pertumbuhan kota dan urbanisasi, migrasi (internal dan internasional), pengangguran,
kemiskinan, degradasi lingkungan dan perubahan struktur penduduk.
Lebih lanjut, kebijakan kependudukan yang dibuat haruslah berkaitan dengan komponenkomponen kependudukan seperti jumlah penduduk, sebaran penduduk dan mobilisasinya, serta
kualitas penduduk. Tiga komponen ini harus didukung oleh sistem pendataan atau registrasi yang
baik, karena tanpa registrasi yang baik maka kebijakan yang dibuat tidak akan dirasakan
penduduk secara utuh. Keterkaitan komponen-komponen kependudukan terhadap terciptanya
kebijakan kependudukan tersebut dapat dijelaskan pada gambar berikut.
Kuantitas Penduduk
Kualitas Penduduk
Registrasi
Kependudukan
Mobilitas dan Persebaran
Penduduk
Pelaksanaan Kebijakan Kependudukan
Gambar 5.2. Keterkaitan Pelaksanaan Kebijakan terhadap Empat Komponen Kependudukan
48
BKKBN telah menentukan langkah strategis yang sinergis untuk menyelaraskan kebijakan
kependudukan. Langkah pertama adalah melakukan identifikasi, koordinasi, sinkronisasi
peraturan-peraturan perundangan yang terkait dengan kependudukan, baik yang lintas sektor
dan lintas wilayah administrasi. Langkah berikutnya adalah melakukan koordinasi, sinergi, dan
rekonsiliasi dalam implementasi program-program yang lintas sektor dan lintas administrasi.
Koordinasi ini meliputi keempat komponen kependudukan, yaitu:
1. Kuantitas Penduduk : yang bekerjasama dengan Kementrian Kesehatan yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi dan pengendalian kesuburan.
2. Kualitas Penduduk : melalui Kementrian Kesehatan yang berkaitan dengan penurunan angka
kematian ibu dan bayi, perbaikan kualitas gizi, peningkatan sarana dan prasarana kesehatan,
penanggulangan penyakit endemik, dan sebagainya; Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
yang berkaitan dengan angka partisipasi sekolah, angka melek huruf, sarana dan prasarana
pendidikan yang mudah diakses setiap penduduk, dansebagainya; serta Kementrian Agama
yang berkaitan dengan pendidikan moral dan etika, pembinaan akhlak mulia, etos kerja,
menghargai prestasi, peningkatan kerukunan hidup, saling percaya dan harmonisasi, dan
sebagainya
3. Persebaran dan Mobilitas Penduduk : yang bekerjasama dengan Kementrian Dalam Negeri
yang berkaitan dengan registrasi kependudukan, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
yang berkaitan dengan pemerataan kesempatan kerja dan persebaran penduduk, Kementrian
Perhubungan yang berkaitan dengan mobilisasi penduduk satu tempat ke tempat lainnya,serta
dengan Kementrian Pekerjaan Umum yang berkaitan dengan pemerataan sarana prasarana
pembangunan yang merata.
4. Pencatatan dan Penyediaan Data Kependudukan : merupakan hal terpenting dari empat
komponen kependudukan yang ada. Dengan memiliki data kependudukan yang lengkap dan
menyeluruh maka kebijakan kependudukan dapat diterapkan dengan efisien dan efektif.
Kerjasama dalam bidang ini terutama pada Kementrian Dalam Negeri yang berkaitan dengan
registrasi kependudukan, Biro Pusat Statistik untuk keperluan pencacahan dan survei
kependudukan dan analisis statistik, Perguruan Tinggi terkait, dan sebagainya
Pemerintahan daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota harus terlibat secara aktif
dalam kegiatan tersebut, karena tanggungjawab pembangunan kependudukan tersebut tidak
hanya terletak pada pemeritah pusat saja, tetapi harus melibatkan seluruh pemegang kebijakan
dan pihak swasta.
5.1.2
Sisi Perkembangan Kependudukan
Perkembangan kependudukan dilakukan untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk dengan daya dukung alam
dan daya tampung lingkungan guna menunjang pelaksanaan pembangunan nasional yang
berkelanjutan. Secara singkat, perkemabangan kependukan haruslah dilihat dengan skema
berikut.
