Kabupaten Manggarai Barat Propinsi Nusa Tenggara Timur

advertisement
LAPORAN PENILAIAN PERFORMA
PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP
DENGAN INDIKATOR EAFM
(Ecosystem Approach to Fishereis Management)
Kabupaten Manggarai Barat
Propinsi Nusa Tenggara Timur
Tim Kerja EAFM / Penyusun:
Learning Center EAFM
Universitas Kristen Arta Wacana
Kerja Sama Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UKAW
Dengan WWF-Indonesia
TAHUN 2016
i
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang........................................................................................................................ 1
1.2. Tujuan dan Manfaat Studi ...................................................................................................... 3
BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN ................................................................ 4
2.1. Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Manggarai Barat ................................................. 4
2.2. Statistik Perikanan Kabupaten Manggarai Barat .................................................................... 5
BAB III. METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOR EAFM ......................... 9
3.1. Pengumpulan data ................................................................................................................. 9
A. Domain Sumber Daya Ikan ..................................................................................................... 9
B. Domain Habitat.................................................................................................................... 10
C. Domain Teknik Penangkapan Ikan ....................................................................................... 10
D. Domain Sosial ..................................................................................................................... 10
E. Domain Ekonomi ................................................................................................................. 10
F. Domain Kelembagaan ......................................................................................................... 10
3.2. Analisa Komposit Indikator EAFM ........................................................................................ 11
BAB IV. ANALISIS TEMATIK PENGELOLAAN PERIKANAN .............................13
4.1. Domain Sumberdaya Ikan .................................................................................................... 13
4.2. Domain Habitat dan Ekosistem ............................................................................................ 15
4.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan .................................................................................. 16
4.4. Domain Sosial ...................................................................................................................... 17
4.5. Domain Ekonomi .................................................................................................................. 18
4.6. Domain Kelembagaan .......................................................................................................... 18
BAB V. PERFORMA PERIKANAN DAN RENCANA AKSI PERBAIKAN ..............21
BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .......................................................32
Kesimpulan ................................................................................................................................. 32
Rekomendasi .............................................................................................................................. 32
REFERENSI ..............................................................................................................33
LAMPIRAN ..............................................................................................................34
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang beragam dan melimpah pada
lautnya yang mencapai luas sekitar 5,8 juta km2. Estimasi potensi sumberdaya perikanan laut
di Indonesia diperkirakan oleh kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011
sebesar 6.520.300 ton/tahun. Potensi tersebut terdiri atas 55,9% dari perikanan pelagis kecil,
22,3% berasal dari perikanan demersal, 17,6% perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan
karang konsumsi, 1,5% bersumber dari udang Penaeid, 0,4% berasal dari cumi-cumi dan
0,1% berasal dari lobster.
Besarnya potensi perikanan yang tersebar di perairan Indonesia, membuat KKP membagi
perairan di Indonesia menjadi 11 bagian yang sering disebut dengan Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP), hal ini dilakukan untuk mengefesiensikan pengelolaan perikanan yang ada.
Perhitungan estimasi potensi perikanan, pengkajian stock assesment hingga kebijakan
perikanan selalu berdasarkan 11 WPP tersebut (Gambar 1).
Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan
Berdasarkan Kepmen KP 45 Tahun 2011, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
bersinggungan dengan 3 WPP yaitu WPP 573 mulai dari Perairan Samudera Hindia bagian
selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian barat, WPP 713 yaitu
dari Perairan Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali dan WPP 714 yaitu
Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda. Kabupaten Manggarai Barat termasuk dalam WPP 713.
1
Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 713 (dalam ribu ton/tahun)
Kelompok Sumberdaya Ikan
Ikan Pelagis Besar
Ikan Pelagis Kecil
Ikan Demersal
Udang Penaeid
Ikan Karang konsumsi
Lobster
Cumi-Cumi
Total Potensi (1.000 ton/tahun)
Selat Makasar-Laut Flores
(WPP 713)
193,6
605,4
87,2
4,8
34,1
0,7
3,9
929,7
Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 45 Tahun 2011
Melalui Kepmen ini, KKP juga sudah mengestimasi besaran pemanfaatan perikanan
berdasarkan WPP yang ada. Pendugaan status pemanfaatan perikanan tersebut digolongkan
menjadi 4 bagian yaitu Over exploited (O), Fully exploited (F), Moderate (M), dan Moderate
to Exploited (M-F) (Tabel 2).
Namun penilaian potensi (KepMen 45 tahun 2011 ) oleh KKP ini hanya mempertimbangkan
kondisi pemanfaatan perikanannya saja, sedangkan aspek ekosistem, aspek sosek dan
kelembagaan masih belum terkaji dalam format yang baku. Untuk itu sejak tahun 2010 hingga
saat ini WWF Indonesia dalam hal ini berinisiasi dalam memfasilitasi pembuatan Indikator
pengelolaan perikanan yang berbasis ekosistem bersama Direktorat Sumberdaya Ikan,
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dengan konsep
tersebut dinamakan Ecosystem Approach for Fisheries Management (EAFM). EAFM
merupakan indikator asessment perikanan yang akan dilakukan bertahap di masing-masing
WPP yang ada di Indonesia.
Pendataan di kabupaten Manggarai Barat ini penting dilakukan mengingat semakin
meningkatnya permintaan pasar akan produk perikanan di wilayah timur Indonesia. Tanpa
diimbangi oleh pendataan dari sisi habitat/ekosistem, sosial, ekonomi, teknologi
penangkapan, dan kelembagaan yang tergabung dalam EAFM sebagai dasar pengelolaan
perikanan tentunya hal ini akan berdampak semakin tidak terarahnya kebijakan perikanan
dalam mendukung perikanan yang berkelanjutan dalam meningkatkan perekonomian
kabupaten.
Melalui pendataan perikanan berdasarkan indikator EAFM ini, diharapkan tersedia baseline
data bagi pemerintah pusat (KKP) dan kabupaten sebagai data pendukung dalam mengelola
perairan dan perikanan secara khusus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pembangunan daerah.
2
Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia (KepMen KKP
45 tahun 2011)
1.2. Tujuan dan Manfaat Studi
Kegiatan ini memiliki tujuan antara lain:
1.
Memantau perkembangan peforma perikanan di Kabupaten Manggarai Barat
berdasarkan indikator EAFM (pembaharuan setelah kajian tahun 2013) di Kabupaten
Manggarai Barat.
2.
Mengidentifikasi status tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan yang
terkait dengan aspek ekonomi, ekologi dan sosial berdasarkan daya dukung lingkungan
(ekosistem) di Kabupaten Manggarai Barat
3.
Menyediakan salah satu dasar kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten
Manggarai Barat.
3
BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN
2.1. Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Manggarai Barat
Kabupaten Manggarai Barat memiliki luas wilayah (darat dan laut) sebesar 9.450,00 Km2.
Berdasarkan luas wilayah tersebut, 64% adalah wilayah laut (perairan) atau seluas 6.052,50
Km2. Kegiatan yang dikembangkan pada wilayah perairan kabupaten adalah perikanan.
Sektor perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya, diharapkan menjadi salah satu
penopang perekonomian Kabupaten Manggarai Barat.
Wilayah Kabupaten Manggarai Barat terdiri atas Kecamatan Komodo (termasuk pulau-pulau
di sekitarnya seperti Pulau Komodo, Rinca, Mules, Longos serta pulau-pulau kecil lainnya),
Sano Nggoang, Lembor, Macang Pacar, Kuwus, Boleng dan Welak dengan luas wilayah
294,746 Ha. Luas daratan adalah 2.947,50 km², sedangkan luas wilayah lautan adalah
6.052,50 km². Secara geografis Kabupaten Manggarai Barat terletak diantara 08°14 Lintang
Selatan - 09°00 Lintang Selatan dan 119°21 Bujur Timur - 120°20 Bujur Timur (Gambar 2).
Wilayah Kabupaten Manggarai Barat mencakup kawasan Taman Nasional Komodo (TNK)
yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). Batasan wilayah dan kawasan
TNK adalah satu kesatuan ekosistem yang tidak terpisahkan dengan perairan di Kabupaten
Manggarai Barat secara keseluruhan. BTNK tentunya menjadi salah satu stakeholder utama
dalam pengelolaan perikanan di kabupaten ini. Beberapa aturan dan kebijakan serta
mekanisme kerja BTNK dan SKPD yang membidangi perikanan di Kabupaten Manggarai
Barat akan saling bersinergi menentukan arah pengembangan perikanan di kabupaten ini.
Gambar 2. Peta adminstrasi Kabupaten Manggarai Barat
Gambar 2. Peta administrasi Kabupaten Manggarai Barat
4
2.2. Statistik Perikanan Kabupaten Manggarai Barat
Perairan di Manggarai Barat, khususnya di Selat Molo dikenal memiliki arus laut yang kuat,
yang disebabkan oleh perubahan arus harian antara kawasan lautan lepas (Lautan Hindia) dan
laut pedalaman seperti di kawasan Kepulauan Komodo-Rinca dan Laut Flores.
Pada tahun 2016, WWF Indonesia melakukan pembaharuan peforma perikanan di Kabupaten
Manggarai Barat. Berkaitan dengan hal itu, tercatat beberapa kondisi perikanan yang tercatat
secara keseluruhan sebagai data tahun 2016 yaitu:
1. produksi perikanan (Tabel 3 dan Gambar 3),
2. jumlah nelayan (Tabel 4 dan Gambar 4)
3. jumlah armada perikanan laut (Tabel 5 dan Gambar 5), dan
4. jumlah alat tangkap (Tabel 6 dan Gambar 6)
Tabel
Produksi Perikanan Laut Menurut Jenis Ikan yang Dirinci Setiap Kecamatan
di Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2015
Jenis Ikan
Kecamatan (Produksi Ikan dalam Kg)
Komodo
Boleng
Lembor Selatan Macang Pacar Jumlah
Paperek
4.000
148.106
137.040
114.100
403.246
Kakap
2.340
433.080
374.140
6.345
815.905
51.040
45.420
44.200
12.300
152.960
Kerapu
153.800
22.100
21.000
8.100
205.000
Julung-julung
967.830
50.800
49.900
30.700 1.099.230
Tembang
4.571.099
2.745.946
1.889.181
143.839 9.350.065
Kembung
2.246.800
1.540.234
588.769
324.620 4.700.423
Cakalang
4.479.999
1.279.486
474.000
140.234 6.373.719
Tongkol
6.293.398
3.778.680
588.995
230.529 10.891.602
270
250
200
99
819
6.800
3.580
2.935
1.000
14.315
Layang
1.246.800
1.426.792
974.040
925.680 4.573.312
Bengkolo/Kwe
1.935.000
1.233.080
874.040
274.140 4.316.260
Lobster
11.180
15.280
30
8.115
34.605
Kepiting
2.759
5.930
75
930
9.694
507.875
433.080
100
100
941.155
53.100
50.246
40.246
730
144.322
Ekor Kuning
Tuna
Cumi-cumi
Gurita
Teri
5
Selar
315.190
233.160
174.230
67.490
790.070
Tenggiri
340.220
243.080
174.040
5.349
762.689
Ketamba
1.346.500
973.270
874.040
400.000
300.000
199.600
24.936.000 14.961.600
7.480.800
Ikan lainnya
Jumlah
154.200 3.348.010
45.000
944.600
2.493.600 49.872.000
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat (2015)
Gambar 3. Sebaran Produksi Perikanan di Kabupaten Manggarai Barat (2015)
Kecamatan Komodo merupakan kecamatan dengan produksi ikan tertinggi (Gambar 3). Hal
ini dikarenakan kecamatan ini memiliki luasan areal penangkapan yang paling besar diantara
ketiga kecamatan lainnya. Selain disebabkan oleh luasan areal kecamatan, tingginya produksi
penangkapan di Kecamatan Komodo juga diakibatkan oleh jumlah nelayan. Nelayan
Komodo merupakan nelayan terbesar diantara ketiga kecamatan lainnya di Kabupaten
Manggarai Barat.
