STUDI PENGARUH VARIASI PEMBERIAN KADAR EGCG (Epigallocatechin gallate) TEH HIJAU DALAM MENGONTROL LEVEL GLUKOSA PLASMA DARAH POST-PRANDIAL PADA SUBJEK DEWASA MUDA SEHAT YOGHATAMA CINDYA ZANZER DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRACT Green tea is widely consumed both in Asian and Western countries. Many beneficial effects of green tea are related to its catechin, particularly (-)epigallocatechin-3-gallate (EGCG) content. The present study was aimed at providing evidence of improvement on glucose metabolism in healthy humans upon green tea beverage consumption in various levels of EGCG (0, 100, and 200 mg EGCG). This study showed that introducing of 100 and 200 mg EGCG reduced increased blood glucose level on healthy humans (p<0,05). Repeated ANOVA showed that treatments given were significantly affect blood glucose response for each minutes of observation (p=0.002). The ANOVA showed that treatments given were significantly affect AUC (area under curve) value (p=0.006) and glucose score (p=0.006). There were significant difference of AUC value (p=0.02) and glucose score (p=0.002) between 0 mg EGCG (control) and 100 mg EGCG group. Likewise, there were significant difference of AUC value (p=0.002) and glucose score (p=0.018) between 0 mg EGCG (control) and 200 mg EGCG group. Although AUC value and glucose score of 200 mg EGCG group were lower than 100 mg EGCG group, but there were no significant difference in between (p=0.287 and p=0.33, respectively). The clinical value on lowering blood glucose showed that subjects in 100 and 200 mg EGCG groups had relative risk value 0.4-0.7 and 0.3-0.7 compared to the control group respectively. When EGCG consumed by body, then the number of hyperglycaemia incidence could be reduced by 40-60% and 30-70% from the previous incidence respectively, while difference between numbers of hyperglycaemia incidence were 40-60% and 30-70% between subjects who received 100 and 200 mg EGCG compared to the control group respectively. Keywords : blood glucose, green tea, EGCG RINGKASAN YOGHATAMA CINDYA ZANZER. Studi Pengaruh Variasi Pemberian Kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) Teh Hijau dalam Mengontrol Level Glukosa Plasma Darah Post-Prandial pada Subjek Dewasa Muda Sehat. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan EVY DAMAYANTHI. Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari pengaruh pemberian variasi kadar EGCG (epigallocatechin gallate) teh hijau dalam mengontrol level glukosa darah post-prandial pada subjek dewasa muda sehat. Tujuan khusus penelitian ini yaitu: (1) Menentukan dan menganalisis kadar EGCG pada minuman teh uji; (2) Mempelajari dan menganalisis perbedaan respon glukosa darah post-prandial dari minuman teh uji yang diberikan dengan kadar EGCG sebesar 100 dan 200 mg; (3) Menghitung dan menganalisis glucose score serta respon kurva AUC (area under curve) pada berbagai jenis perlakuan konsentrasi EGCG yang berbeda; (4) Menghitung dan menganalisis nilai kepentingan klinis pada perlakuan kadar 100 dan 200 mg EGCG. Penelitian yang berlangsung pada bulan November 2010 - Februari 2011 ini merupakan uji klinis tingkat satu (Phase 1 Clinical Trials) yang dilakukan dalam dua tahapan yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap clinical. Penelitian pendahuluan dilaksanakan di Laboratorium Analisis Teh dan Kina, Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, Indonesia, sedangkan penelitian tahap clinical dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Gizi, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Penelitian ini telah direview oleh tim Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Indonesia dengan dikeluarkannya Ethical Clearance No. LB.03.04/KE/8749/2010 pada tanggal 31 Desember 2010. Tahap penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui kandungan EGCG pada minuman teh hijau serta formulasi minuman teh 100 dan 200 mg EGCG. Sub tahap pertama adalah analisis kadar EGCG yang terdiri dari: a. Penetapan metode cara pembuatan minuman teh hijau awal atau minuman teh hijau biang (Komes et al. 2010, Venditti et al. 2010); b. Proses ekstraksi (liquid/liquid extraction) untuk mengekstrak EGCG yang terdapat dalam minuman teh (PPTK 2006); c. Injeksi larutan ekstrak ke HPLC (PPTK 2006). Sub tahap kedua adalah penetapan formulasi kadar EGCG minuman teh yang akan digunakan untuk intervensi. Setelah mendapatkan kadar EGCG minuman teh hijau biang, maka dapat dilakukan perhitungan stochiometry untuk mengetahui volume yang dibutuhkan dari minuman minuman teh hijau biang untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar EGCG sebesar 100 mg dan 200 mg. Tahap penelitian clinical bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervensi variasi kadar EGCG pada respon glukosa darah post-prandial. Sub tahap pertama yaitu menentukan jumlah subjek yang akan dilibatkan dalam penelitian. Subjek yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu sebanyak sepuluh orang yang akan memperoleh intervensi sebanyak tiga kali (0, 100, dan 200 mg EGCG) dengan periode wash-out minimal dua hari untuk setiap perlakuan. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan nomogram ukuran sampel dan power dalam membandingkan dua atau lebih kelompok perlakuan pada clinical trials (Day & Graham 1989). Screening subjek dilakukan berdasarkan kriteria inklusi yang dijabarkan pada metode penelitian. Sub tahap kedua adalah intervensi minuman teh hijau sesuai perlakuan yaitu dilakukan setelah subjek menjalani puasa selama 10 jam sebelumnya. Pada perlakuan kontrol, subjek diberikan intervensi 75 g glukosa murni (anhydrous D-glucose) yang dilarutkan pada 200 ml air mineral. Pada taraf perlakuan 100 mg EGCG, subjek diberikan intervensi 200 ml minuman teh hijau yang mengandung 100 mg EGCG, setelah selang 10 menit kemudian diberikan intervensi 75 g glukosa murni yang dilarutkan pada 200 ml air mineral. Begitu juga pada taraf perlakuan 200 mg EGCG, subjek diberikan intervensi 200 ml minuman teh hijau yang mengandung 200 mg EGCG, setelah selang 10 menit kemudian diberikan intervensi 75 g glukosa murni yang dilarutkan pada 200 ml air mineral. Sub tahap ketiga adalah pengukuran kadar glukosa plasma darah untuk mengetahui kadar glukosa darah subjek ketika diberikan perlakuan. Prosedur pengukuran glukosa plasma darah yang digunakan yaitu prosedur pengukuran OGTT (Oral Glucose Tolerance Test) yang dirujuk dari standar WHO (Reinauer et al. 2002). Sub tahap keempat adalah pengeplotan data serta perhitungan luas AUC, nilai glucose score, dan nilai kepentingan klinis. Data kadar glukosa darah yang didapatkan dari setiap individu kemudian diplotkan kedalam grafik dengan menit pengukuran pada sumbu-x dan kadar glukosa darah pada sumbu-y. Perhitungan kurva AUC dilakukan dengan menggunakan aturan trapezoid rules (Shiang 2004; Wolever 2006), sedangkan nilai glucose score dihitung dengan membandingkan antara luas AUC dari kelompok perlakuan dengan luas AUC kelompok kontrol (Louie et al. 2008). Nilai kepentingan klinis dihitung dengan metode yang merujuk pada Dahlan (2010). Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata kandungan EGCG dari 5 gr teh hijau yang diseduh dalam 200 ml air mineral (minuman teh hijau biang) yaitu 316,30+13,42 mg EGCG. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa volume yang dibutuhkan untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar 200 mg adalah 126,5 ml yang diambil dari minuman teh hijau biang, sedangkan untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar 100 mg adalah 63,29 ml yang diambil dari minuman teh hijau biang. Karakteristik subjek penelitian yang diamati pada penelitian ini meliputi variabel jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, indeks masa tubuh (IMT), tekanan darah sistole, tekanan darah diastole, dan denyut nadi. Rata-rata usia subjek laki-laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini berturutturut adalah 22+0,63 dan 21+0,32 tahun, sedangkan rata-rata usia secara keseluruhan adalah 21,50+0,40 tahun. Rata-rata berat badan subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini berturut-turut adalah 56,62+1,68 dan 50,40+2,65 kg, sedangkan rata-rata berat badan secara keseluruhan adalah 53,30+1,77 kg. Rata-rata tinggi badan subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini berturut-turut adalah 170,00+2,22 dan 154,38+3,36 cm, sedangkan rata-rata tinggi badan secara keseluruhan adalah 162,19+1,22 cm. Hasil perhitungan IMT menunjukkan bahwa rata-rata IMT subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini berturut-turut adalah 19,46+0,62 dan 21,08+0,43 kg/m2, sedangkan rata-rata IMT keseluruhan adalah 20,27+0,45 kg/m2. Hasil pengukuran tekanan darah sistole pada subjek laki-laki dan perempuan berturut-turut menunjukkan angka rata-rata 116,20+4,38 dan 101,00+4,40 mmHg, sedangkan tekanan diastole berturut-turut menunjukkan angka rata-rata 72,20+2,43 dan 65,00+2,84 mmHg. Rata-rata keseluruhan tekanan darah sistole dan diastole adalah 108,60+3,87 dan 68,60+2,13 mmHg. Rata-rata denyut nadi subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini berturut-turut adalah 80,80+6,15 dan 76,20+2,97 kali per menit, sedangkan rata-rata denyut nadi keseluruhan adalah 78,50+3,31 kali per menit. Karakteristik subjek penelitian yang dijabarkan di atas menunjukkan bahwa subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini termasuk dalam kategori normal sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan. Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui normalitas distribusi data yang didapatkan dari hasil penelitian. Uji normalitas yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Saphiro-Wilk. Hasil analisis untuk seluruh perlakuan intervensi menunjukkan bahwa nilai p>0,05 sehingga dapat dikatakan keseluruhan data memiliki karakteristik normal. Grafik Q-Q Plot juga menunjukkan bahwa sebaran data memiliki karakteristik normal dikarenakan tersebar dan mendekati pada garis normalitas untuk masing-masing karakteristik data tersebut. Hasil pengamatan kadar glukosa darah kelompok kontrol untuk setiap menit pengamatan ke-0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 84.4+2.82, 165.2+5.83, 156.6+6.89, 135.2+5.33, 120.6+4.94, 101.4+6.42 mg/dl. Hasil uji independent-t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki-laki dengan subjek perempuan untuk setiap menit pengamatan ke-0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah p=0.847, p=0.685, p=0.371, p=0.444, p=0.796, p=0.166. Hasil uji repeated ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata pada respon glukosa darah untuk setiap menit pengamatan ke-0, 30, 60, 90, 120, 150 (p=0,002). Hasil uji lanjut Sidak-Holm menunjukkan bahwa kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0, menit 120, dan menit 150. Hasil pengamatan kadar glukosa darah kelompok 100 mg EGCG untuk setiap menit pengamatan ke-0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 86.8+1.65, 157.6+6.82, 155.2+6.25, 124.2+4.66, 111.1+5.06, 85.6+5.56 mg/dl. Hasil uji independent-t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki-laki dengan subjek perempuan untuk setiap menit pengamatan ke-0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah p=0.501, p=0.589, p=0.515, p=0.848, p=0.177, p=0.244. Hasil uji repeated ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata pada respon glukosa darah untuk setiap menit pengamatan ke0,30,60,90,120,150 (p=0,002). Hasil uji lanjut Sidak-Holm menunjukkan bahwa kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 dan menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Hasil pengamatan kadar glukosa darah kelompok 200 mg EGCG untuk setiap menit pengamatan ke-0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 84.1+2.48, 157.4+6.53, 147.1+4.38, 121.9+3.82, 109.2+4.65, 82.2+5.34 mg/dl. Hasil uji independent-t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki-laki dengan subjek perempuan untuk setiap menit pengamatan ke-0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah p=0.797, p=0.674, p=0.335, p=0.756, p=0.095, p=0.239. Hasil uji repeated ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata pada respon glukosa darah untuk setiap menit pengamatan ke-0, 30, 60, 90, 120, 150 (p=0,002). Hasil uji lanjut Sidak-Holm menunjukkan bahwa kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 dan menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Hasil perhitungan luas AUC kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG berturut-turut adalah 335.25+8.48, 317.15+8.66, 309.37+5.87 mg.dl-1.h. Hasil uji repeated ANOVA menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan yang diberikan terhadap luas AUC (p=0,006). Hasil uji lanjut Sidak-Holm menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata (p=0,02) dapat ditemui pada perbandingan luas AUC kelompok kontrol dengan kelompok 100 mg EGCG. Begitu juga terdapat perbedaan yang nyata (p=0,002) perbandingan antara luas AUC kelompok kontrol dengan luas AUC kelompok 200 mg EGCG. Meskipun luas AUC kelompok 200 mg EGCG lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 100 mg EGCG, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara keduanya (p=0,287). Hasil perhitungan nilai glucose score kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG berturut-turut adalah 100+0.00, 94.64+1.74, 92.58+1.9. Hasil uji repeated ANOVA menunjukkan terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan yang diberikan terhadap nilai glucose score (p=0,006). Hasil uji lanjut Sidak-Holm menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,002) antara nilai glucose score kelompok kontrol dengan kelompok 100 mg EGCG. Begitu juga terdapat perbedaan yang nyata (p=0,018) perbandingan antara nilai glucose score kelompok kontrol dan kelompok 200 mg EGCG. Walaupun nilai glucose score kelompok 200 mg EGCG lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 100 mg EGCG, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara keduanya (p=0,33). Nilai kepentingan klinis yang diuji adalah RR (relative risk), RRR (relative risk reduction), dan ARR (absolute risk reduction). Kelompok intervensi 100 mg EGCG memiliki nilai RR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.6, 0.7, 0.4, 0.5, 0.4. Hal tersebut bermakna bahwa kemungkinan subjek pada pemberian 100 mg EGCG tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah adalah 0,4-0,7 kali dibandingkan dengan subjek kelompok kontrol (plasebo). Nilai RRR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.4, 0.3, 0.6, 0.5, 0.6. Nilai RRR antara 0,3-0,6 bermakna bahwa jika tubuh mengkonsumsi 100 mg EGCG, maka jumlah insiden hiperglikemia dapat diturunkan sebesar 30-60% dari insiden sebelumnya. Nilai ARR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.4, 0.3, 0.6, 0.5, 0.6. Hal tersebut bermakna bahwa jika EGCG diminum setiap harinya, maka selisih jumlah insiden hiperglikemia antara subjek yang mendapat perlakuan 100 mg EGCG dengan subjek kontrol adalah sebesar 3060%. Kelompok intervensi 200 mg EGCG memiliki nilai RR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.7, 0.5, 0.5, 0.5, 0.3. Hal tersebut bermakna bahwa kemungkinan subjek pada pemberian 100 mg EGCG tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah adalah 0,3-0,7 kali dibandingkan dengan subjek kelompok kontrol (plasebo). Nilai RRR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.3, 0.5, 0.5, 0.5, 0.7. Nilai RRR antara 0,3-0,7 bermakna bahwa jika tubuh mengkonsumsi 200 mg EGCG, maka jumlah insiden hiperglikemia dapat diturunkan sebesar 30-70% dari insiden sebelumnya. Nilai ARR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.3, 0.5, 0.5, 0.5, 0.7. Hal tersebut bermakna bahwa jika EGCG diminum setiap harinya, maka selisih jumlah insiden hiperglikemia antara subjek yang mendapat perlakuan 200 mg EGCG dengan subjek kontrol adalah sebesar 30-70%. Kata kunci : glukosa darah, teh hijau, EGCG STUDI PENGARUH VARIASI PEMBERIAN KADAR EGCG (Epigallocatechin gallate) TEH HIJAU DALAM MENGONTROL LEVEL GLUKOSA PLASMA DARAH POST-PRANDIAL PADA SUBJEK DEWASA MUDA SEHAT YOGHATAMA CINDYA ZANZER Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 Judul : Studi Pengaruh Variasi Pemberian Kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) Teh Hijau dalam Mengontrol Level Glukosa Plasma Darah Post-Prandial pada Subjek Dewasa Muda Sehat : Yoghatama Cindya Zanzer : I14051844 Nama NIM Disetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S. NIP. 19520413 198103 1 003 Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. NIP. 19621204 198903 2 002 Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. NIP. 19621218 198703 1 001 Tanggal lulus : PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Studi Pengaruh Variasi Pemberian Kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) Teh Hijau dalam Mengontrol Level Glukosa Plasma Darah Post-Prandial pada Subjek Dewasa Muda Sehat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2011 Yoghatama Cindya Zanzer NIM. I14051844 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang, 07 Maret 1986 dari Ayah AIPTU Djoko Santoso dan Ibu Tutik Agustini. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri 3 Malang pada tahun 2005. Pada tahun 2003-2004 penulis mendapat beasiswa dari American Field Service untuk mengikuti exchange program di GeschwisterScholl-Schule Konstanz, Landes Baden Württemberg, GERMANY. Penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di mayor Ilmu Gizi, Fakultas Ekologi Manusia, IPB melalui jalur USMI pada tahun 2005. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan bidang akademik dan non-akademik. Di bidang non-akademik, pada tahun 2007-2008 penulis pernah menjadi National Vice Director (Head of Exchange Program) pada International Association of Students in Agriculture and Related Sciences yang berkedudukan di Faculty of Bioscience Engineering, Katholieke Universiteit Leuven, BELGIUM. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan beasiswa dari German Ministry of Family, Woman, and Youth untuk melakukan International Voluntary Internship di Heinrich-Zschokke-Haus Centre for Anthroposophie and Gerontopsychiatry, Düsseldorf, Landes Nord-Rhein-Westfallen, GERMANY. Di bidang akademik, pada tahun 2009 penulis memperoleh beasiswa untuk mengikuti exchange program di Tokyo University of Agriculture, JAPAN untuk belajar di bidang Food, Agriculture and Environment. Pada tahun 2010 penulis mendapat beasiswa dari ICAS (International Centre for Advanced Health Studies) untuk belajar Design and Analysis of Clinical Trials dan Advanced Method of Epidemiology di Faculty of Medicine, Ulm University, GERMANY. Pada tahun yang sama penulis mendapat beasiswa dari Tokyo Medical and Dental University untuk mengikuti Advanced Course in Infection and Immunity di Tokyo Medical and Dental University, JAPAN. Pada tahun 2009, penulis mendapat penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi ke-2 di Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif dalam mempublikasikan karya ilmiah di forum ilmiah internasional. Beberapa karya ilmiah yang dipublikasikan antara lain: (1) Food Diversification Using A Sweet Potato (Ipomoea batatas.) Blended with Fermented Soy (Tempe) For Low-Cost Home Made Weaning Foods Facing Undernutrition and Vitamin A Deficiency in South-East Asia yang dipresentasikan pada The 1st International Agricultural Student Symposium diselenggarakan oleh University of Putra Malaysia, MALAYSIA 2009; (2) Econutrition: An Integrated Approach of Safe, Sustainable, and Environmentally Friendly Food Supply to Improve Economic and Health Status in Indonesia yang dipresentasikan pada The 9th International Student Summit on Food, Agriculture, and Environment diselenggarakan oleh Tokyo University of Agriculture, JAPAN 2009; (3) Potential Role of Vitamin A Rich-Weaning Foods Based on Orange-Fleshed Sweet Potatoes and Fermented Soy (Tempe) in Immune Function and Infection Facing Undernutrition Problems and Vitamin A Deficiency in South-East Asia yang dipresentasikan pada The 9th International Surugadai Symposium Infection and Immunity diselenggarakan oleh Tokyo Medical and Dental University, JAPAN 2010. PRAKATA Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Subhanahu wata’ala atas limpahan rahmat, hidayah, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada suri tauladan kita Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam beserta keluarganya dan para sahabatnya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih teriring doa kepada semua pihak yang dengan keikhlasan telah banyak membantu penulis selama proses pendidikan, perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini. 1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S. dan Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. atas segala ilmu, arahan, masukan, perbaikan, serta motivasi yang selama ini diberikan dan juga kesabaran dalam pembimbingan. 2. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.S. atas segala motivasi, inspirasi, pelajaran hidup, serta dukungan yang tiada hentinya. 3. Prof. Richard Peter dan Prof. TM Fliedner yang telah memberikan beasiswa studi klinis di Faculty of Medicine, Ulm University, GERMANY. 4. Prof. Shrikant Bangdiwala - University of North Carolina at Chapel Hill, USA sebagai mentor studi klinis di Ulm University, GERMANY. 5. Prof. Miyuki Azuma yang telah memberikan beasiswa Advanced Course in Infection and Immunity di Tokyo Medical and Dental University, JAPAN. 6. Prof. Akimi Fujimoto dan Prof. Hiroki Inaizumi yang telah memberikan beasiswa untuk belajar Food, Agriculture, and Environment di Tokyo University of Agriculture, JAPAN. 7. dr. Mira Dewi, S.Ked., M.Si. dan dr. Noval, S.Ked. atas saran, masukan, serta bantuannya pada saat studi klinis. 8. Dr. Ir. Rohayati, M.M. yang memberikan ijin penggunaan fasilitas analisis EGCG teh hijau di Pusat Penelitian Teh dan Kina – Gambung, INDONESIA. 9. Subjek atau responden studi klinis ini atas partisipasi aktif serta dedikasinya untuk perkembangan ilmu human nutrition science dan preventive medicine. 10. Kedua orang tua, papa (AIPTU Djoko Santoso) dan mama (Tutik Agustini) serta keluarga di Malang atas segala kasih sayang dan didikan yang tiada henti serta jerih payah, usaha, kesabaran, dan pengorbanan yang tak terbalaskan. 11. Ayupry Diptasari atas segala support, semangat, dan memories. 12. Para sahabat International Association of Students in Agricultural and Related Sciences di Indonesia dan Eropa. 13. Para sahabat di Departemen Gizi Masyarakat IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, semoga Allah membalas kebaikan mereka semua dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Juni 2011 Yoghatama Cindya Zanzer DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvii PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 Latar Belakang .................................................................................. 1 Tujuan ............................................................................................... 3 Hipotesis ........................................................................................... 4 Kegunaan .......................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5 Chronic Non-Communicable Diseases .............................................. 5 Metabolisme dan Regulasi Glukosa Darah ........................................ 6 Patofisiologi Diabetes Mellitus ........................................................... 14 Metode Analisis Glukosa Plasma Darah ............................................ 20 Nutraceuticals ................................................................................... 22 Teh .................................................................................................... 25 Flavonoid Polifenol pada Teh ............................................................ 29 Proses Optimal pada Penyeduhan Teh ............................................. 31 METODE PENELITIAN ........................................................................... 34 Waktu dan Lokasi .............................................................................. 34 Bahan dan Alat .................................................................................. 34 Metode .............................................................................................. 35 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 47 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 49 Analisis EGCG Minuman Teh Hijau dan Perhitungan Stokiometri ..... 49 Karakteristik Subjek ........................................................................... 52 Uji Normalitas Data ........................................................................... 57 Pola Kurva Glukosa Darah ................................................................ 61 Luas AUC (Area Under Curve) dan Glucose Score ........................... 74 Nilai Kepentingan Klinis ..................................................................... 78 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 81 Kesimpulan ....................................................................................... 