49
Daya Dukung Alam
dan Daya Tampung
Lingkungan
Kuantitas Penduduk
Kualitas Penduduk
Persebaran dan Penduduk
 Keselarasan
 Keserasian
 Keseimbangan
Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 5.3. Komponen-komponen Pendekatan Kebijakan Kependudukan dari Sudut Perkembangan
Kependudukan
Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa perkembangan kependudukan dilihat dari tiga
bagian, yaitu pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, persebaran
dan mobilitas penduduk yang digunakan untuk melakukan perencanaan kependudukan. Ketiga
bagian tadi haruslah selaras, serasi, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan daya tampung
lingkungan sehingga mampu menciptakan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Karena
bertujuan untuk menciptakan pembangunan nasional yang berkelanjutan, maka keterkaitan
dengan isu lingkungan tidak dapat ditinggalkan.
A.
Pengendalian Kuantitas Penduduk
Pengendalian kuantitas penduduk dilakukan untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lingkungan hidup baik yang berupa daya dukung
alam maupun daya tampung lingkungan serta kondisi perkembangan sosial ekonomi dan budaya.
Pengendalian kuantitas penduduk yang berhubungan dengan penetapan perkiraan jumlah,
struktur, dan komposisi penduduk; pertumbuhan penduduk; dan persebaran penduduk,
dilakukan sesuai dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan melalui pengendalian
kelahiran, penurunan angka kematian, dan pengarahan mobilitas penduduk. Pengendalian
kuantitas penduduk dilakukan pada tingkat nasional dan daerah secara berkelanjutan.
Pengendalian
Jumlah &
Laju Pertumbuhan
Penduduk
Peduduk Tumbuh
Seimbang sesuai
Daya Dukung
Lingkungan di Tingkat
Nasional dan Daerah
secara Berkelanjutan
1. Pengendalian Kelahiran
2. Penurunan Angka
Kematian
3. Pengarahan Mobduk
Gambar 5.4. Komponen-komponen Pengendalian Kuantitas Penduduk
50
B.
Pengendalian Kualitas Penduduk
Untuk mewujudkan kondisi perbandingan yang serasi, selaras, dan seimbang antara
perkembangan kependudukan dengan lingkungan hidup yang meliputi, baik daya dukung alam
maupun daya tampung lingkungan dilakukan melalui pengembangan kualitas penduduk (sehat
jasmani dan rohani, cerdas, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja
yang tinggi), baik fisik (kesehatan, pendidikan, perekonomian) maupun nonfisik (nilai agama dan
nilai sosial budaya).
Fisik
Kesehatan
Pendidikan
Ekonomi (daya beli)
Non Fisik
Nilai Agama
Nilai Sosial-Budaya
Penduduk
Berkualitas
Mental Spiritual
Ketakwaan
Kesantunan
Berbudaya
Berkepribadian
Gambar 5.5. Komponen-komponen Pengendalian Kualitas Penduduk
C.
Pengendalian Mobilitas dan Persebaran Penduduk
Kebijakan pengarahan mobilitas penduduk dan/atau penyebaran penduduk dilakukan untuk
mencapai persebaran penduduk yang optimal, didasarkan pada keseimbangan antara jumlah
penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan, meliputi mobilitas internal
dan mobilitas internasional dilaksanakan pada tingkat nasional dan daerah serta ditetapkan
secara berkelanjutan.
Mobilitas yang berdampak pada persebaran penduduk ini memiliki kompleksitas yang lebih
daripada dua komponen kependudukan lainnya (fertilitas dan mortalitas). Mobilitas penduduk
melibatkan waktu, tujuan pindah, dan cakupan pindah yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan keamanan.
5.1.3
Permasalahan Kependudukan dan Pembangunan di Tengah Perubahan Iklim
Jika mengacu pada visi pembangunan Indonesia yang tercantum dalam RPJPN 2005-2025 dengan
dua misi utama yang berkaitan dengan kependudukan, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak
mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila serta
mewujudkan bangsa yang berdaya-saing maka tanggung jawab ini tidak dapat dibebankan penuh
kepada BKKBN saja.