6
Tabel 4.
Jumlah Nelayan di Kabupaten Manggarai Barat yang Dirinci Menurut Jenis
Nelayan,Tahun 2015
Nelayan
Nelayan
Nelayan
Sambilan
Sambilan
Jumlah
Kecamatan
Penuh
Utama
Tambahan
(Orang)
(Orang)
(Orang)
(Orang)
Komodo
6.962
290
1.720
8.972
Boleng
756
315
34
1.105
Lembor Selatan
431
50
481
Macang Pacar
395
170
15
580
Jumlah
8.544
775
1.819
11.138
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat (2015)
Gambar 4. Jumlah Nelayan di Kabupaten Manggarai Barat yang Dirinci Berdasarkan
Kecamatan dan Jenis Nelayan (2015)
Jumlah nelayan penuh terbanyak di Kabupaten Manggarai Barat berturut-turut adalah
Kecamatan Komodo, Boleng, Lembor Selatan dan Macang Pacar (Gambar 4). Kondisi ini
berbeda dengan jumlah nelayan sambilan utama terbanyak ada di Kecamatan Boleng, diikuti
Kecamatan Komodo dan terkecil adalah Kecamatan Macang Pacar. Data sebaran nelayan
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan penetapan responden kaitannya dengan kajian
peforma perikanan khususnya domain sosial dan ekonomi.
Selain luasan areal penangkapan dan jumlah nelayan, jumlah armada dan jumlah alat tangkap
pada masing-masing kecamatan berkontribusi pada produksi perikanan di Kabupaten
Manggarai Barat ( Tabel 6 dan Tabel 7).
7
Tabel 5. Jumlah Armada Perikanan di Kabupaten Manggarai Barat yang Dirinci
Berdasarkan Kecamatan dan Jenis Armada Perikanan,Tahun 2015
Perahu Tanpa Motor
Kecamatan
Perahu
Jukung
Papan
Komodo
282
294
Boleng
148
78
9
Lembor Selatan 115
Macang Pacar 100
73
Jumlah
645
454
Kapal Motor
Motor
Tempel
216
23
11
3
253
5 GT Ke
Atas
-
0-5 GT
807
288
51
466
1.612
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat (2015)
Tabel 6.
Jumlah Alat Tangkap di Kabupaten Manggarai
Berdasarkan Kecamatan Tahun 2015
Pukat
Bagan Pukat Pancing cincin/
Jaring
Kecamatan
Bubu
Purse
Perahu Pantai Ulur
insang
sein
Komodo
415
869
6
50
288
Boleng
64
309
20
233
Lembor
121
17
155
Selatan
Macang
188
124
5
306
Pacar
Jumlah
667
1.423
23
75
982
Barat yang Dirinci
Sero
Rawai
Alat
lainnya
8
-
3
4
84
56
-
-
1
-
8
8
140
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat (2015)
Berkaitan dengan pengelolaan data, dokumentasi dan/atau rekaman data perikanan di
Kabupaten Manggarai Barat masih sangat rendah. Hal ini sebagaimana disampaikan pada
saat wawancara, ketersediaan sumberdaya manusia untuk melakukan pendataan dan keahlian
sumberdaya manusia masih perlu ditingkatkan. Tantangan yang dinyatakan sebagai
permasalahan berkaitan dengan adanya implementasi regulasi yang baru yang mengatur
kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kaitannya dengan pengelolaan
sumberdaya perikanan, yang berbeda dengan sebelumnya. Meskipun demikian, institusi
pengelola perikanan yang berubah nama, dari 2012 adalah Dinas Kelautan, Perikanan dan
Peternakan, menjadi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat pada tahun
2016.
8
BAB III. METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOR EAFM
3.1. Pengumpulan data
3.1.1. Penentuan lokasi
a.
Ditentukan secara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi
berdasarkan kriteria jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP), klasifikasi alat tangkap
dan jenis armada
b.
Merupakan daerah yang dikelola sesuai perencanaan tata ruang wilayah atau zonasi
Pemilihan lokasi pendataan perikanan dilakukan pada 3 jenis perikanan tangkap yang
terdapat di Kabupaten Manggarai Barat. Desa yang teridentifikasi sebanyak 5 desa di
Manggarai Barat (Tabel 7).
Tabel 7. Lokasi Pengambilan Data
Kecamatan
Desa
Komodo
Komodo
Komodo
Komodo
Boleng
Komodo
Pasir Putih
Gorontalo
Labuan Bajo
Batu Tiga
3.1.2. Indikator penilaian EAFM
Data yang digunakan dalam analisa performa perikanan EAFM mencakup 6 domain yaitu:
A. Domain Sumber Daya Ikan
1. CPUE Baku
2. Ukuran ikan
3. Proporsi ikan juwana (juvenile) yang ditangkap.
4. Komposisi spesies
5. Spesies ETP
6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
7. Densitas/Biomassa untuk ikan karang & invertebrata
9
B. Domain Habitat
1. Kualitas perairan
2. Status lamun
3. Status Mangrove
4. Status Terumbu Karang
5. Habitat unik/ khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling).
6. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
C. Domain Teknik Penangkapan Ikan
1. Metode penangkapan ikan yang bersifat merusak dan atau ilegal
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
3. Fishing capacity dan Effort
4. Selektivitas penangkapan
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal.
D. Domain Sosial
1. Partisipasi pemangku kepentingan
2. Konflik perikanan
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di
dalamnya TEK, traditional ecological knowledge).
E. Domain Ekonomi
1. Pendapatan rumah tangga (RTP)
2. Kepemilikan aset
3. Saving rate
F. Domain Kelembagaan
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal
(adat).
2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
3. Mekanisme pengambilan keputusan
4. Rencana pengelolaan perikanan
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
6. Kapasitas pemangku kepentingan
Definisi dan kriteria pengukuran dari tiap indikator setiap domain tersedia di Lampiran 1.
10
3.1.3. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri atas 2 jenis yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan
data primer dilakukan melalui pengambilan data yang dilakukan dengan metode interview
dan observasi terarah secara kualitatif dengan menggunakan kuesioner perikanan kepada
responden rumah tangga perikanan. Interview dilakukan secara perorangan.
Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini :
a.
Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5 tahun
(tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun.
b.
Bersedia diwawancarai.
c.
Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya semua
informasi yang dibutuhkan.
Pengambilan data sekunder dalam survei melalui review terhadap kajian ilmiah, dokumen
laporan pemerintah, dan kebijakan nasional serta daerah yang mencakup pengelolaan wilayah
pesisir dan laut di Kabupaten Manggarai Barat. Data untuk kepentingan analisis didapat dari
beberapa instansi teknis (Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Stastistik, Bappeda).
Data tersebut berupa statistik perikanan tangkap, laporan hasil penelitian dan kajian, baik
dalam bentuk laporan akhir, terpublikasi dalam jurnal maupun hasil-hasil penelitian lainnya
yang relevan. Sementara data primer di peroleh dari hasil wawancara rumah tangga
perikanan, pemerintah desa, dan dinas teknis terkait menggunakan kuesioner.
3.2. Analisa Komposit Indikator EAFM
Secara umum penggunaan analisa performa perikanan dengan EAFM mudah dipahami,
karena menggunakan indikator yang tepat untuk penilaian dan evaluasi pengelolaan
perikanan. Indikator-indikator tersebut dipilih karena mampu menggambarkan kondisi yang
ada.
Domain sumberdaya ikan, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan yang
terdapat pada kuisioner diberikan nilai berdasarkan status atau kondisi terkini pada saat kajian
EAFM dilakukan. Penentuan nilai status untuk setiap indikator dalam domain habitat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor
Likert berbasis ordinal 1, 2 dan 3. Semakin baik status indikator, maka semakin besar
nilainya, semain besar kontribusi terhadap capaian EAFM.
Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang bersangkutan
atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot. Nilai indeks dari
indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator lainnya dalam
setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian, nilai indeks komposit ini
akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan ditampilkan dengan menggunakan
bentuk model bendera/ flag model (Tabel 8).
11
Tabel 8. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera
Rentang nilai (%)
Rendah
Tinggi
1
20
21
40
41
60
61
80
81
100
Model Bendera
Deskripsi (Penerapan EAFM)
Buruk
Kurang
Sedang
Baik
Baik Sekali
12
BAB IV. ANALISIS TEMATIK PENGELOLAAN PERIKANAN
4.1. Domain Sumberdaya Ikan
1. CPUE
Berdasarkan data CPUE, terdapat indikasi peningkatan CPUE yang dapat dilihat dari data
2012-2015 (Gambar 5b), dibandingkan dengan data CPUE antara 2004-2011 (Gambar 5a).
Meskipun pola CPUE Kabupaten Manggarai Barat bervariasi dari tahun 2004-2016, terjadi
penurunan mulai 2010 hingga 2012, diikuti dengan peningkatan pada tahun 2013 hingga
tahun 2014 dan menunjukkan kecenderungan stabil mengarah menurun pada menuju ke
2015.
a
b
Gambar 5. Grafik CPUE Kabupaten Manggarai Barat a. 2004-2011 b. 2012-2015
Hasil wawancara menunjukkan 90% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan tidak
mengalami perubahan atau sama saja pada saat ini dibandingkan dengan 5-10 tahun yang
lalu. Hanya 10% responden menyatakan hasil tangkapan mengalami penurunan. Data ini
berbeda dengan data per 2011 dengan kondisi pernyataan responden 10% responden
menyatakan bahwa hasil tangkapan menurun jika dibandingkan dengan 5-10 tahun yang lalu,
20% responden menyatakan hasil tangkapan sama dengan 5-10 tahun yang lalu, dan 70%
responden menyatakan hasil tangkapan mengalami peningkatan dibandingkan dengan 5-10
tahun yang lalu.
Peningkatan jumlah responden yang menyatakan bahwa hasil tangkapan cenderung sama
yang ( dari 20% di 2011 menjadi 90% di 2016) kemungkinan menggambarkan kondisi nyata
dan persepsi masyarakat terhadap hasil tangkapan. Meskipun memberikan kecenderungan
tren positif, perlu dilakukan pemantauan terhadap produksi penangkapan dan dibandingkan
dengan hasil kajian stok ikan di Kabupaten Menggarai Barat.
