BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Bahan Organik
Bahan organik tersusun atas bahan-bahan yang sangat beraneka berupa zat
yang ada dalam jaringan tumbuhan dan hewan, sisa organik yang sedang
menjalani
perombakan,
dan
hasil
metabolisme
mikroorganisme
yang
menggunakan sisa organik sebagai sumber energi. Perombakan bahan organik
dapat berlangsung terbatas atau tuntas. Perombakan yang berlangsung terbatas
menghasilkan zat-zat organik lebih sederhana dari yang ada semula, sedangkan
yang berlangsung tuntas membebaskan unsur-unsur yang semula berada dalam
ikatan molekul organik menjadi senyawa-senyawa anorganik (Notohadiprawiro,
1999).
Pelapukan bahan organik merupakan salah satu kegiatan jazad mikro, yang
membebaskan unsur hara yang terikat dalam bentuk organik menjadi tersedia bagi
tumbuhan. Kecepatan pelapukan tergantung pada kandungan senyawa dari bahan
organik tersebut. Adapun urutan senyawa-senyawa yang ditemukan dalam
jaringan tumbuhan menurut tingkat mudah tidaknya senyawa tersebut dilapuk
yaitu: gula, zat pati, protein sederhana, protein kasar, hemiselulosa, selulosa,
lignin, lemak dan lilin (Supardi, 1983).
Senyawa organik memiliki peranan yang sangat penting dalam sifat-sifat
kimia tanah. Menurut Kussow (1971) senyawa organik dapat mempertahankan pH
tanah pada kisaran 5,0 - 8,5 dan senyawa organik berfungsi secara langsung dalam
reaksi oksidasi-reduksi dalam tanah.
Bahan organik segar tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman
karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan
C/N tanah dimana rasio C/N tanah berkisar
antara 10-20 (Suryadikarta dan
Simanungkalit, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan penurunan nilai C/N rasio
bahan organik dengan cara melakukan pengomposan terhadap bahan tersebut.
Menurut Indranada (1986) pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar
menjadi bahan yang menyerupai humus (rasio C/N mendekati 10). Proses
5
perombakan bahan organik ini terjadi secara biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas
biologi mikroba dan mesofauna (Suryadikarta dan Simanungkalit, 2006).
Hasil pengomposan berupa kompos, yaitu jenis pupuk yang terjadi karena
proses penghancuran oleh alam (Sarief, 1985) dan mikroorganisme pengurai
terhadap bahan organik (daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan,
dedak padi, batang jagung serta kotoran hewan). Adapun karakteristik umum
yang dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan
jumlah bervariasi tergantung bahan asal, (2) menyediakan unsur hara secara
lamban (slow release) dan dalam jumlah terbatas, dan (3) mempuyai fungsi utama
memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Suryadikarta dan Simanungkalit,
2006).
Sifat fisik dari kompos antara lain kadar kelembaban (< 35%), bobot isi,
kemampuan memegang air, dan ukuran bahan, sedangkan sifat kimia dari kompos
antara lain karbon organik total, kapasitas tukar kation, Nitrogen total, pH, daya
hantar listrik (DHL), P, K, Ca, Mg dan unsur mikro (Sullivan dan Miller, 2001).
Hasil analisis hara kotoran sapi dan ayam serta kandungan hara dalam
kompos yang berasal dari kedua jenis kotoran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Hara dari Kotoran dan Kompos Kotoran Sapi dan Ayam
Jenis Bahan Asal
Kotoran sapi
Kotoran ayam
Kompos kotoran sapi
Kompos kotoran ayam
C
----- % ----63,44
42,18
39,31
18,36
N
Kadar Hara
C/N
1,53
1,50
2,34
1,70
41,47
28,12
16,80
10,80
P
K
-------%------0,67
1,97
1,08
2,12
0,70
0,68
0,69
1,45
Sumber: Hartatik dan Widowati, 2006
2.2.
Gugus Fungsional
Dekomposisi bahan organik menghasilkan asam-asam organik yang
selanjutnya membentuk koloid organik dengan tapak muatan yang jauh lebih
banyak dibandingkan koloid inorganik. Tapak-tapak reaktif ini terdiri dari gugusgugus fungsional dari senyawa organik (Anwar dan Sudadi, 2007). Menurut Tan
6
(1991) bahan organik mengandung sejumlah gugus fungsional seperti gugus
karboksilat, gugus-gugus hidroksil fenolat dan alkoholik, gugus asam amino,
amida, keton, dan aldehida. Gugus fungsional yang mempunyai peranan dalam
jerapan air adalah gugus karboksil.
Menurut Hart (2003) gugus fungsional utama dapat digolongkan dalam
beberapa kelompok, seperti gugus fungsional yang merupakan bagian dari
kerangka molekul (alkana, alkuna, dan alkena), gugus yang mengandung oksigen
(alkohol, eter, aldehida, keton, asam karboksilat, ester), gugus yang mengandung
nitrogen (amina dan amida), dan gugus yang mengandung belerang (tiol, tioter,
asam sulfonat), serta gugus yang mengandung halogen (alkil dan halide asam).
