pemasaran pada perusahaan kecil menengah Small medium enterprise (SME) telah mampu memberikan sumbangan terbesar pendapatan domestik dan menyerap tenaga kerja dengan jumlah terbanyak di hampir semua negara (Knight, 2000). Namun demikian, masih banyak SME yang tidak memiliki kapabilitas, kekuatan pemasaran, dan sumber daya seperti yang dimiliki oleh perusahaan besar dan multinasional (Berthon, Ewing, & Napoli, 2008). European Commission mendefinisikan SME sebagai suatu kelompok perusahaan yang terdiri atas micro, small dan medium enterprises (Deakins & Freel, 2009, p. 31). Micro enterprises memiliki total karyawan kurang dari sepuluh orang. Small enterprises, total karyawan antara 10 99 orang. Medium enterprises memiliki total karyawan antara 100 499 orang. Di Indonesia, SME dikenal dengan nama UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Permasalahan yang sering terjadi adalah keberhasilan SME masih sangat bergantung pada kepiawaian manajerial pemilik perusahaan. Pemilik SME seringkali juga menjabat sebagai manajer atau pemimpin. Keputusan dan tanggung jawab untuk mengatur segala fungsi yang ada di dalam organisasi terletak di bawah kekuasaan seorang pemimpin tunggal, beberapa aktivitas yang termasuk di dalamnya adalah urusan perbankan, periklanan, rekrutmen karyawan, bahkan pembelian keperluan alat-alat kantor (Berthon, Ewing, & Napoli, 2008). SME sering menghadapi keterbatasan sumber daya baik waktu maupun uang, hal ini yang membuat pemimpin SME harus selalu memiliki mental survival yang tinggi. Gaya manajemen tiap SME pun sangat unik dan personal bergantung pada tipe kepribadian pemimpin. Namun demikian, SME cenderung lebih bersifat entrepreneurial, fleksibel, dan inovatif. Kelebihan inilah yang membuat SME dapat beradaptasi dengan niche market dan responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Pemimpin SME yang memiliki entrepreneurial mindset dapat mengembangkan perusahaan dengan berorientasi pada kebutuhan pasar (Wickham, 2004, p. 8). Kewirausahaan dan pemasaran merupakan dua kompetensi penting yang harus dimiliki oleh pimpinan SME. Titik temu antara entrepreneurship dan marketing adalah value creation dan value appropriation di dalam pasar (Schindehutte, Morris, & Kocak, 2008). Penciptaan dan penyediaan nilai secara berkelanjutan adalah konsep dasar entrepreneurial marketing yang dapat diterapkan oleh pimpinan SME. Selain orientasi pasar (market orientation), pemimpin SME juga dapat berorientasi pada kewirausahaan (entrepreneurial orientation) dalam menjalankan fungsi pemasaran (Renko, Carsrud, & Brannback, 2009). Ukuran SME yang kecil dengan sumber daya yang terbatas membuat sebagian besar SME mengalami kekurangan akan kapabilitas dan kekuatan pasar untuk bersaing dengan perusahaan besar (Knight, 2000). Namun demikian, SME yang berhasil melakukan inovasi produk atau model bisnis yang sesuai dengan kebutuhan pasar diharapkan mampu bertahan dan berkembang (Renko, Carsrud, & Brannback, 2009). Inovasi produk juga dapat dijadikan ukuran yang relevan atas pertumbuhan, profitabilitas, dan kelangsungan hidup SME yang baru berkembang (Renko & Janakiraman, 2008). Penciptaan nilai atas inovasi produk yang dihasilkan SME masih belum dapat dikomunikasikan dengan baik pada konsumen. Banyak pemimpin SME yang berpendapat bahwa alokasi dana yang besar untuk komunikasi pemasaran adalah sia-sia, namun bukti lain menunjukkan bahwa salah satu cara konsumen dapat menilai produk dan reputasi perusahaan adalah melalui periklanan (Bell, Parker, & Hendon, 2007). Banyak pemimpin SME memandang biaya periklanan sebagai suatu biaya yang bersifat jangka pendek, padahal dampak periklanan pada penjualan adalah sesuatu yang bersifat jangka panjang, artinya pemimpin SME seharusnya memandang biaya periklanan sebagai suatu investasi jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi pemasaran tidak hanya berdampak pada peningkatan penjualan dan brand strength melainkan juga berdampak pada kepuasan konsumen (Dawar, 2004). Sebaliknya fakta yang harus dihadapi SME sebagai tantangan terbesar dalam pemasaran adalah terbatasnya sumber daya untuk periklanan yang efektif (Bell, Parker, & Hendon, 2007). Dengan demikian, pimpinan SME sedapat mungkin kreatif dan inovatif dalam memasarkan produk yang berorientasikan pasar sembari memperkuat brand yang masih relatif baru bagi konsumen. Walaupun sumber daya SME terbatas, seorang pemimpin yang fokus pada product innovativeness dan brand strength diharapkan mampu untuk meningkatkan kinerja pemasaran secara keseluruhan. Aktivitas pemasaran yang dilakukan SME untuk memperkuat merek suatu produk belum terorganisasi dengan baik. Pemimpin SME masih bereksperimen dengan beragam teknik pemasaran dan mencari teknik pemasaran yang paling sesuai dengan perusahaan. Aktivitas pemasaran cenderung bersifat pragmatis dan praktis sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan saat itu (Berthon, Ewing, & Napoli, 2008). Saat merek suatu produk atau organisasi SME baru berkembang, fokus manajerial seharusnya bergeser pada brand strenght, memastikan bahwa konsumen dapat memiliki ingatan yang kuat terhadap produsen dan merek suatu produk yang dipasarkan. Brand strength merupakan sekumpulan asosiasi dan persepsi merek suatu produk di benak pelanggan. Sifat multidimensi brand strenght memampukan perusahaan untuk mengimplementasikan strategi penciptaan nilai yang tidak secara simultan sedang diimplementasikan oleh kompetitor (Colton, Roth, & Bearden, 2010). Kekuatan merek suatu produk sebagai ekuitas yang bernilai bagi suatu perusahaan, dibentuk dari brand awareness dan brand image produk tersebut di benak pelanggan (Keller, 1993). Oleh sebab itu, pemimpin SME yang notabene disebut sebagai seorang entrepreneur berkewajiban untuk membangun brand strength dengan cara mengkomunikasikan pada target market suatu penciptaan nilai atas inovasi produk yang berorientasikan pasar (Lodish, Morgan, & Kallianpur, 2001, p. 232). Apabila culture perusahaan yang berorientasikan kewirausahaan (entrepreneurial orientation) didukung oleh strategi dan taktik pemasaran yang tepat, maka diharapkan kinerja pemasaran SME akan meningkat (Knight, 2000). Permasalahan yang sering terjadi adalah pimpinan SME belum menjadi seorang entrepreneurial marketer kreatif yang memiliki kompetensi kewirausahaan dan pemasaran yang seimbang (Fillis, 2002).