Mengacu pada data produksi perikanan menurut jenis ikan di Kabupaten Manggarai Barat
tahun 2015, terdapat peningkatan produksi pada semua jenis tangkapan. Namun peningkatan
jumlah tangkapan tidak secara otomatis menggambarkan stok sumberdaya ikan di suatu
13
perairan. Peningkatan hasil tangkapan tersebut dapat pula dipengaruhi dengan meningkatnya
jumlah armada dan alat tangkap yang ada. Selanjutnya, peningkatan jumlah armada dan alat
tangkap juga perlu dihubungkan dengan data perijinan alat tangkap yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwewenang mengeluarkan ijin operasional penangkapan.
2. Ukuran Ikan
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, data tentang ukuran panjang ikan yang tertangkap
belum tersedia. Data tersebut sudah sukar diperoleh di tempat pendaratan ikan Kabupaten
Manggarai Barat yang sudah beralih fungsi menjadi pasar akibat pengelolaan TPI yang
diberikan kepada pihak ketiga (wawancara dengan Kasie. Pengawasan Dinas Kelautan,
Perikanan dan Peternakan Kabupaten Manggarai Barat).
Hasil wawancara menunjukkan 75% responden menyatakan bahwa ukuran ikan hasil
tangkapan relatif sama dengan ukuran hasil tangkapan 5-10 tahun yang lalu, sementara
sisanya sebanyak 25% menyatakan ukuran hasil tangkapan mengalami penurunan
dibandingkan dengan 5-10 tahun yang lalu. Dengan demikian, indikasi penurunan ukuran
hasil tangkapan ikan telah terjadi dan menjadi satu peringatan bagi penentu kebijakan dan
stakehoder terkait untuk melakukan manajemen yang lebih baik.
3. Proporsi ikan yuwana yang ditangkap
Hasil wawancara menunjukkan informasi tentang proporsi yuwana yang tertangkap sangat
bervariasi. Belum tersedia data tentang proporsi yuwana ikan yang tertangkap mengingat
nelayan di Kabupaten Manggarai Barat tidak pernah melakukan pencatatan. Penilaian
indikator ini adalah tidak tersedia data tentang proporsi yuwana yang tertangkap karena
informasi yang diberikan cenderung kualitatif. Skor yang diberikan adalah 0, dengan catatan
perlu upaya pengumpulan data.
Keseluruhan responden menyatakan tidak mengetahui apakah hasil yang tertangkap tersebut
yuwana atau dewasa. Responden hanya mengetahui ikan dewasa untuk ikan baronang,
sementara untuk jenis ikan yang lain tidak mengetahui. 80% responden menyetakan dapat
mengenali ikan baronang yang sedang akan bertelur. Belum ada sosialsiasi tentang bentuk
dan ukuran ikan yuwana berbagai jenis ikan untuk dijadikan pedoman pengamatan di
lapangan menurut responden. Sumber data tentang proporsi yuwana yang tertangkap adalah
nelayan penangkapan dan tempat pendaratan ikan.
4. Komposisi spesies
Data komposisi spesies seharusnya tersedia di tingkat nelayan dan dinas terkait. Namun data
ini belum tersedia di Manggarai Barat. Hasil wawancara menunjukkan 75% responden
mengatakan bahwa proporsi ikan target lebih banyak dibandingkan dengan ikan non target.
Meskipun demikian, responden tidak memungkiri bahwa ada waktu tertentu, antara 2-3 kali
penangkapan terdapat indikasi ikan target hampir sama dengan ikan non target. Skor untuk
indikator ini adalah 3.
14
5. Spesies ETP
Hasil wawancara responden menyatakan bahwa pernah menangkap beberapa jenis tertangkap
seperti penyu, namun karena hewan ini tidak memiliki nilai ekonomis (tidak terbiasa untuk
dikonsumsi) selanjutnya dilepas kembali ke wilayah perairan. Apabila dilihat dari hasil secara
keseluruhan maka, dapat dikatakan tidak ada spesies ETP yang tertangkap. Skor yang
diberikan untuk indikator ETP adalah 2 (ada 1 spesies ETP yang tertangkap). Data tentang
tertangkapnya ETP diperoleh pada saat WWF Indonesia melakukan pendampingan
penyusunan Ranperda hiu dan pari manta pada tahun 2014.
6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
Terkait Range collapse ( jarak tangkap antara rumah dan daerah penangkapan ikan atau
fishing ground), hasil wawancara dengan responden menunjukkan secara keseluruhan
responden menyatakan ada penambahan jarak penangkapan mencapai kisaran 1-4 km, dan
daerah penangkapan ikan mengindikasikan semakin sulit serta semakin jauh. Dibandingkan
dengan tahun 2012 dimana penambahan jarak tangkap adalah 1-3 km, dalam selang waktu 4
tahun, terdapat penambahan jarak sepanjang 1 km atau semakin jauh. Skor nilai untuk
kemudahan ke daerah penangkapan ikan adalah 1 dan untuk penambahan jarak yang
semakin jauh adalah 2. Nilai pembobotan untuk indikator range collapse tidak berbeda antara
tahun 2012 dan tahun 2016.
7. Densitas/Biomassa untuk ikan karang & invertebrata
Data ini belum tersedia di Manggarai Barat.
4.2. Domain Habitat dan Ekosistem
Berkaitan dengan domain habitat dan ekosistemnya, performa domain ini masih sama antara
dtahun 2011 dan data 2016. SKPD yang diharapkan terkait dengan data yang diperlukan pada
domain ini menyatakan bahwa penelitian-penelitian spesifik belum pernah dilakukan
mengingat ketersediaan dana.
1. Kualitas perairan
Belum tersedia data tentang kualitas perairan di Kabupaten Manggarai Barat, terutama
tentang jenis limbah, tingkat kekeruhan, dan eutrofikasi. Wawancara dengan staf Dinas
Kelautan dan Perikanan setempat menyatakan bahwa kegiatan kajian ketiga parameter
tersebut belum pernah dilakukan. Kondisi yang sama juga dijumpai pada tahun 2012. Skor
indikator ini adalah 0.
Kondisi ini terjadi bukan sebagai kondisi nyata di lapangan, melainkan karena belum
tersedianya data untuk ketiga parameter tersebut. Kedepannya perlu dilakukan penyediaan
data tiga parameter kualitas perairan khususnya dalam proses perijinan usaha dan/atau
kegiatan yang perlu disertai dengan dokumen kelayakan lingkungan. Usaha dan/atau kegiatan
yang berpotensi memberikan perubahan terhadap kualitas perairan, yang selanjutnya disebut
dengan pemrakarsa, diwajibkan untuk mengukur kualitas perairan sebagai data rona awal
lingkungan dan wajib melakukan upaya pemantauan lingkungan perairan. Dengan demikian,
ketersediaan data kualitas perairan secara kontinyu dapat tercapat.
15
2. Status lamun
Berdasarkan hasil kajian tentang status lamun di Kabupaten Manggarai Barat tahun 2016,
belum tersedia data tentang luas tutupan lamun dan keanekaragaman jenis lamun. Dengan
demikian, skor status lamun pada domain habitat dan ekosistem adalah 0.
3. Status mangrove
Berdasarkan hasil pengamatan, kerapatan, keanekaragaman mangrove, perubahan luas dari
tahun ke tahun, dan indeks nilai penting terkini, belum tersedia. Data luasan hutan mangrove
untuk kajian EAFM ini adalah data Bakorsurtanal tahun 1990. Dengan demikian, skor status
mangrove adalah 1.
4. Status terumbu karang
Berdasarkan hasil kajian tentang dua parameter tersebut, di Kabupaten Manggarai Barat
belum tersedia data terkini tentang status terumbu karang. Data yang digunakan dalam
penilaian merupakan data sekunder. Berdasarkan data sekunder tersebut, luasan tutupan
karang di perairan kabupaten ini kurang dari 25% (Mosaik et al., 2011), sedangkan nilai
keanekaramagan karang adalah 0 (tidak tersedia data).
5. Habitat unik/khusus
Berdasarkan hasil kajian di Kabupaten Manggarai Barat, responden (masyarakat dan SKPD)
mengatakan bahwa belum pernah dilakukan kajian tentang habitat unik atau khusus tersebut.
Guna pengelolaan perikanan berkelanjutan di kabupaten ini, perlu direncanakan dan
dilaksanakan kegiatan identifikasi habitat unik atau khusus dan kondisi saat ini sebagai data
rona awal lingkungan. Salah satunya ialah dampak perubahan iklim dan pengaruhnya
terhadap sumberdaya perairan, responden menyatakan bahwa di Kabupaten Manggarai Barat
belum ada kajian tentang hal itu. Skor untuk indikator ini 1.
4.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan
Penilaian terhadap domain teknologi penangkapan ikan dalam kajian pembaruan peforma
perikanan Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2016, masih memiliki kesamaan kondisi data
dengan tahun 2012. Ketersediaan data modifikasi alat tangkap, diakui oleh staf Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat masih perlu dilakukan dan ditata dengan
baik. Pengecekan legalitas aktivitas penangkapan hanya pada kelengkapan surat, belum
disertai dengan pengecekan alat tangkap pada saat beroperasi di wilayah perairan.
1. Metode penangkapan ikan yang bersifat merusak dan atau ilegal
Di Kabupaten Manggarai Barat kajian menunjukkan masih terjadinya kegiatan penangkapan
dengan metode yang dilarang. Wawancara dengan staf Bidang pengawasan Dinas Kelautan
dan Perikanan kabupaten setempat menunjukkan bahwa frekuensi pelanggaran lebih dari 10
kasus setiap tahun. Artinya tidak ada penurunan pelanggaran, karena kondisi seperti ini masih
ada sejak tahun 2012. Skor yang diberikan untuk indikator ini adalah 1.
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
16
Belum tersedia data yang menyatakan dengan jelas adanya modifikasi alat bantu
penangkapan. Skor dari indikator ini adalah 0 (data tidak tersedia).
3. Fishing capacity
Berdasarkan hasil penghitungan fishing capacity, R diperoleh 0.5 atau lebih kecil dari 1. Skor
yang diberikan untuk indikator ini adalah 1.
4. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal
Data kesesuaian fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal dilakukan melalui
monitoring dan/atau sampling. Pada saat pelaksanaan kajian, dokumen kesesuaian hanya
dilakukan untuk satu responden yang berada di Labuan Bajo, sedangkan nelayan yang
melakukan penangkapan kawasan TNK tidak dilengkapi dengan dokumen legal. Dengan
demikian, untuk kepentingan penlaian performa pengelolaan perikanan, skor indikator ini
adalah 0 karena tidak cukup data untuk memastikan proporsional kesesuaian fungsi dan
ukuran kapal dengan dokumen legal. Kondisi ini masih sama pada saat kajian pembaruan
peforma perikanan dengan pendekatan EAFM dilakukan pada tahun 2012.
Sertifikasi awak kapal diberikan untuk menjamin keahlian awak kapal dalam melakukan
penangkapan. Berdasarkan hasil wawancara dengan staf Dinas Kelautan, Perikanan dan
Peternakan kabupaten setempat, informasi sertifikasi awak kapal belum pernah diterima.
Dengan demikian, sertifikasi awak kapal belum dijadikan sebagai salah satu kelengkapan
dokumen legal penangkapan. Kenyataan ini juga didukung dengan responden dari nelayan
bahwa mereka tidak memiliki sertifikasi awak kapal. Mengacu pada kenyataan tersebut maka
skor yang diberikan untuk indikator ini adalah 0.
