BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia internasional yang sangat panjang telah berhasil mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti semakin banyaknya negara yang melakukan hubungan antara negara yang satu dengan yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan nasionalnya. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan nasional tersebut, negara-negara melakukan hubungan internasional yang berisikan perjanjian-perjanjian atau kebijakan-kebijakan yang telah disepakati bersama. Hubungan internasional didefinisikan sebagai suatu interaksi antara beberapa faktor dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, kesatuan sub-nasional, seperti birokrasi dan pemerintah domestik serta individu-individu.1 Situasi politik internasional masih menempatkan negara sebagai aktor utama meskipun aktor non-negara (perusahaan transnasional, organisasi nonpemerintah internasional, gerakan sosial internasional, individu dan lainnya) ikut mempengaruhi situasi politik internasional. Indonesia dalam melakukan hubungan internasional senantiasa mengumumkan suatu bentuk kehidupan 1 Anak Agung Banyu Perwita, Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, h.4. 1 masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai saling menghormati, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, penolakan penggunaan kekerasan, serta konsultasi dan mengutamakan konsensus dalam pengambilan suatu keputusan. Suatu hubungan internasional dikatakan ideal adalah pada saat hubungan-hubungan tersebut mengikuti rule of law, dalam hal ini norma-norma hukum internasional.2 Dengan mengikuti norma-norma yang berlaku tersebut, menandakan bahwa hukum internasional mengandung nilai normatif dalam artian hukum internasional memiliki ikatan moral yang nantinya akan membangun hubungan internasional yang ideal yakni penuh dengan perdamaian dan kerjasama antar negara. Salah satu hubungan internasional yang dilakukan Indonesia adalah hubungan bilateral dengan Amerika Serikat. Hubungan bilateral tersebut dilandasi oleh adanya semangat yang sama untuk mendorong terus berkembangnya kerjasama di antara kedua negara di berbagai sektor kehidupan. Menurut Didi Krisna dalam Kamus Politik Internasionalnya, mengatakan bahwa: “Hubungan bilateral merupakan keadaan yang menggambarkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi atau terjadi hubungan timbal balik antara dua pihak atau dua negara.”3 Hubungan bilateral yang digambarkan tersebut tidak terlepas dari 2 Hata, 2010, Hukum Internasional (Sejarah dan Perkembangan Hingga Pasca Perang Dingin), Setara Press, Malang, h. 5. 3 Didi Krisna, 1993, Kamus Politik Internasional, PT. Grasindo, Jakarta, h. 18. 2 kebutuhan akan kepentingan nasional masing-masing negara untuk mengadakan hubungan dan menjalin kerjasama antar negara dan tidak bergantung pada negara yang berdekatan saja melainkan juga negara yang secara geografis letaknya berjauhan. Negara-negara menjunjung tinggi tujuan-tujuan tertentu untuk menciptakan perdamaian dengan memperhatikan kerjasama politik, sosial, kebudayaan, dan struktur ekonomi sehingga menghasilkan suatu hubungan di antara para pihak menjadi lebih harmonis. Akan tetapi, hubungan bilateral dalam hubungan internasional tidak selalu di warnai dengan adanya kerjasama, melainkan juga adanya konflik yang timbul terhadap penyelenggara hubunganhubungan internasional tersebut. Suatu konflik akan berubah menjadi sengketa apabila salah satu pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.4 Pada saat pemerintahan Presiden Republik Indonesia yang ke II (dua) yaitu Soeharto, beliau menjalin hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat dalam bidang militer. Negara super power merupakan negara barat yang memiliki kekuatan dan keunggulan yang mendominasi dalam bidang ekonomi, politik, militer maupun bidang yang lainnya. Indonesia dengan leluasa diberikan fasilitas untuk mengimpor peralatan militer yang dibutuhkan untuk memproduksi 4 Siti Megandianty Adam dan Takdir Rahmadi, 1997, Sengketa dan Penyelesaiannya, Buletin Musyawarah No. 1 Tahun I, Indonesian Center for Environment Law, h. 1, dalam Skripsi Ririn Bidasari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, h. 25. 3 persenjataan militernya dan mendapatkan pelatihan pendidikan langsung oleh Amerika Serikat mengenai pertahanan atau militer. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun menjadi semakin kuat dan semakin maju berkat bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat. Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat mengalami krisis kepercayaan ketika terjadi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1991 berupa aksi penembakkan oleh aparat militer Indonesia terhadap para demonstran di Timor Timur5 yang menyebabkan Indonesia mendapat embargo dari Amerika Serikat. Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM merupakan perbuatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok individu terhadap orang lain, terlepas apakah pelakunya terkait dengan kekuasaan (authority) dan/atau pelakunya sedang menjalankan kewenangannya sebagai aparatur Negara (state agent). Pelanggaran HAM pada hakekatnya digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).6 Salah satu contoh pelanggaran HAM yang juga termasuk sebagai kategori kejahatan terhadap kemanusian, yaitu pasca jajak pendapat yang terjadi di Timor Timur pada tahun 1999.7 5 Artidjo Alkostar, 2004, Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban, PUSHAM UII, Yogyakarta, h.6. 6 Andrey Sujatmoko, 2015, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Rajawali Pers, Jakarta, h. 31. 7 Ibid, h. 132. 4 Embargo yang di terapkan oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia berupa pelarangan lalu lintas barang, baik dalam kegiatn ekspor maupun impor,8 terutama dalam hal pengadaan senjata. Akibatnya, Indonesia mengalami kesulitan dalam pemenuhan Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) yang dipergunakan khususnya dalam menjaga stabilitas pertahanan dan keamanan negara. Indonesia kemudian mencoba untuk menyelesaikan perselisihannya dengan Amerika Serikat melalui jalan damai, mengingat prinsip itikad baik dalam menyelesaikan sengketa Internasional secara damai harus diutamakan. 9 Hukum Internasional berperan sangat penting dalam penyelesaian sengketa Internasional, dimana Hukum Internasional merupakan media atau wadah yang memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa Internasional. Hukum Internasional tidak menganjurkan penggunaan kekerasan atau peperangan dalam proses penyelesaian sengketanya. 10 Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung dari ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang melarang negara melakukan kekerasan dalam hubungannya satu sama lain.11 Terkait dengan embargo senjata yang diberikan oleh Amerika Serikat 8 M. Marwan, Jimmy P., 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h. 192. 9 Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 10 Ibid, h. 8. h. 15. 11 Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 160. 5 terhadap Indonesia sebagai reaksi atas sejumlah insiden yang dilakukan oleh aparat militer Indonesia ternyata menarik untuk dianalisis dari perspektif hukum internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa pertanyaan dapat dikemukakan, antara lain: Bagaimana dampak yang dirasakan oleh Indonesia atas pemberlakuan embargo senjata oleh Amerika Serikat; Serta bagaimana hukum internasional mengatur masalah upaya penyelesaian sengketa kedua belah pihak. Beradasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut ke dalam bentuk skripsi dengan judul “ANALISIS TERHADAP SENGKETA EMBARGO SENJATA ANTARA INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT DITINJAU DARI SUDUT PANDANG HUKUM INTERNASIONAL”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis mengangkat beberapa permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dampak hukum terhadap Indonesia atas pemberlakuan embargo senjata oleh Amerika Serikat Ditinjau dari Perspektif Hukum Internasional? 2. Bagaimanakah upaya penyelesaian embargo senjata antara Indonesia dengan Amerika Serikat Ditinjau dari Perspektif Hukum Internasional? 6 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai usulan penelitian ini dan untuk menghindari penyimpangan dari permasalahan yang diangkat, maka diperlukan suatu batasan dalam membahas permasalahan yang dikemukakan. Batasan ruang lingkup dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai faktor penyebab terjadinya embargo senjata di Indonesia serta dampak hukum terhadap Indonesia sebagai akibat penerapan embargo senjata oleh Amerika Serikat. 2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai penyelesaian kasus sengketa embargo senjata dari perspektif hukum internasional, dan upaya penyelesaian embargo senjata antara Indonesia dan Amerika Serikat. 1.4 Tujuan Penelitian Adanya suatu penelitian tidak terlepas dari adanya suatu tujuan yang ingin dicapai. Untuk itu penulis memberikan beberapa tujuan yang dirangkum sedemikian rupa ke dalam bentuk tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 7 a. Tujuan Umum: 1. Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2. Melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi terutama dalam bidang penelitian yang dilakukan oleh setiap mahasiswa untuk melatih diri dalam usahanya menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. 3. Untuk mengetahui secara umum mengenai sengketa embargo senjata yang terjadi antara Indonesia dan Amerika Serikat. b. Tujuan Khusus: 1. Untuk menganalisis dampak hukum terhadap Indonesia atas pemberlakuan embargo senjata oleh Amerika Serikat ditinjau dari perspektif hukum internasional. 2. Untuk menganalisis upaya penyelesaian embargo senjata antara Indonesia dan Amerika Serikat ditinjau dari perspektif hukum internasional. 1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang dirangkum ke dalam manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu: 8 a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai dampak yang dialami Indonesia sebagai akibat berlakunya embargo senjata oleh Amerika Serikat, mengetahui peran hukum internasional dalam mengatur hubungan hukum antar negara yang bersengketa, dan juga untuk memahami tentang upaya penyelesaian sengketa embargo senjata antara Indonesia dan Amerika Serikat apabila dikaitkan dengan hukum internasional. b. Manfaat praktis 1. Bagi mahasiswa Fakultas Hukum khusunya bagian Hukum Internasional, diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap pengetahuan dan wawasan mengenai disiplin ilmu Hukum Internasional khususnya mengenai pengenaan sanksi embargo. 2. Bagi Pemerintahan khususnya bagi Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan bagi Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemhan), diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam mendapatkan infromasi tentang pengalaman embargo di Tanah Air serta membantu menyediakan informasi yang mudah dipahami oleh pembaca pada umumnya mengenai dampak hukum akibat penerapan sanksi embargo dan upaya penyelesaian pengenaan sanksi embargo antara Indonesia dan Amerika Serikat. 9 1.6 Landasan Teoritis 1.6.1 Teori Realisme Politik Internasional Menurut Hans J. Morgenthau, “teori realisme politik internasional merupakan suatu teori yang memiliki keterkaitan dengan sifat manusia (human nature) seperti yang sesungguhnya ada dan dengan proses sejarah seperti yang sesungguhnya terjadi”. 12 Hubungan Internasional dalam ranah politik memiliki hubungan yang erat dengan Hukum Internasional. Segala bentuk permasalahan-permasalahan internasional yang terjadi antara kedua belah pihak yang bersangkutan harus segera diselesaikan dengan cara yang wajar dan adil bagi para pihak.13 Terdapat aturan dan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional dalam berhubungan antar negara. Ketentuan tersebut terangkum dalam 6 prinsip pokok, yaitu:14 1. The Principle of the Sovereign Equality of All States (Kesamaan Kedaulatan Semua Negara). Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) Piagam PBB, “The organizations are based on the principle of the 12 Totok Sarsito, 1993, Teori Realisme Politik Internasional (Hans J. Morgenthau): Suatu Analisis dan Kritik, Sebelas Maret University Press, Surakarta, h. 12. 13 J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional II: edisi kesembilan, Aksara Persada Indonesia, h. 171. 14 Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, h. 110-114. 10 sovereign equality of all its members (Organisasi bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua anggota).” 2. The Principle Non Intervention in The Internal Affairs of Other States (Larangan Intervensi dalam Masalah-masalah Internal Negara Lain). Prinsip tersebut diakomodasikan dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, “Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Member to submit such matters to settlement under the present Charter; but the principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Capter VII (Tidak ada satu ketentuan pun dalam Piagam ini yang memberi kuasa kepada Piagam BB untuk mencampuri urusanurusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri sesuatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan Piagam ini; akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti tercantum dalam Bab VII)”. 3. The Principle of Non Use of Force (Larangan Penggunaan Kekerasan). Prinsip ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang menyebutkan, “All Members shall refrain in their international 11 relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations (Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB)”. 