81 Saran ................................................................................................ 82 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 84 LAMPIRAN ............................................................................................. 94 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kadar glukosa darah acuan untuk diagnosis tipe DM ....................... 20 2 Penggolongan nutraceuticals berdasarkan mekanisme aksinya ....... 23 3 Nilai kepentingan klinis perlakuan kontrol dan eksperimen ............... 45 4 Hasil pengujian kadar EGCG minuman teh hijau awal (biang) ......... 51 5 Sebaran subjek berdasarkan karakteristiknya .................................. 54 6 Kadar glukosa darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok kontrol .............................................................................. 62 Kadar glukosa darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG ......................................... 65 Kadar glukosa darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG ......................................... 67 Luas AUC kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG .... 75 10 Nilai glucose score kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG .............................................................................................. 77 11 Hasil perhitungan nilai kepentingan klinis dari kelompok intervensi .. 79 3 Perbandingan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2 ......................................... 17 4 Kelompok hewan coba dan pemberian perlakuan ............................ 30 5 Komposisi ransum standar tikus percobaan ..................................... 32 6 Kandungan EGCG, theaflavin, dan thearubigin teh hitam dan teh hijau (Camellia sinensis) dalam persen berat kering (b.k) ................ 37 Pengaruh pemberian ransum ad libitum pada tikus normal dan hiperglikemik terhadap jumlah glikogen............................................ 45 7 8 9 7 8 Pengaruh jenis minuman teh terhadap rata-rata konsumsi ransum, perubahan bobot tubuh, dan kadar glikogen hati pada pengamatan di hari ke-8 ....................................................................................... 0 9 Pengaruh jenis minuman terhadap rata-rata konsumsi ransum, perubahan bobot tubuh, dan kadar glikogen hati pada pengamatan di hari ke-16 ..................................................................................... 53 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Mekanisme sistem regulasi post-absorptive ..................................... 7 2 Transpor glukosa di epitel usus dikatalisa oleh SGLT1 yang terletak pada membran apikal, kemudian glukosa meninggalkan sel difasilitasi oleh transporter glukosa (GLUT2) yang terletak pada membran basolateral ....................................................................................... 9 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta pankreas yang diinduksi oleh glukosa serta efeknya pada jaringan peripheral ........................ 12 Patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan dan peningkatan sirkulasi asam lemak pada penderita DM tipe 2 ....................................... 17 Contoh glukometer dan glucose strip yang digunakan dalam pengukuran kadar glukosa plasma darah ................................................... 21 6 Tiga jenis utama teh (A. Teh hijau; B. Teh oloong; C. Teh hitam) ..... 28 7 Struktur dasar flavonoid ................................................................... 29 8 Struktur kimia jenis catechin teh serta jenis epimer turunannya ....... 30 9 Struktur kimia flavonols pada teh ...................................................... 31 10 Total kandungan flavonoid dan non-flavonoid dari berbagai tipe teh hijau yang diseduh pada menit ke 3 pada suhu 80oC ........................ 32 11 Total kandungan flavonoid dan non-flavonoid dari berbagai tipe teh hijau serbuk (Matcha), potongan daun (Gyokuro), dan kemasan kecil (Twinning of London) yang dipengaruhi oleh suhu penyeduhan pada 60oC, 80oC (penyeduhan ke-1, ke-2, dan ke-3), 100oC pada menit ke-3 .................................................................................................. 32 12 Total kandungan flavonoid dan non-flavonoid dari berbagai tipe teh hijau serbuk (Matcha), potongan daun (Gyokuro), dan kemasan kecil (Twinning of London) yang dipengaruhi oleh waktu penyeduhan pada menit ke-3, 5, 10, 15, dan 30 pada suhu 80oC .................................. 33 13 Cara pembuatan minuman teh hijau awal ........................................ 35 14 Prosedur analisis kadar EGCG di dalam minuman teh hijau awal .... 36 15 Nomogram ukuran sampel dan power .............................................. 41 16 Ilustrasi tahapan pengambilan sampel darah ................................... 43 17 Bagan alur tahapan penelitian pendahuluan dan klinis ..................... 46 18 Grafik Q-Q Plot kelompok kontrol ..................................................... 58 19 Grafik Q-Q Plot kelompok 100 mg EGCG ........................................ 59 20 Grafik Q-Q Plot kelompok 200 mg EGCG ........................................ 60 3 4 5 21 Kurva respon glukosa plasma darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok kontrol .................................................. 63 22 Kurva respon glukosa plasma darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG ............. 66 23 Kurva respon glukosa plasma darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG ............. 68 24 Kurva perbandingan respon glukosa plasma darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG ........................................................................... 69 25 Model absorpsi glukosa intestinal apikal GLUT2 pada kondisi sebelum makan (A) dan sesudah makan (B) ........................................... 71 26 Jalur pensinyalan translokasi GLUT4 ............................................... 74 27 Pengaruh intervensi minuman teh hijau dengan berbagai konsentrasi EGCG terhadap luas grafik AUC ...................................................... 76 28 Pengaruh intervensi minuman teh hijau dengan berbagai konsentrasi EGCG terhadap nilai glucose score ................................................. 78 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Ijin etik penelitian (Ethical Clearance) ............................................... 94 2 Contoh perhitungan luas kurva AUC ................................................ 95 3 Contoh perhitungan nilai glucose score ............................................ 96 4 Contoh perhitungan nilai kepentingan klinis ..................................... 97 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan pola makan yang tinggi lemak dan kalori serta diikuti dengan gaya hidup yang rendah aktivitas fisik merupakan penyebab timbulnya penyakit kronis (chronic non communicable diseases) seperti obesitas, diabetes mellitus, penyakit kardio vaskuler, hipertensi dan stroke, serta beberapa tipe kanker (Morewitz 2006; WHO Technical Report Series 2003; WHO Technical Report Series 2005). Angka prevalensi dari penyakit kronis tersebut menunjukkan peningkatan yang sangat mengkhawatirkan dengan prediksi peningkatan sebesar 57% hingga tahun 2020 (WHO Technical Report Series 2003). Hal tersebut tidak hanya terjadi di negara yang sudah maju, tetapi juga di negara yang sedang berkembang. Salah satu penyakit kronis yang menjadi perhatian kesehatan masyarakat di dunia adalah diabetes mellitus. WHO telah memprediksi angka prevalensi penyakit diabetes mellitus di negara berkembang akan meningkat sebesar dua setengah kali dari 84 juta di tahun 1995 menjadi 228 juta di tahun 2025 (Aboderin et al. 2001). WHO memperkirakan bahwa prevalensi terbesar dari penyakit diabetes mellitus tersebut akan didominasi oleh negara-negara di benua Asia dan Afrika (Amos et al. 1997). Melihat semakin meningkatnya prevalensi penyakit kronis, khususnya diabetes mellitus dan obesitas maka banyak sekali upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka prevalensi, contohnya obat-obatan yang dalam hal ini tercakup sebagai aspek kuratif. Lebih dari itu, dari sisi preventif dan manajemen awal maka penanganan dengan berbasiskan pengaturan diet dan sumber pangan menjadi salah satu alternatif utama (Eckel et al. 2005; Grundy et al. 2005). Salah satu contohnya pada Finnish Study yang menunjukkan bahwa kelompok intervensi yang menerima instruksi intensif mengenai penurunan berat badan, asupan diet, serta panduan untuk aktivitas fisik mengalami 58% penurunan insiden terkena diabetes mellitus dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah mengalami follow-up selama 3,2 tahun (Tuomilehto et al. 2001). Mengutip kata-kata bijak dari Hippokrates (460-360 SM), “let your food be your medicine and your only medicine be your food” maka tersirat makna bahwa pangan adalah sumber hidup yang sangat baik dan di setiap bahan pangan terkandung komponen yang dapat memberikan nilai positif pada kesehatan serta sistem metabolisme tubuh manusia. Salah satu contoh bahan pangan yang memiliki sifat fungsional bagi kesehatan tubuh adalah teh, yaitu produk minuman yang berasal dari tanaman Camelia sinensis (Sharangi 2009; Stote 2008; Thielecke & Boschmann 2009; Wang & Helliwell 2000). Berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan, kandungan polifenol terutama EGCG (epigallocatechin gallate) di dalam teh memiliki peran utama terhadap kesehatan (Sharangi 2009). Berkaitan dengan aspek kesehatan, pengontrolan kadar glukosa darah pada kondisi normal merupakan salah satu indikator utama dalam memonitor fungsi normal metabolisme tubuh untuk mencegah terjadinya komplikasi penyakit kronis seperti diabetes mellitus (Gropper et al. 2009). Selain itu, hasil studi DCCT (Diabetes Control and Complication Trials) dan UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) menunjukkan bahwa kontrol glikemik merupakan faktor yang esensial untuk memperbaiki hasil secara klinis pasien yang menderita diabetes mellitus (DCCT Research Group 1993; UKPDS Group 1998). Oleh karena itu, kajian mengenai manfaat teh terhadap sistem metabolisme manusia menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut, khususnya mengenai manfaat spesifik mengkonsumsi teh dalam mengontrol kadar glukosa plasma darah (Bryans et al. 2007; Tsuneki et al. 2004). Studi observasi epidemiologi di Jepang menunjukkan bahwa subjek yang mengkonsumsi lebih dari enam gelas teh hijau setiap harinya dapat menurunkan resiko diabetes mellitus (Iso et al. 2006). Studi lainnya secara cross-sectional pada 3.224 subjek menunjukkan hasil yang sejalan yaitu subjek yang mengkonsumsi teh hijau lebih banyak dibandingkan subjek lainnya akan memiliki konsentrasi glukosa darah puasa yang lebih terjaga (Yamaji et al. 2004). Mekanisme pengontrolan kadar glukosa darah yang diinduksi oleh teh secara molekuler sudah diteliti baik secara in vitro maupun in vivo pada hewan coba. Penurunan absorpsi karbohidrat melalui penghambatan beberapa enzim pencernaan menjadi hal yang menarik sebagai pencegahan diabetes mellitus. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian in vivo pada hewan coba menunjukkan bahwa catechin teh hijau dapat menurunkan aktivitas alfa-amilase dan sukrase di intestinal tikus percobaan (Matsumoto et al. 1993). Studi lainnya menunjukkan bahwa EGCG dapat menurunkan pengambilan glukosa di intestinal tikus percobaan melalui mekanisme penghambatan sodium-dependent glucose transporter (Kobayashi 2000). Studi manfaat teh pada subjek manusia telah dilakukan untuk mengetahui efek anti hiperglikemik. Hosoda et al. (2003) melakukan intervensi randomized cross-over study kepada duapuluh subjek yang menderita diabetes mellitus dengan memberikan intervensi teh oolong yang mengandung 386 mg EGCG dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan intervensi air mineral selama empat minggu dengan periode wash-out selama dua minggu. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa subjek yang telah diberikan perlakuan selama tigapuluh hari mengalami penurunan plasma glukosa dari 229 menjadi 162 µmol/l (p<0.001) dan penurunan fruktosamin dari 409,9 menjadi 323,3 µmol/l (p<0.01). Selain itu, studi yang dilakukan oleh Tsuneki et al. (2004) menunjukkan bahwa intervensi teh hijau single dose yang mengandung 84 mg EGCG kepada duapuluh dua subjek sehat dapat mengontrol peningkatan glukosa darah postprandial secara signifikan. Bertolak dari hal tersebut diatas, maka studi mengenai pengaruh konsentrasi EGCG dalam mengontrol metabolisme glukosa darah menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut sehingga diperoleh data komprehensif yang nantinya dapat dijadikan sebagai dasar studi lanjut salah satu alternatif pencegahan diabetes mellitus. Tujuan Tujuan Umum : Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh variasi pemberian kadar EGCG (epigallocatechin gallate) teh hijau dalam mengontrol level glukosa darah post-prandial pada subjek dewasa muda sehat. Tujuan khusus : 1. Menentukan dan menganalisis kadar EGCG pada minuman teh hijau. 2. Mempelajari dan menganalisis perbedaan respon glukosa darah postprandial dari kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat minuman teh hijau dengan konsentrasi EGCG yang berbeda. 3. Menghitung dan menganalisis luas AUC (area under curve) serta glucose score dari kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat minuman teh hijau dengan konsentrasi EGCG yang berbeda. 4. Menghitung dan menganalisis nilai kepentingan klinis dari kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat minuman teh hijau dengan konsentrasi EGCG yang berbeda. Hipotesis Terdapat penghambatan penyerapan glukosa pada subjek yang diberikan intervensi teh hijau dibandingkan dengan subjek yang tidak diberi intervensi (kontrol). Penghambatan penyerapan glukosa akan lebih besar pada konsentrasi polifenol EGCG teh hijau yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi polifenol EGCG teh hijau yang lebih rendah. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat mengenai efek positif teh hijau dalam mengontrol level glukosa plasma darah post-prandial pada subjek normal. Dengan demikian hasilnya dapat dijadikan referensi asupan diet dalam jangka pendek untuk mencegah hiperglikemia dan dalam jangka panjang untuk menurunkan resiko terhadap timbulnya penyakit kronis, khususnya DM tipe 2. TINJAUAN PUSTAKA Chronic Non-Communicable Diseases WHO Technical Report Series (2005) mendefinisikan chronic noncommunicable diseases sebagai suatu penyakit yang muncul akibat dari kebiasaan gaya hidup yang tidak sehat dan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan yang mendukung munculnya penyakit tersebut. Chronic noncommunicable diseases membutuhkan periode yang lama dan berakumulasi untuk bisa terlihat dampak secara nyata dari penyakit tersebut. Tidak seperti communicable diseases yang bisa ditularkan dari satu individu ke individu lainnya, chronic non-communicable diseases tidak dapat ditularkan dari satu individu ke individu lainnya. Pada tahun 2005, chronic non-communicable diseases merupakan penyebab 60% atau 35 juta kematian dari 58 juta total kematian di dunia. Saat ini, jumlah tersebut diproyeksikan akan meningkat sebesar 17% dalam kurun waktu sepuluh tahun mendatang di berbagai negara, baik pada negara berkembang maupun pada negara industri yang sudah maju. Beberapa penyakit utama yang tergolong dalam chronic non- communicable diseases adalah penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes mellitus. Penyakit jantung memiliki banyak jenis seperti contohnya penyakit jantung koroner atau sering disebut sebagai penyakit jantung iskemik yang diakibatkan oleh penyumbatan pembuluh darah atau yang sering disebut dengan aterosklerosis. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian secara global yaitu 30% dari total kematian di dunia. Stroke merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada suplai darah di otak. Stroke dan penyakit jantung merupakan bentuk utama dari penyakit kardiovaskuler. Riskesdas 2007 menyatakan bahwa prevalensi untuk penyakit jantung di Indonesia (subjek dewasa >18 tahun) menempati angka nasional 7,7% dengan prevalensi pada perempuan (8,1%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (6,2%), sedangkan penyakit stroke menempati angka prevalensi sebesar 8,3%. Hal tersebut berbeda dengan kondisi di Indonesia yang merupakan prevalensi tertinggi adalah penyakit sendi dan hipertensi dengan angka prevalensi masingmasing 30,3% dan 29,8% (DEPKES 2007). Kanker merupakan penyebab utama kedua setelah penyakit jantung koroner dengan 13% dari total kematian di dunia. Riset kesehatan dasar tahun 2007 yang dilakukan pada 33 propinsi melaporkan bahwa prevalensi nasional kanker sebesar 0,4% (DEPKES 2007). Kanker dideskripsikan sebagai penyakit yang diakibatkan oleh abnormalitas dari proliferasi sel sehingga sel tumbuh dan menyebar secara tidak terkendali. Selain kanker, beberapa istilah lain yang sering digunakan adalah tumor dan neoplasma. Beberapa contoh dari bermacam-macam tipe kanker adalah kanker servik, kanker kulit, dan kanker oral. Penyakit chronic non-communicable diseases yang menempati posisi ketiga penyebab kematian di dunia adalah penyakit paru-paru kronis dengan persentase sebesar 7% dari kematian di seluruh dunia (WHO Technical Report Series 2005). Penyakit paru-paru kronis yang menjadi fokus perhatian utama yaitu penyakit paru-paru kronis obstruktif dan asma. Prevalensi penyakit asma di Indonesia menempati angka sebesar 4 % (DEPKES 2007). Penyakit paru-paru kronis obstruktif disebabkan oleh keterbatasan sirkulasi udara pernapasan yang tidak reversibel secara penuh, sedangkan asma disebabkan oleh obstruksi reversibel dari sirkulasi udara pernapasan (WHO Technical Report Series 2005). Diabetes mellitus merupakan penyebab kematian sebesar 2% dari total kematian di dunia. Diabetes mellitus dikarakterisasi oleh peningkatan level glukosa darah yang disebabkan oleh kurangnya hormon insulin yang mengontrol level glukosa darah dan ketidakmampuan jaringan tubuh dalam merespon insulin atau yang disebut dengan kondisi resistensi insulin. Terdapat dua tipe penyakit diabetes mellitus yaitu diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe 1) dan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). DM tipe 2 merupakan jenis penyakit yang sering dijumpai dengan proporsi 90% dari total penyakit diabetes mellitus. DM tipe 2 merupakan manifestasi dari seseorang yang memiliki pola makan buruk secara berlebihan dengan berat badan yang berlebihan dan aktivitas fisik yang kurang. DM tipe 1 merupakan penyakit diabetes mellitus yang disebabkan oleh kurangnya insulin secara absolut sehingga merupakan penyakit genetik atau bawaan (WHO Technical Report Series 2005). Prevalensi untuk penyakit diabetes mellitus di Indonesia yang dilaporkan dalam Riskesdas 2007 menempati angka prevalensi nasional 1,1% dengan prevalensi yang sama pada perempuan dan laki-laki yaitu 1,1% (DEPKES 2007). Metabolisme dan Regulasi Glukosa Darah Karbohidrat memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber energi utama dalam sistem metabolisme tubuh manusia. Sebagai contoh kebutuhan utama energi beberapa jaringan tertentu seperti sel darah, otak, dan sistem syaraf sangat tergantung pada glukosa. Karbohidrat yang terdapat dalam alam dihasilkan melalui proses fotosintesis yang ada pada tumbuh-tumbuhan. Asupan karbohidrat yang dapat dicerna dimanifestasikaan dalam bentuk glukosa, galaktosa, dan fruktosa yang ditrasportasikan melalui sistem vena porta hepatika ke hati dimana bentuk galaktosa dan fruktosa siap dikonversi menjadi bentuk glukosa. Oleh karena itu pencernaan makromolekul menjadi unit yang bisa diserap oleh tubuh menempati posisi yang sangat penting serta merupakan sistem kombinasi dari pemecahan secara mekanis dan enzimatis (Murray et al. 2003). Tahapan mekanisme sistem regulasi post-absorptive secara umum dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Mekanisme sistem regulasi post-absorptive (Biesalski & Grimm 2005) Karbohidrat sederhana (disakarida) serta beberapa karbohidrat komplek (polisakarida yang berupa pati dan glikogen) mengalami pemecahan di dalam tubuh menjadi gula sederhana (glukosa, fruktosa, dan galaktosa) oleh enzim yang secara kolektif disebut glikosidase atau karbohidrase. Pencernaan polisakarida (amilosa dan amilopektin) dimulai dari mulut yaitu dengan dikeluarkannya α-amilase oleh kelenjar ludah sehingga menghidrolisis ikatan α1,4 glikosida pada amilosa dan amilopektin menghasilkan dekstrin. Dekstrin kemudian melewati lambung yang memiliki pH rendah sehingga aktivitas enzimatik α-amilase dihambat oleh asam lambung, tetapi bentuk dekstrin tidak mengalami perubahan dan perjalanan dilanjutkan menuju usus halus. Dalam perjalanannya dekstrin mengalami hidrolisis oleh α-amilase yang dikeluarkan oleh pankreas menjadi maltosa (untuk dekstrin yang berasal dari hidrolisis amilosa) serta maltosa dan limit dekstrin (untuk dekstrin yang berasal dari hidrolisis amilopektin) (Gropper et al. 2009). Pada vili usus halus, maltosa yang berasal dari amilosa dan amilopektin dihidrolisis oleh maltase membentuk glukosa sederhana sedangkan limit dekstrin yang berasal dari hidrolisis amilopektin dihidrolisis menjadi glukosa sederhana oleh α-dekstrinase. Sementara itu, pencernaan disakarida berbeda dengan polisakarida yaitu terjadi di usus halus bagian atas dengan aktivitas dari enzim disakaridase terkonsentrasi di bagian mikrovili dari sel mukosa usus halus. Beberapa enzim yang terdapat di permukaan sel yaitu laktase, sukrase, maltase, dan isomaltase. Laktase berperan dalam mengkatalisa pemecahan laktosa menjadi jumlah ekuimolar galaktosa dan glukosa, sementara itu sukrase menghidrolisis sukrosa untuk mendapatkan glukosa dan fruktosa. Lain halnya dengan maltase yang menghidrolisis maltosa untuk mendapatkan dua unit glukosa, isomaltase berperan menghidrolisis ikatan α-1,6 isomaltosa (ikatan pada disakarida dari pemecahan amilopektin yang tidak sempurna) untuk menghasilkan dua molekul glukosa. Glukosa dan galaktosa hasil pemecahan kemudian diabsorpsi mukosa sel melalui transport aktif yang difasilitasi oleh sodium-glucose transporter 1 (SGLT1), sedangkan fruktosa diabsorpsi dengan difasilitasi oleh GLUT5. Mutasi yang terjadi pada gen SGLT1 akan berpengaruh terhadap malbasorpsi glukosa dan galaktosa (Gropper et al. 2009). Glukosa memegang peranan utama dalam metabolisme dan homeostasis seluler tubuh. Oleh karena itu monitoring kosentrasi glukosa dalam darah merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui kenormalan fungsi metabolisme dan homeostasis seluler tubuh. Pengambilan glukosa secara seluler harus melewati membran plasma dari sel. Molekul glukosa yang memiliki kepolaran tinggi tidak dapat begitu saja melintasi membran seluler yang tersusun dari matrik non-polar lipid bilayer dengan difusi sederhana. Oleh karena itu, supaya glukosa dapat digunakan oleh sel maka harus melewati fasilitator transpor glukosa atau glucose carrier. Terdapat dua jenis fasilitator transpor glukosa atau glucose carrier yaitu SGLT yang tergantung pada Na+ (Na+ Dependent) dan GLUT yang tidak tergantung pada Na+ (Na+ Independent) (Zierler 1999). SGLT yang dikenal juga sebagai co-transporters atau symporters merupakan protein membran integral yang memediasi transpor glukosa dengan afinitas yang rendah serta galaktosa melewati membran plasma melalui mekanisme transport aktif (Wright 1994). Proses transpor ini merupakan kotransport molekul glukosa dengan ion natrium. Perpindahan ion natrium melintasi membran plasma ke dalam sel didorong oleh gradien konsentrasi dan potensial membran serta akan berpasangan dengan perpindahan molekul glukosa. Pada kondisi stabil, ion natrium yang ditransportasikan ke dalam sel melintasi membran sel apikal dipompa oleh pompa Na+/K+ ATPase melintasi membran basolateral. Glukosa yang terkonsentrasi di dalam sel kemudian akan berpindah melintasi membran basolateral dengan difasilitasi oleh fasilitator transpor glukosa GLUT (Scheepers et al. 2004). Mekanisme transpor glukosa secara molekuler dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Transpor glukosa di epitel usus dikatalisa oleh SGLT1 yang terletak pada membran apikal, kemudian glukosa meninggalkan sel difasilitasi oleh transporter glukosa (GLUT2) yang terletak di membran basolateral (Scheepers et al. 2004). Pada saat ini terdapat empat belas jenis fasilitator transpor glukosa GLUT yang teridentifikasi dengan terbagi menjadi tiga kelas utama yaitu : a. Fasilitator transpor glukosa kelas 1 (GLUT1, GLUT4, GLUT3, GLUT14, GLUT2); b. Fasilitator transpor glukosa kelas 2 (GLUT5, GLUT7, GLUT9, GLUT11); c. Fasilitator transpor glukosa kelas 3 (GLUT6, GLUT8, GLUT10, GLUT12, HMIT) (Scheepers et al. 2004). GLUT1 bertanggung jawab terhadap suplai dasar glukosa pada sel yang terekspresikan pada eritrosit, sel endotelial otak, dan plasenta. GLUT2 terekspresikan pada organ hati, sel beta pankreas, ginjal, dan usus halus. GLUT3 merupakan fasilitator transpor glukosa yang memiliki afinitas glukosa tinggi sehingga terekspresi pada