4.4. Domain Sosial
1. Partisipasi pemangku kepentingan
Berdasarkan hasil wawancara, 83% responden menyatakan bahwa tidak terlibat dalam
kegiatan perencanaan dan implementasi program perikanan dan kelautan. Hal ini termasuk
tidak terlibat dalam penentuan keputusan, karena biasanya dilakukan hanya oleh pimpinan
daerah dan tokoh-tokoh masyarakat, sementara sisanya 17% menyatakan terlibat dalam
pengelolaan perikanan. Mengacu pada kondisi ini maka skor yang diberikan adalah 1
(partisipasi pemangku kepentingan< 50%).
Kondisi ini adalah kondisi pada pemetaan peforma perikanan kabupaten pada tahun 2012.
Kondisi yang sama dan/atau relatif belum mengalami perubahan juga dijumpai pada saat
kegiatan pembaruan peforma perikanan Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2016,
dengan nilai yang berubah menjadi 78% responden menyatakan bahwa hanya sebagian kecil
yang terlibat untuk menentukan keputusan. Namun demikian nilai secara keseluruhan relatif
sama dengan nilai pada tahun 2012.
2. Konflik perikanan
Hasil wawancara menunjukkan konflik perikanan terjadi ketika pengkapan ikan bagi nelayan
di luar kawasan, tanpa sengaja memasuki kawasan TNK, dan sering terjadi konflik antara
nelayan dengan petugas TNK. Interaksi sosial dalam pengelolaan perikanan di wilayah laut,
17
berpeluang menimbulkan konflik perikanan. Hal ini dikarenakan batasan wilayah belum
terdefinisi dengan baik. Pada tahun 2016, ditemukan bahwa konflik juga terjadi antara
nelayan pancing dan nelayan non pancing berupa penggunaan daerah penangkapan.
Meskipun demikian, responden menyatakan bahwa konflik sangat jarang terjadi dan/atau
sebanyak 5-9 kali/tahun. Skor indikator untuk konflik perairan adalah 2.
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, kearifan lokal yang ada hingga saat ini
hanya berupa ritual memulai dan mensyukuri hasil tangkapan, sedangkan kearifan lokal yang
berbentuk pengaturan dan pemberian sanksi, tidak ada di temukan. Skor indikator
pemanfaatan pengetahuan lokal untuk pengelolaan sumberdaya bernilai 1 atau tidak ada.
4.5. Domain Ekonomi
Tidak ada perubahan dalam domain ekonomi sejak pertama kali dilakukan kajian peforma
perikanan di kabupaten ini (2012).
1. Pendapatan rumah tangga
Pendapatan rumah tangga tertinggi dari keseluruhan responden dimiliki oleh nelayan pemilik
kapal, sedangkan nelayan yang berperan sebagai ABK memiliki nilai pendapatan rumah
tangga di bawah UMR Provinsi NTT. Skor indikator pendapatan rumah tangga adalah 1.
2. Kepemilikan aset
Berdasarkan hasil wawancara, kecenderungan perubahan jumlah aset kurang dari 50%.
Kepemilikan aset merupakan salah satu indikator adanya perubahan kesejahteraan nelayan.
3. Rasio tabungan
Terkait rasio tabungan 15% responden memiliki rasio tabungan di atas bunga pinjaman bank,
sedangkan 85% responden memiliki rasio tabungan di bawah bunga bank. Bahkan, 80%
responden tersebut tidak memiliki tabungan. Prosentase ini masih besar jika dibandingkan
dengan harapan sebagaimana disajikan pada panduan EAFM. Masyarakat mengatakan sangat
sulit melakukan pengembangan usaha melalui interaksi dengan perbankan. Kondisi ini
mengalami peningkatan pada tahun 2016 dengan jumlah responden yang tidak memiliki
tabungan menjadi 85%. Hal itu yang menyebabkan pendapatan mereka tidak mengalami
perubahan sedemikian sehingga sangat diperlukan untuk menyimpan hasil usaha. Skor
indikator rasio tabungan adalah 1.
4.6. Domain Kelembagaan
Domain kelembagaan masih sama antara tahun 2012 dan tahun 2016.
1. Kepatuhan pada prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab
Berkaitan dengan indikator ini, berdasarkan hasil wawancara dengan staf Dinas Kelautan,
Perikanan dan Peternakan, bagian pengawasan di kabupaten ini terjadi lebih dari 5 kali
pelanggaran dalam satu tahun. Pelanggaran yang dimaksud berupa pelanggaran secara
administratif dan pelanggaran penangkapan ikan yang tidak mengikuti peraturan yang telah
ditetapkan. Berkaitan dengan pelanggaran administratif, ditindaklanjuti dengan kegiatan
18
pembinaan oleh dinas terkait, sedangkan pelanggaran pidana seperti pemboman ikan
diselesaikan di pengadilan. Informasi lainnya berkaitan dengan pelanggaran ini diberikan
oleh responden sebagai perwakilan masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan
responden, pelanggaran terjadi lebih dari 5 kali dalam setahun, dan umumnya pelanggaran
tersebut tidak terlaporkan karena keterbatasan pengawasan oleh dinas terkait. Mengacu pada
dua data tersebut maka masing-masing parameter diberi skor 1.
2. Kelengkapan aturan
Indikator kelengkapan aturan main terdiri atas ada tidaknya kelengkapan regulasi yang ada
dan bagaimana impelementasi regulasi tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, Pemerintah
Kabupaten Manggarai Barat menggunakan regulasi yang tersedia di tingkat pusat yang
selanjutnya diturunkan dalam bentuk peraturan daerah. Peraturan daerah tentang perikanan
yang telah dimiliki oleh kabupaten ini adalah Perda Nomor 28 Tahun 2005 tentang
Penggunaan Alat Tangkap dan Alat Bantu Penangkapan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
peraturan lainnya berkaitan dengan kegiatan lain yang berhubungan dengan perikanan seperti
konservasi belum tersedia. Skor kelengkapan aturan main dan kuantitasnya masing-masing
adalah 2 (ada aturan main tetapi tidak lengkap) dan (ada aturan main tapi jumlahnya tetap).
Bagian lain pada indikator kelengkapan aturan main, selain ketersediaan aturan main, adalah
implementasi peraturan yang ada. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, kaitannya
dengan penegakan aturan main, bahwa ada penegakan namun tidak efektif sehingga diberi
skor 2. Tidak efektifnya penegakan aturan main di kabupaten ini karena adanya mekanisme
khusus pengaturan kegiatan perikanan di TN Komodo dibawah pengawasan Balai Taman
Nasional Komodo.
Penegakan hukum sangat terkait dengan ketersediaan sumberdaya manusia serta sarana.
Efektivitas dan efisiensi fungsi pengawasan akan tercapai ketika sarana dan prasarana serta
ketersediaan sumberdaya manusia yang melakukan fungsi tersebut. Berkaitan dengan hal ini,
responden menyatakan bahwa penegakan aturan main di kabupaten ini, ketidaktersedianya
alat dan staf yang melakukan adalah faktor utama rendahnya implementasi aturan main.
Mengacu pada kondisi tersebut maka penegakan aturan main dan ketersediaan alat dan orang
mendapatkan skor 2 dan 1.
Teguran dan hukuman juga merupakan faktor penting dalam implementasi aturan main. Hal
ini dilakukan untuk memberikan efek jera sehingga pelanggaran tidak dilakukan dan/atau
kasus pelanggaran dapat berkurang. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, teguran
dan hukuman dilakukan pada pelaku pelanggaran. Hukuman yang diberikan mulai dari
pembinaan bahkan penahanan ketika putusan pengadilan menyatakan terdakwa melakukan
tindak pidana di bidang perikanan dan lingkungan. Skor terkait hukuman akibat pelanggaran
adalah 3.
3. Mekanisme pengambilan keputusan
Mekanisme pengambilan keputusan berpengaruh pada hubungan dua arah antar lembaga
pemerintah dan antara lembaga pemerintah dan masyarakat. Catatan penting pengelolaan
perikanan di kabupaten ini adalah adanya wilayah pengelolaan yang berada pada pengawasan
Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan untuk kawasan di luar TNK dan masih berada
19
pada 4 mil dari garis pantai, dan kawasan perairan di dalam kawasan TNK yang dikelola oleh
BTNK.
4. Rencana pengelolaan perikanan
Rencana pengelolaan perikanan (RPP) merupakan panduan tentang mekanisme, strategi dan
kebijakan pengelolaan perikanan yang dijadikan sebagai dasar kegiatan pengelolaan oleh
semua stakeholder yang terkait. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, hingga
tahun 2013, RPP belum tersedia dan belum ada pembahasan untuk penyusunan RPP yang
dimaksud untuk tahun 2014. Kendala utama belum tersedianya RPP ini adalah tidak
tersedianya dana dan tenaga ahli untuk melakukan pendampingan penyusunan RPP. Mengacu
pada kenyataan ini maka skor indikator ketersediaan RPP adalah 1 (belum ada RPP).
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, terdapat dua lembaga yang mengelola
perairan laut di kabupaten ini. Kedua lembaga itu adalah Dinas Kelautan, Perikanan dan
Peternakan dan BTNK. Sebenarnya kedua lembaga tersebut bergerak pada dua kegiatan yang
berbeda namun memiliki sinergitas dalam pengelolaan perikanan di kabupaten ini. Hingga
saat ini komunikasi antar lembaga tidak efektif sehingga skor efektifvias komunikasi antar
lembaga adalah 2. Berkaitan dengan kebijakan tentang perikanan memiliki skor 2 (kebijakan
tidak saling mendukung). Sebagai contoh, nelayan di dalam kawasan TNP diatur oleh BTNK.
6. Kapasitas pemangku kepentingan
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, tidak tersedia kegiatan pelatihan untuk
meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan sehingga tidak ada peningkatan. Dengan
demikian skor indikator ini adalah 1. Kondisi ini merupakan kondisi pada saat kajian yang
sama dilakukan pertama kali di Kabupaten Manggarai Barat (2012) dan masih relatif sama
dengan kondisi saat kajian pembaruan peforma perikanan di kabupaten yang sama pada tahun
2016.
20
BAB V. PERFORMA PERIKANAN DAN RENCANA AKSI
PERBAIKAN
Berdasarkan hasil analisa komposit agregat, tampak bahwa terdapat perubahan kearah
meningkat adalah pada Domain Ekonomi, sedangkan penurunan terjadi di Domain
Kelembagaan (Tabel 9).
Tabel 9. Indeks Komposit Agregat Indikator EAFM untuk Wilayah Pengelolaan
PerikananKabupaten Manggarai Barat Tahun 2013 dan Tahun 2016
Domain
Sumberdaya Ikan
Habitat & ekosistem
Teknik Penangkapan Ikan
Sosial
Ekonomi
Kelembagaan
Aggregat
Tahun 2013
Nilai
Deskripsi
Komposit
Sedang
60
Buruk
0
Buruk
10
Kurang
23
30
Kurang
25
Kurang
25
Kurang
Tahun 2016
Nilai
Deskripsi
Komposit
1.92
Sedang
0.42
Kurang
0.83
Kurang
1.33
Sedang
1.33
Sedang
1.37
Sedang
28
Kurang
Untuk memastikan agar performa perikanan bergerak ke arah yang lebih dalam rentang
waktu tertentu, perlu disusun rencana tindak lanjut perbaikan (Tabel 10).