Ahli kependudukan telah memperkirakan pada rentan Tahun 2005- 2025 Indonesia akan
mengalami bonus demografi (jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah
penduduk usia non-produktif) yang dibarengi dengan perbaikan berbagai parameter
kependudukan (menurunnya angka kelahiran, meningkatnya usia harapan hidup, dan
menurunnya angka kematian bayi). Namun demikian, pengendalian kuantitas dan laju
pertumbuhan penduduk penting diperhatikan untuk menciptakan penduduk tumbuh seimbang
serta perhatian terhadap persebaran dan mobilitas agar dapat mengurangi ketimpangan
51
persebaran dan kepadatan penduduk antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa serta antara wilayah
perkotaan dan perdesaan.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang diukur dengan indeks pembangunan
manusia (IPM) mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing perekonomian nasional.
Pembangunan manusia ditikberatkan pada pembangunan kesehatan, pendidikan, budaya, jatidiri
bangsa, dan spiritual memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, agar dapat memanfaatkan bonus demografi yang tersedia.
Dari sisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, Indonesia memiliki tiga ancaman, yaitu krisis
pangan, krisis air, dan krisis energi. Ketiga krisis itu menjadi tantangan nasional jangka panjang
yang perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan
bangsa, yaitu terancamnya persatuan bangsa, meningkatnya semangat separatisme, dan
menurunnya kesehatan masyarakat. Krisis pangan disebabkan karena pesatnya peningkatan
penduduk, menyebabkan meningkatnya konversi lahan sawah dan lahan pertanian produktif,
rendahnya peningkatan produktivitas hasil pertanian, dan menurunnya kondisi jaringan irigasi
dan prasarana irigasi. Selain itu, praktik pertanian konvensional mengancam kelestarian sumber
daya alam dan keberlanjutan sistem produksi pertanian. Di lain pihak, bertambahnya kebutuhan
lahan pertanian akan mengancam keberadaan hutan dan terganggunya keseimbangan tata air.
Sementara itu, kelangkaan ketersediaan energi tak terbarukan juga terus terjadi karena pola
konsumsi energi masih menunjukkan ketergantungan pada sumber energi tak terbarukan.
Isu perubahan iklim merupakan isu yang sedang menjadi perhatian penting di dunia. Perubahan
iklim yang terjadi akan mempengaruhi pola curah hujan akan mengurangi ketersediaan air untuk
irigasi dan sumber air bersih. Kemarau panjang dan banjir akan menyebabkan gagal panen yang
sangat berpengaruh terhadap sumber penghidupan petani. Perubahan iklim akan mempengaruhi
perubahan suhu permukaan laut, yang mempengaruhi jumlah dan persebaran sumberdaya
kelautan. Berubahnya lokasi penangkapan ikan juga berpengaruh terhadap penghasilan nelayan.
Selain itu, di negara-kepulauan seperti Indonesia permasalahan lain dari perubahan iklim ini
adalah kenaikan permukaan laut yang menyebabkan wilayah pesisir akan mengalami risiko banjir
dan abrasi.
Jika sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor primer, yang
produktivitasnya bergantung pada ketersediaan sumber daya alam dan kondisi lingkungan
hidupnya, maka keberlanjutan lingkungan hidup Indonesia sangatlah diperlukan agar tiga
ancaman krisis yang dikemukakan sebelumnya dapat ditanggulangi. Isu perubahan iklim dunia
yang menambah risiko pada keberlanjutan sumberdaya alam menjadikan tantangan tambahan
bagi Indonesia untuk membuat kebijakan yang efektif dan efisien untuk memafaatkan bonus
demografi agar terwujudnya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
5.2 Peran institusi BKKBN dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
Secara operasional, pada tahun 2010 sampai dengan 2014 mengacu pada ketetapan dalam
komitmen MDG (Millineum Development Goals), BKKBN mencanangkan program kegiatan
dengan target sebagai berikut:
52
1. Meningkatkan Usia Harapan Hidup (UHH) menjadi 72,0 tahun
2. Menunrunnya Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 2 per 1000 kelahiran Hidup (KH)
3. Menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 118 per 100.000 KH
4. Menurunnya prevalensi gizi-kurang pada anak balita menjadi 15%
5. Meningkatnya Contraceptive Prevalence Rate (CPR) modern menjadi 65%, menurunnya
unmet needs menjadi 5%, menurunnya kehamilan remaja sampai 15%, dan meningkatnya
ANC untuk K1 (Kunjungan baru ibu hamil) menjadi 99% dan K4 (pelayanan ibu hamil
sesuai standar) menjadi 95%.