organ otak yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada glukosa darah. GLUT4 merupakan satu-satunya fasilitator transpor glukosa yang konsentrasinya dipengaruhi oleh hormon, terutama hormon insulin sehingga ketika glukosa ekstraseluler meningkat maka insulin akan menstimulasi translokasi GLUT4 dari membran intraseluler menuju membran plasma (Gambar 3), sehingga dihasilkan peningkatan transpor glukosa hingga mencapai sepuluh sampai dua puluh kali lipat (Scheepers et al. 2004; Simpson & Cushman 1986; Sheperd & Kahn 1999; Bryant et al. 2002). GLUT4 terekspresikan pada organ dan jaringan otot rangka, hati, dan jaringan adiposa. Berikutnya adalah fasilitator transpor glukosa lainnya beserta organ dan jaringan tempat transporter tersebut ditemukan yaitu: GLUT5 (intestinal, testis, ginjal, dan otot); GLUT6 (limpa, periferal leukosit, dan otak); GLUT7 (intestinal, testis, prostat); GLUT8 (testis, otak (neural), blastosis, dan adiposit); GLUT9 (hati dan ginjal); GLUT10 (hati dan pankreas); GLUT11 (pankreas, ginjal, plasenta, jantung, dan otot); GLUT12 (jantung, prostat, dan kanker payudara); HMIT (otak); GLUT14 (testis) (Joost & Thorens 2001; Scheepers et al. 2004). Pemantauan secara konstan terhadap konsentrasi gula darah melalui mekanisme glukosensing spesifik sangat diperlukan untuk menjaga homeostasis glukosa dalam tubuh. Sistem deteksi pengontrolan glukosa yaitu melalui sel beta pankreas yang mengontrol sekresi insulin. Sensor dari sistem pengontrolan glukosa yaitu termasuk didalamnya fasilitator transpor glukosa (GLUT2), enzim glukokinase, dan channel ATP-sensitif K+ (KATP). Ketika konsentrasi ekstraseluler glukosa meningkat, maka glukosa akan masuk ke dalam sel beta pankreas melalui transporter glukosa GLUT2 dan difosforilasi oleh glukokinase. Metabolisme glikolitik dan oksidatif glukosa meningkatkan rasio ATP terhadap ADP sehingga menyebabkan ATP berikatan dengan kompleks KATP. Hal ini akan menyebabkan inaktivasi channel ATP-sensitif K+ (KATP) yang berujung pada depolarisasi membran, influk kalsium, dan sekresi insulin (Scheepers et al. 2004; Thorens 2003; Postic et al. 2001; Seino et al. 2000). Mempertahankan level glukosa pada darah merupakan salah satu pengaturan sistem homeostatik yang melibatkan organ hati, jaringan di luar organ hati, serta beberapa hormon. Dalam sistem regulasi glukosa darah, yang menjadi fokus adalah jalur proses metabolik yang memindahkan glukosa dari darah untuk sintesis glikogen dan pengeluaran energi serta jalur proses yang mengembalikan glukosa ke dalam darah seperti glikogenolisis dan glukoneogenesis (Gropper et al. 2009). Terdapat beberapa hormon yang terlibat dalam pengaturan glukosa darah, yaitu hormon insulin, glukagon, glukokortikoid, hormon pertumbuhan, epinefrin, dan kemungkinan hormon diabetogenik lainnya. Hormon insulin diproduksi oleh sel beta Pulau Langerhans di pankreas sebagai respon yang distimulasi oleh kondisi hiperglikemia. Sintesis dan sekresi insulin menstimulasi pengambilan Ca2+ ekstraseluler pada sel beta pankreas. Kation ini memicu mekanisme kontraktil pergerakan granula yang mengandung insulin menuju membran sel dimana granula dilepaskan ke ruang ekstraseluler melalui eksositosis (Greenstein & Wood 2006). Insulin mengontrol kondisi glukosa post-prandial melalui tiga mekanisme aksi kerja. Mekanisme pertama, insulin mengirimkan sinyal kepada sel jaringan perifer yang sensitif terhadap insulin, khususnya otot untuk meningkatkan pengambilan glukosa ke dalam jaringan. Mekanisme kedua, insulin akan bekerja di organ untuk melakukan proses glikogenesis (konversi glukosa menjadi simpanan glikogen). Mekanisme ketiga, insulin secara simultan akan menghambat sekresi glukagon dari sel alpha pankreas, sehingga akan memberikan sinyal kepada organ hati untuk memberhentikan proses produksi glukosa melalui jalur glikogenolisis (konversi glikogen menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (konversi asam amino dan laktat menjadi glukosa) (Aronoff et al. 2004). Aksi kerja insulin lainnya yaitu dengan menstimulasi sintesis lemak, menstimulasi penyimpanan trigliserida ke dalam adiposit, menstimulasi sintesis protein di organ hati dan otot, serta proliferasi pertumbuhan sel. Mekanisme sekresi insulin sangat terkontrol dan hanya akan dikeluarkan jika konsentrasi glukosa sistem sirkulasi melebihi 3,3 mmol/l. Sekresi insulin post-prandial terjadi melalui dua fase, fase pertama yaitu initial rapid release dari preformed insulin yang diikuti dengan peningkatan sintesis dan pengeluaran insulin sebagai respon dari glukosa darah. Fase kedua yaitu pengeluaran insulin secara long-term sebagai respon jika konsentrasi glukosa dalam sistem sirkulasi masih tetap tinggi (Aronoff et al. 2004). Mekanisme sekresi insulin oleh sel beta pankreas yang diinduksi oleh glukosa serta efeknya pada jaringan peripheral ditunjukkan oleh Gambar 3. Gambar 3 Mekanisme sekresi insulin oleh sel beta pankreas yang diinduksi oleh glukosa serta efeknya pada jaringan peripheral (Scheepers et al. 2004). Keterangan : GK (glucokinase) GSK3 (glycogen synthase kinase-3) G6P (glucose-6-phosphate) IRS (insulin receptor substrate) PI3-K (phosphoinositide-3-kinase) PKB/Akt (protein kinase-B) Kir6.2 (KATP channel) Glukagon merupakan hormon yang diproduksi oleh sel alfa pankreas sebagai hasil dari pembelahan preproglukagon. Kandungan glukagon pada pankreas orang dewasa sehat berkisar antara 3-5 µg/g. Sekresi hormon glukagon distimulasi secara cepat ketika konsentrasi glukosa darah turun dan akan dihambat ketika konsentrasi glukosa darah meningkat. Di organ hati, hormon tersebut menstimulasi glikogenolisis melalui pengaktifan fosforilase. Glukagon juga meningkatkan glukoneogenesis dari asam amino. Insulin dan glukagon adalah antagonis melalui interaksi resiprokal (timbal-balik) parakrin antara sel alpha pankreas dan sel beta pankreas, sehingga pengaruh yang berlawanan inilah yang menjaga keseimbangan metabolisme karbohidrat (Greenstein & Wood 2006). Epinefrin yang disebut sebagai hormon fight or flight merupakan hormon yang yang dikeluarkan oleh medula kelenjar adrenal yang terletak tepat di atas ginjal. Kondisi stress akan menyebabkan pelepasan epinefrin dengan segera sehingga mempersiapkan tubuh untuk aktivitas fisik dan mental yang luar biasa. Pada kondisi tersebut mobilisasi glukosa ditingkatkan melalui stimulasi pelepasan glukagon dan penghambatan pelepasan insulin. Tugas utama epinefrin adalah memobilisasi simpanan energi melalui proses lipolisis dan glikogenesis. Dengan demikian, epinefrin meningkatkan glukosa darah dan menghambat sintesis insulin oleh sel beta pankreas (Greenstein & Wood 2006; Silbernagl & Despopoulos 2009). Glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron) merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal (Silbernagl & Despopoulos 2009). Hormon tersebut memiliki fungsi vital dalam sistem metabolisme salah satunya pada sistem regulasi glukosa darah. Pada konsentrasi basal, hormon tersebut bersifat permisif dalam menstimulasi glukoneogenesis dan lipolisis pada kondisi postabsorptive. Peningkatan konsentrasi hormon glukokortikoid di dalam plasma akan menyebabkan manifestasi terhadap peningkatan katabolisme protein, peningkatan glukoneogenesis, penurunan pengambilan glukosa oleh sel otot dan adiposa, serta peningkatan pemecahan triasilgliserol (Vander et al. 2001). Hormon pertumbuhan merupakan salah satu hormon yang disintesis di kelenjar anterior pituitary yang terletak di hipotalamus. Hormon pertumbuhan memiliki fungsi utama dalam menstimulasi pertumbuhan dan anabolisme protein. Selain kedua fungsi tersebut, hormon pertumbuhan juga memiliki fungsi dalam metabolisme karbohidrat dan lipid walaupun pengaruhnya tidak sebesar fungsi utamanya dalam hal menstimulasi pertumbuhan. Hal ini dibuktikan bahwa kondisi defisiensi ataupun kelebihan dari hormon pertumbuhan tidak terlalu berpengaruh secara nyata dalam metabolisme karbohidrat dan lipid. Hormon pertumbuhan mempengaruhi metabolisme lipid dan karbohidrat melalui tiga mekanisme aksi kerja. Mekanisme pertama, hormon pertumbuhan akan menjadikan adiposit lebih responsif terhadap stimuli lipolisis. Mekanisme kedua, hormon pertumbuhan meningkatkan glukoneogenesis yang terjadi di organ hati. Mekanisme ketiga, hormon pertumbuhan akan menurunkan kemampuan insulin, sehingga akan mempengaruhi pengambilan glukosa di sel otot dan jaringan adiposa (Vander et al. 2001). Tubuh manusia memerlukan batas-batas tertentu untuk mempertahankan kadar glukosa darahnya. Dalam keadaan puasa, kadar glukosa darah normal berada pada kisaran nilai 70-110 mg/dl, sedangkan glukosa darah sewaktu berkisar antara 110-199 mg/dl. Penurunan kadar glukosa darah hingga level 5054 mg/dl akan menyebabkan gugup, pusing, lemas, dan lapar. Kadar glukosa darah yang naik diatas nilai kisaran normal disebut dengan hiperglikemia, sedangkan kondisi kadar glukosa darah yang turun dibawah kisaran normal atau yang memiliki nilai ambang dibawah 2,2 mmol/l (39,6 mg/dl) disebut hipoglikemia (Caballero 2005). Patofisiologi Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan penyakit yang ditandai oleh peningkatan level glukosa pada darah. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaknormalan produksi insulin pada pankreas ataupun ketidaksensitifan insulin yang diproduksi terhadap respon glukosa pada darah. Secara umum, diabetes mellitus terbagi menjadi diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, dan gestational diabetes mellitus. Diabetes Mellitus Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit multi faktorial autoimun yang dikarakterisasi oleh defisiensi insulin dikarenakan rusaknya sel beta pankreas yang dimediasi oleh T-lymphocites (T-cell) yang bereaksi secara spesifik terhadap salah satu atau beberapa protein sel beta (Mathis et al. 2001; Urcelary et al. 2005). Kemungkinan persentase terjadinya penyakit DM tipe 1 yaitu sekitar 10% dari total kejadian penyakit diabetes mellitus (Gillespie 2006). DM tipe 1 merupakan jenis penyakit diabetes mellitus yang berat karena penderita DM tipe 1 harus menerima injeksi insulin tiap waktu dalam sisa hidupnya (Radha et al. 2003). DM tipe 1 terbagi menjadi dua jenis yaitu DM tipe 1a dan DM tipe 1b. Mayoritas kasus yang terjadi pada DM tipe 1 adalah kerusakan sel beta pankreas yang disebabkan oleh autoimun yang termediasi (DM tipe 1a), sedangkan 10% hingga 20% kasus merupakan antibodi negatif yang disebut juga dengan idiopatik (DM tipe 1b) (Morwessel 1998). Pada DM tipe 1, penurunan sekresi insulin secara progressif akan terjadi selama 12 tahun sebelum munculnya tanda penyakit secara klinis (Al-Mutairi et al. 2007). Inflammasi yang terjadi pada islet pankreas (insulitis) melibatkan limfosit CD4+ dan CD8+, limfosit B, serta makrofag (Schatz & Winter 1995; Winter et al. 1993). Berdasarkan penelitian, terdapat dua mekanisme yang diajukan sebagai proses timbulnya penyakit DM tipe 1. Mekanisme pertama yaitu disebabkan oleh faktor lingkungan yang mendorong proses autoimun. Hal ini biasanya terjadi pada masa anak-anak sebelum menginjak usia 10 tahun. Mekanisme tersebut timbul setelah melewati periode prodromal yang dikarakterisasi oleh kerusakan sel beta pankreas secara bertahap (Morwessel 1998). Mekanisme kedua adalah reaksi superantigen yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas secara cepat pada selang waktu beberapa minggu atau bulan sebelum akhirnya timbul penyakit secara klinis (Trucco & Laporte 1995). Insiden timbulnya DM tipe 1 memiliki variasi musiman dengan tingkat tertinggi menyerang anak-anak pada musim gugur dan musim dingin. Hal tersebut diprediksi oleh infeksi virus yang mempercepat terjadinya DM tipe 1 (AlMutairi et al. 2007). Hingga saat ini terdapat empat belas jenis virus, termasuk picornaviruses, rotaviruses, herpesvirusis, mumps, rubella, dan retroviruses yang dilaporkan berhubungan dengan timbulnya penyakit DM tipe 1 pada manusia dan hewan percobaan. Virus tersebut terlibat dalam patogenesis penyakit DM tipe 1 melalui dua jalan yaitu menginduksi autoimunitas spesifik sel beta pankreas dengan atau tanpa menginfeksi sel beta pankreas (contohnya pada Kilham rat virus), sedangkan jalan kedua yaitu melalui infeksi sitolitik dan perusakan sel beta pankreas (contohnya encephalomyocarditis virus mice) (Hee-Sook & Ji-Won 2002). Faktor genetika memegang peranan yang penting sebagai faktor timbulnya DM tipe 1. Berdasarkan beberapa penelitian, pada saat ini terdapat 250 jenis gen yang diperkirakan memiliki hubungan dengan timbulnya penyakit DM tipe 1 (Al-Mutairi et al. 2007). Para peneliti tidak dapat menjustifikasi bahwa gen tertentu memiliki peran utama terhadap timbulnya DM tipe 1, hal ini dikarenakan oleh mekanisme yang belum jelas apakah timbulnya penyakit DM tipe 1 dimediasi oleh gen yang bekerja secara independen, terkoordinasi oleh gen resisten, ataukah mekanisme gabungan dari keduanya (Khardori & Pauza 2003). Oleh karena itu, kombinasi dari gen resisten dan faktor lingkungan dimungkinkan akan menginisisasi proses penyakit yang berhubungan dengan pembentukan respon autoimun terhadap sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Reaksi autoimun tersebut direfleksikan oleh adanya antibodi terhadap antigen utama pada sel beta pankreas (Radha et al. 2003). Diabetes Mellitus Tipe 2 (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus) Patofosiologi DM tipe 2 dikarakterisasi oleh resistansi insulin periferal, terganggunya regulasi glukosa darah, serta penurunan fungsi sel beta pankreas yang akan menyebabkan rusaknya sel beta pankreas (Mahler & Adler 1999). Kejadian-kejadian utama tersebut dipercaya sebagai defisit awal sekresi insulin, serta defisiensi relatif insulin dalam hubungannya dengan resistensi insulin periferal pada kebanyakan pasien (Reaven 1998). Insulin merupakan salah satu hormon kunci untuk pengaturan glukosa darah yang pada kondisi fisiologi normal akan menjaga keseimbangan antara kuantitas insulin yang disekresikan dengan kualitas atau kemampuan insulin dalam proses pengambilan glukosa dari sistem portal ke dalam sel dan jaringan. Hal penting dalam mekanisme molekular tersebut adalah bahwa sel beta pankreas dapat beradaptasi jika terjadi perubahan sensitivitas dari insulin yang disekresikan. Dalam hal ini dapat dicontohkan jika sensitivitas insulin menurun, maka secara otomatis sel beta pankreas akan mengkompensasi atau mengimbangi dengan mengekskresikan insulin yang lebih banyak sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk penyerapan glukosa oleh sel dan jaringan (Stumvoll et al. 2005). Pada awalnya hal tersebut akan menimbulkan kondisi hiperglikemia yang menyebabkan konsentrasi glukosa darah pada kondisi puasa dan dua jam setelah asupan glukosa akan sedikit meningkat. Jika kondisi tersebut berlangsung secara kronis, maka sel beta pankreas yang memproduksi insulin akan mengalami kelelahan sehingga akan menimbulkan kerusakan pada sel beta pankreas. Kondisi disfungsi seluler kronis irreversible dari sel beta pankreas yang disebabkan oleh pengaruh konsentrasi glukosa yang tinggi pada setiap waktu diistilahkan dengan glukotoksisitas (Robertson et al. 2003). Kondisi glukotoksisitas yang terjadi akan menyebabkan disfungsi pada sel beta pankreas sehingga mengakibatkan sensitivitas insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas menurun. Mekanisme menurunnya sensitivitas dari insulin yang diproduksi disebabkan oleh kondisi glukotoksisitas sehingga menyebabkan terganggunya jalur sintesis insulin serta penurunan ekspresi gen yang berperan dalam sintesis insulin. Lebih spesifik lagi, terjadinya gangguan ekspresi gen tersebut yaitu terdapat defek posttranscriptional pada maturasi mRNA pancreas duodenum homebox-1 (PDX-1). PDX-1 merupakan faktor transkripsi gen untuk promoter insulin, sehingga terjadinya gangguan pada mekanisme molekuler tersebut akan menyebabkan insensitivitas dari insulin yang diproduksi (Robertson et al. 2003). Oleh karena itu, sel beta pankreas merupakan komponen kritis dalam patofisiologi DM tipe 2. Konsep tersebut diatas telah diverifikasi melalui penelitian baik secara cross-sectional maupun longitudinal (Weyer et al. 1999). Gambar 4 menunjukkan patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan sirkulasi asam lemak pada DM tipe 2. Terlihat berbagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis DM tipe 2 yang mempengaruhi sekresi insulin dan aksi insulin. Penurunan sekresi insulin akan menurunkan pensinyalan insulin pada jaringan target yang menyebabkan peningkatan sirkulasi asam lemak dan hiperglikemia diabetes. Peningkatan asam lemak dan glukosa dalam sirkulasi darah kemudian akan menimbulkan umpan balik serta memperburuk sekresi insulin dan resistensi insulin. Gambar 4 Patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan sirkulasi asam lemak pada DM tipe 2 (Stumvoll et al. 2005) Gestational Diabetes Mellitus Gestational diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai tingkatan intoleransi glukosa yang terjadi atau terdeteksi pada saat awal kehamilan. GDM diperkirakan terjadi pada sekitar 7% kehamilan setiap tahunnya (ADA 2003). Setelah kehamilan (postpartum), toleransi glukosa akan kembali lagi ke kondisi normal pada mayoritas penderita GDM (Cheung & Helmink 2006). Meskipun demikian, penderita GDM memiliki resiko yang tinggi untuk terkena IGT (impaired glucose tolerance) yang bisa berkembang menjadi penyakit DM tipe 2 di kemudian hari (Cheung & Helmink 2006). Berdasarkan meta analisis terkini, wanita yang menderita GDM akan memiliki resiko enam kali lebih besar untuk menderita DM tipe 2 dibandingkan wanita yang memiliki toleransi glukosa normal pada saat kehamilannya (Cheung & Byth 2003). Prevalensi GDM sangat bervariasi tergantung pada kelompok etnis atau populasi tertentu (Cousins et al. 1991). Kehamilan merupakan kondisi yang dikarakterisasi oleh resistensi insulin berkelanjutan yang dimulai pada awal pertengahan kehamilan dan berlanjut hingga trimester ketiga (Perkins et al. 2007). Pada kehamilan yang termasuk usia lanjut, sensitifitas insulin akan turun hingga sekitar 50% (Di Cianni et al. 2003). Terdapat dua kontributor utama yang mempengaruhi resistensi insulin yaitu peningkatan adipositas dari wanita yang sedang hamil serta pengaruh dari hormon yang diproduksi oleh plasenta. Melihat penurunan insulin yang nyata setelah melahirkan (post-delivery), maka kontributor utama terhadap resistensi insulin adalah hormon yang diproduksi oleh plasenta (Perkins 2007). Plasenta memproduksi hormon HCS (human chorionic somatomammotropin, sebelumnya disebut human placental lactogen), kortisol bebas dan terikat, estrogen, serta progesteron. Hormon HCS menstimulasi sekresi insulin pankreas di fetus dan menghambat pengambilan glukosa periferal di tubuh ibu yang sedang mengandung (Lapolla et al. 2005). Seiring dengan berkembangnya kehamilan serta peningkatan ukuran plasenta, maka begitu juga diiringi dengan peningkatan hormon yang diproduksi oleh plasenta sehingga akan menyebabkan keadaan insulin yang lebih resisten (Perkins et al. 2007). Pada wanita hamil yang normal, respon sekresi insulin pada fase pertama (initial rapid release) dan fase kedua (long term release) akan mengkompensasi jika terjadi penurunan pada sensitivitas insulin. Sekresi insulin fase pertama merupakan initial rapid release dari preformed insulin yang diikuti dengan peningkatan sintesis serta pengeluaran insulin sebagai respon dari glukosa darah, sedangkan fase kedua yaitu pengeluaran insulin secara long-term sebagai respon jika konsentrasi glukosa dalam sistem sirkulasi masih tetap tinggi (Aronoff et al. 2004). Kedua fase tersebut berhubungan dengan hipertropi dan hiperplasia sel beta pankreas. Oleh karena itu, wanita yang memiliki defisit pada kapasitas sekresi insulin tambahan akan menderita GDM (Lapolla et al. 2005). Disfungsi sel beta pankreas pada wanita yang didiagnosa menderita GDM kemungkinan termasuk salah satu dalam tiga kategori yaitu autoimun, monogenic, atau terjadinya resistensi insulin (hal yang sering dijumpai pada saat kehamilan) (Buchanan & Xiang 2005). Kehilangan respon insulin fase pertama akan menyebabkan post-prandial hiperglikemia yang akan mengakibatkan penekanan produksi glukosa hepatik sehingga akan menyebabkan fasting hiperglikemia. Dikarenakan insulin tidak melintasi plasenta, maka fetus akan terkena kondisi hiperglikemia dari ibu. Pada saat kehamilan minggu ke-11 dan ke-12, pankreas dari fetus mampu untuk merespon kondisi hiperglikemia tersebut sehingga fetus akan menjadi hiperinsulinemik yang akan menyebabkan pertumbuhan pada fetus menjadi makrosomia (Scollan-Koliopoulos 2006). Perkins et al. (2007) menggolongkan kategori resiko serta karakteristik klinis GDM menjadi tiga golongan yaitu resiko tinggi, resiko rata-rata, dan resiko rendah. Pada kelompok resiko tinggi ditandai oleh karakteristik klinis yang berupa obesitas, memiliki sanak famili diabetes tingkat satu, glukosuria, sejarah menderita GDM atau IGT sebelumnya, memiliki bayi sebelumnya dengan makrosomia. Pada kelompok resiko rendah ditandai oleh usia kurang dari 25 tahun, termasuk dalam etnis resiko rendah (etnis selain Hispanic, African American, Native American, South Asian, East Asian, Pacific Islander atau suku asli Australian), tidak memiliki sejarah abnormalitas toleransi glukosa, memiliki berat badan normal dan peningkatan yang normal saat kehamilan, tidak memiliki sejarah hasil obstetrikal yang parah. Pada kelompok resiko rata-rata ditandai oleh ciri-ciri selain dari kedua kelompok di atas. Kadar glukosa darah yang dijadikan patokan dalam mendiagnosis tipe DM terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan rekomendasi ADA (2011), wanita yang memenuhi dua atau lebih indikator diagnosis kadar glukosa darah pada Tabel 1 berikut dipastikan terdiagnosa menderita GDM. Meskipun demikian, hasil studi juga menunjukkan jika wanita memenuhi salah satu indikator diagnosis untuk GDM diprediksi memiliki resiko tinggi dalam melahirkan bayi yang makrosomia (Perkins et al. 2007). Tabel 1 Kadar glukosa darah acuan untuk diagnosis tipe DM Konsentrasi glukosa DM tipe 1 atau DM tipe 2 GDM > 200 mg/dl > 126 mg/dl >92 mg/dl >180 mg/dl >153 mg/dl Waktu pengukuran Random Setelah puasa satu malam 1 jam setelah 75 gr glukosa OGTT 2 jam setelah 75 gr glukosa OGTT Keterangan : DM tipe 1 (Diabetes mellitus tipe 1) DM tipe 2 (Diabetes mellitus tipe 2) GDM (Gestational diabetes mellitus) OGTT (Oral glucose tolerance test) Sumber: ADA (2011) Metode Analisis Kadar Glukosa Plasma Darah Sebagian besar glukometer yang digunakan untuk mengukur glukosa plasma darah pada saat ini menggunakan proses elektrokimia atau elektoda enzim. Level glukosa plasma darah diukur berdasarkan potensial daya listrik yang dihasilkan oleh reaksi glucose-reagent. Glukometer tersebut terbagi menjadi dua tipe berdasarkan prinsip elektrokimia yang digunakan yaitu amperometri dan kolorimetri. Teknologi yang menggunakan biosensor amperometri membutuhkan sampel darah yang sedikit lebih banyak (4-10 µl). Lebih jauh lagi, perubahan pada suhu dan level hematokrit memungkinkan hasil yang kurang akurat jika menggunakan metode ini. Jenis glukometer yang menggunakan metode ini adalah Sidekick Testing System® dan Prestige IQ®. Teknologi yang menggunakan metode kolorimetri yaitu dengan mengkonversi kandungan glukosa sampel ke dalam bentuk potensial daya listrik yang selanjutnya potensial daya listrik ini akan diproses untuk pengukuran kadar glukosa pada sampel. Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan metode ini yaitu penggunaan jumlah sampel plasma darah yang sedikit (0,3 ml). Metode kolorimetri ini tidak terpengaruh oleh perubahan suhu dan level hematokrit. Glukometer yang menggunakan metode kolorimetri dapat menggunakan sampel darah baik di lengan, jari, maupun di paha. Beberapa glukometer yang menggunakan prinsip kolorimetri adalah Reli-On Ultima®, One Touch Ultra®, Freestyle®, dan Accu-Chek Advantage RD® (Lee 2009). Contoh dari glukometer dan glucose strip yang digunakan untuk analisis kadar glukosa darah ditunjukkan pada Gambar 5.. Gambar 5 Contoh glukometer dan glucose strip yang digunakan dalam pengukuran kadar glukosa plasma darah (Howell et al. 2008; Kuhn 1998) Prinsip dasar reaksi kimia pada glukometer dapat dijelaskan secara sederhana dengan analogi enzim dan mediator (Howell et al. 2008; Kuhn 1998). Reaksi yang terjadi dapat disederhanakan dengan tiga tahapan yaitu : 1. Dengan bantuan enzim gluko-dehidrogenase, glukosa akan dioksidasi menjadi asam glukonik, sedangkan enzim gluko-dehidrogenase akan direduksi oleh dua elektron dari glukosa tersebut. 