21
Tabel 10. Rencana Aksi Perbaikan Peforma Perikanan Jangka Pendek (5 tahun) di Kabupaten Manggarai Barat
1) Domain Sumberdaya Ikan
TUJUAN
INDIKATOR
Menjaga kualitas 1. CpUE Baku
habitat
SDI
sehingga
produktivitas dan
keanekaragaman
ekosistem tetap
tinggi dan stabil.
NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
3
Pengaturan dan pengendalian effort
dan kapasitas penangkapan
2. Tren ukuran ikan
1
Pengendalian ukuran ikan yang
tertangkap
3. Proporsi ikan yuwana
(juvenile) yang ditangkap
0
Pengendalian ukuran ikan yang boleh
ditangkap
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Pengaturan dan mengembalikan
fungsi Tempat Pendaratan Ikan
Meningkatkan upaya penangkapan
Menambah jumlah alat tangkap
Pendataan secara periodik ikan
yang didaratkan dan pelatihan
observer
Pengaturan alat tangkap dan
pembatasan areal penangkapan
Pengaturan ukuran minimal ikan
yang boleh ditangkap
Dilakukan kajian ilmiah tentang
ukuran mata jaring
Pelatihan nelayan dan tenaga bantu
Dinas Kelautan dan Perikanan
sebagai observer
Sosialisasi hasil-hasil penelitian
tentang visualisasi dan ukuran ikan
minimal yang diperbolehkan untuk
ditangkap
Implementasi formulir pendataan
dan pembentukan mekanisme
pelaporan data yang terintergasi
Pengaturan ukuran minimal ikan
yang boleh ditangkap (ukuran
22
TUJUAN
INDIKATOR
4. Komposisi spesies
tangkapan
5. Spesies ETP
6. "Range Collapse"
sumberdaya ikan
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
NILAI
3
Meningkatkan dan mempertahankan
selektivitas alat
Pengendalian pemanfaatan spesies
ETP
Pengaturan upaya tangkap
3
1/2
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
pertama kali matang gonad)
Dilakukan kajian ilmiah ukuran
ikan pertama kali matang gonad.
Pengaturan selektivitas alat
Larangan atau mengurangi
pemanfaatan terhadap spesies ETP
Pembatasan upaya
Konservasi dan Rehabilitasi
ekosistem pesisir.
Pengembangan rumah ikan.
2) Domain Habitat dan Ekosistem
TUJUAN
INDIKATOR
Menjaga kualitas habitat Kualitas perairan
SDI sehingga produktivitas
dan
keanekaragaman
ekosistem tetap tinggi dan
stabil.
NILAI
0
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Pengendalian limbah
pencemar
Pengendalian eutrofikasi
Menjamin ketersediaan
informasi kualitas perairan
secara berkelanjutan
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
pelaksanaan kajian kualitas
perairan bersama institusi lain
yang memiliki bidang kerja
manajemen sumberdaya
perairan
Memperketat izin mendirikan
bangunan di daerah pesisir
Penegakan aturan tentang
23
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
lingkungan
Pelaksanaan kajian ilmiah
terkait data kualitas perairan
Penerapan peraturan tentang
kelayakan lingkungan bagi
usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak pada lingkungan
(pembangunan industri
pengolahan ikan, perhotelan,
tpi)
Pengolahan limbah bagi usaha
da/atau kegiatan yang
memberikan dampak pada
lingkungan
2.
Status
lamun
ekosistem 0
Memperbaiki status ekosistem
lamun
Inventarisasi dan pemetaan
ekosistem lamun
Penelitian tentang tutupan dan
keanekaragaman lamun pada
kawasan lamun yang terdata
Menetapkan kawasan
konservasi lamun
24
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Kajian ilmiah tentang
pembudidayaan lamun
Pengendalian aktivitas di
wilayah pesisir
Rehabilitasi pada kawasan
lamun yang perlu direhabilitasi
3.
Status
mangrove
ekosistem 0
Memperbaiki status ekosistem
mangrove
Menetapkan kawasan
konservasi dan rehabilitasi
elosostem mangrove
Penanaman mangrove
4.
Status
ekosistem 1
terumbu karang
Memperbaiki status ekosistem
terumbu karang
Stabilisasi substrat dasar dan
menyediakan substrat
penempelan karang
5. Habitat unik/khusus
Pengembangan habitat khusus
Kajian ilmiah tentang
spawning ground, feeding
ground, dan nursery ground
1
Pemetaan habitat unik/khusus
sebagai bahan sosialisasi bagi
semua stakeholder
Perlindungan habitat
25
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
unik/khusus melalui peraturan
yang bersifat mengikat
6. Perubahan
iklim 1
terhadap kondisi perairan
dan habitat
Pengembangan kajian
perubahan iklim
Kajian ilmiah dampak
perubahan iklim terhadap
kondisi perairan
3) Domain Penangkapan Ikan
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Penangkapan ikan yang 1. Penangkapan ikan yang
ramah lingkungan dan bersifat destruktif
sesuai dengan daya
dukung SDI
1
Penegakan aturan perikanan dan
kelautan
Peningkatan pengawasan dan
penegakan hukum terhadap
penggunaan alat tangkap yang
tidak ramah lingkungan
2.Modifikasi alat
penangkapan ikan dan alat
bantu penangkapan
0
Penegakan hukum perikanan dan
kelautan
Peningkatan pengawasan dan
penegakan hukum terhadap
penggunaan alat bantu
penangkapan yang tidak sesuai
aturan.
Pengendalian penggunaan alat
bantu penangkapan
26
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Penetapan standar spesifikasi
kapal, alat tangkap, dan alat
bantu penangkapan ikan.
3. Kapasitas Perikanan dan 0
Upaya Penangkapan
(Fishing Capacity and
Effort)
Pengendalian upaya
penangkapan
Pengaturan jumlah armada
penangkapan
Pengaturan jumlah alat
tangkap
Pengaturan kuota penangkapan
4.Selektivitas
penangkapan
2
Pengendalian penggunaan alat
tangkap yang selektif
Pengawasan terhadap alat
tangkap yang tidak selektif.
Penelitian tentang selektifitas
alat tangkap.
5. Kesesuaian fungsi dan
ukuran kapal penangkapan
ikan dengan dokumen
legal
1
Penataan perizinan dan dokumen
kapal sesuai dengan peraturan
Pemeriksaan secara berkala
surat izin, ukuran kapal, dan
dokumen kapal di lapangan.
6. Sertifikasi awak kapal
perikanan sesuai dengan
peraturan.
1
Penataan sertifikasi awak kapal
Memberikan pelatihan
keterampilan kepada awak
kapal dan pemberian sertifikat,
yang dilaksanakan oleh
27
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
instansi terkait dan
berkompeten.
4) Domain Sosial
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
Meningkatkan Nilai-Nilai 1. Partisipasi Pemangku 1
Kepentingan
Sosial Dalam
Pengelolaan Perikanan
2. Konflik Perikanan
2
3. Penggunaan
1
pengetahuan lokal dalam
pengelolaan perikanan.
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Peningkatan pelibatan stakeholder
dalam pengelolaan perikanan
Meningkatkan partisipasi
pemangku kepentingan dalam
pengelolaan perikanan
berbasis ekosistem.
Pengaturan daerah penangkapan
sesuai alat tangkap
Sosialisasi aturan zona
penangkapan berdasarkan alat
tangkap
Kajian tentang pengetahuan lokal
dalam pengelolaan perikanan
Kajian ilmiah tentang
pengetahuan lokal dan ramah
lingkungan dalam pengelolaan
perikanan.
5) Domain Ekonomi
28
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Mencapai
1. Kepemilikan Aset
2
Kesejahteraan
Nelayan Yang
2.Pendapatan Rumah Tanggga 1
Lestari
(RTP)
AKSI PERBAIKAN PENGELOLAAN
Peningkatan jumlah aset produktif
nelayan
Pendampingan usaha nelayan untuk
peningkatan aset.
meningkatkan pendapatan nelayan
Meningkatkan pendapatan rumah
tangga perikanan
Penyediaan mata pencaharian
alternatif --- tourism
3. Rasio Tabungan (Saving 1
Ratio)
Peningkatan kesejahteraan
masyarakat
Sosialisasi tentang pentingnya
menabung.
Penyediaan sarana lembaga keuangan
mikro di desa nelayan.
6) Domain Kelembagaan
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
Meningkatkan
kinerja 1.
Kepatuhan terhadap 1
kelembagaan dan tata prinsip-prinsip
perikanan
kelola perikanan
yang bertanggung jawab
dalam
pengelolaan
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Peningkatan kesadaran
nelayan
Sosialisasi tentang hukum kelautan
dan perikanan
Penegakan hukum
Pengawasan di laut semakin
29
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
perikanan
yang
telah
ditetapkan
baik
secara
formal maupun non-formal
perikanan dan kelautan
diperketat
2.
Kelengkapan aturan 2
main dalam pengelolaan
perikanan
Peningkatan jumlah aturan
main dalam pengelolaan
perikanan
Penambahan jumlah aturan
pengelolaan perikanan.
3 . Mekanisme pengambilan 2
keputusan
Peningkatan penerapan
keputusan pengelolaan
perikanan.
Monitoring kelembagaan
pengelolaan perikanan
Pendampingan dan penyadaran
publik
Peningkatan kapasitas
kelembagaan pada level
implementasi dan evaluasi
4.
Rencana pengelolaan 1
perikanan
Pembuatan RPP
Menyusun dan mengesahkan draft
RPP.
5.
Tingkat sinergisitas 2
kebijakan dan kelembagaan
pengelolaan perikanan
Peningkatan sinergitas
kebijakan kelembagaan
Monitoring kinerja kelembagaan
perikanan
Memperkuat kerjasama antar
lembaga perikanan
30
TUJUAN
INDIKATOR
NILAI
6 . Kapasitas pemangku 1
kepentingan
PRIORITAS PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Peningkatan kapasitas
pemangku kepentingan
AKSI PERBAIKAN
PENGELOLAAN
Monitoring dan pendampingan
peningkatan kapasitas pemangku
kepentingan perikanan
31
BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1. Hasil analisis dengan indeks komposit menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan di
Kabupaten Manggarai Barat kurang mendapat perhatian (bendera kuning muda atau
bernilai kurang).
2. Pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem maka Kabupaten Manggarai Barat
tergolong kurang menerapkan EAFM.
3. Setiap aspek dalam tiap domain perikanan memerlukan perbaikan seusai dengan rencana
aksi.
4. Dibandingkan tahun 2012, secara aggregat pengelolaan perikanan di Kabupaten
Manggarai Barat mengalami peningkatan tiga poin menjadi 28, dimana domain ekonomi
meningkat menjadi sedang dari kurang. Namun domain kelembagaan menurun dari
sedang menjadi kurang
Rekomendasi
1. Menggunakan analisa EAFM dalam pembuatan Rencana Pengelolaan Perikanan serta
dokumen perencanaan pembangunan daerah serta turunannya.