Program kegiatan di atas tanpa disadari, walaupun bersifat implisit, sudah dapat dikategorikan
sebagai program mitigasi yang diupayakan oleh BKKBN dalam konteks menghadapi gejala
perubahan iklim. Sejalan dengan Visi BKKBN yaitu “Penduduk Tumbuh Seimbang tahun 2015”
dan Misinya yaitu “Mewujudkan pembangunan Berwawasan Kependudukan dan Mewujudkan
Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera” maka secara interpretatif dapat dipahami adanya keinginan
untuk meningkatkan kualitas modal manusia dan sosial (human dan social capital) dalam
mambangun kemampuan memahami adanya gejala perubahan iklim dan meyiapkan kapasitas
adaptasinya (readiness) yang lebih baik. Selanjutnya sebagaimana ditetapkan dalam UndangUndang (UU) no. 52 tahun 2009 bahwa BKKBN mempunyai tugas pokok untuk melaksanakan
tugas pemerintahan dibidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana
(KB). Secara lebih rinci tugas ini diuraikan dalam Pasal 56 ayat (2) yaitu

Perumusan kebijakan nasional;

Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria;

Pelaksanaan advokasi dan koordinasi;

Penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi;

Penyelenggaraan pemantauan dan evaluasi;

Pembinaan, pembimbingan, dan fasilitas.
Tugas pokok dan peran BKKBN secara eksplisit ditetapkan sebagai bagian dari usaha pemerintah
melalui program KB untuk peningkatan kualitas SDM yang ukurannya ditinjau dari Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), seperti yang diuraikan di bawah ini:
1. Bidang kesehatan: Maternal Mortality Rate (MMR), Infant Mortality Rate (IMR), Gizi anak
2. Bidang pendidikan: kecerdasan, partisipasi sekolah, pendidikan lebih tinggi
3. Bidang ekonomi: tabungan public, tabungan pribadi, mutu tenaga kerja
53
Secara subtansial, BKKBN dapat berperan tidak hanya untuk mengendalikan kependudukan dari
sisi kuantitas dan kualitas (bagian dari peningkatan kualitas SDM) namun sekaligus secara
langsung maupun tidak langsung juga dapat mengendalikan pola distribusi atau mobilitasnya. Hal
ini dapat diwujudkan melalui penetapan prioritas alokasi kegiatannya. Dalam konteks perubahan
iklim, tentu prioritas pada wilayah yang tergolong rentan bagi akibat gejala perubahan iklim
(displacement areas) akan lebih memungkinkan meredam adanya perpindahan atau mobilitas
penduduk ke daerah-daerah yang dianggap lebih memberikan peluang peningkatan pendapatan
(daya tarik faktor ekonomis). Disisi lain juga sebaliknya bisa lebih mendorong kemampuan
masyarakat golongan “marjinal” di daerah perkotaan mampu berpindah tempat bermukim
(sebagai environmental refugees) atas inisiatif sendiri agar terhindar dari displacement areas di
perkotaan yang umumnya berada di sepanjang garis pantai.
Tentu kebijakan dan upaya melalui perwujudan program untuk mitigasi dan adaptasi dalam
konteks perubahan iklim di atas akan dapat lebih efektif bekerjasama dengan instansi yang
terkait, baik di lingkungan pemerintah pusat, seperti dengan Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Transmigrasi dan Ketenaga Kerjaan, Kementerian Kelautan dan Pesisir, Kementerian
Kehutanan, dan juga pemerintahan daerah. Oleh karena itu penegasan Presiden RI dihadapan
para Gubernur pada tanggal 24 Pebruari 2010 yang menyatakan “Revitalisasi Program KB
merupakan program prioritas yang harus dilakukan dengan berhasil” patut dimanfaatkan sebagai
salah satu momentum berharga yang bernilai politis-strategis bagi BKKBN untuk mensukseskan
prioritas program kerjanya secara nasional, terutama jika dikaitkan dengan upaya penyerasian
kebijakan kependudukan.
5.3 Alternatif kebijakan, perencanaan, dan program BKKBN menghadapi
gejala perubahan iklim
Adapun upaya yang lebih tegas dan secara terbuka ditetapkan terkait dengan gejala perubahan
iklim adalah dengan lebih mengeksplisitkan upaya mitigasi yang disebutkan di atas (pada sub bab
sebelum ini). Hal ini dapat disampaikan dalam bentuk butir penjelasan tersendiri dalam konteks
mengantisipasi gejala perubahan iklim atau pemanasan global. Peluang untuk menambahkan
atau memperkuat penegasan peran kebijakan kependudukan dan KB dalam ranah peran BKKBN
ada pada rumusan Prioritas Program, baik dalam urusan Pengendalian Kependudukan maupun
Keselarasan Kebijakan.