2. Enzim yang tereduksi kemudian akan bereaksi dengan mediator (Mox) yang kemudian akan mentransfer elektron tunggal ke masing-masing kedua ion mediator. Enzim kemudian dikembalikan pada keadaan semula sedangkan dua Mox direduksi menjadi Mred. 3. Pada permukaan elektroda, Mred dioksidasi kembali menjadi Mox sedangkan arus yang timbul dan terukur kemudian digunakan untuk menentukan konsentrasi glukosa pada sampel. Pada reaksi tersebut, enzim gluko-dehidrogenase dipilih karena spesifisitasnya yang tinggi sehingga akan mempercepat oksidasi glukosa menjadi asam glukonat. Gluko-dehidrogenase juga sangat tahan dan tidak terpengaruh oleh adanya komponen asing pengganggu dalam sampel darah. Mediator yang digunakan dalam reaksi tersebut adalah natrium ferisianida. Pasangan redok ferisianida/ferosianida mampu secara cepat mentransfer elektron dengan elektroda. Hasil akhirnya adalah elektron kemudian akan ditransfer antara glukosa dan elektroda melalui enzim dan mediator. Setelah berselang waktu selama beberapa detik kemudian konsentrasi glukosa akan ditampilkan pada layar monitor glukometer (Howell et al. 2008; Kuhn 1998). Nutraceuticals Istilah nutraceutical merupakan hibrid atau gabungan antara ilmu gizi dan farmasi. Istilah tersebut pertamakali dikemukakan oleh DeFelice dan Foundation for Innovation in Medicine pada tahun 1989. Hal tersebut kemudian dinyatakan kembali dalam konferensi pers yang dirilis pada tahun 1994 bahwa nutraceutical merupakan segala substansi yang dapat digolongkan sebagai pangan atau bagian dari pangan yang memberikan nilai tambah secara medis dan kesehatan termasuk juga dalam hal pencegahan dan pengobatan. Produk pangan atau bagian dari pangan tersebut dapat berupa isolated nutrients, pangan yang termodifikasi secara genetis, produk herbal, serta dalam bentuk pangan yang sudah mengalami proses pengolahan seperti sereal, sup, dan produk minuman. Nutraceutical juga dapat didefinisikan sebagai zat kimia dalam bentuk komponen alam yang terdapat dalam bahan pangan atau bentuk yang ditambahkan dalam bahan pangan yang dapat dikonsumsi serta dapat memberikan manfaat kepada tubuh manusia dalam mencegah atau mengobati satu atau lebih jenis penyakit serta juga dapat memperbaiki dan meningkatkan fungsi fisiologis tubuh (Wildman & Kelley 2007). Konsep nutraceutical berkembang dengan pesat pada akhir dekade abad ke-20. Seiring dengan perkembangan tersebut, banyak sekali laboratorium penelitian besar yang melakukan investigasi terhadap komponen-komponen substansi aktif yang terdapat dari alam. Wildman dan Kelley (2007) mengklasifikasikan nutraceutical berdasarkan struktur kimianya menjadi tujuh golongan yaitu: (1) Turunan isoprenoid (terpenoid) terdiri dari karotenoid, saponin, tokotrienol, tokoferol, dan terpene sederhana; (2) Komponen fenol terdiri dari coumarins, tanin, lignin, antosianin, isoflavon, flavonones, dan flavonols; (3) Protein atau yang berbasiskan asam amino terdiri dari asam amino, allyl-S compounds, capsaicinoids, isothiocyanates, indoles, folat, dan kolin; (4) Karbohidrat dan turunannya terdiri dari asam askorbat, oligosakarida, dan polisakarida non-pati; (5) Asam lemak dan lipid yang terstruktur terdiri dari n-3 PUFA, CLA, MUFA, sphingolipids, dan lesitin; (6) Mineral terdiri dari Ca, Se, K, Cu, dan Zn; (7) Mikrobiologis terdiri dari probiotik dan prebiotik. Selain itu, nutraceutical dapat digolongkan berdasarkan mekanisme aksinya yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Penggolongan nutraceuticals berdasarkan mekanisme aksinya Anti kanker Capsaicin Genestein Daidzein α-Tocotrienol γ-Tocotrienol CLA L. acidophilus Sphingolipids Limonene Diallyl sulfide Ajoene α-Tocopherol Enterolactone Glycyrrhizin Equol Curcumin Ellagic acid Lutein Carnosol L. bulgaricus Pengaruh positif pada profil lipid darah β-Glucan γ-ocotrienol δ-ocotrienol MUFA Quercetin ω-3 PUFAs Resveratrol Tannins β-Sitosterol Saponins Guar Pectin Aktivitas antioksidan Anti inflammasi CLA Ascorbic acid β-Carotene Polyphenolics Tocopherols Tocotrienols I3C α-Tocopherol Ellagic acid Lycopene Lutein Glutathione Hydroxytyrosol Luteolin Oleuropein Catechins Gingerol CA Tannins Linolenic acid EPA DHA GLA Capsaicin Quercetin Curcumin Osteogenetik atau perlindungan terhadap tulang CLA Soy protein Genestein Daidzein Calcium CP FOS Inulin Keterangan : CA (chlorogenic acid) CLA (conjugated linoleic acid) CP (casein phosphopeptides) DHA (docosa hexenoic acid) EPA (eicosa pentaenoic acid) FOS (fructooligosaccharides) GLA (gamma linolenic acid) I3C (Indole-3-carbonol) MUFA (monounsaturated fatty acid) PUFA (polyunsaturated fatty acid) Sumber : Wildman & Kelley (2007) Dalam istilah ilmu gizi dan ilmu pangan, sering dijumpai juga istilah pangan fungsional. Pada saat ini belum ada definisi yang disepakati secara umum mengenai nutraceutical dan pangan fungsional, meskipun istilah tersebut sering digunakan dengan merujuk pada berbagai organisasi profesional yang berorientasi pada kesehatan. Berdasarkan International Food Information Council (IFIC), pangan fungsional merupakan pangan atau komponen pangan yang memberikan manfaat kesehatan diluar fungsi nilai gizi normalnya. Definisi lainnya dikemukakan oleh The International Life Sciences Institute of North America (ILSI) yang mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang melalui kandungan komponen aktifnya secara fisiologis dapat memberikan manfaat kesehatan di luar fungsi nilai gizi normalnya. Definisi yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Health Canada yang mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memiliki wujud penampakan sama dengan pangan konvensional dan dikonsumsi sebagai bagian dari asupan makanan yang memiliki nilai tambah manfaat secara fisiologis di luar fungsi nilai gizi normalnya sehingga dapat menurunkan resiko penyakit kronis (Wildman & Kelley 2007). Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat ditarik makna bahwa pangan fungsional merupakan bagian dari nutraceuticals. Konsep pangan fungsional pertama kali diperkenalkan di Jepang pada tahun 1984 dengan istilah FOSHU (Food for Special Dietary Uses). Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya populasi orang tua di Jepang yang berpotensi terhadap peningkatan chronic non-communicable diseases seperti diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi, osteoporosis, dan kanker. Berlatar belakang hal tersebut, maka Japanese Ministry of Education pada tahun 1984 mencanangkan proyek pengembangan dan penelitian yang memfokuskan pada sifat fungsional pada pangan. Proyek tersebut merupakan proyek penelitian mengenai pangan fungsional yang pertama kali di dunia dengan melibatkan peneliti antar disiplin ilmu seperti ilmu gizi, farmakologi, psikologi, dan kedokteran (Yamada et al. 2008). Pangan secara umum dapat dikatakan memiliki tiga sifat. Fungsi utama pangan yaitu sebagai keberlangsungan hidup asupan zat manusia. gizi Fungsi yang sangat kedua dari esensial untuk pangan dapat diidentifikasikan sebagai sensori atau pemuasan sensori seperti rasa yang enak, flavor, dan tekstur yang baik. Fungsi ketiga adalah secara fisiologis seperti regulasi bioritme, sistem saraf, sistem imun, dan pertahanan tubuh. Pangan fungsional dapat digolongkan ke dalam pangan yang termasuk pada fungsi ketiga (Yamada et al. 2008). The Insitute of Food Technologist USA (2005) medefinisikan pangan fungsional adalah pangan atau komponen pangan yang dapat memberikan nilai tambahan lainnya disamping fungsi dasar zat gizi pangan utama untuk populasi tertentu. Contoh dari pangan fungsional adalah dapat berupa pangan konvensional yang difortifikasi, diperkaya, disuplementasi, atau ditambahkan nilai manfaatnya. Substansi yang terdapat di dalamnya dapat berupa komponen bioaktif untuk memelihara fungsi normal tubuh dan pertumbuhan serta dapat memberikan efek postif pada kesehatan dan fisiologis yang dikehendaki. Goldberg (1993) menyatakan bahwa suatu pangan dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional jika memiliki tiga syarat utama yang harus dipenuhi yaitu: (1) Merupakan makanan atau minuman (bukan kapsul, tablet, atau serbuk) yang mengandung senyawa bioaktif tertentu yang berasal dari bahan alami; (2) Harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari; (3) Memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan biologis, mencegah dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan dini. Hingga akhir tahun 2007, Jepang sudah memberikan label FOSHU pada 755 produk pangan. Klaim kesehatan untuk produk FOSHU di Jepang diklasifikasikan menjadi delapan kelompok yang memberikan efek kesehatan untuk kondisi indeks glikemik, tekanan darah, kadar serum kolesterol, kadar glukosa darah, absorpsi mineral, darah yang bebas lemak, kesehatan gigi, serta kesehatan tulang (Yamada et al. 2008). Teh Teh merupakan salah satu minuman yang paling populer dikonsumsi dua pertiga populasi di dunia. Selain itu, teh juga merupakan jenis minuman yang memiliki sejarah tua yang panjang di dunia (Sinija et al. 2007). Teh berasal dari tanaman Camellia sinensis yang dapat tumbuh secara optimal di wilayah tropis dan sub-tropis. Tanaman Camellia sinensis merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara yang didominasi di daerah timur laut India, utara Myanmar, selatan Cina, dan Tibet (Mondal 2007). Berdasarkan studi budidaya teh di Cina, tanaman teh yang ditanam pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut akan menghasilkan kualitas teh yang baik, karena pada ketinggian ini tanaman teh akan tumbuh secara lambat sehingga akan dihasilkan kualitas flavor yang baik. Jenis dari teh dapat ditentukan berdasarkan proses pembuatnnya setelah daun teh dipetik dari pohonnya. Daun teh yang baru dipetik akan cepat mengalami reaksi oksidasi jika tidak dikeringkan secara cepat, sehingga daun teh secara progresif menjadi lebih gelap yang disebabkan oleh pemecahan klorofil dan dikeluarkannya komponen tanin. Proses oksidasi enzimatis atau yang sering disebut dengan fermentasi tersebut tidak disebabkan oleh mikroorganisme dan juga bukan merupakan proses anaerobik. Wan et al. (2009) mengungkapkan bahwa jenis teh dapat diklasifikasikan berdasarkan proses pembuatan serta karakteristik kualitasnya menjadi enam jenis yaitu: 1) Teh putih (dilayukan dan tidak teroksidasi); 2) Teh kuning (tidak dilayukan dan tidak teroksidasi tetapi dibiarkan hingga berwarna kuning); 3) Teh hijau (tidak dilayukan dan tidak teroksidasi); 4) Teh oolong (dilayukan, dimemarkan dan teroksidasi parsial); 5) Teh hitam (dilayukan, terkadang agak sedikit diremukkan dan teroksidasi secara penuh); 6) Teh pasca fermentasi (teh hijau yang dibiarkan untuk terfermentasi). Dari berbagai jenis teh diatas, secara umum pada prinsipnya dapat digolongkan menjadi tiga jenis utama yang paling populer dan sering dikonsumsi yaitu teh hitam (terfermentasi sempurna), teh oolong (semi terfermentasi), dan teh hijau (tidak terfermentasi) (Cheng & Chen 1994). Dalam proses pembuatan teh hijau, daun teh segar yang sudah dipetik harus segera diproses dengan perlakuan uap dan panas. Metode yang dapat digunakan yaitu metode firing (perlakuan dengan panas) dan steaming (pelayuan dengan uap panas). Hal tersebut bertujuan untuk menghindari proses oksidasi enzimatis dari catechins yang terjadi secara alami. Setelah melalui proses tersebut daun teh akan menjadi lebih lentur dan lembek sehingga mudah tergulung. Daun teh yang sudah tergulung kemudian dilonggarkan oleh roll breaker / ball breaker serta disertai dengan proses pendinginan. Setelah itu daun teh dikeringkan dengan menggunakan charcoal-fired baking baskets / electrical heaters / coal heaters / liquid petroleum gas heaters / natural gas heaters hingga kadar air produk akhirnya kurang dari 6% (Wan et al. 2009). Hasil dari proses tersebut dapat ditemukan di pasaran dengan nama roasted green tea dan steamed green tea. Salah satu contoh dari produk tersebut adalah Sencha yang dikonsumsi secara luas di Jepang (Wang et al. 2000). Proses pembuatan teh hijau di atas sedikit berbeda dengan yang diterapkan oleh PPTK (Pusat Penelitian Teh dan Kina) Gambung. PPTK Gambung menerapkan proses pembuatan teh hijau untuk menghasilkan kandungan catechins yang optimal dengan menggunakan proses steaming yang terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) Pelayuan selama kurang lebih lima menit pada suhu 80-100oC dengan menggunakan Rotary Panner; (2) Penggulungan selama kurang lebih 15-17 menit dengan menggunakan mesin Open Top Roller 26 tipe single action; dan (3) Pengeringan dua tahap dengan suhu masuk 130-135oC dan suhu keluar 50-55oC selama 25 menit (PPTK 2006). Untuk menghasilkan teh hijau dengan kualitas yang baik, maka yang harus digunakan sebagai bahan bakunya adalah kuncup utama dan dua helai daun teh muda di bawah kuncup. Di Jepang dan China, untuk menghasilkan teh hijau dengan kualitas yang tinggi bahkan hanya digunakan kuncup utama dan satu helai daun teh muda di bawah kuncup sebagai bahan bakunya (Wan et al. 2009). Berbeda dengan proses pembuatan teh hijau, teh hitam diproses secara penuh dengan melibatkan aktivitas enzim untuk membentuk pigmen (theaflavin dan thearubigin) dan karakteristik khas dari teh hitam. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan teh hitam yaitu kuncup utama dan dua helai daun teh muda di bawah kuncup. Setelah proses pemetikan, daun teh diletakkan pada tray dan diangin-anginkan di bawah sinar matahari atau kipas angin dengan suhu hangat yang terkontrol sehingga daun teh akan menjadi lebih lentur dan lembek. Setelah itu daun teh dapat diproses dengan menggunakan orthodox roller / rotorvane, CTC (crushing, tearing, curling) machine, atau LTP (Lawrie tea processor) machine. Tujuan dari proses rolling adalah untuk memecah sel pada daun sehingga akan mengeluarkan oksidase seperti polifenol oxidase dan peroksidase yang kemudian akan menginisiasi proses oksidasi catechins dengan oksigen di udara. Setelah melalui proses rolling, daun teh ditransfer ke ruangan fermentasi dengan suhu 25-35oC dengan kelembapan udara >95%. Proses fermentasi sangat bervariasi dengan kisaran waktu setengah hingga tiga jam. Hal tersebut tergantung pada jenis varietas teh, usia daun teh, ukuran partikel yang pecah dalam daun teh, serta kondisi fermentasi. Proses oksidasi yang terjadi akan menyebabkan perubahan daun teh yang tadinya hijau menjadi kuning keemasan dan membentuk aroma khas dari teh hitam. Setelah proses fermentasi optimum tercapai, daun teh kemudian dikeringkan untuk memberhentikan proses fermentasi sehingga enzim yang terdapat didalamnya menjadi inaktif. Dalam proses ini digunakan electrical heater atau coal fumace sehingga daun yang tadinya berwarna kuning keemasan akan berubah menjadi coklat gelap atau hitam, aroma khas teh hitam menjadi lebih jelas, dan kandungan airnya diturunkan hingga mencapai kurang dari 6% (Wan et al. 2009). Berbeda dengan teh hijau dan teh hitam, teh oolong memiliki karakteristik yang khas dengan kombinasi freshness dari teh hijau dan aroma dari teh hitam (Wan et al. 2009). Teh oolong berasal dari provinsi Fujian, China yang memiliki arti makna naga hitam. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan teh oolong yaitu kuncup utama dan dua atau tiga helai daun teh muda di bawah kuncup dari jenis kultivar Tieguanyin dan Fenghuang Shuixian. Setelah itu daun teh akan dilayukan di bawah sinar matahari selama 30 hingga 60 menit. Setelah dauh teh menjadi lebih lentur dan lembek serta kandungan airnya mencapai 10-20%, kemudian dipindahkan ke dalam ruangan untuk proses rotating. Proses rotating dilakukan pada suhu 20-25oC dengan kelembapan 75-85%. Proses rotating ini bertujuan untuk menjadikan friksi pada sel daun teh sehingga akan terjadi proses fermentasi. Proses ini berlangsung selama 6-8 jam dengan pengulangan sebanyak 5-6 kali. Kemudian daun teh yang sudah melalui proses rotating akan melalui proses fixing yaitu dipanaskan selama 3-7 menit pada suhu 180-220oC sehingga aktivitas enzim akan terdeaktivasi dan proses fermentasi akan berhenti. Setelah itu daun teh akan melalui proses rolling dan drying yang bertujuan untuk membentuk ukuran dari serbuk teh oolong (Xu & Chen 2002). B A C Gambar 6 Tiga jenis utama teh (A. Teh hijau (http://www.nihaoteahouse.com); B. Teh oolong (http://www.naturafresh.com); C. Teh hitam (http://www.preparefor allthings.com) Flavonoid Polifenol pada Teh Daun teh mengandung komponen kimia yang terdiri dari polifenol (catechins dan flavonoides), alkaloides (caffeine, theobromine, theophylline, dsb.), volatile oils, polysaccharides, amino acids, lipids, vitamins (contohnya vitamin C), inorganics element (contohnya aluminium, fluorine, dan manganese), dsb. (Sharangi 2009). Flavonoid merupakan metabolit sekunder dari suatu tanaman yang terbagi menjadi enam kelas yaitu: flavones, flavanones, isoflavones, flavonols, dan anthocyanins. Hal ini berdasarkan struktur dan konformasi molekul dasar yang berbentuk cincin oksigen heterosiklik yang ditunjukkan pada Gambar 7 (Rice-Evans & Miller 1997). Gambar 7 Struktur dasar flavonoid (Rice-Evans & Miller 1997). Teh hijau mengandung enam komponen catechin utama yaitu catechin, gallocatechin (GC), epicatechin (EC), epigallocatechin (EGC), epicatechin gallate (ECG), dan epigallocatechin gallate (EGCG) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Catechins merupakan komponen kimia yang larut dalam air, tidak berwarna, serta memberikan rasa bitterness dan astringency. Selain itu teh hijau juga mengandung teanin, caffeine serta pyrroloquinoline quinone yaitu jenis vitamin yang baru ditemukan (Kasahara & Kato 1993). Epigallocatechin gallate (EGCG) merupakan komponen paling aktif yang ditemukan pada teh hijau. Kandungan polifenol pada teh hijau bervariasi, yaitu antara 30% hingga 40% (Stote & Baer 2008). Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa kandungan catechin teh hijau secara khusus flavanol yaitu 20% hingga 30% berat basis kering (Balentine et al. 1997; Sanderson 1972). Hal tersebut berbeda dengan kandungan polifenol utama teh hitam yang terdiri dari theaflavin dan thearubigin. Theaflavin dan thearubigin merupakan hasil dari proses fermentasi yang melibatkan reaksi oksidasi enzimatis dari catechins sehingga terbentuk produk dengan pigmen yang berwarna coklat (Chen et al. 2002). Kandungan theaflavin yang terdapat pada berat kering teh hitam berkisar antara 0,3% hingga 2%, sedangkan kandungan thearubigin berkisar antara 10% hingga 20% (Chen et al. 2002; Wang et al. 2000). Gambar 8 Struktur kimia jenis catechin teh serta jenis epimer turunannya (Wang 2000) Pada umumnya, karakteristik dari teh termasuk rasa, warna, dan aroma secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan modifikasi komponen catechins. Sebagai contoh, penurunan kandungan catechin berhubungan dengan peningkatan kandungan monoterpene alcohols selama proses pembuatan teh hitam yang dapat memperbaiki kualitas aroma dari teh hitam (Wang et al. 1998). Selain itu, degalloation dari ester catechins menjadi non-ester catechins dapat menghasilkan penurunan rasa pahit (bitterness) dan astringency dari teh hijau (Nakagawa 1975; Wang et al. 1998). Epimerisasi yang merupakan konversi catechin teh menjadi isomernya dapat terjadi selama proses produksi, penyeduhan, maupun penyimpanan dari teh (Suematsu et al. 1992; Wang & Helliwell 2000). Flavonol pada daun teh yang struktur molekulnya ditunjukkan pada Gambar 9 terdiri atas quercetin, kaempferol, dan myricetin. Komponen ini merupakan penyusun 2-3% dari ekstrak larut air pada teh. Flavonol terwujud lebih ke dalam bentuk glikosida dibandingkan bentuk non-glikosida (aglycones). Bentuk flavonol aglycones tidak ditemukan secara signifikan pada minuman teh dikarenakan sifat tidak larutnya pada air. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa flavonol yang terdapat pada daun teh berat basis basah bervariasi yaitu 0,83-1,59 g/kg myricetin, 1,79-4,05 g/kg quercetin, dan 1,56-3,31 g/kg kaempferol untuk teh hijau, sedangkan pada teh hitam yaitu 0,24-0,52 g/kg myricetin, 1,72-2,31 g/kg quercetin, dan 1,56-3,31 g/kg kaempferol (Wang dan Helliwell 2000). Gambar 9 Struktur kimia flavonols pada teh (Wang 2000) Proses Optimal pada Penyeduhan Teh Kebudayaan merupakan salah satu aspek yang sangat mempengaruhi terhadap pola makan serta proses penyiapan dari makanan tersebut. Minuman teh yang dikonsumsi di seluruh dunia saat ini sangat bervariasi jenisnya, tentunya hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai budaya serta kebiasaan dari masyarakat yang ada di suatu tempat, negara, ataupun kawasan. Di wilayah Asia seperti di Jepang, Cina, India, Indonesia, Thailand jenis teh yang banyak dikonsumsi adalah teh hijau dan teh oolong, sedangkan untuk negara-negara barat seperti Inggris dan Amerika lebih banyak dikonsumsi dari jenis teh hitam (Sharangi 2009). Berbagai jenis teh tersebut tentunya sangat bervariasi dalam kandungan polifenolnya. Semakin banyak melalui proses fermentasi, maka kandungan polifenol dari teh juga semakin sedikit. Begitu juga dengan cara penyiapan minuman teh yang bervariasi, maka akan sangat mempengaruhi kandungan polifenol yang ada pada teh. Penelitian yang dilakukan oleh Komes et al. (2010) membuktikan bahwa terdapat perbedaan kandungan polifenol yang ditunjukkan oleh angka GAE (Gallic acid equivalent) dari kondisi proses penyeduhan teh yang berbeda (suhu air yang digunakan, jumlah ulangan penyeduhan (single atau multiple), waktu penyeduhan, waktu penyimpanan dari seduhan). Hasil singkat dari penelitian Komes et al. (2010) disajikan dalam Gambar 10, 11, dan 12. Gambar 10 Total kandungan flavonoid dan non-flavonoid dari berbagai tipe teh hijau yang diseduh pada menit ke-3 pada suhu 80oC (Komes et al. 2010) Gambar 11 Total kandungan flavonoid dan non-flavonoid dari berbagai tipe teh hijau serbuk (Matcha), potongan daun (Gyokuro), dan kemasan kecil (Twinning of London) yang dipengaruhi oleh suhu penyeduhan pada 60oC, 80oC (penyeduhan ke-1, ke-2, dan ke-3), 100oC pada menit ke-3 (Komes et al. 2010) Gambar 12 Total kandungan flavonoid dan non-flavonoid dari berbagai tipe teh hijau serbuk (Matcha), potongan daun (Gyokuro), dan kemasan kecil (Twinning of London) yang dipengaruhi oleh waktu penyeduhan pada menit ke-3, 5, 10, 15, dan 30 pada suhu 80oC (Komes et al. 2010) Hal senada juga ditunjukkan oleh penelitian Venditti et al. (2010) yang menunjukkan bahwa suhu air yang digunakan untuk menyeduh teh sangat mempengaruhi kandungan dari polifenol dan flavonoid yang terkandung. Teh yang diseduh dengan menggunakan air panas (suhu 90oC) memiliki kandungan total polifenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan teh yang diseduh dengan menggunakan air dengan suhu ruangan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Studi Pengaruh Variasi Pemberian Kadar Teh Hijau dalam Mengontrol Level Glukosa Plasma Darah Post-Prandial pada Subjek Dewasa Muda Sehat dilaksanakan dalam dua tahap (tahap pendahuluan dan tahap clinical) pada bulan November 2010 sampai Januari 2011. Penelitian tahap pendahuluan dilaksanakan di Laboratorium Analisis Teh dan Kina, Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, Indonesia. Penelitian tahap klinis dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Gizi, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Penelitian ini merupakan uji klinis tingkat satu (Phase 1 Clinical Trials) yang telah direview oleh tim Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Indonesia dengan dikeluarkannya Ethical Approval atau Ethical Clearance No. LB.03.04/KE/8749/2010 yang diterbitkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2010 (Lampiran 1). Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh Camellia sinensis var. Assamica klon Gambung 7 yang diperoleh dan diproses di Laboratorium Mini Processing Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Indonesia. Sampel merupakan bahan yang sama dengan yang digunakan pada penelitian Studi Pengaruh Teh Hijau, Teh Hitam, Teh Daun Murbei, serta Campurannya terhadap Pengendalian Kadar Glukosa Darah Tikus Diabetes (Kustiyah et al. 2009). Bahan pereaksi kimia yang digunakan untuk analisis EGCG (epigallocatechin gallate) teh hijau terdiri dari kloroform p.a., etil asetat p.a., air bebas ion, standar EGCG, pelarut polifenol (asetonitril 12 ml, etil asetat 2 ml, H2PO4 0,05% 86 ml). Alat yang digunakan untuk analisis EGCG teh hijau adalah Erlenmeyer 500 ml, timbangan elektronik, timbangan mikro Mettler H34, labu ukur 50 ml dan 250 ml, corong biasa, corong pisah 250 ml, gelas ukur 50 ml, pipet gondok 25 ml, labu didih bundar (alas datar) 250 ml, Millex HA 0,45 µm, rotavapor, strirrer, sonicator, kolom MetaChem PolarisTM Amide C18-5 µm-4,6 x 250 mm, HPLC UV-Vis Waters. Bahan dan alat yang digunakan untuk analisis glukosa darah adalah D(+)-glucose anhydrous-Charge/Lot K40684937029-Series 1.08337.5000 - Merck KgaA - Darmstadt - GERMANY, glucometer OneTouch® Ultra™ Blood Glucose Monitoring System-Series BJJ86C8TT-Lot T10062023X LifeScan Inc.-Milpitas CA-USA-Johnson and Johnson Company, glucose strip OneTouch® Ultra™ Lot 3068957 LifeScan Inc.