Alkohol dan fenol digolongkan dalam gugus hidroksil (-OH). Fenol
mempunyai gugus yang sama dengan alkohol, tetapi gugus fungsinya melekat
langsung pada cicin aromatik. Gugus hidroksil bersifat polar sebagai akibat atom
oksigen elektronegatif yang menarik elektron ke arah dirinya sendiri. Akibatnya,
molekul air tertarik ke gugus fungsional. Hal ini akan membantu melarutkan
senyawa organik yang mengandung gugus hidroksil. Sedangkan, asam karboksilat
digolongkan sebagai gugus karboksil (COOH). Alkohol, fenol dan asam
karboksilat dapat mengion dan melepaskan H+ dari ion hidroksilnya. Aldehida dan
keton digolongkan dalam gugus fungsional karbonil (C=O) (Hart, 2003).
Alkana tidak larut dalam air. Hal ini disebabkan karena molekul air
bersifat polar, sedangkan alkana bersifat nonpolar. Ketidaklarutan alkana dan air
sangat menguntungkan bagi tumbuhan (Hart, 2003).
7
2.3
Senyawa Organik Larut Air
Senyawa organik larut air (SOLA) merupakan fraksi dari bahan organik
yang terlarut atau dissolved organic matter (DOM) yang diekstrak dengan air
secara perlahan-lahan, dan secara konseptual merupakan bagian dari DOM total
yang mobile dan yang tersedia (Zsolnay, 1996 dalam Corvasce et al., 2006).
DOM menggambarkan bagian bahan organik yang paling aktif dan mobile
(Corvasce et al., 2006). SOLA diperoleh dengan melakukan penyaringan ekstrak
bahan organik menggunakan saringan 0,45 µm yang sebelumnya dikocok dan
disentrifuse (Zsolnay, 2003).
Karbon organik terlarut (dissolved organic carbon/DOC) merupakan
bagian dari SOLA dan salah satu cadangan karbon yang paling aktif dalam siklus
karbon organik dan berperan penting pada transportasi nutrisi seperti N, P dan S,
serta logam berat (Jimenez dan Lal, 2006 dalam Undurraga et al., 2009). Siklus
DOC dalam tanah dipengaruhi oleh kombinasi proses kimia, fisika dan biologi.
Proses pengendalian siklus DOC dalam horizon tanah yang utama adalah mikroba
dan pengaturan retensi DOC dalam horizon mineral melalui adsorpsi pada
permukaan tanah (Kalbitz et al., 2000 dalam Kothawala et al., 2008)
Ketersediaan DOC dalam tanah dipengaruhi oleh tingkat pemupukan dan
kedalaman dari sampel tanah (Undurraga et al., 2009). Menurut Zsolnay (1996
dalam Chantigny, 2003) konsentrasi SOLA cenderung lebih besar di hutan
daripada di tanah pertanian, yaitu konsentrasi DOC di lantai hutan berkisar 5
sampai 440 mg/L, sedangkan DOC di tanah pertanian nilainya bervariasi dari 0
sampai 70 mg/L.
Senyawa organik larut air dari kompos memiliki peran utama dalam
banyak proses kimia dan biologi selama proses terjadinya kompos. Aktifitas
biologi SOLA yang berasal dari kompos sebagian besar bergantung pada jenis
substrat aktif yang digunakan untuk proses pengomposan dan lamanya proses
tersebut. Selama terjadinya proses pengomposan yang terdiri atas penghancuran
bahan asal dari bahan organik berukuran besar yang didegradasi oleh
mikroorganisme dan sintesis biokimia dari bahan molekul berbobot rendah,
sebagian besar berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi dan komposisi kimia
dari SOLA (Said-Pullicino et al., 2007 dalam Traversa et al., 2010).
8
2.4.
Spektrofotometer Infra Merah
Serapan inframerah berkaitan dengan getaran molekul atau atom. Atom
dan molekul dalam suatu senyawa bergetar pada frekuensi sekitar 103-1014
hitungan per detik. Frekuensi ini sesuai dengan frekuensi radiasi inframerah, oleh
karena itu radiasi inframerah dapat diserap oleh getaran molekul. Getaran molekul
atau atom menyebabkan perubahan jarak antar atom karena pergerakan atom. Hal
ini disebut osilasi. Ada dua jenis getaran yaitu getaran regang/uluran dan getaran
lengkung/tekukan. Getaran regang/uluran yaitu atom berosilasi pada arah sumbu
ikatan tanpa mengubah sudut ikatan. Geteran lengkung/tekukan yaitu gerakan
atom-atom menghasilkan perubahan dalam sudut ikatan. Posisi pita dalam analisis
inframerah dinyatakan dalam satuan frekuensi yaitu cm- (Tan, 1991).
Frekuensi uluran dari suatu ikatan kimia tergantung pada beberapa faktor,
antara lain masa atom, energi ikatan, dan ikatan ganda. Ikatan yang terbentuk dari
atom yang berat dan atom yang ringan selalu bergetar pada frekuensi yang lebih
tinggi dibadingkan ikatan yang terbentuk dari dua atom yang berat. Ikatan ganda
dua bergetar pada frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikatan tunggal
yang terbentuk diantara atom-atom yang sama (Hart, 2003).
Download