4. Peaceful Settlement of Disputes (Penyelesaian Sengketa Secara Damai). Ketentuan prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 2 Ayat (3) Piagam PBB yang berbunyi, “All Members, shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered (Segenap anggota PBB harus menyelesaikan persengkataan internasional dengan jalan damai dan mempergunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, serta keadilan tidak terancam)”. 5. Respect for Human Rights (Penghormatan terhadap HAM). Prinsip tersebut setidaknya tercermin dalam tujuh pasal Piagam PBB, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 13 ayat (1)b, Pasal 55c, Pasal 62 ayat (2), Pasal 68, dan Pasal 76c, Pasal 1 ayat (3). Salah satu Pasal yaitu Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, “To achieve international cooperation in solving 12 international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion (Mewujudkan kerjasama internasional dalam memecahkan persoalan-persoalan internasional di lapangan ekonomi, sosial, kebudayaan, atau yang bersifat kemanusiaan, dan berusaha serta menganjurkan adanya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membedakan bangsa, jenis, bahasa, atau agama)”. 6. Prinsip Right to Self Determination (Hak Menentukan Nasib Sendiri). Pelaksanaan menentukan nasib sendiri dari dominasi luar merupakan prinsip yang diterima secara bulat oleh masyarakat internasional. Suatu kerjasama internasional selalu berlandaskan atas konsep dasar mengikatnya hukum internasional yang terdiri dari beberapa teori, antara lain: 1. Kehendak Bersama atau Common Consent Dalam teori kehendak bersama, dinyatakan bahwa kekuatan mengikatnya hukum internasional adalah kehendak negara. Kehendak 13 negara merupakan persetujuan bersama dari negara-negara berdaulat untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah hukum internasional.15 2. Pacta Sunt Servanda Dalam teori ini, disebutkan bahwa pacta sunt servanda merupakan salah satu norma dasar dalam hukum, dan erat kaitannya dengan asas itikad baik untuk menaati dan menghormati setiap perjanjian, serta tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghambat usahausaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, baik sebelum perjanjian itu mulai berlaku maupun setelah perjanjian itu mulai berlaku.16 1.6.2 Gambaran tentang Politik Internasional Gambaran tentang politik internasional tidak lebih merupakan gambaran tentang bagaimana hubungan antara fenomena-fenomena yang ditemui kedalam suatu pengetahuan yang utuh, sistematis, dan secara logis dapat dipahami. Dalam suatu tulisan dari Charles A. McClelland yang berjudul What is International Relations? mengatakan bahwa: “karakter dasar dari hubungan internasional berasal dari organisasi-organisasi 15 Sefriani, 2011, Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspektif Filsafat Hukum, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, h. 414. 16 Wayan Partiana, 2005, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju, Bandung, h. 263. 14 jaringan-jaringan masyarakat yang terpisah-pisah dan juga berasal dari hubungan-hubungan yang diakui antara organisasi-organisasi yang terpisah ini ….. studi hubungan internasional dibatasi oleh kepentingan dalam hubungan, pertukaran dan interaksi (McClelland, 1971: 39).”17 Berikut merupakan penjelasan singkat mengenai teori realisme politik internasional sebagai suatu gambaran dan penjelasan untuk memaparkan sistem gagasan Morgenthau, yaitu: 1. Negara Sebagai Aktor di Panggung Politik Internasional Politik internasional atau politik dunia menurut Morgenthau, pada hakekatnya merupakan “a struggle for power” (perjuangan untuk memperoleh kekuasaan). Morgenthau juga menyatakan bahwa “aktor di panggung politik internasional adalah negara (state atau nation)”.18 Akan tetapi tidak semua tindakan negara yang ditunjukkan kepada negara lain itu adalah politik dan juga tidak semua negara pada setiap saat memiliki keterlibatan yang sama luasnya dalam ranah politik internasional. Ditegaskan oleh Morgenthau bahwa “Karena suatu bangsa mengejar politik luar negeri sebagai suatu organisasi yang legal yang 17 Totok Sarsito, op.cit, h.22. 18 Ibid, h.23. 15 disebut negara, agen-agennya bertindak sebagai wakil dari bangsa itu dipanggung internasional. Mereka berbicara atas nama negara, mendefinisikan tujuannya, memelihara, meningkatkan serta mendemonstrasikan powernya. Mereka ini adalah individu-individu yang apabila muncul sebagai bangsanya dipanggung internasional, memperluas power dan mengejar kebijaksanaan bangsanya. Inilah arti empirik atau power atau politik luar negeri suatu negara”. 