2. Kesepakatan standarisasi dan penggunaan data sekunder
3. Kegiatan IUU Fishing segera ditangani dengan memperhatikan hal berikut:
-
Melakukan identifikasi, inventarisasi, refungsionalisasi model-model dan penyebab
serta pelaku IUU fishing
-
Mengetahui persepsi masyarakat tentang IUU fishing dan dampaknya yang akan
ditimbulkan pada ekosistem dan masyarakat secara umum
-
Penyusunan koordinasi dan rencana aksi penanggulangan IUU Fishing.
32
REFERENSI
Adrianto L, Abdulah H, Achmad F, Audillah A, Handoko AS, Imam M, Mukhlis K, Sugeng
HW, dan Yusli W., 2012. Modul Penilaian Pendekatan Ekosistem dalam
Pengelolaan Perikanan (EAFM). Jakarta: Direktorat Sumberdaya Ikan, WWFIndonesia, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.
Adrianto L, Arsyad AM, Ahhmad S, dan Dede IH., 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan di Indonesia. PT Penerbit IPB Press.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2006. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2007. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2008. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2009. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2010. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2011. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2012. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2013. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2014. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2015. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Fauzi A., 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. Penerbit PT.
Gramedia Utama. Jakarta.
Fauzi A dan Suzy Anna., 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk
Analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Utama. Jakarta.
Kusumastanto, T, Luky Adrianto, dan Ario Damar., 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Laut. Universitas Terbuka. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Lain A. H.,2011. Analisis Ekologi–Ekonomi Pengelolaan Perikanan berbasis Ekosistem
Terumbu Karang (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton,
Provinsi Sulawesi Tenggara). Tesis Pasca Sarjana, Intitut Pertanian Bogor.
Noor, R. Y, Khazali, M dan Suryadiputra, N. N.I.,1999. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
Sumardjono M, Nurhasan I, Ernan R, dan Damai AA., 2011. Pengaturan Sumberdaya Alam
Antara yang Tersurat dan Tersurat. Kajian Kritis Undang-undang Terkait Penataan
Ruang dan Sumberdaya Alam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Solihin, A, Muhammad Karim, Suhana, dan Thomas Nugroho. 2005. Strategi Pembangunan
Kelautan dan Perikanan Indonesia (Bunga Rampai). Humaniora, Penerbit Buku
Pendidikan – Anggota Ikapi. Bandung.
Widodo J dan Suadi., 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
33
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat
1. Domain Sumberdaya Ikan
INDIKATOR
1. CpUE Baku
2. Tren ukuran
ikan
3. Proporsi ikan
yuwana
(juvenile) yang
ditangkap
DEFINISI/ PENJELASAN
CpUE adalah hasil tangkapan per
satuan upaya penangkapan.
Upaya penangkapan harus
distandardisasi sehingga bisa
menangkap tren perubahan upaya
penangkapan. CpUE Baku
digunakan apabila terdapat pola
multi fishing gears untuk
menangkap satu spesies di unit
perikanan yang dikaji. Jika CpUE
Baku sulit untuk digunakan, bisa
digunakan CpUE dominan
- Panjang total
- Panjang standar
- Panjang karapas / sirip
(minimum dan maximum size,
modus)
Persentase ikan yang ditangkap
sebelum mencapai umur dewasa
(maturity)
MONITORING/
PENGUMPULAN
Logbook, Enumerator,
Observer selama minimal
3 tahun dari unit perikanan
yang dikaji
KRITERIA
DATA ISIAN
SKOR
RANKING
NILAI
3
1
3
Berdasarkan hasil
wawancara,
seluruh
responden
menyatakan trend
ukuran rata-rata
ikan yang
ditangkap mulai
ada
kecenderungan
semakin kecil
1
2
1
Berdasarkan hasil
wawancara,
responden
menyatakan tidak
tahu tentang
0
3
0
1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per
tahun)
2 = menurun sedikit (rerata turun < 25%
per tahun)
3 = stabil atau meningkat
- Sampling program
secara reguler untuk LFA
(Length Frequency
Analysis) untuk unit
perikanan yang dikaji
untuk spesies dominan
yang secara total memiliki
volume lebih dari 50%
hasil tangkapan
- data poor fisheries:
interview kepada
responden yang
berpengalaman dalam
perikanan terkait selama
minimal 10 tahun, untuk
spesies dominan yang
secara total memiliki
volume lebih dari 50%
hasil tangkapan
- Sampling program
secara reguler
- data poor fisheries:
interview kepada
responden yang
berpengalaman dalam
1 = trend ukuran rata-rata ikan yang
ditangkap semakin kecil;
2 = trend ukuran relatif tetap;
3 = trend ukuran semakin besar
1 = banyak sekali (> 60%)
2 = banyak (30 - 60%)
3 = sedikit (<30%)
34
perikanan terkait selama
minimal 10 tahun
4. Komposisi
spesies hasil
tangkapan
5. "Range
Collapse"
sumberdaya
ikan
Spesies target yang dimanfaatkan,
spesies non target yang
dimanfaatkan dan tidak
dimanfaatkan
lokasi penangkapan ikan yang
semakin jauh
- Logbook, observasi
- data poor fisheries:
interview kepada
responden yang
berpengalaman dalam
perikanan terkait selama
minimal 10 tahun
1 = proporsi target lebih sedikit (< 15%
dari total volume)
2 = proporsi target sama dgn non-target
(16-30% dari total volume)
- Survey dan monitoring,
logbook, observasi
- data poor fisheries:
interview kepada
responden yang
berpengalaman dalam
perikanan terkait selama
minimal 10 tahun
1 = semakin sulit, tergantung spesies
target
3 = proporsi target lebih banyak (> 31 %
dari total volume)
2 = relatif tetap, tergantung spesies target
3 = semakin mudah, tergantung spesies
target
1 = fishing ground menjadi sangat jauh,
tergantung spesies target
2= fishing ground jauh, tergantung spesies
target
3= fishing ground relatif tetap jaraknya,
tergantung spesies target
ukuran ikan yang
belum dewasa
dan yang sudah
dewasa. Data
tentang hal ini
tidak tersedia
pada saat
pengambilan data
di lapangan.
Berdasarkan hasil
wawancara,
responden
menyatakan
proporsi target
lebih banyak dari
total volume ikan
yang tertangkap.
Perlu dilakukan uji
petik untuk
membuktikan
pernyataan
tersebut
Seluruh
responden
menyatakan
jumlah dan ukuran
serta jenis ikan
yang tertangkap
semakin sulit dan
bergantung pada
jenis ikan tujuan
penangkapan
Seluruh
responden
menyatakan jarak
tangkap antara
lokasi
permukiman dan
fishing ground
lebih jauh, namun
masih dapat
terjangkau dan
3
4
3
1
5
1
2
2
35
6. Spesies ETP
Populasi spesies ETP
(Endangered species, Threatened
species, and Protected species)
sesuai dengan kriteria CITES
- Survey dan monitoring,
logbook, observasi dalam
satu tahun terakhir
- data poor fisheries:
interview kepada
responden yang
berpengalaman dalam
perikanan terkait selama
minimal 10 tahun
1= terdapat individu ETP yang tertangkap
tetapi tidak dilepas;
2 = tertangkap tetapi dilepas
3 = tidak ada individu ETP yang
tertangkap
bergantung pada
jenis ikan tujuan
penangkapan
Respnden
menyatakan
pernah ada penyu
yang tertangkap
pada saat operasi
penangkapan,
dan penyu
tersebut dilepas
karena tidak ada
kebiasaan untuk
mengkonsumsi
penyu
3
6
3
36
2. Domain Habitat dan Ekosistem
INDIKATOR
DEFINISI/ PENJELASAN
MONITORING/ PENGUMPULAN
KRITERIA
DATA ISIAN
SKOR
RANKING
NILAI
1.
Kualitas
perairan
Limbah yang teridentifikasi secara
klinis, audio dan atau visual
(Contoh :B3-bahan berbahaya &
beracun), menggunakan
parameter dari KepMen LH
51/2004 ttg Baku Mutu Air Laut
Lampiran 3
Data sekunder, sampling, monitoring,
1= tercemar;
0
1
0
>> Sampling dan monitoring : 4 kali
dalam satu tahun (mewakili musim dan
peralihan)
2=tercemar
sedang;
Kualitas perairan dilihat dari
Tingkat Kekeruhan dan Padatan
Tersuspensi Total
Survey, monitoring dan data sekunder,
CITRA SATELIT
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk
kepentingan pengambilan
keputusan maka dianggap
bernilai paling rendah.
Dengan demikian apabila
dilakukan evaluasi perlu
memperhatikan catatan
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada
rekomendasi dalam laporan
performa
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk kepentingan
pengambilan keputusan maka
dianggap bernilai paling
rendah. Dengan demikian
apabila dilakukan evaluasi
perlu memperhatikan catatan
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada rekomendasi
dalam laporan performa
2
0
3= tidak tercemar
>> monitoring : dengan coastal bouy/
water quality checker (continous), Citra
satelit (data deret waktu) dan sedimen
trap (setahun sekali) => pengukuran
turbidity di Lab
Eutrofikasi menggunakan
parameter klorofil a
>> Survey : 4 kali dalam satu tahun
(mewakili musim dan peralihan)
>> monitoring : dengan coastal bouy/
water quality checker (continous), Citra
satelite (data deret waktu)
1= > Melebihi baku
mutu sesuai
KepMen LH
51/2004;
2= Sama dengan
baku mutu sesuai
KepMen LH
51/2004;
3= Dibawah baku
mutu sesuai
KepMen LH
51/2004
1= konsentrasi
klorofil a < 2 µg/l;
2= konsentrasi
klorofil a 2-5 µg/l;
3= konsentrasi
klorofil a > 5 µg/l
2.
Status
ekosistem
lamun
Tutupan dan keanekaragaman
spesies lamun
Survey dan data sekunder, monitoring,
CITRA SATELIT.
1=tutupan rendah,
30%;
2=tutupan sedang,
30 - < 60%;
3=tutupan tinggi,
60%
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk kepentingan
pengambilan keputusan maka
dianggap bernilai paling
rendah. Dengan demikian
apabila dilakukan evaluasi
perlu memperhatikan catatan
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada rekomendasi
dalam laporan performa
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk kepentingan
pengambilan keputusan maka
dianggap bernilai paling
rendah. Dengan demikian
apabila dilakukan evaluasi
0
0
0
37
>> Sampling dan monitoring : Seagrass
watch (www.seagrasswatch.org) dan
seagrass net (www.seagrassnet.org)
3.
Status
ekosistem
mangrove
Status mangrove dievaluasi
berdasarkan persentase tutupan
dan kerapatan
Survey dan data sekunder, CITRA
SATELIT, foto udara
>> Citra satelite dengan resolusi tinggi
(minimum 8 m) - minimal satu tahun
sekali dengan diikuti oleh survey
lapangan
>> Survey : Plot sampling
1=keanekaragaman
rendah (H' < 3,2
atau H' < 1), jumlah
spesies < 3
2 = kanekaragaman
sedang
(3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3), jumlah
spesies 3 - 5
3=
keanekaragaman
tinggi (H’>9,97 atau
H’>3), jumlah
spesies > 5
1=tutupan rendah,
< 50%;
2=tutupan sedang,
50 - < 75%;
3=tutupan tinggi,
75 %
1=kerapatan
rendah (<1000
pohon/ha);
2 = kerapatan
sedang (1000-1500
pohon/ha);
3 = kerapatan tinggi
(> 1500 pohon/ha)
4.