-Milpitas CA-USA-Johnson and Johnson Company. Metode Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian klinis. A. Tahap penelitian pendahuluan Tahap penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui kandungan EGCG pada minuman teh hijau awal (biang) dan menentukan perhitungan untuk mengencerkan minuman teh hijau awal (biang) sehingga didapatkan cara membuat minuman teh hijau intervensi dengan kadar 100 dan 200 mg/200 ml. 1. Analisis kadar EGCG minuman teh hijau awal (biang) Mula-mula dilakukan penetapan metode cara pembuatan minuman teh hijau awal (biang) yang merupakan modifikasi dari penelitian Komes et al. (2010) dan Venditti et al. (2010), yaitu metode penyeduhan teh hijau dengan hasil perolehan EGCG yang maksimal (Gambar 13). Teh hijau ditimbang sebanyak 5 g ↓ Diseduh dengan 200 ml air panas (~90oC) ↓ Diaduk selama satu menit dan didiamkan selama dua menit ↓ Penyaringan ↓ ampas (dibuang) Minuman teh hijau awal (biang) Gambar 13 Cara pembuatan minuman teh hijau awal (modifikasi Komes et al. 2010 dan Venditti et al. 2010) Tahap selanjutnya untuk analisis kadar EGCG dari minuman teh hijau awal (biang) yaitu proses ekstraksi (liquid/liquid extraction) untuk mengekstrak EGCG yang terdapat dalam minuman teh hijau awal (biang). Tahapan tersebut ditunjukkan pada Gambar 14. Minuman teh hijau di atas disaring dengan menggunakan kertas saring dan larutannya dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml ↓ Larutan dipipet sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam corong pisah 250 ml ↓ Ditambahkan 50 ml kloroform p.a. dan dikocok selama + 2 menit, kemudian dipisahkan larutan bawahnya (kloroform) untuk dibuang (proses tersebut dilakukan sebanyak tiga kali) ↓ Larutan contoh kemudian ditambahkan 50 ml etil asetat p.a. kemudian dikocok selama + 7 menit, kemudian dipisahkan larutan atasnya (etil asetat) dan ditampung ke dalam labu didih bulat 250 ml ↓ Larutan etil asetat pada labu didih bulat 250 ml diuapkan dengan menggunakan rotavapor sampai kering (tidak berbau etil asetat) ↓ Kemudian dilarutkan dengan solven (etil asetat, asetonitril, H2PO4) ke dalam labu ukur 50 ml, diimpitkan dan dikocok ↓ Kemudian disaring dengan Millex HA 0,45 µl ↓ Larutan siap disuntikkan ke HPLC Gambar 14 Prosedur analisis kadar EGCG di dalam minuman teh hijau awal (biang) (PPTK 2006) Setelah didapatkan luas area puncak dari analisis EGCG dan tg α zat standar EGCG, maka untuk menghitung konsentrasi EGCG dalam satuan ppm (part per million) digunakan persamaan berikut: x= y b Keterangan: x = konsentrasi EGCG-epigallocatechin gallate (ppm) y = luas area puncak b = tg α standar EGCG-epigallocatechin gallate (4,4752) 2. Penetapan cara perhitungan kadar EGCG minuman teh intervensi. Konsentrasi EGCG yang diperoleh memiliki satuan ppm. Satuan ppm (part per million) setara dengan satuan mg/l dengan asumsi berat jenis minuman teh sama dengan berat jenis air (Satterfield 2004). Oleh karena itu, untuk mengkonversi kadar EGCG dalam satuan ppm (part per million) menjadi satuan mg/200ml yaitu dengan membagi angka satuan ppm (part per million) dengan angka lima. Setelah mendapatkan kadar EGCG minuman teh hijau awal (biang), maka dapat dilakukan perhitungan stokiometri untuk mengetahui volume yang dibutuhkan untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar 100 dan 200 mg EGCG di dalam 200 ml. Pertama dilakukan perhitungan molaritas dari minuman teh hijau awal dengan persamaan berikut: M1 = g Mr x V Keterangan: M1 = molaritas minuman teh hijau awal (mol/l) g = kandungan EGCG pada minuman teh hijau awal (g) Mr = masa molekul EGCG (g/mol) V = volume minuman teh hijau awal (l) Selanjutnya untuk mengetahui volume yang harus diambil dari minuman teh hijau awal (MTHj awal / minuman teh hijau biang) sehingga didapatkan minuman teh hijau dengan kadar EGCG sebesar 100 mg dan 200 mg di dalam 200 ml, maka dilakukan perhitungan dengan persamaan berikut: VX = g Mr x M1 Keterangan: M1 = molaritas minuman teh hijau awal (mol/l) g = kandungan EGCG pada minuman teh hijau yang diinginkan (0,1 g atau 0,2 g) Mr = masa molekul EGCG (mol/l) Vx = volume minuman teh hijau untuk kadar yang diinginkan (l) B. Tahap penelitian klinis Tahap penelitian klinis bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervensi EGCG pada respon glukosa darah post-prandial. Tahap penelitian klinis terdiri dari empat sub tahap yaitu: 1. Penentuan jumlah subjek yang akan dilibatkan dalam penelitian Populasi target adalah mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Kriteria inklusi diberlakukan bagi subjek penelitian sehingga hasil dari pengukuran glukosa plasma darah subjek benar-benar valid dan tidak terpengaruh oleh faktor-faktor luar selain dari intervensi yang diberikan yang menyebabkan fluktuasi dari kandungan glukosa plasma darah. Kriteria subjek adalah: a. Individu sehat dengan IMT 18,5-23 kg/m2 (WHO Expert Consultation 2004); b. Berusia antara 20-35 tahun (Shephard 1998); c. Tidak menderita diabetes mellitus (Lee 2009); d. Tidak sedang hamil atau menyusui (Lee 2009); e. Tidak merokok (Lee 2009); f. Tidak mengkonsumsi alkohol (Lee 2009); g. Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan (Lee 2009); h. Aktivitas fisik sedang (Lee 2009); i. Tidak mengalami tekanan psikis (Radahmadi et al. 2006). Open call untuk individu yang tertarik untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dilakukan pada minggu terakhir bulan November 2010. Apabila individu memenuhi kriteria inklusi dan bersedia menandatangani Informed Consent, maka individu tersebut ditetapkan sebagai subjek penelitian. Penentuan jumlah subjek dilakukan dengan menggunakan nomogram ukuran sampel dan power dalam membandingkan dua atau lebih kelompok perlakuan pada clinical trials (Day & Graham 1989). Perhitungan awal dilakukan untuk menghitung difference parameter (ψ Plan = λ ) dengan menggunakan persamaan berikut: ψ Plan = ∑ (µ i − µ) 2 ( g − 1)σ 2 Plan Keterangan: ψ Plan = nilai difference parameter µi µ σ Plan g = nilai rata-rata kelompok ke-i 151, 133, 113 mg/dl = nilai rata-rata antar kelompok 133 mg/dl = tetapan untuk menentukan standar deviasi 15 = jumlah kelompok penelitian yang akan diberikan perlakuan 100 mg, 200 mg kontrol, Dalam perhitungan jumlah sampel dengan menggunakan rumus diatas maka untuk mendapatkan nilai difference parameter (ψ Plan = λ ), indikator seperti µ i dan µ harus merujuk pada penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian yang dijadikan rujukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Tsuneki et al. (2004) dalam mengevaluasi kadar glukosa darah subjek sehat yang diberikan intervensi minuman teh hijau ekuivalen dengan 84 mg EGCG yang kemudian setelah jeda 10 menit diberikan 225 ml Trelan-G75 yang mengandung glukosa murni 75 g. Hal tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya diberikan intervensi 225 ml Trelan-G75 yang mengandung glukosa murni 75 g. Hasil dari penelitian Tsuneki et al. (2004) menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar glukosa plasma darah puncak untuk kelompok perlakuan kontrol yaitu 151 mg/dl, sedangkan untuk kelompok perlakuan 84 mg EGCG yaitu 133 mg/dl. Selisih dari kedua perlakuan tersebut adalah 18 mg/dl, sehingga dengan menetapkan hipotesis semakin tinggi kadar EGCG yang diberikan maka akan memberikan efek penurunan glukosa darah yang sebanding maka untuk perlakuan 168 mg EGCG diasumsikan dapat menurunkan nilai glukosa plasma darah menjadi 115 mg/dl. Nilai tersebut dimasukkan ke dalam perhitungan ∑ (µ i − µ) 2 sehingga didapatkan nilai sebesar 648. Tetapan umum yang sering digunakan dengan lebar rentang interkuartil sebesar 2SD adalah dengan menggunakan nilai σ Plan sebesar 15. Setelah semua indikator tersebut dimasukkan dalam rumus ψPlan di atas, maka diperoleh nilai ψPlan sebesar 1,2. Kemudian nilai ψPlan dimasukkan pada nomogram ukuran sampel dengan ditetapkan power 99% dan nilai α 5%, maka didapatkan jumlah sampel minimal untuk tiap kelompok perlakuan yaitu 8 (delapan) subjek. Untuk menghindari drop-out pada saat penelitian, maka ditambahkan 2 (dua) subjek untuk masingmasing kelompok perlakuan, sehingga jumlah subjek yang dibutuhkan untuk masing-masing kelompok yaitu sebanyak 10 (sepuluh) subjek. Penelitian ini menggunakan disain paired samples clinical trials sehingga hanya dibutuhkan sepuluh subjek, dengan aturan kesepuluh subjek tersebut akan mendapatkan seluruh taraf perlakuan intervensi (kontrol, minuman teh hijau 100 mg EGCG, minuman teh hijau 200 mg EGCG) dengan periode washout antar perlakuan selama dua hari. Perhitungan dan pengeplotan dari ψ Plan = λ dijabarkan sebagai berikut: ψ Plan = ∑ (µ i − µ) 2 ( g − 1)σ 2 Plan ψ Plan = (151 − 133) 2 + (133 − 133) 2 + (115 − 133) 2 (3 − 1)152 ψ Plan = (18) 2 + (0) 2 + (18) 2 450 ψ Plan = 324 + 0 + 324 450 ψ Plan = 648 450 ψ Plan = 1,44 ψ Plan = 1,2 Keterangan: Untuk mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan per kelompok, hasil perhitungan nilai ψPlan (difference parameter) = 1,2 yang didapatkan ditarik garis lurus secara vertikal. Kemudian nilai power yang telah ditetapkan (99%) ditarik garis lurus horisontal. Setelah itu titik kelompok dan nilai α yang telah ditentukan (g=3 dan α=5%) ditarik garis memotong perpotongan garis vertikal ψPlan dan garis horisontal power menuju garis horisontal kelompok dan nilai α. Kemudian dilanjutkan dengan menarik garis vertikal untuk mendapatkan jumlah sampel minimal yang dibutuhkan per kelompok (8 subjek). Gambar 15 Nomogram ukuran sampel dan power (Day & Graham 1989) 2. Intervensi minuman teh hijau sesuai taraf perlakuan intervensi Perlakuan dalam penelitian ini adalah konsentrasi EGCG dalam 200 ml minuman teh hijau. Perlakuan tersebut terdiri dari tiga taraf yaitu: kontrol (0 mg EGCG), 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG. Sebelum mendapatkan intervensi, subjek dipuasakan selama 10 jam sebelumnya dengan makan terakhir pukul 23.00 pada hari sebelum pengambilan darah (ADA 2001). Selama waktu puasa, subjek tidak diperkenankan mengkonsumsi jenis makanan apapun kecuali air mineral (CCNIH 1999). Pada pagi hari subjek dikumpulkan di Laboratorium Biokimia Gizi, kemudian intervensi dilakukan pada pukul 09.00 pagi. Pada kelompok kontrol, subjek diberikan intervensi 75 g glukosa murni (anhydrous D-glucose) yang dilarutkan pada 200 ml air mineral. Pada kelompok 100 mg, subjek diberikan intervensi minuman teh hijau yang mengandung 100 mg EGCG dalam 200 ml, kemudian setelah selang 10 menit subjek diberikan intervensi 75 g glukosa murni (anhydrous D-glucose) yang dilarutkan pada 200 ml air mineral. Begitu juga pada kelompok 200 mg EGCG, subjek diberikan intervensi minuman teh hijau yang mengandung 200 mg EGCG dalam 200 ml, kemudian setelah selang 10 menit subjek diberikan intervensi 75 g glukosa murni (anhydrous D-glucose) yang dilarutkan pada 200 ml air mineral. 3. Pengukuran kadar glukosa plasma darah Tujuan dari pengambilan sampel darah adalah untuk mengetahui kadar glukosa darah subjek ketika diberikan perlakuan. Prosedur yang digunakan dalam pengukuran glukosa plasma darah yaitu berdasarkan prosedur pengukuran OGTT (Oral Glucose Tolerance Test) yang dirujuk dari standar WHO (Reinauer et al. 2002). Pengukuran kadar glukosa plasma darah ini terdiri dari dua bagian, yaitu persiapan sebelum pengambilan darah dan pada saat pengambilan darah. Berikut merupakan poin penting persiapan sebelum pengambilan darah: a. Ruangan dipastikan pada suhu ruangan yang sejuk dengan dilengkapi oleh AC pada suhu maksimal 20oC. Hal ini untuk menjaga kestabilan plasma darah yang akan diuji pada alat uji glukometer (Reinauer et al. 2002). b. Subjek diharuskan dalam kondisi rileks selama 5 menit sebelum pengambilan darah. c. Subjek disarankan untuk menggunakan jari tangan tengah atau jari tangan yang menurut subjek tidak terasa dingin. Hal ini untuk menghindari terjadinya hematoma. d. Subjek disarankan menggelantung ke untuk memposisikan lengan tangan rileks samping selama beberapa saat untuk melancarkan aliran darah. e. Lancet yang digunakan hanya sekali pakai untuk pengambilan darah (disposable). satu kali Berikut merupakan tahapan pada saat pengambilan darah: a. Sebelum mendapat perlakuan intervensi, subjek diambil darahnya untuk mengetahui glukosa plasma darah menit ke-0. b. Kemudian subjek diberi intervensi sesuai dengan taraf perlakuan konsentrasi EGCG pada minuman teh hijau yang harus diminum dan dihabiskan dalam waktu lima menit (Provan & Krentz 2002). c. Selama 150 menit pasca pemberian perlakuan, sampel darah sebanyak 2 µl diambil dengan menggunakan finger-prick capillary blood samples method—dengan berturut-turut diambil pada menit ke 30, 60, 90, 120, 150 (Louie et al. 2008; Provan & Krentz 2002; Reinauer et al. 2002; Wolever 2006). d. Tahapan yang dilakukan oleh paramedik saat mengambil darah adalah : 1) Strip glukosa dibuka dari kemasan; 2) Strip glukosa kemudian dipasangkan pada glukometer; 3) Lancet sekali pakai (disposable) dipasangkan pada pen lancet, kemudian ditusukkan secara otomatis ke jari subjek; 4) Tetesan darah ditempatkan pada sensor yang terdapat pada strip glukometer; 5) Dalam hitungan sekitar 30 detik, hasil dari pengukuran dapat terbaca pada layar glukometer (Clayton 2007). Gambar 16 berikut merupakan ilustrasi dari tahapan pengambilan sampel darah. Tahap 1 Tahap 4 Gambar 16 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 5 Ilustrasi tahapan pengambilan sampel darah (Clayton 2007) 4. Pengeplotan, perhitungan luas kurva AUC ( area under curve), dan perhitungan nilai glucose score Data kadar glukosa darah yang didapatkan dari setiap individu kemudian diplotkan ke dalam grafik dengan menit pengukuran pada sumbu-x dan kadar glukosa darah pada sumbu-y. Setelah itu dilakukan perhitungan luas AUC untuk setiap individu pada masing-masing perlakuan. Luas AUC digunakan untuk mengetahui luasan di bawah kurva dari grafik respon glukosa darah. Metode yang digunakan untuk mengitung luas AUC adalah Trapezoid Method / Trapezoid Rules (Shiang 2004; Wolever 2006). Perhitungan luas AUC dengan menggunakan Trapezoid Method / Trapezoid Rules dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut: (a + b) x t Luas AUC = ∑ 2 Keterangan: a dan b = dua sisi sejajar, yaitu kadar glukosa darah antar dua periode pengukuran (mg/dl) t = tinggi, yaitu jarak periode pengukuran kadar glukosa darah (jam) Nilai glucose score digunakan untuk mengetahui persen perbandingan antara nilai glukosa kelompok kontrol dengan kelompok yang diberikan intervensi (Louie et al. 2008). Perhitungan nilai glucose score dilakukan untuk setiap individu dengan cara membandingkan luas AUC kelompok intervensi dibandingkan dengan luas AUC kelompok kontrol yang kemudian dikalikan dengan angka 100. Penjabaran perhitungan nilai glucose score dapat dilihat pada persamaan berikut: Nilai glucose score = A x 100 B Keterangan: -1 A = luas AUC kelompok intervensi (mg.dl .h) -1 B = luas AUC kelompok kontrol (mg.dl .h) Nilai kepentingan klinis yang diuji adalah RR (relative risk), RRR (relative risk reduction), dan ARR (absolute risk reduction). Dalam menentukan nilai kepentingan klinis, peneliti menetapkan jika subjek kelompok intervensi pada penelitian memiliki perbedaan kadar glukosa darah sepuluh poin dibandingkan dengan kadar glukosa darah kelompok kontrol maka dinyatakan bermakna dalam menurunkan kadar glukosa darah. Selisih sepuluh poin tersebut dirujuk berdasarkan penelitian Venables et al. (2008). Nilai kepentingan klinis dihitung dengan menggunakan tabel dan formulasi yang merujuk pada Dahlan (2010). Tabel 3 Nilai kepentingan klinis perlakuan kontrol dan eksperimen Perlakuan Perlakuan eksperimen Perlakuan kontrol Keluaran Tidak Ya a b c d Total a+b c+d Keterangan : Keluaran : penurunan kadar glukosa darah a : jumlah subjek yang tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah pada kelompok intervensi b : jumlah subjek yang mengalami penurunan kadar glukosa darah pada kelompok intervensi c : jumlah subjek yang tidak mengalami penurunan kadar glukosa pada kelompok kontrol d : jumlah subjek yang mengalami penurunan kadar glukosa darah pada kelompok kontrol EER = a a+b CER = c c+d RR = EER CER RRR = 1 – RR ARR = | EER – CER | Keterangan : CER : control event rate (proporsi pada kelompok kontrol) EER : experiment event rate (proporsi pada kelompok eksperimen) RR : relative risk RRR : relative risk reduction ARR : absolute risk reduction Bagan alur tahapan penelitian ini secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 17. TAHAP PENELITIAN PENDAHULUAN Analisis EGCG minuman teh hijau Perhitungan stokiometri untuk membuat minuman teh hijau yang digunakan intervensi yang mengandung 100 mg EGCG dan 200 mg EGCG TAHAP PENELITIAN KLINIS Populasi subjek Normal dewasa muda sehat Kriteria inklusi: 2 - Sehat (IMT 18,5 – 23 kg/m ) - Usia 20-35 tahun - Aktifitas fisik sedang Randomized assigned Kriteria eksklusi: - Memiliki riwayat DM - Sedang hamil atau menyusui - Memiliki kebiasaan merokok - Mengkonsumsi alkohol - Mengkonsumsi obat-obatan - Mengalami tekanan psikis Sampel 10 subjek (single dose oral response) Clinical trials paired samples Kelompok Kontrol n = 10 wash-out (dua hari) Kelompok 100 mg EGCG n = 10 wash-out (dua hari) Kelompok 200 mg EGCG n = 10 Subjek diukur kadar gula darah post-prandial pada menit ke-0, 30, 60, 90, 120, 150 Keterangan : 1. K. Kontrol = Kelompok kontrol pada subjek yang tidak mendapat intervensi minuman teh hijau (75 g glukosa yang dilarutkan dalam 200 ml air mineral) 2. K .100 mg EGCG = Kelompok subjek yang mendapat intervensi teh hijau A (75 g glukosa yang dilarutkan dalam 200 ml air, kemudian setelah jeda 10 menit diberikan 200 ml minuman teh hijau yang mengandung 100 mg EGCG) 3. K. 200 mg EGCG = Kelompok subjek yang mendapat intervensi teh hijau B (75 g glukosa yang dilarutkan dalam 200 ml air, kemudian setelah jeda 10 menit diberikan 200 ml minuman teh hijau yang mengandung 200 mg EGCG) Gambar 17 Bagan alur tahapan penelitian pendahuluan dan klinis Pengolahan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah pendekatan Rancangan Acak Lengkap Faktorial yang terdiri atas dua faktor perlakuan. Percobaan faktorial dicirikan oleh perlakuan yang merupakan komposisi dari semua kemungkinan kombinasi dari dua faktor atau lebih. Penetapan rancangan didasarkan pada asumsi bahwa unit percobaan yang digunakan relatif homogen yaitu dengan memberlakukan kriteria inklusi subjek penelitian yang tertulis pada metode tahap penelitian klinis pada halaman 38 dan bagan alur tahapan penelitian pada halaman 46. Perlakuan yang diberikan adalah : A. Faktor perlakuan intervensi (air mineral / kontrol, 200 ml minuman teh hijau yang mengandung 100 mg EGCG dan 75 gr anhydrous D-glucose yang dilarutkan dalam 200 ml air, minuman teh hijau yang mengandung 200 mg EGCG dan 75 gr anhydrous D-glucose yang dilarutkan dalam 200 ml air). B. Faktor waktu pengambilan darah (menit ke-0, menit ke-30, menit ke-60, menit ke-90, menit ke-120, menit ke-150). Model matematika dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut: Yijk = µ + α i + βj + ε ijk Keterangan: Yijk = nilai pengamatan pada pemberian intervensi taraf ke-i, waktu (menit) taraf ke-j dan ulangan ke-k µ = nilai rata-rata α i = pengaruh pemberian intervensi taraf ke-i βj = pengaruh waktu (menit) ke-j ε ijk = galat error dari pemberian intervensi taraf ke-i, waktu (menit) ke-j, dan ulangan ke-k i = taraf intervensi, yaitu = 0, 100, dan 200 mg EGCG j = periode atau waktu pengamatan, yaitu = 0, 30, 60, 90, 120, 150 k = ulangan Keseluruhan data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata ± standard error mean (rata-rata ± SEM). Sebelum dilakukan uji analisis statistik, dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro-Wilk. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik repeated ANOVA (Analisis of Variance) dan uji t-test untuk mengetahui signifikansi antar perlakuan. Bila terdapat perbedaan nyata antara perlakuan, maka untuk mengetahui perbedaan rerataan diantara perlakuan dilakukan uji lanjut Post-Hoc Test (Sidak-Holm). HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis EGCG Minuman Teh Hijau dan Perhitungan Stokiometri Teh yang digunakan pada penelitian ini merupakan teh hijau yang diproses dari daun teh jenis Camellia sinensis var. Assamica. Jenis teh Camellia sinensis var. Assamica merupakan jenis teh yang paling banyak dikembangkan di Indonesia. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung menyatakan bahwa varietas teh Camellia sinensis var. Assamica memiliki kandungan polifenol catechins yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis teh yang dikembangkan di Jepang dan China (Camellia sinensis var. Sinensis). Pada saat ini terdapat sebelas jenis tanaman teh yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung. Jenis teh yang digunakan untuk penelitian ini merupakan jenis klon Gambung 7 yang memiliki produktivitas dan kandungan catechins yang tinggi (PPTK 2006). Teh Camellia sinensis var. Assamica klon Gambung 7 yang digunakan berasal dari kebun teh blok 9 milik Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Bandung, Jawa Barat. Proses pembuatan teh hijau di Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung dilakukan dengan menggunakan proses steaming yang terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) Pelayuan selama kurang lebih lima menit pada suhu 80-100oC dengan menggunakan Rotary Panner; (2) Penggulungan selama kurang lebih 15-17 menit dengan menggunakan mesin Open Top Roller 26 tipe single action; dan (3) Pengeringan dua tahap dengan suhu masuk 130-135oC dan suhu keluar 5055oC selama 25 menit (PPTK 2006). Proses steaming diatas dilakukan untuk mencegah reaksi oksidasi enzimatis catechins yang terdapat pada daun teh (Ho et al. 2009). Hal tersebut berbeda dengan proses pembuatan teh hitam yang memang sengaja untuk melalui proses fermentasi. Proses fermentasi pada teh hitam terjadi ketika daun teh segar yang sudah dilayukan kemudian digiling sehingga jaringan daun menjadi rusak dan konsekuensinya polifenol serta enzim akan bercampur sehingga menyebabkan proses fermentasi (Ho et al. 2009). Proses fermentasi tersebut akan menyebabkan kandungan EGCG (epigallocatechin gallate) dan beberapa jenis catechins yang terdapat pada daun teh teroksidasi menjadi theaflavin dan thearubigin (Wang 2002). Secara umum, persentase kandungan dari total catechins yang terdapat pada teh hijau didominasi oleh empat komponen utama yaitu 59% (-)-epigallocatechin-3-gallate (EGCG), 19% (-)-epigallocatechin (EGC), 13,6% (-)-epicatechin-3-gallate (ECG) dan 6,4% (-)-epicatechin (EC) (McKay & Blumberg 2002). Tahap awal sebelum dilakukan analisis EGCG minuman teh hijau yaitu ditetapkan prosedur pembuatan minuman teh hijau awal (biang) untuk nantinya dijadikan sebagai prosedur praktis dalam intervensi kepada subjek penelitian. Prosedur pembuatan minuman teh hijau awal (biang) dapat dilihat pada metode penelitian. Metode yang digunakan merupakan modifikasi yang merujuk pada penelitian Komes et al. (2010) dan Venditti et al. (2010) yaitu metode penyeduhan teh hijau dengan hasil perolehan EGCG yang maksimal sesuai dengan metode pada halaman 34. Analisis EGCG pada minuman teh hijau awal (biang) dilakukan dengan menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Tahapan yang harus dilakukan sebelum dilakukan analisis HPLC yaitu preparasi sampel dengan metode liquid/liquid extraction seperti yang terurai pada metode penelitian. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan kloroform dan etil asetate untuk mengisolasi komponen organik (epigallocatechin gallate) yang terlarut (Fessenden et al. 2001). Hasil analisis minuman teh hijau awal (biang) yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata kandungan EGCG dari 5 g teh kering yang dilarutkan dengan 200 ml air dengan suhu 90oC yaitu 316,30+13,42 mg EGCG, sehingga kurang lebih didapatkan 6,326 g EGCG dari 100 g daun teh kering. Kandungan EGCG tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wu dan Wei (2002). Penelitian Wu dan Wei menyatakan bahwa satu gelas teh hijau yang dibuat dari 2,5 g daun teh dalam 200 ml air mengandung kira-kira 90 mg EGCG, sehingga kurang lebih didapatkan 3,6 g EGCG dari 100 g teh daun teh kering. Tingginya kadar EGCG yang terdapat pada teh hijau yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan klaim PPTK Gambung yang menyatakan bahwa jenis teh yang dikembangkan di Indonesia memiliki kandungan catechins yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis teh yang dikembangkan di Jepang dan China (PPTK 2006). Klaim hasil penelitian PPTK menunjukkan bahwa teh hijau klon Gambung 7 yang diproduksi oleh PPTK mengandung 15,9 g polifenol total dari 100 g daun teh kering, sehingga didapatkan kandungan EGCG sekitar 7,63-8,74 g EGCG dari 100 g daun teh hijau kering dengan persentase 48-55 % EGCG dari polifenol total (PPTK 2006). Kandungan EGCG dari teh hijau klon Gambung 7 klaim hasil penelitian PPTK tersebut sedikit lebih tinggi tetapi tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan kadar EGCG teh hijau klon Gambung 7 yang digunakan pada penelitian ini, dengan selisih 1,3-2,4 g EGCG dari 100 g daun teh hijau kering. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kondisi penanaman serta ketinggian yang berbeda akan menyebabkan bervariasinya kandungan polifenol, khususnya EGCG (Xu & Chen 2002). Selain jenis teh hijau klon Gambung 7, terdapat dua jenis teh hijau dengan kandungan total polifenol tertinggi yaitu teh hijau klon Gambung 4 dan klon Gambung 9 dengan kadar polifenol total masing-masing 17,1 g dan 17,0 g dari 100 g daun teh hijau kering. Waktu retensi hasil analisis EGCG menunjukkan angka kisaran 9,63-9,83 menit. Kisaran waktu retensi tersebut sesuai dengan standar waktu retensi analisis EGCG secara umum yang menggunakan kolom kromatografi MetaChem PolarisTM Amide C18-5µm-4,6 x 250 mm yaitu pada kisaran waktu retensi 9,410 menit (BCAD Team 2001). Gelombang deteksi yang digunakan untuk analisis EGCG pada HPLC yaitu pada panjang gelombang 280 nm (Yao et al. 2004). Tabel 4 Hasil pengujian kadar EGCG minuman teh hijau awal (biang) Keterangan Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Rata-rata +SEM Kadar EGCG (epigallocatechin gallate) ppm 1712,50 1450,55 1681,06 1482,06 1581,54+67,14 mg/200 ml 342,50 290,11 336,21 296,41 316,30+13,42 Perhitungan stokiometri dengan tahapan yang telah dijabarkan pada metode dilakukan untuk menghitung volume yang dibutuhkan dari minuman teh hijau awal (biang) untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar EGCG sebesar 100 mg dan 200 mg yang nantinya akan dijadikan sebagai intervensi pada subjek penelitian. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa molaritas (M) dari minuman teh hijau awal (biang) yaitu sebesar 3,4469 x 10-3 mol/l. Setelah diperoleh konsentrasi minuman teh hijau awal (biang), maka dapat dilakukan perhitungan untuk mengetahui volume yang dibutuhkan dari minuman teh hijau awal (biang) tersebut untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar 100 dan 200 mg EGCG. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa volume yang dibutuhkan untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar 200 mg EGCG adalah 126,5 ml yang diambil dari minuman teh hijau awal (biang), sedangkan untuk membuat teh hijau dengan kadar 100 mg EGCG dibutuhkan volume 63,29 ml yang diambil dari minuman teh hijau awal (biang). Karakteristik Subjek Uji klinis yang digunakan pada penelitian ini merupakan uji klinis tingkat 1 (Phase 1 Clinical Trials) atau yang sering diistilahkan sebagai percobaan pertama kali pada manusia (first in man). Uji klinis ini dilakukan untuk melihat aksi pengaruh secara biologis dan farmakologis dari suatu perlakuan yang dalam hal penelitian ini merupakan kadar EGCG teh hijau. Uji klinis tingkat 1 yang merupakan studi secara eksplorasi yang dilakukan setelah terdapat bukti-bukti secara ilmiah pada beberapa penelitian secara in vitro dan hewan coba. Subjek yang sering digunakan merupakan subjek sehat. Jika hasil dari penelitian menunjukkan indikasi positif bermanfaat, maka dapat dilanjutkan dengan menggunakan subjek yang memiliki jenis penyakit tertentu sesuai dengan hipotesis kemanfaatan perlakuan yang diberikan (Hackshaw 2009). Dosis awal yang diberikan pada penelitian klinis biasanya berdasarkan rujukan pada penelitian-penelitian sebelumnya pada hewan coba. Angka dosis tersebut biasanya didasarkan pada tingkat mortalitas hewan coba ketika menerima sejumlah dosis yang diintervensikan. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan angka LD50-lethal dose response 50 yang dapat diinterpretasikan jika hewan coba menerima dosis tertentu yang diberikan, maka sebanyak 50 persen dari hewan coba tersebut akan mengalami mortalitas. Penentuan dosis pada penelitian klinis juga berbeda masing-masing negara. Sebagai contoh di USA, FDA (Food and Drugs Administration) menetapkan bahwa penelitian klinis harus didasarkan pada minimal dua penelitian yang dilakukan pada spesies mamalia hewan coba yang termasuk didalamnya spesies rodensia dan spesies non rodensia (Hackshaw 2009). Seri dosis yang diberikan dapat ditentukan oleh banyak metode, salah satunya dengan menggunakan sequence Fibbonaci, yaitu angka yang ditemukan secara alami di banyak sistem biologis. Seri sequence Fibbonaci dimulai dengan angka 0 dan 1 yang dilanjutkan dengan penjumlahan dua angka sebelumnya, sehingga akan didapatkan sejumlah seri 0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, dan seterusnya. Sebagai contoh jika penetapan awal dosis 100 mg, maka dosis selanjutnya adalah 200, 300, 500, 800 dan seterusnya (Hackshaw 2009). Kadar atau dosis EGCG yang diberikan pada penelitian ini merujuk pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tsuneki et al. (2004) di Jepang. Kadar EGCG yang ditetapkan dalam penelitian ini masih dalam batas normal kadar EGCG yang adekuat dalam mendukung homeostasis glukosa darah yaitu 84-386 mg EGCG per hari (Hosoda et al. 2003; Tsuneki et al. 2004). Keseluruhan subjek berpartisipasi dalam penelitian ini dengan baik, sehingga tidak ada subjek yang menyatakan drop-out. Karakteristik subjek penelitian yang diamati pada penelitian ini meliputi variabel jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, indeks masa tubuh, tekanan darah sistole, tekanan darah diastole, dan denyut nadi. Secara keseluruhan, variabel karakteristik dari subjek penelitian tersaji dalam Tabel 5. Subjek laki-laki yang berpartisipasi pada penelitian ini memiliki usia ratarata 22+0,63 tahun, sedangkan usia subjek perempuan 21+0,32 tahun. Secara keseluruhan, rata-rata usia subjek laki-laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu 21,50+0,40 tahun. Hal tersebut sesuai dengan kriteria inklusi untuk golongan usia dewasa muda sehat yang berada pada range 20-35 tahun (Shephard 1998). Uji t-test usia antara subjek laki-laki dan perempuan menunjukkan nilai p=0,208 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) antara usia subjek laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam penelitian ini. Kemiripan usia menjadi salah satu faktor yang penting untuk menjaga validitas internal dari penelitian sehingga dengan usia pada kisaran yang tidak terlalu jauh diharapkan memiliki kemiripan dalam metabolisme secara umum walaupun tidak menutup kemungkinan metabolisme setiap individu berbeda dan sangat beragam. Penelitian Dreval’ et al. (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara peningkatan level glukosa darah dengan peningkatan usia, sehingga semakin meningkat usia maka semakin meningkat pula level glukosa darah. Penyebab utama intoleransi level glukosa pada usia yang semakin meningkat adalah gangguan pengambilan glukosa yang dimediasi oleh insulin pada jaringan periferal, khususnya jaringan otot (Katz & Lowenthal 1994). Selain itu, penurunan sensitivitas insulin dan fungsi sel-beta pankreas yang berhubungan dengan disfungsi mitokondrial juga merupakan penyebab dari intoleransi level glukosa darah (Shih & Tseng 2009). Karakteristik berat badan dan tinggi badan merupakan salah satu indikator untuk pengukuran status gizi melalui perhitungan IMT (indeks masa tubuh). Rata-rata berat badan subjek laki-laki pada penelitian ini yaitu 56,62+1,68 kg, sedangkan pada subjek perempuan 50,40+2,65 kg. Secara keseluruhan, rata-rata berat badan subjek laki-laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu 53,30+1,77 kg. Uji t-test berat badan antara subjek laki-laki dan perempuan menunjukkan nilai p=0,109 sehingga dapat disimpulkan tidak ter- Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan karakteristiknya Keterangan Perempuan Laki-laki Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4 Subjek 5 Sub rata-rata (mean+SEM) Subjek 6 Subjek 7 Subjek 8 Subjek 9 Subjek 10 Sub rata-rata (mean+SEM) Rata-rata total (mean+SEM) Usia (tahun) 23 21 20 23 23 Berat badan (kg) 58 57 56 50 60 Tinggi badan (cm) 174,2 175,3 170,7 164,3 165,5 Parameter IMT (kg/m2) 19,11 18,55 19,22 18,52 21,90 22+0,63 56,62+1,68 170,00+2,22 19,46+0,62 116,20+4,38 72,20+2,43 80,80+6,15 21 21 22 20 21 58 44 49 55 46 161,6 144,7 150,3 162,3 153,0 22,21 21,01 21,69 20,88 19,65 108 88 96 100 113 76 65 61 62 61 88 74 73 72 74 21+0,32 50,40+2,65 154,38+3,36 21,08+0,43 101,00+4,40 65,00+2,84 76,20+2,97 21,5+0,4 53,30+1,77 162,19+1,22 20,27+0,45 108,60+3,87 68,60+2,13 78,50+3,31 Keterangan: TD: Tekanan darah 2 Nilai normal IMT populasi Indonesia: 18,5-24,90 kg/m (DEPKES 2010) 2 Nilai normal IMT populasi Asia: 18,5-23,00 kg/m (WHO 2004) Nilai normal tekanan darah sistole: 90-130 mmHg (USDHHS 2004) Nilai normal tekanan darah diastole: 60-85 mmHg (USDHHS 2004) Nilai normal denyut nadi: 60-100 per menit (Timby 2009) TD Sistole (mmHg) 117 116 108 108 132 TD Diastole (mmHg) 71 80 66 69 75 Denyut nadi (per menit) 74 62 96 80 92 dapat perbedaan yang nyata (p>0,05) antara berat badan subjek laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam penelitian ini. Pengontrolan berat badan merupakan salah satu aspek penting untuk mencegah timbulnya penyakit metabolik. Studi meta analisis klinis menunjukkan bahwa 60% hingga 90% timbulnya DM tipe 2 memiliki hubungan dengan peningkatan berat badan. Penurunan berat badan sebesar 10% dari berat badan awal secara nyata dapat memperbaiki kontrol glikemik gula darah dan tekanan darah, serta menurunkan risiko ko-morbid (Anderson et al. 2003). Rata-rata tinggi badan subjek laki-laki pada penelitian ini yaitu 170,00+2,22 cm, sedangkan pada subjek perempuan 154,38+3,36 cm. Secara keseluruhan, rata-rata tinggi badan subjek laki-laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu 162,19+1,22 cm. Uji t-test tinggi badan antara subjek laki-laki dan perempuan menunjukkan nilai p=0,006 sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) antara tinggi badan subjek laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam penelitian ini yaitu subjek lakilaki memiliki tinggi badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek perempuan. Indeks masa tubuh (IMT) yang diistilahkan dengan Quetelet’s index merupakan rasio berat badan dalam hubungannya dengan tinggi badan yang khususnya bermanfaat dalam pengukuran overweight dan obesitas. Indeks masa tubuh dihitung dengan membagi berat badan (dalam satuan kg) dengan tinggi badan kuadrat (dalam satuan meter) (Gibson 2005). Rata-rata indeks masa tubuh subjek laki-laki pada penelitian ini yaitu 19,46+0,62 kg/m2, sedangkan pada subjek perempuan 21,08+0,43 kg/m2. Secara keseluruhan, rata-rata indeks masa tubuh subjek laki-laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu 20,27+0,45 kg/m2. Indeks masa tubuh tersebut termasuk dalam kriteria inklusi penelitian dan golongan normal untuk kategori populasi Indonesia yang berada pada kisaran 18,5-24,90 kg/m2 (DEPKES 2010) dan kategori populasi Asia yang berada pada kisaran 18,5-23,00 kg/m2 (WHO 2004). Uji t-test terhadap IMT antara subjek laki-laki dan perempuan menunjukkan nilai p=0,069 sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) antara indeks masa tubuh subjek laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam penelitian ini. Rata-rata tekanan darah sistole pada subjek subjek laki-laki yaitu 116,20+4,38 mmHg dan pada subjek perempuan yaitu 101,00+4,40 mmHg, sedangkan tekanan diastole pada subjek subjek laki-laki yaitu 72,20+2,43 mmHg dan pada subjek perempuan yaitu 65,00+2,84 mmHg. Rataan keseluruhan tekanan darah sistole subjek laki-laki dan perempuan yaitu 108,60+3,87 mmHg dan tekanan darah diastole 68,60+2,13 mmHg. Tekanan darah (sistole/diastole) subjek tersebut termasuk dalam kelompok normal yaitu pada kisaran 90-130 mmHg untuk tekanan darah sitole dan pada kisaran 60-85 mmHg untuk tekanan darah diastole (USDHHS 2004). Hasil uji t-test terhadap nilai tekanan darah sistole antara subjek laki-laki dan perempuan p=0,04 sehingga dikatakan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) tekanan darah sistole antara subjek laki-laki dan perempuan yaitu lebih tinggi tekanan darah sistole pada subjek lakilaki dibandingkan dengan subjek perempuan, sedangkan nilai tekanan darah diastole antara subjek laki-laki dan perempuan p=0,091 sehingga dikatakan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) tekanan darah diastole antara subjek laki-laki dan perempuan. Tekanan darah (sistole/diastole) yang tinggi dengan angka parameter lebih besar atau sama dengan 130/85 mmHg merupakan salah satu dari tanda sindrom metabolik (Caballero 2005). Selain itu konvensi pada saat ini menyatakan bahwa orang yang memiliki tekanan darah (sistole/diastole) lebih besar dari 140/90 mmHg digolongkan sebagai hipertensi dan tekanan darah (sistole/diastole) 120-139/80-89 mmHg digolongkan sebagai pre-hipertensi (USDHHS 2004). Denyut nadi merupakan gelombang ritme hasil dari pergerakan darah pada saat kontraksi jantung yang dapat dirasakan atau dipalpasi pada arteri periferal. Denyut nadi diukur selama satu menit dengan menekan arteri superfisial terhadap tulang yang berada dibawahnya dengan menggunakan jari tangan (Timby 2009). Rata-rata denyut nadi subjek laki-laki pada penelitian ini yaitu 80,80+6,15 kali per menit, sedangkan pada subjek perempuan 76,20+2,97 kali per menit. Secara keseluruhan, rata-rata denyut nadi subjek laki-laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu 78,50+3,31 kali per menit. Denyut nadi tersebut termasuk dalam kisaran normal subjek dewasa sehat yaitu 60-100 kali per menit (Timby 2009). Uji t-test terhadap denyut nadi antara subjek laki-laki dan perempuan menunjukkan nilai p=0,527 sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) antara denyut nadi subjek laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam penelitian ini. Uji Normalitas Data Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui normalitas distribusi data yang didapatkan dari hasil penelitian. Pada prinsipnya, uji normalitas adalah melakukan perbandingan antara data hasil penelitian dengan data berdistribusi normal yang memiliki nilai rata-rata dan varian yang sama dengan data hasil penelitian. Uji normalitas digunakan sebagai pre-requisite sebelum data dapat diproses lebih lanjut apakah dengan menggunakan statistik parametrik atau nonparametrik (Dahlan 2009). Untuk pengujian dengan menggunakan statistik parametrik disyaratkan bahwa data harus memiliki distribusi normal, sedangkan statistik non-parametrik digunakan untuk menguji data yang tidak memiliki distribusi normal. Untuk mengetahui data memiliki karakteristik normal atau tidak digunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan uji Spahiro-Wilk. Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk menguji normalitas data yang memiliki lebih dari lima puluh sampel, sedangkan uji Shapiro-Wilk digunakan untuk menguji normalitas data yang memiliki kurang dari lima puluh sampel. Uji normalitas yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Saphiro-Wilk. Hal ini dilakukan karena jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak sepuluh subjek dijustifikasi oleh variabel menit pengukuran glukosa darah. Uji Saphiro-Wilk merupakan hasil karya Samuel Saphiro dan Martin Wilk yang menguji hipotesis null (Ho) apakah populasi data hasil penelitian terdistribusi dengan normal. Jika nilai-p (p-value) lebih kecil dibandingkan dengan level alpha yang digunakan dalam penelitian, maka hipotesis null ditolak (disimpulkan bahwa data tidak berasal dari populasi yang terdistribusi secara normal). Sebaliknya jika nilai-p lebih besar dibandingkan dengan level alpha yang digunakan dalam penelitian, maka hipotesis null diterima (disimpulkan bahwa data berasal dari populasi yang terdistribusi secara normal) (Wilk & Saphiro 1965). Selain menggunakan uji analitis dengan uji Saphiro-Wilk, normalitas karakteristik data juga dapat dilihat melalui deskriptif grafik Q-Q Plot. Grafik Q-Q Plot merupakan grafik yang digunakan untuk mengetahui apakah sampel yang telah digunakan dapat mewakili target populasi yang diinginkan. Hal ini dapat disederhanakan dengan cara membandingkan antara nilai yang didapat dalam penelitian dengan nilai yang diharapkan pada populasi yang memiliki nilai rata-rata dan standar deviasi yang sama dengan nilai yang didapatkan pada penelitian. Data yang memiliki karakteristik normal akan tersebar dan mendekati dengan garis normalitas data tersebut. Hasil analisis untuk seluruh perlakuan intervensi menunjukkan bahwa nilai p>0,05 sehingga dapat dikatakan keseluruhan data memiliki karakteristik normal. Grafik Q-Q Plot yang ditunjukkan pada Gambar 18, 19, dan 20 menggambarkan sebaran data memiliki karakteristik normal dikarenakan tersebar dan mendekati pada garis normalitas untuk masing-masing karakteristik data tersebut. Gambar 18 Grafik Q-Q Plot kelompok kontrol Gambar 19 Grafik Q-Q Plot kelompok 100 mg EGCG Gambar 20 Grafik Q-Q Plot kelompok 200 mg EGCG Pola Kurva Glukosa Darah Pola Kurva Glukosa Darah Kelompok Kontrol Pada kelompok kontrol, kadar glukosa darah puasa yang diukur pada menit ke-0 menunjukkan hasil rata-rata 84,40+2,82 mg/dl. Angka tersebut menunjukkan bahwa subjek memiliki kadar glukosa darah normal kondisi puasa (<110 mg/dl) berdasarkan rujukan WHO (Reinauer et al. 2002). Angka tersebut juga sesuai dengan rujukan American Diabetes Association (ADA) yang menyatakan bahwa subjek normal yang menjalani puasa selama 8 sampai 10 jam akan memiliki kadar glukosa pada kisaran 70-110 mg/dl (ADA 2001). Puncak kadar glukosa darah berada pada menit ke-30 dengan kadar glukosa darah 165,20+5,83 mg/dl. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Wolever (2006) yang memberikan uji coba 75 g glukosa pada subjek dewasa normal sehat bahwa puncak peningkatan kadar glukosa terjadi pada menit ke-30. Hasil yang sejalan juga ditunjukkan oleh penelitian Tsuneki et al. (2004) yang memberikan Trelan G-75 yang mengandung glukosa sebesar 75 g menunjukkan bahwa puncak respon glukosa plasma darah terlihat pada menit ke-30. Magnitude dan waktu puncak dari kadar glukosa darah post-prandial sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti kuantitas dan komposisi dari makanan yang dikonsumsi (ADA 2001). Puncak kadar glukosa darah pada subjek normal penelitian ini termasuk dalam kriteria WHO untuk subjek yang tidak menderita diabetes mellitus, yaitu setelah diberikan OGTT dengan 75 g glukosa akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang tidak melebihi 11,1 mmol/l (199,8 mg/dl). Data kadar glukosa darah subjek di atas menunjukkan bahwa subjek termasuk dalam golongan sehat selain juga dilihat dari indikator IMT, tekanan sistole, tekanan diastole, dan denyut nadi,. Hasil uji t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki-laki dengan subjek perempuan masingmasing pada menit ke-0 (p=0,847), menit ke-30 (p=0,685), menit ke-60 (p=0,371), menit ke-90 (p=0,444), menit ke-120 (p=0,796), dan menit ke-150 (p=0,166). Dikarenakan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki-laki dengan subjek perempuan, maka analisis selanjutnya digunakan data rata-rata gabungan dari keseluruhan subjek tanpa memandang jenis kelamin. Nilai kadar glukosa darah subjek kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan kurva respon glukosa darah subjek kelompok kontrol dapat dilihat pada Gambar 21. Tabel 6 Kadar glukosa darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok kontrol Keterangan Kadar glukosa darah (mg/dl) Menit 60 Menit 90 154 125 170 150 118 116 157 121 151 142 150,00+8,63 130,80+6,49 Menit 150 109 65 105 73 109 92,20+9,58 157 143 145 147 106 136 133 138 104 99 114 133 111 107 88 139,60+8,73 122,00+8,44 110,60+7,20 Kadar glukosa darah (mg/dl) Menit 0 Menit 30 Menit 60 Menit 90 Menit 120 117 125 154 157 85 Subjek 1 122 150 170 185 74 Subjek 2 111 116 118 184 85 Subjek 3 105 121 157 183 84 Subjek 4 141 142 151 130 91 Subjek 5 136 157 196 153 77 Subjek 6 133 143 164 175 91 Subjek 7 138 145 156 165 102 Subjek 8 104 147 171 174 83 Subjek 9 99 106 129 146 72 Subjek 10 a b b c d Rata-rata total (rata-rata+SEM) 84,40+2,82 165,20+5,83 156,60+6,89 135,20+5,33 120,60+4,94 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) Menit 150 109 65 105 73 109 114 133 111 107 88 e 101,40+6,42 Perempuan Laki-laki Menit 120 117 122 111 105 141 119,20+6,15 Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4 Subjek 5 Sub rata-rata (rata-rata+SEM) Subjek 6 Subjek 7 Subjek 8 Subjek 9 Subjek 10 Sub rata-rata (rata-rata+SEM) Keterangan Menit 0 85 74 85 84 91 83,80+2,74 Menit 30 157 185 184 183 130 167,80+10,80 77 91 102 83 72 153 175 165 174 146 196 164 156 171 129 85,00+5,30 162,60+5,73 163,20+10,86 Kadar glukosa darah (mg/dl) 180 165,2+5,83 160 b 156,6+6,89 b rata-rata + SEM 140 135,2+5,33 c 120,6+4,94 120 d 101,4+6,42 100 84,4+2,82 80 0 MM 30 e a MM 60 MM 90 MMM 120 150 Waktu pengukuran (menit) Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) Nilai kadar glukosa darah di atas merupakan nilai rata-rata kadar glukosa darah dari sepuluh subjek Gambar 21 Kurva respon glukosa darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok kontrol Hasil pengujian dengan menggunakan repeated ANOVA untuk kelompok kontrol menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata (p=0,002) pada respon glukosa darah. Selain itu, periode pengamatan juga memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap respon glukosa darah. Kemudian dilakukan uji lanjut Post-Hoc Test (Sidak-Holm) dengan hasil kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0, menit 120, dan menit 150. Hal tersebut di atas menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) kadar glukosa darah antar waktu pengukuran, kecuali pada perbandingan menit 30 dan 60 adalah tidak berbeda nyata (p=0,05) respon glukosa darahnya. Uji lanjut Post- Hoc Test (Sidak-Holm) digunakan karena memiliki akurasi yang tinggi untuk pengukuran perbedaan nilai mean difference dibandingkan uji lanjut lainnya seperti uji lanjut Bonferroni (Glantz 2005). Pola Kurva Glukosa Darah Kelompok Taraf Perlakuan 100 mg EGCG Pada kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG, kadar glukosa darah puasa yang diukur pada menit ke-0 menunjukkan nilai 86,80+1,65 mg/dl. Hal ini menunjukkan kadar glukosa darah puasa subjek kelompok normal sama dengan kelompok kontrol, sehingga validitas internal dari penelitian ini telah terkontrol dengan baik. Hal tersebut dikarenakan selain memenuhi kriteria inklusi, subjek juga dikontrol kondisinya pada saat penelitian seperti tidak dalam kondisi stress dan tidak boleh begadang saat malam hari sebelum pengambilan darah pada keesokan harinya. Hasil uji t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki-laki dengan subjek perempuan masingmasing pada menit ke-0 (p=0,501), menit ke-30 (p=0,589), menit ke-60 (p=0,515), menit ke-90 (p=0,848), menit ke-120 (p=0,177), dan menit ke-150 (p=0,244). Dikarenakan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki-laki dengan subjek perempuan, maka analisis selanjutnya digunakan data rata-rata gabungan dari keseluruhan subjek tanpa memandang jenis kelamin. Nilai kadar glukosa darah subjek kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG dapat dilihat pada Tabel 7, sedangkan kurva respon glukosa darahnya dapat dilihat pada Gambar 22. Hasil uji repeated ANOVA untuk kelompok intervensi 100 mg EGCG menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata (p=0,002) pada respon glukosa darah. Selain itu, periode pengamatan juga memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap respon glukosa darah. Kemudian dilakukan uji lanjut Post-Hoc Test (Sidak-Holm) dengan hasil kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 dan menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Hal tersebut di atas menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) kadar glukosa darah antar waktu pengukuran, kecuali pada perbandingan menit 0 dan 150 (p=0,86), menit 30 dan 60 (p=0,72), serta menit 90 dan 120 (p=0,06). Tabel 7 Kadar glukosa darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG Keterangan Kadar glukosa darah (mg/dl) Menit 60 Menit 90 136 122 184 132 141 128 151 125 142 119 150,8+8,64 125,20+2,26 Menit 150 80 50 90 74 100 78,80+8,45 115 152 133 122 94 114 147 119 119 93 108 106 72 90 86 123,20+9,60 118,40+8,61 92,40+6,67 Kadar glukosa darah (mg/dl) Menit 0 Menit 30 Menit 60 Menit 90 Menit 120 109 122 136 154 93 Subjek 1 99 132 184 183 80 Subjek 2 114 128 141 147 84 Subjek 3 92 125 151 156 84 Subjek 4 105 119 142 128 87 Subjek 5 114 115 175 135 91 Subjek 6 147 152 175 186 88 Subjek 7 119 133 164 180 93 Subjek 8 119 122 161 135 90 Subjek 9 93 94 123 172 78 Subjek 10 a b b c c Rata-rata total (rata-rata+SEM) 157,60+6,82 155,20+6,25 124,20+4,66 111,10+5,06 86,80+1,65 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) Menit 150 80 50 90 74 100 108 106 72 90 86 a 85,60+5,56 Perempuan Laki-laki Menit 120 109 99 114 92 105 103,80+3,83 Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4 Subjek 5 Sub rata-rata (rata-rata+SEM) Subjek 6 Subjek 7 Subjek 8 Subjek 9 Subjek 10 Sub rata-rata (rata-rata+SEM) Keterangan Menit 0 93 80 84 84 87 85,60+2,15 Menit 30 154 183 147 156 128 153,60+8,85 91 88 93 90 78 135 186 180 135 172 175 175 164 161 123 88,00+2,62 161,60+11,08 159,6+9,57 Kadar glukosa darah (mg/dl) 180 160 157,6+6,82 b 155,2+6,25 b 140 rata-rata + SEM 124,2+4,66 120 c 111,1+5,06 c 100 86,8+1,65 80 0 MM 30 a 85,6+5,56 MM 60 MMM 90 MMM 120 a MM 150 Waktu pengukuran (menit) Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) Nilai kadar glukosa darah di atas merupakan nilai rata-rata kadar glukosa darah dari sepuluh subjek Gambar 22 Kurva respon glukosa plasma darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG Pola Kurva Glukosa Darah Kelompok Taraf Perlakuan 200 mg EGCG Pada kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG, kadar gula darah puasa yang diukur pada menit ke-0 menunjukkan nilai 84,10+2,48 mg/dl. Hal ini menunjukkan kadar glukosa darah puasa subjek kelompok normal sama dengan kelompok kontrol, sehingga validitas internal dari penelitian ini telah terkontrol dengan baik. Hal tersebut dikarenakan bahwa kondisi subjek dikontrol pada saat hari sebelum pengambilan darah pada keesokan harinya. Hasil uji t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki-laki dengan subjek perempuan masingmasing pada menit ke-0 (p=0,797), menit ke-30 (p=0,674), menit ke-60 (p=0,335), menit ke-90 (p=0,756), menit ke-120 (p=0,095), dan menit ke-150 (p=0,239). Dikarenakan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki-laki dengan subjek perempuan, maka analisis selanjutnya digunakan data rata-rata gabungan dari keseluruhan subjek tanpa memandang jenis kelamin. Nilai kadar glukosa darah kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG dapat dilihat pada Tabel 8, sedangkan kurva respon glukosa darahnya dapat dilihat pada Gambar 23. Tabel 8 Kadar glukosa darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG Keterangan Kadar glukosa darah (mg/dl) Menit 60 Menit 90 133 122 148 123 127 113 150 110 155 148 142,60+5,35 123,20+6,68 Menit 150 83 57 85 56 97 75,60+8,15 122 112 137 119 113 121 108 136 111 109 105 76 72 94 97 120,60+4,50 117,00+5,28 88,80+6,33 Kadar glukosa darah (mg/dl) Menit 0 Menit 30 Menit 60 Menit 90 Menit 120 Subjek 1 88 153 133 122 106 Subjek 2 71 182 148 123 78 Subjek 3 94 132 127 113 100 Subjek 4 91 155 150 110 109 Subjek 5 80 150 155 148 114 Subjek 6 79 144 174 122 121 Subjek 7 88 194 138 112 108 Subjek 8 92 180 148 137 136 Subjek 9 84 140 160 119 111 Subjek 10 74 144 138 113 109 a b b c c Rata-rata total (rata-rata+SEM) 84,10+2,48 157,40+6,53 147,10+4,38 121,90+3,82 109,20+4,65 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) Menit 150 83 57 85 56 97 105 76 72 94 97 a 82,20+5,34 Perempuan Laki-laki Menit 120 106 78 100 109 114 101,40+6,27 Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4 Subjek 5 Sub rata-rata (rata-rata+SEM) Subjek 6 Subjek 7 Subjek 8 Subjek 9 Subjek 10 Sub rata-rata (rata-rata+SEM) Keterangan Menit 0 88 71 94 91 80 84,80+4,16 Menit 30 153 182 132 155 150 154,40+8,01 79 88 92 84 74 144 194 180 140 144 174 138 148 160 138 83,40+3,18 160,40+11,10 151,60+6,91 Kadar glukosa darah (mg/dl) 180 160 157,4+6,53 b 147,1+4,38 b 140 rata-rata + SEM 121,9+3,82 120 c 109,2+4,65 c 100 84,1+2,48 80 0 MM 30 a 82,2+5,34 MM 60 MMM 90 MMM 120 a MM 150 Waktu pengukuran (menit) Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) Nilai kadar glukosa darah di atas merupakan nilai rata-rata kadar glukosa darah dari sepuluh subjek Gambar 23 Kurva respon glukosa plasma darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG Hasil uji repeated ANOVA untuk kelompok intervensi 200 mg EGCG menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata (p=0,002) pada respon glukosa darah. Selain itu, periode pengamatan juga memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap respon glukosa darah. Kemudian dilakukan uji lanjut Post-Hoc Test (Sidak-Holm) dengan hasil kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 dan 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Hal tersebut di atas menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) kadar glukosa darah untuk perbandingan beberapa variabel menit pengukuran kecuali pada perbandingan menit 0 dan 150 (p=0,77), menit 30 dan 60 (p=0,12), serta menit 90 dan 120 (p=0,05). Perbandingan Pola Kurva Respon Gukosa Darah Subjek Setelah dilakukan pengeplotan dari kadar glukosa darah terhadap waktu untuk masing-masing kelompok taraf perlakuan, maka dapat dilihat perbandingan pola kurva respon glukosa darah subjek pada Gambar 24. 