Dalam Program dan kegiatan pokok percepatan dan penguatan 23.500 Klinik KB (KKB) dapat
dipersiapkan sasarannya dengan memperhatikan daerah rentan gejala perubahan iklim.
Sebagaimana disebutkan dalam program untuk pemerataan akses dan cakupan maka salah satu
kriteria yang dapat diusulkan adalah alokasi pada daerah rentan dampak gejala perubahan iklim,
selain kriteria antar daerah, misikin/non-miskin, dan galcitas. Selain itu dalam program
peningkatan kualitas pelayanan KB juga dapat diperkuat dengan memberikan pengetahuan
berikut advokasi antisipasi dampak gejala perubahan iklim pada daerah rentan tersebut. Yang
terkahir ini merupakan bagian dari upaya peningkatan kapasitas adaptasi sehingga masyarakat di
54
daerah rentan tersebut menjadi lebih siap. Dengan demikian tentu pesan dalam sosialisasi
program berikut pesan-pesan yang akan diberikan perlu didukung oleh kesiapan materi dengan
topic semacam “peran KB dalam dinamika kependudukan dan perubahan iklim”.
55
BAB
6
Penutup
6.1.
Kesimpulan
Semakin nyata keterkaitan antara dinamika penduduk dan perubahan iklim. Keduanya
mempunyai hubungan timbal balik , apalagi jika dipahaminya dengan menggunakan perspektif
siklus hidrologi. Tren perubahan iklim dan pemanasan global semakin menunjukkan peningkatan
oleh ulah manusia yang semakin pertambah jumlahnya dan terkonsentrasi di daerah-daerah yang
justru secara fisik merupakan daerah rentan perubahan iklim (displacement areas). Bahkan
ditemui banyak bukti empiris bahwa percepatan perubahan iklim secara global dan juga regional
disebabkan oleh gaya hidup yang konsumtif tanpa menghiraukan dampak kumulatifnya terhadap
lingkungan, termasuk secara sistemik pada gejala perubahan iklim. Mata rantai konsumtif ini
tidak hanya dapat ditelusuri pada sisi end-productnya tetapi juga pada sumber bahan bakunya,
khususnya pada sumberdaya alam yang semakin cepat mengalami deplesi.
Walaupun posisi Indonesia yang berada di sekitar wilayah khatulistiwa dan merupakan negara
kepulauan namun sehingga resiko atas dampak gejala perubahan iklimnya tidak sebesar di lintang
tinggi dan wilayah benua namun tetap secara relative pada situasi sebelumnya, gejala perubahan
iklim ini juga telah mempengaruhi berbagai bidang kehidupan. Diantaranya adalah berpengaruh
pada masyarakat yang hidup disepanjang garis pantai yang semakin sering luas mengalami banjir
dan juga perubahan pola tanam yang tidak biasa dialami oleh petani serta demikian pula dengan
nelayan atau masyarakat tradisional lainnya. Tantangan terbesar adalah daya tarik pertumbuhan
ekonomi yang terkonsentrasi di perkotaan menimbulkan potensi besarnya mobilitas penduduk ke
kota sehingga secara praktis tekanan penduduk akan semakin tinggi berikut gaya hidupnya yang
konsumtif dan secara langsung juga akan menambah nilai resiko terhadap perubahan iklim.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk lembaga-lembag internasional
untuk mengatasi dan mengantisipasi gejala perubahan iklim di Indonesia, tidak hanya pihak
pemerintah
Saat ini kesadaran akan pentingnya menata kehidupan baru bersama gejala perubahan iklim
masih relative pada taraf awareness belum menjadi sikap dan perilaku. Untuk itu diperlukan
upaya lebih luas dan intensif , khususnya dalam hal mitigasi dan adaptasi terhadap gejala
perubahan iklim. Mengingat factor kependudukan menjadi factor kekuatan kunci (key driving
forces) dinamika perubahan iklim tentu menjadi sangat relevan untuk diupayakan pengendalian
dinamika penduduk, baik dari sisi kuantitas, kualitas dan distribusinya. Pada pemahaman ini maka
56
posisi dan peran BKKBN menjadi penting dan bahkan dapat dikatakan crucial. Peran utama
BKKBN, sebagaimana ditetapkan dalam prioritas programnya yang dapat terkait langsung dengan
upaya mitigasi dan adaptasi adalah program pengendalian penduduk melalui penetapan alokasi
kegiatan perwujudan target 23.500 KKB pada daerah-daerah rentan dampak gejala perubahan
iklim.