Status
ekosistem
terumbu
karang
> Persentase tutupan karang
keras hidup (live hard coral cover)
dan keanekaragaman karang
hidup yang didasarkan atas live
form
Survey dan data sekunder, CITRA
SATELIT, foto udara
>> Survey : Transek (2 kali dalam
setahun)
>> Citra satelite dengan hiper spektral minimal tiga tahun sekali dengan diikuti
oleh survey lapangan
1=tutupan rendah,
<25%;
2=tutupan sedang,
25 - < 50%;
3=tutupan tinggi,
50%
perlu memperhatikan catatan
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada rekomendasi
dalam laporan performa
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk kepentingan
pengambilan keputusan maka
dianggap bernilai paling
rendah. Dengan demikian
apabila dilakukan evaluasi
perlu memperhatikan catatan
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada rekomendasi
dalam laporan performa
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk kepentingan
pengambilan keputusan maka
dianggap bernilai paling
rendah. Dengan demikian
apabila dilakukan evaluasi
perlu memperhatikan catatan
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada rekomendasi
dalam laporan performa
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk kepentingan
pengambilan keputusan maka
dianggap bernilai paling
rendah. Dengan demikian
apabila dilakukan evaluasi
perlu memperhatikan catatan
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada rekomendasi
dalam laporan performa
Mosaik et al., 2011 (Kondisi
Terumbu Karang di Taman
Nasional Perairan Laut Sawu)
0
0
2
0
2
1
0
1
38
5.
Habitat
unik/khusus
Luasan, waktu, siklus, distribusi,
dan kesuburan perairan, spawning
ground, nursery ground, feeding
ground, upwelling, nesting beach
GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi
Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap),
ekspedisi oseanografi
6. Perubahan
iklim terhadap
kondisi
perairan dan
habitat
Untuk mengetahui dampak
perubahan iklim terhadap kondisi
perairan dan habitat
Survey dan data sekunder, CITRA
SATELIT, data deret waktu, monitoring
1=keanekaragaman
rendah (H' < 3,2
atau H' < 1);
2 = kanekaragaman
sedang
(3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3=
keanekaragaman
tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)
1=tidak diketahui
adanya habitat
unik/khusus;
2=diketahui adanya
habitat unik/khusus
tapi tidak dikelola
dengan baik;
3 = diketahui
adanya habitat
unik/khusus dan
dikelola dengan
baik
> State of
knowledge level :
1= belum adanya
kajian tentang
dampak perubahan
iklim;
2= diketahui
adanya dampak
perubahan iklim
tapi tidak diikuti
dengan strategi
adaptasi dan
mitigasi;
3 = diketahui
adanya dampak
perubahan iklim
dan diikuti dengan
strategi adaptasi
dan mitigasi
> state of impact
(key indicator
menggunakan
terumbu karang):
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk kepentingan
pengambilan keputusan maka
dianggap bernilai paling
rendah. Dengan demikian
apabila dilakukan evaluasi
perlu memperhatikan catatan
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada rekomendasi
dalam laporan performa
0
Berdasarkan hasil wawancara
dengan staf Dinas Kelautan,
Perikanan dan Peternakan,
Kab. Manggarai Barat (Mabar)
belum memiliki data tentang
habitat khusus dan
sebarannya di seluruh
perairan Kab. Mabar
1
5
1
6
1
1
Berdasarkan hasil wawancara
dengan staf Dinas Kelautan,
Perikanan dan Peternakan,
Kab. Manggarai Barat (Mabar)
belum pernah dilakukan
kajian tentang dampak
perubahan iklim
0
39
1= habitat terkena
dampak perubahan
iklim (e.g coral
bleaching >25%);
2= habitat terkena
dampak perubahan
iklim (e.g coral
bleaching 5-25%);
3= habitat terkena
dampak perubahan
iklim (e.g coral
bleaching <5%)
4. Domain Teknologi Penangkapan Ikan
INDIKATOR
1. Penangkapan ikan
yang bersifat destruktif
2. Modifikasi alat
penangkapan ikan dan
alat bantu penangkapan
3. Kapasitas Perikanan
dan Upaya
Penangkapan (Fishing
Capacity and Effort)
DEFINISI/ PENJELASAN
MONITORING/
PENGUMPULAN
KRITERIA
Penangkapan ikan bersifat
destruktif yang dilihat dari
penggunaan alat dan metode
penangkapan yang merusak dan
atau tidak sesuai peraturan yang
berlaku.
- Laporan hasil
pengawas perikanan,
survey
- data poor fisheries:
laporan dari kepolisian,
interview dari
nelayan/POKMASWAS
1=frekuensi pelanggaran >
10 kasus per tahun ;
2 = frekuensi pelanggaran
5-10 kasus per tahun ;
Penggunaan alat tangkap dan alat
bantu yang menimbulkan dampak
negatif terhadap SDI
Observer, Sampling
ukuran ikan target/ikan
dominan, ukuran Lm
bisa diperiksa di
www.fishbase.org
1 = lebih dari 50% ukuran
target spesies < Lm ;
- survey, logbook
- data poor fisheries:
interview kepada
responden yang
berpengalaman dalam
perikanan terkait selama
minimal 10 tahun
1 = Rasio kapasitas
penangkapan < 1;
2 = Rasio kapasitas
penangkapan = 1;
3 = Rasio kapasitas
penangkapan > 1
Besarnya kapasitas penangkapan
dibagi aktivitas penangkapan
3 = frekuensi pelanggaran
<5 kasus per tahun
2 = 25-50% ukuran target
spesies < Lm
3 = <25% ukuran target
spesies < Lm
DATA ISIAN
SKOR
RANKING
NILAI
Hasil wawancara dengan staf
Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan bagian
pengawasan, bahwa ada dan
frekuensinya lebih dari 10
kasus per tahun yang
penyelesaiannya dilakukan di
pengadilan.
1
1
1
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk kepentingan
pengambilan keputusan maka
dianggap bernilai paling
rendah. Dengan demikian
apabila dilakukan evaluasi
perlu memperhatikan catatan
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada rekomendasi
dalam laporan performa
DATA TIDAK TERSEDIA
sehingga untuk kepentingan
pengambilan keputusan maka
dianggap bernilai paling
rendah. Dengan demikian
apabila dilakukan evaluasi
perlu memperhatikan catatan
0
2
0
0
3
0
40
4. Selektivitas
penangkapan
Aktivitas penangkapan yang
dikaitkan dengan luasan, waktu
dan keragaman hasil tangkapan
Statistik Perikanan
Tangkap, logbook,
survey
1 = rendah (> 75%) ;
2 = sedang (50-75%) ;
3 = tinggi (kurang dari
50%) penggunaan alat
tangkap yang tidak
selektif)
5. Kesesuaian fungsi
dan ukuran kapal
penangkapan ikan
dengan dokumen legal
Sesuai atau tidaknya fungsi dan
ukuran kapal dengan dokumen
legal
Survey/monitoring
fungsi, ukuran dan
jumlah kapal.
Dibutuhkan
pengetahuan cara
mengukur dan informasi
rasio dimensi dan berat
GT kapal yang ada di
lapangan
1 = kesesuaiannya rendah
(lebih dari 50% sampel
tidak sesuai dengan
dokumen legal);
2 = kesesuaiannya sedang
(30-50% sampel tidak
sesuai dengan dokumen
legal);
3 = kesesuaiannya tinggi
(kurang dari 30%) sampel
tidak sesuai dengan
dokumen legal
6. Sertifikasi awak kapal
perikanan sesuai
dengan peraturan.
Kualifikasi kecakapan awak kapal
perikanan (kualitatif panel
komunitas)
Sampling kepemilikan
sertifikat, yang ada di
unit perikanan yang
dikaji
1 = Kepemilikan sertifikat
<50%;
2 = Kepemilikan sertifikat
50-75%;
3 = Kepemilikan sertifikat
>75%
pada lembaran ini, yang
dijelaskan pada rekomendasi
dalam laporan performa
Hasil wawancara dengan staf
Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan, menyatakan
bahwa penangkapan tidak
selektif dalam arti bahwa
semua ikan dan ukuran ikan
semuanya tertangkap dan
secara keseluruhan
dipasarkan di pasar ikan.
Hasil uji petik di lapangan,
dokumen legal sesuai dengan
fungsi dan ukuran kapal,
namun terdapat nelayan yang
tidak memiliki dokumen,
khususnya nelayan yang
melakukan kegiatan
penangkapan di kawasan
Taman Nasional Komodo. Hal
ini memunculkan
kemungkinan adanya
ketidaksesuaian antara fungsi
dan ukuran kapal dengan
dokumen legal
Hasil wawancara dengan staf
Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan, semua
nelayan belum memiliki
sertifikasi awak kapal yang
juga ditandai dengan belum
diberlakukannya syarat
tersebut sebagai kelengkapan
perijinan. Dengan demikian
dapat diasumsikan bahwa
semua nelayan belum
tersertifikasi. Responden juga
menyadari kegunaan dari
sertifikasi awak kapal dan
peraturan yang mengharuskan
awak kapal tersertifikasi.
2
4
2
1
5
1
1
6
1
41
4. Domain Sosial
INDIKATOR
1. Partisipasi pemangku
kepentingan
2. Konflik perikanan
3. Pemanfaatan
pengetahuan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya
ikan (termasuk di
dalamnya TEK, traditional
ecological knowledge)
DEFINISI/
PENJELASAN
MONITORING/
PENGUMPULAN
Keterlibatan pemangku
kepentingan
Pencatatan partisipasi
dilaksanakan secara
kontinyu sesuai dengan
pentahapan pengelolaan
perikanan. Evaluasi dari
pencatatan ini dilakukan
setiap tahap dan siklus
pengelolaan. Persentase
keterlibatan diukur dari
jumlah tipe pemangku
kepentingan, bukan individu
pemangku kepentingan
Arahan pengumpulan data
konflik adalah setiap
semester (2 kali setahun)
atau sesuai musim (asumsi
level of competition berbeda
by musim)
Resources conflict, policy
conflict, fishing gear
conflict, konflik antar
sector.