19 2. Perimbangan Kekuatan Sebagai Suatu Interaksi, Kebijakan Interaksi, dan Sistem Interaksi Menurut Morgenthau, interaksi yang terjadi di antara negaranegara yang saling berjuang untuk memelihara, meningkatkan ataupun mendemonstrasikan power yang mereka miliki akan menciptakan suatu situasi interaksi, kebijakan interaksi, dan sistem interaksi yang disebut sebagai “balance of power” atau perimbangan kekuatan. 20 1.7 Metode Penelitian 19 Ibid, h.24. 20 Ibid, h.26. 16 Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan melakukan penelitian secara ilmiah, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa permasalahan dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul. Untuk dapat dikatakan dinyatakan skripsi, maka diperlukan suatu metode yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metedologi penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam usulan penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif,21 yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari penelitian asas-asas hukum, penelitian inventarisasi hukum positif, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundangundangan, dan penelitian sejarah hukum. b. Jenis Pendekatan Terdapat beberapa jenis pendekatan dalam penelitian hukum normatif, antara lain: 21 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 29. 17 1. Pendekatan Kasus (The Case Approach) 2. Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach) 3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) 4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) 5. Pendekatan Frasa ( Words & Phrase Approach) 6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach). Jenis pendekatan yang digunakan dalam membahas usulan penelitian ini adalah: 1. Pendekatan Kasus (The Case Approach), yang dilakukan dengan menelaah kasus-kasus yang secara khusus berkaitan dengan embargo senjata antara Indonesia dan Amerika Serikat untuk mendapatkan informasi tambahan terkait penulisan skripsi ini. 2. Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach), dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 22 3. Pendekatan Sejarah (The Historical Approach), dilakukan dengan menelaah asal mula dan sebab-sebab terjadinya kerusuhan di Dili Timor 22 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93. 18 Timur hingga pemberlakuan embargo senjata terhadap Indonesia oleh Amerika Serikat. c. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang diperoleh untuk melakukan penelitian yang bersifat normatif ini adalah melalui tiga sumber bahan hukum, yaitu terdiri dari: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terutama berpusat pada peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.23 Dalam penulisan skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Arms Trade Treaty, Deklarasi mengenai Prinsip-Prinsip Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan Tahun 1985, Konvensi Den Haag Tahun 1907, Konvensi Wina Tahun 1969, Piagam PBB, Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu 23 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.47. 19 secara khusus yang memberikan petunjuk bagi penulis atas penelitian yang diteliti.24 Bahan hukum sekunder terdiri atas: buku literatur, jurnal hukum, skripsi, makalah, internet dengan menyebut nama situsnya. 3. Bahan hukum tersier yang merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum) dan ensiklopedia.25 d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam usulan penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum diperoleh dari teknik studi dokumen. Studi dokumen merupakan suatu langkah awal dari setiap penelitian hukum, baik normatif maupun sosiologis.26 Teknik studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang sesuai dan berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Pengumpulan bahan-bahan hukum tersebut diperoleh melalui: 1. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan instrumen hukum nasional dan intrumen hukum internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. 24 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h. 32. 25 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, op.cit, h. 119. 26 Ibid, h. 68. 20 2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. e. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan teknik deskriptif, yaitu menggambarkan secara lengkap tentang aspek tertentu yang berkaitan dengan masalah dan menyajikan data dari objek penelitian, sehingga diperoleh kesimpulan yang bersifat umum dengan susunan yang sistematis. 21