180 Kadar glukosa darah (mg/dl) Kelompok kontrol (rata-rata+SEM) Kelompk 100 mg EGCG (rata-rata+SEM) 165,2+5,83 157,6+6,82 157,4+6,53 156,6+6,89 155,2+6,25 147,1+4,38 160 Kelompok 200 mg EGCG (rata-rata+SEM) 140 135,2+5,33 124,2+4,66 120,6+4,94 121,9+3,82 120 111,1+5,06 109,2+4,65 100 101,4+6,42 86,8+1,65 84,4+2,82 84,1+2,48 80 0 85,6+5,56 82,2+5,34 30 60 90 120 150 Waktu pengamatan (menit) Gambar 24 Kurva perbandingan respon glukosa darah post-prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok kontrol, 100 mg EGCG dan 200 mg EGCG Sebelum berbicara mengenai pengaruh EGCG teh hijau terhadap kadar glukosa darah post-prandial dan metabolismenya di dalam tubuh, maka kita perlu mengetahui metabolisme glukosa darah normal (Gropper et al. 2009) dan metabolisme seluler EGCG teh hijau di dalam tubuh seperti yang disampaikan oleh Kohri et al. (2001). Glukosa sederhana hasil dari pemecahan karbohidrat kompleks akan diabsorpsi mukosa sel usus halus melalui traspor aktif SGLT1. Kemudian glukosa masuk ke dalam sistem pembuluh darah untuk disalurkan ke sel-sel tubuh yang membutuhkan dan sisanya disimpan dalam bentuk cadangan glikogen di organ hati (proses glikogenesis). Supaya glukosa dapat masuk ke sel-sel tubuh yang membutuhkan, maka diperlukan glucose transporter spesifik pada setiap sel (Gropper et al. 2009). Sebagai contoh, untuk bisa diserap oleh sel otot diperlukan GLUT4, sehingga dalam hal ini mekanisme molekuler glucose transporter serta hormon yang mempengaruhinya menjadi sangat penting dalam mengontrol metabolisme glukosa darah di dalam tubuh. Sejalan dengan metabolisme glukosa darah, EGCG teh hijau yang dikonsumsi akan masuk kedalam tubuh melewati beberapa mekanisme fisiologis. Mekanisme awal adalah EGCG akan mencapai sistem gastrointestinal tepatnya pada usus halus. Di usus halus, EGCG akan berinteraksi dengan glucose transporter yang terekspresikan pada usus halus. Setelah itu EGCG akan masuk ke vena porta menuju organ hati yang kemudian akan dilanjutkan dengan sirkulasi ke jaringan serta organ-organ dalam tubuh. EGCG yang tidak terserap di usus halus akan menuju cecum dan usus besar yang kemudian akan didegradasi oleh bakteri intestinal 5-(3’,5’-dihydroxyphenil)- γ - menjadi valerolactone (M-1) dengan EGC (epigallocatechin) sebagai intermediate (Kohri et al. 2001). Pada Gambar 25 dapat dilihat perbedaan pola kurva glukosa darah antara kelompok kontrol dengan kelompok 100 dan 200 mg EGCG. Sesuai dengan penelitian Kohri et al. (2001), perbedaan pola dari kurva glukosa darah (Gambar 24) menunjukkan bahwa EGCG berinteraksi dengan sistem gastrointestinal sehingga memiliki pengaruh terhadap respon glukosa darah pada taraf perlakuan yang berbeda. Dari hal tersebut di atas, kita ketahui bahwa mekanisme interaksi EGCG dengan sistem pencernaan terjadi di vili usus halus. EGCG akan berinteraksi dengan glucose transporter (SGLT1 dan GLUT2) yang secara luas terekspresikan di vili usus halus. Interaksi EGCG dengan SGLT1 tersebut didukung oleh penelitian Johnston et al. (2005) yang menguji polifenol teh hijau (EGCG-epigallocatechin gallate, ECG-epicatechin gallate, EGC-epigallocatechin) pada human intestinal Caco-2 cells. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa EGCG dapat secara efektif menurunkan pengambilan glukosa sebesar 48 persen pada kondisi Na+ dependent. Hasil yang sejalan juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Shimizu et al. (2000) yaitu EGCG teh hijau dapat menghambat pengambilan glukosa sebesar 65 persen pada Caco-2 cell lines dan 25 persen pada vesikel membran vili usus halus. Selain dengan SGLT1, EGCG juga akan berinteraksi dengan GLUT2 yang terekspresikan pada membran basolateral. Pada kondisi puasa atau sebelum makan, tidak didapati glukosa yang banyak di lumen sehingga GLUT2 berperan sebaliknya yaitu mensuplai dan menjaga kebutuhan internal energi enterosit dengan glukosa. Mekanisme tersebut akan terjadi sebaliknya ketika pada kondisi setelah makan dimana glukosa terkonsentrasi sangat banyak pada lumen usus halus sehingga membantu transpor glukosa dari usus ke sistem sirkulasi darah (Kellett & Brot-Laroche 2005). Oleh karena itu, SGLT1 dan GLUT2 yang terekspresikan pada enterosit merupakan target dari pencegahan pengambilan glukosa ke dalam tubuh. Secara umum, mekanisme molekular pengambilan glukosa dengan SGLT1 dan GLUT2 dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25 Model absorpsi glukosa intestinal apical GLUT2 pada kondisi sebelum makan (A) dan sesudah makan (B) (Kellett & BrotLaroche 2005) Pola dari grafik respon glukosa darah pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar glukosa darah post-challenge dengan menggunakan metode OGTT akan mengalami peningkatan secara tajam pada menit ke-30. Selanjutnya kadar glukosa darah akan turun secara bertahap hingga menit ke-150. Penurunan grafik kadar glukosa darah yang tajam dimulai pada menit ke-60 hingga menit ke150. Pola dari grafik respon glukosa darah pada penelitian ini sejalan dengan grafik respon glukosa darah pada penelitian Louie et al. (2008), Wolever (2006), dan Tsuneki et al. (2004). Grafik perbandingan respon glukosa darah yang disajikan pada Gambar 24 menunjukkan bahwa terjadi penurunan awal level konsentrasi glukosa darah pada menit ke-30 ketika diberikan perlakuan 100 dan 200 mg EGCG. Hal tersebut diduga merupakan awal dari blokade pengambilan glukosa oleh EGCG yang berinteraksi dengan SGLT1 dan GLUT2 di lumen usus halus. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Shimizu et al. (2000). Penurunan level glukosa darah kemudian terus terjadi pada menit ke-60 hingga menit ke-150. Hal tersebut seiring dengan bukti penelitian farmakokinetik EGCG yang dilakukan oleh Chen et al. (1997). Penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (1997) menunjukkan bahwa EGCG yang diberikan pada mencit akan mencapai puncak pada sistem sirkulasi pada menit ke-70 hingga menit ke-120, sehingga mekanisme penghambatan pengambilan glukosa selanjutnya akan bermanifestasi pada sistem endokrin yang melibatkan beberapa organ seperti hati dan otot. Organ hati memainkan peranan yang sangat penting bagi regulasi glukosa darah karena kemampuannya yang dapat mengkonsumsi dan memproduksi glukosa pada tingkat yang substansial (Moore et al. 2003). Glukosa yang beredar di dalam sistem sirkulasi tubuh berasal dari luar sistem (pemecahan karbohidrat komplek dari makanan yang dikonsumsi) dan dalam sistem (produksi glukosa oleh organ hati). Dalam proses metabolisme glukosa, organ hati berperan dalam proses glikolisis (pemecahan glukosa untuk menghasilkan energi), glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari sumber nonkarbohidrat untuk dikeluarkan ke dalam sistem sirkulasi), dan glikogenolisis (proses konversi glikogen menjadi glukosa untuk digunakan pada kondisi yang mendesak seperti pada kondisi puasa), dan glikogenesis (proses konversi glukosa menjadi dalam bentuk simpanan yaitu glikogen) (Mann & Truswell 2007). Peningkatan glukoneogenesis merupakan sumber utama peningkatan produksi glukosa hepatika. Hal tersebut berhubungan erat dengan kemampuan insulin dalam meregulasi transkripsi tingkat pengontrolan enzim glukoneogenik yaitu PEPCK (phosphoenolpyruvate carboxykinase) dan G6Pase (glucose-6- phosphatase) dalam proses glukoneogenesis. G6Pase memainkan peranan yang penting dalam intra hepatic glucose cycling (glucose glucose-6- phosphate[G-6-P] glucose). Penggunaan spesifik kinase inhibitor menjelaskan bahwa PI3K (phosphoinositide 3-kinase) terlibat dalam respon insulin gen PEPCK (Waltner-Law et al. 2002). Oleh karena itu menjadi sangat substansial bagi suatu zat bioaktif sebagai target yang dapat menghambat transkripsi gen PEPCK pada kondisi yang tergantung pada PI3K (PI3K-dependent). Hasil dari penelitian Waltner-Law et al. (2002) menunjukkan bahwa EGCG merupakan insulinomimetic yang dapat menurunkan level produksi glukosa pada hepatoma cell lines (H4IIE) dan dapat menurunkan ekspresi gen dari enzim yang mengontrol glukoneogenesis seperti PEPCK dan G6Pase. Sebagai zat yang insulinomimetic, EGCG juga dapat mempengaruhi jalur pensinyalan biokimia seperti yang dilakukan oleh insulin. Melalui pengaktivan PI3K, EGCG dapat menginisiasi pensinyalan insulin sehingga akan memicu translokasi glucose transporter (GLUT4) yang terekspresikan di otot untuk menyerap glukosa (glucose uptake) yang beredar dalam sistem sirkulasi, sehingga glukosa dapat digunakan oleh sel otot tanpa harus memicu kerja insulin yang berat. Sifat insulinomimetic EGCG yang didukung oleh beberapa penelitian di atas merupakan salah satu manifestasi EGCG dalam penurunan kadar glukosa darah pada penelitian ini yang terlihat pada menit ke 60-150 untuk kelompok yang mendapat intervensi 100 dan 200 mg EGCG dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sifat insulinomimetic EGCG didukung juga oleh penelitian Jung et al. (2008) yang menyatakan bahwa EGCG dapat menstimulasi pengambilan glukosa melalui jalur yang dimediasi oleh PI3K (phosphatidylinositol-3-kinase). Sejalan dengan hal tersebut, Zhang et al. (2010) yang mengujicobakan EGCG pada L6 cell lines yang telah diberi perlakuan dexamethasone menunjukkan perbaikan pengambilan glukosa ke dalam sel dengan peningkatan translokasi GLUT4 ke membran plasma. Dexamethasone yang merupakan kontrol negatif adalah senyawa kimia yang dapat mempengaruhi sistem kerja insulin dengan meningkatkan fosforilasi Ser307 pada IRS-1 (insulin receptor substrate-1) serta menurunkan fosforilasi AMPK (adenosine 5'-monophosphate-activated protein kinase) dan Akt (protein kinase B) sehingga akan menyebabkan penghambatan translokasi GLUT4 di sel otot, namun setelah diberi perlakuan EGCG kemudian terjadi perbaikan pengambilan glukosa ke dalam sel dengan peningkatan translokasi GLUT4 ke membran plasma. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa EGCG dapat menghambat resistensi insulin yang diinduksi oleh dexamethasone melalui jalur pensinyalan PI3K/Akt. Penelitian yang dilakukan oleh Nishiumi et al. (2010) juga menunjukkan hasil bahwa EGCG dapat meningkatkan regulasi (up-regulate) translokasi GLUT4 di membran plasma pada tikus percobaan. Selain itu, EGCG juga dapat mencegah penurunan jumlah IR β dan AMPK α yang merupakan reseptor penting dalam proses translokasi GLUT4. Jalur metabolisme molekuler translokasi GLUT4 dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26 Jalur pensinyalan translokasi GLUT4 (www.ans.kobe-u.ac.jp) Keterangan: Akt/PKB (protein kinase B) IR (insulin receptor) IRS (insulin receptor substrate) PI3K (phosphatidylinositol-3-kinase) Luas AUC (Area Under Curve) dan Glucose Score Hasil perhitungan dengan menggunakan repeated ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap luas AUC (p=0,006). Perbedaan respon glukosa darah yang nyata juga ditunjukkan oleh penelitian Tsuneki et al. (2004) yang mengujikan 84 mg EGCG pada subjek dewasa muda sehat. Hal tersebut menunjukkan bahwa regulasi glukosa darah dapat secara nyata diturunkan oleh EGCG. Hasil perhitungan luas AUC pada penelitian ini disajikan pada Tabel 9, sedangkan contoh perhitungan luas AUC dapat dilihat di Lampiran 2. Tabel 9 Luas AUC kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG Keterangan Perempuan Laki-laki Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4 Subjek 5 Sub rata-rata (rata-rata+SEM) Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4 Subjek 5 Sub rata-rata (rata-rata+SEM) Rata-rata total (rata-rata+SEM) AUC Kelompok kontrol (mg.dl-1.h) 325,00 348,25 312,00 322,25 332,00 AUC Kelompok 100 mg EGCG (mg.dl-1.h) 303,75 331,50 308,50 301,50 293,75 AUC Kelompok 200 mg EGCG (mg.dl-1.h) 299,75 297,50 280,75 298,75 327,75 327,90+6,01 307,80+6,38 300,90+7,56 368,75 363,50 355,25 345,50 280,00 319,25 378,50 339,25 313,50 282,00 326,50 317,00 341,50 309,50 294,75 342,60+16,13 326,50+15,91 317,85+7,86 335,25+8,48a 317,15+8,66b 309,37+5,87b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) Hasil Post-Hoc Test (Sidak-Holm) menunjukkan bahwa luas AUC kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG berbeda nyata (p=0,02) lebih rendah dibandingan dengan luas AUC kelompok kontrol. Begitu juga kelompok taraf perlakuan 200 mg berbeda nyata (p=0,002) lebih rendah dibandingan dengan luas AUC kelompok kontrol. Walaupun luas AUC kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG lebih rendah dibandingkan dengan luas AUC kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara keduanya (p=0,287). Grafik luas AUC disajikan pada Gambar 27. 350 Luas AUC (Area Under Curve) 335,25+8,48 a 340 rata-rata + SEM 330 317,15+8,66 b 320 309,37+5,87 b 310 300 AUC Kelompok Kontrol AUC Kelompok 100 mg EGCG AUC Kelompok 200 mg EGCG Konsentrasi EGCG pada minuman teh yang diintervensi Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) Nilai kadar glukosa darah di atas merupakan nilai rata-rata kadar glukosa darah dari sepuluh subjek Gambar 27 Pengaruh intervensi minuman teh hijau dengan berbagai konsentrasi EGCG terhadap luas grafik AUC Hasil analisis nilai glucose score dengan menggunakan repeated ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai glucose score (p=0,006). Hasil perhitungan nilai glucose score pada penelitian ini disajikan pada Tabel 10, sedangkan contoh perhitungan nilai glucose score dapat dilihat di Lampiran 3. Hasil Post-Hoc Test (Sidak-Holm) menunjukkan bahwa nilai glucose score kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG berbeda nyata (p=0,002) lebih rendah dibandingan dengan nilai glucose score kelompok kontrol. Begitu juga nilai glucose score kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG berbeda nyata (p=0,018) lebih rendah dibandingan dengan nilai glucose score kelompok kontrol. Walaupun nilai glucose score kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG lebih rendah dibandingkan dengan nilai glucose score kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara keduanya (p=0,33). Hasil tersebut diatas menunjukkan makna bahwa nilai glucose score mencerminkan efektifitas penghambatan uptake glukosa pada taraf perlakuan 100 dan 200 mg EGCG. Grafik nilai glucose score disajikan pada Gambar 28. Perempuan Laki-laki Tabel 10 Nilai glucose score kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG Glucose Score Glucose Score Glucose Score Keterangan Kelompok Kelompok Kelompok kontrol 100 mg EGCG 200 mg EGCG Subjek 1 100 93,46 92,23 100 Subjek 2 95,19 85,42 Subjek 3 100 98,87 89,98 Subjek 4 100 93,35 92,70 Subjek 5 100 88,47 98,71 Sub rata-rata 93,86+1,67 91,80+2,15 100,00+0,00 (rata-rata+SEM) Subjek Subjek Subjek Subjek Subjek 1 2 3 4 5 Sub rata-rata (rata-rata+SEM) Rata-rata total (rata-rata+SEM) 100 100 100 100 100 86,57 104,12 95,49 90,73 100,71 88,54 87,20 96,12 89,58 105,26 100,00+0,00 95,52+3,19 93,34+3,35 100,00+0,00a 94,64+1,74b 92,58+1,90b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) 100,00+0,00 a Nilai Glucose Score 100 98 94,64+1,74 b rata-rata + SEM 96 92,58+1,90 b 94 92 90 Glucose Score Kelompok kontrol Glucose Score Kelompok 100 mg EGCG Glucose Score Kelompok 200 mg EGCG Konsentrasi EGCG pada minuman teh yang diintervensi Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf supersript yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) Nilai kadar glukosa darah di atas merupakan nilai rata-rata kadar glukosa darah dari sepuluh subjek Gambar 28 Pengaruh intervensi minuman teh hijau dengan berbagai konsentrasi terhadap nilai glucose score Nilai Kepentingan Klinis Manfaat dari penelitian secara klinis dapat dilihat dengan melakukan pengujian nilai kepentingan klinis yang output-nya merupakan variabel kategorik yaitu apakah dengan perlakuan intervensi teh hijau dengan kadar 100 dan 200 mg EGCG dapat mencegah peningkatan kadar glukosa darah yang merupakan salah satu variabel terpenting dalam manajemen pengendalian diabetes mellitus tipe 2. Nilai kepentingan klinis yang diuji adalah RR (relative risk), RRR (relative risk reduction), dan ARR (absolute risk reduction). Contoh perhitungan nilai kepentingan klinis disajikan pada Lampiran 4, sedangkan hasil perhitungan variabel RR, RRR, dan ARR disajikan pada Tabel 11. Menit pengukuran Teh hijau 200 mg EGCG Teh hijau 100 mg EGCG Tabel 11 Hasil perhitungan nilai kepentingan klinis dari kelompok intervensi Parameter Perlakuan EER CER RR ARR RRR 30 0,6 1 0,6 0,4 0,4 60 0,7 1 0,7 0,3 0,3 90 0,4 1 0,4 0,6 0,6 120 0,5 1 0,5 0,5 0,5 150 0,4 1 0,4 0,6 0,6 30 0,7 1 0,7 0,3 0,3 60 0,5 1 0,5 0,5 0,5 90 0,5 1 0,5 0,5 0,5 120 0,5 1 0,5 0,5 0,5 150 0,3 1 0,3 0,7 0,7 Keterangan: EER : experiment event rate (proporsi pada kelompok eksperimen) CER : control event rate (proporsi pada kelompok kontrol) RR : relative risk ARR : absolute risk reduction RRR : relative risk reduction Hasil perhitungan yang tersajikan pada Tabel 11 menunjukkan bahwa kelompok intervensi 100 mg EGCG memiliki nilai RR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.6, 0.7, 0.4, 0.5, 0.4. Hal tersebut bermakna bahwa kemungkinan subjek pada pemberian 100 mg EGCG tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah adalah 0,4-0,7 kali dibandingkan dengan subjek kelompok kontrol (plasebo). Dengan demikian, pemberian intervensi 100 mg EGCG dapat menurunkan risiko terjadinya hiperglikemia. Nilai RRR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.4, 0.3, 0.6, 0.5, 0.6. Nilai RRR antara 0,3-0,6 bermakna bahwa jika tubuh mengkonsumsi 100 mg EGCG, maka jumlah insiden hiperglikemia dapat diturunkan sebesar 30-60% dari insiden sebelumnya. Nilai ARR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.4, 0.3, 0.6, 0.5, 0.6. Hal tersebut bermakna bahwa jika EGCG diminum setiap harinya, maka selisih jumlah insiden hiperglikemia antara subjek yang mendapat perlakuan 100 mg EGCG dengan subjek kontrol adalah sebesar 30-60%. Pada kelompok intervensi 200 mg EGCG memiliki nilai RR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.7, 0.5, 0.5, 0.5, 0.3. Hal tersebut bermakna bahwa kemungkinan subjek pada pemberian 100 mg EGCG tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah adalah 0,3-0,7 kali dibandingkan dengan subjek kelompok kontrol (plasebo). Dengan demikian, pemberian intervensi 200 mg EGCG dapat menurunkan risiko terjadinya hiperglikemia. Nilai RRR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.3, 0.5, 0.5, 0.5, 0.7. Nilai RRR antara 0,3-0,7 bermakna bahwa jika tubuh mengkonsumsi 200 mg EGCG, maka jumlah insiden hiperglikemia dapat diturunkan sebesar 30-70% dari insiden sebelumnya. Nilai ARR pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150 berturut-turut adalah 0.3, 0.5, 0.5, 0.5, 0.7. Hal tersebut bermakna bahwa jika EGCG digunakan sebagai asupan, maka selisih jumlah insiden hiperglikemia antara subjek yang mendapat perlakuan 200 mg EGCG dengan subjek kontrol adalah sebesar 30-70%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan mengkonsumsi teh hijau sebanyak 100 dan 200 mg EGCG (setara dengan 5 dan 10 cangkir teh dengan kandungan per cangkir 17-20 mg EGCG) maka dapat menurunkan insiden hiperglikemia masing-masing 30-60% dan 30-70%, sehingga kedepannya dapat mencegah risiko timbulnya diabetes mellitus tipe 2. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iso et al. (2006) dan Song et al. (2005). Studi epidemiologi yang di follow-up selama lima tahun oleh Iso et al. (2006) menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau pada 6.727 laki-laki dan 10.686 perempuan pada usia antara 40-65 tahun di Jepang berhubungan dengan penurunan resiko diabetes mellitus tipe 2. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa subjek yang mengkonsumsi teh hijau lebih atau sama dengan 6 cup dalam sehari dapat menurunkan resiko diabetes mellitus tipe 2 sebesar 30%. Hasil penelitian tersebut juga menjelaskan tidak terdapat hubungan antara konsumsi teh hitam dan teh oolong dengan penurunan resiko diabetes mellitus tipe 2. Hal senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Song et al. (2005) yang menguji hubungan antara asupan flavonoid dengan risiko diabetes mellitus tipe 2 pada wanita usia menengah menunjukkan bahwa subjek yang mengkonsumsi 4 cup teh hijau setiap hari dapat menurunkan 30 persen risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2 dibandingakan dengan subjek yang tidak mengkonsumsi teh. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Analisis minuman teh hijau awal menunjukkan bahwa rata-rata kandungan EGCG (epigallocatechin gallate) dari 5 g teh kering yang dilarutkan dengan 200 ml air yaitu 316,30+13,42 mg EGCG. Pola grafik respon glukosa darah secara umum menunjukkan bahwa respon glukosa darah akan meningkat pada menit ke-30, selanjutnya glukosa darah akan turun secara gradual hingga menit ke-150, yaitu pada saat kondisi homeostasis. Hasil uji repeated ANOVA pada kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata (p<0,05) dari perlakuan yang diberikan terhadap respon glukosa darah. Selain itu, periode pengamatan juga memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap respon glukosa darah. Pada perlakuan kontrol, uji lanjut menunjukkan bahwa kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0, menit 120, dan menit 150. Pada perlakuan 100 mg EGCG, uji lanjut menunjukkan bahwa kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 dan 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Pada perlakuan 200 mg EGCG, uji lanjut menunjukkan bahwa kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 dan 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Hasil analisis AUC menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,02) pada perbandingan luas AUC kelompok kontrol dengan kelompok 100 mg EGCG. Begitu juga terdapat perbedaan yang nyata (p=0,002) perbandingan antara luas AUC kelompok kontrol dengan kelompok 200 mg EGCG. Meskipun luas AUC kelompok 200 mg EGCG lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 100 mg EGCG, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara keduanya (p=0,287). Hasil analisis glucose score menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,002) pada perbandingan nilai glucose score kelompok kontrol dengan kelompok 100 mg EGCG. Begitu juga terdapat perbedaan yang nyata (p=0,018) perbandingan antara nilai glucose score kelompok kontrol dengan kelompok 200 mg EGCG. Meskipun nilai glucose score pada kelompok 200 mg EGCG (92,58+1,90) terlihat lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 100 mg EGCG (94,64+1,74), tetapi tidak tidak berbeda nyata diantara keduanya (p=0,33). Hasil analisis nilai kepentingan klinis menunjukkan bahwa kemungkinan subjek pada pemberian 100 mg EGCG tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah adalah 0,4-0,7 kali dibandingkan dengan subjek kelompok kontrol (plasebo). Jika tubuh mengkonsumsi EGCG, maka jumlah insiden hiperglikemia dapat diturunkan sebesar 30-60% dari insiden sebelumnya, sedangkan selisih jumlah insiden hiperglikemia antara subjek yang mendapat perlakuan 100 mg EGCG dengan subjek kontrol adalah sebesar 30-60%. Analisis pada kelompok 200 mg EGCG menunjukkan bahwa kemungkinan subjek pada pemberian 200 mg EGCG tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah adalah 0,3-0,7 kali dibandingkan dengan subjek kelompok kontrol (plasebo). Jika tubuh mengkonsumsi EGCG, maka jumlah insiden hiperglikemia dapat diturunkan sebesar 30-70% dari insiden sebelumnya, sedangkan selisih jumlah insiden hiperglikemia antara subjek yang mendapat perlakuan 100 mg EGCG dengan subjek kontrol adalah sebesar 30-70%. Dengan demikian, pemberian intervensi 100 mg dan 200 mg EGCG dapat menurunkan risiko terjadinya hiperglikemia. Saran Penelitian ini menggambarkan respon glukosa darah dengan perlakuan kadar EGCG teh hijau 100 dan 200 mg pada subjek dewasa muda sehat. Untuk mengetahui efikasi teh hijau dalam kaitannya dengan respon glukosa darah pada metabolisme diabetes mellitus tipe 2, maka perlu dilakukan penelitian dengan subjek penelitian penderita diabetes mellitus tipe 2. Pola pemberian dalam minuman teh juga dapat dijadikan sebagai penelitian yang menarik untuk mengetahui respon glukosa darah yaitu apakah teh diminum seiring bersaaman dengan makan, beberapa menit setelah makan, atau beberapa menit sebelum makan. Selain itu pemberian kadar EGCG teh hijau yang bervariasi mengikuti sequence Fibonacci akan menunjukkan respon dosis yang lebih nyata sehingga dapat diketahui kadar optimum EGCG teh hijau dalam menurunkan kadar glukosa darah. DAFTAR PUSTAKA Aboderin I. 2001. Life course perspectives on coronary heart disease, stroke and diabetes: key issues and implications for policy and research. Geneva: World Health Organization. [ADA] American Diabetes Association. 2001. Post-prandial blood glucose. Diabetes Care 24 (4):775–778. [ADA] American Diabetes Association. 2003. American Diabetes Association: Gestational diabetes mellitus (Position Statement). Diabetes Care 26 (Suppl. 1):S103–S105. [ADA] American Diabetes Association. 2011. Diagnosis and classification of diabetes mellitus (Position Statement). Diabetes Care 34 (Suppl. 1):S62– S69. Al-Mutairi HF, Mohsen AM, Al-Mazidi ZM. 2007. Genetics of type 1 diabetes mellitus. Kuwait Medical Journal 39 (2):107-115. Amos AF, McCarty DJ, Zimmet P. 1997. The rising global burden of diabetes and its complications: estimates and projections to the year 2010. Diabet Med 14 Suppl 5, S1-85. Anderson JW, Kendall CWC, Jenkins DJA. 2003. Importance of weight management in type 2 diabetes: Review with meta-analysis of clinical studies. J Am Coll Nutr 22(5):331–339. Aronoff SL, Berkowitz K, Shreiner B, Want L. 2004. Glucose metabolism and regulation: Beyond insulin and glukagon. Diabetes Spectrum 17(3):183190. Balentine DA, Wiseman SA, and Bouwens LCM. 1997. The chemistry of tea flavonoids. Crit Rev Food Sci Nutr 37:693-704. BCAD Team. 2001. SOP to Determine the Contents of Catechins and Gallic Acid in Green Tea Products by HPLC Analysis. USA: Botanical Centre for Age Related Diseases. Biesalski HK, Grimm P. 2005. Pocket Atlas of Nutrition. Stuttgart: Georg Thieme Verlag KG. Bryans JA, Judd PA, Ellis PR. 2007. The effect of consuming instant black tea on postprandial plasma glucose and insulin concentrations in healthy humans. J Am C Nutr 26(5):471-477. Bryant NJ, Govers R, James DE. 2002. Regulated transport of the glucose transporter GLUT4. Nat Rev Mol Cell Biol 3:267-277. Buchanan TA, Xiang AH. 2005. Gestational diabetes mellitus. J Clin Invest 115:485-491. Caballero B, Allen L, Prentice A. 2005. Encyclopedia of Human Nutrition. Oxford: Elsevier. [CCNIH] Clinical Centre National Institutes of Health. 1999. Procedure or Diagnostic Test Oral Glucose Tolerance Test. Bethesda: National Institutes of Health Clinical Centre. Chen L, Lee MJ, Li HE, Yang CS. 1997. Absorption, distribution, and elimination of tea polyphenols in rats. Drug Metabolism and Disposition 25(9):10451050. Chen ZM, Wang HF, You XQ, Xu N. 2002. The Chemistry of Tea Non-Volatiles dalam Zhen YS et al., Eds. Tea-Bioactivity and Therapeutic Potential. London: Taylor and Francis Group. Cheng QK, Chen ZM. 1994. Tea and Health. Beijing: Press of Chinese Agricultural Sciences. Cheung NW, Byth K. 2003. The population health significance of gestational diabetes. Diabetes Care 26:2005-2009. Cheung NW, Helmink D. 2006. Gestational diabetes: the significance of persistent fasting hyperglycemia for the subsequent development of diabetes mellitus. Journal of Diabetes and Its Complications 20:21-25. Cousins L, Baxi L, Chez R, Coustan D, Gabbe S, Harris J, Landon M, Sacks D, Singh S. 1991. Screening recommendations for gestational diabetes mellitus. Am J Obstet Gynecol 165:493-496. Dahlan MS. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Dahlan MS. 2010. Membaca dan Menelaah Jurnal Uji Klinis. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Day SJ, Graham DF. 1989. Sample size and power for comparing two or more treatment groups in clinical trials. Br Med J 299:663-665. [DCCT] Diabetes Control and Complications Trial Research Group. 1993. The effect of intensive treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications in insulin dependent diabetes mellitus. N Engl J Med 329:977-986. [DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan DEPKES. [DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional Tahun 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan DEPKES. Di Cianni G, Miccoli R, Volpe L, Lencioni C, Del Prato S. 2003. Intermediate metabolism in normal pregnancy and in gestational diabetes. Diabetes Metab Res Rev 19:259-270 Dreval’ AV, Misnikova IV, Barsukov IA. 2009. Influence of age and body weight on plasma glucose levels during an oral glucose tolerance test in subjects without carbohydrate metabolic disturbances. Ter Arkh. 81(10):34-8. Eckel RH, Grundy SM, Zimmet PZ. 2005. The metabolic syndrome. The Lancet 365:1415-1428. Fessenden RJ, Fessenden JS, Feist P. 2001. Organic Laboratory Techniques. California: Thompson Learning Inc. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press. Gillespie KM. 2006. Type 1 diabetes: pathogenesis and prevention (Review). CMAJ 175:165-170. Glantz SA. 2005. Primer of Biostatistics. New York: McGraw-Hill Companies. Goldberg I. 1993. Functional Foods. New York: Chapman and Hall. Greenstein B, Wood D. 2006. The Endocrine System at a Glance. London: Blackwell Publishing Ltd. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and Human Metabolism. California: Wadsworth Cengage Learning. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, Franklin BA, Gordon DJ, Krauss RM, Savage PJ, Smith Jr. SC, Spertus JA, Costa F. 2005. Diagnosis and management of metabolic syndrome: an American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute Scientific Statement. Circulation 112:2735-2752. Hackshaw A. 2009. A Concise Guide to Clinical Trials. West Sussex: Wiley Blackwell-BMJ Books. Hee-Sook J, Ji-Won Y. 2002. A New Look at viruses in Type 1 Diabetes. Diabetes Metabolism Research and Review 19:8-31. Ho CH, Lin JK, Shahidi F. 2009. Tea and Tea Products-Chemistry and Health Promoting Properties. Boca Raton: CRC Press. Hosoda K, Wang MF, Liao ML, Chuang CK, Iha M, Clevidence B, Yamamoto S. 2003. Antihyperglycemic effect oolong tea in type-2 diabetes. Diabetes Care 26:1714-1718. Howell JO, Kissinger PT, Kaufman AD, Yeh H-J. 2008. Glucose Test Strips and Electroanalytical Chemistry in the Undergraduate Laboratory. Indiana: Bioanalytical Systems Inc. http:// www.ans.kobe-u.ac.jp diakses pada tanggal 12 Juni 2011 http://www.nihaoteahouse.com diakses pada tanggal 11 Januari 2011 http://www.naturafresh.com diakses pada tanggal 11 Januari 2011 http://www.preparefor allthings.com diakses pada tanggal 11 Januari 2011 Iso H, Date C, Wakai K, Fukui M, Tamakoshi A. 2006. The relationship between green tea and total caffeine intake and risk for self-reported type-2 diabetes among Japanese adults. Ann Intern Med 144:554-562. Johnston K, Sharp P, Clifford M, Morgan L. 2005. Dietary polyphenols decrease glucose uptake by human intestinal Caco-2 cells. FEBS Letters 579:16531657. Joost HG, Thorens B. 2001. The extended GLUT-family of sugar/polyol transport facilitators: Nomenclature, sequence characteristics, and potential function of its novel members (Review). Mol Memb Biol 18:247-258. Jung KH. Epigallocatechin gallate stimulates glucose uptake through the phosphatidylinositol 3-kinase-mediated pathway in L6 rat skeletal muscle cells. J Med Food 11:429-434. Katz MS, Lowenthal DT. 1994. Influences of age and exercise on glucose metabolism-Implications for Management of Older Diabetics. Southern Medical Journal 87(5):S70-S73. Kasahara T, Kato T. 1993. A new redox-cofactor vitamin for mammals. Nature 422:832. Kellett GL, Brot-Laroche E. 2005. Apical GLUT2- a major pathway of intestinal sugar absorption. Diabetes 54:3056-3062. Khardori R, Pauza RE. 2003. Type 1 diabetes mellitus: pathogenesis and advances in therapy (Review). Int J Diab Dev Countries 23:106-119. Kobayashi Y, Suzuki M, Satsu H, Arai S, Hara Y, Suzuki K, Miyamoto Y, Shimizu M. 2000. Green tea polyphenols inhibit the sodium-dependent glucose transporter of intestinal epithelial cells by a competitive mechanism. J Agric Food Chem 48:5618-5623. Kohri T, Matsumoto N, Yamakawa M, Suzuki M, Nanjo F, Hara Y, Oku N. 2001. Metabolic fate of (-)-[4-3H]epigallocatechin gallate in rats after oral administration. J Agric Food Chem 49:4102-4112. Komes D, Horzic D, Belšcak A, Kovacevic GK, Vulic I. 2010. Green tea preparation and its influence on the content of bioactive compounds. Food Research International 43:167-176. Kuhn LS. 1998. Biosensors: Blockbuster or Bomb?-Electrochemical Biosensors for Diabetes Monitoring. Interface (Winter) 26-31. Kustiyah L, Damayanthi E, Kusumorini N, Suprihatini R. 2009. Studi Pengaruh Pemberian Teh Hijau, Teh Hitam, Teh Daun Murbei, serta Campurannya Terhadap Pengendalian Kadar Glukosa Darah Tikus Diabetes (Laporan Penelitian Strategis Nasional). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Lapolla A, Dalfra MG, Fedele D. 2005. Insulin therapy in pregnancy complicated by diabetes: are insulin analogs a new tool? Diabetes Metab Res Rev 21:241-252. Lee M. 2009. Basic Skills in Interpreting Laboratory Data. Bethesda: American Society of Health-System Pharmacists. Louie JCY, Atkinson F, Petocz P, Brand-Miller JC. 2008. Delayed effects of coffee, tea, and sucrose on postprandial glycemia in lean, young, healthy adults. Asia Pac J Clin Nutr 17(4):657-662. Mahler RJ, Adler ML. 1999. Type 2 Diabetes Mellitus: Update on Diagnosis, Pathophysiology, and Treatment. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 84(4):1165-1171. Mann J, Truswell AS. 2007. Essentials of Human Nutrition. Oxford: Oxford University Press. Mathis D, Vencel L, Benoist C. 2001. Beta -cell death during progression to diabetes. Nature 414:792-798. Matsumoto N, Ishigaki F, Ishigaki A, Iwashina H, Hara Y. 1993. Reduction of blood glucose levels by tea catechins. Biosci Biotechnol Biochem 57:525– 527. McKay DL, Blumberg JB. 2002. The role of tea in human health: An update. J Am Coll Nutr 21:1-13. Mondal TK. 2007. Tea - Biotechnology in Agriculture and Forestry. 60: Transgenic Crops V. Berlin: Springer. Moore MC, Cherrington AD, Wasserman DH. 2003. Regulation of hepatic and peripheral glucose disposal. Best Pract and Res Clin Endocrinol and Metabol 17(3):343-364 Morewitz SJ. 2006. Chronic Diseases and Health Care: New Trends in Diabetes, Arthritis, Osteoporosis, Fibromyalgia, Low Back Pain, Cardiovascular Disease, and Cancer. New York: Springer+Business Media, Inc. Morwessel N. 1998. The Genetic Basis of Diabetes Mellitus. American Association of Critical Care Nurses 9:539-554. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Harper’s Illustrated Biochemistry. New York: McGraw-Hill Companies Nakagawa M. 1975. Contribution of green tea constituents to the intensity of taste element of brew. Nippon Shokuhin Kogyo Gakkai-Shi 22:59-64. Nishiumi S, Bessyo H, Kubo M, Aoki Y, Tanaka A, Yoshida KI, Ashida H. 2010. Green and black tea suppress hyperglycemia and insulin resistance by retaining the expression of glucose transporter 4 in muscle of high-fat dietfed C57BL/6J mice. J Agric Food Chem 58:12916-12923 Perkins JM, Dunn JP, Jagasia SM. 2007. Perspectives in Gestational Diabetes Mellitus: A Review of Screening, Diagnosis, and Treatment. Clinical Diabetes 25(2):57-62. Postic C, Shiota M, Magnuson MA. 2001. Cell-specific roles of glucokinase in glucose homeostasis. Recent Prog Horm Res 56:195-217. PPTK [Pusat Penelitian Teh dan Kina]. 2006. Sustainable Tea. Prosiding Pertemuan Teknis Industri Teh Berkelanjutan. Wisata Agro Gunung Mas PTPN VIII Bogor, 12-13 September, Bogor. Radahmadi M, Farrokh S, Karimian SM, Shahab-e-din Sadr S, Nasimi A. 2006. Effects of stress on exacerbation of diabetes mellitus, serum glucose and cortisol levels and body weight in rats. Pathophysiology 13(1):51-55. Radha V, Vimaleswaran KS, Deepa R. 2003. The genetics of diabetes mellitus. Indian J Med Res 117:225-238. Reaven GM. 1998. The role of insulin resistance in human disease. Diabetes 37:1595–1607. Reinauer H, Home PD, Kanagasabapathy AS, Heuck C. 2002. Laboratory Diagnosis and Monitoring of Diabetes Mellitus. Geneva: World Health Organization. Rice-Evans CA, Miller N. 1997. Structure-antioxidant Activity Relationships of Flavonoids and Isoflavonoids in Flavonoids in Health and Disease, (RiceEvans CA, Packer L, Eds.) pp. 199-219. New York: Marcel Dekker. Robertson RP, Harmon J, Tran PO, Tanaka Y, Takahashi H. 2003. Glucose toxicity in β-cells: type 2 diabetes, good radicals gone bad, and the glutathione connection. Diabetes 52(3):581-587. Sanderson GW. 1972. The Chemistry of Tea and Tea Manufacturing in Structural and Functional Aspects of Phytochemistry, (Runeckles VC, Ed.) pp. 247316. New York: Academic Press. Saphiro SS, Wilk MB. 1965. An analysis of variance test for normality (complete samples). Biometrika 52(3/4):591-611. Satterfield Z. 2004. What does ppm or ppb mean ?. On Tap Fall:38-40. Schatz D, Winter W. Recent advances in the immunopathogenesis of insulin dependent DM. Curr Opinion Pediatr 1995; 7:459-465. Scheepers A, Joost H-G, Schürmann A. 2004. The Glucose Transporter Families SGLT and GLUT: Molecular Basis of Normal and Aberrant Function. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition 28:364-371. Scollan-Koliopoulos, Guadagno S, Walker E. 2006. Gestational diabetes management: guidelines to a healthy pregnancy. Nurse Pract 31:14-19. Seino S, Iwanaga T, Nagashima K, Miki T. 2000. Diverse roles of K(ATP) channels learned from Kir6.2 genetically engineered ice. Diabetes 49:311318. Sharangi AB. 2009. Medicinal and therapeutic potentialities of tea (Camellia sinensis L.) – A review. Food Research International 42:529-535. Sheperd PR, Kahn BB. 1999. Glucose transporters and insulin action: implications for insulin resistance and diabetes mellitus. N Engl J Med 341:248-257. Shephard RJ. 1998. Aging and Exercise. In: Encyclopedia of Sports Medicine and Science, (Fahey TD, Ed.). Toronto: Internet Society for Sport Science. ® Shiang KH. The SAS Calculations of Areas Under the Curve (AUC) for Multiple Metabolic Readings. Duarte: City of Hope National Medical Centre. Silbernagl S, Despopoulos A. Color Atlas of Physiology. Stuttgart: Georg Thieme Verlag KG. Simpson IA, Cushman SW. 1986. Hormonal regulation of mammalian glucose transport. Annu Rev Biochem 55:1059-1089. Sinija VR, Mishra HN, Bal S. 2007. Process technology for production of soluble tea powder. Journal of Food Engineering 82: 276-283. Song Y, Manson JE, Buring JE, Sesso HD, Liu S. 2005. Associations of dietary flavonoids with risk of type 2 diabetes, and markers of insulin resistance and systemic inflammation in women: a prospective study and crosssectional analysis. J Am Coll Nutr 24:376-84. Stote KS, Baer DJ. 2008. Tea consumption may improve biomarkers of insulin sensitivity and risk factors for diabetes. The Journal of Nutrition 138:1584S1588S. Stumvoll M, Goldstein BJ, van Haeften TW. 2005. Type 2 diabetes: principles of pathogenesis and theraphy. The Lancet 365:1333-1346. Suematsu S, Hisanobu Y, Saigo H, Matsuda R, Hara K, Komatsu Y. 1992. Studies on preservation of constituents in canned drinks. Effects of pH on stability of constituents in canned tea drinks. Nippon Shokuhin Kogyo Gakkai-Shi 39:178-182. Timby BK. 2009. Fundamental Nursing Skills and Concepts. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. The Institute of Food Technologist. 2005. Functional Foods: Opportunities and Challanges. Washington: IFT Expert Report Publication. Thielecke F, Boschmann M. 2009. The potential role of green tea catechins in the prevention of the metabolic syndrome – A review. Phytochemistry 70:11-24. Thorens B. 2003. A gene knockout approach in mice to identify glucose sensors controlling glucose homeostasis. Pflugers Arch 445:482-490. Trucco M, Laporte R. 1995. Exposure to superantigens as an immunogenetic explanation of type 1 diabetes miniepidermics. J Pediatr Endocrinol Metab. 8:3-10. Tsuneki H, Ishizuka M, Terasawa M, Wu J-B, Sasaoka T, Kimura I. 2004. Effect of green tea on blood glucose levels and serum proteomic patterns in diabetic (db/db) mice and on glucose metabolism in healthy humans. BMC Pharmacology 4:18. Tuomilehto J, Lindstrom J, Eriksson JG, Valle TT, Hamalainen H, Ilanne-Parikka P. 2001. Prevention of type 2 diabetes mellitus by changes in lifestyle among subjects with impaired glucose tolerance. N Engl J Med 344:13431350. [UKPDS] United Kingdom Prospective Diabetes Study Group. 1998. Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). The Lancet 352:837-853. Urcelary E, Santiago JL, de la Calle H. 2005. Type 1 Diabetes in the Spanish population: Additional factors to class II HLA-DR3 and DR4. BMC Genomics 6:1-7. [USDHHS] U.S. Dept of Health and Human Services, National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institute. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. NIH Publication No. 04-5230. Vander A, Sherman J, Luciano D. 2001. Human Physiology-The Mechanisms of Body Function. New York: McGrawHill Venables MC, Hulston CJ, Cox HR, Jeukendrup AE. 2008. Green tea extract ingestion, fat oxidation, and glucose tolerance in healthy humans. Am J Clin Nutr. 87:778-784. Venditti E, Bacchetti T, Tiano L, Carloni P, Greci L, Daminani E. 2010. Hot vs. cold water steeping of different teas: Do they affect antioxidant activity?. Food Chem. 119:1597-1604. Waltner-Law ME. 2002. Epigallocatechin gallate, a constituent of green tea, represses hepatic glucose production. J Biol Chem 38(20):34933-34940. Wan X, Li D, Zhang Z. 2009. Green Tea and Black Tea-Manufacturing and Consumption dalam Ho CT, Lin JK, Shahidi F, Eds. Tea and Tea ProductsChemistry and Health Promoting Properties. Boca Raton: CRC PressTaylor and Francis Group. Wang H. 2002. Catechins: the essence of tea. FoodInfo-IFIS Publishing. Wang H, Cai Y, Davies AP, You X. 1998. Study of Bitterness and Astringency of Green Tea in Proceedings of the 7th Annual Meeting of LSSCB, pp. 58-59, 24-25 July. Cambridge. Wang H, Helliwell K. 2000. Epimerisation of catechins in green tea infusions. Food Chem 70:337-344. Wang H, Provan GJ, Helliwell K. 2000. Tea flavonoids: their functions, utilisation and analysis. Trends in Food Science & Technology 11:152-160. Weyer C, Bogardus C, Mott DM, Pratley RE. 1999. The natural history of insulin secretory dysfunction and insulin resistance the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. J Clin Invest 104:787-794. [WHO] World Health Organization Expert Consultation. 2004. Appropriate bodymass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. The Lancet 363(9403):157-163. [WHO] World Health Organization Technical Report Series. 2003. Diet, Nutrition, and The Prevention of Chronic Diseases. Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization Technical Report Series. 2005. Preventing Chronic Diseases: A Vital Invesment. Geneva: WHO. Wildman REC, Kelley M. 2007. Nutraceuticals and Functional Foods dalam Wildman REC, Eds. Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods. Boca Raton: CRC Press-Taylor and Francis Group. Winter WE, Chiara T, Schatz D. 1993. The genetics of autoimmune diabetes: Approaching a solution to the problem. Am J Dis Child 147:1282- 1290. Wolever TMS. 2006. The Glycaemic Index-A Physiological Classification of Dietary Carbohydrate. Oxfordshire: CABI Publishing. Wright EM, Loo DD, Panayotoya-Heiermann M. 1994. Active sugar transport in eukaryotes. J Exp Biol 196:197-212. Wu CD, Wei GX. 2002. Tea as a functional food for oral health. Nutrition 18:443444. Xu N, Chen ZM. 2002. Green Tea, Black Tea, and Semi-Fermented Tea dalam Zhen YS et al., Eds. Tea-Bioactivity and Therapeutic Potential. London: Taylor and Francis Group. Yamada K, Sato-Mito N, Nagata J, Umegaki K. 2008. Health claim evidence requirements in Japan. The Journal of Nutrition 138:1192S-1198S. Yamaji T, Mizoue T, Tabata S, Ogawa S, Yamaguchi K, Shimizu E, Mineshita M, Kono S. 2004. Coffe consumption and glucose tolerance status in middleaged Japanese men. Diabetologia 47:2145-2151. Yao L, Jiang Y, Datta N, Singanusong R, Liu X, Duan J, Raymont K, Lisle A, Xu Y. 2004. HPLC analyses of flavanols and phenolic acids in the fresh young shoots of tea (Camellia sinensis) grown in Australia. Food Chem 84:253263. Zhang ZF, Li Q, Liang J, Dain XQ, Ding Y, Wang JB, Li Y. 2010. Epigallocatechin-3-O-gallate (EGCG) protects the insulin sensitivity in rat L6 muscle cells exposed to dexamethasone condition. Phytomedicine 17(1):14-8. Zierler K. 1999. Whole body glucose metabolism. Am J Physiol Endocrinol Metab 276:409-426. Lampiran 1 Ijin etik penelitian (Ethical Clearance) Lampiran 2 Contoh perhitungan luas AUC dengan menggunakan trapezoid rules Kurva respon glukosa darah (Subjek 1-Kelompok kontrol) Kadar glukosa darah (mg/dl) 160 157 154 140 125 117 120 109 100 80 85 a b c d e f M-120 M-150 60 M-0 M-30 t 0,5 M-60 M-90 Menit pengukuran (a + b) x t Luas AUC = ∑ 2 Keterangan: a dan b = dua sisi sejajar, yang menyatakan kadar glukosa darah (mg/dl) pada periode pengukuran yang pertama dan setelahnya t = tinggi, yang menyatakan jarak waktu pengukuran kadar glukosa darah (jam) pada periode pengukuran yang pertama dan setelahnya 85 + 157 x 0,5 = 60,5 2 157 + 154 x 0,5 = 77,75 Trapezoid 2 = 2 154 + 125 Trapezoid 3 = x 0,5 = 69,75 2 125 + 117 Trapezoid 4 = x 0,5 = 60,5 2 117 + 109 Trapezoid 5 = x 0,5 = 56,5 2 Total keseluruhan = 60,5 + 77,75 + 69,75 + 60,5 + 56,5 = 325 mg.dl-1.h Trapezoid 1 = Lampiran 3 Contoh perhitungan nilai glucose score Nilai glucose score = a x 100 b Keterangan: a = luas AUC kelompok intervensi b = luas AUC kelompok kontrol Contoh perhitungan luas AUC untuk subjek 1 Luas AUC kontrol = 325 Luas AUC 100 mg EGCG = 303,75 Luas AUC 200 mg EGCG = 299,75 303,75 x 100 = 93,46 325 299,75 Nilai glucose score intervensi 200 mg EGCG = x 100 = 92,23 325 Nilai glucose score intervensi 100 mg EGCG = Lampiran 4 Contoh perhitungan nilai kepentingan klinis Contoh perhitungan nilai kepentingan klinis untuk menit ke-30 Kadar glukosa darah menit ke-30 untuk subjek 1 hingga subjek 10 pada perlakuan kontrol yaitu: 157, 185, 184, 183, 130, 153, 175, 165, 174, 146 Kadar glukosa darah menit ke-30 untuk subjek 1 hingga subjek 10 pada perlakuan 100 mg EGCG yaitu: 154, 183, 147, 156, 128, 135, 186, 180, 135, 172 Sehingga jumlah subjek yang mengalami penurunan glukosa darah dengan selisih 10 mg/dl antara kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG dapat dimasukkan dalam tabel berikut: Perlakuan Perlakuan 100 mg EGCG Perlakuan kontrol Penurunan glukosa darah Tidak Ya 6 4 10 0 Total 10 10 Nilai kepentingan klinis : 6 = 0,6 6+4 10 CER = = 1 10 + 0 0,6 = 0,6 RR = 1 ARR = | 0,6 – 1 | = 0,4 RRR = 1 – 0,6 = 0,4 EER = Keterangan : CER : control event rate (proporsi pada kelompok kontrol) EER : experiment event rate (proporsi pada kelompok eksperimen) RR : relative risk RRR : relative risk reduction ARR : absolute risk reduction