Pemanfaatan
pengetahuan lokal yang
terkait dengan
pengelolaan perikanan
Recording pemanfaatan
TEK dilaksanakan secara
kontinyu sesuai dengan
pentahapan pengelolaan
perikanan. Evaluasi dari
record ini dilakukan setiap
siklus pengelolaan dan
dilakukan secara partisipatif
KRITERIA
DATA ISIAN
SKOR
RANKING
NILAI
1 = < 50%;
Masyarakat hanya terlibat pada saat
pembahasan program di tingkat
dusun dalam bentuk
musrenbangdus. Keterlibatan hanya
dalam memberikan masukan
terhadap berbagai kebutuhan yang
diperlukan oleh masyarakat, dan
pemilihan program sesuai anggaran
yang disediakan tidak melibatkan
masyarakat
1
1
1
Berdasarkan hasil wawancara,
masyarakat mengatakan ada konflik
terutama konnflik tentang daerah
penangkapan, konflik yang ada tidak
tercatat pada lembaga yang
berwewenang melakukan
pengawasan
Berdasarkan hasil wawancara,
masyarakat mengatakan tidak ada
bentuk kearifan lokal yang dijadikan
landasan pengelolaan perikanan
2
2
2
1
3
1
2 = 50-100%;
3 = 100 %
1 = lebih dari 5
kali/tahun;
2 = 2-5 kali/tahun;
3 = kurang dari 2
kali/tahun
1 = tidak ada;
2 = ada tapi tidak
efektif;
3 = ada dan efektif
digunakan
42
5. Domain Ekonomi
INDIKATOR
DEFINISI/ PENJELASAN
MONITORING/
PENGUMPULAN
KRITERIA
DATA ISIAN
SKOR
RANKING
NILAI
Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
responden
bahwa
penambahan
aset hanya
pada nelayan
jaring
sedangkan
nelayan
pancing dan
bagan
memiliki
penambahan
aset kurang
dari 50%
2
1
2
1
2
1
1
3
1
1. Kepemilikan Aset
Perubahan nilai/jumlah aset usaha
RTP cat : aset usaha perikanan
atau aset RT, yang didapatkan
dari usaha perikanan
Arahan frekuensi survey dan
pengumpulan data pendapatan
RTP rata-rata setahun dengan
mempertimbangkan musim
selama lima tahun (sumber data
: susenas BPS)
1 = nilai aset berkurang (lebih
dari 50%);
2 = nilai aset tetap (kurang
dari 50%);
3 = nilai aset bertambah (di
atas 50%)
2. Pendapatan rumah tangga
perikanan (RTP)
Rumah Tangga Perikanan adalah
rumah tangga nelayan, pengolah
ikan dan pedagang ikan yang
pendapatan utamanya dihasilkan
dari kegiatan perikanan
Survei pendapatan rumah
tangga perikanan dengan
pendekatan sampling yang
sesuai dengan kaidah ilmiah
yang berlaku, dimana
pendapatan yang diukur dan
dibandingkan dengan UMR
adalah pendapatan individu
yang berasal dari kegiatan
perikanan pada unit perikanan
yang dikaji
Arahan frekuensi survey dan
pengumpulan data pendapatan
RTP adalah menurut musim
tangkapan ikan (data primer).
Informasi bunga kredit dapat
diperoleh di BI pada saat survey
1= kurang dari rata-rata UMR,
3. Rasio Tabungan (Saving
ratio)
menjelaskan tentang rasio
tabungan terhadap pendapatan
bersih
2= sama dengan rata-rata
UMR,
3 = > rata-rata UMR
1 = kurang dari bunga kredit
pinjaman;
2 = sama dengan bunga kredit
pinjaman;
3 = lebih dari bunga kredit
pinjaman
43
6. Domain Kelembagaan
INDIKATOR
1. Kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip
perikanan yang
bertanggung jawab
dalam pengelolaan
perikanan yang telah
ditetapkan baik secara
formal maupun nonformal
DEFINISI/
PENJELASAN
MONITORING/
PENGUMPULAN
Tingkat kepatuhan
(compliance) seluruh
pemangku
kepentingan WPP
terhadap aturan main
baikformal maupun
tidak formal
Monitoring ketaatan:
1. Laporan/catatan terhadap
pelanggaran formal dari
pengawas,
2. Wawancara/kuisioner (key
person) terhadap pelanggaran non
formal termasuk ketaaatan
terhadap peraturan sendiri
maupun peraturan diatasnya
3. Perlu tambahan informasi
mengenai kualitas kasus dengan
contohnya
KRITERIA
1= lebih dari 5 kali terjadi
pelanggaran hukum dalam
pengelolaan perikanan;
2 = 2-4 kali terjadi
pelanggaran hukum;
Sejauh mana
kelengkapan regulasi
dalam pengelolaan
perikanan tersedia,
untuk mengatur
praktek pemanfaatan
sumberdaya ikan
sesuai dengan
domain EAFM, yaitu;
regulasi terkait
keberlanjutan
sumberdaya ikan,
habitat dan
ekosistem, teknik
penangkapan ikan,
sosial, ekonomi dan
kelembagaan
1) Benchmark sesuai dengan
Peraturan nasional, pemda
seharusnya juga membuat
peraturan turunannya
2) membandingkan situasi
sekarang dengan yang
sebelumnya
3) replikasi kearifan lokal
Ada atau tidak
penegakan aturan
Survey dilakukan melalui
wawancara/ kuisioner:
SKOR
RANKING
NILAI
Berdasarkan hasil
wawancara dengan staf
Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan terjadi lebih
dari 5 kali pelanggaran
dalam setahun
1
1
1
Berdasarkan hasil
wawancara dengan
masyarakat, terdapat
pelanggaran lebih dari 5 kali
dalam setahun namun tidak
tercatat.
1
UU, PP, dan Perda,
Petunjuk teknis secara detail
belum tersedia
2
2
2
UU, PP, dan Perda,
Petunjuk teknis secara detail
belum tersedia
2
Aturan main telah tersedia
dan cukup jelas dengan
3
3 = kurang dari 2 kali
pelanggaran hukum
Non formal
1= lebih dari 5 informasi
pelanggaran,
2= lebih dari 3 informasi
pelanggaran,
3= tidak ada informasi
pelanggaran
2. Kelengkapan aturan
main dalam
pengelolaan perikanan
DATA ISIAN
1 = tidak ada regulasi hingga
tersedianya regulasi
pengelolaan perikanan yang
mencakup dua domain;
2 = tersedianya regulasi yang
mencakup pengaturan
perikanan untuk 3 - 5 domain;
3 = tersedia regulasi lengkap
untuk mendukung
pengelolaan perikanan dari 6
domain
Elaborasi untuk poin 2
1= ada tapi jumlahnya
berkurang;
2= ada tapi jumlahnya tetap;
3= ada dan jumlahnya
bertambah
1=tidak ada penegakan aturan
main;
44
main dan
efektivitasnya
1) ketersediaan alat pengawasan,
orang
2) bentuk dan intensitas
penindakan (teguran, hukuman)
2=ada penegakan aturan
main namun tidak efektif;
3=ada penegakan aturan
main dan efektif
1= tidak ada alat dan orang;
2=ada alat dan orang tapi
tidak ada tindakan;
3= ada alat dan orang serta
ada tindakan
1= tidak ada teguran maupun
hukuman;
2= ada teguran atau
hukuman;
3=ada teguran dan hukuman
3. Mekanisme
pengambilan keputusan
4. Rencana
pengelolaan perikanan
Ada atau tidaknya
mekanisme
pengambilan
keputusan (SOP)
dalam pengelolaan
perikanan
Ada atau tidaknya
RPP untuk wilayah
pengelolaan
perikanan dimaksud
Survey dilakukan dengan : analisis
dokumen antar lembaga dan
analisis stakeholder melalui
wawancara/kuisioner
Survey dilakukan dengan
wawancara/kuisioner:
1. Adakah atau tidak RPP disuatu
daerah
1=tidak ada mekanisme
pengambilan keputusan;
2=ada mekanisme tapi tidak
berjalan efektif;
3=ada mekanisme dan
berjalan efektif
1= ada keputusan tapi tidak
dijalankan;
2= ada keputusan tidak
sepenuhnya dijalankan;
3= ada keputusan dijalankan
sepenuhnya
1=belum ada RPP;
2=ada RPP namun belum
sepenuhnya dijalankan;
adanya Perda No. 28 Tahun
2005 tentang Penngkapan
dan Alat Bantu
Penangkapan, namun pada
fungsi pengawasan dan
evaluasi belum dilakukan
mengingat keterbatasan
sarana dan prasarana
pemantauan dan
pengawasan. Alasannya
adalah dana dan personel
Keterbatasan sarana dan
prasaranan serta orang yang
melakukan fungsi
penegakan aturan main
merupakan salah satu
kendala untuk penegakan
aturan main
Berdasarkan hasil
wawancara dengan staf
Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan, ketika ada
tindakan maka dilakukan
teguran dan pembinaan.
Untuk kasus pelanggaran
berat seperti penangkapan
dengan bom, langsung
ditindak melalui pengadilan
Berdasarkan hasil
wawancara dengan staf
Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan bahwa
belum ada mekanisme
pengambilan keputusan
(SOP) dalam pengelolaan
perikanan
Berdasarkan hasil
wawancara dengan staf
Dinas Kelautan dan
Perikanan, bahwa ada
keputusan namun sebagian
tidak dijalankan sepenuhnya
Berdasarkan hasil
wawancara dengan staf
Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan. Belum
1
3
1
3
2
4
1
2
1
45
5. Tingkat sinergisitas
kebijakan dan
kelembagaan
pengelolaan perikanan
6. Kapasitas pemangku
kepentingan
2. Dilaksanakan atau tidak RPP
yang telah dibuat
3=ada RPP dan telah
dijalankan sepenuhnya
Semakin tinggi
tingkat sinergi antar
lembaga (span of
control-nya rendah)
maka tingkat
efektivitas
pengelolaan
perikanan akan
semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis
dokumen antar lembaga dan
analisis stakeholder melalui
wawancara/kuisioner
1=konflik antar lembaga
(kebijakan antar lembaga
berbeda kepentingan);
2 = komunikasi antar lembaga
tidak efektif;
3 = sinergi antar lembaga
berjalan baik
Semakin tinggi
tingkat sinergi antar
kebijakan maka
tingkat efektivitas
pengelolaan
perikanan akan
semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis
dokumen antar lembaga dan
analisis stakeholder melalui
wawancara/kuisioner
1= terdapat kebijakan yang
saling bertentangan;
2 = kebijakan tidak saling
mendukung;
3 = kebijakan saling
mendukung
Seberapa besar
frekuensi
peningkatan
kapasitas pemangku
kepentingan dalam
pengelolaan
perikanan berbasis
ekosistem
Survey dilakukan dengan
wawancara/kuisioner terhadap:
1=tidak ada peningkatan;
1) Ada atau tidak, berapa kali
2 = ada tapi tidak difungsikan
(keahlian yang didapat tidak
sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)
3 = ada dan difungsikan
(keahlian yang didapat sesuai
dengan fungsi pekerjaannya)
2) Materi
tersedianya RPP berkaitan
dengan dana dan orang
yang mampu menyusun
RPP tersebut
Lembaga yang dimaksud
adalah BTNK, dan
komunikasi tidak efektif.
Sebagai contoh bahwa
nelayan yang melakukan
kegiatan penangkpan di
dalam kawasan tidak perlu
dilengkapi dengan surat ijin
penangkapan. Alasan aturan
tersebut lebih jelas mereka
menyatakan tidak tahu.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan staf
Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan Kab. Mabar
bahwa penangkapan di
dalam kawasan Taman
Nasional Komodo diatur oleh
Balai Taman Nasional
Komodo sehingga para
nelayan tidak memiliki ijin
penangkapan dari dinas.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan staf
Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan, kegiatan
pelatihan tidak pernah
mereka ikuti dengan salah
satu alasan adalah tidak
tersedia dana, terlebih untuk
pengetahuan pengelolaan
perikanan berbasis
ekosistem
1
5
2
6
1
2
1
46
Download