6.2.
Rekomendasi
Sebagai bagian dari upaya untuk pengendalian penduduk dalam konteks mengantisipasi gejala
perubahan iklim di Indonesia maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman keterkaitan dinamika kependudukan dan gejala perubahan
iklim, khususnya dalam situasi Indonesia sebagai negara maritim di wilayah khatulistiwa
2. Memperkuat (enhancing) keselarasan kebijakan, perencanaan, dan program
pengendalian dinamika kependudukan dalam kerangka perubahan iklim, khusus di
daerah-daerah yang dinilai memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap kemungkinan
akumulasi resiko gejala perubahan iklim.
3. Memperkuat posisi BKKBN sebagai salah satu lembaga pokok yang dapat berperan aktif
melakukan mitigasi dan meningkatkan kapsitas adaptasi terutama pada sasaran utama
kalangan ibu-ibu.
57
Daftar Pustaka
Anonim, Peran BKKBN dalam Mendukung Pelaksanaan Jampersal, (bahan presentasi) BKKBN,
Jakarta
Djajusman, Darmawan, 2011. Investment Policy and Opportunity in Indonesia, BKPM, Jakarta
EM-DAT, 2007.The OFDA/CRED International Disaster Database.www.em-dat.net
Faturochman dan Dwiyanto, A. (ed.). 2001. Reorientasi kebijakan kependudukan. Yogyakarta: PPK-UGM
Fiddaman, Thomas, 1995. Formulation Experiments with a Simple Climate/Economy Model,
System Dynamic Group, Cambridge
Government of Indonesia, forthcoming. Climate Variability and Climate Changes and their
Implications in Indonesia.
Guzman, Jose Miguel, et.al., 2009. Population dynamics and Climate Change, IIED dan UNFPA,
Holdren, John. P, 2006. Meeting the Climate Change Challenge, Harvard University, Boston
IAP, 2011. Indonesia Most Liveable City Index 2011, IAP, Jakarta
IPCC, 2009. Climate Change Mitigation: Findings and Relevant Steps of the WGIII Report, WHOUNEP, Copenhagen
Khalik, A., 2007.“Climate change already hitting RI’s poorest”, in The Jakarta Post, Jakarta. June
11, 2007.
Kieft, J. & D. Soekarjo, Food and nutritional security assessment, March 2007: Initial impact
analysis of the2006/2007 crop season in comparison to 1997/1998 and 2002/2003 El Niño
events for the Eastern NTT region. Jakarta : CARE International Indonesia.
Lal, M., H. Harasawa, D. Murdiyarso, W.N. Adger, S. Adhikary, M. Ando, Y. Anokhin, R.V. Cruz and
Co-authors, 2001. Asia. Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability.
Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change, J.J. McCarthy, O.F. Canziani, N.A. Leary, D.J. Dokken and K.S. White,
Eds., Cambridge University Press, Cambridge, 533-590.
Prihantoro, F., Boer, R., Wulansari, A., Yanai, M. Dampak Perubahan Iklim dan Adaptasi
Masyarakat Lokal. Jakarta - Tokyo: Yayasan Bintari - FoE Jepang.
Reusswig, Fritz, et.al., 2004. Changing Global Lifestyle and Consumption; The case of Energy and
Food, Postdam Institute for Climate Impact research (PIK)
Stephenson, Juduth, et.al., Population Dynamics and Climate Change: What are the Links?, dalam
Journal of Public Health, Vol. 32, no. 2, hal, 150-156, Oxford University press, Oxford
Syarief, Sugiri, 2010. Kebijakan BKKBN Dalam Peningkatan Kesertaan Masyarakat Ber-KB,
Pertemuan Tahunan PKMI, 2010
http://regional.kompasiana.com/2011/12/20/kelas-menengah-indonesia/ Kelas Menengah
Indonesia, diunduh tanggal 27 Desember 2011
58
Download